36
BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA
5.1
Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna Industri perikanan tangkap tuna (SBT) di Perairan Samudera Hindia
dimulai sekitar tahun 1952 oleh perusahaan rawai tuna dari Jepang, kemudian diikuti oleh Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia. Pada dekade 1950-1960, total hasil tangkapan SBT di Samudera Hindia bisa mencapai sekitar 80.000 ton/tahun (Perkembangan penangkapan SBT menurut negara dari 1952-2005 dapat dilihat pada Lampiran 2). Kegiatan produksi penangkapan tersebut sekitar tahun 1980 mulai menunjukkan penurunan hingga jumlah SBT yang tertangkap tidak lebih dari 10.000 ton/tahun seperti pada Gambar 17.
Penurunan volume hasil tangkap
tersebut menimbulkan kekuatiran bahwa jenis ikan ini akan mengalami kepunahan, sehingga negara-negara industri utama seperti Jepang, Australia dan Selandia Baru membentuk RFMO bernama Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) pada 1994. 90.000
80.000
70.000
60.000
Ton
50.000
Australia Japan New Zealand Korea* Taiwan Indonesia Lainnya
40.000
30.000
20.000
10.000
1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
0
Tahun Gambar 17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia
37
Pembentukan lembaga regional CCSBT untuk mengelola kegiatan industri SBT di Samudera Hindia bertujuan untuk mengendalikan kegiatan penangkapan SBT, seiring dengan semakin menurunnya jumlah hasil tangkapan ikan tersebut. Menurut Wudianto (2003) berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap bekerjasama dengan CSIRO Australia menunjukkan bahwa hasil penangkapan SBT pada tahun 2005 yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Benoa dan Cilacap sepanjang September – April, sebagian besar ditemukan dalam keadaan bertelur dengan ukuran 160-180 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ikan-ikan SBT yang tertangkap sepanjang tahun tersebut mulai menjaring induk ikan. Kondisi ini sangat riskan bagi kelestarian sumber daya ikan tersebut apabila terus dilakukan penangkapan secara berlebihan (tanpa adanya kontrol/pembatasan). Untuk mengendalikan kegiatan tangkap lebih dan menjaga kelestarian sumber daya SBT, konvensi CCSBT telah menerapkan mekanisme kuota bagi negara-negara yang terlibat dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pada periode 2003-2006 menurut ICCAT REPORT 2004-2005 (II); total kuota penangkapan yang diberikan pada negara-negara industri SBT yang berstatus anggota CCSBT mencapai 14.030 ton dengan rincian sebagai berikut : -
Kuota Jepang : 6.065 ton;
-
Kuota Australia : 5.265 ton;
-
Kuota Korea Selatan : 1.140 ton;
-
Kuota Taiwan : 1.140 ton; dan
-
Kuota Selandia Baru : 420 ton. Disamping kuota bagi anggota CCSBT, kuota diberikan pula bagi anggota
CCSBT yang berstatus anggota tidak tetap dan peninjau. Besaran kuota untuk periode tersebut mencapai 900 ton dengan rincian 800 ton untuk Indonesia, 50 ton untuk Filipina dan sisanya dibagi kepada beberapa negara yang berstatus peninjau. Pada pertemuan ketiga CCSBT tahun 2006 terjadi perubahan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia untuk periode 2007-2009. Besarnya kuota penangkapan ditetapkan 11.810 ton atau turun sekitar 3.115 ton dari periode sebelumnya. Kuota untuk Jepang mengalami penurunan menjadi 3.000 ton dan kuota tersebut berlaku hingga tahun 2011. Sedangkan kuota Australia mengalami
38
kenaikan menjadi 5.265 ton hingga tahun 2009 dan kuota negara-negara lainnya seperti Korea dan Taiwan tetap sebesar 1.140 ton, dan kuota Selandia Baru juga tetap dipertahankan sebesar 420 ton hingga tahun 2009 (Tabel 5). Indonesia dan Filipina adalah negara-negara berstatus Cooperating NonMembers yang mengalami penurunan kuota hingga tahun 2009. Kuota Indonesia mengalami penurunan dari 800 ton pada periode sebelumnya menjadi 750 ton pada periode 2007-2009. Sedangkan Filipina pada periode yang sama mengalami penurunan 50 ton menjadi 45 ton. Negara- negara yang berstatus Cooperating Non-Members seperti Afrika Selatan mengalami penurunan kuota menjadi 40 ton dan Uni Eropa sebagai anggota baru memperoleh kuota sebesar 10 ton hingga tahun 2009. Perkembangan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan Samudera Hindia Kuota 2007-2009 No Negara Kuota 2006 (Jepang : 2007-2011 1 Jepang 6,065 3,000 2 Australia 5,265 5,265 3 Taiwan 1,140 1,140 4 Korea Selatan 1,140 1,140 5 Selandia Baru 420 420 6 Filipina 50 45 7 Afrika Selatan 45 40 8 Uni Eropa 0 10 9 Indonesia 800 750 Total 14,925 14,925
SBT di Selisih -3,065 0 0 0 0 -5 -5 10 -50 11,810
Sumber : CCSBT, 2007 Keterangan : Data lain menyebutkan bahwa Taiwan dan Korea Selatan mengalami penurunan kuota menjadi masing-masing 1.000 ton per tahun (USDA Foreign Agricultural Service)
5.2
Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT Jepang dan Australia adalah dua negara yang dominan dalam kegiatan
penangkapan SBT di Samudera Hindia. Kedua negara ini memiliki keragaan industri penangkapan SBT yang modern sekaligus pemilik kuota penangkapan SBT terbesar di dalam keanggotaa CCSBT. Keragaan industri SBT Jepang dan Australia dapat dilihat dari jumlah produksi SBT kedua negara pada tahun 2005. Sekitar 47% produksi SBT dunia diproduksi oleh Jepang dan 33% dikuasai oleh Australia (Gambar 8). Penurunan kuota Jepang hingga tahun 2011 dan kenaikan
39
kuota Australia hingga 2009 dapat menggeser dominasi produksi SBT dunia dari Jepang ke Australia. Tekanan penurunan kuota Jepang21 dimulai ketika Australia menggangkat isu illegal fishing terkait dengan pengakuan Jepang bahwa pada awal 2006 bahwa terjadi penangkapan SBT di Samudera Hindia yang melebihi kuota.
Jumlah
tangkapan Jepang lebih besar 25% dari kuota 6.065 ton yang telah disepakati dalam konvensi CCSBT. Pengakuan tersebut diikuti oleh tuduhan pihak Australia bahwa pelanggaran kuota oleh Jepang tidak hanya terjadi pada tahun bersangkutan, melainkan telah terjadi dalam kurun waktu 15 – 20 tahun terakhir. Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Jepang telah diduga menangkap SBT secara ilegal dengan nilai yang fantastis yaitu 2 milliar dolar Australia atau setara US$ 1,53 miliar dengan total hasil tangkapan ilegal atau yang tidak dilaporkan oleh Jepang diperkirakan mencapai 12.000 sampai 20.000 ton. Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat ribuan bahkan menungkin puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan langsung dijual pada perusahaan pengumpul atau retailer. Alasan Australia melempar tuduhan tersebut disebabkan karena Jepang tidak bersedia memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya. Mendapat tekanan tersebut, pihak Jepang melalui Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency balik menuduh bahwa pihak Australia pun ikut serta melakukan kegiatan illegal fishing. Kegiatan tersebut mencakup usaha perikanan Australia menangkap juvenile SBT dan secara hipokrit menjual hasil tangkapan tersebut ke Jepang. Apalagi setiap tahunnya Australia memperoleh sekitar 40 juta dolar Australia per tahun dari kuota yang dimilikinya. Jepang menginginkan agar persoalan tuduhan illegal fishing dapat diselesaikan pada tingkat pembicaraan di CCSBT. 21 Tekanan lain yang dihadapi Jepang adalah hasil keputusan sidang ICCAT (The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas) 26 November 2006 yang memutuskan memutuskan kuota bluefin tuna di Samudera Atlantik hingga tahun 2010 dibatasi turun 20% dari marjin yang diperbolehkan dari sekitar 32 ribu ton saat ini.
40
Pada pertemuan ketiga CCSBT, tekanan Australia ternyata berhasil memaksa Jepang untuk menerima penurunan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia dari 6.065 ton per tahun menjadi 3.000 ton per tahun hingga tahun 2011. Australia memperoleh kuota tertinggi, yakni 5.265 ton per tahun sehingga menempatkan Australia menjadi pemegang kendali produksi SBT dunia untuk tahun-tahun mendatang. Dalam laporan The Guardian pada 16 Oktober 2006 lalu, disebutkan pula bahwa kesepakatan tersebut ikut mengatur alokasi kuota SBT di Samudera Hinda. Kuota penangkapan SBT mengalami penurunan jumlah penangkapan total dari 14.925 ton pada tahun 2006 menjadi 11.530 ton pada tahun 2007.
Hal ini
kemudian membuat pihak Jepang menganggap bahwa tuduhan Australia tidak lebih merupakan blow up untuk melindungi kepentingan industri perikanan Australia sendiri dan mengakomodasi kepentingan kelompok lingkungan. Manuver Australia tidak hanya ditujukan ke Jepang, melainkan ke negaranegara lain yang berpotensi untuk menjadi sasaran berikutnya. Hal ini telah disinyalir oleh pihak Asosiasi Pemilik Kapal Tuna Australia, Brian Jeffries yang dirilis ABC Local Radio; “……Japan did over catch in 1999 and are reducing their catch into year 2000 by the amount of their over catch in 1999……..Now, Australia did exactly the same thing…….I think labeling Japan is realy missing the issue. The issue is these unregulated countries….” (Suadi, 2006). Disisi lain, Jepang sebagai pihak yang mengalami pengurangan kuota tentunya tidak akan berpangku tangan mengingat investasi yang cukup besar dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Disamping itu, Jepang merupakan konsumen terbesar perikanan tuna. Jumlah konsumsi SBT Jepang pada tahun 2003 mencapai sekitar 53,3% dari total produksi dengan harga mencapai sekitar 2.581 yen/kg22. Pada tahun 2005, Jepang telah mengimpor sekitar 10.320 ton SBT dari total kuota penangkapan SBT dunia.
Tentunya
Jepang akan berusaha menjamin pasokan SBT di dalam negerinya, baik melalui kuota yang ada maupun melalui impor dari negara-negara lain.
22 The average wholesale price of fresh SBT in August this year at the Tsukiji fish market in Tokyo was 2,581 yen per kilo (USDA Foreign Agricultural Service, 2006)
41
Secara jangka pendek dan menengah, jaminan pasokan tuna Jepang dan keragaan industri penangkapannya akan terpatri pada usaha untuk mendekati beberapa negara potensial, melalui pola kerja sama penangkapan ikan seperti yang banyak terjadi pasca negara-negara pantai mengadopsi UNCLOS di awal dekade 1980. Indonesia adalah salah satu negara potensial dalam penangkapan SBT di Samudera Hindia yang dapat didekati oleh Jepang, mengingat ketergantungan ekspor SBT Indonesia pada pasar Jepang. Ekspor tertinggi SBT Indonesia ke Jepang terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah ekspor sekitar 217,2 ton dari 1.690,67 ton produksi pada tahun tersebut. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2005 meski terjadi peningkatan jumlah produksi pada tahun tersebut. Jumlah produksi pada tahun 2005 mencapai 1.798,86 ton namun jumlah ekspor hanya mencapai 60,26 ton. Walaupun jumlah ekspor Indoensia ke Jepang turun, namun kemampuan untuk meningkatkan produksi pada tahun tersebut menunjukkan bahwa kemampuan produksi industri SBT Indonesia cukup baik. Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam industri penangkapan SBT adalah kuota yang diberikan ke Indonesia jauh lebih kecil dari kemampuan Indonesia untuk memproduksi SBT. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia ikut serta dalam kegiatan penangkapan ilegal. Hal ini telah disinyalir oleh otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries. Berdasarkan perhitungan dari CCSBT tahun 2007, Indonesia adalah penyumbang terbesar kegiatan illegal fishing dalam penangkapan SBT. Sekitar 124,88% produksi Indonesia adalah hasil tangkapan di luar kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Negara lain yang ikut memberikan konstribusi penangkapan ilegal adalah Jepang sekitar 20,81% dan Filipina sekitar 6% (Tabel 6).
42
Tabel 6.
Selisih Produksi-Kuota dan Presentasi terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005
No.
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8
Australia Jepang Selandia Baru Korea Taiwan Filipina Indonesia Lainnya Jumlah
Produksi (Ton) 5,244 7,327 264 38 941 53 1,799 25 15,691
Kuota (Ton) 5,265 6,065 420 1,140 1,140 50 800 50 14,930
Selisih Persentase (Ton) -21 -0.40 1,262 20.81 -156 -37.14 -1,102 -96.67 -199 -17.46 3 6.00 999 124.88 -25 -50.00 761 5.10
Sumber : Diolah dari CCSBT, 2007
Kondisi tersebut menunjukkan paradok industri perikanan tangkap Indonesia. Pada satu sisi, data produksi Indonesia menunjukkan kemampuan industri perikanan tangkap Indonesia dalam meningkatkan kemampuan produksi SBT di Samudera Hindia. Pada sisi yang lain, kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia ikut memberikan konstribusi bagi penangkapan ilegal.
Hal ini
membawa konsekuensi : 1. Kuota penangkapan SBT Indonesia diturunkan dari 800 ton per tahun menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Indonesia mengalami embargo perdagangan SBT dari negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang sebagai pangsa pasar utama SBT. Penurunan kuota dan embargo perdagangan SBT tentu berdampak langsung pada kegiatan industri perikanan Indonesia. Menurut Wudianto dalam DKP (2007) SBT merupakan salah satu ikan unggulan untuk komoditi ekspor dan jenis ikan ini jarang dijumpai di pasaran lokal/domistik. Pasar utama ikan ini adalah Jepang yang digunakan sebagai bahan untuk sashimi dan sushi. Harga ikan SBT segar dengan kualitas bagus di pasar Sukiji Jepang bisa mencapai 50-60 US dolar per kilogram. Jika nelayan rawai tuna bisa menangkap satu ekor ikan SBT dengan berat 200 kg, maka diperkirakan dapat memperoleh uang sekitar 10.000 US dolar atau 90 juta rupiah/ekor. Persoalan embargo ekspor telah mengakibatkan nelayan Indonesia tidak dapat mengekpor ikan tersebut, khususnya dipasar ke Jepang, baik dalam bentuk ikan segar atau tuna loin. Dampak dari masalah tersebut bila dihitung secara
43
kasar dengan patokan produksi SBT tahun 2005 sebesar 1.779 ton dengan harga SBT 50 US dolar per kg, maka devisa negara yang hilang dapat mencapai sekitar 91,5 juta dolar atau 820 milyar rupiah/tahun. Menurut Wudianto (2007) berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha rawai tuna di Benoa tanggal 9 April 2007, saat ini di salah satu cold storage ikan tuna di Benoa menyimpan 50 ton ikan SBT yang tidak dapat diekpor, baik berupa ikan segar maupun ikan olahan. Pengusaha tersebut pernah melakukan penjualan melalui negara lain atau lebih dikenal sebagai pasar gelap (illegal market) tetapi tetap juga ketahuan dan ikan tersebut dikembalikan ke Indonesia. Hasil tangkapan SBT hanya dapat dijual di pasar domistik dengan harga yang sangat rendah sekitar 15 ribu rupiah/kg dan tentunya permintaannya sangat terbatas. Keadaan ini benar-benar menjadi ironi ditengah-tengah program pemerintah yang telah mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan dengan tuna sebagai salah satu andalannya. 5.3
Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT Menurut laporan USDA Foreign Agricultural Service (2006) total impor
Jepang pada tahun 2005 dari negara-negara produsen SBT mencapai sekitar US$128 juta dengan harga rata-rata produk di pasar Jepang mencapai sekitar US$13,1 per kilogram. Jumlah impor Jepang menurut data CCSBT pada tahun 2005 mencapai 9,965 ton disamping produksi yang mencapai sekitar 7,327 ton23 (Jumlah impor, ekspor dan negara dapat dilihat pada Lampiran 3). Bila diasumsikan bahwa produksi domestik dan impor Jepang merupakan daya serap pasar Jepang dan daya serap tersebut merupakan kebutuhan konsumsi SBT Jepang, maka total konsumsi SBT Jepang pada tahun 2005 mencapai sekitar 17.291 ton. Total transaksi perdagangan SBT di Jepang pada tahun 2005 bila dihitung berdasarkan harga rata-rata pasar impor sebesar US$13,09 diperkirakan bernilai US$225,56 juta (pembulatan). Jumlah produksi, impor dan harga ratarata produk SBT di pasar Jepang dapat dilihat pada Tabel 7. 23
Data dari USDA Foreign Agricultural Service (2006) menyebutkan total impor Jepang pada tahun 2003 mencapai 8.238 ton dengan nilai mencapai US$136 juta; impor pada tahun 2004 mencapai 11.362 ton dengan nilai mencapai US$150 juta ton dan tahun 2005 mencapai 9.774 ton dengan nilai mencapai US$128 juta.
44
Tabel 7. Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-Rata Produk SBT di Jepang Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jumlah Produksi + Impor Produksi Jepang (kg) Harga rata-rata (USD/kg) Nilai Impor (USD) Impor Jepang (kg) : - Indonesia - Australia - Taiwan - Korea selatan - Selandia Baru - Filipina - Lainnya
17,980,259 6,674,000 16.63
16,325,946 6,191,793 NA NA 10,134,153 217,212 8,226,948 702,369 557,826 243,063 45,149 141,586
15,866,882 5,762,000 13.46
15,310,196 5,846,000 15.85
17,291,731 7,327,000 13.09
136,000,000 10,104,882 74,427 8,110,476 1,042,689 481,273 262,807 84,949 48,261
150,000,000 9,464,196 33,871 7,826,573 1,040,929 156,377 339,538 61,000 5,909
128,000,000 9,964,731 39,307 8,955,643 650,560 71,824 225,317 21,519 561
15,488,917 6,065,000 15.74 148,332,446 9,423,917 0 8,467,469 736,974 110,342 105,924 2,222 986
188,014,516 11,306,259 147,984 7,890,246 1,475,757 1,355,889 320,179 37,254 78,950
Sumber : 2003-2005 Japan Customs (WTA) dalam USDA (2006) 2001 Japan Fisheries Market Report (2002) 2006 Ministry of Agriculrue, Forestry and Fisheries of Japan (2007)
Pada tahun 2007 perkembangan harga produk SBT di Jepang terus mengalami kenaikan yang sangat signifikan bila dibandingkan produk-produk tuna lainnya (perkembangan harga SBT di Pasar Jepang 2006-2007 dapat dilihat pada Lampiran 4).
Harga tertinggi sepanjang tahun 2007 menurut laporan
Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan terjadi pada bulan ketiga tahun 2007 yang mencapai harga sekitar ¥7.558 per kilogram. Hal menandakan bahwa terjadinya permintaan yang tinggi atas produk SBT, seiring semakin menurun jumlah suplai SBT ke pasar Jepang. Penurunan suplai SBT di pasar Jepang disebabkan oleh : 1. Pemberlakuan kuota penangkapan baru yang telah ditetapkan sebesar 14.925 ton pada tahun 2006 dan turun menjadi 11.810 ton tahun 2007. 2. Penurunan kuota produksi domestik Jepang dari 6.065 ton pada tahun 2003-2006 menjadi 3.000 ton pada tahun 2007-2011. Penurunan kuota Jepang pada tahun 2007 menjadi 3.000 ton telah mengakibatkan produk domestik industri SBT Jepang kehilangan sekitar 3.065 ton pangsa pasar potensial SBT dalam negeri Jepang, yakni selisih dari kuota sebelumnya. Hal tersebut tentu membawa konsekuensi serius bagi nelayan dan industri SBT Jepang, yakni kehilangan pendapatan akibat penurunan jumlah produksi yang diijinkan oleh CCSBT.
45
Bila diasumsikan kebutuhan domestik pasar SBT di Jepang rata-rata sebesar 16.555 ton per tahun dengan harga rata-rata sebesar US$13,1 per kilogram atau sekitar US$13.100 per ton, maka nilai transaksi SBT di Jepang dapat mencapai rata-rata sebesar US216,87 juta. Sekitar US$33,32 juta merupakan produk domestik SBT Jepang dan US$133,55 juta merupakan impor Jepang. Penurunan kuota Jepang secara otomatis memangkas potensi produk domestik SBT Jepang sebesar lebih kurang US$40,15 juta. 5.4
Keragaan Industri SBT Indonesia Sejarah penangkapan SBT Indonesia yang terekam pertama kali oleh
CCSBT pada tahun 1976 dengan jumlah produksi mencapai 12 ton dari 42.509 ton produksi SBT dunia. Jumlah produksi tertinggi yang dicapai Indonesia adalah 2.504 ton dari 19.259 produksi dunia pada tahun 1999. Perkembangan produksi SBT Indonesia dari tahun 1976 hingga tahun 2004 serta perbandingan terhadap produksi dunia tampak pada Gambar 18. 50.000 Indonesia
45.000
Total Dunia
40.000 35.000
Ton
30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000
1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
0
Tahun
Gambar 18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 - 2005
Berdasarkan data CCSBT tahun 2007, hasil produksi SBT Indonesia selama periode 2001 - 2005 sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri. Kegiatan ekspor tercatat dilakukan ke Jepang dengan jumlah ekspor yang ternyata jauh
46
lebih kecil dari jumlah produksi. Perbandingan antara ekspor dengan produksi SBT tampak seperti pada Gambar 19.
Data CCSBT tahun 2007 juga
menunjukkan bahwa kegiatan ekspor produk SBT Indonesia pada tahun 2006 tidak tercatat lagi. Hal ini merupakan implikasi dari embargo yang dilakukan oleh Jepang yang merupakan satu-satunya pangsa pasar SBT Indonesia. 2.000.000 1.800.000 1.600.000 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000
Ekspor
400.000 200.000 0
Produksi
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 19. Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun 2001 - 2006 (Produksi 2006 diasumsikan sama dengan kouta)
Perkembangan kapal penangkapan SBT Indonesia di Samudera Hindia dari tahun 1976-2000 menunjukkan jumlah peningkatan unit kapal. Berdasarkan data Herrera, M (2002) pada tahun 1976, kapal penangkapan tuna Indonesia di Samudera Hindia masih berjumlah sekitar 18 unit. Pada tahun 2000, jumlah unit kapal penangkapan Indonesia di Samudera Hindia terus bertambah dan mencapai 1.247 unit. Periode 1999-2000 dapat dianggap sebagai keragaan terbaik kegiatan penangkapan SBT Indonesia berdasarkan jumlah aktivitas penangkapan. Pasca periode tersebut, keragaan kegiatan industri penagkapan SBT Indonesia mulai mengalami penurunan (Estimatis jumlah kapal long line di Indonesia menurut perhitungan Harera di Lampiran 5). Seiring dengan dugaan semakin menurunnya jumlah tangkapan dan kenaikkan harga bahan bakar minyak sekitar tahun 2001-2005, perkembangan jumlah kapal penangkapan dan hasil tangkap SBT Indonesia di Samudera Hindia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan tersebut didorong pula
47
oleh ancaman embargo Jepang atas ekspor SBT Indonesia yang membuat iklim investasi pada penangkapan SBT tidak menarik lagi. Data Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukan pada tahun 2001 jumlah kapal perikanan yang terdata di Samudera Hindia mencapai 529 unit dan mengalami kenaikkan jumlah sepanjang 20012005. Gambar 20 menunjukkan grafik perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Samudera Hindia Tahun 1976-2005. 1.400 1.200
Unit
1.000 800 600 400 200
1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
‐
Tahun
Kapal
Gambar 20. Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Samudera Hindia Tahun 1976-2005
Spesies ikan tuna yang di daratkan di pelabuhan-pelabuhan utama perikanan tuna seperti Pelabuhan Benoa, Cilacap Jawa Tengah dan Muara Baru Jakarta pada dasarnya terdiri dari berbagai spesies tuna, seperti yellowfin tuna (YFT), bigeye tuna (BET), skipjack tuna (SKJ), southern bluefin tuna (SBT) dan lain-lain. Jumlah tangkapan ikan yang didaratkan di ketiga pelabuhan tersebut menurut data IOTC mencapai lebih kurang 52.473 ton pada tahun 2003 dan 42.504 ton pada tahun 2004. Data IOTC menunjukkan bahwa jenis YFT adalah jenis tuna terbanyak yang ditangkap dan didaratkan pada ketiga pelabuhan.
Sekitar 40,68% hasil
tangkapan tuna tahun 2003 adalah jenis YFT dan pada tahun 2004 jumlah tangkapan YFT mencapai 36,36%. Hasil tangkapan SBT pada tahun yang sama
48
mencapai 563 ton atau 1,07% untuk periode tahun 2003. Pada tahun 2004 jumlah tangkapan SBT mencapai sekitar 665 ton atau sekitar 1,56%. Pelabuhan Benoa adalah pelabuhan pendaratan hasil tangkapan SBT tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhan ini mencapai sekitar 555 ton atau sekitar 98,58% total tangkapan SBT. Jumlah pendaratan SBT pada tahun 2004 di Benoa mencapai 641 ton atau sekitar 96,39% total tangkapan. Pelabuhan lain tempat pendaratan SBT adalah PPN Cilacap di Jawa Tengah dan beberapa pelabuhan lain seperti PPN Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. Jumlah pendaratan pada tahun 2003 di PPN Cilacap mencapai sekitar 1,24% dari total tangkapan SBT Indonesia.
Pada tahun 2004
jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di PPN Cilacap mencapai sekitar 3,61%. Data lengkap jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan pelabuhan lainnya di sajikan pada Tabel 8. Table 8.
Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004
Tahun
Spesies
2003
YFT BET SKJ ALB SBF SWO MARL OBIL SKH OTHR
Total 2004
Total
YFT BET SKJ ALB SBF SWO MARL OBIL SKH OTHR
Benoa Ton Persen 7,405 34.69 5,598 45.71 49 8.06 3,508 69.98 555 98.58 1,133 42.50 1,313 38.07 139 8.23 409 15.66 561 24.56 20,670 39.39 4,486 29.02 4,258 40.29 23 5.44 2,011 46.92 641 96.39 1,245 50.75 1,142 42.28 54 4.13 380 15.32 522 24.13 14,762 34.73
Pelabuhan Cilacap Jakarta Ton Persen Ton Persen 842 3.94 12,261 57.44 394 3.22 5,855 47.81 0 0.00 523 86.02 168 3.35 1,252 24.98 7 1.24 1 0.18 64 2.40 1,375 51.58 73 2.12 1,931 55.99 21 1.24 1,431 84.72 39 1.49 2,025 77.56 20 0.88 1,594 69.79 1,628 3.10 28,248 53.83 1,052 6.81 9,285 60.07 1,118 10.58 4,861 45.99 0 0.00 374 88.42 174 4.06 1,967 45.89 24 3.61 0 0.00 93 3.79 1,044 42.56 94 3.48 1,371 50.76 26 1.99 1,150 87.92 28 1.13 1,940 78.23 51 2.36 1,488 68.79 2,660 6.26 23,480 55.24
Lainnya Ton Persen 836 3.92 399 3.26 36 5.92 85 1.70 0 0.00 94 3.53 132 3.83 98 5.80 138 5.29 109 4.77 1,927 3.67 633 4.10 332 3.14 26 6.15 134 3.13 0 0.00 71 2.89 94 3.48 78 5.96 132 5.32 102 4.72 1,602 3.77
Sumber : IOTC - 2005 - WPTT - 06 Keterangan : YFT (yellowfin tuna), BET (bigeye tuna), SKJ (skipjack tuna), ALB ( albacore), SBF (Southern bluefin tuna) SWO (swordfish), MARL (marlins), OBIL (other billfish), SKH (sharks) dll
Total Total 21,344 12,246 608 5,013 563 2,666 3,449 1,689 2,611 2,284 52,473 15,456 10,569 423 4,286 665 2,453 2,701 1,308 2,480 2,163 42,504
Persen 40.68 23.34 1.16 9.55 1.07 5.08 6.57 3.22 4.98 4.35 36.36 24.87 1.00 10.08 1.56 5.77 6.35 3.08 5.83 5.09
49
Berdasarkan data jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhanpelanuhan perikanan Indonesia, Pelabuhan Benoa dapat dipandang sebagai indikator aktivitas penangkapan SBT di Indonesia.
Keragaan kegiatan
penangkapan SBT di Pelabuhan Benoa pada dasarnya menunjukkan keragaan industri tuna SBT di Indonesia.
Dampak dari embargo atas produk SBT
Indonesia oleh Jepang, umumnya akan dirasakan oleh nelayan dan pengusaha perikanan tuna di Pelabuhan Benoa. Pada tahun 2005 jumlah SBT yang didaratkan di Pelabuhan Benoa, menurut data IOTC, mencapai sekitar 1.707 ton 12,8% dari total ikan yang diproduksi di Benoa.
Sekitar 6,03% atau 103 ton dari total produk tersebut
merupakan produk by catch atau tangkapan sampingan. Selain itu, sekitar 93,97% atau 1.604 ton adalah produk ekspor. (Jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa periode Januari 2003 – Desember 2005 di Lampiran 6).