OPTIMALISASI PEMANFAATAN IKAN PEPETEK (Leiognathus sp.) DAN UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) UNTUK SUBSTITUSI PARSIAL TEPUNG TERIGU DALAM PEMBUATAN BISKUIT
Oleh : NUGROHO J. S. C34101021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN NUGROHO J. S. C34101021. Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit. Dibimbing oleh MITA WAHYUNI dan PIPIH SUPTIJAH. Jumlah tangkapan ikan pepetek di Indonesia sangat melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Ikan pepetek memiliki kandungan gizi yang baik terutama protein, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan produk untuk dikombinasikan dengan ubi jalar sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar juga memiliki jumlah produksi yang tinggi dan belum dimanfaatkan dengan baik. Salah satu produk yang dapat dibuat adalah biskuit. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh substitusi parsial tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam pembuatan biskuit, untuk mengetahui karakteristik organoleptik dan fisiko-kimia biskuit. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan pepetek dan ubi jalar putih menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yaitu sebagai substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit. Penelitian dilakukan dalam dua tahap antara lain: penelitian tahap I, yaitu mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih serta analisis fisiko-kimianya. Sedangkan penelitian tahap II, yaitu formulasi dan pembuatan biskuit serta uji organoleptik dan uji fisiko-kimia biskuit. Formulasi biskuit yang digunakan, yaitu empat perlakuan kombinasi tepung ikan pepetek dengan tepung ubi jalar putih dan satu kontrol (B0). Persentase tepung ikan pepetek yang digunakan adalah 5 % (B1), 10 % (B2), 15 % (B3) dan 20 % (B4). Sedangkan persentase tepung ubi jalar putih adalah kebalikan dari persentase tepung ikan pepetek, yaitu 20 % (B1), 15 % (B2), 10 % (B3) dan 5 % (B4). Persentase tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih tiap perlakuan adalah 25 % terhadap tepung terigu 75 %. Pada kontrol (B0) digunakan tepung terigu sejumlah 100 %. Hasil uji organoleptik didapatkan bahwa formulasi biskuit B1 adalah yang terbaik dari formulasi lain pada semua parameter tetapi masih lebih kecil nilainya dari B0 pada penampakan, warna dan rasa. Hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa rasa biskuit B0 dan B1 tidak berbeda nyata. Jadi, rasa biskuit B0 dan B1 dapat dianggap sama. Hasil analisis kimia formulasi biskuit B1 memiliki kadar air 1,07 %, kadar abu 2,72 %, kadar protein 8,38 %, kadar lemak 15,73 % dan kadar karbohidrat 72,10 %. Kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat sudah sesuai dengan SNI 01-2973-1992 tetapi untuk kadar protein dan kadar abu tidak sesuai dengan SNI 01-2973-1992. Kadar kalsium biskuit B1 adalah 300 mg/100g dengan bioavailabilitas kalsium sebesar 5,64 %. Daya cerna protein in vitro biskuit B1 sebesar 73,02 %. Nilai kekerasannya sebesar 1550 gf dengan pH 8,13. Formulasi biskuit B1 pada takaran saji 100 g dapat memenuhi kebutuhan gizi protein, karbohidrat, lemak dan kalsium berturut-turut 12,89 %, 24,05 %, 52,43 % dan 2,10 % atau energinya 619,60 kkal/100g. Formulasi biskuit B1 sudah dapat memenuhi standar minimal kalori biskuit menurut SNI 01-2973-1992 sebesar 400 kkal/100g.
OPTIMALISASI PEMANFAATAN IKAN PEPETEK (Leiognathus sp.) DAN UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) UNTUK SUBSTITUSI PARSIAL TEPUNG TERIGU DALAM PEMBUATAN BISKUIT
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Nugroho J. S. C34101021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: OPTIMALISASI PEMANFAATAN IKAN PEPETEK (Leiognathus sp.) DAN UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) UNTUK SUBSTITUSI PARSIAL TEPUNG TERIGU DALAM PEMBUATAN BISKUIT.
Nama Mahasiswa : Nugroho J. S. NRP
: C34101021
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. NIP. 131 789 337
Dra. Pipih Suptijah, M.BA. NIP. 131 478 638
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 19 Mei 2006
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan
penulisan
skripsi yang
berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit”. Pembuatan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, M.BA. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran yang sangat berarti, saat penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si. sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan masukan dan arahan yang sangat berarti. 3. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, M.S. yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi moderator dalam seminar hasil penelitian. 4. Bapak dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, perhatian, pikiran, nasehat, tenaga dan dukungannya yang sangat berarti bagi penulis. 5. Dosen-dosen beserta seluruh staf di Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Emma, Kang Mail, Om Zacky, Om Ipul, Bapak Sobirin (TPG), Mbak Ririn (TPG) dan Bapak Mashudi (GMSK) atas saran dan bantuannya dalam penelitian. 7. Mbak Sri Nuzulaeni, Mbak Titik Nindiyati, Mbak Ninik Nuraeni, Mas Supono, Mas Agus dan Mas Giyanto yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, perhatian, nasehat dan dukungannya serta Novi, Yoga, Ilham, Meani, Hamam dan Raff yang sangat kusayangi. 8. Mas Boniman, Mbak Narni, Vivi, Denia dan Reza serta Keluarga Besar di Jakarta maupun di Sragen atas bantuan, perhatian, nasehat dan dukungannya.
9. Al Afkar crew: Edi, Hendra, Mas Jam, Harry, Asra, Lendi, Mas Irfan, Kamto, Citra, Rio, Asep, Suhe, Budi dan Bandi atas bantuan, saran dan pengertiannya. 10. Sahabat-sahabat THP 38 yang sangat berkesan atas kebersamaan, bantuan, nasehat, saran, pengertian dan dorongan semangatnya serta teman-teman THP 36, 37, 39, 40 dan 41 yang telah banyak membantu. 11. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis guna perbaikan lebih lanjut.
Bogor, Mei 2006
Nugroho J. S.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2006
Nugroho J. S. C34101021
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Nugroho Juni Susanto. Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada hari Rabu tanggal 1 Juni 1983, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Sukardi dan Ibu Partinah. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiah Pantirejo, Sukodono. Kemudian memulai pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Pantirejo, Sukodono dan lulus pada tahun 1995. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Sukodono dan mendapatkan kelulusan pada tahun 1998. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Sragen, hingga akhirnya dapat menyelesaikannya pada tahun 2001. Setelah lulus dari sekolah menengah umum pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB
(USMI),
pada
Departemen
Teknologi
Hasil
Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam
organisasi
Himpunan
Mahasiswa
Teknologi
Hasil
Perikanan
(HIMASILKAN) periode 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis juga aktif sebagai pengurus komunitas fotografi Fish Eye IPB. Selain itu, selama studi penulis juga aktif di berbagai kegiatan kampus. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas penulis
Perikanan melakukan
Pemanfaatan
Ikan
dan dan
Ilmu menyusun
Pepetek
(Ipomoea batatas L.) untuk
Kelautan, skripsi
(Leiognathus Substitusi
Institut dengan sp.)
dan
Pertanian judul Ubi
Bogor,
”Optimalisasi Jalar
Putih
Parsial Tepung Terigu
dalam
Pembuatan Biskuit”, dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, M.BA.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xii
1. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Tujuan ..........................................................................................
3
1.3. Waktu dan Tempat .......................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
4
2.1. Ikan Pepetek..................................................................................
4
2.1.1. Klasifikasi dan ciri morfologi ikan pepetek ...................... 2.1.2. Komposisi kimia ikan pepetek ............................................ 2.1.3. Produksi dan penyebaran ikan pepetek ............................... 2.1.4. Tepung ikan.........................................................................
4 6 7 8
2.2. Ubi Jalar .......................................................................................
9
2.2.1. Botani ubi jalar.................................................................... 2.2.2. Komposisi kimia ubi jalar ................................................... 2.2.3. Produksi ubi jalar di Indonesia............................................ 2.2.4. Tepung ubi jalar ..................................................................
9 10 12 13
2.3. Biskuit ...........................................................................................
14
2.3.1. Definisi dan mutu biskuit ................................................... 2.3.2. Proses pembuatan biskuit.................................................... 2.3.3. Bahan-bahan dalam pembuatan biskuit .............................. 2.3.3.1. Tepung terigu ......................................................... 2.3.3.2. Gula ....................................................................... 2.3.3.3. Lemak..................................................................... 2.3.3.4. Susu ........................................................................ 2.3.3.5. Telur ....................................................................... 2.3.3.6. Garam..................................................................... 2.3.3.7. Bahan pengembang ................................................ 2.3.3.8. Air ..........................................................................
14 17 19 19 20 21 21 22 22 23 23
3. METODOLOGI ...................................................................................
24
3.1. Alat dan Bahan..............................................................................
24
3.1.1. Alat...................................................................................... 3.1.2. Bahan ..................................................................................
24 24
3.2. Metode Penelitian .......................................................................
25
vii
3.2.1. Penelitian tahap I................................................................. 3.2.1.1. Analisis kandungan kimia ikan pepetek ................ 3.2.1.2. Karakteristik tepung ikan pepetek.......................... 3.2.1.3. Karakteristik tepung ubi jalar putih........................ 3.2.2. Penelitian tahap II ............................................................... 3.2.2.1. Formulasi dan pembuatan biskuit.......................... 3.2.2.2. Uji organoleptik.....................................................
25 25 25 27 27 28 29
3.3. Analisis Fisiko-Kimia ...................................................................
32
3.3.1. Analisis fisik ....................................................................... 3.3.1.1. Derajat putih .......................................................... 3.3.1.2. Rendemen .............................................................. 3.3.1.3. Kekerasan .............................................................. 3.3.2. Analisis kimia ..................................................................... 3.3.2.1. Kadar air (AOAC, 1995) ....................................... 3.3.2.2. Kadar abu (AOAC, 1995)...................................... 3.3.2.3. Kadar protein (AOAC, 1995) ................................ 3.3.2.4. Kadar lemak (AOAC, 1995).................................. 3.3.2.5. Kadar karbohidrat (by difference).......................... 3.3.2.6. Kadar kalsium metode AAS .................................. 3.3.2.7. Analisis bioavailabilitas kalsium ........................... 3.3.2.8. Daya cerna protein in vitro ....................................
33 33 33 34 34 35 35 35 36 37 37 37 39
3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data .....................................
39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
41
4.1. Penelitian Tahap I .........................................................................
41
4.1.1. Analisis kandungan kimia ikan pepetek.............................. 4.1.2. Karakteristik tepung............................................................ 4.1.2.1. Karakteristik fisik tepung ...................................... 4.1.2.2. Karakteristik kimia tepung ....................................
41 42 42 44
4.2. Penelitian Tahap II .......................................................................
45
4.2.1. Formulasi dan pembuatan biskuit ....................................... 4.2.2. Uji organoleptik biskuit ..................................................... 4.2.2.1. Penampakan........................................................... 4.2.2.2. Warna..................................................................... 4.2.2.3. Tekstur ................................................................... 4.2.2.4. Aroma .................................................................... 4.2.2.5. Rasa ....................................................................... 4.2.3. Analisis kekerasan biskuit ................................................. 4.2.4. Analisis kimia biskuit ......................................................... 4.2.4.1. Kadar air ................................................................ 4.2.4.2. Kadar abu............................................................... 4.2.4.3. Kadar protein ......................................................... 4.2.4.4. Kadar lemak........................................................... 4.2.4.5. Kadar karbohidrat (by difference).......................... 4.2.4.6. Derajat keasaman (pH) ..........................................
46 48 49 51 53 55 56 57 58 59 60 61 62 64 66
viii
4.2.4.7. Kadar kalsium........................................................ 4.2.4.8. Bioavailabilitas kalsium ........................................ 4.2.4.9. Daya cerna protein in vitro .................................... 4.2.5. Angka kecukupan gizi.........................................................
67 68 69 71
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
73
5.1. Kesimpulan ..................................................................................
73
5.2. Saran .............................................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
75
LAMPIRAN ..............................................................................................
79
ix
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Kandungan kimia ikan pepetek ............................................................
6
2. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan wilayah perairan .......
7
3. Produksi perikanan laut Indonesia jenis ikan pepetek berdasar tahun .
8
4. Kandungan nilai gizi ubi jalar segar dalam 100 g ................................
11
5. Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 1991-2003.........
12
6. Komposisi kimia tepung ubi jalar dua varietas.....................................
13
7. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992..................................
16
8. Komposisi kimia telur segar .................................................................
22
9. Formulasi biskuit dari tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu ........................................................................................
28
10. Formula dasar yang digunakan dalam pembuatan biskuit ....................
29
11. Kandungan kimia ikan pepetek.............................................................
41
12. Hasil analisis parameter fisik tepung ....................................................
43
13. Hasil analisis parameter kimia tepung ..................................................
44
14. Formulasi biskuit...................................................................................
46
15. Hasil analisis fisiko-kimia biskuit dan kandungan kimia biskuit menurut SNI 01-2973-1992.................................................................................
47
16. Nilai rata-rata organoleptik biskuit .......................................................
49
17. Informasi Angka Kecukupan Gizi (AKG) biskuit ................................
72
x
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Ikan pepetek .........................................................................................
5
2. Morfologi ikan pepetek ........................................................................
6
3. Ubi jalar putih .......................................................................................
10
4. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan pepetek ...........................
30
5. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar putih .........................
31
6. Diagram alir proses pembuatan biskuit ................................................
32
7. Formulasi biskuit yang dihasilkan ........................................................
47
8. Histogram nilai rata-rata organoleptik penampakan biskuit.................
50
9. Histogram nilai rata-rata organoleptik warna biskuit............................
51
10. Histogram nilai rata-rata organoleptik tekstur biskuit ..........................
53
11. Histogram nilai rata-rata organoleptik aroma biskuit ...........................
55
12. Histogram nilai rata-rata organoleptik rasa biskuit...............................
56
13. Histogram nilai rata-rata kekerasan biskuit...........................................
58
14. Histogram nilai rata-rata kadar air biskuit ............................................
59
15. Histogram nilai rata-rata kadar abu biskuit...........................................
61
16. Histogram nilai rata-rata kadar protein biskuit .....................................
62
17. Histogram nilai rata-rata kadar lemak biskuit.......................................
63
18. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat biskuit by difference ........
64
19. Histogram nilai rata-rata pH biskuit......................................................
66
20. Histogram nilai rata-rata kadar kalsium biskuit ....................................
67
21. Histogram nilai rata-rata bioavailabilitas kalsium biskuit ....................
69
22. Histogram nilai rata-rata daya cerna protein in vitro biskuit ................
70
xi
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Lampiran isian uji organoleptik biskuit ...............................................
80
2. Data uji organoleptik terhadap penampakan biskuit ............................
81
3. Uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit ...............................
82
4. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan biskuit ............
83
5. Data uji organoleptik terhadap warna biskuit .......................................
84
6. Uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit ...........................................
85
7. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap warna biskuit ......................
86
8. Data uji organoleptik terhadap tekstur biskuit ......................................
87
9. Uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit..........................................
88
10. Data uji organoleptik terhadap aroma biskuit .......................................
89
11. Uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit ...........................................
90
12. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap aroma biskuit.......................
91
13. Data uji organoleptik terhadap rasa biskuit...........................................
92
14. Uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit...............................................
93
15. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap rasa biskuit ..........................
94
16. Analisis ragam kekerasan biskuit .........................................................
95
17. Analisis ragam kadar air biskuit............................................................
95
18. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) kadar air biskuit......................................
95
19. Analisis ragam kadar abu biskuit ..........................................................
96
20. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) kadar abu biskuit ....................................
96
21. Analisis ragam kadar protein biskuit ....................................................
97
22. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) kadar protein biskuit...............................
97
23. Analisis ragam kadar lemak biskuit ......................................................
98
24. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) kadar lemak biskuit ................................
98
25. Analisis ragam kadar karbohidrat biskuit .............................................
99
26. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) kadar karbohidrat biskuit ........................
99
27. Analisis ragam derajat keasaman (pH) biskuit ......................................
100
28. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) derajat keasaman (pH) biskuit.................
100
xii
29. Analisis ragam kadar kalsium biskuit.....................................................
101
30. Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) kadar kalsium biskuit...............................
101
31. Data mentah perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada diet manusia 2000 kkal...................................................................................
102
32. Data mentah nilai analisis kekerasan......................................................
103
33. Data analisis ekonomi kasar formulasi biskuit B1.................................
104
34. Peralatan dalam penelitian......................................................................
105
35. Tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu..............
106
36. Ikan pepetek setelah dikeringkan............................................................
107
37. Ikan pepetek sebagai ikan asin di Muara Angke....................................
107
xiii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar yang perlu dimanfaatkan secara optimal. Potensi besar yang belum dimanfaatkan tersebut salah satunya adalah ikan hasil tangkapan samping (HTS) atau by catch. Ikan HTS adalah ikan yang ikut tertangkap dalam suatu operasi penangkapan ikan tertentu yang sebenarnya tidak ditujukan untuk menangkap ikan tersebut. Ikan hasil tangkapan samping banyak jenisnya dan biasanya memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil. Ikan hasil tangkapan samping berpotensi dimanfaatkan untuk memberikan nilai tambah ekonomi serta meningkatkan kebutuhan protein hewani dalam diet manusia maupun sebagai pemasok bahan baku industri-industri pengolahan hasil perikanan. Salah satu ikan HTS yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah ikan pepetek (Leiognathus sp.). Ikan pepetek merupakan ikan yang habitatnya di dasar perairan dalam jumlah yang besar dan biasanya membentuk gerombolan. Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (trawl), trammel net ataupun bagan bisa memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang besar. Ikan ini memiliki ukuran yang kecil dan memiliki banyak duri sehingga di beberapa negara Asia Tenggara, ikan ini lebih banyak digunakan untuk tepung ikan, pupuk, ikan asin dan makanan bebek (ternak). Di Indonesia sendiri, ikan pepetek lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan ikan asin. Oleh karena itu, ikan pepetek merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis rendah. Ikan pepetek di Indonesia memiliki jumlah populasi yang sangat besar yang tersebar di berbagai perairan seperti Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2001), kapasitas total tangkapan ikan pepetek di Indonesia tahun 1999 mencapai 91.219 ton dengan daerah tangkapan terbesar terdapat di perairan Jawa. Oleh karena potensi ikan pepetek yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal tersebut, sehingga perlu dilakukan suatu upaya pengembangan dan penganekaragaman produk ikan olahan. Di samping itu, dapat juga dilihat sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi
2
ikan pepetek. Dalam rangka upaya tersebut, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mempelajari dan mencoba (kemungkinan) pengolahan ikan pepetek menjadi bahan pangan, seperti makanan ringan atau camilan. Makanan ringan (camilan) yang dapat dibuat banyak jenisnya, salah satunya adalah biskuit. Biskuit merupakan makanan ringan yang telah dikenal dan disukai secara luas oleh masyarakat Indonesia dari anak-anak sampai dewasa. Biskuit juga memiliki harga yang relatif murah sehingga dapat terjangkau pada semua lapisan masyarakat. Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Biskuit
seringkali
dikonsumsi
sebagai
makanan
selingan
disamping
makanan pokok. Sebagai makanan selingan, diharapkan dapat menyumbangkan energi, sebagai pengganti energi yang telah dikeluarkan setelah melakukan aktivitas. Dalam hal ini, tentunya jumlah yang dikonsumsi tidak dalam porsi yang besar, karena sifatnya hanya sebagai penyumbang energi dan zat gizi, bukan sebagai pengganti menu utama. Biskuit juga memiliki kandungan protein, lemak dan beberapa mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga sangat baik untuk dikonsumsi bagi manusia. Selama ini, kebanyakan biskuit dibuat dari bahan dasar tepung terigu yang berasal dari gandum yang kebutuhannya mayoritas masih diimpor. Padahal banyak sumber karbohidrat lokal yang belum dimanfaatkan secara baik, yang dapat dikombinasikan dengan tepung ikan sebagai sumber protein. Salah satu sumber karbohidrat lokal yang kurang dimanfaatkan secara baik adalah ubi jalar. Selama ini, ubi jalar dikenal masyarakat sebagai bahan pangan kelas dua karena kebanyakan hanya digoreng atau direbus. Ubi jalar merupakan tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Komoditas ubi jalar sangat layak dipertimbangkan untuk menunjang program pengembangan pangan berdasarkan karakteristiknya, seperti kandungan nutrisi yang baik, umur yang relatif pendek dan produksi yang tinggi. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2003 hampir mencapai dua juta ton
3
(Anonimous, 2003). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar kedua di dunia setelah China. Penggunaan tepung ubi jalar sudah lama sebagai pengganti terigu dalam pembuatan roti. Beberapa penelitian lain juga telah membuktikan bahwa ubi jalar bisa dijadikan sebagai substitusi (pengganti) tepung terigu dalam produk makanan walaupun dengan kualitas yang relatif lebih rendah terutama dari segi reologis adonan maupun produknya (Kay, 1973), misalnya: substitusi tepung ubi jalar sebesar 30 % pada produk roti (Woolfe, 1999), substitusi tepung ubi jalar sebesar 40 % pada produk bihun (Widowati et al., 1994) dan lain-lain. Untuk itu, kombinasi antara ikan pepetek dan ubi jalar dapat digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai substitusi tepung terigu. Dengan kombinasi ini, diharapkan didapatkan biskuit yang bernilai gizi yang memiliki sifat yang berbeda dengan biskuit-biskuit komersial yang ada di pasaran. 1.2.Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan untuk mempelajari pengaruh substitusi parsial tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih terhadap tepung terigu dalam pembuatan biskuit, untuk mengetahui karakteristik organoleptik dan fisikokimia biskuit. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yaitu sebagai substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit.
1.3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Organoleptik dan Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Sedangkan analisis fisiko-kimia dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2005 - Februari 2006.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) Ikan pepetek merupakan salah satu ikan laut yang memiliki habitat di dasar perairan (demersal). Ikan ini merupakan ikan hasil tangkapan samping (HTS) atau by cacth yang memiliki ukuran kecil. Di bawah ini akan disajikan klasifikasi dan morfologi ikan pepetek, komposisi kimia ikan pepetek, produksi ikan pepetek dan tepung ikan pepetek. 2.1.1. Klasifikasi dan ciri morfologi ikan pepetek (Leiognathus sp.) Klasifikasi ikan pepetek menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
SubFilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
SubKelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
SubOrdo
: Percoidea
Divisi
: Perciformes
Famili
: Leiognathidae
1. Genus : Leiognathus Spesies: Leiognathus equulus Leiognathus splendens Leiognathus elongatus Leiognathus insidiator 2. Genus : Gazza Spesies: Gazza minuta 3. Genus : Secutor Spesies: Secutor insidiator
5
Gambar 1. Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) Ikan pepetek termasuk ke dalam suku atau famili Leiognathidae dengan ciri bentuk badan pipih, kecil dan panjangnya jarang melebihi 15 cm. Di kawasan Indo-Pasifik dapat dijumpai sekitar 30 spesies pepetek dan 20 diantaranya berada di perairan Indonesia. Ikan pepetek umumnya digolongkan ke dalam tiga marga (genus), yaitu Leiognathus, Gazza dan Secutor. Ketiga genus ini dapat dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza memiliki gigi taring sedangkan yang lain hanya gigi kecil dan mulut yang dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) atau mengarah ke bawah (Leiognathus) (Nontji, 1987 diacu dalam Allo, 1998). Bentuk mulut dan gigi yang demikian disesuaikan dengan kebiasaan mencari makan. Leiognathus dengan mulut dan gigi yang dapat dijulurkan menghadap ke bawah cocok untuk kebiasaannya mencari makan di dasar perairan berupa detritus atau berbagai hewan dan tumbuhan kecil. Sedangkan Gazza sesuai dengan gigi taringnya untuk makanan berupa zooplankton atau anak-anak ikan (Nontji, 1987 diacu dalam Allo, 1998). Ikan pepetek merupakan ikan yang memiliki sirip lengkap, yaitu memiliki lima jenis sirip, antara lain: sirip punggung (dorsal), sirip dada (pectoral), sirip perut (ventral), sirip anal dan sirip ekor (caudal). Sirip dorsal berbentuk tunggal terdiri dari 7-9 sirip keras dan 14-17 sirip lunak. Pada sirip anal terdapat tiga sirip keras dan 13-14 sirip lunak. Sedangkan pada sirip caudal berbentuk cagak. Sisik ikan pepetek sangat kecil yang berbentuk cycloid. Mulutnya dapat dijulurkan ke depan mengarah ke atas atau ke bawah. Gambar morfologi ikan pepetek disajikan pada gambar 2.
6
Sirip dorsal tunggal VII-IX, 14 - 17
Mulut dapat dijulurkan ke depan
Sirip ekor berbentuk cagak
Sisik cycloid kecil
Sirip anal, III, 13 - 14
Gambar 2. Morfologi ikan pepetek (Leiognathus sp.)
Selain itu ikan pepetek memiliki ciri utama, yaitu dapat memancarkan cahaya berwarna putih keperakan yang sering disebut bioluminescence. Bioluminescence dihasilkan dari bakteri yang bersimbiosis dengan ikan pepetek. Cahaya yang dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difuse yang cenderung mengubah bayangan dirinya menjadi tidak utuh. Akibatnya ikan pemangsa tidak dapat melihat ikan ini sehingga terhindar dari bahaya (Pauly, 1977 diacu dalam Allo, 1998). 2.1.2 Komposisi kimia ikan pepetek Ikan pepetek memiliki kandungan kimia yang cukup baik. Kandungan protein ikan pepetek merupakan bagian yang terbesar setelah air. Menurut Anonimous (2005), kandungan protein ikan pepetek mencapai 17,22 %. Kandungan kimia ikan pepetek secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan kimia ikan pepetek (Leiognathus splendens) Parameter Kadar air Kadar protein kasar Kadar lemak Kadar abu Kadar kalsium Kadar fosfor Sumber: Anonimous (2005)
Kandungan (% bb) 74,54 17,12 3,30 5,65 1,58 0,89
7
2.1.3. Produksi dan penyebaran ikan pepetek Ikan pepetek biasanya hidup di dasar perairan dangkal dan membentuk gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (trawl), trammel net atau bagan dapat memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang besar. Ikan pepetek hidup di dasar perairan dangkal berada pada kedalaman antara 5-60 m. Nilai tangkap tertinggi diperoleh pada kedalaman 10-20 m dengan ratarata maksimum pada kedalaman 15 m di Pantai Utara Jawa (Beck dan Sudrajat, 1978 diacu dalam Allo, 1998). Tabel 2. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan wilayah perairan tahun 1999. Jenis Ikan (ton)
Sebelah (Indian halibut) Lidah (Flatfishes) Nomei (Bombay duck) Pepetek (Pony fishes) Manyung (Sea catfishes) Beloso (Lizard fishes) Biji Nangka (Goat fishes)
Wilayah Perairan BaliKaliNusa Sulawesi mantan Tenggara
MalukuPapua
Total
203
336
12.071
70
82
345
5.074
229
7
833
796
12.415
41.271
5.620
8.896
11.266
1.271
91.219
23.974
16.187
445
19.297
2.231
7.512
69.646
882
4.666
341
37
1.705
5.293
12.944
12.694
2.622
1.517
1.768
5.039
2.339
26.252
Sumatera
Jawa
8.806
1.598
20
1.109
3.991
1.308
5
9.340
1.210
22.895
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2001)
Penyebaran ikan pepetek kebanyakan terdapat di Pantai Utara Jawa. Ikan ini juga tersebar di bagian timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, Sulawesi Selatan, Selat Tiworo, Arafuru, Teluk Benggala, pantai India, Laut Cina Selatan, Philipina sampai ke pantai Utara Australia. Sebaran ikan pepetek pada berbagai
kedalaman
di
Laut
Jawa
menunjukkan
genus
ini
memiliki
nilai tangkapan tertinggi diantara jenis-jenis ikan demersal lainnya (DKP, 2001).
8
Tabel 3. Produksi perikanan laut Indonesia jenis ikan pepetek pada tahun 1990-1999. Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
Jumlah (ton) 41.768 43.353 45.537 52.800 57.462 66.220 71.402 89.403 79.532 91.219
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2001)
Jumlah produksi ikan pepetek tiap tahunnya hampir selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 jumlah tangkapannya hanya sebesar 41.768 ton, sedangkan pada tahun 1999 jumlahnya mencapai 91.219 ton (DKP, 2001). 2.1.4. Tepung Ikan Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging ikan atau bagian ikan yang biasanya dibuang (kepala, isi perut atau jeroan dan lain-lain) (Ilyas, 1977). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering. Tepung ikan yang dikonsumsi manusia sebaiknya diolah dengan cara yang tepat. Bahan baku yang baik dan pengolahan yang tepat, diharapkan tepung ikan yang dihasilkan dapat memenuhi selera konsumen sehingga dapat digunakan sebagai salah satu sumber pangan. Pengolahan tepung ikan harus memperhatikan kondisi kebersihan, standar mutu tepung ikan dan cara pengepakan yang baik sehingga terhindar dari kontaminasi yang mengakibatkan oksidasi maupun dari serangan serangga (Ilyas, 1977). Apabila penambahan tepung ikan pada produk makanan lebih dari 40 %, maka adonan yang terbentuk menjadi mudah pecah karena tidak adanya gluten pada tepung pensubstitusi (Sulaeman, 1993). Sedangkan gluten merupakan komponen yang berperan sebagai urat penyusun tenunan biskuit. Tidak adanya gluten pada tepung pensubstitusi menyebabkan substitusi yang dilakukan dapat
9
menurunkan kadar dan mutu gluten dari tepung yang disubstitusi, karena gluten merupakan suatu massa yang sebagian besar terdiri dari protein, lengket seperti karet dan dapat diperoleh dari tepung gandum, dengan cara membuat adonan dan mencucinya dengan air mengalir (Winarno, 1993). 2.2. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar merupakan tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Di bawah ini akan disajikan mengenai botani ubi jalar, komposisi kimia ubi jalar, produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar. 2.2.1. Botani ubi jalar Klasifikasi ubi jalar menurut Rukmana (1997) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Convolvulales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea batatas L. Ubi jalar termasuk famili Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan)
dan mempunyai nama botani Ipomoea batatas (L.) Lam (Rukmana, 1997). Ubi jalar memiliki jenis yang cukup beragam, terdiri dari jenis lokal, varietas unggul dan klon harapan (calon varietas unggul). Familinya mencakup 1000 spesies, namun baru sekitar 142 spesies yang telah diidentifikasi para ahli. Klasifikasi ubi jalar dapat dilakukan berdasarkan bentuk atau morfologi tanaman, penampilan dan warna kulit, ketebalan kulit, kandungan getah, reaksi oksidasi dagingnya, sebaran warna sekunder daging, kadar air dan teksturnya. Umumnya ubi jalar dibagi dalam dua golongan, yaitu ubi jalar berumbi lunak karena banyak mengandung air dan ubi jalar berumbi keras karena banyak mengandung pati. Umbi ubi jalar dibentuk dari penebalan lapisan luar akar yang dekat dengan batang dan berada di dalam tanah untuk menyimpan
10
cadangan makanan bagi tanaman dengan bentuk antara lonjong sampai bulat. Ubi jalar memiliki warna kulit putih kecoklatan, kuning, jingga dan ungu tua. Sedangkan warna dagingnya putih, krem, kuning, merah muda dan jingga, tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang terkandung (Lingga et al., 1986).
Gambar 3. Ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar termasuk salah satu tanaman yang tinggi daya penyesuaiannya terhadap kondisi lingkungan yang buruk seperti angin kencang, kemarau panjang serta terbukti peranannya dalam musim paceklik. Ubi jalar merupakan salah satu tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Komoditas ubi jalar sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program pengembangan pangan berdasarkan kandungan nutrisi, umur yang relatif pendek dan produksi yang tinggi, sehingga apabila ditangani dengan sungguh-sungguh, ubi jalar dapat menjadi sumber devisa yang potensial (Widodo, 1989). 2.2.2. Komposisi kimia ubi jalar Ubi jalar merupakan sumber energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi dan musim tanam. Pada musim kemarau, varietas yang sama akan menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi daripada musim hujan (Soenarjo, 1984). Ubi jalar memiliki kandungan air yang cukup tinggi, sehingga bahan kering yang terkandung relatif rendah. Kandungan rata-rata bahan kering ubi jalar sangat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu kultivar, lokasi, iklim, tipe tanah, serangan hama dan penyakit, dan cara menanamnya (Bradbury dan Holloway, 1988). Selain itu, komposisi kimia ubi jalar juga dipengaruhi oleh usia, keadaan tumbuh dan tingkat kematangan.
11
Kandungan kimia ubi jalar cukup baik untuk bahan pangan. Ubi jalar merupakan bahan pangan dengan gizi cukup tinggi karena merupakan sumber energi dalam bentuk gula dan karbohidrat. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C (Huang, 1982). Tabel 4. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Komposisi Kalori (kal) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat Besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Niacin (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) Air (%) Bagian yang dapat dimakan (%)
Jumlah 123,00 1,80 0,70 27,90 30,00 49,00 0,70 60-7700 0,90 22,0 68,50 86,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen kesehatan RI (1992)
Kandungan protein ubi jalar umumnya berada dalam bentuk globulin. Kandungan protein ini sangat rendah pada ubi jalar. Apabila ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok, kemungkinan terjadinya defisiensi protein sangat besar. Untuk itu, konsumsi ubi jalar perlu dikombinasikan dengan makanan lain yang kaya protein, misalnya ikan, seperti yang dilakukan oleh suku Lan Yu di Taiwan (Huang, 1982). Karbohidrat pada ubi jalar segar pada umumnya sebesar 18-35 % dan pada berat keringnya mencapai 80-90 % (Rotar dan Bird, 1981). Sedangkan menurut Onwueme (1978), ubi jalar mengandung pati sebesar 8-29 %, gula pereduksi sebesar 0,5-2,5 % dan karbohidrat non-pati 0,5-7,5 %. Pati sendiri terdiri dari amilopektin sebesar 60-70 % dan amilosa sebesar 30-40 %.
12
Karbohidrat pada ubi jalar terdiri dari gula sebesar 13,2 %, pati 4,1 %, pektin 0,9 %, hemiselulosa 0,7 % dan selulosa 1,5 %. Pektin, selulosa dan hemiselulosa merupakan golongan dietary fiber yang dapat berfungsi untuk mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung dan penyakit saluran pencernaan. Sedangkan komposisi gula pada ubi jalar terdiri dari maltosa sebesar 5,5 %, sukrosa 4,4 %, fruktosa 0,9 %, glukosa 0,8 % dan rafinosa sebesar 0,5 % (Sistrunk, 1977). Pada ubi jalar terdapat komponen antinutrisi yang merugikan karena dapat mengurangi daya cerna protein. Komponen antinutrisi yang terdapat pada ubi jalar adalah antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa (oligosakarida). Pada ubi jalar terdapat antitripsin sebanyak 2,2-25,4 TIU/g dan antikimotripsin sebanyak 0,99 TIU/g serta sebanyak 0,5 % rafinosa terdapat pada ubi jalar yang telah dimasak (Bradbury dan Holloway, 1988). 2.2.3. Produksi ubi jalar Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia menunjukkan angka yang kurang menggembirakan karena kurangnya dukungan dari industri pengolahan ubi jalar menjadi produk yang lebih disukai oleh masyarakat. Tabel 5. Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 1991-2003 Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Luas panen (Ha) 214.316 229.786 224.098 197.170 228.673 211.681 195.436 199.041 171.563 197.262 181.026 177.276 197.455
Hasil (Ton/Ha) 95 94 93 94 95 95 95 97 97 94 97 100 101
Produksi (ton) 2.036.212 2.171.036 2.088.205 1.845.178 2.171.027 2.017.516 1.847.492 1.923.055 1.660.311 1.827.687 1.749.070 1.771.642 1.991.478
Sumber: Anonimous (2003)
Dari total tanaman ubi jalar di dunia, sebanyak 80 % diproduksi di Asia, kurang dari 15 % di produksi di Afrika dan hanya sekitar 5 % diproduksi di
13
benua lain. Negara-negara berkembang merupakan produsen utama dari tanaman ini. China merupakan negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia dengan hasil produksi sekitar 90 juta ton per tahun. Sementara Indonesia merupakan produsen terbesar kedua dengan jumlah produksi hampir dua juta ton per tahun. 2.2.4. Tepung ubi jalar Salah satu bentuk hasil olahan dari ubi jalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan adalah tepung ubi jalar. Tepung ubi jalar dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode pengeringan, diantaranya dengan menggunakan bantuan sinar matahari, menggunakan alat pengering seperti mesin pengering sawut ubi jalar, oven dan drum dryer (Koswara et al., 2003). Tabel 6. Komposisi kimia tepung ubi jalar dua varietas Parameter Air Abu Protein Lemak Karbohidrat (by difference)
Ubi jalar SQ-27 (% bb) 6,31 1,70 3,63 1,01 82,36
Ubi jalar ceret (% bb) 8,91 2,33 3,76 1,26 77,84
Sumber : Koswara et al. (2003)
Metode pengeringan yang digunakan mempengaruhi mutu tepung yang dihasilkan. Umumnya pengeringan dengan alat pengering berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan dapat lebih mempertahankan warna bahan yang dikeringkan (Marliyati et al., 1992). Pengeringan adalah suatu metode untuk mengurangi jumlah kandungan air di dalam suatu bahan pangan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Penurunan kadar air biasanya dilakukan sampai batas tertentu sehingga enzim dan mikroba penyebab kerusakan bahan pangan menjadi tidak aktif atau mati. Pengeringan juga bertujuan agar volume bahan pangan menjadi lebih kecil, sehingga mempermudah pengangkutan, menghemat biaya
dan
ruang
pengangkutan,
pengepakan
maupun
penyimpanan
(Marliyati et al., 1992). Proses pembuatan tepung ubi jalar cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri kecil. Pembuatan tepung ubi jalar
14
meliputi: pembersihan, pengupasan, penghancuran (pengirisan) dan pengeringan sampai kadar air tertentu (Koswara et al., 2003). Penggunaan tepung ubi jalar sudah lama sebagai pengganti terigu dalam pembuatan roti. Hal ini dapat terjadi karena pati dari tepung ubi jalar diuraikan dan difermentasi oleh mikroba menjadi gas karbondioksida yang dapat memperbesar
pengembangan
roti.
Beberapa
penelitian
lain
juga
telah
membuktikan bahwa ubi jalar bisa dijadikan sebagai substitusi (pengganti) tepung terigu dalam biskuit, cookies dan mi walaupun dengan kualitas yang relatif lebih rendah terutama dari segi reologis adonan maupun produknya (Kay, 1973), misalnya: substitusi tepung ubi jalar sebesar 30 % pada produk roti (Woolfe, 1999), substitusi tepung ubi jalar sebesar 40 % pada produk bihun (Widowati et al., 1994) dan lain-lain. 2.3. Biskuit Biskuit merupakan makanan ringan (camilan) yang telah dikenal dan disukai secara luas oleh masyarakat Indonesia. Di bawah ini akan disajikan tentang definisi dan mutu biskuit, proses pembuatan biskuit serta bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit. 2.3.1. Definisi dan mutu biskuit Produk-produk bakery dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu bread (roti), cake dan cookies (biskuit). Bread adalah suatu produk dari adonan tepung dan bahan lain yang mengalami fermentasi karena adanya ragi (yeast) (Matz dan Matz, 1978). Bread dapat dibedakan menjadi berbagai jenis, tergantung dari bahan yang digunakan, metode dan negara asal resep. Namun demikian, secara umum bread dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bread yang mengembang dan bread yang tidak mengembang (Matz dan Matz, 1978). Cake merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, lemak dan telur. Cake adalah jenis produk pangan yang sebagian besar volumenya terdiri dari buih (foam). Pembuatan cake membutuhkan pengembang gluten dan biasanya digunakan bahan pengembang kimiawi serta dibutuhkan pembentuk emulsi kompleks air dalam minyak, dimana lapisan air terdiri dari gula terlarut dan partikel tepung terlarut (Sunaryo, 1985). Cake terdiri dari dua fase, yaitu
15
fase diskontinyu (udara) dan fase kontinyu cairan yang menyangga dan memberi bentuk struktur. Perbedaan yang paling utama antara cake dengan produk bakery lain adalah pada tekstur adonan, adonan cake bertekstur kental (Sunaryo, 1985). Sedangkan menurut Bogasari (2002), cake adalah jenis produk bakery yang dibuat dengan cara mengocok telur dan gula sampai mengembang kemudian dimasukkan tepung terigu dan terakhir margarin atau mentega yang telah dilelehkan. Cake ada beberapa macam dibedakan berdasarkan penggunaan komposisi bahan-bahan dan cara pengolahannya, antaralain: Angel food cake, Sponge cake, Chiffon cake dan Pound cake. Secara umum pengertian biskuit (cookies) adalah jenis makanan kering atau makanan panggang yang terbuat dari serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan sebagainya yang mengandung kadar air lebih kecil dari 5 % dan jika diisi, didekorasi atau ditambahkan dengan bahan lain seperti krim, icing (krim gula), jam, jelly dan sebagainya maka kadar airnya dapat melebihi 5 % (Manley, 1998). Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan
yang
mengandung
bahan
dasar
tepung
terigu,
lemak
dan
bahan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan (Departemen Perindustrian, 1990). Berdasarkan SII 0177-90, biskuit digolongkan menjadi empat jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. (Departemen Perindustrian, 1990). Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau pemeraman. Bentuk crackers pipih yang rasanya lebih mengarah ke rasa asin dan relatif renyah serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis (Departemen Perindustrian, 1990). Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair,
16
berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga (Departemen Perindustrian, 1990). Sedangkan biskuit atau cookies digolongkan menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek dan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi (Sunaryo, 1985). Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening effect dari lemak, efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Contoh biskuit yang menggunakan adonan lunak adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe dan biskuit kacang (Departemen Perindustrian, 1990). Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Selama adonan tersebut terjadi ikatan pati dan protein, larutan gula, garam serta pengembangan dan dispersi lemak ke seluruh bagian adonan. Contoh dari jenis ini adalah biskuit marie dan biskuit rich tea (Departemen Perindustrian, 1990). Sedangkan pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh dari biskuit ini adalah biskuit crackers (Departemen Perindustrian, 1990). Tabel 7. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Karakteristik Kadar air (maksimum) Kadar protein (minimum) Kadar lemak (minimum) Kadar abu (maksimum) Kadar logam berbahaya Kadar serat kasar Kalori (minimum) Jenis tepung Bau dan rasa Kadar karbohidrat (minimum) Warna
Syarat Mutu 5,00 % 9,00 % 9,50 % 1,50 % Negatif 0,50 % 400 kkal/100 g Terigu Normal, tidak tengik 70,00 % Normal
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1992).
Biskuit yang berkualitas tinggi mempunyai lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda coklat. Biskuit simetris, lembut, bagian atas rata dan sisi-sisi lurus. Lapisan kulit renyah dan lembut, butiran halus dan lunak. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992, syarat mutu biskuit adalah seperti disajikan pada Tabel 7 di atas.
17
2.3.2. Proses pembuatan biskuit Ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim (creaming methode) dan metode all in. Pada metode krim bahan-bahan tidak dicampur secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan pencampuran, yaitu lemak, telur dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essens, dimasukkan susu, diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Sedangkan pada metode all in, semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang (Whiteley, 1971). Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari gula,
lemak
dan
telur.
Pencampuran
dilakukan
dengan
menggunakan
food processor berkecepatan tinggi sampai mengembang. Setelah mengembang ditambahkan secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, tepung dan air sehingga terbentuk adonan biskuit. Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dan dengan pengembangan gluten yang diinginkan. Pengadukan yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan akan sedikit menyerap air sehingga membuat adonan kurang elastis dan mudah patah (Sunaryo, 1985). Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar semua bahan tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor yang sangat penting (kritis) dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan menentukan tekstur biskuit yang dihasilkan. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur pengadukan. Jika jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan akan menjadi basah dan lengket, sehingga menyulitkan dalam proses selanjutnya. Lama pengadukan yang baik biasanya antara 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari 15 menit atau lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan kering. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40 oC (Manley, 1998). Alat yang digunakan dalam pengadukan (pengadonan) sangat bervariasi. Alat pengaduk (mixers) sangat berperan terhadap sifat reologi dari adonan dan biskuit yang dihasilkan. Alat pengaduk yang dapat digunakan antara lain:
18
Vertical spindle mixers, High speed mixers, Weigh mixers, Continuous mixers, Small batch mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat disesuaikan dengan jenis biskuit yang akan dibuat (Manley, 1998). Adonan kemudian digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai keinginan dan disusun pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven. Penggilingan (pelempengan) dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan segera mungkin setelah adonan terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang agar dihasilkan adonan yang halus dan kompak (Sunaryo, 1985). Tahap pemanggangan merupakan proses yang kritis dalam produksi biskuit. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah tipe oven, metode pemanasan dan tipe-tipe bahan yang digunakan. Kondisi pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur yang diinginkan serta kandungan airnya minimal 1 % (Whiteley, 1971). Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang antara 2,5 menit sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven dan jenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204 oC). Pemanggangan biskuit dapat juga dilakukan pada suhu 220 oC dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan, 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak (Sunaryo, 1985). Selama pemanggangan berlangsung terjadi perubahan-perubahan, seperti pengurangan densitas produk biskuit karena pengembangan tekstur berpori (perubahan tekstur), pengurangan kadar air menjadi 1-4 % dan perubahan warna permukaan biskuit. Perubahan yang terjadi pada awal pemanggangan adalah peningkatan volume biskuit yang disebabkan oleh gelatinisasi akibat air terbatas, pengembangan komplek pati-protein-air membentuk struktur biskuit, terlepasnya CO2 dari dalam ke permukaan dan menguapnya air, maka struktur biskuit menjadi keras (Manley, 1998). Selama pemanggangan juga terjadi proses gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati terjadi ketika pemanggangan antara suhu 52-99 oC. Sedangkan denaturasi dan koagulasi protein terjadi pada suhu di atas 70 oC dan gas CO2 terlepas jika suhu mencapai 65 oC. Lemak mencair pada suhu kurang dari 50 oC dan kemudian akan
19
segera membentuk komplek dengan bahan lainnya, serta selama pemanggangan terjadi distribusi (dispersi) lemak ke seluruh struktur biskuit (Manley, 1998). Peningkatan suhu dan uap air pada biskuit selama pemanggangan menyebabkan gelembung udara pecah meninggalkan bekas pori-pori. Keadaan ini diikuti oleh menguapnya uap air, struktur komplek pati-protein menjadi keras, sehingga struktur biskuit menjadi keras dan berpori. Meningkatnya suhu menyebabkan perpindahan uap air dari adonan keluar melalui proses kapiler dan difusi (Manley, 1998). Setelah proses pemanggangan selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pendinginan. Pendinginan ini bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat. Selain itu, pendinginan dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena sesaat setelah pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair sehingga tekstur biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan gula kembali menjadi padat dan tekstur mengeras (Manley, 1998). 2.3.3. Bahan-bahan dalam Pembuatan Biskuit Bahan-bahan pembentuk biskuit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan yang
berfungsi
sebagai
pengikat
dan
bahan
yang
berfungsi
sebagai
pelembut tekstur yang akan mempengaruhi produk akhir. Bahan yang berfungsi sebagai pengikat atau pembentukan adonan yang kompak adalah tepung terigu, susu, air dan putih telur. Sedangkan yang termasuk dalam bahan pelembut adalah gula, margarin, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). 2.3.3.1. Tepung terigu Tepung terigu adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling bijibiji gandum yang sehat dan telah dibersihkan. Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan biskuit dan jumlahnya paling banyak. Tepung terigu berfungsi sebagai pembentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya dalam adonan. Tepung terigu merupakan tepung yang sering digunakan dalam pembuatan berbagai bahan pangan rumah tangga maupun industri pangan. Tepung terigu diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu (1) Hard flour, yaitu terigu dengan kualitas yang baik.
20
Kandungan proteinnya sekitar 12-13 %. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi; (2) Soft wheat, terigu dengan kandungan protein sebesar 7-8,5 %. Penggunaannya cocok untuk bahan pembuatan kue dan biskuit; (3) Medium hard flour, yaitu terigu dengan kandungan protein 9,5-11 %. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta biskuit (Manley, 1998). Gandum merupakan bahan dasar dari tepung terigu. Sampai sekarang tidak ada bahan dasar lain sebagai pengganti gandum untuk membuat tepung terigu karena gandum adalah satu-satunya jenis biji-bijian yang mengandung gluten (Marliyati et al., 1992). Terigu mengandung protein sebesar 7-22 %. Minimal terigu tersusun dari lima jenis protein, yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease yang larut dalam garam tetapi tidak atau sedikit larut dalam air, gliadin yang larut dalam alkohol 70-90 % dan glutenin yang larut dalam asam atau basa tetapi tidak larut dalam air, garam maupun alkohol (Fennema, 1996). Glutenin dan gliadin bila dicampur dengan air akan membentuk gluten (Winarno, 1997). Adanya air di dalam adonan dapat menyebabkan pembentukan massa yang bersifat ekstensible dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari gliadin dan glutenin. Karena sifat fisik dari glutenin elastis dan juga ekstensible maka adonan mempunyai kemampuan menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan adonan (Winarno, 1993). Untuk membuat adonan suatu produk yang dapat mengembang maka dipilih tepung terigu yang berkadar gluten tinggi. Dengan adanya kadar gluten yang tinggi maka ada kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya kembang yang lebih baik, elastis tetapi lengket (Fennema, 1996). 2.3.3.2. Gula Fungsi gula dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pemberi rasa manis, pembentuk tekstur (pelembut) dan pemberi warna pada permukaan biskuit. Selain itu juga membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai gizi. Penggunaannya harus tepat, baik jumlah maupun bentuknya (Matz dan Matz, 1978).
21
Meningkatnya kadar gula di dalam adonan biskuit akan membuat biskuit semakin keras. Dengan adanya gula, maka waktu pembakaran harus sesingkat mungkin, agar tidak hangus karena sisa gula yang masih terdapat dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna. 2.3.3.3. Lemak Lemak dan minyak termasuk komponen ketiga terpenting dalam industri biskuit (Manley, 1998). Fungsi lemak dalam pembuatan biskuit antara lain, (1) memperbaiki cita rasa dan tekstur dalam bahan pangan (Winarno, 1997), (2) pada adonan memberi shortening effect, elastis dan melunakkan tekstur, sehingga setelah proses pemanggangan tekstur biskuit tidak terlalu keras dan mudah lumat di dalam mulut (Manley, 1998), (3) pada krim dan pelapis, lemak memberikan rasa flavor yang unik serta memberikan lapisan mengkilap pada permukaan biskuit (Manley, 1998). Jumlah lemak yang ditambahkan tergantung dari jenis adonan dan jenis biskuit. Beberapa contoh lemak yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain mentega, margarin, lemak hewan, minyak nabati dan krim susu (Manley, 1998). 2.3.3.4. Susu Penggunaan susu untuk produk-produk bakery berfungsi membentuk flavor, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk struktur yang kuat karena adanya protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan menambah keempukan karena adanya laktosa. Alasan utama pemakaian susu dalam pembuatan biskuit adalah untuk meningkatkan nilai gizi. Susu mengandung protein (kasein), gula laktosa dan mineral kalsium. Susu juga memberikan efek terhadap warna biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan kalsiumnya (Matz dan Matz, 1978). 2.3.3.5. Telur Telur berperan dalam pemberian bentuk dan tekstur serta flavor biskuit yang baik (Sultan, 1983). Bila telur yang digunakan lebih banyak, maka biskuit yang dihasilkan akan lebih mengembang dan menyebar. Telur dapat melembutkan
22
tekstur biskuit dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz , 1978). Tabel 8. Komposisi kimia telur segar Komposisi Air Lemak Lesitin Protein
Persentase 74,8 10,9 1,5 12,3
Sumber : Manley (1998)
Lesitin dalam adonan biskuit dapat menambah shortening effect dari lemak dan akan meningkatkan kecenderungan lemak menutupi atau menyebar diantara sejumlah kecil partikel gula yang basah, tepung dan sebagainya yang tidak akan menolak adanya lemak. Adanya emulsifikasi lesitin, membuat adonan yang manis terlihat lebih kering. Selain itu, lesitin juga akan mempercepat dispersi lemak dan meratakan komponen-komponen dalam adonan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengadonan dapat diperpendek (Matz dan Matz, 1978). 2.3.3.6. Garam Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan biskuit. Sebagian besar formulasi biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz, 1978). Jumlah garam yang ditambahkan tergantung dari beberapa faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang lebih rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak. 2.3.3.7. Bahan pengembang Bahan pengembang adalah zat anorganik yang ditambahkan ke dalam adonan (bisa tunggal atau campuran) untuk menghasilkan gas CO2 membentuk inti untuk perkembangan tekstur (Sunaryo, 1985). Bahan pengembang yang biasa
23
digunakan dalam biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat. Baking powder adalah campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam, seperti sitrat atau tartarat. Baking powder memiliki sifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). 2.3.3.8. Air Air digunakan terutama sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan. Selain itu untuk membentuk adonan dan mempengaruhi tekstur produk (Sunaryo, 1985).
3. METODOLOGI 3.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi alat dan bahan pada pembuatan tepung ikan pepetek (Leiognathus Sp.) dan tepung ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) serta alat dan bahan pada pembuatan biskuit. 3.1.1. Alat Peralatan yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini meliputi peralatan pengolahan dan peralatan analisis. Peralatan pengolahan terdiri dari peralatan untuk membuat tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih antara lain alat penggiling tepung (Hammer Mill), oven, kompor listrik, dandang, baskom, pengaduk, pengayak, timbangan dan pisau. Sedangkan peralatan untuk membuat biskuit antara lain baskom, oven, food processor merk Philips dengan kecepatan tinggi, loyang, talenan, cetakan biskuit dan pengaduk. Sedangkan untuk keperluan analisis, baik untuk analisis kimia maupun analisis fisik, peralatan yang diperlukan antara lain neraca analitik, gegep, oven, cawan porselen, desikator, alat destilasi, kertas saring, soxhlet, kapas bebas lemak, labu lemak, pH meter, tanur, penangas air, labu takar, gelas ukur, erlenmeyer, gelas piala, labu Kjeldahl, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), Whitenessmeter dan Rheoner RE-3305. 3.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan pepetek (Leiognathus Sp.), ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) dan tepung terigu. Ketiga tepung ini merupakan bahan baku dalam pembuatan biskuit. Ikan pepetek diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing, Jakarta Utara. Ikan pepetek dibeli langsung setelah turun dari kapal dan ditangani dengan menggunakan es. Pengangkutan ikan pepetek dari tempat pelelangan ikan sampai di laboratorium dilakukan secara rantai dingin dengan menggunakan steroform yang diberi es curai. Sedangkan ubi jalar putih didapatkan dari Pasar Bogor. Adapun bahan-bahan lain yang dibutuhkan dalam pembuatan biskuit adalah
25
margarin, kuning telur, gula halus, baking powder, vanili, susu full cream dan garam halus. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis fisiko-kimia antara lain: H2SO4, NaOH, HCl, H3BO3, Na2CO3, HNO3, NaHCO3, aquades, petroleum eter, larutan heksan, tablet kjeltab, kertas saring Whatman 42, pepsin dan pankreatin. 3.2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. Penelitian tahap I meliputi analisis kimia ikan pepetek, mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek dan mempelajari karakteristik tepung ubi jalar putih dengan melakukan analisis fisiko-kimia tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih yang meliputi analisis proksimat, analisis kalsium, derajat putih dan rendemen. Penelitian tahap II, yaitu pembuatan biskuit dengan formulasi yang telah ditentukan (modifikasi Artama, 2003), uji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis dan analisis fisiko-kimia biskuit meliputi analisis proksimat, analisis kalsium, bioavailabilitas kalsium, daya cerna protein in vitro, pH dan kekerasan. 3.2.1. Penelitian Tahap I Penelitian tahap I merupakan penelitian pendahuluan sebelum dilakukan pembuatan biskuit. Pada tahap I ini terdiri dari analisis kandungan kimia ikan pepetek, karakteristik tepung ikan pepetek dan karakteristik tepung ubi jalar putih. 3.2.1.1. Analisis kandungan kimia ikan pepetek Sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan analisis kandungan kimia ikan pepetek (Ipomoea batatas L.), untuk mengetahui kondisi ikan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Analisis kimia yang dilakukan, yaitu analisis proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat (by difference). 3.2.1.2. Karakteristik tepung ikan pepetek Karakteristik tepung ikan pepetek yang dipelajari adalah karakteristik fisiko-kimia yang meliputi analisis proksimat, analisis kalsium, derajat putih dan
26
rendeman. Sebelum mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek terlebih dahulu dilakukan persiapan bahan berupa pembuatan tepung ikan pepetek. Pada proses pembuatan tepung ikan pepetek, dimulai dengan pembuangan jeroan dan pencucian dengan air mengalir. Hampir semua bagian tubuh ikan pepetek digunakan dalam proses pembuatan tepung ikan, seperti bagian daging, tulang, kulit, sirip dan kepala. Hal ini dilakukan karena ikan pepetek memiliki ukuran yang kecil dan banyak durinya sehingga sulit untuk memisahkan bagian daging dari tulangnya. Selain itu, agar diperoleh rendemen tepung ikan yang lebih besar sehingga lebih bernilai ekonomis. Tulang ikan pepetek juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium pada tepung ikan. Tubuh ikan dipotong kecil-kecil dengan ukuran sekitar 2 x 2 cm. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 50–55
o
C selama 8 jam (Juwono, 1989).
Pengeringan merupakan suatu metode untuk mengurangi jumlah kandungan air di dalam suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas (Marliyati et al., 1992). Sebelum dioven, ikan dikukus dengan air mendidih selama 10 menit. Hal ini dimaksudkan untuk menginaktifkan enzim dan mikroba pada ikan sehingga dapat mencegah pembusukan pada waktu pengeringan (Marliyati et al., 1992). Selain itu, juga bertujuan untuk memperlunak tekstur daging dan tulang ikan untuk memudahkan dalam proses penggilingan. Setelah ikan dikukus, dilakukan pengepresan bahan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air pada ikan sehingga mempercepat proses pengeringan ikan. Jika proses pengepresan ini dihilangkan maka ikan akan sulit kering dan ikan dapat mengalami proses pembusukan sebelum terjadi pengeringan karena kandungan air yang cukup tinggi. Ikan yang sudah kering dihaluskan dengan Hammer Mill dan disaring dengan ukuran 60 mesh. Tepung dengan ukuran 60 mesh merupakan tepung yang cukup halus untuk digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan biskuit. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan pepetek dapat dilihat pada Gambar 4.
27
3.2.1.3. Karakteristik tepung ubi jalar putih Karakteristik tepung ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) yang dianalisis adalah
karakteristik
fisiko-kimia
yang
meliputi
analisis
proksimat,
analisis kalsium, derajat putih dan rendemen. Sebelum mempelajari karakteristik tepung ubi jalar putih terlebih dahulu dilakukan persiapan bahan berupa pembuatan tepung ubi jalar putih. Proses pembuatan tepung ubi jalar putih melibatkan beberapa tahap penting, yaitu tahap pengeringan dan tahap penggilingan. Proses pembuatan tepung ubi jalar putih antara lain: pemilihan ubi jalar yang bagus dan segar, kemudian dibersihkan dengan air bersih. Ubi jalar yang telah bersih dikupas kulitnya dan dipotong tipis-tipis dengan tebal sekitar 3-5 mm. Proses pemotongan ini dilakukan untuk mempercepat waktu pengeringan dan mencegah timbulnya case hardenning pada ubi jalar. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 50–55 oC selama 8 jam. Penggunaan oven dilakukan agar kondisi suhu
pengeringan
pengeringannya
dapat
dapat
lebih
dilakukan
dikontrol lebih
dan
cepat
pada dari
umumnya
proses
pengeringan
dengan
menggunakan sinar matahari (Koswara et al., 2003). Pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu sehingga enzim atau mikroba penyebab kerusakan bahan pangan menjadi tidak aktif atau mati. Selain itu, pengeringan juga bertujuan agar volume bahan pangan menjadi lebih kecil sehinga mempermudah pengangkutan, penghematan biaya pengangkutan dan menghemat
ruang
pengangkutan,
pengepakan
maupun
penyimpanan
(Marliyati et al., 1992). Proses penggilingan dilakukan untuk memperhalus ukuran ubi jalar putih untuk mendapatkan tepung. Proses penggilingan ini dilakukan dengan menggunakan Hammer Mill dengan ukuran saringan 60 mesh. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar putih dapat dilihat pada Gambar 5. 3.2.2. Penelitian Tahap II Setelah penelitian tahap I selesai dilakukan, dilanjutkan dengan penelitian tahap II. Penelitian tahap II terdiri dari formulasi dan pembuatan biskuit, uji organoleptik biskuit untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis serta
28
analisis fisiko-kimia biskuit yang meliputi analisis proksimat, pH, kalsium, bioavailabilitas kalsium, daya cerna protein in vitro dan kekerasan. 3.2.2.1. Formulasi dan pembuatan biskuit Dalam
penelitian
ini
dilakukan
penentuan
tingkat
substitusi
tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit. Perlakuan diberikan dengan formulasi kombinasi tepung ikan pepetek dengan tepung ubi jalar putih terhadap kandungan tepung terigu tetap yaitu 75 %, kecuali pada kontrol (B0) yang menggunakan kandungan tepung terigu 100 % (modifikasi Artama, 2003). Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung ikan pepetek sebesar 0 % (B0), 5 % (B1), 10 % (B2), 15 % (B3) dan 20 % (B4) (modifikasi Wahyuni, 2005). Sedangkan penambahan tepung ubi jalar putih adalah kebalikan dari tepung ikan pepetek, yaitu 0 % (B0), 20 % (B1), 15 % (B2), 10 % (B3) dan 5 % (B4) (modifikasi Sunandar, 2004). Untuk lebih jelasnya, formulasi pembuatan biskuit dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9.
Formulasi biskuit dari tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar dan tepung terigu. Tepung pensubstitusi
Formulasi
Tepung terigu
B0
100
0
0
B1
75
5
20
B2
75
10
15
B3
75
15
10
B4
75
20
5
Tepung ikan pepetek
Tepung ubi jalar putih
Untuk pembuatan biskuit dalam penelitian ini ditetapkan urutan proses pembuatan biskuit sebagai berikut: tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih, tepung terigu dan bahan-bahan lain ditimbang sesuai formulasi yang telah ditentukan. Margarin, gula halus dan telur dicampur dan dikocok sampai mengembang sekitar 15 menit. Setelah mengembang dan bercampur merata, ditambahkan bahan-bahan lain satu per satu, yaitu susu full cream, garam, baking
29
powder dan vanili sambil diaduk. Ditambahkan tepung terigu, tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih (sesuai formulasi) sedikit demi sedikit dan ditambahkan air diaduk dalam Food processor merk Philips dengan kecepatan tinggi (tombol no. 2) sampai adonan kalis. Alat pengaduk pada food processor berbentuk seperti pisau yang terletak secara horisontal. Setelah terbentuk adonan kemudian dicetak pada loyang. Pencetakan biskuit dilakukan dengan membuat lembaran adonan kemudian dilakukan pelebaran, penipisan dan penghalusan lembaran adonan. Sebelum dicetak, lembaran adonan perlu dibiarkan sejenak agar lembaran sedikit mengkerut. Kemudian adonan yang telah dicetak tersebut dipanggang dalam oven dengan suhu 120 oC selama 30 menit. Diagram alir proses pembuatan biskuit menurut Sunaryo (1985) dapat dilihat pada Gambar 6. Sedangkan komposisi bahan-bahan pembuatan biskuit dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Formula dasar yang digunakan dalam pembuatan biskuit dalam100 gram tepung (modifikasi Manley, 1998). No
Komposisi
Jumlah
1
Tepung terigu (gram)
X
2
Tepung ikan pepetek (gram)
Y
3
Tepung ubi jalar putih (gram)
Z
4
Gula halus (gram)
20,8
5
Margarin (gram)
16,1
6
Air (ml)
17,8
7
Garam halus (gram)
0,80
8
Kuning telur (gram)
0,6
9
Susu full cream (gram)
2,4
10
Baking powder (gram)
1
11
Vanili (gram)
1
Keterangan : X, Y, Z adalah formulasi tepung pada Tabel 9.
3.2.2.2. Uji organoleptik (Soekarto, 1985) Berdasarkan perlakuan tersebut akan dipilih konsentrasi terbaik yang dapat diterima panelis dengan menggunakan uji organoleptik berupa uji hedonik dengan
30
menggunakan score sheet. Pada tahap ini dilakukan uji subyektif untuk mengukur tingkat kesukaan panelis (hedonik), yaitu berupa uji organoleptik yang dilakukan terhadap 30 orang panelis semi terlatih dari mahaisiswa Teknologi Hasil Perairan. Uji hedonik dilakukan berdasarkan parameter penampakan, tekstur, aroma, rasa dan warna. Parameter uji hedonik berupa angka skala 1-7, dimana 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = biasa, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Pengolahan data untuk uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan software (perangkat lunak) Stastical Package for Social Science (SPSS) dan menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ) sebagai uji lanjutan. Ikan pepetek segar Penyiangan (dibuang jeroan) dan pencucian dengan air mengalir Pemotongan kecil-kecil dengan ukuran sekitar 2 x 2 cm Pengukusan dengan air mendidih selama 10 menit Pengepresan / pemerasan Pengeringan dengan oven suhu 50 oC-55 oC selama 8 jam Penghalusan / penggilingan dengan Hammer mill Penyaringan (60 mesh)
Tepung Ikan Pepetek Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan pepetek (modifikasi Juwono, 1989).
31
Ubi jalar putih
Pengupasan kulit
Pencucian sampai bersih
Pemotongan tipis, dengan ketebalan sekitar 3-5 mm
Pengeringan dengan oven suhu 50 oC selama 8 jam
Penghalusan / penggilingan dengan Hammer mill
Penyaringan (60 mesh)
Tepung Ubi Jalar Putih
Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar putih (modifikasi Koswara et al., 2003).
32
Dalam 100 g: Kuning telur 0,6 g Gula halus 20,8 g Margarin 16,1 g
Mixing I Pembentukan krim selama 15 menit
Dalam 100 g: Susu full cream 2,4 g Garam 0,8 g Baking powder 1 g Vanili 1 g Tepung terigu Tepung ikan pepetek Tepung ubi jalar putih Air 17,8 ml
Mixing II selama 10 menit
Formulasi B0 Formulasi B1 Formulasi B2 Formulasi B3 Formulasi B4
Mixing III selama 10 menit
Adonan kalis
Pencetakan pada loyang
Pemanggangan dalam oven suhu 120 oC selama 30 menit
Biskuit
Gambar 6. Diagram alir pembuatan biskuit ( modifikasi Sunaryo, 1985) 3.3. Analisis Fisiko-Kimia Analisis fisiko-kimia yang dilakukan meliputi analisis pada ikan pepetek, tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih, tepung terigu dan biskuit. Analisis yang dilakukan pada ikan pepetek adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat
33
(by difference). Analisis pada tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih antara lain: analisis proksimat, kadar kalsium, derajat putih (whiteness) dan rendemen. Sedangkan analisis pada tepung terigu, yaitu analisis derajat putih, analisis proksimat dan analisis kalsium. Sedangkan analisis fisiko-kimia pada biskuit, yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference), pH, kadar kalsium, bioavailabilitas kalsium, daya cerna protein secara in vitro, kekerasan dan organoleptik berupa uji hedonik meliputi parameter penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. 3.3.1. Analisis Fisik Analisis fisik dilakukan pada tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu serta terhadap biskuit. Analisis terhadap ketiga tepung tersebut adalah analisis derajat putih. Sedangkan analisis rendemen hanya dihitung pada tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih. Analisis fisik yang dilakukan terhadap biskuit adalah analisis kekerasan. 3.3.1.1. Derajat putih Pengujian derajat putih dapat dilakukan dengan menggunakan alat Whitenessmeter. Alat Whitenessmeter menggunakan natrium karbonat (Na2CO3) sebagai standar putih. Standar putih ini bernilai seratus. Produk yang akan diukur derajat putihnya dicari warna dasarnya terlebih dahulu dengan cara mencocokkan warna sampel dengan atribut warna pada alat. Setelah diketahui, kemudian nilainya dibandingkan dengan warna standar putih. Semakin tinggi skala yang diperoleh maka warna yang diperoleh semakin mendekati standar. 3.3.1.2. Rendemen Rendemen tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dihitung dengan menggunakan timbangan analitik. Rendemen dihitung dengan membandingkan berat tepung yang dihasilkan dengan berat bahan baku masing-masing. Rendemen tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar dihitung dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :
34
% Rendemen =
Berat tepung ikan pepetek x 100% Berat ikan pepetek utuh
% Rendemen =
Berat tepung ubi jalar putih x 100% Berat ubi jalar putih utuh
3.3.1.3. Kekerasan Kekerasan biskuit diukur menggunakan alat Rheoner RE-3305 merk Yamaden. Kondisi operasi alat adalah load scale: 2000 g, table: 0,5 mm/s, chart speed: 80 mm/min, jarak penekanan: 1000 x 0,01 mm, ukuran probe: no. 5 (diameter 5 mm), beban yang digunakan adalah 500 g pada skala penuh. Gambar alat dapat dilihat pada lampiran 32. Pertama, alat dinyalakan, kemudian sampel diletakkan dalam ruang dari sel Kramer, setelah itu bagian tersebut akan mendapat tekanan (pengepresan, penggesekan dan penghancuran) dari probe yang bergerak dengan kecepatan konstan sepanjang produk melalui lubang yang ada di bawah pisau. Satu milimeter lebar kurva sepanjang kertas (chart) adalah sama dengan seberapa dalam mata pisau berpenetrasi ke dalam produk. Ketinggian kurva menunjukkan besarnya gaya yang diperlukan untuk deformasi. Nilai resistensi atau kekerasan akan terbaca dalam recorder dan keluarannya berupa grafik.
3.3.2. Analisis Kimia Analisis kimia dilakukan terhadap ikan pepetek, tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih, tepung terigu dan biskuit. Analisis kimia terhadap ikan pepetek adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat (by difference). Analisis kimia pada ketiga tepung tersebut meliputi analisis proksimat dan analisis kalsium. Sedangkan analisis kimia pada biskuit adalah analisis proksimat, analisis kalsium, analisis derajat keasaman (pH), bioavailabilitas kalsium dan daya cerna protein secara in vitro.
35
3.3.2.1. Kadar air (AOAC, 1995) Prosedur penentuan kadar air dengan menggunakan metode pemanasan langsung. Sebanyak 2,5 gram sampel ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama tiga jam. Setelah itu dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator. Kemudian dilakukan penimbangan cawan beserta sampel yang telah dingin tersebut.
Kadar air (%) =
(W2 − W3 ) x100% (W2 − W1 )
Keterangan: W1 = Berat cawan kosong (gram) W2 = Berat (cawan + sampel ) sebelum dikeringkan (gram) W3 = Berat (cawan + sampel) setelah dikeringkan (gram) 3.3.2.2. Kadar abu (AOAC, 1995)
Penentuan kadar abu dilakukan dengan menggunakan metode pemanasan langsung. Sebanyak 2,5 gram sampel ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan, sampel dibakar di atas bunsen dengan api kecil sampai tidak berasap. Kemudian dimasukan ke dalam tanur pada suhu 550 oC sampai menjadi abu. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot konstan.
Kadar abu (%) =
W3 − W1 x100% W2 − W1
Keterangan: W1 = Berat cawan kosong (gram) W2 = Berat (cawan + sampel) sebelum dikeringkan (gram) W3 = Berat (cawan + sampel) setelah diabukan (gram) 3.3.2.3. Kadar protein (AOAC, 1995)
Penentuan kadar protein mengunakan metode Nitrogen Mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,5 – 3 gram dimasukan ke dalam labu kjeldahl dan didestruksi dengan menggunakan 20 ml asam sulfat pekat (H2SO4) dengan pemanasan sampai terjadi larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi diencerkan dan didestilasi
36
dengan penambahan 10 ml NaOH 10 %. Destilat ditampung dalam 25 ml larutan H3BO3 3 %. Larutan H3BO3 ditritasi dengan larutan HCl standar dengan menggunakan merah metil sebagai indikator. Dari hasil titrasi ini total nitrogen dapat diketahui. Kadar protein sampel bahan dihitung dengan mengalikan total nitrogen dan faktor konversi. % Total Nitrogen (N) =
ml titran x N HCl x 14 x 100 berat sampel
Keterangan: Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25), untuk ikan, ubi jalar Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (5,7), untuk biskuit, terigu 3.3.2.4. Kadar lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi soxhlet yang akan digunakan dikeringkan dalam oven. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak lima gram sampel dalam bentuk tepung ditimbang langsung dalam kertas saring yang sesuai ukurannya, kemudian ditutup dengan kapas wool bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya.Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran yang digunakan. Refluks dilakukan minimum lima jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak, ditampung pelarutnya selanjutnya labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, ditimbang labu beserta lemak tersebut. Kadar lemak % =
berat lemak ( gram) x100% berat sampel ( gram)
37
3.3.2.5. Kadar Karbohidrat (Winarno, 1997)
Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu dengan menggunakan rumus: Kadar Karbohidrat = 100 % - (K. Air + K. Lemak + K. Abu + K. Protein) 3.3.2.6. Uji Kalsium Metode AAS (Apriyantono et al., 1989)
Sampel yang mengandung 5-10 gram padatan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat dan 10 ml HNO3, didiamkan semalam (16 jam). Kemudian dipanaskan perlahan-lahan sampai larutan jernih dan semua asap sudah tidak tertinggal. Ditambahkan 10 ml aquades (larutan akan menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning muda jika mengandung Fe) dan dipanaskan kembali sampai berasap. Larutan didiamkan kembali sampai dingin kemudian ditambahkan 5 ml aquades, dididihkan sampai berasap. Setelah dingin diencerkan sampai volume tertentu (aliquot, 100 ml). Kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan dibaca dengan nyala atomasi AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer) pada λ = 422,7 nm. % Ca =
(ml aliquaot / 1000) x Fp x ( ppm sampel − ppm blanko) x 100% mg sampel
Keterangan: Ca (mg/100g) = % Ca x 1000 Fp
= Faktor pengenceran
3.3.2.7. Analisis bioavailabilitas kalsium
Semua peralatan gelas dicuci, direndam dalam larutan HNO3 10% (v/v) selama 24 jam, dan dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. Sejumlah sampel (setara dengan 2 g protein) ditimbang kemudian dihomogenisasi. Nilai pH sampel diatur menjadi dua dengan menambahkan HCl 6 N. Jumlah HCl yang ditambahkan dihitung. Kemudian pH sampel diatur menjadi 2,0 dengan menambahkan HCl 6 N pada sampel (sama dengan 2 g protein) dan 80 g air bebas ion yang ditempatkan dalam tabung erlenmeyer berukuran 250 ml. Sebanyak 40 g aliquot sampel dipindahkan kedalam botol gelas untuk penentuan keasaman titrasi, 40 g aliquot
38
sampel dipindahkan ke dalam botol gelas lain untuk penentuan persen kalsium yang terdialisis (tersedia) dan 10 g untuk penentuan kadar kalsium total dengan menggunakan Atomic Absorbance Spectrophotometer (AAS). Sebanyak 3 g larutan suspensi pepsin (1,6 g pepsin Sigma p-7000 didispersikan ke dalam 0,1 M HCl dan ditepatkan volumenya menjadi 10 ml, dibuat sewaktu akan digunakan), ditambahkan masing-masing ke dalam botol gelas dan volumenya ditepatkan menjadi 100 ml dengan air. Keduanya kemudian ditutup dengan plastik yang berlubang untuk mengeluarkan gas. Sampel diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 30 oC dengan kecepatan 5 (120 stroke/menit) selama dua jam. Selanjutnya botol-botol tersebut disimpan dalam freezer untuk digunakan pada hari berikutnya. Sebelum digunakan sampel harus dicairkan terlebih dahulu. Sebanyak lima gram campuran pankreatin bile ditambahkan ke dalam botol gelas yang telah berisi 40 g aliquot yang digunakan untuk penentuan asam tertitrasi. Larutan ini kemudian dititrasi dengan 0,5 NaOH sampai diperoleh pH 7,5. Nilai pH ini dicek setelah 30 menit. Sebanyak 40 g aliquot sampel dipindahkan ke dalam botol gelas yang berukuran 250 ml. Selanjutnya NaHCO3 dengan konsentrasi yang diperoleh dari hasil titrasi dengan NaOH di atas (jumlah NaHCO3 ekuivalen dengan jumlah NaOH yang digunakan untuk titrasi) dimasukkan ke dalam kantung dialisis bersama 25 g air. Botol gelas yang digunakan untuk penentuan persen yang tersedia ditempatkan dalam penangas air yang bergoyang pada suhu 37 oC dan kecepatan 5 hingga mencair. Kemudian kantung dialisis dimasukkan ke dalam setiap botol gelas dengan kedudukan sedemikian rupa sehingga kantung dialisis terendam dalam larutan sampel, ditutup dengan plastik yang telah disiapkan. Inkubasi dilakukan sampai pH 5 selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 5 g campuran pankreatin bile ke dalam setiap botol gelas tadi dan inkubasi dilanjutkan selama dua jam. Setelah cukup waktu, kantung dialisis diangkat dan dibilas dengan mencelupkannya ke dalam air bebas ion. Salah satu ujungnya dipotong dengan menggunakan gunting dan isinya (dialisat) dituang ke dalam gelas ukur untuk dihitung volumenya dan dianalisis kandungan kalsium yang tersedia dengan menggunakan AAS.
39
Perhitungan : % bioavailabilitas Kalsium (Ca)
= mg Ca dialisat x 100 % mg Ca sampel
Total Ca tersedia (mg/100g) = Total Ca sampel (mg/100g) x (% bioavailabilitas)
3.3.2.8. Daya cerna protein in vitro
Analisis daya cerna protein in vitro yang digunakan sebagai berikut: sampel ditimbang sebanding dengan 0,2 g protein (0,2 x 100 / kadar protein sampel), kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Ditambahkan 25 ml HCl 0,1 N dengan pH 1,5 yang mengandung pepsin 0,1 g. Kemudian diinkubasi dalam penangas air bergoyang dengan suhu 37 oC selama satu jam. Setelah itu, pH dinaikkan menjadi 7,5 dan ditambahkan pankreatin sejumlah 0,1 g dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kemudian disaring dengan pompa vakum menggunakan kertas saring. Setelah itu, dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Perhitungan: Daya cerna protein (%) =
(mg protein sampel − mg protein tidak tercerna) x 100 % mg protein sampel
3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Model statistika yang digunakan dalam penelitin ini pada tahap kedua adalah metode Rancangan Acak Lengkap (Steel dan Torrie, 1989). Perlakuannya adalah kombinasi tepung ikan pepetek dengan tepung ubi jalar putih dalam pembuatan biskuit (B0, B1, B2, B3 dan B4). Analisis data diolah dengan menggunakan SPSS 11.0. Data diambil sebanyak dua kali ulangan. Adapun model Rancangan Acak Lengkap sebagai berikut : Yij = µ+ Ai + єij
Keterangan : Yij
: Respon percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j
µ
: Rata-rata umum
Ai
: Pengaruh taraf ke-i, faktor A (i = 1,2,3,4)
Eij
: Kesalahan percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-j
40
Data peubah yang diamati dianalisis secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA). Apabila hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata atau menunjukan adanya interaksi, maka dilakukan analisis lanjutan yang gunanya untuk mengetahui perlakuan mana yang paling berpengaruh pada percobaan. Uji lanjut yang digunakan adalah Beda Nyata Jujur (BNJ) atau Tukey. Data hasil uji organoleptik dianalisis secara statistik non parametrik Kruskal Wallis. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata dalam ranking. Apabila hasil analisis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. Menurut Steel dan Torrie (1991), perhitungan statistik Kruskal Wallis dilakukan dengan menggunakan rumus :
H=
12 Ri 2 ∑ ni − 3(n + 1) n(n + 1)
H` =
H Pembagi
Pembagi = 1 -
∑T
(n − 1)(n + 1)
Keterangan : ni = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i N = Banyaknya data Ri = Jumlah ranking dalam contoh ke-i T = Banyak pengamatan yang seri dalam ulangan ke-i H` = H terkoreksi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Tahap I Penelitian tahap I terdiri dari analisis kandungan kimia ikan pepetek (Leiognathus
sp.),
karakteristik
tepung
ikan
pepetek
dan
karakteristik
tepung ubi jalar putih (Ipomoea batatas L). Pada tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih, analisis yang dilakukan adalah karakteristik fisik dan kimia. 4.1.1. Analisis kandungan kimia ikan pepetek (Leiognathus sp.) Hasil analisis kandungan kimia ikan pepetek (Leiognathus sp.) yang diperoleh meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kandungan kimia ikan pepetek (Leiognathus sp.)
Kadar air
Ikan pepetek (% bb) 77,07
Ikan pepetek (% bk) -
Kadar abu
4,56
19,88
Kadar protein
13,52
58,96
Kadar lemak
3,95
17,23
Kadar karbohidrat (by difference)
0,90
3,92
Parameter
Kadar air ikan pepetek yang diperoleh sebesar 77,07 % (% bb). Kadar air ini cukup tinggi, karena pada kebanyakan ikan memiliki kadar air yang tinggi. Kadar abu ikan pepetek sejumlah 4,56 %. Kadar abu yang tinggi ini dikarenakan dalam pembuatan tepung ikan, bagian seperti tulang, sirip dan sisik diikutsertakan. Kandungan pada tulang sebagian besar adalah mineral, seperti kalsium dan fosfor yang merupakan bagian dari abu (Winarno, 1997). Kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat (by difference) berturut-turut adalah 13,52 %, 3,95 %, 0,90 %. Kadar karbohidrat pada ikan sangat kecil bila dibandingkan dengan kadar karbohidrat pada tanaman karena karbohidrat pada ikan berasal dari glikogen yang jumlahnya sangat kecil. Dari hasil analisis kimia
42
yang dilakukan, maka ikan pepetek memiliki kandungan kimia yang cukup baik untuk digunakan sebagai bahan pangan. Kandungan kimia ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan spesies ikan, karena di kawasan Indo-Pasifik terdapat sekitar 30 spesies ikan pepetek dan 20 spesies diantaranya berada di perairan Indonesia (Nontji, 1987 diacu dalam Allo, 1998). Komposisi kimia ikan juga disebabkan oleh mutu bahan baku dan cara pengolahan. Cara pengolahan ikan secara tradisional atau secara
modern berpengaruh pada kadar
protein ikan
(Moeljanto, 1992). Selain itu, habitat serta cara penangkapan dan penanganan ikan di kapal sampai di tempat pendaratan juga sangat mempengaruhi kandungan kimia ikan. 4.1.2. Karakteristik Tepung Sebelum mempelajari karakteristik tepung terlebih dahulu dilakukan pembuatan tepung, yaitu dilakukan pembuatan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih. Penepungan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengawetkan bahan pangan, karena pada penepungan terdapat proses pengeringan. Dengan adanya proses pengeringan, maka kadar air bahan akan berkurang sampai batas tertentu dan akan menurunkan aktivitas air (aw), sehingga akan menghambat laju pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim. Tepung merupakan bentuk bahan pangan yang efektif dalam penghematan ruang
penyimpanan
maupun
dalam
mengaplikasikannya.
Karakteristik
tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih yang dianalisis meliputi karakteristik fisik dan kimia. 4.1.2.1. Karakteristik fisik tepung Analisis karakteristik fisik tepung ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan tepung ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) yang diuji adalah rendemen dan derajat putih. Analisis rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase jumlah tepung yang dihasilkan dengan berat awal bahan. Sedangkan analisis derajat putih dilakukan untuk mengetahui tingkat keputihan tepung yang dihasilkan. Rendemen merupakan persentase antara produk akhir (tepung) dengan bahan awal. Rendemen dapat dijadikan sebagai salah satu parameter penting
43
untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk selain dari faktor kualitas produk itu sendiri. Hasil analisis karakteristik fisik tepung disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis parameter fisik tepung Jenis tepung
Rendemen (%)
Derajat putih (%)
Tepung ikan pepetek
17,69
16,64
Tepung ubi jalar putih
34,45
66,87
-
80,54
Tepung terigu
Rendemen tepung ikan pepetek yang dihasilkan sebesar 17,69 %. Rendemen yang dihasilkan ini relatif kecil karena pada ikan pepetek dan pada kebanyakan ikan lainnya mengandung kadar air yang sangat tinggi. Pada waktu proses pengeringan ikan, sebagian besar kadar air akan menguap sehingga dihasilkan rendemen yang kecil. Hal ini dapat dilihat pada kadar air tepung ikan yang dihasilkan sangat kecil (4,37 %) dari kadar air semula (ikan pepetek) sebesar 77,07 %. Sedangkan pada rendemen tepung ubi jalar putih didapatkan hasil yang cukup tinggi sebesar 34,45 %. Hal ini disebabkan kadar air pada ubi jalar tidak sebesar kadar air pada ikan. Kadar air ubi jalar putih berdasarkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1992) sebesar 68,5 %. Hal ini berbeda dengan kadar air kebanyakan ikan yang mencapai 75 %. Hasil analisis derajat putih tepung ikan pepetek sebesar 16,64 %. Hasil ini terbilang kecil dibandingkan dengan derajat putih tepung ubi jalar putih dan tepung terigu. Derajat putih tepung ubi jalar putih dan tepung terigu berturut-turut adalah 66,87 % dan 80,54 %. Hal ini diduga karena pada proses pembuatan tepung ikan semua bagian tubuh ikan pepetek digunakan kecuali jeroan. Bagian yang digunakan itu terdapat kulit, sirip, kepala dan insang yang berwarna cenderung gelap. Selain itu, dalam penelitian ini tidak digunakan zat pemutih untuk meningkatkan derajat putih tepung. Menurut Buckle et al. (1987), tepung yang dijual komersial biasanya menggunakan zat pemutih karena konsumen lebih menyukai tepung yang berwarna putih.
44
4.1.2.2. Karakteristik kimia tepung Analisis kimia pada tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat by difference. Selain analisis proksimat, analisis kalsium juga dilakukan pada ketiga jenis tepung tersebut. Hasil analisis karakteristik kimia tepung disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil analisis kimia tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu.
Kadar air (%)
Tepung ikan pepetek 4,37
Tepung ubi jalar putih 5,13
Kadar abu (%)
15,18
2,55
0,53
Kadar protein (%)
60,13
2,05
6,10
Kadar lemak (%)
19,49
2,40
1,20
Kadar karbohidrat by difference (%) Kadar kalsium (mg/100g)
0,83
87,87
80,99
14.380
190
74
Parameter
Tepung terigu 11,18
Hasil analisis kadar air tepung ikan pepetek sangat kecil dibandingkan kadar air tepung terigu. Kadar air tepung ikan pepetek sebesar 4,37 % dan kadar air tepung terigu sebesar 11,18 %. Kadar air yang kecil ini disebabkan oleh waktu pengeringan yang cukup lama sekitar delapan jam dengan menggunakan oven pada suhu 50–55 oC. Kadar air tepung ubi jalar putih juga kecil, yaitu 5,13 % dibandingkan kadar air tepung terigu sebesar 11,18 %. Hasil analisis kadar abu tepung ikan pepetek sangat besar, yaitu 15,18 % bila dibandingkan kadar abu tepung terigu sebesar 0,53 %. Kadar abu yang cukup tinggi ini disebabkan oleh bahan baku ikan pepetek yang digunakan tidak hanya dari daging ikan tetapi juga dari tulang ikan yang banyak mengandung mineral, seperti kalsium dan fosfor (Winarno, 1997). Kadar abu tepung ubi jalar putih hasil analisis sebesar 2,55 %, lebih tinggi dari kadar abu tepung terigu (0,53 %). Analisis kadar protein tepung ikan pepetek adalah 60,13 %. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari kadar protein tepung terigu yang dianalisis pada penelitian
45
ini sebesar 6,10 %. Kandungan protein ubi jalar putih yang didapat adalah 2,05 %, lebih rendah dari kadar protein tepung terigu sebesar 6,10 %. Kadar lemak tepung ikan pepetek adalah 19,49 %. Kadar lemak yang tinggi ini diduga disebabkan oleh ikan pepetek yang digunakan dalam pembuatan tepung ini tidak hanya dari daging saja tetapi semua bagian tubuh ikan kecuali jeroan, dimana pada masing-masing tubuh ikan memiliki kandungan lemak yang berbeda, misalnya pada bagian perut ikan biasanya mengandung lemak yang lebih tinggi. Kadar lemak tepung ubi jalar putih adalah 2,40 %, lebih tinggi dari kadar lemak tepung terigu sebesar 1,20 %. Kadar karbohidrat (by difference) tepung ikan pepetek sebesar 0,83 %. Kandungan karbohidrat ikan pepetek ini jauh lebih kecil dari kadar karbohidrat tepung ubi jalar putih dan tepung terigu, yaitu berturut-turut sebesar 87,87 % dan 80,99 %. Hal ini bisa terjadi karena karbohidrat pada ikan berasal dari glikogen yang jumlahnya sangat kecil. Kadar karbohidrat ubi jalar putih sebesar 87,87 %, lebih tinggi dari kadar karbohidrat tepung terigu (80,99 %). Bahan kering terbanyak pada ubi jalar adalah karbohidrat dengan jumlah bervariasi. Karbohidrat pada ubi jalar segar pada umumnya sebesar 18-35 % dan pada berat keringnya mencapai 80-90 % (Rotar dan Bird, 1981). Kandungan karbohidrat yang banyak terdapat pada ubi jalar adalah pati, gula dan serat makanan. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin yang merupakan komponen karbohidrat utama pada ubi jalar (Huang, 1982). Kadar kalsium tepung ikan pepetek yang dihasilkan sangat tinggi sebesar 14.380 mg/100g. Hal ini bisa terjadi karena tulang ikan pepetek diikutsertakan dalam pembuatan tepung ikan karena di dalam tulang banyak mengandung mineral seperti kalsium dan fosfor (Winarno, 1997). Kadar kalsium pada tepung ubi jalar putih juga cukup tinggi, yaitu 190 mg/100g. Kadar kalsium ini lebih tinggi dari kadar kalsium tepung terigu yang sebesar 74 mg/100g. 4.2. Penelitian Tahap II Pada penelitian tahap II dilakukan pembuatan biskuit dengan formulasi kombinasi tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam mensubstitusi tepung terigu serta uji organoleptik biskuit dan analisis fisiko-kimianya.
46
4.2.1. Formulasi dan pembuatan biskuit Pembuatan biskuit dilakukan dengan lima formulasi, yaitu kombinasi penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam mensubstitusi tepung terigu. Persentase tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih terhadap tepung terigu adalah 25 % : 75 % (modifikasi Artama, 2003). Jumlah tepung terigu yang ditambahkan dalam formulasi biskuit adalah sama kecuali pada kontrol. Pada kontrol (B0) digunakan tepung terigu sejumlah 100 %. Jumlah tepung ikan pepetek yang digunakan dalam formulasi biskuit adalah 5 % (B1), 10 % (B2), 15 % (B3) dan 20 % (B4) (modifikasi Wahyuni, 2005). Sedangkan jumlah tepung ubi jalar putih dalam formulasi biskuit adalah kebalikan dari jumlah tepung ikan pepetek, yaitu 20 % (B1), 15 % (B2), 10 % (B3) dan 5 % (B4) (modifikasi Sunandar, 2004). Formulasi biskuit disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Formulasi biskuit Tepung pensubstitusi
Formulasi
Tepung terigu
B0
100
0
0
B1
75
5
20
B2
75
10
15
B3
75
15
10
B4
75
20
5
Tepung ikan pepetek
Tepung ubi jalar putih
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
47
Tabel 15. Hasil analisis fisiko-kimia biskuit dan kandungan kimia biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992.
*
Parameter
B0
B1
B2
B3
B4
Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat by difference (%) pH Kadar kalsium (mg/100g) Bioavailabilitas kalsium (%) Daya cerna protein (%) Kekerasan (gf)
2,46 1,85 7,71 15,36
2,28 2,72 8,38 15,73
2,25 3,46 11,22 17,96
2,07 3,96 13,30 18,18
1,19 4,43 14,77 18,39
SNI 0129731992* Maks. 5 Maks. 1,5 Min. 9 Min.9,5
72,59
70,89
65,11
62,49
61,22
Min. 70
8,53
8,13
7,80
7,55
7,61
-
41,73
301,75
473,90
555,15
578,95
-
27,98
5,64
-
-
-
-
77,73
73,02
-
-
-
-
1591,67 1550,00 1587,50 1606,25 1487,50
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1992).
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 7. Formulasi biskuit yang dihasilkan.
48
4.2.2. Uji organoleptik biskuit Uji organoleptik merupakan faktor penting untuk mengukur penerimaan panelis terhadap suatu produk makanan. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik atau uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang diamati meliputi tingkat kesukaan terhadap penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Parameter uji hedonik ini berupa angka skala satu sampai dengan tujuh, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = biasa, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka (Soekarto, 1985). Pada tahap ini dilakukan uji subyektif untuk mengukur tingkat kesukaan konsumen (hedonik), yaitu berupa uji organoleptik pada 30 orang panelis semi terlatih dari mahasiswa tingkat III, IV dan V pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, IPB. Uji hedonik ini bertujuan untuk melihat pengaruh formulasi biskuit dengan substitusi parsial tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih terhadap tepung terigu pada produk biskuit terhadap tingkat kesukaan panelis dari segi penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Dari hasil organoleptik didapatkan nilai rata-rata penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur untuk masing-masing formulasi biskuit. Jumlah nilai ratarata untuk formulasi biskuit B0, B1, B2, B3 dan B4 berturut-turut adalah 5,39; 5,15; 4,67; 4,45 dan 4,36. Dari hasil ini didapatkan bahwa formulasi biskuit B1 adalah yang terbaik tetapi nilainya masih lebih kecil dari formulasi biskuit B0. Hasil uji organoleptik, dari formulasi biskuit dengan kombinasi tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam mensubstitusi tepung terigu didapatkan hasil terbaik adalah formulasi biskuit B1, yaitu kombinasi antar tepung ikan pepetek 5 % dengan tepung ubi jalar putih 20 % terhadap tepung terigu 75 %. Formulasi biskuit B1 lebih baik dari formulasi biskuit lain pada semua parameter, antara lain: penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Sedangkan bila dibandingkan dengan formulasi B0 maka formulasi B1 lebih kecil nilainya pada parameter penampakan, warna dan rasa tetapi pada parameter aroma dan tekstur formulasi biskuit B1 lebih baik dari B0. Nilai rata-rata organoleptik biskuit disajikan pada Tabel 16.
49
Walaupun nilai rata-rata rasa formulasi biskuit B1 lebih kecil dari formulasi biskuit B0, tetapi pada uji lanjut Multiple Comparison, antara rasa B1 dan B0 tidak berbeda nyata. Hal ini berarti, rasa formulasi biskuit B1 dan B0 dapat dianggap sama. Tabel 16. Nilai rata-rata organoleptik biskuit Formulasi biskuit
Parameter B0
B1
B2
B3
B4
Penampakan
5,83
5,03
4,73
4,50
4,47
Warna
5,83
4,90
4,50
4,13
3,97
Aroma
4,93
5,07
4,50
4,33
4,00
Rasa
5,33
5,17
4,60
4,47
4,13
Tekstur
5,03 5,39
5,57 5,15
5,00 4,67
4,83 4,45
5,23 4,36
Rata-rata Keterangan :
Uji organoleptik skala satu sampai dengan tujuh B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino (lisin) dari ikan dengan gula pereduksi dari ubi jalar dan tepung terigu akan mempengaruhi penampakan, warna dan rasa biskuit. Dari reaksi Maillard akan terbentuk senyawa melanoidin yang menyebabkan warna biskuit menjadi coklat dan rasa yang pahit. Warna coklat yang berlebihan akan menyebabkan penampakan dan warna menjadi kurang menarik dan rasa yang kurang disukai oleh panelis. 4.2.2.1. Penampakan Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensori yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan menarik (Soekarto, 1985). Penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan biskuit berkisar antara 4,47 sampai dengan 5,83 (biasa sampai dengan suka). Nilai rata-rata penampakan
50
tertinggi dihasilkan oleh biskuit formulasi B0 dengan nilai rata-rata 5,83 dan nilai terendah pada biskuit formulasi B4 dengan nilai 4,47.
Nilai rata-rata penampakan
7 6
5,83 5,03
4,73
5
4,50
4,47
B3
B4
4 3 2 1 0 B0
B1
B2 Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 8. Histogram nilai rata-rata organoleptik penampakan biskuit. Hasil
analisis
Kruskal
Wallis
menunjukkan
bahwa
penambahan
tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada penampakan biskuit (Lampiran 3). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4. Penampakan biskuit salah satunya dipengaruhi oleh kandungan gluten dari tepung terigu, karena pada formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4, persentase tepung terigu sebesar 75 % sehingga kandungan glutennya lebih rendah daripada formulasi biskuit B0 yang mengandung tepung terigu 100 %. Gluten merupakan suatu massa yang sebagian besar terdiri dari protein, lengket seperti karet dan dapat diperoleh dari tepung gandum, dengan cara membuat adonan dan mencucinya pada air mengalir. Oleh karena itu, gluten memegang peranan penting sebagai bahan pengikat bahan-bahan lain dan sebagai bahan pembangun struktur adonan. Selain itu, pada waktu proses pemanggangan, gluten akan terkoagulasi,
51
sehingga menjadi lebih kompak dan dapat mencegah roti mengempis kembali (Fennema, 1996). Biskuit dengan substitusi tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih (B1, B2, B3, B4) lebih sulit dalam penggilingan (pelempengan) dan pencetakan, sehingga berpengaruh terhadap penampakannya. Sedangkan antara formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4 tidak berbeda nyata dalam penampakan biskuit. 4.2.2.2. Warna Warna merupakan sifat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Parameter warna dalam bahan pangan memiliki peran yang penting. Pada umumnya, konsumen sebelum mempertimbangkan parameter lain seperti rasa dan nilai gizi, terlebih dulu mempertimbangkan parameter warna. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan parameter lainnya normal ( Sukarni et al., 1980).
Nilai rata-rata warna
7 6
5,83 4,90
5
4,50
4,13
3,97
B3
B4
4 3 2 1 0 B0
B1
B2 Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 9. Histogram nilai rata-rata organoleptik warna biskuit.
52
Penilaian panelis terhadap parameter warna berkisar antara 3,97 sampai dengan 5,83 (biasa sampai dengan suka). Nilai warna tertinggi didapat pada formulasi biskuit B0 dengan nilai rata-rata 5,83. Sedangkan nilai warna terendah dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 dengan nilai rata-rata 3,97. Hasil analisis Kruskal Wallis pada parameter warna biskuit menunjukkan bahwa formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis (Lampiran 6). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit (B1, B2, B3 dan B4). Hal ini berarti penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna biskuit. Parameter warna ini tidak lepas dari derajat putih tepung yang digunakan sebagai bahan baku biskuit, dimana derajat putih tepung ikan pepetek hanya 16,64 % dan derajat putih tepung ubi jalar putih sebesar 66,87 %, jauh di bawah derajat putih tepung terigu sejumlah 80,54 %. Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan ke dalam formulasi biskuit, nilai rata-rata warna biskuitnya semakin kecil. Selain itu,
warna coklat pada biskuit disebabkan
oleh proses
pemanggangan adonan yang merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis dari gugus amino dari protein dan gula pereduksi sederhana (reaksi Maillard). Pada reaksi Maillard terjadi reaksi hidroksimetil furfural yang kemudian menjadi furfural dan berpolimerisasi dengan gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno, 1997). Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan, semakin tinggi kandungan asam amino yang terkandung dalam adonan sehingga pada waktu proses pemanggangan biskuit, reaksi Maillard yang terjadi semakin besar. Akibatnya, akan terbentuk warna biskuit yang semakin coklat (gelap) yang cenderung kurang disukai panelis.
53
4.2.2.3. Tekstur Tekstur adalah sifat benda yang meliputi kerenyahan, kekerasan dan keelastisan. Hal ini sangat menentukan tingkat penerimaan panelis terhadap produk. Kerenyahan merupakan tekstur yang dinilai kemudahannya untuk digigit. Penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur biskuit berkisar antara 4,83 sampai dengan 5,57 (agak suka sampai dengan suka). Nilai tekstur biskuit tertinggi dihasilkan oleh formulasi biskuit B1 dengan nilai rata-rata sebesar 5,57 dan nilai rata-rata tekstur biskuit terendah dihasilkan oleh formulasi biskuit B3
Nilai rata-rata tekstur
dengan nilai 4,83 (Gambar 10). 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0
5,57 5,03
5,23
5,00
B0
B1
4,83
B2
B3
B4
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 10. Histogram nilai rata-rata organoleptik tekstur biskuit. Hasil analisis Kruskal Wallis pada parameter tekstur menunjukkan bahwa formulasi
biskuit
dengan
penambahan
tepung
ikan
pepetek
dengan
tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam biskuit tidak memberi pengaruh nyata (Lampiran 9). Jadi, penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur biskuit. Adanya penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam formulasi biskuit tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur biskuit, sehingga
54
diduga tekstur biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan lain yang ikut digunakan dalam pembuatan biskuit. Penambahan lemak dalam bahan pangan selain untuk menambah kalori juga untuk memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan tersebut (Winarno, 1997). Pada adonan, lemak memberi shortening effect, elastis dan melunakkan tekstur, sehingga setelah proses pemanggangan tekstur biskuit tidak terlalu keras dan mudah lumat di dalam mulut. Sedangkan pada krim dan pelapis, lemak memberikan rasa flavor yang unik serta memberikan lapisan mengkilap pada permukaan biskuit (Manley, 1983). Selain itu, jumlah gula yang ditambahkan sangat mempengaruhi tekstur biskuit yang dihasilkan karena dapat memperlembut tekstur biskuit (Matz dan Matz, 1978). Sedangkan berdasarkan Sultan (1983), telur berperan dalam pemberian bentuk, tekstur dan flavor. Secara umum, tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dapat mensubstitusi
tepung
terigu
dalam
pembuatan
biskuit
hanya
sampai
batas tertentu atau hanya dalam jumlah yang kecil. Hal ini dapat terjadi karena pada tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih tidak mengandung gluten yang merupakan komponen sangat penting dalam proses adonan yang akan mempengaruhi tekstur biskuit (Manley, 1998). Tidak adanya gluten pada tepung pensubstitusi menyebabkan substitusi yang dilakukan dapat menurunkan kadar dan mutu gluten dari tepung yang disubstitusi, karena gluten merupakan suatu massa yang sebagian besar terdiri dari protein, lengket seperti karet dan dapat diperoleh dari tepung gandum, dengan cara membuat adonan dan mencucinya dengan air mengalir (Winarno, 1993). Gluten sendiri berasal dari gliadin dan glutenin yang terbentuk karena adanya air. Selama ini gluten hanya ditemukan pada gandum dan sejenisnya (Marliyati et al., 1992). Pada tepung ikan pepetek terdapat kandungan protein yang sangat besar, tetapi dari kandungan tersebut tidak terdapat gluten seperti halnya pada tepung terigu. Protein pada ikan terdiri dari tiga komponen utama, yaitu miofibril, sarkoplasma dan stroma. Protein miofibril terdiri dari miosin, aktin dan gabungan aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel (Suzuki, 1981). Fungsi protein miofibril pada adonan biskuit berbeda dengan fungsi gluten dari terigu, sehingga peran gluten tidak dapat digantikan oleh miofibril.
55
Komponen utama pada ubi jalar adalah karbohidrat yang terdiri dari pati, gula dan serat. Pati ubi jalar terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1 : 3 (Onwueme, 1978). Semakin kecil kandungan amilosa dan semakin tinggi kandungan amilopektin, semakin lekat (lengket) sifat adonannya (Winarno, 1997). Walaupun demikian, peranan amilopektin dalam adonan biskuit tidak dapat menggantikan peranan gluten. 4.2.2.4. Aroma Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh pancaindera penciuman. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak merupakan campuran empat bau, yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno, 1997). Berdasarkan uji organoleptik terhadap aroma biskuit, penilaian rata-rata panelis terhadap aroma berkisar antara 4,00 sampai dengan 5,07 (biasa sampai dengan agak suka). Nilai rata-rata parameter aroma tertinggi dihasilkan oleh formulasi biskuit B1 dengan nilai 5,07 dan nilai rata-rata terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 dengan nilai 4,00. 6 Nilai rata-rata aroma
4,93
5,07
5
4,50
4,33
4,00
4 3 2 1 0 B0
B1
B2
B3
B4
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 11. Histogram nilai rata-rata organoleptik aroma biskuit.
56
Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada aroma biskuit (Lampiran 11). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan formulasi biskuit B4 atau formulasi biskuit B0 tidak berbeda nyata dengan formulasi B1, B2 dan B3. Aroma biskuit B0, B1, B2 dan B3 oleh panelis dianggap tidak berbeda nyata, sehingga dapat dianggap sama. Sedangkan pada formulasi biskuit B4 nilainya paling kecil dan berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit lain. Hal ini diduga panelis kurang menyukai aroma ikan yang terlalu tajam (dominan) pada produk biskuit (B4). 4.2.2.5. Rasa Rasa merupakan faktor penting untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu produk makanan. Walaupun semua parameter normal tetapi jika tidak diikuti oleh rasa yang enak maka makanan tersebut tidak akan diterima oleh konsumen. Rasa lebih banyak melibatkan indera pengecap (Winarno, 1997). 6
5,33
5,17 4,60
Nilai rata-rata rasa
5
4,47
4,13
4 3 2 1 0 B0
B1
B2
B3
Formulasi biskuit Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 12. Histogram nilai rata-rata organoleptik rasa biskuit.
B4
57
Hasil analisis organoleptik terhadap parameter rasa dihasilkan nilai rataratanya berkisar antara 4,13 sampai dengan 5,33 (biasa sampai dengan agak suka). Nilai rata-rata parameter rasa tertinggi dihasilkan oleh formulasi biskuit B0 dengan nilai 5,33 dan nilai rata-rata terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 dengan nilai rata-rata 4,13. Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa biskuit (Lampiran 14). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan
bahwa
formulasi
biskuit
B0
berpengaruh
nyata
dengan
formulasi biskuit B2, B3 dan B4. Sedangkan formulasi biskuit B0 tidak berbeda nyata dengan formulasi biakuit B1. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan pepetek yang ditambahkan ke dalam formulasi biskuit, maka nilai rata-ratanya semakin kecil atau dengan kata lain semakin kurang disukai rasanya oleh panelis. Dari segi panelis, dapat diduga bahwa panelis kurang menyukai rasa ikan yang terlalu dominan pada produk biskuit. Selain itu, rasa biskuit juga dipengaruhi oleh adanya reaksi Maillard pada proses pemanggangan biskuit. Reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis dari gugus amino dari protein dan gula pereduksi sederhana. Dari reaksi Maillard dihasilkan senyawa melanoidin yang menyebabkan timbulnya rasa pahit pada biskuit. Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan,
maka
kandungan
asam
amino
semakin
tinggi,
sehingga
reaksi Maillard yang terjadi akan semakin besar. Pada akhirnya, senyawa melanoidin yang terbentuk semakin banyak dan rasanya akan semakin pahit, sehingga kurang disukai panelis. 4.2.3. Analisis Kekerasan Biskuit Analisis kekerasan merupakan analisis fisik yang dilakukan terhadap biskuit. Analisis ini dilakukan terhadap semua formulasi biskuit, diantaranya formulasi biskuit B0, B1, B2, B3 dan B4. Pengukuran analisis kekerasan biskuit dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner tipe RE-3305 dengan satuan gram force (gf). Analisis kekerasan dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan biskuit yang dihasilkan.
58
Pada analisis kekerasan biskuit, diperoleh nilai kekerasan biskuit berkisar antara 1487,50-1606,25 gf. Nilai rata-rata tertinggi dihasilkan oleh biskuit B3 dengan nilai rata-rata 1606,25 gf dan nilai rata-rata terendah dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 dengan nilai 1487,50 gf. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam mensubstitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan biskuit (Lampiran 16). Jadi, kekerasan biskuit untuk semua formulasi biskuit dapat dikatakan sama atau hampir sama.
Nilai rata-rata kekerasan (gf)
1850 1650
1591,67
1550,00
1587,50
1606,25
B0
B1
B2
B3
1487,50
1450 1250 1050 850 650 450 250 50 B4
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 13. Histogram nilai rata-rata kekerasan biskuit. Jika dengan adanya penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan biskuit, seperti halnya pada tekstur, maka kekerasan biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan lain yang ikut digunakan dalam pembuatan biskuit. Selain gluten, komponen yang sangat berperan terhadap kekerasan biskuit adalah lemak dan gula. Adanya lemak dan gula akan membentuk tekstur biskuit sehingga akan mempengaruhi kekerasan biskuit. Gula akan melembutkan biskuit, sedangkan dengan penambahan lemak
59
akan didapatkan biskuit yang renyah (Manley, 1998). Selain itu, kekerasan biskuit salah satunya dipengaruhi oleh telur yang digunakan dalam pembuatan biskuit karena telur berperan dalam pemberian bentuk dan tekstur serta flavor biskuit yang baik. Telur juga dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur (Sultan, 1983). 4.2.4. Analisis Kimia Biskuit Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference), pH, analisis kalsium, bioavailabilitas kalsium dan daya cerna protein in vitro. 4.2.4.1. Kadar air Analisis kadar air pada formulasi biskuit memiliki nilai rata-rata berkisar antara 2,28 % sampai dengan 2,46 %. Nilai rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada formulasi biskuit B0 dengan nilai rata-rata 2,46 % dan nilai rata-rata kadar air terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 sebesar 1,19 %. Kadar air biskuit maksimum sesuai SNI 01-2973-1992 adalah 5 %. Dengan demikian,
Nilai rata-rata kadar air (%)
biskuit yang dihasilkan telah memenuhi SNI 01-2973-1992. 3.0 2,46 2.5
2,28
2,25
2,07
2.0 1.5
1,19
1.0 0.5 0.0 B0
B1
B2
B3
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 14. Histogram nilai rata-rata kadar air biskuit.
B4
60
Hasil analisis ragam kadar air menunjukkan bahwa formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata (Lampiran
17).
Hasil
uji
lanjut
BNJ
(Tukey)
menunjukkan
bahwa
formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan formulasi biskuit B4. Sedangkan formulasi biskuit B0 tidak berbeda nyata dengan formulasi biskuit B1, B2 dan B3. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan pepetek yang ditambahkan dalam pembuatan biskuit, semakin rendah kadar air biskuitnya. Hal ini tidak terlepas dari kadar air tepung ikan pepetek yang sangat kecil (4,37 %). Kadar air formulasi biskuit B0 paling tinggi karena diduga dipengaruhi juga oleh kadar air tepung terigu yang cukup tinggi (11,18 %) bila dibandingkan kadar air tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih (5,13 %), karena pada formulasi biskuit B0 menggunakan tepung terigu 100 %. Tepung terigu dalam adonan berfungsi sebagai bahan pengikat. Salah satu fungsi bahan pengikat adalah mengurangi penyusutan selama pemasakan atau pemanggangan (Tanikawa, 1971). Jadi, semakin tinggi tepung terigu pada produk, maka kemampuan untuk mengurangi penyusutan selama pemanggangan semakin besar. Hal ini dapat dilihat pada nilai kadar air formulasi biskuit B0 dengan nilai kadar air biskuit yang lain. Sedangkan pada formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4, dimana memiliki kandungan tepung terigu yang sama, nilai kadar airnya juga semakin menurun. Hal ini tidak terlepas dari kandungan tepung ubi jalar putih yang semakin kecil karena tepung ubi jalar putih dapat berfungsi sebagai bahan pengikat yang dapat mengurangi penyusutan bahan selama pemanggangan. Jika semakin kecil jumlah tepung ubi jalar putih yang ditambahkan, maka semakin kecil kemampuan untuk mengurangi penyusutan pada saat pemanggangan sehingga kadar airnya semakin menurun. 4.2.4.2. Kadar abu Abu merupakan ukuran dari komponen anorganik yang ada dalam suatu bahan pangan. Mineral merupakan zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah kecil (Winarno, 1997). Secara umum mineral dikelompokkan menjadi dua, yaitu mineral makro dan mineral mikro (trace element).
61
Analisis kadar abu pada biskuit memiliki nilai rata-rata berkisar antara 1,85 % sampai dengan 4,43 %. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada formulasi biskuit B4 dengan nilai rata-rata 4,43 % dan nilai rata-rata kadar abu terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B0 dengan nilai rata-rata 1,85 %. Kadar abu maksimal menurut SNI 01-2973-1992 adalah 1,5 %. Jadi, semua formulasi biskuit tidak memenuhi SNI 01-2973-1992. Hasil analisis ragam pada kadar abu menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata pada kadar abu biskuit (Lampiran 19). Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0
Nilai rata-rata kadar abu (%)
berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4. 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
4,43 3,96 3,46 2,72 1,85
B0
B1
B2
B3
B4
Formulasi biskuit Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 15. Histogram nilai rata-rata kadar abu biskuit. Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan pada biskuit, semakin tinggi nilai rata-rata kadar abunya (Gambar 15). Hal ini disebabkan kadar abu tepung ikan pepetek sangat tinggi karena dalam pembuatan tepung ikan digunakan seluruh bagian tubuh ikan kecuali jeroan. Di dalamnya terdapat tulang, sirip dan sisik dan lain-lain yang mengandung banyak mineral seperti kalsium dan fosfor, sehingga kadar abu pada tepung ikan pepetek cukup tinggi yang akan
62
berpengaruh terhadap kadar abu biskuit yang dihasilkan. Mineral utama dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah yang lebih kecil adalah natrium, magnesium dan fluor (Winarno, 1997). 4.2.4.3. Kadar protein Analisis kadar protein pada formulasi biskuit memiliki nilai rata-rata berkisar antara 7,71 % sampai dengan 14,77 %. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada formulasi biskuit B4 dengan nilai rata-rata 14,77 % dan nilai rata-rata terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B0 dengan nilai rata-rata 7,71 %. Kadar protein minimal menurut SNI 01-2973-1992 adalah 9 %. Jadi, formulasi biskuit B0 dan B1 tidak sesuai dengan SNI 01-2973-1992, sedangkan
Nilai rata-rata kadar protein (%)
formulasi biskuit B2, B3 dan B4 sudah sesuai dengan SNI 01-2973-1992. 14,77
16 13,30
14 11,22
12 10 8
7,71
8,38
6 4 2 0 B0
B1
B2
B3
B4
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 16. Histogram nilai rata-rata kadar protein biskuit. Hasil analisis ragam pada kadar protein menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 21). Hasil uji lanjut BNJ (Tukey) menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit kecuali B1.
63
Seperti halnya pada kadar abu, jika semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan pada formulasi biskuit, maka semakin tinggi kadar proteinnya (Gambar 16). Hal ini diduga disebabkan kadar protein pada tepung ikan pepetek yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan biskuit sangat tinggi (60,13 %), sehingga semakin banyak tepung ikan pepetek yang ditambahkan pada formulasi biskuit, maka kadar protein biskuitnya semakin tinggi pula. 4.2.4.4. Kadar lemak Fungsi lemak dalam pembuatan biskuit antara lain, (1) menambah kalori, memperbaiki cita rasa dan tekstur bahan pangan (Winarno, 1997), (2) pada adonan memberi shortening effect, elastis dan melunakkan tekstur, sehingga setelah proses pemanggangan, tekstur biskuit tidak terlalu keras dan mudah lumat di dalam mulut (Manley, 1998), (3) memberikan rasa flavor yang unik serta
Nilai rata-rata kadar lemak (%)
memberikan lapisan mengkilap pada permukaan biskuit (Manley, 1998). 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2
15,36
15,73
B0
B1
17,96
18,18
18,39
B2
B3
B4
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 17. Histogram nilai rata-rata kadar lemak biskuit. Analisis kadar lemak pada biskuit memiliki nilai rata-rata berkisar antara 15,36 % sampai dengan 18,39 %. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada formulasi biskuit B4 dengan nilai rata-rata 18,39 % dan nilai rata-rata terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B0 dengan nilai rata-rata 15,36 %. Kadar lemak
64
minimal sesuai SNI 01-2973-1992 adalah 9,5 %. Jadi, formulasi biskuit yang dihasilkan telah memenuhi SNI 01-2973-1992. Hasil analisis ragam menunjukkan, penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata pada kadar lemak biskuit (Lampiran 23). Hasil uji lanjut BNJ (Tukey), menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit kecuali B1. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan pepetek yang ditambahkan pada biskuit, semakin tinggi nilai rata-rata kadar lemaknya (Gambar 17). Hal ini disebabkan oleh kadar lemak tepung ikan pepetek yang digunakan dalam pembuatan biskuit cukup tinggi (19,49 %), sehingga jika semakin banyak tepung ikan pepetek yang ditambahkan dalam formulasi biskuit, maka kadar lemaknya juga semakin tinggi. Selain dari tepung ikan pepetek, kandungan lemak pada biskuit juga berasal dari bahan-bahan lainnya seperti margarin. 4.2.4.5. Kadar karbohidrat Karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik makanan seperti warna, tekstur dan lain-lain. Sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna dalam pencegahan timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno, 1997). Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan berdasarkan by difference. Kadar karbohidrat biskuit memiliki nilai rata-rata berkisar antara 61,22 % sampai dengan 72,59 %. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada formulasi biskuit B0 dengan nilai 72,59 % dan nilai terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 dengan nilai 61,22 %. Kadar karbohidrat minimum sesuai SNI 01-2973-1992 adalah 70 %. Jadi, formulasi biskuit B0 dan B1 sudah sesuai dengan SNI 01-2973-1992, sedangkan formulasi biskuit B2, B3 dan B4 tidak sesuai dengan SNI 01-2973-1992.
65
Nilai rata-rata kadar karbohidrat (%)
80
72,59
70,89 65,11
70
62,49
61,22
B3
B4
60 50 40 30 20 10 B0
B1
B2 Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 18. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat biskuit. Hasil analisis ragam pada kadar karbohidrat biskuit menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran
25).
Hasil
uji
lanjut
BNJ
(Tukey)
menunjukkan
bahwa
formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit kecuali B1. Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan pada biskuit, semakin kecil nilai rata-rata kadar karbohidratnya karena kadar karbohidrat tepung ikan pepetek sangat kecil (0,90 %). Hal ini dapat terjadi karena kadar karbohidrat dihitung by difference, semakin tinggi kadar lemak dan kadar proteinnya, maka semakin rendah kadar karbohidratnya. Formulasi biskuit B1 tidak berbeda nyata dengan formulasi biskuit B0 karena pada formulasi biskuit B1 tepung ikan pepetek yang digunakan hanya sebesar 5 % sedangkan tepung ubi jalar putih yang digunakan sebesar 20 %. Kadar karbohidrat tepung ubi jalar cukup tinggi (87,87 %), lebih tinggi dari kadar karbohidrat pada tepung terigu (80,99 %).
66
4.2.4.6. Analisis derajat keasaman (pH) Analisis derajat keasaman (pH) dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman suatu bahan pangan. Bahan pangan biasanya memiliki nilai pH mendekati netral karena pH ini baik dari segi cita rasa. Analisis ini menunjukkan bahwa nilai pH berkisar antara 7,55 sampai dengan 8,53. Di dalam SNI 01-2973-1992 tidak menyebutkan batasan nilai pH biskuit. Pada formulasi biskuit B0 dan B1, nilai pH cenderung lebih tinggi, yaitu di atas delapan. Sedangkan nilai pH pada formulasi biskuit B2, B3 dan B4 cenderung netral. Dari segi mikrobiologis, pH biskuit ini kurang menguntungkan karena bakteri perusak umumnya memerlukan pH yang lebih tinggi dari 4,6 sampai pH netral untuk dapat tumbuh dengan baik (Purnawijayanti, 2001), tetapi pH yang semakin mendekati normal baik dari segi cita rasa. Kelemahan dari sisi mikrobiologis dapat ditutupi dengan rendahnya kadar air bahan. 9
8,53
8,13
Nilai rata-rata pH
8
7,80
7,55
7,61
B2
B3
B4
7 6 5 4 3 2 1 B0
B1
Formulasi Biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 19. Histogram nilai rata-rata pH biskuit. Hasil analisis ragam pH pada biskuit menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu
67
pada pembuatan biskuit memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 27). Uji lanjut BNJ (Tukey) pada pH menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan formulasi biskuit B2, B3, B4 dan tidak berbeda nyata dengan formulasi biskuit B1. Berdasarkan histogram (Gambar 19) dapat dilihat bahwa semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan ke dalam formulasi biskuit, cenderung semakin kecil nilai pH-nya. Hal ini sesuai dengan penelitian Tanuwidjaya (2002), bahwa seiring dengan terjadinya peningkatan konsentrasi tepung tulang ikan terjadi penurunan pH bahan. Hal ini mengindikasikan bahwa pH dari tepung ikan rendah sehingga mengakibatkan penurunan pH yang mendekati normal. 4.2.4.7. Analisis kalsium Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain. Peranan kalsium dalam tubuh dapat dibagi dua, yaitu membantu membentuk tulang dan gigi serta mengukur proses biologis dalam tubuh. Kalsium juga berperan dalam pembentukan trombin, proses penggumpalan darah, proses penyerapan vitamin B12 serta bermanfaat dalam struktur dan fungsi sel membran
Nilai rata-rata kalsium (mg/100g)
(Winarno, 1997). 600
555,15
578,95
473,90
500 400 301,75 300 200 100
41,73
0 B0
B1
B2
B3
Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
Gambar 20. Histogram nilai rata-rata kadar kalsium biskuit.
B4
68
Kadar kalsium biskuit yag dihasilkan berkisar antara 41,73-580 mg/100g. Dalam SNI 01-2973-1992 tidak menyebutkan ketentuan kadar kalsium. Kadar kalsium terkecil dihasilkan oleh formulasi biskuit B0 sebesar 40 mg/100g dan kadar kalsium tertinggi terdapat pada formulasi biskuit B4 sebesar 578,95 mg/100g. Terjadi perbedaan kadar kalsium yang sangat signifikan antara formulasi biskuit kontrol (B0) dengan formulasi biskuit yang ditambahkan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih (B1, B2, B3 dan B4). Analisis ragam kadar kalsium biskuit menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata (Lampiran 29). Berdasarkan uji lanjut BNJ (Tukey) menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata terhadap semua formulasi biskuit. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan pepetek yang ditambahkan dalam formulasi biskuit, semakin tinggi pula nilai rata-rata kadar kalsiumnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan kalsium pada tepung ikan pepetek yang digunakan dalam pembuatan biskuit cukup tinggi karena tulang ikan pepetek diikutsertakan dalam proses pembuatan tepung ikan. Mineral utama dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah yang lebih kecil adalah natrium, magnesium dan fluor (Winarno, 1997). 4.2.4.8. Bioavailabilitas kalsium Saat tubuh sangat membutuhkan kalsium dan berada pada kondisi optimal, 30-50 % kalsium yang dikonsumsi dapat diabsorpsi tubuh, sedangkan pada kondisi normal, penyerapan sebesar 20-30 % dianggap baik, dan kadang-kadang penyerapannya hanya mencapai 10 %. Pada masa pertumbuhan anak, penyerapan dapat mencapai 75 % dari makanan berkalsium. Sebelum penyerapan, natrium, vitamin D, dan satu atau dua protein pengikat kalsium harus tersedia (Almatsier, 2003). Dalam analisis secara in vitro, status kalsium dikondisikan dalam keasaman / kehomogenan kondisi kantong dialisis. Setiap kantong berada dalam kondisi yang sama sehingga keragaman penyerapan kalsium bukan merupakan fungsi dari model keragaman status kalsium.
69
Keragaman penyerapan kalsium erat kaitannya dengan kandungan kalsium yang dikonsumsi. Pada formulasi biskuit B0, dimana kandungan kalsium sebesar 41,70 mg/100g dapat diserap sebesar 27,98 % atau 11,67 mg/100g. Sedangkan pada formulasi biskuit B1, kandungan kalsium sebesar 301,7 mg/100g dapat diserap sebesar 5,64 % atau 17,01 mg/100g.
350
301,75
300 250 200 150 100
41,73
50
27,98
11,67
5,64
17,01
0 Total Ca (mg/100g)
Bioavailabilitas Ca (%)
Formulasi biskuit B0
Ketersediaan Ca (mg/100g)
Formulasi biskuit B1
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi terbaik, tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 %
Gambar 21. Histogram nilai rata-rata bioavailabilitas kalsium biskuit. Pada
analisis
bioavailabilitas
kalsium
(daya
serap
kalsium),
formulasi biskuit B1 yang memiliki kandungan kalsium bahan lebih tinggi (301,7 mg/100g), memiliki nilai penyerapan kalsium lebih rendah daripada formulasi
biskuit
B0
yang
memiliki
kandungan
kalsium
lebih
kecil
(41,7 mg/100g). Hal ini sesuai dengan penelitian in vivo bahwa efisiensi penyerapan kalsium bervariasi secara kebalikan dengan asupan kalsium. Semakin rendah kandungan kalsium bahan, penyerapan kalsiumnya justru semakin tinggi. Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi dosis rendah, sehingga
terjadi
kenaikan
penyerapan
kalsium.
Selain
itu,
menurut
Almatsier (2003), penyerapan kalsium akan meningkat bila kalsium yang dikonsumsi menurun.
70
Bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti asam oksalat dan asam fitat, serat, vitamin D, fosfor serta faktor-faktor lain. Pada ubi jalar, komponen ketiga terbesar pada karbohidrat setelah pati dan gula adalah serat. Serat pada ubi jalar diantaranya pektin 0,9 %, hemiselulosa 0,7 % dan selulosa 1,5 %. Secara umum serat merupakan kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Serat dapat menurunkan absorbsi kalsium, diduga karena serat menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran pencernaan sehingga mengurangi kesempatan untuk absorbsi (Almatsier, 2003). Formulasi biskuit B1 merupakan penambahan tepung ubi jalar sebesar 20 %, diduga kandungan seratnya cukup tinggi sehingga dapat menurunkan absorbsi kalsium. 4.2.4.9. Daya cerna protein in vitro Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah kandungan asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein yang sukar dicerna jumlahnya sebagian besar akan
Nilai rata-rata daya cerna protein in vitro (% )
dibuang oleh tubuh bersama feses (Zakaria et al., 1996).
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
77,73
73,02
B0
B1 Formulasi biskuit
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 %, tepung ubi jalar putih 0 % B1 = Formulasi terbaik, tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 %
Gambar 22. Histogram nilai rata-rata daya cerna protein biskuit.
71
Pada analisis daya cerna protein secara in vitro, diperoleh nilai rata-rata pada formulasi biskuit B0 sebesar 77,73 % dan daya cerna protein in vitro formulasi B1 adalah 73,02 %. Daya cerna protein in vitro formulasi biskuit B1 lebih kecil daripada formulasi biskuit B0 tetapi secara umum daya cerna protein kedua formulasi biskuit tersebut relatif tinggi dan tidak berbeda jauh. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi daya cerna protein, salah satunya adalah faktor antigizi seperti antitripsin, antikimotripsin, hemaglutinin, saponin,
fitat,
oligosakarida,
senyawa
polifenol
yang
antivitamin
dapat
dan
menurunkan
vitamin nilai
daya
antagonis cerna
serta protein
(Bradbury dan Holloway, 1988). Komponen antinutrisi yang terdapat pada ubi jalar adalah antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa (oligosakarida). Pada ubi jalar terdapat antitripsin sebanyak 2,2-25,4 TIU/g dan antikimotripsin 0,99 TIU/g serta 0,5 % rafinosa terdapat pada ubi jalar yang telah dimasak (Bradbury dan Holloway, 1988). Formulasi biskuit B1 merupakan penambahan tepung ubi jalar putih sebesar 20 %, diduga mengandung antinutrisi seperti antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa yang dapat menurunkan daya cerna protein. Selain itu, pada proses pengolahan juga dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan daya cerna protein, seperti proses pemanasan, reaksi Maillard, penambahan asam (Sukarni et al., 1989). Adanya reaksi Maillard pada saat proses pengolahan dapat menurunkan daya cerna protein (Winarno, 1997). 4.2.5. Angka Kecukupan Gizi Nilai gizi yang terkandung dalam sajian per 100 gram biskuit formulasi B0 dan B1 dihitung berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) pada diet manusia 2000 kkal (Widya Karya Pangan dan Gizi, 2004). Perhitungan AKG disajikan pada Lampiran 31. Informasi nilai gizi formulasi biskuit B0 dan B1 dapat dilihat pada Tabel 17. Pada formulasi biskuit B0 (tanpa penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih) dengan takaran saji 100 g dapat memenuhi kebutuhan gizi protein, karbohidrat, lemak dan kalsium secara berturut-turut adalah 11,86 %, 24,20 %, 51,20 % dan 1,45 % dan menyumbang energi sebesar 604,98 kkal/100g.
72
Formulasi biskuit B0 sudah sesuai dengan standar minimal kalori menurut SNI 01-2973-1992 sebesar 400 kkal/100g. Tabel 17. Informasi nilai gizi biskuit formulasi B0 dan B1 dalam takaran saji 100 gram. Formulasi B0 Takaran saji dalam 100 gram Gizi
Formulasi B1 Takaran saji dalam 100 gram % AKG*
Protein 7,71 g Karbohidrat 72,59 g Lemak 15,36 g
11,86 % 24,20 % 51,20 %
Kalsium
11,67 mg/100g
Energi
604,98 kkal/100g
Gizi
% AKG*
Protein 8,38 g Karbohidrat 70,89 g Lemak 15,73 g
1,45 % Kalsium Energi
12,89 % 24,05 % 52,43 %
17,01 mg/100g
2,10 %
619,92 kkal/100g
* Angka Kecukupan Gizi pada diet manusia 2000 kkal (Widya Karya Pangan dan Gizi, 2004).
Formulasi biskuit B1, yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan pepetek sebesar 5 % dan tepung ubi jalar putih sebesar 20 %, pada takaran saji yang sama dapat memenuhi kebutuhan gizi protein, karbohidrat, lemak dan kalsium berturutturut 12,89 %, 24,05 %, 52,43 % dan 2,10 % dan menyumbang energi sebesar 619,92 kkal/100g. Formulasi biskuit B1 sudah dapat memenuhi standar minimal kalori menurut SNI 01-2973-1992 sebesar 400 kkal/100g. Pada analisis ekonomi secara kasar formulasi biskuit B1 (dalam 100 g tepung) diperoleh total biaya produksi sebesar Rp. 1.173,54. Hasil akhir setelah menjadi biskuit didapatkan berat bersih sebesar 140 g dan dikemas tiap 20 g, sehingga diperoleh tujuh bungkus biskuit. Harga per bungkus diasumsikan Rp. 350,00 maka total pendapatan yang diperoleh sebesar 2.450,00. Analisis kelayakan usaha berdasarkan Metode Analisis menurut Hernan (1989), diperoleh bahwa formulasi biskuit ini layak untuk diusahakan. Data selengkapnya disajikan pada lampiran 33.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kombinasi tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dapat digunakan sebagai substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit. Formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek 5 % dan tepung ubi jalar putih 20 % terhadap tepung terigu 75 % (B1), menghasilkan produk biskuit terbaik dari hasil uji organoleptik. Uji organoleptik biskuit menunjukkan formulasi biskuit B1 lebih baik dari formulasi biscuit lain (B2, B3 dan B4) pada semua parameter, antara lain penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Tetapi untuk parameter penampakan, warna dan rasa, nilai rata-rata B1 lebih kecil dari B0. Walaupun nilai rata-rata rasa lebih kecil tetapi pada uji lanjut Multiple Comparison, antara B1 dan B0 tidak berbeda nyata. Hal ini berarti, rasa formulasi biskuit B1 dan B0 dapat dianggap sama. Hasil analisis kimia formulasi biskuit B1 memiliki kadar air 2,28 %, kadar abu 2,72 %, kadar protein 8,38 %, kadar lemak 15,73 % dan kadar karbohidrat 70,89 %. Kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat sesuai dengan SNI 01-2973-1992, tetapi untuk kadar protein dan kadar abu tidak sesuai dengan SNI 01-2973-1992. Kadar kalsium formulasi biskuit B1 300 mg/100g dengan bioavailabilitasnya sebesar 5,64 % atau ketersediaan kalsiumnya sebesar 17,01 mg/100g. Daya cerna protein in vitro biskuit B1 sebesar 73,02 %. Nilai kekerasannya sebesar 1550 gf dengan pH 8,13. Formulasi biskuit B1 pada takaran saji 100 g dapat memenuhi kebutuhan gizi protein, karbohidrat, lemak dan kalsium berturut-turut 12,89 %, 24,05 %, 52,43 % dan 2,10 % atau energinya 619,60 kkal/100g. Formulasi biskuit B1 sudah dapat memenuhi standar minimal kalori biskuit menurut SNI 01-29731992 sebesar 400 kkal/100g. Oleh karena itu, formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan ubi jalar putih dalam mensubstitusi tepung terigu dapat digunakan sebagai alternatif pangan yang mengandung gizi yang cukup baik.
74
5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan mutu biskuit, hal-hal yang perlu dilakukan : a. Pada formulasi terbaik (B1), kandungan tepung ikan pepetek hanya 5 %, sehingga perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan jumlah tepung ikan pada formulasi terbaik (misalnya B4) dengan cara pemberian flavor pada biskuit agar memiliki cita rasa yang lebih enak. b. Kandungan protein pada formulasi terbaik (B1) masih rendah, sehingga perlu dilakukan peningkatan kadar protein produk, misalnya dengan pembuatan tepung ikan dengan kandungan protein yang lebih tinggi. c. Kadar kalsium biskuit terbaik sangat tinggi tetapi bioavailabilitasnya (penyerapan) rendah, sehingga perlu dilakukan kajian untuk meningkatkan bioavailabilitasnya dengan cara mengurangi faktor-faktor penghambat, seperti kandungan serat ataupun dengan cara penyederhanaan bentuk kalsium pada bahan agar dapat diserap tubuh. d. Penghilangan atau pengurangan faktor-faktor antinutrisi pada ubi jalar, seperti antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa untuk meningkatkan nilai gizi dan daya cerna protein biskuit.
DAFTAR PUSTAKA Allo YB. 1998. Selektifitas Trammel Net terhadap Ikan Pepetek di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Allen LH dan Wood JR. 1994. Calcium and Phosporous. Di dalam Modern Nutrition in Health and Disease ed. 8 vol. 1 (Diedit oleh: Shils EM, Olson JA dan Shike M). USA: Lea and Febringer. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. Anonimous. 2003. Statistik Tanaman Pangan. http://www.deptan.go.id/ditjentp/statistik/PROP68-2001/ujlr-nas/Ujalar Nas.htm. [14 September 2005]. Anonimous. 2005. Rabbitfish Cage Culture Trial. www.fao.org/docrep/field/003. [21 Januari 2006]. Anwar S, Kustiyah. 1994. Petunjuk Praktikum Pengawetan dan Pengolahan Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [AOAC]. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist Inc. Washington DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Artama T. 2003. Pembuatan Crackers dengan Penambahan Tepung Ikan Lemuru (Sardinella longiceps). [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogasari. 2002. Seputar [21 Mei 2006].
Pembuatan
Cake.
www.bogasariflour.com.
Bradbury JH, Holloway WD. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops: Significance for Nutrition and Agriculture in the Pasific. Canberra: ACIAR Monograph Series No. 6. Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton N. 1987. Ilmu Pangan. Edisi Kedua. Penerjemah: Purnono H, Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Departemen Perindustrian. 1990. Syarat Mutu Biskuit. SII 0177-90. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1992. Bahan Makanan. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Daftar
Komposisi
76
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 1999. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. [DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI No. 01-2973-1992. Standar Mutu Biskuit. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Fennema OR. 1996. Food Chemistry (3rd Ed.). New York: Marcel Dekker Inc. Harris RS, Karmas E. 1981. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. Huang PC. 1982. Nutritive Value of Sweet Potato. Di dalam: Villareal RL dan Griggs TD (eds). 1982. Sweet Potato: Proccedings of The First International Symposium. P 35-36. Taiwan: Hong Wen Printing Works. Ilyas S. 1977. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan Tinggi. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI. Juwono. 1989. Cara Pengurangan Kandungan Urea Daging Ikan Cucut pada Pembuatan Tepung Ikan untuk Pangan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kay DE. 1973. Roots Crop. London: The Tropical Products Institute Foreign and Common Wealth Office. Khasanah U. 2003. Formulasi, Karakterisasi Fisiko-Kimia dan Organoleptik Produk Makanan Sarapan Ubi Jalar (Sweet Potato Flakes) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Pangan, Fateta, IPB. Koswara S, Subarna, Rohmatul. 2003. Diversifikasi Pangan Berbasis Ubi Jalar. Bogor: Laporan Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Tahun I 2002/2003, Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Lingga P, Sarwono B, Rahardi I, Rahardjo PC, Afriastini JJ, Widianto R dan Apriadji WH. 1986. Bertanam umbi-umbian. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Manley. 1998. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Chisester: Ellis Horwood Limited. Publishers. Marliyati SA, Sulaeman A, Anwar F. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, IPB. Matz SA dan Matz TD. 1978. Cookies and Crackers Technology. West Port Connecticut: The AVI Publishing Co. Inc.
77
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. Onwueme IC. 1978. The Tropical Tuber Crops. New York: John Wiley and Sons Inc. Purnawijayanti HA. 2001. Sanitasi, Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius. Rotar PP dan Bird PK. 1981. Bibliography of Sweet Potato. Hawai: Agricultural Experiment Station In Press. Rukmana R. 1997. Ubi Jalar, Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bogor: Penerbit Bina Cipta. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Profesi dan Mahasiswa. Jilid I. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Sistrunk WA. 1977. Relationship of Storage, Handling and Cooking Method to Color, Hardcore Tissue and Carbohydrate Compotition in Sweet Potatoes. Di Dalam Villareal RL dan Griggs TD (eds). 1982. Sweet Potato: Proccedings of The First International Symposium. P 135-136. Taiwan: Hong Wen Printing Works. Soekarto ST. 1985. Penelitian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Aksara. Soenarjo R. 1984. Potensi Ubi Jalar sebagai Bahan Baku Gula Fruktosa. Bogor: Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 3 (1) : 6-11. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjeman: Sumantri B. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Steinbauer CE dan Kushman LJ. 1971. Sweetpotato Culture and Disease. Agriculture Handbook No. 388. Washington: Agricultural Research Service-United States Department of Agriculture. Sukarni M, Kustiyah L dan Sulaeman A. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Sulaeman A. 1993. Pengembangan Formula Produk Makanan Balita dengan Bahan Dasar Campuran Tepung Singkong dan Tepung Pisang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
78
Sultan WJ. 1983. Practical Baking. West Port Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tanuwidaja N. 2002. Pemanfaatan Tepung Tulang Patin (Pangasius pangasius) dalam Pembuatan Mi Kering [skripsi]. Karawaci: UPH. Tanikawa E. 1971. Marine Product in Japan. Japan: Koisiska Koseikaku. Wahyuni M. 2005. Teknik Reduksi Kadar Merkuri (Hg) pada Hasil Kelautan di Teluk Buyat serta Batas Aman Konsumsinya bagi Manusia dalam Bentuk Produk Perikanan Bernilai Tambah. Bogor: Laporan Akhir Hibah Penelitian Bahari. Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture: Fundamentals of In-Line Production. London: Applied Science Publisher Ltd. Widodo Y. 1989. Prospek dan Strategi Pengembangan Ubi Jalar sebagai Sumber Devisa. Bogor: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 8 (4): 83-88. Widowati S, Santoso BAS, Damardjati BS. 1994. Penggunaan Tepung Ubi Jalar Sebagai Salah Satu Bahan Baku dalam Pembuatan Bihun. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi Jalar Mendukung Industri. Malang: Balittan. Widya Karya Pangan dan Gizi. 2004. Risalah Widya Karya Pangan dan Gizi IV. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. Woolfe JA. 1999. Food Potato an Untapped Food Resource. New York: Chapman and Hall. Zakaria F, Astawan M, Prangdimurti E. 1996. Penuntun Praktikum Evaluasi Nilai Pangan dan Gizi. Bogor: Diktat Jurusan Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
79
LAMPIRAN
80
Lampiran 1. Daftar isian uji organoleptik biskuit
UJI HEDONIK Nama
:…………………..
Tanggal
:…………………..
Produk
: Biskuit
Instruksi
:
1. Cicipilah sampel yang akan diuji. 2. Netralkan lidah dengan air putih sebelum mencicipi sampel yang berikutnya. 3. Nyatakan tingkat kesukaan Anda pada kolom yang disediakan. 4. Antar sampel tidak boleh dibandingkan.
B0
B1
B2
B3
Penampakan Warna Aroma Rasa Tekstur
Keterangan : 1 = sangat tidak suka
5 = agak suka
2 = tidak suka
6 = suka
3 = agak tidak suka
7 = sangat suka
4 = biasa / netral
B4
81
Lampiran 2. Data uji organoleptik terhadap penampakan biskuit
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
B0 6 7 7 5 6 6 6 6 5 7 5 7 7 4 5 7 4 7 5 6 6 6 7 4 6 6 5 6 5 6
B1 5 6 7 6 4 6 4 2 4 6 5 6 6 3 5 6 7 6 6 5 5 4 6 3 5 3 5 6 5 4
B2 5 5 5 4 5 6 4 2 4 6 3 5 6 5 5 5 5 6 6 4 4 4 5 5 6 4 4 6 4 4
B3 4 5 4 5 3 6 4 3 4 5 3 5 6 1 5 4 6 5 7 6 6 5 5 4 5 3 4 6 3 3
B4 4 4 6 6 3 6 4 5 4 5 2 4 6 3 4 5 6 3 7 5 4 5 5 3 6 2 3 6 5 3
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0%, tepung ubi jalar putih 0% B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
82
Lampiran 3. Uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit
Rinking PENAMPAKAN
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 Total
N 30 30 30 30 30 150
Rata-rata rinking 106,47 80,12 67,68 62,05 61,18
Uji statistikab Chi-Square df Asymp. Sig.
PENAMPAKAN 24,053 4 0,000
a. Uji Kruskal Wallis b. Grouping variable : Perlakuan
ANOVA Between PENAMPAKAN Groups Within Groups Total
Sum of Squares 37,907
df 4
199,967 237,873
145 149
Hipotesis: Asymp sig < 0,05 berbeda nyata Asymp sig > 0,05 tidak berbeda nyata
Mean Square F Sig. 9,477 6,872 0,000 1,379
83
Lampiran 4. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan biskuit
Tukey HSD Mean Std. Error Sig. 95% Difference Confidence (I-J) Interval Dependent (I) (J) Lower Variable Perlakuan Perlakuan Bound B1 0,8000 0,30321 0,069 -0,0376 PENAMPAKAN B2 1,1000* 0,30321 0,004 0,2624 B0 B3 1,3333* 0,30321 0,000 0,4957 B4 1,3667* 0,30321 0,000 0,5291 B0 -0,8000 0,30321 0,069 -1,6376 B2 0,3000 0,30321 0,860 -0,5376 B1 B3 0,5333 0,30321 0,402 -0,3043 B4 0,5667 0,30321 0,339 -0,2709 B0 -1,1000* 0,30321 0,004 -1,9376 B1 -0,3000 0,30321 0,860 -1,1376 B2 B3 0,2333 0,30321 0,939 -0,6043 B4 0,2667 0,30321 0,904 -0,5709 B0 -1,3333* 0,30321 0,000 -2,1709 B1 -0,5333 0,30321 0,402 -1,3709 B3 B2 -.0,333 0,30321 0,939 -1,0709 B4 0,0333 0,30321 1,000 -0,8043 B0 -1,3667* 0,30321 0,000 -2,2043 B1 -0,5667 0,30321 0,339 -1,4043 B4 B2 -0,2667 0,30321 0,904 -1,1043 B3 -0,0333 0,30321 1,000 -0,8709 * Pada selang kepercayaan 0,05
Upper Bound 1,6376 1,9376 2,1709 2,2043 0,0376 1,1376 1,3709 1,4043 -0,2624 0,5376 1,0709 1,1043 -0,4957 0,3043 0,6043 0,8709 -0,5291 0,2709 0,5709 0,8043
84
Lampiran 5. Data uji organoleptik terhadap warna biskuit.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
B0 5 7 6 6 6 6 7 6 6 7 4 7 7 5 6 7 4 7 7 6 6 5 5 3 6 5 6 7 5 5
B1 5 5 6 6 4 5 4 3 3 6 6 4 5 3 5 6 7 6 7 6 6 2 5 5 5 4 5 5 4 4
B2 4 3 6 5 5 5 3 3 4 6 6 4 5 6 5 4 5 5 7 3 4 3 4 5 5 4 4 5 4 3
B3 4 3 3 5 3 5 5 3 4 5 4 4 5 1 4 4 6 4 7 6 5 4 4 3 4 4 4 5 3 3
B4 3 2 4 7 3 5 4 5 3 5 3 4 3 3 4 5 5 2 6 4 3 6 4 3 4 2 3 7 4 3
Keterangan: B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0%, tepung ubi jalar putih 0% B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
85
Lampiran 6. Uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit
Rinking WARNA
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 Total
N 30 30 30 30 30 150
Rata-rata rinking 112,43 83,95 69,80 58,53 52,78
Uji statistikab WARNA 37,820 4 0,000
Chi-Square df Asymp. Sig.
a. Uji Kruskal Wallis b. Grouping variable : Perlakuan
ANOVA WARNA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 66,533
Df 4
200,800
145
267,333
149
Hipotesis: Asymp sig < 0,05 berbeda nyata Asymp sig > 0,05 tidak berbeda nyata
Mean Square F 16,633 12,011 1,385
Sig. 0,000
86
Lampiran 7. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap warna biskuit.
Tukey HSD Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 WARNA B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
0,9333* 1,3333* 1,7000* 1,8667* -0,9333* 0,4000 0,7667 0,9333* -1,3333* -0,4000 0,3667 0,5333 -1,7000* -0,7667 -0,3667 0,1667 -1,8667* -0,9333* -0,5333 -0,1667
0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385 0,30385
Sig.
0,021 0,000 0,000 0,000 0,021 0,681 0,091 0,021 0,000 0,681 0,747 0,404 0,000 0,091 0,747 0,982 0,000 0,021 0,404 0,982
95% Confidenc e Interval Lower Bound 0,0940 0,4940 0,8607 1,0273 -1,7727 -0,4393 -0,0727 0,0940 -2,1727 -1,2393 -0,4727 -0,3060 -2,5393 -1,6060 -1,2060 -0,6727 -2,7060 -1,7727 -1,3727 -1,0060
Upper Bound 1,7727 2,1727 2,5393 2, 7060 -0,0940 1,2393 1,6060 1,7727 -0,4940 0,4393 1,2060 1,3727 -0,8607 0,0727 0,4727 1,0060 -1,0273 -0,0940 0,3060 0,6727
87
Lampiran 8. Data uji organoleptik terhadap tekstur biskuit
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
B0 5 6 6 7 5 3 5 3 4 5 6 6 6 2 4 7 5 7 5 4 6 7 4 4 6 6 3 7 3 4
B1 6 5 6 6 4 7 4 6 5 5 6 6 7 3 6 6 7 7 6 6 6 6 5 4 6 5 4 7 5 5
B2 4 6 5 7 5 4 5 6 3 4 5 6 5 6 6 5 7 7 7 5 6 4 4 4 6 4 3 6 3 2
B3 3 5 4 5 4 3 3 6 5 4 6 5 5 3 6 6 6 6 7 5 6 6 5 4 6 4 5 5 4 3
B4 5 5 5 7 5 6 5 6 4 6 5 5 5 7 4 6 5 7 6 7 5 5 6 4 5 2 4 7 4 4
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0%, tepung ubi jalar putih 0% B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
88
Lampiran 9. Uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit.
Rinking TEKSTUR
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 Total
N 30 30 30 30 30 150
Rata-rata rinking 73,15 90,30 71,37 64,90 77,78
Uji statistikab Chi-Square df Asymp. Sig. a. b.
TEKSTUR 6,047 4 ,196
Uji Kruskal Wallis Grouping variable : Perlakuan
ANOVA
TEKSTUR
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
9,467
4
2,367
1,561
0,188
219,867 229,333
145 149
1,516
Hipotesis: Asymp sig < 0,05 berbeda nyata Asymp sig > 0,05 tidak berbeda nyata
89
Lampiran 10. Data uji organoleptik terhadap aroma biskuit
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
B0 5 6 6 6 6 4 6 4 4 6 4 5 3 4 4 4 5 7 7 6 5 6 4 3 6 6 4 4 4 4
B1 6 5 6 7 4 5 5 5 4 6 6 6 3 4 6 5 6 6 6 6 5 5 6 3 5 4 5 6 3 3
B2 4 4 5 6 5 3 3 5 3 6 3 5 3 4 5 5 6 5 6 4 3 5 7 3 4 4 6 6 5 2
B3 4 5 3 6 4 4 3 5 3 5 5 5 3 4 4 5 4 2 7 7 6 6 4 3 4 2 5 5 4 3
B4 3 3 3 7 3 6 3 6 3 6 2 4 3 5 4 6 6 1 6 4 4 4 6 3 3 2 3 5 3 3
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0%, tepung ubi ubi jalar putih 0% B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
90
Lampiran 11. Uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit
Rinking
AROMA
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 Total
N 30 30 30 30 30 150
Rata-rata rinking 86,90 91,88 73,02 67,43 58,27
Uji statistikab Chi-Square df Asymp. Sig.
AROMA 12,808 4 0,012
a. Uji Kruskal Wallis b. Grouping variable: Perlakuan
ANOVA
AROMA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
22,933
4
5,733
3,524
0,009
235,900 258,833
145 149
1,627
Hipotesis: Asymp sig < 0,05 berbeda nyata Asymp sig > 0,05 tidak berbeda nyata
91
Lampiran 12. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap aroma biskuit.
Tukey HSD Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 AROMA B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
-0,1333 0,4333 0,6000 0,9333* 0,1333 0,5667 0,7333 1,0667* -0,4333 -0,5667 0,1667 0,5000 -0,6000 -0,7333 -0,1667 0,3333 -0,9333* -1,0667* -0,5000 -0,3333
0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933 0,32933
Sig.
0,994 0,682 0,365 0,041 0,994 0,425 0,176 0,013 0,682 0,425 0,987 0,552 0,365 0,176 0,987 0,849 0,041 0,013 0,552 0,849
95% Confidenc e Interval Lower Upper Bound Bound -1,0431 0,7764 -0,4764 1,3431 -0,3097 1,5097 0,0236 1,8431 -0,7764 1,0431 -0,3431 1,4764 -0,1764 1,6431 0,1569 1,9764 -1,3431 0,4764 -1,4764 0,3431 -0,7431 1,0764 -0,4097 1,4097 -1,5097 0,3097 -1,6431 0,1764 -1,0764 0,7431 -0,5764 1,2431 -1,8431 -0,0236 -1,9764 -0,1569 -1,4097 0,4097 -1,2431 0,5764
92
Lampiran 13. Data uji organoleptik terhadap rasa biscuit
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
B0 5 7 6 6 6 5 5 4 6 6 5 6 6 5 5 4 7 6 6 4 6 4 3 6 5 6 4 6 5 5
B1 5 6 6 6 4 6 6 3 6 6 6 6 5 3 5 6 5 6 7 4 6 5 3 6 5 5 5 5 4 4
B2 3 6 5 6 5 3 5 4 6 5 6 5 5 3 4 7 5 7 6 3 4 3 3 5 3 3 5 4 6 3
B3 3 6 3 5 4 5 6 2 5 3 4 6 3 4 6 6 1 7 6 5 6 6 4 6 6 3 4 3 4 2
B4 4 6 4 7 3 5 6 4 6 2 4 2 6 3 6 3 5 5 3 5 4 6 4 3 4 2 4 3 3 2
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0%, tepung ubi ubi jalar putih 0% B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 %, tepung ubi jalar putih 20 % B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 %, tepung ubi jalar putih 15 % B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 %, tepung ubi jalar putih 10 % B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 %, tepung ubi jalar putih 5 %
93
Lampiran 14. Uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit.
Rinking
RASA
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 Total
N 30 30 30 30 30 150
Rata-rata rinking 93,50 88,40 69,52 68,97 57,12
Uji statistikab Chi-Square df Asymp. Sig.
RASA 15,279 4 0,004
a. Uji Kruskal Wallis b. Grouping variable: Perlakuan
ANOVA RASA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
29,893
4
7,473
4,573
0,002
236,967 266,860
145 149
1,634
Hipotesis: Asymp sig < 0,05 berbeda nyata Asymp sig > 0,05 tidak berbeda nyata
94
Lampiran 15. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap rasa biskuit
Tukey HSD Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 RASA B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
0,1667 0,7333* 0,8667* 1,2000* -0,1667 0,5667* 0,7000* 1,0333* -0,7333* -0,5667* 0,1333 0,4667 -0,8667* -0,7000* -0,1333 0,3333 -1,2000* -1,0333* -0,4667 -0,3333
0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008 0,33008
Sig.
0,987 0,178 0,071 0,003 0,987 0,427 0,217 0,018 0,178 0,427 0,994 0,620 0,071 0,217 0,994 0,850 0,003 0,018 0,620 0,850
95% Confidenc e Interval Lower Upper Bound Bound -0,7451 1,0785 -0,1785 1,6451 -0,0451 1,7785 0,2882 2,1118 -1,0785 0,7451 -0,3451 1,4785 -0,2118 1,6118 0,1215 1,9451 -1,6451 0,1785 -1,4785 0,3451 -0,7785 1,0451 -0,4451 1,3785 -1,7785 0,0451 -1,6118 0,2118 -1,0451 0,7785 -0,5785 1,2451 -2,1118 -0,2882 -1,9451 -0,1215 -1,3785 0,4451 -1,2451 0,5785
95
Lampiran 16. Analisis ragam kekerasan biskuit ANOVA Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 36615,300 137135,500 173750,800
df 4 15 19
Mean Square 9153,825 9142,367
F 1,001
Sig. 0,437
Lampiran 17. Analisis ragam kadar air biskuit ANOVA Sum of Squares df Between KADAR AIR Groups Within Groups Total
Mean Square
F
Sig.
54,713
0,000
3,239
4
0,810
0,074 3,313
5 9
0,015
Lampiran 18. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) kadar air biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Std. Error Difference (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 AIR B2 B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
1,3940* 0,2085 0,3907 1,2674* -1,3940* -1,1855* -1,0033* -0,1266 -0,2085 1,1855* 0,1823 1,0589* -0,3907 1,0033* -0,1823 0,8767* -1,2674* 0,1266 -1,0589* -0,8767*
0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165 0,12165
Sig.
0,000 0,500 0,109 0,001 0,000 0,001 0,002 0,828 0,500 0,001 0,603 0,002 0,109 0,002 0,603 0,004 0,001 0,828 0,002 0,004
95% Confidenc e Interval Lower Bound 0,9060 -0,2796 -0,0973 0,7794 -1,8820 -1,6736 -1,4913 -0,6146 -0,6965 0,6975 -0,3057 0,5709 -0,8788 0,5152 -0,6703 0,3886 -1,7554 -0,3614 -1,5470 -1,3647
Upper Bound 1,8820 0,6965 0,8788 1,7554 -0,9060 -0,6975 -0,5152 0,3614 0,2796 1,6736 0,6703 1,5470 0,0973 1,4913 0,3057 1,3647 -0,7794 0,6146 -0,5709 -0,3886
96
Lampiran 19. Analisis ragam kadar abu biskuit ANOVA KADAR ABU
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
8,105
4
2,026
2026,843
0,000
0,005
5
0,001
8,110
9
Between Groups Within Groups Total
Lampiran 20. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) kadar abu biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 ABU B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
-0,8700* -1,6070* -2,1110* -2,5251* 0,8700* -0,7369* -1,2410* -1,6551* 1,6070* 0,7369* -0,5040* -0,9181* 2,1110* 1,2410* 0,5040* -0,4141* 2,5251* 1,6551* 0,9181* 0,4141*
0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162 0,03162
Sig.
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
95% Confidenc e Interval Lower Bound -0,9968 -1,7338 -2,2378 -2,6519 0,7432 -0,8638 -1,3678 -1,7819 1,4801 0,6101 -0,6309 -1,0449 1,9842 1,1142 0,3772 -0,5409 2,3982 1,5282 0,7913 0,2872
Upper Bound -0,7432 -1,4801 -1,9842 -2,3982 0,9968 -0,6101 -1,1142 -1,5282 1,7338 0,8638 -0,3772 -0,7913 2,2378 1,3678 0,6309 -0,2872 2,6519 1,7819 1,0449 0,5409
97
Lampiran 21. Analisis ragam kadar protein biskuit ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
74,267
4
18,567
0,414
5
0,083
74,681
9
Between Groups PROTEIN Within Groups Total
F
Sig.
224,050 0,000
Lampiran 22. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) kadar protein biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 PROTEIN B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
-0,6717 -3,5087* -5,5844* -7,0542* 0,6717 -2,8370* -4,9127* -6,3825* 3,5087* 2,8370* -2,0757* -3,5455* 5,5844* 4,9127* 2,0757* -1,4698* 7,0542* 6,3825* 3,5455* 1,4698*
0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787 0,28787
Sig.
0,271 0,000 0,000 0,000 0,271 0,001 0,000 0,000 0,000 0,001 0,004 0,000 0,000 0,000 0,004 0,019 0,000 0,000 0,000 0,019
95% Confidenc e Interval Lower Bound -1,8265 -4,6634 -6,7391 -8,2090 -0,4831 -3,9917 -6,0674 -7,5373 2,3539 1,6822 -3,2305 -4,7003 4,4296 3,7579 0,9209 -2,6246 5,8994 5,2277 2,3908 0,3151
Upper Bound 0,4831 -2,3539 -4,4296 -5,8994 1,8265 -1,6822 -3,7579 -5,2277 4,6634 3,9917 -0,9209 -2,3908 6,7391 6,0674 3,2305 -0,3151 8,2090 7,5373 4,7003 2,6246
98
Lampiran 23. Analisis ragam kadar lemak biskuit ANOVA
LEMAK
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
16,852 0,413 17,265
4 5 9
Mean F Square 4,213 50,994 0,083
Sig. 0,000
Lampiran 24. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) kadar lemak biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 LEMAK B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
-0,3527 -2,5818* -2,8035* -3,0185* 0,3527 -2,2291* -2,4509* -2,6659* 2,5818* 2,2291* -0,2217 -0,4368 2,8035* 2,4509* 0,2217 -0,2150 3,0185* 2,6659* 0,4368 0,2150
0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743 0,28743
Sig.
0,740 0,002 0,001 0,001 0,740 0,003 0,002 0,001 0,002 0,003 0,929 0,593 0,001 0,002 0,929 0,935 0,001 0,001 0,593 0,935
95% Confidenc e Interval Lower Bound -1,5057 -3,7348 -3,9565 -4,1716 -0,8004 -3,3822 -3,6039 -3,8189 1,4288 1,0761 -1,3747 -1,5898 1,6505 1,2978 -0,9313 -1,3681 1,8655 1,5129 -0,7163 -0,9380
Upper Bound 0,8004 -1,4288 -1,6505 -1,8655 1,5057 -1,0761 -1,2978 -1,5129 3,7348 3,3822 0,9313 0,7163 3,9565 3,6039 1,3747 0,9380 4,1716 3,8189 1,5898 1,3681
99
Lampiran 25. Analisis ragam kadar karbohidrat biskuit ANOVA Between KARBOHIDRAT Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
227,375
4
56,844
932,208
0, 000
0,305 227,679
5 9
0,061
Lampiran 26. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) kadar karbohidrat biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Difference Std. Error (I-J) Dependent (I) (J) Variable Perlakuan Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 KARBOB1 B2 HIDRAT B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
0,5003 7,4890* 10,1081* 11,3304* -0,5003 6,9886* 9,6078* 10,8301* -7,4890* -6,9886* 2,6191* 3,8414* -10,1081* -9,6078* -2,6191* 1,2223* -11,3304* -10,8301* -3,8414* -1,2223*
0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694 0,24694
Sig.
0,370 0,000 0,000 0,000 0,370 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,001 0,022 0,000 0,000 0,000 0,022
95% Confidenc e Interval Lower Bound -0,4902 6,4984 9,1175 10,3398 -1,4909 5,9980 8,6172 9,8395 -8,4795 -7,9792 1,6286 2,8509 -11,0987 -10,5983 -3,6097 0,2317 -12,3210 -11,8206 -4,8320 -2,2129
Upper Bound 1,4909 8,4795 11,0987 12,3210 0,4902 7,9792 10,5983 11,8206 -6,4984 -5,9980 3,6097 4,8320 -9,1175 -8,6172 -1,6286 2,2129 -10,3398 -9,8395 -2,8509 -0,2317
100
Lampiran 27. Analisis ragam derajat keasaman (pH) biskuit ANOVA Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1,339
4
0,335
14,814
0,006
0,113
5
0,023
1,452
9
Lampiran 28. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) derajat keasaman (pH) biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Difference Std. Error Sig. (I-J) (I) Perlakuan (J) Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B1 B4 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05
0,4050 0,7350* 0,9850* 0,9250* -0,4050 0,3300 0,5800 0,5200 -0,7350* -0,3300 0,2500 0,1900 -0,9850* -0,5800 -0,2500 -0,0600 -0,9250* -0,5200 -0,1900 0,0600
0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033 0,15033
0,186 0,023 0,007 0,009 0,186 0,312 0,058 0,085 0,023 0,312 0,523 0,722 0,007 0,058 0,523 0,993 0,009 0,085 0,722 0,993
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -0,1981 1,0081 0,1319 1,3381 0,3819 1,5881 0 ,3219 1,5281 -1,0081 0,1981 -0,2731 0,9331 -0,0231 1,1831 -0,0831 1,1231 -1,3381 -0,1319 -0,9331 0,2731 -0, 3531 0,8531 -0,4131 0,7931 -1,5881 -0,3819 -1,1831 0,0231 -0,8531 0,3531 -0,6631 0,5431 -1,5281 -0,3219 -1,1231 0,0831 -0,7931 0,4131 -0,5431 0,6631
101
Lampiran 29. Analisis ragam kadar kalsium biskuit ANOVA Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 0,401 0,000 0,401
df 4 5 9
Mean Square F 0,100 3337,833 0,000
Sig. 0,000
Lampiran 30. Hasil uji lanjut Tukey (BNJ) kadar kalsium biskuit Tukey HSD (BNJ) Mean Difference Std. Error Sig. (I-J) (I) Perlakuan (J) Perlakuan B1 B2 B0 B3 B4 B0 B2 B1 B3 B4 B0 B1 B2 B3 B4 B0 B1 B3 B2 B4 B0 B4 B1 B2 B3 * Pada selang kepercayaan 0,05.
-0,2650* -0,4350* -0,5150* -0,5400* 0,2650* -0,1700* -0,2500* -0,2750* 0,4350* 0,1700* -0,0800* -0,1050* 0,5150* 0,2500* 0,0800* -0,0250* 0,5400* 0,2750* 0,1050* 0,0250*
0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548 0,00548
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,030 0,000 0,000 0,000 0,030
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -0,2870 -0,2430 -0,4570 -0,4130 -0,5370 -0,4930 -0,5620 -0,5180 0,2430 0,2870 -0,1920 -0,1480 -0,2720 -0,2280 -0,2970 -0,2530 0,4130 0,4570 0,1480 0,1920 -0,1020 -0,0580 -0,1270 -0,0830 0,4930 0,5370 0,2280 0,2720 0,0580 0,1020 -0,0470 -0,0030 0,5180 0,5620 0,2530 0,2970 0,0830 0,1270 0,0030 0,0470
102
Lampiran 31. Data mentah perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada diet manusia 2000 kkal. A. Formulasi biskuit B0 dalam penyajian 100 gram 1. Protein = 7,71 % 100 = x 7,71% = 7,71 g 100 7,71 % AKG = x 100 % = 11,86 % 65
2. Lemak = 15,36 % 100 = x 15,36 % = 15,36 g 100 15,36 % AKG = x 100 % = 24,20 % 30 3. Karbohidrat = 72,59 % 100 x 72,59 % = 72,59 g = 100 72,59 % AKG = x 100 % = 51,20 % 300 B. Formulasi biskuit B1 dalam penyajian 100 gram 1. Protein = 8,38 % 100 x 8,38 % = 8,38 g 100 8,38 x 100 % = 1 2,89 % % AKG = 65
2. Lemak = 15,73 % 100 x 15,73 % =15,73 g 100 15,73 x 100 % = 24,05 % % AKG = 30 3. Karbohidrat = 70,89 % 100 x 70,89 % = 70,89 g 100 70,89 x 100 % = 52,43 % % AKG = 300
103
Lampiran 32. Data mentah analisis kekerasan biskuit
104
Lampiran 33. Data perhitungan analisis ekonomi secara kasar formulasi biskuit B1 dalam 100 g tepung. Bahan Tepung ikan pepetek 5g Tepung ubi jalar putih 20 g Tepung terigu 75 g Margarin 16,1 g Gula halus 20,8 g Telur 6g Susu Fullcream 2,4 g Baking powder 1g Garam 0,8 g Vanili 1g Total biaya pokok produksi
Harga Rp 42,60 Rp 87,08 Rp 375,00 Rp 161,00 Rp 135,20 Rp 187,33 Rp 58,80 Rp 40,00 Rp 3,20 Rp 83,33 Rp 1.173,54 /100g
Berat biskuit yang dihasilkan = 140 g Dikemas per 20 g dihasilkan 7 bungkus biskuit Harga per bungkus
Rp 350,00
Total pendapatan (Rp 350,00 x 7 bks)
Rp 2.450,00
Laba = TR – TC
= Rp 2.450,00 – Rp 1.173,54 = Rp 1.276,46
Kelayakan Usaha, Metode Analisis (Hernan, 1989)
R/C
= TR / TC
= Rp 2.450,00 / Rp 1.276,46 = 1,92
Layak
R/C < 1
Tidak layak
R/C = 1
Impas
R/C > 1
Layak
Keterangan : R = Revenue C = Cost TR = Total Revenue TC = Total Cost
105
Lampiran 34. Peralatan dalam penelitian
A
B
C
D
106
Keterangan: A = Oven B = Hammer Mill C = Rheoner RE-3305 D = AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer) E = Whitnessmeter
E
Lampiran 35. Gambar tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu
A
Keterangan: A = Tepung ikan pepetek B = Tepung ubi jalar putih C = Tepung terigu ”Kunci Biru”
B
C
107
Lampiran 36. Ikan pepetek setelah dikeringkan
Lampiran 37. Ikan pepetek sebagai ikan asin di Muara Angke, Jakarta Utara