Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI KEARIFAN DALAM PENGETAHUAN ORANG-ORANG ARIF DAN IMPLIKASINYA UNTUK BIMBINGAN DAN KONSELING Ridwan
[email protected] STKIP HAMZANWADI Selong-NTB
ABSTRAK
Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui ontologi dan epistemologi kearifan dalam pengetahuan orang-orang arif. Orang arif (‘ârif ) yang dimaksud dibesarkan dalam tradisi Islam (tasawuf) dan berlatar belakang pendidikan pondok pesantren, meskipun kemudian mereka menjadi akademisi dan pejabat pemerintah. Untuk mencapai tujuan dilakukan studi tokoh, melalui wawancara, observasi dan studi dokumen. Tokoh ‘ârif yang distudi meliputi pimpinan pondok pesantren Suryalaya Tasikmalaya, seorang dosen IAIN Walisongo Semarang dan Gubernur NTB. Analisis data dengan reduksi, display data dan menarik simpulan. Hasil studi menunjukkan bahwa tokoh arif memandang kalbu (hati) spiritual sebagai objek kearifan. Tokoh arif pesantren mengetahui bahwa hati memiliki tujuh lapis, dan mengamalkan cara-cara (zikir) untuk meraih kearifan. Sementara arif akademik dan pemerintahan dibaiat oleh tokoh arif pesantren tetapi membahas bahwa kalbu memiliki empat lapis. Mereka juga mengamalkan zikir tertentu untuk mem-berdayakan hati untuk mencapai kearifan. Implikasi temuan studi adalah agar kearifan diwujudkan melalui bimbingan dan konseling dengan alternatif tasawuf akhlaki, yakni tanpa baiat guru. Perlu dikembangkan model bimbingan untuk mengembangkan perilaku arif. Kata kunci: ontologi, epistemologi kearifan dan orang arif serta bimbingan dan konseling
ABSTRACT
The purpose of the study was to determine the ontology and epistemology of wisdom based on wise people’s perspective. These wise people (‘arif) were brought up in the traditions of Islam (tasawuf) and earned educational from Islamic boarding schools, even though they later became an academia and a government personnel. To meet the purpose of the study. A biography study on the figures was conducted through interviews, observations, and document study. The ‘arif figures who were studied were a principal of an Islamic boarding school of Suryalaya in Tasikmalaya, a lecturer of IAIN Walisongo in Semarang, and a governor of West Nusa Tenggara. The analysis was accomplished through reduction, data display and conclusion. The study found that the figures perceived spiritual kalbu (hearts) as the object of wisdom. The figure from an Islamic boarding schools knew that a heart had seven layers and he practiced some ways (zikir) to achieve wisdom. The academia and the government personnel were actually taught by the figure of an Islamic boarding school but they mentioned that a heart had only four layers. They also practiced certain kind of zikir to manage their hearts in achieving wisdom. The implication of the study was that wisdom had to be realized through guidance and counseling using an alternative approach of tasawuf akhlaki, without a teacher’s supervision. It was highly necessary to develop a guidance model to develop noble character of wisdom. Key word: ontology, epistemology of wisdom, wise people’s, guidance and counseling
247
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
Pendahuluan Akhir-akhir ini banyak kalangan mengatakan bahwa yang hilang dari bangsa DI Nusantara ini adalah faktor kearifan. Di masyarakat, orang lebih mudah curiga daripada saling percaya, lebih mudah mengambil daripada memberi, lebih mudah menerjang atau mendahului daripada memberi jalan (Atmosutidjo, 2012: xiii). Di bidang pendidikan, terjadi perkelahian antar pelajar, tawuran antar mahasiswa; juga ditengarai adanya isu mindset yang sakit, menyederhanakan arah dan tujuan pendidikan dengan membentuk perilaku instant, yang mengingkari ha-kikat pendidikan (Kartadinata, 2010: 49-50; 2012a: 10); sehingga lulusan pendi-dikan sanggup berbohong, merampas hak orang lain, tega korupsi, ingin benar sendiri, tidak peka terhadap rakyat jelata (Tafsir, 2012b: 129). Dalam menyikapi hal tersebut, para ahli kemudian melahirkan dan mendiseminasi konsep-konsep. Dari Kemendikbud lahir kurikulum pendidikan, dikenal dengan Kurikulum 2013 (Furqon, 2013), yang menekankan pada ranah afektif untuk mengembangkan kemampuan dan peminatan (Supriatna, 2014), di mana ranah afektif sebagai lokus rasa pembentuk kearifan. Banyak pula dilakukan seminar nasional tentang pendidikan dalam bingkai kearifan (Forum Pimpinan Pascasarjana LPTKN seIndonesia, 2014). Di samping itu, muncul pula istilah kearifan lokal. Tetapi, peneliti memandang bahwa kajian tentang kearifan belum dipahami ontologinya, yakni apakah kearifan tersebut dan dari apa ia dibentuk? Sebagai konsekuensi, maka epistemologi (proses untuk mencapainya)-nya pun menjadi tidak jelas mau kemana diarahkan. Kearifan bisa ditinjau menurut kajian sosiologi, antropologi, psikologi dan agama. Tulisan ini berupaya mendekatinya dari sisi psikologi dan agama (Islam), yakni melalui psikologi agama (Rakhmat, 2003: 208), atau psikologi sufi (Frager, 2002: 29). Pendekatan 248
tersebut dipilih karena aliran-aliran psikologi dipandang memiliki keterbatasan dalam memandang hakikat manusia (Corey, 1988: 15; Dahlan, 1988: 15; Sutoyo, 2009: 4), di samping karena kini telah hadir kekuatan baru yang dikenal dengan kekuatan spiritual (Pedersen, 1996: 227-231), di mana kekuatan tersebut merupakan kekuatan inti manusia (Witmer dan Sweeney, 1992; Myers, Sweeney dan Witmer, 2000; Myers dan Sweeney, 2005). Kata dasar kearifan adalah arif. Kata arif berasal dari bahasa Arab: ‘ãrif. Dalam bahasa Indonesia, arif berarti bijaksana, cerdik dan pandai atau berilmu; dan kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan (KBBI, 2008: 65). Sementara ‘ãrif (orang ‘ãrif) adalah orang yang menguasai makrifatullah, mengenal Tuhan melalui matahati (Lings, 1995: 37; Armstrong, 1998: 35; Muthahhari, 2002: 2; Nasution, 1990: 12). Orang ‘ãrif berarti orang yang memiliki pengetahuan makrifatullah, yakni mengenal Tuhan melalui matahati, sehingga ia disebut pula orang ‘ãrif billâh. Namun, istilah mengenal di sini maknanya cukup rumit, karena ia menunjuk kepada pengetahuan langsung akan Tuhan (padahal Dia tidak bisa dilihat dengan mata), sehingga ia juga menunjuk kepada pemahaman yang mendalam tentang alHaqq, Yang Maha Benar (Tafsir, 2012a: 79; Lings, 1995: 123; Umar, 2014: 13). Dengan demikian, kearifan orang ‘ãrif berarti kebijak-sanan atau kecendekiaan dari orang yang mengenal Tuhan (makrifat) melalui matahati, yang mengenal-Nya melalui pemahaman yang mendalam. Kearifan orang ‘ãrif bersandarkan pada pengetahuannya akan Tuhan. Makrifatullah adalah pengetahuan langsung terhadap Tuhan; bukan sekedar mengenal, tetapi pengetahuan langsung tanpa perantara, bukan representasi Tuhan di akal tetapi Tuhan hadir (presentasi) di hati. Karena itu, pengetahuan makrifatullah adalah pengetahuan tanpa keraguan sedikitpun di dalamnya (al-Ghazali, 2002b: 221), yakni
Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
ketika pengetahuan itu terjadi langsung tanpa perantara, melalui matahati. Sementara dalam pengertian arif (bahasa Indonesia) bisa jadi di dalamnya masih menyisakan keraguan. Karena itu, dalam tulisan ini, istilah arif digunakan dengan hati-hati agar ia dapat merepresentasi makna ‘ãrif. Karena penggunaan kata arif yang bukan tempatnya disebut oleh Shah (2002: 240) sebagai “kearifan ideot” atau kearifan primitif. Disebut demikian karena kearifannya sematamata diterima oleh lingkungan hidupnya. Orang arif adalah insan kamil (manusia paripurna). As-Sarraj (2007) mengatakan, bahwa istilah arif telah banyak digunakan pada abad ke-8 M. Sementara itu, semua pakar tasawuf sepakat bahwa konsep insan kamil dikemukakan pertama kali oleh Ibnu ‘Arabi (w. 1264 M), yang dikembangkan lebih lanjut oleh al-Jilli (Rahman, 2003: 189; Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 593). Sebelum itu, al-Ghazali (w. 1111 M), telah mengemukakan istilah annafs al-kâmilah (diri yang sempurna), sebagai urutan diri (nafs) paling tinggi. Mencapai annafs al-kâmilah berarti juga menjadi manusia paripurna (Rahmat, 2010: 180). Insan kamil adalah manusia sempurna yang menggambarkan citra Tuhan secara definitif dan utuh, sementara di sisi lain ia merupakan sintesis dari makrokosmos yang permanen dan aktual, yang merupakan miniatur Realitas (Tuhan dan Alam) (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 591; Syukur, 1999: 70). Insan kamil paling sempurna adalah pada diri Nabi Muhammad (Schimmel, 2000: 284; Takeshita, 2005: 185). Insan kamil merupakan copy Tuhan (nuskhah al-Haqq), yang merupakan “tempat penjelmaan” (tajalli) nama dan zat Tuhan yang paling menyeluruh, yang dipandangNya sebagai khalifah (wakil)-Nya di bumi (Syukur, 1999: 70). Bila seseorang makin memiripkan dirinya dengan sifat Mutlak Tuhan, maka makin sempurnalah dirinya (Zamharir, 1987: 109). Sementara itu, orang arif adalah orang yang mencapai kesempurnaan karena
mencapai makrifatullah dengan sempurna. Ketika makrifat dicapai dengan sempurna, maka ia mencapai insan kamil. Karena itu, pada titik makrifat inilah bertemunya istilah orang arif dengan insan kamil, karena hati seorang arif yang mampu mencapai insan kamil (Takeshita, 2005: 135). Di samping itu, istilah arif dapat diterima oleh semua aliran tasawuf. Lings (1995: 37) mengatakan, bahwa istilah arif menunjuk kepada orang yang menguasai makrifat, dan ia tak merujuk kepada aliran apapun. Ini artinya bahwa, orang arif adalah insan kamil. Orang arif, insan kamil adalah manusia utuh (kãffah). Shihab (2010b: 544) dalam menafsirkan QS. al-Baqarah [2: 208] mengatakan bahwa, kepribadian utuh berarti memasukkan totalitas dirinya ke dalam Islam, sehingga semua aktivitasnya berada dalam wadah Islam, secara menyeluruh tanpa kecuali, yakni dalam urusan kecil atau besar, dengan tunduk patuh kepada Tuhan, dan rida kepada hukum dan ketentuan-Nya (Quthb, 2000: 246). Sementara menurut Siroj (2006: 30), parameter kesempurnaan pengamalan ajaran Islam dapat dilihat seberapa jauh kemampuan seseorang menyeimbangkan kandungan akidah, syariat dan ihsan (tasawuf). Karena itu, menurut Schimmel (2000: 34), hanya dengan yakin pada akidah Islam, yakni iman pada Tuhan, kemudian menjalankan syariat Islam, keislamannya belum sempurna, kecuali bila ditambah dengan ihsan. Dengan demikian, kepribadian utuh (kãffah) berarti mengamalkan iman, menjalankan syariat Islam, dan tasawuf (ihsan). Istilah manusia kãffah disamakan dengan insan kamil. Rahmat (2010: 180) mengatakan bahwa, “Dalam pandangan insan kamil, secara hakikat dalam konsep utuh (kãffah) berarti tubuh menjalankan syariat, hati menjalankan tarekat, roh menggapai hakikat dan rasa mencapai makrifat.” Karena itu, kepribadian utuh adalah pribadi orang yang menjalankan syariat dan tarekat untuk mencapai hakikat dan makrifat, dan ia adalah 249
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
manusia paripurna (insan kamil) atau orang arif. Dalam hal ini dicapai melalui tasawuf. Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa, baik maupun buruk, kemudian bertekad untuk menyucikan jiwa tersebut dari sifat-sifat buruk, diisi dengan sifat-sifat baik, serta berusaha merambah jalan (sulûk) untuk berada dekat di sisi Tuhan (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 1316; al-Ghazali, 2002b: 204). Dalam tasawuf dikenal tasawuf amali, akhlaki dan falsafi/teosofis (Siregar, 2002; Rahman, 2003; Syukur, 2012c). Tasawuf amali identik dengan tarekat; yang akhlaki menekankan pada perbaikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari; dan tasawuf falsafi/ teosofis merupakan kombinasi antara tasawuf dan filsafat (Syukur, 2012c: 1-2). Sementara itu, tarekat adalah organisasi persaudaraan dalam tasawuf dan ia merupakan jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan tujuan untuk sampai (wusul) pada-Nya (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 1309; Tafsir, 1990: 25). Tasawuf (dan tarekat) bukan satusatunya jalan untuk sampai pada Tuhan dan menjadi orang arif. Nicholson (1998: 55-56), dengan mengutip Sufi Niffari dari Mesir, mengatakan bahwa mereka yang mencari Tuhan ada tiga kelompok, sementara hasil analisis al-Ghazali (1999: 15) ada empat. Pertama, kelompok mutakallimin (golongan ahli pikir dan analisis). Kedua, kelompok batiniah yang tunduk di bawah seorang imam, di mana Nicholson menyebutnya ahli ibadah. Ketiga, kelompok filosuf yang ahli logika dan pakar dalam argumentasi. Keempat, kelompok sufi, di mana Nicholson menyebutnya kaum gnostik (menyaksikan Tuhan dengan penglihatan rasa). Di samping itu, Ibnu Taymiyah (w. 1328 M) mengatakan bahwa kelompok sufi (ahli tasawuf) bukan satu-satunya golongan yang termasuk shiddîqûn (orang-orang benar menurut pandangan Tuhan) (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 554). Karena para ahli fikih dan pejabat pemerintah pun bisa menjadi shiddîqûn, yakni bila mereka menjalankan agama dengan sebenarnya. Mereka dapat 250
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan hidup zuhud dan mencurahkan diri untuk beribadah (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 555). Jalan tasawuf adalah menggunakan rasa di hati untuk kenal Tuhan agar menjadi arif. Shihab (2010c: 374) mengatakan bahwa mencari dan berkenalan dengan Tuhan cukuplah melalui perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya, tidak perlu menempuh jalan berliku dan memasuki lorong-lorong sempit guna melayani akal, sehingga banyak jalan dapat disingkat dan tidak sedikit kelelahan dapat disingkirkan. Sementara Umar (2014: 205) mengatakan bahwa jalan paling efektif menuju Tuhan ialah dengan menempuh jalur rasa cinta. Pendapat Shihab dan Umar tersebut mengajak orang untuk mengenali Tuhan melalui kalbu, bukan dengan akal-pikiran (kaum mutakallimin dan filosuf). Dengan demikian, kearifan dapat lahir dari beberapa jalan, antara lain dari orang-orang arif yang menguasai makrifat, yang berpengetahuan suci (‘irfãn), di mana pengetahuan tersebut dicapai melalui Sufisme (tasawuf). Karena itu, studi ini mengangkat kearifan orang arif dari jalur tasawuf. Metode Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan orang arif tentang ontologi dan epistemologi kearifan, dengan melakukan studi tokoh. Studi tokoh adalah upaya menemukan, mengembangkan, mengumpulkan data/ informasi tentang tokoh secara sistematis (Rahardjo, 2010: 1). Dengan demikian, tujuan studi tokoh adalah untuk mencapai pemahaman tentang ketokohan individu dalam komunitas tertentu dalam bidang tertentu, melalui pandangan, motivasi, sejarah hidup dan ambisinya selaku individu melalui pengakuannya (Furchan dan Maimun, 2005: 6-7; Rahardjo, 2010: 1). Subjek tokoh arif dipilih dengan prosedur berikut. (1) menetapkan ranah tempat berkiprah, (2) membuat daftar tokoh arif pada ranah tertentu, (3) memilih tokoh arif
Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
sesuai dengan kriteria (Rahardjo, 2010: 1). Penelitian ini mencermati adanya tiga ranah. Ranah pertama adalah pondok pesantren tarekat, karena dari sana muncul istilah makrifatullah. Selanjutnya adalah ranah pemerintahan, karena perkembangan politik di Indonesia memunculkan beberapa tokoh pesantren menjadi pemimpin pemerintahan (Zulkarnain, 2013). Sementara itu, sebagai akademisi di perguruan tinggi, beberapa di antara mereka adalah tokoh arif. Kriteria pemilihan tokoh adalah: (1) karya yang dihasilkan tokoh, (2) pandangan orang dan pandangan masyarakat luas tentang tokoh tersebut, (3) judgement peneliti (Rahardjo, 2010: 1). Dengan kriteria tersebut, akhirnya dipilih (1) K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), mursyid Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat; (2) Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. (Pak Amin) dari IAIN Walisongo Semarang; dan (3) Dr. TGB. Muhammad Zainul Majdi, M.A. (TGB), yakni Gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat. Satu di antara tiga tokoh di atas telah wafat, yakni Abah Anom (w. 5 September 2011). Studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif (Furchan dan Maimun, 2005: 15). Pendekatan yang digunakan adalah tematik (Furchan dan Maimun, 2005: 34), di mana temanya berkembang selama penelitian (Sugiono, 2012: 313). Pengumpulan data menggunakan peneliti sebagai instrumen utama (Nasution, 1988: 54), dengan menerapkan teknik perolehan, keabsahan dan teknik analisis data (Moleong, 2007: xiii), yang dilengkapi dengan pedoman masing-masing (Furchan dan Maimun, 2005: 50). Wawancara dilakukan dengan pendekatan informal, yang mengandung unsur spontanitas, menggunakan lembar yang berisi garis besar/topik pembicaraan, dan daftar pertanyaan yang lebih rinci tapi terbuka (Sugiono, 2012: 319-321); dengan menekankan pada wawancara tidak terstruktur atau mendalam, baik langsung
atau tidak (Furchan dan Maimun, 2005: 5152). Observasi partisipasi dilakukan terhadap tokoh yang masih hidup, karena dapat diketahui apa yang dilakukan dan dihasilkan tokoh (Furchan dan Maimun, 2005: 55), dan dilakukan dengan terus terang kepada tokoh, yakni bahwa tokoh mengetahui bahwa ia sedang diobservasi (Sugiono, 2012: 312). Studi dokumen dilakukan terhadap dokumen karya tokoh atau tentang tokoh, yang dipublikasikan atau tidak, dan dokumendokumen resmi. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data, dengan melakukan reduksi dan display data serta menarik kesimpulan (Miles dan Huberman, 1984: 21-23). Langkah analisis meliputi: (1) menemukan pola/tema tertentu, (2) mencari hubungan logisnya, (3) mengklasifikasi atau membuat pengelompokkan, dan (3) mencari generalisasi gagasan spesifik (Furchan dan Maimun, 2005: 60-62). Hasil dan Pembahasan 1. Ontologi Kearifan Dalam khazanah kearifan, dikenal orang arif klasik dan kontemporer, di mana pemikiran orang arif belakangan dipengaruhi oleh para pendahulu mereka (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: x), dan kini adalah fase di mana pemikiran orang arif klasik diamalkan dalam bentuk tarekat, dan orang arif terlibat di masyarakat. (Rahman (2003: 218; Siregar, 2003: 45; Shihab, 2008: 55). Oleh karena itu, tiga tokoh arif di atas mengikuti para pendahulunya, antara lain Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Syeh al-Jaylani (w.1166 M). Berikut disajikan pengetahuan mereka. Angka dalam kurung merujuk kepada sumber referensi yang digunakan (lengkapnya tersaji dalam Lampiran). Kearifan berarti kebajikan berlandaskan pada pengetahuan akan Tuhan, yang diperoleh dari penglihatan matahati. Berarti kearifan berasal dari hati. Hati disebut juga kalbu (bahasa Arab: qalb). Menurut 251
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
al-Ghazali (2009a: 582-583), istilah kalbu dapat bermakna jantung fisik sebagai pusat peredaran darah, dan jantung spiritual sebagai pusat perasaan ketuhanan. Dengan demikian, studi ini menggunakan kalbu sebagai hati spiritual dan objek (ontologi) kearifan.
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 1 Tujuh Lapisan Kalbu Ajaran Abah Anom Keterangan: arah panah ke dalam menunjuk kepada proses mencapai kearifan, dan keluar menunjuk kepada perwujudannya ke dalam perilaku
Keterangan: 1 Qasr (jasad/tubuh kasar) 2 Shadr (dada, lapisan hati terluar) 3 Kalbu (hati) 4 Fuad (hati yang-lebih-dalam) 5 Syagaf (kerinduan) 6 Lubb (merasa terlalu rindu) 7 Sirr (mesra, Rahasia Allah) Kalbu spiritual, berdasarkan hadis Nabi Muhammad, diyakini oleh Abah Anom memiliki tujuh lapis (04: 149). Dalam ajarannya, perilaku arif muncul bila seseorang mampu mencapai lapisan hati fuad, di mana sebelum mencapai fuad seseorang harus melalui lapisan qasr, shadr dan kalbu (04: 158). Pada Gambar 1, ditunjukkan bahwa setelah mulai arif dan kemudian terus melakukan latihan spiritual (riyâdhah), maka tersingkap lapisan hati syagaf di mana dapat dirasakan cinta (mahabah) kepada Tuhan dan rindu; bila riyâdhah konsisten dilakukan
252
maka tersingkap lapisan hati lubb (terlalu rindu) dan sirr (mesra). Dalam pengamatan informan, Abah Anom senantiasa mahabah pada Tuhan, yang kemudian terpancar pada perilakunya dan memantul kepada orang lain (21; 22), sehingga orang merasa damai dan berani dalam menghadapi kehidupan (07: 470). Selanjutnya, dalam keyakinan Abah Anom, hakikat manusia adalah pada kalbunya, di mana di dalam kalbu tersebut terdiri dari lathîfah-lathîfah (04: 147). Ia adalah anggota badan yang tidak dapat diraba dan dilihat; dia adalah perasaan halus. Ketika zikir terus menerus, rasa meresap ke dalam lathîfah-lathîfah dan kemudian lathîfah tersebut bergerak menuju Tuhan (04: 148). Hakikat manusia terletak di kalbunya adalah karena di sanalah tempat roh manusia (4: 148). Roh yang menjadi pembeda manusia dengan binatang, memiliki beberapa nama sesuai dengan tempatnya di lapis hati tertentu. Roh jasmani di wilayah dada dan anggota badan yang tampak; roh rohani di kalbu; roh sultani di lapis hati fuad, dan roh al-qudsi di lapis hati sirr (05: 34-41). Dengan demikian, kalbu manusia adalah tempat dan alat untuk maktifat dan melihat Tuhan setelah melewati proses pergerakan lathîfah sehingga mencapai lapis hati sirr (04: 149). Abah Anom mengikuti ajaran ayahnya yang adalah pendiri Tarekat Qadiriah dan Naqsabandiah di Indonesia (03: 104). Abah Anom telah mencapai derajat insan kamil (manusia paripurna) sebagai pencapaian orang arif tertinggi (22). Sementara itu menurut Pak Amin, hakikat manusia pada kalbunya, karena dialah yang merasa, mengetahui dan mengenal segala sesuatu, serta yang diberi beban sebagai khalifah di muka bumi, dan disiksa, dicaci, dsb., oleh Tuhan kelak di hari Kiamat, di mana kehidupan kalbu diberikan oleh roh (09: 73-74). Dalam masalah roh, tokoh ini mengikuti ajaran al-Ghazali (w. 1111 M). Sementara itu, menurutnya kalbu manusia memiliki empat struktur, yakni shadr yang
Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
merupakan tempat bersemayamnya cahaya iman; kalbu tempat niat dan ilmu; fuad tempat terpancarnya cahaya penglihatan yang membedakan benar dan salah; dan lubb tempat cahaya ketuhanan (14: 6-7). Gambar 2 berikut menggambarkan struktur kalbu tersebut. Dalam ajarannya, tokoh arif akademik ini mengikuti ajaran Abah Anom dan telah dibaiat olehnya (24). Pandangan tokoh arif akademik tersebut berasal dari karya al-Qusyayry (w. 1076 M) yang dikutip dari Husayn an-Nuri (w. 907 M) dan at-Tirmidzi (w. 898 M). Empat struktur kalbu tersebut juga diakui oleh tokoh arif pemerintahan (28). Menurutnya, hakikat manusia pada hatinya (akal-budi); sementara akal, pancaindera dan anggota tubuh menjadi jaringan kerja kalbu (28). Menurutnya, di dalam kalbu tempat tersimpannya semua rahasia (16: 56). Tokoh arif ini mengikuti ajaran al-Ghazali (w.1111 M) dalam masalah roh yang tempatnya di kalbu (15). Ajaran TGB dalam bidang tasawuf mengikuti ajaran kakeknya yang juga seorang mursyid (27).
Shadr Kalbu Fuad
Gambar 2 Empat Lapis Hati dari al-Qusyayry (Husayn an-Nuri dan at-Tirmidzi) 1. Epistemologi Kearifan Sebagai orang arif, Abah Anom sejak kecil mengikuti pendidikan di pondok pesantren dan menekuni tarekat (04; 08). Demikian juga dengan Pak Amin (09) dan
TGB (27). Di antara tiga tokoh tersebut, hanya Abah Anom yang menekuni tarekat, kemudian menjadi mursyid dan mengajarkan tasawuf kepada muridnya sampai wafat (21). Sementara Pak Amin mengajarkan tasawuf tanpa tarekat, dan TGB melalui tarekat dan pengajian umum (20). Melalui tarekat, pencapaian kearifan dilakukan dengan sistematis, melalui tahapan perjalanan spiritual (rohani) yang disebut maqâmat (04; 09; 15). Inti ajaran Abah Anom, Pak Amin dan TGB dalam mencapai makrifat adalah zikir (01 Juz 2: 9; 06: 2; 09; 10; 11; 15; 18). Dalam ajaran Abah Anom, zikir (mengingat Tuhan) adalah melafalkan bacaan tertentu secara terus menerus, melalui zikir harian (setiap habis salat), mingguan dan bulanan (02: 3, 10; 21; 23). Zikirlah yang mengantarkan perjalanan menempuh tahapan maqâmat untuk perpindahan dari lathîfah (perasaan halus) yang lebih rendah ke lathîfah lebih tinggi. Tujuan perpindahan antar lathîfah adalah untuk meningkatkan kedudukan individu dari satu maqâm lathîfah ke maqâm lathîfah berikutnya (04: 157). Perpindahan dari lathîfah satu ke yang lebih tinggi merupakan proses menjadi arif. Ada tujuh lathîfah dan sesungguhnya manusia tersusun olehnya (06: 32). Arif tertinggi, di mana dicapai insan kamil, terletak pada lathîfah nafs mardiyyah, diri diridai Tuhan, dan nafs kamilah, diri yang sempurna (06: 34; 04: 157). Ketika dibaiat pertama kali, seseorang berada pada lathîfah qalb (berisi nafs lawwamah: zalim, ingin dipuji). Pengetahuan pada lathîfah ini diperoleh dengan talqin (pembelajaran) zikir (04: 156). Kedudukan merasa berikutnya secara ber-urut adalah lathîfah ruh (berisi nafs mulhimah: diri yang terilhami); lathîfah sirri (berisi nafs mutmainnah: sayang pada sesama, senang ibadah, suka bersyukur); lathîfah khafi (berisi nafs rodhiyyah: baik budi, meninggalkan sesuatu selain Tuhan); lathîfah akhfa’ (berisi nafs mardhiyyah) di mana kesempurnaan dicapai; lathîfah 253
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
an-nafsi (berisi nafs ‘ammarah) yakni mensucikan dari segala ambisi, dengki, bodoh, sombong; dan lathîfah jasad (berisi nafs al-kamilah) di mana dicapai insan kamil yang paling sempurna (16: 32-34), kearifan yang paling arif. Dengan tahapan perjalanan menjadi arif, atas rahmat Tuhan, Abah Anom mencapai derajat insan kamil (orang arif) dalam bentuk tiflul ma’ani, yakni bayi maknawi dengan penampilan yang manis dan cantik (15: 21; 22). Penggunaan kata tiflul ma’ani adalah karena ia berjasad halus dan suci, sebagai kiasan ditinjau dari kaitannya dengan badan; ia berujud seperti rupa manusia, juga karena manisnya bukan karena kecilnya; dilihat dari awal adanya, ia adalah manusia hakiki karena dialah yang berhubungan langsung dengan Tuhan (05: 22). Sementara itu, Pak Amin (12: 2; 19) mengajarkan bahwa untuk mencapai kearifan melalui tasawuf bisa tanpa baiat guru rohani (mursyid), artinya bisa tan-pa tarekat. Namun bukan berarti tanpa bimbingan sama sekali. Ia menyarankan agar membaca buku-buku terkait dan konsultasi pada ahli zikir (12: 12; 19). Menurutnya, tasawuf ditujukan untuk perbaikan akhlak, yakni agar dapat menghiasi diri dengan akhlak karimah (tahalli). Caranya adalah dengan melaku-kan amalan-amalan batin (zikir), mulai dari membersihkan diri dari akhlak tercela (takhalli), kemudian menghiasi diri dengan akhlak terpuji, sampai akhirnya terpancar cahaya Ilahi di hati (tajalli) dan orang menjadi arif (12: 12; 25). Sebagai akademisi, ia menyajikan beberapa kajian untuk tahapan perjalanan menuju Tuhan menurut pengalaman Sufi klasik seperti al-Ghazali (09; 10; 24). Belakangan, ia mengemukakan bahwa lima rukun Islam dapat digunakan sebagai tahapan perjalanan untuk mendekati Tuhan, mulai dengan Syahadat (24). Untuk bersyahadat dengan benar, harus mulai dengan kesadaran, sehingga syahadat (besaksi bahwa tidak Tuhan selain Allah) merupakan jawaban. Dengan itu berarti ia tobat dan kembali 254
mendekati Allah (muqarrobah). Dari syahadat dilanjutkan dengan salat. Dalam salat, akan bertemu dengan Tuhan (45). Dengan bertemu Tuhan atas anugerah-Nya, orang menjadi arif. Selanjutnya, untuk menguasai makrifat dan menjadi arif, TGB mengikuti ajaran makrifat Imam al-Ghazali, yakni berupaya mensinergikan antara syariat, thâriqah (tarekat) haqîqat (hakikat) dan makrifat (15: 72). Makrifat merupakan ilmu yang paling wajib yang harus dikuasai (17). Tahapan untuk mencapai makrifat mulai dari tobat, sabar, syukur, khauf (takut), raja’ (harap), tawakal, mahabah, rida, ikhlas, muhasabah, muraqabah (merasa diawasi Tuhan) (15). Pada tahap muraqabah orang menjadi arif. Namun, TGB memaknai maqâmât tersebut secara fleksibel, karena bisa jadi seseorang tidak mengikuti secara kaku urutan maqâmât, ia bisa melompat ke tahapan yang lebih tinggi tanpa harus mengikuti tahapan secara sistematis, karena semua tergantung pada anugerah Tuhan (28). Perjalanan mencapai makrifat tersebut dilakukan dengan melazimkan zikir harian, yakni dilakukan setiap habis salat fardu dan membaca hizib (mingguan). Hizib adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an, salawat dan doa (15: 175). Di samping itu, untuk jamaah tertentu harus membaca wirid khusus untuk mempercepat proses menguasai ilmu-ilmu hikmah (15: 202). Pengetahuan tokoh-tokoh arif di atas adalah sama dalam ontologi kearifan. Mereka hanya beda dalam hal lapisan kalbu yang perlu diberdayakan. Perbedaan itu mungkin karena faktor guru (mursyid) yang diikuti, pengajaran mana kemudian dikembangkan oleh pengikutnya (Siregar, 2002: 264). Itu karena ekspresi para mursyid terhadap kebenaran beragam. Pertama, Kebenaran terlalu luas untuk bisa dipahami sekaligus oleh seorang individu, siapapun dia. Kedua, karena tiap-tiap mursyid mempunyai concern masing-masing, sesuai dengan tantangan yang yang dipahaminya. Ketiga,
Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
karena Tuhan mengekspresikan secara terus menerus dan berubah-ubah setiap saat (Kertanegara, 2006: 111). Hal tersebut kemudian melahirkan pandangan filosofis yang berbeda-beda. Kalbu adalah pusat pengembangan kearifan, karena ia merupakan lokus dan pusat pemahaman. Dalam taraf tertentu, kalbu sebagai pusat tersebut terung-kap dalam temuan Witmer dan Sweeney (1992), kemudian oleh Myers, Sweeney dan Witmer (2000), dan Myers dan Sweeney (2005), yang dirumuskan dalam istilah wellness, yakni suatu keadaan sejahtera, di mana intinya adalah kekuatan spiritualitas, yang kemudian menentukan regulasi diri. Hati adalah inti pikiran, di mana hasil penglihatan dan pendengaran keduanya dibawa ke pencerahan hati (Hamka, 1982: 257); karena hati memberikan jawaban yang paling benar, sebagai potensi pengetahuan yang sempurna (Shihab, 2010d: 50), karena hatilah yang sebenarnya digunakan untuk berpikir jernih (al-Qurthubi, 2009: 194), dan karena ia dapat menampung cahaya Ilahi (Frager, 2002: 53). Penafsiran di atas menunjukkan bahwa hati (kalbu) memiliki cara berpikir sendiri. Dengan demikian, ada dua yang berpikir, yakni hati di dada dan otak yang di kepala. Mubarok (2000: 33) mengatakan, dalam al-Qur’an tidak dibedakan mana daya yang berpikir dan mana alat yang berpikir; tidak pula menunjukkan di mana pusat kegiatan berpikir, di kepala (otak) atau hati di dada. Hanya saja bahwa hati memiliki kemampuan berpikir untuk memahami. Selanjutnya, perbedaan dalam memahami eksistensi ontologi berdampak pada epistemologi kearifan. Tetapi epistemologi tiga tokoh di atas disatukan oleh tujuan, yakni untuk mendekatkan diri (takarub) pada Tuhan (lihat al-Ghazali, 2002b: 221). Pepatah yang populer adalah, ‘Banyak jalan menuju Roma.’ Dengan demikian, ada banyak cara mencapai kearifan dalam wadah tasawuf. Cara-cara tersebut melalui tasawuf amali, akhlaki atau
falsafi. Namun, dalam pengetahuan orang arif pesantren, tidak dimasalahkan perbedaan jalan tersebut. Karena menurutnya, jalan tasawuf perlu dilakukan secara sistematis dan di bawah bimbingan syeh (mursyid). Hal tersebut mirip dengan tokoh arif pemerintahan bahwa, ketiga jenis tasawuf tersebut bisa terdapat pada seorang arif. Seorang pengamal tasawuf akhlaki, pasti ia juga sudah mengetahui tasawuf amali dan falsafi. Tetapi pilihan mana yang diajarkan adalah sesuai dengan minatnya. Pendapat tersebut benar, karena pada diri Pak Amin, ketika mengajarkan tasawuf akhlaki, yang bersangkutan juga telah dibaiat melalui tasawuf amali, di samping ia juga mengetahui tasawuf falsafi, karena ia adalah guru besar di bidang tasawuf. Di antara tokoh arif di atas, kearifan orang arif pesantren telah mencapai puncak, sebagaimana ditunjukkan oleh orang arif klasik (Schimmel, 2000: 165, 289-290; Shah, 2002: 76; Ensiklopedi Tasawuf, 2008: xx). Hal tersebut diakui oleh dua tokoh arif lain. Tokoh arif akademik ingin membangun pondok pesantren (ponpes), dan tokoh arif pemerintahan ingin kembali ke Ponpesnya ketika tidak lagi menjabat Gubernur. Mengapa ponpes menjadi tempat terbaik untuk membangun kearifan? Rahardjo (1985: 42) mengatakan, gerak dan dinamika ponpes tidak hanya vertikal tetapi juga berkembang ke wilayah horizontal. Selanjutnya, dalam studi Sulthon dan Khusnurridlo (2006: 12), ditunjukkan antara lain bahwa perilaku di ponpes selalu ditujukan kepada pencapaian perilaku (akhlak) mulia, banyak melakukan riyâdhah (latihan spiritual) dan kiainya memberikan teladan hidup zuhud. Di samping itu, Taufik Abdullah mencatat bahwa sejak 1970-an, banyak kalangan ponpes berupaya memberikan pendidikan politik dan kewarganegaraan melalui pendekatan agama, dan berimplikasi pada perubahan budaya ponpes menjadi lebih terbuka (dalam Tilaar, 2002: 408). Dalam praktik, tidak mudah untuk 255
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
membawa tasawuf (dan tarekat) ke dalam publik. Beberapa ahli menyebut ada beberapa faktor penyebab, antara lain karena: (1) pandangan sebagian warga masyarakat masih negatif (Anwar, 2010: 283); (2) karena terbatasnya mursyid atau wakilnya untuk melayani warga masyarakat umum, dan (3) keengganan sebagian warga sendiri untuk melakukan perjalanan rohani, karena mereka belum sadar akan perlunya perjalanan rohani (al-Jauziyah, 1999: 54). Di samping itu, kebutuhan untuk menjadi arif menjadi kebutuhan primer setelah kebutuhan sekunder sehari-hari terpenuhi (Umar, 2014: 4). Dengan demikian, ada beberapa kesenjangan untuk membangun kearifan. Sementara itu, problem pasca 2000-an telah diupayakan pengatasannya antara lain melalui bimbingan dan konseling. Sutoyo (2006) dan Suherman AS (2011) berupaya melahirkan sebuah model manusia utuh (kaffah) berbasis nilai-nilai Qur’ani dengan subjek mahasiswa. Hanya saja, “keutuhan” manusia Muslim tidak cukup dipandang dari segi pelaksanaan syariat Islam. Artikel ini meman-dang perlu mengembangkan keutuhan manusia melalui melalui upaya bimbingan dan konseling dengan memberdayakan hati sebagai ontologi dan epistemologi kearifan di atas, dengan alternatif tasawuf akhlaki menjadi pilihan, yakni tanpa baiat guru karena baiat tidak wajib (Umar, 2014: 30; Tafsir, 2012a: 24; Hawwa, 1995: 171). Alasannya adalah untuk memperbanyak dan berbagi pengalaman tasawuf kepada publik, dengan prinsip sedikit tahu tapi diamalkan. Inti tasawuf adalah pengamalan. “Sedikit pengetahuan yang diterapkan membawa kearifan, sedangkan pengetahuan buku yang berlebihan mengakibatkan kelemahan mental” (Frager, 2002: 62). Untuk itu, perlu dikembangkan model bimbingan dan konseling untuk mengembangkan kearifan. Kesimpulan dan Saran Ontologi dan epistemologi kearifan dalam pengetahuan orang arif pesan-tren, 256
akademik dan pemerintahan diungkap dengan pendekatan kualitatif melalui studi tokoh. Dalam pengetahuan orang arif, kearifan lahir dengan memberdayakan kalbu. Dalam pengamalan tokoh arif pesantren, kalbu memiliki tujuh lapis, yakni qasr (jasad/tubuh kasar), shadr (dada, lapisan hati terluar), kalbu (hati), fuad (hati yang-lebihdalam), syagaf (kerinduan), lubb (merasa terlalu rindu), sirr (mesra, Rahasia Tuhan). Sementara arif akademik dan pemerintahan memandangnya dalam empat lapis adalah shadr, kalbu, fuad dan lubb. Kearifan dapat dicapai melalui pemberdayaan kalbu agar tiap lapis kalbu tersebut tersingkap. Untuk memberdayakan, ditempuh jalur tasawuf, baik dilakukan secara sistematis (melalui tarekat) atau tidak. Melalui tarekat dapat dicapai kearifan puncak sehingga menjadi orang arif (insan kamil) seperti dicapai oleh tokoh arif pesantren. Untuk membawa kearifan ke dunia pendidikan formal, diperlukan jenis tasawuf akhlaki, yakni bisa tanpa baiat guru mursyid. Untuk itu, melalui bimbingan dan konseling diharapkan perilaku arif dapat diwujudkan. Studi ini masih memerlukan pembuktian berikutnya, yakni dalam hal proses pengimplementasian tasawuf untuk dunia pendidikan formal melalui upaya bimbingan dan konseling. Untuk itu, diperlukan pengembangan model bimbingan dan konseling untuk mengembangkan perilaku arif. Di samping itu, juga diperlukan penelitian untuk mengembangkan alat ukur kearifan. Daftar Rujukan Al-Ghazali, A. H. M. (1999). Penyelamat dari kesesatan al-munqiz mindhdhalal. Penerjeman Abu Ahmad Najieh. Surabaya: Risalah Gusti ……….. (2002b). “Kompas Pengembaraan Spiritual.” Dalam samudera pemikiran al-gazali. Kamran As’ad Irsyadi (penj). Yogyakarta: Pustaka Sufi ………. (2009a). Ihya ‘ulumiddin jilid
Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
4. Penerjemah Muh. Zuhri, Muqoffin Muchtar, dan Muqorrbin Misbah. Semarang: CV. Asy-Syifa’ Al-Jauziyyah, I. Q. (1999). Madarijus salikin (pendakian menuju allah). Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar As-Sarraj, A. N. (2007). Al-luma’. Rujukan lengkap ilmu tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti Al-Qurthubi, S. I. (2009). Tafsir al-qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam Al-Qusyayri. (1994). Risalah sufi alqusyayri. Penerjemah Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Armstrong, A. (1998). Kunci memasuki dunia tasawuf. Bandung: Mizan Ath-Thabari, A. J. M. b. J. (2009). Tafsir aththabari jilid 23. Jakarta: Pustaka Azzam Atmosutidjo, K. P. (2012). “Kebahagiaan Bersama dalam Pandangan kawruh jiwa”. Dalam matahari dari mataram. Menyelami spiritualitas jawa rasional ki ageng suryomentaram, Afthonul Afif (Peny.). Depok Jawa Barat: Kepik Corey, G. (1996). Theory and practice of counseling and psychotherapy. Brooks/ Cole Publishing Company Dahlan, M. D. (1988). Posisi bimbingan dan penyuluhan pendidikan dalam kerangka ilmu pendidikan. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan pada FIP IKIP Bandung, 9 April 1988, depdikbud IKIP Bandung Dhofier, Z. (1982). Tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup kyai. Jakarta: LP3ES Effendi, D. (1987). “Adam, Khudi dan Insan Kamil Pandangan Iqbal tentang Manusia.” Dalam Dawam Rahardjo, Peny. Insan kamil konsep manusia menurut islam. Jakarta: Pustaka Grafitipress Ensiklopedi tasawuf jilid i-iii, a sampai z. (2008). Ismail, Ilyas, dkk. Bandung: Angkasa Forum Pimpinan Pascasarjana LPTKN seIndonesia. (2014). Seminar Nasional
Membangun Negeri dalam Bingkai Kearifan Pendidikan Menuju Generasi 2045. Bali, 21-23 Juni 2014 Frager, R. (2002). Hati, diri dan jiwa, psikologi sufi untuk transformasi. Hasmiyah Rauf. Jakarta: Penerbit Serambi Furchan, A dan Maimun, A. (2005). Studi tokoh. Metode penelitian mengenai tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Furqon. (2013). “Peran Bimbingan dan Konseling dalam Menyiapkan Generasi Emas Indonesia.” Makalah. Disajikan pada Seminar Nasional Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 10 Mei 2013 Hamka. (1982). Tafsir al-azhar juz i-xxx. Jakarta: Pustaka Panjimas Hawwa, S. (1995). Jalan ruhani bimbingan tasawuf untuk para aktivis islam. Khairul Rafie M., dan Ibnu Thaha Ali, penj. Bandung: Mizan Kartadinata, S. (2010). Isu-isu pendidikan: antara harapan dan kenyataan. Bandung: UPI Press ………(2012a). Penyehatan kultur pendidikan. Bandung: UPI Press Kartanegara, M. (2006). Menyelami lubuk tasawuf. Jakarta: Erlangga Lings, M. (1995). Syaikh ahmad al-alawi wali sufi abad 20. Penerjemah Abdul hadi W.M. Bandung: Penerbit Mizan Miles, M. B. & A. Huberman, M. (1992). An expanded source book: qualitative data analysis. London: Sage Publication Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya Mubarok, A. (2000). Konseling agama teori dan kasus. Jakarta: Bina Rina Pariwara Muthahhari, M. (2002). Mengenal irfan meniti maqam-maqam kearifan. Penerjemah C. Ramli Bihar Anwar. Bandung: Mizan Myers, J. E., Sweeney, T. J., & Witmer, J. M. (2000). The wheel of wellness counseling for wellness: a holistic model for treatment planning. Journal of counseling and development, 78(3), 251-266 257
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
Myers, J. E., & Sweeney, T. J. (2005). Counseling for wellness: theory, research, and practice. Alexandria, VA: American Counseling Association Nasution, H. (1990). “Kedudukan Tasawuf dalam Islam” dalam thoriqot qadiriyyah naqsabandiyyah. Tasikmalaya: IAILM Nasution, S. (1988). Metode penelitian naturalistik kualitatif. Bandung: Tarsito Nicholson, R. A. (1998). Mistik dalam islam. Penerjemah Tim Bumi Aksara. Jakarta: Bumi Aksara Pedersen, P. B. (1996). Multiculturalism as a Generic Approach to Counseling. Journal of counseling and development, 70 (1), September/ October pp. 227-231 Praja, J. S. (1990). “TQN Pondok Pesanteren Suryalaya dan Perkembangannya pada Masa Abah Anom.” Dalam thoriqot qodiriyyah naqsabandiyyah, sejarah, asal-usul dan perkembangannya. Dalam Nasution, Ed. Tasik-malayaIndonesia: Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Quthb, S. (2000). Tafsir fi zilalil qur’an. Di bawah naungan al-qur’an jilid i. Jakarta: Gema Insani Press Rahardjo, D. M. (1985). Pesantren dan pembaharuan. Jakarta: LP3ES Rahardjo, M. (2010). “Sekilas tentang studi tokoh dalam penelitian.” Makalah. http://mudjiarahadjo.uin.malang.ac.id/ materikuliah/218-html (Diunduh 20 November 2013) Rahman, F. (2003). Islam. Penerjemah Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka Rakhmat, J. (2007). The road to allah. Tahaptahap perjalanan ruhani menuju tuhan. Bandung: Mizan Rahmat, M. (2010). “Implikasi Konsep Insan Kamil dalam Pendidikan Umum di Pondok Sufi POSMODA.” Disertasi. Bandung. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Schimmel, A. (2000). Dimensi mistik dalam islam. Penerjemah Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus 258
Shah, I. (2002). Belajar dari sufi. Psikologi dan spiritualitas dalam tasawuf. Penerjemah Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka Hidayah Shihab, M. Q. (1998). Wawasan al-qur’an. Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan ………… (2011). Dia di mana-mana. ‘Tangan’ tuhan di balik setiap fenomena. Ciputat: Lentera Hati ………..(2010a). Tafsir al-mishbah pesan, kesan dan keserasian al-qur’an. Vol. 14. Ciputat: Lentera Hati ………. (2010b). Tafsir al-mishbah pesan, kesan dan keserasian al-qur’an. Vol. 1. Ciputat: Lentera Hati ………. (2010c). Tafsir al-mishbah. Pesan, kesan dan keserasian al-qur’an volume 2. Ciputat: Lentera Hati ………. (2010d). Tafsir al-mishbah pesan, kesan dan keserasian al-qur’an. Vol. 13. Ciputat: Lentera Hati Shihab, A. (2009). Akar tasawuf di indonesia antara tasawuf suni dan tasawuf falsafi. Depok: Pustaka IIMaN Siregar, A. R. (2002). Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Siroj, S. A. (2006). Tasawuf sebagai kritik sosial. Bandung: PT Mizan Pustaka Sugiono. (2012). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta Suherman AS, U. (2011). “Membangun Karakter dan Budaya Bangsa melalui Bimbingan Komprehensif Berbasis NilaiNilai Al-Qur’an.“ Pidato pengukuhan. Bandung. UPI, 15 September 2011 Sulthon, M dan M. Khusnurridlo. (2006). Manajemen pondok pesanteren dalam perspektif global. Yogyakarta: Laksbang Supriatna, M. (2014). “Sinergi arah peminatan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Makalah dalam Forum ABKIN dan MGBK Kab. Kuningan dan Wilayah Tiga Cirebon. 8 Maret 2014 Sutoyo, A. (2009). Bimbingan dan konseling
Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan
islami. Semarang: Widya Karya ..............(2006). Pengembangan Model Konseling Qurani untuk Mewujudkan Manusia Kāffah. Disertasi. SPs Universitas Pendidikan Indonesia Syukur, M. A. (2012). Tasawuf kontekstual solusi problem manusia modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .............. (1999). Menggugat tasawuf. Sufisme dan tanggung jawab sosial abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ……….. (2013). Arkanul islam maqamat littaqarrub ilallah (proses penerbitan) Tafsir, A. (1990). “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf” dalam thoriqot qadiriyyah naqsabandiyyah. Tasikmalaya: IAILM ……… (2012a). Berjalan menuju tuhan, rukun islam sebagai tarekat. Bandung: Simbiosa Rekatama Media ............ (2012b). Filsafat pendidikan islami. Bandung: Remaja Rosdakarya Takeshita, Masataka. (2005). Insan kamil pandangan ibnu ‘arabi. Sebuah disertasi.
Penerjemah Harir Muzakki. Surabaya: Risalah Gusti Tilaar, H.A.R. (2005). Perubahan sosial dan pendidikan: pengantar paedagogik transformatif untuk indonesia. Jakarta: Grasindo Umar, N. (2014). Tasawuf modern. Jalan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Jakarta: Republika Penerbit Witmer, J. Melvin dan Sweeney, Thomas J. (1992). A Holistic Model for Wellness and Prevention over the Life Span. Journal of counseling and development, Vol. 71 Number, pp. 77-89 Zamharir, H. (1987). “Insan Kamil: Citra Sufistik al-Jili tentang Manusia.” Dalam Dawam Rahardjo, Peny. Insan kamil konsep manusia menurut islam. Jakarta: Pustaka Grafitipress Zulkarnain. (2013). Tgb inspirator kebangkitan politik kaum santri. Mataram: Suara Nusa Niaga Nusantara (Lombok Post)
259