OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA – SELATAN INDONESIA
MUHAMMAD RAMLI C4510220061
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia - Selatan Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Maret 2009
Muhammad Ramli NIM C4510220061
MUHAMMAD RAMLI. Optimization and Strategy of Southern Bluefin Tuna Utilization in Indian Ocean – South Indonesia. Under direction of Tridoyo Kusumastanto and Fadhil Hasan.
ABSTRACT
Indian Ocean water in South Java, Bali and Nusa Tenggara Island is an important spawning ground of southern bluefin tuna (SBT) resources. As cooperating non-member, in 2005 – 2007 Indonesia had been got embargo from CCSBT’s members because of over quota that made lost of benefit from SBT’s export especially to Japan as a premier market. Indonesia should have a strategy to solve this problem and to increase benefit from SBT. The strategy should consider level of bioeconomics to achieve optimal use. Based on Maximum Economic Yield (MEY) principle, to achieve optimal use, Indonesia should limit efforts at 636 units of vessel and maximum catch of SBT at 1.396 tones, so it could create economic rent Rp 85,74 trillion per year. By using benefit-cost analysis, it results estimated NPV Rp525,87 trillion and Internal Rate of return (IRR) amount 57,03% for a full CCSBT member strategy. This result shows that becoming a full member of CCSBT will give the highest benefit for Indonesia whenever the utilization is based on MEY principle. As member of CCSBT, Indonesia can take a part in forum of CCSBT to negotiate the increasing of catch quota. The quota should be measured based on MEY principle that will support sustainable fisheries. Beside that Indonesia should increase export percentage of volume and regulate fishing industry of SBT by applying limited entry in order to get highest benefit. Key word: southern bluefin tuna, bioeconomics, maximum economic yield
ii
RINGKASAN
Muhammad Ramli. Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia. Dibimbing oleh Tridoyo Kusumastanto dan Fadhil Hasan.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan yang mencakup laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah laut strategis karena merupakan wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna (Tuna Sirip Biru) yang memiliki nama ilmiah Thunnus maccoyii. Tuna Sirip Biru (SBT) adalah ikan bernilai ekonomi tinggi di pasar dan mendorong Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna pada 10 Mei 1993 yang kemudian membentuk Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Indonesia sebagai wilayah spawning ground SBT sepanjang 2005 – 2007 masih bersatus cooperating non-member (anggota tidak tetap) dan mengalami tekanan agar mengikat diri secara penuh sebagai anggota CCSBT. Tekanan ini diikuti dengan embargo ekspor SBT yang diterapkan oleh negara anggota CCSBT sejak 1 Juli 2005. Embargo tersebut tentunya membawa kerugian pada penerimaan devisa, berkurangnya lapangan kerja dan kemunduran industri SBT Indonesia. Untuk itu, penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia bertujuan untuk: 1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan SBT di selatan Jawa dan Bali. 2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya SBT. 3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia di CCSBT. Berdasarkan penelitian pendahuluan, persoalan dalam pemanfaatan SBT di Samudera Hindia diawali dengan isu Illegal fishing. Isu tersebut dilatarbelakangi konflik kepentingan Australia dengan Jepang yang berimbas pada industri SBT negara lain seperti Indonesia. Untuk mengamankan kepentingan industri dan suplai pasar domestik SBT Jepang pasca penurunan kuota, Indonesia mengalami tekanan agar menerima prinsip-prinsip konvensi SBT melalui pelarangan ekspor SBT ke negara-negara anggota CCSBT. Asumsi yang dibangun dalam penelitian ini adalah keanggotaan penuh (full member) merupakan opsi yang paling rasional yang harus diambil untuk menyelamatkan industri SBT nasional. Untuk itu, pembenahan industri perikanan SBT Indonesia perlu dilakukan dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Persoalan yang dihadapi Indonesia adalah kuota yang diberikan ke Indonesia lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia turut dalam kegiatan penangkapan ilegal. Keadaan ini disinyalir otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries. Berdasarkan perhitungan CCSBT 2007, Indonesia ikut menyumbang kegiatan illegal fishing sekitar 124,88% dari produksi yang ditetapkan kuota. Hal ini membawa konsekuensi :
iii
1. Kuota Indonesia diturunkan menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Embargo ekspor ke negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indonesia, maka diperlukan kebijakan untuk menetapkan tingkat pemanfaatan optimal yang secara ekonomi menguntungkan dan tetap mempertahankan keberlanjutan semberdaya SBT. Kondisi tersebut dikenal dengan keseimbangan bioekonomi (bioeconomic equilibrium) yang terdiri dari tiga kondisi, yakni maksimum ekonomi yield (MEY), maksimum sustainable yield (MSY) dan open access. Berdasarkan perhitungan diperoleh MEY memberi keuntungan secara ekonomi bagi industri SBT Indonesia dengan jumlah kapal sekitar 636 unit dan produksi sekitar 1.396 ton. Pada kondisi tersebut, biaya kegiatan penangkapan mencapai sekitar Rp112,32 milyar dan penerimaan (TR) mencapai Rp208,06 milyar. Hal ini berarti rente ekonomi yang diperoleh mencapai sekitar Rp85,73 milyar lebih. Kondisi MEY dapat dijadikan patokan dalam menetukan kuota dan regulasi jumlah kapal dalam industri perikanan SBT. Strategi pemanfaatan SBT dapat disimpulkan dari perhitungan nilai NPV dan IRR dalam tiga status keanggotaan, yakni status non member atau observer, cooperating non member dan full member. Perbandingan ketiga kondisi tersebut menunjukkan bahwa status full member, nilai NPV dan IRR lebih tinggi dibandingkan dengan status non member dan cooperating non member. Nilai NPV dan IRR akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah ekspor. Pada kapasitas ekspor 30% dari total produksi dalam status full member, nilai NPV mencapai Rp. 525,87 miliar dan IRR mencapai 57.03%. Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil Indonesia dalam menegosiasikan kepentingan industri SBT adalah: pertama, menetapkan status keanggotaan penuh di CCSBT. Kedua, menentukan dan menegosiasikan jumlah kuota penangkapan SBT Indonesia di CCSBT dengan berpatokan pada MEY. Ketiga, penentuan jumlah kuota tersebut mesti dibarengi dengan pembatasan jumlah kapal yang ikut dalam di industri ini, agar rente ekonomi yang dihasilkan mencapai maksimal secara ekonomi dan keberlanjutan sumber daya SBT.
Kata kunci: Tuna sirip biru, bioekonomi, maksimum ekonomi yield
iv
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan bagi IPB. 2. Dilarang menggunakan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.
v
OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA -- SELATAN INDONESIA
MUHAMMAD RAMLI
Tesis sebagai salah satu syarat unuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ekonomi dan Manajeman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
vi
Judul Penelitian
: Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia Nama Mahasiswa : Muhammad Ramli Nomor Induk : C451020061
Disetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua
Dr. Ir. M. Fadhil Hasan Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc
Tanggal Ujian : 19 Februari 2009
Tanggal Lulus :
vii
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah southern bluefin tuna dengan judul penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia. Laut selatan Indonesia memiliki arti strategis dalam pemanfaatan southern bluefin tuna karena wilayah tersebut merupakan spawning ground SBT. Wilayah ini diatur dalam suatu konvensi CCSBT yang hingga kini Indonesia belum menjadi anggota penuh. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah ditawari untuk ikut menjadi anggota penuh karena Indonesia diharapkan ikut mendorong dan mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan SBT. Perubahan status keanggotaan ini, secara ekonomi penting bagi Indonesia, mengingat akan mengalami embargo atas ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggotaan. Di sisi lain, perubahan status tersebut terkait erat dengan masalah embargo, bukan karena adanya strategi Indonesia untuk mengoptimalkan pengembangan industri perikanan SBT dan memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan tersebut. Untuk itu, perlu dikaji langkah-langkah strategis untuk memanfaatkan status anggota penuh dalam mempengaruhi kebijakan di CCSBT. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menguntungkan industri perikanan Indonesia, mengingat penentuan kuota Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lain seperti Korea dan Taiwan. Tentu saja hal ini menjadi ironi karena wilayah pemijahan SBT berada di ZEEI, sehingga keberlangsungan stok SBT akan tergantung pada kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh Indonesia. Saran dan kritik tentunya sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan hasilhasil penelitian ini. Terutama koreksi dan masukan dari Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Fadhil Hasan, serta Penguji Tamu; Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Si. Terima kasih atas kerjasama berbagai pihak yang siap membantu kelancaran penelitian ini, sehingga dapat menjadi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi rakyat dan negara Indonesia. Akhir kata, penulis pengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, istri tercinta Nisa Ardhini dan ananda Fathimah Aulia Zahra, atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.
Bogor,
Maret 2009
Muhammad Ramli
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 30 Mei 1974 dari ayah Ayubar dan ibu Mastari. Penulis merupakan putra ke-9 dari 9 bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri I Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus menjadi Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2000. Selepas sarjana, penulis bekerja di Departemen Kelautan dan Perikanan RI sebagai Pegawai Negari Sipil (PNS) dan ditempatkan di Biro Perencanaan. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi ke jenjang pasca sarjana dan diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK).
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
II.
Latar Belakang ................................................................................. 1 Rumusan Masalah ............................................................................ 4 Tujuan Penelitian ............................................................................. 6 Kegunaan Penelitian ........................................................................ 7
RUANG LINGKUP STUDI ................................................................... 8
III. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 12 3.1. Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna ....................................... 12 3.2. Potensi dan Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia ......................................................................... 14 3.3. Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna ...................... 19 3.4. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan .......................................... 22 IV. METODOLOGI PENELITIAN............................................................. 30 4.1. Bentuk dan Metode Penelitian ........................................................ 30 4.2. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 31 4.3. Analisis Data .................................................................................... 32 4.3.1. Analisis Keseimbangan Bioekonomi .................................. 32 4.3.2. Analisis Dampak Ekonomi .................................................. 33 4.4. Batasan Penelitian ........................................................................... 35 4.5. Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 35 V.
PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFINTUNA DI SAMUDERA HINDIA ................. 36 5.1. Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna ............. 36 5.2. Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT .......... 38 5.3. Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT ................................................................................................. 43 5.4. Keragaan Industri SBT di Indonesia ............................................... 45
x
VI. KONDISI OPTIMAL DAN STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA ................................ 50 6.1. Kondisi Optimal Pemanfaatan SBT ................................................ 50 6.2. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya SBT ......................................... 54 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 57 7.1. Kesimpulan ...................................................................................... 57 7.2. Saran ................................................................................................ 58 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 59 LAMPIRAN....................................................................................................... 62
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia ……………….
2.
Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997 …..
10 15
3.
Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia
17
4.
Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005 ………………
21
5.
Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia
38
6.
Selisih Produksi-Kuota dan Presentase terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005 .................................................................................................
42
7.
Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-rata Produksi SBT di Jepang
44
8.
Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004 ..............................................................
48
9.
Catch Per-Unit Effort (CPUE) SBT Indonesia di Samudera Hindia ..........
52
10.
Kondisi Aktual Penangkapan SBT Indonesia .............................................
52
11.
Tiga Kondisi Keseimbangan Bioekonomi (Bioeconomic Equilibrium) .....
53
12.
Perbandingan Nilai NPV dan IRR Pemanfaatan SBT Indonesia di Samudera Hindia Berdasarkan Status Keanggotan di CCSBT ...................
56
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru ………...
1
2.
Peta Wilayah Kewenangan Juridiksi CCSBT ………………………...
2
3.
Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia …………………………
5
4.
Bagan Alir Ruang Lingkup Penelitian ………………………………..
11
5.
Southern Bluefin Tuna ( Thunnus thynnus) …………………………...
12
6.
Pemijahan Southern Bluefin Tuna (FAO, 2006) ……………………...
14
7.
Peta Area 57 Samudera Hindia ………………………………………..
16
8.
Grafik Perkembangan Produksi SBT Indonesia (Ton) dan Share dengan Produksi SBT Dunia ………………………………………….
18
9.
Rawai Tuna atau tuna longlines ………………………………………
18
10.
Grafik Perbandingan Produksi SBT Indonesia (Ton) Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lainnya …………………………………….
19
11.
Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 – 2005 ……………….
20
12.
Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 – 2005 .......................................................................................................
21
Grafik Ekspor SBT Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 – 2005 …………………………………………………..
22
14.
Population Equilibrium Analysis ……………………………………..
24
15.
Kurva Sustainable Yield ………………………………………………
25
16.
Open Access and Maximum Economic Yield …………………………
27
17.
Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia ...............
36
18.
Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 – 2005 .......................................................................................................
45
Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun 2001 – 2006 ...........................................................................................
46
Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan di Samudera Hindia Tahun 1976 – 2005 ....................................................................
46
Grafik Perbandingan Produksi Aktual dan Yield Tahun 1995 – 2005 ..
51
13.
19. 20. 21.
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Sebaran Kapal Tuna Long Line Indonesia ………………………………
63
2.
Jumlah Tangkapan Southern Bluefin Tuna Dunia Menurut Negara (Ton)
64
3.
Laporan CCSBT Tentang Informasi Skema Perdagangan SBT ………….
66
4.
Harga Tuna di Pasar Jepang ………………………………………………
70
5.
Estimasi Jumlah Kapal Long Line Indonesia Beroperasi di Samudera Hindia Tahun 1973-2000 …………………………………………………
71
Jumlah Tangkapan Tuna di Pelabuhan Benoa Menurut Jenis Ikan Periode Januari 2003 – Desember 2005 (Ton) …………………………………….
72
7.
Hasil Perhitungan Regresi ………………………………………………..
74
8.
Investasi dan Biaya Rata-rata Per Trip kapal penangkapan Tuna di Samudera Hindia ………………………………………………………….
75
NPV dan IRR dengan Status Non Member CCSBT (dikenai sanksi embargo) ….................................................................................................
78
NPV dan IRR dengan Status Cooperating Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor berdasarkan rata-rata) .........
82
NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 10% dari produksi) .....................................
85
NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 20% dari produksi) .....................................
89
NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 30% dari produksi) .....................................
93
6.
9. 10. 11. 12. 13.
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian
selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah laut tersebut merupakan spawning ground (tempat pemijahan) ikan Tuna Sirip Biru atau Southern Bluefin Tuna (SBT) yang bernama ilmiah Thunnus maccoyii. Spawning ground SBT berada pada lintang 300LS 500LS seperti pada Gambar 113 dan fase pemijahan tersebut berlangsung sepanjang Agustus-Juni. Juvenile SBT selanjutnya bermigrasi ke arah selatan dan pantai timur Australia dan melewati musim dingin di laut yang lebih dalam (Posiding Simposium Perikanan, 1997).
Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)
13
Menurut Permen No. PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan, spawning ground SBT sebagian berada dalam wilayah WPP 10 atau wilayah WPP Samudera Hindia B yang meliputi selatan Jawa dan Nusa Tenggara.
2
SBT merupakan n ikan yang bermigrasi jauh (highlly migratoryy fish) dan b bernilai ekonnomi tinggi di pasar ikann internasionnal, khususnnya pasar Suukiji Jepang d dengan hargga yang dap pat mencapaai US$50-60 0 per kilograam (Wudiannto, 2007). K Kategori hig ghly migratoory fish dann nilai ekonnomi SBT yang tinggi mendorong m n negara-nega ara pemanfaaat komoditaas ini, seperrti Australia,, Jepang daan Selandia B Baru pada 10 Mei 19993 menandatangani Con nvention forr The Conseervation of S Southern Bluuefin Tuna. Setah hun setelah penandatangganan terseb but, dibentukk Commission for The n of Southerrn Bluefin Tuuna (CCSBT C Conservatio T). Tujuan utama CCS SBT adalah m menjamin k konservasi dan d pemanfaaatan optimaal tuna siripp biru selatan melalui p pengelolaan yang tepat. Area keweenangan CCSBT mencaakup perairann laut pada 3300 LS - 500 LS dan sppawning groound SBT dii laut selatann Indonesia dan secara j juridiksi, ko onvensi CCSBT tidak diterapkan pada wilayyah geografiik tertentu, mengikat wilayah-wila m melainkan w ayah yang menjadi habitat SBT T. Wilayah p pemijahan dan d tujuan migrasinya m y yang mencak kup wilayahh perairan seeperti pada G Gambar 2.
Gam mbar 2. Peta Wilayah Kew wenangan Jurridiksi CCSB BT (CCSBT, 2007) 2
F Maanagement O Organizationn (RFMO) CCSBT adalah Regional Fisheries y yang dibenttuk sebagai tindak lanjuut United Nation N Fisheeries Stock Agreement
3
(UNFSA) 1995 yang saat ini tengah diratifikasi. UNFSA mengatur ketentuan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan tuna sebagai spesies yang bermigrasi jauh dan melewati batas-batas laut kontinen beberapa negara, perlu diatur oleh organisasi regional, seperti CCSBT yang mengatur masalah pengelolaan dan pemanfaatan SBT. Keanggotaan CCSBT saat ini terdiri dari member, cooperating nonmember dan observer. Pada 8 April 2008, Indonesia resmi menjadi member CCSBT mengikuti status negara-negara yang telah yang telah menjadi member terlebih dahulu, seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea dan Fishing Entity of Taiwan’s.
Beberapa negara lainnya terdaftar sebagai
cooperating non-member yakni, Filipina, Afrika Selatan14 dan European Community15. Status keanggotaan penuh Indonesia pada 2008 terkait dengan embargo ekspor produk SBT Indonesia di pasar negara-negara anggota CCSBT, khusus Jepang sebagai tujuan utama pasar ekspor. Embargo yang diterapkan pada 1 Juni 2005 disebabkan negara-negara anggota CCSBT, khususnya Australia dan Jepang, menaruh kecurigaan bahwa Indonesia enggan ikut serta melestarikan sumberdaya SBT. Embargo tersebut ternyata efektif menekan Indonesia agar bersedia mengikat diri dalam Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna, karena secara geografis sebagian wilayah ZEEI merupakan spawning ground SBT. Embargo yang berlangsung sejak 2005 membawa dampak kerugian bagi Indonesia, diantaranya kerugian dari penerimaan devisa, lapangan kerja dan mengancam pengembangan industri perikanan pada umumnya. Kondisi tersebut mendorong Indonesia perlu mengambil langkah-langkah regulasi dengan mengikat diri dalam konvensi CCSBT. Langkah perubahan status keanggotaan merupakan salah satu jalan untuk mengatasi tekanan embargo dan membuka isolasi pasar ekspor. 14
Sebagian juvenile yang memijah di pantai selatan Jawa bermigrasi ke barat melintasi Afrika Selatan. 15 Keanggotaan CCSBT terdiri atas member, cooperating non-member dan observer. Konvensi dapat diikuti oleh negara yang terlibat dalam pemanfaatan SBT atau negara pantai yang memiliki ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi migrasi SBT.
4
Mengikuti perubahan status keanggotaan tersebut, Indonesia perlu menata kembali keragaan industri perikanan SBT dengan menerapkan pola pemanfaatan SBT yang mengadopsi tujuan konvensi, yakni ikut melestarikan sumberdaya SBT dengan tetap mempertahankan tujuan-tujuan ekonomi.
Kondisi tersebut
membutuhkan suatu penelitian untuk merumuskan optimalisasi dan strategi pemanfaatan sumberdaya Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia, yang diarahkan untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan konservasi yang menjadi concern CCSBT, dengan kepentingan ekonomi yang menjadi tujuan pengembangan industri perikanan Indonesia. Titik keseimbangan tersebut diharapkan dapat menjadi kerangka regulasi pemanfaatan SBT di Indonesia. 1.2.
Rumusan Masalah Ratifikasi United Nations Conservatioan on The Law af The Sea
(UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 pada dasarnya membuka peluang Indonesia untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya ikan di laut lepas (high sea), baik sumberdaya ikan jenis beruaya jauh (highly migratory fish stocks), sumberdaya ikan beruaya terbatas (straddling fish stock) dan share stock atau sumberdaya ikan yang beruaya di antara batas laut negara. Pengaturan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya ikan tersebut selanjutnya dituangkan dalam United Nation Fisheries Stock Agreement (UNFSA) 1995. Hal ini perlu terus ditindaklanjuti sebagai bagian dari strategi untuk menjamin kepentingan
Indonesia
dalam
melindungi
dan
memanfaatkan
kekayaan
sumberdaya perikanan di laut lepas, khususnya di ZEEI. UNFSA 1995 mengatur ketentuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna, sepenuhnya ditangani dan dikoordinasikan oleh badanbadan pengelolaan ikan regional atau RFMO. Ada empat RFMO seperti terlihat pada Gambar 3, yang wilayah kewenangannya bersentuhan langsung dengan kepentingan Indonesia di ZEEI, yakni Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) serta Asia-Pacific Fishery Commission (APFIC).
5
AFIC
Gambar 3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia (Bird Life International, 2008)
Suatu negara akan memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan di wilayah yang kewenangannya diatur oleh suatu RFMO, bila negara tersebut menjadi anggota RFMO tersebut. Terkait dengan hal ini, penerapan sanksi embargo ekspor SBT pada 1 Juli 2005 oleh negara-negara anggota CCSBT pada Indonesia, bertujuan untuk mendesak negara-negara pemanfaat
SBT,
khususnya
Indonesia,
agar
bersedia
meningkatkan
keanggotaannya dari cooperating non-member menjadi member. Sanksi ini akan terus diberlakukan hingga Indonesia bersedia mengikat diri dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh RFMO tersebut. Embargo atas ekspor SBT tentunya membawa dampak kerugian bagi Indonesia, terutama kalangan pengusaha industri perikanan SBT yang beroperasi di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perhitungan kerugian dapat dilihat dari kuota minimal bila Indonesia menjadi cooperating non-member CCSBT.
Berdasarkan Annual Meeting 2006, pada
posisi Indonesia sebagai cooperating non-member, kuota penangkapan SBT Indonesia yang diberikan sebesar 750 ton per tahun. Jika diasumsikan hasil tangkap SBT berkualitas sashimi dengan pasar ekspor tujuan Jepang, maka harga
6
produk SBT Indonesia berkisar pada US$50,00 per kg. Kerugian atas sanksi embargo ekspor SBT Indonesia tiap tahun diperkirakan dapat mencapai US$37,5 juta atau setara dengan Rp345 milyar per tahunnya. Perhitungan kerugian ini akan meningkat bila potential lost lainnya ikut dihitung, seperti lapangan kerja dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ikut mendukung industri penangkapan SBT. Langkah-langkah pembenahan perlu diupayakan agar syarat-syarat keanggotaan dapat dipenuhi, salah satunya seperti perbaikan data-data statistik produksi SBT yang selama ini cenderung bias.
Disamping pembenahan-
pembenahan seperti itu, Indonesia perlu menyusun perencanaan jangka panjang, mengingat peningkatan status keanggotaan di CCSBT hanya berdampak jangka pendek, yakni lepasnya sanksi embargo ekspor atas produk SBT Indonesia. Untuk itu, peningkatan status keanggotaan ini harus diikuti pula dengan perencanaan jangka panjang, yakni perencanaan pemanfaatan SBT yang dapat “menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkahlangkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi”.
Artinya, keanggotaan dalam CCSBT harus mampu menjamin
keberlangsungan sumberdaya SBT sekaligus menjamin keberlangsungan industri penangkapan SBT nasional16. 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali. 2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali.
16 Disamping itu, keanggotaan di CCSBT akan dibebani iuran sebesar Aus$ 130 ribu atau setara dengan Rp910 juta(Asumsi Aus$1 = Rp7.000,-), yang tentunya ditanggung oleh Indonesia dari pajak rakyat.
7
3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia pasca keanggotaan di CCSBT dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan sebagai negara yang menjadi wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna. 1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah menjadi bahan referensi ilmiah bagi
penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Indonesia, khususnya di laut selatan Jawa dan Bali, dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan industri perikanan SBT Indonesia.
8
BAB II RUANG LINGKUP PENELITIAN
Southern Bluefin Tuna (SBT) telah menjadi isu hangat pada pertengahan Agustus 2006 yang dilatarbelakangi oleh persaingan antara Australia dengan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pokok persoalan yang menjadi isu utama perseteruan kedua negara produsen utama SBT dunia itu adalah isu illegal fishing. Isu ini diawali dengan tuduhan kecurangan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT oleh pihak Australia17. Menurut Australia, keengganan pihak Jepang untuk memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya telah menghasilkan tangkapan illegal sekitar 12.000 - 20.000 ton selama 20 tahun terakhir. Nilai tangkapan yang diperoleh Jepang atas kegiatan yang dituduh illegal itu, mencapai 2 milliar dolar Australia atau setara US$1,53 miliar dalam kurung waktu yang sama. Angka ini mungkin lebih besar lagi karena Australia menduga bahwa ribuan hingga puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan SBT langsung dijual pada perusahaan pengumpul (retailer). Tuduhan Australia ditanggapi Jepang dengan mendorong pembahasan isu tersebut dilakukan dalam pertemuan CCSBT bulan Oktober 2006. Menurut data CCSBT, kuota tangkapan Jepang untuk tahun 2006 sebesar 6.065 ton dan di sisi lain Jepang pun telah mengakui bahwa pada periode 2006 jumlah tangkapan negara tersebut melebihi kuota18 sebesar 25%. Laporan tersebut merupakan upaya Jepang untuk menampik tuduhan pihak Australia yang secara tidak langsung menuding bahwa kegiatan industri penangkapan SBT negara tersebut sebagai penyebab utama penurunan stok SBT dunia. Apalagi kemudian, menurut Suadi (2007), Deputi Direktur Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency, seperti dikutip the Age mengklaim bahwa perikanan purse seine Australia telah 17
Tuduhan kecurangan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia disampaikan oleh Richard McLoughlin, Direktur Pengelolaan pada Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia, sebagaimana yang dikutip dari Australian News.Net 12 Agustus 2006 dan beberapa media lainnya seperti ABC News, Reuters, The Age, dan The Sydney Morning Herald. 18 Laporan Yahoo!7 News
9
menangkap juvenil SBT dalam jumlah besar dan secara hipokrit menjualnya ke pasar Jepang. Hal ini memunculkan praduga bahwa isu yang dilontarkan pihak Australia dilakukan dalam rangka blow up kepentingan para nelayan Australia dan kelompok lingkungan hidup.
Industri perikanan SBT Australia sendiri
memperoleh kuota 5.000 ton per tahun, sehingga meraup sedikitnya 40 juta dolar Australia per tahun. Tentunya keuntungan tersebut bukanlah keuntungan yang sedikit buat nelayan dan industri perikanan Australia secara umum. Isu illegal fishing menjadi pokok persoalan dalam pengelolaan dan penangkapan SBT di Samudera Hindia karena beberapa sebab, yakni: 1. SBT adalah spesies yang telah dikategorikan sebagai jenis yang terancam (punah) oleh komisi konservasi dunia atau International Union for Conservation of Natural Resources (IUCN; Red List of Threatened Species). 2. Kegiatan perburuan SBT tetap terus dilakukan mengingat spesies ikan ini termasuk ikan yang bernilai ekonomi yang sangat tinggi. 3. Pihak-pihak yang menjadi aktor utama dalam isu ini adalah Australia dan Jepang yang dikenal sebagai produsen dan konsumen terbesar jenis ikan ini. Gambaran konflik kepentingan antara Australia dan Jepang dalam memperebutkan sumberdaya SBT di Samudera Hindia, tidak mustahil akan berimbas pada negara-negara produsen SBT lainnya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kuota penangkapan SBT pada periode 2003-2006 dengan periode 2007-2009.
Akibat tuduhan praktek penangkapan ilegal, Jepang mengalami
penurunan kuota penangkapan SBT dari 6.065 ton menjadi 3.000 ton. Negaranegara lain seperti Filipina, Afrika Selatan dan Indonesia juga mengalami penurunan kuota seperti pada Tabel 1. Perubahan kuota tersebut tidak lepas dari perebutan kepentingan antar negara pelaku utama penangkapan, karena setiap negara berupaya untuk mempertahankan dan memperbesar kuota yang dimilikinya.
10
Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia Kuota Negara 2003-2006 2007-2009 Jepang 6,065 3,000 Australia 5,265 5,265 Taiwan 1,140 1,140 Korea Selatan 1,140 1,140 Selandia Baru 420 420 Filipina 50 45 Afrika Selatan 45 45 EC 10 Indonesia 800 750
Sumber : CCSBT, 2007
Indonesia dengan status cooperating non-member saat itu, tentu tidak dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi kebijakan kuota CCSBT. Apalagi kemudian negara-negara anggota CCSBT mengancam untuk memberikan sanksi embargo pada ekspor SBT Indonesia yang dapat menghentikan ekspor ndonesia secara total. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi imbas berulangnya persaingan negara-negara pelaku utama di CCSBT.
Ada dua hal yang akan
menjadi reaksi Indonesia atas kasus konflik pemanfaatan SBT di Samudera Hindia : 1. Meningkatkan bargaining position Indonesia agar memiliki kekuatan dalam mempengaruhi keputusan-keputusan di CCSBT, sehingga Indonesia perlu meningkatkan status keanggotaanya di lembaga tersebut; 2. Menerima keputusan apa pun yang dihasilkan CCSBT, yang berarti Indonesia tidak perlu ikut terlibat dalam menentukan keputusan-keputusan penting pengelolaan SBT, sehingga peningkatan status keanggotaan bukan merupakan prioritas. Berdasarkan pilihan tersebut, perlu disusun pendugaan sementara bahwa meningkatkan bargaining position menjadi member CCSBT merupakan pilihan terbaik, bila Indonesia ingin meningkatkan kemampuan industri SBT nasional. Asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pendugaan tersebut adalah : 1. Menjadi member membuka kembali peluang ekspor SBT ke pasar negaranegara anggota CCSBT, khususnya pasar Jepang;
11
2. Keanggotaan penuh akan mengikat Indonesia pada aturan-aturan konvensi CCSBT
untuk
menjaga
keberlanjutan
sumberdaya
SBT
dan
keberlangsungan industrinya, sehingga mendorong Indonesia menciptakan regulasi yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan konservasi di satu sisi dengan kepentingan ekonomi di sisi lainnya; 3. Keseimbangan antara kebutuhan konservasi dan kepentingan ekonomi merupakan titik optimal dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT, dan diharapkan dapat menjadi titik tolak regulasi, sehingga Indonesia memiliki ukuran yang jelas atas jumlah kapal yang beroperasi dan hasil tangkap yang diperbolehkan sebagai dasar penentuan kuota bagi Indonesia. Ruang lingkup penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna (SBT) di Samudera Hindia –Selatan Indonesia dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir ruang lingkup penelitian pada Gambar 4.
Potensi Southern Bluefin Tuna (SBT) di Samudera Hindia
Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan
Keseimbangan Bioekonomi Strategi Pemanfataan SBT Indonesia di Samudera Hindia
Perubahan Kuota Penangkapan SBT
Perkembangan Perdagangan
Isu Illegal Fishing
Keragaan Industri SBT Indonesia
Embargo Perdagangan (Ekspor) SBT
Gambar 4. Bagan Alir Ruang Lingkup Penelitian
12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna Southern Bleufin Tuna (SBT) atau tuna sirip biru adalah ikan yang
memiliki habitat di perairan laut lepas dan sekitar pesisir, tetapi selalu menghindari muara-muara sungai yang berkadar garam rendah, serta bermigrasi disekitar laut Pasifik dan wilayah perairan air hangat laut Mediteranian. SBT termasuk ikan buas karena memangsa ikan kecil, cumi-cumi, dan udang. Nama lain SBT adalah red tuna Mediteranian, masuk dalam golongan famili Scombridae, bergenus Thunnus, dengan nama ilmiah Thunnus thynnus (DKP, 2007). Selain spesies tersebut, beberapa spesies lain yang berasal dari famili Scombridae adalah longfin tuna (Thunnus alalunga) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares).
Gambar 5. Southern Bluefin Tuna/Thunnus thynnus (FAO, 2006)
Literatur yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada 2007 diuraikan bahwa; nama red tuna berasal dari karakteristik warna daging, sedangkan nama bluefin tuna dberi karena sirip belakangnya nampak berwarna biru. Ciri fisik biologi SBT seperti pada Gambar 5, ditandai dengan badan memanjang seperti torpedo dan berpenampang bulat serta tergolong tuna besar. Tapisan insang pada busur insang pertama 19-26 dengan kepala dan mata besar. Sirip punggung pertama berjari-jari 12-13, dan 14 jari-jari lemah pada sirip
13
punggung kedua, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 14, diikuti 18 jari-jari sirip tambahan. Terdapat 2 lidah/cuping diantara sirip perutnya. Sisik kecil menutupi badannya, sisik pada korselet agak besar, tetapi tidak selalu nyata. Satu lunas kaut pada batang ekor, diapit oleh dua lunas kecil pada ujung belakangnya. Bluefin tuna merupakan salah satu bonefish terbesar yang ada, karena dapat memiliki ukuran mencapai panjang tiga meter dengan beratnya mencapai hampir 700 kg. Didukung dengan bentuk fisik ikan yang berbentuk torpedo atau kerucut dan ramping, serta struktur otot yang kuat, ikan ini memiliki kemampuan luar biasa dalam bermigrasi antar samudera.
Umumnya SBT dapat ditandai
dengan warna biru kehijauan pada bagian atas dan putih perak pada bagian bawah. Terdapat totol-totol warna putih pada bagian perutnya; kekuningan pada ujung sirip punggung sirip kedua dan dubur, serta jari-jari sirip tambahan. Bluefin tuna -- pada fase tertentu -- merupakan ikan yang suka hidup dalam kawanan kecil bersama-sama dengan binatang lain yang seukuran. Pada periode reproduksi sekitar bulan April-Mei, kawanan menjadi lebih banyak dan secara kompak mengambil keuntungan dari arus yang mengalir untuk bermigrasi. Fase reproduksi dimulai ketika SBT mencapai wilayah sekitar laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara selama musim panas bulan Juli dan Agustus. Kawanan mulai berputar-putar membentuk pusaran air yang pada gilirannya meletakkan gametes (produk seksual) di tengah-tengah pusaran, seperti pada Gambar 6. Didorong oleh gaya sentripetal yang dihasilkan dari gerakan perputaran tersebut, maka terjadi pertemuan dan peleburan gamet. SBT betina meletakkan puluhan juta telur; berbentuk bulat dan berukuran sekitar 1 mm serta dilengkapi dengan tetesan berminyak agar telur tetap mengapung.
14
Gambar 6. Pemijahan S Southern Bluef efin Tuna (FA AO, 2006)
Fase reproduksi diakhiri ketika tuna keh hilangan sem mangat berkaawan, lelah d lamban,, berhenti seejenak di sepanjang panntai untuk m dan mencari mak kan, setelah i bermigraasi kembali kearah itu k pesissir Autralia hingga h Pantaai Barat Afikka Selatan. T Telur-telur menetas m sekiitar 2 hari kemudian dann larva voraacious berukuuran 3 mm m muncul. Laarva-larva inni selanjutnyya dalam beberapa b bulan mampuu mencapai p panjang 45 cm. c Dalam beberapa tahhun, tuna-tuna muda terrsebut hidup di wilayah p pemijahan d selanjutn dan nya bermigraasi sampai mencapai m kem matangan sekksual. 3 3.2
Poteensi dan Pem manfaatan S Southern Blluefin Tuna di Samuderra Hindia Menuurut data DKP D (1998) potensi pennyebaran sum mberdaya ik kan laut di
p perairan Ind donesia tahunn 1998, Sam mudera Hindiia memiliki potensi perikanan tuna y yang cukup besar, sepeerti pada Tabbel 2. Jenis-jenis ikan tuna yang terdapat di w wilayah perrairan ini adalah a Yelloowfin, Big eye dan Albacore di laut barat S Sumatera; Y Yellowfin, Biig eye, Albaacore dan Sooutern Blueffin Tuna (SB BT) di laut s selatan Jawaa dan Bali seerta Nusa Teenggara. Tinngkat pemannfaatan tuna di perairan i menurut data tahun 1998 ini 1 rata-ratta masih dibaawah 50%.
15
Tabel 2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997 No. 1.
2.
3.
Wilayah Penangkapan
Jenis Ikan
Luas Area (1000 m2) 915.0
0.9235 0.628 0.0415
Berat (kg/100 pancing) 28.39 24.34 0.84
Indeks Kelimpahan (kg/100 pancing) 51.02 42.26 1.46
Ikan/ton pancing
Samudera Hindia Barat Sumatera Samudera Hindia Selatan Jawa
Yellowfin Big eye Albacore Yellowfin Big eye Albacore SBT
388.6
0.7079 0.9483 0.1936 0.0029
22.53 36.76 3.94 0.32
39.11 63.82 6.84 0.56
Samudera Hindia Selatan Bali dan Nusa Tenggara
Yellowfin Big eye Albacore SBT
488.8
0.7650 0.8350 0.3382 0.0031
24.35 32.35 6.88 0.36
42.27 56.16 11.94 0.62
Potensi Lestari (ton/tahun) 23.343 19.332 667 43.343 7.600 12.400 1.329 108 21.437 10.332 13.726 2.919 153 27.130
Produksi 1997 (ton) 4.477 3.708 128 3.555 5.800 622 50 2.284 3.034 645 34 5.997
Tingkat Pengusahaan (%) 19.2 19.2 19.2 19.2 46.8 46.8 46.8 46.3 46.0 22.1 22.1 22.1 22.3 22.1
Sumber: Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia, 1998 (DJPT – DKP 2006).
Wilayah laut di selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada Tabel 2 ternyata memiliki arti strategis dalam perikanan tuna dunia. Arti strategis itu terkait dengan habitat beruaya atau memijah SBT yang berlangsung di wilayah laut tersebut. Kondisi ini membawa konsekuensi-konsekuensi dalam pengelolaan sumberdaya ikan SBT, yakni Indonesia dituntut agar dapat ikut serta dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh organisasi pengelolaan sumberdaya ikan regional. Keanggotaan Indonesia dalam CCSBT penting artinya, khususnya bagi negara pelaku utama penangkapan SBT. Sebagai negara yang memiliki wilayah laut tempat beruaya SBT, kebijakan-kebijakan Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT dapat berdampak langsung pada kelangsungan sumberdaya dan kegiatan industri perikanan tuna SBT dunia. Indonesia diharapkan dapat terikat dengan konvensi CCSBT, sehingga setiap regulasi perikanan tangkap yang dikeluarkan oleh otoritas perikanan Indonesia, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, diharapkan tetap berada pada koridor untuk mendukung tujuan utama konvensi CCSBT.
Tujuan tersebut adalah
“menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkahlangkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi”. Salah satu keputusan konvensi yang terpenting adalah pengaturan jumlah kuota penangkapan SBT.
16
Jepang dan Australia adalah negara anggota CCSBT yang memiliki kuota penangkapan SBT terbesar dan menurut data FAO dan CCSBT tahun 2005, jumlah tangkapan kedua dunia mendominasi jumlah tangkapan SBT dunia dan telah berlangsung sejak tahun 1952. Indonesia sebagai negara tempat beruaya SBT, kegiatan industri penangkapan SBT mulai tercatat dalam data CCSBT pada tahun 1976. Wilayah kegiatan penangkapan industri SBT Indonesia, menurut laporan FAO dan CCSBT sekitar Area 57 di Samudera Hindia seperti pada Gambar 7. Area 57 dikategorikan sebagai daerah beruaya SBT dan kegiatan penangkapan Indonesia pada area tersebut menggunakan alat tangkap tuna long line dengan sebaran kapal tuna long line dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 7. Peta Area 57 Samudera Hindia (FAO, 2003)
Berdasarkan data FAO dan CCSBT, negara-negara yang turut menangkap SBT di Area 57 adalah Australia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan dengan komposisi produksi dan alat tangkap seperti pada Tabel 3.
17
Tabel 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia Alat tangkap Longline Purse seine
Negara Australia Sub Total Australia Indonesia Japan Korea, Republic of
Longline Longline Longline Longline Other gears Troll line
New Zealand Sub Total New Zealand Philippines Taiwan
Longline Longline
2000 125 5.132 5.257 1.203 6.000 1.135 379 0 1 380 17 1.448
Produksi (Ton) 2001 2002 2003 86 28 35 4.767 4.683 5.792 4.853 4.711 5.827 1.632 1.691 564 6.674 6.192 5.762 845 746 254 358 450 389 0 0 0 0 1 0 358 451 389 43 82 68 1.580 1.137 1.128
2004 228 4.834 5.062 677 5.846 131 391 1 1 393 80 1.298
Sumber : Diolah dari data FAO dan CCSBT (2006)
Sepanjang sejarah keterlibatan Indonesia dalam industri penangkapan SBT dari 1976-2004, produksi SBT Indonesia cenderung berfluktuasi seperti terlihat pada Gambar 8.
Jumlah produksi tertinggi pada tahun 1997 yang mencapai
13,74% dari total produksi CCSBT dunia. Pasca 1997, tingkat produksi SBT Indonesia mengalami penurunan dan tidak pernah mendekati angka 1997. Pada tahun 2005 jumlah hasil tangkap cenderung membaik, yakni mencapai 11,46% dari total hasil tangkap dunia.
Kenaikkan produksi 2005
penting artinya bagi industri SBT Indonesia, namun kenaikkan tersebut ternyata melampaui kuota yang ditetapkan oleh CCSBT.
Seiring dengan kenaikan
produksi ini pada tahun 2005, Indonesia mendapat sanksi embargo ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggota CCSBT. Sanksi tersebut merupakan konsekuensi pelanggaran kuota dan keengganan Indonesia menjadi anggota penuh CCSBT.
18
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 1976
Ton
Inddonesia
Tahun n
Tootal Dunia
Gambar 8.. Grafik Perk kembangan Produksi P SBT T (Ton) Indon nesia dan Share dengan d Produ uksi SBT Dun nia (diolah daari CCSBT, 2006) 2
Kegiitan
penanngkapan
SB BT
oleh
nelayan
I Indonesia,
umumnya
m menggunaka an alat tangkkap rawai tuuna atau tunna long linees. Alat tanngkap tuna sekaligus. l long line merupakan m raangkaian sejjumlah panccing yang dioperasikan d S Satu tuna lo ong line biassanya mengoperasikan 1.000 - 2.0000 mata panncing untuk s sekali turunn. Alat ini dioperasikaan di laut leepas atau perairan p sam mudera dan b bersifat pasiif, yakni meenanti umpaan dimakan oleh ikan saasaran, sepeerti tampak p pada Gambaar 9.
Gambar 9. Rawai R Tuna aatau Tuna Lo onglines (DJP PT-DKP, 20066)
19
Cara kerja alat ini secara umum adalah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arah arus (drifting). Drifting berlangsung selama kurang lebih empat jam dan selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal.
Untuk
mendukung kefektifan alat ini, umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan yang umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), kembung (Rastrelliger sp.), dan bandeng (Chanos chanos). 3.3
Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna Jepang merupakan negara produsen sekaligus importir Southern Bluefin
Tuna (SBT) terbesar dunia. Jumlah produksi SBT Jepang mencapai sekitar 7.327 ton pada tahun 2005 atau sekitar 47% produksi SBT dunia. Negara kedua yang memiliki produksi terbesar adalah Australia dengan jumlah produksi mencapai sekitar 5.244 ton pada tahun 2005. Indonesia pada tahun yang sama berada pada urutan ketiga produsen tuna dengan jumlah produksi mencapai 1.799 ton atau 12% produk SBT dunia, seperti terlihat pada Gambar 10. South Africa Philippines 0,15% 0,34% Indonesia 11,46% Taiwan
Misc. 0,00% Other 0,03%
Korea* 6,00% 0,24% New Zealand 1,68%
Australia 33,41%
Japan 46,68%
Gambar 10. Grafik Perbandingan Produksi SBT (Ton) Indonesia Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lain (diolah dari CCSBT, 2006)
20
Disisi lain, Jepang merupakan negara pengimpor SBT terbesar dunia seperti pada Gambar 11 dengan jumlah pada 2005 mencapai sekitar 10.320 ton. Impor tersebut bersumber dari ekspor beberapa negara, khususnya Australia dan Indonesia yang merupakan pengekspor terbesar SBT ke Jepang.
Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan Jepang untuk komoditi CCSBT sangat tinggi, sehingga kebutuhan tersebut tidak hanya dipenuhi melalui produksi industri perikanan SBT Jepang saja, tetapi juga dipenuhi melalui kegiatan impor SBT dari negara lain. Hingga saat ini, Jepang merupakan pangsa pasar SBT terbesar dunia.
10.000.000
9.268.959
9.130.375
9.000.000 8.000.000
7.980.269
7.719.495
7.000.000 6.000.000 5.000.000
Jepang
4.000.000
Lainnya
2.436.349
3.000.000 1.399.699
2.000.000
1.189.924
1.000.000 10.241
22.662
29.591
31.695
48.051
77.450
92.301
2002 Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2004 Jan-Jun 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec
Gambar 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)
Disamping Jepang, sepanjang 2002 – 2005 tercatat beberapa negara pengimpor SBT, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Filipina, Hongkong, Singapura, Belgia, Cina, Italia, dan beberapa negara timur tengah. Berdasarkan catatan ekspor-impor SBT oleh CCSBT, jumlah total volume impor negara-negara tersebut ternyata masih di bawah jumlah impor SBT Jepang.
Hal ini
menunjukkan bahwa daya serap pasar SBT Jepang sangat tinggi, sehingga sebagian besar produksi SBT dunia dipasarkan ke Jepang. Perkembangan impor SBT Jepang dari 2002 – 2005 seperti tampak pada Tabel 4.
21
Tabel 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005 Negara Pengimpor Jepang AS Korea Selatan Hongkong Filipina Lainnya
2002 Jul-Dec 7.980.269 9.146 633 32 431 -
2003 Jan-Jun 1.399.699 14.000 8.494 69 99 -
Periode dan Volume Impor (kg) 2003 2004 Jan2004 Jul-Dec Jun Jul-Dec 9.268.959 2.436.349 7.719.495 28.382 30.698 42.592 259 480 731 39 500 204 274 699 4.478
2005 Jan-Jun 1.189.924 29.022 39.735 26 8.668
2005 Jul-Dec 9.130.375 52.022 32.776 7.503
Sumber : Diolah dari data CCSBT (2007)
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor SBT dunia disamping Australia, Taiwan, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Perkembangan ekspor SBT Indonesia menunjukkan bahwa Jepang masih merupakan tujuan utama ekspor SBT Indonesia. Sepanjang 2001 – 2005 jumlah ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai sekitar 217,21 ton SBT, seperti tampak pada Gambar 12.
Bila angka produksi atau jumlah tangkap Indonesia
dibandingkan dengan jumlah ekspornya, khususnya ekspor ke Jepang sebagai pangsa pasar utama, maka terlihat bahwa jumlah ekspor Indonesia masih di bawah jumlah produksinya.
Kemungkinan sebagian besar produksi SBT Indonesia
masih ditujukan untuk konsumsi dalam negeri atau kegiatan tersebut tidak tercatat. 2.000.000 1.800.000
1.631.741
1.798.862
1.690.673
1.600.000 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 564.340
600.000 400.000 200.000
147.984
676.892
217.212 74.427
40.372
60.257
0 2001
2002
2003
Ekspor
2004
2005
Produksi
Gambar 12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)
22
Dibandingkan dengan beberapa negara eksportir lainnya seperti Australia, Taiwan dan Selandia baru, ekspor SBT Indonesia ke Jepang masih sangat rendah. Gambar 13 menunjukkan, sepanjang tahun 2002 – 2005, Australia adalah negara yang mendominasi pasar utama pengekspor SBT dengan jumlah ekspor tertinggi mencapai 9.046 ton pada tahun 2005. Negara-negara lain yang memanfaatkan pasar SBT Jepang seperti Taiwan dan Selandia Baru belum mampu menyaingi kemampuan ekspor SBT Australia. Jumlah ekspor tertinggi Taiwan dan Selandia Baru sepanjang 2002-2005 hanya mencapai 1.093 ton dan 344,6 ton yang terjadi pada tahun 2004.
10.000.000 9.000.000
Kilogram
8.000.000 7.000.000
Indonesia
6.000.000
Rep. Korea Selandia Baru
5.000.000
Filipina
4.000.000
Lainnya
3.000.000
Taiwan
2.000.000
Australia
1.000.000 0 2002
2003
Tahun
2004
2005
Gambar 13. Grafik Ekspor SBT (kg) Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)
3.4
Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan pada mulanya dimulai dengan
pendekatan faktor biologi yang umum dikenal dengan pendekatan maximum sustainable yield (MSY).
Menurut Fauzi (2004) inti pendekatan ini
mengasumsikan bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga bila surplus tersebut dipanen (tidak lebih atau tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).
23
Beberapa dekade, pendekatan MSY telah menjadi arus utama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di banyak negara, meski berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan MSY mengandung banyak kelemahan. Kelemahan mendasar pendekatan MSY diantaranya tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Fauzi (2004) kritik pendekatan terhadap MSY dilontarkan lebih jauh oleh Concrad dan Clark (1987) dengan menyatakan pendekatan MSY: 1. Bersifat tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset dapat mengarah pada pengurangan stok (stock depletion); 2. Konsep didasarkan pada pendekatan steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state; 3. Mengabaikan perhitungan nilai ekonomi terhadap stok ikan yang tidak dipanen (imputed value); 4. Mengabaikan aspek interdepensi dari sumberdaya, dan 5. Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki cirri beragam jenis (multispecies). Penyempurnaan atas berbagai kelemahan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan telah mulai dirintis dengan mendisain pengelolaan yang bertitiktolak pada pendekatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang kemudian dikembangkan adalah pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang lahir dari persoalan yang paling mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan. Persoalan mendasar tersebut adalah mencari titik keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi sumber daya ikan dengan keharusan untuk menjaga kelestariannya. Menjembatani kedua kepentingan tersebut, yakni kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi (biologi) telah melahirkan pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang diperkenalkan pertama kali oleh Scout Gordon untuk menganalisis pengelolaan sumber daya ikan yang optimal. Pendekatan bioekonomi diperlukan untuk menutupi kelemahan-kelemahan konsep MSY yang diperkenalkan oleh Schaefer pada 1954.
Konsep MSY
bertitiktolak pada pendekatan biologi semata, yakni tingkat panen sumber daya ikan pada batas MSY yang akan menjamin kelestarian sumber daya tersebut. Beberapa persoalan kemudian diabaikan dalam perhitungan MSY, dan menurut
24
Fauzi (2005), pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana biaya pemanenan ikan, bagaimana pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan sumber daya ikan serta bagaimana dengan nilai ekonomi terhadap sumber daya yang tidak dipanen atau intrinsic value (dibiarkan di laut). Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi ini melahirkan konsep bioekonomi yang menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai pertimbangan yang krusial dalam pengelolaan sumber daya ikan. Hal ini yang membedakan antara pendekatan biologi dengan bioekonomi. Menurut Fauzi (2005) pendekatan biologi bertujuan menciptakan pengelolaan untuk pertumbuhan biologi, sedangkan pendekatan bioekonomi bertujuan mengelola sumber daya ikan secara aspek ekonomi dengan kendala aspek-aspek biologi. Pendekatan biologi dalam Konsep Schaefer menurut Anderson (1984) beranjak pada asumsi bahwa pertumbuhan biomass ikan mengikuti fungsi populasi.
Pertumbuhan biomass tersebut dapat digambarkan melalui Kurva
Analisis Keseimbangan Populasi (Population Equilibrium Analysis) yang ditunjukkan dengan garis x sebagai garis jumlah populasi dan garis y sebagai garis pertumbuhan per periode, seperti pada Gambar 14. fE4
, (weight)
a) fE3 Growth Curve
F3
fE2
F2fo
fE 1
F1f o
A
P3
0
P0
P2
P1
P*
Equilibrium Population
Population (weight)
b) P*
Population Equilibrium Curve
P1
P2
E1
E2
E3
E/T
Gambar 14. Population Equilibrium Analysis (Anderson, 1984)
25
Gambar 14a menunjukkan bahwa pada tingkat populasi ikan sebesar P3 pertumbuhan biomass berada pada F3.
Pada tingkat keseimbangan tersebut,
pertumbuhan biomass masih terus berlangsung atau mengalami pertumbuhan positif karena faktor mortalitas secara alamiah lebih kecil dari pertumbuhannya. Pada tingkat P* pertumbuhan telah mencapai tingkat natural equilibrium population atau tidak adanya pertumbuhan alamiah dari biomass. Kondisi ini biasanya ditunjukkan dengan laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sesuai dengan carrying capacity. Gambar 14b menunjukkan masukkan aktivitas manusia dalam bentuk penangkapan (effort) terhadap biomass mengakibatkan penurunan jumlah biomass. Pada tingkat effort sebesar E1 maka jumlah populasi biomas mengalami penurunan menjadi P1. Diasumsikan dalam kurva tersebut, setiap penambahan 1 unit E akan menurunkan jumlah populasi P sebesar satu satuan. Hubungan antara populasi biomass (P) dengan kegiatan penangkapan (E) menurut Anderson (1984) pada Gambar 14 sama dengan f0. Setiap kegiatan manusia dalam penangkapan sebesar E1 unit maka catch menjadi f0 dan populasi biomass berada pada titik P1 dan jumlah tangkapan berada pada F1. Hubungan antara jumlah tangkap (F) dengan effort (E) sebagai akibat introduksi manusia melalui penangkapan dalam pertumbuhan biomass, dijelaskan Anderson (1984) seperti pada Gambar 15. Catch by Weight
Short-run Yield for P2
a) Short-run Yield for P3
F3 F2
F1
Catch by Weight
Total Sustainable Yield
Maximum Sustainable Yield (MSY) E1
E2
E3
Average Sustainable Yield, F/E
E/T
b)
Marginal Sustainable Yield, ∆F/∆E E/T
Gambar 15. Kurva Sustainable Yield (Anderson, 1984)
26
Garis total sustainable yield merupakan garis pertumbuhan populasi yang menunjukkan daya dukung sumberdaya perikanan. Pada tingkat effort sebesar E1 pada garis tersebut, jumlah tangkap sebesar F1. Kenaikkan jumlah E dari E1 ke E2 akan menyebabkan kenaikkan jumlah F dari F1 ke F2. Kenaikkan tersebut diikuti dengan kenaikkan sustainable yield, hingga penambahan effort yang terus berlangsung akan mengurangi pertumbuhan jumlah populasi biomass (P). Kondisi ini ditunjukkan dengan kenaikkan effort ke E3 dan catch ke F3 menyebabkan penurunan sustainable yield.
Penurunan tersebut seperti pada
Gambar 15b, garis average sustainable yield dan marginal sustainable yield yang terus menurun. Titik marginal sustainable yield sama dengan nol pada Gambar 15 adalah titik maximum sustainable yield (MSY). Konsep biologi tersebut, menurut Fauzi (2004), kemudian dikembangkan oleh Gordon dengan menambah faktor ekonomi seperti harga dan biaya19. Faktor tersebut ditambah dengan cara mengalikan harga dengan produksi lestari, maka akan diperoleh kurva penerimaan (TR = ph) dan mengalikan biaya persatuan input dengan upaya (effort), sehingga diperoleh kurva total biaya (TC=cE) yang linier terhadap upaya. Penggabungan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut akan membentuk kurva Model Gordon-Schaefer. Kurva Model Gordon-Schaefer menurut Anderson menunjukkan kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield dalam industri perikanan tangkap. Kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield ditunjukkan pada Gambar 16. Keuntungan maksimum secara ekonomi (maximum economic yield) terjadi pada titik E1, yakni ketika penerimaan total (revenue) penangkapan ikan lebih tinggi dari biaya total. Jika kondisi keuntungan maksimal ini dibiarkan tanpa regulasi atau kendali (open access), maka mendorong bertambahnya pelaku industri perikanan atau pelaku tersebut memperbesar kapasitas produksinya melalui penambahan jumlah effort. 19
Asumsi yang digunakan untuk menyusun model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004) adalah : a. Harga per satuan output, (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastik sempurna b. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan c. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal d. Struktur pasar bersifat kompetitif e. Hanya faktor penangkapan yang dihitung (tidak termasuk faktor pasca panen dan sebagainya)
27
$
a) Total Cost Maximum Profit Total Revenue
$
E1 MRC
E2
E3
E/T
b)
ARC
MC - ARC
E1
-$
E2
E3
E/T
Gambar 16. Open Access and Maximum Economic Yield (Anderson, 1984)
Penambahan jumlah effort akan menggeser E hingga pada titik keseimbangan open akses di E3. Keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi terkuras habis (driven to zero), sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, dan tidak ada perubahan pada tingkat upaya. Kondisi ini identik dengan ketidakadaan hak milik (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepat adalah ketidakadaan hak kepemilikan yang dikuatkan secara hukum (enforceable). Pergeseran E pada titik E2 akibat bertambahnya pelaku atau kapasitas industri menghasilkan tingkat produksi yang maksimal.
Titik ini disebut
maximum sustainable yield (MSY), yakni suatu kondisi yang menghasilkan tingkat produksi yang tinggi dan lestari secara sumberdaya.
Meski secara
produksi sangat tinggi dan secara sumberdaya lestari, namun total cost yang dibutuhkan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut lebih besar dibandingkan kondisi MEY.
Oleh sebab itu MEY merupakan produksi maksimum secara
ekonomi dan merupakan tingkat upaya optimal secara sosial (socially optimum). Sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan mis-allocation sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif ekonomi
28
lainnya. Hal ini merupakan inti dari prediksi Gondon, bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Disisi lain, tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan)20 dibandingkan dengan effort (Hannesson, 1993). Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap kondisi MEY maka dibutuhan analisis dampak ekonomi, yakni metodologi untuk menentukan sejauh mana perubahan-perubahan dalam peraturan, kebijakan, ataupun adanya penemuan teknologi yang baru, atau pengaruh perubahan pendapatan regional dan aktivitas ekonomi lainnya, dalam perubahan tingkat pendapatan, pengeluaran dan pekerjaan. Langkah
yang diperlukan untuk melakukan analisis dampak ekonomi
terhadap kondisi MEY adalah menentukan nilai ekonomi dari suatu aktivitas perekonomian.
Pengukuran-pengukuran yang dilakukan atas nilai ekonomi
tersebut didasarkan pada aktivitas-aktivitas ekonomi. Pengukuran ini tidak dapat dilakukan berdasarkan nilai sosial ataupun hal-hal lain yang diangap bernilai bagi kehidupan seseorang
Teknik untuk mengukur aktivitas ekonomi atau pasar
tersebut secara umum disebut sebagai analisis dampak ekonomi. Bila suatu kebijakan baru ditetapkan untuk suatu aktivitas ekonomi di wilayah tertentu. analisis dapak ekonomi akan mengukur dampak penetapan kebijakan tersebut pada rentetan dampak ekonomi. Asumsinya penetapan suatu kebijakan akan mendorong tersedianya lapangan kerja, pembelian atas produkproduk lokal, tersedianya layanan transportasi atau perkembangnya suatu aktivitas perekonomian. Disisi lain dampak yang dapat timbul dari suatu kebijakan ekonomi adalah individu dan perusahaan akan meningkatkan daya beli mereka terhadap berbagai produk baru yang berkembang. Hal ini berarti setiap kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan rentetan perubahan aktivitas ekonomi, yakni perubahan tingkat pengeluaran (the new spending). Begitu pun bila suatu kebijakan baru yang diterapkan dapat pula mendorong perubahan negatif dari pendapatan individu atau masyarakat. 20
Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara social (Eo) jauh lebih kecil disbanding yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (EMSY)
29
Variabel-variabel yang akan digunakan untuk mengukur dampak ekonomi dalam perubahan regulasi penangkapan SBT di Samudera Hindia adalah menentukan nilai Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Secara teori NPV menunjukkan tingkat diskonto pada tahun mendatang dan IRR menunjukkan tingkat kemampuan pengembalian investasi kegiatan ekonomi. Penentuan nilai NPV dan IRR didasarkan pada asumsi tiga kondisi atau skenario yang mungkin menjadi pilihan kebijakan yang akan ditempuh Indonesia. Ketiga skenario tersebut adalah (1) NVP dan IRR pada status observe atau peninjau, dengan status bukan anggota; (2) NVP dan IRR pada status cooperating non-member atau anggota tidak tetap dengan kewenangan terbatas; dan (3) NVP dan IRR pada status member atau anggota penuh dengan kewenangan penuh. Perhitungan NPV dan IRR pada ketiga skenario tersebut menjadi parameter untuk menentukan status yang paling menguntungkan bagi pengembangan industri SBT Indonesia.
30
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Bentuk dan Metode Penelitian Penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna
di Samudera Hindia –Selatan Indonesia diarahkan pada upaya untuk mengungkapan
suatu
masalah
atau
keadaan
sebagaimana
adanya
dan
mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang diberikan interprestasi atau analisis. Penelitian seperti ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif, yakni penelitian yang difokuskan untuk memberikan gambaran keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti (Tika, 2005). Penelitian deskriptif membutuhkan pemanfaatan ataupun menciptakan konsep-konsep ilmiah, sekaligus berfungsi dalam mengadakan suatu spesifikasi mengenai gejala-gejala fisik maupun sosial yang dipersoalkan. Di samping itu, penelitian seperti ini harus mampu merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan teknik penelitian yang akan digunakan dalam menganalisis suatu fenomena. Umumnya penelitian deskriptif melibatkan suatu kasus sebagai obyek penelitiannya sehingga penelitian seperti ini disebut studi kasus. Pengertian studi kasus sendiri merupakan metode penelitian yang intensif, terintegrasi dan mendalam, sehingga setipa subyek yang diteliti terdiri dari unit atau satu kesatuan unit yang dipandang sebagai kasus. Studi kasus umumnya digunakan dalam rangka studi eksploratif, yakni studi untuk mengembangkan suatu hipotesis dan bukan studi dalam rangka menguji hipotesis (Tika, 2005). Tujuan digunakannya studi kasus adalah mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang diteliti dan berarti studi kasus bersifat penelitian eksploratif.
Tujuan dari penelitian eksploratif adalah menjawab
pertanyaan-pertanyaan
yang
telah
dirumuskan
terlebih
dahulu
atau
mengembangkan hipotesis untuk penelitian selanjutnya. Untuk itu, penelitian ini perlu mencari hubungan antar gejala atau fenomena dalam rangka mengetahui bentuk hubungan yang terjadi.
31
Hal ini berarti penelitian ini perlu memperluas dan mempertajam dasardasar empiris mengenai hubungan di antara berbagai fenomena atau gejala-gejala yang ada, sehingga benar-benar akan menghasilkan rumusan hipotesis-hipotesis yang berarti bagi penelitian selanjutnya.
Menurut Tika (2005) sifat utama
penelitian studi kasus adalah menghasilkan gambaran yang bersifat longitudinal, yakni hasil pengumpulan dan analisis data dalam jangka waktu tertentu, sehingga teknik yang akan digunakan dalam penelitian studi kasus adalah observasi langsung. 4.2
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
observasi, yakni teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian.
Agar pendekatan observasi dapat lebih akurat dan dapat
menggambarkan fenomena lebih lengkap, maka observasi yang akan digunakan adalah observasi langsung, yaitu observasi yang dilakukan terhadap obyek ditempat kejadian atau tempat berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama obyek yang ditelitinya. Cara melakukan observasi dalam penelitian ini adalah observasi cara sistematis atau terstruktur. Menurut Tika (2005) observasi cara sistematis adalah observasi yang dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan secara sistematis unsur-unsur utama yang akan diobservasi.
Unsur-unsur tersebut perlu perlu
disesuaikan dengan tujuan penelitian atau hipotesis yang telah dibuat. Hasil observasi akan menentukan data-data yang akan dikumpulkan dan digunakan dalam analisis data.
Data-data yang akan diobservasi adalah data
primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh langsung dari responden atau obyek yang diteliti, atau ada hubungan dengan yang diteliti. Sedangkan data sekunder bersumber dari laporan atau instansi di luar diri peneliti sendiri. Data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan terlebih dahulu dari instansi atau lembaga yang berkepentingan. Dalam penelitian ini, instansi atau lembaga yang dimaksud diantaranya seperti CCSBT, FAO, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
32
4.3
Metode Analisis Data
4.3.1
Analisis Keseimbangan Bioekonomi Berdasarkan konsepsi yang telah dibangun oleh Gordon-Schaefer, maka
optimalisasi pemanfaatan tuna sirip biru di Laut Selatan Indonesia dapat ditentukan melalui keseimbangan bioekonomi. Terdapat tiga titik keseimbangan yang diturunkan dari model Gordon-Schaefer, yakni keseimbangan MEY, MSY dan open acces. Secara matematika, kurva Schaefer menurut Moses (1999) mengikuti persamaan matematika sebagai berikut: Ye = af – fb2 ........................................................................................................ (1) dan
................................................................................................ (2)
Ye adalah equilibrium yield, f adalah effort, a dan b adalah konstanta yang menunjukkan slope atau kemiringan (intercept) hasil regresi antara catch per unit effort (CPUE) terhadap effort. Jika persamaan (1) diturunkan terhadap effort akan menghasilkan persamaan: f(MSY) =
.............................................................................................................(3)
Subtitusi persamaan (3) ke persamaan (1) akan menghasilkan persamaan yang menunjukkan tingkat produksi MSY yakni : EMSY =
............................................................................................................. (4) Penyempurnaan secara ekonomi Model Schaefer dilakukan oleh Gordon
dengan memasukkan unsur ekonomi dalam model tersebut dengan cara mendefinisikan pengelolaan sumberdaya ikan harus memberikan manfaat secara ekonomi dalam bentuk rente ekonomi (Fauzi dan Anna, 2005). Rente tersebut merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dari ekstrasi sumberdaya ikan dengan ongkos atau biaya yang dikeluarkan. Jika penerimaan didefinisikan sebagai TR = pEMSY dan biaya merupakan TC = cf(MSY), dimana p adalah harga per satuan output dan c adalah biaya per satuan input, maka rente ekonomi adalah: atau
....................................................... (5)
33
Kondisi maximum economic yield (MEY) atau kondisi pengelolaan sumberdaya yang maksimum secara ekonomi dan lestari secara sumberdaya ditentukan dengan menurunkan persamaan (5) terhadap f(MSY). Turunan tersebut menghasilkan persamaan tingkat input optimal sebagai berikut: .............................................................................................................(6) Berdasarkan
persamaan-persamaan
tersebut,
maka
optimalisasi
pemanfaatan SBT di laut selatan Jawa, untuk menentukan keseimbnagan bioekonomi akan mengikuti tahapan sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data jumlah kapal sebagai input dan produksi SBT Indonesia secara time series; 2. Mengumpulkan informasi tentang biaya-biaya produksi, seperti biaya investasi kapal, biaya melaut per trip dan biaya-biaya operasional lainnya; 3. Mengumpulkan data-data yang terkait dengan harga SBT di pasar ikan dunia, khususnya Jepang sebagai pangsa pasar utama; 4. Menentukan CPUE melalui pembagian jumlah produksi dengan jumlah kapal atau produksi per satuan input; 5. Meregresi CPUE sebagai variabel Y dengan produksi sebagai varibel X; 6. Hasil regresi ini akan menentukan nilai α dan β; 7. Berdasarkan nilai α dan β tersebut, maka nilai MEY dapat diperoleh sebagai nilai optimal (keseimbangan bioekonomi) pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indoensia. 4.3.2
Analisis Dampak Ekonomi Keseimbangan bioekonomi pada MEY
merupakan nilai optimal
pemanfaatan sumberdaya SBT oleh industri perikanan Indonesia. MEY akan diasumsikan sebagai entry point regulasi penangkapan SBT Indonesia di laut selatan.
Untuk mengetahui manfaat bersih atau dampak ekonomi penerapan
regulasi tersebut, maka dilakukan analisis dengan pendekatan Net Present Value (NPV). Definisi pendekatan NPV adalah nilai sekarang dari manfaat bersih dari satu proyek melalui proses discounting mulai dari tahun awal. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung NPV adalah : =
+
...................................................................................................(7)
34
= NB =
+
....................................................................................................(8)
–
......................................................................................................(9)
NPV = ∑
..............................................................................................(10)
Keterangan : Bdt Bidt Cdt Cidt NB NPV r t
= = = = = = = =
Manfaat Langsung pada periode t Manfaat Tidak Langsung pada periode t Biaya Langsung pada periode t Biaya Tidak Langsung pada periode t Manfaat Bersih (Net benefit) Nilai sekarang dari manfaat bersih Tingkat Diskonto Waktu Sedangkan untuk menghitung tingkat pengembalian investasi saat ini yang
menghasilkan nilai sekarang dari manfaat sama dengan nilai sekarang terhadap biaya atau NPV = 0, digunakan Internal Rate of Return (IRR). Estimasi yang digunakan melalui pendekatan ini adalah : 1. Bila IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang berlaku (IRR > r), maka proyek yang dilakukan memberikan manfaat yang lebih besar; 2. Bila IRR < r maka proyek tersebut memberikan manfaat yang lebih kecil dibandingkan biaya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
(Bt − Ct ) =0 ∑ t t = 0 (1 + r )
n
n
atau
Bt
∑ (1 + r ) t =0
t
n
=∑ t =0
Ct
(1 + r )t
..................................................(11)
Secara teoritis, nilai B/C yang diperoleh lebih besar dari satu (B/C > 1), berarti proyek yang dilakukan memberikan manfaat yang lebih besar dan layak untuk diteruskan. Namun bila nilai rasio tersebut lebih kecil dari satu (B/C < 1), maka proyek tersebut tidak layak untuk dilanjutkan, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diterima. Rumus rasio manfaat dan biaya (B/C) adalah : n
B / Cratio =
Bt
∑ (1 + r )
t
t =0 n
..........................................................................................(12)
Ct
∑ ((1 + r ) t =0
t
35
4.4
Batasan Penelitian Batasan yang digunakan dalam penelitian Optimalisasi dan Strategi
Pemanfaatan Sumberdaya SBT di Samudera Hindia – Laut Selatan Indonesia adalah : 1. Daerah penelitian di fokuskan wilayah selatan Samudera Hindia yang mencakup laut selatan Jawa dan Bali; 2. Data yang digunakan adalah data seri dari tahun 1995-2005; 3. Implikasi ekonomi atas keanggotaan penuh dihitung dalam jangka waktu 20 tahun ke depan dengan asumsi investasi sebuah kapal bertahan dalam jangka waktu tersebut. 4.5
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Southern
Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia berlangsung selama 8 (delapan) bulan, terhitung dari bulan April – Desember 2007. Sebagian besar data bersumber dari kegiatan pendaratan ikan di Pelabuhan Benoa dan Cilacap. Berdasarkan fakta dan data di lapangan disimpulkan bahwa aktivitas utama penangkapan dan pendaratan SBT dilakukan di Pelabuhan Benoa, sehingga repersentasi atas industri SBT di Indonesia diwakili oleh aktivitas di pelabuhan tersebut. Disamping itu, obyek penelitian merupakan obyek yang minim dari riset dan publikasi ilmiah di Indonesia. Kendala ketersediaan data dan obyek yang harus disurvei menjadi salah satu persoalan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan hasil penelitian.
Kondisi ini menempatkan waktu dan tempat
penelitian merupakan ikhtiar maksimal yang dapat dijangkau dalam penelitian ini.
36
BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA
5.1
Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna Industri perikanan tangkap tuna (SBT) di Perairan Samudera Hindia
dimulai sekitar tahun 1952 oleh perusahaan rawai tuna dari Jepang, kemudian diikuti oleh Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia. Pada dekade 1950-1960, total hasil tangkapan SBT di Samudera Hindia bisa mencapai sekitar 80.000 ton/tahun (Perkembangan penangkapan SBT menurut negara dari 1952-2005 dapat dilihat pada Lampiran 2). Kegiatan produksi penangkapan tersebut sekitar tahun 1980 mulai menunjukkan penurunan hingga jumlah SBT yang tertangkap tidak lebih dari 10.000 ton/tahun seperti pada Gambar 17.
Penurunan volume hasil tangkap
tersebut menimbulkan kekuatiran bahwa jenis ikan ini akan mengalami kepunahan, sehingga negara-negara industri utama seperti Jepang, Australia dan Selandia Baru membentuk RFMO bernama Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) pada 1994. 90.000
80.000
70.000
60.000
Ton
50.000
Australia Japan New Zealand Korea* Taiwan Indonesia Lainnya
40.000
30.000
20.000
10.000
1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
0
Tahun Gambar 17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia
37
Pembentukan lembaga regional CCSBT untuk mengelola kegiatan industri SBT di Samudera Hindia bertujuan untuk mengendalikan kegiatan penangkapan SBT, seiring dengan semakin menurunnya jumlah hasil tangkapan ikan tersebut. Menurut Wudianto (2003) berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap bekerjasama dengan CSIRO Australia menunjukkan bahwa hasil penangkapan SBT pada tahun 2005 yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Benoa dan Cilacap sepanjang September – April, sebagian besar ditemukan dalam keadaan bertelur dengan ukuran 160-180 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ikan-ikan SBT yang tertangkap sepanjang tahun tersebut mulai menjaring induk ikan. Kondisi ini sangat riskan bagi kelestarian sumber daya ikan tersebut apabila terus dilakukan penangkapan secara berlebihan (tanpa adanya kontrol/pembatasan). Untuk mengendalikan kegiatan tangkap lebih dan menjaga kelestarian sumber daya SBT, konvensi CCSBT telah menerapkan mekanisme kuota bagi negara-negara yang terlibat dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pada periode 2003-2006 menurut ICCAT REPORT 2004-2005 (II); total kuota penangkapan yang diberikan pada negara-negara industri SBT yang berstatus anggota CCSBT mencapai 14.030 ton dengan rincian sebagai berikut : -
Kuota Jepang : 6.065 ton;
-
Kuota Australia : 5.265 ton;
-
Kuota Korea Selatan : 1.140 ton;
-
Kuota Taiwan : 1.140 ton; dan
-
Kuota Selandia Baru : 420 ton. Disamping kuota bagi anggota CCSBT, kuota diberikan pula bagi anggota
CCSBT yang berstatus anggota tidak tetap dan peninjau. Besaran kuota untuk periode tersebut mencapai 900 ton dengan rincian 800 ton untuk Indonesia, 50 ton untuk Filipina dan sisanya dibagi kepada beberapa negara yang berstatus peninjau. Pada pertemuan ketiga CCSBT tahun 2006 terjadi perubahan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia untuk periode 2007-2009. Besarnya kuota penangkapan ditetapkan 11.810 ton atau turun sekitar 3.115 ton dari periode sebelumnya. Kuota untuk Jepang mengalami penurunan menjadi 3.000 ton dan kuota tersebut berlaku hingga tahun 2011. Sedangkan kuota Australia mengalami
38
kenaikan menjadi 5.265 ton hingga tahun 2009 dan kuota negara-negara lainnya seperti Korea dan Taiwan tetap sebesar 1.140 ton, dan kuota Selandia Baru juga tetap dipertahankan sebesar 420 ton hingga tahun 2009 (Tabel 5). Indonesia dan Filipina adalah negara-negara berstatus Cooperating NonMembers yang mengalami penurunan kuota hingga tahun 2009. Kuota Indonesia mengalami penurunan dari 800 ton pada periode sebelumnya menjadi 750 ton pada periode 2007-2009. Sedangkan Filipina pada periode yang sama mengalami penurunan 50 ton menjadi 45 ton. Negara- negara yang berstatus Cooperating Non-Members seperti Afrika Selatan mengalami penurunan kuota menjadi 40 ton dan Uni Eropa sebagai anggota baru memperoleh kuota sebesar 10 ton hingga tahun 2009. Perkembangan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan Samudera Hindia Kuota 2007-2009 No Negara Kuota 2006 (Jepang : 2007-2011 1 Jepang 6,065 3,000 2 Australia 5,265 5,265 3 Taiwan 1,140 1,140 4 Korea Selatan 1,140 1,140 5 Selandia Baru 420 420 6 Filipina 50 45 7 Afrika Selatan 45 40 8 Uni Eropa 0 10 9 Indonesia 800 750 Total 14,925 14,925
SBT di Selisih -3,065 0 0 0 0 -5 -5 10 -50 11,810
Sumber : CCSBT, 2007 Keterangan : Data lain menyebutkan bahwa Taiwan dan Korea Selatan mengalami penurunan kuota menjadi masing-masing 1.000 ton per tahun (USDA Foreign Agricultural Service)
5.2
Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT Jepang dan Australia adalah dua negara yang dominan dalam kegiatan
penangkapan SBT di Samudera Hindia. Kedua negara ini memiliki keragaan industri penangkapan SBT yang modern sekaligus pemilik kuota penangkapan SBT terbesar di dalam keanggotaa CCSBT. Keragaan industri SBT Jepang dan Australia dapat dilihat dari jumlah produksi SBT kedua negara pada tahun 2005. Sekitar 47% produksi SBT dunia diproduksi oleh Jepang dan 33% dikuasai oleh Australia (Gambar 8). Penurunan kuota Jepang hingga tahun 2011 dan kenaikan
39
kuota Australia hingga 2009 dapat menggeser dominasi produksi SBT dunia dari Jepang ke Australia. Tekanan penurunan kuota Jepang21 dimulai ketika Australia menggangkat isu illegal fishing terkait dengan pengakuan Jepang bahwa pada awal 2006 bahwa terjadi penangkapan SBT di Samudera Hindia yang melebihi kuota.
Jumlah
tangkapan Jepang lebih besar 25% dari kuota 6.065 ton yang telah disepakati dalam konvensi CCSBT. Pengakuan tersebut diikuti oleh tuduhan pihak Australia bahwa pelanggaran kuota oleh Jepang tidak hanya terjadi pada tahun bersangkutan, melainkan telah terjadi dalam kurun waktu 15 – 20 tahun terakhir. Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Jepang telah diduga menangkap SBT secara ilegal dengan nilai yang fantastis yaitu 2 milliar dolar Australia atau setara US$ 1,53 miliar dengan total hasil tangkapan ilegal atau yang tidak dilaporkan oleh Jepang diperkirakan mencapai 12.000 sampai 20.000 ton. Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat ribuan bahkan menungkin puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan langsung dijual pada perusahaan pengumpul atau retailer. Alasan Australia melempar tuduhan tersebut disebabkan karena Jepang tidak bersedia memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya. Mendapat tekanan tersebut, pihak Jepang melalui Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency balik menuduh bahwa pihak Australia pun ikut serta melakukan kegiatan illegal fishing. Kegiatan tersebut mencakup usaha perikanan Australia menangkap juvenile SBT dan secara hipokrit menjual hasil tangkapan tersebut ke Jepang. Apalagi setiap tahunnya Australia memperoleh sekitar 40 juta dolar Australia per tahun dari kuota yang dimilikinya. Jepang menginginkan agar persoalan tuduhan illegal fishing dapat diselesaikan pada tingkat pembicaraan di CCSBT. 21 Tekanan lain yang dihadapi Jepang adalah hasil keputusan sidang ICCAT (The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas) 26 November 2006 yang memutuskan memutuskan kuota bluefin tuna di Samudera Atlantik hingga tahun 2010 dibatasi turun 20% dari marjin yang diperbolehkan dari sekitar 32 ribu ton saat ini.
40
Pada pertemuan ketiga CCSBT, tekanan Australia ternyata berhasil memaksa Jepang untuk menerima penurunan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia dari 6.065 ton per tahun menjadi 3.000 ton per tahun hingga tahun 2011. Australia memperoleh kuota tertinggi, yakni 5.265 ton per tahun sehingga menempatkan Australia menjadi pemegang kendali produksi SBT dunia untuk tahun-tahun mendatang. Dalam laporan The Guardian pada 16 Oktober 2006 lalu, disebutkan pula bahwa kesepakatan tersebut ikut mengatur alokasi kuota SBT di Samudera Hinda. Kuota penangkapan SBT mengalami penurunan jumlah penangkapan total dari 14.925 ton pada tahun 2006 menjadi 11.530 ton pada tahun 2007.
Hal ini
kemudian membuat pihak Jepang menganggap bahwa tuduhan Australia tidak lebih merupakan blow up untuk melindungi kepentingan industri perikanan Australia sendiri dan mengakomodasi kepentingan kelompok lingkungan. Manuver Australia tidak hanya ditujukan ke Jepang, melainkan ke negaranegara lain yang berpotensi untuk menjadi sasaran berikutnya. Hal ini telah disinyalir oleh pihak Asosiasi Pemilik Kapal Tuna Australia, Brian Jeffries yang dirilis ABC Local Radio; “……Japan did over catch in 1999 and are reducing their catch into year 2000 by the amount of their over catch in 1999……..Now, Australia did exactly the same thing…….I think labeling Japan is realy missing the issue. The issue is these unregulated countries….” (Suadi, 2006). Disisi lain, Jepang sebagai pihak yang mengalami pengurangan kuota tentunya tidak akan berpangku tangan mengingat investasi yang cukup besar dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Disamping itu, Jepang merupakan konsumen terbesar perikanan tuna. Jumlah konsumsi SBT Jepang pada tahun 2003 mencapai sekitar 53,3% dari total produksi dengan harga mencapai sekitar 2.581 yen/kg22. Pada tahun 2005, Jepang telah mengimpor sekitar 10.320 ton SBT dari total kuota penangkapan SBT dunia.
Tentunya
Jepang akan berusaha menjamin pasokan SBT di dalam negerinya, baik melalui kuota yang ada maupun melalui impor dari negara-negara lain.
22 The average wholesale price of fresh SBT in August this year at the Tsukiji fish market in Tokyo was 2,581 yen per kilo (USDA Foreign Agricultural Service, 2006)
41
Secara jangka pendek dan menengah, jaminan pasokan tuna Jepang dan keragaan industri penangkapannya akan terpatri pada usaha untuk mendekati beberapa negara potensial, melalui pola kerja sama penangkapan ikan seperti yang banyak terjadi pasca negara-negara pantai mengadopsi UNCLOS di awal dekade 1980. Indonesia adalah salah satu negara potensial dalam penangkapan SBT di Samudera Hindia yang dapat didekati oleh Jepang, mengingat ketergantungan ekspor SBT Indonesia pada pasar Jepang. Ekspor tertinggi SBT Indonesia ke Jepang terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah ekspor sekitar 217,2 ton dari 1.690,67 ton produksi pada tahun tersebut. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2005 meski terjadi peningkatan jumlah produksi pada tahun tersebut. Jumlah produksi pada tahun 2005 mencapai 1.798,86 ton namun jumlah ekspor hanya mencapai 60,26 ton. Walaupun jumlah ekspor Indoensia ke Jepang turun, namun kemampuan untuk meningkatkan produksi pada tahun tersebut menunjukkan bahwa kemampuan produksi industri SBT Indonesia cukup baik. Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam industri penangkapan SBT adalah kuota yang diberikan ke Indonesia jauh lebih kecil dari kemampuan Indonesia untuk memproduksi SBT. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia ikut serta dalam kegiatan penangkapan ilegal. Hal ini telah disinyalir oleh otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries. Berdasarkan perhitungan dari CCSBT tahun 2007, Indonesia adalah penyumbang terbesar kegiatan illegal fishing dalam penangkapan SBT. Sekitar 124,88% produksi Indonesia adalah hasil tangkapan di luar kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Negara lain yang ikut memberikan konstribusi penangkapan ilegal adalah Jepang sekitar 20,81% dan Filipina sekitar 6% (Tabel 6).
42
Tabel 6.
Selisih Produksi-Kuota dan Presentasi terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005
No.
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8
Australia Jepang Selandia Baru Korea Taiwan Filipina Indonesia Lainnya Jumlah
Produksi (Ton) 5,244 7,327 264 38 941 53 1,799 25 15,691
Kuota (Ton) 5,265 6,065 420 1,140 1,140 50 800 50 14,930
Selisih Persentase (Ton) -21 -0.40 1,262 20.81 -156 -37.14 -1,102 -96.67 -199 -17.46 3 6.00 999 124.88 -25 -50.00 761 5.10
Sumber : Diolah dari CCSBT, 2007
Kondisi tersebut menunjukkan paradok industri perikanan tangkap Indonesia. Pada satu sisi, data produksi Indonesia menunjukkan kemampuan industri perikanan tangkap Indonesia dalam meningkatkan kemampuan produksi SBT di Samudera Hindia. Pada sisi yang lain, kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia ikut memberikan konstribusi bagi penangkapan ilegal.
Hal ini
membawa konsekuensi : 1. Kuota penangkapan SBT Indonesia diturunkan dari 800 ton per tahun menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Indonesia mengalami embargo perdagangan SBT dari negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang sebagai pangsa pasar utama SBT. Penurunan kuota dan embargo perdagangan SBT tentu berdampak langsung pada kegiatan industri perikanan Indonesia. Menurut Wudianto dalam DKP (2007) SBT merupakan salah satu ikan unggulan untuk komoditi ekspor dan jenis ikan ini jarang dijumpai di pasaran lokal/domistik. Pasar utama ikan ini adalah Jepang yang digunakan sebagai bahan untuk sashimi dan sushi. Harga ikan SBT segar dengan kualitas bagus di pasar Sukiji Jepang bisa mencapai 50-60 US dolar per kilogram. Jika nelayan rawai tuna bisa menangkap satu ekor ikan SBT dengan berat 200 kg, maka diperkirakan dapat memperoleh uang sekitar 10.000 US dolar atau 90 juta rupiah/ekor. Persoalan embargo ekspor telah mengakibatkan nelayan Indonesia tidak dapat mengekpor ikan tersebut, khususnya dipasar ke Jepang, baik dalam bentuk ikan segar atau tuna loin. Dampak dari masalah tersebut bila dihitung secara
43
kasar dengan patokan produksi SBT tahun 2005 sebesar 1.779 ton dengan harga SBT 50 US dolar per kg, maka devisa negara yang hilang dapat mencapai sekitar 91,5 juta dolar atau 820 milyar rupiah/tahun. Menurut Wudianto (2007) berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha rawai tuna di Benoa tanggal 9 April 2007, saat ini di salah satu cold storage ikan tuna di Benoa menyimpan 50 ton ikan SBT yang tidak dapat diekpor, baik berupa ikan segar maupun ikan olahan. Pengusaha tersebut pernah melakukan penjualan melalui negara lain atau lebih dikenal sebagai pasar gelap (illegal market) tetapi tetap juga ketahuan dan ikan tersebut dikembalikan ke Indonesia. Hasil tangkapan SBT hanya dapat dijual di pasar domistik dengan harga yang sangat rendah sekitar 15 ribu rupiah/kg dan tentunya permintaannya sangat terbatas. Keadaan ini benar-benar menjadi ironi ditengah-tengah program pemerintah yang telah mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan dengan tuna sebagai salah satu andalannya. 5.3
Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT Menurut laporan USDA Foreign Agricultural Service (2006) total impor
Jepang pada tahun 2005 dari negara-negara produsen SBT mencapai sekitar US$128 juta dengan harga rata-rata produk di pasar Jepang mencapai sekitar US$13,1 per kilogram. Jumlah impor Jepang menurut data CCSBT pada tahun 2005 mencapai 9,965 ton disamping produksi yang mencapai sekitar 7,327 ton23 (Jumlah impor, ekspor dan negara dapat dilihat pada Lampiran 3). Bila diasumsikan bahwa produksi domestik dan impor Jepang merupakan daya serap pasar Jepang dan daya serap tersebut merupakan kebutuhan konsumsi SBT Jepang, maka total konsumsi SBT Jepang pada tahun 2005 mencapai sekitar 17.291 ton. Total transaksi perdagangan SBT di Jepang pada tahun 2005 bila dihitung berdasarkan harga rata-rata pasar impor sebesar US$13,09 diperkirakan bernilai US$225,56 juta (pembulatan). Jumlah produksi, impor dan harga ratarata produk SBT di pasar Jepang dapat dilihat pada Tabel 7. 23
Data dari USDA Foreign Agricultural Service (2006) menyebutkan total impor Jepang pada tahun 2003 mencapai 8.238 ton dengan nilai mencapai US$136 juta; impor pada tahun 2004 mencapai 11.362 ton dengan nilai mencapai US$150 juta ton dan tahun 2005 mencapai 9.774 ton dengan nilai mencapai US$128 juta.
44
Tabel 7. Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-Rata Produk SBT di Jepang Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jumlah Produksi + Impor Produksi Jepang (kg) Harga rata-rata (USD/kg) Nilai Impor (USD) Impor Jepang (kg) : - Indonesia - Australia - Taiwan - Korea selatan - Selandia Baru - Filipina - Lainnya
17,980,259 6,674,000 16.63
16,325,946 6,191,793 NA NA 10,134,153 217,212 8,226,948 702,369 557,826 243,063 45,149 141,586
15,866,882 5,762,000 13.46
15,310,196 5,846,000 15.85
17,291,731 7,327,000 13.09
136,000,000 10,104,882 74,427 8,110,476 1,042,689 481,273 262,807 84,949 48,261
150,000,000 9,464,196 33,871 7,826,573 1,040,929 156,377 339,538 61,000 5,909
128,000,000 9,964,731 39,307 8,955,643 650,560 71,824 225,317 21,519 561
15,488,917 6,065,000 15.74 148,332,446 9,423,917 0 8,467,469 736,974 110,342 105,924 2,222 986
188,014,516 11,306,259 147,984 7,890,246 1,475,757 1,355,889 320,179 37,254 78,950
Sumber : 2003-2005 Japan Customs (WTA) dalam USDA (2006) 2001 Japan Fisheries Market Report (2002) 2006 Ministry of Agriculrue, Forestry and Fisheries of Japan (2007)
Pada tahun 2007 perkembangan harga produk SBT di Jepang terus mengalami kenaikan yang sangat signifikan bila dibandingkan produk-produk tuna lainnya (perkembangan harga SBT di Pasar Jepang 2006-2007 dapat dilihat pada Lampiran 4).
Harga tertinggi sepanjang tahun 2007 menurut laporan
Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan terjadi pada bulan ketiga tahun 2007 yang mencapai harga sekitar ¥7.558 per kilogram. Hal menandakan bahwa terjadinya permintaan yang tinggi atas produk SBT, seiring semakin menurun jumlah suplai SBT ke pasar Jepang. Penurunan suplai SBT di pasar Jepang disebabkan oleh : 1. Pemberlakuan kuota penangkapan baru yang telah ditetapkan sebesar 14.925 ton pada tahun 2006 dan turun menjadi 11.810 ton tahun 2007. 2. Penurunan kuota produksi domestik Jepang dari 6.065 ton pada tahun 2003-2006 menjadi 3.000 ton pada tahun 2007-2011. Penurunan kuota Jepang pada tahun 2007 menjadi 3.000 ton telah mengakibatkan produk domestik industri SBT Jepang kehilangan sekitar 3.065 ton pangsa pasar potensial SBT dalam negeri Jepang, yakni selisih dari kuota sebelumnya. Hal tersebut tentu membawa konsekuensi serius bagi nelayan dan industri SBT Jepang, yakni kehilangan pendapatan akibat penurunan jumlah produksi yang diijinkan oleh CCSBT.
45
Bila diasumsikan kebutuhan domestik pasar SBT di Jepang rata-rata sebesar 16.555 ton per tahun dengan harga rata-rata sebesar US$13,1 per kilogram atau sekitar US$13.100 per ton, maka nilai transaksi SBT di Jepang dapat mencapai rata-rata sebesar US216,87 juta. Sekitar US$33,32 juta merupakan produk domestik SBT Jepang dan US$133,55 juta merupakan impor Jepang. Penurunan kuota Jepang secara otomatis memangkas potensi produk domestik SBT Jepang sebesar lebih kurang US$40,15 juta. 5.4
Keragaan Industri SBT Indonesia Sejarah penangkapan SBT Indonesia yang terekam pertama kali oleh
CCSBT pada tahun 1976 dengan jumlah produksi mencapai 12 ton dari 42.509 ton produksi SBT dunia. Jumlah produksi tertinggi yang dicapai Indonesia adalah 2.504 ton dari 19.259 produksi dunia pada tahun 1999. Perkembangan produksi SBT Indonesia dari tahun 1976 hingga tahun 2004 serta perbandingan terhadap produksi dunia tampak pada Gambar 18. 50.000 Indonesia
45.000
Total Dunia
40.000 35.000
Ton
30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000
1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
0
Tahun
Gambar 18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 - 2005
Berdasarkan data CCSBT tahun 2007, hasil produksi SBT Indonesia selama periode 2001 - 2005 sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri. Kegiatan ekspor tercatat dilakukan ke Jepang dengan jumlah ekspor yang ternyata jauh
46
lebih kecil dari jumlah produksi. Perbandingan antara ekspor dengan produksi SBT tampak seperti pada Gambar 19.
Data CCSBT tahun 2007 juga
menunjukkan bahwa kegiatan ekspor produk SBT Indonesia pada tahun 2006 tidak tercatat lagi. Hal ini merupakan implikasi dari embargo yang dilakukan oleh Jepang yang merupakan satu-satunya pangsa pasar SBT Indonesia. 2.000.000 1.800.000 1.600.000 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000
Ekspor
400.000 200.000 0
Produksi
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 19. Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun 2001 - 2006 (Produksi 2006 diasumsikan sama dengan kouta)
Perkembangan kapal penangkapan SBT Indonesia di Samudera Hindia dari tahun 1976-2000 menunjukkan jumlah peningkatan unit kapal. Berdasarkan data Herrera, M (2002) pada tahun 1976, kapal penangkapan tuna Indonesia di Samudera Hindia masih berjumlah sekitar 18 unit. Pada tahun 2000, jumlah unit kapal penangkapan Indonesia di Samudera Hindia terus bertambah dan mencapai 1.247 unit. Periode 1999-2000 dapat dianggap sebagai keragaan terbaik kegiatan penangkapan SBT Indonesia berdasarkan jumlah aktivitas penangkapan. Pasca periode tersebut, keragaan kegiatan industri penagkapan SBT Indonesia mulai mengalami penurunan (Estimatis jumlah kapal long line di Indonesia menurut perhitungan Harera di Lampiran 5). Seiring dengan dugaan semakin menurunnya jumlah tangkapan dan kenaikkan harga bahan bakar minyak sekitar tahun 2001-2005, perkembangan jumlah kapal penangkapan dan hasil tangkap SBT Indonesia di Samudera Hindia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan tersebut didorong pula
47
oleh ancaman embargo Jepang atas ekspor SBT Indonesia yang membuat iklim investasi pada penangkapan SBT tidak menarik lagi. Data Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukan pada tahun 2001 jumlah kapal perikanan yang terdata di Samudera Hindia mencapai 529 unit dan mengalami kenaikkan jumlah sepanjang 20012005. Gambar 20 menunjukkan grafik perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Samudera Hindia Tahun 1976-2005. 1.400 1.200
Unit
1.000 800 600 400 200
1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
‐
Tahun
Kapal
Gambar 20. Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Samudera Hindia Tahun 1976-2005
Spesies ikan tuna yang di daratkan di pelabuhan-pelabuhan utama perikanan tuna seperti Pelabuhan Benoa, Cilacap Jawa Tengah dan Muara Baru Jakarta pada dasarnya terdiri dari berbagai spesies tuna, seperti yellowfin tuna (YFT), bigeye tuna (BET), skipjack tuna (SKJ), southern bluefin tuna (SBT) dan lain-lain. Jumlah tangkapan ikan yang didaratkan di ketiga pelabuhan tersebut menurut data IOTC mencapai lebih kurang 52.473 ton pada tahun 2003 dan 42.504 ton pada tahun 2004. Data IOTC menunjukkan bahwa jenis YFT adalah jenis tuna terbanyak yang ditangkap dan didaratkan pada ketiga pelabuhan.
Sekitar 40,68% hasil
tangkapan tuna tahun 2003 adalah jenis YFT dan pada tahun 2004 jumlah tangkapan YFT mencapai 36,36%. Hasil tangkapan SBT pada tahun yang sama
48
mencapai 563 ton atau 1,07% untuk periode tahun 2003. Pada tahun 2004 jumlah tangkapan SBT mencapai sekitar 665 ton atau sekitar 1,56%. Pelabuhan Benoa adalah pelabuhan pendaratan hasil tangkapan SBT tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhan ini mencapai sekitar 555 ton atau sekitar 98,58% total tangkapan SBT. Jumlah pendaratan SBT pada tahun 2004 di Benoa mencapai 641 ton atau sekitar 96,39% total tangkapan. Pelabuhan lain tempat pendaratan SBT adalah PPN Cilacap di Jawa Tengah dan beberapa pelabuhan lain seperti PPN Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. Jumlah pendaratan pada tahun 2003 di PPN Cilacap mencapai sekitar 1,24% dari total tangkapan SBT Indonesia.
Pada tahun 2004
jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di PPN Cilacap mencapai sekitar 3,61%. Data lengkap jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan pelabuhan lainnya di sajikan pada Tabel 8. Table 8.
Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004
Tahun
Spesies
2003
YFT BET SKJ ALB SBF SWO MARL OBIL SKH OTHR
Total 2004
Total
YFT BET SKJ ALB SBF SWO MARL OBIL SKH OTHR
Benoa Ton Persen 7,405 34.69 5,598 45.71 49 8.06 3,508 69.98 555 98.58 1,133 42.50 1,313 38.07 139 8.23 409 15.66 561 24.56 20,670 39.39 4,486 29.02 4,258 40.29 23 5.44 2,011 46.92 641 96.39 1,245 50.75 1,142 42.28 54 4.13 380 15.32 522 24.13 14,762 34.73
Pelabuhan Cilacap Jakarta Ton Persen Ton Persen 842 3.94 12,261 57.44 394 3.22 5,855 47.81 0 0.00 523 86.02 168 3.35 1,252 24.98 7 1.24 1 0.18 64 2.40 1,375 51.58 73 2.12 1,931 55.99 21 1.24 1,431 84.72 39 1.49 2,025 77.56 20 0.88 1,594 69.79 1,628 3.10 28,248 53.83 1,052 6.81 9,285 60.07 1,118 10.58 4,861 45.99 0 0.00 374 88.42 174 4.06 1,967 45.89 24 3.61 0 0.00 93 3.79 1,044 42.56 94 3.48 1,371 50.76 26 1.99 1,150 87.92 28 1.13 1,940 78.23 51 2.36 1,488 68.79 2,660 6.26 23,480 55.24
Lainnya Ton Persen 836 3.92 399 3.26 36 5.92 85 1.70 0 0.00 94 3.53 132 3.83 98 5.80 138 5.29 109 4.77 1,927 3.67 633 4.10 332 3.14 26 6.15 134 3.13 0 0.00 71 2.89 94 3.48 78 5.96 132 5.32 102 4.72 1,602 3.77
Sumber : IOTC - 2005 - WPTT - 06 Keterangan : YFT (yellowfin tuna), BET (bigeye tuna), SKJ (skipjack tuna), ALB ( albacore), SBF (Southern bluefin tuna) SWO (swordfish), MARL (marlins), OBIL (other billfish), SKH (sharks) dll
Total Total 21,344 12,246 608 5,013 563 2,666 3,449 1,689 2,611 2,284 52,473 15,456 10,569 423 4,286 665 2,453 2,701 1,308 2,480 2,163 42,504
Persen 40.68 23.34 1.16 9.55 1.07 5.08 6.57 3.22 4.98 4.35 36.36 24.87 1.00 10.08 1.56 5.77 6.35 3.08 5.83 5.09
49
Berdasarkan data jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhanpelanuhan perikanan Indonesia, Pelabuhan Benoa dapat dipandang sebagai indikator aktivitas penangkapan SBT di Indonesia.
Keragaan kegiatan
penangkapan SBT di Pelabuhan Benoa pada dasarnya menunjukkan keragaan industri tuna SBT di Indonesia.
Dampak dari embargo atas produk SBT
Indonesia oleh Jepang, umumnya akan dirasakan oleh nelayan dan pengusaha perikanan tuna di Pelabuhan Benoa. Pada tahun 2005 jumlah SBT yang didaratkan di Pelabuhan Benoa, menurut data IOTC, mencapai sekitar 1.707 ton 12,8% dari total ikan yang diproduksi di Benoa.
Sekitar 6,03% atau 103 ton dari total produk tersebut
merupakan produk by catch atau tangkapan sampingan. Selain itu, sekitar 93,97% atau 1.604 ton adalah produk ekspor. (Jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa periode Januari 2003 – Desember 2005 di Lampiran 6).
50
BAB VI. KONDISI OPTIMAL DAN STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA
6.1.
Kondisi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya SBT Persoalan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia terkait dengan regulasi
organisasi perikanan regional atau CCSBT yang mengatur jumlah tangkapan bagi negara-negara anggota dan non anggota. Pengaturan jumlah tangkap atau kuota menjadi isu sentral setiap regulasi yang dihasilkan oleh CCSBT, karena jumlah kuota akan menentukan kesinambungan industri perikanan SBT di negara-negara anggota. Kesinambungan industri perikanan SBT akan ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi
politik,
yakni
kemampuan
pemerintahan
suatu
negara
menegosiasikan kepentingan industri perikanan di dalam negerinya.
untuk Hal ini
terkait dengan berapa besar jumlah kuota yang berhasil diperoleh negara-negara yang ikut dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Semakin besar jumlah kuota tangkap suatu negara akan membawa keuntungan bagi industri penangkapan SBT, mengingat daya serap pasar dan harga yang tinggi. Ketegangan antara Jepang dan Australia menyangkut kuota tahun 2007 dapat diletakkan dalam isu tersebut.
Kedua negara yang memiliki kapasitas
industri perikanan SBT yang besar dan modern merasa perlu untuk melindungi industri perikanan dalam negerinya. Tarik ulur atau negosiasi kuota di CCSBT banyak diwarnai oleh dinamika kedua negara ini. Bagi Indonesia yang memiliki kapasitas industri perikanan tangkap yang belum sebanding dengan Australia dan Jepang, persoalan kuota belum menjadi determinan dalam pengambilan keputusan pengembangan industri perikanan, khususnya sumberdaya yang diatur regulasinya oleh organisasi regional seperti CCSBT. Hal ini dapat dilihat dari sikap menerima Indonesia atas jumlah kuota yang ditetapkan oleh CCSBT, yakni 750 ton.
Kondisi tersebut sangat
bertolakbelakang dengan posisi geografis Indonesia sebagai wilayah pemijahan CCSBT.
51
Persoalan SBT baru menjadi isu dalam ekonomi politik Indonesia ketika ekspor SBT Indonesia mengalami embargo dari Jepang sebagai pasar terbesar produk tersebut.
Masalah keanggotaan dalam CCSBT menjadi alasan utama
penjatuhan embargo atas ekspor SBT Indonesia, sehingga fokus utama kebijakan lebih banyak diarahkan untuk mengatasi masalah embargo, bukan pada penataan kebijakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya SBT di Samudera Hindia. Keinginan untuk menjadi anggota CCSBT sejatinya tidak dapat disusun dalam kebijakan jangka pendek, yakni mengatasi masalah embargo ekspor produk SBT Indonesia. Lebih jauh dari itu, keinginan menjadi anggota harus dirumuskan dalam kerangka jangka panjang, yakni mengoptimalkan pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indonesia. Dalam kerangka itu, perlu disusun konsep penataan kebijakan pemanfaatan sumberdaya tersebut dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya SBT di Samudera Hndia. Untuk itu, persoalan optimalisasi pemanfaatan SBT perlu menjadi entry point dalam isu keanggotaan di CCSBT. Langkah pertama adalah menentukan tingkat optimal pemanfaatan SBT yang mampu menjamin tingkat pemanfaatan yang lestari atau maximum sustanainble yield (MSY), sekaligus menjamin tingkat keuntungan secara ekonomi atau maximum economic yield (MEY). Lestari secara biologi dan untung secara ekonomi merupakan dasar kepentingan perikanan Indonesia yang harus diperjuangkan.
Kondisi tersebut akan tergambar pada
jumlah kuota penangkapan SBT yang ideal bagi Indonesia. Komponen penting dalam menentukan MEY adalah Catch Per-Unit Effort (CPUE).
Berdasarkan data kapal tuna long line dan hasil tangkap SBT di
Pelabuhan Benoa dari 1995-2005 dapat ditentukan data CPUE. Data CPUE SBT di Benoa dapat dilihat pada Tabel 9.
52
Tabel 9. Catch Per-Unit Effort (CPUE) SBT Indonesia di Samudera Hindia Jumlah Kapal Produksi SBT Tahun CPUE Longline (Unit) (Ton) 2005 668 1,798.86 2.69 2004 769 676.89 0.88 2003 743 564.34 0.76 2002 545 1,690.67 3.10 2001 529 1,631.74 3.08 2000 1095 1,202.60 1.10 1999 1247 2,504.49 2.01 1998 845 1,324.13 1.57 1997 861 2,210.37 2.57 1996 709 1,614.18 2.28 1995 396 828.97 2.09 Sumber : 1995-2000; Herrera, M. 2002. IOTC Proceeding no. 5 2001-2004 Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2007 2005 : Daftar kapal di Pelabuhan Benoa
Melalui pendekatan bioekonomi, maka diperoleh hasil perhitungan regresi sebagai berikut, yakni nilai α sebesar 3,097 dan nilai β sebesar -0,001. Bila diasumsikan biaya rata-rata kegiatan penangkapan24 di Samudera Hindia untuk setiap kapal sebesar Rp188.867.973,- dan harga rata-rata25 per ton SBT sebesar Rp134.140.666,25 maka diperoleh data-data H sustainable, total revenue, total cost dan rent sebagaimana dalam Tabel 10 (Hasil regresi pada Lampiran 7). Tabel 10. Kondisi Aktual Penangkapan SBT Indonesia Tahun 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995
Jumlah Kapal Longline
Produksi SBT (Ton)
CPUE
H Sustainable
668 769 743 545 529 1095 1247 845 861 709 396
1,798.86 676.89 564.34 1,690.67 1,631.74 1,202.60 2,504.49 1,324.13 2,210.37 1,614.18 828.97
2.69 0.88 0.76 3.10 3.08 1.10 2.01 1.57 2.57 2.28 2.09
1,435.24 1,541.95 1,517.25 1,266.15 1,241.00 1,688.73 1,654.00 1,603.15 1,613.95 1,482.05 1,003.78
TR
TC
Rent
192,523,708,101.51 206,838,549,542.96 203,524,974,117.67 169,842,716,102.97 166,468,718,762.11 226,527,887,695.71 221,868,779,715.21 215,047,795,323.70 216,495,673,099.71 198,803,260,686.79 134,647,651,525.11
128,387,270,684.00 147,799,118,497.00 142,802,009,159.00 104,747,099,585.00 101,671,955,377.00 210,455,181,735.00 239,669,051,711.00 162,406,053,485.00 165,481,197,693.00 136,267,327,717.00 76,109,819,148.00
64,136,437,417.51 59,039,431,045.96 60,722,964,958.67 65,095,616,517.97 64,796,763,385.11 16,072,705,960.71 (17,800,271,995.79) 52,641,741,838.70 51,014,475,406.71 62,535,932,969.79 58,537,832,377.11
24
Biaya penangkapan bersumber dari biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh unit usaha penangkapan ikan berdasarkan perhitungan setiap trip 25 Data harga rata-rata bersumber dari perkembangan harga pasar SBT di Jepang setelah dikonversi dalam mata uang rupiah sebagaimana
53
Perbandingan antara H Sustainable dan produksi aktual secara grafik dapat dilihat pada Gambar 21 berikut : 3.000,00
2.500,00
Ton
Tabel 2.000,00 1.500,00 No.
1 2 1.000,00 3 4 500,00 5
11. Tiga Kondisi Bioeconomic Equilibrium Indonesia dalam Pemanfaatan SBT di Samudera Hindia
Keterangan Effort (kapal) Produksi (Ton) TR (Rp) TC (Rp) Rente Ekonomi (Rp)
MEY 636.48 1,396.00 208,067,631,144.78 122,329,413,476.57 85,738,217,668.21
Open Access 1,272.96 1,641.51 244,658,826,953.14 44,658,826,953.14 -
MSY Produksi 1,090.54 SBT (Ton) 1,688.76 Yield 251,701,863,953.98 209,597,879,094.97 42,103,984,859.01
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 21. Grafik Perbandingan Produksi Aktual dan Yield Tahun 1995 – 2005
Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 21 terlihat bahwa produksi SBT Indonesia di atas H-Sustainable sehingga kondisi tersebut perlu diregulasi agar pemanfaatan optimal secara sumber daya dan ekonomi. Berdasarkan perhitungan terhadap tiga kondisi bioeconomic equilibrium, yakni MEY, MSY dan open acces diperoleh solusi optimal seperti Tabel 11. Tabel 11. Tiga Kondisi Keseimbangan Bioekonomi (Bioeconomic Equilibrium) Keterangan Effort (kapal) Produksi (Ton) TR (Rp) TC (Rp) Rente Ekonomi (Rp)
Keseimbangan Bioekonomi (bioeconomic equilibrium) MEY Open Access MSY 636.48 1,272.96 1,090.54 1,396.00 1,641.51 1,688.76 208,067,631,144.78 244,658,826,953.14 251,701,863,953.98 122,329,413,476.57 244,658,826,953.14 209,597,879,094.97 85,738,217,668.21 42,103,984,859.01
Tabel 11 menunjukkan bahwa kondisi optimal pada MEY memberi keuntungan secara ekonomi bagi industri SBT Indonesia dengan jumlah kapal sekitar 636 unit dan produksi sekitar 1.396 ton. Pada kondisi tersebut, biaya kegiatan penangkapan mencapai sekitar Rp112,32 milyar dan penerimaan (TR)
54
mencapai Rp208,06 milyar.
Hal ini berarti rente ekonomi yang diperoleh
mencapai sekitar Rp85,73 milyar lebih. Jumlah produksi dan kapal pada MEY dapat menjadi titik tolak regulasi perikanan di Samudera Hindia, khususnya dalam kegiatan eksploitasi SBT. Pada tingkat produksi 1.396 ton dan jumlah effort (kapal) 636 unit kapal merupakan titik tolak regulasi industri penangkapan SBT Indonesia di Samudera Hindia. Jumlah kuota optimal Indonesia dalam industri SBT sama dengan kondisi MEY sehingga keanggotaan Indonesia dalam CCSBT mesti dibarengi dengan penataan industri SBT dan strategi yang menggambarkan kepentingan jangka panjang Indonesia dalam mengoptimalkan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia. 6.2.
Strategi Pemanfaatan Sumberdaya SBT Mengkaji strategi pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, maka
dibutuhkan perbandingan NPV dan IRR antara tiga status keanggotaan, yakni status non member, cooperating non member dan full member. Pada status non member, industri SBT Indonesia dapat melakukan eksploitasi SBT sebesarbesarnya menurut kapasitas industri yang dimilikinya, tanpa perlu mengikuti aturan kuota yang menjadi aspek utama regulasi pengaturan penangkapan di CCSBT. Namun status keanggotaan non member ini menempatkan Indonesia dalam situasi embargo ekspor komoditi SBT.
Perhitungan nilai NPV dan IRR
berdasarkan asumsi bahwa seluruh hasil produksi SBT Indonesia dipasarkan di dalam negeri dengan jumlah produksi yang dipergunakan dalam perhitungan tersebut berdasarkan jumlah produksi tahun 2005, yakni 1.779 ton. Pada posisi status cooperating non member, industri SBT diharuskan mengikuti kuota penangkapan yang telah ditetapkan oleh CCSBT. Besaran kuota yang diberikan sangat tergantung pada hasil pembagian oleh CCSBT, tanpa Indonesia mampu ikut serta mempengaruhi kebijakan pembangian jumlah kuota tersebut.
Perhitungan NPV dan IRR dalam status cooperating non member
berdasarkan asumsi jumlah produksi sebesar kuota tahun 2006 sebesar 800 ton. Status cooperating non member membukan peluang ekspor produksi SBT dan
55
diasumsikan jumlah ekspor Indonesia berdasarkan rata-rata ekspor dari tahun 2001-2005 yang mencapai rata-rata sekitar 103 ton atau 12,82% dari total kuota, Perhitungan ketiga adalah nilai NPV dan IRR dalam status full member di CCSBT.
Pada status ini, Indonesia mampu mempengaruhi kebijakan kuota
penangkapan SBT dan hambatan ekspor atau embargo tidak dikenakan lagi. Status full member mewajibkan Indonesia mengikat diri dalam konvensi CCSBT dalam rangka turut menjamin kelestarian sumberdaya SBT dan kewajiban adminstrasi untuk ikut membantu kelancaran organisasi. Hal ini berarti ada biaya transaksi (tansaction cost) yang mesti dipikul oleh Indonesia dalam keanggotaan CCSBT.
Diasumsikan biaya transaksi yang mesti dipikul Indonesia sekitar
USD100.000 per tahunnya26 dengan jumlah kuota penangkapan dan jumlah kapal sebesar MEY. Perhitungan NPV dan IRR dari tiga status keanggotaan tersebut menggunakan informasi data-data di Pelabuhan Benoa sebagai berikut (perhitungan rinci sebagaimana pada Lampiran 8) : 1. Investasi kapal (29-30 GT) sekitar Rp. 1.291.400.000,- dengan jangka waktu usia kapal (18 – 20 Tahun); 2. Biaya rata-rata sekitar Rp. 192.196.513,- per trip; 3. Harga rata-rata di pasar Internasional sekitar Rp. 134,140,666.25 Jangka waktu perhitungan Net Present Valuet (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) adalah usia maksimal kapal beroperasi sekitar 20 tahun. Hal ini berarti nilai NPV dan IRR menunjukkan tingkat diskonto dan tingkat kemampuan pengembalian investasi kegiatan ekonomi (economic impact) pada 20 tahun ke depan.
Hasil perhitungan terlihat pada Tabel 12 (Perhitungan lengkap pada
Lampiran 9 - 13).
26 Besarnya iuran keanggotaan CCSBT berdasarkan pendapat Ketua Komisi Tuna dalam Jurnal Nasional, 11 September 2007. Translat lengkap pendapat tersebut adalah sebagai berikut: "Kita (Indonesia) memang terkendala masalah fee (iuran) untuk menjadi anggotanya yang mencapai US$100 ribu per tahun," ujar Ketua Komisi Tuna Purwito Martosubroto pada pers. Indonesia sendiri sebelumnya mendapat kuota ekspor hingga 750 ton tuna bluefin segar sebelum dikenai embargo (Jurnal Nasional, 11 September 2007)
56
Tabel 12. Perbandingan Nilai NPV dan IRR Pemanfaatan SBT Indonesia di Samudera Hindia Berdasarkan Status Keanggotaan di CCSBT No
Indikator 20 Tahun IRR NPV (Rupiah) (Persen)
Keterangan
1
Status Non Member CCSBT
100,076,916,904.53
19.75
2
Status Cooperating Non Member
81,444,301,618.74
17.79
3
Status Member 206,167,834,097.57 366,020,209,212.50 525,872,584,327.43
29.02 43.02 57.03
- Kapasitas Ekspor 10 Persen dari Produksi - Kapasitas Ekspor 20 Persen dari Produksi - Kapasitas Ekspor 30 Persen dari Produksi
Berdasarkan Tabel 12 nilai NPV dan IRR pada status non member dan cooperating non member lebih rendah dari status full member. Hal ini berarti bahwa regulasi keanggotaan di CCSBT menjadi anggota penuh dengan jumlah kuota dan kapal berdasarkan MEY dalam jangka waktu 20 tahun lebih menguntungkan industri perikanan SBT nasional, dibandingkan bila status non member dan cooperating non member. Untuk itu, strategi pemanfaatan sumber daya SBT di Samudera Hindia oleh industri SBT Indonesia terpatri pada dua persoalan pokok, yakni : 1. Meningkatkan status keanggotaan di CCSBT menjadi full member dengan kuota sebesar dan jumlah effort sebesar MEY; 2. Peningkatan
status
keanggotaan
tersebut
harus
barengi
dengan
peningkatan kinerja ekspor, karena semakin besar kapasitas produksi yang diekspor, semakin tinggi nilai tingkat NPV dan IRR.
57
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Maximum economic yield (MEY) merupakan alokasi optimal pemanfaatan
SBT bagi industri perikanan nasional di sepanjang laut selatan Jawa dan Bali. Berdasarkan perhitungkan MEY, tingkat produksi optimal Indonesia adalah 1.396 ton dan effort (kapal) sebanyak 636 unit berdasarkan kapasitas industri SBT Indonesia tahun 2001-2005. Pada tingkat MEY tersebut, biaya produksi (TC) Rp. 122,32 miliar dengan jumlah penerimaan (TR) mencapai Rp. 208,06 milyar, sehingga rente ekonomi yang dicapai sekitar Rp. 85,74 milyar. Rente ekonomi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rente ekonomi pada tingkat keseimbangan bioekonomi open acces dan MSY. Opsi kebijakan yang dapat ditempuh Indonesia untuk mengoptimalkan tingkat pemanfaatan tersebut adalah menjadi anggota penuh (full member) di CCSBT. Opsi ini berdasarkan perhitungan NPV dan IRR dalam kondisi MEY dalam jangka waktu 20 tahun. NPV dan IRR pada status keanggotaan penuh akan membuka kembali kesempatan ekspor SBT, dan Indonesia memiliki peluang untuk menegosiasikan tingkat kuota sebesar MEY.
Jika diasumsikan jumlah
ekspor mencapai 30% dari produksi dan kuota pada MEY, maka NPV sebesar Rp. 525,87 miliar dan IRR mencapai 57.03%. Nilai NPV dan IRR tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai NPV dan IRR pada status non member dan cooperating non member. Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil Indonesia dalam menegosiasikan kepentingan industri SBT adalah: pertama, menetapkan status keanggotaan penuh di CCSBT. Kedua, menentukan dan menegosiasikan jumlah kuota penangkapan SBT Indonesia di CCSBT dengan berpatokan pada MEY. Ketiga, penentuan jumlah kuota tersebut mesti dibarengi dengan pembatasan jumlah kapal yang ikut dalam di industri ini, agar rente ekonomi yang dihasilkan mencapai maksimal secara ekonomi dan keberlanjutan sumber daya SBT.
58
6.2
Saran Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, maka dalam rangka
mengoptimalkan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia bagi industri perikanan nasional perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Indonesia perlu meregulasi kegiatan industri SBT dengan berdasarkan MEY agar pemanfataan sumber daya tersebut dapat optimal secara ekonomi dan sumber daya.
2.
Indonesia perlu meningkatkan status keanggotaanya di CCSBT, dari anggota tidak tetap/peninjau menjadi anggota penuh dengan segala konsekuensi dantanggungjawabnya.
3.
Status keanggotaan penuh perlu diikuti upaya-upaya untuk menegosiasikan jumlah kuota penangkapan, mengatur jumlah kapal, dan meningkatkan kapasitas ekspor dalam industri perikanan SBT.
59
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Lee, G. (1984). The Economic of Fisheries Management. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. Ayala, D, Hayashi, Y. (2006). Japan Fishery Products Japan's Annual Southern Bluefin Tuna Catch Halved 2006. GAIN Report; Number: JA6056. BEI NEWS Edisi 25 Tahun V. 2005. Berburu Yen dari Ikan Tuna. http://www.bexi.co.id. Caton, A. (ed.). (1991). Review of Aspects of Southern Bluefin Tuna Biology, Population and Fisheries. I-ATTC Special Report 7: 181–350 Cascorby, A. (2003). Southern Bluefin Tuna; Thunnus maccoyii. Sea Food Wacth, Sea Food Report: Tunas Volume V.Fishery research Biologist, Monterey Bay Aquarium. http://.www.mbayag.org Cox, Anthony; Stubbs, Matthew and Davies, Luke. (1999). Economic Issues in The International Management of Southern Bluefin Tuna. Conference on the Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks and the UN Agreement Bergen, Norway, 19–21 May 1999. ABARE Conference Paper 99.18. Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. (2007). Estimated Total Global Catch of Southern Bluefin Tuna. http://.www.ccsbt.org Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. (2007). Catch and Effort Data. http://.www.ccsbt.org Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. (2007). Catch at Size Data. http://.www.ccsbt.org Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. (2007). Trade Information Scheme (TIS) Data. http://.www.ccsbt.org DGCF, RCCF, IOTC, OFCF-CSIRO, ACIAR, & DAFF. (2005). Preliminary Results of the Multilateral Catch Monitoring Programme on Fresh-Tuna Longliners Operating from Ports in Indonesia. IOTC-2005-WPTT-06. Departemen Kelautan dan Perikanan. (2005). Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna. http://.www.dkp.go.id Departemen Kelautan dan Perikanan. (2006). Jumlah Alokasi Unit dan GT Izin Usaha Berdasarkan Alat Tangkap dan Wilayah Pengelolaan Perikanan. http://.www.dkp.go.id
60
Departemen Kelautan dan Perikanan. (2004). Perkembangan Pasar Tuna Jepang. http://.www.dkp.go.id Departemen Kelautan dan Perikanan. (2006). Teknologi Penangkapan Ikan Tuna. http://.www.dkp.go.id Fauzi, A. (2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Gramedia Pustka Utama. Fisheries Resources Monitoring System. (2005). Marine Resource Fact Sheet, Stock Status Report, Southern Bluefin Tuna – Global 2005. http://firms.fao.org. Fishery Information, Data and Statistics Unit (FIDI). (2007). INDIAN OCEAN, EASTERN (Major Fishing Area 57). Fishery Information; FIGIS-FAO. http://.www.fao.org , Data and Statistics Unit (FIDI) Farley, J, Proctor, C, Davis, T. (2006). Up Date of The Length and Age Distribution SBT in The Indonesia Longline Cacth. Prepared for The CCSBT 7th Meeting of The Stock Assessment Goup (SAG 7) and The 11th Meeting of The Extended Scientific Committee (ESC 11), 4-11 September, and 12-15 September 2006, Tokyo, Japan. CSIRO. CCSBTESC/0609/01. Herrera, M. (2002). Catches of Artisanal and Industrial Fleet in Indonesia: an Up Date. WPTT02-02. IOTC Proceedings no. 5. Josupeit, H, Catarci, C. 2004. The World Tuna Industry (an Analysis of Imports, Prices, and of Their Combined Impact on Tuna Catches and Fishing Capacity). FAO. Lipton, D.W, Wellman, K.F. Sheifer, I.C, Weiher, R.F. (1995). Economic Valuation of Natural Resources; A handbook for Coastal Resources Policymaker. U.S. Departemen Of Commerce. Moses, Boniface, S. (1999). A Review of Artisanal Marine and Brackishwater Sheries of South-Eastern Nigeria. Department of Zoology, University of Uyo, P.M.B. 1017, Uyo, Akwa Ibom State, Nigeria. Fisheries Research 47 (2000) 81-92. Proctor, C, Andamari, R, Retnowati, D, Harera, M, Poison, F, Fujiwara, S, Davis, T.L. (2006). The Catch of SBT by The Indonesia Longline Fisheries Operating Out of Benoa, Bali in 2005. Prepared for The CCSBT 7th Meeting of The Stock Assessment Goup (SAG 7) and the 11th Meeting of The Extended Scientific Committee (ESC 11), 4-11 September, and 1215 September 2006, Tokyo, Japan. DKP, FAO, IOTC & CTOI. CSIRO. CCSBT-ESC/0609/01.
61
Tika, P.M. (2005). Metode Penelitian Geografi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1. Sebaran Kapal Tuna Long Line Indonesia Keterangan : 1
76 543 5 4
6
RA
3
7 1098
2
2 13
-8° LS
12 11 810 54 9 3 67
-10° LS
1 101112 2541 3
JAWA 12 3
5412 10611 789 132 5 4 6 13 19 107 115121 6 23 8 4 378429 56 89 10 7 116 7 12 8 13 7 614 13 14 94 14 8 165 15 152 11 16 1817103 12 119 20 2 2221
-12° LS
-14° LS
SA MU
-16° LS
3
DE RA
-18° LS
: Cilacap - Desember 2002 : Muara Baru - Agustus 2002
1 9
2 87 6
5
43
1
45 7 6
HI
8 10 9
ND
11
IA 1 432 5 678 9
-20° LS
88° BT
90° BT
92° BT
Benoa - Agustus 2001 Benoa - Desember 2001 Cilacap - Mei 2001 Cilacap - Agustus 2001 Cilacap - Oktober 2001
Muara Baru - Mei 2001 Muara Baru - Nopember 2001 : Benoa - Juni, Juli 2002 : Cilacap - Mei,Juni 2002 : Cilacap - September 2002
1
-6° LS
-22° LS 86° BT
: : : : : : :
TE
-4° LS
KALIMANTAN
MA
2
SU
-2° LS
94° BT
Sumber : BRKP (2006)
96° BT
98° BT
100° BT 102° BT 104° BT 106° BT 108° BT 110° BT 112° BT 114° BT 116° BT 118° BT
U
64
Lampiran 2. Jumlah Tangkapan Southern Bluefin Tuna Dunia Menurut Negara (Ton) Tahun 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
Australia
Jepang
264 509 424 322 964 1,264 2,322 2,486 3,545 3,678 4,636 6,199 6,832 6,876 8,008 6,357 8,737 8,679 7,097 6,969 12,397 9,890 12,672 8,833 8,383 12,569 12,190 10,783 11,195 16,843 21,501 17,695 13,411 12,589 12,531 10,821 10,591 6,118 4,586 4,489 5,248 5,373 4,700 4,508 5,128
565 3,890 2,447 1,964 9,603 22,908 12,462 61,892 75,826 77,927 40,397 59,724 42,838 40,689 39,644 59,281 49,657 49,769 40,929 38,149 39,458 31,225 34,005 24,134 34,099 29,600 23,632 27,828 33,653 27,981 20,789 24,881 23,328 20,396 15,182 13,964 11,422 9,222 7,056 6,477 6,121 6,318 6,063 5,867 6,392
Selandia Baru 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 130 173 305 132 93 94 82 59 94 437 529 164 279 217 277 436 139
Korea Selatan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 246 41 92 137 365 1,320
Taiwan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 80 130 30 70 90 100 15 15 5 80 53 64 92 182 161 244 241 514 710 856 1,395 1,177 1,460 1,222 958 1,020 1,431 1,467
Indonesia
Lainnya
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 4 6 5 5 1 2 5 11 3 7 14 180 568 517 759 1,232 1,370 904 829 1,614
0 0 0 0 0 0 0 0 0 93 467 398 197 3 85 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 7 14 9 7 3 2 3 7 2 103 4 97 73 15 54 201 295
65
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Australia
Jepang
5,316 4,897 5,552 5,257 4,853 4,711 5,827 5,062 5,244
5,588 7,500 7,554 6,000 6,674 6,192 5,762 5,846 7,327
Sumber : CCSBT, 2007
Selandia Baru 334 337 461 380 358 450 390 393 264
Korea Selatan 1,424 1,796 1,462 1,135 845 746 254 131 38
Taiwan 872 1,446 1,513 1,448 1,580 1,137 1,128 1,298 941
Indonesia
Lainnya
2,210 1,324 2,504 1,203 1,632 1,691 564 677 1,799
333 476 483 52 84 300 126 99 77
66
Lampiran 3. Laporan CCSBT Tentang Informasi Skema Perdagangan SBT Periode 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jan-Jun 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2001 Jul-Dec 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jan-Jun 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec
Negara Pengimpor Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang
Negara Pengekspor Australia Australia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru Seychelles Taiwan Taiwan Australia Australia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Korea Selatan Selandia Baru Filipina Seychelles Taiwan Taiwan Australia Australia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru Seychelles Taiwan Australia Australia Australia CCSBT Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru
Tahun Tangkapan 2001
2001 2001 2000 2001 2001 2000 2001 2001
2001 2001 2000 2001 2001 2001 2001 2000 2001 2002
2001 2002 2002 2001 2002 2001 2002
2002 2002
2002 2002 2002 2002 2002
Kode Kapal FARM LL LL UNCL LL UNCL LL LL LL LL LL FARM LL LL UNCL LL UNCL LL LL LL LL LL LL LL FARM LL LL UNCL LL LL UNCL LL LL LL LL FARM FARM LL LL LL UNCL LL PS UNCL LL LL
Jumlah Netto (kg) 2,188,508 25,142 542 5,012 23,856 20,680 699,358 315,435 5,050 262,336 274,744 5,629,069 47,527 17,590 40,615 33,274 6,415 90,000 566,531 4,744 37,254 73,900 13,013 925,664 1,617,185 3,027 20,121 47,549 52,256 20,468 11,734 72,172 206,974 81,555 31,129 535 6,591,502 15,234 8,021 11,744 32,752 6,863 496 13,229 485,654 36,089
67
Periode Ekspor 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2002 Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2003 Jul-Dec 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun 2004 Jan-Jun
Negara Pengimpor Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Korea Selatan Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan
Negara Pengekspor Filipina Seychelles Taiwan Australia Australia Australia China Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru Filipina Filipina Taiwan Taiwan Australia Japan Australia Australia CCSBT China Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Korea Selatan Selandia Baru Filipina Afrika Selatan Afrika Selatan Taiwan Taiwan Australia Australia Australia Australia CCSBT Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru Taiwan Taiwan Australia
Tahun Tangkapan 2002 2002 2002
2003 2003
2003 2003 2002 2003 2002 2002 2002 2003 2002 2003 2003
2003 2002 2003 2003 2003 2003 2003 2002 2003 2003 2004 2004 2004 2003 2004 2004 2003 2004 2003 2004
Kode Kapal LL LL LL FARM FARM LL LL LL UNCL LL UNCL LL LL LL UNCL LL LL FARM LL FARM LL LL LL LL UNCL LL LL LL LL LL LL UNCL LL LL FARM LL LL PS LL LL LL LL PS LL LL LL LL FARM
Jumlah Netto (kg) 45,149 52,010 671,240 633 704,843 897 22,760 12,213 21,485 16,046 7,110 141,460 236,242 13,846 12,123 189,418 16,809 431 8,020 7,376,806 27,931 7,325 13,460 216 117 17,240 212,813 127,000 26,565 58,980 873 3,844 3,882 832,579 2,002,107 206 26,641 11,590 270 954 2,614 13,620 369 44,397 125,175 149,306 22,058 199
68
Periode Ekspor 2004 Jan-Jun 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2005 Jul-Dec 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2006 Jul-Dec
Negara Pengimpor Korea Selatan Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Korea Selatan Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Korea Selatan Australia
Negara Pengekspor Indonesia Australia Australia CCSBT China Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru Filipina Taiwan Australia Australia Australia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Korea Selatan Selandia Baru Filipina Taiwan Taiwan Australia Jepang Selandia Baru Australia Australia CCSBT Indonesia Korea Selatan Korea Selatan Selandia Baru Selandia Baru Filipina Filipina Taiwan Taiwan Australia Jepang Australia Selandia baru Taiwan Taiwan Australia Jepang Selandia baru
Tahun Tangkapan 2004 2004 2004
2004 2004 2004 2004 2004
2005
2004 2005 2005 2004 2005 2005 2004 2005 2004 2005 2005 2005 2005 2004 2005 2005 2005 2005 2004 2005 2004 2006 2005 2006 2005 2006
Kode Kapal UNCL FARM LL LL LL LL LL LL LL LL LL FARM FARM LL LL UNCL LL LL PS LL LL LL LL LL FARM LL LL FARM LL LL LL LL LL HAND LL LL LL LL LL FARM LL FARM LL LL LL FARM LL LL
Jumlah Netto (kg) 3 5,624,055 161,975 4,024 1,615 383 15,931 111,980 214,363 61,000 869,564 480 897,703 4,977 294 1,339 7,440 13,248 205 43,119 34,798 24,000 126,887 23,759 2,134 37,601 232 8,031,888 21,076 561 16,781 12,000 16,705 340 190,179 2,400 19,119 21,224 478,690 1,075 31,617 906,118 23,052 150,146 47,220 226 25,088 1,133
69
Periode Ekspor 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec 2006 Jul-Dec
Negara Pengimpor Australia Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Jepang Korea Selatan Korea Selatan
Sumber : CCSBT (2007)
Negara Pengekspor Selandia baru Australia Australia CCSBT Korea Selatan Selandia baru Selandia baru Filipina Taiwan Australia Jepang
Tahun Tangkapan 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2005
Kode Kapal TROL FARM LL LL LL LL TROL LL LL FARM LL
Jumlah Netto (kg) 42 7,559,586 1,765 986 110,342 81,329 1,543 2,222 539,608 263 42,721
70
Lampiran 4. Harga Tuna di Pasar Jepang
Tahun Bulan 2006
2007
7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
Bluefin Tuna
Albacore
Big Eye
Segar Frozen Segar Frozen Segar Frozen 1,295 2,665 280 307 474 804 1,263 2,383 264 296 730 738 1,518 1,839 592 320 991 712 1,913 2,256 618 282 1,308 766 2,182 2,356 370 442 1,150 783 2,907 3,020 368 272 1,267 722 5,236 1,363 321 275 1,212 792 6,391 2,624 358 285 1,206 720 7,558 2,219 358 278 1,432 769 4,084 2,215 268 296 1,085 821 1,887 2,486 189 208 482 793 1,317 2,942 174 270 608 790 1,224 2,705 248 314 638 787
Source: Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan * Includes Bluefin and Southern bluefin tuna. Unit: Yen/Kg
Yellowfin Tuna Segar Frozen 527 435 705 394 565 290 833 324 855 281 845 226 958 452 824 521 901 579 642 542 699 457 653 439 686 539
71
Lampiran 5. Estimasi Jumlah Kapal Long Line Indonesia Beroperasi di Samudera Hindia Tahun 1973-2000
Tahun
Jakarta no
Benoa no
no
trip
Estimasi Jumlah Kapal Tuna Long Line Total Sabang Bungus Bengkulu IO no no no no no
1973
1974
1975 1976
Total IO/PO no
no
no
Indonesia no
no
3
3
3
27
12
12
12
33
18
18
18
20
18
18
18
1977
18
18
18
18
1978
18
18
18
18
18
1979
19
17
18
18
18
372
17
17
18
17
1981
20
20
20
20
17
1982
73
20
19
39
34
1980
17
1983
170
20
19
39
34
1984
20
277
20
17
39
34
1985
21
395
20
15
39
34
1986
9
34
74
17
17
39
34
1987
46
111
17
17
48
46
1988
71
233
17
17
106
71
1989
112
874
17
17
139
112
1990
132
879
17
19
284
132
1991
158
218 3.311
17
21
528
158
12
1992
269
94
625
266
308
1.321
14
266
1993
212
535
127
761
346
423
2.171
14
346
1994
193
391
369
351
388
2.152
17
371
1995
72
640
376
1.629
29
116
5
1.549
24
396
1996
76
2.042
470
2.719
2.790
709
1997
600
563
561
3.613
1998
172
674
502
5.088
646
485
1999 2000
3.009
861
846
2.285
846
6.440
1.095
1.095
7.013
1.247
1.247
Sumber : Harera (2002) IOTC Procceding No. 5
909 134
117
72
Lampiran 6. Jumlah Tangkapan Tuna di Pelabuhan Benoa Menurut Jenis Ikan Periode Januari 2003 – Desember 2005 (Ton) Tahun
BLN
Dest
Kapal
2003
1
E-R
34,485
2003
1
ByC
Ton
YFT
BET
SKJ
ALB
SBF
SWO
MARL
OBIL
SKH
Lainnya
1,483
819
493
0
1
129
18
18
0
0
3
14,871
389
5
1
3
34
0
122
150
28
13
34
2003
2
E-R
27,661
1,185
551
471
0
0
134
15
15
0
0
0
2003
2
ByC
18,171
367
9
1
2
115
0
53
109
12
16
51
2003
3
E-R
24,818
1,014
567
334
0
0
71
14
22
2
3
1
2003
3
ByC
19,400
378
2
1
2
142
0
48
90
24
16
52
2003
4
E-R
33,546
1,295
731
505
0
1
43
10
5
0
0
0
2003
4
ByC
30,750
568
13
5
2
255
0
48
154
16
3
78
2003
5
E-R
26,228
927
499
396
0
1
5
22
5
0
0
0
2003
5
ByC
26,258
611
3
2
6
237
0
84
100
10
117
54
2003
6
E-R
36,236
1,220
669
520
0
1
2
24
4
0
0
0
2003
6
ByC
37,203
790
1
0
6
515
0
119
69
9
16
55
2003
7
E-R
36,811
1,127
644
446
0
0
0
32
5
0
0
0
2003
7
ByC
31,527
582
7
1
5
384
0
47
62
6
14
56
2003
8
E-R
24,613
780
314
425
0
5
1
28
7
0
0
0
2003
8
ByC
47,820
1,101
5
4
16
605
0
152
73
11
184
52
2003
9
E-R
23,998
922
454
412
0
0
23
27
5
0
0
0
2003
9
ByC
48,619
958
1
8
0
778
0
76
51
4
1
38
2003
10
E-R
23,547
1,084
471
532
0
1
48
24
8
0
0
0
2003
10
ByC
26,076
536
1
1
2
348
0
34
80
4
14
52
2003
11
E-R
26,718
1,272
587
597
0
2
43
26
17
0
0
0
2003
11
ByC
8,150
247
0
0
1
77
0
47
102
1
3
15
2003
12
E-R
33,847
1,571
1,001
448
0
0
56
29
37
0
0
0
2003
12
ByC
13,269
263
48
0
3
7
0
35
127
13
8
22
2004
1
E-R
28,334
1,341
889
315
0
0
102
25
10
0
0
0
2004
1
ByC
16,843
499
3
0
1
121
0
61
215
16
47
36
2004
2
E-R
11,094
517
203
238
0
0
63
6
7
0
0
0
2004
2
ByC
9,857
306
0
0
1
41
32
99
74
4
14
41
2004
3
E-R
17,975
768
389
284
0
0
60
16
19
0
0
0
2004
3
ByC
8,248
244
1
1
0
69
6
51
80
2
6
29
2004
4
E-R
17,147
713
426
266
0
0
5
7
8
0
0
0
2004
4
ByC
5,944
160
0
0
0
49
0
27
47
2
19
17
2004
5
E-R
16,023
580
274
292
0
0
4
7
3
0
0
0
2004
5
ByC
16,342
437
0
0
1
133
0
138
73
6
40
45
2004
6
E-R
25,294
1,020
587
401
0
0
0
31
1
0
0
0
2004
6
ByC
32,637
718
30
31
4
287
10
143
100
4
18
91
2004
7
E-R
25,655
897
430
442
0
1
1
15
9
0
0
0
2004
7
ByC
19,584
352
0
1
7
161
0
41
55
6
17
62
2004
8
E-R
17,847
623
222
355
0
9
4
27
6
0
0
0
73
Tahun
BLN
Dest
Kapal
2004
8
ByC
20,568
2004
9
E-R
2004
9
2004
10
2004
10
Ton
YFT
BET
SKJ
ALB
SBF
SWO
MARL
OBIL
SKH
Lainnya
522
19
4
1
241
0
125
69
3
13
46
16,624
649
293
303
0
5
16
23
8
0
0
0
ByC
28,757
759
22
28
2
342
0
72
55
7
184
46
E-R
15,596
712
233
335
0
4
70
46
22
0
0
0
ByC
12,736
290
1
1
0
162
0
33
59
0
3
31
2004
11
E-R
12,305
577
144
360
0
1
39
17
16
0
0
0
2004
11
ByC
18,136
515
52
7
5
180
11
151
80
1
5
23
2004
12
E-R
21,076
1,094
263
588
0
0
217
10
16
0
0
0
2004
12
ByC
22,311
467
3
4
0
203
1
76
111
3
12
55
2005
1
E-R
24,207
1351
331
452
0
0
542
5
0
21
0
0
2005
1
ByC
21,853
575
2
2
0
89
20
166
0
153
55
88
2005
2
E-R
20,856
1111
299
379
0
0
411
7
0
15
0
0
2005
2
ByC
11,724
313
8
1
0
125
1
39
0
89
21
29
2005
3
E-R
19,854
1004
318
360
0
0
288
17
0
21
0
0
2005
3
ByC
15,282
329
7
7
0
121
12
32
0
60
36
54
2005
4
E-R
14,863
637
301
285
0
0
22
11
0
18
0
0
2005
4
ByC
14,881
431
24
16
0
101
69
41
0
114
30
36
2005
5
E-R
24,880
953
501
403
0
4
2
35
0
8
0
0
2005
5
ByC
23,814
430
7
5
7
196
0
35
0
72
40
68
2005
6
E-R
21,997
745
409
314
0
3
-
13
0
6
0
0
2005
6
ByC
30,585
629
5
5
5
323
1
46
0
82
80
82
2005
7
E-R
23,756
832
470
333
0
0
-
19
0
9
0
1
2005
7
ByC
20,616
396
7
3
5
208
0
36
0
39
52
46
2005
8
E-R
14,516
525
236
248
0
1
0
36
0
4
0
0
2005
8
ByC
17,041
332
3
3
1
185
0
32
0
21
33
54
2005
9
E-R
14,154
559
264
240
0
0
24
23
0
8
0
0
2005
9
ByC
17,108
332
4
6
1
144
-
52
0
38
32
55
2005
10
E-R
16,928
819
302
361
0
1
98
33
0
24
0
0
2005
10
ByC
16,023
377
1
5
2
79
0
57
0
130
51
52
2005
11
E-R
13,839
652
210
277
0
0
139
16
0
10
0
0
2005
11
ByC
3,539
82
0
0
1
9
-
18
0
32
6
16
2005
12
E-R
21,314
826
484
231
0
0
78
14
0
19
0
0
2005
12
ByC
5,998
171
3
1
0
21
0
33
0
61
29
23
Sumber : IOTC-2005-WPTT-06 dan CCSBT-ESC/0609/01 M = Month Dest = Type of fish unloaded, fish going through processing plants (e-R for Export-Reject) or not (ByC for By-Catch) Number = Total number of specimens unloaded estimated Catch (t) = Total catch estimated (in metric tons) Catches of yellowfin tuna (YFT), bigeye tuna (BET), skipjack tuna (SKJ), albacore (ALB), Southern bluefin tuna (SBT), swordfish (SWO), marlins (MARL), other billfish (OBIL), sharks (SKH) or other non IOTC species (OTHR) in metric tons
74
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Regresi
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.417148922
R Square Adjusted R Square Standard Error
0.174013223 0.082236914 0.805514347
Observations
11
ANOVA df
SS
MS
F
Significance F
1.896058
0.201799611
Regression
1
1.230264
1.230264
Residual
9
5.83968
0.648853
10
7.069944
Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
Lower 95%
0.824721
3.755345
0.004517
0.001031
-1.37697
0.2018
1.231464039 0.003752819
SS
MS
F
Significance F
1.230264
1.230264
1.896058
0.201799611
0.648853
Total
Intercept X Variable 1
3.097113334 0.001419991
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
4.962763
1.231464
4.962763
0.000913
-0.00375
0.000913
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
4.962763
1.231464
4.962763
0.000913
-0.00375
0.000913
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.417148922
R Square Adjusted R Square Standard Error
0.174013223 0.082236914 0.805514347
Observations
11
ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 9
5.83968
10
7.069944
Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
Lower 95%
0.824721
3.755345
0.004517
0.001031
-1.37697
0.2018
1.231464039 0.003752819
3.097113334 0.001419991
75
Lampiran 8. Investasi dan Biaya Rata-rata Per Trip kapal penangkapan Tuna di Samudera Hindia Berdasarkan sumber penelitian di Pelabuhan Benoa – Bali, investasi kapal mencapai Rp. 1.291.400.000 untuk umur kapal 18 – 20 Tahun. Sedangkan biaya rata-rata per Trip untuk penangkapan di Samudera Hindia mencapai Rp192.196.513,- dengan rincian sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Biaya operasional Rp140.197.240,Biaya tenaga kerja Rp25.034.273,Biaya penyusutan Rp19.115.000,Biaya lainnya Rp7.850.000,-
Investasi Kapal Tuna Long Line No
Keterangan
1. Kapal 2. Kuralon 3. Multifilamen rope 4. Branch line 5. Radio buoy Jumlah
Unit
Harga
Nilai
1 72 48 2.016 5
1.005.000.000 1.500.000 1.200.000 50.000 4.000.000
1.005.000.000 108.000.000 57.600.000 100.800.000 20.000.000 1.291.400.000
Umur Ekonomi 18 Tahun 4 Tahun 4 tahun 2 Tahun 3 tahun
76
Rincian atas biaya rata-rata tersebut adalah sebagai berikut : 1. Biaya Operasional Rincian Biaya Operasional No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Keterangan Umpan Layang Umpan Lemuru Cadangan Umpan L Cadangan Umpan LM Solar*) Solar (Cadangan)*) Oli Meditran S 40 Minyak clavus S 32 Elpiji Pastik D/E supplay Fishing gear Air twar Bahan makanan Jumlah
Satuan 50 dozen 300 dozen 50 dozen 30 dozen 20,046 Lt 1,200 Lt 210 Lt 30 Lt 7 Tabung 32 kg
Harga 10,000 55,000 55,000 15,000 4,517 4,517 10,500 10,000 51,000 14,000
Jumlah 5,500,000 16,500,000 2,750,000 450,000 87,400,560 5,232,000 2,205,000 300,000 357,000 448,000 4,245,500 4,761,140 165,000 6,554,500 140.197.240
Sumber : Penelitian Lapangan. Keterangan : *) harga rata-rata solar industri tahun 2005
2. Biaya Tenaga Kerja Gaji awak kapal selama operasi penangkapan ikan sekitar Rp. 25.034.273,- dengan rincian : 1. Gaji sebelas awak kapal : Rp. 10.145.000,2. Premi : Rp. 11.909.978,3. Tambahan biaya lain-lain : Rp. 2.977.495,3. Biaya Penyusutan a. Penyusutan kapal = (Rp. 1.005.000.000 – ( Rp. 1.005.000.000 x 25 % )) : 18 = (Rp. 1.005.000.000 – Rp. 251.250.000 ) : 18 = Rp. 753.750.000 : 18 = Rp. 41.875.000 per tahun = Rp. 41.875.000 : 5 = Rp 8.375.000 per trip. b. Penyusutan rawai tuna = (Rp. 286.400.000 – ( Rp. 286.400.000 x 25 %)) : 4 = (Rp. 286.400.000 – Rp. 71.600.000) : 4 = Rp. 214.800.000 : 4 = Rp. 53.700.000 per tahun
77
= Rp. 53.700.000 : 5 = Rp. 10.740.000 per trip. 4. Biaya Lainnya Biaya lain yang dikeluarkan terdiri atas biaya-biaya yang tergolong sebagai biaya tetap dengan nilai nominal sekitar Rp. 7.850.000,- dan terdiri dari : a. Biaya pengurusan dokumen : Rp. 500.000,b. Biaya perawatan : Rp. 1.500.000,c. Biaya dock/overhead : Rp. 5.850.000,-
78
Lampiran 9. NPV dan IRR dengan Status Non Member CCSBT (dikenai sanksi embargo)
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik
Tahun 0
1
-
2
3
4
5
26,982,900,000.00 26,982,900,000.00 26,982,900,000.00 26,982,900,000.00 26,982,900,000.00
Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran
129,398,280,000.00
Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR
(129,398,280,000.00) 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 (129,398,280,000.00) 24,503,700,475.47 22,276,091,341.33 20,250,992,128.48 18,409,992,844.08 16,736,357,130.98 100,076,916,904.53 19.75
Catatan : Sanksi : embargo tuna Rata-rata produksi saat ini (ton) Harga domestik (/kg) Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi untuk SBT Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
1,798.86 15,000.00 1,291,400,000.00 668.00 862,655,200,000.00 0.15 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.91 0.826446281 0.751314801 0.683013455 0.620921323 0.16 1.00 0.862068966 0.743162901 0.640657674 0.552291098 0.476113015 (129,398,280,000.00) 23,236,267,692.25 20,031,265,251.94 17,268,332,113.74 14,886,493,201.50 12,833,183,794.40 30,408,115,726.25 0.17 1.00 0.854700855 0.730513551 0.624370556 0.533650048 0.456111152 (129,398,280,000.00) 23,037,667,113.69 19,690,313,772.38 16,829,328,010.58 14,384,041,034.69 12,294,052,166.40 22,292,957,667.32
129,398,280,000.00 28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
28,829,476.99
79
Lampiran 9. Lanjutan
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Pengeluaran ( p Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR
Tahun 0
6
-
7
8
26,982,900,000.00 26,982,900,000.00 26,982,900,000.00
9
10
26,982,900,000.00 26,982,900,000.00
129,398,280,000.00
129,398,280,000.00
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
(129,398,280,000.00) 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 (129,398,280,000.00) 15,214,870,119.07 13,831,700,108.25 12,574,272,825.68 100,076,916,904.53 19.75
Catatan : Sanksi : embargo tuna Rata-rata produksi saat ini (ton) 1,798.86 Harga domestik (/kg) 15,000.00 Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00 Jumlah kapal 668.00 Total Investasi 862,655,200,000.00 Investasi untuk SBT 0.15 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10 Discount factor 1.00 0.56447393 Discount rate 1 0.16 Discount factor 1.00 0.410442255 PVR 1 (129,398,280,000.00) 11,063,089,477.93 NPV 30,408,115,726.25 Discount rate 2 0.17 Discount factor 1.00 0.389838592 PVR 2 (129,398,280,000.00) 10,507,736,894.36 NPV 2 22,292,957,667.32
0.513158118
0.46650738
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 11,431,157,114.25 10,391,961,012.96
0.424097618
0.385543289
0.35382953 0.305025457 9,537,146,101.66 8,221,677,673.85
0.26295298 0.226683603 7,087,653,167.11 6,110,045,833.72
0.333195378 0.284782374 8,980,971,704.58 7,676,044,191.95
0.243403738 0.208037383 6,560,721,531.58 5,607,454,300.49
80
Lampiran 9. Lanjutan
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Pengeluaran ( p Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR
Tahun 0
11
-
12
26,982,900,000.00 26,982,900,000.00
13
26,982,900,000.00
14
15
26,982,900,000.00 26,982,900,000.00
129,398,280,000.00 28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
(129,398,280,000.00) 26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 (129,398,280,000.00) 9,447,237,284.51 8,588,397,531.37 100,076,916,904.53 19.75
26,954,070,523.01 7,807,634,119.43
129,398,280,000.00
28,829,476.99 28,829,476.99
Catatan : Sanksi : embargo tuna Rata-rata produksi saat ini (ton) 1,798.86 Harga domestik (/kg) 15,000.00 Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00 Jumlah kapal 668.00 Total Investasi 862,655,200,000.00 Investasi untuk SBT 0.15 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10 Discount factor 1.00 0.350493899 0.318630818 Discount rate 1 0.16 Discount factor 1.00 0.1954169 0.168462844 PVR 1 (129,398,280,000.00) 5,267,280,891.13 4,540,759,388.91 NPV 30,408,115,726.25 Discount rate 2 0.17 Discount factor 1.00 0.177809729 0.151974128 PVR 2 (129,398,280,000.00) 4,792,695,983.33 4,096,321,353.27 NPV 2 22,292,957,667.32
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
26,954,070,523.01 26,954,070,523.01 7,097,849,199.48 6,452,590,181.34
0.28966438
0.263331254
0.239392049
0.14522659 3,914,447,749.06
0.125195336 3,374,523,921.60
0.107927014 2,909,072,346.21
0.129892417 3,501,129,361.77
0.11101916 2,992,418,257.92
0.094888171 2,557,622,442.67
81
Lampiran 9. Lanjutan
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Pengeluaran ( p Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Sanksi : embargo tuna Rata-rata produksi saat ini (ton) Harga domestik (/kg) Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi untuk SBT Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
16
-
17
18
19
20
26,982,900,000.00
26,982,900,000.00
26,982,900,000.00
26,982,900,000.00
26,982,900,000.00
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99
26,954,070,523.01 5,865,991,073.95
26,954,070,523.01 5,332,719,158.14
26,954,070,523.01 4,847,926,507.40
26,954,070,523.01 4,407,205,915.82
26,954,070,523.01 4,006,550,832.56
0.217629136
0.197844669
0.17985879
0.163507991
0.15
0.093040529 2,507,820,988.11
0.080207353 2,161,914,644.92
0.06914427 1,863,719,521.49
0.059607129 1,606,654,759.90
0.051385456 1,385,047,206.81
0.081101001 2,186,002,087.75
0.069317094 1,868,377,852.78
0.05924538 1,596,904,147.68
0.050637077 1,364,875,339.89
0.043279553 1,166,560,119.57
129,398,280,000.00
129,398,280,000.00 (129,398,280,000.00) (129,398,280,000.00) 100,076,916,904.53 19.75
1,798.86 15,000.00 1,291,400,000.00 668.00 862,655,200,000.00 0.15 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.16 1.00 (129,398,280,000.00) 30,408,115,726.25 0.17 1.00 (129,398,280,000.00) 22,292,957,667.32
82
Lampiran 10.
NPV dan IRR dengan Status Cooperating Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor berdasarkan rata-rata)
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi/Kouta (ton) Ekspor (rata-rata) Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
1
3
4
5
10,461,600,000.00 10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(129,398,280,000.00) 24,765,490,523.01 24,765,490,523.01 (129,398,280,000.00) 22,514,082,293.65 20,467,347,539.68 81,444,301,618.74 17.79
24,765,490,523.01 18,606,679,581.53
24,765,490,523.01 16,915,163,255.93
24,765,490,523.01 15,377,421,141.76
0.75
0.68
0.62
0.55 13,638,526,199.89
0.45 11,179,119,835.97
0.37 9,163,212,980.31
0.54 13,308,576,337.27
0.44 10,819,980,762.01
0.36 8,796,732,326.84
-
2
129,398,280,000.00
129,398,280,000.00
1,291,400,000.00 668 862,655,200,000.00 0.15 800.00 0.13 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.91 0.83 0.22 1.00 0.82 0.67 (129,398,280,000.00) 20,299,582,395.91 16,639,001,963.86 (18,937,602,231.10) 0.23 1.00 0.81 0.66 (129,398,280,000.00) 20,134,545,140.66 16,369,548,894.85 (23,436,258,132.78)
83
Lampiran 10. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi/Kouta (ton) Ekspor (rata-rata) Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
11
-
12
13
14
15
10,461,600,000.00 10,461,600,000.00 10,461,600,000.00 10,461,600,000.00 10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 15,332,720,000.00 15,332,720,000.00 15,332,720,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00 25,794,320,000.00 25,794,320,000.00 25,794,320,000.00 25,794,320,000.00
129,398,280,000.00
129,398,280,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99
(129,398,280,000.00) 24,765,490,523.01 24,765,490,523.01 24,765,490,523.01 24,765,490,523.01 24,765,490,523.01 (129,398,280,000.00) 8,680,153,345.98 7,891,048,496.35 7,173,680,451.22 6,521,527,682.93 5,928,661,529.94 81,444,301,618.74 17.79 1,291,400,000.00 668 862,655,200,000.00 0.15 800.00 0.13 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.22 1.00 (129,398,280,000.00) (18,937,602,231.10) 0.23 1.00 (129,398,280,000.00) (23,436,258,132.78)
0.35
0.32
0.29
0.26
0.24
0.11 2,779,001,600.69
0.09 2,277,870,164.50
0.08 1,867,106,692.21
0.06 0.05 1,530,415,321.49 1,254,438,788.10
0.10 2,540,333,342.75
0.08 2,065,311,660.77
0.07 1,679,115,171.36
0.06 0.04 1,365,134,285.66 1,109,865,272.89
84
Lampiran 10. Lanjutan
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi/Kouta (ton) Ekspor (rata-rata) Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
16
17
18
19
20
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
10,461,600,000.00 15,332,720,000.00 25,794,320,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(129,398,280,000.00) 24,765,490,523.01 (129,398,280,000.00) 5,389,692,299.94 81,444,301,618.74 17.79
24,765,490,523.01 4,899,720,272.67
24,765,490,523.01 4,454,291,156.98
24,765,490,523.01 4,049,355,597.25
24,765,490,523.01 3,681,232,361.14
0.22
0.20
0.18
0.16
0.15
0.04 1,028,228,514.84
0.03 842,810,258.06
0.03 690,828,080.38
0.02 566,252,524.90
0.02 464,141,413.85
0.04 902,329,490.16
0.03 733,601,211.51
0.02 596,423,749.20
0.02 484,897,357.07
0.02 394,225,493.55
-
129,398,280,000.00
129,398,280,000.00
1,291,400,000.00 668 862,655,200,000.00 0.15 800.00 0.13 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.22 1.00 (129,398,280,000.00) (18,937,602,231.10) 0.23 1.00 (129,398,280,000.00) (23,436,258,132.78)
85
Lampiran 11.
NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekpsor 10% dari produksi
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran
Tahun 0
1
-
2
3
4
5
18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
Rent ( R ) (123,199,560,000.00) Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) Net Present Value (NPV) 206,167,834,097.57 IRR 29.02 Catatan : 1,291,400,000.00 Investasi per unit kapal Jumlah kapal 636 Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 1,396.00 Produksi MEY (ton) Ekspor 0.10 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 192,196,513.25 Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT 0.15 0.10 Discount rate initial point Discount factor 1.00 0.22 Discount rate 1 Discount factor 1.00 PVR 1 (123,199,560,000.00) NPV 49,356,407,147.01 0.23 Discount rate 2 Discount factor 1.00 PVR 2 (123,199,560,000.00) NPV 2 42,328,839,186.57
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 35,170,336,839.10 31,973,033,490.09 29,066,394,081.90 26,423,994,619.91 24,021,813,290.83
0.91
0.83
0.75
0.68
0.62
0.82 0.67 0.55 0.45 0.37 31,710,959,445.09 25,992,589,709.09 21,305,401,400.89 17,463,443,771.23 14,314,298,173.14
0.81 0.66 0.54 0.44 0.36 31,453,146,766.68 25,571,664,037.95 20,789,970,762.56 16,902,415,254.11 13,741,801,019.60
86
Lampiran 11. Lanjutan
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
6
-
7
8
9
10
18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 (123,199,560,000.00) 21,838,012,082.57 19,852,738,256.88 18,047,943,869.89 16,407,221,699.90 14,915,656,090.82 206,167,834,097.57 29.02 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.10 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.56 0.22 0.30 1.00 (123,199,560,000.00) 11,733,031,289.46 49,356,407,147.01 0.23 1.00 0.29 (123,199,560,000.00) 11,172,195,950.90 42,328,839,186.57
0.51
0.47
0.42
0.39
0.25 9,617,238,761.85
0.20 7,882,982,591.68
0.17 6,461,461,140.72
0.14 5,296,279,623.54
0.23 9,083,086,138.94
0.19 7,384,622,877.19
0.16 6,003,758,436.74
0.13 4,881,104,420.11
87
Lampiran 11. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
11
-
12
13
14
15
18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00 39,716,200,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 38,687,370,523.01 (123,199,560,000.00) 13,559,687,355.29 12,326,988,504.81 11,206,353,186.19 10,187,593,805.63 9,261,448,914.21 206,167,834,097.57 29.02 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.10 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.35 0.22 1.00 0.11 (123,199,560,000.00) 4,341,212,806.18 49,356,407,147.01 0.23 1.00 0.10 (123,199,560,000.00) 3,968,377,577.33 42,328,839,186.57
0.32
0.29
0.26
0.24
0.09 0.08 3,558,371,152.61 2,916,697,666.07
0.06 0.05 2,390,735,791.86 1,959,619,501.53
0.08 0.07 3,226,323,233.60 2,623,027,019.19
0.06 0.04 2,132,542,292.02 1,733,774,221.16
88
Lampiran 11. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (10 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
16
-
17
18
19
20
18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00
18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00
18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00
18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00
18,846,000,000.00 20,870,200,000.00 39,716,200,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 38,687,370,523.01 (123,199,560,000.00) 8,419,499,012.92 206,167,834,097.57 29.02
38,687,370,523.01 7,654,090,011.74
38,687,370,523.01 6,958,263,647.04
38,687,370,523.01 6,325,694,224.58
38,687,370,523.01 5,750,631,113.25
0.22
0.20
0.18
0.16
0.15
0.04 1,606,245,493.05
0.03 1,316,594,666.44
0.03 1,079,175,956.10
0.02 884,570,455.82
0.02 725,057,750.67
0.04 1,409,572,537.52
0.03 1,145,993,932.95
0.02 931,702,384.51
0.02 757,481,613.42
0.02 615,838,710.10
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.10 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.22 1.00 (123,199,560,000.00) 49,356,407,147.01 0.23 1.00 (123,199,560,000.00) 42,328,839,186.57
89
Lampiran 12.
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (20 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran
NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekpsor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 20% dari produksi) Tahun 0
1
-
2
3
4
5
16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 52,239,609,566.37 47,490,554,151.25 Net Present Value (NPV) 366,020,209,212.50 IRR 43.02 Catatan : 1,291,400,000.00 Investasi per unit kapal Jumlah kapal 636 Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 1,396.00 Produksi MEY (ton) Ekspor 0.20 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 192,196,513.25 Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT 0.15 0.10 Discount rate initial point Discount factor 1.00 0.91 0.83 0.33 Discount rate 1 0.75 0.57 Discount factor 1.00 PVR 1 (123,199,560,000.00) 43,205,692,122.57 32,485,482,798.92 NPV 50,351,913,574.58 0.34 Discount rate 2 Discount factor 1.00 0.75 0.56 PVR 2 (123,199,560,000.00) 42,883,261,584.34 32,002,434,018.16 NPV 2 45,325,856,674.73
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 43,173,231,046.59 39,248,391,860.54 35,680,356,236.85
0.75
0.68
0.62
0.43 0.32 0.24 24,425,175,036.78 18,364,793,260.74 13,808,115,233.64
0.42 0.31 0.23 23,882,413,446.39 17,822,696,601.78 13,300,519,852.08
90
Lampiran 12. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (20 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
6
-
7
8
9
10
16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00
123,199,560,000.00 28,829,476.99 1,000,000,000.00 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 (123,199,560,000.00) 32,436,687,488.05 29,487,897,716.41 26,807,179,742.19 24,370,163,401.99 22,154,694,001.81 366,020,209,212.50 43.02 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.20 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.56 0.33 0.18 1.00 (123,199,560,000.00) 10,382,041,529.05 50,351,913,574.58 0.34 1.00 0.17 (123,199,560,000.00) 9,925,761,083.64 45,325,856,674.73
0.51
0.47
0.42
0.39
0.14 7,806,046,262.44
0.10 5,869,207,716.12
0.08 4,412,938,132.42
0.06 3,317,998,595.81
0.13 7,407,284,390.78
0.10 5,527,824,172.22
0.07 4,125,241,919.57
0.05 3,078,538,745.95
91
Lampiran 12. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (20 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
11
-
12
13
14
15
16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 (123,199,560,000.00) 20,140,630,910.73 18,309,664,464.30 16,645,149,513.00 15,131,954,102.73 13,756,321,911.57 366,020,209,212.50 43.02 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.20 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.35 0.33 1.00 0.04 (123,199,560,000.00) 2,494,735,786.32 50,351,913,574.58 0.34 1.00 0.04 (123,199,560,000.00) 2,297,416,974.59 45,325,856,674.73
0.32
0.29
0.26
0.24
0.03 1,875,741,192.72
0.02 1,410,331,723.85
0.02 1,060,399,792.37
0.01 797,293,076.97
0.03 1,714,490,279.54
0.02 1,279,470,357.87
0.02 954,828,625.27
0.01 712,558,675.58
92
Lampiran 12. Lanjutan Keterangan
Tahun 16
17
18
19
20
16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00
16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00
16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00
16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00
16,752,000,000.00 41,740,400,000.00 58,492,400,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 57,463,570,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 12,505,747,192.34 Net Present Value (NPV) 366,020,209,212.50 IRR 43.02 Catatan : 1,291,400,000.00 Investasi per unit kapal Jumlah kapal 636 Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 1,396.00 Produksi MEY (ton) Ekspor 0.20 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 192,196,513.25 Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT 0.15 0.10 Discount rate initial point Discount factor 1.00 0.22 0.33 Discount rate 1 Discount factor 1.00 0.01 PVR 1 (123,199,560,000.00) 599,468,478.92 NPV 50,351,913,574.58 0.34 Discount rate 2 Discount factor 1.00 0.01 PVR 2 (123,199,560,000.00) 531,760,205.66 NPV 2 45,325,856,674.73
57,463,570,523.01 11,368,861,083.94
57,463,570,523.01 10,335,328,258.13
57,463,570,523.01 9,395,752,961.94
57,463,570,523.01 8,541,593,601.76
0.20
0.18
0.16
0.15
0.01 450,728,179.64
0.01 338,893,368.15
0.00 254,807,043.72
0.00 191,584,243.40
0.01 396,835,974.37
0.01 296,146,249.53
0.00 221,004,663.83
0.00 164,928,853.60
Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (20 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran
0
-
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
93
Lampiran 13.
NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 30% dari produksi)
Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (30 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
1
-
2
3
4
5
14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 (123,199,560,000.00) 69,308,882,293.65 63,008,074,812.41 57,280,068,011.28 52,072,789,101.16 47,338,899,182.87 525,872,584,327.43 57.03 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.30 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.91 0.83 0.75 0.68 0.62 0.44 1.00 0.69 0.48 0.33 0.23 0.16 (123,199,560,000.00) 52,944,285,085.42 36,766,864,642.66 25,532,544,890.73 17,730,933,951.90 12,313,148,577.71 49,954,755,165.60 0.45 1.00 0.69 0.48 0.33 0.23 0.16 (123,199,560,000.00) 52,579,152,084.84 36,261,484,196.44 25,007,920,135.47 17,246,841,472.74 11,894,373,429.48 46,121,781,095.20
94
Lampiran 13. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (30 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
6
-
7
8
9
10
14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 (123,199,560,000.00) 43,035,362,893.52 39,123,057,175.93 35,566,415,614.48 32,333,105,104.07 29,393,731,912.79 525,872,584,327.43 57.03 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.30 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.56 0.44 1.00 0.11 (123,199,560,000.00) 8,550,797,623.41 49,954,755,165.60 0.45 1.00 0.11 (123,199,560,000.00) 8,203,016,158.26 46,121,781,095.20
0.51
0.47
0.42
0.39
0.08 0.05 0.04 5,938,053,905.14 4,123,648,545.24 2,863,644,823.08
0.03 1,988,642,238.25
0.07 0.05 0.04 5,657,252,522.94 3,901,553,464.10 2,690,726,526.96
0.02 1,855,673,466.87
95
Lampiran 13. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (30 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
11
-
12
13
14
15
14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 (123,199,560,000.00) 26,721,574,466.18 24,292,340,423.80 22,083,945,839.82 20,076,314,399.83 18,251,194,908.94 525,872,584,327.43 57.03 1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.30 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.35 0.44 1.00 0.02 (123,199,560,000.00) 1,381,001,554.34 49,954,755,165.60 0.45 1.00 0.02 (123,199,560,000.00) 1,279,774,804.74 46,121,781,095.20
0.32
0.29
0.26
0.24
0.01 959,028,857.18
0.01 665,992,261.93
0.01 462,494,626.34
0.00 321,176,823.85
0.01 882,603,313.61
0.01 608,691,940.42
0.01 419,787,545.12
0.00 289,508,651.81
96
Lampiran 13. Lanjutan Keterangan Penerimaan Produksi x harga domestik Ekspor (30 % dari produksi) Total Penerimaan Pengeluaran Investasi (seluruh kapal Indonesia) Biaya operasional Biaya transaksi Total pengeluaran Rent ( R ) Present Value of Rent (PVR) Net Present Value (NPV) IRR Catatan : Investasi per unit kapal Jumlah kapal Total Investasi Investasi yang dibutuhkan untuk SBT Produksi MEY (ton) Ekspor Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) Kurs harga rata-rata di pasar domestik (/kg) Biaya operasional Biaya operasional untuk SBT Discount rate initial point Discount factor Discount rate 1 Discount factor PVR 1 NPV Discount rate 2 Discount factor PVR 2 NPV 2
Tahun 0
16
17
18
19
20
14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00
14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00
14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00
14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00
14,658,000,000.00 62,610,600,000.00 77,268,600,000.00
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
28,829,476.99 1,000,000,000.00 1,028,829,476.99
(123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 (123,199,560,000.00) 16,591,995,371.76 525,872,584,327.43 57.03
76,239,770,523.01 15,083,632,156.15
76,239,770,523.01 13,712,392,869.23
76,239,770,523.01 12,465,811,699.30
76,239,770,523.01 11,332,556,090.27
0.22
0.20
0.18
0.16
0.15
0.00 223,039,461.01
0.00 154,888,514.59
0.00 107,561,468.46
0.00 74,695,464.21
0.00 51,871,850.15
0.00 199,661,139.18
0.00 137,697,337.36
0.00 94,963,680.94
0.00 65,492,193.75
0.00 45,167,030.17
-
123,199,560,000.00
123,199,560,000.00
1,291,400,000.00 636 821,330,400,000.00 0.15 1,396.00 0.30 14.95 10,000.00 15,000.00 192,196,513.25 0.15 0.10 1.00 0.44 1.00 (123,199,560,000.00) 49,954,755,165.60 0.45 1.00 (123,199,560,000.00) 46,121,781,095.20