STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN DI SAMUDERA HINDIA (WPP 572,573) DAN SAMUDERA PASIFIK (WPP 717)
EDITOR: Prof.Dr. Ali Suman (Balai Penelitian Perikanan Laut) Prof. Dr. Wudianto (Pusat Penelitian Pengelolan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan) Dr. Abdul Ghofar (Universitas Diponegoro; Komnaskajiskan) Prof. Dr. John Haluan, M.Sc (Institut Pertanian Bogor)
BALAI PENELITIAN PERIKANAN LAUT PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN publisher
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Jl. Menteng Wadas Timur No. 75 Jakarta 12970 2014 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
i
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Samudera Hindia (WPP 572, 573) dan Samudera Pasifik (WPP 717)
Kerjasama : Ref Graphika dengan Balai Penelitian Perikanan Laut Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
publisher
Editor : Prof. Dr. Ali Suman (Balai Penelitian Perikanan Laut) Prof. Dr. Wudianto (Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan) Dr. Abdul Ghofar (Universitas Diponegoro; Komnaskajiskan) Prof. Dr. John Haluan, M.Sc. (Institut Pertanian Bogor)
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang Memperbanyak Buku Ini Sebagian Atau Seluruhnya Dalam Bentuk Apapun Tanpa Izin dari Penerbit
Penerbit : Ref Graphika Cetakan I : Desember 2014 ISBN : 978-602-17996-2-8
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan ke-hadhirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas perkenan-Nyalah maka Buku ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada semua pihak yang berkontribusi dalam proses penyelesaian buku ini, diucapkan banyak terima kasih. Samudera Hindia (WPP 572 dan 573) dan Samudera Pasific (WPP 717) merupakan daerah penangkapan ikan yang sangat penting di Indonesia dan berperan besar dalam menyumbangkan devisa dari sektor perikanan laut. Konsekwensi logisnya, akan terjadi peningkatan upaya yang terus menerus untuk memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah ini. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan tanpa adanya upaya pengelolaan, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan kelestarian sumber daya ikan terancam dan selanjutnya akan menyebabkan kehilangan mata pencaharian bagi nelayan di sekitarnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan upaya pengelolaan yang baik dan bagi kepentingan tersebut dibutuhkan hasil penelitian untuk mendasarinya. Dalam perspektif yang demikian, maka pada tahun 2014 Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta telah melakukan dan menyelesaikan penelitian di Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Untuk menuju pengelolaan yang lebih berkualitas yang berbasis riset dan sebagai pertanggung jawaban kepada para stake-holder, maka hasil penelitian tersebut disajikan dalam bentuk makalah-makalah di buku ini dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengelolaan sumber daya ikan di Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Makalah-makalah tersebut, sebelumnya juga telah disampaikan secara langsung pada Forum Stake-Holder tanggal 2-3 Oktober 2014 di Bali. Forum ini diadakan sebagai akselerasi hasil penelitian BPPL kepada seluruh stake-holder terkait pengelolaan Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Diharapkan dengan terjadinya interaksi langsung para stake-holder pengelolaan sumber daya ikan di perairan ini, maka akan dapat mempercepat penguatan pengelolaan sumber daya ikan di Samudera Hindia dan Samudera Pasific. Cara penguatan pengelolaan yang terumuskan dan terimplementasikan dengan baik akan sangat berperan dalam mewujudkan industrialisasi perikanan tangkap yang berbasis ekonomi biru di Indonesia yang fokusnya pada peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Makalah-makalah yang dimuat dalam buku ini telah dievaluasi dan dikoreksi oleh Dewan Redaksi, untuk kemudian dilakukan perbaikan oleh penulis masing-masing. Atas usaha dan kerja keras dari Dewan Redaksi dan para penulis dalam penyempurnaan makalah-makalah yang termuat dalam bunga rampai ini diucapkan terima kasih. Sebagai suatu karya ilmiah, saya mengharapkan buku ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan di Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
iii
Samudera Hindia dan Samudera Pasific, sehingga pemanfaatannya akan terjamin kesinambungannya bagi kepentingan generasi yang akan datang. Semoga Allah Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya bagi kita semua serta semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Jakarta, Desember 2014 Kepala Balai,
Prof. Dr. Ali Suman
iv
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................. iii Daftar Isi.......................................................................................................................... v Daftar Tabel...................................................................................................................... ix Daftar Gambar................................................................................................................. xii
SAMUDERA HINDIA (WPP 572, 573) 1.
2.
Komposisi dan CPUE Ikan Demersal yang Tertangkap Pukat Ikan dan Pancing Ulur di Perairan Tapanuli Tengah dan Sekitarnya, Sumatera Utara. Oleh Isa Nagib Edrus............................................................................................
1
Beberapa Aspek Biologi Penangkapan Ikan Layur (Trichiurus lepturus) di Perairan Cilacap Oleh Anthony Sisco Panggabean dan Wahyuningsih............................................
23
3. Aspek Biologi Dan Kebiasaan Makan Ikan Swanggi (Priacanthus Macracanthus) Di Perairan Palabuhanratu, Jawa Barat Oleh Nur’ainun Muchlis dan Pustikawati…............................................................... 45 4.
Kajian Stok Ikan Layur (Trichiurus Lepturus) Di Perairan Selatan Banten Dan Sekitarnya Oleh Prihatiningsih, Nur’ainun Muchlis dan Suprapto .............................................. 61
5.
Beberapa Aspek Biologi Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) Di Perairan Selatan Banten Oleh Wahid Agung Saputra dan Prihatiningsih……................................................. 73
6.
Kepadatan Stok dan Komposisi Udang Penaeid Hasil Tangkapan Nelayan Di Perairan Muko-Muko Bengkulu Oleh Pratiwi Lestari dan Adrian Damora..............................................................
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
91
v
7.
Aspek Biologi Lobster Bambu (Panulirus versicolor) dan Lobster Batik (Panulirus longipes) di Perairan Lombok Tengah Oleh Adrian Damora ...........................................................................................
99
Beberapa Aspek Biologi Rajungan Batik (Portunus Pelagicus) Di Perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Oleh Renny Ramadhani Dan Duranta D. Kembaren............................................
111
Komposisi dan Fluktuasi Tangkapan Ikan Cucut dari Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa pada Area Selatan Nusa Tenggara Barat Oleh Umi Chodriyah..............................................................................................
123
10. Aspek Biologi Tongkol Komo (Euthynnus Affinis Cantor, 1849) di Perairan Barat Sumatera Samudera Hindia Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat dan Karsono Wagiyo...........................
135
8.
9.
11. Perikanan Madidihang (Thunnus albacores) Hasil Tangkapan Pancing Ulur (Hand Line) di Perairan Samudera Pasifik Bagian Barat Oleh Thomas Hidayat, Enjah Rahmat dan Tegoeh Noegroho............................... 12. Struktur Ukuran, Hubungan Panjang Bobot, Dan Faktor Kondisi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus Affinis) Di Samudera Hindia Selatan Jawa Oleh Yoke Hany Restiangsih, dan Karsono Wagiyo...............................................
157
167
13. Beberapa Asperk Biologi Ikan Tongkol Lisong (Auxis Rochei) di Perairan Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya Oleh Endah Febrianty, Khairul Amri dan Yoke Hany R........................................
179
14. Relokasi Usaha Penangkapan Oleh Perikanan Purse Seine ’Jawa Tengah’ Di Samudera Hindia: Basis Banyuwangi Oleh : Suwarso dan Achmad Zamroni...................................................................
191
15. Perikanan Pukat Cincin Di Sibolga, Sumatera Utara Oleh Achmad Zamroni........................................................................................... 207 16.
vi
Efisiensi Teknis Pukat Cincin Sibolga di Perairan Samudera Hindia Oleh Hufiadi dan Mahiswara ..............................................................................
217
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
17. Efisiensi Teknis Pancing Tonda di Samudera Hindia Selatan Jawa (Studi Kasus di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur) Oleh : Baihaaqi, Hufiadi dan Helman Nur Yusuf...................................................
231
18. Pengaruh Kecepatan Setting Kapal Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Cincin (Purse Seine) diPerairan Laut Pacitan, Jawa Timur Oleh : Helman Nur Yusuf, Mahiswara dan Baihaqi..............................................
245
19. Perkembangan CPUE dan Musim Penangkapan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Rawai Tuna di PPS Bungus Oleh Wahyuni Nasution, Baihaqi, dan Asep Priatna.............................................
257
20. Upaya dan Musim Penangkapan Ikan Armada Pukat Cincin di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur Oleh Helman Nur Yusuf dan Baihaqi..................................................................... 269 21. Estimasi Jumlah dan Jarak Optimum Pemasangan Rumpon di Perairan Samudera Hindia Oleh : Asep Priatna dan Budi Nugraha..................................................................
281
22. Studi Kelayakan Ekonomi Usaha Perikanan Tuna Berbasis Rumpon Di Perairan Prigi Dan Sekitarnya Oleh Erfind Nurdin, dan Adrian Damora............................................................... 295 23. Dinamika Kondisi Oseanografi Perairan Timur Laut Samudera hindia dan Implikasinya Terhadap Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Oleh Khairul Amri ................................................................................................
311
SAMUDERA PASIFIK (WPP 717) 24. Komposisi Jenis, Daerah Sebaran Dan Kepadatan Stok Ikan Demersal Di Perairan Utara Papua Oleh Suprapto, Nurulludin, dan Bambang Sadhotomo........................................ 323 25. Perikanan Pancing Ulur Ikan Demersal di Perairan Teluk Cenderawasih Samudera Pasifik Oleh Nurulludin dan Suprapto.............................................................................. 339
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
vii
26. Komposisi Jenis, Laju Tangkap dan Distribusi Udang pada Musim Timur Di Perairan Utara Papua Oleh Duranta D Kembaren, Wedjatmiko, dan Suprapto........................................
351
27. Pendugaan Parameter Pertumbuhan, Kematian Dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Lemuru, Sardinella Lemuru Bleeker 1853, Di Laut Sawu Dan Timor Oleh Moh Fauzi Dan Herlisman............................................................................ 365 28. Perikanan Pelagis Kecil di Sekitar Tobelo, Laut Halmahera Oleh Adi Kuswoyo, Moh Fauzi dan Suwarso....................................................... 379
viii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
DAFTAR TABEL SAMUDERA HINDIA (WPP 572,573) Komposisi dan CPUE Ikan Demersal yang Tertangkap Pukat Ikan dan Pancing Ulur di Perairan Tapanuli Tengah dan Sekitarnya, Sumatera Utara. Oleh Isa Nagib Edrus Tabel 1. Hasil tangkapan pukat ikan menurut kapal, kelompok ikan dan musim angin untuk waktu operasional 20-21 hari dengan hari layar 25 hari......... 5 Beberapa Aspek Biologi Penangkapan Ikan Layur (Trichiurus lepturus) di Perairan Cilacap Oleh Anthony Sisco Panggabean dan Wahyuningsih Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan betina dengan metode morfologis ............ 27 Tabel 2. Fekunditas telur ikan layur............................................................................ 35 Tabel 2. Spesifikasi armada dan alat tangkap.............................................................. 38 Aspek Biologi Dan Kebiasaan Makan Ikan Swanggi (Priacanthus Macracanthus) Di Perairan Palabuhanratu, Jawa Barat Oleh Nur’ainun Muchlis dan Pustikawati Tabel 1. Hubungan Panjang Berat Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus), Tahun 2013....................................................................................................
49
Kajian Stok Ikan Layur (Trichiurus Lepturus) Di Perairan Selatan Banten dan Sekitarnya Oleh Prihatiningsih, Nur’ainun Muchlis dan Suprapto Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan layur (T. lepturus) dengan daerah penangkapan yang berbeda...........................................................................
71
Beberapa Aspek Biologi Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) Di Perairan Selatan Banten Oleh Wahid Agung Saputra dan Prihatiningsih Tabel 1. Indeks Kematangan Gonad Ikan Beloso....................................................... 82 Kepadatan Stok dan Komposisi Udang Penaeid Hasil Tangkapan Nelayan Di Perairan Muko-Muko Bengkulu Oleh Pratiwi Lestari dan Adrian Damora
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
ix
Aspek Biologi Lobster Bambu (Panulirus versicolor) dan Lobster Batik (Panulirus longipes) di Perairan Lombok Tengah Oleh Adrian Damora Tabel 1. Hubungan panjang-bobot Panulirus versicolordan Panulirus longipes di perairan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.......................................
104
Beberapa Aspek Biologi Rajungan Batik (Portunus Pelagicus) Di Perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Oleh Renny Ramadhani Dan Duranta D. Kembaren Tabel 1. Tingkat kematangan Gonad Rajungan ......................................................... Tabel 2. Nilai faktor kondisi Portunus pelagicus di perairan Tapanuli Tengah.......... Tabel 3. Diameter telur dan fekunditas rajungan di Sibolga 2013..............................
114 116 118
Komposisi dan Fluktuasi Tangkapan Ikan Cucut dari Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa pada Area Selatan Nusa Tenggara Barat Oleh Umi Chodriyah Tabel 1. Kisaran panjang total jenis-jenis cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung Luar pada tahun 2013.................................................................................. Tabel 2. Nisbah kelamin ikan cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung luar pada tahun 2013.................................................................................................... Aspek Biologi Tongkol Komo (Euthynnus Affinis Cantor, 1849) di Perairan Barat Sumatera Samudera Hindia Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat dan Karsono Wagiyo Tabel 1. Hubungan panjang berat tongkol komo di perairan Barat Sumatera............ Tabel 2. Uji Chi-Kuadrat (X²) perbandingan jenis kelamin tongkol komo................ Tabel 3. Nilai a dan b hubungan panjang berat tongkol komo (E. affinis)................. Tabel 4. Nilai Lm ikan tongkol komo (E. affinis) di beberapa lokasi......................... Tabel 5. Fekunditas tongkol komo di beberapa lokasi................................................
127 129
144 147 151 151 152
Perikanan Madidihang (Thunnus albacores) Hasil Tangkapan Pancing Ulur (Hand Line) di Perairan Samudera Pasifik Bagian Barat Oleh Thomas Hidayat, Enjah Rahmat dan Tegoeh Noegroho Struktur Ukuran, Hubungan Panjang Bobot, Dan Faktor Kondisi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus Affinis) Di Samudera Hindia Selatan Jawa Oleh Yoke Hany Restiangsih, dan Karsono Wagiyo Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan tongkol komo setiap bulan tahun 2013........
x
173
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Beberapa Asperk Biologi Ikan Tongkol Lisong (Auxis Rochei) di Perairan Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya Oleh Endah Febrianty, Khairul Amri dan Yoke Hany R Tabel 1. Morfologi TKG gonad ikan tongkol (Iswarya & Sujatha (2012) & Effendie (1997)............................................................................................. 181 Tabel 2. Persentase TKG dan IKG serta fekunditas ikan tongkol lisong (Auxis rochei) di perairan Palabuhanratu.............................................................................. 185 Relokasi Usaha Penangkapan Oleh Perikanan Purse Seine ’Jawa Tengah’ Di Samudera Hindia: Basis Banyuwangi Oleh : Suwarso dan Achmad Zamroni Tabel 1. Ringkasan jumlah hari laut per trip per kapal purse seine yang berpangkalan di Banyuwangi tahun 2012............................................................................ 194 Tabel 2. Hasil tangkapan ikan dari kapal angkut dan kapal penangkap (PS) di Banyuwangi tahun 2012................................................................................ 196 Perikanan Pukat Cincin Di Sibolga, Sumatera Utara Oleh Achmad Zamroni Tabel 1. Struktur ukuran kapal pukat cincin aktif di Sibolga menurut jenis jaring yang digunakan, 2012................................................................................... 209 Tabel 2. Ringkasan hasil tangkapan per unit upaya/cpue (kg/trip) kapal pukat cincin Sibolga 2012-2013........................................................................................ 214 Efisiensi Teknis Pukat Cincin Sibolga di Perairan Samudera Hindia Oleh Hufiadi dan Mahiswara Tabel 1. Rata-rata tingkat kapasitas berlebih, pemanfaatan input variabel dan potensi perbaikan efisiensi......................................................................................... 217 Efisiensi Teknis Pancing Tonda di Samudera Hindia Selatan Jawa (Studi Kasus di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur) Oleh : Baihaaqi, Hufiadi dan Helman Nur Yusuf Tabel 1. Dimensi utama dan operasional unit penangkapan pancing tonda............... 236 Tabel 2. Rata-rata tingkat kapasitas berlebih, pemanfaatan input variabel dan potensi perbaikan efisiensi......................................................................................... 240 Pengaruh Kecepatan Setting Kapal Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Cincin (Purse Seine) diPerairan Laut Pacitan, Jawa Timur Oleh : Helman Nur Yusuf, Mahiswara dan Baihaqi Tabel 1. Sidik ragam pengaruh kecepatan relative kapal saat setting terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27....................................................................... Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
249 xi
Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.
Sidik ragam pengaruh kecepatan tarik tali kolor saat setting terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27....................................................................... 250 Sidik ragam pengaruh kecepatan tenggelam jaring terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27......................................................................................... 251 Sidik ragam pengaruh kecepatan tenggelam jaring terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27......................................................................................... 252 Hasil Analisis Parsial Faktor Produksi Pukat Cincin dengan Uji t............... 253
Perkembangan CPUE dan Musim Penangkapan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Rawai Tuna di PPS Bungus Oleh Wahyuni Nasution, Baihaqi, dan Asep Priatna Tabel 1. Nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) ikan tuna dan ikan hasil tangkapan sampingan di Bungus tahun 2008-2012........................................................ 264 Upaya dan Musim Penangkapan Ikan Armada Pukat Cincin di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur Oleh Helman Nur Yusuf dan Baihaqi Estimasi Jumlah dan Jarak Optimum Pemasangan Rumpon di Perairan Samudera Hindia Oleh : Asep Priatna dan Budi Nugraha Tabel 1. Setting Parameter untuk EY60 (Simrad. 1993)............................................. 285 Tabel 2. Nilai akustik untuk estimasi potensi sumberdaya ikan pelagis..................... 289 Studi Kelayakan Ekonomi Usaha Perikanan Tuna Berbasis Rumpon Di Perairan Prigi Dan Sekitarnya Oleh Erfind Nurdin, dan Adrian Damora Tabel 1. Parameter ekonomis usaha perikanan tuna di lokasi Penelitian................... 297 Tabel 2. Analisis pendapatan usaha perikanan tuna di PPN Prigi............................... 302 Tabel 3. Kriteria investasi usaha perikanan tuna di PPN Prigi................................... 302 Dinamika Kondisi Oseanografi Perairan Timur Laut Samudera hindia dan Implikasinya Terhadap Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Oleh Khairul Amri Tabel 1. SPL rata-rata tahunan di TLSH berdasarkan fenomena iklim 2003-2012.... 317 Tabel 2. Klorofil-a rata-rata tahunan di TLSH berdasarkan fenomena iklim 2003-2012 317
xii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
SAMUDERA PASIFIK (WPP 717) Komposisi Jenis, Daerah Sebaran Dan Kepadatan Stok Ikan Demersal Di Perairan Utara Papua Oleh Suprapto, Nurulludin, dan Bambang Sadhotomo Tabel 1. Jumlah taksa sumber daya ikan yang tertangkap trawl di utara Papua, bulan Mei-Juni 2013...................................................................................... 326 Tabel 2. Volume hasil tangkapan trawl di Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013........... 326 Tabel 3. Laju tangkap trawl terhadap ikan demersal di utara Papua, bulan Mei-Juni 2013...................................................................................... 328 Tabel 4. Densitas sumber daya ikan yang tertangkap trawl di perairan utara Papua pada bulan Mei-Juni 2013............................................................................. 331 Perikanan Pancing Ulur Ikan Demersal di Perairan Teluk Cenderawasih Samudera Pasifik Oleh Nurulludin dan Suprapto Tabel 1. Spesifikasi kapal pancing ulur ikan Demersal Nabire................................... Tabel 2. Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal di Nabire............................................
342 347
Komposisi Jenis, Laju Tangkap dan Distribusi Udang pada Musim Timur Di Perairan Utara Papua Oleh Duranta D Kembaren, Wedjatmiko, dan Suprapto Tabel 1. Volume hasil tangkapan trawl di Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013........... 354 Tabel 2. Komposisi jenis hasil tangkapan udang di perairan Utara Papua................. 355 Tabel 3. Densitas udang di perairan utara Papua berdasarkan lokasi perairan, Mei – Juni 2013............................................................................................. 358 Tabel 4. Struktur ukuran udang penaeid di perairan utara Papua,Mei-Juni 2013....... 358 Pendugaan Parameter Pertumbuhan, Kematian Dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Lemuru, Sardinella Lemuru Bleeker 1853, Di Laut Sawu Dan Timor Oleh Moh Fauzi Dan Herlisman Tabel 1. nilai parameter populasi ikan lemuru............................................................ 372 Perikanan Pelagis Kecil di Sekitar Tobelo, Laut Halmahera Oleh Adi Kuswoyo, Moh Fauzi dan Suwarso Tabel 1. Daftar nama kapal mini purse seine yang berbasis di Tobelo Maluku Utara tahun 2013..................................................................................................... 382
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xiii
DAFTAR GAMBAR SAMUDERA HINDIA (WPP 572,573) Komposisi dan CPUE Ikan Demersal yang Tertangkap Pukat Ikan dan Pancing Ulur di Perairan Tapanuli Tengah dan Sekitarnya, Sumatera Utara. Oleh Isa Nagib Edrus Gambar 1. Wilayah tangkapan armada perikanan pukat dan pancing......................... 3 Gambar 2. Rata-rata CPUE pukat ikan per hari menurut logbook dari sejumlah armada pukat ikan yang dikumpulkan oleh PPN Sibolga periode Desember 2012 sampai Juni 2013 untuk kategori ikan demersal.............. 6 Gambar 3. Rata-rata CPUE pancing ulur per hari menurut logbook dari sejumlah armada pancing ulur yang dikumpulkan oleh PPN Sibolga periode Desember 2012 sampai Juni 2013 untuk kategori ikan demersal.............. 6 Gambar 4. Musim penangkapan ikan berdasarkankan pada rasio CPUE per bulan dan rata-rata CPUE bulanan (Up) menurut tangkapan armada pukat ikan, Up > 1 musim ikan, Up < 1 paceklik dan Up = 1 normal.......................... 7 Gambar 5. Musim penangkapan ikan berdasarkan pada rasio CPUE per bulan dan rata-rata CPUE bulanan (Up) menurut tangkapan armada pancing ulur, Up > 1 musim ikan, Up < 1 paceklik dan Up = 1 normal.......................... 7 Beberapa Aspek Biologi Penangkapan Ikan Layur (Trichiurus lepturus) di Perairan Cilacap Oleh Anthony Sisco Panggabean dan Wahyuningsih Gambar 1. Lokasi penelitian........................................................................................ 25 Gambar 2. Hubungan panjang bobot ikan layur.......................................................... 29 Gambar 3. Struktur ukuran panjang ikan layur .......................................................... 30 Gambar 4. Nisbah kelamin ikan layur......................................................................... 31 Gambar 5. Tingkat Kematangan Gonad ikan layur.................................................... 32 Gambar 6. Pendugaan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan layur (Trichiurus lepturus).................................................................................. 34 Gambar 7. Hubungan antara fekunditas dan panjang ikan......................................... 36 Gambar 8. Index of preponderance isi lambung ikan layur........................................ 37 Gambar 9. Armada tangkap jaring insang hanyut monofilament................................ 38 Gambar 10. Komposisi hasil tangkapan pada alat tangkap jaring insang hanyut monofilament bulan Agustus 2013............................................................ 39 Gambar 11. Komposisi hasil tangkapan pada alat tangkap jaring insang hanyut monofilament bulan Oktober 2013............................................................ 39 xiv
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 12. Laju tangkap armada jaring insang hanyut monofilament Perbulan......... Gambar 13. CPUE ikan layur berdasarkan alat tangkap jaring insang hanyut monofilament.............................................................................................
40 41
Aspek Biologi Dan Kebiasaan Makan Ikan Swanggi (Priacanthus Macracanthus) Di Perairan Palabuhanratu, Jawa Barat Oleh Nur’ainun Muchlis dan Pustikawati Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel Ikan di TPI PPN Palabuhanratu................. 47 Gambar 2. Rasio Kelamin Priacanthus macracanthus,Tahun 2013............................. 50 Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Swanggi Betina (Priacanthus macracanthus)............................................................................................ 51 Gambar 4. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) Jantan Berdasarkan Ukuran Panjang Ikan................................................. 52 Gambar 5. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) Betina Berdasarkan Ukuran Panjang Ikan................................................. 53 Gambar 6. Indeks Kematangan Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) Betina ........................................................................................................ 53 Gambar 7. Hubungan Fekunditas dan Berat Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus)............................................................................................ 54 Gambar 8. Kisaran Diameter Telur Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus)....... 55 Gambar 9. Pengamatan Diameter Telur Swanggi (Priacanthus macracanthus) pada TKG 3-4..................................................................................................... 55 Gambar 10. Isi Lambung Priacanthus macracanthus, Tahun 2013................................ 56 Gambar 11. Fotomicrograpik dari Ovarium pada Beberapa Fase Kematangan Gonad Ikan Swanggi Priacanthus macracanthus (Oki & Tabeta, 1999b)............. 58 Kajian Stok Ikan Layur (Trichiurus Lepturus) Di Perairan Selatan Banten dan Sekitarnya Oleh Prihatiningsih, Nur’ainun Muchlis dan Suprapto Gambar 1. Peta lokasi penelitian................................................................................. 62 Gambar 2. Ikan layur (Trichirus lepturus) di perairan Selatan Banten....................... 63 Gambar 3a. Produksi ikan layur di Selatan Banten....................................................... 65 Gambar 3b. Fluktuasi upaya dan CPUE ikan layur di Selatan Banten.......................... 65 Gambar 4. Sebaran ukuran panjang ikan layur (T. lepturus) di perairan Selatan Banten........................................................................................................ 66 Gambar 5. Kurva distribusi frekuensi panjang ikan layur (Trichiurus lepturus)...... 66 Gambar 6. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan layur di perairan Selatan Banten 67 Gambar 7 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan layur (T. lepturus) di perairan Selatan Banten........................................................................................... 68
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xv
Gambar 8. Kurva panjang ikan layur (T. lepturus) yang telah dikonversi di perairan Selatan Banten........................................................................................... 68 Beberapa Aspek Biologi Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) Di Perairan Selatan Banten Oleh Wahid Agung Saputra dan Prihatiningsih Gambar 1. Daerah penelitian...................................................................................... 75 Gambar 2. Distribusi Frekuensi Panjang Cagak Ikan Beloso...................................... 77 Gambar 3. Hubungan Panjang-Berat Ikan Beloso (Saurida micropectoralis)............. 78 Gambar 4. Hubungan Panjang-Berat Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) Jenis Kelamin Jantan dan Betina........................................................................ 78 Gambar 5. Faktor Kondisi Ikan Beloso....................................................................... 79 Gambar 6. Faktor Kondisi Ikan Beloso Jantan dan Betina.......................................... 79 Gambar 7. Nisbah Kelamin Ikan Beloso (Saurida micropectoralis)........................... 70 Gambar 9. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) pada Jenis Kelamin Jantan dan Betina............................................................... 81 Gambar 10. Gambar Tingkat Kematangan Gonad TKG I, III, IV, dan Spent.............. 82 Gambar 11. Indeks Kematangan Gonad per Bulan....................................................... 83 Gambar 12. Isi Lambung Ikan Beloso (Saurida micropectoralis)................................ 84 Gambar 13. Hubungan Fekunditas dan Panjang Cagak Ikan Beloso............................ 84 Gambar 14. Diameter Telur Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) di Perairan Selatan Jawa Bagian Barat...................................................................................... 85 Kepadatan Stok dan Komposisi Udang Penaeid Hasil Tangkapan Nelayan Di Perairan Muko-Muko Bengkulu Oleh Pratiwi Lestari dan Adrian Damora Gambar 1. Jalur trip observasi kegiatan laut di Mukomuko, 2013.............................. 94 Gambar 2. CPUE udang jerbung di Mukomuko tahun 2013....................................... 95 Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan nelayan udang di Mukomuko, Maret 2013.... 96 Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan udang di Mukomuko, Januari-Nopember 2013 (berdasarkan data dari pengumpul)........................................................... 96 Aspek Biologi Lobster Bambu (Panulirus versicolor) dan Lobster Batik (Panulirus longipes) di Perairan Lombok Tengah Oleh Adrian Damora Gambar 1. Lokasipengambilan contoh lobster di Lombok Tengah, NusaTenggara Barat ........................................................................................................ Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang: (a) Panulirus versicolordan (b) Panulirus longipes di perairan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.....................
xvi
102 103
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Beberapa Aspek Biologi Rajungan Batik (Portunus Pelagicus) Di Perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Oleh Renny Ramadhani Dan Duranta D. Kembaren Gambar 1. Struktur ukuran lebar karapas rajungan batik (Portunus pelagicus).......... Gambar 2. Sebaran kematangan gonad rajungan betina di perairan Tapanuli Tengah bulan Februari - Nopember 2013............................................................... Gambar 3. Sebaran diameter telur rajungan di perairan Tapanuli Tenagh................... Komposisi dan Fluktuasi Tangkapan Ikan Cucut dari Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa pada Area Selatan Nusa Tenggara Barat Oleh Umi Chodriyah Gambar 1. Peta lokasi sampling.................................................................................. Gambar 2. Fluktuasi bulanan hasil tangkapan cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung luar, Lombok Timur pada tahun 2011 – 2013........................................... Gambar 3. Fluktuasi bulanan per jenis ikan cucut dominan dari perairan Samudera Hindia Selatan Jawa tahun 2013................................................................ Gambar 4. Kapal pancing rawai cucut di Tanjung Luar, tahun 2013.......................... Aspek Biologi Tongkol Komo (Euthynnus Affinis Cantor, 1849) di Perairan Barat Sumatera Samudera Hindia Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat dan Karsono Wagiyo Gambar 1. Lokasi Pengambilan Contoh Neritik Tuna di WPP 572 Samudera Hindia Barat Sumatera........................................................................................... Gambar 2. Struktur ukuran tongkol komo (E. affinis) di WPP 572............................. Gambar 3. Struktur ukuran tongkol komo (E. affinis) menurut jenis kelamin............ Gambar 4. Faktor kondisi relatif tongkol komo di perairan Barat Sumatera.............. Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan tongkol komo (E. affinis)....................... Gambar 6. Perbandingan jenis kelamin tongkol komo (E. affinis).............................. Gambar 7. Kandungan isi lambung tongkol komo (E. affinis).................................... Perikanan Madidihang (Thunnus albacores) Hasil Tangkapan Pancing Ulur (Hand Line) di Perairan Samudera Pasifik Bagian Barat Oleh Thomas Hidayat, Enjah Rahmat dan Tegoeh Noegroho Gambar 1. Perkembangan produksi ikan tuna madidihang (Sumber PPP Tobelo)..... Gambar 2. Alat tangkap yang ada di Morotai dan Tobelo (Sumber Statistik PPP Tobelo dan PPP Morotai tahun 2012)........................................................ Gambar 3. Konstruksi pancing ulur dengan pemberat (pancing lot)........................... Gambar 4. Konstruksi pancing ulur permukaan.......................................................... Gambar 5. Daerah Penangkapan Pancing Ulur...........................................................
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
114 117 118
125 126 127 131
138 143 144 145 146 146 148
159 160 160 162 163
xvii
Gambar 6. CPUE rata-rata pancing ulur...................................................................... Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan pancing ulur.................................................. Gambar 8. Struktur ukuran madidihang yang tertangkap pancing ulur.......................
163 164 164
Struktur Ukuran, Hubungan Panjang Bobot, Dan Faktor Kondisi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus Affinis) Di Samudera Hindia Selatan Jawa Oleh Yoke Hany Restiangsih, dan Karsono Wagiyo Gambar 1. Ikan tongkol komo yang didaratkan di PPS Cilacap................................. 169 Gambar 2. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang didaratkan di PPS Cilacap, Tahun 2013............................................ 172 Gambar 3. Hubungan panjang bobot ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang didaratkan di PPS Cilacap, Tahun 2013..................................................... 173 Gambar 4. Variasi bulanan faktor kondisi relatif ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang didaratkan di PPS Cilacap, Tahun 2013............................................ 174 Beberapa Asperk Biologi Ikan Tongkol Lisong (Auxis Rochei) di Perairan Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya Oleh Endah Febrianty, Khairul Amri dan Yoke Hany R Gambar 1. Peta lokasi daerah penangkapan perikanan pelagis besar di Samudera Hindia (Sumber : Balai Penelitian Perikanan Laut, 2013)......................... Gambar 2. Hubungan panjang berat ikan tongkol lisong (A......... rochei) di perairan Palabuhanratu............................................................................................ Gambar 3. Nisbah kelamin ikan tongkol lisong menurut bulan penelitian................. Gambar 4. Sebaran diameter telur ikan tongkol lisong (Auxis rochei) di perairan Palabuhanratu............................................................................................. Gambar 5. Grafik ukuran rata-rata panjang ikan yang tertangkap (Lc) ikan tongkol Lisong (Auxis rochei) di perairan Palabuhanratu......................................
181 184 185 186 187
Relokasi Usaha Penangkapan Oleh Perikanan Purse Seine ’Jawa Tengah’ Di Samudera Hindia: Basis Banyuwangi Oleh : Suwarso dan Achmad Zamroni Gambar 1. (A) Relokasi fishing-ground kapal purse seine asal Pekalongan-Juana-Tegal di Sam. Hindia yang dilakukan sejak 5-6 tahun lalu dan pindah pangkalan di Banyuwangi (Jawa Timur); (B) Posisi fishing ground kapal purse seine KM. Kasih Setia XVI dan KM. Nelayan Indah (Natsir, 2014).................. 195 Gambar 2. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine dan kapal angkut yang mendarat di Banyuwangi tahun 2012........................................................ 197 Gambar 3. Hasil tangkapan per tawur alat tangkap purse seine di Samudera Hindia bulan Maret, April dan Meil 2013.............................................................. 197
xviii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan (kiri) dan fluktuasi hasil tangkapan – upaya/trip (kanan) kapal purse seine relokasi di Samudera Hindia, 2012.
198
Perikanan Pukat Cincin Di Sibolga, Sumatera Utara Oleh Achmad Zamroni Gambar 1. Perbedaan komposisi hasil tangkapan ikan pelagis pada perikanan pukat cincin di Sibolga (Sumber: Rekapitulasi Log-book PPN Sibolga tahun 2012 sampai September 2013)................................................................... 209 Gambar 2. Fluktuasi upaya (jumlah trip) kapal pukat cincin Sibolga menurut jenis jaring dan ukuran kapal (GT), 2012-2013................................................. 211 Gambar 3. Fluktuasi hasil tangkapan dan cpue (kg/trip) ikan pelagis kecil pada alat pukat cincin di Sibolga............................................................................... 212 Gambar 4. Komposisi jenis ikan pelagis kecil pada pukat rapat dan pukat jarang di Sibolga (2012)............................................................................................ 213 Gambar 5. Fluktuasi hasil tangkapan per trip kapal pukat cincin Sibolga 2012-2013 214 Efisiensi Teknis Pukat Cincin Sibolga di Perairan Samudera Hindia Oleh Hufiadi dan Mahiswara Gambar 1. Armada pukat cincin dan aktivitas pendaratan ikan di Tangkahan PPN Sibolga....................................................................................................... 222 Gambar 2. Distribusi efisiensi armada pukat cincin Sibolga pada musim barat.......... 223 Gambar 3. Distribusi efisiensi armada pukat cincin Sibolga pada musim timur......... 223 Gambar 4. Distribusi efisiensi armada pukat cincin Sibolga pada musim peralihan.. 224 Gambar 5. Distribusi pemanfaatan variabel input pukat cincin Sibolga pada musim barat, Timur dan Peralihan......................................................................... 225 Efisiensi Teknis Pancing Tonda di Samudera Hindia Selatan Jawa (Studi Kasus di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur) Oleh : Baihaaqi, Hufiadi dan Helman Nur Yusuf Gambar 1. Armada penangkapan pancing tonda......................................................... 236 Gambar 2. Deskripsi alat tangkap pancing tonda dn cara pengoperasiannya.............. 237 Gambar 3. Grafik indeks musim penangkapan ikan.................................................... 238 Gambar 4. Lokasi pemasangan rumpon sebagai daerah Penangkapan pancing tonda di PPP Tamperan........................................................................................ 238 Gambar 5. Distribusi efisiensi armada pancing tonda Pacitan..................................... 239 Gambar 6. Distribusi pemanfaatan variabel input pancing tonda Pacitan................... 240
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xix
Pengaruh Kecepatan Setting Kapal Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Cincin (Purse Seine) diPerairan Laut Pacitan, Jawa Timur Oleh : Helman Nur Yusuf, Mahiswara dan Baihaqi Gambar 1. Pengukuran kecepatan setting kapal terhadap hasil tangkapan ikan pada KM. Inka Mina 27...................................................................................... 249 Gambar 2. Pengaruh kecepatan tarik tali kolor pukat cincin Terhadap hasil tangkapan ikan pada KM. Inka Mina 27..................................................................... 250 Gambar 3. Pengukuran kecepatan tenggelam jaring pukat cincin Terhadap hasil tangkapan ikan pada KM. Inka Mina 27.................................................... 251 Perkembangan CPUE dan Musim Penangkapan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Rawai Tuna di PPS Bungus Oleh Wahyuni Nasution, Baihaqi, dan Asep Priatna Gambar 1. Perkembangan produksi ikan tahun 2007-2012 berdasarkan alat tangkap yang digunakan yang didaratkan di PPS Bungus...................................... 261 Gambar 2. Presentasi komposisi hasil tangkapan rawai tuna pada tahun 2008-2013. 261 Gambar 3. Deskripsi alat tangkap rawai tuna di PPS Bungus..................................... 262 Gambar 4. Rata-rata laju tangkap bulanan ikan hasil tangkapan sampingan rawai tuna di PPS Bungus tahun 2008-2013............................................................... 263 Gambar 5. Daerah penangkapan rawai tuna yang berbasis di PPS Bungus................ 264 Upaya dan Musim Penangkapan Ikan Armada Pukat Cincin di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur Oleh Helman Nur Yusuf dan Baihaqi Gambar 1. Lokasi penelitian dan daerah penangkapan pukat cincin nelayan Tamperan 271 Gambar 2. Perkembangan perikananpukat cincin di PPP Tamperan........................... 274 Gambar 3. Upaya pemanfaatan armada pukat cincin di PPP Tamperan...................... 275 Gambar 4. Indek musim penangkapan........................................................................ 276 Estimasi Jumlah dan Jarak Optimum Pemasangan Rumpon di Perairan Samudera Hindia Oleh : Asep Priatna dan Budi Nugraha Gambar 1. Posisi rumpon yang diamati selama penelitian dan total rumpon yang..... 284 Gambar 2. Contoh desain trek pada masing masing rumpon saat akuisisi data, pergeseran posisi rumpon disebabkan oleh arus (Sumber: Josse et al., 1999) 285 Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot yellowfin tuna pada bulan Mei dan November 2011.......................................................................................... 287 Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot yellowfin tuna untuk verifikasi akustik...... 287
xx
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9.
Prosentase komposisi (kiri) dan penyebaran jenis (kanan) ikan hasil tangkapan insitu......................................................................................... 288 Batasan luas perairan untuk estimasi biomassa ikan................................. 288 Estimasi hasil tangkapan per hari pada 1 rumpon..................................... 290 Laju susut hasil tangkapan per hari pada 1 rumpon................................... 290 Model Hilborn and Medley (1989) untuk hasil tangkapan dari variasi jumlah rumpon dalam suatu area tertentu untuk satu armada tangkap...... 291
Studi Kelayakan Ekonomi Usaha Perikanan Tuna Berbasis Rumpon Di Perairan Prigi Dan Sekitarnya Oleh Erfind Nurdin, dan Adrian Damora Gambar 1. Produksi armada penangkapan di sekitar rumpon, PPN Prigi................... 300 Gambar 2. CPUE alat penangkapan ikan di Perairan Prigi Jawa Timur...................... 301 Dinamika Kondisi Oseanografi Perairan Timur Laut Samudera hindia dan Implikasinya Terhadap Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Oleh Khairul Amri Gambar 1. Lokasi penelitian di WPP 572 barat Sumatera dan WPP 573 selatan Jawa Gambar 1. Massa air TLSH hasil eksedisi International Indian Ocean Expedition (IIOE) pada 1962-1964 (IIOE, 1966)........................................................ Gambar 2. Aliran massa air ARLINDO ke Samudera Hindia (Susanto, et al, 2005). Gambar 3. Sistem arus dan gelombang di TLSH (Sumber: Syamsudin et al, 2012). Gambar 4. Grafik sebaran SPL dan klorofil-a bulanan 2003-2012 di TLSH selatan Jawa...............................................................................................
313 314 315 316 318
SAMUDERA PASIFIK (WPP 717) Komposisi Jenis, Daerah Sebaran Dan Kepadatan Stok Ikan Demersal Di Perairan Utara Papua Oleh Suprapto, Nurulludin, dan Bambang Sadhotomo Gambar 1. Peta posisi stasiun penangkapan ikan demersal menggunakan trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 (• 1-10 : posisi stasiun trawl) 324 Gambar 2. Komposisi kelompok sumber daya ikan (% bobot) yang tertangkap trawl di perairan utara Papua, bulan Mei – Juni 2013......................................... 327 Gambar 3. Urutan sepuluh spesies utama ikan demersal yang tertangkap trawl dalam jumlah terbanyak di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013.... 327 Gambar 4. Variasi laju tangkap trawl tiap stasiun di perairan utara Papua, bulan Mei-juni 2013............................................................................................. 328
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xxi
Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8.
Variasi laju tangkap trawl terhadap ikan demersal di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013.................................................................................. 329 Pola sebaran horisontal terhadap spesies ikan dan udang yang dominan tertangkap trawl di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013................ 330 Pola sebaran secara horisontal laju tangkap trawl terhadap ikan demersal di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013............................ 330 Laju tangkap rata-rata ikan demersal yang tertangkap trawl pada kedalaman perairan yang berbeda di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013............................................................................................ 331 Sebaran densitas ikan demersal di perairan utara Papua, Mei-Juni 2013.. 332
Perikanan Pancing Ulur Ikan Demersal di Perairan Teluk Cenderawasih Samudera Pasifik Oleh Nurulludin dan Suprapto Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian di Nabire.................................................... Gambar 2. CPUE pancing ikan Demersal Nabire Tahun 2005 – 2011........................ Gambar 3. Laju tangkap kapal pancing Nabire Februari – November 2013.............. Gambar 4. a), b), c) Komposisi hasil tangkapan kapal pancing ulur di Nabire 2013.. Gambar 5. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan kakap merah (Lutjanus sebae).... Gambar 6. Panjang rata-rata (50% kumulatif) bali (Aphareus rutilans)......................
340 342 344 345 346 346
Komposisi Jenis, Laju Tangkap dan Distribusi Udang pada Musim Timur Di Perairan Utara Papua Oleh Duranta D Kembaren, Wedjatmiko, dan Suprapto Gambar 1. Peta posisi stasiun penangkapan ikan demersal dan udang menggunakan trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei - Juni 2013............................... 353 Gambar 2. Sepuluh spesies utama udang yang tertangkap trawl di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013...................................................................... 355 Gambar 3. Pola sebaran laju tangkap udang penaeid di perairan utara Papua............ 356 Gambar 4. Laju tangkap rata-rata udang yang tertangkap trawl pada kedalaman perairan yang berbeda di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013..... 356 Gambar 5. Sebaran densitas udang penaeid di perairan utara Papua, Mei-Juni 2013. 357 Pendugaan Parameter Pertumbuhan, Kematian Dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Lemuru, Sardinella Lemuru Bleeker 1853, Di Laut Sawu Dan Timor Oleh Moh Fauzi Dan Herlisman Gambar 1. Nilai length at first capture (LC) ikan lemuru di perairan Laut Timor dan Sawu tahun 2013........................................................................................ 369
xxii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. Kurva regresi (Li –L’i) dan L’I metode plot Powell-Wetherall untuk menduga panjang infiniti (Loo) ikan Lemuru............................................ 370 Gambar 3. Kurva pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) ikan Lemuru melalui scan of K Values ELEFAN dengan menggunakan program Fisat II.......... 370 Gambar 4. Kurva pertumbuhan ikan lemuru Sardinella lemuru di Laut Timor dan sekitarnya, 2013......................................................................................... 371 Gambar 5. Hubungan Panjang cagak dengan umur Ikan Lemuru S. lemuru berdasarkan L∞ = 20,3 dan K = 0,95cm tahun-1 dan t0 = -0,187 tahun di Perairan Laut Timor dan Sawu tahun 2013.................................. 371 Gambar 6. Kurva hasil tangkapan ikan Lemuru di Laut Timor dan Sawu tahun 2013 372 Gambar 7. Daerah Penangkapan ikan lemuru oleh armada pukat cincin mini (<10GT) yang berbasis di PPI Oeba Kupang............................................................ 373 Perikanan Pelagis Kecil di Sekitar Tobelo, Laut Halmahera Oleh Adi Kuswoyo, Moh Fauzi dan Suwarso Gambar 1. Lokasi penelitian dan daerah penangkapan armada MPS Tobelo.............. 381 Gambar 2. Komposisi hasil tangkapan armada MPS Tobelo .yang didaratkan di PPP Tobelo dan pesisir pantai Tobelo tahun 2013............................................. 383 Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan bulanan armada MPS di Tobelo yang di daratkan di PPP Tobelo dan pesisir pantai Tobelo tahun 2013................................. 383 Gambar 4. Laju tangkap dan upaya armada mini purse seine Tobelo tahun 2013...... 384
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN SAMUDERA HINDIA (WPP 572, 573) Komposisi dan CPUE Ikan Demersal yang Tertangkap Pukat Ikan dan Pancing Ulur di Perairan Tapanuli Tengah dan Sekitarnya, Sumatera Utara. Oleh Isa Nagib Edrus Tabel Lampiran 1 Komposisi ikan yang di daratkan di Tangkahan dari kapal SHB 14 sebagai wakil dari musim Barat................................................. 12 Tabel Lampiran 2. Komposisi ikan yang di daratkan di Tangkahan dari kapal SHB 12 sebagai wakil dari musim peralihan 1............................................. 14 Tabel Lampiran 3 Komposisi ikan demersal yang di daratkan di tangkahan dari kapal SHB 01 sebagai wakil dari musim peralihan 1............................... 15 Tabel Lampiran 4 Komposisi ikan demersal yang di daratkan di Tangkahan dari kapal SHB 09 sebagai wakil dari musim timur........................................ 16 Tabel Lampiran 5. Komposisi ikan demersal yang di daratkan di tangkahan dari kapal SHB 13 sebagai wakil dari musim peralihan 2............................... 17 Tabel Lampiran 6. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Taufik 03 yag mewakili musim Timur.............................. 18 Tabel Lampiran 7. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Taufik 03, mewakili musim peralihan 2........................... 19 Tabel Lampiran 8. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Raisa 01, mewakili musim peralihan 2............................ 20 Tabel Lampiran 9. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Dita 01, mewakili musim peralihan 2.............................. 21 Beberapa Aspek Biologi Penangkapan Ikan Layur (Trichiurus lepturus) di Perairan Cilacap Oleh Anthony Sisco Panggabean dan Wahyuningsih Aspek Biologi Dan Kebiasaan Makan Ikan Swanggi (Priacanthus Macracanthus) Di Perairan Palabuhanratu, Jawa Barat Oleh Nur’ainun Muchlis dan Pustikawati Kajian Stok Ikan Layur (Trichiurus Lepturus) Di Perairan Selatan Banten dan Sekitarnya Oleh Prihatiningsih, Nur’ainun Muchlis dan Suprapto
xxiv
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Beberapa Aspek Biologi Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) Di Perairan Selatan Banten Oleh Wahid Agung Saputra dan Prihatiningsih Kepadatan Stok dan Komposisi Udang Penaeid Hasil Tangkapan Nelayan Di Perairan Muko-Muko Bengkulu Oleh Pratiwi Lestari dan Adrian Damora Aspek Biologi Lobster Bambu (Panulirus versicolor) dan Lobster Batik (Panulirus longipes) di Perairan Lombok Tengah Oleh Adrian Damora Beberapa Aspek Biologi Rajungan Batik (Portunus Pelagicus) Di Perairan Kabupaten Tapanuli Tengah Oleh Renny Ramadhani Dan Duranta D. Kembaren Komposisi dan Fluktuasi Tangkapan Ikan Cucut dari Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa pada Area Selatan Nusa Tenggara Barat Oleh Umi Chodriyah Aspek Biologi Tongkol Komo (Euthynnus Affinis Cantor, 1849) di Perairan Barat Sumatera Samudera Hindia Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat dan Karsono Wagiyo Lampiran 1. Kriteria tingkat kematangan gonad oleh Schaefer & Orange, 1956
156
Perikanan Madidihang (Thunnus albacores) Hasil Tangkapan Pancing Ulur (Hand Line) di Perairan Samudera Pasifik Bagian Barat Oleh Thomas Hidayat, Enjah Rahmat dan Tegoeh Noegroho Struktur Ukuran, Hubungan Panjang Bobot, Dan Faktor Kondisi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus Affinis) Di Samudera Hindia Selatan Jawa Oleh Yoke Hany Restiangsih, dan Karsono Wagiyo Beberapa Asperk Biologi Ikan Tongkol Lisong (Auxis Rochei) di Perairan Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya Oleh Endah Febrianty, Khairul Amri dan Yoke Hany R Relokasi Usaha Penangkapan Oleh Perikanan Purse Seine ’Jawa Tengah’ Di Samudera Hindia: Basis Banyuwangi Oleh : Suwarso dan Achmad Zamroni Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xxv
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4.
Foto dokumentasi Kegiatan Observer di banyuwangi.................... 202 Daftar kapal purse seine aktif yang tercatat di Banyuwangi tahun 2012 menurut lokasi register (Sumber: Satker PSDKP Banyuwangi) 203 Jumlah trip dan jumlah hari laut rata-rata setiap kapal PS yang melakukan penangkapan selama tahun 2012.................................. 204 Jumlah trip, jumlah hari laut, total catch (kg) dan CPUE (kg/trip) dari 42 unit kapal purse seine yang melakukan penangkapan selama tahun 2012........................................................................... 205
Perikanan Pukat Cincin Di Sibolga, Sumatera Utara Oleh Achmad Zamroni Efisiensi Teknis Pukat Cincin Sibolga di Perairan Samudera Hindia Oleh Hufiadi dan Mahiswara Efisiensi Teknis Pancing Tonda di Samudera Hindia Selatan Jawa (Studi Kasus di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur) Oleh : Baihaaqi, Hufiadi dan Helman Nur Yusuf Pengaruh Kecepatan Setting Kapal Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Cincin (Purse Seine) diPerairan Laut Pacitan, Jawa Timur Oleh : Helman Nur Yusuf, Mahiswara dan Baihaqi Perkembangan CPUE dan Musim Penangkapan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Rawai Tuna di PPS Bungus Oleh Wahyuni Nasution, Baihaqi, dan Asep Priatna Upaya dan Musim Penangkapan Ikan Armada Pukat Cincin di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur Oleh Helman Nur Yusuf dan Baihaqi Estimasi Jumlah dan Jarak Optimum Pemasangan Rumpon di Perairan Samudera Hindia Oleh : Asep Priatna dan Budi Nugraha Studi Kelayakan Ekonomi Usaha Perikanan Tuna Berbasis Rumpon Di Perairan Prigi Dan Sekitarnya Oleh Erfind Nurdin, dan Adrian Damora
xxvi
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Lampiran 1. Lampiran 2.
Komponen kriteria investasi armada tonda..................................... 306 Komponen kriteria investasi armada jaring insang......................... 308
Dinamika Kondisi Oseanografi Perairan Timur Laut Samudera hindia dan Implikasinya Terhadap Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Oleh Khairul Amri
SAMUDERA PASIFIK (WPP 717) Komposisi Jenis, Daerah Sebaran Dan Kepadatan Stok Ikan Demersal Di Perairan Utara Papua Oleh Suprapto, Nurulludin, dan Bambang Sadhotomo Lampiran 1. Data hasil tangkapan sumber daya ikan menggunakan alat tangkap trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013...................... 336 Perikanan Pancing Ulur Ikan Demersal di Perairan Teluk Cenderawasih Samudera Pasifik Oleh Nurulludin dan Suprapto Komposisi Jenis, Laju Tangkap dan Distribusi Udang pada Musim Timur Di Perairan Utara Papua Oleh Duranta D Kembaren, Wedjatmiko, dan Suprapto Lampiran 1. Tipe kapal motor yang digunakan penelitian pengkajian stok sumber daya ikan demersal dan udang di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013........................................................................ 363 Lampiran 2. Desain dan kontruksi jaring trawl digunakan penelitian pengkajian stok sumber daya ikan demersal dan udang di di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013............................................................ 364 Pendugaan Parameter Pertumbuhan, Kematian Dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Lemuru, Sardinella Lemuru Bleeker 1853, Di Laut Sawu Dan Timor Oleh Moh Fauzi Dan Herlisman Lampiran 1. Sebaran ukuran panjang cagak ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Laut Timor dan Sawu tahun 2013................................. 377 Lampiran 2. Sebaran panjang cagak serial bulanan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di Laut Timor dan Sawu tahun 2013................................. 378 Perikanan Pelagis Kecil di Sekitar Tobelo, Laut Halmahera Oleh Adi Kuswoyo, Moh Fauzi dan Suwarso
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
xxvii
KOMPOSISI DAN CPUE IKAN DEMERAL YANG TERTANGKAP PUKAT IKAN DAN PANCING ULUR DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH DAN SEKITARNYA, SUMATERA UTARA Oleh Isa Nagib Edrus
[email protected]
ABSTRAKS Penelitian aspek hasil tangkapan perikanan demersal pukat ikan dan pancing ulur dari perairan sekitar Tapanuli Tengah Sumatera Utara dilakukan pada tahun 2013. Tujuan penelitian untuk mengetahui komposisi jenis tangkapan, CPUE dan musim tangkap. Metode yang digunakan adalah survei lapangan melalui observasi dan kunjungan ke tempat pendaratan ikan dan pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi tangkapan pukat ikan yang merupakan 10 besar antara lain kurisi, layur, biji nangka, peperek, janaha, kerong-kerong, barakuda/Alu-alu, lencam, senangin, petek, beloso, ekor kuning, gerot-gerot, parang-parang, dan kapas-kapas. Dominasi tangkapan pancing ulur meliputi kurisi bantal, kurisi bali, kakap, kerapu lumpur dan Lencam. CPUE rata-rata dari beberapa armada pukat ikan adalah bekisar antara 356 – 1.170 kg/unit/hari. CPUE rata-rata dari beberapa armada pancing bekisar antara 24 – 81 kg/unit/hari. Musim tangkap pukat ikan dan pancing ulur bersamaan dengan musim angin barat. Kata kunci : Komposisi jenis, CPUE, pukat ikan, pancing ulur, musim ikan, Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, WPP 572.
PENDAHULUAN Perairan laut propinsi Sumatera Utara dengan panjang garis pantai 1.300 km termasuk WPP 572. Secara umum perairan ini memiliki potensi besar dengan komoditas dari kelompok pelagis besar, pelagis kecil maupun ikan demersal dan udang. Banyak jenis target tangkapan nelayan yang dipertimbangkan telah masuk kategori ”eksploitasi penuh” akibat dari perikanan pukat, terutama dalam kaitan pengkajian produksi yang dapat dipanen secara berkelanjutan. Jenis-jenis tersebut kebanyakan memiliki masa hidup (lifespan) yang pendek (1 sampai 2 tahun) dan yang memiliki variasi tahunan dan musiman yang tinggi dalam hal laju tangkap dan tangkapan. Ketika fenomena seperti ini berulang dengan tekanan penangkapan yang meningkat, maka akan menjadi petunjuk dari gangguan stok di
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
1
wilayah tangkap yang sama di kemudian hari (O’nill & Leigh, 2006). Oleh karena itu kajian perikanan pukat menjadi lebih intensif dibanding kajian alat tangkap yang bersifat selektif seperti pancing, meskipun kedua kajian sama pentingnya. Menurut Huber (2003) dan O’nill & Leigh (2006) adalah berbahaya dalam penilaian laju tangkap tanpa pertimbangan usaha (input) dan sediaan sumberdaya ikan. Peningkatan usaha tidak semata-mata dilandasi oleh indikator keuntungan usaha perikanan, karena peningkatan usaha perlu lebih bertumpu pada kajian stok. Laju tangkap sering nampak stabil dalam usaha perikanan, meski pada kenyataannya hal itu menurun. Perbaikan dalam pengumpulan data dan proses pengkajian stok diperlukan agar nelayan memahami bahwa kegiatan perikanan tidak dalam kondisi kelebihan tangkap dan dampak lingkungan dari penggunaan pukat dapat dicegah dengan pengelolaan yang tepat. Hal ini sejalan dengan tujuan perikanan berkelanjutan, yaitu memperbaiki kinerja perikanan dalam hal upaya pencegahan lebih tangkap dan dampak negatif perikanan terhadap lingkungan. Perbaikan kinerja perikanan adalah menyangkut pemahaman kesinambungan ekologi perikanan. Seperti diketahui bahwa laju tangkap yang berkurang secara tajam, terutama ketika usaha penangkapan berlangsung dalam periode panjang dalam satu unit stok yang sama dan diduga berpengaruh pada ketersediaan ikan, biasanya adalah petunjuk yang baik bahwa perikanan telah mencapai kondisi lebih tangkap. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui komposisi jenis tangkapan dan CPUE serta musim tangkap dari armada pukat ikan dan pancing ulur yang beroperasi di sekitar perairan Tapanuli Tengah Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODE Pengumpulan data tangkapan dilakukan dengan kunjungan ke tangkahan pendaratan ikan di kota Sibolga. Pengenalan jenis ikan hasil tangkapan menggunakan buku panduan identifikasi yang disusun oleh Kailola (1982). Pengumpulan data dilakukan dalam beberapa bulan pada tahun 2013. Data komposisi dan CPUE dikumpulkan dari kegiatan observer dan dari data log book beberapa kapal yang dikompilasi oleh PPN Sibolga. Unit kapal yang menjadi objek analisis adalah armada pukat ikan milik PT. Pantai Samudera Indonesia, yang terdiri dari KM. SBH 14, SHB 01, SHB 12, SHB 09 dan SHB 13. Ukuran kapal 20 GT dengan mesin utama daihatsu. Trip hari layar rata-rata 25 hari dan hari tangkap rata-rata 21 hari. Jelajah penangkapan sampai dengan 14 mil laut dari wilayah perairan Sumatra Utara yang mencakup WPP 572 Samudera Hindia (Gambar 1). Unit kapal perikanan pancing yang diambil sebagai sampel adalah KM Taufik 03, KM Raisa 01 dan KM Dita 01, dimana ukuran kapasitas kapal masing-masing 5 GT dengan mesin domfeng 30 PK. Trip hari
2
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
layar 10 hari dan hari tangkap 7 hari. Jelajah penangkapan atau daerah penangkapan adalah sekitar perairan Pulau Nias (Gambar 1). Analisis Data Komposisi jenis tangkapan dihitung menurut bagian parsial dari biomassa tangkapan perjenis demersal di dalam total biomasa semua jenis yang tertangkap (termasuk pelagis) dengan satuan persen. Komposisi jenis (demersal saja) diurut dalam tabulasi dari persentasi yang terbesar sampai terkecil, sehingga didapat 10 besar teratas yang mendominasi hasil tangkapan. Analisis CPUE menurut alat tangkap mengikuti rumus Sparre and Venama (1997) dalam pola tangkapan per unit upaya (CPUE), yaitu :
CPUE = Catch*Effort-1 .................................................. (1)
Dimana:
CPUE : Catch per Unit Of Effort
Catch : hasil tangkapan (kg)
Effort : Jumlah upaya (kapal per hari)
Gambar 1. Wilayah tangkapan armada perikanan pukat dan pancing
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
3
Dugaan musim penangkapan menggunakan rasio dari laju tagkap bulanan dan rata-rata CPUE sepanjang tahun menurut metode analisis runtun waktu Spiegel (1961). Up
= Ui / Ū
Ū
= 1/m
m
............................................... (2)
Σ Ui
............................................. (3)
i =1
Dimana Up adalah ratio Ui terhadap Ū, Ui = CPUE dalam bulan terhitung (kg/hari) dan Ū = rata-rata CPUE bulanan terhitung dimana m = 7 bulan. Keriteria penentuan musim adalah jika Up > 1 berarti musim ikan, Up = 1 musim normal dan Up < 1 berarti bukan musim ikan.
HASIL Komposisi jenis Jumlah jenis ikan yang tertangkap oleh kapal pukat ikan bervariasi dari 26 sampai 48 genus demersal. Sepuluh besar yang mendominasi hasil tangkapan adalah diwakili oleh ikan kurisi (Nemipterus spp), layur (Trichyurus spp), biji nangka (Parupeneus spp., Mulloides spp.), peperek (Leiognathus spp), janaha (Lutjanus johnii), kerong-kerong (Terapon spp), barakuda/Alu-alu (Sphyraena spp), lencam (Lethrinus spp), senangin (Polynemus sextarius), petek (Leiognathus equlus), beloso (Saurida spp.), ekor kuning (Caesio spp., Pterocaesio spp.), gerot-gerot (Pomadasys kaakan), parang-parang (Chirocentrus nudus) dan kapas-kapas (Lactarius spp.). Ikan kurisi (Parupeneus plurospilus dan P. javanicus, dan P. Peronii) ), layur (Trychiurus auriga) dan peperek atau petek (Leiognathus bindus dan L. equlus) selalu muncul sebagai tangkapan 3 besar teratas. Adapun kurisi (Parupeeus pleurospilus) adalah ikan yang paling sering muncul terbanyak pada setiap kapal pukat ikan. Tabel Lampiran 1, 2,3, 4 dan 6 menunjukkan secara rinci komposisi jenis dari masing-masing kapal pukat menurut keterwakilan musim angin. Hasil tangkapan perikanan pancing ulur (handlines) berkisar pada 13 dan 14 jenis demersal. Komposisi hasil tangkapan armada ini didominasi oleh jenis ikan Bantal (Pristipomoides typus), Galibu Bali (Pinjalo pinjalo), Ramung atau tanda-tanda (Lutjanus vittae), dan Sapan atau Kerapu lumpur (Epinephelus spp) dan Baracun atau Lencam (Lethrinus spp), yaitu jenis-jenis ikan karang yang merupakan kelompok ekonomis penting dengan harga tinggi. Komposisi jenis secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 5,6,7, 8 dan 9.
4
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
CPUE pukat ikan Hasil produksi menurut jenis kelompok tangkapan dari 5 unit armada pukat ikan yang didaratkan pada satu tangkahan di Sibolga disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil tangkapan pukat ikan menurut kapal, kelompok ikan dan musim angin untuk waktu operasional 20-21 hari dengan hari layar 25 hari Nama Kapal SHB 14 SHB 12 SHB 01 SHB 09 SHB 13
HASIL TANGKAPAN PER TRIP Demersal Pelagis Total 4813 2346 7159 4069 4350 8419 3068 4737 7805 2405 3416 5821 1961 3367 5328
Tangkapan Sebagai Wakil dari Musim Angin *) Barat (Desember – Pebruari) Peralihan 1 (Maret – Mei) Peralihan 1 (Maret – Mei) Timur (Juni – Agustus) Peralihan 2 (September – Nopember)
*) BRPL (2004) Hasil perhitungan CPUE yang diperoleh dari data observasi pada kapal penangkap dengan nama KM. SBH 14, SHB 01, SHB 12, SHB 09 dan SHB 13 yang mengoperasikan alat tangkap pukat ikan (PI) adalah terkecil 1,96 ton/unit/trip dan terbesar 4,8 ton/unit/trip atau rata-rata 3,3 ton/trip dan ini setara dengan rata-rata 163 kg/hari/armada pukat ikan untuk ikan demersal. Perbandingan demersal-pelagis dari tangkapan total berkisar pada rasio 1 : 1 sampai 3 : 2. Jadi CPUE untuk total tangkapan demersal dan pelagis adalah bervariasi dari yang terkecil 5,3 ton/trip dan terbesar 8,4 ton atau rata-rata 6,9 ton/trip yang setara dengan 345 kg/hari/ armada pukat ikan.
CPUE pancing ulur Hasil perhitungan CPUE dari observasi pada 4 unit kapal perikanan pancing ulur dengan daerah penangkapan di terumbu karang sekitar Pulau-Pulau terdekat sampai Pulau sekitar Nias dan dengan trip operasional 7 hari dan hari layar sekitar 10 hari adalah rata-rata 320 kg/unit/ trip. CPUE armada tersebut diasumsikan masing-masing kapal adalah 52 kg, 37 kg, 60 kg dan 33 kg per hari, dimana rata-ratanya 45,5 kg/hari.
CPUE dari data log book Armada Hasil perhitungan CPUE pukat ikan berdasarkan data log book bulanan dari beberapa Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
5
kapal perikanan pukat ikan dan perikanan pancing ulur diringkas pada Gambar 2 dan Gambar 3. Rata-rata CPUE armada pukat ikan tertinggi di bulan Januari yaitu 1170 ± 665 kg/hari/ unit armada, tetapi derastis menurun ketingkat terendah di bulan Pebruari yaitu sebesar 356 ± 195 kg/hari/unit armada dan kemudian berfluktuasi pada bulan berikutnya sampai meningkat kembali di bulan Juni (Gambar 2). Deviasi dari rata-rata adalah cukup besar karena tingginya fluktuasi nilai CPUE antar armada, dimana nilai tertinggi CPUE dari sebagian besar armada berbeda secara tajam dengan nilai terendah CPUE dari sebagian kecil armada yang lain.
Gambar 2. Rata-rata CPUE pukat ikan per hari menurut logbook dari sejumlah armada pukat ikan yang dikumpulkan oleh PPN Sibolga periode Desember 2012 sampai Juni 2013 untuk kategori ikan demersal. Perikanan pancing ditandai oleh tingginya CPUE pancing pada awal musim barat, yaitu Desember sebesar 81 kg/hari/unit, tetapi kemudian berfluktuasi di sekitar 35 kg/hari/unit dalam bulan berikutnya (Gambar 3).
Gambar 3. Rata-rata CPUE pancing ulur per hari menurut logbook dari sejumlah armada pancing ulur yang dikumpulkan oleh PPN Sibolga periode Desember 2012 sampai Juni 2013 untuk kategori ikan demersal. 6
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Musim Ikan Dari perhitungan data log book armada perikanan pukat ikan diketahui bahwa puncak musim ikan terjadi pada bulan Januari dan Juni. Musim paceklik ikan terjadi Desember, Pebruari, Maret dan Mei (Gambar 4). Sebaliknya dari hasil perhitungan data log book armada pancing ulur diketahui bahwa puncak musim ikan karang terjadi bulan Desember di tahun 2012 dan pada tahun berikutnya masuk pada kondisi normal di bulan Januari dan Mei serta kondisi paceklik Pebruari, Maret, April dan Juni (Gambar 5).
Gambar 4. Musim penangkapan ikan berdasarkankan pada rasio CPUE per bulan dan rata-rata CPUE bulanan (Up) menurut tangkapan armada pukat ikan, Up > 1 musim ikan, Up < 1 paceklik dan Up = 1 normal
Gambar 5. Musim penangkapan ikan berdasarkan pada rasio CPUE per bulan dan rata-rata CPUE bulanan (Up) menurut tangkapan armada pancing ulur, Up > 1 musim ikan, Up < 1 paceklik dan Up = 1 normal
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
7
BAHASAN Komposisi jenis hasil tangkapan armada pukat ikan dari perusahaan yang sama dan wilayah unit ekologis yang sama adalah hampir sama dalam hal 10 besar tangkapan teratas untuk semua musim tangkapan. Seperti juga terlihat dari hasil tangkapan pancing ulur dari nelayan-nelayan binaan di bawah manajemen yang sama. Jenis alat tangkap pukat ikan umumnya mendapatkan ikan-ikan yang memiliki habitat perairan neretik yang sedikit berlumpur. Jenis ikan tersebut seperti diwakili oleh ikan kurisi, layur, biji nangka, peperek, janaha, kerong-kerong, barakuda/Alu-alu, lencam, senangin, petek, beloso, ekor kuning, gerot-gerot, parang-parang, dan kapas-kapas. Komposisi jenis dari semua tangkapan pukat adalah hampir sama meskipun wilayah pengeloaannya berbeda. Ikan kurisi (Parupeneus plurospilus dan P. javanicus, dan P. Peronii) ), layur (Trychiurus auriga) dan peperek atau petek (Leiognathus bindus dan L. equlus) adalah hasil tangkapan dominan dan memiliki probalitas tinggi untuk tertangkap berulang-ulang. Hal ini sama dengan laporan Achmad (2010) dan Noveldesra (2010) yang disebabkan jenisjenis ikan tersebut hidup bergerombol di permukaan substrat berlumpur dari perairan dangkal sampai dengan kedalaman 60 m sehingga memiliki distribusi sebaran yang luas (Badruddin et al. 1984). Di beberapa wilayah pengelolaan perikanan yang lain juga sering menjadi tangkapan pukat, seperti hasil penelitian Baihaqi & Hufiadi (2013) dan hasil penelitian Nuruludin & Taufik (2013) di Perairan Utara Jawa. Menurut Suhendrata & Badruddin (1990), pukat ikan adalah alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan-ikan demersal yang relatif memiliki harga rendah tetapi hasil tangkapan dalam jumlah yang besar, seperti kurisi pasir, kuniran, petek, layur, kapas-kapas, swanggi dan blosso. Di Sibolga, jenis-jenis ikan seperti kurisi, layur dan petek dalam jumlah besar ternyata sangat mendukung industri perikanan olahan. Sehingga jenis-jenis seperti itu menjadi target utama penangkapan. Di lain sisi, perikanan pancing ulur memiliki volume produksi rendah tetapi memiliki prospek ekonomi dari harga pasar ekspor yang relatif tinggi dibanding hasil perikanan pukat ikan. Komposisi hasil tangkapan perikanan pancing adalah termasuk ikan-ikan berkelas ekonomi tinggi seperti ikan kurisi bantal (Pristipomoides typus), kurisi bali (Pinjalo pinjalo), kakap (Lutjanus vittae), Kerapu lumpur (Epinephelus spp) dan Lencam (Lethrinus spp). Semua jenis ikan tersebut biasa hidup di perairan dekat terumbu karang dan perairan dangkal yang relatif jernih. CPUE dari pukat ikan maupun pacing ulur dari armada yang diambil sebagai contoh menunjukkan bahwa alat tangkap tersebut bersifat potensial untuk wilayah yang juga potensial
8
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
dari sisi kelimpahan sumberdaya ikan demersal, baik pada musim barat, musim pancaroba pertama dan awal musim timur. CPUE pukat ikan untuk kategori demersal adalah rata-ra 163 kg/unit/hari atau total bersama tangkapan pelagis 345 kg/unit/hari, sedangkan rata-rata CPUE pancing ulur 45 kg/unit/hari. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan di wilayah penelitian baik area neritik maupun perairan karang dalam masih cukup tinggi. Hal yang sama juga diperkuat oleh perhitungan data log book dari beberapa armada perikanan pukat ikan dan pancing ulur. Rata-rata CPUE dari hasil perhitungan data log book adalah di atas CPUE dari hasil observasi kapal contoh dari alat tangkat pukat ikan. Ke dua sumber data menunjukkan bahwa CPUE dalam perbedaan musim angin adalah berfluktuasi. CPUE pukat ikan untuk kelompok demersal umumnya meningkat pada musim angin barat, kemudian menurun pada musim peralihan dan meningkat kembali ketika memasuki musim angin timur (Gambar 4). Sementara rata-rata CPUE pancing ulur dari hasil observasi pada kapal contoh masih berada di dalam rentang rata-rata CPUE hasil perhitungan dari data log book kapal perikanan pancing. Musim ikan demersal berdasarkan data CPUE pancing ulur juga terjadi pada musim angin barat dan kemudian mengalami paceklik di musim peralihan 1 sampai kembali normal sesaat pada awal musim barat untuk kemudian paceklik kembali (Gambar 5). CPUE pukat ikan hasil total tangkapan dari penelitian ini masih mirip satu sama lain jika dibandingkan dengan hasil penelitian serupa. Seperti hasil penelitian Baihaqi & Hufiadi (2013) yang menyebutkan hasil total tangkapan cantrang dari perairan utara Jawa sebesar 358,75 kg/ unit/hari. Atau tangkapan cantrang di Perairan Tegal tahun 2006 sebesar 333,6 kg/unit/hari dan pada 2007 sebesar 424 kg/unit/hari (Ernawati & Sumiono, 2009). Namun lebih kecil dari hasil tangkapan cantrang pada puncak musim di Perairan Brondong pada bulan Mei sebesar 552,5 kg/unit/hari (Akhmad, 2010). Secara umum CPUE pukat ikan maupun pancing berfluktuasi menurut musim dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan penangkapan langsung berpengaruh pada ketersediaan ikan pada bulan berikutnya dan pada perairan neritik sediaan ikan dapat pulih pada rentang waktu yang cukup per interval setahun (Gambar 2). Namun untuk perairan karang kondisi sediaan ikan lebih terpengaruh oleh tekanan penangkapan dan cenderung diperlukan waktu lebih lama untuk pulihnya sediaan ikan (Gambar 3). Dengan demikian CPUE memberikan petunjuk pada kelimpahan sediaan ikan di alam dan petunjuk tingkat keterampilan nelayan. Dalam hal ini perubahan cuaca berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan dan kemudian berpengaruh pada CPUE (Ernawati & Sumiono, 2009). Perubahan cuaca berperan pada siklus nurtien di perairan dan menentukan keberhasilan operasi penangkapan, yaitu menyangkut keterampilan dalam mengatur alat tangkap terhadap kondisi arus dan angin (Baihaqi & Hufiadi, 2013). Sebaliknya pada kondisi ekstrim, perubahan cuaca direspon negatif
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
9
oleh ikan karena turbulensi air yang kuat dan sedimentasi yang kritis sangat mengganggu filamen insang pada ikan (Gunarso, 1985). Upaya dalam mengatur hasil tangkapan dan CPUE tidak sekedar melalui peningkatkan efisiensi upaya atau pengurangan input usaha, karena CPUE sering terkait dengan peningkatan keterampilan operasi penangkapan, sementara sediaan ikan di alam tanpa disadari adalah kenyataannya menurun, sehingga tindakan pengelolaan dalam hal mengurangi usaha penangkapan hanya nampak berhasil sebagian. Namun eksploitasi dengan pukat ikan tetap perlu memperhatikan gejala peningkatan CPUE, karena tekanan atau dampak penggunaan pukat pada lingkungan perairan sangat negatif terhadap perikanan yang berkelanjutan (Huber, 2003).
KESIMPULAN Tangkapan pukat ikan didominasi oleh kurisi, layur, biji nangka, peperek, janaha, kerong-kerong, barakuda/alu-alu, lencam, senangin, petek, beloso, ekor kuning, gerot-gerot, parang-parang, dan kapas-kapas. Rata-rata CPUE pukat masih dalam batas normal dan bervariasi antara terkecil 356 kg/unit/hari pada musim peralihan dan terbesar 1.170 kg/unit/ hari pada musim barat. Dominasi tangkapan pancing ulur meliputi ikan berkelas ekonomis tinggi seperti kurisi bantal, kurisi bali, kakap, kerapu lumpur dan lencam. CPUE rata-rata dari beberapa armada pancing juga masuk pada batas normal dan bekisar antara 24 – 81 kg/unit/hari. Perubahan cuaca juga berpengaruh pada tangkapan pacing sama seperti pada tangkapan pukat. Musim tangkap pancing terjadi pada musim barat dan timur, sementara musim paceklik terjadi pada musim peralihan 1 dan 2.
DAFTAR PUSTAKA Akhmad A.L. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang di Perairan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Baihaqi & Hufiadi. 2013. Komposisi Hasil Tangkapan dan Hasil Per Unit Upaya (CPUE) Cantrang di Periaran Utara Jawa. Dalam: Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Jawa. A. Suman et al. (eds). Bunga Rampai. IPB Press, Bogor. Hal 167. Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta 116 hal.
10
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Ernawati, T. & B. Sumiono. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 15 (1), Jakarta. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Skripsi. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Huber, D. 2003. Audit of the Management of the Queensland East Coast T rawl Fishery in the Gr eat Barrier Reef Marine Park. Publ. Great Barrier Reef Marine Park Authority. 206 pp. Kailola, P.J. 1982. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. Publ. Thomas Gloerfelt-Tarp. NSW 2075 Australia. Noveldesra, S. 2010. Kajian Teknis Pengoperasian Cantrang di Perairan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Nuruludin & M. Taufik. 2013. Musim Penangkapan, CPUE dan Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Demersal di Laut Jawa. Dalam: Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Jawa. A. Suman et al. (eds). Bunga Rampai. IPB Press, Bogor. Hal 179. O’nill, M.F. & G.M. Leigh. 2006. East Coast Trawl Fishery Fishing Power and Catch Rates. Publ. Southern Fisheries Centre, Deception Bay, Queesland. 85 p. PPN Sibolga. 2012. Laporan Tahunan dan Statistik Perikanan Sibolga 2011. Pelabuhan Perikanan Nusantara, Sibolga. PPN Sibolga. 2013. Laporan Tahunan dan Statistik Perikanan Sibolga 2012. Pelabuhan Perikanan Nusantara, Sibolga. Suhendrata, T. & M. Badruddin. 1990. Sumberdaya Perikanan Demersal di Perairan Pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. No. 54. BPPL, Jakarta. Sparre, P. & S.C. Venema. 1997. Introduction to Tropical Fish Stock Assessmant. Part 1. Fishery Technical Paper. FAO, Rome. 438 p. Spiegel, M.R. 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ.co., New York. 359 p.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
11
Tabel Lampiran 1 Komposisi ikan yang di daratkan di Tangkahan dari kapal SHB 14 sebagai wakil dari musim Barat No. 1 2 3 4 5 6
NAMA IKAN LOKAL Tui Baledang Pinang Kekek Jenaha Kerongkerong
NAMA IKAN UMUM
NAMA ILMIAH Nemipterus sp Trichyurussp Parupeneus sp Leiognathus sp Lutjanus johni
NEMIPTERIDAE TRICHYURIDAE MULLIDAE LEIOGNATHIDAE LUTJANIDAE
Kerong-kerong
Terapon sp
THERAPONIDAE
352
4,92
Barakuda/Alualu Lencam Senangin Petek Beloso Campur kuwe Barakuda/Alualu Manyung kuwe Barakuda/Alualu Barakuda/Alualu Kapas-kapas
Sphyraena barracuda Lethrynus lencan
SPHYRAENIDAE
242
3,38
LETHRINIDAE
2,03 2,00 1,66 1,44 1,38 1,37
Sphyraena pinguis Seriolina nigrofasciata Rachycentron canadum Bothus sp/ Pardachirus sp Pomacanthus sp
Teter karang
8 9 10 11 12 13
Baracun Kurau Perak-perak Palu Campur Limper
14
Teter belang
15 16
Gaguk Kuwe Gabu
17
Teter juluk
18
Teter sumbu
19 20
Kapas-kapas Ramung
21
Teter Luluk
Barakuda/Alualu
22
Aji-aji
kuwe
23
Bado
Gabus laut
24
Sebelah
Sebelah
25 26
Kambing Sebahak
Injel
27
Peco
Gerot
28
Bona Kerapu minyak Kampi Jaranggigi Kapur
Platak
Pomadasys kaakan Platax sp
kerapu kulit pasir kakap merah
30 31 32
12
HASIL (kg) % 803 11,22 691 9,65 557 7,78 535 7,47 359 5,01
Kurisi Layur Biji nangka Peperek Janaha
7
29
FAMILI
Leiognathus sp Saurida sp Campur Caranx ignobilis Sphyraena putnamiae Arius sp Caranx sp
LEIOGNATHIDAE SYNODONTIDAE Campur CARANGIDAE
145 143 119 103 99 98
SPHYRAENIDAE
88
1,23
ARIIDAE CARANGIDAE
86 74
1,20 1,03
Sphyraena jello
SPHYRAENIDAE
46
0,64
SPHYRAENIDAE
41
0,57
37,5 36
0,52 0,50
35
0,49
16,5
0,23
11
0,15
1
0,15
10 10
0,14 0,14
9,5
0,13
EPHIPPIDAE
8
0,11
Ephinephelus sp
SERRANIDAE
8
0,11
Aluterus sp Lutjanus bohar
MONACANTHIDAE LUTJANIDAE
5 4,5 4
0,07 0,06 0,06
Sphyraena flavicauda Lactarius sp
SPHYRAENIDAE CARANGIDAE RACHYCENTRIDAE BOTHIDAE/ SOLEIDAE POMACANTHIDAE TERAPONIDAE
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Balaku minyak Jabung Jumbo gepeng Tanda-tanda Sebatu Kunyit Kampi Pecak Bulan bulan Galadominyak Kakap merah Samgeh Wikong
46
Bawal
47
Daun baru
33
Kerapu
Ephinephelus sp
SERRANIDAE
ekor kuning Kakap Jenaha
Caesio Lutjanus sp
CAESIONIDAE LUTJANIDAE
kulit pasir Gerrot Bulan-bulan Buntal Kakap merah Gulamah
Aluterus sp Pomadasys sp Megalops sp Lactarius sp Lutjanus sabae
MONACANTHIDAE POMADASYDAE MEGALOPIDAE LACTARIDAE LUTJANIDAE
Bawal
Monadactylus argenteus Drepane sp
MONADACTYLIDAE DREPANIDAE TOTAL
3,5
0,05
3 3 3 2,5 2 1,5 1,5 1 1 1 1 1
0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
0,5
0,01
0,5 4813
0,01 67,23
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
13
Tabel Lampiran 2. Komposisi ikan yang di daratkan di Tangkahan dari kapal SHB 12 sebagai wakil dari musim peralihan 1 No.
NAMA IKAN LOKAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tui Kekek Campur Baledang Kuwe Gabu Kerapu lumpur Palu Pinang Teter karang Jenaha
Kurisi Peperek Campur Layur kuwe kerapu Beloso Biji nangka Barakuda Janaha
11
Teter belang
Barakuda
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Pecak Teter Luluk Kuwe Gagole Kerong-kerong Teter Juluk Gaguk Balaku minyak Capa Kuwe Limper Kapas-kapas Balangkasa
Gerot-Gerot Barakuda Kuwe Kerong-kerong barakuda Manyung Kerapu Swanggi kuwe Kapas-kapas Kerapu
23
Bado
Gabus laut
24 25
Tukkok Kakap merah
Pari Kakap merah
14
NAMA IKAN UMUM
NAMA ILMIAH Nemipterus sp Leiognathus sp Campur Trichyurus sp Caranx sp Ephinephelus sp Saurida sp Parupeneus sp Sphyraena fosteri Lutjanus johni Sphyraena putnamiae Pomadasys sp Sphyraena pinguis Carangoides sp Terapon sp Sphyraena jello Arius sp Ephinephelus sp Priacanthus sp Atule mate Lactarius sp Ephinephelus sp Rachycentron canadum Taeniura sp Lutjanus sabae
FAMILI NEMIPTERIDAE LEIOGNATHIDAE Campur TRICHYURIDAE CARANGIDAE SERRANIDAE SYNODONTIDAE MULLIDAE SPHYRAENIDAE LUTJANIDAE
HASIL Kg % 571 6,78 455 5,40 420 4,99 352 4,18 317 3,77 283 3,36 270 3,21 224 2,66 174 2,07 147 1,75
SPHYRAENIDAE
105
1,25
POMADASYIDAE SPHYRAENIDAE CARANGIDAE THEROPONIDAE SPHYRAENIDAE ARIIDAE SERRANIDAE PRIACANTHIDAE CARANGIDAE GERRIDAE SERRANIDAE
83 79 73 69 63 61 55 41 36 29 17
0,99 0,94 0,87 0,82 0,75 0,72 0,65 0,49 0,43 0,34 0,20
6
0,07
6 4 4069
0,07 0,05 48,33
RACHYCENTRIDAE LUTJANIDAE TOTAL
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel Lampiran 3. Komposisi ikan demersal yang di daratkan di tangkahan dari kapal SHB 01 sebagai wakil dari musim peralihan 1 NAMA IKAN LOKAL
NAMA IKAN UMUM
1 2 3 4 5
Tui Baledang Kekek Kuwe Gabu Campur
Kurisi Layur Peperek kuwe Campur
6
Teter belang
Barakuda
7
Jumbo gepeng
ekor kuning
8
Kuwe Aji-aji
kuwe
9
Teter Luluk
Barakuda
10
Pinang
Biji nangka
11
Teter karang
Barakuda
12 13
Jenaha Kerapu lumpur
Janaha kerapu
14
Teter Juluk
barakuda
15 16 17 18
Kuwe Gagole Capa Kuwe Limper Balaku minyak
Kuwe Swanggi kuwe Kerapu
19
Sebelah
Sebelah
20
Kerong-kerong
Kerong-kerong
21
Baracun
Lencam
22
Senangin
Senangin/kuro
23 24 25
Kakap Kapas-kapas Jaranggigi
Kakap merah Kapas-kapas Kaneke
26
Bado
Gabus laut
27 28
30
Kambing Kampi Bayam/ Napoleon Bulan bulan
31
Peco
Gerot
No.
29
Kg 543 516 414 205 203
KOMPO SISI % 6,95 6,60 5,30 2,62 2,60
SPHYRAENIDAE
196
2,51
CAESIONIDAE
124
1,59
CARANGIDAE
110
1,41
SPHYRAENIDAE
95
1,22
MULLIDAE
80
1,02
SPHYRAENIDAE
68
0,87
LUTJANIDAE SERRANIDAE
65 65
0,83 0,83
SPHYRAENIDAE
55
0,70
CARANGIDAE PRIACANTHIDAE CARANGIDAE SERRANIDAE BOTHIDAE/ SOLEIDAE THERAPONIDAE
34 32 31 29
0,44 0,41 0,40 0,37
27
0,35
25
0,32
LETHRINIDAE
23
0,29
POLYNEMIDAE
21
0,27
LUTJANIDAE GERRIDAE LUTJANIDAE
20 17 15
0,26 0,22 0,19
RACHYCENTRIDAE
14
0,18
POMACANTHIDAE MONACANTHIDAE
13,5 12
0,17 0,15
NAMA ILMIAH
FAMILI
HASIL
NEMIPTERIDAE TRICHYURIDAE LEIOGNATHIDAE CARANGIDAE -
Injel kulit pasir
Nemipterus sp Trichyurus Leiognathus sp Caranx sp Sphyraena barracuda Caesio sp Seriolina nigrofasciata Sphyraena pinguis Parupeneus sp Sphyraena fosteri Lutjanus johni Ephinephelus sp Sphyraena flavicauda Carangoides sp Priacanthus sp Atule mata Ephinephelus sp Bothus sp/ Pardachirus sp Terapon sp Lethrynus lencan Polynemus sextarius Lutjanus sabae Lactarius sp Lutjanus sp Rachycentron canadum Pomacanthus sp Aluterus sp
Kakatua
Scarus sps
SCARIDAE
8
0,10
Bulan-bulan
Megalops sp Pomadasys kaakan
MEGALOPIDAE
6
0,08
TERAPONIDAE
1,5
0,02
Total
3068
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
15
Tabel Lampiran 4 Komposisi ikan demersal yang di daratkan di Tangkahan dari kapal SHB 09 sebagai wakil dari musim timur No.
Nama Daerah
Nama Umum
1 2
Campur Palu
Campur Beloso
3
Teter sumbu
Barakuda
4 5 6 7
Tui Anak Gabu Baledang Pecak
Kurisi Kuwe Layur Gerot-Gerot
8
Parang-Parang
Parang-Parang
9
Capa
Swanggi
10
Teter belang
Barakuda
11
Kapas-Kapas
Kapas-Kapas
12
Teter karang
Barakuda
13 14 15 16
Karantang Jenaha Gaguk Ramung
Kerapu lumpur Kakap Merah Manyung Kakap
17
Teter Luluk
Barakuda
18 19 20
Kekek/Perak Limper Tukko
Peperek Kuwe Pari
21
Aji-aji
Kuwe
22
kerong-kerong
Kerapu lumpur
23
Gurapu
Kerpu macan
24
Teter karang
Barakuda sunuk
25
Sebelah
Sebelah
26
Peco
Gerot-Gerot
27
Senangin
Kurau
28
Baracun
Lentjam
29
Bulan Bulan-bulan Total Tangkapan Demersal
16
Nama Latin Saurida sp Sphyraena flavicauda Nemipterus sp Caranx sp Trichyurussp Pomadasys sp Chirocentrus nudus Priacanthus sp Sphyraena putnamiae Lactarius sp Sphyraena fosteri Epinephelus sp Lutjanus sp Arius sp Lutjanus vitta Sphyraena pinguis Leiognathus spp Caranx ignobilis Taeniura sp Seriolina nigrofasciata Epinephelus sp Epinephelus fuscogutatus Sphyraena barracuda Bothus sp/ Pardachirus sp Pomadasys kaakan Polynemus sextarius Lethrynus nebulosus Megalops sp
Famili SYNODONTIDAE
HASIL Kg % 296 5,1 277 4,8
SPHYRAENIDAE
263
4,6
NEMIPTERIDAE CARANGIDAE TRICHYURIDAE POMADASYDAE
260 203 121 111
4,5 3,5 2,1 1,9
CHIROCENTRIDAE
110
1,9
PRIACANTHIDAE
104
1,8
SPHYRAENIDAE
94
1,6
GERRIDAE
74
1,3
SPHYRAENIDAE
71
1,2
SERRANIDAE LUTJANIDAE ARIIDAE LUTJANIDAE
64 45 45 43
1,1 0,8 0,8 0,7
SPHYRAENIDAE
42
0,7
LEIOGNATHIDAE CARANGIDAE DASYATIDAE
39 33 35
0,7 0,6 0,6
CARANGIDAE
27
0,5
SERRANIDAE
14
0,2
SERRANIDAE
12
0,2
SPHYRAENIDAE
7
0,1
BOTHIDAE/ SOLEIDAE
7
0,1
TERAPONIDAE
3
0,05
POLYNEMIDAE
2
0,03
1,5
0,03
1 2404,5
0,02 42
LETHRINIDAE MEGALOPIDAE
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel Lampiran 5. Komposisi ikan demersal yang di daratkan di tangkahan dari kapal SHB 13 sebagai wakil dari musim peralihan 2 No
Nama Daerah
Nama Umum
1 2
Palu Baledang
Beloso Layur
3
Teter luluk
Barakuda
4
Teter karang
Barakuda
5 6
Campur Kapas-Kapas
Campur Kapas-Kapas
7
Parang-Parang
Parang-Parang
8
Senangin
Kurau
9
Teter belang
Barakuda
10 11
Limper kerong-kerong
Kuwe Kerapu lumpur
12
Baracun
Lentjam
13 14
Tui Kekek/Perak
Kurisi Peperek
15
Bantal
Kurisi
16
Teter sumbu
Barakuda
17 18
Gagole Karantang
19
Teter karang
20
Anak Gabu
Kuwe Kerapu lumpur Barakuda sunuk Kuwe
21
Sebelah
Sebelah
22 23 24 25 26 27 28 29
Capa Swanggi Tukko Pari Bulan Bulan-bulan Gaguk Manyung Jarang gigi Kakap Merah Gurita Gulamah Aji Kuwe Kakap Kakap Total Tangkapan Demersal
Nama Latin Saurida sp Trichyurussp Sphyraena pinguis Sphyraena fosteri Lactarius sp Chirocentrus nudus Polynemus sextarius Sphyraena putnamiae Caranx ignobilis Epinephelus sp Lethrynus olievaceus Nemipterus sp Leiognathus spp Pristipomides typus Sphyraena flavicauda Carangoides sp Epinephelus sp Sphyraena barracuda Caranx sp Bothus sp/ Pardachirus sp Priacanthus sp Taeniura sp Megalops sp Arius sp Lutjanus bohar Argyrosomus sp Seriolina SP Lutjanus sabae
Famili SYNODONTIDAE TRICHYURIDAE
HASIL Kg % 324 6,08 314 5,89
SPHYRAENIDAE
291
5,46
SPHYRAENIDAE
154
2,89
GERRIDAE
141 134
2,65 2,52
CHIROCENTRIDAE
98,5
1,85
POLYNEMIDAE
78
1,46
SPHYRAENIDAE
62
1,16
CARANGIDAE SERRANIDAE
60 52
1,13 0,98
LETHRINIDAE
51
0,96
NEMIPTERIDAE LEIOGNATHIDAE
39 32
0,73 0,60
LUTJANIDAE
30
0,56
SPHYRAENIDAE
24
0,45
CARANGIDAE SERRANIDAE
20 12
0,38 0,23
SPHYRAENIDAE
6
0,11
CARANGIDAE BOTHIDAE/ SOLEIDAE PRIACANTHIDAE DASYATIDAE MEGALOPIDAE ARIIDAE LUTJANIDAE SCIAENIDAE CARANGIDAE LUTJANIDAE
6
0,11
5,5
0,10
5 5 4,5 4 3,5 3 1 1 1961
0,09 0,09 0,08 0,08 0,07 0,06 0,02 0,02 37
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
17
Tabel Lampiran 6. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Taufik 03 yag mewakili musim Timur No.
Nama Lokal
Nama Umum
Nama Latin
1
Bantal
Kurisi
Pristipomides typus
2
Galibu Bali
Kakap
Pinjalo pinjalo
3
Janang
Kerapu
Plectropomus sp
4
Campuran
5
Sapan
Kerapu lumpur
Epinephelus sp
6
Hiu
Hiu
Chacharhinus flavocaeruleus
7
Kakap
Kakap Merah
Lutjanus Sabae
8
Baracun
Lentjam
9
Turisi Gambolo
10
HASIL Kg
%
180
49
40
11
31,5
9
25,5
7
21,5
6
21
6
16,5
5
Lethrinus spp
7
2
Kurisi
Aphareus furca
7
2
Nanas
Sunu
Variola sp
5
1
11
Kerapu kuning
Kerapu
Epinephelus flavocaeruleus
5
1
12
Ramung
Tanda-tanda
Lutjanus vitta
3,5
1
13
Kerapu Merah
Kerapu
Chepalopholis sp
1,5
0,4
14
Kerapu bintik
Sunu
Chepalopholis miniata
1
0,3
366
100
Jumlah Tangkapan
18
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel Lampiran 7. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Taufik 03, mewakili musim peralihan 2 No.
Nama Lokal
Nama Umum
Nama Latin
HASIL kg
%
1
Galibu Bali
Kakap
Pinjalo pinjalo
110,5
43,0
2
Ramung
Tanda-tanda
Lutjanus vitta
31,5
12,0
3
Sapan
Kerapu lumpur
Epinephelus sp
30,5
12,0
4
Galibu star
Kakap
Etilis carbunculus
17
7,0
5
Bantal
Kurisi
Pristipomides typus
15
6,0
6
Kerapu bintik
Sunu
Chepalopholis miniata
10
5,0
7
Nanas
Sunu merah
Variola louti
9,5
4,0
8
Galibu
Kakap
Etilis radiosus
9
3,5
9
Baracun
Lentjam
Lethrinus spp
8,5
3,4
10
Kerapu Merah
Kerapu
Chepalopholis sp
7,5
3,0
11
Campuran
3,5
1,4
12
Bambangan
Kakap
Lutjanus bohar
2
0,8
13
Kakap
Kakap Merah
Lutjanus Sabae
2
0,8
14
Nanas
Sunu hitam
Variola albimarginata
1,5
0,6
258
100
Jumlah Tangkapan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
19
Tabel Lampiran 8. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Raisa 01, mewakili musim peralihan 2 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Lokal Galibu Bali Ramung Sapan Galibu star Turisi Gambolo Bantal Campuran Kerapu Merah Nanas Galibu Turisi Jantan Janang Kakap Baracun Jumlah tangkapan
20
Nama Umum Kakap Tanda-tanda Kerapu lumpur Kakap Kurisi Kurisi Kerapu Sunu merah Kakap Kurisi Kerapu Kakap Merah Lentjam
Nama Latin Pinjalo pinjalo Lutjanus vitta Epinephelus sp Etilis carbunculus Aphareus furca Pristipomides typus
HASIL kg % 197 46,6 58,5 13,8 53 12,5 34 8,0 17,5 4,0 14 3,0
Chepalopholis sp Variola louti Etilis radiosus Aphrion virescens Plectropomus sp Lutjanus Sabae Lethrinus spp
11,5 9 8,5 7,5 7,5 2,5 1,5 1
2,7 2,0 2,0 1,8 1,8 0,6 0,4 0,2
423
100
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel Lampiran 9. Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan perikanan pancing ulur KM Dita 01, mewakili musim peralihan 2 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Lokal Baracun Bantal
Nama Umum Lentjam Kurisi
Campuran Turisi Jantan Galibu Bali Kerapu Merah Kakap Sapan Nanas Tangka Kerapu bintik Turisi Gambolo Ramung
Kurisi Kakap Kerapu Kakap Merah Kerapu lumpur Sunu merah Lentjam Sunu Kurisi Tanda-tanda
Nama Latin Lethrinus spp Pristipomides typus
HASIL kg % 73,5 32 41 18
Aphrion virescens Pinjalo pinjalo Chepalopholis sp Lutjanus Sabae Epinephelus sp Variola louti Lethrinus rubrioperculatus Chepalopholis miniata Aphareus furca Lutjanus vitta
31,5 25 13 10 10 9 8 5 2 2 1
14 10 6 4 4 4 3 2 1 1 0,4
231
100
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
21
22
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI DAN PENANGKAPAN IKAN LAYUR (Trichiurus lepturus) DI PERAIRAN CILACAP Anthony Sisco Panggabean dan Wahyuningsih
ABSTRAK Ikan layur (Trichiurus lepturus) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang tersebar dan tertangkap di perairan Cilacap. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek biologi ikan layur dan penangkapan jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets). Pengambilan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Penelitian mengenai aspek biologi dilakukan pada bulan Maret sampai November 2013 . Hasil penelitian menunjukkan hubungan panjang - berat W = 0,003 L2,630 dengan pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif. Sebaran struktur ukuran panjang berada pada kisaran panjang 12.0 sampai 82.0 cm TL dengan modus interval panjang tertinggi 58.0 sampai 60 cm TL atau diatas pertama kali matang gonad (Lm) = 60.25 cm TL dengan panjang pertama kali tertangkap (Lc) = 52.8 dan laju eksploitasi (E) = 0.36. Perbandingan antara kelamin jantan dan betina yaitu 1 : 4.3 Tingkat kematangan gonad lebih didominasi pada kisaran TKG III sampai TKG IV dengan fekunditas berkisar 13.440 sampai 147.330 butir. Fase pemijahan musim barat terjadi pada bulan Maret sampai dengan April sedangkan pada musim timur terjadi Juli sampai dengan September. Jenis ikan layur (Trichiurus lepturus) merupakan tipe ikan karnivora dengan jenis makanan utama adalah ikan dan udang. Umumnya penangkapan dilakukan secara harian dengan daerah tangkapan yang berada disekitar perairan pantai Cilacap (kurang dari 4 mil) sesuai dengan kemampuan armada tangkap serta diperkirakan habitat ikan yang berada di pesisir pantai. Kata Kunci : Layur, Aspek biologi, Operasional penangkapan, Perairan Cilacap
ABSTRACT Layur fish (Trichiurus lepturus) is one of the economically important demersal fish species were caught in the Cilacap waters. This study was conducted to determine some aspects of fish biology and caught by monofilament drift gill nets. Data collection was performed at Fishery Port Ocean (PPS) Cilacap. The research of biological aspects wre done in March to November 2013. The results showed a long relationship - weight W = 0.003 L2,630 the allometric
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
23
growth pattern is negative. Distribution of structure length in between of 12.0 to 82.0 cm total length with the highest long-mode between 58.0 to 60 cm above the first long of gonads mature (Lm) = 60.25 cm TL with a long first caught (Lc) = 52.8 TL and the rate of exploitation (E) = 0:36. Comparison between male and female is 1: 4.3. Level of gonad maturity were dominated between gonad maturity levelTKG III to IV with fecundity ranging from 13,440 to 147,330 eggs. Phase west spawning season occurs in March to April, while in the east of the season occurs in July to September. Layur fish (Trichiurus lepturus) is a carnivorous fish type with a kind of main food is fish and shrimp. Generally arrests are made daily with the catchment area and is now around Cilacap coastal waters (less than 4 miles) in accordance with the ability of fishing fleets and fish habitat are expected to be on the coast. Keywords : Layur fish, biological aspects, caught operational, Cilacap waters
PENDAHULUAN Salah satu potensi perikanan yang terdapat di perairan Cilacap adalah ikan layur yang merupakan salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia dan merupakan salah satu sumberdaya perikanan ekonomis penting yang tertangkap di perairan Cilacap. Ikan ini termasuk ke dalam kelompok ikan demersal komersial kedua di bawah ikan komersial utama seperti kerapu (Serranidae), bawal putih (Pampus spp.), dan manyung (Ariidae) (Dwiponggo dkk. 1991) Perairan dengan dasar yang relatif rata dan berlumpur dengan salinitas yang relatif rendah biasanya merupakan habitat ikan layur. Dari beberapa pengamatan tentang sebaran ikan layur di pantai Selatan Jawa diperoleh informasi bahwa ikan layur di Teluk Pelabuhan Ratu Binuangeun dan Cilacap tertangkap pada perairan pantai di sekitar muara-muara sungai yang relatif dangkal. Pada saat ini terdapat tiga jenis ikan layur yang berada di perairan Indonesia, yaitu Eupluerogrammus muticus, Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala. Perikanan layur di perairan Cilacap sangat didominasi oleh jenis Trichiurus lepturus atau dikenal dengan nama largehead hairtail. Secara umum kegiatan penangkapan ikan layur terus mengalami peningkatan baik dari segi upaya tangkap (effort) maupun hasil tangkapan. Penangkapan yang dilakukan di perairan Cilacap dilakukan dengan mempergunakan alat tangkap jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets). Pengamatan aspek biologi dan penangkapan dilakukan pada perikanan jaring insang monofilament yang beroperasi di perairan Cilacap dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi (hubungan panjang berat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, panjang pertama kali matang gonad, fekunditas dan
24
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
kebiasaan makan) serta aspek penangkapan (armada tangkap, jenis alat tangkap dan komposisi hasil tangkapan) ikan layur (Trichiurus lepturus) yang diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut di perairan Cilacap dan sekitarnya . BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cilacap (Gambar 1) dan pengambilan data ukuran panjang berat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad dan fekunditas dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Penelitian mengenai aspek biologi dilakukan pada bulan Maret, April, Juli dan Oktober 2013, sedangkan untuk data dukung panjang dan berat ikan diukur dimulai dari bulan Maret sampai November 2013 . 7
0°
1°
2°
3°
4°
5°
6°
7°
8°
9°
10°
11°
114°
116°
118°
120°
Lintang selatan
7.5
8
8.5
Samudera hindia 9 107 107
107.5 107.5
108
108.5.
108
108.5
109.109
109.5
Bujur timur
Gambar 1. Lokasi penelitian
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
25
Pengumpulan Data Sampel ikan layur (Trichiurus lepturus) diperoleh dari hasil tangkapan alat jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets) yang didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Sampel ikan diukur panjang (dengan ketelitian 1 cm) dan beratnya (dengan ketelitian 1 g).
Analisis data Hubungan panjang - berat Analisis hubungan panjang – berat ikan dilakukan dengan mengugunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972 : Jennings et al 2001)
dimana: W = berat ikan (gram) L = panjang ikan (mm) a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang berat dengan sumbu Y) b = kemiringan (slope).
Nilai b sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan antara panjang dan berat dimana: - Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat) - Nilai b > 3, merupakan hubungan allometrik positif (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang) - Nilai b < 3, merupakan hubungan allometrik negatif (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis (Steel and Torie, 1993 dalam Effendie, 1997) Nisbah Kelamin Persamaan yang digunakan untuk menghitung nisbah kelamin adalah sebagai berikut : NK = Nbi / Nji dimana : NK Nbi Nji
26
= nisbah kelamin = Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke – i = Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke - i
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Analisis tingkat kematangan gonad (TKG) Analisis tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan untuk mengetahui masa pemijahan. Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan secara morfologis yaitu dilihat dari bentuk, panjang, bobot, warna dan perkembangan gonad menurut fase perkembangannya. Perkembangan gonad dibagi menjadi lima tingkatan (Effendie, 1997) (Tabel 1). Pengukuran diameter telur dilakukan dengan mempergunakan mikroskop pada perbesaran 4 x 10 yang dilengkapi dengan mikrometer. Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan betina dengan metode morfologis Tingkat I II III IV V
Keterangan ovari seperti benang, panjangnya sampai kedepan rongga tubuh, warna jernih atau transparan dan butir telur belum kelihatan ukuran ovari lebih besar, berwarna gelap kekuning-kuningan, butir telur mulai terlihat tetapi belum jelas ovari berwarna kuning, butir telur sudah dapat diamati secara visual ovari makin besar, telur berwarna kuning, butir telur mudah dipisahkan, mengisi 50-60% rongga perut ovari berkerut habis memijah, dinding tebal dan butir telur sisa tertdapat didekat pelepasan. Pada stadium ini perkembangan ovary kembali seperti pada stadium II
Panjang pertama kali matang gonad (Lm), tertangkap (Lc) dan laju eksploitasi (E) Ukuran pertama kali matang gonad dihitung menggunakan persamaan Sparre and Venema telah dikembangkan oleh Finney (1971) sebagaimana diacu Saputra (2009)
m = xk + d/2 – (d. Ʃ Pi)
dimana : m = logaritma dari kelas panjang pada kematangan pertama d = selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang k = jumlah kelas panjang xk = logaritma nilai tengah panjang dimana ikan 100% matang gonad (atau dimana Pi = 1)
Mengantilogkan persamaan di atas, maka Lm dapat diduga.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
27
Fekunditas Penghitungan fekunditas dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik (Effendie, 1997) yaitu dengan cara menimbang gonad atau telur. F = (G/Q) x N ……………………………………………………(2) dimana : F : jumlah total telur dalam gonad (fekunditas) G : bobot gonad tiap satu ekor ikan Q : bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan N : jumlah telur dari contoh gonad
Kebiasaan makan Untuk mengetahui jenis makanan ikan layur maka dilakukan analisa isi lambung. Analisa isi lambung dilakukan dengan melakukan penghitungan index of preponderance (IP). Kategori makanan utama apabila IP > 25%, makanan pelengkap IP 4 sampai 25% dan makanan tambahan IP < 4% (Bal and Rao, 1984). IP = Vi . Fi x 100% ∑ Vi . Fi
………………………………………(3)
dimana : IP : index of preponderance Vi : % volume satu macam makanan Fi : % frekuensi kejadian satu macam makanan ∑ Vi Fi : jumlah Vi x Fi dari semua macam makanan
HASIL DAN BAHASAN Hubungan panjang – berat dan struktur ukuran panjang Pengolahan data hubungan panjang - berat terhadap jenis – jenis ikan sangat diperlukan dalam manajemen perikanan yaitu untuk menentukan selektivitas alat agar ikan-ikan nontarget (ikan-ikan yang ukurannya tidak dikehendaki) tidak ikut tertangkap (Vanichkul dan Hongskul, 1966 dalam Andy Omar, 2003). Pengamatan hubungan panjang berat ikan akan memberikan informasi tentang pola pertumbuhan, morfologi tubuh sehingga akan dapat diketahui pertumbuhan ikan tersebut bersifat memanjang atau membesar dan batas ukuran ikan dalam kategori ikan muda atau dewasa. Analisa hubungan panjang berat ikan layur (Trichiurus lepturus) dilakukan pada bulan Maret sampai November 2013 dengan jumlah (n) = 1766. (Gambar 2)
28
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. Hubungan panjang bobot ikan layur Pola pertumbuhan berdasarkan pada hubungan panjang berat ikan layur secara keseluruhan dari bulan Maret sampai November 2013 menunjukkan nilai tangent sudut regresi (b) = 2,630 yang berarti (b < 3) sehingga bersifat allometrik negatif yaitu pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat dengan koefisien korelasi (r) = 0.86. Dari hasil uji t terhadap jenis T. lepturus menunjukkan bahwa thitung > ttabel yang berarti pola pertumbuhan adalah allometrik negatif. Hasil penelitian Widiyanto (2007) menyatakan bahwa pola hubungan antara panjang dan berat ikan layur (Trichiurus lepturus) di perairan Palabuhanratu bersifat allomatrik negatif dengan nilai b = 2.51 untuk kelamin betina, b = 2.83 untuk kelamin betina dan b = 2,79 untuk keseluruhan ikan layur sedangkan hasil penelitian Kwok dan Ni (2000) yang mengukur hubungan panjang-berat ikan layur Trichiurus lepturus dari Laut China Selatan mendapatkan nilai konstanta b (disebut juga faktor kondisi) = 2.57 untuk ikan jantan, b = 2.55 untuk ikan betina dan b = 2.56 untuk ikan gabungan jantan dan betina. Pola hubungan panjang berat diduga berkaitan dengan tingkat kematangan gonad jenis ikan tersebut dikarenakan adanya perbedaan perkembangan gonad. Menurut Effendie (1997) bahwa pertumbuhan gonad ikut meningkatkan berat total ikan sehingga dapat mempengaruhi nilai faktor kondisi dan juga nilai b. Distribusi struktur panjang diperlukan untuk mengkonversi secara statistik hasil tangkapan dalam berat ke jumlah ikan, untuk menduga besarnya populasi, dan untuk menduga laju kematiannya (Bayliff, 1966 dalam Andy Omar, 2003). Hasil pengamatan struktur panjang ikan layur (Trichiurus lepturus) yang didaratkan berada pada kisaran 12.0 sampai 82.0 cm TL dengan modus panjang pada kisaran 58.0 sampai 60.0 cm TL (Gambar 3).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
29
Gambar 3. Struktur ukuran panjang ikan layur Berdasarkan hasil penelitian Herianti et al., (1992) mengenai pendugaan parameter biologi ikan layur (T. lepturus) di perairan Utara Tuban-Lamongan, Jawa timur diperoleh kisaran panjang total berkisar antara 200 sampai 830 mm dengan panjang rata-rata 480 mm sedangkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Palabuhanratu didapatkan kisaran panjang total lebih luas yaitu antara 270 sampai 997 mm. Adanya perbedaan penggunaan selektivitas alat tangkap yang digunakan dan tekanan penangkapan diduga merupakan penyebab perbedaaan ukuran ikan hasil tangkapan. Pertambahan panjang ikan layur tidak seimbang dengan pertambahan beratnya hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, yaitu faktor luar dan faktor dalam serta ada yang dapat dikontrol dan tidak dapat dikontrol. Faktor luar meliputi kondisi lingkungan, jenis makanan dan jumlah makanan yang tersedia. Sedangkan faktor dalam diantaranya umur, ukuran ikan dan perbedaan pola pertumbuhan (Effendie, 1997).
Nisbah Kelamin Definisi dari nisbah kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah individu jantan dengan betina dalam suatu populasi dan untuk penentuan nisbah kelamin dilakukan untuk mengetahui populasi ikan dalam mempertahankan kelestariannya. Penentuan nisbah kelamin pada jenis ikan layur (Trichiurus lepturus) dapat digunakan sebagai indikator proses rekrutmen, pertumbuhan dan perkembangan dialam. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan perbandingan antara kelamin jantan dan betina yaitu 1 : 4.3 (Gambar 4).
30
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4. Nisbah kelamin ikan layur Berdasarkan pada gambar 4 diduga bahwa jenis ikan layur yang tertangkap di perairan Cilacap lebih didominasi oleh kelamin betina yang artinya keseimbangan ratio kelamin jantan dan betina tidak seimbang. Menurut Bal and Rao (1984) disuatu perairan yang normal diperkirakan perbandingan jantan : wanita yaitu 1 : 1 sedangkan Wahyuono et al dalam Widiyanto (2008) menyatakan apabila jantan dan betina seimbang atau betina lebih banyak dapat diartikan bahwa populasi tersebut ideal untuk mempertahankan kelestarian, sebaliknya apabila jantan lebih banyak dari betina dapat diartikan bahwa populasi tersebut tidak ideal untuk mempertahankan kelestarian atau cenderung punah. Berdasarkan perbandingan kelamin tersebut menunjukkan bahwa jenis ikan layur betina lebih banyak tertangkap di perairan Cilacap dan hal ini dapat mengindikasikan bahwa jumlah individu betina di alam cenderung lebih besar dibandingkan jantan atau ikan betina lebih mudah tertangkap dibandingkan ikan jantan apabila diasumsikan perbandingan populasi betina dan jantan yang berada di alam sama. Maka dapat diasumsikan bahwa ikan betina cenderung lebih rentan terhadap ancaman kepunahan dibanding ikan jantan apabila mengalami tekanan penangkapan karena ikan betina lebih mudah tertangkap dan memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk bereproduksi sehingga proses rekruitment tidak akan terjadi.
Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie, 1997). Penentuan tingkat kematangan gonad sangat penting dilakukan karena sangat berguna untuk mengetahui perbandingan antara gonad yang matang dengan stok yang ada di perairan, musim pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu siklus. Hasil pengamatan untuk TKG jenis ikan layur (Trichiurus lepturus) yang didaratkan Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
31
di Pusat Pendaratan Ikan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap menunjukkan 5 tingkatan kematangan gonad yaitu I, II, III, IV dan V (Gambar 5).
Gambar 5. Tingkat Kematangan Gonad ikan layur Jenis ikan layur (Trichiurus lepturus) betina yang paling dominan didaratkan dari hasil tangkapan jaring insang hanyut monofilament berada pada kisaran TKG III sampai IV dan tingkat
kematangan gonad tersebut merupakan target pengamatan untuk mengetahui ikan yang siap memijah. Berdasarkan pada gambar 5 diduga fase pemijahan ikan layur pada musim barat berada pada bulan Maret sampai April dan musim timur terjadi pada bulan Juli sampai September. Hasil penelitian Ambarwati (2008) menyatakan bahwa peningkatan kematangan gonad II sampai IV ikan layur (Trichiurus lepturus) terjadi pada bulan Juli sampai November. Disamping itu juga Bal dan Rao (1984) menyatakan bahwa munculnya anak-anak ikan layur terjadi pada bulan Juli sampai November yang berarti menunjukkan bahwa kemungkinan populasi ikan layur (Trichiurus lepturus) sedang memijah. Menurut Dahuri (2001) bahwa informasi mengenai tingkat kematangan gonad dapat dipergunakan untuk mengetahui waktu dan musim pemijahan yang tepat sehingga dapat dipergunakan dalam pengaturan dan pengelolaan penangkapan perikanan disuatu wilayah.
32
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Panjang pertama kali matang gonad (Lm), tertangkap (Lc) dan laju eksploitasi (E) Perkembangan gonad pada ikan secara umum terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap pematangan (pertambahan bobot gonad) dan untuk pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat matang gonad dapat mencapai 10 sampai 25% dari bobot tubuh dan semakin meningkat tingkat kematangan gonad maka diameter telur yang ada dalam gonad akan semakin membesar (Lagler et al, 1977). Untuk menghitung ukuran ikan pertama kali matang gonad diasumsikan bahwa ikan mulai matang gonad pada tingkat kematangan gonad IV. Hasil analisis ukuran pertama kali matang gonad ikan layur betina memiliki rata – rata ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah 60.25 cm TL dan berkisar antara 58.45 sampai 62.11 cm TL. Berdasarkan penelitian Martins dan Haimovici (2000) bahwa panjang total rata-rata ukuran ikan layur pertama kali matang gonad adalah 63,9 cm untuk jantan dan 69,3 cm untuk betina sedangkan Kwok (1999) diperoleh informasi bahwa ikan layur (Trichiurus lepturus) jantan di Perairan Laut Cina Selatan memiliki koefisien pertumbuhan yang lambat daripada ikan betinanya dan ikan betina ditemukan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Adanya perbedaan panjang matang gonad pada jenis ikan yang sama dapat disebabkan oleh faktor – faktor yang mempengaruhinya seperti faktor luar (eksternal) yaitu suhu dan arus, sedangkan faktor dalam (internal) yaitu perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat – sifat fisiologis ikan tersebut seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan.
Hasil pengamatan terhadap ukuran ikan layur (Trichiurus lepturus) pada pertama kali tertangkap (Lc) menunjukkan ukuran Lc = 52.8 cm (gambar 6) yang berarti bahwa nilai Lc < Lm (52.8 cm < 60.25 cm) yang berarti kondisi ikan layur (Trichiurus lepturus) sudah mengalami eksploitasi yang berlebih sehingga diduga tidak dapat melangsungkan proses rekruitment. Laju eksploitasi merupakan indeks yang menggambarkan tingkat pemanfaatan stok sumberdaya di suatu perairan. Terkait dengan tingkat pemanfaatan ikan layur (Trichiurus lepturus) di perairan Cilacap termasuk dalam tingkat pemanfaatan yang masih bisa dimanfaatkan secara optimal. Laju eksploitasi (E) ikan layur (Trichiurus lepturus) menunjukkan sebesar 0,36 pertahun. Nilai laju eksploitasi (E) tersebut apabila dikorelasikan dengan nilai batas optimum pemanfaatan lestari yaitu 0,5 maka sudah mulai mendekati batas optimum pemanfaatan lestari sehingga perlu proses kehati – hatian dalam pemanfaatan yang berkelanjutan. Apabila laju eksploitasi semakin meningkat maka ada kemungkinan potensi sumberdaya ikan layur akan mengalami proses degredasi untuk masa – masa berikutnya.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
33
Gambar 6. Pendugaan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan layur (Trichiurus lepturus) Fekunditas Pengamatan fekunditas (jumlah telur yang dihasilkan dalam pemijahan) secara tidak langsung dapat dipergunakan untuk memperkirakan banyaknya ikan yang dihasilkan (Effendie, 1997). Fekunditas adalah dasar untuk mengetahui potensi reproduksi dan ukuran stok serta mengetahi jumlah telur yang akan menetas dari induk. Hasil pengamatan 34 sampel gonad ikan betina pada TKG III sampai IV diperoleh fekunditas berkisar 13.440 sampai 147.330 butir dengan rata-rata 57.817 butir telur (tabel 2).
34
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel 2. Fekunditas telur ikan layur
TKG
III
IV
April 56,012 49,856 48,480 13,260 50,960 37,560 14,652 21,658 53,136 28,070
Fekunditas (butir) pada bulan Juli 24,346 40,872 13,440 24,960 37,118 41,006 55,942 46,706 84,480 74,226 13,440
Oktober 99,160 147,330 74,460 112,716 122,616 24,096 33,640 38,570 41,349 74,460 112,716 122,616
Fekunditas terendah diperoleh dari panjang ikan 64.0 cm TL dengan fekunditas 13.440 butir dan tertinggi pada panjang 65.0 cm TL dengan fekunditas 147.330 butir. Hasil penelitian Ball dan Rao (1984) menyatakan bahwa fekunditas ikan layur T. lepturus berkisar antara 4000 sampai 16.000 butir pada panjang ikan 42 sampai 60 cm sedangkan Martins dan Haimovici, (2000) menyatakan bahwa fekunditas telur T. lepturus di ekosistem utama subtropis Brazil bagian selatan berkisar dari 3.917 sampai 154.216 pada ikan contoh yang memiliki panjang total 70 sampai 141 cm namun jumlah pemijahan pada tiap musim belum dapat ditentukan Menurut Effendie (1997), fekunditas sering dihubungkan dengan panjang karena penyusutannya relatif kecil dibandingkan dengan berat. Jika fekunditas dengan panjang ikan dikorelasikan maka terlihat regresi seperti pada Gambar 7.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
35
Gambar 7. Hubungan antara fekunditas dan panjang ikan Berdasarkan hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L) diperoleh nilai koefisien korelasi (r) antara panjang dengan fekunditas adalah 0.32 sehingga menunjukkan hubungan yang linear antara fekunditas dan panjang ikan artinya terdapat korelasi antara fekunditas dan panjang ikan, namun keeratan korelasinya rendah. Hal ini membuktikan bahwa ukuran panjang ikan tidak menentukan fekunditas, hal ini diduga karena ikan -ikan yang tertangkap kemungkinan ikan – ikan yang sudah dewasa dan sudah mencapai ukuran panjang maksimum dan juga bukan baru pertama kali memijah. Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1 maka terdapat hubungan liniear yang kuat antara kedua variable (Walpole, 1993).
Kebiasaan makan Kebiasaan makanan (food habits) merupakan kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sebagai komponen dari lingkungan, makanan merupakan faktor penentu bagi jumlah populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan disuatu perairan. Keberadaan bahan makanan memiliki arti penting yaitu sebagai bagian dari rantai makanan (food chain) yang mendukung kelangsungan hidup jenis ikan tersebut. Jenis ikan layur mempunyai perilaku hidup di perairan dangkal dekat pantai yang kaya akan plankton dan krustase, mendekat ke dasar perairan dan termasuk jenis ikan “voracious” atau sangat rakus sehingga dalam suatu komunitas tertentu dapat menjadi top predator. Perairan dengan dasar yang relatif rata dan berlumpur dengan 36
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
salinitas yang relatif rendah merupakan habitat yang baik untuk kehidupan jenis ikan tersebut Pengamatan isi lambung mengambarkan pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan layur sehingga akan diketahui bahwa jenis ikan tersebut termasuk dalam tipe ikan karnivora atau tidak. Hasil analisa isi lambung menunjukkan bahwa jenis makanan yang paling dominan terdapat di isi lambung ikan layur yaitu potongan ikan dan udang (gambar 8).
Gambar 8. Index of preponderance isi lambung ikan layur Berdasarkan hasil penghitungan index of preponderance (IP) menunjukkan ikan bilis (Thryssa hamiltonii) = 33.86%, ikan belanak (Valamugil seheli) = 21.43%, ikan tembang (Dussumieria acuta) = 11.12% dan udang (Penaues sp) = 32.71%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis makanan utama ikan layur (Trichiurus lepturus) adalah ikan bilis (Thryssa hamiltonii) dan udang (Penaues sp) karena berdasarkan nilai IP berada diatas 25% sedangkan jenis makanan pelengkap yaitu ikan belanak (Valamugil seheli) dan ikan tembang (Dussumieria acuta) karena nilai IP berada antara 4 sampai 25% sehingga dapat dikatakan bahwa jenis ikan layur (Trichiurus lepturus) termasuk tipe ikan karnivora. Hasil penelitian Fitri, 2008 menyatakan bahwa makanan utama dari ketiga spesies ikan layur (L. savala, T. lepturus dan G. serpens) adalah kelompok ikan dan Rochmawati (2004) menyatakan bahwa ikan layur termasuk dalam jenis ikan peredator, karnivor dan cenderung kanibal.
Aspek Penangkapan Armada tangkap yang menjadi target penelitian yang mempergunakan alat tangkap jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets) yang beroperasi harian (Gambar 9).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
37
Gambar 9. Armada tangkap jaring insang hanyut monofilament Alat tangkap jaring jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets) merupakan alat tangkap yang paling dominan untuk menangkap ikan layur di perairan Cilacap. Klasifikasi alat tangkap tersebut termasuk dalam tipe alat tangkap jaring insang (gill nets). Gillnet termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1988). Perkembangan armada dan alat tangkap tersebut semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga akan mempengaruhi hasil tangkapan atau produksi. Aktifitas penangkapan ikan layur diperairan Cilacap dilakukan sepanjang tahun dengan hasil tangkapan yang bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi perairan. Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Juli sampai dengan Oktober. Operasional penangkapan dilakukan secara harian (one day fishing) dengan daerah tangkapan (fishing ground) di daerah pesisir (kurang dari 4 mil) Spesifikasi armada dan alat tangkap tangkap jaring jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets) di perairan Cilacap seperti pada Tabel 2. Tabel 2 . Spesifikasi armada dan alat tangkap
Alat Tangkap
Bodi Kapal P L T (m) (m) (m)
Jaring insang h a n y u t monofilament 9 (monofilament drift gillnets)
1
0.6
Mess size
2 inch
Mesin
GT
Bahan
ABK
Palka
Yamaha 15 pK
<5
Kayu
2 org 1
Daerah tangkap
Hari Operasi
Lintang 05o – 07o
harian
Komposisi Hasil Tangkapan dan Laju Tangkap Komposisi hasil tangkapan jaring insang hanyut monofilament (monofilament drift gill nets) pada bulan April diperoleh 7 jenis ikan yang didominasi oleh ikan layur (Trichiurus 38
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
lepturus) sebagai target utama penangkapan sebesar 31.33% dan ikan tenggiri (Scomberomorus lineolatus) sebesar 18.07% dari total hasil tangkapan 41.5 kg. (Gambar 10).
Gambar 10. Komposisi hasil tangkapan pada alat tangkap jaring insang hanyut monofilament bulan Agustus 2013. Sedangkan pada bulan Oktober, komposisi hasil tangkapan diperoleh 8 jenis ikan yang juga didominasi oleh ikan layur (Trichiurus lepturus) sebagai target utama penangkapan sebesar 26.77% dan ikan tenggiri (Scomberomorus lineolatus) 13.39% dari total tangkapan sebanyak 63.5 kg (Gambar 11)
Gambar 11. Komposisi hasil tangkapan pada alat tangkap jaring insang hanyut monofilament bulan Oktober 2013. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
39
Laju tangkap umumnya menjadi tanda dari kelimpahan sumberdaya ikan di suatu perairan. Laju tangkap dapat terukur dari aspek waktu, yaitu jumlah tangkapan dari panjang durasi trip penangkapan sampai jumlah tangkapan per hari atau per jam. Tiap armada atau tiap alat tangkap memiliki sifat tersendiri dalam hal kapasitas tangkapan per waktu, dimana sifat tersebut juga sangat ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya ikan pada waktu tertentu. Hasil pengamatan laju tangkap pada armada tangkap jaring insang hanyut monofilament mengalami fluktuasi terhitung dari bulan April – Oktober (Gambar 12).
Gambar 12. Laju tangkap armada jaring insang hanyut monofilament perbulan Pada gambar 12 menunjukkan bahwa perkembangan laju tangkap mengalami penurunan pada bulan Mei - Agustus akan tetapi mulai mengalami peningkatan kembali pada bulan Agustus – Oktober dengan laju tangkap rata – rata yaitu 10.53 kg/trip dan nilai laju tangkap yang paling tinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 16.16 kg/trip. Adanya proses peningkatan laju tangkap dari bulan Agustus – Oktober dikarenakan terjadinya peralihan nelayan jaring insang dasar bulanan ke alat tangkap jaring insang monofilament harian. Peralihan tersebut dikarenakan pada bulan Agustus - Oktober kondisi alam atau cuaca tidak mendukung untuk pengoperasian armada tangkap jaring insang dasar.
40
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
CPUE CPUE dapat dianggap sebagai indeks kelimpahan ikan dan sebagai indikator apakah kelimpahan ikan masih baik, atau seberapa jauh telah menipis. Perhitungan CPUE juga dilakukan dengan mengumpulkan data-data produksi yang dikumpulkan dari instansi yang terkait dalam hal ini Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Hasil pengolahan data CPUE ikan layur berdasarkan alat tangkap jaring insang monofilament dilakukan pada data produksi selama 5 tahun terakhir. (Gambar 13).
Gambar 13. CPUE ikan layur berdasarkan alat tangkap jaring insang hanyut monofilament Nilai CPUE pada alat tangkap jaring insang hanyut monofilamen mengalami penurunan dari 2703.16 kg/trip (tahun 2008) menjadi 760.80 kg/trip (tahun 2010) dan meningkat kembali menjadi 2490.67 kg/trip (tahun 2011) . Diduga pada tahun 2009 terjadi peralihan penggunaan alat tangkap dari jaring insang hanyut monofilament yang beroperasi secara harian ke alat tangkap jaring insang dasar yang beroperasi secara bulanan sehingga upaya penangkapan mengalami penurunan pada tahun 2010.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
41
KESIMPULAN Pola pertumbuhan ikan layur (Trichiurus lepturus) bersifat allometrik negatif dan perbandingan kelamin didominasi oleh ikan betina. Fekunditas ikan layur berkisar 13.440 – 147.330 dan fase pemijahan terjadi pada bulan Maret dan April (musim barat) dan bulan Juli – September (musim timur). Ikan layur merupakan jenis ikan karnivora dan penangkapan ikan layur dilakukan secara harian di sekitar perairan pantai (lebih kurang 4 mil). Indikator – indikator biologi menunjukkan bahwa status pemanfaatan ikan layur masih terjaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, D.V.S. 2008. Studi Biologi Produksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Di Perairan PalabuhanRatu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Asmawati. 2000. Hubungan Panjang dan Berat Ikan Pepetek (Leiognathus splendens). Hasil Tangkapan Trawl Di Perairan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Pasir. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Mulawarman. Samarinda. Andy Omar, S.B. 2003 Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.Makasar. Bal, D. V. dan K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 250 hal.
Bal, D.V. and K.V. Rao. 1990. Marine Fisheries of India. New Delhi: McGraw Hill Publishing Company Limited. 475 pp. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, & Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. 292 hlm. Dwiponggo, A, M. Badruddin, D. Nugroho dan Sriyono. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Demersal. Direktorat Jenderal Perikanan Puslitbang Perikanan. POLIPI. Jakarta. Effendie, I. M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Fitri, W. S. 2008. Studi Kebiasaan Makanan Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Di Perairan Palabuhan Ratu. Kabupaten Sukabumi. Jawa Barat Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Herianti, M.D.M Pawarti dan T. Suhendrata. 1993. Pendugaan Parameter Biologi Ikan Layur (Trichiurus lepturus) Di Perairan Utara Tuban - Lamongan, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 75, hal 11- 19. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
42
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Kwok, K.Y., and I-Hsun Ni. 2000. Age and Growth of Cutlassfishes, Trichiurus spp., from the Soth China Sea. Fisheries Bulletin 98: 748-758. Lagler K.F. 1970. Freshwater fishery biology, 2nd ed. WM. C. Company Publisher. Dubuque, Iowa, USA. 421 p. Martins, A.S. dan M. Haimovici. 2000. Reproduction of The Cutlassfish Trichiurus lepturus In The Southern Brazil Subtropical Convergence
Rochmawati. 2004. Perbedaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Layur Dengan Pancing Ulur di Perairan Prigi Kabupaten Trenggalek (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Saputra, S.W., P. Soedarsono & G.A. Sulistyawati. 2009. Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus spp) di perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (1) : 1-6. Sparre, P. & S. C. Venema. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Terjemahan) : Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 pp. Subani, W dan H. P. Barus. 1998. Alat tangkap ikan laut dan udang di perairan Indonesia. Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perikanan Laut No. 50. Departemen Pertanian. 248 hal Wahyuono, H., S. Budihardjo., Wudiyanto, & R. Rustam .1983. Pengamatan parametyer biologi beberapa jenis ikan demersal di perairan Selat Malaka, Sumatera Utara. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 26 : 29 – 48. Walpole R.E. 1993. Pengantar statistika, Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hlm. Widiyanto NI. 2008. Kajian pola pertumbuhan dan ciri morfometrik-meristik beberapa spesies ikan layur (superfamili Trichiuroidea) di Perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm. Wojciechowski, J. 1972. Observation On Biology of Cutlassfish Trichiurus lepturus L. (Trichiuroidae) of Mauritania Shelf. Journal Acta
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
43
44
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
ASPEK BIOLOGI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN SWANGGI (Priacanthus macracanthus) DI PERAIRAN PALABUHANRATU JAWA BARAT Nur’ainun Muchlis1) dan Pustika Ratnawati1) 1
)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta email :
[email protected]
ABSTRAK Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) adalah salah satu komoditas perikanan di beberapa tempat di wilayah perairan Pulau Jawa. Permintaan ikan swanggi semakin meningkat setiap tahunnya, karena tingginya tingkat permintaan masyarakat dan menjadi salah satu komoditas ekspor, sehingga ikan ini banyak ditangkap untuk dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek pemijahan dan kebiasaan makan ikan swanggi. Persamaan hubungan panjang berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di perairan Palabuhanratu umumnya pertumbuhan bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Perbandingan jenis rasio kelamin ikan swanggi di perairan Palabuhanratu, dimana ikan betina lebih dominan ditemukan dibandingkan ikan jantan. Tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina menyebar dari fase TKG 1 - TKG 5. Fase menuju pemijahan dapat diasumsikan mulai masuk pada bulan Maret dengan adanya TKG 3-4, mulai terjadi pemijahan hingga menuju puncak pada bulan Agustus. Ikan swanggi yang sudah mencapai matang gonad memiliki panjang rata-rata diatas 20 cm FL. Nilai ini sesuai dengan perhitungan nilai pertama kali matang gonad (Lm) yaitu 20,82 cm FL. Nilai fekunditas ikan swanggi yang diamati berkisar antara 4600-112084 butir dengan panjang kisaran minimum 21-25cm FL. Hasil pengamatan isi lambung jenis makanan dominan adalah udang dan ikan hancur yang sudah tidak teridentifikasi jenisnya, kedua jenis ini dijumpai pada setiap bulan pengamatan, adapun makanan tambahan yang ada di dalam isi lambung adalah cumi-cumi, kepiting dan udang rebon. Kata kunci : Aspek biologi, kebiasaan makan, swanggi, Palabuhanratu PENDAHULUAN Palabuhanratu memiliki karakteristik perairan dalam yang posisinya langsung berhadapan dengan Samudera Hindia (Indian Ocean) dengan dasar laut pantai yang curam berkisar antara 3 - 200 m, sehingga jenis ikan yang didaratkan di wilayah ini sangatlah beragam
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
45
dari ikan pelagis hingga jenis kerang-kerangan. Sumberdaya perikanan demersal juga banyak didaratkan di palabuhanratu seperti jenis layur, kakap, kerapu, swanggi, pari,dan lain-lain. Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal di wilayah Palabuhanratu didominasi oleh alat tangkap jenis pancing, seperti pancing ulur (handline) dan jaring rampus (shrimp entangling gill net), dimana hasil tangkapan utama pancing berupa ikan layur dengan jenis layur meleu (Trichiurus lepturus). Tidak hanya jenis ikan layur saja, beberapa jenis ikan ekonomis penting sepeti swanggi juga didaratkan. Ikan swanggi yang didaratkan umumnya tertangkap oleh alat tangkap pancing dan jaring rampus. Jenis ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) merupakan ikan yang bisa hidup hingga kedalaman lebih dari 50 m. Ikan swanggi juga menjadi salah satu komoditas perikanan di beberapa tempat di wilayah perairan Pulau Jawa. Data perikanan PPN Palabuhanratu dari tahun 2007-2011, produksi ikan swanggi berkisar antara 5-10 ton/tahun, tetapi pada tahun 2010 produksi ikan swanggi meningkat hingga hampir mencapai angka 60 ton/tahun (Sumber: PPN Palabuhanratu). Permintaan ikan swanggi semakin meningkat setiap tahunnya, dikarenakan tingginya tingkat permintaan masyarakat dan merupakan salah satu komoditas ekspor, sehingga ikan ini banyak ditangkap untuk dimanfaatkan. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dapat memicu terjadinya kondisi lebih tangkap (over fishing). Kegiatan penangkapan yang sesuai dengan daya dukung dapat menjamin kelestarian dengan didukung informasi mengenai musim dan aspek yang berhubungan dengan pemijahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi dan kebiasaan makan ikan swanggi, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberikan informasi dalam pengelolaan secara berkesinambungan untuk menjaga kelestarian ikan swanggi. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh ikan swanggi dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di wilayah PPN Palabuhanratu, Sukabumi-Jawa Barat (Gambar 1), yang dimulai pada Januari – November 2013. Analisis biologi dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut – Jakarta.
46
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel Ikan di TPI PPN Palabuhanratu Pengumpulan Data Contoh ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) diperoleh dari hasil tangkapan pancing dan jaring rampus. Data biologi diambil dari sampel gonad dan isi lambung ikan swanggi yang diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10% dan gilson. Analisis Data 1. Hubungan Panjang Berat Hubungan panjang – berat dianalisa dengan model persamaan Hile (1936) dalam Effendie (1997) sebagai berikut : W = aLb …………………………………………..…………………. (1)
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
47
Dimana :
W = berat ikan (gram)
L = panjang ikan (cm)
a,b = konstanta
Dari persamaan di atas dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan berat ikan tersebut. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan apakah polanya isometrik atau allometrik.
2. Nisbah kelamin Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan swanggi jantan dengan jumlah ikan swanggi betina dengan menggunakan uji chi-square (Steel dan Torrie, 1993) dengan rumus :
dimana ; Oi
= Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina;
ei
= Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1;
k
= kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang ditemukan.
3. Tingkat kematangan gonad (TKG) TKG diamati secara visual dengan cara melihat perubahan morfologi gonad serta pengamatan histologi dengan metode parafin dan pewarnaan hematoxylin- eosin. Perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium berdasarkan klasifikasi Kuo et al. (1974), yaitu stadium I (oosit primer mempunyai khromatin nukleolus dan perinukleolus); stadium II (terdapat vesikel pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi) dan stadium V (disebut stadium atretis). 4. Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan Effendie (1997),
48
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
5. Fekunditas dan diameter telur Penghitungan fekunditas ikan swanggi dilakukan dengan mengambil gonad ikan swanggi yang sudah mencapai TKG III dan IV. Pengukuran ukuran diameter dan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 4x10. Dalam penelitian ini contoh telur seberat 0.5 gram kemudian diteliti sebaran ukuran telur dan jumlah telurnya. Fekunditas dihitung secara gravimetri dengan rumus dimana : F = fekunditas; G = berat gonad; Q = berat telur contoh (0.5 gram). X = jumlah telur dalam contoh
HASIL 1.
Hubungan Panjang Berat
Hasil pengukuran panjang berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di Palabuhanratu diketahui bahwa pertumbuhan ikan swangi bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya (Tabel 1). Tabel 1. Hubungan Panjang Berat Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus), Tahun 2013
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bulan Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
Persamaan (W=aLb) W = 0.079L2.423 W = 0.092L2.293 W = 1.698L1.389 W = 0.759L1.634 W = 1.086L1.530 W = 0.071L2.464 W = 0.020L2.868 W = 0.010L3.113 W = 0.106L2.317 W = 0.144L2.257
r 0.737 0.577 0.339 0.614 0.657 0.566 0.598 0.992 0.811 0.864
Pertumbuhan Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Positif Allometrik Negatif Allometrik Negatif
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
49
2. Nisbah Kelamin Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin betina lebih dominan ditemukan pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juli yang mencapai hampir 70% dari total ikan sampel yang diamati, sedangkan rasio jenis kelamin jantan dominan ditemukan pada bulan Maret sebesar 80% dan bulan Oktober yang mencapai 60% ( Gambar 2).
Gambar 2. Rasio Kelamin Priacanthus macracanthus, Tahun 2013
3. Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Bulan Pengamatan Pengukuran tingkat kematangan gonad pada ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) betina, di bulan Januari dan Februari di dominasi oleh TKG I hingga lebih dari 50%, pada bulan Maret-Mei ditemukan hampir semua tingkatan TKG yang berada pada tahap seimbang, pada bulan Juli terjadi peningkatan TKG 4 yang mencapai 80%, dan pada akhir pengamatan di bulan Oktober terjadi penurunan TKG dimana yang mendominasi adalah TKG 2 yang mencapai 70% (Gambar 3).
50
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Swanggi Betina (Priacanthus macracanthus)
4. Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Ukuran Panjang Ikan Pengukuran tingkat kematangan gonad dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran panjang ikan. Pada selang panjang ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) jantan, menunjukkan ukuran panjang ikan jantan antara 14-18,9 cm seluruhnya memiliki TKG 1. Pada selang panjang ikan 19-21,9 cm komposisi TKG 2 mulai mendominasi dengan nilai sekitar 40%. Selang panjang 22-31 cm mulai didominasi oleh TKG 2-3, dimana pada selang 25-25,9 cm secara keseluruhan memiliki nilai TKG 3 mencapai 100%, dan selang panjang 31-31,9 cm nilai TKG 4 mencapai 100% (Gambar 4).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
51
Gambar 4. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) Jantan Berdasarkan Ukuran Panjang Ikan. Pengukuran tingkat kematangan gonad ikan betina dapat diklasifikasikan berdasarkan ujuran panjang ikan. Pada selang panjang ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) 19,1-21 cm menunjukkan TKG 1-2 masih mendominasi dengan nilai sekitar 35%, sedangkan selang 21,1-24 cm dominasi TKG 1-2 sudah mulai mengalami penurunan, dan TKG 3- 4 mengalami peningkatan awal sekitar 20%. Selang kelas 24,1-28 cm nilai TKG 3-4 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 20% dan 60%, dan TKG 5 mendominasi keseluruhan pada selang kelas 30,1-31 cm (Gambar 5).
52
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 5. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) Betina Berdasarkan Ukuran Panjang Ikan. 5. Indeks Kematangan Gonad Pengukuran indeks kematangan gonad ikan swanggi betina, menunjukkan bahwa pada bulan Maret, Juli dan Oktober nilai IKG memiliki nilai yang hampir sama pada angka IKG 1%, sedangkan pada bulan Mei terjadi peningkatan nilai IKG yang hampir mencapai nilai IKG 2% (Gambar 6).
Gambar 6. Indeks Kematangan Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) Betina.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
53
6. Fekunditas dan Diameter Telur Hasil pengamatan fekunditas ikan swanggi, menunjukkan fekunditas dengan nilai terendah mencapai 4.600 butir dan fekunditas tertinggi sebesar 112.084 butir (Gambar 7). Grafik tersebut menunjukkan hubungan antara fekunditas dengan berat gonad, dimana berat gonad mimimum adalah 1,94 gr dan berat gonad maksimum 6,73.
Gambar 7. Hubungan Fekunditas dan Berat Gonad Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus). Pengamatan pada diameter telur ikan ditemukan jumlah frekuensi kemunculan pada selang kelas setiap diameter telur ikan swanggi dimana kemunculan terendah pada ukuran telur dengan diameter 50-60 µm sebesar 0,3 % dan nilai kemunculan tertinggi pada telur dengan diameter 31-35 µm sebanyak 36 % (Gambar 8).
54
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 8. Kisaran Diameter Telur Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus).
Gambar 9. Pengamatan Diameter Telur Swanggi (Priacanthus macracanthus) pada TKG 3-4. 6. Kebiasaan Makan Pengamatan kebiasaan makan dilakukan pada isi lambung ikan swanggi. (P.macracanthus) didominasi oleh jenis udang-udangan dan ikan hancuran yang tidak dapat diidentifikasi di lapangan.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
55
Gambar 10. Isi Lambung Priacanthus macracanthus, Tahun 2013
PEMBAHASAN Perairan laut di Palabuhanratu langsung berhadapan dengan Samudera Hindia yang mempunyai dasar laut pantai yang curam dengan kedalaman 3 – 200 m. Menurut Wudianto & Satria (2007) profil dasar laut di selatan Jawa adalah sedikit kasar dengan strata kedalaman 60 – 1470 m, sehingga jenis ikan yang hidup merupakan jenis ikan yang bisa beradaptasi dengan kedalaman. Jenis ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) merupakan jenis ikan demersal yang biasa hidup pada kedalaman hingga 100 m, di beberapa tempat seperti laut Cina Selatan dilaporkan ikan swanggi bisa ditemukan di sepanjang perairan pesisir hingga kedalaman 70 m, dengan distribusinya mencapai 80-120 m (Oki & Tabeta, 1998). Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan, selain itu hubungan panjang dan berat ikan dapat menggambarkan sifat pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Effendi (1997), nilai b berada pada kisaran 2,4 - 3,5, bila berada di luar kisaran tersebut maka bentuk tubuh ikan tersebut diluar batas kebiasaan bentuk ikan secara umum. Persamaan hubungan panjang berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di perairan Palabuhanratu umumnya memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya (Tabel 1).
56
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Perbandingan jenis rasio kelamin ikan swanggi di perairan Palabuhanratu, dimana ikan betina lebih dominan ditemukan dibandingkan ikan jantan, hanya di bulan Maret yang rasio ikan jantannya lebih dominan. Sivakami et al. (2001) melaporkan rasio Priacanthus hamrur betina lebih mendominasi dibandingkan jantan di wilayah perairan India. Beberapa faktor juga dapat menjadi pemicu perbedaan jumalah ikan jantan dan ikan betina, seperti adanya perbedaan karakteristik pertumbuhan panjang dan berat ikan (Chuen-Chi Wu et al., 2008). Stok atau sumberdaya ikan perlu untuk memperhatikan struktur umur dan rasio jenis kelamin dari populasi ikan yang tersedia supaya sumberdaya ikan tersebut tetap lestari. Pendugaan terhadap stok ikan jenis tertentu harus mengetahui perbandingan jumlah jantan dan betina. Pengamatan jenis kelamin ikan merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari struktur populasi. Pengujian statistik dan anggapan bahwa satu ekor ikan jantan memijah dengan satu ekor ikan betina dikatakan seimbang, tetapi seperti yang telah kita ketahui tidak semua jenis ikan memiliki perbandingan 1:1 diasumsikan seimbang. Namun pada kenyataannya di alam perbandingan rasio kelamin tidaklah mutlak, hal ini dapat dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie, 2002). Tingkat kematangan gonad ikan swanggi betina menyebar dari fase TKG 1 hingga TKG 5 (Gambar 3). Fase menuju pemijahan dapat diasumsikan mulai masuk pada bulan Maret dengan adanya TKG 3-4, mulai terjadi pemijahan hingga menuju puncak sampai bulan Agustus dimana komposisi TKG 4-5 sudah mulai dominan (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Liu, et.al (2001) di perairan Laut Cina Selatan, yang menyatakan bahwa ikan swanggi jenis Priacanthus macracanthus memiliki musim pemijahan dari bulan Mei hingga Juli. Jika dilihat dari sebaran panjang dengan nilai TKG ikan swanggi, terlihat bahwa pada ukuran 20 cm FL ikan hanya berada pada tahap TKG 1-3, sedangkan ukuran panjang diatas 20 cm sudah mulai terdapat fase TKG 3-5 (Gambar 5). Sehingga dapat disimpulkan ikan swanggi yang sudah mencapai matang gonad memiliki panjang rata-rata diatas 20 cm FL. Nilai ini sesuai dengan perhitungan nilai pertama kali matang gonad (Lm) yaitu 20,82 cm FL. Biasanya ukuran ikan jantan yang matang gonad lebih kecil jika dibandingkan ikan betina, Sivakami et.al (2001) menyatakan nilai pertama kali matang gonad untuk ikan jantan yaitu 18,1-19,1 cm FL dan untuk betina 19,1-20,0 cm FL. Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan swanggi hampir sama di angka IKG 1%, tetapi pada bulan Mei terjadi peningkatan hampir mencapai IKG 2%. Nilai IKG akan berbanding lurus dengan nilai TKG, semakin tinggi nilai TKG maka nilai IKGnya akan semakin besar. Nilai fekunditas ikan swanggi yang diamati berkisar antara 4.600-112.084 butir dengan pajang kisaran minimum 21 - 25cm FL (Gambar 7). Grafik tersebut menunjukkan hubungan antara fekunditas dengan berat gonad, dimana berat gonad mimimum adalah 1,94 gr dan berat
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
57
gonad maksimum 6,73. Dari beberapa sampel menunjukkan hubungan lurus antara berat gonad dengan fekunditas, dimana semakin tinggi berat gonadnya maka fekunditas akan semakin besar. Nilai ini mendekati penelitian Oki & Tabeta (1999a) di Laut Cina Selatan, dimana fekunditas P.macracanthus sekitar 70.000 pada panjang 190 mm FL sampai 230.000 dengan pajang 250 mm FL, sedangkan di perairan Taiwan sekitar 90.000- 130.000 butir (Liu et.al., 2001). Perbedaaan diduga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan makanan (Novitriana et.al., 2004). Fekunditas ikan akan berubah bila keadaan lingkungan berubah, apabila dalam kondisi tidak baik umumnya ikan betina akan menunda pengeluaran telurnya atau mengeluarkan telurnya dalam jumlah yang lebih sedikit daripada biasanya (Sjafei et al.,1993). Frekuensi pemijahan bisa diduga dengan melihat frekuensi sebaran diameter telur ikan pada TKG 3-4. Diameter telur ikan didapati jumlah frekuensi kemunculan pada selang kelas setiap diameter telur ikan swanggi dimana kemunculan terendah pada ukuran telur dengan diameter 50-60 µm sebesar 0,3 % dan nilai kemunculan tertinggi pada telur dengan diameter 31-35 µm sebanyak 36 % (Gambar 8). Ukuran diameter telur dipengaruhi oleh perkembangan oosit, dimana semakin besar fase kematangan gonad maka diameter oosit akan semakin lebar (Gambar 11).
Gambar 11. Fotomicrograpik dari Ovarium pada Beberapa Fase Kematangan Gonad Ikan Swanggi Priacanthus macracanthus (Oki & Tabeta, 1999b). Perkembangan diameter oosit menunjukkan ikan swanggi dapat memijah sekali dalam satu musim pemijahan (Oki & Tabeta, 1999b). Hasil sebaran frekuensi diameter telur TKG
58
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
3-4 diperoleh modus penyebarannya satu puncak yang menunjukan tipe pemijahan total (total spawner). Ikan yang tergolong dalam kelompok ini memiliki telur dalam ukuran kecil dengan fekunditas yang besar dan musim pemijahan yang tetap (Lowe-McConnell,1987). Sisa- sisa telur yang sudah ataupun belum matang yang tidak dikeluarkan pada saat pemijahan akan diserap kembali oleh tubuh (atresi) (Novitriana et.al., 2004). Kebiasaan makan ikan swanggi ditandai dengan pengamatan terhadap isi lambung. Isi lambung yang dominan adalah jenis udang dan ikan hancur yang sudah tidak teridentifikasi jenisnya, kedua jenis ini dijumpai pada setiap bulan pengamatan, adapun makanan tambahan yang ada di dalam isi lambung ikan swanggi adalah cumi-cumi, kepiting dan udang rebon. KESIMPULAN Pertumbuhan ikan swanggi di Palabuhanratu bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya. Puncak musim pemijahan ikan swanggi di Palabuhanratu terjadi pada bulan Agustus. Potensi reproduksi ikan swanggi berkisar antara 4.600 butir hingga 112.084 butir. Hasil sebaran frekuensi diameter telur TKG 3-4 diperoleh modus penyebarannya satu puncak yang menunjukan tipe pemijahan total (total spawner). Ikan yang tergolong dalam kelompok ini memiliki telur dalam ukuran kecil dengan fekunditas yang besar dan musim pemijahan yang tetap. Makanan utama ikan swanggi dari jenis udang dan ikan,yang ditandai dengan kemunculan kedua jenis ini pada setiap pengamatan dalam jumlah yang dominan.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset penelitian stok, life history dan dinamika populasi ikan demersal WPP 572, 573 dan 717, tahun anggaran 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut – Muara Baru, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Chuen-Chi Wu., W., Jinn-Shing. L., Kwang-Ming & S., Wei-Cheng. 2008. Reproductive biology of the notchedfin threadfin bream, Nemipterus peronii (Nemipteridae), in Waters of Southwestern Taiwan. Zoological Studies. 47(1): 103-113. Effendie I.M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Effendie I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
59
Kuiter, R.H. 1993. Coastal Fisheris of South-Eastren Australia. Honolulu. University of Hawaii press. Kuo, C.M., C.E. Nash & Z. H. Shehadeh. 1974. A Procedural guide to induce spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquculture, 3: 1 – 14. Liu, K.M., K.Y. Hung & C.T.Chen. 2001. Reproductive biology of the big eye Priacanthus macracanthus in the north-eastern waters of Taiwan. Fisheries Science. 67 (6): 10081014. Novitriana, R. Y., Ernawati & M.F. Rahardjo. 2004. Aspek pemijahan ikan petek Leiognathus aquulus, FORSSKAL, 1775 (Fam.Leiognathidae) di Pesisir Mayangan Subang, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. Vol. 4. No. 1. Sivakami, S. S.G,. Raje. Feroz Khan, S.Joe, E., Vivekanandan & Rajkumar.U. 2001. Fishery and biologi of Priacanthus hamrur (Forsskal) along the Indian coast. Journal of Fisheries. 48(3):277-289. Sjafei, D.S., M. F. Rahardjo, R.Affandi, M. Brojo, & Sulistiono.1993. Fisiologi ikan IL.Reproduksi ikan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 213 h. Steel, R. G. D. & H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta. 333 pp.
Oki, D & O. Tabeta. 1998. Age indicator of big eye Priacanthus macracanthus in the East China Sea. Suisanzoshoku. 46 (2): 165-169. Oki, D. & O. Tabeta. 1999a. Age and growth of big eye Priacanthus macracanthus in the East China Sea. Fisheries Science. 65 (3):436-440. Oki, D. & O. Tabeta. 1999b. Reproductive characteristics of big eye Priacanthus macracanthus in the East China Sea. Fisheries Science. 65(3): 835-838. Wudianto & F., Satria. 2007. Identification of Fishing Ground for Deep Sea Demersal Fishes and It’s Possibility for Fishing Development in The Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research Journal 13 (1).
60
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
KAJIAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus lepturus) DI PERAIRAN SELATAN BANTEN DAN SEKITARNYA Prihatiningsih1), Nur’ainun Muchlis1) dan Suprapto1) 1)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara baru, Jakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Permintaan konsumen terhadap sumberdaya ikan layur di Selatan Banten semakin tinggi sehingga membuat upaya tangkap juga meningkat, maka dibutuhkan suatu pengelolaan yang tepat terhadap ikan layur. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan, mortalitas dan tingkat pemanfaatan ikan layur di perairan Selatan Banten dan sekitarnya. Data frekuensi panjang dan berat ikan pada Januari – Nopember 2013 diperoleh dari hasil tangkapan jaring rampus dan pancing. Sebaran frekuensi panjang ikan dipisahkan kedalam sebaran normal menggunakan metode Bhattacharya. Persamaan pertumbuhan ikan layur adalah Lt = 99,75 (1 – e-0,40(t-+0,04)). Mortalitas penangkapan lebih kecil dibandingkan dengan mortalitas alami. Tingkat pemanfaatannya (E=0,47) belum melebihi nilai optimum, tetapi untuk kehati-hatian perlu dilakukan monitoring jumlah upaya penangkapan. KATA KUNCI : Layur, CPUE, pertumbuhan, mortalitas, tingkat pemanfaatan, Banten.
PENDAHULUAN Dalam perdagangan internasional, ikan layur dinamakan hairtail atau cutlassfish atau ribbonfish. Ikan layur ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dengan harga Rp. 40.000120.000/kg tergantung ukuran/size. Ikan layur selain dikonsumsi secara lokal juga di ekspor ke beberapa negara khususnya Negara Korea, Jepang dan Singapora. Ikan layur tergolong ikan demersal dan umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar sehingga sebarannya relatif lebih merata jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis. Kondisi ini mengakibatkan daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan relatif rendah dan tingkat mortalitasnya cenderung sejalan dengan upaya penangkapannya (Aoyama, 1972 dalam Widiyanto, 2008). Semakin tingginya permintaan konsumen akan sumberdaya ini, membuat upaya tangkap juga cenderung meningkat. Jika hal ini terus terjadi, dikhawatirkan akan Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
61
berdampak pada menurunnya populasi ikan layur. Mengingat potensi ekonomi dan ekologi dari ikan ini maka dibutuhkan suatu pengelolaan yang tepat terhadap sumberdaya ikan layur sehingga didapatkan pemanfaatan yang optimal namun tetap memperhatikan kelestariannya. Pengkajian stok ikan diperlukan untuk memberikan nilai acuan bagi skenario pengelolaan perikanan yang efektif. Dinamika populasi yang meliputi pertumbuhan, umur, mortalitas dan tingkat pemanfaatan merupakan data dasar yang diperlukan untuk menyusun model pengkajian stok. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan, mortalitas dan tingkat pemanfaatan ikan layur di perairan Selatan Banten dan sekitarnya yang kemudian dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam merumuskan upaya pengelolaan sumberdaya ikan layur yang optimal.
BAHAN DAN METODE Penelitian Lapangan Penelitian ini dilakukan pada Januari – Nopember 2013. Ikan contoh didapatkan dari hasil penangkapan ikan oleh para nelayan yang kemudian didaratkan di TPI BinuangeunBanten (Gambar 1). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut – Jakarta.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
62
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Pengumpulan Data Data primer diantaranya ukuran panjang ikan layur per bulan diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan oleh peneliti, teknisi dan tenaga enumerator. Contoh ikan layur diperoleh dari hasil tangkapan nelayan menggunakan jaring rampus (trammel net) dengan ukuran mata jaring 1¾” dan 2”, pancing rawai dan pancing ulur dengan ukuran mata pancing no 7 dan 8 kemudian diukur panjang total (TL) (ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 gram) (Gambar 2). Data sekunder diantaranya produksi dan jumlah alat tangkap diperoleh dari data statistik tahunan DKP Kabupaten Lebak, Banten.
Gambar 2. Ikan layur (Trichirus lepturus) di perairan Selatan Banten.
Analisis Data Estimasi Parameter Pertumbuhan Penentuan kelompok ukuran (kohort) dilakukan menggunakan metode Bhattacharya dari program paket software FISAT II. Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan menggunakan metode ELEFAN (Electronic Length – Frequency Analysis) I dan Gulland & Holt plot, sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1983). Ketiga nilai dugaan parameter pertumbuhan tersebut dimasukkan ke model pertumbuhan Bartalanffy. (Sparre & Venema, 1999) sebagai berikut : Lt = L∞ (1- e-k (t – to))..............................................................................................(2) dimana : Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm) Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
63
L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t0
= umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm
K = Koefisien pertumbuhan Nilai t0 ikan diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1984) yaitu : Log- (t0) = -0,3922–0,2752 Log L-1,038 Log K ..................................................(3)
Mortalitas (Laju Kematian) Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema, 1999). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ......................(4) Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1983) dengan rumus:Ln M=-0,152–,279*LnL∞+0,6543*Ln T.......................................(5) dimana : M
= mortalitas alami per tahun
L∞
= panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
K
= Koefisien pertumbuhan
T
= Suhu rata-rata tahunan (ºC)
HASIL Produksi, Upaya dan Catch Per Unit of Effort (CPUE) Hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit of effort, CPUE) adalah salah satu indikator bagi status sumberdaya ikan yang merupakan ukuran dari kelimpahan relatif, sedangkan tingkat produksi merupakan indikator kinerja ekonomi. Hasil tangkapan ikan layur dari alat tangkap jaring rampus dan pancing yang beroperasi di perairan Selatan Banten periode 2008-2012 cenderung mengalami fluktuasi. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebanyak 555,08 ton dan yang terendah terjadi pada tahun 2008 sebanyak 103,55 ton. Trend CPUE ikan layur tahun 2008-2012 mengalami fluktuasi. Nilai CPUE tertinggi pada tahun 64
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
2009 sebesar 0,58 ton/trip dan terendah pada tahun 2008 sebesar 0,05 ton/trip (Gambar 3a dan 3b).
Sumber data : Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lebak-Banten.
Gambar 3a. Produksi ikan layur di Selatan Banten Gambar 3b. Fluktuasi upaya dan CPUE ikan layur di Selatan Banten.
Sebaran ukuran panjang ikan layur (Trichirus lepturus) yang didaratkan di Binuangeun, Selatan Banten tahun 2013 dari 2.680 ekor sampel ikan layur berkisar 20,3 – 97,5 cm TL dengan rata-rata 64,44 cm (panjang total, TL) dengan modus pada ukuran panjang 60,0-61,9 cm TL (Gambar 4).
Gambar 4. Sebaran ukuran panjang ikan layur (T. lepturus) di perairan Selatan Banten. Modus ukuran panjang ikan layur setiap pengamatan selama 11 bulan dari bulan Januari – Nopember 2013 mengalami perubahan dan pergeseran modus. Pada Januari dan Februari modus berada pada ukuran panjang 72,0-73,9 cm dan 76,0-77,9 cm, kemudian bulan Maret, April, Mei, Juni dan Juli bergeser ke kiri yaitu pada ukuran panjang 70,0-71,9 cm; 68,0-69,9 cm; 60,0-61,9 cm; 60,0-61,9 cm; 58,0-59,9 cm, kemudian bulan Agustus modus bergeser ke kanan pada ukuran panjang 62,0-63,9 cm. Bulan September dan Oktober bergeser ke kiri yaitu pada ukuran panjang 60,0-61,9 cm dan 58,0-59,9 cm. Bulan Februari memiliki kisaran panjang
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
65
yang lebar dimana ukuran terkecil ditemukan pada panjang 37,2 cm dan terbesar pada ukuran panjang 97,5 cm (Gambar 5).
Gambar 5. Kurva distribusi frekuensi panjang ikan layur (Trichiurus lepturus).
Pertumbuhan Koefisien pertumbuhan ikan layur (T. lepturus) (K) sebesar 0,40 tahun-1. Nilai panjang asimtotik (L∞) sebesar 99,75 cm, dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) adalah 0,04 tahun-1 sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan layur di perairan Selatan Banten adalah Lt = 99,75 (1 – e-0,40(t-+0,04)) (Gambar 7). Nilai L∞ sebesar 99,75 cm menunjukkan bahwa ukuran panjang maksimum ikan layur dapat mencapai 99,75 cm. Sedangkan konstanta pertumbuhan K = 0,40. nilai ini menunjukkan bahwa konstanta pertumbuhan ini cukup rendah.
Gambar 6. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan layur (T. lepturus) di perairan Selatan Banten. Mortalitas (Laju Kematian) dan Tingkat Pemanfaatan (E) Berdasarkan kurva penangkapan yang dikonversi dari nilai sebaran panjang bulanan ikan layur yang didaratkan di Binuangeun, Selatan Banten pada suhu perairan 29,0°C diperoleh mortalitas (laju kematian) total (Z) adalah 1,14 per tahun kemudian mortalitas alami (M) adalah 66
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
0,61 per tahun dan mortalitas karena aktivitas penangkapan adalah 0,53 per tahun, sementara tingkat pemanfaatan ikan layur sebesar 0,47 per tahun (Gambar 8).
Gambar 7. Kurva panjang ikan layur (T. lepturus) yang telah dikonversi di perairan Selatan Banten.
BAHASAN Hasil tangkapan ikan layur di Selatan Jawa selama tahun 2008-2012 mengalami flutuasi. Tahun 2008-2009 produksi nya meningkat dan pada tahun 2010 produksi menurun dari 265,5 ton menjadi 187,8 ton namun tahun 2011 meningkat lagi menjadi 555,0 ton dan menurun kembali tahun 2012 menjadi 319,1 ton. Padahal pada tahun yang sama nilai effort meningkat terus sampai tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami penurunan. Sama halnya dengan nilai CPUE tahun 2008-2009 mengalami kenaikan dari 0,05 menjadi 0,58 ton/trip dan tahun 2010-2012 CPUE menurun terus menjadi 0,30 ton/trip. Menurunnya CPUE tahun 2010 walaupun effort meningkat, hal ini diduga kondisi alam yang ekstrim dimana pada saat itu terjadi La Nina. Kondisi ini sangat berpengaruh hampir diseluruh perairan Indonesia sehingga nelayan kesulitan dalam melakukan operasional penangkapan yang berdampak menurunnya hasil tangkapan dan CPUE. Menurunnya CPUE tahun 2011, berkaitan dengan meningkatnya effort menjadi 5373 trip/tahun dari 3998 trip/tahun. Trend CPUE ikan layur yang menurun di Selatan Banten merupakan indikasi bahwa tingkat eksploitasi sumberdaya ikan layur dan apabila terus dibiarkan akan mengarah kepada suatu keadaan yang disebut ‘over-fishing’ atau bahkan ‘overfished’. Sebaran ukuran panjang ikan layur berkisar 20,3 – 97,5 cm TL dengan rata-rata 64,44 cm (panjang total, TL) dengan modus pada ukuran panjang 60,0-61,9 cm TL. Nakamura &
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
67
Parin (1993) menyatakan bahwa T. lepturus dapat tumbuh hingga mencapai panjang 120 cm. Bahkan Parin (1986) & Nontji (2005) menyatakan bahwa panjang total yang dapat dicapai oleh T. lepturus mencapai 150 cm. Berdasarkan Gambar 5, terlihat adanya pergeseran sebaran frekuensi panjang ikan layur (T. lepturus). Pada Januari-Februari, modus sebaran frekuensi panjang bergeser ke kanan. Namun pada bulan Maret-Juli, modus bergeser ke kiri ke ukuran ikan yang lebih kecil. Bulan Agustus modus bergeser ke kanan pada ukuran panjang 62,0-63,9 cm. Hal ini menunjukkan terjadi pertumbuhan panjang ke ukuran ikan yang lebih besar (ikan dewasa). Fenomena bulan September dan Oktober bergeser ke kiri pada ukuran panjang 60,0-61,9 cm dan 58,0-59,9 cm, mengindikasikan adanya recruitment baru ke dalam stok ikan layur sehingga masuk individu baru dan membentuk kelas panjang yang baru. Modus ikan layur setiap bulannya menunjukkan keseragaman ukuran yaitu pada ukuran panjang antara 60-70 cm. Panjang ikan layur hasil penelitian ini (20,3 – 97,5 cmTL) hampir sama dengan hasil penelitian Widiyanto (2008) di perairan Palabuhan Ratu, Jawa Barat yaitu berkisar 27,0-99,1 cmTL. Hal ini disebabkan karena letak perairan Palabuhan Ratu dan Binuangeun berdekatan (perairan Selatan Jawa) sehingga topografi dan kondisi perairannya hampir sama sebagai habitat dari ikan layur. Berbeda halnya dengan penelitian Al Nahdi et al., (2009) di Laut Arabia panjang ikan layur lebih kecil dibandingkan dengan penelitian ini berkisar 16,0 – 126,0 cm dengan rata-rata 92,6 cm dan lebih besar dengan hasil penelitian Herianti et al. (1992) di Utara Tuban-Lamongan yang berkisar 20,0-80,0 cm dengan rata-rata 48,4 cm dan Suadi et al., (2007) di perairan Cilacap berkisar 58-74 cm. Perbedaan ukuran panjang ikan layur setiap wilayah disebabkan karena penggunaan alat tangkap yang berbeda-beda. Ikan layur dalam penelitian ini menggunakan alat tangkap jaring rampus (Trammel net) dan pancing ulur no 7 dan 8, hasil penelitian Al Nahdi et al., (2009) menggunakan trawl dan Herianti et al. (1992) menggunakan jaring cantrang. Adanya perbedaan penggunaan alat tangkap yang juga memiliki perbedaan selektivitas diduga menjadi penyebab berbedanya ukuran ikan antar lokasi. Selain alat tangkap, perbedaan lokasi pengambilan sampel dan kondisi lingkungan perairan tersebut juga berpengaruh. Persamaan pertumbuhan ikan layur di perairan Selatan Banten adalah Lt = 99,75 (1 – e-0,40(t-+0,04)). Ikan dengan koefesien pertumbuhan yang relatif kecil (K=0,40) memiliki umur yang relatif panjang. Hasil estimasi parameter pertumbuhan ikan layur (T. lepturus) di daerah penangkapan yang berbeda diantaranya Philipina, Barat Daya Indian, Bombay dan Selatan Banten (Indonesia) disajikan pada Tabel 1. Dari beberapa parameter populasi yang berbeda, didapatkan panjang maksimum ikan yang dapat dicapai setiap wilayah dan laju pertumbuhan yang berbeda pula dan rentang waktu yang luas berkisar 78,0 – 145,2 cm TL. Panjang asimtot
68
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
terkecil berasal dari Philipina dan tertinggi dari Kakinda. Nilai laju pertumbuhan (K) berkisar 0,29 – 0,70. Variasi nilai asimtotik (L∞) dan K di berbagai daerah mungkin karena perbedaan ekologi, kondisi fisiologis ikan, variabilitas makan, tekanan penangkapan dan metode sampling (Biswas, 1993). Effendie (1997) juga menyatakan bahwa perbedaan nilai ini juga disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti faktor genetik, parasit dan penyakit sedang faktor eksternal seperti kualitas perairan dan ketersediaan makanan. Menurut Moyle & Cech dalam Damayanti (2010) pertumbuhan yang cepat dapat mengidentifikasi kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai sehingga diasumsikan berbedanya nilai koefisien pertumbuhan (K) dan pajang asimtotik (L∞) ikan layur diduga disebabkan perbedaan genetik, ketersediaan makanan dan kondisi perairan yang berbeda. Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan layur (T. lepturus) dengan daerah penangkapan yang berbeda. Jenis ikan
L∞
K
t0
Trichiurus lepturus 145,2
0,29
-0,20 Kakinda
Trichiurus lepturus 78,0
0,70
Philipina
Ingles & Pauly (1984)
Trichiurus lepturus 109,0
0,64
Barat Daya India
Samavanshi & Anthony (1989)
Trichiurus lepturus 129,7
0,50
Bombay
Chakraborty (1990)
Trichiurus lepturus 129,0
0,459 0,69
Oman, Laut Arabian
Al-Nahdi et al., (2009)
Trichiurus lepturus 125,5
0,13
Palabuhan Ratu (Jawa Ahmad, M. Y, 2007 Barat), Indonesia
Trichiurus lepturus 99,75
0,4
0,04
Lokasi
Sumber Narasimham (1976)
Binuangeun (Selatan Penelitian ini Banten), Indonesia
Menentukan umur ikan yang hidup di daerah tropis diantaranya Indonesia, akan mendapat kendala. Untuk itu Sparre & Venema (1999) memberikan solusi untuk menentukan umur ikan di daerah tropis dengan pendekatan analisis frekuensi panjang tubuh ikan. Berdasarkan persamaan pertumbuhan ikan layur di perairan Selatan Banten diperoleh panjang asimtot (L∞ = 99,75 cm) diduga berumur 12,5 tahun; rata-rata panjang ikan pada saat pertama kali tertangkap (Lc) : 63,24 cm diduga berumur 3,06 tahun serta rata-rata panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) : 53,81 cm diduga berumur 2,38 tahun. Mortalitas (laju kematian) total (Z) ikan layur (T. lepturus) di Selatan Banten adalah 1,14 dan mortalitas alami (M) adalah 0,61. Menurut Sparre & Venema (1999) bahwa mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, makanan dan umur. Mortalitas karena
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
69
penangkapan (F) didapatkan sebesar 0,53 per tahun. Mortalitas penangkapan ini lebih kecil jika dibandingkan dengan mortalitas alami, hal ini menunjukkan bahwa eksploitas sumberdaya ikan layur di perairan Selatan Banten masih dalam tahap berkembang. Tingkat pemanfaatan (E) ikan layur sebesar 0,47, yang artinya nilai tingkat pemanfaatan ikan layur di perairan Selatan Banten belum melebihi nilai optimum, dengan demikian pemanfaatan ikan layur di Selatan Banten masih dapat ditingkatkan. Menurut Gulland (1983) bahwa tingkat pemanfaatan optimum suatu sumberdaya adalah 0,5. Adanya indikasi penurunan CPUE ikan layur yang setiap tahunnya menunjukkan terjadinya peningkatan eksploitasi sumberdaya ikan layur. Dengan demikian walaupun pemanfaatan ikan layur masih dapat ditingkatkan perlu dilakukan pengaturan dan monitoring jumlah upaya penangkapan agar kelestarian sumberdaya ikan layur dapat tetap terjaga dan lestari.
KESIMPULAN Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan layur masih dalam tahap berkembang (E=0,47), yang berarti masih terbuka peluang pemanfaatannya tetapi harus disertai dengan MCS (Monitoring Controlling and Surveilanc) yang baik.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: “Penelitian stok, life history dan dinamika populasi sumberdaya ikan demersal di WPP 572, WPP 577 untuk mendukung industrialisasi perikanan” T. A. 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2012. Statistik tahunan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lebak. Banten. Anita. 2005. Pengendalian Mutu Produksi Layur (Trichiurus sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu untuk Tujuan Ekpor. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Al-Nahdi, A. Al-Marzouqi, E. Al-Rasadi & J. C. Groeneveld. 2009. The size composition, reproductive biology, age and growth of largehead cutlassfish Trichiurus lepturus LINNAEUS from the Arabian Sea coast of Oman. Indian J. Fish, 56(2) : 73-79.
70
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Chakraborty, S. K. 1990. Fishery, age, growth and mortality estimates of trichiurus lepturus Linnaeus from Bombay Waters. Indian J. Fish., 37 (1): 1 – 7. Damayanti, W. 2010. Kajian Stok Sumberdaya Ikan Selar (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) di Perairan Teluk Jakarta dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hal Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Bagian I : Jenisjenis ikan Ekonomis Penting. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta, Hlm 124-125. Effendie, M. I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Gulland, J. A., 1983. Fish stock assessment. A manual of basic methods. John Wiley and Sons. New York. 223 p. Herianti, I., M. D. M. Pawarti & T. Suhendrata. 1992. “Pendugaan Parameter Biologi Ikan Layur (Trichiurus lepturus) di Perairan Utara Tuban- Lamongan, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut no 75 Th. 1992. Hal 11-19. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Ingles & D. Pauly. 1984. An atlas of growth, mortality and recruitment of Philippinne fishes. ICLARM Tedi. ep., 13 :1-127. Martins, A.S., M. Haimovici & R. Palacios. 2005. Diet and Feeding of the cutlassfish Trichiurus lepturus in the Subtropical Convergence Ecosystem of Southern Brazil. J. Mar. Biol. Ass. U.K., (85): 1223- 1229. Nakamura, I. & N.V. Parin. 1993. Snake Mackerels and Cutlassfishes of The World. FAO Species Catalogue Rome. (15): 136 hlm. Narasimham, K. A. 1970. On the length weight relationship and relative condition in Trichiurus lepturus Linnaeus. Indian ]. Fish., 17 : 90-96. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara, Cetakan ke empat (edisi revisi). Djambatan.Jakarta. 368 hal. Parin, N. V. 1986. Trichiuridae. Fishes of the North-eastern Atlantic and the Mediterranean Vol. II : 976-980. UNESCO. United Kingdom. Pauly, D. 1983. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. 729: 54 pp. Pauly, D. 1984. Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Tech. Pap. (234): 52 p.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
71
Somavanshi, V. S. & Anthony Joseph. 1989. Population dynamics and ssessment of Trichiurus lepturus Linnaeus stock in north - west coast of India. In: Studies on Fish Stock Assessment in Indian Waters. Spl. Publ. No.2 (Fishery Survey of India): 1-32. Suadi, S. Helmiati & R. Widaningroem. 2007. Parasit Anisakis sp. Pada populasi layur (Trichiurus sp) yang didaratkan di Pelabuhan Cilacap. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci) IX (2), 226-232. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Diterjemahkan oleh Puslitbangkan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 438 hal. Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1. Widiyanto, I. R. 2008. Kajian pola pertumbuhan dan ciri morfometrik-meristik beberapa spesies ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. FPIK-IPB. Bogor.
72
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BELOSO (Saurida micropectoralis) DI PERAIRAN SELATAN BANTEN Wahid Agung Saputra *), Prihatiningsih *) *) Balai Penelitian Perikanan Laut
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Ikan beloso (Saurida micropectoralis) merupakan jenis ikan demersal yang banyak tertangkap di perairan selatan Banten dan sekitarnya. Tekanan penangkapan yang semakin bertambah membuat populasi ikan beloso mengalami penurunan. Sebagai dasar pengelolaan dilakukanlah penelitian aspek biologi ikan beloso yang mencakup hubungan panjang-berat, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), kebiasaan makan, fekunditas, dan diameter telur. Penelitian dilakukan pada JanuariNovember 2013 di perairan selatan Banten dan sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan sebaran panjang cagak ikan beloso berkisar 18,0–46,3 cmFL dengan rata-rata 27,76 cmFL dan modus pada panjang 27,85 cmFL. Pertumbuhan ikan beloso bersifat allometrik positif, dimana pertambahan berat ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan panjangnya. Faktor kondisi tertinggi didapatkan pada bulan April dengan nilai 1,14. Nisbah kelamin ikan jantan dan betina selama pengamatan lima bulan berada dalam keadaan tidak seimbang. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beloso baik jantan maupun betina didominasi oleh stadium belum matang / immature (TKG I dan II). Indeks kematangan gonad (IKG) ikan beloso betina berkisar 0,118,56% dengan rata-rata 1,40% dan ikan beloso jantan berkisar 0,11-1,08% dengan rata-rata 0,32%. Ikan beloso bersifat karnivora, dimana makanan utamanya adalah hancuran ikan, cumi, dan teri. Fekunditas berkisar 64.819 – 692.669 butir telur dengan rata-rata 244.382 butir telur, diameter telur yang sudah matang berkisar 0,2–3,6 mm dengan rata-rata 0,6 mm. Kata kunci : ikan beloso, aspek biologi, perairan Binuangeun ABSTRACT Beloso fish (Saurida micropectoralis) is a demersal fish species were caught in south Banten water. Increasing fishing effort causes decrease beloso fish populations. Research includes length-weight, condition factor, sex ratio, gonad maturity level (TKG), gonad maturity index (IKG), feeding habits, fecundity, and egg diameter. This study was conducted from January to November 2013 in the waters South Banten. The results showed a long forked fish ranged from 18.0 to 46.3 cmFL, average 27.76 cmFL and modus 27.85 cmFL. Beloso fish is allometric positive, which increasing the weight of the fish faster than the increase length. Highest condition factor obtained in april with a value of 1.14. Sex ratio of male and female Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
73
fish during the five-month observations are in an unbalanced state. The level maturity of gonads (TKG) Beloso fish both males and females are dominated by immature stage (TKG I and II). Gonad maturity index (IKG) female fish ranged from 0.11 to 8.56% with an average of 1.40% and male fish 0.11 to 1.08% with an average of 0.32%. Beloso fish are carnivores, where primarily food are fish, squid, and anchovies. Fecundity ranged 64,819-692,669 eggs with an average of 244,382 eggs, range egg diameters from 0.2-3.6 mm with an average 0.6 mm. Keywords: Beloso fish, biological aspects, Binuangeun water.
PENDAHULUAN Ikan beloso (Saurida micropectoralis) memiliki ciri-ciri morfologi antara lain bentuk kepala seperti kadal dan bersisik serta bentuk badan agak bulat memanjang. Memiliki sirip punggung kedua yang lemah, tanpa duri dan berbentuk kecil. Memiliki mata berukuran kecil, sisik tebal dan kuat. Warna tubuh cokelat dengan bagian bawah agak keputih-putihan (Dwiponggo, 1977). Hasil tangkapan per upaya (CPUE) ikan beloso di perairan Binuangeun cenderung mengalami penurunan selama tahun 2008-2012. Tingginya upaya penangkapan diduga menjadi alasan stok ikan demersal yang semakin menurun (Imron, 2008). Penurunan tren CPUE dapat mengindikasikan bahwa eksploitasi sumber daya ikan mengarah kepada keadaan “overfishing”, sehingga diperlukan upaya pengelolaan agar perikanan demersal khususnya ikan beloso tetap berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi ikan beloso meliputi hubungan panjang-berat, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), kebiasaan makan, fekunditas, dan diameter telur. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. BAHAN DAN METODE Pengumpulan data penelitian dilakukan pada Januari–November 2013 di perairan Binuangeun dan sekitarnya (Gambar 1). Lokasi tersebut dipilih karena 94,26 % ikan hasil tangkapan nelayan Kabupaten Lebak di daratkan di TPI Binuangeun-Lebak, Banten. Pengamatan aspek biologi ikan yang dilakukan meliputi pengukuran panjang cagak (fork length), berat ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, isi lambung, fekunditas, dan diameter telur.
74
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. Daerah penelitian.
ANALISIS DATA Hubungan panjang-berat dianalisa menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Effendie, 1979) : W = aLb …………………………… (1) di mana : W : berat total ikan (gram) L : panjang cagak ikan (cm) a : intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y) b : kemiringan (slope) Untuk menguji nilai b=3 atau b≠3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dan berat adalah allometrik Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai konstanta b. Isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat) jika nilai b=3. Allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat) jika b≠3. Allometrik dapat dibagi menjadi 2 yaitu allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya) jika b>3 dan allometrik negative (pertambahan panjang lebih dominan terhadap pertambahan beratnya) jika b<3. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan berat ikan. Setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, nilai faktor kondisi dapat dihitung. Faktor kondisi ikan beloso
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
75
dihitung dengan rumus (Effendie, 1979)
:
Kn=102 W/L3 ……………………… (2) dimana : Kn : Faktor kondisi W : Bobot rata-rata ikan L : Panjang rata-rata ikan Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan beloso jantan dengan jumlah ikan beloso betina dengan menggunakan uji chi-square (Steel dan Torrie, 1993) dengan rumus : k X = ∑ (Oi – ei) 2 ………………… (3) i=1 ei dimana : oi : Jumlah frekuensi ikan beloso jantan dan betina ei : Jumlah ikan beloso jantan dan betina harapan pada sel ke-i k : Kelompok ikan beloso jantan dan betina yang ditemukan 2
Tingkat kematangan gonad (TKG) diamati secara visual dengan cara melihat perubahan morfologi gonad serta pengamatan histologi dengan metode paraffin dan pewarnaan hematoxylineosin. Perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium berdasarkan klasifikasi Kuo et al., (1974), yaitu stadium I (oosit primer mempunyai khromatin nucleolus dan perinukleolus), stadium II (terdapat vesikel pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi) dan stadium V (disebut stadium atretis). Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan Effendie (1979), sebagai berikut: IKG = Bg x 100 % ……..…………. (4) Bt dimana : IKG : Indeks kematangan gonad (%) Bg : Berat gonad (gram) Bt : Berat total (gram) Kebiasaan makan ikan beloso diketahui dengan cara menganalisis isi lambung dan dihitung memakai metode indeks preponderan (Natarajan & Jhingran, 1961), yaitu: Ii = [(Vi*Oi)/∑(Vi*Oi)]*100% ……… (5) di mana : Ii : indeks preponderan jenis makanan ke-i Vi : persentase volume makanan ke-i Oi : persentase kejadian makanan ke-i
76
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Penghitungan fekunditas dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik yaitu dengan cara menimbang gonad. Pengukuran dan penghitungan gonad yang berukuran kecil dilakukan menggunakan mikroskop (perbesaran 4x10) yang dilengkapi mikrometer dan telur yang berukuran besar menggunakan digital caliper. Dalam penelitian ini contoh telur seberat 0,5 gram diamati dan didapatkan ukuran serta jumlah telurnya. Fekunditas dihitung secara gravimetrik dengan rumus : F = n x G x V …………………… (6) g dimana : F : Fekunditas V : Volume pengenceran g : berat gonad sub sampel (0,5 gram) n : jumlah telur dalam sub sampel G : berat gonad
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hubungan Panjang-Berat Jumlah sampel ikan beloso yang diukur pada tahun 2013 sebanyak 202 ekor memiliki sebaran ukuran panjang berkisar 18,0–46,3 cmFL dengan rata-rata 27,76 cmFL dan modus 27,85 cmFL.
Gambar 2. Distribusi Frekuensi Panjang Cagak Ikan Beloso
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
77
Pola pertumbuhan ikan beloso (Saurida micropectoralis) secara keseluruhan dari 202 sampel yang berasal dari perairan Binuangeun dan sekitarnya memiliki persamaan W= 0,006L3,152 dan koefesien korelasi sebesar 0,95 (Gambar 3). Pola pertumbuhan ikan beloso (Saurida micropectoralis) jenis kelamin jantan dari 60 sampel adalah allometrik positif dengan persamaan W = 0,005L3,170 dan koefesien korelasi sebesar 0,92 serta jenis kelamin betina dari 137 sampel bersifat allometrik positif dengan persamaan W = 0,008L3,136 dengan koefesien korelasi sebesar 0,95 (Gambar 4).
Gambar 3. Hubungan Panjang-Berat Ikan Beloso (Saurida micropectoralis).
Gambar 4. Hubungan Panjang-Berat Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) Jenis Kelamin Jantan dan Betina.
78
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Faktor Kondisi Nilai faktor kondisi ikan beloso (S. micropectoralis) yang diperoleh dari hasil perhitungan berada pada kisaran 1,08-1,14 (Gambar 5). Faktor kondisi pada bulan Januari adalah 1,11; Februari 1,11; April 1,14; Juli 1,08; Oktober 1,07. Nilai faktor kondisi ikan beloso betina berada pada kisaran 1,07-1,17 dengan rata-rata 1,13 dan 0,95-1,11 dengan rata-rata 1,04 pada ikan beloso jantan (Gambar 6).
Gambar 5. Faktor Kondisi Ikan Beloso
Gambar 6. Faktor Kondisi Ikan Beloso Jantan dan Betina
Nisbah kelamin (Sex Ratio) Perbandingan nisbah kelamin antara ikan beloso jantan dan betina di Binuangeun pada bulan Januari 2013 yaitu 1,0 : 2,5 (29% : 71%) artinya di alam populasi ikan beloso betina 2 kali lebih banyak dibandingkan kelamin jantan. Bulan Februari, perbandingannya yaitu 1,8 : 1,0 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
79
(64% : 36%) artinya di alam populasi ikan beloso jantan lebih banyak dibandingkan kelamin betina. Bulan April, perbandingannya yaitu 1,0 : 1,7 (36% : 64%) artinya di alam populasi ikan beloso betina lebih banyak dibandingkan kelamin jantan. Bulan Juli perbandingannya yaitu 1,0 : 1,6 (39% : 61%) artinya di alam populasi ikan beloso betina lebih banyak dibandingkan kelamin jantan. Sama halnya dengan pengamatan bulan Juli, pengamatan bulan Oktober perbandingannya yaitu 1,0 : 4,8 (17% : 83%) artinya di alam populasi ikan beloso betina lebih banyak dibandingkan kelamin jantan (Gambar 7).
Gambar 7. Nisbah Kelamin Ikan Beloso (Saurida micropectoralis)
Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beloso jantan menyebar pada TKG I – III didominasi oleh stadia II dengan persentasi 50,00%. Secara berturut-turut persentasi TKG pada ikan beloso jenis kelamin jantan adalah sebagai berikut, TKG I (48,33%), TKG II (50,00%), TKG III (1,67%). Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beloso betina menyebar pada TKG I – V didominasi oleh stadia I dengan persentasi 44,52%. Secara berturut-turut persentasi TKG pada ikan beloso jenis kelamin betina adalah sebagai berikut, TKG I (44,53%), TKG II (29,20%), TKG III (15,33%), TKG IV (4,38%), dan TKG V (6,57%). Hasil TKG bulan Januari dalam tahap belum matang gonad (immature), namun ditemukan juga ikan beloso TKG V dengan persentasi sebesar 4,57% sehingga diduga ikan beloso sudah memijah pada bulan sebelumnya yaitu Desember. Bulan Februari, TKG ikan beloso yang diamati pada jenis kelamin jantan menyebar pada TKG I – III didominasi oleh stadia II dengan persentasi 77,78 % dan jenis kelamin betina menyebar pada TKG I – III didominasi oleh stadia I dengan presentasi sebesar 60,00% sehingga ikan beloso pada bulan Februari dalam tahap belum matang gonad (immature). Bulan April, TKG ikan beloso yang diamati pada jenis kelamin jantan hanya ditemukan pada TKG I – II didominasi oleh stadia II dengan persentasi 77,78% dan jenis kelamin betina
80
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
menyebar pada TKG I – V didominasi oleh stadia I dengan presentasi sebesar 29% dan ditemukannya gonad pada stadia spent sebesar 12,90% sehingga diduga ikan beloso pada bulan April dalam tahap sudah matang gonad. Bulan Juli, TKG ikan beloso yang diamati pada jenis kelamin jantan ditemukan pada TKG I – II didominasi oleh stadia I dengan persentasi 75,00% dan jenis kelamin betina menyebar pada TKG I – IV didominasi oleh stadia I dengan presentasi sebesar 36,84%. Bulan Oktober, TKG ikan beloso yang diamati pada jenis kelamin jantan hanya ditemukan pada TKG I – II didominasi oleh stadia I dengan persentasi 69,23% dan jenis kelamin betina menyebar pada TKG I – IV juga didominasi oleh stadia I dengan presentasi sebesar 51,61% sehingga dapat dikatakan bahwa ikan beloso pada bulan Juli dan Oktober dalam tahapan belum matang gonad (Gambar 9).
Gambar 9. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) pada Jenis Kelamin Jantan dan Betina.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
81
TKG III
TKG I
Gambar 10. Gambar Tingkat Kematangan Gonad TKG I, III, IV, dan Spent.
Gambar Tingkat Kematangan Gonad (TKG) I, III, IV dan Spent ikan beloso dapat dilihat pada Gambar 10. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) ikan beloso betina yang diamati berkisar 0,11-8,56% dengan rata-rata 1,40% dan ikan beloso jantan berkisar 0,11-1,08% dengan rata-rata 0,32%. Nilai rata-rata IKG ikan beloso betina meningkat dari TKG I (0,34%); TKG II (0,92%); TKG III (2,53%); TKG IV (3,68%) dan TKG V (4,51%). Begitu pula untuk nilai rata-rata IKG ikan beloso jantan meningkat dari TKG I (0,16); TKG II (0,32); dan TKG III (0,45). Tabel 1. Indeks Kematangan Gonad Ikan Beloso Betina Jantan
82
TKG I 0,34% 0,16%
TKG II 0,92% 0,32%
TKG III 2,53% 0,45%
TKG IV 3,68%
TKG V 4,51%
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 11. Indeks Kematangan Gonad per Bulan.
Isi lambung (Stomach content) Gambar 12 menunjukkan hasil analisa isi lambung (stomach content) ikan beloso (Saurida micropectoralis) dengan menggunakan index of preponderans (IP). Pengamatan bulan April 2013 menunjukkan makanan utama ikan beloso adalah ikan hancur (fish) dengan kehadiran 50%, kemudian ikan dari famili Tetraodontidae, Leiognathidae dan Clupeidae masing-masing mencapai 24,4%; 5,0% dan 5,25%, makanan pelengkapnya adalah udang (Penaeidae) dengan kehadiran 9,6%, dan makanan tambahannya adalah cumi-cumi (Loligonidae) dengan kehadiran 5,68%. Bulan Juli, makanan utama ikan beloso adalah ikan hancur (fish) dengan kehadiran 48,6% dan ikan gulamah (Sciaenidae) dengan kehadiran 33,6%, makanan pelengkapnya adalah ikan petek (Leiognathidae) dengan kehadiran 16,5% dan makanan tambahannya adalah udang (Penaeidae) dengan kehadiran 1,2%. Bulan Oktober, makanan utama ikan beloso adalah cumicumi (Loligonidae) dengan kehadiran 34,2%, makanan pelengkapnya adalah ikan tembang (Clupeidae) sebesar 20,8%, ikan kurisi (Nemipteridae) sebesar 19,2%, ikan teri (Clupeidae) sebesar 16,2% dan ikan petek (Leiognathidae) sebesar 9,5%.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
83
Gambar 12. Isi Lambung Ikan Beloso (Saurida micropectoralis). Fekunditas Dari 29 sampel telur ikan beloso (Saurida micropectoralis) TKG III dan IV, diperoleh fekunditas berkisar 64.819– 692.669 butir telur dengan rata-rata 244.382 butir telur. Fekunditas terendah (64.819 butir) diperoleh dari ikan yang berukuran 24,6 cm FL dan tertinggi (692.669 butir) diperoleh dari ikan yang berukuran 37,70 cm FL. Berdasarkan hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L) diperoleh persamaan sebagai berikut F=171,61L2,015 2 ) 0,499 (Gambar 13).
Gambar 13. Hubungan Fekunditas dan Panjang Cagak Ikan Beloso.
84
Diameter Telur Rata-rata diameter telur ikan beloso (Saurida micropectoralis) selama pengamatan berkisar 247 µm – 3690 µm (0,2mm– 3,6mm) dengan rata-rata 625 µm (0,6 mm). Rata-rata diameter telur pada TKG III adalah 414 µm, TKG IV adalah 542µm dan TKG V adalah 617 µm. 25
TKG III
20 15 10 5
Persentase (%)
0 18
TKG IV
16 14 12 10 8 6 4 2 0 25
TKG V
20 15 10
5 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Diameter telur (mm)
Gambar 14. Diameter Telur Ikan Beloso (Saurida micropectoralis) di Perairan Selatan Jawa Bagian Barat. PEMBAHASAN Ukuran panjang cagak ikan beloso berkisar 18,00–46,30 cmFL dan modus pada ukuran 27,85 cmFL dengan berat total ikan beloso berkisar 54-798 gram. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana ukuran panjang cagak berkisar 11-29,5 cmFL, dengan modus 16,5 cmFL dan berat berkisar 12,7-297,9 gram (Damora & Ernawati, 2011). Pertumbuhan ikan beloso di selatan jawa dan utara jawa akan berbeda di sebabkan tekanan penangkapan yang cukup tinggi di perairan utara jawa dibandingkan selatan jawa. Ikan beloso yang tertangkap didominasi oleh satu kohort dengan modus panjang 27,85 cmFL. Hasil penelitian menunjukkan hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif dengan nilai b sebesar 3.15 (Gambar 3). Hasil ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya menggunakan jenis ikan yang sama di perairan utara Jawa dengan nilai b sebesar 3,20 (Ernawati, 85
2008), dan juga nilai b sebesar 3,05 (Damora & Ernawati, 2011). Hubungan panjang dan berat dapat merepresentasikan kondisi biota, dimana berat biota akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya volume (Jennings et al, 2001). Pertumbuhan suatu jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, penyakit, ketersediaan makan, dan suhu perairan (Effendie, 2002). Faktor kondisi merupakan nilai yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi tertinggi tercapai pada bulan April dengan nilai 1,14 (Gambar 5). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata nilai faktor kondisi ikan beloso jantan (K=1,04) lebih kecil dibandingkan ikan beloso betina (K=1,13). Hasil ini menunjukkan bahwa ikan beloso betina lebih besar dibandingkan ikan beloso jantan. Menurut Effendie (1979), ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (K) antara 1-3. Nisbah kelamin ikan beloso jantan dan betina pada bulan januari, februari, april, juli dan oktober menunjukkan hasil perbandingan yang berbeda-beda. Keseimbangan perbandingan jumlah individu jantan dan betina memungkinkan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa lebih besar sehingga kemungkinan terjadinya individu baru semakin besar (Effendi, 2002). Menurut Nikolsky (1969), perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Dalam ruaya ikan untuk memijah terjadi perubahan nisbah kelamin secara teratur, pada awalnya ikan jantan biasanya dominan kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, diikuti dengan dominasi ikan betina. Gambar 7 menunjukkan fenomena ini, dimana ikan beloso jantan dan betina awalnya berada dalam posisi setimbang kemudian terjadi dominasi ikan beloso betina. Tingkat kematangan gonad secara umum dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan (Effendie, 1979). Dari keseluruhan ikan beloso yang tertangkap, didominasi oleh TKG II untuk ikan beloso jantan dan TKG I untuk ikan beloso betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan beloso yang tertangkap belum mencapai tingkat kematangan gonad. Hal tersebut dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan karena tidak adanya proses rekrutmen. Pada bulan Januari dan Februari ikan beloso yang tertangkap didominasi oleh TKG I menunjukkan bahwa kondisi populasi sedang mengalami rekrutmen yang tinggi. Persentase TKG matang gonad (III, IV dan V) terjadi pada bulan April untuk ikan beloso betina, sedangkan untuk ikan beloso jantan hanya ditemukan TKG I dan II. Pada bulan Juli dan Oktober, persentase gonad ikan beloso betina yang sudah matang mengalami penurunan sedangkan pada ikan beloso jantan hanya ditemukan gonad dengan TKG I dan II. Berdasarkan sebaran TKG setiap bulannya, diduga pada bulan April merupakan musim pemijahan ikan beloso di perairan Binuangeun dan sekitarnya (Gambar 9). Hal ini ditandai dengan dominansi ikan-ikan yang matang gonad dibandingkan bulan lainnya, dimana pada
86
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
bulan tersebut ikan yang matang gonad (TKG III, IV, dan V) memiliiki persentase sebesar 50 % (Gambar 9). Hasil ini diperkuat dengan nilai faktor kondisi dan indeks kematangan gonad pada bulan April yang memiliki nilai paling besar (Gambar 6, 11). Kematangan gonad dapat dikorelasikan dengan faktor kondisi yang menandakan kemontokan ikan. Di dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad semakin bertambah berat dibarengi dengan semakin besar ukurannya termasuk garis tengah telurnya. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat ikan akan berpijah, kemudian berat gonad akan menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 1979). Menurut Hunter & Goldberg (1930) and Cyrus and Blaber (1984) dalam Andamari et al, (1998), kriteria yang digunakan untuk menentukan tahap kematangan gonad betina adalah sebagai berikut. Tahap pertama adalah Immature (belum matang), dengan oogonia sudah terlihat. Tahap kedua Developing/resting (berkembang) dengan Pre-vitellogenic oocytes. Tahap ketiga Maturing (matang), yaitu kuning telur mulai terlihat dan sebagian belum terlihat. Tahap keempat Ripe (matang) kuning telur belum terlihat, chorion mulai berkembang. Tahap kelima Running ripe, yaitu kunig telur berwarna merah mulai merata; oocytes hydrated; masa perkembangan sempurna. Tahap keenam, disebut tahap spent, oocyte telah matang ditambah dengan oocyte pre-vitellogenic, munculnya post-vitellogenic follicles. Nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan beloso jantan maupun betina mengalami peningkatan dari TKG I sampai dengan V untuk ikan beloso betina dan peningkatan dari TKG I sampai III untuk ikan beloso jantan (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh proses pertumbuhan ikan, pertambahan berat gonad diiringi dengan pertambahan ukuran gonad. Indeks kematangan akan semakin besar dan nilai tersebut akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (Effendie, 1979). Ikan beloso memiliki sifat karnivora yang makanan utama hancuran ikan, teri, dan cumi. Menurut Dwiponggo (1977), ikan beloso dapat dikatagorikan ikan buas yang makananya berupa organisme dasar terutama ikan-ikan berukuran kecil. Secara komposisi kebiasaan makan ikan beloso bulan April tidak terlalu berbeda dengan penelitian sebelumnya di pantai utara jawa dimana makanan utamanya adalah ikan teri 40%, cumi-cumi 20%, dan campuran ikan (Damora dan Ernawati, 2011). Menurut Effendie (1979), fekunditas sering dihubungkan dengan panjang karena penyusutanya relative kecil dibandingkan dengan berat. Hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L) diperoleh persamaan F=171,61L2,015 dengan nilai koefisien determinasi (R2) 0,499 (Gambar 13), ini menunjukkan panjang dapat mempengaruhi fekunditas sebesar 49%, sedangkan 51% fekunditas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Nilai koefisien
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
87
korelasi berdasarkan persamaan tersebut adalah 0,71 artinya hubungan antara fekunditas dan panjang tubuh berbanding lurus atau dengan kata lain bahwa pertambahan panjang tubuh ikan beloso mempengaruhi fekunditasnya. Diameter telur menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan meningkatnya TKG. Semakin besar TKG ikan beloso semakin besar pula diameter telurnya. Pola sebaran diameter ukuran telur dianalisis secara deskriptif dengan melihat modus penyebaran ukuran. Pola sebaran diameter telur ikan beloso (Saurida micropectoralis) menunjukkan tipe pola partial spawner yaitu ikan yang memijahkan telur dilakukan secara bertahap. Tipe partial spawner, yaitu ikan yang memijahkan telur tidak sekaligus dalam satu musim pemijahan (Gambar 14).
KESIMPULAN Pertumbuhan ikan beloso bersifat allometrik positif. Faktor kondisi tertinggi didapatkan pada bulan april dengan nilai 1,14. Musim pemijahan ikan beloso terjadi beberapa kali dalam setahun dan diduga puncaknya terjadi setelah bulan April yaitu bulan Mei-Juni, sehingga direkomendasikan untuk pengelolaan ikan beloso di selatan jawa musim pelarangan penangkapan (close season) dilakukan pada bulan Mei-Juni. Ikan beloso bersifat karnivora, dimana makanan utamanya adalah hancuran ikan, cumi, dan teri. Hubungan fekunditas dengan pertambahan panjang tubuh ikan berbanding lurus, berkisar 64.819–692.669 butir telur dengan rata-rata 244.382 butir telur. Pola sebaran diameter telur ikan beloso menunjukkan tipe partial spawner.
DAFTAR PUSTAKA Andamari, M. Farmer, U. Khodriyah, A. N. Susanto, 1998. Gonad Maturity Stages of Anchovies (Encrasicholina heterolobus) From Bacan Island. IFR Journal. 4 (2): 47-51. Damora, A & T. Ernawati, 2011. Beberapa aspek biologi ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan utara Jawa Tengah. Bawal vol.3 (6). 363-367. Dwiponggo, A. 1977. Peta beberapa sumber perikanan demersal (dasar) di Laut Jawa dan Cina selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 35 pp. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan.Yayasan Dewi Sri, Bogor, 112 hlm.
88
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Effendie, M.I. 1979. Biologi Perikanan.Yayasan Pustaka Nusantara,Yogyakarta, 163 hlm. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.163 pp Ernawati, T. 2008. Sebaran panjang, pertumbuhan dan kematangan ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan utara jawa. Prosiding Seminar Nasional Tahun V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 121-128. Holden , M. J. & D. F. S. Raitt. (eds). 1974. Manual of fisheries science. Part 2. Methods of resource investigation and their application. FAO fish. Tech pap., (115). Rev. 1 : 214 pp. Imron, M. 2008. Pemanfaatan Sumberdaya perikanan demersal yang berkelanjutan di perairan Tegal Jawa Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jennings S., M. Kaiser, & J.D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecologi. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp. Kuo, C.M., C.E. Nash & Z.H. Shehadeh. 1974. A procedural guide to induce spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquaculture. 3:1-14. Natarajan, A. V. & A. G. Jhingran. 1961. Index of preponderance-a method of grading the food elements in the stomach analysis of fisheries. Indian J.Fish. 8 (1): 54-59. Nikolsky, 1969. Theory of fish Population dynamics as the biological background for rational exploitation and management of fishery resource. Oliver and boyd publisher united kingdom. London.323 pp. Steel, R. G. D. & J.H. Torrie. 1981. Principle And Procedure of Statistic. Second Edition. Mie Graw Hill Book Company, inc New York. 748 pp.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
89
90
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
KEPADATAN STOK DAN KOMPOSISI UDANG PENAEID HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI PERAIRAN MUKO-MUKO, BENGKULU Pratiwi Lestari 1) dan Adrian Damora 1) 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi hasil tangkapan dan kepadatan stok pada perikanan pukat udang. Data penangkapan pukat udang digunakan dalam analisis komposisi hasil tangkapan secara kuantitatif yang menggambarkan komposisi hasil tangkapan dan kepadatan stok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan pukat udang didominasi oleh ikan petek (Leognathus splendens) 92% dan udang penaeid 8% dengan komposisi udang jerbung 4%, udang dogol 2% dan udang krosok 2%. Rerata laju tangkap dan kepadatan stok udang penaeid dengan alat tangkap pukat udang/lampara dasar di perairan Muko-muko Bengkulu sebesar 1,09 kg/jam dan 21,29 kg/km2
ABSTRACT Stock Density and Composition of Penaeid Shrimp Caught by Beam Trawl In Mukomuko, Bengkulu This paper aimed to assess catch composition and stock density of penaeid shrimp caught by beam trawl in Muko-muko. Catch and effort data (number and species), fishing time of capture unit, were used in analysis quantitative catch composition to describe catch compotition and stock density. The result of research showed that catch compositon of beam trawl dominated by Leognathus splendens 92% and penaeid shrimp 8% which compositon of banana shrimp 4%, endevour shrimp 2% and krosok 2%. Catch rate and stock density of Beam trawl operation in Muko-muko Bengkulu waters are 1,09 kg/hour and 21,29 kg/km2. Keywords: Stock Density, Catch Composition, Beam Trawl PENDAHULUAN Perairan laut Bengkulu merupakan bagian dari WPP 572 (Samudera Hindia Barat Sumatera) yang memiliki sumberdaya perikanan yang cukup beragam dan memiliki nilai
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
91
ekonomis penting. Sumberdaya perikanan yang telah dimanfaatkan dan dikembangkan di daerah ini adalah sumberdaya udang penaeid, krustasea dan rajungan. Disamping itu juga terdapat sumberdaya ikan seperti ; kakap, kerapu, bawal, manyung, layur, tongkol, tenggiri, tuna, dan cakalang. Pemanfaatan sumber daya udang Penaeid dan krustasea lain di perairan Samudra Hindia sudah berlangsung cukup lama dan cenderung status pengusahaannya berada dalam tingkatan yang jenuh (Dwiponggo, 1987; Suman, 2010). Walaupun sumber daya udang dan krustasea lain termasuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) tetapi penangkapan yang terus meningkat tanpa adanya pembatasan akan dapat menyebabkan habisnya sumber daya tersebut. Mengingat tingginya intensitas penangkapan udang Penaeid dan krustasea lain di wilayah ini yang dilakukan sepanjang hari sepanjang tahun, maka dikhawatirkan pemanfaatannya akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya tersebut di perairan ini. Apalagi hal ini terjadi pada sumber daya udang Penaeid dan krustasea lain yang sangat rentan terhadap dampak penangkapan mengingat sifatnya yang memiliki ruaya yang sempit, aktivitas rendah dan kawanan relatif kecil (Aoyama, 1973). Dengan adanya indikator semakin menurunnya laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok di perairan ini, yang berarti sudah terjadi penurunan stok (Suman, 2004), maka stok sumber daya udang penaeid dan krustasea lain di perairan ini perlu mendapat perhatian yang serius dan upaya-upaya pengelolaan yang lebih baik, sehingga sumber daya yang ada masih dapat menjadi modal bagi pemulihan (recovery) stok dalam kaitannya dengan pemanfaatan secara berkelanjutan dan lestari. Oleh karena itu, agar pemanfaatan sumber daya udang Penaeid dan krustasea lainnya dapat terus berkelanjutan dan lestari diperlukan data dan informasi ilmiah tentang komposisi hasil tangkapan dan kepadatan stok. Informasi tentang indeks kepadatan stok sumber daya perikanan sesuai dengan tempat dan waktu, merupakan salah satu dasar bagi keberhasilan usaha penangkapan. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel sumber daya udang di perairan Muko-muko dilakukan dengan mengikuti kegiatan nelayan menggunakan alat tangkap beam trawl (pukat udang) pada bulan Maret tahun 2013, pada kisaran kedalaman perairan 5-12 meter dengan jarak ± 3 mil dari pantai. Alat trawl yang digunakan dilengkapi dengan tali ris atas yang panjangnya 25 meter dan ukuran mata jaring bagian kantong 25 mm. Pukat udang ini menggunakan papan pembuka (otter) dengan panjang 1,35 m dan lebar 0.70 m Penarikan jaring pada setiap titik penangkapan (stasiun penelitian) berlangsung selama satu jam, dengan kecepatan kapal rata-rata 3 knot dan dilakukan pada pagi hingga sore 92
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
hari antara pukul 06.00-16.00. Perhitungan laju tangkap dan kepadatan stok menggunakan metode sapuan (swept area method) menurut luas area yang diliput, kecepatan kapal waktu menarik jaring, lebar bukaan mulut jaring, dan hasil tangkapan (Sparre & Venema, 1992), sebagai berikut : a.n = t x v x h x e x 1,852 x 0,001 D = ( 1/a.n) x (c/f)
(1) (2)
dimana :
a.n c D e
= panjang jalur yang dilalui jaring (km) = hasil tangkapan (kg/jam) = Densitas/kepadatan stok = konstante bukaan mulut jaring (menurut Shindo, 1973, nilai e = 0,66)
f = h = t = v = 1,852 = 0,001 =
escapment factor (= 0,5) panjang tali ris atas (=25 m) lama penarikan jaring (1 jam) rata-rata kecepatan kapal saat menarik jaring (3 knot) konversi mil ke km konversi dari meter ke km
HASIL DAN BAHASAN HASIL 1.
Kepadatan Stok
Daerah penangkapan armada nelayan udang berada tidak jauh (± 3 mil) dari pantai atau nelayan biasa menyebutnya “daerah pinggiran”, dengan kedalaman air berkisar antara 5-12 meter. Pada saat observasi laut bulan Maret 2013 peneliti mengikuti kegiatan nelayan harian selama 2 hari dan didapatkan 8 titik daerah penangkapan udang.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
93
Gambar 1. Jalur trip observasi kegiatan laut di Mukomuko, 2013 Hasil tangkapan per jam (catch rate) pukat udang menunjukkan untuk jenis udang dogol sebesar 0,033kg/jam, berdasarkan perhitungan dengan metode swept area dan laju tangkap maka didapatkan kepadatan (densitas) udang dogol sebesar 0,63 kg/km2, untuk udang jerbung sebesar 0,339 kg/jam dengan kepadatan (densitas) sebesar 6,63 kg/km2, dan udang krosok 2,89 kg/jam dengan kepadatan (densitas) sebesar 56,61 kg/km2. Hasil pengukuran parameter oseanografi menunjukkan salinitas di perairan Mukomuko berkisar antara 29-33 ppm, terkecuali pada titik 2 yang mengalami anomali sebesar 26 ppm. Anomali tersebut diduga karena titik tersebut masih berdekatan dengan muara sungai sehingga pengaruh air tawar masih besar. Suhu minimum permukaan air sebesar 29oC dan suhu maksimum sebesar 31.02 oC. Kisaran pH antara 8.3-8.5 pada kedalaman air 5-12 meter.
94
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. CPUE udang jerbung di Mukomuko tahun 2013 Berdasarkan analisis data (Gambar 2) terlihat bahwa CPUE udang penaeid terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 10,58 kg/trip, sedangkan CPUE udang penaeid tertinggi pada bulan Oktober sebesar 61,48 kg/trip. Laju tangkap rata-rata udang penaeid di Muko-muko dari bulan Januari-Nopember 2013 sebesar 33,51 kg/trip. 2.
Komposisi Hasil Tangkapan
Komposisi hasil tangkapan berdasarkan observasi laut mengikuti trip nelayan pada kedalaman 5-12 m yaitu didapatkan jenis udang dogol (Metapenaeus ensis), jerbung (Penaeus merguiensis), udang mantis, krosok dan ikan petek dan memperlihatkan bahwa hasil tangkapan jenis udang hanya sekitar 8% dari total tangkapan pukat udang. Rendahnya persentase tersebut salah satunya disebabkan karena trip dilakukan pada saat bukan musim penangkapan udang. Selain itu, trip nelayan yang diikuti juga merupakan nelayan dengan trip harian, yang biasanya hasil tangkapan udangnya selalu memiliki persentase yang kecil.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
95
Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan nelayan udang di Mukomuko, Maret 2013 Komposisi hasil tangkapan udang dari bulan Januari sampai Nopember 2013 menunjukkan bahwa hasil tangkapan pukat udang di Mukomuko didominasi oleh udang krosok sebesar 80%, kemudian udang jambu 11%, udang kelong/jerbung 7%, dan udang dogol 2% (Gambar 4).
Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan udang di Mukomuko, Januari-Nopember 2013 (berdasarkan data dari pengumpul)
96
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BAHASAN Kegiatan penangkapan udang yang dilakukan nelayan di Muko-muko secara umum merupakan usaha perikanan skala kecil yang menggunakan armada dengan ukuran < 10 GT. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang berupa pukat kantong/pukat udang yang biasa disebut beam trawl. Jenis pukat udang yang digunakan nelayan yaitu lampara dasar. Target alat tangkap ini adalah udang penaeid seperti udang jerbung dan udang dogol. Operasional penangkapan udang umumnya dilakukan selama satu hari (one day fishing). Komposisi jenis hasil tangkapan nelayan udang di perairan Muko-muko Bengkulu didominasi oleh udang krosok yang merupakan campuran dari berbagai macam jenis udang yang berukuran kecil yang termasuk dalam genus Metapenaeopsis dan Parapenaeopsis. Hasil penelitian pukat udang pada kedalaman perairan 10-13 meter di Meulaboh menunjukkan hasil tangkapan per jam (catch rate) pukat udang untuk jenis udang dogol sebesar 0,24 kg/jam dengan kepadatan (densitas) sebesar 1,44 kg/km2, udang jerbung sebesar 0,46 kg/ jam dengan kepadatan (densitas) sebesar 2,77 kg/km2, udang cagrek sebesar 0,91 kg/jam dengan kepadatan (densitas) sebesar 5,50 kg/km2, dan udang campuran (krosok, batu, dll) 0,19 kg/jam dengan kepadatan (densitas) sebesar 1,15 kg/km2 (BPPL, 2013). Menurut Penn (1984) habitat yang sesuai untuk kehidupan udang penaeid terutama pada kedalaman antara 10-30 m dengan dasar perairan terutama berlumpur serta masih dipengaruhi oleh massa air tawar (freshwater discharge). Keberhasilan usaha penangkapan udang selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan setempat, juga bergantung kepada daya tangkap (fishing power), sifat mudah kena (vulnerability), dan banyak sedikitnya kelompok udang serta kemampuan dan strategi penangkapan yang berhubungan dengan ketrampilan juru mudi. Menurut (Caddy vide Penn, 1984) besar kecilnya kelompok udang secara langsung berkaitan erat dengan sifat (behaviour) jenis udang. Udang jerbung dan dogol lebih menyenangi kelompok yang berjumlah besar terutama pada pagi hari. KESIMPULAN a.
Rerata laju tangkap dan kepadatan stok udang penaeid dengan alat tangkap pukat udang/ lampara dasar di perairan Muko-muko Bengkulu sebesar 1,09 kg/jam dan 21,29 kg/km2
b.
Komposisi udang hasil tangkapan pada saat observasi laut bulan Maret 2013 didominasi oleh udang jerbung, sedangkan berdasarkan data landing selama tahun 2013 di dominasi oleh udang krosok.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
97
DAFTAR PUSTAKA Aoyama, T. 1973. The Demersal Fish Stocks and Fisheries of South China Sea. IPFC/SCS/ DEV/73/3. Rome. Dwiponggo, A, T.Hariati,S.Banon M.L. Palomares & D.Pauly, 1987. Growth, Mortality and Recruitment of Comercially Important Fishes and Penaeid Shrimps in Indonesian Waters. _ICLARM Tech. Rep. 17: 1-91. Penn, J.W. 1984. The behaviour and catchability of some commercially exploited penaeids and their relationship to stock and recruitmen. In: J.A.Gulland & B.J.Rothschild (Eds): Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. Fishing News Book Ltd. Surrey. England. Hal:173--185. Sparre, P. & S.C. Venema. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1. Manual. Suman, A. & C. Umar. 2010. Dinamika populasi udang putih (Penaeus merguensis de Man) di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 16 (1): 29-33.
98
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
ASPEK BIOLOGI LOBSTER BAMBU (Panulirus versicolor) DAN LOBSTER BATIK (Panulirus longipes) DI PERAIRAN LOMBOK TENGAH BIOLOGICAL ASPECTS OF PAINTED ROCK LOBSTER (Panulirus versicolor) AND SPOTTED-LEGGED ROCK LOBSTER (Panulirus longipes) IN CENTRAL LOMBOK WATERS Adrian Damora Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta ABSTRAK Lobster bambu (Panulirus versicolor) dan lobster batik (Panulirus longipes) merupakan dua spesies lobster yang tertangkap di perairan Lombok Tengah dan sekitarnya. Meningkatnya jumlah nelayan penangkap lobster di perairan ini, menyebabkan eksploitasi terhadap jenis spesies ini juga meningkat. Hal ini tentunya akan mengancam kelestarian sumber daya spesies ini apabila tidak dilakukan upaya pengelolaan yang baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas parameter biologi lobster P. versicolor dan P. longipes, meliputi distribusi frekuensi panjang, hubungan panjang-bobot, nisbah kelamin, kematangan kelamin, serta penentuan ukuran minimum yang boleh ditangkap dari sumber daya lobster. Penelitian dilakukan pada bulan Maret–April 2013. Metode yang digunakan adalah metode survei pada lokasi-lokasi konsentrasi nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang memiliki aktivitas perikanan lobster yang paling dominan. Sebanyak 179 ekor contoh P. versicolor dan 112 ekor contoh P. longipes yang diambil secara acak untuk dianalisis beberapa aspek biologinya. Hasil penelitian menunjukkan modus kelas panjang kedua jenis lobster berada pada nilai tengah yang sama, yaitu 52,5 mm CL. Pola pertumbuhan kedua jenis lobster bersifat allometrik negatif. Nisbah kelamin kedua jenis lobster juga berada dalam kondisi tidak seimbang. Ukuran minimum P. versicolor dan P. longipes yang boleh ditangkap (minimum legal size) untuk dapat menunjang kelestariannya, masing-masing sebesar 80 dan 51 mm CL. KATA KUNCI: pertumbuhan, nisbah kelamin, matang kelamin ABSTRACT Painted rock lobster (P. versicolor) and spotted-legged rock lobster (P. longipes) are two species lobster were caught in Central Lombok and adjacent waters. The increasing number of fishermen catching lobster in these waters, causing the exploitation of these species also increased. This case will threaten the preservation of the resources if no management measures are based on the biological aspects study. The objective of this study is to assess the biological aspects including length frequency distribution, length-weight relationship, sex ratio, sex maturity, and minimum legal size of P. versicolor and P. longipes. This study was conducted from March to April 2013. Survey method is used for the study in some of blue swimming crab landing sites. Approximately the samples of P. versicolor and P. longipes were collected with Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
99
random sampling, respectively 179 and 112. The results showed both length class modus of the lobster are in the middle of the same value, namely 52.5 mm CL. The pattern of growth in both types of lobster are negatively allometric. Sex ratio of the two types of lobster are also in a state of imbalance. The minimum size of P. versicolor and P. longipes may be captured (minimum legal size) to be able to support sustainability, respectively 80 and 51 mm CL. KEYWORDS: growth, sex ratio, sex maturity PENDAHULUAN Perairan Lombok Tengah dan sekitarnya merupakan salah satu daerah potensial penangkapan lobster di Samudera Hindia bagian selatan Nusa Tenggara. Pengusahaan lobster di wilayah ini sudah dimulai sejak tahun 1990, dan saat ini produksi tangkapannya cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jenis lobster yang tertangkap, antara lain lobster batu (Panulirus penicillatus), lobster hijau pasir (P. homarus), lobster mutiara (P. ornatus), lobster bambu (P. versicolor), lobster batik (P. longipes), dan lobster pakistan (P. polyphagus). Di antara jenis-jenis tersebut lobster bambu dan lobster batik merupakan jenis yang biasanya ditangkap pada habitat yang sama. Berdasarkan pengamatan di tempat pendaratan lobster di Lombok Tengah, persentase hasil tangkapan lobster bambu dan lobster batik masing-masing sebesar 10% dan 5% dari total hasil tangkapan. P. versicolor memiliki warna tubuh yang beragam. Antenna berwarna merah muda di bagian dasarnya dan warna yang serupa juga terlihat pada bagian sisi karapas. Warna dasar tubuh lobster ini adalah hijau terang dengan garis putih melintang yang diapit oleh garis hitam. Pada lobster yang masih muda warna dasarnya adalah kebiruan atau keunguan. P. longipes memiliki warna dasar tubuh kecoklatan dengan warna kebiruan pada ruas I antenna. Abdomen berbintik-bintik putih. Kaki jalan berbintik-bintik putih dengan warna pucat memanjang pada tiap-tiap ruas kaki. Keduanya lebih menyukai hidup pada tempat-tempat terlindung di antara batu-batu karang dan cenderung bersifat oseanik. Oleh karena itu, sering kali dua spesies ini ditemukan pada lokasi yang sama dan jarang terlihat dalam kelompok yang berjumlah banyak (Moosa & Aswandy, 1984). Seiring makin meningkatnya harga jual lobster sebagai komoditas ekspor, tentu saja berakibat pada meningkatnya jumlah upaya penangkapan. Kondisi ini juga dialami perikanan lobster di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Hal ini tentunya akan berakibat pada kelestarian sumber daya lobster di perairan tersebut. Oleh karena itu, penelitian-penelitian mengenai biologi dan stok lobster di wilayah ini, terlebih untuk jenis P. versicolor dan P. longipes, perlu untuk dilakukan dalam rangka merumuskan upaya pengelolaan sumber daya lobster yang berkelanjutan.
100
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas beberapa aspek biologi lobster jenis P. versicolor dan P. longipes, meliputi distribusi frekuensi panjang, hubungan panjang-bobot, nisbah kelamin, kematangan kelamin, serta ukuran pertama kali tertangkap dan matang kelamin. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan sumber daya lobster di perairan Lombok Tengah dan sekitarnya. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan Maret–April 2013. Pengambilan contoh biologi P. versicolor dan P. longipes didasarkan pada data hasil pengambilan contoh secara acak berlapis, dengan jumlah lobster contoh masingmasing sebanyak 179 dan 112 ekor. Lobster contoh yang didapat ditangkap menggunakan alat tangkap jaring lobster dan metode menyelam. Jaring lobster yang digunakan merupakan jenis jaring insang dasar yang dioperasikan di perairan karang dengan kedalaman yang rendah, sedangkan metode menyelam dilakukan di perairan dengan kedalaman yang lebih tinggi. Pengambilan contoh lobster dilakukan setiap pekan selama dua bulan berturut-turut. Pengamatan biometrik lobster yang dilakukan meliputi pengukuran panjang karapas (carapace length), jenis kelamin serta kematangan kelamin secara fungsional, yaitu dengan mengamati lobster betina yang membawa telur yang telah dibuahi pada bagian abdomen (Mac Diarmid & Sainte-Marie, 2006).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
101
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh lobster di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Figure 1. Sampling site for lobster in Central Lombok, West Nusa Tenggara. Hubungan panjang-bobot dianalisa menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972; Jennings et al., 2001): W = aLb..................................................................................................... (1) di mana : W = bobot individu lobster (g) L = panjang karapas lobster (mm) a dan b = konstanta hasil regresi Hubungan panjang-bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat), jika b ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b ≠ 3, maka digunakan uji-t (Walpole, 1993). Selanjutnya thit yang didapat akan dibandingkan dengan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika thit > ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika thit < ttabel, maka terima Ho. Jenis kelamin lobster jantan dicirikan melalui ciri kelamin primernya, yaitu dengan mengamati petasma pada bagian pangkal kaki jalan kelima untuk. Sedangkan untuk lobster 102
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
betina dicirikan melalui ciri kelamin sekundernya, yaitu dengan mengamati pasangan kaki jalan kelimanya, di mana terdapat perbedaan bentuk percabangan di ujung kakinya dengan dengan lobster jantan (Moosa & Aswandy, 1984). Perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada persamaan berikut: NK = Nbi / Nji ......................................................................................... (2) di mana: NK = nisbah kelamin Nbi = jumlah lobster betina pada kelompok ukuran ke-i Nji = jumlah lobster jantan pada kelompok ukuran ke-i Pengujian nisbah dilakukan dengan menunggunakan uji Chi Kuadrat (Steel & Torrie, 1989): ............................................................................ (3) di mana: Oi = jumlah frekuensi lobster jantan dan betina ei = jumlah lobster jantan dan betina harapan pada sel ke-i k = kelompok stasiun pengamatan untuk lobster jantan dan betina yang ditemukan Ukuran rata-rata lobster pertama kali tertangkap dan matang kelamin secara fungsional didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang karapas lobster, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah lebar karapas saat 50% lobster tertangkap dan matang kelamin (King, 2007; Kizhakudan & Patel, 2010). HASIL Distribusi Frekuensi Panjang dan Ukuran Pertama Kali Tertangkap Pengukuran panjang karapas P. versicolor dilakukan terhadap 179 ekor lobster dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 29,9-126,2 mm. Pengukuran panjang karapas P. longipes dilakukan terhadap 112 ekor lobster dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 34,1-93,8 mm (Gambar 2).
Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang: (a) Panulirus versicolor dan (b) Panulirus longipes di perairan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Figure 2. Length frequency distribution of (a) Panulirus versicolor and (b) Panulirus longipes in Central Lombok waters, West Nusa Tenggara.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
103
Gambar 2 juga menunjukkan bahwa distribusi frekuensi panjang P. versicolor dan P. longipes yang tertangkap memiliki modus panjang sebesar 52,5 mm. Selanjutnya, dari distribusi frekuensi panjang ini dilakukan pernghitungan ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dari Panulirus versicolor dan Panulirus longipes, masing-masing sebesar 65,63 dan 55,87 mm CL. Pengukuran ini merupakan hal yang penting untuk dipelajari untuk dapat dihubungkan dengan ukuran pertama kali matang gonad. Hubungan Panjang-Bobot Hasil analisis hubungan antara panjang dan bobot P. versicolor dan P. longipes ditampilkan pada Tabel 1. Setelah dilakukan uji t dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), didapatkan pola pertumbuhan P. versicolor bersifat allometrik negatif, di mana pertambahan panjang lobster lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Sedangkan, pola pertumbuhan P. longipes adalah allometrik positif, di mana pertambahan bobot lobster lebih cepat dibandingkan pertambahan panjangnya. Tabel 1. Hubungan panjang-bobot Panulirus versicolor dan Panulirus longipes di perairan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Table 1. Length-weight relationship of Panulirus versicolor and Panulirus longipes in Central Lombok waters, West Nusa Tenggara. Spesies (Species) Panulirus versicolor Panulirus longipes
n (ekor) 112 179
a 0.00001 0.00003
b 2.900 3.212
R2 0.880 0.893
Sifat Pertumbuhan Allometrik negatif Allometrik positif
Nisbah Kelamin Jumlah P. versicolor jantan yang diamati selama penelitian sebanyak 43 ekor dan P. versicolor betina sebanyak 69 ekor, sehingga nisbah kelamin P. versicolor adalah 0,6 : 1. Berdasarkan uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), nisbah kelamin P. versicolor berada dalam kondisi tidak seimbang. Lobster betina terlihat mendominasi hasil tangkapan dibandingkan lobster jantan. Sedangkan untuk P. longipes, jumlah lobster jantan yang diamati sebanyak 100 ekor dan lobster betina sebanyak 79 ekor, sehingga nisbah kelamin P. longipes adalah 1 : 0,8. Berdasarkan uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), nisbah kelamin P. longipes berada dalam kondisi tidak seimbang. Lobster jantan terlihat mendominasi hasil tangkapan dibandingkan lobster betina.
104
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Kematangan Kelamin Pengamatan kematangan kelamin dilakukan dengan pengamatan secara fungsional, yaitu dengan mengamati lobster betina yang membawa telur yang telah dibuahi pada bagian abdomen. Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan variasi musiman persentase lobster betina yang membawa telur. Hasil pengamatan selama dua bulan menunjukkan persentase P. versicolor betina yang membawa telur sebesar 21% pada bulan Maret dan 29% pada bulan April, sedangkan P. longipes sebesar 29% pada bulan Maret dan 34% pada bulan April. Selanjutnya dari lobster betina yang membawa telur dilakukan penghitungan ukuran rata-rata matang kelamin secara fungsional (Lm) yang akan dibandingkan dengan ukuran rata-rata tertangkap (Lc). Hasil analisis menunjukkan nilai nilai Lm untuk P. versicolor dan P. longipes masing-masing sebesar 80 dan 51 mm CL. Perbandingan nilai Lc dan Lm dapat dijadikan rekomendasi dalam penentuan ukuran lobster terkecil yang boleh ditangkap (minimum legal size). BAHASAN Tujuan dari pengelolaan perikanan adalah untuk memastikan hasil tangkapan dari stok ikan secara ekologi berkelanjutan dalam waktu yang lama dan memberikan manfaat yang maksimal untuk nelayan dan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, penelitian aspek biologi lobster diperlukan untuk memperoleh informasi biologis yang dapat berguna sebagai bahan dasar untuk menyusun kebijakan pengelolaan perikanan lobster. Modus ukuran panjang karapas antara P. versicolor dan P. longipes berada pada nilai tengah yang sama, namun demikian kisaran ukuran P. versicolor yang tertangkap lebih lebar dibandingkan P. longipes. Selain itu, P. longipes yang tertangkap memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan P. versicolor. Hal ini dapat dilihat dari ukuran pertama kali tertangkap (Lc) keduanya, di mana nilai Lc P. longipes lebih rendah dibandingkan P. versicolor. Gambar 2(b) juga memperlihatkan bahwa P. longipes yang tertangkap didominasi oleh lobster-lobster muda. Hubungan antara panjang dengan bobot dapat memberikan informasi tentang kondisi biota. Bobot biota akan meningkat yang berhubungan dengan meningkatnya volum (Jennings et al., 2001). Penelitian hubungan panjang dan bobot lobster genus Panulirus telah di lakukan di beberapa perairan seperti di perairan Aceh Barat (Suman & Subani, 1993), Pangandaran (Suman et al., 1994), Yogyakarta (Aisyah & Triharyuni, 2010; Hargiyanto et al., 2013), selatan Bali (Subani et al., 1983), Teluk Ekas-Lombok (Junaidi et al., 2010). Penelitian-penelitian di perairan-perairan tersebut dilakukan terhadap spesies P. homarus, di mana juga menunjukkan pola pertumbuhan yang sama dengan jenis P. versicolor pada penelitian ini, yaitu allometrik negatif, kecuali di perairan selatan Bali yang memiliki pola pertumbuhan allometrik positif.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
105
Namun demikian nilai b atau koefisien pertumbuhan yang diperoleh dari masing-masing lokasi perairan berbeda. Hal ini dikarenakan tingkat pertumbuhan pada setiap populasi berubah-ubah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu perairan, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan lama penyinaran. Beberapa faktor berinteraksi dengan faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat pertumbuhan seperti derajat kompetisi, jumlah serta kualitas makanan yang dicerna, umur, dan tahap kematangan ikan (Moyle & Cech, 2004). Nisbah kelamin digunakan untuk keperluan pengetahuan dasar dari biologi reproduksi (Holden & Raitt, 1974) dan juga untuk melihat populasi suatu organisme dalam mempertahankan populasinya atau disebut juga sebagai indikator kemampuan suatu populasi untuk tetap bertahan melalui rekrutmen (Ault et al., 1995 in Kamrani et al., 2010). Nisbah kelamin P. versicolor dan P. longipes pada penelitian ini berada dalam keadaan tidak seimbang, di mana lobster betina lebih mendominasi untuk jenis P. versicolor dan lobster jantan lebih mendominasi untuk jenis P. longipes. Hasil ini sama dengan penelitian terdahulu di perairan Aceh Barat (Suman & Subani, 1993) yang memperoleh bahwa nisbah kelamin lobster pasir (P. homarus) juga berada dalam keadaan tidak seimbang dimana lobster betina lebih mendominasi hasil tangkapan. Dengan kondisi populasi yang tidak seimbang antara lobster jantan dan betina, menyebabkan kelestarian sumber daya kedua spesies lobster akan terganggu. Effendi (2002) menyatakan bahwa variasi nisbah kelamin dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan, dan lokasi penangkapan. Dalam penelitian ini, ketidakseimbangan nisbah kelamin pada P. versicolor disebabkan oleh tingkah laku dari lobster jantan. Setelah matang gonad, lobster jantan sering melakukan perkelahian atau pertempuran (combatant) dengan lobster jantan lainnya untuk memperebutkan lobster betina. Hal ini mengakibatkan kematian pada banyak lobster jantan yang akhirnya menurunkan jumlah populasinya dibandingkan udang mantis betina. Sifat seperti ini dimiliki oleh spesies-spesies bentik yang hidup pada celah-celah di dalam karang atau sedimen. Ketidakseimbangan nisbah antara lobster jantan dengan betina yang didominasi lobster betina menyebabkan sel sperma yang dihasilkan tidak termanfaatkan untuk membuahi sel telur sehingga pemijahan tidak akan terjadi. Pemijahan merupakan proses awal dalam rekrutmen individu baru, sehingga jika pemijahan tersebut tidak terjadi maka tidak dihasilkan individu baru di perairan. Perbandingan kelamin yang seimbang hanya menggambarkan keadaan pada saat itu dan di lokasi pengambilan contoh saja. Untuk mengetahui perbandingan kelamin lobster secara keseluruhan perlu dilakukan pengambilan contoh dengan memperhatikan jalur migrasi lobster. Umumnya pada biota akuatik jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betina, sehingga satu individu jantan mengawini beberapa individu betina, sepertinya yang terjadi pada jenis P. longipes pada penelitian ini. Hal ini dilakukan agar organisme tersebut dapat mempertahankan kelestariannya. Perbandingan jenis kelamin dapat digunakan untuk menduga keberhasilan
106
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
pemijahan dengan melihat imbangan jumlah antara jantan dan betina di perairan, yang kemudian dapat berpengaruh pada produksi, rekrutmen dan konservasi sumberdaya tersebut. Penghitungan ukuran pertama kali lobster tertangkap (Lc) dan matang kelamin secara fungsional (Lm) dapat dijadikan dasar dalam penentuan ukuran minimum lobster yang boleh ditangkap (minimum legal size). Kondisi penangkapan yang baik untuk menunjang proses rekrutmen adalah ketika ukuran individu yang ditangkap lebih besar dari ukuran rata-rata matang gonad (Lm). Ukuran tangkapan yang lebih rendah dibandingkan Lm akan mengakibatkan penurunan stok sumberdaya akibat terhambatnya proses rekrutmen (Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006). Dari kedua ukuran tersebut dapat kita tentukan bahwa sebaiknya ukuran lobster P. versicolor dan P. longipes yang tertangkap masing-masing di atas 80 dan 51 mm CL. Dalam implikasi kebijakan pengelolaan, pembatasan ukuran minimum lobster yang boleh ditangkap dapat dilakukan dengan mengembalikan ke alam lobster-lobster yang memiliki ukuran di bawah ukuran minimum tertangkap, agar lobster-lobster tersebut dapat mengalami pertumbuhan terlebih dahulu sebelum saatnya ditangkap. Untuk pembesaran ukuran mata jaring lobster pada kasus penangkapan lobster dirasa tidak akan efektif, dikarenakan karakter morfologi lobster yang memiliki banyak duri-duri tajam di tubuhnya, yang menyebabkan lobster akan mudah sekali tersangkut pada jaring. Selain itu, kebijakan yang dapat dijalankan juga, yaitu megembalikan ke alam lobster betina yang membawa telur (barried female) agar lobster tersebut dapat menetaskan telur-telurnya terlebih dahulu sehingga proses rekrutmen dapat berjalan dengan baik. Hal ini tentunya akan menjaga kelestarian sumber daya lobster di masa yang akan datang.
KESIMPULAN Pola pertumbuhan lobster P. versicolor dan P. longipes bersifat allometrik negatif. Lobster P. longipes yang tertangkap didominasi oleh lobster-lobster muda. Nisbah kelamin P. versicolor dan P. longipes berada dalam kondisi tidak seimbang, di mana lobster betina medominasi untuk jenis P. versicolor dan lobster jantan mendominasi untuk jenis P. longipes. Ukuran minimum P. versicolor dan P. longipes yang boleh ditangkap (minimum legal size) untuk dapat menunjang kelestariannya, masing sebesar 80 dan 51 mm CL. Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya lobster P. versicolor dan P. longipes yang bisa diterapkan, yaitu pengembalian ke alam lobster di bawah ukuran minimum tertangkap dan lobster betina yang membawa telur (barried female).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
107
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian stok dan optimasi pemanfaatan sumber daya udang penaeid dan krustasea lain di WPP 572 Samudera Hindia barat Sumatera dan WPP 573 Samudera Hindia selatan Jawa, T. A. 2013, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Aisyah & S. Triharyuni. 2010. Production, size distribution, and length-weight relationship of lobster landed in the south coast of Yogyakarta, Indonesia. Ind. Fish. Res. J. 16(1): 15-24. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p. Ford, R. F. 1980. Introduction. In Cobb JS, Phillips BF. 1980. The Biology and Management of Lobster. Volume I and II. Academic Press. New York. Hargiyatno, I.T., F. Satria , A.P. Prasetyo & M. Fauzi. 2013. Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi lobster pasir (Panulirus homarus) di perairan Yogyakarta dan Pacitan. Bawal. 5(1): 41-47. Holden, M.J. & D.F.S. Raitt., 1974. Manual of Fisheries Science. FAO. Rome. Part 2-Methods of Resources Investigation and their Application: 135. Jennings S., M. Kaiser & J.D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp. Junaidi, M., N. Cokrowati & Z. Abidin. 2010. Aspek reproduksi lobster (Panulirus spp.) di perairan Teluk Ekas Pulau Lombok. Jurnal Kelautan. 3 (1) : 29–36. Kamrani E, A.N. Sabili & M. Yahyavi. 2010. Stock Asseement and Reproductive Biology of The Blue Swimming Crab, Portunus pelagicusin Bandar Abbas Coastal Waters, Norther Persian Gulf. Journal of The Persian Gulf. Marine Science. 1(2):11-22. King M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Australia: Blackwell Publishing. 341 pp. Kizhakudan, J.K. & S.K. Patel. 2010. Size at maturity in the mud spiny lobster Panulirus polyphagus (Herbst, 1793). J. Mar. Biol. Ass. India. 52 (2): 170-179.
108
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Lagler, K.F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 pp. Lawal-Are, A. O. 2010. Reproductive biology of the Blue Crab, Callinectes amnicola (De Rocheburne) in the Lagos Lagoon, Nigeria. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 10: 1-7. MacDiarmid, A.B. & B. Sainte-Marie. 2006. Reproduction. In: B. F. Phillips (Ed.) Lobsters: Biology, Management, Aquaculture and Fisheries. Blackwell Publishers, p. 45-77. Moosa, M.K. & Aswandy, I. 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta. 40 pp. Moyle, P.B. & Cech J. J. Jr. 2004. Fishes an introduction to ichthyology, 5th ed. Prentice Hall, Englewood. New Jersey. 98 p. Steel, R.G.H. & J.S.H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Edisi kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 748 pp. Subani, W. 1981. Penelitian lingkungan hidup udang barong (spiny lobster), perikanan dan pelestarian sumberdaya di pantai selatan Bali. Bull. Pen. Perikanan Vol. 1. No. 3 : 361 – 386. Subani, W., B. Sadhotomo & K. Suwirya. 1983. Penelitian tentang pertumbuhan dan beberapa parameter biologi udang panting (Panulirus homarus) di perairan pantai selatan Bali. Laporan Penelitian Perikanan Laut: 57–65. Suman, A. & W. Subani. 1993. Pengusahaan sumberdaya udang karang di perairan Aceh Barat. Jurnal Pen. Perikanan Laut. 8: 84-90. Suman, A., W. Subani & P. Prahoro. 1994. Beberapa parameter biologi udang pantung (Panulirus homarus) di perairan Pangandaran Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (85): 1–8. Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 pp.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
109
110
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI RAJUNGAN BATIK (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH Renny Ramadhani dan Duranta D. Kembaren
ABSTRAK Rajungan batik (Portunus pelagicus) merupakan salah satu sumberdaya ikan yang menjadi spesies sasaran pada kegiatan perikanan rajungan dengan alat tangkap bubu. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji beberapa aspek biologi rajungan batik (Portunus pelagicus) meliputi nisbah kelamin, pola pertumbuhan, TKG, fekunditas, ukuran rata-rata rajungan pertama kali tertangkap dan ukuran pertama kali rajungan matang gonad (Lm). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey deskriptif. Metode pengumpulan sampel menggunakan teknik random sampling. Pengambilan sampling dilaksanakan di Desa Tapian Nauli, pada bulan Februari-November 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah kelamin adalah 1:6.5, dan pola pertumbuhan isometrik. Tingkat kematangan gonad (TKG) rajungan batik (Portunus pelagicus) didominasi oleh TKG 3, dan fekunditas anatara 235.586 – 327.675 butir. Ukuran rata-rata panjang rajungan batik (Portunus pelagicus) tertangkap adalah 107 mm. Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) pada rajungan batik (Portunus pelagicus) adalah 95.4 mm. Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad didapat lebih kecil dari rata-rata ukuran pertama kali tertangkap, dengan demikian pola pemanfaatan rajungan di perairan Tapanuli Tengah masih dalam tahap yang berkelanjutan Kata kunci : rajungan, aspek biologi, perairan Tapanuli Tengah
ABSTRACK Blue swimming crab (Portunus pelagicus) is one of the fishery resources which become a target species in fishing activity with bubu. The objectives of this research was to understand the biological aspect including sex ratio, growth, fecundity, average of length at first capture, and average length of first maturity (Lm). The method used in this research was description survey. While collecting sample method by using a systematic random sampling method. Sampels were held in Tapian Nauli village, on February to November 2014. The result show that sex ratio was 1:6.5, and growth was isometric. Gonad maturities were dominated on level 3. Total of fecundity range from 235.586 to 327.675 eggs. Average at first capture of blue swimming crab was 107 mm. length of first maturity of blue swimming crab was 95.4 mm. Average length of first maturity smaller than average of length at first capture,thus the pattern of utilization of
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
111
blue swimming crab in Central Tapanuli waters still in the stage of suistainable. Key words : blue swimming crab (Portunus pelagicus), biological aspect, Central Tapanuli waters
PENDAHULUAN Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan komoditas perikanan dengan nilai jual cukup tinggi, baik sebagai komoditas lokal maupun komoditas ekspor. Sejak tahun 1990-an rajungan menjadi salah satu komoditas ekspor yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Komoditas rajungan ini diekspor dalam bentuk beku segar tanpa kulit dan olahan daging rajungan dalam kaleng. Data ekspor impor perikanan Indonesia (DKP, 2007) menunjukkan bahwa rajungan sebagai komoditas ekspor menempati urutan ketiga dalam volume dan nilai ekspor perikanan di Indonesia setelah komoditi udang,tuna dan ikan lainnya. Selama tahun 2000-2006 peningkatan nilai ekspor rajungan rata-rata sebesar 8,79% per tahun., produksi rajungan Indonesia menduduki urutan ke 3 setelah China dan Philipina, dengan nilai produksi 16,4% atau 28.000 ton dari seluruh produksi dunia ( Fishstat-FAO,2 007 dalam Anonim, 2009) Rajungan tergolong hewan yang hidup di dasar laut dan berenang ke dekat permukan laut untuk mencari makan, sehingga disebut pula swimming crab atau blue swimming crab yang artinya kepiting perenang. Menurut Stephenson (1962) dan Kailola et al. (1993), penyebaran rajungan terutama terdapat di daerah estuaria dan pantai di kawasan Asia dan Pasifik Barat. Daerah yang disenangi adalah habitat lumpur campur pasir. Selanjutnya Prasad & Tampi, (1953) dalam Moosa & Juwana, (1996) menyatakan bahwa rajungan dapat hidup di perairan dengan suhu dan salinitas yang bervariasi. Pada stadia burayak (yuwana) terdapat di daerah dengan kadar salinitas rendah dan seterusnya berkembang menjadi dewasa yang memerlukan salinitas relatif tinggi. Romimohtarto, (1977) mengemukakan bahwa rajungan terdapat di perairan Teluk Jakarta dan Pulau Pari pada suhu rata-rata 29,180 C dengan salinitas rata-rata 31,36 ppt. Sampai saat ini belum banyak dilakukan pengkajian aspek biologi terhadap sumber daya rajungan di perairan pantai barat Sumatera. Tindakan pengelolaan yang rasional agar sumberdaya rajungan mampu berada dalam keseimbangan yang lestari, dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah aspek biologi. Oleh karena itu penelitian tentang aspek biologi rajungan penting untuk dilakukan. Tulisan ini membahas tentang beberapa aspek biologi rajungan yang berkaitan dengan terutama nisbah kelamin, sifat pertumbuhan, tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas, kuran rata-rata tertangkap serta mengetahui ukuran pertama kali matang gonad (Lm) rajungan di perairan Tapanuli Tengah.
112
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir pantai barat Sumatera Utara, yaitu perairan Tapanuli Tengah. pada periode bulan Februari-November 2013 dengan metode survey deskriptif. Rajungan diperoleh dari hasil tangkapan bubu yang didaratkan di sentra pendaratan rajungan di Desa Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah. Pengamatan biometrik rajungan yang dilakukan terhadap contoh meliputi pengukuran lebar karapas, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Lebar karapas diukur denganmenggunakan jangka sorong (tingkat ketelitian 0.1 mm). Data lebar karapas yang diperoleh kemudian ditabulasi dalam tabel distribusi frekuensi lebar karapas dengan interval 5 mm menggunakan bantuan program Microsoft Excel. Aspek yang diteliti meliputi data : jenis kelamin, panjang dan berat udang, tingkat kematangan gonad dan jumlah telur.
Analisis Data Nisbah Kelamin Persamaan yang digunakan untuk menghitung nisbah kelamin adalah sebagai berikut : NK = Nbi/Nji Keterangan : NK = Nisbah kelamin Nbi = jumlah rajungan betina pada kelompok ukuran ke-i Nji = jumlah rajungan jantan pada kelompok ukuran ke-i Hubungan Panjang Berat Analisis panjang berat `mengikuti persamaan sebagai berikut : W = a. Lb Keterangan : W = Berat (gram) L = panjang total ikan/udang (mm) a = konstanta atau intersep b = eksponen atau sudut tangensial Bentuk linier dengan persamaan tersebut adalah :
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
113
Log W = log a + b log L Pengamatan Tingkat Kematangan Gonad Rajungan Pengamatan tingkat kematangan gonad rajungan (Portunus pelagicus) menggunakan klasifikasi tingkat kematangan gonad rajungan : Tabel 1. Tingkat kematangan Gonad Rajungan TKG
Betina
Jantan
I
Tidak ada tanda gonad makroskopik
II
Ovigerous berwarna pucat, kuning telur, Gonad tembus cahaya dan berwarna putih, diameter ooties berukuran 0.14 berwarna gelap, eyespots telur kelihatan mm Ovigerous berwarna kuning keabu-abuan, Gonad berwarna kuning jeruk daerah telur berkumpul, eyespots mulai terbentuk hepatic tidak melebar, ooties 0.22-0.4 mm Ovigerous dengan telur berwarna abu-abu Gonad berwarna jeruk terang, panjang berkumpul, eyespots dan chromatophores samapai daerah hepatic, oocytes 0.220.4mm dapat dibedakan
III IV
Tidak ada tanda gonad makroskopik
Fekunditas Fekunditas dihitung dengan menggunakan persamaan F = Keterangan : F = Fekunditas G = Berat gonad (gram) V = Volume pengenceran (ml) X = Jumlah telur dalam 1 ml (butir) Q = Berat telur contoh (gram) Faktor kondisi (K) Menurut Vakily et al., (1986) dalam Manik (2009), faktor kondisi ikan umumnya antara 0,5-2,0 untuk pola pertumbuhan isometrik, faktor kondisinya dihitung dalam persamaan sebagai berikut : K = ………………………………………………………………………………. (3) Nilai K pada ikan yang berbadan agak pipih berkisar antara 2,0-4,0 sedangkan pada
114
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
ikan yang kurang pipih berkisar antara 1,0-3,0 (Effendie, 2002). Ikan dengan pertumbuhan allometrik, faktor kondisinya dihitung dengan menggunakan faktor kondisi relatif, yaitu: Kn = Dimana: Kn = faktor kondisi relatif
W = bobot ikan hasil observasi
= bobot ikan hasil estimasi ( = a)
Ukuran Rata-rata Rajungan Pertama Kali Tertangkap Ukuran rata-rata ikan pertama kali tertangkap didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang ikan, sehingga akan diperoleh kurva logistic baku, dimana titik potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah panjang saat 50% ikan tertangkap (Saputra, 2005). Rata- rata Ukuran Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Ukuran pertama kali matang gonad dihitung menggunakan persamaan SpearmanKarber (Udupa, 1986) : m = xk + - (d.∑ Pi)
Keterangan :
m = logaritma dari kelas panjang pada kematangannya yang pertama d = selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang k = jumlah kelas panjang xk = logaritma nilai tengah panjang dimana 100% matang gonad (atau dimana pi = 1)
Mengantilogkan persamaan di atas, maka Lm dapat diduga.
HASIL Struktur Ukuran Rajungan yang Tertangkap dan Nisbah Kelamin Sampel rajungan yang diteliti sebanyak 4.444 sampel, terdiri dari 3857 ekor rajungan jantan dan 587 ekor rajungan betina.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
115
Gambar 1. Struktur ukuran lebar karapas rajungan batik (Portunus pelagicus) Struktur ukuran rajungan yang didaratkan di perairan Tapanuli Tengah rajungan tertangkap berkisar antara 82.5- 172.5 mm. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa modus ukuran lebar karapas pada rajungan jantan yaitu pada nilai tengah 107.5 mm,sedangkan pada rajungan betina pada nilai tengah 117.5 Jumlah rajungan betina yang ada dalam sampel selama penelitian adalah 587 ekor rajungan jantan dan 587 ekor rajungan betina, sehingga nisbah kelamin rajungan adalah 1:6.5 Berdasarkan uji Chi-Kuadrat yang dilakukan menunjukkan bahwa rasio kelamin rajungan jantan dan rajungan betina berbeda nyata, artinya nisbah kelamin rajungan di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah tidak seimbang.
Faktor Kondisi dan Hubungan Panjang Berat Tabel 2. Nilai faktor kondisi Portunus pelagicus di perairan Tapanuli Tengah Jenis Kelamin
Rata-Rata L (mm)
Rata-Rata W (gr)
Faktor Kondisi (Kn)
Betina
117.9047185
115.012826
0.069515798
Jantan
112.3524713
106.380441
0.074362081
Berdasarkan data di atas didapatkan nilai faktor kondisi dari rajungan betina dan jantan berbeda yaitu sebesar 2,051 dan 1,152. Hal ini menujukkan bahwa rajungan jantan lebih montok dibandingkan rajungan betina. Selanjutnya analisis persamaan hubungan panjang dan berat rajungan diperoleh hasil sebagai berikut.
116
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Jantan
: W =0.005L3.175
Betina
: W =0.0000005L3.002
Berdasarkan pengujian terhadap nilai b dengan t-test, ditemukan pola pertumbuhan rajungan bersifat isometrik. Menurut Badrudin dan Wudianto (2004), manfaat informasi dari panjang berat dapat memperkirakan berat ikan pada panjang tertentu dan sebaliknya. Pola pertumbuhan rajungan pada udang jantan dan betina tidak berbeda, dengan nilai b yang relatif sama, yaitu 3.175 (jantan) dan 3.002 (betina). Tingkat Kematangan Gonad, Diameter telur dan Fekunditas Total rajungan yang diamati tingkat kematangan untuk rajungan betina sebanyak 586 ekor. Pada rajungan betina TKG IV sebesar 32.2 %, TKG III sebesar 35.1 %, TKG II sebesar 23.5 % dan TKG I sebesar 9.2%. Berdasarkan data tersebut Portunus pelagicus dengan TKG tingkat III yang mendominasi hasil tangkapan. Sebaran kematangan gonad rajungan dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya musim pemijahan rajungan tersebut. Berdasarkan pengamatan selama periode Februari sampai Nopember, rajungan melakukan pemijahan sepanjang bulan Februari sampai Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Mei.
Gambar 2. Sebaran kematangan gonad rajungan betina di perairan Tapanuli Tengah bulan Februari- Nopember 2013 Pengamatan terhadap telur rajungan diperoleh diameter telur rajungan berkisar antara 123 – 412 mikron (0,123 – 0,412 mm). Fekunditas rajungan berkisar antara 235.586 – 327.675 butir (Tabel 2). Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
117
Tabel 2. Diameter telur dan fekunditas rajungan di Sibolga 2013 PH No (mm)
Diameter telur (mikron)
PV(mm)
Wb (g)
Wg (g)
min
max
Avg
IKG
F (butir)
1
108.4
49.9
69.6
6.6
237.1116
391.7496 306.3894 10.4762 301950
2
43.8
51.4
125.9
2.3
175.2564
412.368
3
106.7
80
49.9
3.1
206.184
340.2036 281.4412 6.62393 308541
4
120.5
55.8
125
1.7
5
120.6
52.4
94.7
2.3
276.0804 1.86084 305503
154.638 298.9668 187.3182 1.37875 327675 123.7104
257.73
205.9778 2.48918 235586
Berdasarkan analisis sebaran diameter telur rajungan, diketahui bahwa terdapat satu puncak modus yaitu pada ukuran diameter 0,2-0,3 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa rajungan di perairan Tapanuli Tengah ini memiliki pola pemijahan total spawner yaitu telur dikeluarkan secara total. Menurut Effendie (1997), dalam kondisi yang menguntungkan telur dikeluarkan lebih banyak.
Gambar 2. Sebaran diameter telur rajungan di perairan Tapanuli Tenagh Jumlah telur rajungan yang didapatkan dari hasil pengamatan berkisar antara 235.586 – 327.675 butir.
118
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Ukuran Rajungan Rata-rata Tertangkap dan Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Ukuran layak tangkap adalah ukuran yang diperbolehkan untuk dilakukan penangkapan yang ditetapkan dengan peraturan yang didasarkan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran organisme memijah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh ukuran lebar karapas ratarata rajungan yang tertangkap di perairan Tapanuli Tengah adalah 107 mm, sedangkan untuk ukuran pertama kali matang gonad pada ukuran lebar karapas rajungan 95,4 mm. Rajungan yang telah matang gonad berukuran kurang dari ukuran rata-rata tertangkap, artinya rajungan di perairan Tapanuli Tengah relatif aman dan suistainable. Hal ini karena rajungan yang telah matang gonad tidak tertangkap sehingga berkesempatan untuk melakukan reproduksi , dengan demikian peluang terjadinya growth overfishing di perairan tersebut relatif kecil.
BAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa modus ukuran lebar karapas pada rajungan jantan yaitu pada nilai tengah 107.5 mm dan pada rajungan betina pada nilai tengah 117.5. Didapatkan strukur ukuran lebar karapas rajungan menunjukkan adanya struktur umur yang berbeda dalam populasi rajungan di perairan Tapanuli Tengah. Struktur umur yang berbeda ini terdiri dari beberapa generasi yang berupa kelompok umur rajungan muda dan dewasa. Adanya struktur umur ini mengindikasikan bahwa populasi rajungan di perairan Tapanuli Tengah dalam keadaan stabil. Menurut Wahyuono et al (1983) yaitu apabila jantan dan betina seimbang atau betina lebih banyak dapat diartikan bahwa populasi tersebut masih ideal untuk mempertahankan kelestariannya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Romimoharto dan Juwana (2001), yang menyatakan bahwa pengetahuan mengenai rasio kelamin berkaitan dengan upaya mempertahankan kelestarian populasi udang yang diteliti, maka diharapkan perbandingan rajungan jantan dan betina seimbang. Keseimbangan perbandingan jumlah individu jantan dan betina mengakibatkan kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa hingga menjadi individu-individu baru semakin besar (Effendie, 2002). Hubungan panjang berat rajungan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis pola pertumbuhan suatu kelompok rajungan dalam kegiatan pengelolaan perikanan. Rajungan betina maupun jantan memiliki sifat isometrik, yaitu pertambahan panjang selaras dengan pertambahan beratnya. Menurut Anggraeni (2001), kecepatan tumbuh sejalan dengan jumlah dan kualitas makanan yang dimakan dan kemampuan untuk mengasimilasi makanan menjadi daging.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
119
Rajungan dengan TKG tingkat III terlihat mendominasi hasil tangkapan. Sebaran kematangan gonad rajungan dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya musim pemijahan rajungan tersebut. Berdasarkan pengamatan selama periode Februari sampai Nopember, rajungan melakukan pemijahan sepanjang bulan Februari sampai Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Mei. Pada bulan-bulan tersebut dapat dilakukan upaya untuk mengurangi jumlah operasi penangkapan agar rajungan-rajungan tersebut dibiarkan memijah terlebih dahulu. Rajungan di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki pola pemijahan total spawner yaitu telur dikeluarkan secara total. Apabila dilihat dari jumlah telurnya maka rajungan termasuk rajungan yang berfekunditas besar karena jumlah telurnya lebih besar dari 10.000 butir telur. Angka-angka ukuran pertama kali matang gonad dapat menjadi acuan untuk melakukan pembatasan ukuran penangkapan. Alat tangkap yang selektif adalah alat tangkap yang mampu menangkap pada kisaran ukuran yang lebih besar dari ukuran pertama kali matang gonad. Hasil penelitian dengan melihat aspek biologi rajungan di perairan Tapanuli Tengah menggunakan bubu masih bersifat sustainable. Hal ini karena rajungan yang telah matang gonad tidak tertangkap sehingga berkesempatan untuk bereproduksi. Ukuran rajungan yang tertangkap dengan alat tangkap bubu termasuk golongan rajungan dewasa dan bukan merupakan rajungan muda. Hal ini berarti peluang terjadinya growth overfishing di perairan tersebut relatif kecil.
KESIMPULAN Struktur ukuran rajungan di perairan Tapanuli Tengah terdiri dari berbagai kelompok umur dengan pola pertumbuhan yang isometrik. Musim pemijahan berlangsung sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan Mei. Pola pemijahan bersifat total spawner dengan tingkat fekunditas yang tinggi. Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad didapat lebih kecil dari rata-rata ukuran pertama kali tertangkap, dengan demikian pola pemanfaatan rajungan di perairan Tapanuli Tengah masih dalam tahap yang berkelanjutan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Penelitian Status dan Optimasi pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid dan Krustacea Lain di WPP 572,573 dan 717 untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan T.A 2013, di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Utara.
120
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, D. 2001. Studi Beberapa Aspek Biologi Udang Api-Api (Metapenaeus monoceros) di Perairan Sekitar Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 81 hlm. Anonim. 2010. Ekspor rajungan terancam sertifikasi.http://industri.kontan.co.id/news/eksporrajunganterancam-sertifikasi-1. Diakses tanggal 03 Desember 2011. Balai Penelitian Perikanan Laut. 2013. Penelitian Status dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid dan Krustacea Lain di WPP 572,573 dan 717 untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan. Jakarta. Hal. 113 Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Moosa, M.K. & S. Juwana. 1996. Kepiting SukuPortunidae dari Perairan Indonesia (Decapoda,Brachyura). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI, Jakarta : 118 p. Romimohtarto,K. 1977.Hasil Penelitian Pendahuluan tentang Biologi Budidaya Rajungan, Portunus pelagicus (L), dari Teluk Jakarta dan Pulau Pari (Pulau-pulau Seribu). Prosiding Seminar BiologiV dan Kongres III Biologi Indonesia. p. 199-216. Saputra, S.W., S.Sukimin, M. Boer, R. Affandi, dan D.R. Monintja. 2005. Aspek Reproduksi dan Daerah Pemijahan Udang Jari (Metapenaeus elegans de Man, 1907) di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. J. Ilmu Kelautan. 10 (1) : 41-49. Saputra, S. W. dan Subiyanto. 2007. Dinamika Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man 1997) di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. J. Ilmu Kelautan, 12(3):157166. Saputra, S.W. 2009. Dinamika Populasi Ikan. Universitas Diponegoro. 199 hlm. Saputra, S. W., P. Soedarsono dan G.A. Sulistyawati. 2009. Beberapa Aspek Biologi Ikan Kuniran (Upeneus spp.) di Perairan Demak. J. Saintek Perikanan. 5(1):1-6. Stephenson,W., 1962. Evolution and ecology of portunid crabs, with special reference toAustralian species. In: Leeper, G.W. (Ed.) : The Evolution of Living Organisms. Melbourne University Press, Melbourne: 311–327. Udupa, K. S. 1986. Stastical method of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte. ICLARM, Philippines 4(2) : 8-10.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
121
122
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
KOMPOSISI DAN FLUKTUASI TANGKAPAN IKAN CUCUT DARI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA PADA AREA SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodriyah Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
ABSTRAK Tanjung luar merupakan salah satu basis perikanan tangkap yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Produksi perikanan cucut di Tanjung Luar cukup besar, hal ini dikarenakan alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang dikhususkan untuk menangkap ikan cucut, yaitu pancing rawai dan jaring insang hanyut (Gillnet). Penelitian ini dilakukan di tempat pendaratan ikan Tanjung luar, Nusa Tenggara Barat pada bulan Januari sampai dengan Desember 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2011 (Oktober) hingga tahun 2013 (September), hasil tangkapan ikan cucut tertinggi terjadi pada bulan Nopember 2011 dan terendah pada bulan Juli 2013. Hasil identifikasi jenis-jenis cucut yang didaratkan berjumlah 33 spesies dari 12 famili. Jenis-jenis ikan cucut dominan didaratkan di adalah Squalus sp 1, Carcharhinus falciformis, C. brevipinna, Mustelus cf manazo dan Sphyrna lewini. Nisbah kelamin ikan cucut jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbang, dengan jumlah betina lebih banyak. KATA KUNCI : komposisi, fluktuasi,cucut, samudera hindia PENDAHULUAN Sumber daya cucut merupakan salah satu komoditas yang banyak ditangkap di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang menduduki peringkat pertama dalam produksi tangkapan kelompok Elasmobranchii berdasarkan rata-rata volume tangkapan 2000 – 2007 yaitu 110.528 ton dan masuk dalam peringkat 20 besar pada tahun 1980 – 1999 (Lack & Sant, 2009). Hasil tangkapan seluruh jenis cucut yang didaratkan di seluruh perairan Indonesia pada kurun waktu 2001-2006 memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Pada tahun 2001 tercatat sejumlah 65.800 ton sedangkan pada tahun 2006 tercatat sejumlah 55.700 ton (DJPT, 2008). Dari berbagai hasil penelitian terdahulu, diketahui bahwa tercatat setidaknya 88 jenis Cucut di Indonesia yang telah dimanfaatkan (White et.al., 2006) .
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
123
Pada umumnya nelayan menangkap semua jenis cucut dengan berbagai ukuran. Kondisi demikian sangat mengkhawatirkan terhadap populasinya, karena cucut memiliki karakteristik biologis yang mudah mengalami penurunan stok dalam waktu cepat. Beberapa sifat bilogi ikan cucut yaitu siklus hidupnya yang panjang, pertumbuhan dan kematangan kelaminnya lambat, serta fekunditas yang rendah (Compagno, 1984; Last & Stevens, 1994; Castro et al., 1999). Akibat yang akan muncul adalah terjadinya kepunahan sumber daya ikan cucut jika intensitas tekanan penangkapan terus meningkat. Stevens (1992) mengatakan tekanan penangkapan intensif pada perikanan Elasmobranchi diperlukan formulasi rencana pengelolaan dan konservasi sumber daya. Rencana tersebut berdasarkan atas data statistik yang akurat termasuk data hasil tangkapan sampingan. Tempat Pendaratan Ikan Tanjung Luar merupakan salah satu basis pendaratan utama hasil tangkapan cucut. Ikan cucut yang tertangkap merupakan hasil tangkapan utama di perairan Samudera Hindia, terutama kelompok ikan cucut pelagis dan oseanik, seperti sebagian besar famili Carcharhinidae (Whaler sharks), Alopiidae (Thresher sharks), dan Sphyrnidae (Hammer sharks). Tulisan ini menyajikan fluktuasi hasil tangkapan per upaya (catch per unit of effort) cucut secara bulanan dan komposisi hasil tangkapan, dengan studi kasus di Tempat Pendaratan Ikan Tanjung Luar, Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu pendaratan ikan cucut di Indonesia. Aspek biologi yang diperoleh berguna untuk mendapatkan informasi dasar bagi penelitian selanjutnya dan juga sebagai bahan masukan untuk tujuan pengelolaan.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan Tanjung Luar, Nusa Tenggara Barat pada bulan Januari sampai dengan Desember 2013 (Gambar 1). Pencatatan data hasil tangkapan cucut dilakukan pada saat melakukan survey langsung di lapangan dan dibantu oleh satu orang enumerator. Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan beberapa referensi yaitu Last & Stevens (1994), Tarp & Kailola (1982) dan White et al., (2006). Aspek penangkapan meliputi data jenis dan deskripsi alat tangkap, ukuran kapal, cara penangkapan dan daerah penangkapan. Parameter - parameter biologi yang diukur panjang total dalam cm dan penentuan jenis kelamin. Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan pengamatan terhadap adanya sepasang klasper (untuk cucut jantan), yaitu modifikasi dari kedua sirip perut pari jantan yang digunakan sebagai alat kopulasi. Data pengukuran panjang total secara individu dipergunakan untuk memperoleh sebaran ukuran panjang total sedangkan jenis kelamin per individu ikan untuk menentukan nisbah kelamin. Perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada persamaan berikut : NK=Nbi/Nji 124
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
dimana: NK= Nisbah kelamin Nbi= Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i Nji = Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke i 2004):
X
2
Pengujian perbandingan jenis kelamin dilakukan dengan uji Chi Square (Sugiyono,
k
=∑ i =1
( fo − fn ) 2 fn
dimana : X2 = Chi Square Fo = frekuensi yang diobservasi Fn = frekuensi yang diharapkan
JAWA TIMUR BALI
LOMBOK SUMBAWA TANJUNG LUAR
SAMUDERA HINDIA
Gambar 1. Peta lokasi sampling
HASIL Fluktuasi hasil tangkapan ikan cucut Perkembangan hasil tangkapan ikan cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung luar per Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
125
bulan berfluktuasi. Selama tahun 2011 (Oktober) hingga tahun 2013 (September), hasil tangkapan ikan cucut tertinggi terjadi pada bulan Nopember 2011 dan terendah pada bulan Juli 2013. Sedangkan hasil tangkapan per unit upaya tertinggi terjadi Februari 2013 dan terendah pada bulan April 2013. (Gambar 2).
Gambar 2. Fluktuasi bulanan hasil tangkapan cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung luar, Lombok Timur pada tahun 2011 – 2013. Fluktuasi hasil tangkapan dari lima spesies cucut yang dominan selama tahun 2013 disajikan pada Gambar 3. Pada periode tersebut pola fluktuasi hasil tangkapan cucut mulai meningkat pada bulan Maret lalu mengalami penurunan, kemudian pada bulan Juni dan Oktober mengalami kenaikan. Dari Gambar 3 tersebut nampak bahwa pada bulan Januari sampai Februari tidak ada hasil tangkapan cucut atau hasil tangkapan relatif kecil, disebabkan faktor kondisi cuaca di laut yang tidak memungkinkan untuk melakukan penangkapan, pada bulanbulan tersebut terjadi angin kencang, ombak atau gelombang besar yang akan menyulitkan nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap. Aktivitas penangkapan baru nampak mulai bulan Maret dan puncaknya pada bulan Juni dan Oktober, namun kemudian aktivitas menurun pada bulan Desember. Dari lima spesies cucut yang disajikan dalam Gambar tersebut nampak ada kecenderungan memiliki pola fluktuasi hasil tangkapan relatif sama dari bulan ke bulan. Spesies cucut yang dominan tertangkap di perairan Samudera Hindia pada tahun 2013 adalah Squalus (cucut taji) dengan persentase 24,4% sedangkan jenis cucut lain yang tertangkap Carcharhinus falciformis (13,8%), Carcharhinus brevipinna (11,5%), Mustelus cf manazo (9,5%) dan Sphyrna lewini (7,7%) dari total hasil tangkapan cucut.
126
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 3. Fluktuasi bulanan per jenis ikan cucut dominan dari perairan Samudera Hindia Selatan Jawa tahun 2013. Komposisi dan kisaran panjang total hasil tangkapan cucut Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis cucut yang didaratkan di TPI Tanjung Luar cukup banyak, jumlah spesies yang telah diidentifikasi berjumlah 33 spesies dari 12 famili (Tabel 1). Sedangkan hasil temuan Sainsbury, Kailola dan Leyland (1985) di perairan bagian utara dan barat laut Australia terdapat 30 spesies cucut. Berdasarkan dominansi, diperoleh 5 spesies dominan ikan cucut, yaitu : Squalus sp. 1, Carcharhinus falciformis, Carcharhinus brevipinna, Mustelus cf manazo dan Sphyrna lewini.
Tabel 1. Kisaran panjang total jenis-jenis cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung Luar pada tahun 2013. NO
FAMILI
1
Alopiidae
2
Carcharhinidae
SPESIES Alopias pelagicus Alopias superciliosus Carcharhinus albimarginatus Carcharhinus amblyrhynchos Carcharhinus brevipinna Carcharhinus falciformis Carcharhinus limbatus Carcharhinus melanopterus
PANJANG TOTAL (CM) MINIMUM MAKSIMUM 99 72.5 97 81 52 65 60 30
JUMLAH
328 300 276 240 340 310 276 138
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
139 11 20 13 1075 1242 82 26
127
3
Centrophoridae
4
Chimaeridae
5
Hexanchidae
6
Lammidae
7 8
Orectolobidae Scyliorhinidae
9 10 11 12
Sphyrnidae Squalidae Stegostomatidae Triakidae
Carcharhinus obscurus Carcharhinus plumbeus Carcharhinus sorrah Galeocerdo cuvier Prionace glauca Triaenodon obesus Centrophorus isodon Centrophorus moluccensis Centrophorus squomosus Chimaera cf sp. Hydrolagus cf lemures Heptranchias perlo Hexanchus griseus Hexanchus nakamurai Isurus oxyrinchus Isurus paucus Orectolobus cf ornatus Atelomycterus baliensis Atelomycterus marmoratus Cephaloscyllium sp E Sphyrna lewini Squalus sp.1 Stegostoma fasciatum Hemitriakis sp.1 Mustelus cf manazo
67 187 52 122 86 22 12 57 58 109 41 74 129 24 103 78 58 46 41 44 43 10.5 103 56 45
337 199 298 354 305 290 128 120 147 109 110 188 330 288 291 509 138 66 108 102 320 101 177 120 127
372 2 220 300 136 302 132 45 47 1 30 62 5 64 58 15 178 20 70 13 691 2174 4 346 927
Nisbah Kelamin Salah satu faktor keberhasilan perkembangbiakan spesies ikan di suatu perairan dalam mempertahankan populasinya ditentukan oleh perbandingan jenis kelamin atau nisbah kelamin. Nisbah kelamin masing-masing spesies cucut disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan diperoleh jumlah ikan betina yang diukur selama penelitian adalah 5181 ekor dan ikan jantan sebanyak 3237 ekor, sehingga nisbah kelamin ikan cucut jantan dan betina secara keseluruhan adalah 1:1,60. Berdasarkan pada uji Chi-Square secara keseluruhan diperoleh bahwa sangat berbeda nyata dimana χ2 hitung > χ2tabel (χ2 hitung = 226,8474; χ 2 tabel (0.05) = 3,481), dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbandingan jenis kelamin jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbang. Menurut Wahyuono et al., (1983) apabila jantan dan betina seimbang atau betina lebih banyak dapat diartikan bahwa populasi tersebut masih ideal untuk mempertahankan kelestarian. Selanjutnya menurut Sadhotomo & Potier (1991), di perairan perbandingan jenis kelamin ikan diharapkan seimbang, bahkan diharapkan jumlah betina lebih banyak daripada yang jantan sehingga populasinya dapat dipertahankan walaupun ada kematian alami dan penangkapan. Keseimbangan perbandingan jumlah individu jantan dan
128
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
betina mengakibatkan kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa hingga menjadi individu-individu baru semakin besar (Effendie, 1997). Tabel 2. Nisbah kelamin ikan cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung luar pada tahun 2013 N0 1
FAMILI Alopiidae
SPESIES Alopias pelagicus
Carcharhinidae
139
4
7
11
Carcharhinus albimarginatus
15
5
20
Carcharhinus amblyrhynchos
12
1
13
Carcharhinus brevipinna
556
448
1004
Carcharhinus falciformis
631
560
1191
Carcharhinus limbatus
55
27
82
Carcharhinus melanopterus
14
10
24
234
138
372
1
1
2
Carcharhinus sorrah
120
100
220
Galeocerdo cuvier
167
127
294
Carcharhinus plumbeus
Prionace glauca
4 5
Centrophoridae
Chimaeridae Hexanchidae
47
88
135
Triaenodon obesus
168
115
283
Centrophorus isodon
105
29
134
Centrophorus moluccensis
40
5
45
Centrophorus squomosus
34
13
47
Chimaera cf sp.
Lammidae
15
30
Heptranchias perlo
47
14
61
2
3
5
Hexanchus nakamurai
49
14
63
Isurus oxyrinchus
28
30
58
8
7
15
102
74
176
9
11
20
37
33
70
7
Orectolobidae
Orectolobus cf ornatus
8
Scyliorhinidae
Atelomycterus baliensis Atelomycterus marmoratus Cephaloscyllium sp E
9
5
14
475
195
670
1466
642
2108
3
1
4
Hemitriakis sp.1
268
77
345
Mustelus cf manazo
423
400
823
5181
3237
8418
9
Sphyrnidae
Sphyrna lewini
10
Squalidae
Squalus sp.1
11
Stegostomatidae
Stegostoma fasciatum
12
Triakidae
1
15
Isurus paucus
1
Hydrolagus cf lemures Hexanchus griseus 6
JUMLAH
70
Carcharhinus obscurus
3
JANTAN
69
Alopias superciliosus 2
BETINA
Total
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
129
Alat Tangkap Pancing Rawai Cucut Pancing rawai atau “longline” adalah suatu pancing yang terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), tali pelampung (float line), dan pelampung (float) (Subani dan Barus, 1989). Jenis pancing rawai yang digunakan oleh nelayan Tanjung Luar adalah untuk menangkap jenis-jenis ikan cucut. Berdasarkan jenis ikan yang menjadi target penangkapannya yaitu jenis-jenis ikan cucut, maka pancing rawai ini biasa disebut pancing rawai cucut (shark longline). Ada 2 jenis pancing rawai cucut yang biasa dioperasikan oleh nelayan Tanjung Luar, yang pertama yaitu pancing rawai dasar yang dalam pengoperasiannya, letak kedudukan mata pancing berada dekat dasar perairan. Pancing rawai cucut yang kedua yaitu pancing rawai apung yang dioperasikan di perairan dalam dan kedudukan mata pancing mengapung pada kedalaman suatu perairan.
Pancing Rawai Cucut Apung Pancing rawai apung yang dioperasikan oleh nelayan Tanjung Luar untuk menangkap jenis-jenis ikan cucut. Spesifikasi kapal sampel yang mengoperasikan pancing rawai apung di Tanjung Luar adalah Kapal Motor Bunga Mas 2 dengan bobot kapal 15 GT dan berukuran (p x l x d) 13,0 x 4,0 x 3,0 meter, menggunakan 2 unit mesin penggerak dengan kekuatan masingmasing 30 PK. Jumlah ABK (Anak Buah Kapal) terdiri dari 4 orang. Daerah penangkapan di perairan Samudera Hindia sekitar 200-300 mil dari pantai (perjalanan 12 jam dari Tanjung Luar). Setiap trip berlangsung rata-rata 25 hari dengan jumlah penurunan alat tangkap pancing rawai (tawur) sebanyak 11 tawur/trip. Tali utama PE Ø 10 mm sepanjang 1039,5 meter, jumlah mata pancing 1323 buah. Tali cabang PE Ø 8 mm, panjang 16,5 m dan pada ujung disambung tali kawat (tali mata pancing) sepanjang 0,5 meter. Pelampung berbentuk bulat, terbuat dari bahan plastik Ø 30 cm. Mata pancing yang digunakan adalah jenis mata pancing berkait balik nomor 2 dengan ukuran pxl (5,5 x 3,0 cm). Ikan hasil tangkapan disimpan dalam coolbox yang terbuat dari bahan fiber glass dengan jumlah kapasitas muat sebanyak 50 ekor ikan cucut berukuran besar.
130
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4. Kapal pancing rawai cucut di Tanjung Luar, tahun 2013
BAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis cucut yang didaratkan di TPI Tanjung Luar cukup banyak, jumlah spesies yang telah diidentifikasi berjumlah 35 spesies dari 13 famili (Tabel 1). Sedangkan hasil temuan Sainsbury, Kailola dan Leyland (1985) di perairan bagian utara dan barat laut Australia terdapat 30 spesies cucut. Berdasarkan distribusi panjang total ikan hiu yang dominan diperoleh jenis cucut Squalus sp.1 pada ukuran 30-101 cmTL, Carcharhinus falciformis pada ukuran 65-310 cmTL dan Carcharhinus brevipinna pada ukuran 52-280 cmTL, Mustelus cf manazo pada ukuran 45-147 cmTL, Sphyrna lewini pada ukuran 43-320 cmTL. Kisaran panjang total jenis-jenis cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung Luar disajikan pada Tabel 1. Menurut hasil penelitian sebelumnya, yaitu White et al., (2006), Squalus sp 1 dapat mencapai ukuran 101 cm, Carcharhinus falciformis dapat mencapai 350 cm, umumnya hingga 250 cm, Carcharhinus. brevipinna dapat mencapai 283 cm, Mustelus cf manazo dapat mencapai 128 cm dan Sphyrna lewini dapat mencapai 370 420 cm, ikan jantan dewasa antara 165 – 175 cm dan betina 220 – 230 cm. Carcharhinus falciformis merupakan salah satu jenis cucut pelagis yang dapat mencapai ukuran panjang total 3,3 m. Spesies ini hidup di perairan tropis dan sub tropis pada permukaan perairan sampai dengan pada kedalaman mendekati 500 m, mempunyai karakteristik biologi pada setiap kelompok ukuran yang berbeda-beda. Kelompok ukuran muda terpisah dengan kelompok ukuran dewasa, ukuran muda berada di daerah pemijahan, sedangkan ukuran dewasa bermigrasi ke daerah perairan lain (Oshitani et al., 2003). Berdasarkan hasil analisis, Carcharhinus falciformis jantan (67,7%) dan betina (91,9 %) tertangkap di perairan Samudera Hindia yang didaratkan di Tanjung Luar, Nusa Tenggara Barat termasuk dalam kelompok ukuran muda. Menurut White et al., 2006, panjang tubuh
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
131
dapat mencapai 350 cm, umumnya hingga 250 cm, ikan jantan dewasa pada 183 – 204 cm, dan betina 216 – 223 cm, ukuran ketika lahir antara 55 – 72 cm. Akan tetapi, untuk mengetahui kondisi populasi ikan cucut yang akurat diperlukan data dan informasi yang runtun waktu, mengingat karakteristik biologinya seperti fekunditas dan reproduksi rendah dan berumur panjang sehingga rawan mengalami kepunahan apabila eksploitasi sumber dayanya dilakukan terus-menerus tanpa kendali. Dalam upaya menghindari aktivitas penangkapan sumber daya cucut yang tidak terkendali, maka Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2009) telah mempersiapkan draft rencana aksi pengelolaan perikanan cucut (NPOA Shark) bertujuan antara lain mengatur upaya penangkapan (jumlah dan atau ukuran kapal penangkapan alat penangkap ikan), pembatasan hasil tangkapan (jenis, jumlah, dan ukuran ikan cucut yang boleh ditangkap), dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara stok sumber daya dan tingkat eksploitasi ikan cucut di perairan Indonesia (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009). Karena sumber daya ikan dapat mengalami penurunan kelimpahan bahkan kepunahan jika dibiarkan eksploitasi terus menerus (Widodo, 2002). KESIMPULAN 1.
Selama tahun 2011 (Oktober) hingga tahun 2013 (September), hasil tangkapan ikan cucut tertinggi terjadi pada bulan Nopember 2011 dan terendah pada bulan Juli 2013.
2.
Hasil identifikasi jenis-jenis cucut yang didaratkan di TPI. Tanjung Luar berjumlah 33 spesies dari 12 famili.
3.
Jenis-jenis ikan cucut dominan didaratkan di TPI. Tanjung luar adalah Squalus sp 1, Carcharhinus falciformis, Carcharhinus brevipinna, Mustelus cf manazo dan Sphyrna lewini.
4.
Perbandingan kelamin ikan cucut jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbang, dengan jumlah betina lebih banyak.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian aspek biologi, tingkat pemanfaatan dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di WPP 572, WPP 573 dan WPP 717 untuk mendukung industrialisasi perikanan T.A. 2013, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta.
132
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
DAFTAR PUSTAKA Castro, J.I. C. M. Woodley, and R. L. Brudek. 1999. A Preliminary Evolution of the Status of Shark Species. National Oceanographic and Atmospheric Administration. National Marine Fisheries Service Southeast Fisheries Science Centre Miami, Florida, USA. FAO. Fisheries Technical Paper No. 380. Compagno, L.J. V. 1984. FAO Species Catalogue Vol. 4. Sharks of the World. Annotated and illustrated Catalogue of Shark Species Known to Date. Part 1. Hexanchiformes to Lamiformes. VIII. 1-250. Part 2-Carcharhiniformes: X, 2510-655. FAO Fisheries Synopsis 125: 1-655. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Draft National Plan of Action Sharks and Rays Management. Direktorat Sumber Daya Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Effendie I.M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantama. Bogor.163p. Lack, M. & Sant, G. (2009). Trends in Global Shark Catch and Recent Developments in Management. TRAFFIC International. 29 p. Last, P.R. & J.D. Stevens. 1994. Sharks and rays of Australia. CSIRO Division of Fisheries. Hobart Australia,. 513 p. Oshitani, S. H. Nakano, & S. Tanaka. 2003. Age and growth of the silky shark Carcharhinus falciformis Sparre, P & S. C. Venema. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part I-Manual FAO Fisheries Technical Paper. 306/I. Rev. 1. Danida FAO, Rome, Italy. 37pp. Tarp, G.T. and P.J. Kailola. 1984. Trwled Fishes of Southern Indonesia and Norhwestern Australia. ADAB-DFG-GTZ. Singapore. 406p. Subani, W dan H. R. Barus, 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia (Fishing Gears for Marine Fish and Shrimp in Indonesia). Jurnal Penelitian Perikanan Laut (Edisi Khusus) No. 50.248p. Sugiyono. 2004. Statistika untuk penelitian. Penerbit C. V. Alfabeta. Bandung. 306 hal. Wahyuono, H., Budihardjo, S., Wudianto, Rustam, R. 1983. Pengamatan Parameter Biologi Beberapa Jenis ikan Demersal di Perairan Selat Malaka Sumatera Utara. Laporan Penelitian Laut. Jakarta. White, W. T., P. R. Last, J. D. Stevens, G. K. Yearsley, Fahmi & Dharmadi. 2006. Economically Important Sharks and Rays Indonesia. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra: vi + 329 pp. Widodo, J. 2002. Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 16 pp.
133
134
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
ASPEK BIOLOGI TONGKOL KOMO (Euthynnus affinis Cantor, 1849) DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SAMUDERA HINDIA BIOLOGICAL ASPECTS OF EASTERN LITTLE TUNA (Euthynnus affinis Cantor, 1849) IN WEST COASTS SUMATERA INDIAN OCEAN T. Noegroho, T. Hidayat, dan K. Wagiyo Balai Penelitian Perikanan Laut, JL. Muara Baru Ujung 14440 Jakarta
[email protected]
ABSTRAK Tongkol komo adalah salah satu spesies neritik tuna yang ditemukan hampir di sepanjang perairan neritik di Barat Sumatera Samudera Hindia. Jenis ikan ini sering tertangkap di sekitar rumpon dengan alat tangkap purse seine, bagan perahu, dan pancing tonda. Praktek Penangkapan tongkol komo tersebut baik yang menjadi target maupun by catch bila berlangsung terus-menurus dikhawatirkan akan mengancam kelestariannya. Oleh sebab itu penelitian terkait biologi dan penangkapan tongkol komo sangat diperlukan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada Februari-Desember 2013 di perairan Barat Sumatera. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis aspek biologi tongkol komo yang meliputi struktur ukuran, panjang pertama kali tertangkap, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, perbandingan jenis kelamin, panjang pertama kali matang gonad, jumlah telur dan kebiasaan makanan. Sampel ikan diambil secara acak dari hasil tangkapan pancing tonda dan bagan perahu. Struktur ukuran tongkol komo menunjukkan kisaran panjang pada 11-55 cm. Panjang pertama kali tertangkap tongkol komo yang tertangkap dengan pancing tonda dan bagan perahu masing-masing 26.2 cm dan 26.4 cm. dan ternyata masih lebih kecil dari panjang pertama kali matang gonad (32 cm). Hal ini akan berimplikasi Tingkat Kematangan Gonad didominasi ikan yang belum matang gonad, yaitu TKG I dan II. Musim pemijahan tongkol komo di perairan Barat Sumatera berlangsung dari Juni-Agustus. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah ikan tongkol komo jantan dan betina. Jumlah telur tongkol komo berkisar antara 214.200-416.000 butir. Makanan tongkol komo adalah ikan layang (Decapterus sp), sedang jenis ikan lain sulit teridentifikasi karena kondisinya sudah hancur. KATA KUNCI: tongkol komo, aspek biologi, struktur ukuran, Samudera Hindia ABSTRACT Eastern little tuna is one of the main neritic tuna species are found almost along neritic waters in West Sumatra Indian Ocean. This kind of fish was caught around FADs with purse seine, pelagic danish seine and trolline. Such eastern little tuna fishing both the target as well as by catch has been earmarked as threatening sustainability, therefore biological research for their neritic tuna species is needed. The research on biology of eastern eastern little tuna (Euthynus affinis) has been carried out in the waters of West Sumatra, in February-December 2013. This research was conducted to analyze the biological aspects such as size structure, Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
135
length at first capture, condition factor, gonadal maturity stage, sex ratio, length at first maturity, fecundity and food habits. Samples were taken randomly from the catch from handline and pelagic danish seine. Length at first capture by trolline and pelagic danish seine were 26.2 cm and 26.4 cm respectively and are lower than length at first maturity (32 cm). This indicate that Gonadal maturity stage was dominated by immature fish, ie stage I and II. Spawning season of eastern little tuna in West Sumatera water was occured in June to August. There was not significant difference between the number of male and female of eastern little tuna. The fecundity of eastern little tuna ranged between 214.200-416.000. Food item of eastern little tuna is mainly scad (Decapterus sp), condition other species which difficult to be identified due to poor condition. KEYWORDS: Eastern little tuna, biological aspects, size structure, Indian Ocean.
PENDAHULUAN Ikan tuna secara umum ditemukan dengan ketersediaan cukup melimpah, baik kelompok tuna oseanik maupun tuna neritik. Termasuk kelompok tuna neritik antara lain adalah tongkol abu-abu atau longtail tuna (Thunnus tonggol), tongkol komo/kawa-kawa atau eastern little tuna (Euthynnus affinis), tongkol krai atau frigate tuna (Auxis thazard), komo atau bullet tuna (Auxis rochei), tenggiri atau narrow-barred spanish mackerel (Scomberomorus commerson), dan tenggiri papan atau indo-pasifik king mackerel (Scomberomorus guttatus) (Herrera & Pierre, 2009). Secara umum, sumberdaya tuna memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan menghasilkan pendapatan negara melalui ekspor disamping sebagai sumber asupan protein untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Namun, ketika ketersediaan ikan tuna oseanik mulai menurun, spesies dari kelompok neritik tuna dapat dijadikan sebagai alternatif karena memiliki nilai ekonomis dan hampir ditemukan di seluruh perairan neritik di setiap perairan. Hasil tangkapan tuna neritik ini makin meningkat karena saat ini dijadikan sebagai target tangkapan dan memiliki harga yang cukup tinggi. Tuna neritik sendiri akhir-akhir ini telah menjadi isu yang hangat di dunia internasional. Beberapa pertemuan yang telah diadakan terkait neritik tuna antara lain “The Third Working Party on Neritic Tuna” yang diselenggarakan di Bali pada Juni 2013 dan di Phuket, Thailand pada tahun 2014 oleh Indian Ocean Tuna Comission (IOTC), dan “Consultative Meeting On Regional Coorperation On Sustainable Neritic Tuna Fisheries In Southeast Asian Water” yang diadakan oleh ASEAN, SEAFDEC, bekerjasama dengan Swedia, di Hatyai Thailand. Pertemuan-pertemuan tersebut diadakan untuk membahas masalah pemanfaatan, konservasi, terkait adanya isu “share stok” dan kondisi stok ikan neritik tuna saat ini. Ikan neritik tuna di perairan Barat Sumatera (WPP 572) merupakan ikan komoditas 136
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
yang penting termasuk tongkol komo. Tahun 2011 tercatat nilai produksi khusus neritik tuna di Barat Sumatera mencapai Rp. 802.184.398. (Statistik Perikanan Tangkap, 2011). Neritik tuna di Samudera Hindia Barat Sumatera didaratkan di beberapa lokasi antara lain: Aceh, Padang, Sibolga, dan beberapa tempat pendaratan yang skalanya lebih kecil. Neritik tuna hasil tangkapan nelayan selain dipasarkan di pasar domestik juga sebagai bahan baku industri dan diekspor. Tongkol komo atau kawakawa adalah jenis neritik tuna dari famili Scombridae yang mampu hidup pada suhu perairan antara 18° C- 29° C. Biasa bergerombol pada ukuran tertentu, atau dengan spesies lain seperti Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, dan Auxis sp (FAO, 1983). Tongkol komo di perairan Barat Sumatera kadang tertangkap sebagai target dengan alat tangkap purse seine. Tongkol komo merupakan tangkapan sampingan dari pancing tonda dan bagan perahu. Target utama pancing tonda adalah ikan cakalang, sedangkan bagan perahu mempunyai target ikan pelagis kecil. Penelitian tentang aspek biologi tongkol komo di Indonesia masih jarang dilakukan, oleh sebab itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan sebagai awal untuk memperoleh data-data terkait biologi tongkol komo. Penelitian tentang tongkol komo pernah dilakukan di Indonesia antara lain oleh Jatmiko et al, (2013) di perairan Barat Sumatera tentang dinamika populasi, Chodrijah et al., (2013), dan Hidayat, (2013) di Laut Jawa tentang dinamika populasi dan aspek biologi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bisa dijadikan dasar pengelola perikanan khususnya di perairan WPP 572 (perairan Barat Sumatera).
BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data dilakukan pada Februari sampai Desember 2013 di beberapa pelabuhan pendaratan ikan di Barat Sumatera yaitu Banda Aceh, Meulaboh, Sibolga, dan Padang (Gambar 1). Alat yang digunakan meliputi timbangan digital kapasitas 7 kg untuk menimbang berat ikan, timbangan digital 500 gr dengan ketelitian 0,1 gr untuk menimbang gonad, meteran 3 m untuk mengukur panjang ikan, dissecting set (gunting bedah, pisau, pinset, dan kaca pembesar), plastik sampel volume 1 liter, sarung tangan karet (sensi glove), kertas label, dan tisue gulung.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
137
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Contoh Neritik Tuna di WPP 572 Samudera Hindia Barat Sumatera. Figure 1. Study Sites for Neritic Tuna in West Coast of Sumatera & IFMA 572, Indian Ocean Tingkat Kematangan Gonad Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara membelah sampel dengan dissecting set dengan hati-hati agar gonad tidak ikut terbelah hingga dapat mempermudah dalam proses pengamatan, setelah itu pengamatan gonad dilakukan secara langsung terhadap warna dan ukuran gonad tersebut. Penentuan tingkat kematangan gonad mengikuti kriteria yang dikemukakan oleh Schaefer & Orange (1956) yang membagi tingkat kematangan gonad betina dan jantan menjadi 5 tingkat (Lampiran 1).
Analisis Data Struktur Ukuran Struktur ukuran tongkol komo diperlihatkan oleh frekuensi panjang dan hubungan panjang berat. Dari hasil ukuran panjang cagak yang diperoleh kemudian dibuat persentase frekuensi panjang pada interval kelas 2 cm. Frekuensi panjang disajikan secara graphical sedangkan hubungan panjang berat disajikan dalam bentuk tabel.
138
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Hubungan Panjang Berat Hubungan panjang berat diperoleh menggunakan rumus Effendi (2002), yaitu: W= aLb dimana: W= berat ikan dalam gram L= panjang ikan dalam cm a dan b adalah konstanta. Hubungan panjang berat yang telah diperoleh akan diuji dengan uji t (t-test), yaitu menguji nilai b dengan hipotesa : H0 : b = 3 (isometrik) H1 : b ≠ 3 (alometrik) Jika t-hitung lebih kecil dari t-tabel (thit
ttab) maka terima H1 tolak H0. Sedangkan rumus untuk uji t adalah sebagai berikut :
Uji tabel dalam taraf nyata 95% (n-2). Panjang Pertama Kali Tertangkap (Length at First Capture) Pendugaan ukuran ikan pertama kali tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara distribusi nilai tengah dari panjang kelas (sumbu X) dengan jumlah ikan yang dinyatakan dengan distribusi normal kumulatif estimasi (sumbu Y). Untuk memperoleh nilai Lc (length at first capture) yaitu dengan menarik garis hubungan antara sumbu X dan sumbu Y untuk nilai 50% (Beverton & Holt 1957 dalam Sparre & Venema, 1992).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
139
proporsi tertahan =
Keterangan:
N Jumlah Total
N = jumlah ikan pada tiap tengah kelas (ekor) X dan Y digunakan untuk menghitung nilai a (intercept) dan b (slope). Menurut Sparre dan Venema (1999), untuk membuat kurva tersebut terlebih dahulu harus menghitung nilai dari SL estimasi, dengan rumus :
1 1 + exp ( S1 − S 2 xL ) 1 + exp (S 1 -S 2 xL)= SLobs 1 exp(S 1 -S 2 xL)= −1 SLobs SLobs =
1
Ln[ SLobs − 1 ]= S1-S2xL Untuk menghitung ukuran ikan pertama kali tertangkap (Lc) dilakukan dengan menghitung nilai L50%, rumus untuk menghitung Lc adalah sebagai berikut: S1 L50% = = Lc S2
dimana : SLobs = Frekwensi kumulatif dari proporsi tertahan L50 % = panjang tubuh ikan dimana 50% dari tongkol komo tertahan S1 & S2= konstanta pada rumus kurva logistik berbasis panjang S1 = nilai intersep a (perpotongan antara garis linear dengan sumbu y) S2 = nilai slope b (sudut kemiringan garis regresi)
Faktor Kondisi Relatif (Kn) Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan fatness-well being dari individu tertentu. Selain itu fluktuasi faktor kondisi bisa juga untuk menduga musim pemijahan. Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan faktor kondisi relatif, yaitu dengan rumus: Kn= dimana: Kn= faktor kondisi relatif W= berat ikan pengamatan (kilogram) = dari hubungan panjang berat yang diperoleh 1993). 140
Faktor kondisi ini juga disebut faktor kondisi alometrik (Ricker, 1975 dalam Merta
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Perbandingan jenis kelamin dianalisis dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dengan ikan betina, yaitu: X = M:F dimana: X = nisbah kelamin (sex ratio) M = jumlah ikan jantan (ekor)
F = jumlah ikan betina (ekor) Perbandingan jenis kelamin dibuat dalam sebuah grafik batang dari beberapa bulan untuk melihat perbedaan persentasenya. Pengujian perbandingan jenis kelamin mengikuti cara yang dikemukakan oleh Sugiyono (2004) dengan rumus Chi – Square 2
sebagai berikut: X = dimana : 2 X = Chi - Square fo = Frekuensi yang diobservasi fn = Frekuensi yang diharapkan Uji tabel dalam taraf nyata 95% (n-1) dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina. H1 : terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah ikan jantan dan betina. Jika, 2 hitung < 2 tabel, H0 diterima, H1 ditolak. Jika, 2 hitung > 2 tabel, H1 diterima, H0 ditolak (Effendie, 2002). Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Length at First Maturity) Panjang pertama kali matang gonad (Lm) dihitung dengan menggunakan rumus Life History Tool (Froese et al., 2000 dalam www. fishbase. org). Perhitungan menggunakan data panjang maksimal ikan (Lmax) untuk menduga panjang infinity. Dari panjang infinity yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menghitung besarnya nilai Lm, rumusnya adalah sebagai berikut: Linf = 10^(0.044 + 0.9841 * log10 (Lmax)) 95 % Conf. Interv. = Lmax +/- (1.964 * 0.0547 * SQRT (0.00181 + (0.0138 * (LOG10 (Lmax) - 1.644)^2)))
Lm = 10^(0.898 * log10(Linf) – 0.0781) 95 % Conf. Interv. = Linf +/- (1.965 * 0.358 * SQRT(0.00214 + (0.0135 * (LOG10(Linf) - 1.689)^2)))
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
141
Fekunditas (Jumlah Telur) Jumlah telur dihitung dengan metode gravimetri, yaitu dengan cara menghitung beberapa bagian dari sampel gonad yang diberi larutan gilson. Sampel yang diamati kemudian ditimbang. Setelah ditimbang sampel dilarutkan dengan air, 30 ml. Dari 30 ml air yang berisi sampel telur diambil 1 ml untuk diamati dalam mikroskop. Fekunditas dianalisis dengan rumus yang dikemukakan oleh Effendi, (1979) yaitu: F = G/g x N dimana: F = fekunditas (butir) G = berat total telur (gram) g = berat telur contoh (gram) N = jumlah telur pada contoh (butir)
Kebiasaan Makanan Kebiasaan makanan dianalisis dengan menggunakan metode frekuensi kehadiran isi lambung. Metode ini hampir sama dengan metode jumlah, masing-masing organisme yang terdapat dalam lambung dinyatakan dalam persen dari seluruh isi lambung yang diteliti, kecuali lambung yang kosong. Dengan demikian dapat dilihat frekuensi kehadiran suatu organisme yang dimakan oleh ikan dalam persentase (Effendi, 1979). Hasil persentase frekuensi kehadiran disajikan dalam sebuah grafik. Secara matematis kandungan isi lambung penulis rumuskan sebagai berikut: F=
ƹ
ƹ
x 100%
Dimana: F= Isi lambung (%) ni= Jumlah tiap jenis isi lambung nt= Jumlah total isi lambung
142
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
HASIL Struktur Ukuran Distribusi frekuensi panjang tongkol komo (Euthynnus affinis) menunjukkan kisaran panjang pada 11-55 cm. Pergeseran modus tidak terlihat berbeda mulai Februari sampai September. Pada Oktober-November nilai modus mulai berada pada kisaran yang lebih besar dari bulan-bulan sebelumnya, yaitu 29-30 cm. Tongkol komo biasa tertangkap oleh nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing tonda di sekitar rumpon dan bagan perahu dengan alat bantu penangkapan lampu. Modus ukuran ikan yang tertangkap dengan modus sama adalah bulan Februari-Maret (23-27 cm), pada April-Agustus; Oktober November berkisar 28-32 cm, dan modus yang lebih besar antara 33-37 cm terlihat pada bulan September saja (Gambar 2).
Gambar 2. Struktur ukuran tongkol komo (E. affinis) di WPP 572 Figure 2. Size structure of eastern little tuna (E. affinis) in IFMA 572
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
143
Struktur ukuran tongkol komo menurut jenis kelamin tersaji pada Gambar 3. Dengan memisahkan jenis kelamin dari 343 sampel diperoleh kisaran panjang tongkol komo jantan 17-53 cm, sedangkan pada betina 17-47 cm. Nilai modus sama-sama berada pada kisaran 2729 cm. Pada Gambar 3 terlihat ada kelompok ukuran ikan yang lebih panjang dari ukuran modusnya dalam persentase yang lebih kecil. 25
Euthynnus affinis n= 343
Frekuensi (%)
20 15 10
Betina
5
Jantan
17-19 19-21 21-23 23-25 25-27 27-29 29-31 31-33 33-35 35-37 37-39 39-41 41-43 43-45 45-47 47-49 49-51 51-53
0
FL (cm)
Gambar 3. Struktur ukuran tongkol komo (E. affinis) menurut jenis kelamin Figure 3. Size structure of eastern little tuna (E. affinis) based on sex ratio Hubungan Panjang Berat Dari hasil analisis diperoleh nilai hubungan panjang berat ikan tongkol komo sebagai berikut a= 0.014, b= 3.027, dan R²= 0,957, sedangkan jika dipisahkan jenis kelaminnya menghasilkan nilai b yang hampir sama (berhimpit), hal ini berarti untuk hubungan panjang berat tongkol komo bisa digabung antara jantan dan betina. Pola pertumbuhan tongkol komo di perairan WPP 572 adalah isometrik, artinya pertambahan berat sebanding dengan panjangnya. Tabel 1. Hubungan panjang berat tongkol komo di perairan Barat Sumatera Table1. Length weight relationship of eastern little tuna in West Sumatera water. Spesies Euthynnus affinis
144
Sex Female Male Combined
n 227 116 343
a 0.014 0.015 0.014
b 3.027 2.998 3.027
R² 0.957 0.967 0.957
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Panjang Pertama Kali Tertangkap (Length at First Capture) Panjang pertama kali tertangkap (Lc) tongkol komo yang tertangkap dengan pancing tonda, bagan perahu, purse seine masing-masing 26.2 cm, 26.4 cm, dan 22.3 cm. Lc pancing tonda dan bagan perahu mempunyai nilai yang hampir sama diduga karena nelayan menangkap pada daerah penangkapan yang sama yaitu di rumpon. Ikan-ikan yang berada di rumpon sering membentuk gerombolan pada ukuran tertentu. Faktor Kondisi Realatif Dari perhitungan faktor kondisi relatif ikan tongkol komo diperoleh kisaran nilai 1-1.54 (Gambar 4). Faktor kondisi tongkol komo tertinggi terjadi pada bulan Mei, diduga musim pemijahan tongkol komo adalah bulan Juni sampai Agustus.
Gambar 4. Faktor kondisi relatif tongkol komo di perairan Barat Sumatera Figure 4. Relative condition factor of eastern little tuna in West Sumatera water. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pengamatan sampel gonad tongkol komo secara morfologi memperlihatkan perkembangan gonad yang tidak ideal setiap bulannya. Hal ini diduga disebabkan jumlah sampel yang sedikit dan tidak proporsional. Tingkat kematangan gonad baik jantan maupun betina didominasi oleh TKG I dan II, sedangkan jumlah gonad pada tingkat III-IV lebih sedikit. Pada ikan jantan ditemukan TKG V pada bulan April, sedangkan pada betina pada bulan September (Gambar 5). Hal ini dapat dijadikan dugaan awal musim pemijahan ikan tongkol komo di perairan Barat Sumatera. Jadi ikan tongkol komo diduga memijah pada bulan September. Hal ini tentunya harus dibuktikan lebih lanjut dengan analisis indek kematangan gonad dan survey kelimpahan larva.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
145
Penangkapan ikan tongkol yang berbasis di sekitar rumpon di perairan Barat Sumatera sering tertangkap ikan ukuran juvenile. Juvenile ikan tongkol komo dengan Tingkat Kematangan Gonad I dan II dijumpai hampir setiap bulan (Gambar 5). Jantan
100%
80%
V
60%
IV
40%
0%
III
Mar Apr May Jun
Jul
Persentase
Persentase
80%
20%
Betina
100%
V
60%
IV
40%
III
II
20%
II
I
0%
I
Sep Oct Nov
Bulan
Mar Apr May Jun
Jul
Sep Oct Nov
Bulan
Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan tongkol komo (E. affinis) Figure 5. Gonado maturity stage of eastern little tuna (E. affinis) Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) Pada Gambar 6 disajikan perbandingan jenis kelamin ikan tongkol komo dengan jumlah sampel 227 ekor, dimana kondisi seimbang terjadi pada bulan Februari, Mei, dan November. Pada bulan Maret lebih banyak tertangkap ikan jantannya sedangkan pada September ikan betina lebih banyak tertangkap.
Gambar 6. Perbandingan jenis kelamin tongkol komo (E. affinis) Figure 6. Sex ratio of eastern little tuna (E. affinis) Dari uji chi square (X²) diketahui tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah ikan tongkol komo jantan dan betina (Tabel 2).
146
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel 2. Uji Chi-Kuadrat (X²) perbandingan jenis kelamin tongkol komo Table 2. Chi-Square Test (X²) from sex ratio of eastern little tuna
Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Lm) Dari hasil perhitungan Lm menggunakan Life History Tool tongkol komo (Euthynnus affinis) dengan panjang terbesar tertangkap 55 cm diperoleh nilai Lm= 32 cm. Fekunditas (Jumlah Telur) Jumlah telur ikan tongkol komo berkisar antara 214.200-416.000 butir, pada ukuran ikan 41-45 cm. Kebiasaan Makanan Tongkol komo (Euthynnus affinis) kondisi lambung dalam kondisi kosong lebih mendominasi sebesar 83%, sedangkan yang berisi organisme berupa ikan yang sudah hancur 12%, dan berisi ikan layang (Decapterus sp) sebesar 5% (lihat Gambar 7).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
147
Stomach Contents
Euthyynus affinis
Decapterus sp Unidentified Empty 0
20
40
60
80
100
Percentage
Gambar 7. Kandungan isi lambung tongkol komo (E. affinis). Figure 7. Stomach contents of eastern little tuna (E. affinis)
PEMBAHASAN Ikan tongkol komo (E. affinis) berdasarkan modus ukuran dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok ukuran yaitu 23-27 cm, 28-32 cm, dan 33-37 cm. Ukuran 33-37 adalah ikan besar yang tertangkap hanya pada bulan September. Iswarya dan Sujatha, (2012) di Utara Andhra Pradesh, India memperoleh ukuran pada kisaran 32-66 cm. Bachok et al., (2004) di perairan Trengganu, Pantai Timur Semenanjung Malaysia memperoleh kisaran pada 33-45 cm. Kisaran panjang tongkol komo yang tertangkap di perairan Barat Sumatera mempunyai kisaran yang lebih lebar dibanding dengan yang tertangkap di India dan Semenanjung Malaysia. Hal ini dapat diartikan bahwa perikanan neritik tuna di perairan Barat Sumatera dengan multi fishing gear telah menangkap tongkol komo dari ukuran yang kecil sampai yang besar. Panjang tongkol komo yng tertangkap dengan alat tangkap pancing tonda, purse seine dan bagan perahu didominasi ukuran yang masih kecil/ juvenile. Hal ini disebabkan karena penggunaan mata jaring yang terlalu kecil (1-2 inch). Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan perlu juga dikaji ulang karena yang tertangtkap justru ikan-ikan muda yang belum memijah. Struktur ukuran tongkol komo menunjukkan modus ukuran yang hampir sama setiap bulannya, diduga disebabkan daerah penangkapan tongkol komo yang berada di sekitar rumpon. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ikan-ikan yang berada di rumpon cenderung berada dalam gerombolan (schooling), sehingga ukuran yang tertangkap pun relatif seragam. Ikan tongkol komo dari beberapa schooling kadang juga keluar masuk ke area rumpon, mendiami suatu rumpon satu atau beberapa bulan dan kondisi ini berlangsung terus-menerus dalam sebuah rantai makanan yang terjadi di rumpon. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) E. affinis yang tertangkap bagan perahu, pancing tonda, dan purse seine masih lebih kecil dibandingkan nilai Lm (32 cm). Jatmiko et 148
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
al., (2013) pernah melaporkan nilai Lc tongkol komo di Barat Sumatera dengan alat tangkap purse seine industri sebesar 37.12 cm. Nilai Lc yang dilaporkan Jatmiko et al., (2013) dan penelitian ini berbeda disebabkan kapal purse seine industri mempunyai daerah penangkapan di rumpon yang jaraknya lebih jauh (> 10 mil) dari garis pantai bahkan sampai di WPP 573 Selatan Jawa. Sedangkan purse seine kecil menangkap di sekitar rumpon yang jaraknya 4 mil. Hal ini membuktikan bahwa kebiasaan hidup (behaviour) tongkol komo semakin besar ukurannya lebih membutuhkan daerah yang lebih luas dalam proses tumbuh, mencari makan, dan berkembangbiak. Sehingga jalur migrasi alamiah ikan tersebut akan terbentuk dengan sendirinya. Pengunaan sejumlah rumpon yang banyak dan tidak dikendalikan hanya akan merusak jalur migrasi alamiah ikan. Bila nilai Lc lebih kecil dari Lm maka ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan muda yang belum memijah. Nilai Lc yang terlalu kecil disebabkan oleh penggunaan mata jaring atau mata pancing yang terlalu kecil. Lc E. affinis yang tertangkap bagan dan pancing tonda hampir sama diduga karena daerah penangkapan yang sama yaitu di sekitar rumpon sehingga pengaturan tentang rumpon dan besarnya mata jaring sangat penting dilakukan agar bisa mencegah kemungkinan menurunnya populasi neritik tuna di perairan Barat Sumatera. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomer 02/MEN/2011, telah mengatur jalur penangkapan, penggunaan alat penangkap ikan, dan alat bantu penangkapan ikan termasuk penggunaan rumpon dan besarnya mata jaring, tetapi pada kenyataannya di laut belum sesuai dengan aturan yang ada. Dari hubungan panjang berat dengan memisahkan jenis kelamin terlihat nilai b yang hampir sama. Ini berarti hubungan panjang berat antara jantan dan betina bisa digabung. Dari uji t terhadap tongkol komo menunjukkan hasil pola pertumbuhan isometrik. Pola pertumbuhan isometrik artinya ikan tumbuh ideal, tidak gemuk dan tidak kurus (pertambahan berat sebanding dengan beratnya). Pasokan makanan di di perairan Barat Sumatera tersedia cukup memadai. Perbedaan pola pertumbuhan dipengaruhi oleh, jenis kelamin, keturunan, umur, penyakit, tingkat kematangan gonad, ketersediaan makanan, dan suhu perairan (Effendi, 2002). Menurut Merta, (1993), bahwa perbedaan nilai b disebabkan oleh perbedaan habitat, jenis kelamin, tahap-tahap pertumbuhan ikan mulai dari larva, yuwana, dan saat ikan mulai matang gonad. Hubungan panjang berat tongkol komo di beberapa lokasi tersaji pada Tabel 3.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
149
Tabel 3. Nilai a dan b hubungan panjang berat tongkol komo (E. affinis) Table 3. a and b Value from length weight relationship of eastern little tuna (E. affinis)
Area
Value a
Reference
b
Indian Ocean
0.0166
2.963
Morrow, 1954
Philippine Water
0.0108
3.154
Tester and Nakamura, 1957
Indian Ocean
0.0138
3.0287
0.000031
2.886
Indian Waters
0.019
2.95
James et al., 2003
Indian Waters
0.0254
2.889
Rohit et al., 2012
Mangalore, India
Silas, 1967 Muthiah,1985
(Sumber: Rohit et al., 2012) Dengan melihat tren nilai faktor kondisi relatif musim pemijahan ikan tongkol komo diduga pada bulan Juni-Agustus. Musim pemijahan terjadi pada musim angin timur sampai sebelum musim peralihan kedua. Musim pemijahan tongkol komo sama dengan yang dilaporkan Hidayat (2013) di Laut Jawa, bahwa tongkol komo memijah pada Juni-Agustus. Di Laut Liguaria tongkol komo memijah pada Juli-Agustus juga (Plandri et al., 2009). Di Perairan India Abdussamad et al., (2012) melaporkan musim pemijahan tongkol komo berlangsung dua kali yaitu Mei-Juni dan Oktober–Desember. Dari pengamatan kematangan gonad tongkol komo secara visual diketahui tingkat kematangan didominasi oleh gonad yang belum matang (72 %) dan 27% gonad yang matang. Musim pemijahan tongkol komo berdasarkan tingkat kematangan gonad masih sulit diduga karena sedikitnya jumlah sampel sehingga perhitungan lanjut untuk indek kematangan gonad belum bisa dilakukan. Ikan yang belum matang gonad pada TKG I dan II memperlihatkan persentase tertangkap yang lebih besar. Besarnya persentase ini bisa diduga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap dan daerah penangkapan yang berada di sekitar rumpon. Bila juvenile tongkol komo tertangkap lebih dominan dan dilakukan lebih intensif maka akan membahayakan kelestariannya. Penggunaan mata jaring, pengaturan rumpon, daerah penangkapan sangat perlu diatur dan dilakukan pengawasan di lokasi penangkapan. Dilematika yang terjadi yaitu aturan yang telah ada sudah sangat baik dibuat namun penerapannya di lapangan belum bisa terwujud sesuai aturan. Di perairan Barat Sumatera penggunaan alat tangkap bagan perahu maupun purse seine, mata jaringnya harus dibuat lebih besar agar ikan kecil/ juvenile bisa lolos, tumbuh menjadi ikan dewasa dan bisa memijah. Dari uji chi square (X²) terhadap jenis kelamin tongkol komo diketahui tidak ada perbedaan nyata antara jumlah ikan tongkol jantan dan betina. Hal ini berarti populasi ikan
150
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
tongkol jantan dan betina di perairan Barat Sumatera adalah seimbang. Bila populasi tidak seimbang, jumlah ikan jantan lebih banyak dari ikan betina dengan perbedaan yang signifikan, maka proses pemijahan/ perkawinan sebagai awal penambahan baru (rekrutmen) akan terganggu. Berubahnya jumlah kelamin antara jantan dan betina adalah seiring berubahnya kelompok ukuran yang diamati (Mackie et al., 2004). Variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi dikarenakan 3 faktor, yaitu perbedaan tingkah laku reproduksi, kondisi lingkungan, dan penangkapan (Bal dan Rao, 1984). Panjang pertama kali matang gonad tongkol komo (Euthynnus affinis) adalah Lm= 32 cm. Nilai Lm E. affinis di perairan Barat Sumatera lebih kecil daripada yang dilaporkan Hidayat, (2013) di Laut Jawa. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan habitat, adanya tekanan penangkapan, dan perbedaan genetik. Nilai Lm tongkol komo di lokasi lainnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Lm ikan tongkol komo (E. affinis) di beberapa lokasi. Table 4. Lm value of eastern little tuna (E. affinis) in several location Spesies Euthynnus affinis
Lokasi Selat Taiwan Pantai Mangalore Perairan India Andhra Pradesh, India Laut Cina Selatan Laut Jawa Barat Sumatera, Indian Ocean
Jenis Kelamin Betina Jantan Betina Jantan Gabungan Betina Jantan Gabungan Gabungan Gabungan
Lm (cm) 26.9 27.1 43 44 37.7 49 49.7 50 33.7 32
Referensi Yu Tao et al ., (2012) Muthiah, (1985) Abdussamad et al ., (2012) Iswarya dan Sujatha, (2012) Williamson, (1970) dalam Muthiah, (1985) Hidayat, (2013) Penelitian ini
Dari kandungan isi lambung dapat disimpulkan bahwa kebisaan makanan Euthynnus affinis adalah ikan layang (Decapterus sp), kondisi lambung kosong sangat dominan ditemukan (80%) dan kondisi makanan sudah hancur juga banyak, sehingga jenis-jenis makanan yang biasa dimakan tongkol komo tidak teridentifikasi semua. Ghosh et al., (2012) juga melaporkan kebiasaan makanan Euthynnus affinis adalah teri, dan cumi-cumi. Sedangkan Hidayat, (2013) melaporkan kebiasaan makan tongkol komo antara lain tembang, layang, teri, cumicumi, dan kembung. Melihat jenis makanannya ikan tongkol komo dewasa adalah ikan carnivora. Pengetahuan tentang kebiasaan makanan sangat penting diketahui untuk melakukan pengelolaan perikanan yang baik. Bila jenis-jenis makanan tongkol komo diketahui maka kita dapat memperkirakan proses rantai makanan yang terjadi. Contohnya kebiasaan makanan tongkol komo adalah layang yang ditangkap menggunakan purse seine di sekitar rumpon, maka penambahan jumlah armada/ trip purse seine dan rumpon hanya akan menyebabkan jumlah ikan layang semakin menipis. Bila ikan layang yang merupakan makanan tongkol komo jumlahnya Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
151
semakin sedikit maka keseimbangan rantai makanan akan terganggu dan dalam jangka panjang akan membahayakan kelangsungan hidup tongkol komo. Jumlah telur tongkol komo di Barat Sumatera lebih sedikit dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan di Perairan India oleh Muthiah (1985) dan Pillai & Pillai (2000). Fekunditas ikan tongkol berbeda-beda pada tiap lokasi dipengaruhi oleh komposisi umur, faktor lingkungan seperti persediaan makanan, kepadatan populasi, suhu perairan, dan oksigen terlarut. Perbedaan jumlah telur juga bisa diartikan adanya perbedaan ras (gen), ras yang berbeda mempunyai sifat fekunditas yang tidak sama termasuk juga ukuran diameter telurnya (Effendi, 2002). Dengan jumlah telur yang sedikit, dan pertumbuhan lambat maka perlu adanya pengaturan kegiatan penangkapan. Tanpa adanya pengendalian penangkapan maka tongkol komo dapat terancam kelestariannya. Ikan tongkol komo adalah salah satu ikan yang berasosiasi dengan rumpon, oleh sebab itu pengaturan, pembatasan dan pengawasan terhadap armada maupun penggunaan rumpon perlu dilakukan. Daerah dimana diduga merupakan spawning ground atau nursery ground tongkol komo juga harus dilakukan pengaturan (konservasi). Jumlah telur tongkol komo di beberapa lokasi tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Fekunditas tongkol komo di beberapa lokasi. Table 5. Fecundity of eastern little tuna in several location Spesies Lokasi Euthynnus affinis Pantai Mangalore, India Perairan India Barat Sumatera
Fekunditas (butir) Panjang (cm) Referensi 201.000-569.000 47 Muthiah, (1985) 210.000-680.000 Rao, (1964) dalam Pillai & Pillai (2000) 214.200-416.000 41.7-45.5 Penelitian ini
KESIMPULAN Dari struktur ukuran ikan tongkol komo yang tertangkap di perairan Barat Sumatera didominasi kelompok ikan yang belum dewasa mencapai (60%). Panjang pertama kali tertangkap tongkol komo dengan bagan perahu dan pancing tonda memperlihatkan ukuran yang sama yaitu 26 cm. Nilai Lc ini semestinya lebih besar dari nilai Lm tongkol komo yaitu 32 cm agar proses rekrutmen dapat berlangsung dengan baik. Pola pertumbuhan tongkol komo di perairan Barat Sumatera adalah isometrik. Tingkat Kematangan Gonad didominasi ikan yang belum matang gonad, daripada yang telah matang gonad. Musim pemijahan tongkol komo di perairan berlangsung dari bulan Juni-Agustus. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah ikan tongkol komo jantan dan betina. Jumlah telur tongkol komo berkisar antara 214.200-416.000 butir. Salah satu kebiasan makanan tongkol komo yang ditemukan di Barat Sumatera adalah adalah ikan layang (Decapterus sp), dan jenis ikan lain yang sulit teridentifikasi disebabkan kondisinya sudah hancur. 152
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
SARAN Pengelolaan terhadap sumberdaya tongkol di perairan Barat Sumatera harus dilakukan secara komprehensif dengan menggabungkan aspek penangkapan dan biologi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif dengan penambahan aspek-aspek yang penting lainnya, seperti aspek lingkungan, pengkajian stok, dan genetik.
REKOMENDASI Beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan antara lain: perlu mengatur daerah penangkapan diluar dari daerah asuhan/ pemijahan, memperbesar mata jaring agar ikan yang tertangkap mempunyai ukuran yang lebih besar/ panjang, pembatasan jumlah kapal yang berasosiasi dengan rumpon (purse seine, pancing tonda) dan di luar rumpon bagan perahu (dibatasi besarnya lampu yang digunakan), pembatasan jumlah rumpon, dan pengawasan kegiatan penangkapan yang lebih intensif, selama ini aturan tentang rumpon dan besarnya mata jaring sudah dibuat dengan baik namun penerapan di lapangan yang belum ada. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut, Prof. Ali Suman atas segala dukungannya, rekan peneliti BPPL, enumerator, Kepala dan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Banda Aceh, Meulaboh, Sibolga, dan Padang, serta Kepala dan staf PPN Lampulo, Kepala Pelabuhan Perikanan Meulaboh, Kepala Pelabuhan Perikanan Sibolga, dan Kepala PPS Bungus/ Muaro. DAFTAR PUSTAKA Abdussamad, E.M., P. Rohit, K.P.S. Koya & M. Sivadas. 2012. Status and potential of neritic tunas exploited from Indian waters. IOTC Second Working Party on Neritic Tunas, Malaysia. 1-17pp Bachok, Z, M.I. Mansor & R.M. Noordin, 2004. Diet composition and food habits of demersal and pelagic marine fishes from Trengganu Waters, East Coast of Peninsular Malaysia. NAGA, World Fish Center Quarterly. Vol. 27 no. 3.1-7pp Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi: 5-24pp Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 112 hlm Effendie, I. M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 116 hlm.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
153
Chodrijah. U, T. Hidayat, dan T. Noegroho, 2013. Estimasi parameter populasi ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) di Perairan Laut Jawa. BAWAL Vol. 5 (3) Desember 2013 : 167-174 FAO Species Catalogue, 1983. Scombrids of the World. An annotated and illustrated catlogue of tunas, mackerels, bonitos, and related species known to date. Vol. II. No. 125. (32):18pp Ghosh S, M. Sivadas, EM. Abdussamad, P. Rohit, KPS. Koya, KK. Joshi, C. Anuleksmi, M.M Rathinam, D. Prakasan, S. Manju. (.2012). Fishery, population dynamics and stock structure of frigate tuna Auxis thazard (Lacepede, 1800) exploited from Indian waters. Indian J Fish 59(2):95-100 Hidayat, T. 2013. Aspek biologi dan aspek perikanan tongkol batik (Euthynnus affinis, Cantour 1849) di Laut Jawa. Tesis. Universitas Indonesia. Herrera, M & Pierre. 2009. Status of IOTC databases for neritic tuna. IOTC-WPDCS-06. Iswarya, D & K. Sujatha. 2012, Fishery and some aspects of reproductive biology of two coastal species of tuna, Auxis thazard (Lacepède, 1800) and Euthynnus affinis (Cantor, 1849) off north Andhra Pradesh, India. Indian J. Fish., 59 (4) : 67-76. Jatmiko, I., R. K. Sulistyaningsih. & B. Setyadji. 2013. Study on population parameters of kawakawa, Euthynnus affinis (Cantor 1849), in Indian Ocean (a case study in Northwest Sumatra IFMA 572). Third Working Party on Neritic Tunas, Bali, Indonesia.1-9pp Mackie, M.C., P. D. Lewis, D. J. Gaughan, J. Stephen. Newman, 2004. Variability in spawning frequency and reproductive development of the narrow-barred spanish mackerel (Scomberomorus commerson) along the West Coast of Australia. Western Australian Marine Research. Laboratories Department of Fisheries. Fisheries Buletin. 103:344– 354. Merta, I.G.S. 1993. Hubungan Panjang Berat dan Faktor kondisi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 dari Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 73:35-44. Muthiah, C. 1985. Maturation and spawning of Euthynnus affinis, Auxis thazard and A. rochei in the Mangalore inshore area during 1979-1982. In: E.G. Silas (Ed.), Tuna fisheries of the Exclusive Economic Zone of India: Biology and stock assessment. Bulletin of Central Marine Fisheries Research Institute 36: 71-85. Pillai, P.P & N. G. K. Pillai. 2000. Tuna Fisheries of India. Central Marine Fisheries Research Institute. MFRM, Kerala India. Plandri,G, L. Lanteri, F. Garibaldi, L. Orsi Relini, 2009. Biological Parameters of Bullet Tuna
154
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
in The Ligurian sea. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 64 (7): 2272-2279. Rohit, P. Anuleksmi C, E.M. Abdussamad, K.K. Joshi, K.P. Said Koya, S. Ghosh, A. Margaret, M. Rathinam, S. Kemparaju, H.K. Dokhia, D. Prakasan, & N. Beni, 2012. Fishery and bionomics of the little tuna, Euthynnus affinis (Cantor, 1849) exploited from Indian waters. Central Marine Fisheries Research Institute. Indian J. Fish., 59 (3) : 33-42 Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis.Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438p.
Schaefer, M.B. & C.J. Orange. 1956. Studies on sexual development and spawning of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and skipjack (Katsuwonus pelamis) in three areas of the Eastern Pacific Ocean by axamination of gonads. Bulletin .I-ATTC 1 (6): 282-349. Sparre, P. & S. C. Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock assessment, Part 1 - Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306-376 pp. Sugiyono. 2004. Statistik nonparametris untuk penelitian. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung: vi + 306. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011, Direktorat jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. www. fishbase.org. 2012 Tao. Y, C. Mingru, D. Jianguo, L. Zhenbin and Y. Shengyun, 2012. Age and growth changes and population dynamics of the black pomfret (Parastromateus niger) and the frigate tuna (Auxis thazard thazard), in the Taiwan Strait. Department of Oceanography, Xiamen University, Xiamen 361005, China. Lat. Am. J. Aquat. Res., 40(3): 649-656
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
155
Lampiran 1. Kriteria tingkat kematangan gonad oleh Schaefer & Orange, 1956. Appendix 1. Gonado maturity stages criteria by Schaefer & Orange, 1956. Betina TKG
I II
Kategori Dara berkembang/ juvenille/resting (immature) Perkembangan I/maturing
III
Perkembangan II/mature
IV
Bunting/matang/ripe
V
Memijah/spawned/ Spent
Deskripsi Gonad memanjang dan ramping, panjangnya sekitar sepertiga dari rongga perut, jenis kelamin dapat dilihat dengan kaca pembesar, ovari jernih abu-abu hingga kemerah-merahan. Gonad membesar tetapi telur tidak dapat dilihat satu per satu dengan mata biasa, ovari berbentuk bulat telur, berwarna kemerah-merahan dengan pembuluh kapiler, ovari mengisi sekitar setengah ruang bawah. Gonad membesar dan membengkak, telur mudah dilihat dengan mata biasa, ovari berwarna orange kemerah-merahan, ovari mengisi 2/3 ruang bawah. Gonad mengisi penuh ruang bawah, ovari telah membesar, telur jernih dan sudah masak, mudah keluar dari lumen ovari kalau perut ikan ditekan Termasuk yang mijah sekarang (salin) dan sebelumnya (post-spawning. Gonad menyusut memiliki dinding longgar. Ovari sangat besar dan lunak (karena mijah). Telur matang masih ada yang tertinggal dalam ovari, telur berwarna jernih. Telur akan keluar dengan sedikit tekanan pada perut.
Jantan TKG
I II
Kategori Jaka berkembang/ juvenille/resting (immature) Perkembangan /maturing
III
Matang/ripe
IV
Salin/partly spent
V
Pulih salin/spent
156
Diskripsi Testis sangat halus, pipih seperti pita tetapi jenis kelamin dapat dibedakan dengan kaca pembesar. Sebagian sperma terdapat dalam saluran pusat. Testis membesar, penampang melintang berbentuk segitiga, berwarna kemerah-merahan atau mulai putih dengan pembuluh kapiler, kecil dan padat. Testis membesar dan membengkak, warna putih agak buram, sperma sedikit keluar bebas bila di tekan/gonad dipotong, dapat dilihat dengan mata biasa. Testes sangat membesar, warna putih buram ada bintik-bintik merah, sperma mudah keluar kalau perut ikan ditekan sedikit atau saat gonad dipotong. Testis lunak, gelap kemerahan, dinding gonad lembek dan ada pembuluh darah.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PERIKANAN PANCING ULUR (HAND LINE) DI PERAIRAN SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT Thomas Hidayat, Enjah Rahmat dan Tegoeh Noegroho Balai Penelitian Perikanan Laut, Komplek Pelabuhan Perikanan Samudera Muara Baru - Jakarta Utara E-mail : [email protected]
ABSTRAK Perikanan pancing ulur merupakan perikanan skala kecil yang dominan di Morotai dan Tobelo dengan target utama ikan madidihang. Penelitian ini dilakukan Maret sampai Desember 2013 di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Morotai dan PPP Tobelo, yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang CPUE, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap pancing ulur dari Samudera Pasifik bagian barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CPUE rata-rata pancing ulur dari Samudera Pasifik bagian barat adalah 78 kg/trip, dengan lama trip 1-2 hari. Komposisi jenis hasil tangkapan pancing ulur di Samudera Pasifik bagian barat adalah madidihang 51%, cakalang 47%, lemadang 2% sisanya yaitu marlin dan tongkol komo masing-masing 0.3%. Ukuran madidihang yang tertangkap pancing ulur di Samudera Pasifik Bagian Barat berkisar antara 121.5 - 136.6 cm, dengan ukuran rata-rata 132.36 cm. Pancing ulur ini tergolong ramah lingkungan karena ukuran ikan madidihang hasil tangkapannya rata-rata sudah dewasa yaitu diatas ukuran pertama kali memijah (Lm). KATA KUNCI : pancing ulur, CPUE, madidihang, Samudera Pasifik
ABSTRACT : HAND LINE FISHERIES IN WESTERN PACIFIC OCEAN. Hand line fishery is a dominant small scale fisheries in Morotai and Tobelo with main target species yellow fin tuna. The study was conducted from March to December 2013 in Morotai and Tobelo aimed to obtain data and information on the catch rate, catch composition and size of the fish caught by hand line in the Western Pacific Ocean. The results showed that the average CPUE of hand line in the Western Pacific Ocean was 78 kg/trip (1-2 days trip). Catch composition consist of yellow fin tuna 51%, skipjack tuna 47% , common dolphin fish 2%, marlin and kawa-kawa 0.3 %. The length of yellow fin tuna caught by hand line between 121.5 - 136.6 cm, with average length 132.36 cm. Hand line was environmentally friendly fishing gear given the average yellowfin tuna was caught in addult size. KEYWORDS: hand line, CPUE, yellow fin tuna, Pacific Ocean
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
157
PENDAHULUAN Wilayah Pengelolaan Perikan 717 (Samudera Pasifik bagian barat) merupakan daerah penangkapan potensial untuk ikan tuna (Nurhakim et al., 2007). Ikan-ikan pelagis besar meliputi ikan tuna oseanik terdiri dari madidihang (Thunnus albacares), cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna mata besar (Thunnus obesus), dan ikan tuna neritik antara lain adalah tongkol abu-abu (Thunnus tonggol), tongkol komo (Euthynnus affinis), tongkol krai (Auxis thazard), tongkol lisong (Auxis rochei), tenggiri (Scomberomorus commerson) dan tenggiri papan (Scomberomorus guttatus). Beberapa jenis alat tangkap yang digunakan menangkap ikan tuna antara lain purse seine, huhate, pancing ulur dan pancing tonda. Perikanan pancing ulur di Morotai dan Tobelo merupakan perikanan tuna skala kecil (small scale fisheries) yang dominan. Target utama dari alat tangkap tersebut ikan madidihang yang mempunyai nilai ikan ekonomis yang cukup tinggi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hasil tangkapan per upaya (catch per unit effort = CPUE), komposisi hasil tangkapan, dan struktur ukuran hasil tangkapan pancing ulur (hand line) di perairan Samudera Pasifik bagian barat. Data dan informasi tersebut merupakan bahan dasar untuk menganalisis status sumberdaya tuna di Samudera Pasifik bagian barat
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di perairan sebelah timur Tobelo dan Morotai yang merupakan perairan Samudera Pasifik bagian barat. Pengambilan data dilakukan mulai Maret sampai Desember 2013. Data aspek penangkapan meliputi produksi perikanan, teknik penangkapan, daerah penangkapan, laju tangkap, komposisi hasil tangkapan diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara. Pengukuran dilakukan terhadap ikan madidihang ikan hasil tangkapan pancing ulur, pengambilan sampel dilakukan secara acak dan proporsional. Pengambilan data frekuensi panjang cagak madidihang dibantu oleh enumerator. Analisis data dilakukan secara deskriptif meliputi CPUE dan komposisi jenis hasil tangkapan dan distribusi frekuransi panjang. Perhitungan CPUE menggunakan rumus Sparre & Venema (1999), yaitu : Laju tangkap = hasil tangkapan / jumlah trip. HASIL Perkembangan Produksi Berdasarkan data produksi di PPP Tobelo, tren produksi perikanan tuna mengalami peningkatan dari tahun 2008 sebesar 21,41 ton, meningkat 28,28 ton di tahun 2009, tahun
158
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
2010 produksi mencapai 66 ton, peningkatan produksi yang cukup drastis di tahun 2010 ini disebabkan usaha penangkapan yang berkembang pesat. Selanjutnya produksi mencapai 70,76 ton tahun 2012, produksi tahun 2012 ini peningkatannya tidak terlalu besar dibandingkan tahun sebelumnya (Gambar 1)
Gambar 1. Perkembangan produksi ikan tuna madidihang (Sumber PPP Tobelo) Armada dan Alat Tangkap Alat tangkap yang ada di Tobelo gill net 39 %, pancing ulur 13 %, long line 9%, purse seine 39%, alat tangkap pancing ulur di Tobelo tidak terlalu banyak mengingat alat tangkap pancing ulur baru berkembang beberapa tahun belakangan.. Alat tangkap yang ada di Morotai adalah pancing ulur (handline) 73%, huhate (pole and line) 1%, jaring insang hanyut (drift gill net) 15 %, pukat cincin (purse seine) 3%, bagan 2% dan lain-lain 6% (Gambar 2). Hal ini memperlihatkan bahwa alat tangkap yang dominan adalah pancing ulur. Armada pancing ulur (pancing lot) di Morotai didominasi oleh perahu ”body” yaitu perahu motor terbuat dari fiber, yang berukuran 10,00 x 1,20 x 1,25 m dengan mesin 40 PK, perahu body ini diawaki 1-2 orang, lamanya trip 1-2 hari.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
159
Gambar 2. Alat tangkap yang ada di Morotai dan Tobelo (Sumber Statistik PPP Tobelo dan PPP Morotai tahun 2012) Alat tangkap pancing ulur yang terdiri dari 2 jenis, yaitu pancing ulur dengan pemberat dan pancing ulur permukaan. Pancing ulur dengan pemberat dioperasikan di perairan hingga mencapai kedalaman tertentu dan menggunakan umpan ikan hidup. Sedangkan pancing ulur permukaan dioperasikan dibagian permukaan air dengan cara menggerak-gerakan umpan buatan sehingga menarik perhatian ikan target penangkapan untuk memangsanya. 1). Pancing ulur dengan pemberat Pancing ulur (pancing lot) terdiri dari beberapa komponen, yaitu: gulungan tali, tali/ senar, mata pancing, dan pemberat (Gambar 3). Untuk menarik perhatian ikan target maka pada mata pancing diberi umpan hidup, sehingga mata pancing akan bergerak sesuai dengan gerakan ikan umpan hidup tersebut.
gulungan tali
65-75 m senar PA no. 60 swivel pemberat (timah) 0,5 kg
senar PA no. 50
15 m
senar PA no. 50
15 m
mata pancing no 4, 5 umpan cumi-cumi
E.R_2013
Gambar 3. Konstruksi pancing ulur dengan pemberat (pancing lot) 160
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Operasi penangkapan dimulai dengan menentukan daerah penangkapan (fishing ground) biasanya di sekitar rumpon. Kegiatan memancing dimulai dengan mengaitkan mata pancing dengan ikan umpan hidup. Mata pancing yang digunakan nomor 4 – 5 disesuaikan dengan ukuran ikan target penangkapan. Ikan umpan yang digunakan adalah jenis ikan layang (Decapterus sp.), tongkol komo (Euthynnus affinis) atau cakalang kecil (Katsuwonus pelamis) dengan ukuran berat 300-400 gram per ekor, mata pancing dipasang dibagian punggung ikan. Tali diulur hingga kedalaman tertentu biasanya mulai 30–200 m, tali yang digunakan nylon PA no. 50, 100 atau 150 tergantung kedalaman. Mata pancing akan bergerak mengikuti gerakan ikan umpan hidup. Ada juga nelayan pancing ulur yang menggunakan pemberat batu yang dibungkus plastik kresek bersama dengan potongan umpan yang dikaitkan ke mata pancing sebagai pemberat. Setelah pancing tenggelam mencapai kedalaman tertentu kemudian disentak agar batu pemberat terlepas demikian juga umpan berupa potongan daging ikan tongkol atau cakalang, kemudian pancing disentak-sentakkan sambil ditarik kembali ke permukaan. Apabila ikan target memakan ikan umpan (pancing), selanjutnya tali nylon ditarik, teknik penarikan mengimbangi tarikan ikan bila ikan menarik maka tali pancing diulur, bila ikan sudah tidak menarik maka baru tali pancing ditarik perlahan-lahan. Ikan hasil tangkapan kemudian dimasukkan ke dalam palka. 2). Pancing Ulur Permukaan Pancing ulur permukaan atau pancing layang-layang terdiri dari beberapa komponen, yaitu: gulungan tali, tali/senar, mata pancing, layang-layang, dan ikan umpan buatan (Gambar 4). Apabila di sekitar rumpon tidak ada gerombolan ikan, maka daerah penangkapan dilakukan dengan mencari gerombolan ikan tuna dan cakalang yang biasanya ditandai dengan banyaknya burung laut yang berterbangan dan menyambar ke permukaan laut, atau adanya gerombolan ikan lumba-lumba, terkadang ikan tuna dan cakalang terlihat melompat di permukaaan. Adapun tahapan cara pengoperasiannya dimulai dengan menentukan daerah atau lokasi pemancingan (fishing ground). Setelah mendapatkan gerombolan ikan kemudian mata pancing yang dilengkapi dengan umpan buatan yang berbentuk ikan terbang diturunkan ke dalam air. Tali diulur sampai jarak 100-200 m kemudian layang-layang diterbangkan, selanjutnya kapal dijalankan agar layang-layang dapat terbang, sehingga umpan buatan bergerak timbul tenggelam di permukaan air laut seperti layaknya ikan yang terbang dan menyelam ke dalam air. Gerakan umpan buatan ini dimaksudkan untuk menarik perhatian jenis ikan tuna atau cakalang untuk memangsanya. Pergerakan kapal terus dilakukan sampai umpan dimakan ikan, Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
161
apabila ikan target memakan umpan maka kapal dihentikan, selanjutnya tali nylon ditarik dengan teknik penarikan yang sama dengan pancing ulur permukaan.
1m
Gambar 4. Konstruksi pancing ulur permukaan Armada pancing ulur yang berbasis Morotai berangkat dari pelabuhan pukul 04.00 dinihari, perjalanan ke fishing ground ditempuh dalam waktu rata-rata 3 jam. Fishing ground disekitar rumpon, atau bisa juga di luar rumpon yaitu pada perairan yang terdapat gerombolan ikan tuna dan cakalang Daerah Penangkapan Daerah penangkapan pancing ulur berada di sekitar sebelah timur Tobelo, sebelah tenggara Pulau Morotai Selat antara P. Halmahera dan P. Morotai dan Sebelah barat P. Halmahera. Selanjutnya daerah penangkapan ini dapat dilihat pada Gambar 5
162
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Samudera Pasifik 2.2°
Laut Sulawesi
Lintang utara
1
2
1.8° Laut Halmahera
1.4°
1° 127°
127.4°
127.8°
128.2°
128.6°
129°
Bujur timur
Gambar 5. Daerah Penangkapan Pancing Ulur CPUE Nilai CPUE diperoleh dari hasil pencatatan enumerator terhadap hasil tangkapan tiap trip kapal pancing ulur yang mendaratkan hasilnya di PPP Morotai dari bulan Maret sampai Juni 2013. CPUE rata-rata pancing ulur adalah 78 kg/trip, dengan lama trip 1-2 hari. (Gambar 6)
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
163
Gambar 6. CPUE rata-rata pancing ulur Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan pancing ulur dari di perairan sebelah timur Morotai adalah madidihang (Thunnus albacares) 51%, cakalang (Katsuwonus pelamis) 47%, lemadang (Coryphaena hippurus) 2%, sisanya yaitu marlin (Makaira sp) dan tongkol komo (Euthynnus affinis) masing-masing 0.3% (Gambar 7)
Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan pancing ulur Struktur Ukuran Madidihang yang Tertangkap Pancing Ulur Ukuran panjang cagak (fork length) rata-rata madidihang yang tertangkap pancing ulur dari bulan Maret sampai Desember 2013 di perairan sebelah timur Morotai (Samudera Pasifik) berkisar antara 121.5-136.6 cm, dengan ukuran rata-rata 132.36 cm (Gambar 8).
Gambar 8. Struktur ukuran madidihang yang tertangkap pancing ulur BAHASAN
164
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Rata-rata CPUE pancing ulur di Samudera Pasifik selama penelitian Maret-Juni 2014 adalah 78 kg/trip, dengan lama trip 1-2 hari. Laju tangkap ini lebih rendah dibandingkan dengan laju tangkap pancing ulur di Laut Banda sebesar 133 kg/trip (Hidayat et al. 2012). Komposisi jenis hasil tangkapan Laut Samudera Pasifik didominasi oleh cakalang, madidihang dan tuna mata besar. Komposisi ini hampir sama dengan hasil tangkapan pancing tonda di Palabuhanratu dengan daerah penangkapan Samudera Hindia yaitu madidihang (Thunnus albacares) 61,55%, cakalang (Katsuwonus pelamis) 28,88 %, tuna mata besar (Thunnus obesus) 6,8 %, setuhuk loreng (Tetrapturus mitsukurii) 2,67 % (Wijaya, 2012). Adanya kesamaan komposisi ini diduga karena alat tangkap ini sama-sama beroperasi di sekitar rumpon laut dalam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fonteneau et al. (2000), menyatakan bahwa cakalang dan madidihang mendominasi ikan yang berada di rumpon laut dalam. Selain itu karena cakalang dan madidihang muda pada umumnya berenang dan berada pada gerombolan (schooling) yang sama (Bach et al., 1998) . Ukuran panjang cagak (fork length) rata-rata madidihang yang tertangkap pancing ulur di perairan sebelah timur Morotai berkisar antara 121.5 - 136.6 cm, dengan ukuran ratarata 132.36 cm. Ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur di Samudera Pasifik ini hampir sama dengan ukuran madidihang yang tertangkap pancing ulur di Laut Banda yaitu antara 88 - 178 cm, dengan rata-rata 130.98 cm (Hidayat et al. 2012). Ukuran ratarata madidihang yang tertangkap pancing ulur di perairan Samudera Pasifik bagian barat ini termasuk kategori ikan yang sudah dewasa karena ukurannya diatas ukuran pertama kali memijah (Length at first maturity= Lm), sesuai dengan Itano (2004), ukuran panjang pertama kali memijah (Lm) madidihang di Samudera Pasifik bagian barat adalah 104,6 cm. Sedangkan Mardlijah (2008), menemukan ukuran Lm madidihang di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pancing ulur ini ramah lingkungan karena ikan hasil tangkapannya rat-rata sudah dewasa.
KESIMPULAN. Rata-rata CPUE pancing ulur di Samudera Pasifik bagian barat adalah 78 kg/trip, dengan lama trip 1-2 hari. Komposisi jenis hasil tangkapan pancing ulur di Samudera Pasifik bagian barat adalah Madidihang 51%, cakalang 47%, lemadang 2% , sisanya yaitu marlin dan tongkol komo masing-masing 0.3%. Rata-rata ukuran ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur di Samudera Pasifik adalah 132.36 cm, dan dari indikasi ini terlihat pancing ulur merupakan alat tangkap ramah lingkungan karena ukuran ikan madidihang hasil tangkapannya rata-rata sudah dewasa yaitu diatas ukuran pertama kali memijah (Lm).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
165
PERSANTUNAN Makalah ini merupakan kontribusi dari Kegiatan “Penelitian Aspek Biologi, Tingkat pemanfaatan, dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar di WPP 572, WPP573 dan WPP 717 untuk mendukung Industrialisasi Perikanan.” Balai Penelitian Perikanan Laut Tahun Anggraran 2013.
DAFTAR PUSTAKA Bach, P., L. Dragon , E. Josse , F.X. Bard , R. Abbes, A. Bertrand & C. Misselis . 1998. Experimental research and fish aggregating devices (FADs) in French Polynesia. SPC Fish Aggregating Device Information Bulletin. 3. 3-18 p. Fonteneau, A., P. Farales & R Pianet. 2000. A woridwide review of purse seine fisheries on FADs. Session I . Regional Syntheses. p: 15-35. Hidayat T., T. Noegroho & K. Wagiyo. 2012. Laju Tangkap Pancing Ulur dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan ikan madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Kepulauan Banda. Dalam Suman A, Wudianto & B. Sumiono. Ed. Status pemaanfaatan sumberdaya Ikan di Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda. Balai Penelitian Perikanan Laut. Hal 259-272 Itano, D.G. 2004. The reproductive biology of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian waters and the western tropical Pacific Ocean: Project Summary. Joint Institute for Marine and Atmospheric Research (JIMAR), University of Hawaii, Honolulu. 69 p. Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung dan gonad ikan madidihang (Thunnus albacares) yang tertangkap di perairan Marisa, Gorontalo, Teluk Tomini. Tesis Magister Ilmu Biologi. Fakultas MIPA Universitas Indonesia. 116 hal. Nurhakim S, V. Nikijuluw, D. Nugroho, B.I. Prisantoso. 2007. Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan. Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. Pusat Riset Periknan Tangkap, Badan Riset Kelautan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. Sparre P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian ikan tropis, Buku 1. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hal Wijaya H. 2012. Hasil tangkapan madidihang (Thunnus albacares, Bonnattere 17880) dengan alat tangkap pancing tonda dan pengelolaannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhan Ratu Sukabumi. Tesis Magister Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. 138 hal.
166
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
STRUKTUR UKURAN, HUBUNGAN PANJANG BOBOT, DAN FAKTOR KONDISI IKAN TONGKOL KOMO (Euthynnus affinis) DI SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA Yoke Hany Restiangsih *), dan Karsono Wagiyo*) *)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Email : [email protected]
ABSTRAK Ikan tongkol merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis penting, salah satu spesiesnya yaitu ikan tongkol komo (Euthynnus affinis). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, hubungan panjang bobot, dan faktor kondisi ikan tongkol komo di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari-Desember 2013. Hasil penelitian menunjukan bahwa ikan tongkol komo memiliki kisaran panjang 21,5 – 65,5 cmFL dengan hubungan panjang bobot mengikuti persamaan W = 12E-03 L3.092 dan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Nila faktor kondisi relatif berkisar antara 1,68 – 2,22 dan berfluktuasi setiap bulannya. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan nilai ini masih berada pada batas ambang kondisi yang baik. Kata Kunci : Ikan tongkol komo, struktur ukuran, hubungan panjang bobot, faktor kondisi, Samudera Hindia Selatan Jawa
PENDAHULUAN Ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) merupakan salah satu sumberdaya hayati laut di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi cukup baik di pasaran, begitu juga di kawasan perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Tongkol komo termasuk dalam famili Scombridae. Ikan tongkol komo dikenal sebagai little tuna atau kawakawa adalah jenis tuna berukuran sedang yang dapat ditemukan di seluruh perairan kontinental dekat pantai Indo-Pasifik dimana ikan tongkol komo hidup pada suhu air laut antara 18 - 29 oC (Poisson, 2006). Dalam perdagangan internasional juga dikenal sebagai mackerel tuna, atau false albacore. Ikan tongkol komo adalah ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan pemakan daging (carnivore). Sifat bergerombol dari ikan tongkol disebabkan karena pada kulit ikan terdapat suatu zat yang dapat menimbulkan ransangan dan ransangan tersebut dapat dirasakan oleh ikan-ikan dari jenis yang sama ataupun dari jenis yang berbeda.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
167
Lokasi pendaratan utama ikan-ikan pelagis besar di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa (WPP 573) salah satunya adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap (Jawa Tengah). PPS Cilacap, merupakan salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Jawa Tengah bagian selatan dan merupakan pusat pendaratan tuna dan jenis-jenis tuna di wilayah selatan Jawa. Penelitian sumberdaya ikan pelagis besar khususnya tuna di Indonesia masih sangat sedikit dan menjadi penting untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, hubungan panjang bobot serta faktor kondisi ikan tongkol komo yang tertangkap di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan bagi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh ikan tongkol komo dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Jawa Tengah. Pengukuran data frekuensi panjang ikan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2013. Pengambilan contoh ikan didapat dari kapal gillnet kecil (jaring 3 inci). Data morfometri ikan yaitu panjang cagak (diukur dengan ketelitian 0.1 cm) dan bobot ikan (ditimbang dengan ketelitian 0.1 kg). Ciri-ciri morfologis ikan tongkol komo yaitu badan memanjang seperti cerutu atau torpedo dan termasuk tuna kecil, tapi insang pada busur insang pertama berjumlah 29-34, tidak bersisik kecuali pada korselet dan garis rusuk, terdapat lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya dan memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung pertama hanya memiliki jari-jari keras berjumlah 15. Sirip punggung kedua hanya memiliki jari-jari lemah berjumlah 13, dan jari-jari sirip tambahan (finlet) berjumlah 8-10. Ikan ini memiliki sirip dubur dengan jari-jari lemah berjumlah 14 dan jari-jari sirip tambahan dengan jumlah 6-8, serta terdapat dua lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya. Ciri lainnya terdapat ban-ban serong menggelombang berwarna hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut (Carpenter dan Niem, 2001) lihat Gambar 1.
168
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. Ikan tongkol komo yang didaratkan di PPS Cilacap Analisa Data Hubungan panjang-bobot Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, dihitung dari hubungan antara panjang dan bobot ikan dengan menggunakan rumus (Effendi, 2002) yaitu: W=aLb
Log W= Log a+b Log L (Y= a’+bX)
dimana : Y = Peubah tak bebas (Log W) X = Peubah bebas (Log L) a’= Log Intercept (Log a) b = Slope (kemiringan/koefisien regresi) Cara memperoleh nilai a dan b adalah dengan persamaan berikut:
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
169
Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan ikan tongkol komo yang diamati. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria (Bal & Rao, 1984) : a)
Jika b=3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan berat,
b)
Jika b>3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya,
c)
Jika b<3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat.
Hubungan panjang berat yang telah diperoleh akan diuji dengan uji t (t-test) pada selang kepercayaan 95% (Steel &Torrie, 1993), yaitu menguji nilai b dengan hipotesa : H0 : b = 3 (isometrik) H1 : b ≠ 3 (alometrik) Jika t-hitung lebih kecil dari t-tabel (thitttab) maka terima H1 tolak H0. Sedangkan rumus untuk uji t adalah sebagai berikut :
170
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Faktor Kondisi Menurut Vakily et al., (1986) dalam Manik (2009), faktor kondisi ikan umumnya antara 0.5 – 2,0 untuk pola pertumbuhan isometrik, faktor kondisi dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Dimana:
Kn = faktor kondisi relative W = bobot ikan hasil observasi W^ = bobot ikan hasil estimasi (W^ = aLb) Diamati pola hubungan panjang bobot dan perkembangan faktor kondisi ikan disajikan setiap bulan selama penelitian. HASIL DAN BAHASAN HASIL Struktur Ukuran Panjang Ikan Sebaran panjang cagak ikan tongkol komo disajikan pada pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa dari bulan ke bulan terjadi pergerakan modus ukuran panjang. Ikan tongkol komo yang tertangkap mulai dari ukuran kisaran 20-22 cmFL sampai 65-67 cmFL. Puncak-puncak modus bulanan berbeda setiap bulan, dari bulan Februari – April tidak terjadi pergerakan modis tetapi pada bulan April – Juni terjadi pergerakan modus ke kiri yaitu bergerak pada kisaran panjang yang lebih kecil. Pada bulan Agustus-Nopember terlihat pergerakan panjang ke arah kiri terjadi secara drastis dimana pada bulan Juli terdapat modus pada kisaran panjang 53-55 cmFL. Hal ini diduga terjadinya rekrutmen baru, dan ikan – ikan dewasa sudah tertangkap pada bulan Juli. Pada bulan Desember nilai modus mengalami peningkatan dengan bergeser kearah kanan pada kisaran panjang 44-46 cmFL ukuran ini meningkat dari bulan Nopember yang hanya 26-28 cm FL. Pada bulan Juni-Desember ditemukannya ikan berukuran kecil hal tersebut menandakan pada bulan tersebut terjadi rekruitmen baru. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Rohit et. al. (2012) dimana di perairan India ditemukan ikan berukuran 20 cmFL pada bulan Juni-Desember. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
171
Gambar 2. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang didaratkan di PPS Cilacap, Tahun 2013 Hubungan Panjang Bobot Ikan tongkol komo yang dianalisa memiliki kisaran ukuran panjang cagak antara 21.565.5 cmFL dengan bobot tubuh berkisar 0.1-5.7 kg. Hasil analisa hubungan panjang bobot menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan tongkol komo mengikuti persamaan W = 12E03 L3.092 (Gambar 3). Berdasarkan hasil uji t terhadap nilai b (slope) ikan tongkol komo pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa nilai b tidak berbeda nyata terhadap nilai 3. Hal ini berarti bahwa pola pertumbuhan ikan tongkol komo bersifat isometrik yaitu pertumbuhan bobot sama dengan pertumbuhan panjang. Persamaan hubungan panjang bobot dan koefisien korelasi masing-masing mendekati 1, maka terdapat hubungan linear yang kuat antara kedua variabel tersebut (Walpole,1993).
172
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 3. Hubungan panjang bobot ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang didaratkan di PPS Cilacap, Tahun 2013
Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan tongkol komo setiap bulan tahun 2013 No Bulan
Persamaan W = aLb Februari W = 11E-03L3.081 Maret W = 7E-02L2.629 April W = 25E-03L2.910 Mei W = 43E-03L2.753 Juni W = 11E-03L3.126 Juli W = 22E-03L2.936 Agustus W = 9E-03L3.153 September W = 9E-03L3.167 Oktober W = 9E-03L3.167 Nopember W = 14E-03L3.047 Desember W = 68E-03L2.63
r
tHit
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0.98 0.96 0.92 0.99 0.97 0.99 0.94 0.99 0.97 0.97 0.86
0.09 0.7 1.02 0.92 2.58 2.01 2.16 0.28 2.62 2.16 0.57
Uji t ttab 2.08 2.02 2.18 2.11 1.99 2.012 1.99 1.96 1.99 1.99 1.00
Sifat pertumbuhan Isometrik Isometrik Isometrik Isometrik Alometrik positif Isometrik Alometrik positif Isometrik Alometrik positif Alometrik positif isometrik
Faktor Kondisi Rata-rata faktor kondisi relatif ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) selama bulan pengamatan adalah 1,92. Faktor kondisi relatif ikan tongkol komo berfluktuasi selama bulan pengamatan, dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini :
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
173
Gambar 4. Variasi bulanan faktor kondisi relatif ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang didaratkan di PPS Cilacap, Tahun 2013
BAHASAN Ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) (Cantor,1849), adalah salah satu dari spesies tuna komersial utama yang tertangkap di seluruh dunia. Ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) yang terukur pada penelitian ini berkisar pada ukuran 21,5 - 65,5 cmFL dengan puncak-puncak modus bulanan berbeda setiap bulan. Rata-rata ikan yang banyak tertangkap di PPS Cilacap pada tahun 2013 memiliki kisaran panjang 44 - 46 cmFL. Berdasarkan penelitian sebelumnya kisaran panjang ikan tongkol komo yang tertangkap di Laut Jawa berkisar antara 11.7 – 55.4 cmFL (Chodriyah. et. al., 2013). Sedangkan kisaran panjang di perairan utara Andhra Pradesh India berkisar antara 10 - 64.2 cmFL, dengan ukuran yang sering tertangkap berkisar pada 40 – 64 cmFL (Deepti & Sujatha, 2012). Pertumbuhan dalam istilah sederhana dapat dirumuskan sebagai penambahan ukuran panjang dan bobot dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan dalam populasi diartikan sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor dalam maupun faktor luar. Faktor dalam antara lain meliputi keturunan, sex umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah ketersediaan makanan dan suhu perairan (Effendie, 2002). Analisa hubungan panjang bobot ikan tongkol komo selama penelitian mengikuti persamaan W = 12E-03L3.092 dengan pertumbuhan bersifat isometrik yaitu pertambahan ukuran bobot tubuh ikan sebanding dengan pertambahan ukuran panjang tubuhnya. Regresi antara panjang dan bobot menunjukkan keeratan yang kuat (R2 > 0,75 atau 75%). Hasil Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Chodrijah et al., (2013) di perairan Laut Jawa dan hasil penelitian Rohit et al., (2012) di perairan India yang mendapatkan bahwa pola pertumbuhan ikan tongkol komo bersifat isometrik. Kesamaan pola pertumbuhan tersebut 174
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
disebabkan kesamaan karakteristik perairan dalam menunjang ketersediaan makanan dan habitat yang sesuai. Model pertumbuhan individual bergantung pada ketersediaan makanan dan suhu perairan (Monterio dan Oliviera, 2002) Menurut Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, jenis makanan, matang gonad, kesehatan, dan jenis kelamin. Sementara King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot ikan dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan perbedaan antara jenis yang sama pada stok yang berbeda. Kegunaan lain dari analisa hubungan panjang bobot yaitu dapat digunakan untuk melakukan estimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu derivate penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu (Everhart & Youngs, 1981). Faktor kondisi adalah suatu indikator untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap kondisi fisik yang diukur dari fungsi berat tubuh dibandingkan dengan panjangnya. Secara teoritis untuk mengetahui faktor kondisi digunakan faktor panjang dan berat individu. Apabila kondisi lingkungan buruk maka akan menyebabkan berkurangnya berat tubuh dan bila kondisi lingkungan baik dan cukup nutrisi maka berat badan akan bertambah. Faktor kondisi dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, umur, sex rasio, dan tingkat kematangan gonad (Effendie, 1979) Salah satu derivate penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi atau indeks ponderal dan sering disebut faktor K. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Di dalam penggunaan secara komersial maka kondisi ini mempunyai kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dimakan (Efendie, 2002). Berdasarkan hasil pengamatan, nilai faktor kondisi relatif ikan tongkol komo berfluktuasi pada setiap bulannya. Nilai faktor kondisi relative ikan tongkol komo selama penelitian berkisar antara 1,68 – 2,22 dengan rata-rata 1,92. Menurut Effendie (2002) ikan yang badannya kurang pipih atau montok memiliki nilai K berkisar antara 1-3 dan menandakan ikan tongkol komo masih berada pada batas ambang kondisi yang baik. Hal ini menandakan bahwa kondisi lingkungan perairan Selatan Jawa khususnya Cilacap masi dalam kondisi yang baik. Untuk hasil yang lebih baik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologi reproduksi, aspek penangkapan, dan contoh ikan yang digunakan perlu ditambah.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
175
KESIMPULAN Pola pertumbuhan ikan tongkol komo secara umum bersifat isometrik, sebaran frekuensi panjang cagak berkisar antara 21,5-65,5 cmFL dengan didominasi ukuran 44-46 cm dengan bobot tubuh berkisar antara 0.134 – 5,76 Kg. Faktor kondisi ikan tongkol komo berfluktuasi pada setiap bulan pengamatan dengan nilai berkisar antara 1,68 – 2,22. DAFTAR PUSTAKA Bal & Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company. 470 pp Cantor. 1849. Thynnus affinis. J. Asiatic Soc Bengal 18:1088-1090. Carpenter, K. E. & Niem V. H. 2001. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. The Living Marine Resources of the Western Centrak Pacific. Volume 6. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Chodrijah, Umi, Hidayat, & Noegroho. 2013. Estimasi Parameter Populasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis) di Perairan Laut Jawa. Bawal. Vol.5 No. 3 Hal 131 -199 ISSN 1907-8226 Deepti, V. A. I & K. Sujatha. 2012. Fishery and some aspects of reproductive biology of two coastal species of tuna, Auxis thazard (Lacepède, 1800) and Euthynnus affinis (Cantor, 1849) off north Andhra Pradesh, India. Indian J. Fish., 59(4) : 67-76. Effendie, I.M. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112p. Effendie, I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 p. Everhart, W. H. & W. D. Youngs. 1981. Principle of Fishery Science. Second Edition. Comstock Publising Associates, a Division of Cornell University Press. Ithaca and London. 345p. Hosain, Y. 2010. Length-Weight, Length-Length Relationship and Condition Factors of Three Schibid Catfish from the Padma River, Northwestern Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23) : 329-339. King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition. Blackwell Sciencetific Publication. Oxford. 381 p. Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus russelli) dari Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(1) : 65 – 74 Monterio, R. & Oliveira. 2002. Fish Growth Modelling Growth of the European anchovy (Engraulis encrasicolus) in the Tagus Estuary, Portugal. (Theses) Unpublished. Diplome D’Etudes Approfondies Europeen en Modelisation de L’Environment Marin, DEA. Portugal: Technical University of Lisbon. 56 p. 176
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Poisson, F. 2006. Compilation of information on neritic tuna species in the Indian Ocean IOTC2006-SC-INF11 Rohit, P., A. Chellappan, E. M. Abdusssamad, K. K. Joshi, K. P. Said Koya, M. Sivadas, Sh. Ghosh, A. Margaret Muthu Rathinam, S. Kemparaju, H. K. Dhokia, D. Prakasan dan N. Beni. 2012. Fishery and Bionomics of the little tuna, Euthynnus affinis exploited from Indian Waters. Indian J. Fish., 59(3) : 33-42 Steel, R. G. D. & H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta. 748 hal. Walpole, R.E 1993. Pengantar Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi Ketiga. PT. Gramedia. Jakarta. 515 pp
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
177
178
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN TONGKOL LISONG (Auxis rochei) di PERAIRAN PALABUHANRATU DAN SEKITARNYA Endah Febrianty1), Khairul Amri1) dan Yoke Hany R1) 1)
Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru Email : [email protected]
ABSTRAK Ikan tongkol lisong (Auxis rochei) merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting dan banyak ditemukan di perairan Palabuhanratu, Jawa Barat. Penelitian tentang aspek biologi meliputi hubungan panjang-berat, kebiasaan makan, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan indeks kematangan gonad yang dilakukan pada bulan Januari, Juni, Juli dan Oktober 2013. Hasil penelitian menunjukkan modus panjang terdapat pada ukuran 25-27 cmFL, dan pola pertumbuhan ikan tongkol lisong adalah isometrik. Bulan Januari dan Oktober banyak ditemukan ikan-ikan TKG I dan II, sedangkan bulan Juni dan Juli ikan-ikan TKG III dan IV. Nilai IKG ikan tongkol jantan terbesar pada bulan Juli yaitu sebesar 4,06 sedangkan ikan betina yang terbesar pada bulan Juni. Jumlah telur (fekunditas) Auxis rochei di perairan Palabuhanratu yaitu sebesar 271.734 – 1.630.333 dengan panjang 31 - 56 cmFL. Kisaran diameter telur tongkol lisong (Auxis rochei) yang paling banyak muncul, pada TKG III dan IV yaitu 0,28– 0,37 mm dan 0,58 – 0,67. Rata-rata ukuran panjang ikan tongkol lisong (Auxis rochei) pertama tertangkap (Lc) yaitu 23,2 cm. Kata kunci : reproduksi, tongkol lisong, Palabuhanratu ABSTRACT Bullet tuna (Auxis rochei) is one kind of fish that have significant economic value and found in the waters of Palabuhanratu, West Java. Research on biological aspects include fork length frequency distribution of fish, length-weight relationship, the type of feed and feeding habits, level of gonad maturity, fecundity and gonad maturity index was conducted in January, June, July and October 2013, results showed there length mode on cmFL 25-27 size, pattern of growth is isometric bullet tuna. January and October found many fish TKG I and II, while in June and July fish TKG III and IV. Value IKG largest male swordfish in July that is equal to 4.06 while the largest female fish in June. The number of eggs (fecundity) Auxis rochei in Palabuhanratu waters in the amount of 271.734 – 1.630.333 lengths 31-56 cmFL. Diameter range eggs bullet tuna (Auxis rochei) appears the most, at TKG III and IV, 0,28- 0,37 mm and 0,58 to 0,67. Length bullet tuna (Auxis rochei) were caught (Lc) is 23,2 cm. Keyword : reproduction, bullet tuna (lisong), Palabuhanratu.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
179
PENDAHULUAN Ikan tongkol lisong merupakan salah satu jenis ikan neritik tuna yang banyak ditemukan di perairan Palabuhanratu, Jawa Barat. Selain ikan tongkol lisong, ada beberapa ikan tongkol yang banyak ditemukan di Palabuhanratu seperti ikan tongkol komo (Euthynnus affinis), ikan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol), dan ikan tongkol krai (Auxis thazard). Ikan tongkol lisong banyak tertangkap dengan menggunakan alat tangkap payang yang beroperasi di perairan Palabuhanratu. Palabuhanratu merupakan salah satu basis perikanan utama untuk wilayah perairan Samudera Hindia, khususnya di sekitar selatan Jawa. Wilayah perairan ini juga merupakan daerah penangkapan ikan pelagis yang telah dimanfaatkan sejak lama. Menurut data statistik PPN Palabuhanratu, Ikan tongkol lisong (Auxis rochei) mulai banyak didaratkan pada tahun 2002 – 2012. Hasil tangkapan ikan tongkol lisong (Auxis rochei) di PPN Palabuhanratu pada tahun 2002 – 2012 berfluktuatif dengan persentase tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 1.143 ton dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 6,3 ton. Penelitian sumberdaya ikan tongkol lisong (Auxis rochei) khususnya mengenai aspek biologi seperti hubungan panjang-berat, jenis pakan dan kebiasaan makan, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan indeks kematangan gonad serta ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm) masih sangat terbatas. Makalah ini akan membahas beberapa aspek biologi ikan tongkol lisong, yang dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk tujuan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE Data dikumpulkan pada Bulan Januari, Juni, Juli dan Oktober 2013. Contoh ikan diperoleh dari hasil tangkapan payang yang beroperasi di perairan Palabuhanratu sampai Samudera Hindia. Daerah penangkapan alat tangkap payang dapat dilihat pada Gambar 1.
180
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
2°
0°
6.6
2°
4°
6°
8°
10° 100°
102°
104°
106°
108°
110°
112°
114°
Lintang selatan
6.8 Bayah Sawarna
7
Pel. ratu
7.2 Jampang kulon
Ket. : Uj. genteng Surade
7.4
Cikaret
: Fishing ground Dogol : Fishing ground payang : Area bagan
105.6 106.4 106.6 106.8 107 107.2 Gambar 1. Peta 105.8 lokasi 106 daerah106.2 penangkapan perikanan pelagis besar di 107.4 Samudera Bujur timur Hindia
(Sumber : Balai Penelitian Perikanan Laut, 2013) Pengamatan biologi reproduksi ikan tongkol yang dilakukan meliputi pengukuran panjang-berat ikan tongkol, jenis kelamin serta kematangan kelamin untuk membedakan tahap pengamatan gonad. Pedoman pembagian TKG gonad betina ikan tongkol sesuai Iswarya & Sujatha (2012) sedangkan TKG gonad jantan ikan tongkol masih menggunakan klasifikasi yang dimodifikasi oleh Cassie (Effendie 1997), klasifikasi tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Morfologi TKG gonad ikan tongkol (Iswarya & Sujatha (2012) & Effendie (1997)) TKG
Morfologi Gonad Jantan
Morfologi Gonad Betina
I
Ovarium ramping, pendek, seperti pita, Testis seperti benang, lebih pendek berwarna merah muda, kelamin tidak dan terlihat ujungnya dirongga bisa ditentukan dengan mudah dengan tubuh, warna jenih pemeriksaan gross, ovarium tidak terlihat dengan mata telanjang
II
Ukuran ovari lebih besar menempati setengah Ukuran testis lebih besar, warna panjang dari rongga tubuh, memiliki serabut putih seperti susu, bentuk lebih kemerahan oleh kumpulan darah kapiler, jelas daripada TKG I ovarium buram dan terlihat dengan mata telanjang, ovarium memiliki sedikit granular
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
181
III
Permukaan testis makin bergerigi, warna makin putih dan makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus
IV
Ovari bertambah besar hampir seluruh anggota tubuh, ovarium dewasa biasanya Seperti TKG III tampak lebih jelas, terdapat globul minyak tunggal yang besar, testis semakin pejal ovarium mudah diambil dari folikel dan mungkin sering diekstruksi dari ikan oleh tekanan eksternal sedikit pada perut.
Ovarium membesar dan luasnya kurang dari 2/3 panjang tongga tubuh, ovarium tampak kuning karena endapan kuning dan granular jelas dalam tahap ini
Ikan yang tertangkap diukur panjang dan berat tubuhnya. Analisis hubungan panjangberat mengikuti hukum kubik bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya yang mengacu persamaan dari Effendie (1997) sebagai berikut : W = a Lb Keterangan : W L
= bobot ikan (gram) = panjang ikan (cm)
a
= intercept (perpotongan antara garis regresi dengan sumbu y)
b
= koefisien regresi (sudut kemiringan garis)
Nilai b yang didapatkan dilanjutkan dengan uji t (t tabel) pada tingkat signifikasi 95%. berat.
Uji-t : H0 : b = 3 (isometrik), pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan
H1 : b ≠ 3 (Allometrik positif/negatif), pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat. t hitung > t tabel = tidak nyata (tolak H0, terima H1) t hitung < t tabel = tidak berbeda nyata (terima H0, tolak H1) Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dihitung menggunakan rumus (Effendie, 1979): Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad Bg
= Berat gonad (gram)
W
= Berat tubuh (gram)
Fekunditas total atau mutlak didefinisikan sebagai jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan betina yang sudah matang (mature) (Nikolsky, 1963) ditentukan menggunakan gabungan dari metode gravimetrik dan metode sub contoh (Bagenal & Braum, 1978; Efendie, 182
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
1979) dengan rumus:
Keterangan : F
= Fekunditas (butir)
G
= Berat seluruh sampel gonad (gram)
Q
= Berat sebagian kecil dari sampel gonad (gram)
Kebiasaan makan ikan, diketahui dengan cara mengamati isi lambung dengan metode indeks bagian terbesar (Index of preponderance) dari Natarajam & Jhingran (1961) in Effendie (1997) sebagai berikut :
Keterangan : IP = Index of preponderance Vi = persentase volume pakan ke-i Fi = persentase frekuensi kejadian pakan ke-i ∑ViFi = Jumlah Vi x Fi dari semua macam makanan Penduga ukuran panjang pertama kali matang gonad menggunakan persamaan Spearman-Karber (Udupa, 1986):
Dimana : m
= Log panjang ikan pada kematangan gonad pertama
Xk = Log terakhir dari nilai tengah kelas panjang dimana semua ikan telah 100% matang gonad X
= Pertambahan Log panjang nilai tengah kelas
pi
= Proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i, dimana pi = ri/ni
ri
= Jumlah ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i
ni
= Jumlah ikan pada kelas panjang ke-i
Maka panjang ikan pada waktu mencapai rata-rata kematangan gonad yang pertama (M) adalah:
183
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hubungan Panjang-Berat dan Nisbah Kelamin Dari perbandingan panjang berat ikan tongkol lisong (A. rochei) diperoleh nilai b sebesar 3,365. Berdasarkan uji t, didapatkan t hitung lebih kecil dari t tabel, hal ini menunjukkan bahwa nilai b lebih dan sama dengan 3, maka pertambahan panjang sama dengan pertambahan berat (isometrik). Nilai persamaan dan R² ikan tongkol lisong yang tertangkap di perairan Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan panjang berat ikan tongkol lisong (A. rochei) di perairan Palabuhanratu. Dari pengamatan terhadap nisbah kelamin (sex ratio) ikan tongkol lisong (Auxis rochei) pada bulan Januari, Juni, Juli dan Oktober 2014, menunjukkan perbandingan antara jantan dan betina pada bulan Januari 1 : 2,8; bulan Juni 1 : 0,9; bulan Juli 1 : 0,73 dan bulan Oktober 1 : 1,43 (Gambar 3).
184
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 3. Nisbah kelamin ikan tongkol lisong menurut bulan penelitian Hasil uji Chi-Square didapatkan x2 hitung sebesar 5,7, sedangkan x2 tabel (à = 0,05; v=3) sebesar 7,8. Oleh karena itu, hasil uji chi-square nisbah kelamin ikan tongkol lisong pada setiap waktu penelitian menunjukkan tidak berbeda nyata atau berada dalam keadaan seimbang. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan Indeks Kematangan Gonad (IKG) Berdasarkan identifikasi TKG secara visual menunjukkan ikan tongkol Lisong (Auxis rochei) jantan dan betina pada bulan Januari dan Oktober didominasi oleh TKG I dan II, sedangkan pada bulan Juni dan Juli didominasi oleh TKG III dan IV. Hal ini menunjukkan pada bulan Oktober sampai Januari ikan-ikan masih belum mengalami matang gonad, dan pada bulan Juni sampai Juli ikan sudah matang gonad dimana pada bulan ini diduga musim pemijahan. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tongkol lisong (Auxis rochei) pada bulan Januari, Juni, Juli dan Oktober di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase TKG dan IKG serta fekunditas ikan tongkol lisong (Auxis rochei) di perairan Palabuhanratu.
Persentase TKG TKG I TKG II (%)/Percentage TKG III of gonadal stage TKG IV (%) IKG / GSI (%) Total (ekor)/Number (ind)
Januari 80.0 20.0 0.0 0.0 5.56 5
Jantan/Male Juni Juli 0.0 0.0 0.0 0.0 18.0 27.3 82.0 72.7 4.57 4.06 11 11
Jenis kelamin/Sex Oktober 57.1 42.9 0.0 0.0 5.09 14
Januari 28.6 7.1 28.6 35.7 5.76 14
Betina/Female Juni Juli 0.0 0.0 0.0 0.0 33.3 25.0 66.7 75.0 5.17 5.00 10 8
Fekunditas (butir/telur)
Oktober 65.0 271,734 35.0 1,630,333 (dengan 0.0 panjang 31 - 56 0.0 cmFL) 5.15 20
Fekunditas dan Diameter Telur Jumlah telur (fekunditas) Auxis rochei di perairan Palabuhanratu yaitu sebesar 271.734 – 1.630.333 dengan panjang 31 - 56 cmFL. Jumlah telur Auxis rochei di perairan Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
185
Palabuhanratu terlihat sesuai dengan literatur, yaitu didapat sebesar 210.000 – 680.000 butir telur. Pada Gambar 4 terlihat kisaran diameter telur tongkol lisong (Auxis rochei) yang paling banyak muncul, pada TKG III dan IV yaitu 0,28– 0,37 mm dan 0,58 – 0,67. Kemungkinan tipe pemijahannya juga multispawning, dimana pemijahan dilakukan lebih dari sekali dalam setahun.
Gambar 4. Sebaran diameter telur ikan tongkol lisong (Auxis rochei) di perairan Palabuhanratu. Ukuran Rata-rata Panjang Ikan Pertama Kali Tertangkap (Lc) Berdasarkan analisis ukuran panjang ikan tongkol lisong (Auxis rochei) pertama kali tertangkap yaitu 23,2 cm. Menurut penelitian sebelumnya, nilai Lm tongkol lisong (Auxis rochei) pada ukuran 35 cm (IOTC , 2011). Ikan tongkol lisong (Auxis rochei), berdasarkan hasil analisis frekuensi kumulatif dari sebaran frekuensi panjang yang ditangkap dengan alat tangkap payang memperlihatkan ukuran rata-rata tertangkap 23,2 cmFL (Gambar 5). Apabila dibandingkan dengan nilai Lm 35 cmFL, maka diperoleh nilai Lc lebih kecil Lm. Hal ini akan didominasi oleh ikan-ikan muda atau belum pernah mengalami matang gonad atau belum perrnah mengalami pemijahan (spawning).
186
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Auxis rochei 120 100
Akumulasi (%)
80 60 Lc = 23,2 cmFL 40 20 0
10
15
20
25
30
35
40
Midlenght (cmFL)
Gambar 5. Grafik ukuran rata-rata panjang ikan yang tertangkap (Lc) ikan tongkol Lisong (Auxis rochei) di perairan Palabuhanratu. BAHASAN Nisbah Kelamin Analisis nisbah kelamin diperlukan sebagai tolak ukur untuk mengetahui kestabilan populasi ikan di alam (Nasution et al., 2010). Perbandingan jumlah ikan jantan dan betina yang berada pada kondisi seimbang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam suatu populasi, atau setidaknya ikan betina lebih banyak (Ball & Rao, 1984). Hasil uji chi-square (à=0,05) dari nisbah kelamin ikan tongkol lisong jantan dan betina pada setiap waktu menunjukkan keadaan seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa pola rekrutmen alami ikan tongkol lisong cenderung akan terjaga sehingga akan berdampak pada kelangsungan hidup ikan tersebut. Menurut Ball & Rao (1984) fluktuasi nisbah kelamin ikan jantan dan betina secara alami dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu perbedaan tingkah laku reproduksi, kondisi lingkungan, dan faktor penangkapan. Nilai IKG yang dihubungkan dengan waktu dapat menggambarkan aktivitas perkembangan reproduksi secara populasi, hingga pendugaan musim pemijahan (Effendie, 1997). Peningkatan nilai IKG akan berbanding lurus dengan kenaikan perkembangan TKG matang gonad dan akan mencapai puncak pada saat akan pemijahan (Effendie, 1997). Tingginya persentase TKG belum matang gonad (TKG I dan II) pada bulan Januari dan Oktober menunjukkan bahwa kondisi populasi sedang mengalami rekrutment yang tinggi. Sedangkan persentase TKG matang gonad (TKG III dan IV) tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Juli. Hal ini menunjukkan sekitar bulan Juni dan Juli merupakan periode masa pemijahan ikan tongkol Lisong. Kondisi TKG tersebut sejalan dengan fluktuasi IKG ikan tongkol lisong betina yang mengalami penurunan pada bulan Juli atau pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan pada musim kemarau ikan tongkol lisong mulai memijah. Menurut Ehrenbaum (1924); Piccinetti et
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
187
al., (1996) in Kahraman et al., (2010) periode pemijahan ikan tongkol lisong terjadi dari bulan Juni sampai September. Nilai IKG ikan tongkol lisong betina mulai meningkat kembali pada bulan Oktober. Hal ini diduga ikan tongkol lisong memiliki peluang untuk memijah kembali dan perkembangan reproduksi dimulai pada bulan Oktober. Hal ini diperkuat karena selalu ditemukannya ikan tongkol lisong dengan kondisi matang gonad (TKG III dan IV) pada setiap waktu penelitian yang mengindikasikan multi spawning atau dapat memijah lebih dari satu kali dalam setahun. Sebaran diameter telur ikan tongkol lisong pada fase siap memijah (TKG IV) membentuk dua modus penyebaran diameter telur (Gambar 4). Puncak modus dicapai pada selang ukuran 0,28 – 0,37 mm dengan persentase frekuensi sebesar 40% dan pada selang ukuran 0,58 – 0,67 mm dengan persentase frekuensi sebesar 11%. Kelompok ukuran diameter telur yang didapat dari hasil penelitian menyebar secara mencolok, hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol lisong melakukan pemijahan secara parsial atau sebagian-sebagian. Menurut Yoshida and Nakamura (1995) Auxis rochei yang tertangkap di perairan Hawai rata-rata memiliki ukuran diameter telur 0,17 – 0,22 mm dan pemijahannya dilakukan secara parsial. Fekunditas ikan tongkol lisong pada penelitian ini selalu berfluktuasi, keadaan tersebut kemungkinan disebabkan ikan-ikan yang didapat tidak berumur sama. Fekunditas ikan tongkol lisong yang didapatkan berkisar antara 271.734 – 1.630.333 dengan ukuran panjang ikan berkisar 31 – 56 cmFL. Menurut Yoshida dan Nakamura (1995) fekunditas ikan tongkol lisong berkisar 210.000 – 680.000 dengan ukuran 30 – 40 cmFL, hal ini relatif lebih besar dibandingkan fekunditas telur ikan tongkol lisong di perairan Hawai. Hal ini diduga disebabkan karena ukuran tongkol lisong di perairan Hawai lebih kecil dibandingkan di perairan Samudera Hindia. Berdasarkan Bagenal & Braum (1978) nilai fekunditas suatu spesies ikan cenderung meningkat karena dipengaruhi oleh ukuran panjang total juga dipengaruhi oleh bobot tubuh. Menurut Effendie (1997), fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan bobot ikan karena bobot ikan lebih mendekati kondisi ikan tersebut dari pada panjang tubuh. Ukuran panjang ikan tongkol lisong
(Auxis rochei) yang tertangkap di perairan
Palabuhanratu yaitu sebesar 23,2 cm. Menurut IOTC (2011) ukuran ikan tongkol lisong (Auxis rochei) pertama kali matang gonad pada ukuran 35 cm. Apabila dibandingkan dengan nilai Lm 35 cmFL, maka diperoleh nilai Lc lebih kecil Lm. Hal ini akan membahayakan kelestarian ikan tongkol lisong karena ikan tongkol yang tertangkap didominasi oleh ikan-ikan muda atau belum pernah mengalami matang gonad.
188
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
KESIMPULAN Nisbah kelamin ikan tongkol lisong jantan dan betina di perairan Palabuhanratu berada pada keseimbangan. Ikan tongkol lisong dapat memijah lebih dari satu kali dalam setahun (multi spawning), yaitu pada musim kemarau dan penghujan. Dugaan puncak pemijahan dimulai pada bulan Juni-Juli. Rata-rata ukuran ikan tongkol lisong pertama kali tertangkap pada ukuran panjang 23,2 cm. Fekunditas total ikan lisong betina stadia matang gonad (TKG III dan IV) berkisar antara 271.734 – 1.630.333. Diameter telur berukuran 0,28 – 0,67 mm dengan tipe pemijahan bersifat multi spawning. DAFTAR PUSTAKA Bagenal, T.B. & E. Braum. 1978. Eggs and early life history. In Bagenal, T. (ed.). Methods for Assessment of fish production in freshwater. Blackwell, Oxford, England: 165-201. Balai Penelitian Perikanan Laut. 2013. Laporan akhir tahun kegiatan penelitian aspek biologi, tingkat pemanfaatan dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar di WPP 572, WPP 573 dan WPP 717 untuk mendukung industrialisasi perikanan. Jakarta. Hal. 75. Ball, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company. New Delhi: 51 – 73. Effendie, M. I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112p. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. 157p. IOTC. 2011. Neritic tuna species caught drifting gillnet in Indian Ocean based in Cilacap Indonesia. FAO. Iswarya, V.A & K. Sujatha. 2012. Fishery and some aspects of reproductive biology of two coastal species of tuna, Auxis thazard (Lacepede, 1800) and Euthynnus affinis (Cantor, 1849) off north Andra Pradesh, India. Indian J. Fish. 59(4) : 67-76. Kahraman et. al. 2010. Some reproductive aspects of female bullet tuna, Auxis rochei (Risso), from the Turkish Mediterranean coasts. African Journal of Biotechnology. Vol. 9(40):pp 6813 – 6818. Nasution, S.H., I. Muschsin & Sulistiono. 2010. Potensi rekrut ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Bawal 3(1): 45 – 55. Nikolsky, G. V. 1963. The ecology of fishes. Transl. by L. Birkett. Academic Press. New York. 352p.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
189
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte. ICLARM, Philippines 4(2) : 8-10. Yoshida, H.O & Nakamura, EL. 1995. Notes on schooling behavior, spawning and morphology of Hawaiian frigate mackerels Auxis thazard and Auxis rochei. Copeia, 1: 111 – 114.
190
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
RELOKASI USAHA PENANGKAPAN OLEH PERIKANAN PURSE SEINE ’JAWA TENGAH’ DI SAMUDERA HINDIA: Basis Banyuwangi Oleh : Suwarso, M. Natsir dan Achmad Zamroni
ABSTRAK Relokasi usaha penangkapan oleh perikanan purse seine Laut Jawa telah dilakukan ke beberapa perairan sejak 2004, diantaranya ke Samudera Hindia dengan basis pendaratan di Banyuwangi, sekitar 6 tahun lalu. Jumlah kapal, jumlah trip, fishing ground, hasil tangkapan dan aspek penangkapan diuraikan dalam makalah ini berdasarkan kompilasi data monitoring terhadap pendaratan kapal (hasil tangkapan dan aspek operasional) dan data hasil observasi (on board observer). Penelitian bertujuan selain untuk memonitor perkembangan perikanan purse seine yang melakukan relokasi penangkapan, juga sebagai data dan informasi tentang perikanan pelagis di Samudera Hindia selatan Jawa yang masih kurang untuk keperluan pengelolaan. Hasil kajian menunjukkan sekitar 44 unit kapal purse seine (besar dan sedang) tercatat selama tahun 2012, 35 unit diantaranya berasal dari Pekalongan, yang melakukan relokasi usaha penangkapan. Jumlah trip rata-rata sekitar 4 trip per kapal dengan hari operasi mencapai 1-3 bulan per trip. Hasil tangkapan rata-rata sekitar 35,7 ton/trip, namun hasil tangkapan per tawur sebenarnya sangat berfluktuatif. Fishing ground tersebar di selatan Bali, Lombok hingga perairan perbatasan dengan Australia di selatan NTT, cukup jauh dari fishing basenya. Hasil tangkapan sebagian besar berupa ikan cakalang; jenis lainnya adalah malalugis, tuna, dan lainlain. PENDAHULUAN Sumber daya ikan pelagis kecil merupakan komoditi perikanan yang penting. Di Laut Jawa dalam waktu relatif pendek perikanan berkembang sangat pesat menyebabkan tekanan penangkapan tinggi (Sadhotomo, 2006; Sadhotomo, 1998) sehingga telah mengakibatkan penurunan biomassa yang gejalanya telah terlihat sejak sepuluh tahun terakhir. Hal ini ditunjukkan oleh data perikanan pukat cincin Jawa Tengah yang mengindikasikan perikanan pelagis mencapai tingkat MSY antara 1993–1994 dan pada tahun 2004 sisa biomassa tinggal sekitar 23%, sedangkan berdasarkan data statistik perikanan YMSY tercapai antara tahun 1998– 1999 dan pada tahun 2004 sisa biomassa sekitar 28% (Atmaja, 2006; Atmaja dan Nugroho, 2004). Secara umum indikasinya terlihat dalam hasil tangkapan yang cenderung statis dan makin
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
191
menurun, seleksi daerah penangkapan semakin nyata disertai dengan ketidak tentuan hasil tangkapan, rasionalisasi upaya penangkapan (dengan mengurangi jumlah trip) oleh pengusaha serta keluarnya pengusaha dari usaha penangkapan sebagai upaya penyesuaian terhadap perubahan biomassa dan daya dukung sumberdaya secara alami (Suherman & Nugroho, 2004). Relokasi usaha perikanan di Jawa Tengah (Pekalongan) telah dilakukan oleh pengusaha untuk merespon perubahan-perubahan tersebut sejak akhir 2004, diantaranya dengan memindahkan fishing basenya ke Bitung (Sulawesi Utara) untuk beroperasi di Laut Maluku dan Laut Sulawesi (Atmaja, 2006). Kemudian pada awal 2006 armada pukat cincin bergerak ke perairan Bengkulu dan Laut Arafuru, serta ke Samudera Hindia dengan basis pendaratan di Banyuwangi. Aktivitas penangkapan ikan pelagis oleh kapal purse seine (besar dan sedang) asal Jawa Tengah (Pekalongan) paling tidak telah berlangsung sejak 5-6 tahun yang lalu, bahkan mungkin sebelumnya. Group ‘KASIH SETIA’ (11 armada) dan ‘MINA SAMUDRA’ (14 armada) telah selama 5-6 tahunan berpangkalan di Banyuwangi, sebelumnya selama 5 tahunan berpangkalan di Jakarta untuk melakukan relokasi penangkapan ikan di selatan Selat Sunda. Untuk mendukung produksi penangkapan di Banyuwangi telah berkembang usaha pengolahan ikan berskala industri yang mengolah hasil tangkapan PS (perusahaan pengalengan 12 unit, cold-storage 46 unit, tepung ikan 35 unit), maupun skala rumah tangga yang memproduksi pindang (20 unit), ikan asin/kering (26 unit), tepung ikan bervariasi menurut bahan baku ikan (saat ini sekitar 40 an unit), petis (4 unit) dan terasi (2 unit). Hasil produksi didistribusikan ke luar daerah (Jakarta, Bandung, sekitar Jatim dan Jateng) serta diexport. Makalah ini menguraikan tentang perikanan purse seine di Banyuwangi yang merupakan ekspansi perikanan purse seine Pekalongan dan melakukan penangkapan di Samudera Hindia selatan Jawa serta berbasis di Banyuwangi (Jawa Timur); diantaranya tentang jumlah kapal yang melakukan relokasi usaha penangkapan, hasil tangkapan dan aspek operasional penangkapan. Data yang diperoleh diharapkan akan menambah informasi tentang perikanan pelagis kecil di wilayah ini yang masih sangat kurang dan dapat digunakan sebagai dasar bagi tujuan pengelolaan.
BAHAN DAN METODE Data yang digunakan dalam analisis berupa data pendaratan kapal purse seine (relokasi) selama tahun 2012 di pelabuhan Tanjungwangi, Banyuwangi, Jawa Timur; meliputi hasil tangkapan per kapal per jenis ikan, aspek operasional penangkapan dan data hasil observasi di atas kapal yang sedang beroperasi (on board observer). Data hasil tangkapan selain diperoleh dari hasil monitoring secara harian terhadap kapal yang datang oleh satker PSDKP Banyuwangi, juga berasal dari data ’on board observer’ yang berupa hasil tangkapan per jenis ikan pada
192
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
setiap kali tawur. Informasi fishing ground diperoleh dari wawancara dengan nakhoda kapal yang ditemui serta catatan posisi fishing ground (GPS, lintang-bujur) selama observasi bulan Maret, April dan Mei 2013. Analisis statistik dilakukan untuk memperoleh nilai rata-rata dari beberapa parameter yang diperlukan serta visualisasi secara grafis untuk melihat kecenderungan yang terjadi.
HASIL Hasil monitoring selama tahun 2012 menunjukkan sebanyak 213 trip kedatangan kapal datang (bongkar) dan 218 trip keberangkatan kapal di Banyuwangi. Dari 213 trip kedatangan kapal dan 218 keberangkatan kapal tersebut tercatat masing-masing sebanyak 170 trip dan 169 trip berasal dari kapal penangkap, sedang sisanya dari kapal angkut. Jumlah trip per bulan bervariasi. Menurut nelayan tidak ada perubahan signifikan dari dimensi jaring yang digunakan kecuali dalam hal mata jaring (mesh size), ada yang tetap menggunakan mata-jaring 1 inch pada bagian kantong dan ada yang menggunakan mata-jaring 2-4 inch. Hampir semua kapal penangkap menggunakan fish-finder, GPS, radio, rumpon laut dalam (hingga kedalaman 4000 meter) dan peralatan bantu penangkapan lainnya seperti lampu. Jumlah ABK juga bervariasi dan umumnya berasal dari Wonokerto (Pekalongan, Jawa Tengah). Jumlah hari di laut mencapai 3-4 bulan, bahkan pada waktu-waktu terakhir semakin lama. Hasil tangkapan sebagian besar berupa ikan cakalang, ikan layang (malalugis), tongkol, lisong, tengiri, kembung dan ikan pelagis besar (tuna, marlin). Sejauh ini diketahui perikanan pelagis di Jawa Timur terutama berbasis di Muncar dan Pengambengan (purse seine untuk ikan lemuru di Selat Bali), Grajagan hingga Prigi (Trenggalek), sedangkan di sekitar Banyuwangi sendiri hanya berkembang perikanan skala kecil dengan armada kecil pula. Dengan demikian sebenarnya belum ada pelabuhan khusus untuk pendaratan kapal purse seine relokasi tersebut sehingga kegiatan bongkar ikan sering terkendala oleh datangnya kapal-kapal niaga yang masuk pelabuhan Tanjungwangi. 1.
Jumlah kapal aktif dan upaya (jumlah trip dan lama di laut)
Berdasarkan monitoring dan pemeriksaan keberangkatan kapal tahun 2012 oleh petugas pengawas (PSDKP) di Banyuwangi tercatat sebanyak 44 unit kapal purse seine yang berangkat ke laut untuk melakukan penangkapan dengan pelabuhan pangkalan Banyuwangi; fishing ground tujuan di Samudera Hindia selatan Jawa. Dari jumlah tersebut 35 unit diantaranya diketahui terdaftar (registered) di Pekalongan, sedang kapal lainnya terregister di Banyuwangi Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
193
(1 unit), Cirebon (2 unit), Pamanukan (1 unit), Rembang (1 unit), Semarang (3 unit) dan Sunda Kelapa (2 unit). Ukuran kapal (GT) berkisar antara 28 sampai 173 GT. Daftar kapal PS aktif tahun 2012 yang berbasis di Banyuwangi dapat dilihat pada table Lampiran 2. Total trip kedatangan kapal penangkap ikan selama 2012 sebanyak 166 trip, per bulan antara 11-19 trip; sedang tiap kapal melakukan penangkapan antara 1-7 trip (rata-rata 4 trip/ tahun). Jumlah hari laut per trip dari tiap kapal bervariasi tergantung keberhasilan dalam aktivitas penangkapannya berkisar antara 10 – 114 hari/trip, umumnya antara 32 – 100 hari/ kapal/trip. Ringkasan upaya (effort) dari kapal purse seine yang berpangkalan di Banyuwangi tertera pada Tabel 1, sedang jumlah trip dan hari laut tiap kapal tertera pada Lampiran 3. Tabel 1. Ringkasan jumlah hari laut per trip per kapal purse seine yang berpangkalan di Banyuwangi tahun 2012. Jumlah Kapal PS Jumlah Trip (unit) (trip) 41 145 2. Fishing Ground
Jumlah Hari Laut (hari) 9085
Total Catch CPUE (ton/ (ton) trip) 5179 35,7
CPUE (ton/ hari) 0,57
Berdasarkan wawancara dengan nakhoda kapal, fishing ground tersebar di perairan Samudera Hindia selatan Bali (sekitar lintang 10 bujur 114-116), selatan Lombok hingga perairan perbatasan dengan Australia (lintang 13); lokasi tersebut kira-kira berjarak sekitar 30 mil dari pantai; sedang di selatan Prigi lokasi berada di sekitar lintang 10 (Gambar 1A). Jauhnya fishing ground dari armada purse seine ini akan berdampak pada tingginya konsumsi BBM untuk menempuh jarak tersebut. Posisi fishing ground (lintang-bujur) yang diperoleh melalui observasi dengan mengikuti dua kapal penangkap (on board observer) asal Pekalongan (KM. Kasih Setia XVI dan KM. Nelayan Indah) pada bulan Maret-Mei 2013 ditunjukkan pada Gambar 1B. Hasil observasi menunjukkan operasional penangkapan dilengkapi dengan alat bantu penangkapan berupa rumpon laut dalam dengan panjang tali sekitar 4500 meter, pemberat sebanyak 24-26 buah dan pelampung sterofoam.
194
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. (A) Relokasi fishing-ground kapal purse seine asal Pekalongan-JuanaTegal di Sam. Hindia yang dilakukan sejak 5-6 tahun lalu dan pindah pangkalan di Banyuwangi (Jawa Timur); (B) Posisi fishing ground kapal purse seine KM. Kasih Setia XVI dan KM. Nelayan Indah (Natsir, 2014). 3.
Hasil tangkapan dan komposisi jenis
Hasil monitoring selama tahun 2012 terhadap 213 trip kapal yang datang dan bongkar ikan diperoleh total landing sebanyak 11776 ton ikan, dimana 44% diantaranya (5185 ton) merupakan hasil tangkapan kapal PS yang melakukan penangkapan (Tabel 2), sedang sisanya (56%) berupa ikan dari kapal angkut (tidak menangkap) yang sebagian diantaranya juga berasal dari kapal penangkap. Total hasil tangkapan ikan dari 41 unit PS yang menangkap (145 trip atau 9085 hari laut) sebesar 5179 ton (Tabel 1); dengan demikian hasil tangkapan per trip rata-rata sebesar 35,7 ton/trip atau 0,57 ton/hari. Variasi hasil tangkapan per unit upaya (ton/trip) dari tiap kapal dipresentasikan pada Lampiran 3. Sebagian besar (92%) hasil tangkapan berupa ikan cakalang, jenis ikan lainnya berupa layang/malalugis (4%), tongkol (2%) dan tuna (2%) (Gambar 2); sedang dari kapal angkut jumlah cakalang sekitar 44%, layang 10%, tongkol 8%, tengiri 5%, kembung 2%, sisanya berupa ikan dasar, gurita, cumi-cumi dan ikan lainnya. Kondisi ini memberi informasi bahwa relokasi fishing-ground juga disertai dengan perubahan target penangkapan sesuai kondisi perairan yang baru menjadi ikan pelagis besar. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
195
4.
Hasil tangkapan per tawur
Dari monitoring selama bulan Maret sampai Mei 2013 didapatkan hasil tangkapan sangat berfluktuatif, pada bulan Maret didapatkan hasil tangkapan sebanyak 55 ton, pada bulan April hanya 7 ton dan 50 ton pada bulan Mei. Fluktuasi hasil tangkapan menurut tawur dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat terlihat kisaran hasil tangkapan per tawur ternyata cukup lebar, pada bulan Maret hasil tangkapan maksimal 20 ton per tawur, pada bulan April hasil tangkapan maksimal hanya 2 ton per tawur, sedangkan pada bulan Mei 2013 hasil tangkapan maksimum adalah 10 ton per tawur.
Tabel 2. Hasil tangkapan ikan dari kapal angkut dan kapal penangkap (PS) di Banyuwangi tahun 2012.
Bl.
196
Angkut Trip
PS Kg
Trip
Total Kg
Trip
Kg
Jan
1
78,945
11
565,000
12
643,945
Feb
1
302,345
12
338,000
13
640,345
Mar
6
1,028,279
15
232,000
21
1,260,279
Apr
2
348,026
19
870,000
21
1,218,026
May
5
855,871
15
489,000
20
1,344,871
Jun
4
532,209
15
466,000
19
998,209
Jul
1
132,290
12
382,000
13
514,290
Aug
2
138,865
15
335,000
17
473,865
Sep
2
72,940
12
359,000
14
431,940
Oct
7
885,460
15
458,000
22
1,343,460
Nov
9
1,118,091
13
415,773
22
1,533,864
Dec
7
1,098,212
12
275,000
19
1,373,212
Total
47
6,591,533
166
5,184,773
213
11,776,306
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Campur 9% Lainnya Ikan Dasar2% 4% Gurita-Cumi2 1% Kembung 2% Layang 10% Lemadang Tuna 0% Marlin 15% 0% Tengiri 5%
Angkut Lisong 0%
Tuna 2%
Purse Seine
Layang 4%
Tongkol 2%
Campur 0%
Cakalang 44% Cakalang 92% Tongkol 8%
Gambar 2. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine dan kapal angkut yang mendarat di Banyuwangi tahun 2012.
Gambar 3. Hasil tangkapan per tawur alat tangkap purse seine di Samudera Hindia bulan Maret, April dan Meil 2013. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
197
PEMBAHASAN 1.
Hasil tangkapan kapal relokasi dan upaya penangkapan
Dari 44 unit kapal purse seine yang melakukan penangkapan dengan jumlah trip sebanyak 166 trip diperoleh hasil tangkapan total sekitar 5179 ton. Jika diasumsikan bahwa ikan yang dibawa kapal angkut adalah juga merupakan hasil tangkapan dari kapal purse seine yang melakukan penangkapan, maka dapat diduga secara umum hasil tangkapan tetap didominasi oleh ikan cakalang (66%) sedang ikan layang (malalugis) sekitar 7%; fluktuasi hasil tangkapan dan upaya (trip) seperti diperlihatkan pada Gambar 4 (kanan). Ikan cakalang juga menjadi species dominan dalam hasil tangkapan purse seine (pukat jarang) di Samudera Hindia barat Sumatra (Hariati, 2005; Hariati dan Sadhotomo, 2007), purse seine cakalang di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik yang didaratkan di Bitung (Anonim, 2013). Komposisi hasil tangkapan bervariasi secara musiman.
Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan (kiri) dan fluktuasi hasil tangkapan – upaya/ trip (kanan) kapal purse seine relokasi di Samudera Hindia, 2012. Upaya penangkapan nampaknya tidak terlalu berfluktuasi kecuali pada bulan April menunjukkan lebih banyak (19 trip), namun hasil tangkapan cenderung berfluktuasi secara bulanan. Pada bulan Januari-Februari (musim barat) dan antara Juli-September (musim timur) hasil tangkapan menurun secara signifikan, sedang antara bulan Maret-Mei hasil tangkapan lebih tinggi; pada bulan Juni hasil tangkapan menurun. Hasil tangkapan lebih tinggi juga diperoleh antara bulan Oktober-Desember. Penurunan hasil tangkapan antara bulan Juli sampai September diperkirakan berhubungan dengan perubahan musim yang kurang menguntungkan pada musim timur (angin kencang dan gelombang besar). Pola-pola tersebut dipertegas oleh fluktuasi cpue, baik dalam kg/trip maupun dalam kg/hari secara musiman. Mengingat masih terbatasnya data yang digunakan masih terlalu dini untuk mengkaji dampak perikanan purse seine relokasi terhadap perikanan pelagis secara umum di perairan
198
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Samudera Hindia, kecuali dugaan dampak terhadap sustainable sumberdaya cakalang sebagai jenis paling dominan. Belum diketahui aspek keuntungan ekonomi dari perikanan purse seine relokasi. Melihat distribusi ukuran kapal yang sebagian besar didominasi oleh kapal lebih dari 50 GT, serta jumlah hari laut yang mencapai 3 bulan, serta mengingat pola perkembangan perikanan di berbagai perairan yang cenderung kurang terkontrol (ukuran kapal dan jumlah hari laut), maka paling tidak diperlukan informasi aspek efisiensi penangkapan terkait jumlah hari laut untuk memperoleh hasil tangkapan yang optimal bagi tujuan kelestarian hasil tangkapan. Selain itu, kegiatan monitoring hasil tangkapan dan upaya sangat disarankan sebagai komponen pengelolaan perikanan.
2.
Dampak terhadap sustainable Cakalang
Dominasi ikan cakalang dalam hasil tangkapan purse seine relokasi bervariasi secara musiman, secara umum ikan cakalang memberi kontribusi sekitar 66%, sedang ikan layang/ malalugis 7%. Dengan kondisi mata jaring (mesh-size) yang digunakan saat ini (1, 2 dan 4 inch) diduga jenis cakalang menjadi ikan target tangkapan bagi purse seine mata jaring 2-4 inch, sedang ikan layang menjadi target penangkapan jaring 1 inch. Jenis ikan target pada umumnya akan selalu diburu sehingga diperkirakan akan mengalami tekanan penangkapan semakin tinggi. Jika penangkapan tidak mengikuti kaidah-kaidah penangkapan yang bersifat sustainable dan responsible terkait mata jaring, ukuran tertangkap dan karakter biologi yang lain maka sumberdaya akan mengalami penurunan stok lebih cepat. Sejauh ini belum tersedia data biologi terkait komposisi ukuran, ukuran reproduktif dan sifat biologi lainnya; dimana data-data tersebut sangat penting bagi penentuan opsi pengelolaan berbasis keberlanjutan (sustainable) dan bertanggung jawab (responsible). KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1)
Perikanan purse seine relokasi di Banyuwangi sedang dalam tahap berkembang dengan armada berukuran diatas 50 GT, terutama berasal dari Pekalongan (Jawa Tengah). Penggunaan ukuran mata jaring antara 1 inch dan 2-4 inch berhubungan dengan jenis ikan target (malalugis dan cakalang) dimana sumberdaya cakalang diduga merupakan komoditi utama (66% dari hasil tangkapan) di daerah penangkapan.
2)
Daerah penangkapan di perairan Samudera Hindia selatan Jawa berlokasi di selatan Bali, Lombok hingga perbatasan dengan Australia (lintang 13) serta di selatan Prigi (lintang 10). Jumlah unit purse seine diduga masih berkembang tapi jumlah hari operasi
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
199
di laut (days at sea) diperkirakan masih perlu dikoreksi terkait efisiensi penangkapan (jumlah hari laut yang optimal). 3)
Rata-rata hasil tangkapan (cpue) (jika diasumsikan semua ikan yang didaratkan berasal dari kapal purse seine) sekitar 70,7 ton/trip atau 7,7 ton/hari. Hasil tangkapan berfluktuasi musiman, hasil tangkapan lebih tinggi terutama terjadi antara bulan Oktober sampai Desember dan Maret sampai Mei, sedang hasil tangkapan minimum terjadi sekitar bulan Januari-Februari dan Juli sampai September; variasi hasil tangkapan juga terlihat berdasarkan jumlah tawur (kg/tawur/hari).
4)
Sumberdaya cakalang diperkirakan akan menerima dampak penangkapan paling cepat dibanding jenis lainnya.
Berdasarkan hasil-hasil tersebut dapat disarankan sebagai berikut: 1)
Monitoring terhadap aktivitas penangkapan perlu dilanjutkan, meliputi hasil tangkapan, upaya penangkapannya (jumlah hari laut dan perkembangan fishing ground) serta kualitas data monitoring.
2)
Penambahan data yang berbasis ’on board observer’, selain sebagai validasi terhadap data monitoring didarat juga sangat penting bagi pengambilan contoh biologi (sampling biologi) untuk memperoleh data komposisi ukuran, perkembangan kematangan, komposisi jenis serta kajian aspek biologi lainnya.
3)
Untuk mendasari opsi pengelolaan diperlukan kajian biologi lebih lengkap meliputi dinamika populasi dan life-history.
DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S.B. 2006. Perkembangan perikanan pukat cincin dan kondisi biomassa ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitarnya. Dipresentasikan pada Sosialisasi Hasil Kegiatan Riset. Pusat Riset Periknan Tangkap. BPPI Semarang, 14 Desember 2006. Atmaja, S.B. 2006. Laporan monitoring aktivitas perikanan pukat cincin dan relokasi mandiri kapal pukat cincin ke Bitung. Dipresentasikan pada Sosialisasi Hasil Kegiatan Riset. Pusat Riset Periknan Tangkap. BPPI Semarang, 14 Desember 2006. Atmaja, S. B. Dan D. Nugroho. 2004. Pendugaan hasil tangkapan lestari ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitarnya setelah penggunaan lampu sorot sebagai taktik penangkapan pukat cincin. In: Ngurah N. Wiadnyana, Endang Sriyati dan Dian Oktaviani. Prosiding Hasil-hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. p. 31-38. Bambang Sadhotama. 2006. Catatan singkat sejarah perkembangan perikanan pelagis kecil di
200
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Laut Jawa. Dipresentasikan pada Sosialisasi Hasil Kegiatan Riset. Pusat Riset Periknan Tangkap. BPPI Semarang, 14 Desember 2006. Hariati, T. 2005. Perkembangan pemanfaatan ikan pelagis kecil oleh pukat cincin Sibolga di perairan barat Sumatera pada tahun 2003. J Lit.Perik.Indon Vol. 11. No. 1: hal. 57-67. Hariati, T & B. Sadhotomo. 2007. Aktivitas kapal pukat cincin Sibolga tahun 2002-.2005 dan laju tangkap pukat rapat dan pukat jarang pada periode bulan Januari-Juli 2005 (Pasca Tsunami). J Lit.Perik.Indon. Vol. 13 No. 3. Desember 2007 : hal 179-190. Mangga Barani, Husni, Dr. MSi. 2006. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia. Dipresentasikan pada Sosialisasi Hasil Kegiatan Riset. Pusat Riset Periknan Tangkap. BPPI Semarang, 14 Desember 2006. Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pèlagiques exploitées en mer de Java. Phd. Thesis, Université de Montpellier II, 364 p.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
201
Lampiran 1.
Foto dokumentasi Kegiatan Observer di banyuwangi
A. KM. Kasih Setia V, kapal purse seine asal Pekalongan yang melakukan relokasi fishing ground ke Samudera Hindia dan berbasis di Banyuwangi sejak 6 tahun yang lalu.
B. KM. Mina Samudra, kapal purse seine asal Pekalongan yang melakukan relokasi fishing ground ke Samudera Hindia dan berbasis di Banyuwangi sejak 6 tahun yang lalu.
C. Pengumpulan informasi tentang D. Kegiatan bongkar ikan hasil tangkapan aktivitas penangkapan kapal-kapal ‘relokasi’ di Pelabuhan Tanjungwangi (pelabuhan (wawancara dengan nakhoda kapal) niaga). dibantu oleh petugas pengawas (PSDKP) Banyuwangi.
202
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Lampiran 2
No.
: Daftar kapal purse seine aktif yang tercatat di Banyuwangi tahun 2012 menurut lokasi register (Sumber: Satker PSDKP Banyuwangi).
Nama kapal Purse Seine
Jumlah Trip menurut Register kapal
GT
Bany uw angi
Cirebon Pamanukan Pekalongan Rembang
Semarang
S. Kelapa
Total
1
ANUGRAH INDAH
148
5
2
ANUGRAH INDAH - A
126
6
6
3
AW. MAKMUR - I
121
1
1
4
BERKAT KHUSNUL - II
5
BINTANG MAS ANUGRAH
5
28
1
1
121
6
6
6
BINTANG TERANG
98
7
HAITERI JAYA UTAMA
92
8
INKA MINA - 249
57
9
JAWA INDAH - A
96
10
JAWA POS - A
73
11
KASIH ANUGRAH - A
79
12
KASIH ANUGRAH - I
129
6
6
3
3
1
1 4
4
5
5 3
3
2
2
13
KASIH SETIA - II
115
5
5
14
KASIH SETIA - IX
114
6
6
15
KASIH SETIA - V
119
3
3
16
KASIH SETIA - VI
115
7
7
17
KASIH SETIA - VII
116
5
5
18
KASIH SETIA - VIII
109
4
4
19
KASIH SETIA - XIV
135
1
5
20
KASIH SETIA - XV
137
5
5
6
4
6
21
KASIH SETIA - XVI
130
22
KASIH SETIA - XVII
121
5
5
23
KASIH SETIA - XVIII
135
6
6
24
KASIH SETIA - XX
145
1
1
25
LANGGENG REJEKI
126
4
4
4
4
26
MAJU SETIA XIII
27
MINA ANUGRAH - A
28
MINA BARUNA - I
29
MINA JAYA - I
1
1
88 116 92
4
4
111
6
6
30
MINA SAMUDRA - A
143
3
3
31
MINA SAMUDRA UTAMA
143
1
1
32
MODERN
33
MODERN - A
98
4
4
149
3
3
34
MODERN - B
165
3
3
35
MODERN - C
173
1
1
3
36
MODERN - IV
98
37
NELAYAN INDAH
63
38
NUSANTARA JAYA
39
REJEKI TERANG
40
SINAR MAS
3 3
3
101
2
2
95
6
6
125
3
3
41
SINAR SENTOSA
163
5
5
42
VANCOUVER
102
3
3
43
VICTORY ANUGRAH INDAH
86
4
4
44
VICTORY UTAMA
71
5
5
Jumlah unit kapal
1
2
1
35
1
3
2
44
TRIP
1
5
2
134
3
13
11
169
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
203
Lampiran 3
: Jumlah trip dan jumlah hari laut rata-rata setiap kapal PS yang melakukan penangkapan selama tahun 2012. No.
Nama Kapal
Kisaran
Rata-rata
1
ANUGRAH INDAH
3
47-75
62
2
ANUGRAH INDAH - A
4
41-88
62
3
AW. MAKMUR - I
1
92
92
4
BERKAT KHUSNUL - II
1
41
41
5
BINTANG MAS ANUGRAH
3
46-55
50
6
BINTANG TERANG
5
41-81
64
54-78
66
7
HAITERI JAYA UTAMA
3
8
INKA MINA - 249
1
9 10
JAWA INDAH - A
3
65-96
83
JAWA POS - A
5
43-96
72
11
KASIH ANUGRAH - A
3
50-114
82
12
KASIH ANUGRAH - I
2
62-80
71
13
KASIH SETIA - II
3
65-69
66
14
KASIH SETIA - IX
5
36-75
55
15
KASIH SETIA - V
2
95-105
100
16
KASIH SETIA - VI
6
21-39
32
17
KASIH SETIA - VII
4
39-73
54
18
KASIH SETIA - VIII
4
71-89
80
19
KASIH SETIA - XIV
5
51-79
63
20
KASIH SETIA - XV
5
47-78
57
21
KASIH SETIA - XVI
5
37-64
44
22
KASIH SETIA - XVII
5
32-79
56
23
KASIH SETIA - XVIII
7
24-56
46
24
LANGGENG REJEKI
4
54-85
70
25
MINA ANUGRAH - A
4
47-88
75
26
MINA BARUNA - I
4
37-78
62
27
MINA JAYA - I
5
36-103
59
28
MINA SAMUDRA - A
4
49-90
68
29
MINA SAMUDRA UTAMA
1
98
98
30
MODERN
4
52-84
69
31
MODERN - A
3
55-73
64
32
MODERN - B
2
51-76
64
33
MODERN - C
1
80
80
34
MODERN - IV
3
53-79
67
35
NELAYAN INDAH
2
55-64
60
36
NUSANTARA JAYA
2
59-65
62
37
REJEKI TERANG
5
10-74
52
38
SINAR MAS
3
66-78
70
39
SINAR SENTOSA
3
66-75
69
40
VANCOUVER
3
74-82
77
41
VICTORY ANUGRAH INDAH
4
43-96
67
42
VICTORY UTAMA
4
24-96
63
Rata-rata
204
Jum. hari laut per Trip
Trip
146
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Lampiran 4 : No.
Jumlah trip, jumlah hari laut, total catch (kg) dan CPUE (kg/trip) dari 42 unit kapal purse seine yang melakukan penangkapan selama tahun 2012. Nama Kapal
Trip
DAS
Total catch (kg) CPUE (kg/trip)
1
ANUGRAH INDAH
3
187
99,000
33,000
2
ANUGRAH INDAH - A
4
247
135,000
33,750
3
AW. MAKMUR - I
1
92
80,000
80,000
4
BERKAT KHUSNUL - II
1
41
10,000
10,000
5
BINTANG MAS ANUGRAH
3
151
138,000
46,000
6
BINTANG TERANG
5
320
204,000
40,800
7
HAITERI JAYA UTAMA
3
197
130,000
43,333
8
INKA MINA - 249
1
6,000
6,000
9
JAWA INDAH - A
3
249
71,000
23,667
10
JAWA POS - A
5
358
173,000
34,600
11
KASIH ANUGRAH - A
3
247
80,000
26,667
12
KASIH ANUGRAH - I
2
142
71,000
35,500
13
KASIH SETIA - II
3
199
97,000
32,333
14
KASIH SETIA - IX
5
274
188,000
37,600
15
KASIH SETIA - V
2
200
72,000
36,000
16
KASIH SETIA - VI
6
190
223,000
37,167
17
KASIH SETIA - VII
4
216
149,000
37,250
18
KASIH SETIA - VIII
4
321
132,000
33,000
19
KASIH SETIA - XIV
5
314
239,000
47,800
20
KASIH SETIA - XV
5
283
241,000
48,200
21
KASIH SETIA - XVI
5
220
255,000
51,000
22
KASIH SETIA - XVII
5
278
161,000
32,200
23
KASIH SETIA - XVIII
7
320
311,000
44,429
24
LANGGENG REJEKI
4
281
116,773
29,193
25
MINA ANUGRAH - A
4
299
183,000
45,750
26
MINA BARUNA - I
4
249
129,000
32,250
27
MINA JAYA - I
5
293
154,000
30,800
28
MINA SAMUDRA - A
4
270
130,000
32,500
29
MINA SAMUDRA UTAMA
1
98
30,000
30,000
30
MODERN
4
274
127,000
31,750
31
MODERN - A
3
193
90,000
30,000
32
MODERN - B
2
127
56,000
28,000
33
MODERN - C
1
80
40,000
40,000
34
MODERN - IV
3
201
78,000
26,000
35
NELAYAN INDAH
2
119
61,000
30,500
36
NUSANTARA JAYA
2
124
59,000
29,500
37
REJEKI TERANG
5
261
142,000
28,400
38
SINAR MAS
3
210
75,000
25,000
39
SINAR SENTOSA
3
208
107,000
35,667
40
VANCOUVER
3
232
94,000
31,333
41
VICTORY ANUGRAH INDAH
4
268
116,000
29,000
42
VICTORY UTAMA
4
252
132,000
33,000
146
9085
5,184,773
35,512
Total
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
205
206
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PERIKANAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN SIBOLGA, SUMATERA UTARA Achmad Zamroni Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
ABSTRACT Pukat cincin is a major fishing gear for small pelagic fisheries and quite prolific in the waters around Sibolga. Since 1980 the number of fishing gear is growing. This study aims to describe the development of the pukat cincin fishery in Sibolga derived from monitoring data capture results in 2013. The study says that in Sibolga there are two types of pukat cincin fishing gear, ie pukat cincin with small mesh size and with big mesh size. The production of pukat cincin with big mesh size dominated by big pelagic fish, while pukat cincin with small mesh size dominated by small pelagic fish. Ongoing efforts showed higher between the months of July-August (east monsoon), it is indicated in these times is fishing season (higher effort).
Keywords: pukat cincin, small pelagic, catch rate, sibolga
ABSTRAK Pukat cincin merupakan satu alat tangkap perikanan pelagis kecil utama dan cukup produktif di perairan sekitar Sibolga. Sejak tahun 1980 jumlah alat tangkap semakin bertambah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan perikanan pukat cincin di Sibolga yang berasal dari data monitoring hasil penangkapan tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Sibolga terdapat dua tipe alat tangkap pukat cincin, yaitu pukat cincin jaring rapat dan pukat cincin jaring jarang. Alat tangkap pukat cincin jaring jarang hasil produksinya didominasi oleh ikan-ikan pelagis besar, sedangkan alat tangkap pukat cincin rapat didominasi oleh ikan-ikan pelagis kecil. Upaya lebih tinggi menunjukkan berlangsung antara bulan Juli – Agustus (musim timur); hal tersebut mengindikasikan pada waktu-waktu tersebut merupakan musim penangkapan (upaya lebih tinggi). Kata kuci
: pukat cincin, pelagis kecil, laju tangkap, sibolga
PENDAHULUAN Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil. Bahkan bisa dikatakan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang utama Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
207
dalam mengusahakan sumberdaya ikan pelagis kecil. Hal ini dapat diketahui bahwa jika di suatu daerah yang memproduksi ikan pelagis kecil, alat tangkap yang dominan adalah pukat cincin. Armada kapal pukat cincin memiliki alat penangkapan yang tingkat selektivitasnya cukup tinggi, ditunjukkan oleh ukuran mata jaring yang distandarkan, lokasi penangkapan yang direncanakan dan musim penangkapan tertentu. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, terutama di beberapa daerah seperti di perairan utara Jawa, Laut Cina Selatan dan juga Samudera Hindia khususnya barat Sumatera. Sibolga adalah salah satu sentra produksi ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera. Perkembangan alat tangkap pukat cincin di Sibolga telah berlangsung sejak tahun 1980. Semenjak tahun tersebut jumlah kapal pukat cincin cenderung mengalami peningkatan dari 48 unit di tahun 1980 menjadi 119 unit di tahun 1994. Penambahan upaya adalah salah satu respon dari pengusaha perikanan dalam menyiasati turunnya nilai produksi. Selain perkembangan jumlah alat tangkap, daerah penangkapan juga mengalami perkembangan, dari sekitar 1 – 3 mil dari pangkalan menjadi lebih luas dan juga ke lepas pantai. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan perikanan pukat cincin di Sibolga, Sumatera Utara. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian dilakukan di Sibolga dari bulan Januari – Desember 2013. Data hasil tangkapan per kapal dikumpulkan melalui ’catch monitoring’ terhadap kapal-kapal (pukat cincin) yang mendarat dan bongkar ikan di TPI/tangkahan di Sibolga. Pencatatan data dibantu oleh tenaga enumerator dengan format standar berdasarkan waktu, fishing ground, ukuran kapal dan species hasil tangkapan. Data aspek operasional penangkapan dikumpulkan melalui observasi (di laut dan di darat) dan wawancara dengan nakhoda kapal. Data pendukung (sekunder) dikumpulkan di tempat pendaratan ikan, pangkalan pendaratan dan instansi terkait. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
HASIL 1.
Struktur Armada
Keseluruhan jumlah unit kapal pukat cincin yang tercatat di Sibolga tahun 2012 sebanyak 180 unit. Ukuran kapal yang digunakan sangat beragam dari 5 GT sampai 192 GT, ukuran kapal paling banyak ditemukan antara 60-100 GT, yaitu sekitar 118 unit kapal (64%).
208
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Jumlah ini menurun pada tahun 2013 menjadi sebanyak 164 unit; ukuran paling banyak tetap kapal berukuran antar 60-100 GT (Tabel 1).
Tabel 1. Struktur ukuran kapal pukat cincin aktif di Sibolga menurut jenis jaring yang digunakan, 2012.
Pukat Jarang
2.
Pukat Rapat
Total
0-10
2
1
10-30
9
10
30-60
19
17
60-100
73
43
3 20 37 118
>100
17
1
18
Tipe Jaring Pukat Cincin
Jaring yang digunakan dapat dibedakan dua macam, pertama menggunakan jaring pukat cincin dengan mesh size 1 inch (disebut ’Pukat Rapat’), kedua jaring dengan mesh size 2,5 inch (disebut ’Pukat Jarang’). Kedua jenis jaring pukat cincin yang digunakan nelayan tersebut berbeda dalam target species; pukat rapat dengan target ikan pelagis kecil sedang target dari pukat jarang berupa ikan-ikan pelagis besar. Berdasarkan data harian per kapal pukat cincin yang mendarat (Sumber: data rekapitulasi log-book tahun 2012 sampai September 2013) komposisi hasil tangkapan kedua komoditi juga berbeda menurut jenis jaring yang digunakan; pada pukat rapat dominasi ikan pelagis kecil mencapai 65% (ikan pelagis besar 23%), sedang pada pukat jarang hasil tangkapan ikan pelagis kecil hanya 12 % dan ikan pelagis besar mencapai 83% (Gambar 1).
Gambar 1. Perbedaan komposisi hasil tangkapan ikan pelagis pada perikanan pukat cincin di Sibolga (Sumber: Rekapitulasi Log-book PPN Sibolga tahun 2012 sampai September 2013). Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
209
3.
Upaya Penangkapan (jumlah trip)
Dari data monitoring selama tahun 2012 upaya penangkapan terbesar (dalam jumlah trip) dilakukan oleh kapal berbobot 60-100 ton (63%), disusul oleh kapal berbobot 30-60 GT (20%), 10-30 GT (9%) dan kapal dibawah 10 GT (7%); baik pada pukat rapat maupun pukat jarang. Dari total trip sebanyak 1864 trip (2012) 55% diantaranya berasal dari pukat jarang, sisanya (45%) adalah pukat rapat. Diperkirakan terjadi penurunan jumlah trip pada tahun 2013, hingga bulan September tercatat sebanyak 1538 trip. Berdasarkan fluktuasi upaya (trip) terlihat aktivitas penangkapan berfluktuasi setiap bulan, pada pukat rapat maupun pukat jarang, pada berbagai ukuran kapal, upaya lebih tinggi menunjukkan berlangsung antara bulan Juli – Agustus (musim timur); hal tersebut mengindikasikan pada waktu-waktu tersebut merupakan musim penangkapan (upaya lebih tinggi). Fluktuasi jumlah trip kapal pukat cincin Sibolga diperlihatkan pada Gambar 2. Musim penangkapan dimungkinkan terkait dengan kondisi cuaca perairan, aktivitas tinggi berlangsung karena kondisi perairan cukup bagus, sebaliknya aktivitas rendah ternyata berlangsung pada bulan-bulan sebelumnya (antara April – Mei). Total trip per bulan bervariasi antara 63 trip/ bulan (September 2012) sampai 264 trip/bulan (Juli 2013); rata-rata 162 trip/bulan.
210
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. Fluktuasi upaya (jumlah trip) kapal pukat cincin Sibolga menurut jenis jaring dan ukuran kapal (GT), 2012-2013. 4.
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil
Hasil tangkapan total dari alat pukat cincin yang didaratkan di Sibolga pada tahun 2012 sekitar 10 529 ton; 61% diantaranya berupa ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil sekitar 29%; berdasarkan jenis jaring yang digunakan 70% berasal dari pukat jarang dan sisanya dari pukat rapat. Total hasil tangkapan ikan pelagis kecil dari alat pukat cincin tahun 2012 sebesar 3079 ton dimana sebagian besar (68%) berasal dari pukat rapat sedang dari pukat jarang sekitar 32%; hasil tangkapan berfluktuasi setiap bulan. Dalam kurun 2012 sampai September 2013, hasil tangkapan lebih tinggi terlihat pada sekitar bulan Juli-Agustus terutama pada pukat rapat, pada bulan lainnya lebih rendah; sedang pola fluktuasi kelimpahan (CPUE, kg/trip) menunjukkan puncak kelimpahan (puncak musim) diduga terjadi sekitar bulan Mei-Juni, pada bulan lainnya kelimpahan lebih rendah (Gambar 3). Hal ini seperti ditegaskan pada Gambar 5.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
211
Gambar 3. Fluktuasi hasil tangkapan dan cpue (kg/trip) ikan pelagis kecil pada alat pukat cincin di Sibolga. Jenis dominan yang tertangkap pukat cincin berupa ikan layang (Decapterus spp.). Jenis layang yang tertangkap diperkirakan berbeda antara pukat rapat dan pukat jarang. Pada pukat rapat jenis layang yang dominan berupa D. russelli dan D. macrosoma (45%), sedang pada pukat jarang jenis malalugis (D. macarellus) lebih dominan (81%). Gambar 4 menunjukkan komposisi jenis ikan pelagis kecil pada alat pukat cincin.
212
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4. Komposisi jenis ikan pelagis kecil pada pukat rapat dan pukat jarang di Sibolga (2012). Jenis dominan kedua berupa sardin (tembang dan siro). Pada pukat rapat ikan kembung memberi kontribusi sekitar 6% dalam hasil tangkapan; jenis yang tertangkap dua jenis yaitu R. kanagurta dan R. brachysoma. Sedang pada pukat jarang jenis layangnya berupa malalugis (D. macarellus); ikan kembung jumlahnya hanya 3% (R. kanagurta). Interaksi antar species terlihat lebih jelas antara jenis layang dengan sardin, ketika jumlah tangkapan layang meningkat maka hasil tangkapan sardin menurun; sebaliknya ketika jumlah tangkapan layang menurun maka ikan sardin jumlahnya meningkat. Rata-rata hasil tangkapan per unit upaya/cpue (kg/trip) ikan pelagis kecil pada pukat rapat sekitar 2,5 ton/trip dari rata-rata total sebesar 3,9 ton; sedang pada pukat jarang sekitar 0,9 ton/trip dari rata-rata total sebesar 8 ton/trip. Ringkasan hasil tangkapan per unit upaya (kg/trip) pukat cincin Sibolga dipresentasikan pada Tabel 2, fluktuasi hasil tangkapan per trip ditunjukkan pada Gambar 5. Pada Gambar 5 terlihat di perairan pantai yang diupayakan oleh pukat rapat puncak tangkapan ikan pelagis kecil terjadi sekitar bulan Februari (musim barat) dan Juni-Juli (musim timur), sedang di perairan lebih ketengah yang dieksploitasi dengan pukat jarang puncak tangkapan ikan pelagis kecil terjadi sekitar bulan April dan Mei.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
213
Tabel 2. Ringkasan hasil tangkapan per unit upaya/cpue (kg/trip) kapal pukat cincin Sibolga 2012-2013. Pukat Jarang Pukat Rapat Total 2012 Jan
777
2,526
1,719
Feb
544
2,615
1,626
Mar
867
2,194
1,535
Apr
1,683
2,452
2,054
May
1,139
2,360
1,654
923
3,564
2,012
1,417
3,467
2,244
Aug
688
2,220
1,349
Sep
801
1,350
810
Oct
1,253
2,296
1,763
Nov
928
2,277
1,511
Dec
725
2,379
1,407
2013 Jan
396
2,412
1,281
Feb
351
2,713
1,474
Mar
527
2,323
1,461
Apr
1,285
2,352
1,689
May
1,463
2,464
1,900
Jun
1,230
2,640
1,870
Jul
648
2,664
1,656
Aug
900
2,243
1,480
Sep
953
2,553
1,540
Jun Jul
Gambar 5. Fluktuasi hasil tangkapan per trip kapal pukat cincin Sibolga 2012-2013.
214
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PEMBAHASAN Sebagian besar produksi perikanan pelagis kecil diusahakan oleh alat tangkap pukat cincin yang menggunakan jaring rapat. Spesies yang sering tertangkap adalah ikan Decaterus macrosoma, D. russelli, Rastrelliger kanagurta dan Selar crumenophthalmus. Di Sibolga terdapat dua tipe alat tangkap pukat cincin, yaitu pukat cincin jaring rapat dan pukat cincin jaring jarang. Untuk alat tangkap pukat cincin jaring jarang hasil produksinya didominasi oleh ikan-ikan pelagis besar. Spesies ikan pelagis kecil yang tertangkap oleh pukat cincin jarang adalah ikan D. macarellus. Selain pukat cincin, perikanan pelagis kecil juga diusahan oleh bagan perahu. Komposisi jenis hasil tangkapan bagan perahu sama dengan hasil tangkapan pukat cincin rapat. Daerah penangkapan antara pukat cincin rapat dan jarang terjadi perbedaan. Untuk pukat cincin rapat, daerah penangkapan umumnya di perairan Aceh Selatan sekitar Kepulauan Banyak dan di sekitar Pulau Pini, dekat perbatasan dengan Sumatera Barat. Pukat cincin jarang mempunyai daerah penangkapan di lepas pantai (paparan dan cekungan/laut dalam), sementara bagan perahu daerah penangkapan di sekitar pantai. Berdasarkan fluktuasi upaya (trip), upaya lebih tinggi berlangsung antara bulan JuliAgustus (musim timur); hal tersebut mengindikasikan pada waktu-waktu tersebut merupakan musim penangkapan (upaya lebih tinggi). Musim penangkapan dimungkinkan terkait dengan kondisi cuaca perairan, aktivitas tinggi berlangsung pada kondisi perairan cukup bagus, sebaliknya aktivitas rendah berlangsung pada bulan-bulan sebelumnya (antara April-Mei). Pola fluktuasi kelimpahan (CPUE, kg/trip) menunjukkan puncak kelimpahan (puncak musim) diduga terjadi sekitar bulan Mei-Juni, pada bulan lainnya kelimpahan lebih rendah. Interaksi antar species terlihat lebih jelas antara jenis layang dengan sardin, ketika jumlah tangkapan layang meningkat maka hasil tangkapan sardin menurun; sebaliknya ketika jumlah tangkapan layang menurun maka ikan sardin jumlahnya meningkat. KESIMPULAN Di Sibolga terdapat dua tipe alat tangkap pukat cincin, yaitu pukat cincin jaring rapat dan pukat cincin jaring jarang. Alat tangkap pukat cincin jaring jarang hasil produksinya didominasi oleh ikan-ikan pelagis besar, sedangkan alat tangkap pukat cincin rapat didominasi oleh ikanikan pelagis kecil. Upaya lebih tinggi menunjukkan berlangsung antara bulan Juli – Agustus (musim timur); hal tersebut mengindikasikan pada waktu-waktu tersebut merupakan musim penangkapan (upaya lebih tinggi).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
215
PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil penelitian Penelitian Stok, Distribusi dan Parameter Biologi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di WPP 572, WPP 573 dan WPP 717, TA 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B., Suwarso & S. Nurhakim. 1986. Hasil tangkapan pukat cincin menurut musim dan daerah penangkapan di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 34: 57 – 68. Atmaja, S. B. 2006. Selektivitas pukat cincin dan seleksi manusia pada ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Dalam: Perikanan pukat cincin dan sumberdaya ikan pelagis kecil di bagian selatan paparan Sunda. Balai Riset Perikanan Laut. p 50 – 56. Atmaja, S. B. 2006. Eksploitasi pukat cincin Pekalongan di perairan Laut Cina Selatan. Dalam: Perikanan pukat cincin dan sumberdaya ikan pelagis kecil di bagian selatan paparan Sunda. Balai Riset Perikanan Laut. p 57 – 64. Portier, M. & B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. In: Biodynex (Biology, Dynamics, Exploitation) of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. M. Potier and S. Nurhakim (Ed.), p 196 - 214. Sadhotomo, B., S. Nurhakim & S. B. Atmaja. 1986. Perkembangan komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 35: 101 – 109. Sujastani, T & E. M. Amin. 1978. Kemungkinan pengembangan dan modernisasi perikanan skala kecil atau perikanan rakyat di Laut Cina Selatan yang termasuk kawasan Kabupaten Kepulauan Riau. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. LPPL. Litbang Pertanina. p 26. Widodo, J. 1990. Penyebaran kelimpahan, musim dan daerah penangkapan ikan pelagis pantai di laut Jawa. Jurnal Litbang Pertanian, IX (1).
216
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
EFISIENSI TEKNIS PUKAT CINCIN SIBOLGA DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Oleh: Hufiadi*) & Mahiswara*) *)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Email : [email protected]
ABSTRAK Seiring dengan perkembangan teknologi rumpon dan alat bantu cahaya telah mendorong peningkatan upaya pukat cincin dalam memanfaatkan perikanan pelagis yang intensif di perairan Samudera Hindia. Semakin berkembangnya upaya penangkapan pada perikanan pukat cincin, diduga telah menyebabkan terjadinya kapasitas berlebih. Perubahan peningkatan upaya penangkapan tersebut dapat berpengaruh terhadap efisiensi pukat cincin dalam penangkapannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur tingkat penggunaan input unit armada pukat cincin terhadap output yang dihasilkan sebagai indikator seberapa efisien unit pukat cincin digunakan dalam usaha penangkapannya. Sumber kajian berasal dari catatan enumerator terhadap aspek operasional pukat cincin yang berbasis di Sibolga selama tahun 2013. Efisiensi penangkapan pukat cincin dianalisis berdasarkan musim penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan intensitas cahaya yang digunakan perikanan pukat cincin jauh melebihi nilai intensitas yang ditetapkan. Selama tahun 2013 pada ketiga musim penangkapan (Barat, Timur dan Peralihan) secara teknis, pada beberapa kapal pukat cincin telah terjadi kelebihan kapasitas input, sehingga berdasarkan pendekatan musim tersebut (Barat, Timur dan Peralihan) masing-masing mengurangi kapasitas sebesar 35%, 29% dan 47% akan memungkinkan output saat ini diproduksi optimal secara ekonomi. Musim peralihan bernilai efisiensi sedikit lebih kecil (0,53) dibanding pada musim barat (0,65) dan musim timur nilai efisiensi (0,71). KATA KUNCI: kapasitas penangkapan, efisiensi teknis, pukat cincin, Sibolga
PENDAHULUAN Kapasitas penangkapan secara umum didefinisikan sebagai kemampuan suatu kapal atau armada kapal untuk menangkap ikan. FAO (1998) mendefinisikan kapasitas penangkapan berdasarkan target (target capacity) adalah ”maksimum jumlah ikan dalam periode tertentu yang dapat diproduksi oleh satu armada perikanan jika (kapasitasnya) dimanfaatkan penuh, bersamaan dengan itu memenuhi tujuan pengelolaan yang dirancang untuk memastikan kelestariannya”. Dalam jangka pendek, kebijakan pengendalian input produksi seperti Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
217
pembatasan jumlah kapal akan mengurangi hasil tangkapan aktual, tetapi dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh berupa peningkatan kapasitas penangkapan (Metzner 2005). Sumberdaya ikan pelagis di perairan Samudera Hindia merupakan komoditi perikanan yang penting dan bersifat strategis, karena letak geografisnya yang langsung berhubungan dengan perairan internasional. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatannya, tekanan penangkapan yang tinggi dialami oleh hampir seluruh kawasan, terlebih di zona perikanan tradisional. Indikasi penyusutan sumberdaya antara lain tergambarkan dengan semakin jauhnya daerah penangkapan dari pangkalan/basis. Berdasarkan Keputusan Men KP No. 45/2009 terindikasi bahwa untuk sumberdaya ikan pelagis kecil telah mencapai pada tingkat over exploited di WPP 572 dan fully exploited di WPP 573. Nilai potensi lestari di kedua WPP tersebut sebesar 526.500 ton/tahun, sedangkan untuk sumberdaya ikan pelagis besar tingkat upayanya cenderung moderate dengan nilai potensi sebesar 366.200 ton/tahun. Statistik Perikanan Indonesia tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah total armada penangkapan ( > 5 – 100 GT) yang potensial memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis besar di Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) 572 dan 573 adalah sebesar 25.158 unit (Anonim, 2012). Penggunaan teknologi rumpon (laut dalam) dan alat bantu cahaya lampu telah mendorong pertumbuhan usaha perikanan pukat cincin di Sibolga yang beroperasi di Samudera Hindia. Dalam kenyataannya pengoperasian pukat cincin tidak saja menargetkan ikan layang dan jenis ikan pelagis kecil lainnya, namun juga kelompok ikan tuna permukaan. Sebagai konsekwensinya telah meningkatkan eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis besar menjadi lebih intensif, sehingga dengan terjadinya peningkatan upaya penangkapan pada pukat cincin Sibolga dapat berpengaruh terhadap efisiensi penangkapannya. Salah satu akar permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya ikan adalah terjadinya kapasitas berlebih dari input produksi usaha perikanan tangkap, dikarenakan sulitnya mengendalikan peningkatan upaya penangkapan ikan. Kontrol terhadap upaya penangkapan yang berlebih senantiasa mengalami kendala dikarenakan kurangnya data dan informasi hasil kajian/penelitian untuk dijadikan sebagai dasar dalam menentukan suatu kebijakan. Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan maka perlu dilakukan terobosan guna meningkatkan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Pada perkembangan kegiatan penangkapan yang tidak terkendali cenderung akan menyebabkan kegiatan perikanan menjadi tidak efisien. Penelitian kapasitas penangkapan diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dalam pemanfataan sumberdaya ikan. Penelitian mengenai kapasitas penangkapan terhadap armada pukat cincin di beberapa daerah dan perairan yang berbeda telah banyak dilakukan, antara lain disimpulkan bahwa
218
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
pukat cincin Pekalongan pada setiap musim dan di beberapa daerah penangkapan dalam pemanfaatan kapasitas telah melebihi dari tingkat optimumnya (Hufiadi & Wiyono, 2009). Kapasitas penangkapan pukat cincin Banda Aceh yang di perairan Samudera Hindia dengan menggunakan alat bantu cahaya lampu sebagian besar tidak optimal (65,56%), sementara pukat cincin yang tanpa lampu sebagian besar adalah optimal (58,33%) (Hufiadi et al, 2011). Hasil kajian kapasitas penangkapan, memberikan opsi untuk dapat mengontrol inputan yang ada dalam suatu unit penangkapan agar diperoleh keluaran yang maksimal dengan tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya dan usaha. Bertolak dari hal tersebut, pengukuran kapasitas penangkapan pukat cincin di Sibolga, yang beroperasi di perairan Samudera Hindia dilaksanakan untuk memperoleh bahan masukan bagi penyusunan kebijakan pengelolaannya. Pengukuran Kapasitas penangkapan dalam hal ini ditentukan oleh tingkat efisiensi setiap unit pukat cincin dalam penggunaan input yang tersedia terhadap output (tangkapan) yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Data dan informasi diperoleh melalui kegiatan penelitian di pusat pendaratan ikan bagi kapal pukat cincin Sibolga yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Pengumpulan data teknis operasional dan karakteristik upaya penangkapan unit pukat cincin dilakukan dengan melakukan pengamatan, pengukuran dan interview dengan nelayan, nahkoda atau pemilik. Data teknis unit penangkapan, kebutuhan logistik operasi penangkapan dan hasil tangkapan yang secara rutin dikumpulkan petugas enumerator, serta hasil kegiatan survei di lapang merupakan basis data kajian kapasitas penangkapan yaitu faktor inputan untuk setiap unit pukat cincin antara lain: tonnage kapal (GT), panjang kapal (m), kekuatan mesin kapal (HP), panjang jaring (m), jumlah pancing, jumlah ABK (orang), alat bantu penangkapan, BBM (liter), jumlah trip, jumlah hari di laut, kebutuhan logistik non BBM. Sedangkan aspek output yang dikumpulkan adalah jumlah hasil tangkapan. Jumlah sampel untuk kajian kapasitas penangkapan digunakan sebanyak 284 unit pukat cincin yang terdiri dari 103 unit musim barat, 106 musim timur dan 75 musim peralihan. Pra-Pengolahan Data Data set unit penangkapan yang terkait dengan inputan digunakan sebagai input data. Inputan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu inputan yang bersifat tetap (fixed input) dan inputan yang berubah (variable input). Dalam penelitian ini sebagai inputan tetap (fixed input) ( x f ,n )
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
219
adalah GT, ukuran kapal (m), kekuatan tenaga pengerak (HP);. Selanjutnya, faktor-faktor lainnya yang bersifat berubah-ubah seperti hari operasi (HOP), jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (liter), jumlah trip, konsumsi es dan biaya oparasional ditetapkan sebagai inputan yang berubah (variable input data) ( xv ,n ) . Hasil tangkapan (kg) dalam setiap unit penangkapan subjek penelitian merupakan faktor output. Analisis Data Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasikan, diolah dan dianalisis dengan serangkaian metode. Setiap jenis data disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. Pengukuran efisiensi penangkapan dilakukan dengan menggunakan teknik data envelopment analysis (DEA). Data di analisis menggunakan program linear (linier programming) dengan bantuan softwareDEAPversion 2.1 (Colli et al. 2005). DEA adalah analisis program matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Pertama kali kita tentukan vektor output sebagai µ dan vektor inputs sebagai x. Ada m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989; Fare et al., 1994):
TE = Max θ1 θ , z ,λ
subject to J
θ1 u jm ≤ ∑ z j u jm , (output dibandingkan DMU) j =1
J
∑ z j x jn ≤ x jn ,
n∈ xf
∑z
n ∈ xv
jJ=1
j =1
j
x jn = λ jn x jn ,
z j ≥ 0, j = 1,2,..., J ,
λ jn ≥ 0, n =1,2,..., N ,
dimana zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; θ1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan λ*jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output,TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan θ1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan U ) , berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan kapasitas (C
220
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
berikut:
TECU =
u 1 = * * θ1 u θ1
Nilai efisiensi teknis diperoleh melalui penghitungan dengan teknik DEA dengan bantuan softwareDEAP version 2.1.Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masing-masing DMU sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). Untuk menghitung nilai VIU yaitu dengan cara membandingkan variabel optimum dengan variabel aktual. Dimana:
VIU<1 : terjadi kapasitas berlebih input penangkapan, sehingga diperlukan pengurangan VIU.
VIU>1: terjadi kekurangan input penangkapan, sehingga diperlukan penambahan input atau pengembangan usaha. VIU=1: tingkat kapasitas optimal (efisien). Hasil Unit Penangkapan Pukat Cincin Kapal pukat cincin yang berbasis di PPN Sibolga memiliki bobot berkisar antara 29 – 128 GT dengan dimensi kapal, panjang 22,7 – 31,2 meter, lebar 6,7 – 7,4 dan dalam 2,2 – 2,9 meter. Tenaga penggerak berkekuatan 85- 600 PK. Jumlah hari operasi dalam satu trip penangkapan dapat mencapai 45 hari (tergantung pencapaian perolehan hasil tangkapan). Jumlah hari dalam satu trip kapal pukat cincin Sibolga rata-rata 15 hari. Tenaga ABK dalam satu unit kapal pukat cincin berkisar antara 30 - 42 orang. Dimensi pukat cincin di Sibolga yang digunakan umumnya panjang jaring 600 meter, mata jaring pada bagian kantong 2,54 cm. Bahan jaring (benang) menggunakan PA 210 d/9 untuk bagian sayap dan badan, PA 210 d/15 untuk bagian kantong. Gambaran aktivitas kapal pukat cincin yang tengah melakukan bongkar hasil tangkapan muat di salah satu tangkahan dalam PPN Sibolga disajikan pada Gambar 1.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
221
Gambar 1. Armada pukat cincin dan aktivitas pendaratan ikan di Tangkahan PPN Sibolga. Berdasarkan hasil penelitian melalui survei lapang diperoleh informasi bahwa, hasil tangkapan pukat cincin yang berbasis di PPN Sibolga didominasi oleh hasil tangkapan ikan pelagis besar yakni ikan cakalang dan ikan tuna. Tangkapan jenis ikan layang tidak begitu dominan dalam perikanan pukat cincin. Proporsi hasil tangkapan ikan cakalang, tuna dan layang hasil tangkapan pukat cincin Sibolga adalah 75%, 22% dan 15% dari total tangkapan. Jenis ikan tuna dan cakalang dalam beberapa tahun terakhir menjadi target penangkapan pukat cincin, terutama setelah digunakannya alat bantu penangkapan rumpon (laut dalam). Berdasarkan pengamatan sepanjang penelitian diperoleh produktivitas hasil tangkapan per unit penangkapan pukat cincin yaitu: ikan cakalang berkisar antara 2,25 – 46,5 ton/trip, ikan tuna antara 0,75 - 17,6 ton/trip dan ikan layang berkisar antara nilai 0,60 – 10,80 ton/trip. Dari beberapa trip kapal pukat cincin diperoleh data laju tangkap berkisar antara 0,07 ton/ hari – 4,58 ton/hari dengan rata-rata tangkapan sebesar 1,20 ton/ hari. Berdasarkan jenis tangkapan, laju tangkap cakalang rata-rata 0,84 ton/hari, tangkapan tuna rata-rata 0,84 ton/ hari dan laju tangkap ikan layang rata-rata 0,37 ton/hari. Efisiensi Teknis Unit Penangkapan Pukat Cincin Analisis efisiensi antar kapal pukat cincin di daerah Sibolga, dihitung dengan pendekatan single output. Penilaian kapasitas penangkapan berdasarkan data operasional beberapa kapal pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Sibolga. Berdasarkan penghitungan DEA dengan single output terhadap beberapa kapal pukat cincin yang berbasis di Sibolga, Sumatera Utara diperoleh angka efisiensi yang optimal ditunjukkan oleh beberapa armada dengan nilai efisiensi (TE) mencapai 1,00. Hasil penghitungan dugaan tingkat pemanfaatan atau tingkat efisiensi armada pukat cincin pada musim barat diperoleh rata-rata 0,65. Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas (CU) dari 103 sampel kapal yang beroperasi di perairan Samudera Hindia pada musim barat berkisar 0,01 – 1,00. Dari distribusi nilai CU tersebut terdapat 38 kapal (36,9%) berada pada tingkat pemanfaatan optimal yang ditandai dengan nilai efisiensi mencapai 1,00 dan armada yang lainnya 65 armada (63,1%) berada pada tingkat yang tidak optimal yang ditandai dengan pencapaian nilai efisiensi < 1,00 (Gambar 2). 222
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. Distribusi efisiensi armada pukat cincin Sibolga pada musim barat Dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) armada pukat cincin yang berbasis di Sibolga pada musim timur diperoleh rata-rata nilai efisiensi sebesar 0,71. Distribusi nilai CU pada musim timur, dari 106 sampel kapal terdapat 25 kapal (23,6%) berada pada tingkat pemanfaatan yang optimal dan yang lainnya 81 kapal (76,4%) tidak optimal. Nilai efisiensi pada armada pukat cincin diperoleh berkisar antara 0,20 - 1,00 (Gambar 3).
Gambar 3. Distribusi efisiensi armada pukat cincin Sibolga pada musim timur Dugaaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) armada pukat cincin Sibolga pada musim peralihan diperoleh nilai efisiensi rata-rata 0,53. Distribusi tingkat pemanfaatan kapasitas dari 75 sampel kapal pada musim peralihan terdapat 20 kapal (26,7%) berada pada tingkat pemanfaatan yang optimal dan yang lainnya sebanyak 55 kapal (73,3%) berada pada tingkat yang tidak optimal. Capaian nilai efisiensi armada pukat cincin berkisar antara 0,08 –
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
223
1,00 dan secara detail distribusi dari armada yang tidak efisien, adalah 57%-nya berada pada skor efisiensi <0,50 (Gambar 4).
Gambar 4. Distribusi efisiensi armada pukat cincin Sibolga pada musim peralihan
Armada (Unit)
100 80 60 40 20 0
HOP ABK BBM Es Biaya
Barat
Armada (Unit)
Berdasarkan perihitungan DEA, beberapa armada pukat cincin di Sibolga dalam pemanfaatan variabel input (VIU) pada musim barat, Timur dan musim peralihan pada beberapa variabel masing-masing diperoleh nilai VIU rata-rata berkisar antara 0,89 – 0,99, 0,84 – 0,97 dan 0,85 – 0,98. Dari nilai-nilai tersebut, secara umum menunjukkan bahwa pukat cincin Sibolga dalam pemanfaatan variabel input yang menjadi instrumen dalam pengendalian kapasitas pukat cincin pada ketiga musim tersebut sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang sebagian besar pencapaian nilai VIU =1,00 (Gambar 5). 100
Armada (Unit)
<0,50 <0,70 >0,70 1,00 >100 VIU 80 60 40 20 0
HOP ABK BBM Es Biaya
Timur
50 0 <0,50
<0,70
>0,70 VIU
1,00
>100
HOP ABK BBM Es Biaya
Peralihan
<0,50<0,70>0,70 1,00 >1,00 VIU
Gambar 5. Distribusi pemanfaatan variabel input pukat cincin Sibolga pada musim barat, Timur dan Peralihan.
224
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Pada Tabel 1 tertera bahwa kondisi faktual penangkapan ikan pelagis di Samudera Hindia dengan pukat cincin di Sibolga, Sumatera Utara, sebagian besar armada dalam pengoperasian penangkapan telah mencapai kapasitas yang optimal. Dalam hal ini, jumlah trip, hari operasi di laut (HOP), ABK, BBM, es, dan biaya operasi merupakan variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. Efisiensi kapal-kapal pukat cincin yang berbasis di Sibolga dapat ditingkatkan efisiensinya pada musim barat, musim timur dan musim peralihan. Tabel 1. Rata-rata tingkat kapasitas berlebih, pemanfaatan input variabel dan potensi perbaikan efisiensi. Uraian 1. Kapasitas Berlebih (%) Hari Operasi (HOP) ABK BBM Es Biaya GT Panjang kapal Lebar kapal Kekauatn mesin (Hp) 2. Tingkat VIU Hari Operasi (HOP) ABK BBM Es Biaya 3.Potensi Perbaikan (%) Hari Operasi (HOP) ABK BBM Es Biaya GT Panjang kapal Lebar kapal Kekauatan mesin (Hp)
Musim Barat -8,297 -6,326 -13,568 -11,548 -0,977 -9,550 -1,894 -4,982 -4,295
Timur -4,695 -4,881 -6,401 -11,713 -2,247 -7,715 -2,776 -7,774 -5,736
Peralihan -1,435 -13,911 -5,962 -18,468 -17,675 -14,152 -3,399 -7.642 -8,637
0,92 0,94 0,86 0,88 0,99 13,50 10,30 22,10 18,80 1,60 15,50 3,10 8,10 7,10
0,95 0,95 0,94 0,88 0,98 8,70 9,00 11,90 21,70 4,20 14,30 5,10 14,40 10,60
0,99 0,86 0,94 0,82 0,82 1,60 15,20 6,50 20,20 19,40 15,50 3.70 8,40 9.50
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
225
BAHASAN Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Samudera Hindia baik yang di WPP 572 maupun WPP 573 terus mengalami peningkatan upaya. Intensitas pemanfaatan yang tinggi sangat nyata khususnya terhadap kelompok sumberdaya ikan pelagis. Analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan menunjukkan bahwa baik sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar tingkat pemanfaatannya sudah mengarah pada over dan fully exploited (Komnas Kajiskan, 2011). Perikanan pukat cincin yang aktif melakukan operasi penangkapan di perairan Samudera Hindia telah mengkombinasikan penggunaan alat bantu cahaya (lampu) dan rumpon. Penggunaan cahaya pada perikanan pukat cincin cenderung semakin meningkat kekuatannya. Hal ini terbawa persepsi bahwa semakin besar kekuatan cahaya (lampu), semakin besar kelompok ikan yang berkumpul di seputar rumpon. Saat ini banyak ditemukan penggunaan cahaya lampu > 30kW dalam satu unit penangkapan pukat cincin. Cahaya lampu yang terlampau besar cenderung tidak efektif, mengingat ikan target (tuna, cakalang, pelagis kecil) memiliki preferensi pada nilai intensitas cahaya yang berbeda. Penggunaan intensitas cahaya yang digunakan perikanan pukat cincin jauh melebihi nilai intensitas yang ditetapkan dalam Kepmen KP No. 02/ 2011 (maksimal 16kW). Komposisi jenis hasil tangkapan pukat cincin relatif tidak bervariasi, antara lain ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (T. albacares), tuna mata besar (T. obesus), tongkol (Auxis spp), lemadang (Coryphaena spp), layang (Decapterus spp). Ukuran mata jaring pukat cincin Sibolga yang digunakan, khususnya di bagian kantong (2 inchi) praktis tidak memberikan kesempatan juvenil ikan tuna untuk lolos pada saat sudah berada dalam area tangkap jaring pukat cincin. Uji model DEA untuk menghasilkan angka efisiensi sebagai indikator kapasitas penangkapan. DEA dapat digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi, secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper et al., 2004). Untuk menganalisis efisiensi dilakukan dengan membandingkan efisiensi antar kapal yang aktif beroperasi setiap bulan. Kapal yang dianggap efisien secara penuh (fully efficient) adalah kapal yang mempunyai skor efisiensi sebesar 1,00 atau 100 persen. Pada kondisi tersebut, seluruh input dimanfaatkan penuh atau tidak terdapat potensi peningkatan input yang digunakan. Selanjutnya kapal-kapal yang mempunyai nilai efisiensi di bawah 1,00 memerlukan perbaikan. Hal ini tentu sangat tergantung dari kebijakan dalam pengelolaan perikanan pukat cincin sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Perbandingan relatif tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan pukat cincin Sibolga, pada musim penangkapan tahun 2013 menunjukkan bahwa, rata-rata tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pada musim barat dan timur sebagian besar armada dalam
226
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
memanfaatkan input yang digunakan untuk usaha menangkap ikan telah efisien yang ditandai oleh nilai efisiensi teknis (TE) mencapai 1,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan pukat cincin telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara optimal terutama dalam pemanfaatan variable input yang digunakan untuk operasi penangkapan. Namun pada musim peralihan nilai efisiensi sedikit lebih kecil (0,53) dibanding pada musim barat (0,65) dan musim timur dengan nilai efisiensi (0,71). Sementara beberapa kapal yang pencapaian nilai efisiensinya tidak optimal (nilai efisiensi < 1,00) telah terjadi kelebihan kapasitas input, sehingga kapal-kapal tersebut perlu mengurangi input yang berlebih untuk meningkatkan nilai efisiensi penangkapannya. Indikasi ketidak efisienan unit penangkapan terindikasi dari semakin banyak energi, dana dan waktu yang dikerahkan untuk memperoleh ikan serta semakin kecilnya individu ikan yang tertangkap dan penurunan total produksi perikanan (Gordon 1954). Jika kapasitas perikanan dikendalikan maka produksi perikanan pukat cincin sebenarnya mampu ditingkatkan mencapai produksi yang optimal. Misalkan berdasarkan hasil analisis single output yang sesuai kapasitas perikanan pukat cincin yang berbasis di Sibolga pada musim barat, timur dan musim peralihan masing-masing adalah 52%, 40% dan 87% lebih besar dari produksi aktual. Sehingga berdasarkan pendekatan musim tersebut (barat, timur dan peralihan) masing-masing mengurangi kapasitas sebesar 35%, 29% dan 47% akan memungkinkan output saat ini diproduksi optimal secara ekonomi. Dilihat dari tingkat pemanfaatan input variable (VIU) pukat cincin dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisien teknis. Berdasarkan tingkat pemanfaatan input variabel menunjukkan bahwa pada musim barat, Timur dan musim peralihan telah terjadi surplus penggunaan input sehingga perlu mengurangi input tersebut (Fare et al. 1994). Untuk meningkatkan efisiensi kapasitas penangkapan kapal pukat cincin, secara teknis dapat ditingkatkan efisiensinya pada musim barat, Timur dan musim peralihan dengan cara mengurangi pada input variabel yang berlebih yaitu trip, hari operasi (HOP), ABK, BBM, es, dan biaya operasi yang menjadi instrument dalam pengendalian kapasitas penangkapan pukat cincin. Hal serupa terjadi pula pada pukat cincin di Bone (Watampone) yang beroperasi di Laut Flores, Teluk Bone dan perairan Sulawesi Tenggara bahwa pemanfaatan input secara berlebih terjadi pada beberapa pukat cincin sehingga optimalisasi kapasitas penangkapan dapat dilakukan perbaikan dengan terutama mengurangi penggunaan input variable yaitu BBM, es, dan pengurangan hari operasi (Hufiadi & Nurdin 2013).
KESIMPULAN
Perikanan pukat cincin Sibolga yang aktif beroperasi di perairan Samudera Hindia mengkombinasikan penggunaan alat bantu cahaya (lampu) dan rumpon. Penggunaan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
227
cahaya pada perikanan pukat cincin cenderung semakin besar telah mencapai >30kW. Penggunaan intensitas cahaya yang digunakan perikanan pukat cincin jauh melebihi nilai intensitas yang ditetapkan dalam Kepmen KP No. 02/ 2011 (maksimal 16kW). •
Kapasitas penangkapan pukat cincin yang berbasis di Sibolga pada musim timur tingkat efisiensinya lebih tinggi dibandingkan pada musim barat dan Peralihan. Sementara musim peralihan mempunyai nilai efisiensi teknis yang paling rendah.
Secara teknis, untuk meningkatkan efisiensi penangkapan pada ketiga musim penangkapan perlu strategi pengurangan pada input variabel berkaitan dalam menghemat operasional penangkapan terutama pengurangan BBM dan es pada musim barat dan Timur, sedang pada musim peralihan mengurangi jumlah trip dan konsumsi es.
SARAN Perlu didorong untuk penegakan aturan perundangan yang berlaku bagi perikanan pukat cincin terkait dengan penggunaan intensitas cahaya (lampu) sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dapat dilakukan secara bertanggung jawab.
PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset pengkajian kapasitas penangkapan perikanan pukatcincin, pancing tonda dan rawai tuna di perairan Samudera Hindia (WPP 572 dan WPP 573).
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2012. Statistik Nasional Perikanan Tangkap 2010. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Coelli TJ, Rao DSP, O’Donnel CJ, Bettese GE. 2005. An Introduction to efficiency and productivity Analisys. New York, USA. Springer Science Bussiness Media, LLC.347 pp. Cooper, W.C., L.M. Seiford, Tone, & Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. (FAO) Food and Agriculture Organisation of The Unit Nation. 1998. Report of the Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Report No.586.
228
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Fare R, Grosskorpf S, Kokkelenberg EC. 1989. Mesuring Plant Capacity, Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. International Economic Review 30: 655-666. Fare
R, Grosskopf S, Lovell C.A.K. 1994. Production Kingdom:CambridgeUniversity Press. 296. pp.
Frontiers.
United
Gordon, H.S. 1954. The economic theory of a common property resource. The Fishery Journal of Political Economy. 62: 124-142. Hufiadi, & E.S. Wiyono. 2009. Konsentrasi dan tingkat efisiensi penangkapan pukat cincin pekalongan pada beberapa daerah penangkapan. J.Lit. Perikan. Ind. 16 (2): 83-171. Hufiadi, Mahiswara, & T.W. Budiarti. 2011. Tingkat efisiensi kapasitas perikanan pukat cincin Banda Aceh. J.Lit. Perikan. Ind. 17 (3): 169-175. Hufiadi, & E. Nurdin. 2013. Efisiensi penangkapan pukat cincin watampone di beberapa daerah penangkapan. J.Lit. Perikan. Ind. 19 (1): 39-45. Metzner, R. 2005. Fishing Aspiration & Fishing Capacity Key Management Issues. Paper Presented in Conference on The Governance of High Seas Fisheries and the Fish Agrement: Moving from words to Action. International Journal Marine and Costal Law 20 (3-4): 469-478.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
229
230
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
EFESIENSI TEKNIS PANCING TONDA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA (STUDI KASUS DI PPP TAMPERAN, PACITAN, JAWA TIMUR) Baihaqi*, Hufiadi* dan Helman Nur Yusuf* *Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut e-mail : [email protected]
ABSTRAK Kondisi perikanan pancing tonda yang melakukan operasi penangkapan di Samudera Hindia telah mengalami peningkatan upaya penangkapan. Perubahan peningkatan upaya penangkapan tersebut dapat berpengaruh terhadap efisiensi penangkapannya. Kontrol terhadap upaya penangkapan yang berlebih senantiasa mengalami kendala karena kurangnya data dan informasi hasil kajian/ penelitian untuk dijadikan sebagai dasar dalam menentukan suatu kebijakan. Penelitian kapasitas penangkapan diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dalam pemanfataan sumberdaya ikan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat efesiensi teknis armada penangkapan pancing tonda yang berbasis di PPP Tamperan, Jawa Timur. Kapasitas penangkapan dikaji menggunakan analisis teknik data envelopment analysis (DEA) dengan menggunakan program linier. Hasil penghitungan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pancing tonda dengan single output diperoleh rata-rata nilai efisiensi sebesar 0,63 dengan kisaran nilai efisiensi yang dicapai sebesar 0,05 - 1,00 dari 41 kapal pancing tonda. Tingkat pemanfaatan input variabel (VIU) berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Secara umum tingkat pemanfaatan input variabel pancing tonda yang berbasis di Pacitan nilai VIU sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU = 1,00. Berdasarkan hasil perhitungan DEA dengan single output, efisiensi pancing tonda secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi jumlah trip 7,01%, pengurangan jumlah hari operasi (HOP) 11,87%, konsumsi BBM 19,17%, konsumsi es 10,18% dan mengurangi biaya operasional 19,07%. Dengan mengoptimalkan setiap input yang ada diharapkan efesiensi teknis kapal penangkap pancing tuna dapat terpenuhi. Kata kunci : efesiensi teknis, pancing tonda, Samudera Hindia, Pacitan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
231
PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan kegiatan ekonomi yang dikendalikan pasar. Sebagai konsekuensinya, meningkatnya kebutuhan pasokan ikan akan mengakibatkan terjadinya peningkatan upaya penangkapan ikan yang mendorong eksploitasi sumberdaya ikan menjadi lebih intensif. Salah satu akar permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya ikan adalah terjadinya kapasitas berlebih dari input produksi usaha perikanan tangkap, karena sulitnya mengendalikan peningkatan upaya penangkapan ikan. Guna mengatasi masalah tersebut diperlukan terobosan baru dengan mempertimbangkan aspek kapasitas penangkapan ikan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Salah satu pendekatan alternatif tersebut adalah model pengelolaan kapasitas penangkapan ikan. Model pengelolaan perikanan ini memungkinkan pengambilan kebijakan dengan menentukan langkah yang lebih konkrit dalam mengatasi kapasitas berlebih melalui pengurangan input produksi usaha perikanan tangkap. FAO (1998) mendefinisikan kapasitas penangkapan berdasarkan target (target capacity) adalah ”maksimum jumlah ikan dalam periode tertentu yang dapat diproduksi oleh satu armada perikanan jika (kapasitasnya) dimanfaatkan penuh, bersamaan dengan itu memenuhi tujuan pengelolaan yang dirancang untuk memastikan kelestariannya”. Dalam jangka pendek, kebijakan pengendalian input produksi seperti pembatasan jumlah kapal akan mengurangi hasil tangkapan aktual, tetapi dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh berupa peningkatan kapasitas penangkapan (Metzner, 2005). Dalam pemilihan kebijakan pengendalian input tersebut seyogyanya dilakukan dengan hati-hati dan tidak ditetapkan secara general sepanjang waktu, oleh karena akan berdampak besar terhadap sosial masyarakat perikanan. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan pengelolaan perikanan dengan mempertimbangkan ketersediaan stok ikan berdasarkan musim dan kapasitas penangkapan. Eksploitasi sumberdaya ikan tuna dan sejenis di perairan Samudera Hindia dilakukan oleh usaha perikanan skala industri dan skala kecil. Pancing tonda dan pukat cincin merupakan tipe alat tangkap yang umum dioperasikan untuk penangkapan ikan tuna pada perikanan skala kecil. Perikanan pancing tonda cenderung terus berkembang. Perkembangan pada perikanan pancing tonda dapat dilihat terutama di Bungus, Sumatera Barat dan di sepanjang pantai selatan Jawa yaitu di Palabuhanratu, Prigi, Sadeng, Pacitan dan Sendangbiru. Dalam perkembangannya banyak armada yang sebelumnya mengoperasikan jaring insang hanyut beralih mengoperasikan pancing tonda dengan terlebih dahulu merubah pada beberapa bagian utama kapal jaring insang (gillnet) ke bentuk kapal pancing tonda pada umumnya. Kondisi perikanan pancing tonda yang melakukan operasi di Samudera Hindia telah mengalami peningkatan upaya penangkapan. Perubahan peningkatan upaya penangkapan 232
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
tersebut dapat berpengaruh terhadap efisiensi penangkapannya. Kontrol terhadap upaya penangkapan yang berlebih senantiasa mengalami kendala karena kurangnya data dan informasi hasil kajian/penelitian untuk dijadikan sebagai dasar dalam menentukan suatu kebijakan. Penelitian kapasitas penangkapan diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dalam pemanfataan sumberdaya ikan. Hasil penelitian kapasitas penangkapan, tidak akan serta merta merekomendasikan untuk mengurangi jumlah armada penangkapan dalam mengelola sumberdaya ikan, namun memberikan opsi untuk dapat mengontrol inputan yang ada dalam suatu unit penangkapan agar diperoleh keluaran yang maksimal dengan tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya dan usaha penangkapan ikan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Desember 2013 di PPP Tamperan, Pacitan, Jawa Timur. Pengumpulan Data Penelitian ini menerapkan metode survei yaitu untuk menggali data dan informasi terkait teknis operasional dan karakteristik kapal dan alat tangkap serta hasil tangkapan setiap unit kapal. Pengumpulan data dilakukan di tempat pendaratan ikan (PPP Tamperan). Penentuan sampel unit penangkapan dilakukan secara sengaja untuk unit penangkapan yang mempunyai kelengkapan data. Jumlah keseluruhan kapal sampel yang berhasil dihimpun sebanyak 41 kapal sampel. Data primer dikumpulkan dari hasil wawancara dengan nelayan dan pencatatan enumerator. Data yang dihimpun meliputi: dimensi kapal, kekuatan kapal (HP), jumlah ABK (orang), konsumsi bahan bakar minyak (liter), es, jumlah hari di laut, daerah penangkapan, sedangkan aspek output yang digunakan adalah data hasil tangkapan. Analisis Data Untuk mengetahui kapasitas penangkapan, data dianalisis dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan menggunakan pendekatan Banker, Charnes and Cooper (BCC) (Cooper et al, 2004). Model analisis DEA yang digunakan dalam analisis efisiensi bersifat variable return to scale (VRS). Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasikan, diolah dan dianalisis dengan serangkaian metode dan masing-masing disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. Pengukuran efisiensi penangkapan dilakukan dengan menggunakan teknik DEA. Data dianalisis menggunakan program linear dengan bantuan software Data Envelopment Analysis Programming (DEAP) kemudian analisis dilanjutkan dengan menggunakan program
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
233
Microsoft Excel versi 2007. Pertama kali ditentukan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x. Ada m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989) :
TE = Max θ1
...................................... .............................................. 1 TE (technical efficiency) θ , z ,λ
Sebagai kendala J
θ1 u jm ≤ ∑ z j u jm ,
∑z ∑z jJ=1
j =1
(output dibandingkan DMU; decision making unit)
j =1
J
j
x jn ≤ x jn ,
n∈ xf
j
x jn = λ jn x jn ,
n ∈ xv
z j ≥ 0, j = 1,2,..., J ,
λ jn ≥ 0, n =1,2,..., N . Dengan keterangan, zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; θ1 nilai efisiensi teknis atau proporsi di mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan λ*jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan input secara optimum xjn terhadap pemanfaatan input dari pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output, TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan θ1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (C U ) , berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut: u 1 = * * θ1 u θ1 ……………………………………………………2 Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal TECU =
yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masingmasing DMU sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). Analisis pola musim penangkapan ikan menggunakan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis) (Spiegel, 1961). Prosedurnya ialah sebagai berikut:
234
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
1. Hitung tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam setahun (U ) . U =
1 m ∑U i ……………….………. (1) m i =1 U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip)
U i = CPUE per bulan (ton/trip)
m = 12 (jumlah bulan dalam setahun)
2. Up adalah rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen : Ui x 100 % ………………..… (2) U 3. Indeks musim penangkapan dihitung dengan rumus : Up =
1 t ∑U p ..……….………….. t i =1 IMi = Indeks Musim ke i IMi =
t
(3)
= Jumlah tahun dari data
Jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang.
HASIL DAN BAHASAN HASIL Kondisi Umum Unit Penangkapan Pancing Tonda Pancing tonda merupakan alat tangkap yang cukup berkembang di PPP Tamperan. Seperti wilayah perairan selatan Jawa pada umumnya, seiring dengan berkembangnya alat bantu penangkapan rumpon, perikanan pancing terus mengalami perkembangan. Perkembangan jumlah unit pancing tonda di PPP Tamperan tidak terlepas dari aktivitas nelayan andon yang berasal dari daerah Sinjai, Sulawesi Selatan. Meskipun sifatnya sementara, namun PPP Tamperan tetap mencatat sebagai unit penangkapan yang berbasis di wilayahnya. Kapal yang digunakan untuk pengoperasian pancing tonda terbuat dari bahan kayu (Gambar 1). Tenaga penggerak utama kapal pancing tonda menggunakan mesin dengan kekuatan berkisar antara 20 – 30 PK dan dilengkapi dengan mesin bantu dengan kekuatan yang sama. Jumlah ABK dalam satu unit penangkapan pancing tonda berjumlah antara 3 – 6 orang. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
235
Spesifikasi unit penangkapan pancing tonda disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Dimensi utama dan operasional unit penangkapan pancing tonda No 1
Item
Keterangan
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bahan utama Dimensi utama Kapal : Panjang (P) Lebar (L) Dalam (D) GT (Ton) Mesin utama/induk (PK) Mesin gardan (PK) Kapasitas Palkah ABK (orang) Daerah penangkapan Jumlah hari di laut/trip Jumlah hari efektif operasi alat tkp. Jumlah tawur per hari Total hasil tangkapan (Ton)
Kayu 10.5 - 17 m 2 - 3,7 m 0,8 - 1,55 m 5 - 15 GT 23 - 30PK 22 - 30PK 3 Ton 3 - 6 orang Samudera Hindia Selatan Jawa 3 - 15 hari 2 - 12 hari 2 - 12 kali 70 – 3.328 kg/ trip
12
Jenis ikan hasil tangkapan dominan
Tuna, cakalang dan lemadang
13 14 15 16 17
Es (balok) BBM (liter) Air (liter) Perbekalan konsumsi (Rp) Total biaya logistik operasional (Rp)
18 - 78 balok 290 – 660 liter 230 –670 liter 1.017.500 - 5.572.500 2.919.500 - 9.567.500
2
Gambar 1. Armada penangkapan pancing tonda 236
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Pancing tonda yang dioperasikan nelayan Tamperan umumnya menggunakan mata pancing dengan ukuran no. 7 dan 8. Pada mata pancing dipasangi rumbai benang sutra sebagai atraktan yang berfungsi sebagai umpan buatan. Jumlah mata pancing yang digunakan berkisar antara 35 – 50 buah mata pancing. Pemberat pada pancing tonda diletakkan pada bagian tengah, jumlah 1 buah dan bobot 500 gr. Snapper digunakan dalam konstruksi pancing tonda untuk memudahkan pemasangan, sementara kili – kili (swivel) merupakan perangkat penting untuk menghindari kusut tali pancing. Jarak pemasangan antar tali cabang yang diujungnya telah dipasang mata pancing 1,5 m, dan panjang setiap tali cabang 30 cm. Untuk memudahkan penyimpanan digunakan gulungan pancing. Deskripsi alat tangkap pancing tonda disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Deskripsi alat tangkap pancing tonda dan cara pengoperasiannya Musim dan Daerah Penangkapan Musim penangkapanikan di PPP Tamperan dan sekitarnya merupakan indikator kedatangan nelayan – nelayan andon yang berasal dari Sinjai, dimana nelayan andon datang ke PPP Tamperan 1 – 2 bulan sebelum musim penangkapan ikan di PPP Tamperan dimulai. Gambar 3, menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan di PPP Tamperan terjadi pada bulan Mei – Oktober, dengan puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Juni - Agustus. Musim paceklik di PPP Tamperan terjadi pada bulan November – April, dimana hasil tangkapan nelayan cenderung rendah. Hal ini menyebabkan nelayan andon terbiasa datang ke PPP Tamperan pada bulan Maret – April dan kembali lagi ke wilayah masing – masing pada bulan November.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
237
Gambar 3. Grafik indeks musim penangkapan ikan Rumpon merupakan alat bantu penangkapan utama yang diperlukan bagi unit penangkapan pancing tonda. Rumpon dipasang jauh hari sebelum dilakukan operasi penangkapan, unit rumpon dipelihara dengan menggantikan atraktan yang terbuat dari daun kelapa, secara periodik atau ketika sudah tidak produktif. Operasi penangkapan dengan pancing tonda biasanya bergerak dimulai dari rumpon yang terdekat dan terus bergerak ke posisi rumpon yang semakin jauh dari basis penangkapan. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dihimpun, daerah penanaman rumpon mencapai jarak lebih dari 100 mil dari PPP Tamperan, pada kedalaman perairan lebih dari 1500 m. Gambaran daerah pengoperasian kapal pancing tonda yang berbasis di PPP Tamperan disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Lokasi pemasangan rumpon sebagai daerah penangkapan
238
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
pancing tonda di PPP Tamperan Efesiensi Teknis Perikanan Pancing Tonda Hasil penghitungan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pancing tonda yang aktif beroperasi di Pacitan dengan single output diperoleh rata-rata nilai efisiensi sebesar 0,63 dengan kisaran nilai efisiensi yang dicapai sebesar 0,05 - 1,00. Secara rinci hasil analisis dari 41 kapal pancing tonda, terdapat 19 (46,34%) armada mencapai efisiensi yang optimal yaitu ditunjukkan dengan nilai efisiensi mencapai 1,00, sementara armada lainnya yaitu 22 kapal (53,66%) tidak optimal yang ditunjukkan dengan nilai efisiensi < 1,00 (Gambar 5).
Gambar 5. Distribusi efisiensi armada pancing tonda Pacitan Tingkat pemanfaatan input variabel (VIU) pancing tonda dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisien teknis. Jika rasio VIU kurang dari satu (1,00) maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga perlu mengurangi penggunaan input tersebut (Fare et al. 1989). Secara umum tingkat pemanfaatan input variabel pancing tonda yang berbasis di Pacitan nilai VIU sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU = 1,00 sedangkan nilai VIU<1,00 menunjukkan tidak efisien (Gambar 6).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
239
Gambar 6. Distribusi pemanfaatan variabel input pancing tonda Pacitan Berdasarkan hasil perhitungan DEA dengan single output, efisiensi pancing tonda secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi input variabel terutama mengurangi jumlah trip 7,01%, pengurangan jumlah hari operasi (HOP) 11,87%, konsumsi BBM 19,17%, konsumsi es 10,18% dan mengurangi biaya operasional 19,07%. Lebih lengkapnya rata-rata proyeksi perbaikan efisiensi pancing tonda pacitan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata tingkat kapasitas berlebih, pemanfaatan input variabel dan potensi perbaikan efisiensi. Uraian 1. Kapasitas Berlebih (%)
Hari Operasi (HOP)
-13,669
ABK
-5,391
BBM
-5,510
Es
-16,229
Biaya
-6,159
GT
-2,246
Panjang kapal
-5,752
Lebar kapal
-1,512
2. Tingkat VIU
240
Persen
Hari Operasi (HOP)
0,86
ABK
0,95
BBM
0,94
Es
0,84
Biaya
0,94
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
3. Potensi Perbaikan (%)
Hari Operasi (HOP)
24.21
ABK
9,55
BBM
9,76
Es
28,74
Biaya
10,91
GT
3,98
Panjang kapal
10,19
Lebar kapal
2,68
BAHASAN Upaya peningkatan efisiensi armada penangkapan oleh nelayan dilakukan dengan menambah kekuatan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan yang berdampak pada peningkatan kapasitas penangkapan ikan. Dalam perkembangan inovasi teknologi yang dilakukan oleh nelayan pancing tonda di PPP Tamperan menggunakan alat bantu rumpon sebagai upaya untuk meningkatkan efesiensi penangkapannya. Menurut Mathiesen (2005) Strategi nelayan untuk keberlanjutan usaha dan mengurangi dampak ketidakpastian hasil tangkapan dapat dilakukan dengan cara menentukan dimana, kapan dan bagaimana taktik dalam menangkap ikan yang harus diterapkan. Sedangkan berdasarkan Smith & Hanna (1990), komponen kapasitas penangkapan dapat dirumuskan dengan menentukan jumlah kapal, ukuran tiap kapal, efisiensi teknis operasional kapal, kemampuan waktu penangkapan tiap kapal pada tiap periode waktu (tahun atau musim). Berdasarkan pada hasil perhitungan DEA terhadap pancing tonda di PPP Tamperan, penghitungan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pancing tonda yang aktif beroperasi di Pacitan dengan single output diperoleh rata-rata nilai efisiensi sebesar 0,63 dengan kisaran nilai efisiensi yang dicapai sebesar 0,05 - 1,00. Pencapaian nilai efisiensi tersebut, menunjukkan bahwa perikanan pancing tonda di PPP Tamperan secara umum berada pada tingkat efisiensi di bawah optimal dan tingkat input yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas yang seharusnya (optimal). Untuk meningkatkan produksi perikanan pancing tonda mencapai produksi yang potensial, efisiensi pancing tonda secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi input variabel terutama mengurangi jumlah trip 7,01%, pengurangan jumlah hari operasi (HOP) 11,87%, konsumsi BBM 19,17%, konsumsi es 10,18% dan mengurangi biaya operasional 19,07%. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
241
Upaya perbaikan kapasitas diperlukan dengan cara mengurangi input yang berlebih. Agar tingkat kapasitas pemanfaatan optimal dapat dilakukan dengan menambah output atau mengurangi input (Kirkley & Squaire, 1999). Hasil kajian kapasitas ini menunjukkan bahwa armada penangkapan pancing tonda di PPP Tamperan perlu meningkatkan efisiensi penangkapannya dengan mengoptimalkan inputinput secara tidak berlebih, diantaranya jumlah hari operasi, penggunaan BBM dan es serta biaya operasional penangkapan.
KESIMPULAN Dari pencapaian nilai efisiensi pancing tonda di PPP Tamperan, PPP Tamperan, diperoleh rata-rata nilai efisiensi sebesar 0,63 dengan kisaran nilai efisiensi yang dicapai sebesar 0,05 1,00. Pencapaian nilai efisiensi tersebut, menunjukkan bahwa perikanan pancing tonda di PPP Tamperan secara umum berada pada tingkat efisiensi di bawah optimal dan tingkat input yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas yang seharusnya (optimal). Untuk meningkatkan produksi perikanan pancing tonda mencapai produksi yang potensial, efisiensi pancing tonda secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi input variabel terutama mengurangi jumlah trip 7,01%, pengurangan jumlah hari operasi (HOP) 11,87%, konsumsi BBM 19,17%, konsumsi es 10,18% dan mengurangi biaya operasional 19,07%.
PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset Pengkajian Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Cincin, Pancing Tonda dan Rawai Tuna di Samudera Hindia (WPP 572 dan WPP 573) Tahun Anggaran 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA Cooper, W.C., L.M. Seiford, Tone & Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. FAO (Food and Agriculture Organisation of The Unit Nation). 1998. Report of the Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Report No.586
242
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Fare R., Grosskopf S. & EC Kokkelenberg. 1989. Measuring Plan Capacity, Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. International Economic Review 30:655-666. Fletcher et al., 1988. Trace Element Deficiencies and Immune Responsiveness in Human and Animal Models. In: Nutrition and Immunology, Chandra, R.K. (Ed.). Alan, R. Liss Inc., New York, USA. Kirkley J.E. & D.E. Squires. 1999. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Greboval D, Editor. Managing Fishing capacity. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 386:75-2000. Mathiesen, C. 2005. Analitycal framework for studying fishers’ behavior and adaptation strategies. Institute of fisheries Management and Coastal Community Development (IFM), Denmark. Metzner R. 2005. Fishing Aspiration & Fishing Capacity Key Management Issues. Paper Presented in Conference on The Governance of High Seas Fisheries and the Fish Agrement: Moving from words to Action. International Journal Marine and Costal Law 20 (3-4): 469-478 Smith, C. L., & S. S. Hanna. 1990. Measuring Fleet Capacity and Capacity Utilization. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science. 47. Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co., NewYork. 359 p.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
243
244
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PENGARUH KECEPATAN SETTING KAPAL TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN (PURSE SEINE) DIPERAIRAN LAUT PACITAN, JAWA TIMUR EFFECT OF BOAT SETTING SPEED ON PUKAT CINCIN (PURSE SEINE) CATCHES IN PACITAN SEA WATERS , EAST JAVA Helman Nur Yusuf, Mahiswara dan Baihaqi Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected] [email protected]
ABSTRAK Pukat cincin merupakan alat tangkap yang efektif dalam menangkap ikan. Keberhasilan operasi penangkapan pukat cincin salah satunya dipengaruhi oleh kecepatan kapal saat melingkari gerombolan ikan (schooling of fish), kecepatan tarik tali kolor, kecepatan tenggelamnya jaring disamping faktor lain seperti ukuran kapal, alat tangkap, tenaga mesin dan keahlian ABK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor produksi tersebut terhadap hasil tangkapan pukat cincin di Perairan Pacitan, Jawa Timur. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2013 dengan mengunakan kapal KM. Inka Mina 27. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan mengunakan persamaan regresi linear sederhana berganda Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3. Hasil penelitian menghasilkan nilai Y = 586,3 + 2,99 X1 - 58,03 X2 + 52,20 X3. Koefisien determinasi pengaruh faktor-faktor produksi terhadap hasil tangkapan sebesar 73,72 %, sehingga faktor produksi tersebut dapat menjelaskan seberapa besar pengaruhnya pada hasil tangkapan pukat cincin. KATA KUNCI: Pukat cincin, faktor produksi, Pacitan ABSTRAC Purse seine fishing is an effective tool in catching fish. The success of purse seine fishing operations is influenced by the speed of the boat when circling schools of fish (schooling of fish), speed rope pull drawstring, the sinking speed of the net in addition to other factors such as the size of the vessel, fishing gear, engine power and crew skills. The purpose of this study was to determine the effect of these factors on the production of purse seine catches in the waters Pacitan, East Java. The study was conducted in October-December 2013 by using the ship KM. Inka Mina 27. The research method used is a case study by using a simple linear multiple regression equation Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3. The results of the study resulted in the value of Y = 586.3 + 2.99 X1 - X2 + 52.20 58.03 X3. The coefficient of determination the
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
245
influence of the factors of production amounted to 73.72% of the catch, so that the production factor can explain how big influence on purse seine catches. KEYWORDS: Purse seine, factors of production, Pacitan
PENDAHULUAN Pukat cincin (purse seine) merupakan salah satu alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan pelagis. Target alat tangkap tersebut adalah ikan pelagis, terutama yang bernilai ekonomis tinggi dan menguntungkan bagi nelayan. Pukat cincin mulai diperkenalkan di Pantai Utara Jawa tahun 1970-an dan berkembang sampai sekarang dan menyebar ke daerah lain khususnya Perairan Pacitan. Pengoperasian alat tangkap dengan melingkarkan jaring pada gerombolan ikan, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan dengan cara menarik tali kolor (purse line) hingga ikan tidak bisa meloloskan diri karena jaring sudah berbentuk seperti mangkok. Kapal pukat cincin sebaiknya dijalankan dengan cepat ketika melingkarkan jaring dan setelah itu purse line segera ditarik sehingga jaring akan mengurung gerombolan ikan dengan cepat (Ayodhyoa, 1981). Dalam pengoperasiannya pukat cincin biasanya menggunakan rumpon dan cahaya sebagai alat bantu penangkapan yang berperan sebagai pemikat, pengumpul, reproduksi dan pelindung ikan (traffic living). Lokasi tempat pemasangan rumpon merupakan daerah penangkapan ikan bagi pukat cincin. Keberhasilan operasi penangkapan dengan pukat cincin tergantung tempat dan waktu pemikatan dilakukan. Perpanjangan waktu senggang setelah pengangkatan rumpon hingga saat dimulainya setting dan perpanjangan lama setting cenderung mendukung kesempurnaan tertangkapnya gerombolan ikan yang dilingkari (Sondita, 1986). Keberhasilan operasi penangkapan pukat cincin salah satunya dipengaruhi oleh kecepatan kapal dalam melingkari gerombolan ikan (setting), disamping faktor lain seperti ukuran kapal, ukuran alat tangkap, tenaga mesin, keahlian, rumpon dan kecepatan ABK dalam menarik jaring serta densitas ikan yang ada di sekitar rumpon. Menurut Sahwan (1982), faktor yang mempengaruhi kecepatan pelingkaran gcrombolan ikan diantaranya adalah Gross Tonnage (GT) kapal dan Horse Power (tenaga mesin) yang akan mempengaruhi kecepatan kapal. Faktor ukuran alat tangkap juga dapat mempengaruhi kecepatan pelingkaran jaring. Penelitian mengenai dampak kecepatan kapal saat setting terhadap hasil tangkapan pukat cincin (purse seine) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak kecepatan setting kapal terhadap komposisi atau jumlah hasil tangkapan ikan di perairan Pacitan , Jawa Timur 246
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
dengan asumsi besarnya gerombolan ikan yang ada di sekitar rumpon setiap kali setting dan faktor lainnya dianggap sama. Hasil Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang pengaruh kecepatan setting kapal terhadap hasil tangkapan yang maksimal pada setiap kali operasi penangkapan ikan.
BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Penelitian menggunakan dua armada pukat cincin (purse seine) yang dioperasikan diperairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Stop watch digunakan untuk mengukur waktu lingkar. Data primer diperoleh dengan mengikuti operasi penangkapan pada dua armada pukat cincin dan wawancara dengan 14 nakhoda, pemilik kapal dan ABKnya.
Metode Analisis kecepatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksperimen. Hipotesis yang ingin diteliti yaitu diduga kecepatan kapal dalam pelingkaran alat (operasional purse seine), kecepatan tenggelamnya purse seine dan kecepatan menarik tali kolor (purse line) dapat memberikan hasil yang optimal terhadap jumlah tangkapan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan pemodelan operasional kapal purse seine terhadap hasil penangkapan yang optimal didapatkan dengan merumuskan pengujian ketahanan kapal dan kecepatan kapal dalam pelingkaran jaring pukat cincin, dan seberapa besar faktor-faktor tunggal tersebut gan atau interaksi dari faktor-faktor tunggal yang diujikan tersebut. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober sampai November 2013.
Analisis Data Variasi peubah dari tiga komponen utama pada penelitian adalah kecepatan kapal dalam setting purse seine, kecepatan turunnya jaring serta kecepatan penarikan talli ris atas dan bawah. Ikan hasil penangkapan akan diklasifikasikan kedalam jenis, ukuran dan banyaknya ikan yang tertangkap. Data dari ketiga komponen ini kemudian akan dianalisis untuk mengetahui optimalisasi penangkapan yang kemudian menghasilkan model matematis operasional penangkapan ikan pelagis kecil dengan alat tangkap pukat cincin. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan analisis regresi berganda dengan hubungan fungsional antara variable dependen (Y) dengan variable independen adalah Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 (Walpole,E.R. 1995).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
247
Keterangan : Y
=
Variabel dependen (Nilai estimasi optimalisasi hasil penangkapan
a
=
Nilai Y pada perpotongan antara garis linear dengan sumbu
=
Nilai variable independen (Kecepatan kapal dalam setting,
vertical Y X1, X2, X3
kecepatan tenggelamnya jaring dan kecepatan penarikan tali ris) b1, b2, b3
=
Slope yang berhubungan dengan variable X1, X2 dan X3
Untuk menguji pengaruh variabel bebas (X1, X2 dan X3) secara simultan terhadap variabel terikat (Y) dilakukan Uji F dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut : Ho: b1 = 0 H1: b1 ≠ 0 Kemudian dibandingkan nilai Fhit, (KTR/KTS) dengan Ftab pada tingkat kepercayaan 0,05 dan 0,01 jika Fhit < Ftab maka gagal tolak Ho, sedangkanj ika Fhit > Ftab maka tolak Ho. Tolak Ho berarti bahwa pada tingkat kepercayaan (1-α) tertentu, faktor kecepatan relatif kapal saat setting (X) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (Y). Sedangkan gagal tolak Ho berarti faktor kecepatan relatif kapal saat seting tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Dari perhitungan nilai koefisien determinasi, semakin besar nilai R, maka kecepatan relatif kapal saat setting semakin, kecepatan penarikan tali kolor dan kecepatan tenggelam jaring dapat menjelaskan hasil tangkapan. Semakin besar nilai r, maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat semakin erat.
HASIL Kecepatan Relatif Kapal Saat Setting Terhadap Hasil Tangkapan Hasil penelitian pada kapal KM. Inka Mina 27 bahwa kecepatan relatif kapal saat setting antara 3,60 – 4,63 (m/detik) menghasilkan hasil tangkapan ikan antara 933 – 1218 kg, dapat dilihat pada gambar 1.
248
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. Pengukuran kecepatan setting kapal terhadap hasil tangkapan ikan pada KM. Inka Mina 27 Hasil tangkapan ikan dengan pukat cincin berdasarkan kecepatan relatif kapal saat setting hasil tangkapan dengan hasil tertinggi sebesar 1.218 kg pada kecepatan 3.60 (m/s). Sedangkan hasil tangkapan terendah sebesar 933 kg pada kecepatan 4,63 (m/s). Hasil perhitungan pada gambar 1. Menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut Y = 11.149,8 + 147,6 X dengan R = 32,42 % dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecepatan relatif kapal saat setting terhadap hasil tangkapan dapa dilihat pada Tabel 1. SK Regresi Sisa Total
db 1 8 9
JK KT 28,241.63 28,241.63 58,862.37 7,357.80 87,104.00
Fhit 3.84
Ftab 5.32
Tabel 1. Sidik ragam pengaruh kecepatan relative kapal saat setting terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27 Hasil sidik ragam menghasilkan Fhit < Ftab sehingga hasil uji F adalah gagal tolak Ho, artinya bahwa kecepatan relatif kapal saat setting tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Dari perhitungan koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) bahwa pengaruh kecepatan relatif kapal saat setting terhadap hasil tangkapan diketahui nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 32,42 % dan koefisien korelasi (r) sebesar 5,69. Dari kedua nilai tersebut dapat dikatakan bahwa pengaruh kecepataan relative kapal saat setting terhadap hasil tangkapan sangat kecil atau dapat pula dikatakan kecepatan relatif kapal saat setting tidak dapat menjelaskan hasil tangkapan pukat cincin
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
249
Kecepatan Penarikan Tali Kolor (purse line) Hasil penelitian pada kapal KM. Inka Mina 27 bahwa kecepatan penarikan tali kolor saat setting antara 1,17 – 2,08 (m/detik) menghasilkan hasil tangkapan ikan antara 933 – 1218 kg, dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh kecepatan tarik tali kolor pukat cincin terhadap hasil tangkapan ikan pada KM. Inka Mina 27 Hasil tangkapan ikan berdasarkan kecepatan penarikan tali kolor saat setting menghasilkan tangkapan tertinggi sebesar 1.218 kg pada kecepatan 3.60 (m/s). Sedangkan hasil tangkapan terendah sebesar 933 kg pada kecepatan 4,63 (m/s). Hasil perhitungan pada gambar 2. Menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut Y^ = 10,669.8 - 76.1 Xdengan R = 7,99 % dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecepatan tarik talir kolor saat setting terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 2. SK
db
JK
KT
Fhit
Ftab
Regresi
1
6,959.38
6,959.38
0.69
5.32
Sisa
8
80,144.62
10,018.08
Total
9
87,104.00
Tabel 2. Sidik ragam pengaruh kecepatan tarik tali kolor saat setting terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27 Hasil sidik ragam menghasilkan Fhit < Ftab sehingga hasil uji F adalah gagal tolak Ho, artinya bahwa kecepatan relatif kapal saat setting tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Dari perhitungan koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) untuk mengetahui besamya hubungan pengaruh kecepatan relatifkapal saat setting terhadap hasil tangkapan diketahui nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 7,99 % dan koefisien korelasi (r) 250
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
sebesar 2,83. Dari kedua nilai tersebut dapat dikatakan pengaruh kecepataan tarik tali kolor saat setting terhadap hasil tangkapan sangat kecil atau dapat pula dikatakan kecepatan tarik kolor saat setting tidak dapat menjelaskan hasil tangkapan pukat cincin
Kecepatan Tengelamnya Jaring Hasil penelitian pada kapal KM. Inka Mina 27 bahwa kecepatan penarikan tali kolor saat setting antara 9 – 12,7 (m/detik) menghasilkan hasil tangkapan ikan antara 933 - 1218 kg, dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Pengukuran kecepatan tenggelam jaring pukat cincin terhadap hasil tangkapan ikan pada KM. Inka Mina 27 Hasil tangkapan ikan berdasarkan kecepatan tenggelamnya jaring saat setting menghasilkan tangkapan tertinggi sebesar 1.197 kg pada kecepatan 12.70 (m/s). Sedangkan hasil tangkapan terendah sebesar 933 kg pada kecepatan 10,00 (m/s). Hasil perhitungan pada gambar 2. Menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut Y^ = 9.993,5 + 53.0 X dengan R2 = 69,37 % dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecepatan tenggelamnya jaring terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 3. SK
db
JK
KT
Fhit
Ftab
Regresi
1
60,420.83
60,420.83
18.12
5.32
Sisa
8
26,683.17
3,335.40
Total
9
87,104.00
Tabel 3. Sidik ragam pengaruh kecepatan tenggelam jaring terhadap hasiltangkapan KM. Inka Mina 27 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
251
Hasil sidik ragam menghasilkan Fhit > Ftab sehingga hasil uji F adalah tolak Ho, artinya bahwa kecepatan tenggelamnya jaring saat setting berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Dari perhitungan koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) untuk mengetahui besamya hubungan pengaruh kecepatan relative kapal saat setting terhadap hasil tangkapan diketahui nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 69,37 % dan koefisien korelasi (r) sebesar 8,33. Dari kedua nilai tersebut dapat dikatakan pengaruh kecepataan tenggelam jaring saat setting terhadap hasil tangkapan relatif besar atau dapat pula dikatakan kecepatan tenggelamnya jaring saat setting dapat menjelaskan hasil tangkapan pukat cincin Analisis hasil faktor-faktor yang berpengaruh terhadapat hasil tangkapan pukat cincin Hasil analisis menghasilkan model pengaruh faktor produksi tersebut terhadap hasil tangkapan nelayan pukat cincin sebagai berikut: Y = 586,3 + 2,99 X1 - 58,03 X2 + 52,20 X3 Dari model di atas terlihat bahwa variabel kecepatan penarikan tali kolor (purse line) memiliki koefisien regresi yang negatif terhadap hasil tangkapan. Sedangkan dua variabel lainnya menghasilkan koefisien regresi yang positif. Pengujian secara bersama untuk memperlihatkan seberapa besar keterkaitan faktor produksi tersebut. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4. Uji F. SK
db
JK
KT
Fhit
Ftab
Regresi
3
64219.74
21406.58
5.61
4.75
Sisa
6
22884.26
3814.043
Total
9
87104
Tabel 4. Sidik ragam pengaruh kecepatan tenggelam jaring terhadap hasil tangkapan KM. Inka Mina 27 Hal ini berarti bahwa ketiga variabel faktor produksi kecepatan setting (X ), kecepatan penarikan tali kolor (X2), dan kecepatan tenggelamnya jaring (X3)
1
secara serempak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan nelayan pukat cincin di daerah penelitian. Keterkaitan atau keeratan hubungan antara variabel ini dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar 73,72%. Koefisien regresi kecepatan setting (a1) sebesar 2,99 yang berarti searah dengan peningkatan hasil tangkapan. Besaran koefisien regresi pada setiap kenaikan kecepatan setting maka akan meningkatkan hasil tangkapan nelayan pukat cincin sebesar 2,9 kg
252
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Koefisien regresi pada kecepatan tarik tali kolor (a2) sebesar -58,03 yang berarti berlawanan arah dengan peningkatan hasil tangkapan. Pengurangan faktor produksi dalam lambatnya kecepatan tarik tali kolor sebesar satu meter (m) maka akan mengurangi hasil tangkapan sebesar 58 kg. Selanjutnya untuk analisis secara parsial, maka uji t digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk melihat pengaruh masing-masing variabel faktor produksi terhadap hasil tangkapan (Tabel 5). Hasil pengujian secara parsial ini memperlihatkan bahwa tidak ada faktor produksi yang memberikan pengaruh nyata secara langsung terhadap hasil tangkapan pukat cincin pada tingkat kepercayaan 95% Sumber
Koefisien regresi
Standard Error koef.
t hit
P-value
Variabel
586.3087345
418.7948675
1.39999
0.211044
X1
2.996893523
84.21791104
0.035585
0.972768
X2
-58.036565
72.85284128
-0.79663
0.456024
X3
52.20372704
17.0525354
3.061347
0.022187
Keterangan : t tabel (0,05) = 4,757 Tabel 5. Hasil Analisis Parsial Faktor Produksi Pukat Cincin dengan Uji t. Faktor produksi kecepatan setting, kecepatan tarik tali kolor dan kecepatan tenggelamnya berpengaruh tidak nyata terhadap hasil tangkapan pukat cincin karena nilai t hitung yang diperoleh lebih kecil daripada nilai t tabel pada tingkat kepercayaan 95%. Faktor produksi kecepatan setting (X1) berpengaruh tidak nyata terhadap hasil tangkapan pukat cincin. Bahwa faktor tersebut dapat di tinggkatkan jika performance kapal dan stabilitas kapal yang baik artinya berpengaruh kepada kecepatan setting dalam melingkarkan jaring pukat cincin tersebut saat setting. Faktor produksi kecepatan tarik tali kolor (X2) tidak berpengaruh dan tidak nyata terhadap hasil tangkapan pukat cincin. Hal ini diduga bahwa gerombolan ikan berkumpul pada area penangkapan (catchable area) di sekitar jaring dan mengikuti pergerakan lingkar jaring tersebut. Faktor produksi kecepatan tenggelamnya jaring (X3) berpengaruh tidak nyata terhadap hasil tangkapan. Bahwa faktor tersebut dapat di tinggkatkan jika adanya penambahan pemberat jaring tersebut dapat membatu proses tenggelamnya jaring, yang sesuai dengan swimming layer ikan yang menjadi target hasil tangkapan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
253
BAHASAN Kecepatan relatif atau kecepatan rata-rata didefinisikan dalam pergeseran atau perubahan kedudukan sebuah benda yang terjadi dalam suatu interval waktu tertentu, Kecepatan rata-rata selama interval waktu tertentu adalah pergeseran dibagi oleh waktu yang berlalu. Kecepatan rata-rata sebanding dengan pergeseran dan arahnya sama (Kane and Sternheim,1991). Sesuai sifat operasinya, yakni berusaha melingkarkan jaring secepat mungkin dan untuk mendapatkan kemampuan berputar
(turning ability) yang besar, maka hendaklah diusahakan nilai L atau panjang kapal tidak seberapa besar. Stabilitas kapal yang tinggi sangat diperlukan mengingat adanya konsentrasi ABK yang berada pada salah satu sisi kapal saat pengoperasian alat tangkap. Nilai D atau kedalaman kapal yang lebih kecil dikehendaki untuk mencegah penaikan titik berat kapal (Ayodhyoa, 1981). Pukat cincin dioperasikan dengan melingkarkan pada gerombolan ikan, baik yang sudah terkumpul dengan bantuan alat bantu penangkapan (rumpon, cahaya lampu), maupun yang dalam posisi bergerak dengan cara diburu (hunting system). Efektivitas pengoperasian pukat cincin ditentukan oleh kecepatan melingkar jaring, kecepatan tenggelam jaring untuk segera membentuk dinding guna menahan gerak kelompok ikan keluar secara horisontal, serta kecepatan untuk menarik tali kolor (purse line) untuk menahan larinya ikan ke arah vertical (bagian bawah jaring) (Sainsbury, 1971). Berdasarkan perhitungan tahanan (resistance) yang dihasilkan jaring, maka kecepatan kapal saat melakukan penurunan jaring diperkirakan 20% lebih rendah dari pada kecepatan kapal saat bergerak bebas lurus (Fridman and Carrothers, 1992). Menurut Nomura and Yamazaki (1977), kecepatan ekonomis kapal akan diperoleh jika perbandingan antara kecepatan kapal (m/detik) dengan akar kuadrat panjang perahu (m) mendekati 1,0, sedangkan untuk perahu cepat perbandingannya lebih besar dari 1,2 dan untuk perahu lambat nilai ini lebih kecil dari 0,8.
Pengujian kecepatan relatif kapal, kecepatan tarik tali kolor dan kecepatan tenggelamnya jaring berdasarkan pendekatan dari tingkah laku ikan, swimming layer yang menjadi target hasil tangkapan yaitu ikan pelagis. Dimana kecepatan renang ikan cakalang dengan diameter tubuh 30 cm kemampuan renang ikan sekitar 1,6 (m/detik) sedangkan ikan layang dengan diameter 15 kemampuan renang ikan sekitar 1,3 (m/detik) menunjukan bahwa kecepatan relatif lebih cepat dari kecepatan renang ikan, namun tingkat keberhasilan hasil tangkapan berbeda, diduga gerombolan ikan meloloskan diri saat tali kolor belum maksimal ditarik, arah renang ikan cenderung kebawah dan tingkat kelolosan gerombolan ikan lebih tinggi. Terlihat dari hasil uji F bahwa kecepatan setting dan kecepatan tenggelam jaring berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan kecepatan penarikan tali kolor tidak pengaruh nyata pada hasil tangkapan. Hal tersebut merujuk pada kecepatan renang ikan bahwa kedua kecepatan yang pergaruh diduga saat jaring dilingkarkan dan proses penenggelaman jaring ikan yang 254
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
menjadi target tangkapan terperangkap pada proses lingkaran dan benaman jaring. Berbeda dengan kecepatan penarikan tali kolor yang tidak mempengaruhi terhadap hasil tangkapan Dimana ikan – ikan tersebut diduga mengikuti pergerakan jaring dan gerombolan ikan idak dapat meloloskan diri karena benaman atau tenggelamnya jaring lebih cepat dari kecepatan renang ikan tersebut dan batas swimming layer ikan sardine, ikan mackerel dan cangkalang sekitar 20 meter sampai dengan 80 meter. Artinya ikan – ikan tersebut sangat kecil dapat meloloskan diri dari perangkap lingkaran jaring. Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), kedalaman jaring pukat cincin harus ditentukan dengan memperhatikan perilaku dari ikan yang akan ditangkap dan kondisi perairan setempat. Minimum lebar dari jaring dimaksudkan untuk mengikuti kedalaman renang dari gerombolan ikan tersebut Menurut Wijopriono dan Genisa (2003), kapal dengan kecepatan yang relatif tinggi dapat menghalangi atau menyaingi kecepatan renang. Scsuai sifat operasinya, yakni berusaha melingkarkan jaring secepat mungkin dan untuk mendapatkan kemampuan berputar (turning
ability) yang besar, maka hendaklah diusahakan nilai L atau panjang kapal tidak seberapa besar. Stabilitas kapal yang tinggi sangat diperlukan mengingat adanya konsentrasi ABK yang berada pada salah satu sisi kapal saat pengoperasian alat tangkap. Nilai D atau kedalaman kapal yang lebih kecil dikehendaki untuk mencegah penaikan titik berat kapal (Ayodhyoa, 1981).
KESIMPULAN Secara simultan faktor – faktor saling keterkaitan dan mempengaruhi pada hasil tangkapan, adanya faktor lain yang tidak berpengruh pada hasil tangkapan Secara parsial terlihat tidak adanya faktor produksi yang sangat berpengaruh pada hasil tangkapan dan hanya berpengaruh tidak nyata pada hasil tangkapan, tidak berpangaruhnya hasil uji f atau uji t pada faktor – faktor produksi haruslah diteliti ulang bahwa seberapa besar faktor-faktor lain seperti ukuran kapal dan alat tangkap, tenaga pengerak, suara mesin,dan keahlian ABK, jumlah lampu, jumlah rumpon dan penempatan rumpon mempengaruhi pada hasil tangkapan.
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa. A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor hal: 31-34 Fridman, A.L. and PJ.G. Carrothers, 1992. Calculation for Fishing Gear Design .FAa-Fishing News Books, Ltd, London. hal: 185-187
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
255
Kane, J.W. and Sternheim, M.M. 1991. Fisika. Edisi Ketiga.Terjemahan P. Silaban dan J. Ibrahim, 1988, Physics. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. hal: 9-14. Nomura, M. and Yamazaki. T. 1977. Fishing Techniques 1. Japan International cooperation Agency, Tokyo, hal 125 – 183 Sahwan, M.F. 1982. Perikanan Laut di Kecamatan Ambunten (Kabupaten SumenepMadura): Analisa dan Kemungkinan Pengembangan Unit-unit Pcnangkapan Ikannya. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Teknik dan Manajemen Penangkapan Ikan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hal: 70-71.
Sainsbury, John C., 1971. Commercial Fishing Methods. Fishing News Ltd., London. 119 p Sondita. M.F.A. 1986 D.R. 1993. Suatu Studi Tentang Peranan Pemikatan Ikan dalam Operasi Purse Seiner Milik PT. Tirtra Raya Mina (Persero) Pekalongan Skripsi ( tidak dipublikasikan), Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertania Bogor, Bogor. Hal: 7-57 Von Brandt, A. 1984 Fish Catching Methods ofThe World. FAO Fishing News Books, Ltd. FarnhamSurrey England. Hal 301-318. Walpole,E.R. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan B. Sumantri, 1982, Introduction to Statistics, 3rd edition. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hal: 340-373.
256
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PERKEMBANGAN CPUE DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (HTS) RAWAI TUNA DI PPS BUNGUS Oleh Wahyuni Nasution, Baihaqi, dan Asep Priatna *Balai Penelitian Perikanan Laut email : [email protected]
ABSTRAK Hasil Tangkap Sampingan (HTS) hampir terdapat pada semua jenis perikanan tangkap di Indonesia, termasuk pada perikanan rawai tuna di Samudera Hindia Barat Sumatera. Target utama hasil tangkapan dari rawai tuna di PPS Bungus adalah jenis ikan madidihang dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Walaupun demikian, banyak jenis-jenis ikan lainnya yang ikut tertangkap sebagai hasil tangkap sampingan. Ikan setuhuk hitam, ikan layaran, ikan marlin dan cucut adalah tergolong ikan hasil tangkap sampingan. laju tangkap hasil tangkap sampingan paling besar yaitu 0.97 ton/trip sedangkan paling rendah adalah 0.06 ton/trip. Dilihat dari musim penangkapan, ikan-ikan target utama paling banyak ditangkap pada bulan Juni. Untuk musim penangkapan ikan tuna berbanding terbalik dengan musim penangkapan ikan hasil tangkap sampingan. Kata kunci : Hasil tangkapan sampingan, Samudera Hindia, PPS Bungus Abstract By-catch almost present in all fishing catch in Indonesia especially in rawai tuna in Indian Ocean, West Sumatera. Main catch of rawai tuna in PPS Bungus are yellow-fin tuna and big-eye tuna (Thunnus obesus), on the other side, many fishes also found as by-catch. Black marlin, layaran, and shark are appertain fish results of by-catch. The biggest catch rate from by-catch is 0.97 ton/trip, whereas the smallest catch rate is 0.06 ton/trip. The fishing season from main catch are on June, with index 130.35. and then the fishing season of tuna are inversely proportional to by-catch fishing season. Key word : by-catch, CPUE, West Sumatera waters
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
257
PENDAHULUAN PPS Bungus merupakan salah satu tempat pendaratan dan industri tuna di barat Sumatera, ditetapkan menjadi Sentra Tuna Kawasan Indonesia Barat pada tahun 2006 dengan tujuan ekspor Jepang (fresh) dan Eropa/Amerika/lokal untuk produk olahannya. Ikan tuna yang diperoleh sebagian besar adalah ikan tuna yang merupakan hasil tangkapan dari kapal penangkap tuna longline. Hasil tangkapan sampingan (HTS) hampir terdapat pada semua jenis perikanan tangkap di Indonesia, termasuk perikanan rawai tuna di Samudera Hindia. kebanyakan jenis HTS merupakan spesies yang tidak diinginkan atau jenis ikan target tapi ukurannya dibawah standar yang diinginkan (yuwana atau ikan muda). HTS atau by-catch diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target pada suatu perikanan tangkap tertentu. Perairan tropis pada umumnya, populasi ikan tuna dan ikan pelagis besar non tuna, hidup pada lingkungan habitat yang sama dan saling berasosiasi di antara spesies, oleh karena itu dalam setiap kegiatan penangkapan ikan tuna, nelayan sering mendapatkan hasil tangkapan sampingan berupa jenis-jenis ikan pelagis besar lainnya seperti ikan setuhuk, layaran, hiu, tenggiri, lemadang, sunglir dan lain-lain. Di perairan Samudera Hindia Barat Sumatera, ikanikan tersebut sering tertangkap bersama ikan tuna oleh rawai tuna (tuna longline) dan pancing ulur (hand line). Menurut Beverlly et. al, (2003) beberapa komoditas pelagis besar non tuna yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran internasional dalam bentuk segar antara lain dari kelompok ikan layaran (sailfish), tenggiri (wahoo), marlin/setuhuk (billfish), sedangkan jenis lainnya walaupun nilainya relatif rendah, tetapi masih dimanfaatkan dalam bentuk olahan. Meningkatnya kebutuhan pasar berdampak pada berkurangnya kelimpahan populasi jenis-jenis ikan yang selama ini menjadi target utama, sehingga komoditas pelagis besar non tuna sampai saat ini semakin banyak menjadi sasaran utama penangkapan. Riset tentang hasil tangkapan sampingan (HTS) belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga ketersediaan data dan informasi tentang perikanan pelagis besar non tuna (HTS) masih sangat langka di Indonesia. Data dan informasi tersebut sangat penting sebagai bahan pengembangan bidang ilmiah perikanan Indonesia, terutama sebagai bahan pendukung penyusunan opsi pengelolaan sumber daya ikan pelagis besar non tuna (HTS).
258
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian menggunakan metode survei dengan melakukan observasi lapang, pengumpulan data dan wawancara. Lokasi pengambilan data yaitu di Pelabuhan Perikanan Samudra Bungus (PPS) di Sumatera Barat dalam selang waktu tahun 2008- 2012. Data hasil tangkapan dan unitnya berupa data sekunder diperoleh dari data statistik perikanan PPS Bungus dalam kurun waktu lima tahun yaitu periode 2008-2012.
Pengumpulan Data Penelitian ini menerapkan metode survei, dilakukan pengumpulan data dan informasi terkait operasional kapal dan alat tangkap serta hasil tangkapan unit kapal rawai tuna yang mendaratkan hasil tangkapan di PPS Bungus.
Analisis Data Analisa hasil tangkapan per upaya menggunakan metode Sparre and Venema, 1999, sebagai berikut : Catch Effort Dimana : CpUE = Catch per Unit Effort CpUE =
Catch = Hasil Tangkapan (g, kg, t) Effort = Jumlah Upaya (trip, unit, tawur) Analisis pola musim penangkapan ikan menggunakan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis) (Spiegel, 1961). Prosedurnya ialah sebagai berikut: 1.
Hitung tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam setahun (U ) . U =
1 m ∑U i ……………….………. (1) m i =1 U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip)
U i = CPUE per bulan (ton/trip)
m = 12 (jumlah bulan dalam setahun)
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
259
2. Up adalah rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen : Ui x 100 % ………………..… (2) U 3. Indeks musim penangkapan dihitung dengan rumus : Up =
1 t ∑U p ..……….………….. t i =1 IMi = Indeks Musim ke i IMi =
t
(3)
= Jumlah tahun dari data
Jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang. HASIL DAN BAHASAN HASIL Kondisi umum perikanan tangkap di PPS Bungus PPS Bungus merupakan salah satu tempat pendaratan dan industri tuna di barat Sumatera. PPS Bungus telah ditetapkan menjadi Sentra Tuna Kawasan Indonesia Barat pada tahun 2006. Saat ini terdapat 3 alat tangkap dominan yang berpangkalan di PPS Bungus yang digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis besar maupun pelagis kecil yaitu; rawai tuna, pukat cincin, dan bagan perahu. Data satker PSDKP menunjukkan bahwa pada tahun 2012 kapal rawai tuna yang beraktivitas melalui PPS Bungus berjumlah 46 unit, kapal pukat cincin berjumlah 23 unit, bagan perahu 48 unit, dan pancing tonda hanya tersisa 4 unit. Kapal rawai tuna yang bersandar di PPS Bungus berasal dari Muara Baru (Jakarta) namun pada saat beroperasi di wilayah Samudera Hindia, kapal-kapal rawai tuna ini mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Bungus. Selama tahun 2011 terdapat peningkatan frekuensi kunjungan kapal perikanan 98,01%. Jumlah kapal yang berkunjung di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus tahun 2011 sebanyak 7.655 kali, sedangkan kapal yang melakukan aktivitas seperti mendaratkan ikan, mengisi bahan operasional, dan docking sebanyak 2.710 kapal. Frekuensi kunjungan kapal perikanan berdasarkan jenis alat tangkap, rawai tuna merupakan jenis alat tangkap yang dominan sebanyak 2.361 kali.
260
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Pada tahun 2012, total produksi perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus sebesar 1.873,73 ton, mengalami peningkatan produksi sebesar 48% dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2011, volume pendaratan ikan sebesar 1.267,22 ton (Gambar 1). Berdasarkan keragaman alat tangkap yang digunakan oleh nelayan, maka pada tahun 2012 produksi ikan terbesar dihasilkan oleh alat tangkap longline yaitu sebesar 54% dari total produksi ikan yang didaratkan di PPS Bungus. Komposisi jenis ikan yang didaratkan umumnya didominasi oleh jenis pelagis besar yaitu tuna madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), cakalang (Katsuwonus pelamis), setuhuk hitam (Makaira indica) dan beberapa jenis lainnya dalam jumlah yang relatif kecil (Gambar 2).
Gambar 1. Perkembangan produksi ikan tahun 2007-2012 berdasarkan alat tangkap yang digunakan yang didaratkan di PPS Bungus
Gambar 2. Presentasi komposisi hasil tangkapan rawai tuna pada tahun 2008-2013 Rawai tuna merupakan alat tangkap dengan target spesies ikan tuna. Komponen utama alat tangkap rawai tuna terdiri atas pelampung, tali pelampung, tali utama, tali cabang dan mata
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
261
pancing. Saat ini satu unit penangkapan rawai tuna mengoperasikan antara 1.000 – 2.000 mata pancing dalam sekali setting. Setelah digunakan material PA monofilamen untuk tali utama dan tali cabang, umunnya rangkaian tali disusun dalam blong atau karung untuk mempermudah pengoperasian dan pemeliharaan. Bagian dari rangkaian alat tangkap rawai tuna yaitu; pelampung radio (radio buoy), pelampung bola, tali pelampung, tali utama, tali cabang, pancing, kili-kili dan pengait (snapper). Gambar 4 merupakan spesikasi alat tangkap rawai tuna yang terdapat pada armada longline 30 GT (KM. Sriwijaya) yang mendaratkan hasil tangkapan tuna di PPS Bungus, yang mewakili spesifikasi alat tangkap rawai tuna pada kapal lainnya dengan ukuran yang sama. Tipe tali utama (main line) yang digunakan adalah PA monofilamen no. 1500, tali cabang (branch line) adalah PA monofilamen no. 800. Jumlah mata pancing yang digunakan dalam setiap setting antara 1050 – 1200 buah.
Pelampung Bola
Tali Pelampung (17 m)
Jarak antar branch line (35 m)
Branch line (19 m)
Main Line
Pancing no.4
Gambar 3. Deskripsi alat tangkap rawai tuna di PPS Bungus Laju tangkap Hasil Tangkap Sampingan Rawai Tuna Data statistik kurun waktu 2008-2012 di PPS Bungus menunjukkan bahwa laju tangkap rata-rata rawai tuna dari hasil tangkapan sampingan mengalami fluktuasi tiap bulannya. Laju tangkap rata-rata tertinggi terjadi pada bulan februari yaitu sebesar 0.97 ton/trip, sedangkan laju tangkap rata-rata terendah terdapat pada bulan maret yaitu sebesar 0,06 ton/trip. Jenis ikan hasil 262
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
tangkapan sampingan alat tangkap rawai tuna yaitu terdiri dari ikan setuhuk hitam (Makaira indica), lemadang (Common dolfinfish), ikan bawal (Black pomfret), dan cucut (whitecheek sharks). Selama tahun 2013 total hasil tangkapan kapal rawai tuna adalah sebesar 573,24 ton dengan total jumlah trip adalah sebanyak 36 trip. Rata-rata laju tangkap selama tahun 2013 adalah sekitar 1,57 ton/trip. Laju tangkap paling tinggi terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 2,87 ton/trip, dan laju tangkap terendah terjadi pada bulan April yaitu sebesar 0,44 ton/trip. Rata-rata laju tangkap tiap bulan dari ikan-ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rata-rata laju tangkap bulanan ikan hasil tangkapan sampingan rawai tuna di PPS Bungus tahun 2008-2013 Musim penangkapan dan daerah penangkapan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa nilai IMP pada bulan Juni adalah yang tertinggi dibandingkan dengan bulan lainnya yaitu sebesar 130,35%, selanjutnya diikuti musim penangkapan pada bulan Oktober dan November dengan nilai indeks penangkapan sebesar 109,16% dan 125,65%. Untuk hasil tangkap sampingan, nilai indeks musim penangkapan (IMP) paling tinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 183,2%. Analisi musim penangkapan ikan di perairan Barat Sumatera terjadi pada bulan Mei sampai bulan Juli, dan pada bulan Oktober dan November. Musim puncak penangkapan ikan tuna terjadi pada bulan Juni dilihat dari nilai IMP yang paling maksimal dibandingkan dengan yang lainnya.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
263
Pada Tabel 1 disajikan hasil perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan Tuna dan hasil tangkapan sampingan rawai tuna di PPS Bungus, Sumatera Barat. Tabel 1. Nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) ikan tuna dan ikan hasil tangkapan sampingan di Bungus tahun 2008-2012 No
Bulan
1
Indeks Musim Penangkapan (%) Ikan Tuna
Hasil Tangkapan Sampingan
Januari
63.81
142.5
2
Februari
95.55
147.1
3
Maret
89.51
183.2
4
April
93.52
32.2
5
Mei
106.55
38.8
6
Juni
130.35
96.2
7
Juli
105.31
136.4
8
Agustus
94.75
159.7
9
September
92.47
65.3
10
Oktober
109.16
114.0
11
November
125.65
51.0
12
Desember
93.36
33.6
Daerah penangkapan kapal rawai tuna meliputi perairan di sebelah barat Kepulauan Mentawai ke arah laut lepas perairan Samudera Hindia barat Sumatera (ZEE). Dalam Gambar 5 disajikan posisi daerah penangkapan kapal rawai tuna uang diperoleh dari 40 sampel unit kapal dari berbagai ukuran (GT) selama periode antara bulan April 2012 s/d Nopember 2013. 6.0°
4.0°
2.0°
0.0°
2.0°
4.0°
6.0°
8.0°
10.0°
12.0°
86.0°
88.0°
90.0°
92.0°
94.0°
96.0°
98.0°
100.0°
102.0°
104.0°
106.0°
108.0°
Gambar 5. Daerah penangkapan rawai tuna yang berbasis di PPS Bungus
264
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
BAHASAN Dalam Marine Work Group and Friend of the Irish Environment (2002) Hasil Tangkapan Sampingan (by-catch) adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk didalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut. Hasil tangkapan sampingan dapat terdiri dari satu jenis atau beberapa jenis spesies yang berukuran kecil atau besar bukan merupakan target tangkapan. Tingginya tangkapan untuk ikan hasil tangkapan sampingan dapat menyebabkan terganggunya fungsi ekosistem. Hal ini dikarenakan beberapa jenis ikan hasil tangkap sampingan memiliki peranan yang cukup besar di dalam sistem jaring makanan. Menurut Lewison (2004), vertebrata laut memiliki peranan yang penting dalam struktur jaring makanan dan fungsi ekosistem. Rawai tuna merupakan alat tangkap dengan target spesies ikan tuna. Namun beberapa spesies lain mengisi komposisi hasil tangkapan kapal penangkap rawai tuna. Hasil tangkapan sampingan yang diperoleh dari hasil tangkapan rawai tuna di PPS Bungus diantaranya layaran (Isthioporus oriental), lemadang (Coryphaena hippurus), setuhuk hitam (makaira indica), ikan bawal (Formio niger), ikan pedang (Xiphlas gladius) dan ikan cucut (Carcharias dussmieri). Dari hasil total tangkapan selama kurun waktu 5 tahun (2008-2012) diketahui bahwa komposisi hasil tangkapan sampingan total mencapai 4,7% yaitu sekitar 124,621 ton dari seluruh hasil tangkapan sampingan, sedangkan sisanya adalah hasil tangkapan utama yaitu mencapai 95.3% dari total hasil tangkapan utama sebesar 3342,468 ton. Pada tahun 2013, komposisi hasil tangkapan utama mencapai 88%, sedangkan hasil tangkapan sampingan mencapai 12% yang terdiri dari ikan setuhuk loreng, ikan setuhuk hitam dan ikan pedang. Menurut Chapman (2001), proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkap sampingan akan bervariasi secara signifikan tergantung pada musim, lokasi penangkapan, jenis umpan yang digunakan dan konfigurasi peralatan memancing. Pada tahun 2013 laju tangkap rata-rata hasil tangkap sampingan adalah 0.33872 ton/ trip. Pada bulan Februari nilai laju tangkap hasil tangkap sampingan adalah yang paling besar. Hal ini diduga karena kondisi yang memungkinkan terhadap ikan-ikan hasil tangkap sampingan. Komposisi ikan-ikan hasil tangkapan sampingan di PPS Bungus memang tidak terlalu signifikan namun tentu saja hasil tangkapan ini berpengaruh terhadap produktifitas dari rawai tuna itu sendiri. Adanya pengaruh interaksi hidup pada lingkungan habitat yang sama dan saling berasosiasi di antara spesies menyebabkan sering tertangkapnya hasil tangkapan sampingan berupa jenis-jenis ikan pelagis besar lainnya. Menurut Nugraha &Wagiyo (2006) Komposisi hasil tangkapan sampingan perikanan rawai tuna di Samudera Hindia Barat Sumatera diantaranya adalah Lepidocybium flavobrunneum, Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
265
Ikan naga (Alepisaurus feros ;Lancetfish) dan Prionace glauca (blue shark). Ikan pedang dan ikan setuhuk hitam (black marlin) adalah ikan hasil tangkapan sampingan yang tergolong dalam kelompok ikan berparuh (billfish). Informasi mengenai musim penangkapan ikan didasarkan pada perhitungan rata-rata produksi bulanan ikan selama dari tahun 2008-2012 yang tercatat di PPS Bungus. Bulan Mei, Juni dan Juli tergolong musim ikan tuna, dan pada akhir tahun bulan Oktober dan November juga merupakan musim penangkapan. Nilai IMP pada bulan Juni adalah yang tertinggi dibandingkan dengan bulan lainnya yaitu sebesar 130,35%, selanjutnya diikuti musim penangkapan pada bulan Oktober dan November dengan nilai indeks penangkapan sebesar 109,16% dan 125,65%. Maka dapat disimpulkan musim puncak penangkapan ikan tuna terjadi pada bulan Juni. Pengetahuan mengenai musim tangkap ikan perlu diketahui, agar dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan hasil tangkap sampingan, khususnya pada bulan-bulan dengan produksi hasil tangkap sampingan tertinggi. Musim tangkapan hasil tangkapan sampingan terjadi pada bulan Maret. Hal ini dapat dilihat saat musim tangkapan HTS tertinggi maka hasil tangkapan utama lebih kecil, begitu pula sebaliknya. Hal ini dapat diduga bahwa pada bulan tersebut keadaan perairan berada pada kondisi cukup sesuai serta ketersediaan makanan yang banyak bagi ikan tuna dan asosiasinya. Komposisi hasil tangkapan ini membentuk asosiasi yang unik dimana terjadi proses rantai makanan dan ketergantungan antar spesies (Nugraha & Bram, 2013). KESIMPULAN 1.
Jenis ikan hasil tangkap sampingan dari operasi alat tangkap rawai tuna di PPS Bungus sebagian besar adalah jenis ikan berparuh (billfish), diantaranya adalah ikan lemadang (Coryphaena hippurus), ikan setuhuk hitam (Makaira indica), ikan pedang (Xiphlas gladius), selain itu terdapat pula cucut.
2.
Adanya hubungan antara hasil tangkapan utama dengan hasil tangkapan sampingan yaitu asosiasi dalam proses ketergantungan antara spesies.
PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset Pengkajian Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Cincin, Pancing Tonda dan Rawai Tuna di Samudera Hindia (WPP 572 dan WPP 573) Ta. 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Alverson D. L & S.E Hughes. 1996. By-catch: from emotion to effective natural recource management. Review in fish Biology and Fisheries 6.p.443-442.
266
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Beverly, S. Chapman L & W. Sokimi. 2003. Horizontal longline fishing methods and techniques; a manual for fisherman. Multipress, Noumea, New Caledonia.130p. Chapman, L. 2001. Bycatch in the Tuna Longline Fishery.Working paper 5, 2nd SPC Heads of Fisheries Meeting, Noumea, New Caledonia, 23-27 July 2001. Secretariat of the Pasific Community, Coastal Fisheries Programme, Fisheries Development Section. Noumea, New Caledonia. http://www.spc.int/coastfish/ diunduh pada tanggal 1 April 2011. Lewison, R.L., Crowder, L.B., Read, A.J and Freeman, S.A. 2004. Understanding impacts of fisheries bycatch on marine megafauna. Trends in Ecology & 7 Evolution 19, 598-604. (www.sciencedirect.com) diunduh pada tanggal 24 Mei 2011. Marine Work Group, Friend of the Irish Environment, Ireland. 2002. Marine Fisheries By-catch and Discards, 30 hlm. Nugraha, B & K. Wagiyo. 2006. Hasil tangkap Sampingan (by-catch) tuna longline di Perairan Laut Banda. BAWAL. 1(2).71-75. Nugraha, B & S. Bram. 2013. Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Kapal Rawai Tuna Di Samudera Hindia yang Berbasis DI Benoa. JPPI. Vol 18(1). 43-51. Sparre P & Venema S.C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Penerjemah; Jakarta : Pusat Penelitian Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. 483 Hal. Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co., NewYork. 359 p.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
267
268
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
UPAYA DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN ARMADA PUKAT CINCIN DI PPP TAMPERAN, PACITAN JAWA TIMUR Helman Nur Yusuf *)dan Baihaqi*) *)
Peneliti pada Balai PenelitianPerikanan Laut (BPPL) Email : [email protected], [email protected]
ABSTRAK Pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap yang dipergunakan nelayan di Tamperan, Pacitan, Jawa Timur. Dinamika perikanan tangkap digambarkan dari fluktuasi upaya penangkapan yang menyebabkan penurunan nilai CPUE sehingga perlu adanya pengelolaan sumber daya agar pemanfaatannya optimum dan berkelanjutan, salah satu cara dpengelolan yaitu dengan mengetahui pola musim penangkapan ikan, sehingga waktu penangkapan lebih efektif dan efisien untuk melakukan operasi penangkapan yang lebih terarah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Desember 2013, bertujuan untuk mengetahui tingkat upaya pemanfaatan dan pola musim penangkapan ikan. Data yang digunakan ialah hasil tangkapan dan jumlah trip penangkapan pukat cincin perbulan, di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan selang tahun 2008-2013. Analisis upaya pemanfaatan menggunakan perhitungan catch per unit effort (CPUE) sedangkan pola musim penangkapan menggunakan Metode Persentase Ratarata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata CPUE unit armada sebesar 15,35 ton/unit/ tahun, untuk jumlah trip sebesar 7,69 ton/trip/tahun dan untuk ABK rata-rata sebesar 0,33ton/ trip/orang. Musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Mei sampai Oktober dengan puncak musim padabulan Juni dan Oktober. KATA KUNCI: PPP Tamperan, catch per unit effort (CPUE),musim penangkapan ikan ABSTRACT: Efforts And Season Fishing Fleet Purse Seine In PPP Tamperan, East Java Pacitan. By: Helman Nur Yusuf and Baihaqi Pukat cincin (purse seine) was used fishing gear Tamperan, Pacitan, East Java. Where the dynamics of fishing effort described the arrest of fluctuations that cause a decrease in CPUE values so necessary to the management of resources so that optimum utilization and sustainable, one way to determine the pattern of the fishing season, resulting in the arrest of more effective and time efficient to perform more targeted fishing operations. This research was conducted in February - December 2013, aims to determine the level of effort and utilization patterns of the fishing season. The data used is the catch and the number of arrests purse seine trips per month, at Fishery Port Beach (PPP) Tamperan interval 2008-2013. Analysis using calculations Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
269
that use the catch per unit effort (CPUE), while the pattern of fishing season using the average percentage method. The results showed that the average CPUE of fleet units 15.35 tons / unit / year, for a number of trips by 7.69 tons / trip / year and for ABK average of 0.33 tons / trip / person. Fishing season occurs from May to October with peak season in June and October. Keywords : PPP Tamperan, the catch per unit effort (CPUE), the fishing season PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya memiliki usaha kecil, teknologi sederhana, jangkauan operasi yang masih terbatas serta produktivitas yang masih rendah. Menurut Barus et al (1991), produktivitas nelayan yang rendah, umumnya diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan yang masih sederhana, sehingga efektifitas dan efisiensi alat tangkap dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya belum optimal dan akhirnya berdampak pada tingkat kesejahteraan nelayan. Salah satu tujuan pokok sektor pembangunan perikanan adalah untuk meningkatkan produksi seiring dengan peningkatan pendapatan, kesejahteraan nelayan dan sebagai penyedialapangan kerja. Akibat dari upaya pemanfaatan sumber daya yang terus meningkat,diperlukan perhatian dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang ada. Menurut May, D(2007) dengan mengetahui nilai upaya pemanfaatan catch per unit effort (CPUE) setiaptahunnya, pengelola perikanan bisa mengetahui gambaran penangkapan ikan yang aman atauberbahaya sehingga perlu adanya kegiatan pengelolaan kearah yang lebih baik.Suman et al. 2011 menyatakan bahwa CPUE merupakan salah satu indikator pengembangan status pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, tren CPUEyang naik menggambarkan eksploitasi masih dapat berkembang, jika tren CPUE mendatarmendekati kejenuhan upaya, sedangkan jika tren CPUE menurun merupakan indikasipemanfaatan mengarah pada lebih tangkap (overfished). PPP Tamperan, Pacitan terletak di sebelah barat daya Provinsi Jawa Timur yang terletak 276 km dari Kota Surabaya, berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis berada di antara 08013’30”LS dan 110004’ BT, PPP Tamperan merupakan pelabuhan perikanan yang mengalami peningkatan status dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) sejak tahun 2002. Armada kapal penangkap ikan di PPP Tamperan mengoperasikan alat tangkap pukat cincin (purse seine)dengan Bahan kayu. Dimensi utama panjang L= 17-21 m, lebar B= 5-6 m dan dalam D = 2,5 m. Gross tonnage 28 GT. Mesin induk 170-280 PK merk Mitsubishi, mesin bantu Mitsubishi 6D sebanyak 2 buah,dan abk sebanyak 23 orang. Pukat cincin dengan model kantong samping/pinggir dan menggunakan
270
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
rumpon sebagai alat bantupengumpul ikan, rata-rata perusahan memiliki 3-15 rumpon sesuai kemampuan perusahaan tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat upaya pemanfaatan dan musimpenangkapan ikan yang dilakukan oleh unit armada pukat cincin di PPP Tamperan dengantarget utama penangkapan jenis ikan pelagis. Dasar pertimbangan yang menjadi kerangkapemikiran adalah peningkatan aktivitas upaya penangkapan dapat menyebabkan penurunan nilai CPUE.
BAHAN DAN METODE Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan, Jawa Timur pada bulan Februari-Desember 2013 berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode obervasi (survey lapangan) dengan cara melakukan wawancara langsung dengan berpedoman pada kuesioner yang telah dibagikan kepada para nelayan pukat cincin (data enumerator tahun 2013). Data primer tersebut meliputi biaya penangkapan, jumlah hasil tangkapan per trip, harga ikan per kilogram, lama hari penangkapan, daerah penangkapan, keadaan sosial ekonomi nelayan, sumber pendapatan, jumlah nelayan pukat cincin (purse seine) dan lain-lain. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dinas/instansi terkait, yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan kota Pacitan yaitu berupa data berkala (time series) hasil tangkapan dan upaya penangkapan pukat cincin dari tahun 2008-2013. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1.
SAMUDERA HINDIA LAUT JAWA
PULAU JAWA PACITAN
SAMUDERA HINDIA
Pukat cincin
Gambar 1. Lokasi penelitian dan daerah penangkapan pukat cincin nelayan Tamperan Figure 1. Research location and arrest of purse seine fishing areas Tamperan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
271
1. Upaya Pemanfaatan Tingkat upaya pemanfaatan dilakukan berdasarkan analisis Catch Per Unit Effort(CPUE) atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapandigunakan untuk mengetahuikelimpahan dan tingkat pemanfaatan yang didasari atas pembagian antara total hasiltangkapan (Catch) dengan upaya penangkapan (Effort) dengan persamaan menurut Sparre andVenema (1999) sebagai berikut. Catch Effort Dimana : CpUE =
CpUE : Catch per unit Effort (kg/unit) Catch : Jumlah hasil tangkapan (gr, kg, ton) Effort : Jumlah upaya (unit, trip, abk) Pengukuran pemanfaatan dari alat tangkap meliputi pemanfaatan per unit alat tangkap, per trip penangkapan dan per ABK. Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut : 1.
Pemanfaatan per unit per tahun = ∑ Produksi ∑ Unit alat tangkap
2.
Pemanfaatan per trip per unit ∑ Produksi ∑ Upaya penangkapan
3.
=
(kg/unit/tahun)
……..…………………… (1)
(kg/trip/unit)
………………………… (2)
(kg/trip/orang)
………………………… (3)
=
=
Pemanfaatan per ABK per trip = ∑ Produksi ∑ ABK
=
2. Indeks Musim Penangkapan Untuk mengetahui pola musim penangkapan ikan analisis menggunakan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis) (Spiegel, M. R., 1961). Prosedurnya ialah sebagai berikut : 1.
272
Hitung nilai hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam setahun ( U ) .
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
1 m ∑U i ……………….………. (1) m i =1 U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip)
U =
U i = CPUE per bulan (ton/trip)
m = 12 (jumlah bulan dalam setahun)
2.
Hitung Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen :
3.
Ui x 100 % ………………..… . (2) U Selanjutnya dihitung : Up =
1 t ∑U p ..……….………….. t i =1 IMi = Indeks Musim ke i
IMi =
4.
t
(3)
= Jumlah tahun dari data
Kriteria penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang.
HASIL Upaya Pemanfaatan Perkembangan perikanan pukat cincin nelayan PPP Tamperan dari tahun 2008 sampaidengan 2013 mengalami fluktuatif. Produksi tertinggi pada tahun 2013 sebesar 3.889 tondan yang terendah pada tahun 2010 sebesar 3.3658 ton, untuk trip penangkapan terendah padatahun 2009 sebesar 491 trip dan tertinggi pada tahun 2010 sebanyak 574 trip. Jumlah unitarmada pukat cincin yang melakukan pembongkaran hasil tangkapan di PPP Tamperan jugamengalami fluktuasi dari tahun 2008 sebesar 264 unit menjadi 312 unit pada tahun 2013. (Gambar 2).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
273
Gambar 2. Perkembangan perikananpukat cincin di PPP Tamperan. Figure 2. Development of purse seine fishery in the PPP Tamperan. Meningkatnya aktifitas upaya pemanfaatan oleh nelayan menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan dalam kurun waktu tertentu. Dimana hasil perhitungan pada tahun 2008 sampai 2013 (Gambar 3) menunjukkan bahwa rata-rata upaya pemanfaatan hasil tangkapan catch per unit effort (CPUE) unit armada sebesar 15,35 ton/unit/tahun dengan nilai tertinggi pada tahun 2009 sebesar 19,77 ton/unit dan terendah pada tahun 2011 sebesar 12,84 ton/unit/tahun. Untuk jumlah trip penangkapan rata-rata pemanfaatan hasil tangkapan catch per unit effort (CPUE) sebesar 7,69 ton/trip/tahun dengan nilai tertinggi pada tahun 2013 sebesar 9,31 ton/trip dan terendah pada tahun 2010 sebesar 5,86 ton/trip. Sedangkan untuk ABK rata-rata pemanfaatan hasil tangkapan catch per uniteffort (CPUE) sebesar 0,33 ton/trip/orang dengan nilai tertinggi pada tahun 2013 sebesar 0,4 ton/trip/orang dan terendah pada tahun 2010 sebesar 0,25 ton/trip/ orang. Gambar 3. Upaya pemanfaatan armada pukat cincin di PPP Tamperan.
274
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 3. Upaya pemanfaatan armada pukat cincin di PPP Tamperan Figure 3. Efforts purse seine fleet utilization in PPP Tamperan Musim Penangkapan Ikan Hasil perhitungan pendugaan indeks musim terlihat bahwa musim penangkapan ikanterjadi pada bulan Mei sampai Oktober dengan puncak musim pada bulan Juni danOktober. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas penangkapan ikan pada periode bulantersebut memberikan hasil produksi yang lebih baik dibandingkan bulan yang lain. Bulan November hingga April terjadi penurunan nilai indeks hingga dibawah nilai normal. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan bulan tersebut tidak musim penangkapan ikan, dapat di lihat pada Gambar 4.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
275
Gambar 4. Indek musim penangkapan Figure 4. Indek fishing season
PEMBAHASAN Hasil tangkapan ikan per upaya pemanfaatan (CPUE) umumnya digunakan sebagai indikator ketersedian stok dimana upaya penangkapan ikan (fishing) sebagai faktor yang sangat berpengaruh (Badrudin & Sumiono, 2002; Chang et al. 2011; Quirijins et al. 2008;Purwanto dan Nugroho 2011). Lebih lanjut May, D (2007) menyatakan bahwa menurunnya ketersediaan stok ikan disebabkan oleh upaya nelayan yang berlebihan, banyaknya nelayan. Zulbainarni (2011) menyatakan bahwa dalam jangka pendek kenaikan jumlah upaya penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan tetapi dalam jangka panjang kenaikan upaya penangkapan tidak diikuti oleh kenaikan jumlah produksi hasil tangkapan yang memakai alat tangkap dengan teknik yang tidak berkelanjutan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena tidak ada manajemen yang mengontrol tindakan nelayan yang memaksimalkan tangkapan setiap individu tanpa pertimbangan jauh tentang kelanjutan sumber daya milik bersama tersebut. Pada penelitian ini menunjukkan penurunan produksi dan CPUE pada tahun 2010 disebabkan oleh peningkatan jumlah unit armada dan jumlah trip sebagai upaya nelayan dengan harapan perolehan hasil tangkapan ikan lebih meningkat, sedangkan pada tahun 2011 terjadi peningkatan nilai CPUE per trip dan ABK. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tripsebesar 21 % dari 574 trip pada tahun 2010 menjadi 469 trip pada tahun 2011. Hal iniberdampak langsung pada upaya per trip (ton/trip/tahun) dan upaya per ABK (ton/trip/ABK). Selain itu penurunan CPUE juga dapat disebabkan adanya pengaruh kondisi alam ekstrimpada akhir tahun 2010 yang pada saat itu terjadi La nina. Syamsudin. (2003) menyatakan Bahwa perubahan iklim regional sangat mempengaruhi variasi antara bulanan puncak musim
276
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
penangkapan tongkol di Selat Sunda. Diduga hal ini berpengaruh hampirdi seluruh perairan Indonesia mengalami gelombang besar yang mengakibatkan nelayankesulaitan dalam melakukan operasional penangkapan ikan. Peningkatan upaya penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayandapat memengaruhitotal hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) akan menurun karena ikan yang menjadi targetpenangkapan semakin berkurang seiring dengan upaya penangkapan yang semakin berkembang (Gafa et al. 1993; Purwanto dan Nugroho 2011). Tingkat pemanfaatan atau pengusahaan yang berlebih (over fishing), akan mengakibatkan stok ikan/udang per satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang. Simbolon D. (2009). Menyatakan Meningkatnya permintaan pasar dan harga produk perikanan juga menyebabkan nelayan terus melakukan pengembangan upaya penangkapan dengan cara mencari lokasi daerah penangkapan yang baru, menambah jumlah unit armada atau modifikasi jaring untuk mendapatkan hasil yang lebih baik Gafa et al. (1993) menyatakan bahwa alat tangkap utama ikan pelagis besardi perairan Sulawesi Utara pada saat itu adalah jenis huhate (pole and line) yang mana sudah terdapat indikasi adanya penurunan hasil tangkapan (CPUE) yang disebabkan oleh adanya peningkatan upaya penangkapan yang dilkukan nelayan, dan diperparah lagi dengan beroperasinya armada pukat cincin filipina (ilegal) yang menggunaan alat bantu pengumpul ikan berupa rumpon. Lebih lanjut menurut Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), Pemasangan rumpon sangat mengancam keberlangsungan ikan tuna, karena tuna yang tertangkap adalah baby tuna dengan ukuran 3-10 kg, padahal ideal tuna layak tangkap berukuran 20 – 60 kg, sehingga jika rumpon berkembang dengan pesat sangat mengancam populasi tuna atau ikan pelagis lainnya. Salah satu cara untuk mengelola upaya perikanan agar berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara pengaturan waktu penangkapan ikan berdasarkan data serial CPUE per bulan. Waktu penangkapan ikan dapat dilakukan dengan melihat bulan-bulan tertentu dimana terjadinilai indek dalam keaadaan normal hingga puncak musim penangkapan, sedangkan pada kondisi dibawah normal perlu dilakukan pengeloaan lebih terarah agar upaya pemanfaatandapat berkelanjutan. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pengelolaan berdasarkan musim penangkapan ikan umumnya sudah dilakukan di negara maju, dengan pendekatan produksi hasil tangkapan `berdasarkan musim dimana pada bulan-bulan tertentu hasil tangkapan melimpah atau sebaliknya walaupun kegiatan penangkapan dilakukan pada lokasi yang sama. Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka pola pemanfaatannya harus segera diubah dan pola open acces menjadi pola perikanan tangkap yang bertanggung jawab (responsible fisheries) sesuai dengan Kode Etik Perikanan Yang Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
277
Bertanggung Jawab (Code Conduct of Responsible Fisheries, FAO 1995b). Pengaturan musim penangkapan ikan dapat berjalan dengan efektif jika dapat dibedakan antara musim penangkapan atau bukan dengan cara mengetahui nilai CPUE per bulan, denganasumsi bahwa bila musim ikan maka nilai CPUE akan tinggi diatas nilai normal indek atausebaliknya jika nilai CPUE dibawah nilai normal indek maka dapat dikatakan bukan musimikan. Lebih lanjut Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa penutupan waktu penangkapan ikandapat dilakukan dalam kurun waktu yang lebih lama jika kondisi ikan dalam keadaan kritispada tingkat pemanfaatan yang berlebih. Dengan mengetahui musim penangkapan ikan di wilayah Pacitan bahwa puncak musim penangkapan terjadi pada musimperalihan Ihingga musim timur (Mei - Oktober) dengan indeks musim penangkapan tertinggi pada bulan Juni dan peraliah II (Oktober) adanya trend peningkatan pada hasil tangkapan bulan tersebut. Pada musim barat hingga peraliahan I (November – April) terjadi penurunan nilaiindek musim yang disebabkan oleh kondisi alam perairan yang kurang baik diperairan Laut Pacitan yang dipengaruhi oleh hembusan angin selatan, sehingga upayapenangkapan ikan oleh nelayan kurang optimal yang mengakibatkan penurunan trend musim penangkapan ikan (BRPL. 2004). Perbedaan indek musim penangkapan juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah unitarmada penangkapan dan jumlah trip pada saat operasional penangkapan ikan dilakukan. Dalam pelaksanaannya pengelolaan berdasarkan musim penangkapan ikan masih sulit dilakukan karena beberapa faktor seperti; masih lemahnya kesadaran nelayan dan pelakuusaha perikanan, lemahnya pengendalian dan pengawasan dari instansi terkait yang berwenanang, pengawasan kondisi pasar karena upaya penangkapan meningkat pada saatterjadi permintaan pasar akan jenis ikan tertentu yang tinggi, serta terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung. Walaupun demikian informasi musim penangkapan sangat dibutuhkan sebagai langkah awal dalam kajian pengelolaan perikanan kedepannya. Informasi mengenai musim penangkapan ikan diharapkan dapat membantu para nelayan untuk melakukan penangkapan ikan secara lebih terencana dan efisien. Dengan mengatur jumlah unit armada penangkapan pada bulan-bulan musim tangkap. Namun demikian, dalamhal ini diperlukan kebijakan pemerintah melalui dinas-dinas pemerintahan terkait untukmengatur jumlah armada penangkap ikan yang beroperasi, agar dapat terus lestari.
KESIMPULAN 1. Upaya pemanfaatan hasil tangkapan nelayan Tumumpa mengalami fluktuatif dengancatch
278
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
per unit effort (CPUE) unit armada pukat cincin rata-rata sebesar 15,35ton/unit/tahun, untuk jumlah trip rata-rata sebesar 7,69 ton/trip/tahun dan ABK rata-ratasebesar 0,33 ton/trip/orang. 2.
Pola musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Mei - Oktober dengan indeks musim penangkapan tertinggi pada bulan Juni dan peraliah II (Oktober). Bulan November hingga April terjadi penurunan nilai indek hingga dibawah normal, hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan –bulan tersebut hasil tangkapan lebih sedikit.
DAFTAR PUSTAKA Badrudin & Sumiono B. 2002. Indeks Kelimpahan Stok dan Proporsi Udang DalamKomunitas Sumber Daya Demersal di Perairan Kepulauan Aru, Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Vol 8 No.1 hal : 95 - 102. Barus HR., Badruddin, Naamin N. 1991. Prosiding Forum II Perikanan, Sukabumi 18-21 Juni 1991. Jakarta. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 91-105 hal Gafa B, Merta I.G.D, Barus H.R, & Amin E.M. 1993. Penurunan Hasil Tangkapan Ikan Tuna dan Cakalang di Perairan Sulawesi Utara dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 72: 11-19 Nikijuluw, V. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 254 hal. Purwanto & Nugroho D. 2011. Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin dan Upaya Penangkapan pada Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitiaan Perikanan Indonesia. Vol 17 No.1. hal: 23-30H. Quirijns F.J., Poos J.J., Rijnsdorp A.D. 2008. Standardizing commercial CPUE data in monitoring stock dynamics:Accounting for targeting behaviour in mixed fisheries. Fisheries Research 09: 1-8 Simbolon, D. 2009. Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Dengan Light Fishing Dan Rumpon. Buku Pembentukan Daerah Penangkapan. FPIK, IPB. Hal 19-42. Simbolon, D. 2009. Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan Dalam menjamin Usaha Perikanan Tangkap Berkelanjutan. Buku Pembentukan Daerah Penangkapan. FPIK, IPB. Hal 81-92. Sparre P & Venema S.C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Penerjemah; Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction toTropical Fish Stock Assesment. 483 hal.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
279
Spiegel M.R. 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co., New York. 359 P Syamsudin F. 2003. Melacak Lokasi Tongkol di Selat Sunda. Jakarta: BPPT. http://beritaiptek. com Suman A, Effendi D.S., Badruddin. 2011. Tren Indeks KelimpahanStok SumberDaya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Teluk Tomini (WPP 716). Buku Status Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Indonesia dengan Kasus Teluk Tomini. BPPL P4KSI Balitbang KKP: 121-130 Zulbainarni, Nimmi. 2011. Produktivitas Armada Purse Seine dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Multi Spesies di Selat Bali. Book II, New Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. FPIK, IPB. Hal 61-80.
280
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
ESTIMASI JUMLAH DAN JARAK OPTIMUM PEMASANGAN RUMPON DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Asep Priatna dan Budi Nugraha
ABSTRAK Usaha penangkapan ikan di perairan sekitar rumpon awalnya dapat meningkatkan produksi, namun seiring dengan bertambahnya waktu dapat mengakibatkan penurunan hasil tangkapan akibat dari semakin berkurangnya stok ikan. Untuk itu perlu adanya suatu kajian pengelolaan seperti estimasi stok ikan, jumlah hari trip optimum dan jumlah dan jarak optimum pemasangan rumpon. Untuk menduga stok ikan disekitar rumpon, survei akustik yang dibarengi penangkapan insitu telah dilaksanakan pada bulan Mei dan November 2011 di perairan Samudera Hindia Selatan Prigi sampai Pacitan. Estimasi jumlah hari per trip menggunakan model Hilborn and Medley (1989), sementara jumlah dan jarak optimum berdasarkan aspek penangkapan yang tercatat di PPN Prigi. Hasil akustik menunjukkan bahwa estimasi rata-rata kepadatan stok ikan di sekitar rumpon pada bulan November lebih besar dari pada bulan Mei yaitu masing-masing 3,8 ton dan 2,9 ton. Pada kedua musim, hasil tangkapan insitu pancing tonda menunjukkan SDI didominasi ikan muda tuna sirip kuning dengan bobot rata-rata hanya 1,5 kg. Idealnya jumlah hari efektif adalah 4 hari untuk setiap tripnya, dengan jumlah rumpon 4 unit untuk setiap kapalnya. Pada perairan terbuka seperti Samudera Hindia, jumlah dan jarak penempatan optimum rumpon dapat berubah tergantung berapa jumlah kapal yang beroperasi pada satu rumpon. Kata kunci: estimasi biomas, rumpon, survei akustik, Samudera Hindia
ABSTRACT Fishing activity around fish aggregating devices (FADs), at the beginning, catch usually increases until a certain time, when it decreases due to reducing the fish biomass. Therefore, studies are required for fisheries management around FADs, including stock estimation, days per trips, optimum number and distance each FADs in some area. Acoustic surveys and in situ fishing experiment were simultaneously conducted in May and November 2011 in the Indian Ocean, South of Prigi to Pacitan, to estimate fish stock around FADs. Hilborn and Medley (1989) approach, was used to estimate the optimum number of days per trip. While the optimum number and distance each FADs were recorded based on fisheries statistic data in Prigi Fishing Harbor. Acoustic abundance estimation in November was greater than May. Catch by insitu trolling was dominated by yellow fin tuna with average of weight 1,5 kg. In both season the Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
281
fish caught around FADs was dominated by juvenile tuna. The ideal number of effective fishing operations was 4 days for each trip, with the ideal number of FADs was 4 units per boat. In the high seas like the Indian Ocean, optimum number and the distance between FADs was different by area, depending on the number of fishing boat which operating around FADs. Keyword: biomass estimation, FAD, acoustic survey, Indian Ocean PENDAHULUAN Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan saat ini menunjukkan perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah armada kapal yang melakukan operasi penangkapan di perairan sekitar rumpon. Penerapan teknologi rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan akan memberikan keuntungan dan juga kerugian. Dalam jangka pendek adanya rumpon akan meningkatkan pendapatan nelayan, sedangkan pada jangka panjang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap produksi hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan dan kelestarian sumberdaya stok ikan. Definisi rumpon menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no PER.02/ MEN/2011 adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Selanjutnya dalam peraturan tersebut terdapat 3 jenis rumpon, yaitu: rumpon hanyut serta rumpon menetap (rumpon permukaan dan rumpon dasar). Pengembangan penggunaan rumpon sangatlah tepat untuk upaya peningkatan produksi perikanan dalam jangka pendek, tetapi dalam perkembangannya pemasangan rumpon dapat juga menimbulkan beberapa masalah, antara lain akibat pemasangan rumpon yang tidak teratur dan lokasi yang berdekatan dapat merusak pola ruaya ikan yang berimigrasi jauh sehingga mengganggu keseimbangan dan konflik antar nelayan, kemudahan penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon dapat menimbulkan lebih tangkap (over fishing), dan kelebihan kapasitas penangkapan (over capacity). Pemasangan rumpon dapat dilakukan pada wilayah perairan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Keputusan Menteri Pertanian no,51/Kpts/ik,250/1/97 bahwa jarak pemasangan antar rumpon minimal 10 mil laut. Hal ini untuk menghindari posisi rumpon yang berdekatan sehingga membentuk sebuah pagar yang justru membuat ikan menjauh dari wilayah rumpon yang dipasang. Penerapan jumlah rumpon dan unit armada penangkapan ikan pada pengelolaan perikanan tuna di perairan Prigi merupakan bentuk pengurangan jumlah effort. Pengelolaan harus memperhatikan jumlah rumpon dan armada terhadap luas aktual perairan tempat penyebaran rumpon yang berhasil didata sebesar 8.940 km². Strategi optimasi pengelolaan 282
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap berbasis rumpon di PPN Prigi direkomendasikan untuk unit armada jaring insang hanyut sebanyak 43 unit dan pancing tonda sebanyak 63 unit dengan jumlah rumpon 33 unit untuk wilayah luas perairan penyebaran rumpon sekitar 8.940 km² (Nurdin et al., 2012). Beberapa solusi mengenai pengelolaan pemasangan rumpon diantaranya adalah pengendalian terhadap jumlah upaya/armada penangkapan, pengaturan jumlah dan jarak rumpon, penghentian ijin rumpon yang telah mengalami kerusakan bagi rumpon laut dangkal, penghentian penambahan jumlah rumpon laut dangkal, dan pemasangannya diprioritaskan pada perairan laut dalam (Jamal, 2003). Peningkatan aktivitas penangkapan ikan di sekitar rumpon pada awalnya dapat meningkatkan produksi, namun seiring dengan berjalan waktu dapat mengakibatkan penurunan hasil tangkapan akibat dari semakin berkurangnya stok ikan. Untuk itu perlu adanya suatu kajian pengelolaan yang salah satunya mengoptimalkan jumlah rumpon yang beroperasi sehingga terjadi keseimbangan hasil tangkapan dan ketersediaan stok ikan secara berkelanjutan. BAHAN DAN METODE 1.
Pengumpulan data
Kegiatan survei eksplorasi telah dilaksanakan dua kali trip, pertama pada bulan Mei dan kedua bulan November 2011 di perairan Samudera Hindia (sebelah selatan Prigi sampai Pacitan). Wahana penelitian menggunakan kapal nelayan setempat. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Pengamatan sumberdaya ikan pelagis dilakukan di sekitar rumpon (Gambar 1) dengan mengunakan echosounder, pengamatan dilakukan pada tujuh rumpon (titik biru) pada bulan Mei dan empat rumpon pada bulan November (titik merah), sementara titik kuning merupakan posisi-posisi rumpon yang tersebar di lokasi penelitian (hasil wawancara nelayan setempat tahun 2012). Rumpon yang diamati tersebar mulai dari perairan selatan Prigi sampai selatan Pacitan dan tercatat sebanyak 120 buah rumpon.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
283
Gambar 1. Posisi rumpon yang diamati selama penelitian dan total rumpon yang tersebar dari Selatan Jogja-Donomulyo (sumber: wawancara nelayan 2011) Informasi posisi dan jumlah rumpon pada Gambar 1 diduga bukan merupakan jumlah rumpon yang sebenarnya terdapat dilokasi penelitian. Jadi sampai sekarang berapa jumlah rumpon yang terdapat di lokasi penelitian belum dapat dihitung dengan pasti, karena keberadaan suatu rumpon di suatu tempat tidak dapat diprediksi kekuatannya terhadap arus perairan di Samudera Hindia yang dikenal cukup kuat. Sumber dari nelayan setempat menyebutkan bahwa tali rumpon seringkali putus ketika arus sangat kuat, dan keadaan ini dapat terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun sejak dipasangnya rumpon. Akuisisi data hidroakustik menggunakan portable scientific echosounder SIMRAD EY60. Transducer dengan frekuensi 120 kHz dipasang di samping badan kapal (side mounted system) (Mac Lennan, 1992). Akuisisi data akustik disekitar rumpon sampai kedalaman 100 m, dilakukan pada siang dan malam hari dengan star survey (lintasan berbentuk bintang) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3 (Josse et al.,1999). Jari-jari lintasan sekitar 500 m dari pusat rumpon, yang dilakukan setiap interval 3 jam. Kecepatan kapal 4-5 knots. Data yang dikumpulkan adalah target strength (TS), area back-scattering coeficient (sA). Trek tersebut mempunyai rata-rata durasi selama 1 jam dan diulang setiap 3 jam, jadi rata-rata dilakukan 8 kali pengamatan akustik untuk setiap rumponnya yaitu pada jam 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, dan 3.
284
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
trek akustik
rumpon A
rumpon A’
Gambar 2. Contoh desain trek pada masing masing rumpon saat akuisisi data, pergeseran posisi rumpon disebabkan oleh arus (Sumber: Josse et al., 1999) Perekaman data selama alur pelayaran menggunakan sofware ER60 yang menghasilkan data mentah (file dengan format RAW) yang akan dianalisis lebih lanjut). Pengaturan parameter pada sistem echosounder disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Setting Parameter untuk EY60 (Simrad. 1993) Parameter Frequency Pulse Duration Power transmit Sound speed Absorption Coefficient SV threshold TS threshold
Value 120 KHz 0.512 ms 50 watt 1547 m/s 0.0415 dB/m -60 dB -50 dB
Data mentah yang berupa echogram dari backscattering secara otomatis direkam langsung dalam harddisk. Pada echosounder tipe EY60, hasil pengamatan hidro akustik (echogram) dicatat dalam bentuk file-file digital (.raw, .bot, .idx). Keluaran data akustik yaitu berupa distribusi data target strength (TS) dalam satuan decibel sebagai indeks ukuran ikan, serta data volume backscattering strength (SV) sebagai indeks kepadatan dari suatu kumpulan target ikan yang terdeteksi.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
285
2.
Pengolahan dan analisis data
2.1 Hidroakustik Untuk mengetahui komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kedalaman, dilakukan pembagian strata kedalaman setiap 25 meter. Data akustik diolah dengan menggunakan software SONAR ver.4. Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) adalah 200 ping. Hasil ekstraksi berupa nilai area back-scattering coeficient (sA, m2/nmi2) dan distribusi nilai target strength (TS) ikan tunggal dalam satuan decibel (dB) sebagai indeks refleksi ukuran ikan tunggal. Konversi nilai TS menjadi ukuran panjang (L) diperoleh dari TS = 20 log L + A, A adalah nilai TS untuk 1 cm panjang ikan (normalized TS). Untuk ikan pelagis besar digunakan persamaan: TS = 25,26 log FL – 80,62 (Bertrand & Josse, 2000) Untuk menghitung nilai biomassa ikan, digunakan persamaan (MacLennan & Simmonds, 1992) ρA = sA/σbs, (ρA adalah densitas ikan (individu/area). Estimasi jumlah ikan adalah N/A = sA/σbs. Nilai biomassa (B) = N x W Dimana:
•
σbs
= back-scattering cross section
tuna = 3,2 10-4 m2 (MacLennan et al., 2002)
2.2
•
ρA
= densitas area (individu/m2)
•
A
= luas area (m2)
•
N
= jumlah ikan (ind)
•
W
= rata-rata bobot 1 ekor ikan target
•
B
= biomass
Komposisi ukuran ikan
Pengukuran panjang dan bobot ikan hasil tangkapan nelayan setempat dari alat tangkap pancing tonda dan gillnet, dilakukan berdasarkan jenisnya. Hasil analisis hubungan antara panjang dan bobot dari struktur ukuran ikan hasil tangkapan tersebut akan digunakan sebagai verifikasi data akustik untuk mengestimasi biomassa ikan disekitar rumpon yang diamati.
286
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Komposisi Struktur Ukuran Ikan
Gambar 3 merupakan hubungan panjang dan bobot ikan tuna sirip kuning, yellowfin tuna hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di PPN prigi pada bulan Mei dan November 2011.
Mei
November
Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot yellowfin tuna pada bulan Mei dan November 2011. Pada waktu kedua survei eksplorasi yaitu bulan Mei dan November, tuna sirip kuning merupakan jenis tuna yang mendominasi, yaitu 50% dari total hasil tangkapan nelayan sehingga dijadikan species acuan dalam verifikasi data akustik untuk estimasi biomassa ikan pelagis yang berasosiasi dengan rumpon. Hasil tangkapan insitu diperoleh bahwa rata-rata ukuran ikan tuna berada pada kategori baby tuna dengan rata-rata berat (W) = 1,5 kg seperti yang disajikan pada gambar 4.
n = 16
Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot yellowfin tuna untuk verifikasi akustik.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
287
Selain itu, dominasi yellowfin tuna di sekitar rumpon ditunjukkan oleh prosentase komposisi dan penyebaran jenis ikan hasil tangkapan insitu oleh nelayan tonda seperti yang disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan komposisi total hasil tangkapan, dari 6 jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon menunjukkan bahwa 50% adalah jenis yellowfin tuna (Gambar 5 kiri). Sementara berdasarkan penyebarannya, yellowfin tuna tertangkap hampir di semua rumpon yang dilakukan penangkapan. Dari 7 buah rumpon yang dilakukan penangkapan, yellowfin tuna tertangkap di 5 rumpon. Sehingga diasumsikan keberadaannya lebih luas yaitu sekitar 70% dibanding jenis ikan lainnya (Gambar 5 kanan).
Gambar 5. Prosentase komposisi (kiri) dan penyebaran jenis (kanan) ikan hasil tangkapan insitu 2.
Biomassa Ikan
Estimasi biomassa ikan pelagis besar dianalisis pada wilayah perairan seluas 2700 nmi2 atau 9260 km2 pada batas garis merah seperti yang tunjukkan pada Gambar 6, dengan asumsi bahwa pada area tersebut merupakan perairan dengan konsentrasi rumpon yang paling banyak pada lokasi penelitian. -8°
-8.2°
Latitude (S)
-8.4°
-8.6°
2 7
4
6
-8.8° 5 4 -9°
3
3
1 1
2
-9.2°
-9.4° 110°
110.2°
110.4°
110.6°
110.8°
111°
111.2°
111.4°
111.6°
111.8°
112°
112.2°
112.4°
Longitude (E)
Gambar 6. Batasan luas perairan untuk estimasi biomassa ikan 288
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Luas area setiap rumpon yang diamati adalah sekitar 0,78 km2. Tabel 2 merupakan nilai rata-rata estimasi potensi sumberdaya ikan pelagis yang berasosiasi di sekitar rumpon hasil pengamatan dengan metode akustik untuk masing-masing waktu pengamatan pada bulan Mei dan November 2011. Tabel 3. Nilai akustik untuk estimasi potensi sumberdaya ikan pelagis Parameter Volume densitas (f/1000m3) Area densitas (f/km2) Biomassa per rumpon (ton)
Mei 0.1 2500 2.9
Nov 0.13 3250 3.8
Nilai kepadatan stok ikan pelagis besar pada area seluas 2700 nmi2 atau 9260 km2 adalah 3,8 ton/ km2 dengan estimasi biomassa sebesar 34.728 ton pada bulan Mei, sementara terjadi kenaikan nilai kepadatan stok pada bulan November yaitu sebesar 4,9 ton/ km2 dengan biomassa sebesar 45.146 ton. 3.
Estimasi Jumlah dan Jarak Optimum Rumpon
Beberapa persamaan matematik dari metode Hilborn & Medley (1989) digunakan dalam analisis estimasi potensi SDI yang berasosiasi dengan rumpon. Metode ini menggunakan asumsi-asumsi adanya interaksi antara ikan pelagis dengan rumpon. Asumsi kecepatan renang tuna adalah 5 km/jam sehingga akan mendeteksi rumpon minimum pada jarak 25 m. Sementara berdasarkan hasil penelitian BRPL tahun 2008, sebagai referensi untuk nilai mortalitas alami ikan tuna (m) adalah 38% per tahun. Probabilitas seekor yellowfin tuna akan menemukan sebuah rumpon (p) dan untuk selanjutnya mendiaminya adalah: p = 5 km/jam * 12 jam/hr * 30 hr/bln * 2 * 0,025 km = 90 km2/bln = 3 km2/hr Sehingga daya jelajah (per bulan) 90/9260 = 1 % area, untuk area 9260 km2. Standing stock tuna yang berada di bawah pengaruh suatu rumpon, bila tidak ditangkap untuk jangka waktu 1 tahun (angka perkiraan) = 400 ton (Z). Laju pergerakan ikan dari yang berasosiasi dengan rumpon ke arah yang tidak berasosiasi dengan rumpon (l) dapat diestimasi: (l + m) Z = pB, diperoleh (90*0,45)/(400*0,38) = 0,1 ton/ bln
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
289
Estimasi hasil tangkapan per hari pada 1 rumpon diprediksi melalui persamaan: , hasil disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Estimasi hasil tangkapan per hari pada 1 rumpon Sementara laju susut hasil tangkapan terhadap pertambahan hari adalah , diperoleh hasil seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Laju susut hasil tangkapan per hari pada 1 rumpon Peningkatan aktivitas penangkapan ikan di rumpon pada awalnya dapat meningkatkan produksi yang cukup signifikan kira-kira sampai hari kelima, namun dengan bertambahnya hari operasi penangkapan dapat mengakibatkan penurunan hasil tangkapan akibat semakin berkurangnya stok ikan di rumpon tersebut. Setelah hari ke-5 sampai hari ke-10 masih terdapat peningkatan jumlah hasil tangkapan walau penambahan per harinya sudah tidak signifikan. Setelah hari ke-10 dan selanjutnya sudah tidak terjadi lagi peningkatan hasil tangkapan (Gambar 7 dan . Namun tren peningkatan hasil tangkapan serta laju susut hasil tangkapan per 290
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
(Gambar 7 dan . Namun tren peningkatan hasil tangkapan serta laju susut hasil tangkapan per hari tersebut perlu dikaji lebih cermat lagi mengingat parameter-parameter yang digunakan merupakan nilai asumsi untuk karakteristik ikan tuna di Selatan Jawa. Pada akhirnya metode yang dikemukakan oleh Hilborn & Medley (1989) dalam analisa hubungan keberadaan rumpon dengan hasil tangkapan tertuju pada Model Catch dari variasi jumlah rumpon dalam suatu area tertentu untuk satu armada tangkap yang diilustrasikan pada Gambar 10, yang diperoleh dari rumus:
proporsi jumlah hari.
, dimana N adalah jumlah rumpon, dan q adalah
Gambar 10. Model Hilborn and Medley (1989) untuk hasil tangkapan dari variasi jumlah rumpon dalam suatu area tertentu untuk satu armada tangkap. Pada persamaan metode Hilborn & Medley (1989) yang didasarkan adanya interaksi antara SDI dengan rumpon, terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi terutama untuk karakteristik SDI pada area yang diteliti yang dalam hal ini adalah ikan tuna. Dengan pertimbangan asumsi-asumsi tesebut, maka untuk kasus perikanan pelagis besar di Samudera Hindia (perairan Prigi) metode Hilborn & Medley (1989) tidak diaplikasikan. Mengingat sumberdaya ikan target adalah tuna yang notabene mempunyai sifat high migratory, serta alat tangkap yang digunakan di lokasi penelitian adalah pancing tonda dan gillnet. Sementara metode Hilborn & Medley (1989) diaplikasikan untuk penangkapan ikan tuna yang berasosiasi dengan rumpon dengan menggunakan alat tangkap purse seine. Oleh karena itu, estimasi jumlah dan jarak optimum rumpon didasarkan pada aspek operasional penangkapan per trip selama tahun 2011 untuk ikan pelagis besar (tuna dan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
291
cakalang) hasil tangkapan pancing tonda, mengingat armada tonda merupakan alat tangkap standar pada standarisasi alat tangkap di PPN Prigi (Nurdin et al., 2012), sehingga dapat dikatakan bahwa aspek penangkapan dari armada tonda baik produksi maupun jumlah armada yang dioperasikan merupakan aspek operasional maksimum karena rata-rata CPUE armada tonda lebih besar dibanding alat tangkap lainnya seperti jaring insang yang beroperasai dilokasi penelitian (Nurdin et al., 2012). Data aspek penangkapan ikan pelagis besar (tuna dan cakalang) yang berasosiasi dengan rumpon menggunakan pancing tonda yang dicatat di PPN Prigi, menunjukkan jumlah hari dalam 1 trip operasi untuk satu armada tonda bervariasi yaitu 6, 7 dan 8 hari dengan ratarata hasil tangkapan berturut-turut sebesar 853, 800 dan 794 kg/trip. Bila diasumsikan jumlah rumpon yang dikunjungi berturut-turut 4, 5, dan 6 rumpon untuk masing-masing hari trip, maka jumlah rumpon optimum untuk satu armada tonda adalah 4 rumpon. Hal ini dapat terlihat dengan terjadinya penurunan rata-rata hasil tangkapan dengan penambahan jumlah rumpon. Bila ditetapkan jumlah optimum armada tonda yang berbasis di PPN Prigi sebanyak 38 unit (BPPL, 2011), maka jumlah ideal rumpon yang dapat di pasang adalah 152 unit rumpon (dengan catatan 1 armada untuk 4 rumpon), bila terjadi percampuran penangkapan diantara armada tangkap terhadap rumpon yang ada maka jumlah rumpon optimum dapat berkurang jumlahnya dan jarak masing-masing rumpon akan semakin jauh. Area distribusi rumpon yang dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan Prigi tersebar mulai dari Donomulyo (timur) sampai Jogjakarta (Barat) dengan batas terluar sampai lintang 10o LS yang mencapai luas perairan sekitar 27.782 km2 (Gambar 6). Apabila 152 unit rumpon dipasang pada luas area tersebut, maka jarak antar rumpon sekitar 4 nmi (dengan catatan 1 armada untuk 4 rumpon). KESIMPULAN Sepertinya tidak ada jarak yang baku dalam penentuan jarak untuk penempatan antar rumpon, karena tergantung dari karakteristik sumberdaya ikan, kondisi dan luas perairan, serta aspek penangkapan di lokasi dimana rumpon dipasang. Pada kenyataannya dalam aktivitas penangkapan ikan yang berasosiasi di rumpon oleh armada tonda dan gillnet yang berbasis di PPN Prigi, terdapat pemanfaatan 1 unit rumpon oleh lebih dari 1 unit armada. Bila stok sumberdaya ikan dan jumlah hasil tangkapan diabaikan untuk tiap tripnya, maka jumlah rumpon ideal yang dapat dipasang akan berkurang jumlahnya dengan jarak antar rumpon akan bertambah jauh satu sama lain, misalnya penggunaan 4 rumpon oleh 2 kapal pada tiap tripnya, maka jumlah rumpon yang dapat dipasang sebanyak 76 unit dengan jarak antar rumpon 8 nmi. Jumlah dan jarak tersebut dapat berubah tergantung dari rata-rata jumlah armada tangkap pada 1 rumpon. 292
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
DAFTAR PUSTAKA Bertrand, A., & E. Josse. 2000. Tuna target strength related to fish length and swimbladder volume. ICES Journal of Marine Science, 57:1143–1146. BRPL. 2008. Riset Stok Sumberdaya Perikanan Pelagis Besar di Samudera Hidia Selatan Jawa. Laporan Akhir 2008. Balai Riset Perikanan Laut. BRPL. 2011. Riset Perikanan Tuna Skala Kecil Berbasis Rumpon di Perairan Samudera Hindia (WPP 573). Laporan Akhir 2011. Balai Riset Perikanan Laut. Hilborn, R. & P. Medley. 1989. Tuna purse seine fishing with Fish Aggregating Devices (FADs): Model of Tuna FADs Interaction. Canadian Journal Fish Aquatic. Sci 46: 28-32 Jamal, M., 2003. Studi Pengguaan Rumpon untuk Meningkatkan Produksi Hasil Tangkapan gillnet dan Bubu Dasar yang dioperasikan di Perairan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Lutjanus. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol 8 No.2, Juli 2003, hal 223-231 Josse E., A. Bertrand, L. Dagorn. 1999, An acoustic approach to study tuna aggregated around Fish Aggregating Devices in French Polynesia: methods and validation. Aquat. Living Resour. 12, 303-313. Keputusan Menteri Pertanian nomor 51/Kpts/IK.250/1/97 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon. Mac Lennan, D. N. 1992. Acoustical measurement of fish abundance. J Acoust. Soc. Am. (62): 1-15p. Mac Lennan, D. N & E. J. Simmonds. 1992. Fisheries acoustic. Chapman and Hall. London. 325p. Nurdin E, A. A. Taurusman dan R. Yusfiandayani. 2012. Optimasi Jumlah Rumpon, Unit Armada dan Musim Penangkapan Perikanan Tuna di Perairan Prigi, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI). Maret 2012. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkap ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Simrad. 1993. Simrad EK500 Scientific Echo Sounder Operator Manual. Simrad Subsea A/S Horten, Norway. 204 pp.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
293
294
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
STUDI KELAYAKAN EKONOMI USAHA PERIKANAN TUNA BERBASIS RUMPON DI PERAIRAN PRIGI DAN SEKITARNYA Erfind Nurdin dan Adrian Damora Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut – BPPL
ABSTRAK Pemanfaatan sumberdaya ikan semakin meningkat. Keberadaan rumpon dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan, efisiensi dan efektivitas operasi penangkapan ikan. Namun rumpon juga dapat berdampak negatif terhadap keberlajutan stok sumberdaya bila tidak dikelola secara benar. Penelitian ini dilakukan di perairan Prigi, Jawa Timur, dengan focus penangkapan ikan menggunakan alat bantu rumpon. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kelayakan usaha perikanan tuna di Prigi. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang dianalisis menggunakan analisis usaha dan analisis kriteria investasi. Berdasarkan indikator nilai keuntungan (π), nilai R/C, payback period, dengan nilai NPV > 0, Net B/C > 1, dan IRR > tingkat suku bunga yang berlaku, menunjukkan bahwa usaha perikanan tuna menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan layak secara ekonomis. KATA KUNCI: perikanan tuna, kelayakan usaha, PPN Prigi-Jawa Timur
ABSTRACT The utilization of tuna fishery resources based on FAD Fish Aggregating Device (FADs) has a function to attract and aggregate fish schooling were increased. The advantage of FADs used is increasing the efficiency and effective fishing operations and the number of fish caught, but FADs might also result negative impact for sustainable fish stock if not managed properly. This study was conducted in fishing area of Prigi National Fishing Port, East Java. Fishing activities conducted in the southern waters of Java by using the FADs as an auxiliary gear for fishing. The objective of this study are to assess business feasibilitys of tuna fisheries in Prigi were analyzed using business and investment criteria analysis. The results showed that based on the indicator value of profits (π), R/C, payback period, NPV > 0, Net B/C > 1, and IRR > the interest rate applicable, indicates that the tuna fishery using FADs economically feasible KEYWORDS: tuna fishery, business feasibility, PPN Prigi-East Java.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
295
PENDAHULUAN Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small scale) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Trenggalek – Jawa Timur. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di Perairan Selatan Jawa dengan menggunakan alat bantu rumpon. Armada penangkapan yang dominan melakukan penangkapan di rumpon adalah armada tonda dan jaring insang. Hasil tangkapan tuna cakalang oleh armada tonda pada tahun 2005 mencapai 2.155 ton sedangkan armada jaring insang mencapai 1.020 ton (Statistik PPN Prigi, 2010). Sumberdaya perikanan umumnya adalah milik bersama (common property), dimana pemanfaatannya dilakukan secara terbuka dalam waktu yang bersamaan oleh beberapa pelaku perikanan (open access). Hal inilah yang memudahkan keluar masuknya pelaku usaha, sehingga tekanan pemanfaatan akan semakin kuat. Pemanfaatan sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Monintja & Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006) menyatakan bahwa pada awal keberadaan rumpon, mampu meningkatkan hasil tangkapan. Namun dengan semakin padatnya pemasangan rumpon menyebabkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Saputra et al., (2011) selain produktivitas armada penangkapan ikan, kelayakan usaha juga ditentukan oleh biaya produksi terutama bahan bakar (solar) yang mencapai 70% dari total biaya produksi. Meningkatnya harga solar diduga akan sangat berpengaruh terhadap kelayan usaha penangkapan ikan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kelayakan ekonomi usaha perikanan rumpon yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi Jawa Timur dengan pendekatan analisis pendapatan usaha dan analisis kriteria investasi. BAHAN DAN METODE Data diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan serta wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sesuai keperluan analisis dan tujuan penelitian terhadap nelayan pemilik dan dan awak kapal unit penangkapan tonda dan pancing ulur. Pengumpulan data yang dilakukan adalah: biaya investasi, operasional, perawatan terhadap kapal, alat tangkap dan alat bantu penangkapan (Tabel 1).
296
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tabel 1. Parameter ekonomis usaha perikanan tuna di lokasi penelitian Table 1. Economic parameter of tuna fisheries in research area No
Parameter ekonomis
1
Biaya investasi
2 3 4 5
Komponen (keterangan)
Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan untuk (armada, alat tangkap dan alat bantu penangkapan). Biaya perawatan Besarnya biaya perawatan yang dikeluarkan untuk (armada, alat tangkap dan alat bantu penangkapan). Biaya operasional Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan dalam satu trip perjalanan penangkapan ikan. Pendapatan per trip Besarnya pendapatan per trip yang diperoleh. Pendapatan per tahun Besarnya pendapatan per tahun yang diperoleh setelah dikurangi semua pengeluaran.
Kelayakan usaha dilakukan untuk mengkaji keuntungan (profitability) atau kerugian dari suatu usaha. Analisis kelayakan usaha yang digunakan yaitu analisis usaha (pendapatan usaha, payback period, dan analisis berimbang antara penerimaan dan biaya) (Djamin, 1984), dan analisis kriteria investasi (net present value, internal rate of return dan net benefit cost rasio) (Kadariah et al. 1999). 1)
Analisis usaha.
a.
Analisis pendapatan usaha (π): bertujuan untuk mengukur keberhasilan dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha (Djamin, 1984).
π = TR – TC
dimana:
π: Keuntungan, TR: Total penerimaan dan TC: Total biaya
dengan kriteria:
•
Jika TR > TC, maka usaha mendapatkan keuntungan
•
Jika TR = TC, maka usaha berada dalam titik impas
•
Jika TR < TC, maka usaha mengalami kerugian
b.
Analisis berimbang penerimaan dan biaya (R/C): untuk mengetahui seberapa jauh nilai rupiah yang dikeluarkan dapat memberi nilai manfaat usaha. R / C=
TR TC
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
297
dimana: Penerimaan, C: Biaya, TR: Total penerimaan dan TC: Total biaya
R
:
dengan kriteria:
•
Jika R/C > 1, maka usaha mendapatkan keuntungan
•
Jika R/C = 1, maka usaha berada dalam titik impas
•
Jika R/C < 1, maka usaha mengalami kerugian
c. Analisis payback period (PP): untuk mengetahui perkiraan jangka waktu pengembalian modal atau investasi suatu usaha.
I × 1 tahun B dimana:
P =
I adalah investasi dan B adalah benefit.
2)
Analisis Kriteria Investasi.
a.
Net present value (NPV): adalah benefit total yang diterima selama umur proyek (umur teknis usaha) yang disetarakan dengan nilai saat ini. NPV diperoleh dari selisih antara present value dari benefit dan biaya (Kadariah et al. 1999).
n
NPV = ∑ t =1
B t −C t (1 + i ) t
dimana:
Bt: benefit dari suatu proyek pada tahun ke-I, Ct: biaya dari suatu proyek pada tahun ke-I, i: tingkat suku bunga yang berlaku dan n: umur ekonomis proyek.
dengan kriteria:
• Jika NPV ≥ 0, usaha layak dijalankan
• Jika NPV < 0, usaha tidak layak dijalankan
298
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
b.
Internal rate of return (IRR): merupakan tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, jika setiap benefit bersih yang diwujudkan ditanam kembali dalam tahun berikutnya.
IRR = i' +
dimana :
i′: nilai percobaan pertama untuk discount rate; i″: nilai percobaan ke-dua untuk discount rate; NPV′: net present value pertama; NPV″: net present value ke-dua.
Keputusan berdasarkan atas kriteria berikut:
•
Jika IRR ≥ tingkat suku bunga berlaku, usaha layak dijalankan
•
Jika IRR < tingkat suku bunga berlaku, usaha tidak layak dijalankan
c.
Net benefit-cost ratio (Net B/C): adalah perbandingan antara NPV total dari benefit bersih terhadap NPV total dari biaya bersih, dengan persamaan:
NPV ' (i'' − i') NPV ' − NPV ''
Keputusan berdasarkan atas kriteria berikut:
•
Jika Net B/C ≥ 1, usaha layak dijalankan
•
Jika Net B/C < 1, usaha tidak layak dijalankan
Asumsi yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: a) Umur proyek 10 tahun, sesuai dengan umur teknis kapal 10 tahun.
b) Umur ekonomis mesin kapal selama 4 tahun, alat tangkap 3 tahun, genset 4 tahun, lampu 2 tahun, GPS 4 tahun, kompas 3 tahun dan rumpon 5 tahun. c) Kenaikan harga per tahun untuk mesin sebesar 4 %, alat tangkap dan rumpon masing-masing 5 %, genset, lampu, GPS dan kompas masing-masing 2 %. d) Penyusutan nilai kapal, mesin, genset, lampu, GPS dan kompas masing-masing sebesar 10 %, alat tangkap 20 %, dan rumpon 40 %. e) Kenaikan seluruh harga komponen biaya tetap sebesar 2 % per tahun, biaya tidak tetap, penerimaan, dan penyusutan masing-masing sebesar 1 % per tahun f) Biaya retribusi tetap setiap tahunnya sebesar 2 %. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
299
g)
Jumlah trip berkisar 3 trip per bulan atau 36 trip per tahun.
h)
Tingkat suku bunga pinjaman (discount rate) sebesar 12 % per tahun.
HASIL DAN BAHASAN HASIL Produksi Hasil Tangkapan Awal tahun 2004 penggunaan rumpon marak digunakan, yang berakibat pada peningkatan produksi hasil tangkapan. Produksi tertinggi armada jaring insang pada tahun 2004 sebesar 675 ton dan terendah pada 2007 sebesar 226 ton, sedangkan tonda tertinggi pada tahun 2005 sedbesar 2.155 ton dan terendah pada 2008 sebesar 872 ton (Gambar 1).
Gambar 1. Produksi armada penangkapan di sekitar rumpon, PPN Prigi. Figure 1. Fishing fleets production around FADs, in Prigi fishing port Pada tahun 2004 sampai 2009 pemanfaatan hasil tangkapan di rumpon cukup tinggi dengan nilai CPUE armada tonda tertinggi pada 2005 sebesar 42,25 ton/unit dan terendah pada 2008 sebesar 12,11 ton/unit dengan rata-rata 22,06 ton/unit/tahun. Sedangkan armada jaring insang nilai tertinggi pada 2004 sebesar 39,71 ton/unit dan terendah pada 2007 sebesar 5,26 ton/ unit dengan rata-rata 13,46 ton/unit (Gambar 2).
300
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. CPUE alat penangkapan ikan di Perairan Prigi Jawa Timur Figure 2. Fishing gear CPUE in Prigi Waters, East Java
Kelayakan Usaha Analisis pendapatan usaha Alat penangkap ikan tuna di PPN Prigi adalah tonda dan jaring insang. Lama trip dalam sekali penangkapan adalah 5-8 hari (3 trip per bulan). Biaya investasi terdiri dari unit kapal ikan (mesin dan alat-alat kelengkapan kapal), alat penangkapan ikan, dan rumpon. Nilai investasi armada tonda sebesar Rp 174.995.000,-. yang terdiri dari rumpon, kapal dan alat tangkap dengan biaya tetap yang harus dikeluarkan pada tahun pertama Rp 10.900.000,- dan biaya tidak tetap kapal Rp 160.805.400,- (Lampiran 1). Sedangkan nilai investasi armada jaring insang Rp 157.005.000,- dengan biaya tetap Rp 10.428.500, dan biaya tidak tetap kapal Rp 125.142.000,(Lampiran 2). Pendapatan rata-rata per trip untuk armada tonda pada musim puncak (Juli – November) sebesar Rp 19.000.000,-, pada musim sedang (Juni dan Desember) sebesar Rp 9.720.000,- dan pada musim paceklik (Januari – Mei) sebesar Rp 4.150.000,-. Rata-rata hasil pendapatan per trip armada jaring insang pada musim puncak (Juli – November) sebesar Rp 16.750.000,-, pada musim sedang (Juni dan Desember) sebesar Rp 10.650.000,- dan pada musim paceklik (Januari – Mei) sebesar Rp 3.730.000,-. Hasil analisa pendapatan usaha unit armada tonda dan jaring insang menunjukkan nilai keuntungan (π) masing-masing sebesar Rp 204.583.600,- dan Rp. 208.954.000,-. Nilai R/C armada tonda sebesar 2,02, jaring insang 2,29 dengan nilai payback period armada tonda
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
301
sebesar 0,86 tahun dan jaring insang 0,75 tahun, yang berarti jangka waktu pengembalian modal usaha armada tonda selama 10 bulan dan jaring insang 9 bulan (Tabel 2). Tabel 2. Analisis pendapatan usaha perikanan tuna di PPN Prigi Table 2. Business analysis of tuna fisheries in PPN Prigi No 1. 2. 3.
Analisis Usaha Keuntungan usaha per tahun (Rp) Rasio imbangan penerimaan dan biaya (R/C) Payback period
Usaha Perikanan Tuna Tonda Jaring insang Rp. 204.583.600,Rp. 208.954.000 2,02 2,29 10 bulan 9 bulan
Analisis kriteria investasi Hasil perhitungan NPV, Net B/C dan IRR (Tabel 3) usaha pengangkapan Tuna layak dikembangkan dengan discount factor sebesar 12% yang berarti bahwa pada umur proyek 10 tahun ke-dua usaha tersebut layak dijalankan karena memiliki nilai NPV > 0. Nilai IRR 23% untuk armada tonda dan 32% untuk jaring insang menunjukkan bahwa nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga berlaku (12%). Nilai net B/C > 1 untuk kedua unit armada penangkapan yaitu armada tonda sebesar 1,99 dan jaring insang 2,50 yang berarti kedua usaha tersebut layak untuk dijalankan. Tabel 3. Kriteria investasi usaha perikanan tuna di PPN Prigi Table 3. Investment criteria analysis of tuna fisheries in PPN Prigi No. 1. 2. 3.
Analisis Usaha Net present value (NPV) pada DF 12% Net B/C pada DF 12% Internal rate of return (IRR)
Usaha Perikanan Tuna Tonda Jaring insang Rp. 173.452.274,Rp. 235.179.732,1,99 2,50 23 % 32 %
BAHASAN Peningkatan produksi pada 2004 dan 2005 sebagai akibat dari penggunaan rumpon, namun pada 2006 hingga 2009 terjadi penurunan produksi yang disebabkan oleh penambahan jumlah rumpon dan unit armada pada lokasi penangkapan yang sama. Menurut Sparre dan Venema (1999), CPUE merupakan indek kelimpahan stok ikan di perairan. Hal ini berarti telah terjadi penurunan stok ikan Tuna di perairan Samudera Hindia. Kondisi ini sesuai dengan hasil kajian Ghofar (2007) dan surat keputusan menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 302
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
nomor kep. 45/men/2011, tentang estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI, bahwa lokasi Samudera Hindia bagian Selatan Jawa untuk jenis ikan tuna sudah dalam kondisi fully exploited dan over exploited kecuali jenis cakalang (moderate). Naamin & Kee Chai Chong (1987) menyatakan pada awal penggunaan rumpon di Sorong antara tahun 1985 sampai 1986, dapat meningkatkan hasil tangkapan. Namun dengan bertambahnya penggunaan rumpon pada tahun-tahun berikutnya terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Menard et al., (2000) menyatakan bahwa pemanfaatan rumpon secara besar-besaran pada suatu area penangkapan akan sangat berpengaruh terhadap produksi. Rumpon mempunyai keterbatasan pengaruh langsung terhadap ekosistem, sehingga pemanfaatannya yang intensif dapat berpengaruh negatif pada yield per – recruitment. Berdasarkan analisis kelayakan usaha dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha perikanan tangkap dengan menggunakan bantuan rumpon untuk jenis armada tonda dan jaring insang dapat memberikan keuntungan yang menarik sebagai suatu unit usaha. Kelayakan usaha dan pendapatan nelayan sangat tergantung pada biaya-biaya yang dikeluarkan, hasil tangkapan, harga penjualan ikan dan musim penangkapan ikan. Hasil penelitian Saputra et al., (20011) di Cilacap mengenai kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan menggunakan rawai tuna ternyata sudah tidak menguntungkan, ditinjau dari indikator NPV, IRR dan Payback periods-nya. Hal ini terutama disebabkan meningkatnya biaya produksi sebagai akibat naiknya harga BBM dan menurunnya hasil tangkapan per trip. Perbedaan hasil penelitian ini ditengarai karena sebagaimana diketahui bahwa 70% biaya produksi penangkap ikan rawai tuna untuk pengadaan BBM (Saputra et al., 2011). Yang mana dalam beroperasi armada rawai tuna masih mencari-cari lokasi penangkapan (trial and error) sehingga konsumsi BBM mempengaruhi biaya produksi. Pada sisi yang lain, harga jual hasil tangkapan ikan tidak ikut naik. Kondisi ini diperburuk dengan masih seringnya terjadi kegagalan ekspor dengan berbagai alasan. Dalam penentuan harga ikan umumnya tergantung pada keseimbangan pasar antara ketersediaan produk dan permintaan. Apabila produksi melimpah, permintaan menurun maka harga ikan akan ikut menurun dan begitupun sebaliknya. Dengan melihat kondisi perikanan tuna secara global di setiap WPP (KKP, 2011) dan kondisi kelayakan ekonomi hasil kajian ini, dirasa perlu adanya pemanfaatan dengan pendekatan kehati-hatian (precaunary approach), hal ini berhubungan dengan kepentingan keberlanjutan usaha nelayan secara ekonomi, penelitian lanjutan dengan pendekatan ekosistem perlu dilakukan untuk menunjang keberlanjutan ketersediaan stok ikan tuna yang merupakan target utama operasi penangkapan di sekitar rumpon. Pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan yang Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
303
mengintegrasikan antara pendekatan ekosistem dengan ekonomi akan memberikan dampak ekologis dan ekonomis yang menguntungkan dalam jangka panjang bagi para pelaku usaha perikanan dan pemangku kepentingan.
KESIMPULAN Usaha nelayan Prigi menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan layak secara ekonomis karena memiliki nilai NPV > 0, Net B/C > 1, dan IRR > tingkat suku bunga yang berlaku (12%). Dengan nilai keuntungan (π) sebesar Rp 204.583.600,- nilai R/C sebesar 2,02, dan payback period 0,86 tahun untuk unit armada tonda dan nilai keuntungan (π) sebesar Rp. 208.954.000,- nilai R/C sebesar 2,29, dan payback period 0,75 tahun untuk unit armada jaring insang.
DAFTAR PUSTAKA Monintja DR & Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan zee terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi (laporan penelitian). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Diniah, Monintja D R & Ardianto A. 2006. Teknologi Rumpon Laut Dalam sebagai Alat Bantu Pemanfaatan Sumberdaya Cakalang. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Buku Kumpulan Pemikiran Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: FPIK IPB.Saputra. Suradi Wijaya, Anhar Solichin ,Dian Wijayanto & Faik Kurohman. 2011 Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hal. Ghofar, A. 2007. Keberlanjutan dan Rencana Pengelolaan Perikanan. Makalah. Disampaikan pada Forum Pertemuan Sosialisasi RPP dan UU No.27/2007 di Semarang – 29 November 2007. Kadariah, Lien K & Clive G. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hal. [KKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2010. Laporan Statistik Perikanan. Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi. 140 hal. KKP, 2011. Keputusan Menteri kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor kep. 45/ men/2011, tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
304
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Naamin N and Chong KC. (1987), Technological and economic aspect of FAD based on skipjack and tuna fishing in Indonesia. Paper presented to the fourth Int. Conf. on artificial habitat for fisheries. Nov 2-6, 1987. Miami Florida,USA. [terhubung berkala] http.www.spc.int/digital library/Doc/FAME/meeting/ WPYRG/2/Doc.pdf. [10 Maret 2011]. Menard, F., A. Fanteneau, D. Gartuer, V. Nordstorm, B. Stequert, & E. Marchal. 2000. Exploitation of small tunas by purse-seine fishery with fish aggregating device from accoustic surveys in french polynesia. Aquat Living Resour 13: 183-192. Saputra S W, A. Solichin, D. Wijayanto & F. Kurohman. 2011. Produktivitas dan kelayakan usaha tuna longliner di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 6, No. 2. Hal: 84 - 91 Sparre P and Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Penerjemah; Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. 483 hal.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
305
306
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Alat tangkap (umur teknis 3 tahun)
Diesel / genset (umur teknis 4 tahun)
Lampu (umur teknis 2 tahun)
GPS (umur teknis 4 tahun)
Kompas (umur teknis 3 tahun)
Rumpon (umur teknis 5 tahun) Total (1 s/d 8)
C.
Perawatan kapal
Perawatan alat tangkap
Perawatan mesin
Pajak kapal / tahun
Perawatan rumpon Total (1 S/d 5)
D.
Bahan bakar
Oli mesin
Gas
Es balok
Biaya makan
Obat-obatan
Umpan pancing
Air
Retribusi Total (1 S/d 9)
3
4
5
6
7
8 9
No.
1
2
3
4
5
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2
Musim puncak (Jul s/d Nov) 99.000.000 30.000.000 285.000.000
1.3 Lainnya (15 trip)
Total (1.1 s/d 1.3)
36.000.000 18.000.000 4.320.000
1.1 Tuna (6 trip)
1.2 Cakalang (6 trip)
1.3 Lainnya (6 trip)
Musim sedang (Jun&Des)
156.000.000
1.2 Cakalang (15 trip)
160.805.400
8.111.400
3.600.000
7.200.000
3.600.000
36.000.000
19.584.000
3.780.000
10.080.000
68.850.000
10.900.000
1.200.000
100.000
3.600.000
2.400.000
3.600.000
1.1 Tuna (15 trip)
Komponen penerimaan per tahun
E.
1
-
5.624.402
4.363.200
18.180.000
36.360.000
287.850.000
30.300.000
99.990.000
157.560.000
162.413.454
8.192.514
3.636.000
7.272.000
3.636.000
36.360.000
19.779.840
3.817.800
10.180.800
69.538.500
7.546.000
102.000
100.000
2.448.000
3.672.000
1.224.000
30.909.030
101.999.799
160.726.956
165.677.964
8.357.184
3.709.084
7.418.167
3.709.084
37.090.836
20.177.415
3.894.538
10.385.434
70.936.224
7.846.818
106.121
100.000
2.546.899
3.820.349
1.273.450
4.406.832
18.361.800
36.723.600
4.450.900
18.545.418
37.090.836
290.728.500 293.635.785 Lanjutan
30.603.000
100.989.900
159.135.600
164.037.589
8.274.439
3.672.360
7.344.720
3.672.360
36.723.600
19.977.638
3.855.978
10.282.608
70.233.885
7.694.920
104.040
100.000
2.496.960
3.745.440
1.248.480
50.263.066
1.082.432
17.594.453
31.586.181
4
10.599.176
883.265
5.851.628
3.864.283
5
Tahun 6
4.495.409
18.730.872
37.461.744
296.572.143
31.218.120
103.019.797
162.334.226
167.334.744
8.440.755
3.746.174
7.492.349
3.746.174
37.461.744
20.379.189
3.933.483
10.489.288
71.645.586
8.001.755
108.243
100.000
2.597.837
3.896.756
1.298.919
4.540.363
18.918.181
37.836.362
299.537.864
31.530.302
104.049.995
163.957.568
169.008.092
8.525.163
3.783.636
7.567.272
3.783.636
37.836.362
20.582.981
3.972.818
10.594.181
72.362.042
8.159.790
110.408
100.000
2.649.794
3.974.691
1.324.897
64.217.383
-
5.624.402
3
174.995.000
2
64.217.383
1
47.920.000
1.000.000
800.000
3.500.000 5.300.000
14.475.000
27.000.000
75.000.000
0
Komponen biaya tidak tetap per tahun
10 No.
6
Mesin Kapal (umur teknis 3 tahun)
2
Komponen biaya tetap per tahun
Kapal (umur teknis 10 tahun)
1
Komponen Biaya investasi
A. B.
No.
Lampiran 1. Komponen kriteria investasi armada tonda
4.585.767
19.107.363
38.214.725
302.533.243
31.845.605
105.090.495
165.597.143
170.698.172
8.610.415
3.821.473
7.642.945
3.821.473
38.214.725
20.788.811
4.012.546
10.700.123
73.085.662
8.320.986
112.616
100.000
2.702.790
4.054.185
1.351.395
63.134.656
1.148.686
6.088.034
20.367.779
35.530.158
7
-
4.631.625
19.298.436
38.596.873
305.558.575
32.164.061
106.141.400
167.253.115
172.405.154
8.696.519
3.859.687
7.719.375
3.859.687
38.596.873
20.996.699
4.052.672
10.807.124
73.816.519
8.485.405
114.869
100.000
2.756.846
4.135.268
1.378.423
8
4.677.941
19.491.421
38.982.841
308.614.161
32.485.701
107.202.814
168.925.646
174.129.206
8.783.484
3.898.284
7.796.568
3.898.284
38.982.841
21.206.666
4.093.198
10.915.196
74.554.684
8.653.113
117.166
100.000
2.811.983
4.217.974
1.405.991
11.472.889
956.074
6.333.991
4.182.824
9
4.724.720
19.686.335
39.372.670
311.700.303
32.810.558
108.274.842
170.614.903
175.870.498
8.871.319
3.937.267
7.874.534
3.937.267
39.372.670
21.418.732
4.134.130
11.024.348
75.300.231
8.824.176
119.509
100.000
2.868.222
4.302.333
1.434.111
64.763.840
1.218.994
23.578.250
39.966.596
10
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
307
7.500.000 1.525.000
Kapal (10 %)
Mesin Kapal (10 %)
Alat tangkap (20 %)
Diesel / genset (10 %)
Lampu (10 %)
GPS (10 %)
Kompas (10 %)
Rumpon (40 %) Total (1 s/d 8)
G.
Bagi hasil (pemilik 50% : ABK 50%)
Bonus juru mudi (1%)
Upah teknisi Total (1 s/d 3)
1 2
3
4
5
6
7
8 9
No.
1
2
3
4
405.570.000
F.
4
No.
174.995.000 348.447.274 174.995.000 173.452.274 23% 1.99
PV +
PV -
NPV
IRR
Net B/C
71.424.643
0.,9
79.995.600
174.995.000 1,00
127.565.380
3.636.000
4.096.257
119.833.123
124.588.000
3.600.000
4.055.700
116.932.300
29.573.810
PV
df = 12%
TR
Komponen tenaga kerja per tahun
19.329.380
29.281.000
101.000
80.800
181.800
353.500
412.080
1.540.250
7.575.000
8.332.500
19.138.000
100.000
80.000
180.000
350.000
408.000
409.625.700
62.250.000
Total (1.1 s/d 1.3) Total (1+2+3)
Komponen penyusutan per tahun
62.872.500
8.250.000
1.3 Lainnya (15 trip)
19.089.000
18.900.000
35.451.000
58.903.200
35.100.000
58.320.000
1.2 Cakalang (15 trip)
Total (1.1 s/d 1.3) Musim paceklik (Jan s/d Mei)
1.1 Tuna (15 trip)
3
65.790.064
0,80
82.527.056
128.804.304
3.672.360
4.137.220
120.994.724
29.869.548
19.522.674
102.010
81.608
183.618
357.035
416.201
1.555.653
7.650.750
413.721.957
63.501.225
8.415.825
19.279.890
35.805.510
59.492.232
55.299.057
0,71
77.691.194
130.054.872
3.709.084
4.178.592
122.167.197
30.168.244
19.717.901
103.030
82.424
185.454
360.605
420.363
1.571.209
7.727.258
417.859.177
64.136.237
8.499.983
19.472.689
36.163.565
60.087.154
21.511.150
0,64
33.848.212
131.317.187
3.746.174
4.220.378
123.350.635
30.469.926
19.915.080
104.060
83.248
187.309
364.211
424.566
1.586.921
7.804.530
422.037.768
64.777.600
8.584.983
19.667.416
36.525.201
60.688.026
42.168.316
0,57
74.314.981
132.591.350
3.783.636
4.262.581
124.545.132
30.774.625
20.114.230
105.101
84.081
189.182
367.854
428.812
1.602.790
7.882.575
426.258.146
65.425.376
8.670.833
19.864.090
36.890.453
61.294.906
10.896.068
0,51
21.506.906
133.877.465
3.821.473
4.305.207
125.750.785
31.082.372
20.315.373
106.152
84.922
191.074
371.532
433.100
1.618.818
7.961.401
430.520.727
66.079.629
8.757.541
20.062.731
37.259.357
61.907.855
10.588.173
0,45
23.407.077
135.175.634
3.859.687
4.348.259
126.967.688
31.393.195
20.518.526
107.214
85.771
192.984
375.247
437.431
1.635.006
8.041.015
434.825.935
66.740.426
8.845.117
20.263.358
37.631.951
62.526.934
35.285.883
0,40
87.366.546
136.485.964
3.898.284
4.391.742
128.195.937
31.707.127
20.723.712
108.286
86.629
194.914
379.000
441.806
1.651.356
8.121.425
439.174.194
67.407.830
8.933.568
20.465.992
38.008.270
63.152.203
27.668.127
0,36
76.725.896
137,808,558
3,937,267
4,435,659
129,435,631
32.024.198
20.930.949
109.369
87.495
196.863
382.790
446.224
1.667.870
8.202.640
443.565.936
68.081.908
9.022.903
20.670.652
38.388.353
63.783.725
308
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Mesin Kapal (umur teknis 3 tahun)
Alat tangkap (umur teknis 3 tahun)
Diesel / genset (umur teknis 4 tahun)
Lampu (umur teknis 2 tahun)
GPS (umur teknis 4 tahun)
Kompas (umur teknis 3 tahun)
Rumpon (umur teknis 5 tahun)
2
3
4
5
6
7
8
Perawatan alat tangkap
Perawatan mesin
Pajak kapal / tahun
Perawatan rumpon
Total (1 S/d 5)
2
3
4
5
6
Oli mesin
Gas
Es balok
Biaya makan
Obat-obatan
Umpan pancing
Air
Retribusi
Total (1 S/d 9)
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
-
42000000
1.3 Lainnya (15 trip) 251.250.000
82500000
Total (1.1 s/d 1.3)
126750000
125.142.000
7.422.000
3.600.000
7.200.000
3.600.000
36.000.000
11.520.000
2.160.000
5.040.000
48.600.000
10.900.000
100.000
3.600.000
2.400.000
3.600.000
1.200.000
1
1.2 Cakalang (15 trip)
157.005.000
47.405.000
1.000.000
800.000
4.740.000
4.500.000
14.560.000
24.000.000
60.000.000
0
1.1 Tuna (15 trip)
Musim puncak (Jul s/d Nov)
No. E. Komponen penerimaan per tahun
Bahan bakar
1
No. D. Komponen biaya tidak tetap per tahun
Perawatan kapal
1
9 Total (1 s/d 8) No. C. Komponen biaya tetap per tahun
Kapal (umur teknis 10 tahun)
1
Komponen Biaya investasi
A. B.
No.
-
253.762.500
42.420.000
83.325.000
128.017.500
126.393.420
7.496.220
3.636.000
7.272.000
3.636.000
36.360.000
11.635.200
2.181.600
5.090.400
49.086.000
7.546.000
102.000
100.000
2.448.000
3.672.000
1.224.000
2
Lampiran 2. Komponen kriteria investasi armada jaring insang
7.646.894
3.709.084
7.418.167
3.709.084
37.090.836
11.869.068
2.225.450
5.192.717
50.072.629
7.846.818
106.121
100.000
2.546.899
3.820.349
1.273.450
18.780.203
1.082.432
17.697.771
4
258.863.126
43.272.642
84.999.833
130.590.652
128.933.928
Lanjutan
256.300.125
42.844.200
84.158.250
129.297.675
127.657.354
7.571.182
3.672.360
7.344.720
3.672.360
36.723.600
11.751.552
2.203.416
5.141.304
49.576.860
7.694.920
104.040
100.000
2.496.960
3.745.440
1.248.480
5.030.126
5.030.126
3
261.451.758
43.705.368
85.849.831
131.896.558
130.223.267
7.723.363
3.746.174
7.492.349
3.746.174
37.461.744
11.987.758
2.247.705
5.244.644
50.573.355
8.001.755
108.243
100.000
2.597.837
3.896.756
1.298.919
40.284.641
883.265
5.233.343
4.968.364
29.199.670
5
Tahun
264.066.275
44.142.422
86.708.329
133.215.524
131.525.500
7.800.597
3.783.636
7.567.272
3.783.636
37.836.362
12.107.636
2.270.182
5.297.091
51.079.088
8.159.790
110.408
100.000
2.649.794
3.974.691
1.324.897
63.527.234
63.527.234
6
266.706.938
44.583.846
87.575.412
134.547.679
132.840.755
7.878.603
3.821.473
7.642.945
3.821.473
38.214.725
12.228.712
2.292.884
5.350.062
51.589.879
8.320.986
112.616
100.000
2.702.790
4.054.185
1.351.395
27.080.838
1.148.686
5.444.770
20.487.382
7
269.374.007
45.029.685
88.451.167
135.893.156
134.169.162
7.957.389
3.859.687
7.719.375
3.859.687
38.596.873
12.350.999
2.315.812
5.403.562
52.105.778
8.485.405
114.869
100.000
2.756.846
4.135.268
1.378.423
32.845.657
32.845.657
8
272.067.747
45.479.982
89.335.678
137.252.087
135.510.854
8.036.962
3.898.284
7.796.568
3.898.284
38.982.841
12.474.509
2.338.970
5.457.598
52.626.836
8.653.113
117.166
100.000
2.811.983
4.217.974
1.405.991
11.998.729
956.074
5.664.739
5.377.917
9
274.788.425
45.934.781
90.229.035
138.624.608
136.865.962
8.117.332
3.937.267
7.874.534
3.937.267
39.372.670
12.599.254
2.362.360
5.512.174
53.153.104
8.824.176
119.509
100.000
2.868.222
4.302.333
1.434.111
24.935.700
1.218.994
23.716.706
10
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
309
5.400.000 63.900.000
1.2 Cakalang (6 trip)
1.3 Lainnya (6 trip)
Total (1.1 s/d 1.3)
371.100.000
Total (1.1 s/d 1.3)
Mesin Kapal (10 %)
Alat tangkap (20 %)
Diesel / genset (10 %)
Lampu (10 %)
GPS (10 %)
Kompas (10 %)
Rumpon (40 %)
Total (1 s/d 8)
2
3
4
5
6
7
8
9
Bonus juru mudi (1%)
Upah teknisi
Total (1 s/d 3)
2
3
4
157.005.000 392.184.732 157.005.000 235.179.732 32% 2,50
PV +
PV -
NPV
IRR
Net B/C
75.101.786
0,89
84.114.000
157.005.000 1,00
127.819.900
3.636.000
3.748.110
120.435.790
26.365.040
19.151.620
101.000
80.800
153.520
444.400
449.450
1.515.000
4.469.250
7.575.000
124.840.000
3.600.000
3.711.000
117.529.000
26.104.000
18.962.000
100.000
80.000
152.000
440.000
445.000
1.500.000
PV
df = 12%
TR
Bagi hasil (pemilik 50% : ABK 50%)
1
No. G. Komponen tenaga kerja per tahun
Kapal (10 %)
1
4.425.000
374.811.000
7.500.000 55.950.000
1.3 Lainnya (15 trip)
Total (1+2+3)
56.509.500
14.700.000
14.847.000
33.750.000
1.2 Cakalang (15 trip)
34.087.500
64.539.000
5.454.000
18.180.000
40.905.000
1.1 Tuna (15 trip)
Musim paceklik (Jan s/d Mei)
40500000 18.000.000
1.1 Tuna (6 trip)
Musim sedang (Jun&Des)
No. F. Komponen penyusutan per tahun
4
3
2
69.106.059
0,80
86.686.640
129.061.369
3.672.360
3.785.591
121.603.418
26.628.690
19.343.136
102.010
81.608
155.055
448.844
453.945
1.530.150
4.513.943
378.559.110
57.074.595
7.650.750
14.995.470
34.428.375
65.184.390
5.508.540
18.361.800
41.314.050
58.712.369
0,71
82.486.650
130.314.508
3.709.084
3.823.447
122.781.977
26.894.977
19.536.568
103.030
82.424
156.606
453.332
458.484
1.545.452
4.559.082
382.344.701
57.645.341
7.727.258
15.145.425
34.772.659
65.836.234
5.563.625
18.545.418
41.727.191
44.215.704
0,64
69.574.266
131.579.419
3.746.174
3.861.681
123.971.563
27.163.927
19.731.933
104.060
83.248
158.172
457.866
463.069
1.560.906
4.604.673
386.168.148
58.221.794
7.804.530
15.296.879
35.120.385
66.494.596
5.619.262
18.730.872
42.144.462
27.755.764
0,57
48.915.139
132.856.204
3.783.636
3.900.298
125.172.270
27.435.566
19.929.253
105.101
84.081
159.754
462.444
467.699
1.576.515
4.650.719
390.029.830
58.804.012
7.882.575
15.449.848
35.471.589
67.159.542
5.675.454
18.918.181
42.565.907
13.438.662
0,51
26.525.535
134.144.968
3.821.473
3.939.301
126.384.194
27.709.922
20.128.545
106.152
84.922
161.351
467.069
472.376
1.592.280
4.697.227
393.930.128
59.392.052
7.961.401
15.604.346
35.826.305
67.831.138
5.732.209
19.107.363
42.991.566
28.874.654
0,45
63.832.660
135.445.812
3.859.687
3.978.694
127.607.431
27.987.021
20.329.831
107.214
85.771
162.965
471.740
477.100
1.608.203
4.744.199
397.869.429
59.985.973
8.041.015
15.760.390
36.184.568
68.509.449
5.789.531
19.298.436
43.421.482
23.803.412
0,40
58.936.371
136.758.843
3.898.284
4.018.481
128.842.078
28.266.891
20.533.129
108.286
86.629
164.594
476.457
481.871
1.624.285
4.791.641
401.848.123
60.585.833
8.121.425
15.917.994
36.546.414
69.194.543
5.847.426
19.491.421
43.855.697
29.086.693
0,36
80.659.692
138.084.166
3.937.267
4.058.666
130.088.233
28.549.560
20.738.460
109.369
87.495
166.240
481.222
486.690
1.640.528
4.839.557
405.866.605
61.191.691
8.202.640
16.077.174
36.911.878
69.886.489
5.905.900
19.686.335
44.294.254
310
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
DINAMIKA KONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN TIMUR LAUT SAMUDERA HINDIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR Oleh: Khairul Amri1) 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Email: [email protected]
ABSTRAK Keberadaan jenis-jenis ikan di suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan baik dari bentuk topografi dasar perairannya, kedalaman perairan maupun sejumlah faktor oseanografi yang menyertainya. Perairan Timur Laut Samudera Hindia (TLSH) merupakan daerah penangkapan jenis-jenis ikan pelagis besar yang potensial dan sudah dimanfaatkan sejak lama. Penelitian ini mengkaji dinamika oseanografi perairan TLSH dan implikasinya terhadap sumberdaya ikan pelagis besar menggunakan data pengamatan time series Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil-a selama rentang 2003-2012. Adanya anomali iklim seperti ENSO (El-Nino/La-Nina) dan dipole mode menjadi bahasan dalam tulisan ini. Analisa dilakukan secara spasial dan temporal. Hasil kajian menunjukkan bahwa fluktuasi nilai sebaran SPL dipengaruhi oleh perubahan monsun dan intensitasnya meningkat saat terjadi anomali iklim. Peningkatan nilai sebaran klorofil-a permukaan menunjukkan keterkaitan dengan penurunan SPL yang disebabkan oleh upwelling pada musim timur dan nilainya meningkat tajam saat terjadi dipole mode positif maupun El-Nino. Secara umum, terlihat hasil tangkapan jenis-jenis ikan pelagis besar dipengaruhi oleh dinamika perubahan kondisi oseanografi. Puncak musim penangkapan terjadi pada musim timur (Juni-Juli-Agustus) dan musim peralihan (September-Oktober-November) bertepatan dengan puncak upwelling ditandai penurunan SPL dan peningkatan nilai sebaran klorofil-a. Kata Kunci : Timur Laut Samudera Hindia, Kondisi Oseanografi, Sebaran SPL dan Klorofil-a, Sumberdaya ikan pelagis besar
PENDAHULUAN Perairan Samudera Hindia di barat Sumatera (Wilayah Pengelolaan Perikanan/WPP 572) dan selatan Jawa (WPP 573), dikenal sebagai perairan Timur Laut Samudera Hindia (TLSH) atau secara umum dinamakan Eastern Indian Ocean (EIO). Perairan ini merupakan daerah penangkapan ikan yang sangat potensial dan sudah dimanfaatkan sejak lama.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
311
Berbagai jenis ikan di perairan ini, baik dari kelompok demersal, pelagis besar maupun pelagis kecil, menjadi target utama penangkapan nelayan yang berbasis di sepanjang pantai barat Sumatera dan selatan Jawa sampai ke selatan Bali dan Nusa Tenggara. Eksploitasi sumberdaya ikan di kedua perairan ini pada hakekatnya tidak dibatasi di dalam perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) saja, tetapi juga dapat melampaui batas-batas ZEEI, khususnya untuk jenis-jenis ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol dan cakalang. Keberadaan jenis-jenis ikan di suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan baik dari bentuk topografi dasar perairannya, kedalaman perairan maupun sejumlah faktor oseanografi (fisika, kimia dan biologi) yang menyertainya. Oleh karena adanya berbagai aliran massa air dan juga pengaruh angin muson yang berbeda setiap musimnya, maka kondisi oseanografi perairan TLSH memiliki dinamika yang tinggi (Syamsudin et al, 2012). Topografi dasar perairan TLSH sebagian besar berbentuk basin. Basin-basin besar Australia-Hindia terletak di selatan Pulau Jawa. Bentuk tertentu yang dekat ke wilayah Indonesia dan erat hubungannya dengan struktur daratan yaitu adanya palung yang memanjang dan sejajar pantai selatan Jawa dan pulau-pulau Nusatenggara. Palung Jawa yang terletak di lepas pantai mempunyai kedalaman maksimum sekitar 7450 m, sedangkan Palung Bali terletak agak dekat ke pantai mempunyai kedalaman yang lebih dangkal yaitu sekitar 5160 m. Kedua palung tersebut sering disebut sebagai Palung Ganda Sunda (Sunda Double Trench) dengan liputan mulai dari sebelah selatan Sumbawa-Bali-Jawa dan terus berlanjut sampai barat daya Sumatera. Bentuk topografi dan kedalaman perairan tersebut mempengaruhi teknik dan operasional penangkapan serta jenis ikan yang menjadi target utama penangkapan. Tulisan ini menyajikan dinamika kondisi lingkungan perairan Timur Laut Samudera Hindia yang menjadi lokasi penangkapan ikan nelayan yang beroperasi di WPP 572 dan WPP 573 yang berbasis di barat Sumatera dan Selatan Jawa, berdasarkan data pengamatan secara time series. Adanya nomali iklim seperti ENSO (El-Nino/La-Nina) dan dipole mode menjadi bahasan dalam tulisan ini karena berpengaruh besar terhadap sejumlah parameter oseanografi termasuk kesuburan perairan.
METODOLOGI Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan difokuskan pada perairan Samudera Hindia bagian timur, yaitu wilayah perairan Indonesia di barat Sumatera (WPP 572) dan selatan Jawa Barat (WPP 573) pada posisi geografis 85 0BT - 106 0BT dan 100 LU – 100 LS. Lokasi perairan tersebut merupakan fishing ground nelayan yang berpangkalan di barat Aceh (NAD), Sibolga (Sumatera Utara), Air
312
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Bangis-Bungus-Painan (Sumatera Barat) dan selatan Jawa Barat (Palabuhanratu) (Gambar 1). Lampulo
Sibolga Air Bangis Bungus Painan
Palabuhanratu
Java
Gambar 1. Lokasi penelitian di WPP 572 barat Sumatera dan WPP 573 selatan Jawa Bahan Data yang digunakan adalah data kondisi lingkungan perairan berupa sejumlah parameter oseanografi (suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a, salinitas dan arus) serta data indeks anomali iklim yang mempengaruhi kondisi oseanografi perairan TLSH. Data tersebut merupakan data runtun waktu (time series) selama rentang waktu 2003-2012. Data sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) dan data sebaran Klorofil-a (SSC/Sea Surface Chlorophyll) diperoleh dari hasil pengukuran sensor satelit sementara data salinitas dan arus diperoleh dari sejumlah referensi. Data sebaran SPL merupakan data hasil pengukuran sensor thermal Satelit NOAAAVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer). Format data yang digunakan Global Area Coverage (GAC), rata-rata mingguan dengan resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km. Data SPL diduga dengan menggunakan algoritma standard 11 µm NLSST Algorithm (http://nasa.gsfc.gov). Citra dan ASCII di-download dari situs (http://podaac.jpl.nasa.gov/). Data sebaran klorofil-a (SSC=Sea Surface Chlorophyll) diperoleh dari hasil pengukuran sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) satelit Aqua, format data ratarata mingguan dengan resolusi spasial 9 km x 9 km. Konsentrasi klorofil-a diduga berdasarkan algoritma OC3M (O’Reilly et al., 2000) yang merupakan algoritma default dalam SeaDAS 5.2. Citra dan ASCII di-download dari situs (http://www.reason.gsfc.nasa.gov/). Indeks DMI dan indeks NINO 3.4 masing-masing di-download dari situs (http:// www. jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/IOD/e/IOD/dipole_mode_index.html) dan (http://www .esrl. noaa.gov/psd/data/climateindices/list/).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
313
Pengolahan dan Analisa Data Indeks DMI dan indeks NINO 3.4 diolah dengan format exel dan ditampilkan secara grafis dalam bentuk grafik. Nilai rata-rata SPL/klorofil-a per bulan di lokasi pengamatan diperoleh menggunakan rumus: SPL/Klorofil-a
mean=
∑ SPL/Klorofil-a n
n adalah jumlah pixel SPL/Klorofil-a
Analisa hubungan antara perubahan kondisi oseanografi akibat pengaruh anomali iklim terhadap sumberdaya ikan pelagis dilakukan secara deskriptif. HASIL Tipe Massa Air dan Pola Arus Berdasarkan distribusi horizontal suhu dan salinitas pada beberapa kedalaman, massa air di Samudera Hindia dikelompokkan menjadi 6 (enam) tipe massa air, dimana massa air TLSH terdiri terdiri dari 3 (tiga) tipe yaitu (Gambar 1): Massa air tipe D (North Indian Ocean and Bengal Bay origin water mass), merupakan massa air dengan nilai salinitas relatif lebih rendah, posisinya melebar dari utara dan barat Sumatera. Massa air tipe E (Mixed water mass upwelled) merupakan massa air dengan salinitas tinggi, posisinya melebar ke selatan Pulau Jawa. Massa air tipe B (Banda Sea Water) yang merupakan aliran massa air dari Laut Banda yang terdorong aliran massa air dari Samudera Pasifik, berada di bagian timur (selatan Nusatenggara).
Gambar 1. Massa air TLSH hasil eksedisi International Indian Ocean Expedition (IIOE) pada 1962-1964 (IIOE, 1966) 314
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Beberapa faktor yang mempengaruhi massa air TLSH adalah sistem angin muson (Wyrtki, 1961; Purba, et al., 1997); perubahan iklim global atau regional seperti El Niño/La Niña dan dipole mode (Nicolls, 1984; Meyers, 1996; Saji et al., 1999); serta mendapat aliran beberapa massa air. Massa air yang masuk ke Samudera Hindia selatan Jawa dan terus bergerak ke arah barat Sumatera, berasal dari Samudera Pasifik disebut sebagai Indonesia throughflow (ITF) atau Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Aliran massa air ARLINDO terdapat di bagian permukaan dan lapisan termoklin (Susanto, et al, 2005). Besaran massa air ARLINDO melalui Selat Lombok (2.6 Sv), Selat Ombai (4.9 Sv) dan Laut Timor (7.5 Sv). Sehingga total massa air ARLINDO yang mengalir di bagian timur Samudera Hindia mencapai 15.0 Sv (15 juta m3/detik) (Gambar 2).
Gambar 2. Aliran massa air ARLINDO ke Samudera Hindia (Susanto, et al, 2005)
Selain aliran massa air ARLINDO, di selatan Jawa juga terdapat beberapa sistem arus dan gelombang, yaitu: arus selatan Jawa yang biasa dikenal sebagai South Java Current (SJC); gelombang Kelvin (Indian Ocean Kelvin Waves/IOKWs); gelombang Rossby (Rossby Waves/ RWs); dan Indian Ocean South Equatorial Current (SEC). Pergerakan jenis-jenis massa air dan gelombang ini berubah tergantung musim dan memberikan efek yang berbeda antar musim (Syamsuddin, et al.2012) (Gambar 3).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
315
Gambar 3. Sistem arus dan gelombang di TLSH (Sumber: Syamsudin et al, 2012) Sebaran Suhu dan Salinitas Secara umum, massa air TLSH bersifat oseanik dengan salinitas rata-rata yang tinggi berkisar 30-35 ‰ dan suhu permukaan laut (SPL) umumnya 25-31 oC (Nontji, 1993). Sementara variasi suhu tahunan rata-rata kurang dari 2oC dan antara 2-4oC (Wyrtki 1961). Menurut Wyrtki (1961), salinitas di sekitar pantai dipengaruhi curah hujan. Lapisan eufotik (lapisan air yang menerima cukup sinar matahari untuk proses fotosintesa yang memproduksi bahan-bahan organik yang berasal dari laut) diperkirakan berkisar antara 0-100 m.
Dampak Anomali Iklim Banyak faktor yang mempengaruhi SPL di perairan TLSH. Selain pergerakan massa air dan proses stratafikasi, SPL juga dipengaruhi oleh anomali iklim baik berupa ENSO (El-Nino/ La-Nina) dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD positif/IOD negatif).
- Pengaruh Terhadap SPL Pengamatan terhadap SPL dari citra satelit 2003-2012, menunjukkan terjadinya peningkatan SPL pada fase dipole mode negatif maupun La-Nina terlihat tahun 2005 (La-Nina lemah) dan 2010 (La-Nina kuat). Penurunan SPL akibat terjadinya upwelling yang intensif pada fase dipole mode positif dan atau El-Nino terjadi tahun 2003 (IOD positif lemah); 2006 (IOD positif kuat) vs El-Nino lemah); 2008 (IOD positif lemah); 2011 dan 2012 (El-Nino lemah). Tahun 2004 merupakan tahun normal (tanpa anomali iklim), sementara tahun 2007 terjadi fenomena langka dimana IOD positif lemah diikuti La-Nina sedang yang efeknya saling meniadakan. Nilai sebaran SPL rata-rata tahunan berdasarkan fenomena anomali iklim tersebut seperti tertera pada Tabel 1. Membuktikan bahwa anomali iklim berupa dipole mode positif dan atau El-Nino menurunkan nilai sebaran SPL (akibat upwelling) dan IOD negatif dan atau La-Nina
316
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
meningkatkan nilai sebaran SPL. Tabel 1. SPL rata-rata tahunan di TLSH berdasarkan fenomena iklim 2003-2012 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Fenomena Anomali Iklim IOD positif lemah (weak positive dipole mode) Normal La Nina lemah (weak La-Nina) IOD positif kuat (strong positive IOD) vs El-Nino lemah (weak El-Nino) IOD positif lemah (weak positive IOD) vs La-Nina sedang (moderate La-Nina) IOD positif lemah (weak positive IOD) El-Nino sedang (moderate El-Nino) La-Nina kuat (strong La-Nina) El-Nino lemah (weak El-Nino) El-Nino lemah (weak El-Nino)
0
Rata-rata SPL Tahunan ( C) 27.91 27.88 28.24 27.65 27.97 27.72 28.24 28.65 27.69 27.52
- Pengaruh Terhadap Kesuburan Perairan Sebaran spasial klorofil-a permukaan menunjukkan keterkaitan antara penurunan SPL dengan peningkatan klorofil-a. Nilai sebaran klorofil-a tinggi terjadi pada fase dipole mode positif dan atau El-Nino tahun 2003, 2006, 2007, 2008, 2011 dan 2012. Tahun 2006 merupakan tahun dengan nilai sebaran klorofil-a tertinggi dan tersebar luas di perairan selatan Jawa. Pada tahun 2006 ini terjadi fenomena dipole mode positif kuat (Mei-September) yang dilanjutkan kejadian El-Nino lemah (Oktober-Desember). Nilai sebaran rata-rata klorofil-a tahunan 20032012 seperti terlihat pada Tabel 2, menunjukkan yang tertinggi terjadi pada fase dipole mode positif kuat vs El-Nino lemah tahun 2006 (0,195 mg/m3) dan terendah pada fase La Nina kuat tahun 2010 (0,105 mg/m3). Tabel 2. Klorofil-a rata-rata tahunan di TLSH berdasarkan fenomena iklim 2003-2012 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Fenomena Anomali Iklim IOD positif lemah (weak positive dipole mode) Normal La Nina lemah (weak La-Nina) IOD positif kuat (strong positive IOD) vs El-Nino lemah (weak El-Nino) IOD positif lemah (weak positive IOD) vs La-Nina sedang (moderate La-Nina) IOD positif lemah (weak positive IOD) El-Nino sedang (moderate El-Nino) La-Nina kuat (strong La-Nina) El-Nino lemah (weak El-Nino) El-Nino lemah (weak El-Nino)
Rata-rata Klorofil-a 3 Tahunan (mg/m ) 0.143 0.132 0.128 0.195 0.159 0.154 0.127 0.105 0.153 0.125
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
317
PEMBAHASAN Hubungan SPL dengan Sebaran Klorofil-a Terdapat keterkaitan pola sebaran SPL dengan klorofil-a bulanan di TLSH tahun 20032012 seperti terlihat pada grafik (Gambar 4). Penurunan SPL terjadi pada Juni-September (musim timur) dan pada saat hampir bersamaan terjadi peningkatan sebaran klorofil-a. Oleh karena terjadinya pada musim timur, maka ini dapat dibuktikan bahwa penurunan SPL dan peningkatan klorofil-a terjadi akibat upwelling. Hal ini sesuai temuan Susanto et al (2005) dan Hendiarti et al, 2005 yang menyatakan bahwa penurunan SPL dan kenaikan nilai sebaran klorofil-a di perairan selatan Jawa serta barat Sumatera terjadi akibat upwelling pada musim timur. Dari grafik juga terlihat penurunan SPL yang drastis tahun 2006 (25,3 0C, pada Agustus) diikuti lonjakan peningkatan klorofil-a yang nilai sebarannya mencapai 0,378 mg/m3 (Oktober). 0.4
31.00
Sea Surface Chlorophyll-a (SSC)
0.35
30.00
Sea Surface Temperature (SST)
0.3 0.25
29.00
0.2
28.00
0.15
27.00
0.1
26.00
0.05 0 Klorofil-a (mg/m3)
25.00 J A J O J A J O J A J O J A J O J A J O J A J O J A J O J A J O J A J O J A J O 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
SPL (0C)
2012
Gambar 4. Grafik sebaran SPL dan klorofil-a bulanan 2003-2012 di TLSH selatan Jawa Penurunan SPL yang tajam dan diikuti dengan lonjakan peningkatan nilai sebaran klorofil-a yang tinggi, seperti terjadi pada tahun 2006, menunjukkan kejadian upwelling yang intensif akibat anomali iklim berupa fase dipole mode positif yang diikuti oleh kejadian ElNino lemah saat musim timur (Juni-Juli-Agustus-September). Dari pengamatan secara spasial, pengaruh dipole mode lebih dominan terlihat di perairan barat Sumatera, sementara pengaruh ENSO lebih dominan terlihat di perairan selatan Jawa. Khusus di perairan selatan Jawa Barat dan barat laut Lampung, pengaruh IOD dan ENSO memberikan efek yang lebih besar terhadap beberapa parameter oseanografi seperti SPL dan sebaran klorofil-a (kesuburan perairan). Hal ini disebabkan karena perairan selatan Jawa Barat/ barat Lampung merupakan bagian dari kolom timur dari lokasi pengukuran anomali SPL sebagai indikator awal munculnya dipole mode, yang oleh Saji et al, 1999 disebut sebagai kolom SETIO (South East Temperature Indian Ocean) (Amri et al, 2012). Kejadian IOD positif (intensitas sedang atau kuat) yang diikuti atau terjadi bersamaan (in-phase) dengan El-Nino (intensitas sedang atau kuat), menimbulkan efek yang luar biasa
318
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
terhadap penurunan SPL dan peningkatan kesuburunan perairan akibat upwelling yang intensif. Sebaliknya, kejadian dipole mode negatif yang diikuti atau terjadi bersamaan (in-phase) dengan La-Nina, memberikan efek sebaliknya, berupa peningkatan SPL (tidak terjadi upwelling) dan menurunnya tingkat kesuburan perairan (Amri, et al, 2012). Massa air Samudera Hindia di selatan Jawa yang didominansi oleh massa air Mixed water mass upwelled), merupakan massa air upwelling, maka tingkat kesuburan massa air di perairan ini relatif tinggi dibanding dengan massa air di barat Sumatera. Peningkatan kesuburan perairan terutama terjadi pada saat-saat berlangsungnya proses upwelling di selatan Jawa, yaitu saat musim timur/monsun tenggara. Susanto et al., (2005) menyatakan konsentrasi klorofil-a berdasarkan citra satelit selama musim tenggara/Southeast monsoon (Juni-Juli-Agustus) lebih tinggi daripada musim Northwest monsoon (Desember-Januari-Pebruari). Ini berarti bahwa massa air di selatan Jawa pada musim timur/musim tenggara lebih subur dibanding musim barat.
Implikasi Terhadap Perikanan Musim angin timur (Juni–September) merupakan musim puncak penangkapan ikan bagi nelayan yang melaut di perairan TLSH. Pada saat terjadi anomali iklim berupa El Nino tahun 1997, upwelling di Samudera Hindia terpantau hingga Januari 1998, dimana kondisi ini tidak dijumpai pada pengamatan tahun normal seperti 1999–2001 (Susanto, et al, 2005). Hasil kajian Hendiarti et al (2005) menyebutkan bahwa tangkapan ikan pelagis dari perairan Samudera Hindia dipengaruhi oleh fenomena oseanografi. Selain itu, keberadaan ikan juga di pengaruhi oleh fenomena lainnya seperti climate-change, large scale phenomena (El Nino, La Nina, ITF, IOD), eddy dan surface stratification. Keterkaitan antara terjadinya upwelling dengan peningkatan nilai sebaran klorofil-a pada event dipole mode positif identik dengan terjadinya kelimpahan fitoplankton, menandakan tingkat produktivitas primer perairan yang juga tinggi. Hal ini berimplikasi kepada kelimpahan sumberdaya perikanan di perairan ini, termasuk jenis-jenis ikan pelagis besar seperti kelompok tuna, cakalang dan juga neritik tuna (jenis-jenis tongkol). Musim penangkapan tuna di TLSH berlangsung mulai Agustus-Desember dengan puncak musim tangkap pada September-Oktober (Nurdin, 2009). Musim penangkapan cakalang dan tongkol berlangsung antara Juni sampai Oktober dan puncaknya terjadi pada Agustus-September. Terlihat bahwa puncak penangkapan ini terjadi bersamaan dengan puncak penurunan SPL (upwelling) dan terjadinya pengkayaan klorofil-a (puncak peningkatan kesuburan perairan).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
319
Perairan Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara ini juga merupakan daerah pemijahan dari jenis-jenis tuna ini. Ikan biasanya bermigrasi ke perairan selatan Jawa dan Bali, dan umumnya nelayan menangkap ketika berada dalam kondisi memijah pada November dan Januari (Anonim, 2012). Pada saat ini, kondisi SPL umumnya relatif rendah dan sebaran klorofil-a (kesuburan perairan) tinggi.
KESIMPULAN Massa air Timur Laut Samudera Hindia sangat dinamis karena mendapat pengaruh yang besar dari aliran massa air ARLINDO, pergerakan massa air dan proses stratafikasi. Nilai sebaran SPL selain akibat pengaruh perubahan musim (angin monsun) yang memicu terjadinya upwelling juga dipengaruhi oleh anomali iklim baik berupa ENSO (El-Nino/La-Nina) dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD positif/IOD negatif). Implikasinya terhadap sumberdaya ikan pelagis besar, puncak penangkapan umumnya terjadi pada musim timur (Juni-Juli-Agustus) hingga musim peralihan (September-Oktober-November) saat puncak upwelling.
DAFTAR PUSTAKA Amri, K. D. Manurung, J.L. Gaol dan M.S. Baskoro, 2012. Variabilitas Klorofil-A di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa Barat Fase Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Positif. Jurnal Kelautan Nasional, Juli 2012. Anonim, 2012. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar. http://www.fishyforum.com/ fishysalt/ fishyronment/96-musim-penangkapan-ikan-pelagis-besar.html. [diunduh pada tanggal 6 Januari 2012]. Hendiarti, N., Suwarso, A. Adrian, K. Amri, R. Andiastuti, I.B. Wahyono dan S. I. Sachoemar. 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Arround Java. Oceanography Society Journal,Vol.18 No.4,Desember 2005, Rockvile, MD, USA. Meyers, G., P. McIntosh, L. Pigot, and M. Pook, 2007: The years of El Niño, La Niña, and interactions with the tropical Indian Ocean. J. Climate, 20, 2872–2880. Nicolls, N. 1984. The Southern Oscillation and Indonesian Sea Surface Temperature. Mon. Wea. Rev. 112: 424-432. Nurdin, E. 2009. Perikanan Tuna Skala Rakyat (Small Scale) di Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. BAWAL: Vol.2 No.4-April 2009. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara, Penerbit Djambatan. Jakarta.
320
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Purba, M. 1995. Evidence of Upwelling and its Generation Stage off Southern West Jawa During Souteast Monsoon. Bul. ITK Maritek 5 (1): 21 – 39. Syamsuddin, M.L. Sei-Ichi Saitoh, Toru Hirawake, Samsul Bachri Agung B. Harto. 2012. Effects of El Niño–Southern Oscillation events on catches of Bigeye Tuna (Thunnus obesus) in the Eastern Indian Ocean off Java. Saji, N. H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran, and T. Yamagata,. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360-363, 1999. Susanto, R.D., and J. Marra. 2005. Effect of the 1997/1998 El-Nino on Chlorophyll-a Variability along the Southern Coast of Java and Sumatera. Oceanography. Special Issue the Indonesian Seas. Vol. 18, No.4, Dec.124-127. Wyrtki, K. 1961. The Physical Oceanography of South East Asian Waters. Naga Report Vol. 2. University California Press. La Jolla. CA.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
321
322
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
KOMPOSISI JENIS, DAERAH SEBARAN DAN KEPADATAN STOK IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN UTARA PAPUA Suprapto1 , Nurulludin1 dan Bambang Sadhotomo 1 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK Penelitian bertujuan menginformasikan data indikator stok yang meliputi komposisi jenis, daerah sebaran dan kepadatan stok ikan demersal di perairan utara Papua yang telah dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Data dikumpulkan dari hasil kegiatan penangkapan ikan metode sapuan area, menggunakan alat tangkap trawl yang dioperasikan oleh kapal motor 30GT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekayaan jenis ikan demersal sebanyak 54 spesies yang mewakili 29 Famili. Spesies yang mendominasi adalah dari kelompok ikan peperek (family : Leiognathidae), ikan gerot-gerot (Famili Pomadasyidae) dan ikan gulamah (Famili Scianidae). Dugaan kepadatan stok sebesar 181,7 kg/km2. Daerah sebaran secara mendatar memperlihatkan kelimpahan tertinggi terdapat di sekitar perairan Sarmi, sementara berdasarkan kedalaman perairan terlihat ikan demersal lebih banyak pada kedalaman 10-15 meter . KATA KUNCI: kelimpahan, distribusi, ikan demersal, perairan Utara Papua, Samudera Pasifik
PENDAHULUAN Perairan sebelah utara Papua secara geografis termasuk bagian perairan Samudera Pasifik, dasar perairannya sebagian besar merupakan perairan laut dalam, sebaliknya yang dangkal, areanya relatif sempit terutama dekat pantai. Meskipun relatif sempit, perairan ini merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan udang dan ikan demersal dan bisa dikembangkan untuk daerah penangkapan yang produktif. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh karakter biofisik pantai yang menguntungkan seperti banyaknya vegetasi mangrove dan banyak sungai besar bermuara, sehingga menjadikan lingkungan perairan yang subur dan tingkat produktivitasnya tinggi. Sampai saat ini belum banyak informasi tentang stok sumber daya ikan demersal di daerah ini, dalamm kaitan itu, makalah ini akan membahas kelimpahan jenis, daerah distribusi dan dugaan kelimpahaannya. Diharapkan informasi ini dapat digunakan Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
323
sebagai salah satu data dukung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan demersal di perairan Papua.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2013 dengan cara melakukan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring pukat tarik (bottom trawl) yang dioperasikan oleh kapal motor milik nelayan bertonase 30 GT. Spesifikasi alat tangkap tersebut memiliki panjang tali ris atas (head rope) 12,7 meter, tali ris bawah (ground rope) 13,0 meter. Badan jaring terbuat dari tali PE panjang 10 mata, diameter mata 2 inchi. Kantong jaring panjangnya 10 meter dengan diameter mata 1 inchi. Penangkapan ikan dilakukan pagi hari sampai dengan sore hari (pukul 16.00.sampai dengan 17.00). Daerah penelitian di sekitar pantai utara Papua yakni kawasan perairan sebelah barat Kota Jayapura pada posisi antara 137,5o – 139,5o Bujur Timur dan 1,5o – 2.0o Lintang Selatan. Kegiatan penangkapan dilakukan pada 10 lokasi stasiun yang masing-masing posisinya seperti tampak pada Gambar 1. Metode yang digunakan adalah sapuan area (swept area method) dengan kecepatan kapal menarik jaring ditetapkan 3,3 knot dan durasi penarikan jaring (towing time) selama satu jam untuk setiap stasiun penangkapan 0°
SAMUDERA 1°
8
7
6 5
4
ra m
o
9
mb
SERUI
2°
3 10 2
Sarmi
Me
Lintang selatan
PASIFIK
BIAK
TELUK CENDERAWASIH
1
JAYAPURA
3°
4° 135°
136°
137°
138°
139°
140°
141°
Bujur timur
Gambar 1. Peta posisi stasiun penangkapan ikan demersal menggunakan trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 (• 1-10 : posisi stasiun trawl)
324
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Identifikasi ikan mengacu pada Allen et.al (2000), Carpenter & Niem (1999a,b dan 2001a,b), Gloefer-Tarp & Kailola (1985); Nakabo (2002); Fischer & Whitehead (1974), Heemstra & Rendall (1973). Jenis ikan dikelompok kan berdasarkan group sumberdaya ikan seperti dikutip Losse & Dwiponggo(1976). Komposisi hasil tangkapan dianalisis sebagai persentase perbandingan hasil tangkapan ikan (kg) antara satu spesies dengan spesies lainnya atau antara satu famili dengan famili lainnya, selanjutnya ditabulasi dan ditampilkan dalam grafik sederhana agar diketahui variasinya.
Dengan asumsi bahwa stok tersebut merata, maka dugaan biomassa (standing stock) dalam satuan bobot per luas area (ton/km2) dapat dihitung dengan cara mengalikan antara kepadatan stok dengan luas perairan yang disurvei (Gulland, 1983).
HASIL 1. Komposisi Jenis Data hasil tangkapan ikan secara keseluruhan tercantum pada Lampiran 1. Kelompok sumber daya ikan yang tertangkap terdiri dari cumi-cumi/sotong, ikan demersal, ikan pelagis, udang dan kepiting. Hasil identifikasi spesies, menunjukkan bahwa jumlah spesies ikan demersal memperlihatkan kergaman terbanyak, terdiri dari 54 spesies yang tergolong dalam 29 famili (Tabel 1).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
325
Tabel 1. Jumlah taksa sumber daya ikan yang tertangkap trawl di utara Papua, bulan MeiJuni 2013 SUMBER DAYA
FAMILI
SPESIES
Ikan Demersal
29
54
Udang
4
16
Ikan Pelagis
7
6
Cumi-cumi/Sotong
2
2
Kepiting
2
3
Ditinjau dari segi bobot, menunjukkan bahwa selama penelitian diperoleh total hasil tangkapan sebanyak 918,83 kg. Ikan demersal mendominasi hasil tangkapan 77,5%, selanjutnya diikuti oleh ikan pelagis 11%, udang 10,8%, cumi/sotong dan kepiting 0,3 % (Tabel 2, Gambar 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa alat tangkap trawl yang digunakan sangat efektif mendapatkan hasil tangkapan ikan demersal dan cukup representatip bagi penelitian ini.
326
Tabel 2. Volume hasil tangkapan trawl di Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 SUMBER DAYA
CATCH (KG)
%
Ikan Demersal
712.14
77.51
Ikan Pelagis
101.91
11.09
Udang
99.22
10.80
Cumi-cumi/Sotong
2.83
0.31
Kepiting
2.73
0.30
TOTAL
918.83
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 2. Komposisi kelompok sumber daya ikan (% bobot) yang tertangkap trawl di perairan utara Papua, bulan Mei – Juni 2013. Kelompok sumber daya ikan demersal yang tertangkap terdiri sekitar 54 taksa spesies, tergolong dalam 29 suku (famili). Sepuluh spesies utama yang mendominasi bobot hasil tangkapan tertinggi, berturut-turut adalah ikan petek (Leiognathus bindus, Secutor insidiator), ikan gerot-gerot (Pomadasys argyreus), ikan gulama (Otolites sp), ikan petek (Leiognathus splendens), dan seterusnya (Gambar 3)
Gambar 3. Urutan sepuluh spesies utama ikan demersal yang tertangkap trawl dalam jumlah terbanyak di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 2. Laju Tangkap Trawl Hasil tangkapan seluruh populasi ikan tiap stasiun bervariasi, berkisar antara 11 sampai dengan 365 kg, tertinggi diperoleh pada stasiun 3 sebesar 365 kg, stasiun 6 (= 219 kg) Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
327
dan stasiun 5 (= 134 kg), sedangkan stasiun lainnya relatif rendah, < 11 kg (Gambar 3).
Gambar 3. Variasi laju tangkap trawl tiap stasiun di perairan utara Papua, bulan Meijuni 2013
Laju tangkap ikan demersal tiap stasiun berkisar 2,0 – 308,49 kg, tertinggi diperoleh pada stasiun 3, 6 dan 5, sedangkan terendah pada stasiun (Tabel 3 dan Gambar 4). Tabel 3. Laju tangkap trawl terhadap ikan demersal di utara Papua, bulan Mei-Juni 2013
328
STASIUN
LAJU TANGKAP (KG/JAM)
ST.1
24.83
ST.2
41.045
ST.3
308.485
ST.4
11.315
ST.5
101.87
ST.6
164.38
ST.7
20.31
ST.8
1.906
ST.9
22.18
ST.10
15.82
RATA-RATA
71.21
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4. Variasi laju tangkap trawl terhadap ikan demersal di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 3. Daerah sebaran ikan demersal Hasil analisis sebaran spesies ikan yang mendominasi hasil tangkapan pada setiap stasiun tertera pada Gambar 5. Tampak bahwa ikan petek mendominasi lokasi stasiun antara sungai Membramo dan sebelah barat daya Jayapura, sedangkan di sekitar sebelah barat sungai Membramo didominasi oleh udang Penaeus merguensis, ikan gerot-gerot (P.argyreus) dan gulamah (Otolites sp.) Berdasarkan data kehadiran spesies pada setiap stasiun menunjukkan bahwa spesies yang memiliki daerah sebaran paling luas, yang ditemukan pada hampir semua lokasi stasiun penangkapan adalah ikan gerot-gerot (Pomadasys argyreus), petek (Leiognathus bindus) dan ikan bijinangka (Upeneus sulphureus).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
329
P.argeryus 4bindus
L.splendenss
P.argeryus L.bindus
L.bindus L.insidiator L.splendens L.bindus
P.merguensis 8 P.merguensis
Nibea sp M. affinis
Gambar 5. Pola sebaran horisontal terhadap spesies ikan dan udang yang dominan tertangkap trawl di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 Berdasarkan pada data variasi nilai laju tangkap tiap stasiun, menunjukkan bahwa ikan demersal menyebar pada semua lokasi stasiun dengan laju tangkap yang bervariasi, pola sebarannya seperti tercantum pada Gambar 6. Dari Gambar tersebut tampak bahwa sumber daya ikan ikan demersal yang paling banyak tertangkap terkonsentrasi di sekitar perairan Sarmi.
P.merguensis8
P.merguensis
Gambar 6. Pola sebaran secara horisontal laju tangkap trawl terhadap ikan demersal di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013
330
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Hasil analisis nilai laju tangkap pada setiap kedalaman perairan, menunjukkan bahwa rata-rata laju tangkap ikan demersal setiap kedalaman bervariasi (Gambar 7), hasil tangkapan paling tinggi diperoleh pada kedalaman relatif dangkal (11 - 15 meter, sebaliknya semakin dalam perairan ( > 15 meter), laju tangkap cenderung rendah.
Gambar 7. Laju tangkap rata-rata ikan demersal yang tertangkap trawl pada kedalaman perairan yang berbeda di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013
4. Kepadatan Stok Sumber Daya Ikan Hasil perhitungan kepadatan stok sumber daya ikan dengan menggunakan variabel head-rope 12,7 meter, kecepatan towing rata-rata 3,3 knot, diperoleh nilai kepadatan stok ikan demersal antara 7,02 sampai 1135,55 kg/km2 atau rata-rata tiap stasiun 181,77 kg/km2 (Tabel 4). Tampak bahwa kelimpahan sumber daya ikan tidak merata untuk setiap lokasi stasiun penangkapan. Kelimpahan ikan demersal relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok sumber daya lainnya. Lokasi terpadat berada pada stasiun 3 (di sebelah barat perairan Sarmi), sebaliknya terendah pada stasiun 8 (di sebelah barat sungai Membramo) (Gambar 8). Tabel 4. Densitas sumber daya ikan yang tertangkap trawl di perairan utara Papua pada bulan Mei-Juni 2013 Satsion 1 2 3 4 5
Kepadatan stok (kg/km2) Cumi-cumi Demersal Kepiting Pelagis 0.00 106.63 0.00 9.28 2.06 37.77 3.61 7.85 1.29 1135.55 0.00 473.52 0.00 32.40 1.03 9.79 51.53 164.06 0.00 79.11
Udang 1.03 2.58 12.05 2.23 69.66
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
331
6 7 8 9 10 Rerata Minimum Maksimum
0.00 2.32 0.00 38.14 10.31 10.56 0.00 51.53
235.31 27.54 7.02 51.96 19.41 181.77 7.02 1135.55
30.92 24.56 6.44 9.28 0.00 7.58 0.00 30.92
110.87 9.95 23.32 22.72 27.08 77.35 7.85 473.52
126.00 0.52 44.58 178.65 29.70 46.70 0.52 178.65
Gambar 8. Sebaran densitas ikan demersal di perairan utara Papua, Mei-Juni 2013 BAHASAN Status kekayaan jenis ikan demersal di daerah penelitian pada saat ini sebanyak 54 spesies yang meliputi 29 famili. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kekayaan jenis ikan demersal di daerah penelitian termasuk relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa perairan lain seperti sebelah utara Tarakan (Bulungan, Nunukan) yang menemukan sekitar 73 spesies, 41 famili (Mulyadi et al,2005; Anonimous, 2005), di sebelah selatan Tarakan (Tanjung Selor) mencapai 84 spesies, 40 famili, di Tanjung Redep 135 spesies, 57 famili (Anonimous, 2005), dan di Balikpapan-Tanjung Aru 175 spesies, 59 famili (Suprapto et.al, 2012). Fenomena tersebut diduga dipengaruhi faktor lingkungan terutama terkait dengan rendahnya tingkat kesuburan perairan. Tingginya dominasi hasil tangkapan trawl terhadap ikan petek di perairan ini memperlihatkan karakteristik komunitas perairan pantai yang hampir sama dengan sebagian
332
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
besar perairan lain di Indonesia yang padat penangkapan seperti di perairan Laut Jawa (Suman et.al 2005), Selatan Kalimantan (Sutarto et.al, 2007); Aru (Badruddin&Karyana, 1993; Anonimous, 2001) dan Aceh (Anonimous, 2006). Hasil tangkapan ikan petek yang selalu tinggi pada fishing ground yang padat penangkapan, menunjukkan bahwa ikan petek memiliki laju pertumbuhan yang tinggi sehingga selalu bertahan meskipun banyak tekanan penangkapan. Indeks kelimpahan stok yang digambarkan sebagai rata-rata laju tangkap di perairan ini berkisar 71,21 kg/jam, dengan demikian didapatkan kepadatan stok di perairan ini sebesar 181,7 kg/km2 . Hasil ini memperlihatkan kelimpahan relatif rendah bila dibandingkan dengan di Selat Makasar bagian selatan. Laju tangkap di perairan antara Balikpapan hingga Kabupaten Pasir berkisar 23,2-31,5kg/jam (Suprapto, et.al, 2012), di perairan Tarakan mencapai 703,7kg/ jam (Anonimous, 2005) dan di Selat Makasar bagian selatan 255 kg/jam (Suman et.al, 2005). Perilaku pengelompokan ikan dalam distribusi secara horisontal yang memperlihatkan banyaknya konsentrasi sumber daya ikan demersal di sekitar wilayah perairan Sarmi, kemungkinan terkait dengan produkstivitas perairan di daerah tersebut relatif tinggi, karena dekat muara sungai dan arusnya relatif tenang. Hal tersebut hampir mirip kondisinya di perairan perairan Laut Jawa sub area selatan Kalimantan (Badrudin et al , 2011 dan Badrudin et al , 1989) yang mengindikasikan daerah tersebut sangat cocok bagi habitat ikan demersal. Variasi distribusi hasil tangkapan ikan demersal secara vertikal merupakan fenomena biasa yang juga sering ditemukan pada hasil tangkapan trawl di perairan Indonesia pada umumnya, seperti di Selat Makasar (Suprapto, et.al, 2012), di paparan Sunda (Saeger, 1976), dimana berkaitan dengan tekanan hidrostatik atau tingkat produktivitas di kawasan tersebut.
KESIMPULAN Kekayaan jenis ikan demersal di perairan pantai utara Papua sekitar 54 spesies tergolong 29 Famili dan didominasi oleh kelompok ikan petek. Penyebaran ikan demersal terkonsentrasi di sekitar perairan Sarmi, pada kedalaman 10-15 meter. Kepadatan stok sebesar 181,7 kg/km2.
DAFTAR PUSTAKA Allen,G., R.Swainston, and J.Ruse, 2000. Marine fishes of south-east Asia., Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore, 292 p. Anonimous, 2011. Kajian sumberdaya ikan di Perairan Laut Arafura. Laporan survey Balai Riset Perikanan Laut tahun 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta : vi+86 hal
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
333
Anonimous, 2006. Pengkajian Stok Sumberdaya ikan demersal di perairan banda Aceh pasca Tsunami, Laporan Teknis Intern, Balai Riset perikanan Laut Jakarta Anonimous, 2005. Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Demersal di perairan Timur Kalimantan. Laporan Teknis Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Badruddin &.B.Sumiono, 2002. Indeks kelimpahan stok dan proporsi udang dalam komunitas sumber daya demersal di perairan Kepulauan Aru, Laut Arafura. JPPI Edisi sumber daya dan Penangkapan, Vol.8, No.1 : 95-102 Badrudin dan Karyana, 1993. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan demersal di perairan pantai barat Kalimantan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 71 : 1-8. Badrudin, Aisyah & T.Ernawati, 2011. Kelimpahan Stok sumber daya ikan demersal di perairan sub area Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind., Vol.17, No.1: 11-21 Badrudin, H.Wahyono, & S. Umiyati, 1989. Sumber daya ikan demersal yang potensial bagi bahan baku pakan ikan budi daya. Prosiding Temu Karya Ilmiah Penelitian menuju Program Swa-Sembada Pakan Ikan Budi Daya, Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan, no.17/1989: 73-77. Carpenter, K.E & V.H.Niem, 1999a. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Volume 3. Botoid Fishes, Chimaeras and Bony Fishe Part 1 (Elopidae to Linophyrnidae). FAO Species Identifikastion Guide For Fisheries Purposes. FAO of The United Nations, Rome: 1349-2068 Carpenter, K.E & V.H.Niem, 1999b. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Volume 4. Bony Fishes Part 2 (Mugillidae to Carangidae). FAO Species Identifikastion Guide For Fisheries Purposes. FAO of The United Nations, Rome: 2069-2790 Carpenter, K.E & V.H.Niem, 2001a. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Volume 5. Bony Fishes Part 3 (Menidae to Pomacentridae). FAO Species Identifikastion Guide For Fisheries Purposes. FAO of The United Nations, Rome: 2791-3510 Carpenter, K.E & V.H.Niem, 2001b. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Volume 6. Bony Fishes Part 4 (Labridae to Latimeriidae), Estuarine Crocodiles, sea turtles, sea snakes, and marine mammals. FAO Species Identifikastion Guide For Fisheries Purposes. FAO of The United Nations, Rome: 3511-4232 Gloerfelt-Tarp, T. & P.Kailola., 1985. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. ADAB/GTZ/DGF, Indonesia: XVI+ 406 p Fischer, W & PJP.Whitehead , 1974. FAO Species Identification sheet for Fishery Purposes. Eastern Indian Ocean and Western Central Pacific. Vol.I-IV, FAO, Rome
334
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gulland, J.A., 1983. Fish Stok Assesment – A Manual of Basic Methods, John Wiley &Sons, New York, 223 p Heemstra, P.C, & J.E.Randall., 1973. FAO Species Catalogue, Vol.16, Grouper of the world (Family Serranidae, Subfamily Epinephelinae). An annoted and illustrated catalogue of the grouper, rockod, hind, coral grouper and lyretail species known to date. FAO. Fish.Syn.No.125, vol.16, Rome, FAO: 382 pp Losse, J.F.& A.Dwiponggo, 1976. Report on the Java Sea south east monsoon trawl survey, June-December 1976. Special Report. Contrib of the dem.Fis. Project, No.3, Marine Fisheries Research Report, 119 p Mulyadi, E., J.Saptoyo, Nuryadi dan A. Tofani, 2005. Identifikasi Sumberdaya ikan demersal di perairan perbatasan Timur Kalimantan, Laporan teknis Intern, BPPI, Semarang. Nakabo, T., 2002. Fishes of Japan, with pictoralkeys to the species, English edition, I and II, Tokay Univ.Press, Tokyo, 1749 pp Pauly, D., 1985. Some simple methods for the assessment fish stocks. FAO Fish.Tech.Pap. (234), Roma Suman, A, Badruddin, Sri Turni,H, B.Sumiono, Indar S.W, S.Nuraini, Awwaluddin, Feni.E dan T.Ernawati, 2005. Riset enggkaijian Stok, Life history dan Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan demersal dan Udang Penaeid di laut Cina Selatan, Laut jawa dan Selat Makasar., Laporan Tahunan 2005 Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta. Suprapto, B.Sumiono, A.Suman, Wedjatmiko, T.Ernawati, D.D.Kembaren, A.Damora, P.Lestari, B.Sadhotomo, Nurulludin, M.Rijal, R.Setiawan, A.Diatmoko, A.Surahman dan Suwardi, 2012. Penelitian stok dan penguisahaan sumber daya udang penaeid dan krustasea lainnya di WPP Selat Makasar, Laut Flortes dan Teluk Bone, Laporan Tahunan/Akhir, Baalai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Sutarto, Budiman, Joko.S dan Eris, M, 2007. Kajian Sumber daya ikan demersal di perairan Selatan Kalimantan., Laporan Teknis Intern BBPPI Semarang. Saeger, J., P. Martosubroto, & D.Pauly, 1976. First Report of the Indonesian-German demersal fisheries project (result of a trawl surve in the Sunda Shelf arfea). Special R, Contrib. of the demersal fisheries project, No.1, Marine Fisheries Research Report, RIMFGTZ, 46 pp
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
335
LAMPIRAN 6.
SUMBER DAYA
FAMILI
Cumi/Sotong Loliginidae Sepiidae Demersal Apogonidae
Ariidae Bothidae Cynoglossidae Dasyiatididae Diodontidae Ephippidae Gerreidae Haemulidae Harpadontidae
Hemiscyllidae Lactaridae Leiognathidae
336
Data hasil tangkapan sumber daya ikan menggunakan alat tangkap trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 SPESIES Loligo edulis Sepia sp. Apogon poecylopterus Apogon septemtriatus Apogon sp Arius maculatus Arius thalassinus Arnoglossus sp Pseudorhombus sp Cynoglossus arel Dasyiatis kuhli Himantura sp1 Diodon distryx Drepane longimana Gerres filamentosus Pomadasys argyreus Harpadon nehereus Saurida longimanus Saurida micropectoralis Chiloscyllium punctatum Lactarius lactarius Gazza achlamys Gazza minuta Leiognathus bindus Leiognathus elongatus Leiognathus equulus Leiognathus leusiscus Leiognathus ruconius Leiognathus splendens Secutor insidiator Secutor ruconius
ST.1 ST.2 0.03 0.05
ST.3 0.03
LAJU TANGKAP (KG/JAM) ST.4 ST.5 ST.6 ST.7 0.05 1.00 0.03 0.01
ST.8
ST.9
ST.10
1.48
0.20
1.76
0.10
1.20 0.40
0.12
0.04 0.10 0.90 0.13
0.43
7.58
0.03 0.12
0.90 1.20
3.40 0.75 0.70 0.53 0.78
0.05 0.37
0.16
2.00 2.00 0.50 0.20
0.20 0.08
0.40
0.03 0.95
6.00 0.08 0.09 0.10 19.50 0.04 148.40 6.50 0.13 3.20 0.25 0.17
33.94 57.40 0.40 7.00
0.30 3.25
0.03 0.04 0.39
0.24 4.58
2.80
0.50 4.20
0.11 1.50 15.50
1.74
0.30
0.24
0.31
25.60
1.20
0.10 0.75
0.75
0.02
0.10 22.50 0.53 0.04 0.03 152.38 2.10 0.29
9.02
3.00
0.23
TOTAL 0.08 2.76 0.03 0.01 0.04 0.10 10.34 0.03 1.58 2.68 0.40 5.40 2.00 1.52 1.77 103.42 7.40 0.53 6.08 1.50 24.17 0.09 0.10 202.11 0.88 3.20 0.42 0.10 35.28 154.55 0.29
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
LAMPIRAN 6 (Lanjutan). Data hasil tangkapan sumber daya ikan menggunakan alat tangkap trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 SUMBER DAYA DEMERSAL
FAMILI Lutjanidae Meniidae Monacanthidae Mullidae Nemipteridae Platycephalidae Polynemidae Psetodidae Scianidae
Serranidae Sillaginidae Sphyraenidae Teraponidae
Kepiting
Pelagis
Tetraodontidae Triachantidae Trichyuridae Calappidae Portunidae Carangidae
SPESIES Lutjanus johni Lutjanus malabaricus Mene maculata Monacanthus sp. Upeneus sulphureus Upeneus vittatus Nemipterus sp Platycephalus sp1 Polynemus nigripinis Polynemus sextarius Psetodides erumei Johnius sp Nibea sp1 Otolites sp1 Pterotolithus maculatus Epinephelus aerolatus Sillago sihama Sphyraena jellow Sphyraena baracuda Pelates quadrilineatus Terapon jarbua Terapon theraps Lagocephalus inermis Triacanthus sp Trichyurus lepturus Calapa sp Charybdis sp Charybdis verifiatus Portunus sanguinus Alectis ciliaris Alepes melanoptera atule mate Carangoides malabaricus
ST.1 ST.2
1.17 0.49
ST.3 0.25
2.12 0.80
LAJU TANGKAP (KG/JAM) ST.4 ST.5 ST.6 ST.7 2.50 0.01 0.60 0.01 0.92 0.08 1.90 0.33 0.02
3.65
1.39
1.33
0.02
2.10 2.95 8.90
16.47 22.62 31.90
0.02
ST.8
0.10
ST.9
ST.10
0.80
0.02
0.88 0.72
0.11 0.05 0.25 0.10
0.06
0.15 0.04
0.20
0.20
0.02 0.04
0.40 2.20 3.60
3.16 5.05 1.00 0.06
0.22 0.10
0.04
0.25 0.05 0.05 0.40 0.28 0.16 0.04
0.05 0.05 0.06 0.22
0.02 0.05
0.80
0.05 0.04 0.02
2.52
2.05
0.20 3.30 0.02
0.07 0.31
0.12
14.04 0.60 0.03 1.40
0.01 0.16
0.58 0.58
0.12 1.00
0.05
0.16
0.20
0.20 0.20
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
TOTAL 2.75 0.01 0.60 0.01 7.44 1.31 0.11 0.05 1.13 7.21 0.06 22.17 32.86 45.40 0.06 0.15 0.66 0.10 0.25 0.05 0.17 0.27 0.97 0.36 21.95 0.62 0.21 0.03 1.87 0.32 0.58 1.06 1.80
337
LAMPIRAN 6 (Lanjutan). Data hasil tangkapan sumber daya ikan menggunakan alat tangkap trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 SUMBER DAYA Pelagis
FAMILI Carangidae
Clupeidae
Engraulididae
Udang
Hemiscyllidae Loliginidae Sepiidae Sphyrnidae Palaemonidae Penaeidae
Solenoceridae Squillidae
338
SPESIES Carangoides tyle caranx sp1 Pampus niger Scomberomorus commersonianus Amblygaster sp Anodontosoma chacunda Dussumieria acuta Hilsha Ilisha sp Sardinela fimbriata Sardinella gibbosa Setipinna tenuifilis Stolephorus indicus Thryssa mystax Chiloscyllium punctatum Loligo edulis Sepia sp. Sphyrna sp Caridea sp Exopalaemon styliferus Acetes Cendana Metapenaeus brevicornis Metapenaeus ensis Metapenaeus papua Metapeneus sp Pandalus sp Parapenaeopsis scuptilis Penaeus merguiensis Penaeus monodon Trachypenaeus asper Trachypenaeus vulvus Solenocera crassicornis Squilla sp. TOTAL
ST.1 ST.2 0.08
ST.3
LAJU TANGKAP (KG/JAM) ST.4 ST.5 ST.6 ST.7
0.40 0.59 26.90 0.17
0.05 26.80
0.69
0.10 0.04 0.04
0.90
0.62
5.64 0.32 0.40 0.88 5.60 0.15
8.04
2.00
2.54 0.80
4.06 1.80 0.05 0.03 0.38 0.40 0.70
9.50
33.74
0.01
0.06
0.10
0.03 0.02
0.80
0.70 1.50 0.90 0.02
ST.10
1.20
0.03
0.06 0.05
ST.9
0.25
0.20 0.53
ST.8
0.96 2.70
0.01
0.12
0.60
1.50 0.35 0.11 0.09
0.20
0.08 0.04 0.68 0.08 0.44
4.70
0.12
1.20
0.01 0.06 0.25 4.70 0.12
2.80 0.20 0.20 4.40 2.40 20.00
0.05 0.10 0.20 0.90 0.20 4.40 0.01 0.02 0.35 0.10 0.01
0.02 0.16 0.05 0.05 0.01 0.25 0.06 1.20 25.39 43.23 364.58 12.99 134.44 219.16 23.73 10.97 56.98 28.14
TOTAL 0.08 0.25 0.20 1.20 0.56 0.08 28.06 0.68 7.22 1.50 0.05 13.58 28.53 5.81 0.15 0.76 8.40 1.80 0.05 0.09 0.48 3.14 5.20 0.57 47.84 4.46 0.01 3.40 27.51 3.82 0.83 0.02 0.18 1.62 919.59
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Perikanan Pancing Ulur Ikan Demersal di Perairan Teluk Cenderawasih Samudera Pasifik Nurulludin dan Suprapto Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email : [email protected]
ABSTRAK Perikanan demersal di Perairan Teluk Cenderawasih masih bersifat tradisional, dimana sebagian besar alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur. Permasalahan yang ada adalah infomasi sumberdaya ikan demersal laut dalam di perairan Indonesia masih terbatas. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas laju tangkap, komposisi jenis dan tingkat pemanfaatan ikan demersal yang ditangkap dengan pancing ulur di sekitar perairan Teluk Cendrawasih, Laut Pasifik. Penelitian dilaksanakan mulai Februari – November 2013 di Nabire, Papua dengan program enumerasi. Data produksi per kapal dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Data panjang ikan di analisis menggunakan program FISAT II untuk menentukan tingkat pemanfaatan ikan demersal. Rata-rata laju tangkap sebesar 293,4 kg/trip atau sekitar 29,34 kg/hari. Ikan hasil tangkapan kapal pancing ulur di dominasi ikan karang dan terdapat pula jenis ikan kakap laut dalam seperti: Etelis radiosus, Etelis carbunculus, Pristypomoides typus dan Aphareus rutilans. Tingkat pemanfaatan ikan demersal masih rendah seperti: kakap merah (Lutjanus sebae) sebesar 0,42 dan kurisi bali (Aphareus rutilans) 0,26. Harus ada kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan terhadap kapal pancing ikan demersal meskipun tingkat pemanfaatan yang rendah, hal ini dikarenakan panjang ikan yang dominan tertangkap (Lc) masih berukuran kecil. Kata kunci : Laju tangkap, komposisi, tradisional, pemanfaatan
PENDAHULUAN Wilayah kepulauan Pasifik mencakup beberapa pengelompokan yang unik, dimana Negara dengan pulau kecil dengan daratan gabungan hanya 552.789 km2 atau sekitar 84% dari daratan ini ditemukan di Papua, Hanich (2009). Papua merupakan provinsi yang terletak paling timur wilayah Indonesia, dimana memiliki panjang pantai kurang lebih 1.170 mil laut dan luas perairan laut yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Perairan bagian utara papua termasuk dalam WPP 717 (Teluk Cenderawasih dan Laut Pasifik) dan bagian selatan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
339
papua yang termasuk dalam WPP 718 (Laut Aru dan Arafuru). WPP 717 yang mencakup Laut Pasifik dimiliki oleh 3 (tiga) provinsi yaitu; Maluku Utara, Papua dan Papua Barat (DJPT, 2012) Produksi ikan demersal di Indonesia sebagian besar masih berasal dari skala usaha kecil (Suman, 2012). Perikanan demersal di Nabire sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing ulur. Daerah penangkapan berasal dari perairan yang dekat dengan kedalaman perairan kurang dari 200 m. Perikanan demersal di wilayah bagian Utara Papua sebagian besar dari wilayah perairan Teluk Canderawasih, dimana banyak terkonsentrasi daerah pemukiman penduduk di pantai (Suprapto, 1994). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas laju tangkap, komposisi jenis dan tingkat pemanfaatan beberapa ikan demersal dominan yang tertangkap dengan pancing ulur di sekitar perairan Teluk Cendrawasih, Laut Pasifik sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan Instansi terkait.
METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu penelitian Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan, wawancara dengan nelayan dan program enumerasi yang dilakukan di Nabire, Papua (gambar 1). Penelitian dilaksanakan mulai Februari – November 2013. Data jumlah total hasil tangkapan per kapal, komposisi dan panjang ikan demersal dominan setiap bulan di catat oleh enumerator.
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian di Nabire, 340
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Analisis Data Analisis hasil tangkapan kapal pancing menggunakan perhitungan rumus Sparre & Venema (1999) ,sebagai berikut : CpUE = Catch Effort
dimana,
CpUE : Catch per unit Effort
Catch : Jumlah hasil tangkapan (kg) Effort : Jumlah upaya (trip) Panjang beberapa ikan demersal dominan seperti: kakap merah (Lutjanus sebae) sebesar 0,42 dan kurisi bali (Aphareus rutilans) 0,26 ( dianalisis menggunakan software FISAT II (Fish Stock Assessment Tools) (2004), Penentuan panjang pertama kali matang gonad (Lm) menggunakan spreadsheet Froese, Palomares dan Vakily (2000)
Panjang ikan yang dominan tertangkap / pertama kali tertangkap (Lc) Nilai Lc panjang beberapa ikan yang dominan tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sparre & Venema, 1999) :
dimana : SL S1 dan S2
= kurva logistik; = konstanta pada rumus kurva logistik
Tingkat pemanfaatan (E) Tingkat pemanfaatan ikan dominan dianalisis secara analistik dengan terlebih dahulu mencari nilai Z, M dan (F) diperoleh dari persamaan; Z = F + M atau F = Z - M .......................................................................... (4) a.
E = F/Z ........................................................................................................... (5) Mortalitas alami (M)
Mortalitas alami dengan metode persamaan empiris Pauly (1980) dengan rumus :
Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T ................... (6)
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
341
b.
Mortalitas Total (Z)
Pendugaan mortalitas total mengunakan metode Beverton dan Holt dalam (Sparre et.al.1989) yaitu :
HASIL Produksi Ikan demersal di Nabire sebagian besar ditangkap dengan alat tangkap pancing ulur. Armada perikanan pancing ulur ikan demersal berdasarkan data statistik propinsi Papua di ketahui bahwa Hasil tangkapan per unit upaya (CpUE) pancing ikan demersal di Nabire dari tahun 2005 -2011 mengalami fluktuasi (Gambar 2). CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 2,3 ton/trip dan terendah pada 2005 sebesar 1,01 ton/trip.
Gambar 2. CPUE pancing ikan Demersal Nabire Tahun 2005 - 2011 Spesifikasi Alat Tangkap dan Fishing Ground Berdasarkan laporan statistik perikanan, di Kabupaten Nabire tercatat sekitar 3 (tiga) jenis alat tangkap yang mendapatkan hasil tangkapan ikan demersal, yakni: Pancing ulur, jaring insang tetap dan pancing rawai. 342
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Satu unit pancing ulur terdiri dari tiga komponen utama yakni tali utama, tali cabang, mata pancing dan pemberat. Tali utama terbuat dari bahan senar (nylon) ukuran no 850. Tali cabang terdiri dari 2-3 tali tiap unit dengan ukuran senar no 45. Ukuran mata pancing yang digunakan, terkecil nomor 12 sampai dengan yang terbesar nomor 6 dan 9. Pemberat berfungsi agar pancing mencapai dasar, dibuat dari potongan pipa besi atau timah. Dalam operasionalnya, pancing ulur menggunakan umpan alami berupa ikan tembang, selar, cumi2.
Tipe armada Hasil pengamatan, menunjukkan bahwa armada yang digunakan nelayan menangkap ikan demersal di Kabupaten Nabire adalah perahu bermotor, terbuat dari material dasar kayu, bobot mati berkisar 5 – 7 GT setiap ABK mengoperasikan satu unit alat tangkap pancing ulur (Tabel1). Tabel 1. Spesifikasi kapal pancing ulur ikan Demersal Nabire Indikator Tipe armada Mesin Daerah Penangkapan Alat tangkap Trip Lama perjalanan Jumlah ABK Jumlah trip BBM
Keterangan Kayu, kapasitas kapal 5 - 7 GT, panjang (L) 8 – 10 m, lebar (B) 2m, dan dalam (D) 0,6 - 1m Mesin 15 - 22 PK Laut Teluk Cenderawasih Anggrameos, Yaur, Napan Yaur Pancing ulur : Tali utama Nylon no 850 (2-3 tali/unit kapal) Mata pancing yang digunakan No 12 - 6 7 - 10 hari 5 – 10 jam 2-3 (orang) 2 -3 trip / bulan 400 – 600 liter
Waktu yang diperlukan dalam satu trip penangkapan 7 – 10 hari di laut tergantung jauh dekatnya lokasi daerah penangkapan, terdekat memerlukan waktu 20 mil dan terjauh hingga 35 mil dari Nabire, sehingga dalam satu bulan nelayan pergi melaut sebanyak 2 – 3 trip.
Laju Tangkap Hasil analisis laju tangkap pancing ulur selama 10 bulan penelitian terhadap ikan demersal yang diperoleh dari 9 (sembilan) perahu penangkap di Nabire menunjukkan fluktuasi yang nyata. Trend laju tangkap tiap bulan cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
343
laju tangkap berkisar 293,4 kg/trip, laju tangkap tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 502,2 kg/trip dan terendah pada Bulan November, yakni 121,8 kg/trip (gambar 3).
Gambar 3. Laju tangkap kapal pancing Nabire Februari – November 2013
Komposisi Jenis Ikan Demersal Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan komposisi hasil tangkapan pancing ulur berbeda setiap bulannya. Pada bulan Juli didominasi oleh ikan kurisi bali (Aphareus rutilans) tercatat 33, 64% dan pinjalo (Pinjalo pinjalo) 22,81%, Agustus didominasi kakap laut dalam (Etelis radiosus) 29,9 % dan (Aphareus rutilans) 20,3 % serta bulan November didominasi kakap laut dalam (Pristipomoides typus) 31,2% (gambar 4a,b,c)
344
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4.a), b), c) Komposisi hasil tangkapan kapal pancing ulur di Nabire 2013 Panjang dominan ikan demersal yang tertangkap / pertama tertangkap (Lc)
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
345
Ikan kakap merah (Lutjanus sebae) Berdasarkan hasil peneltian, pendugaan rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan kakap merah (Lutjanus sebae) yang didaratkan di Nabire sebesar 40,63 cm TL (Gambar 5) dan kurisi bali (Aphareus rutilans) nilai Lc = 50,47 cm FL (Gambar 6).
Gambar 5. Panjang rata-rata (50% kumulatif) ikan kakap merah (Lutjanus sebae)
Gambar 6. Panjang rata-rata (50% kumulatif) bali (Aphareus rutilans)
346
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Tingkat Pemanfaatan (E) Tingkat pemanfaatan (E) ikan kakap merah (Lutjanus sebae) dan kurisi bali (Aphareus rutilans) memiliki tingkat pemanfaatan yang masih rendah, (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal di Nabire No
Species
1
Lutjnus Sebae
2
Aphareus rutilans
Panjang(cm) Lm(cm)
Linf (cm)
M
F
E
18,5-87,5
48,4
91,88
0,59
0,43 0,42
28,5–106,5
57,7
111,83
0,45
0,16 0,26
PEMBAHASAN Perikanan demersal di Nabire yang melakukan penangkapan di sekitar perairan Teluk Cendrawasih sebagian besar ditangkap dengan alat tangkap tradisional. Sistem pemasaran juga masih untuk konsumsi masyarakat lokal. Daerah penangkapan sumberdaya ikan demersal sampai saat ini masih terbatas pada perairan continental shelf dengan kedalaman di bawah 200 meter Suman (2010). Pada penelitian di Nabire, juga di ketahui bahwa kedalaman maksimal nelayan yang menangkap ikan pada kisaran kedalaman 70 – 150 meter. Anderson & Allen (2001) menyebutkan bahwa distribusi dari ikan kakap laut dalam ditemukan pada kedalaman minimal 85,3 m dan kedalaman maksimum 284m. Laju tangkap pancing ulur tiap bulan di Nabire cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata laju tangkap berkisar 293,4 kg/trip. Penelitian di New Caledonia menunjukkan bahwa perikanan karang lokal pada dasarnya dilakukan melalui kegiatan informal dengan 312 perahu aktif dicatat dan hasil tangkapan mereka mencapai 169 ton / tahun (Guillemot, 2009). Komposisi hasil tangkapan kapal pancing ulur terjadi perubahan setiap bulannya, hal ini di karenakan perubahan lokasi daerah penangkapan di perairan Teluk Cendrawasih. Jenis ikan laut dalam yang teridentifikasi seperti Etelis radiosus, Aphareus rutilans, Etelis cabunculus, Pristipomoides typus. Berdasarkan penelitian Fry (2006) diketahui dari 98 spesies ikan yang tertangkap selama 886 jam memancing di wilayah Pasifik tropis sekitar Papua Nugini. Tingkat pemanfaatan ikan demersal masih rendah dimana nilai eksploitasi masih dibawah 0,5. Pemanfaatan kakap merah (Lutjanus sebae) sebesar 0,42 dan kurisi bali (Aphareus rutilans) 0,26. Nilai eksploitasi yang masih rendah ini penandakan tingkat pemanfaatan belum optimal. Nilai yang rendah seharusnya dapat di tingkatkan dengan penambahan upaya, tetapi mengingat panjang ikan yang dominan tertangkap (Lc < Lm) masih berukuran kecil harus ada
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
347
kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan. Perikanan pancing yang bersifat sangat selektif pun, apabila kondisi tersebut di biarkan akan mengganggu kelangsungan ekosistem ikan. Hal ini di karenakan ikan yang tertangkap dengan ukuran yang sama akan memutus pertumbuhan ikan. Lebih tangkap pertumbuhan yaitu tertangkapnya ikan-ikan muda yang akan berpotensi sebagai stok sumberdaya perikanan sebelum mereka mencapai ukuran yang pantas untuk ditangkap (Pauly, 1984). Berdasarkan penelitian Underwood (2013) bahwa stok ikan demersal di sekitar Pulau Lihir, Papua Nugini sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebih, meskipun dengan alat tangkap pancing.
KESIMPULAN Perikanan demersal di Nabire merupakan sekala kecil, dimana sistem penangkapan masih bersifat tradisional. Alat tangkap utama yaitu pancing ulur yang menangkap ikan di sekitar Perairan Teluk Cendrawasihdengan rata-rata laju tangkap sebesar 293,4 kg/trip atau sekitar 29,34 kg/hari. Nilai Lc < Lm ikan demersal yang dianalisis, kondisi ini akan mengganggu kelangsungan hidup ikan.
PESANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian penelitian stok, life history dan dinamika populasi sumberdaya perikanan demersal di WPP Samudera Hindia dan Laut Pasifik tahun 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Anderson & Allen. 2001. Lutjanidae, Jobfishes.p. 2840-2918. In K.E. Carpenter and V. Niem 9EDS) FAO species identification guide for fishery purposes. The living marine resources of the Western Central Pacific. DJPT, 2011. Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2011. Froese, R,M.L.D. Palomares & J.M. Vakily. 2000. A Spreadsheet with useful equations to estimate life history parameters in fishes. URL; http://www.fishbase.org/download/ popdynEN.zip. Fry, Brewer & Venables, 2006. Vulnerability of deepwater demersal fishes to commercial fishing Evidence from a study around a tropical volcanic seamount in Papua New Guinea. Fisheries Research. Volume 81, 2-3 November, Hal 126 – 141
348
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Guillemot, Léopold & Cuif, 2009. Characterization and management of informal fisheries confronted with socio-economic changes in New Caledonia (South Pacific). Fisheries Research. Volume 98, Issues 1–3, June 2009, Hal 51–61 Hanich Quentin, Feleti Teo, Martin Tsamenyi, 2009. A collective approach to Pacific islands fisheries management: Moving beyond regional agreements. Marine Policy 34 (2010) 85–91 .www.elsevier.com/locate/marpol. Pauly. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325 hal. Pauly. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp. Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1. Manual. FAO fish. Tech. Suman & Badrudin (2010). Indeks kelimpahan stok sumberdaya ikan di Perairan Samudera Hindia. IPB Press. Suman & Nurdin (2012). Stok Sumberdaya ikan demersal laut dalam di Perairan ZEEI Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Balai Penelitian Perikanan Laut. 30-31 Oktober 2009. Hal 143-152 Suprapto, Suman & Iskandar, 1994. Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut Di Perairan Yapen Waropen, Irian Jaya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 86, Hal. 19 -28 Underwood, Shaun, Ludgerus, Evans. 2013. Integrating connectivity science and spatial conservation management of coral reefs in north-west Australia. Journal for Nature Conservation 21. Hal 163-172.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
349
350
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
KOMPOSISI JENIS, LAJU TANGKAP DAN DISTRIBUSI UDANG PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN UTARA PAPUA Duranta D. Kembaren, Wedjatmiko, dan Suprapto Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan samudera Nizam Zachman Jakarta Utara 14440 Email : [email protected]
ABSTRAK Penelitian tentang komposisi jenis, laju tangkap dan distribusi udang di perairan Utara Papua telah dilakukan pada bulan akhir Mei sampai awal Juni tahun 2013. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan armada kapal motor milik nelayan dengan alat tangkap trawl. Penangkapan dilakukan pada pagi sampai sore hari dengan menggunakan metode luas sapuan (swept area). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jenis udang didominasi oleh jenis udang dogol (Metapenaeus affinis) yang mencapai 52,7% dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) sebesar 27,7% dari hasil tangkapan udang. Rerata laju tangkap dan densitas udang di perairan ini masing-masing sebesar 0,91 kg/jam dan 46,70 kg/km2. Laju tangkap dan densitas tertinggi diperoleh pada kedalaman perairan 10-15 meter. Sebaran rerata kepadatan udang paling tinggi terdapat di perairan sebelah barat sungai Memberamo.
PENDAHULUAN Perairan laut provinsi Papua secara umum dibagi menjadi dua wilayah, yaitu perairan bagian utara yang merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 717 Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik dan perairan bagian selatan yang merupakan WPP 718 Laut Arafura dan Laut Timor. Perairan yang merupakan bagian Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik meliputi delapan kabupaten/kota, yaitu Sarmi, Kepulauan Yapen, Waropen, Biak Numfor, Jayapura, Kota Jayapura, Nabire, dan Supiori. Sedangkan perairan yang merupakan bagian dari Laut Arafura dan Laut Timor (WPP 718) yaitu kabupaten Merauke, Mappi, Mimika, dan Asmat. Wilayah Papua yang dikelilingi oleh perairan laut ini menyebabkan sektor perikanan memiliki peranan penting dalam perekonomian propinsi tersebut. Wilayah perairan laut provinsi Papua yang sudah dieksploitasi semenjak lama adalah wilayah perairan Laut Arafura. Penelitian tentang sumberdaya perikanan di Laut Arafura khususnya perikanan udang dan ikan demersal juga telah banyak dilakukan, seperti penelitian Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
351
tantang biologi dan dinamika populasi udang jerbung (Sumiono, 1983; Naamin, 1984), dan tentang potensi dan hasil tangkapan sampingan (Naamin&Sumiono, 1983; Budihardjo et al., 1993). Sementara itu, di perairan bentang Utara Papua pernah dilakukan penelitian potensi udang dan ikan demersal (Budihardjo, 2002). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola penyebaran densitas udang dan ikan demersal relatif merata dengan kepadatan yang berbeda-beda dan pada musim timur kepadatan diperairan sebelah Barat sungai Membramo lebih tinggi dibandingkan sebelah timurnya. Penelitian komposisi jenis, laju tangkap dan distribusi udang di perairan Utara Papua ini perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran terkini sumberdaya udang dan melihat perubahan sumberdaya tersebut dibandingkan dengan hasil penelitian Budihardjo (2002), sehingga diperoleh suatu dasar untuk melakukan pemanfaatan dan pengelolan sumberdaya udang di perairan tersebut. BAHAN DAN METODE Survei telah dilaksanakan selama sebelas hari, tanggal 27 Mei s/d 6 Juni 2013, di perairan bentang Utara Papua, pada posisi 137,5o – 139,5o Bujur Timur dan 1,5o – 2.0o Lintang Selatan. Survei menggunakan kapal motor milik nelayan bertonase 30GT, berikut alat tangkap trawl (bottom minitrawl) yang memiliki spesifikasi: tali ris atas (head rope) 12,7 meter, tali ris atas (ground rope) 13,0 meter. Badan jaring terbuat dari tali PE panjang 11,5 meter dengan ukuran mata 1,5 inchi. Kantong jaring panjangnya 5 meter dengan ukuran mata 1,25 inchi. Spesifikasi kapal dan desain alat tangkap yang digunakan, tertera pada Lampiran 1 dan 2. Penangkapan ikan dilakukan pagi hari sampai dengan sore hari (pukul 6.00 sampai dengan 17.00). Metode yang digunakan adalah sapuan area (swept area method) terhadap sepuluh lokasi stasiun penangkapan yang tersebar seperti tampak pada Gambar 1. Dalam operasionalnya, pengambilan data diterapkan rancangan acak berlapis (stratified random) dengan variabel perbedaan lokasi dan perbedaan kedalaman perairan. Kecepatan kapal menarik jaring ditetapkan 2-2,5 knot disesuaikan dengan kekuatan arus pada saat itu, sedangkan lama penarikan jaring (towing time) satu jam. Ikan dan udang yang tertangkap segera dilakukan identifikasi berdasarkan referensi taksonomi Gloefer-Tarp & Kailola (1985); Nakabo (2000); Grey et al. (1983) dan FAO (1998), selanjutnya dikelompokkan berdasarkan group sumberdaya menurut Losse & Dwiponggo (1976). Data laju tangkap dicatat berdasarkan bobot dan jumlah individu ikan yang tertangkap pada tiap stasiun penangkapan, selanjutnya digunakan sebagai analisis dugaan kepadatan stok yang mengacu pada metode baku menurut Sparre & Venema (1999).
352
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. Peta posisi stasiun penangkapan ikan demersal dan udang menggunakan trawl di perairan Utara Papua, bulan Mei - Juni 2013 Analisis estimasi kelimpahan relatif dan pendugaan stok diperoleh dengan analisis data laju tangkap, menerapkan persamaan Sparre & Venema (1999), sebagai berikut : dimana, C/R = laju tangkap; Cw = bobot tangkapan (kg);
t = waktu penarikan jaring (jam)
Untuk menghitung kepadatan stok, maka terlebih dahulu dihitung luas daerah yang disapu : a = S x E ... ..................................................................................... (2)
dimana : S = v x t x 1,85 x 10-3
a
= luas daerah yang disapu per jam (km2)
E
= lebar bukaan mulut jaring (m)
S
= jarak sapuan (km)
v
= kecepatan kapal waktu menarik jaring (mil/jam)
t
= waktu yang diperlukan selama penarikan jaring (knot)
1,85
= konversi dari mil ke km
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
353
10-3
= konversi dari meter ke km.
Jarak sapuan (S) dihitung dari posisi sejak jaring mulai ditarik sampai pada posisi jaring mulai diangkat. Penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan GPS. Dari persamaan (2) dapat dihitung kepadatan stok, menggunakan rumus : dimana : D
= kepadatan stok ;
Cw/a) = rata-rata bobot tangkapan per satuan luas dari semua stasiun pengambilan contoh (kg/km2); A = luas daerah sapuan (km2); Ef = faktor daya tangkap, merupakan perbandingan antara jumlah ikan yang tertangkap dengan jumlah yang ada di perairan, menurut Shindo (1973) nilai 0,5
HASIL PENELITIAN 1.
Komposisi Jenis
Komposisi jenis sumberdaya ikan yang diperoleh selama survei di perairan Utara Papua pada bulan Mei-Juni menunjukkan bahwa hasil tangkapan didominasi oleh kelompok sumberdaya ikan demersal yang mencapai 77,5% dari total hasil tangkapan. Sumberdaya udang menduduki posisi ketiga setelah ikan pelagis sebanyak 10,8%. Sementara itu, sumberdaya cumi-cumi dan kepiting masing-masing sebanyak 0,31 dan 0,30% (Tabel 1). Tabel 1. Volume hasil tangkapan trawl di Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 Sumberdaya
Hasil Tangkapan (kg)
Persentase (%)
Cumi-cumi/Sotong Ikan Demersal Ikan Pelagis Udang Kepiting TOTAL
2.83 712.14 101.91 99.22 2.73 918.83
0.31 77.51 11.09 10.8 0.3
Kelompok sumber daya udang yang tertangkap terdiri 4 famili dan 16 spesies (Tabel 2). Jenis yang paling banyak diperoleh berasal dari family Penaeidae. Sepuluh spesies utama yang mendominasi bobot hasil tangkapan tertinggi ditampilkan pada Gambar 2. Hasil tangkapan 354
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
udang didominasi oleh jenis udang dogol (Metapenaeus affinis) dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) yang masing-masing sebesar 52,7% dan 27,7% dari total hasil tangkapan udang. Sedangkan jenis-jenis yang lain yang tertangkap sebesar 0,6 – 5,2 %.
Tabel 2. Komposisi jenis hasil tangkapan udang di perairan Utara Papua Famili Palaemonidae
Penaeidae
Solenoceridae Squillidae
Spesies Exopalaemon styliferus Caridea sp Metapenaeus affinis Penaeus merguiensis Metapenaeus dobsoni Penaeus monodon Parapenaeopsis scluptilis Metapenaeus eboracensis Trachypenaeus asper Metapenaeus ensis Acetes sp Trachypenaeus vulvus Atypopenaeus formosus Solenocera crassicornis Squilla sp.
Catch (kg) Persentase (%) 0.09 0.09 0.05 0.05 52.3 52.71 27.51 27.73 5.2 5.24 3.82 3.85 3.4 3.43 3.14 3.16 0.825 0.83 0.57 0.57 0.48 0.48 0.02 0.02 0.01 0.01 0.18 0.18 1.62 1.63
Gambar 2. Sepuluh spesies utama udang yang tertangkap trawl di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
355
Laju Tangkap Laju tangkapan udang penaeid per stasiun berkisar antara 0,01 – 3,47 kg/jam dengan laju tangkap rata-rata sebesar 0,91 kg/jam. Sebaran laju tangkap udang penaeid secara horizontal ditampilkan pada Gambar 3. Sementara itu, berdasarkan kedalaman perairan tampak bahwa laju tangkap udang penaeid cenderung tinggi pada perairan yang dangkal dan rendah pada perairan yang lebih dalam (Gambar 4).
Gambar 3. Pola sebaran laju tangkap udang penaeid di perairan utara Papua
Gambar 4. Laju tangkap rata-rata udang yang tertangkap trawl pada kedalaman perairan yang berbeda di perairan utara Papua, bulan Mei-Juni 2013
356
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
2.
Distribusi Densitas Udang
Densitas sumberdaya udang penaeid berkisar antara 0,52 – 178,65 kg/km2, dengan kepadatan rata-rata udang penaied sebesar 46,70 kg/km2. Densitas tertinggi terdapat pada stasion 6 (di sebelah timur sungai Membramo) dan terendah pada stasion 7 (sebelah barat sungai Membramo) (Gambar 1&5). Dengan asumsi luas perairan 11.172,5 km2 diperoleh biomassa udang di perairan utara Papua sebesar 521,7 ton.
Gambar 5. Sebaran densitas udang penaeid di perairan utara Papua, Mei-Juni 2013 Dari kesepuluh stasiun yang diamati dapat dibagi menjadi tiga sub perairan yaitu perairan Sarmi, Timur Memberamo, dan Barat Memberamo seperti yang disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata densitas udang penaeid paling rendah diperoleh di sekitar perairan Sarmi sebesar 11,3 kg/km2, dan tertinggi di sekitar perairan barat sungai Memberamo yaitu 74,6 kg/km2, sedangkan di sekitar perairan sebelah timur sungai Memberamo sebesar 66 kg/km2.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
357
Tabel 2. Densitas udang di perairan utara Papua berdasarkan lokasi perairan, Mei – Juni 2013 Satsion 1 2 3 10 Perairan Sarmi 4 5 6 Perairan Timur Memberamo 7 8 9 Perairan Barat Memberamo 3.
Densitas udang (kg/km2) 1.03 2.58 12.05 29.70 11.3 2.23 69.66 126.00 66.0 0.52 44.58 178.65 74.6
Struktur Ukuran Udang
Struktur ukuran panjang karapas dan berat udang penaeid yang disajikan merupakan jenis-jenis udang yang ekonomis penting dan atau dominan diperoleh di perairan ini pada saat penelitian. Udang windu (Penaeus monodon) merupakan udang yang memiliki ukuran paling besar dengan panjang karapas mencapai 68,2 mm dan berat 150 gram. Panjang karapas rerata udang windu sebesar 44,1 mm dan berat rerata mencapai 76,2 gram. Ukuran udang terkecil diperoleh pada udang kuning (Metapenaeus dobsoni) dengan panjang karapas rerata 21,3 mm dengan berat individu rerata sebesar 17,4 gram (Tabel 3). Tabel 3. Struktur ukuran udang penaeid di perairan utara Papua, Mei-Juni 2013 Spesies Metapenaeus dobsoni Metapenaeus ensis Metapenaeus affinis Penaeus merguiensis Penaeus monodon Metapenaeus eboracensis
358
N 88 18 246 241 59 88
Panjang karapas (mm) Berat (gram) Min. Maks. Rerata Min. Maks. Rerata 12.6 29.2 21.3 10 30 17.4 16.4 30.8 22 10 40 19.7 11.7 38.4 26.8 10 220 25.8 19.2 47.5 28.1 15 90 34.9 31 68.2 44.1 40 150 76.2 13.6 22.5 18.6 10 20 13.2
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Ukuran udang penaeid yang bernilai ekonomis tinggi seperti udang windu (Penaeus monodon) dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) yang diperoleh di sebelah timur sungai Memberamo memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh di perairan sebelah barat sungai Memberamo. BAHASAN Komposisi hasil tangkapan trawl di perairan Utara Papua pada musim timur didominasi oleh jenis sumberdaya ikan demersal yang mencapai 712,4 kg atau setara dengan 77,51% dari total hasil tangkapan. Sementara itu, sumberdaya udang menempati urutan ketiga dengan total hasil tangkapan 99,22 kg atau sekitar 10,8%. Hal yang sama juga diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Budihardjo (2002) di perairan yang sama dengan penelitian ini, dimana hasil tangkapan trawl didominasi oleh jenis ikan demersal yang mencapai 86,44% dan udang sebesar 7,27%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini diketahui bahwa persentase hasil tangkapan ikan demersal cenderung menurun sedangkan persentase hasil tangkapan udang cenderung meningkat. Hal ini berarti bahwa kondisi stok udang cenderung membaik. Jenis udang yang tertangkap terdiri dari empat famili, 11 genus dan 15 spesies (Lampiran 3). Hasil tangkapan udang di perairan Utara Papua ini didominasi oleh jenis udang dogol (Metapenaeus affinis) yang mencapai 52,7% dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) sebesar 27,7% dari total hasil tangkapan udang. Sedangkan udang windu yang merupakan udang paling ekonomis hanya tertangkap sebesar 3,8%. Hasil penelitian Budihardjo pada tahun 2002 tidak merinci jenis udang apa yang paling mendominasi hasil tangkapan, peneltian tersebut menggabungkan seluruh jenis udang yang tertangkap sehingga penulis tidak dapat mengetahui apakah terjadi perubahan komposisi jenis udang selama periode sekitar 12 tahun ini. Penelitian sejenis pernah dilakukan di perairan timur Kalimantan (Suprapto et al., 2012) dan perairan Tarakan (Kembaren et al., 2013), dimana dikedua perairan tersebut komposisi jenis udang didominasi oleh jenis udang krosok dan udang dogol sedangkan udang jerbung tertangkap dalam jumlah yang sangat sedikit. Komposisi jenis di perairan ini sedikit berbeda dimana persentase jenis udang jerbung di perairan utara Papua ini lebih tinggi. Perbedaan fenomena dominasi jenis udang ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda. Kondisi lingkungan yang menjadi penyebab utamanya adalah keberadaan mangrove dan tingkat kekeruhan perairan. Udang jerbung (Penaeus merguiensis) menyenangi perairan yang ada hutan mangrovenya (Kirkegard et. al., 1970) dan kondisi perairan yang agak keruh (turbid water) dengan dasar lumpur yang lumer atau campuran pasir dengan lumpur (Unar, 1965; Penn, 1975). Kondisi dasar perairan di Utara Papua cenderung lumpur berpasir (Suprapto et al., 2013, tidak dipublikasika) sedangkan di perairan timur Kalimantan dan Tarakan cenderung berlumpur dan liat (Suprapto et al., 2011; Suprapto et al., 2012, tidak dipublikasikan). Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
359
Laju tangkap udang di perairan ini mencapai 3,47 kg/jam dengan laju tangkap rata-rata sebesar 0,91 kg/jam. Pola sebaran laju tangkap udang meunjukkan bahwa laju tangkap udang tertinggi diperoleh pada kedalaman perairan yang berkisar antara 10-15 meter dan cenderung sangat rendah pada kedalaman diatas 15 meter. Hasil ini sama dengan penelitian dilakukan di perairan utara Jawa (Sumiono et al., 2002), timur Kalimantan (Suprapto et al., 2012) dan Tarakan (Kembaren et al., 2013). Kondisi ini dipengaruhi oleh struktur dasar perairan, dimana pada keladaman dibawah 20 meter cenderung berlumpur dan habitat ini sangat disukai oleh udang. Penn (1984) menyatakan bahwa habitat yang sesuai untuk kehidupan udang penaeid utamanya pada kedalaman 10-30 meter dengan dasar perairan berlumpur serta masih dipengaruhi oleh massa air tawar. Denistas udang penaeid di perairan Utara Papua mencapai 178,65 kg/km2 dengan kepadatan rata-rata sebesar 46,70 kg/km2. Hasil penelitian Budihardjo (2002) memperoleh kepadatan rerata udang di perairan ini sebesar 46 kg/km2. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan yang diperoleh pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan udang penaeid di perairan ini cenderung stabil atau bahkan mengalami sedikit kenaikan selama periode 12 tahun terakhir. Terjadinya sedikit kenaikan kepadatan udang ini diduga disebabkan karena berkurangnya upaya penangkapan udang dalam skala besar oleh perusahaan di perairan ini. Salah satu perusahaan penangkapan udang yang dulu beroperasi di perairan ini adalah PT. Bintang Mas, namun semenjak tahun 2007 mereka menghentikan aktivitas penangkapan dikarenakan tidak sesuainya biaya operasional dengan hasil tangkapan udang. Kondisi saat ini aktvitas penangkapan udang hanya dilakukan oleh nelayan skala usaha kecil dengan armada dibawah 5 GT. Kondisi ini lah yang menjadi penyebab utama meningkatnya kepadatan udang di perairan ini. Distribusi densitas udang menunjukkan bahwa kepadatan rerata udang cenderung tinggi di perairan sebelah barat sungai Memberamo dibandingkan di perairan sebelah timur sungai Memberamo dan perairan Sarmi (Tabel 2). Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Budihardjo (2002), dimana kepadatan udang tertinggi juga diperoleh di perairan sebelah barat sungai Memberamo. Hal ini diduga karena di lingkungan perairan ini lebih subur karena banyak masukan bahan organik dari muara sungai Memberamo, mengingat bahwa periode penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni yang merupakan musim angin muson tenggara dimana arus permukaan Samudera Pasifik mengalir ke Teluk Cenderawasih (Bakorsutanal, 1998). Disamping itu, luasan hutan mangrove di daerah ini juga lebih besar dibandingkan daerah lainnya khususnya daerah perairan sebelah timur. Sementara itu, berdasarkan pengamatan terhadap struktur ukuran udang penaeid diketahui bahwa udang dari genus Penaeus memiliki ukuran yang lebih besar daripada jenis udang penaeid lainnya. Pengamatan terhadap udang windu (Penaeus monodon) dan jerbung
360
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
(Penaeus merguiensis) menunjukkan bahwa udang yang diperoleh di sebelah timur sungai Memberamo memiliki rerata ukuran yang lebih besar dibanding yang diperoleh di perairan barat Memberamo. Hasil ini mengindikasikan bahwa kemungkinan daerah ini merupakan daerah udang dewasa mencari tempat untuk memijah. KESIMPULAN Komposisi jenis udang di perairan Utara Papua didominasi oleh jenis udang dogol (Metapenaeus affinis) dan udang jerbung (Penaeus merguiensis). Laju tangkap udang tertinggi diperoleh pada keladalaman perairan 10-15 meter. Kepadatan udang paling tinggi diperoleh di daerah perairan sebelah barat sungai Memberamo. Selama periode 12 tahun terakhir, kepadatan stok udang cenderung stabil dan menunjukkan sedikit kenaikan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Penelitian Status dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid dan Krustasea Lain Dalam Mendukung Industrialisasi Perikanan Di WPP 572, WPP 573, dan WPP 717 tahun anggaran 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, S., Sudjianto dan TS Murtoyo, 1993. Penelitian pendahuluan potensi sumberdaya ikan demersal di wilayah perairan Zone Ekonomi Eksklusif selatan Irian Jaya bulan November-Desember 1992. Jurnal Penelitian Laut No. 80. Balitkanlut, Jakarta: 82-93 Budihardjo, S. 2002. Survei Potensi Udang dan Ikan Demersal di perairan Utara Papua. Laporan Hasil Survei. 63p. FAO. 1974. FAO species identification sheets for fishing purposes. Vol I- Vol III. Gloerfelt-Tarp, T. & P. Kailola. 1985. Trawled Fish of the Southern Indonesia and Northern Australia. ADAB –GTZ-DGF Indonesia. 406p. Grey, D.L. & W. Dall. 1983. A Guide to the Australian Penaeid Prawn. Departement of Primary Production. Darwin, Northern Teritory Kembaren, D.D., Suprapto, & Wedjatmiko. 2013. Komposisi jenis dan sebaran laju tangkap udang penaeid di perairan Tarakan, Kalimantan Utara. Dalam Suman, A., Wudianto, Bintoro, G., Haluan, J.(Ed.). Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Sulawesi. IPB Press. p : 135-164.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
361
Losse,G.F. & A. Dwiponggo. 1977. Report on the Java Sea SE monsoon trawl survey. June December 1976. Spec. Rep. Contrib. of the Dem. Fish. Project No.3. Mar. Fish. Res. Inst. Jakarta. Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana, IPB Bogor : 381 hal. Naamin, N. dan Bambang. S., 1983. Hasil sampingan (by-catch) pada penangkapan udang di perairan Laut Arafura dan sekitarnya. Laporan LPPL No. 24/1982. BPPL, Jakarta:45-55. Penn, J.W. 1984. The behaviour and catchability of some commercially exploited penaeids and their relationship to stock and recruitmen. In: J.A.Gulland & B.J.Rothschild (Eds): Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. Fishing News Book Ltd. Surrey. England. Hal:173--185. Shindo, S. 1973. General review of the trawl fishery and the demersal fish stocks of the South China Sea. FAO. Fish. Tech. Pap. (120): 49 hal. Sparre, P. and Venema, S. 1999. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. (Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan). Buku 1: Manual. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 p. Sumiono, B. 1983. Ukuran matang dan perbandingan kelamin udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Teluk Bintuni, Irian Jaya. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 29: 41-46. Sumiono, B., Sudjianto, Y. Soselisa dan T.S. Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap trawl pada musim timur di perairan utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 8 No. 4. p : 15-21 Suprapto, Wedjatmiko, D.D. Kembaren. 2012. Komposisi jenis, kelimpahan dan sebaran udang di perairan Selat Makassar. Dalam Kartamihardja, E.S, et al., 2012. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap, Manado 30-31 Oktober 2012. p: 411-419
362
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Lampiran 1.
Tipe kapal motor yang digunakan penelitian pengkajian stok sumber daya ikan demersal dan udang di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013
Nama Kapal
: KM Skyline 01
Bahan Utama
: Fiberglass
Tonase Kotor
: 30 GT
Ukuran (P x L x D)
Mesin Penggerak Utama : Misubhishi D.14 Fuso 160 PK
Mesin bantu
: 20 X 2 X 1,5 M
: Dong Feng 16 PK
Bahan Bakar
: Solar
Jumlah ABK
: 6 orang
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
363
Lampiran 2. Desain dan kontruksi jaring trawl digunakan penelitian pengkajian stok sumber daya ikan demersal dan udang di di perairan Utara Papua, bulan Mei-Juni 2013 HR = 12,7 m GR = 13,0 m 1,20 m 90 #
d/9 # 1 ½”
5,5 m
6,5 m
11,5m m
6m
6m 3m 300 #
3m 270 #
d/9 # 1 ½” 9m
75 #
75 #
d/15
d/15
# 1 ¼”
# 1 ¼”
d/18
d/18
# 1 ¼”
# 1 ¼”
3,5 m
1,5 m
364
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PENDUGAAN PARAMETER PERTUMBUHAN, KEMATIAN DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LEMURU, Sardinella lemuru Bleeker 1853, DI LAUT SAWU DAN TIMOR Moh Fauzi dan Herlisman
ABSTRAK Ikan Lemuru merupakan komoditas penting di Kupang Nusa Tenggara Timur karena merupakan hasil tangkapan dominan armada mini purse seine. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji parameter populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru) di Laut Timor dan Sawu hasil pengamatan tahun 2013. Sampel frekuensi panjang cagak ikan Lemuru Sardinella lemuru dikumpulkan dari bulan April hingga Nopember 2013 di perairan Laut Timor dan Laut Sawu dengan menggunakan alat tangkap mini purse seine yang berbasis di PPI Oeba Kupang dan analisis data dilakukan dengan program FISAT II. Hasil penelitian menunjukkan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yaitu L∞ = 20,3 cmFL and K = 0,95 per tahun. Laju mortalitas total (Z) 3,41 per tahun, laju kematian alami (M) diperoleh 1,57 per tahun. Kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,84 per tahun dengan laju eksploitasi sebesar 0,54.
PENDAHULUAN Ikan tamban (Sardinella lemuru Bleeker 1853) atau lebih dikenal dengan nama lemuru merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis yang cukup menguntungkan. Biasanya hasil tangkapan ikan lemuru dikonsumsi dalam keadaan segar atau dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan dalam bentuk pengalengan, pengeringan, pemindangan dan tepung ikan. Hasil olahan dari ikan lemuru yang potensial untuk dikembangkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah minyak ikan lemuru (Ginanjar, 2006). Awalnya nama lemuru mewakili beberapa jenis ikan yaitu Sardinella longiceps, Sardinella aurita, Sardinella leiogaster dan Sardinella clupeoides. Kemudian merujuk kepada Whitehead (1985) nama ilmiah untuk lemuru hanya untuk satu spesies yaitu Sardinella lemuru yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan nama Bali Sardinella. Seperti jenis clupeida lainnya, ikan lemuru memiliki sifat senang bergerombol dimana karakteristik gerombolannya dipengaruhi oleh perubahan waktu (Wudianto, 2001). Ikan lemuru termasuk kelompok pemakan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
365
fitoplankton terutama Bacillariphyceae. Jenis makanan utamanya berubah sesuai dengan perubahan kelompok ukuran (Pradini, 2001). Penyebaran ikan lemuru terutama terkonsentrasi di perairan Selat Bali dan sekitarnya, dengan daerah penyebaran ke barat sampai Prigi dan ke timur sampai Selat Alas. Menurut Whitehead (1985), penyebaran ikan lemuru adalah meliputi Samudra Hindia bagian timur (Phuket, Thailand, pantai-pantai selatan Jawa Timur dan Bali; Australia Barat) dan Samudra Pasifik bagian barat (Laut Jawa ke utara sampai Filipina, Hong Kong, Pulau Taiwan sampai Jepang bagian selatan (Merta, 2004). Ikan lemuru merupakan hasil tangkapan dominan armada mini purse seine yang beroperasi di Laut Timor dan Laut Sawu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter populasi (pertumbuhan dan kematian) serta laju eksploitasi ikan lemuru Sardinella Lemuru di Perairan laut Timor dan Sawu.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan berupa data ukuran panjang cagak ikan lemuru serial bulanan hasil tangkapan armada pukat cincin mini yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Oeba Kupang tahun 2013. Metode Pengukuran terhadap sampel ikan lemuru hasil tangkapan armada pukat cincin mini yang didaratkan di PPI Oeba Kupang dilakukan selama tahun 2013. Dengan menggunakan kertas ukuran measuring paper ditentukan ukuran panjang cagak millimeter terdekat dan dipisahkan menurut kelas panjang 0,5 cm. Rata-Rata Ukuran Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap dilakukan dengan menggunakan grafik hubungan antara panjang cagak ikan (sumbu x) dengan jumlah individu ikan (sumbu y) sehingga didapatkan sebuah kurva sigmoidal. Nilai Length at first capture merupakan panjang dimana 50% populasi tertangkap yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1999) : …………………………………………………………. (1)
366
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
…………………………………………………… (2) L50% =
……………………………………………………………………… (3)
Dimana : SL = kurva logistic; S1 = a; S2 = b; S1 dan S2 = konstanta
Estimasi parameter pertumbuhan Untuk mengetahui parameter pertumbuhan von Bertalanffy, panjang infiniti (L∞) dilakukan dengan menggunakan dua metode yakni metode plot Powell-Wetherall dan ELEFAN (Gayanilo, Jr. dan Pauly, 1997) yang hanya menggunakan data frekuensi panjang dari suatu hasil tangkapan. Asumsinya adalah populasi ikan dari contoh yang diambil adalah stabil, dengan rekruitmen yang konstan, mengikut pola pertumbuhan von Betalanffy dan kematian yang berkesinambungan terjadi pada suatu koefisien yang seragam. Rumus persamaan metode plot Powel-Wetherall adalah : Li – L’i = a + b L’I …… (4) L∞ = a/-b dimana : Li adalah rataan panjang ikan pada kelas panjang ke-i, yang dihitung dar L’I ke atas (Li≥L’i). L’I adalah batas bawah kelas panjang ke-i, yang dihitung dari kelas panjang ikan yang tertangkap penuh (full explitation). Di dalam prakteknya, pendugaan L∞ ini dilakukan dengan menggunakan program Fisat II sedangkan pendugaan koefisien pertumbuhan (K) dilakukan dengan program Elefan (Gayanilo Jr. dan Pauly, 1997). Parameter pertumbuhan (K dan L∞) diperoleh dengan mengamati modus dari sebaran frekuensi kelas panjang cagak dari bulan ke bulan. Pertumbuhan ikan lemuru diasumsikan mengikuti model Von Bertalanfy (Sparre et al. 1989), yaitu Lt = …………………..………………………………. (5) dimana, Lt adalah panjang pada umur t, L∞ adalah Panjang asimptotik, K adalah koefisien pertumbuhan dan t0 adalah umur nilai t0 diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1984), yaitu : Log – (t0) = -0,3922 – 0,2752 Log L -1,038 Log k ………………………….. (6)
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
367
Mortalitas (Laju Kematian) Koefisien mortalitas total (Z) dari stok ikan diduga menggunakan program FiSAT (Gayanilo et al., 1994). Dugaan Z diperoleh dari kurva tangkapan sebagai refleksi dari konversi panjang (length-converted catch curve) seperti yang diuraikan dalam Pauly (1984a and 1984b). Dugaan mortalitas alami (M) dari stok ikan dihitung menggunakan persamaan Pauly (Pauly, 1980) sebagai berikut: ln M = -0.0152 - 0.279 * ln L∞ + 0.6543 * ln k + 0.4634 * ln t…….. (7) dimana: t adalah rata-rata suhu perairan Laut Timor dan Sawu, yaitu 290C. Koefisien mortalitas penangkapan (F) dihitung dari persamaan F = Z – M.
Tingkat Pemanfaatan Setelah nilai mortalitas penangkapan (F) diketahui, maka laju eksploitasi (E) dihitung dari persamaan E = F/Z (Pauly, 1980). Dengan asumsi bahwa nilai optimum F dari stok ikan yang dieksploitasi (Fopt) sebanding dengan mortalitas alaminya (M), maka eksploitasi optimum (Eopt) yang diharapkan sama dengan 0,5 (Gulland, 1971).
Hasil 1.
Sebaran ukuran
Dari bulan April sampai November 2013, sebanyak 7.140 ekor ikan Lemuru Sardinella lemuru berhasil diambil contoh dari armada mini purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Oeba Kupang. Ukuran terkecil pada kisaran 6,0-6,5 cmFL yang ditemukan pada bulan Nopember di Perairan sekitar Pulau Semau Laut Timor. Ukuran terbesar diperoleh pada kisaran 19,5-20cmFL pada bulan Juni di sekitar perairan Pulau Sulamu Laut Timor. Fishing ground bagi kapal-kapal mini purse seine yang berbasis di Kupang adalah di Laut Timor dan Sawu terutama di sekitar pulau Semau, Pulau Sulamu, Pulau Rote, Pulau Kera dan Pulau Pariti. Lampiran 1 memperlihatkan kurva frekuensi panjang kumulatif. Dari kurva tersebut didapatkan frekuensi panjang tertinggi berada pada panjang 12,75 cmFL, ini berarti bahwa pada panjang ikan 20,75cmFL telah tereksploitasi penuh oleh alat tangkap. Data serial panjang cagak ikan lemuru yang telah dipisah tiap bulan pengamatan pada armada mini purse seine yang mendaratkan hail tangkapannya di Kupang diperlihatkan pada Lampiran 2.
368
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
2.
Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc)
Panjang dimana 50% populasi tertangkap dan 50% lolos (Lc) diperoleh pada panjang cagak 12,3cmFL. 100
% Kumulatif
75
50
Lc = 12,3 cmFL
25
0 4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Panjang Cagak (cm)
Gambar 1. Nilai length at first capture (LC) ikan lemuru di perairan Laut Timor dan Sawu tahun 2013 3.
Parameter Pertumbuhan
Dengan menggunakan metoda plot Powell-Wetherall diperoleh dugaan panjang infiniti (Loo) = 20,13 (Gambar 2), sementara dengan menggunakan program ELEFAN diperoleh nilai L∞ sebesar 20,25 cmFL. Dugaan koefisien pertumbuhan (K) = 0,95 cm/tahun didapat dengan menggunakan program ELEFAN I nilai Rn tertinggi adalah 0,219. Hasil perhitungan serta grafik dari pencocokan kurva pertumbuhan dengan kombinasi L∞ dan K yang maksimum yang ditunjukkan oleh nilai Rn = 0,219 (Gambar 3).
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
369
Gambar 2. Kurva regresi (Li –L’i) dan L’I metode plot Powell-Wetherall untuk menduga panjang infiniti (Loo) ikan Lemuru
Keterangan : K = 0,95 cm/tahun, Rn = 0,219 Gambar 3. Kurva pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) ikan Lemuru melalui scan of K Values ELEFAN dengan menggunakan program Fisat II Kurva pertumbuhan ikan lemuru yang ditarik melalui sebaran frekuensi panjang yang disusun kembali (restructured length frequency) dari bulan April hingga Nopember 2013 dapat dilihat pada gambar 4. 370
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 4. Kurva pertumbuhan ikan lemuru Sardinella lemuru di Laut Timor dan sekitarnya, 2013 Nilai t0 diperoleh dengan rumus dari Pauly (1980) didapatkan sebesar -0,187, sehingga persamaan pertumbuhan von Bertalanffy adalah Lt =20,25 (1- e 0.95(t+-0.187)) Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dan kunci umur panjang dari stok lemuru di laut Timor diperlihatkan pada Gambar 5.
(t+-0.187)
Lt =20,25 (1- e 0.95
)
Gambar 5. Hubungan Panjang cagak dengan umur Ikan Lemuru S. lemuru berdasarkan L∞ = 20,3 dan K = 0,95cm tahun-1 dan t0 = -0,187 tahun di Perairan Laut Timor dan Sawu tahun 2013 4.
Laju Kematian dan Ratio eksploitasi
Dengan menggunakan parameter pertumbuhan ikan lemuru yang telah dihitung dan menjadikannya sebagai bahan masukan untuk membuat kurva hasil tangkap, diperoleh nilai dugaan Z adalah 3,41/tahun. Nilai dugaan laju kematian alamiah (M) 1,57/tahun Nilai dugaan laju kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,84/tahun. Dengan menggunakan nilai Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
371
laju kematian karena penangkapan (F) dan nilai laju kematian total (Z) yang telah dihitung, didapatkan laju pengusahaan (E) ikan lemuru di Laut Sawu dan Timor sebesar 0,54/tahun (Gambar 6).
Gambar 6. Kurva hasil tangkapan ikan Lemuru di Laut Timor dan Sawu tahun 2013 BAHASAN 1.
Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan armada pukat cincin mini yang berbasis di PPI Oeba Kupang adalah di Laut Timor dan Sawu (Gambar 7). Sampel ikan terkecil diperoleh dari Perairan di sekitar pulau Semau dan sampel ikan terbesar didapat dari perairan sekitar Pulau Sulamu. Kedua perairan tersebut masih berada di wilayah Teluk Kupang. Diduga Teluk Kupang merupakan spawning ground sekaligus nursery ground bagi ikan lemuru ini.
372
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
8.0°S
Timor Leste 9.0°S
Laut Sawu NTT
10.0°S
Lokasi penangkapan
Laut Timor 11.0°S ZEE
12.0°S 122.0°E
123.0°E
124.0°E
125.0°E
126.0°E
127.0°E
128.0°E
Gambar 7. Daerah Penangkapan ikan lemuru oleh armada pukat cincin mini (<10GT) yang berbasis di PPI Oeba Kupang 2.
Laju Pertumbuhan dan Umur
Penelitian terhadap parameter populasi ikan lemuru telah dilakukan pada beberapa perairan di Indonesia terutama di Selat Bali (Tabel 1). Nilai L∞ = 20,13-20,3 cmFL pada penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya. Sedangkan nilai koefisien pertumbuhan (K) yakni 0,95. Bila nilai FL penelitian ini dimasukkan ke dalam persamaan FL= 0 + 0,878 TL, (Whitehead, 1985) maka nilai L∞ ikan lemuru setara pada panjang total 23,1 cmTL. Tabel 1. Beberapa nilai parameter populasi ikan lemuru Parameter L∞
Perairan
Keterangan
Z
M
F
E
0.5
Selat Bali
Dwiponggo, 1972
21.5 cmTL
0.95
Selat Bali
Ritterbush, 1972
21.2 cmTL
1.0056
Selat Bali
Sujastani & Nurhakim, 1982
21,5 cmTL
0,95
1,4
21,1 cmTL
0,80
Selat Bali
22,3 cmTL
0,85
Selat Bali
22,5 cmTL
1,00
Selat Bali
23,2 cmTL
1,28
Selat Bali
21,9 cmTL
1,37
Selat Bali
Budihardjo, 1990
21,1 cmTL
1,127
4,48
1,00
3,38
Selat Bali
Merta, 1992b
22,1 cmTL
1,29
6,33
2,29
4,03
Selat Bali
Setyohadi, 2010
23,1 cmTL
0.95
3.41
1.57
1.84
0.54
Laut Sawu dan Timor
study ini
23,8 cmTL
K
Subani, 1983
Dwiponggo et al, 1986
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
373
Menurut Widodo (1988), perbedaan nilai parameter pertumbuhan lebih dipengaruhi oleh komposisi ikan contoh daripada cara atau metode yang digunakan. Apabila ikan-ikan muda lebih banyak tertangkap maka koefisien pertumbuhan akan tinggi dan sebaliknya jika ikanikan berumur tua yang banyak tertangkap, maka koefisien pertumbuhan akan rendah. Menurut Laurec dan Le guen dalam Nurhakim (1993) bisa saja terjadi perbedaan nilai estimasi parameter pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena pengaruh interval contoh yang terambil dan perlakuan matematik untuk memperolehnya. Selain itu perbedaan bisa disebabkan oleh lamanya waktu pengambilan contoh, musim, ukuran sampel yang diambil serta lokasi penangkapannya (Aziz, et al 1992). Berdasarkan pangkal dari garis pertumbuhan, diperoleh petunjuk musim pemijahan lemuru sekitar Agustus. Dugaan ini perlu diperjelas dengan hasil pengamatan kematangan gonad yang dilakukan secara kontinyu. Merta (1992a) berdasarkan pengamatan kematangan gonad, menemukan bahwa musim pemijahan ikan lemuru di perairan selat Bali berlangsung pada bulan Juli sedangkan Wujdi (2013) menyebutkan bahwa musim pemijahan ikan lemuru di Selat Bali terjadi pada bulan September. Demikian halnya dengan penelitian oleh Ginanjar (2006) yang menyebutkan bahwa musim pemijahan ikan lemuru di perairan pantai timur pulau Siberut terjadi pada bulan Juli hingga September. Dari kurva pertumbuhan von Bertalanffy terlihat bahwa panjang cagak ikan lemuru pada saat berumur 1 tahun berukuran 13,7cmFL; 2 tahun pada ukuran 17,7cmFL dan 3 tahun pada ukuran 19,3 cmFL. Hal ini mengindikasikan di Laut Timor dan Sawu, pengusahaan ikan lemuru oleh pukat cincin mini adalah pada saat ikan berumur kurang dari 4 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Merta, 1992b) yang mengatakan bahwa ikan-ikan lemuru diperkirakan dapat mencapai umur 4 tahun dan perikanannya ditunjang oleh ikan-ikan berumur 1, 2 dan 3 tahun. 3.
Laju Kematian
Nilai dugaan koefisien kematian total (Z) adalah 3,41 per tahun. Besarnya nilai koefisien kematian total ini bergantung kepada nilai koefisien alami (M) dan nilai koefisien kematian akibat penangkapan (F). Nilai M pada penelitian ini adalah 1,57 per tahun. Nilai ini didapat dengan asumsi bahwa suhu rata-rata tahunan perairan Laut Timor adalah 26,84°C pada musim timur dan 29,94°C pada musim barat (Safitri, 2012). Merta (1992) mendapatkan nilai M lemuru di Selat Bali sebesar 1,00, sedangkan Setyohadi (2010) mendapatkan nilai M lemuru di Selat Bali sebesar 2,29. Dengan demikian laju koefisien kematian ikan lemuru di Laut Timor dan Sawu masih pada kisaran nilai kematian ikan lemuru di Selat Bali. Koefisien kematian akibat penangkapan (F) dalam penelitian ini adalah 1,84 per tahun. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yakni 3,38 (Merta, 1992b) dan 4,03 374
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
(Setyohadi, 2010). Perbedaan koefisien kematian penangkapan ini diduga karena perbedaan tekanan penangkapan yakni meliputi dan intensitas penangkapan. 4.
Tingkat pemanfaatan
Laju eksploitasi ikan lemuru di Laut Timor dan Sawu hasil penelitian ini sebesar 0,54. Hal ini menunjukkan bahwa laju eksploitasinya telah melewati tingkat pemanfaatan optimumnya. Hal ini didasarkan bahwa nilai laju eksploitasi optimumnya adalah bila E = 0,5 (Gulland, 1971 dalam Pauly, 1983). Ini artinya persentasi eksploitasi ikan lemuru di Laut Timor dan Sawu telah melebihi tingkat optimumnya. Laju eksploitasi Lemuru lebih rendah dibandingkan di Selat Bali. Merta (1992) menyebutkan bahwa laju eksploitasi Lemuru di Selat Bali telah mencapai 0,79. Untuk mencapai laju eksploitasi yang berimbang dengan sumber daya perlu diadakan pengurangan upaya sebesar 8% dari kondisi saat ini. Sumberdaya ikan di Laut Timor dan Sawu tidak hanya dieksploitasi oleh perikanan mini purse seine yang berbasis di Kupang. Armada pukat cincin ukuran besar yang berbasis di Bali juga melakukan eksploitasi di perairan ini. Invasi tersebut meningkatkan tekanan terhadap stok lemuru di perairan Laut Sawu dan Timor.
KESIMPULAN Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Laut Timor dan Sawu memiliki koefisien pertumbuhan sebesar 0,95 dengan panjang asymptotic sebesar 20,3cmFL. Laju kematian akibat penangkapan (F) = 1,84 pertahun, laju kematian alami (M) = 1,57 dan koefisien kematian total (Z) = 3,41 per tahun. Tingkat pemanfaatan (E) telah mencapai 0,54, atau telah melewati nilai optimumnya, dengan rasio pemanfaatan sebesar 108%. PERSANTUNAN Hasil kegiatan riset : Penelitian Stok , Distribusi Dan Parameter Biologi Ikan Pelagis Kecil Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan Di WPP 572, WPP 573 DAN WPP 717. T.A. 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA Azis, K.A., Muchsin, I. & Boer, M. 1992. Kajian Dinamika Populasi Ikan-Ikan Niaga Utama di perairan Pantai Barat Bengkulu. (Laporan Penelitian, tidak dipublikasikan). Fak. Perikanan IPB. Bogor. Budihardjo, S., Amin, E.M., & R. Rusmadji. 1990. Estimasi pertumbuhan dan tingkat kematian ikan lemuru (Sardinella longiceps) di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
375
56:79-90 Ginanjar, Mufti. 2006. Kajian reproduksi ikan lemuru (Sardinella lemuru blk.) Berdasarkan Perkembangan Gonad Dan Ukuran Ikan Dalam Penentuan Musim pemijahan Di Perairan Pantai Timur Pulau Siberut. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 49 hal. Merta, IGS. 1992a. Beberapa parameter biologi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 dari perairan selat bali. Jurnal penelitian perikanan laut. 67:1-10 Merta, IGS. 1992b. Dinamika populasi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 (Pisces : Clupeidae) di perairan selat bali dan pengelolaannya. Disertasi. Program pascasarjana institute pertanian bogor. 201 hal. Merta, IGS & S. Nurhakim. 2004. Musim Penangkapan Ikan Lemuru, Sardinella lemuru, Bleeker 1853 Di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan.10(6): Pauly, D. 1983. Some sample methods for the assessmen of Tropical Fisg Stock. FAO Fish. Tech. Pap., Rome. (@#$) : 47p Riterbush, A.W. 1975. An assessment of the population biology of The Bali Strait Lemuru Fishery. Laporan Penelitian Perikanan Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 1: 38 hal. Setyohadi, D. 2010. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis Simulasi Kebijakan Pengelolaan 2008-2020. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 339 p. Subani, W. 1983. Studi mengenai lemuru sebagai umpan rawai tuna. Laporan penelitian perikanan laut. Balai Penelitian perikanan laut. badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen pertanian. Jakarta. 26: 87-111 Whitehead, P.J.P., 1985. FAO Species Catalogue. Vol. 7. Clupeoid fishes of the world (suborder Clupeioidei). An annotated and illustrated catalogue of the herrings, sardines, pilchards, sprats, shads, anchovies and wolf-herrings. FAO Fish. Synop. 125(7/1):1-303. Rome: FAO. Widodo, J. 1988. Population Biology of Russell’s Scad (Decapterus russelli) in Java Sea, Indonesia.FAO Fish. Rep. 389 : 308-323 Wudianto. 2001. Karakteristik gerombolan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker) di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7(3) : 70-77 Wujdi, A, Suwarso & Wudianto.2013. Biologi reproduksi dan musim pemijahan ikan lemuru (Sardinella lemuru bleeker 1853) di perairan selat bali. Bawal 5(1): 49-57 376
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
LAMPIRAN Lampiran 1. Sebaran ukuran panjang cagak ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Laut Timor dan Sawu tahun 2013
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
377
Lampiran 2.Sebaran panjang cagak serial bulanan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di Laut Timor dan Sawu tahun 2013
378
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
PERIKANAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR TOBELO, LAUT HALMAHERA* Oleh: Adi Kuswoyo, Moh. Fauzi dan Suwarso Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta
ABSTRAK Penelitian tentang perikanan pelagis kecil di sekitar Tobelo dilaksanakan untuk memahami karakteristik perikanan, aspek operasional penangkapan, hasil tangkapan, upaya dan komposisi jenis yang tertangkap; penelitian difokuskan pada alat mini purse seine sebagai alat tangkap utama. Penelitian dilakukan selama Februari sampai November 2013 di sekitar Tobelo (Halmahera). Estimasi hasil tangkapan (cpue) didasarkan pada data hasil tangkapan yang diperoleh melalui monitoring secara harian terhadap kapal-kapal yang mendarat di Tobelo; daerah penangkapan, jumlah hari laut dan aktivitas penangkapan diperoleh melalui wawancara dengan nakhoda kapal dan nelayan yang terlibat. Pengumpulan data monitoring dibantu oleh tenaga enumerator lapangan. Hasil menunjukan perikanan pelagis kecil di Tobelo terutama berupa mini purse seine, masih bersifat skala kecil dengan jumlah armada sekitar 26 unit. Ukuran kapal sekitar 10 GT. Hasil tangkapan berfluktuasi musiman, cpue terbesar terjadi pada bulan Februari sebesar 452 kg/trip dan terendah pada bulan Agustus sebesar 290 kg/trip. Upaya penangkapan meningkat pada bulan April (435 trip) dan aktivitas menurun pada bulan Februari (94 trip). Ikan pelagis kecil memberi kontribusi paling besar dalam hasil tangkapan purse seine mini (75%); jenis utama berupa ikan malalugis (Decapterus macarellus) sebesar 98% dari ikan pelagis kecil yang tertangkap atau 73% dari total hasil tangkapan. Puncak hasil tangkapan terjadi pada bulan April. Kata Kunci: Perikanan pelagis kecil, purse seine mini, hasil tangkapan, Tobelo.
*) Disampaaikan pada Diseminasi Hasil Penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut di Bali, tanggal xx Oktober 2014.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
379
PENDAHULUAN Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang bersifat potensial, tersebar luas di seluruh pesisir pantai Indonesia. Ikan pelagis kecil pada umumnya hidup bergerombol, menghuni perairan pada lapisan permukaan sampai lapisan tengah dan memiliki sifat beruaya/ migrasi. Dilihat dari komposisi hasil tangkapan, ikan pelagis kecil memiliki kontribusi yang paling besar, sebagaimana pernyataan Mallawa (2006), bahwa sumber daya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan indonesia. Spesies ikan pelagis kecil yang umumnya tertangkap adalah: layang (Decapterus spp), lemuru (Sardinella lemuru), tembang (Sardinella spp.), kembung (Rastrelliger kanagurta. R. brachysoma), selar (Selar, Selaroides). Eksploitasi ikan pelagis kecil menggunakan berbagai alat tangkap seperti purse seine, bagan, gill net dan pukat pantai. Sesuai dengan hidupnya bergerombol, purse seine dianggap paling efektif untuk menangkap ikan pelagis kecil ( Von Brandt, 1984). Sumberdaya ikan pelagis memiliki nilai ekonomis serta permintaan pasar yang tinggi, sehingga terjadi peningkatan eksploitasi di berbagai wilayah perairan, hal tersebut menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan ukuran ikan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya yang baik untuk menjamin keberlanjutan hasil tangkapan dan kelestarian biodiversity mutlak diperlukan. Paper ini membahas tentang kondisi perikanan pelagis kecil di sekitar Tobelo, Laut Halmahera, khususnya dari alat tangkap utama purse seine mini, untuk mengetahui karakteristik perikanan, hasil tangkapan dan upaya, aspek operasional serta komposisi jenis yang tertangkap. Hasilnya diharapkan dapat member gambaran tentang status perikanan yang sedang berjalan serta sebagai bahan masukan untuk tujuan pengelolaan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Februari – November 2013 di Tobelo. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey yaitu dengan cara pengamatan dan wawancara secara langsung dengan para nelayan setempat, serta pencatatan data hasil tangkapan armada mini purse seine (MPS) Tobelo per trip secara time series, yang beroperasi di daerah penangkapan / fishing ground sekitar teluk Tobelo dan Selat Morotai yang merupakan bagian dari Laut Halmahera dan Samudra Pasifik (Gambar. 1), yang didaratkan di PPP Tobelo dan pesisir pantai Tobelo. Pencatatan dilakukan oleh para tekong armada purse seine yang telah dibekali form isian sebelum berangkat ke laut yang berisi: nama kapal, tanggal berangkat, tanggal datang, daerah penangkapan dan hasil tangkapan per jenis per (kg). Data hasil tangkapan yang telah dicatat oleh para tekong akan dikumpulkan oleh enumerator yang telah ditunjuk untuk membantu memudahkan dalam pencarian data.
380
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Gambar 1. Lokasi penelitian dan daerah penangkapan armada MPS Tobelo
ANALISIS DATA Data hasil tangkapan tiap bulan ditabulasi dan dipersentasekan tiap jenis ikan, dari persentase komposisi hasil tangkapan tiap bulan dibandingkan dengan beberapa ikan dominan bulanannya terkhusus untuk hasil tangkapan ikan pelagis kecil. Catch rate / laju tangkap (CPUE) akan dihitung dengan membagi hasil tangkapan tiap bulan dengan jumlah trip atau dihitung dari jumlah hasil tangkapan per ( kg ) tiap setting. HASIL a.
Kondisi Umum Perikanan
Tobelo merupakan daerah di kepulauan Halmahera Utara yang dikelilingi oleh perairan Samudera Pasifik, Laut Halmahera, Laut Maluku dan laut Sulawesi. Perikanan tangkap yang berkembang adalah mini purse seine, hand line, pole and line, bagan dan gill net.. Perikanan mini purse seine diusahakan oleh nelayan tradisional setempat yang sifatnya masih bisa dikembangkan. Jumlah armada MPS hingga saat ini mencapai 26 unit yang basisnya berada di desa-desa pesisir selatan Tobelo seperti Efi-efi, Tio Ua, Rawa Jaya dan Gam Hoku. Pada Table 1 disajikan list nama armada MPS yang aktif di Tobelo sampai bulan Nopember 2013.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
381
Tabel 1. Daftar nama kapal mini purse seine yang berbasis di Tobelo Maluku Utara tahun 2013 No.
Nama Kapal
No.
Nama Kapal
1
KM. Alaizar
14
KM. Marimoi
2
KM. Arwana
15
KM. Marta
3
KM. Berkat
16
KM. Putri Lestari
4
KM. Blesing
17
KM. Rehel
5
KM. Bobeto
18
KM. Sinar Panca
6
KM. Cakalang
19
KM. Talenta
7
KM. God bless 01
20
KM. Tatega Iha
8
KM. Habda 01
21
KM. Berkat Karunia
9
KM. Kalvari
22
KM. Imanuel
KM. Karla Jane
23
KM. Alberki 01
11 KM. Karunia 03
24
KM. God bless 02
12
KM. Kasih Mulia
25
KM. Anugrah
13
KM. Lestari
26
KM. Imanuel
14
KM. Marimoi
10
Daerah operasi bagi MPS Tobelo berada di sekitar laut Halmahera dengan sistem operasi one day fishing, yang memanfaatkan rumpon sebagai media untuk mengumpulkan schooling ikan. Rata-rata volume kapal sebesar 10 GT dengan kekuatan mesin 40 PK hingga tidak memungkinkan bagi armada ini untuk menempuh wilayah operasi yang lebih jauh. Namun pada saat-saat tertentu bila terdapat schooling ikan di utara Morotai maka armada MPS Tobelo bergerak ke utara. Jumlah ABK mencapai 15 orang per trip, dan berangkat ke laut pada jam 15.00 dan kembali sekitar jam 7.00-11.00 WIT keesokan harinya. Di Kabupaten Halmahera Utara terdapat Dinas Kelautan dan Perikanan dan Pelabuhan Perikanan Tobelo yang mengelola perikanan disana. Sistem monitoring pendaratan ikan belum maksimal dimana komposisi hasil tangkapan per trip belum tercatat dengan baik. Petugas hanya mendapatkan laporan produksi dari pengurus kapal yang disetor seminggu sekali. Armada mini purse seine mendaratkan sebagian besar hasil tangkapannya di PPP Tobelo, namun bila jumlahnya hanya sedikit mereka biasanya hanya membawa pulang hasil tangkapnnya ke daerah mereka masing-masing. PPP Tobelo sangat prospek untuk dapat memonitor hasil tangkapan mini purse seine karena merupakan pusat pendaratan terbesar. b.
Komposisi Hasil Tangkapan dan Laju Tangkap.
Selama periode bulan Februari hingga Nopember 2013 di Tobelo tercatat 1.100 ton ikan didaratkan. Sebagian besarnya berupa ikan pelagis kecil 75% (818 ton) dan ikan pelagis 382
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
besar 25% (280 ton) (Gambar 2). Jenis ikan pelagis kecil yang dominan adalah ikan layang biru (Decapterus macarellus) yang memberi kontribusi sebesar 98% dari total pelagis kecil atau 73% dari total hasil tangkapan. Jenis ikan pelagis kecil lainnya adalah ikan selar bentong (Selar crumenophthalmus) dan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta). Ikan pelagis besar didominasi oleh ikan tongkol komo yang memberi kontribusi sebesar 93% dari total tangkapan ikan pelagis besar atau 24% dari total hasil tangkapan. Jenis ikan pelagis besar lainnya adalah ikan cakalang dan baby tuna.
Gambar 2. Komposisi hasil tangkapan armada MPS Tobelo yang didaratkan di PPP Tobelo dan pesisir pantai Tobelo tahun 2013 Komposisi hasil tangkapan bulanan menunjukkan dominasi ikan malalugis pada akhir musim barat hingga awal musim peralihan kedua dan puncak musim penangkapan terjadi pada bulan april yang merupakan musim peralihan pertama. Namun pada akhir musim peralihan 2 dominasinya menurun dan tergantikan oleh ikan tongkol komo. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan April yang merupakan puncak musim penangkapan yaitu sebesar 154 ton untuk ikan malalugis dan untuk ikan pelagis besar yakni tongkol komo terjadi pada bulan November sebesar 101 ton (Gambar 3).
Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan bulanan armada MPS di Tobelo yang di daratkan di PPP Tobelo dan pesisir pantai Tobelo tahun 2013 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
383
Trend CPUE dan upaya armada mini purse seine selama sembilan bulan penelitian di Tobelo tidak mengalami perubahan yang signifikan walaupun pada awal tahun yaitu bulan Februari – April upaya penangkapan mengalami peningkatan yang drastis. CPUE rata – rata bulanan terbesar terjadi pada bulan Februari sebesar 452 kg/trip dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 290 kg/trip. Sedangkan upaya penangkapan bulanan tertinggi terjadi pada bulan April sebesar 435 trip dan terendah pada bulan Februari sebesar 94 trip.
Gambar 4. Laju tangkap dan upaya armada mini purse seine Tobelo tahun 2013
PEMBAHASAN Pemanfaatan sumberdaya ikan di Tobelo yang saat ini masih berkembang dengan alat tangkap mini purse seine, hand line, pole and line, bagan dan gill net, dan dominasi armada penangkapan adalah perikanan mini purse seine. Armada mini purse seine Tobelo masih bersifat tradisional dengan ukuran kapal rata-rata 10 GT yang menggunakan motor tempel sebagai tenaga penggerak, dengan ukuran kapal yang relatif kecil, daerah penangkapannya tidak terlalu jauh, masih di sekitar perairan Tobelo dan Selat Morotai yang merupakan Laut Halmahera. Armada mini purse seine Tobelo menggunakan alat bantu dalam penangkapan yakni rumpon dan operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dengan trip one day fishing. Pendaratan hasil tangkapan selain di daratkan di PPP Tobelo juga di daratkan di tempat pendaratan tradisional seperti di Efi-efi, Tio Ua, Gamhoku dan Rawa Jaya. Jumlah armada mini purse seine Tobelo masih terbatas yang jumlahnya berkisar 26 unit, hal ini masih memungkinkan untuk melakukan perkembangan perikanan tangkap mini purse seine di daerah tersebut. Hasil monitoring selama Februari - Nopember 2013 di Tobelo tercatat 1.100 ton ikan didaratkan oleh alat tangkap MPS. Sebagian besar berupa ikan pelagis kecil 75% (818 ton) dan ikan pelagis besar 25% (280 ton). Jenis ikan pelagis kecil yang dominan adalah ikan layang
384
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
biru (Decapterus macarellus) yang memberi kontribusi sebesar 98% dari total pelagis kecil atau 73% dari total hasil tangkapan, hal ini seperti yang dituliskan (Atmaja et al., 1986), bahwa di setiap daerah penangkapan hasil tangkapan per hari ikan layang merupakan hasil tangkapan terbesar dari keseluruhan hasil tangkapan purse seine. Dominasi ikan malalugis (D. macarellus) yang terjadi disetiap hasil tangkapan bulanan armada purse seine Tobelo dikarenakan sesuai dengan hidupnya yaitu ikan malalugis hidup di perairan dengan salinitas yang tinggi > 32‰, perairan yang jernih dan dalam dengan kedalaman berkisar antara 45-100 m (Hardenberg dan Sunarjo (1990) dalam Prihartini, (2006)). Perairan Tobelo yang merupakan Laut Halmahera termasuk dalam kategori laut dalam mencapai 5000 meter, oleh karena itu banyak ditemukan ikan malalugis diperairan tersebut, selain itu di perairan Indonesia bagian timur ikan malalugis biru tertangkap di Laut Sulawesi serta Laut Maluku dan Laut Banda (Suwarso et al., 2000) dalam Hariati (2005)). Berbeda dengan perairan lain seperti Laut Jawa, Laut Cina Selatan dan Selat Malaka yang termasuk perairan dangkal dengan kedalaman rata – rata 10-80 meter (http:// atlasnasional.bakosurtanal.go.id/fisik_lingkungan/batimetri_detail.php?id=1&judul=umum, 2009), tidak ditemukan ikan malalugis di perairan ini akan tetapi lebih dominan ikan D. macrosoma, D. russelli, ikan selar (Selaroides leptolepis dan S. krumenopthalmus) dan ikan kembung (Restrelliger kanagurta dan R. brachysoma). Musim penangkapan malalugis di perairan Tobelo sebenarnya terjadi di setiap bulan akan tetapi pada bulan tertentu hasil tangkapan lebih sedikit atau sebagai musim paceklik. Puncak musim penangkapan malalugis di perairan Tobelo yang terjadi pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan April sama seperti yang terjadi di perairan Likupang (Luasunaung, 2003). Indeks kelimpahan stok suatu sumberdaya dapat dicerminkan dari angka laju tangkap (catch rate/catch per unit effort/CPUE). Adanya fluktuasi indeks kelimpahan stok, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Pada perikanan yang sudah diekploitasi pengaruh yang paling besar adalah kegiatan penangkapan (fishing) (Badrudin & Sumiono, 2002). Fluktuasi CPUE rata – rata mini purse seine Tobelo pada bulan Februari merupakan CPUE tertinggi yang terjadi selama sembilan bulan walaupun upaya yang dilakukan terendah dibandingkan bulan lain, rendahnya upaya pada bulan Februari ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh cuaca yang buruk dimana pada bulan tersebut merupakan akhir musim Barat yang mana kondisi laut masih bergelombang dan berarus kuat, sehingga banyak nelayan tobelo yang tidak melakukan penangkapan. Sedangkan peningkatan upaya yang dilakukan mini purse seine Tobelo pada bulan April diduga kuat pada bulan tersebut kondisi ikan diperairan Tobelo melimpah sehingga banyak nelayan Tobelo yang melakukan operasi penangkapan. Pada bulan selanjutnya Mei – November trend CPUE rata – rata dan upaya terlihat sama, tidak terlalu signifikan peningkatannya. Hal ini dapat diduga bahwa upaya penangkapan purse seine Tobelo masih seimbang dan belum melampaui batas penangkapan.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
385
KESIMPULAN Perikanan pelagis kecil di Tobelo didominasi oleh armada mini purse seine, dengan jumlah armada masih sedikit, yang berjumlah sebanyak ±26 unit dengan ukuran rata – rata 10 GT yang menggunakan motor temple (40 PK) sebagai tenaga penggerak serta diawaki oleh 15 ABK dan dengan memanfaatkan rumpon sebgai media untuk mengumpulkan ikan dan daerah operasi penangkapan di Laut Halmahera. Komposisi hasil tangkapan selama Februari – November 2013 didominasi oleh ikan pelagis kecil 75% (818 ton) dan selanjutnya ikan pelagis besar 25% (280 ton). Jenis ikan pelagis kecil yang dominan adalah ikan layang biru (Decapterus macarellus) yang memberi kontribusi sebesar 98% dari total pelagis kecil atau 73% dari total hasil tangkapan. Sedangkan komposisi hasil tangkapan bulanan didominasi besar oleh ikan malalugis yang puncaknya terjadi pada bulan April dan merupakan musim peralihan pertama. CPUE dan upaya penangkapan armada MPS Tobelo masih seimbang dan belum lebih tangkap. PERSANTUNAN Hasil kegiatan riset : Penelitian Stok , Distribusi Dan Parameter Biologi Ikan Pelagis Kecil Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan Di WPP 572, WPP 573 dan WPP 717. T.A. 2013 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B., Suwarso dan Subhat, N. 1986. Hasil Tangkapan Pukat Cincin menurut musim dan daerah penangkapan di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 36: P 57-65. Balai Penelitiaan Perikanan laut. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Badrudin dan B. Sumiono. 2002. Indeks Kelimpahan Stok dan Proporsi Udang Dalam Komunitas Sumber Daya Demersal di Perairan Kepulauan Aru, Laut Arafura. Jurnal Penelitiaan Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Vol 8 No. 1: P 95-102. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Hariati, T. 2005. Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus), Salah Satu Spesies Ikan Pelagis Kecil Laut Dalam di Indonesia. Tulisan Semi Ilmiah, Warta Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/fisik_lingkungan/batimetri_detail. php?id=1&judul=umum, 2009. di copy jam 02.41 WIB, tanggal 18 Agustus 2014. Luasunaung, A. 2003. Pendugaan Musim Ikan “Malalugis Biru” (Decapterus Macarellus) di Perairan Sekitar Likupang, Sulawesi Utara. Makalah Falsafah Sain (PPs 702), Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor.
386
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
Mallawa, A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Disajikan pada lokakarya agenda penelitian program COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006. Prihartini, A. 2006. Analisis Tampilan Biologis Ikan Layang (Decapterus spp) Hasil Tangkapan Purse Seine yang didaratkan di PPN Pekalongan. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of The World. England. FAO Fishing. News Books Ltd. Farnham, Surrey. P. 303-308.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Samudera Hindia (Wpp 572,573) Dan Samudera Pasifik (Wpp 717)
387