Optimalisasi Pengembangan Produk sebagai Cara Hidup Perusahaan (Penulis: Deddy Supriyadi)* Dimuat di Co-Value Ikopin April 2010 Abstract Perubahan selera konsumen, preferensi konsumen yang berbeda-beda, dan persaingan yang semakin ketat menjadikan siklus kehidupan produk menjadi lebih singkat. Kedaan ini perlu disikapi secara tepat dan cepat oleh perusahaan agar perusahaan tetap dapat survive dan berkembang. Salah satu cara untuk itu adalah dengan melakukan pengembangan produk dengan pendekatan modular desain serta rekayasa nilai. Melalui pendekatan ini diharapkan pengembangan produk dapat dilakukan secara optimal, dalam arti dapat menghasilkan produk-produk baru yang dapat dipersepsikan berbeda dengan produk sebelumnya serta dengan keragaman/variasi produk yang menarik sekaligus pengembangan produk dapat dilakukan secara cepat, dengan biaya yang relatif murah dan dapat meminimalkan tingkat kerumitan dalam Manajemen produksi/operasi maupun manajemen pemasaran. I.
Pendahuluan Menurut Fisher (1997) produk-produk perusahaan dikaitkan dengan
pasarnya dapat digolongkan menjadi produk fungsional dan produk inovatif. Ciriciri dari produk inovatif dibandingkan dengan produk fungsional antara lain produk inovatif memiliki siklus kehidupan produk yang lebih singkat dan memerlukan variasi yang lebih banyak. Oleh karena itu perusahaan yang tergolong penghasil produk-produk inovatif seperti produk-produk fashion, elektronik, mebeler dan produk inovatif lainnya harus lebih responsif terhadap perkembangan pasar. Untuk itu upaya melakukan pengembangan produk agar
dapat menghasilkan dan menawarkan produk yang baru, berbeda dari yang lain serta menawarkan berbagai pilihan dengan variasi yang menarik menjadi sangat penting sebagai salah cara untuk dapat menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Namun demikian pengembangan produk tidak berarti hanya semata-mata diperlukan untuk produk-produk inovatif saja, produk-produk yang tergolong fungsional pun pada kenyataannya saat ini memerlukan pengembangan produk, sebab bagaimanapun tuntutan konsumen semakin tinggi dan persaingan semakin ketat. II.
Permasalahan Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dalam hal ini adalah:
Bagaimana perusahaan dapat melakukan pengembangan produk secara efektif dan efisien, untuk dapat menawarkan produk yang bervariasi dan selalu baru dengan waktu yang cepat, sehingga dapat merespon keinginan konsumen yang dinamis, sekaligus dapat bersaing di pasar sehingga perusahaan dapat terjaga kelangsungan hidupnya dan terus berkembang. III.
Siklus Kehidupan Produk Produk itu sebenarnya lahir, hidup, kemudian mati. Produk yang mati
kemudian disingkirkan di masyarakat. Konsep mengenai siklus kehidupan produk
telah lama disepakati, bahwa produk-produk itu umumnya dalam penjualannya sejak pertama kali diluncurkan sampai dengan mundur sama sekali di pasaran meliputi tahap-tahap sebagai berikut: Tahap pengenalan (introduction) Tahap pertumbuhan (growth) Tahap Kematangan (maturity) Tahap Kejenuhan (saturation) Tahap penurunan (decline)
DECLINE
GROWTH
INTRODUCTION
MATURITY
SALES
SATURATION
Tahap-tahap tersebut dapat digambarkan seperti grafik pada gambar berkut ini:
WAKTU
Berdasarkan gambar di atas bahwa produk-produk perusahaan akan mengalami suatu siklus yang meliputi 5 tahap, yaitu: tahap introduction, growth, maturity, saturation dan decline. Pada tahap saturation, pasar mengalami kejenuhan terhadap produk yang ditawarkan oleh perusahaan, apabila dibiarkan maka akan memasuki tahap decline, berarti penjualan perusahaan akan terus menurun. Tentu saja hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup perusahaan. Oleh karena itu ketika produk telah memasuki tahap saturation, perlu ada upaya yang tepat sehingga penjualan tidak terus menurun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengembangan produk. IV.
Pengembangan Produk Pengembangan produk dapat dilakukan untuk menghasilkan produk yang
benar-benar baru atau memodifikasi/merubah beberapa bagian produk sehingga dapat dihasilkan produk baru yang terkesan berbeda dengan produk yang sebelumnya. Agar produk baru hasil pengembangan produk sukses di pasaran, maka produk baru yang dihasilkan harus memberikan value yang lebih tinggi dari pada produk sebelumnya. Agar pengembangan produk dapat dilakukan dengan baik, maka perlu dibentuk suatu tim pengembangan produk yang beraanggotakan lintas fungsi,
antara lain bagian pemasaran, bagian produksi dan bagian keuangan. Tim Pengembangan produk diberi tanggung jawab untuk menterjemahkan keinginan pasar menjadi desain produk yang sesuai dengan keinginan pasar tersebut. Pengembangan produk yang baik harus memiliki kemampuan untuk diproduksi (manufacturability),
kemampuan
untuk
dipasarkan
(marketability)
dan
kemampuan untuk melakukan pelayanan purna jual (serviceability). Adapun tahapan yang harus dilakukan dalam pengembangan produk itu meliputi:mulai dari pencarian dan pengembangan ide sampai dengan produk itu diluncurkan ke pasar dan dilakukan evaluasi. Untuk lebih jelasnya proses pengembangan produk secara umum dapat digambarkan seperti pada gambar berikut ini.
Inventarisir persyaratan yang harus dipenuhi pasar Spesifikasi Produk Desain Produk Awal Prototipe/produk percobaan Pengujian teknis dan pasar Penyempurnaan desain produk Launching
a.Modular Design Schroeder (1989) mengatakan bahwa pada intinya persoalan variasi produk harus dipertimbangkan dari dua sudut pandang, yakni pemasaran dan operasi. Pada masing-masing sisi terdapat keuntungan dan kerugian. Menawarkan produk yang yang beragam dapat memberikan potensi keuntungan yang lebih besar kepada perusahaan, karena dengan menawarkan produk yang lebih beragam berarti dapat menawarkan lebih banyak pilihan kepada konsumen, sehingga dapat memenuhi
keinginan konsumen yang berbeda-beda, maka dengan
demikian dapat memasuki segmen pasar yang lebih banyak. Menawarkan produk yang beragam juga dapat mendorong pembeli untuk membeli lebih banyak. Contoh jika produsen/distributor hanya menawarkan 1 macam produk saja, maka toko eceran misalnya hanya membeli/mengambil 20 buah saja untuk produk yang ditawarkan. Tetapi jika produsen/menawarkan lebih dari 1 macam, misalnya 3 macam ada kecenderungan toko akan membeli/mengambil produk tersebut dengan jumlah yang lebih banyak, misalnya 10 buah untuk satu macam produk, sehingga totalnya menjadi 30 buah. Jadi lebih banyak dibandingkan jika produsen/distributor hanya menawarkan satu macam produk saja. Ini berarti akan meningkatkan efisiensi biaya pemasaran serta penguasaan display pasar yang lebih besar. Kecenderungan pembelian yang lebih banyak karena adanya
variasi produk juga akan terjadi pada tingkat konsumen akhir. Namun demikian variasi produk yang terlalu banyak dapat membuat fungsi pemasaran mengalami kesulitan, antara lain kesulitan bagi pramuniaga dan biaya advertensi menjadi lebih tinggi. Dari sisi produksi/operasi dengan semakin banyak ragam produk yang dibuat cenderung dapat menimbulkan tingkat komplesksitas produksi/operasi yang lebih tinggi, sehingga perencanaan dan pengendalian produksi/operasi menjadi lebih rumit. Hal ini disebabkan karena bahan yang berbeda, peralatan yang berbeda, proses yang berebeda ataupun keahlian yang berbeda. Pada gilirannya hal ini dapat meningkatkan biaya produksi/operasi yang lebih tinggi. Jadi yang harus diupayakan adalah bagaimana dapat menawarkan produk yang beragam tetapi dengan biaya yang efisien. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk itu adalah melakukan variasi produk secara modular. Menurut Schroeder (1989) rancangan modul memungkinkan untuk memiliki variasi produk yang relatif tinggi tetapi dengan variasi komponen yang rendah. Dalam pengembangan produk secara modular ini, masing-masing produk tidak dirancang secara terpisah, akan tetapi produk akan dirancang di sekitar modul komponen standar. Jadi lini produk dianalisis secara seksama dan dibagi menjadi modul-modul dasar. Selanjutnya modul-modul komponen dasar ini dapat
dirakit sedemikian rupa dengan kombinasi atau komposisi yang berbeda. Perbedaan komposisi dan kombinasi yang berbeda tersebut akan menghasilkan variasi produk. Sebagai suatu ilustrasi perancangan produk secara modular, berikut disampaikan suatu studi yang dilakukan tim perancangan produk kasur pada suatu perusahaan. Berdasarkan ide perancangan modul, lini produk kasur akan dirancang dalam empat ukuran dasar: biasa, kembar, ratu dan raja. Konstruksi di dalam kasur dibatasi dengan beberapa perbedaan susunan per, dan ketebalan spon. Selanjutnya digunakan beberapa variasi penutup kasur untuk memenuhi preferensi konsumen terhadap warna dan motif. Hasilnya memberikan sejumlah variasi produk yang menarik, tetapi dengan jumlah variasi komponen yang relatif sedikit dan kompleksitas produksi maupun pemasaran yang rendah. Sebagai contoh, jika terdapat 4 ukuran kasur, 3 jenis konstruksi per, 3 jenis spon, dan 8 kain penutup yang berbeda, maka jumlah variasi kasur yang mungkin dihasilkan adalah 4 x 3 x 3 x 8 = 288 kombinasi. Pada akhirnya tentu saja tidak seluruh kasur diproduksi, sebab beberapa kombinasi mungkin tidak dikehendaki oleh konsumen, karena harganya menjadi mahal, atau tidak sebanding antara per nya yang mahal tetapi spon tipis, dan sebagainya. Jadi tentu saja bukan hanya sekedar
membuat variasi yang sebanyak-banyaknya, tetapi yang optimal yang dapat memberikan keuntungan yang terbaik. b. Decoupling Point Salah satu aspek yang juga diperlukan untuk dapat merespon permintaan konsumen secara cepat sekaligus dapat menawarkan adanya variasi produk sesuai dengan preferensi atau pesanan konsumen, adalah perlunya menetapkan Decoupling Point secara tepat. Menurut I Nyoman Pujawan (2005), Decoupling Point (Order Penetration Point) adalah titik temu sampai dimana suatu kegiatan bisa dilakukan atas dasar ramalan (tanpa menunggu adanya permintaan pasti dari pelanggan) dan darimana suatu kegiatan harus ditunda sampai ada permintaan yang pasti. Jadi dalam hal ini perusahaan melakukan serangkaian proses produksi sampai suatu tahap tertentu, dan untuk tahap selanjutnya dilakukan setelah ada kepastian permintaan dari pelanggan. Proses selanjutnya setelah decoupling point dapat bervariasi disesuaikan dengan preferensi/selera konsumen. Sebagai suatu ilustrasi, perusahaan perakitan komputer dapat menghsilkan beragam komputer dengan spesifikasi yang berbeda dengan waktu yang relatif cepat. Dalam hal ini perusahaan komputer menyiapkan modul-modul komponen ready stock. Selanjutnya perakitan dilakukan setelah ada permintaan pasti dari pelanggan.
Contoh yang lain perusahaan aneka produk souvenir, misalnya dapat menyiapkan aneka produk souvenir yang belum diwarnai, belum disablon, belum diberi asesoris tambahan, dan sebagainya. Baru setelah ada pesanan pasti dari pelanggan, proses selanjutnya misalnya proses pewarnaan, penambahan asesoris, dan lain-lain dilakukan. Demikian juga dalam industri kuliner, rumah makan yang menyediakan aneka masakan berbahan dasar ayam, perlu menetapkan misalnya bahan dasar ayam yang perlu disiapkan sampai tahap proses apa atau dalam bentuk apa, misalnya apakah ayam yang baru direbus, ayam yang sudah digoreng setengah matang, dan lain-lain. Proses selanjutnya menjadi berbagai macam masakan dari ayam yang lezat sesuai dengan selera konsumen dapat dilakukan dengan cepat setelah ada pesanan pasti. c. Rekayasa Nilai Rekayasa Nilai adalah suatu pendekatan untuk melakukan pengembangan produk untuk mendapatkan produk yang lebih baik, yaitu produk yang memberikan value yang lebih tinggi. Rekayasa nilai adalah suatu cara yang baik untuk mengorganisir pembaharuan yang ditujukan untuk memperbaiki nilai produk dan jasa. Jadi pada dasarnya tujuan dari rekayasa nilai ini adalah
meningkatkan nilai produk, yang berarti meningkatkan/memperbaiki manfaat produk relatif terhadap biayanya. Menurut Schroeder (1989) nilai adalah persepsi pelanggan tentang rasio kegunaan suatu produk dan jasa terhadap harganya. Kegunaan adalah manfaat dari produk yang meliputi kualitas, keandalan, kenyamanan, keamanan, rasa, keindahan, prestise dan prestasi produk lainnya atas tujuan dari penggunaan produk tersebut. Harga adalah biaya atau pengorbanan yang harus diberikan oleh konsumen yang dinyatakan dalam rupiah, dollar atau mata uang lainnya untuk mendapatkan manfaat produk tersebut. Bagi produsen biaya adalah sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Jadi nilai suatu produk dapat ditingkatkan dengan memperbesar kegunaannya bagi pelanggan dengan harga yang sama atau memperkecil harga dengan tingkat kegunaan yang sama. Pada dasarnya nilai produk inilah yang sebenarnya dicari oleh konsumen. Setiap konsumen akan berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan nilai produk yang setinggi-tingginya. Jadi perusahaan yang kompetitif adalah perusahaan yang dapat menawarkan nilai produk yang lebih baik dibandingkan dengan
kompetitor.
Dengan
demikian
upaya-upaya
untuk
memperbaiki/mengembangkan produk tersebut untuk meningkatkan nilai
produknya harus terus menerus dilakukan sebagai suatu cara agar perusahaan tetap hidup dan berkembang. 1) Prinsip Rekayasa Nilai Rekayasa nilai dilakukan atas dua prinsip dasar, yaitu: i.
Menghilangkan fungsi/bagian produk yang tidak menambah nilai produk tersebut bagi pelanggannya atau manfaat yang diberikan oleh fungsi atau bagian
produk
tersebut
lebih
kecil
dari
biaya
untuk
membuat/mengadakannya, sehingga bagi konsumen akan dipersepsikan tidak sebanding dengan harganya. ii.
Merubah ataupun menambah fungsi/bagian produk tersebut yang diharapkan dapat menambah manfaat dari produk tersebut dengan tidak menambah biaya. Kalaupun ada biaya tambahan untuk itu, namun manfaat yang diberikannya jauh lebih besar dibandingkan dengan tambahan biayanya.
2). Tahapan Rekayasa Nilai Untuk melakukan rekayasa nilai dapat dimulai dengan mengidentifikasi fungsi-fungsi dari produk, yang biasanya meliputi fungsi dasar dan fungsi
tambahan. Selanjutnya tentukan biaya-biaya yang diperlukan untuk setiap fungsi tersebut. Kemudian teliti/kaji apakah fungsi-fungsi atau bagian-bagian produk tersebut dapat dihilangkan, direvisi, digabungkan guna meningkatkan rasio nilai. Tahap berikutnya rekayasa nilai ditujukan untuk mencari kemungkinan lain yang kreatif. Bisa saja dilakukan penambahan fungsi/bagian produk tetapi manfaat yang diberikan dengan adanya tambahan tersebut harus lebih besar dari tambahan biayanya. Tentu saja akan sangat bagus jika dapat memberikan tambahan manfaat tanpa harus menambah biaya. d. Pengembangan Produk oleh UMKM Di kalangan pelaku Usaha Mikro, kecil dan Menengah (UMKM) persepsi terhadap perlunya pengembangan produk ini berbeda-beda. Ada sebagian UMKM yang menganggap pengembangan produk ini sangat penting, bahkan mereka telah menjalankan strategi melakukan pengembangan produk secara terus menerus agar mereka bisa “survive”. Contoh mengenai hal ini ditemukan pada survey industri kecil yang dilakukan di Tasikmalaya dan Bandung. Mereka mengatakan bahwa agar pembeli tidak bosan dengan produk-produknya, sekaligus untuk menghadapi persaingan khususnya para peniru, maka secara terus menerus mereka melahirkan produk-produk baru.
Menurutnya untuk
produk-produk tertentu (seperti: fashion, keramik, kerajinan anyaman, mebeler) perlindungan dengan HAKI seperti hak paten dan sertifikasi produk kenyataannya tidak efektif untuk menangkal dari peniruan oleh pesaing. Maka cara yang baik, tiada lain dengan melakukan pengembangan produk secara terus menerus sehingga selalu dapat menghasilkan produk-produk baru yang menarik. Sebagian pelaku UMKM, tidak berani melakukan pengembangan atau memperbaiki produk bila harus menambah biaya untuk itu, karena ada kekhawatiran harga produk menjadi lebih mahal, kemudian konsumen tidak mau membeli. Akibat cara berpikir seperti itu maka mereka tidak mau untuk memperbaiki kemasannya, memperbaiki desainnya atau memperbaiki mutunya. Hal ini tentunya kurang tepat, karena sebenarnya adanya tambahan biaya sebagai akibat pengembangan atau perbaikan produk, baik untuk dilakukan sepanjang tambahan biayanya tidak lebih besar dari manfaat yang dapat ditawarkan kepada konsumen dan masih sesuai dengan daya beli dari pasar sasarannya. V. Kesimpulan dan Rekomendasi 1) Perubahan selera konsumen, perbedaan preferensi dan persaingan yang semakin ketat terutama dalam industri yang tergolong produk-produk inovatif menyebabkan siklus kehidupan produk semakin singkat.
2) Salah satu upaya yang dapat dilakukan ketika produk perusahaan telah mencapai masa kejenuhan adalah dengan melakukan pengembangan produk. 3) Pengembangan produk yang dilakukan harus dapat menghasilkan produk yang dapat dipersepsikan berbeda dengan sebelumnya, memiliki keunggulan komparatif dan bervariasi sehingga dapat memberikan pilihan kepada konsumen dengan preferensinya yang berbeda-beda. 4) Pengembangan produk yang dilakukan disamping harus menghasilkan produk yang baru dan beragam, juga harus dapat dilakukan dengan cepat, efisien dari sisi biaya dan meminimalkan kompleksitas dalam manajemen produksi maupun pemasaran. 5) Pengembangan produk yang disarankan adalah dengan pendakatan modular dan rekayasa nilai. Selain itu penting bagi perusahaan untuk menentukan decoupling point secara tepat. Daftar Bacaan 1. Fisher, M.L :What is the risht supply chain for your product ?, Harvard Business Review, 1997
2. I Nyoman Pujawan: Supply Chain Management, Penerbit Guna Widya, Surabaya, 2005 3. Render, Barry & Hayzer, Jay: Prinsip-prinsip Manajemen Operasi, Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta, 2001 4. Richardus Eko indrajit & Richardus Djokopranoto: Konsep Manajemen Supply Chain, Grasindo, jakarta, 2002 5. Schroeder G Roger: Operation Management, Decision Making in The Operation Function, Third Edition, Mc. Graw Hill, Inc, 1989.