FUNGSI PARTAI POLITIK SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENYIKAPI GOLONGAN PUTIH (Absentia Voter) DI TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA XII SONDAKAN PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 (Studi pada Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakata)
Oleh : WAHYU JATMIKO NIM : K6405040
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi di dunia. Pemilihan umum (pemilu) menjadi indikator sebuah negara demokratis. Pemilu merupakan pesta akbar bagi rakyat Indonesia untuk menentukan masa depan Indonesia. Penyelenggaraan pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, bahwa ”Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Di Indonesia terdapat beberapa macam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) salah satunya yaitu Pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat baik ditingkat daerah maupun pusat. Pemilu merupakan sebuah sarana untuk mengisi jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan berdasarkan pada pilihan warga negara yang sudah memenuhi syarat. Syarat warga negara yang mempunyai hak pilih diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 19 menyatakan bahwa ”Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”. Hal tersebut berarti bahwa semua warga negara yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memilih dalam hal ini memilih para calon legislatif (caleg) untuk mengisi jabatan pada lembaga legislatif. Hal tersebut berarti juga rakyat terlibat secara langsung dalam menciptakan perubahan politik, khususnya menciptakan sirkulasi elite, melalui rekrutmen elite politik baru melalui mekanisme pemilu. Dari segi itulah terlihat sangat jelas pentingnya partisipasi politik dalam pemilu, yang merupakan salah satu perwujudan dari partisipasi politik dalam demokrasi.
3
Pemilu dapat dijadikan sebagai salah satu parameter dari sebuah negara yang demokratis. Hal tersebut berarti negara atau pemerintahan yang demokratis tidak terlepas dari kualitas dari penyelenggraaan pemilu. Seperti yang diungkapkan oleh Kenneth Janda et al (1992 : 239) bahwa : The heart of democratic government lies the electoral process. Elections are important to democracy for their potential to institusionalize mass participation in government according to the three normative principles for procedural democracy discussed in Chapter 2. Electoral rules specify (1) Who is allowed to vote, (2) How much each person’s vote counts, and (3) How many votes are needed to win. Menurut Kenneth Janda seperti diatas, inti dari sebuah pemerintahan yang demokratis terletak pada proses pemilu. Pemilu adalah yang terpenting dalam demokrasinya sebuah negara, terletak pada partisipasi masyarakat dalam pemerintahan sesuai dengan tiga prinsip dasar piagam prosedur demokrasi Bab 2 tentang peraturan-peraturan pemilu disebutkan yang (1) Siapa yang diijinkan untuk memilih, (2) Berapa banyak masing-masing pemilih memberikan suaranya, (3) Berapa banyak jumlah suara yang diperlukan sebagai pemenang. Hal tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi rakyat dalam proses pemilu sangat penting sekali. Besar kecilnya partisipasi rakyat dalam pemungutan suara memang tidak bisa dijadikan
tolak ukur sah tidaknya pemilu, akan tetapi besar kecilnya
partisipasi rakyat dalam pemilu berpengaruh terhadap legitimasi politik yang dihasilkan dalam pemilihan umum tersebut. Begitu juga partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemilu legislatif sangat penting sekali terhadap legitimasi politik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat karena salah satu fungsi yang paling mendasar dalam pemilu yaitu memberi legitimasi politik atau kekuasaan. Memberikan hak pilih dalam pemilu memang bukan sebuah kewajiban, akan tetapi menggunakan hak pilih berarti seseorang telah ikut ambil bagian dalam proses perubahan politik. Begitu juga dalam penggunaan hak pilih dalam pemilu legislatif, seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara berarti seseorang tersebut tidak menggunakan sebuah kesempatan dalam proses perubahan politik dalam hal ini perubahan elite wakilwakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan.
4
Di Indonesia telah dilakukan pemilu sebanyak sepuluh kali mulai tahun 1955 sampai dengan tahun 2009. Dalam penyelenggaraan pemilu tersebut diketahui bahwa angka partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya dari tahun-ketahun terus mengalami penurunan mulai pada tahun 1992, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1. Fenomena Golongan Putih dari Pemilu 1955 - 2004 Pemilu
Terdaftar
Suara sah
1955 1971
43.104.464 58.556.776
37.785.229 54.669.509
1977
69.871.092
1982
Tidak hadir 5.319.165 3.889267
Angka AV (%) 12,34 6,67
(-)5,67
63.998.344
5.872.267
8,40
(+)1,73
82.134.195
75.126.306
7.007.889
9,61
(+)1,21
1987
93.737.633
85.869.816
7.867.817
8,39
(-)0,22
1992
107.565.697
97.789.534
9.776.163
9,05
(+)0,26
1997
124.740.987
112.991.150 11749.837
10,07
(+)1,02
1999
117.815.053
105.786.661 12.028.392
10,4
(+)0,34
2004
148.000.369
113.462414
23,34
(+)13,30
34.537.955
Kenaikan
* Di dalam angka-angka ini yang dimaksudkan dengan Golput adalah para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ditambah dengan suara yang tidak sah. Sumber: Asfar, M., Presiden Golput, JP Press, Surabaya, 2004:5.Asfar (2004:5) Sedangkan hasil penghitungan perolehan suara partai politik pemilu legislatif 2009 yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 sebagai berikut : Tabel 2. Perolehan Suara Partai 10 Besar Hasil Pemilu Legislatif 2009 dari KPU. No Nama Partai Politik 1. P. Demokrat 2. GOLKAR 3. PDIP 4. PKS 5. PAN 6. PPP 7. PKB 8. GERINDRA 9. HANURA 10. PBB Suara tidak memilih
Perolehan Suara 20,85% 14,45% 14,03% 7,88% 6,01% 5,32% 4,94% 4,46% 3,77% 1,79% 29,01%
5
Suara tidak sah 16,75% Suara Sah Pemilu Legislatif 2009 104.099.785 Sumber : http://www.ylbhi.or.id · http://www.dishub-surakarta.co.cc/ ... Hasil akhir penghitungan suara nasional yang dilakukan oleh KPU Pusat pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009, jumlah golongan putih menunjukkan peningkatan sejumlah ada 29,01% warga yang mempunyai hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya. Dan ini lebih besar dari partai peraih nomor 1 pemilu, Partai Demokrat yang hanya meraih 20,85 %. Demikian pula suara tidak sah mencapai 16,75% dibanding juara kedua Partai Golkar yang meraih 14,45% suara. (Koran Target, http://korantarget.wordpress.com/2009/05/10/hasil-akhir-pemilulegislatif-2009-juara-1-tetap-golput-juara-3-suara-tidak-sah/, Diakses pada 10 Mei 2009). Golongan putih merupakan bentuk sikap protes terhadap mekanisme atau sistem politik yang sedang berjalan baik dengan cara tidak hadir ke TPS pada saat dilakukannya pemungutan suara maupun pemilih yang hadir ke TPS tetapi tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar. Seperti yang diungkapkan oleh Asfar (2004 : 11-12 ) konsep golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut : Pertama, Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes; Kedua, Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan; Ketiga, Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Sementara konsep non-voting ditujukan pada perilaku tidak memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Namun kedua kedua istilah tersebut menunjuk pada hasil perbuatan yang sama, yakni hak pilihnya tidak digunakan dengan benar. Menjelang pemilu tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa kelompok generasi muda yang dimotori oleh Arief Budiman, terutama dikalangan mahasiswa untuk meboikot pemilu sebagai bentuk aksi protes terhadap dominasi politik Golkar yang didukung oleh militer dan pemerintah yang dirasakan tidak adil. Istilah golput kemudian populer dilekatkan pada mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu baik karena kesengajaan maupun tidak. Seiring dengan perkembangan demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia dari tahun-ketahun jumlah golput dalam pemilu terus mengalami peningkatan. Bagi negara-negara yang tingkat kehadirannya pemilihnya cukup tinggi, mungkin tidak
6
begitu merisaukan persoalan rendahnya kehadiran pemilih dalam pemilu. Namun, bagi negara-negara yang tingkat ketidak hadiran pemilih cukup tinggi, sebagian elite politik, pengamat politik, maupun pemerintah yang sedang berkuasa menganggap cukup mengkhawatirkan seperti halnya di Indonesia pada tahun 2009 mencapai angka 45,76%. Meningkatnya jumlah golput pada pemilu legislatif dapat disebabkan karena tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan anggota dewan menyebabkan sikap antipati pada sebagian kelompok terhadap partai politik. Tingginya tingkat ketidak percayaan masyarakat terhadap partai politik dan anggota dewan tidak terlepas dari penilaian masyarakat terhadap anggota dewan baik secara perorangan maupun kelembagaan tidak pernah menunjukkan kinerjanya sebagai lembaga perwakilan rakyat secara baik. Hasil pemilu yang dilaksanakan pada periode lima tahun sebelumnya sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat pada pemilu periode lima tahun mendatang. Meningkatnya angka golput dalam setiap pemilu menyebabkan banyak kekhawatiran terutama bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, apabila ditinjau secara teoritis ketidakhadiran pemilih dimaknakan sebagai indikator lemahnya legitimasi rezim yang sedang berkuasa. Sehingga suara golput bisa dimaknakan sebagai ketidakpercayaan pada pemerintahan yang sedang berjalan. Seperti halnya pada masa pemerintahan untuk meminimalisir meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 Presiden Megawati berulang kali menyerukan rakyatnya agar menggunakan hak suaranya. Tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu tidak terlepas dari pelaksanaan pendidikan politik masyarakat tersebut. Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya saling berhubungan yaitu saling bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
7
masyarakat di negara tersebut. Salah satu lembaga pendidikan yang sangat penting sekali dalam proses pendidikan politik masyarakat yaitu partai politik. Untuk meminimalisir jumlah golput pada pemilu berikutnya selain pemerintah dan KPU selaku penyelenggara pemilu di Indonesia, partai politik juga mempunyai peran yang sangat penting dalam hal tersebut. Hal tersebut sangat berkaitan dengan peran partai politik dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota maupun masyarakat. Pendidikan politik bertujuan untuk membangun kesadaran politik masyarakat. Sehingga apabila dikaitkan dengan golput, maka bahwa pendidikan politik mempunyai tujuan yaitu membangun kesadaran dan partisipasi politik rakyat, sehingga masyarakat akan lebih mengerti arti pentingnya partisipasi politik rakyat dalam pemberian suara dalam pemilu dan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam rangka membangun kesadaran politik masyarakat, pendidikan politik tidak hanya ditujukan kepada masyarakat yang masih terbelakang pengetahuan politiknya, akan tetapi juga ditujukan kepada masyarakat yang sudah ”melek” politik. Selain itu pendidikan politik juga harus diberikan kepada generasi muda yang menjadi penerus memperjuangkan bangsa ini. Pendidikan politik harus dilaksanakan secara sistematis dan intensif. Salah satu partai yang secara resmi lolos menjadi peserta pemilu tahun 2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai Keadilan Sejahtera merupakan penggabungan dengan Partai Keadilan (PK), yaitu partai berbasis Islam dalam pemilu 1999 yang tidak memenuhi electoral threshold sehingga harus berganti nama. Perolehan PKS sebesar 7,88% dalam pemilu legislatif 2009 secara nasional, bila ditelisik perolehan suara PKS adalah karena politik pencitraan yang sangat bagus di hadapan publik dan sistem pengorganisasian partai yang rapi. Di tengah apatisme publik terhadap partai politik, PKS tampil dengan selogan sebagai ”partai yang bersih”. PKS berusaha menumbuhkan kepercayaan publik bahwa berpolitik tidak harus ”kotor”. Selain itu, kader-kader PKS secara aktif juga berusaha masuk dalam berbagai lini masyarakat. Kaderkader PKS aktif melakukan rekruitmen anggota dan berbagai aktifitas simpatik kemasyarakatan yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada mereka.
8
Nama PKS sudah tidak asing lagi dalam mengisi dunia perpolitikan di Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai da’wah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Partai Keadilan Sejahtera juga mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. PKS sebagai partai baru peserta pemilu mampu menarik perhatian ribuan masa di berbagai daerah di Indonesia. PKS mempunyai peran yang sangat penting serkali dalam mewujudkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat. Melalui kursus-kursus pendidikan politik yang dilakukan yaitu menanamkan ideologi dan loyalitas kepada negara dan partai. Pendidikan politik berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga masyarakat atau melatih warga masyarakat menjalankan peran-peran politik tertentu. Dengan pendidikan politik diharapkan setiap orang menjadi warga masyarakat yang sadar politik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama. PKS salah satu partai yang anggota dewan dan kadernya terdapat diberbagai daerah di Indonesia salah satunya di wilayah Surakarta yang jumlah kadernya terhitung banyak, hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Ignas Kleden dalam Kalla et al (2004 : 17) menyatakan bahwa “Partai yang bernafaskan keagamaan atau memakai atribut keagamaan lebih mudah menarik orang karena dorongan identifikasi dengan partainya”. Kemampuan Partai Keadilan Sejahtera untuk melahirkan massa dan pendukung yang solid tentunya tidak terlepas dari pendidikan politik bagi anggotanya. Sebagai partai kader, Partai Keadilan Sejahtera mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap proses pendidikan politik baik untuk anggota atau kadernya maupun bagi masyarakat. Kegiatan berupa program-program pendidikan dan pelatihan politik yang mengarah pada upaya untuk meningkatkan kualitas kader tidak hanya dibidang politik akan tetapi juga meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi bagian dari aktivitas rutin partai.
9
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka terdapat perumusan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa Golput (Absentia Voter) dalam setiap penyelenggaraan
Pemilu
selalu mengalami peningkatan jumlahnya ? 2. Bagaimana DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di wilayah Surakarta menyikapi Golput (Absentia Voter) dalam penyelenggaraan Pemilihan umum yang setiap tahun mengalami peningkatan jumlahnya ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain : 1. Untuk mengetahui penyebab meningkatnya jumlah Golongan putih (Absentia Voter) pada pemilihan umum legislatif tahun 2009. 2. Untuk mengetahui pendidikan politik DPD Partai Keadilan Sejahtera di Kota Surakarta untuk menyikapi Golput (Absentia Voter).
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menghasilkan informasi yang rinci, akurat dan aktual yang dapat memberikan manfaat dalam menjawab permasalahan yang sedang diteliti. Selain itu diharapkan mempunyai manfaat teoritis untuk mengembangkan ilmu lebih lanjut ataupun dalam bentuk kegunaan praktis yang menyangkut pemecahan-pemecahan masalah yang aktual. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang studi yang sesuai dengan penelitian ini. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding bagi siapa saja yang ingin mengkaji lebih dalam lagi. 2. Manfaat Praktis a. Bagi pemerintah
10
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah tentang pentingnya pendidikan politik terhadap masyarakat terutama yang sudah memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pemilu. b. Bagi masyarakat. Diharapkan
dapat
menumbuhkan
kesadaran
masyarakat
akan
arti
pentingnya partisipasi mereka dalam menggunakan hak suaranya dalam pemilu yang akan datang. c. Bagi partai politik Diharapkan dapat memberikan masukan kepada partai politik di Indonesia, partai politik tidak hanya sebagai sebuah alat memperoleh kekuasaan saja tetapi juga wajib melaksanakan fungsinya dengan baik. d. Bagi penulis Dapat dijadikan sebagai modal dalam penelitian tentang fungsi partai politik sebagai
sarana
pendidikan
politik
masyarakat
dalam
menyikapi
meningkatnya jumlah Golput (Absentia Voter) dalam pemilu selanjutnya.
11
BAB II LANDASAN TORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tentang Partai Politik a. Pengertian Partai Politik Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, menyatakan bahwa : Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta melahirkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Miriam Budiardjo (2008 : 403) bahwa “Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilainilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya”. Mark N. Hagopian yang dikutip Ichlasul Amal (1988 : xi) memberikan definisi
“Partai
politik
adalah
suatu
organisasi
yang
dibentuk
untuk
mempengaruhi bentuk dan karakter kebijakan publik dalam kerangka prinsipprinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan”. Menurut Nurul Aini (2006 : 121) memberikan pengertian “Partai politik merupakan lembaga untuk mengemukakan kepentingan, baik secara sosial maupun ekonomi, moril maupun materiil”. Cara mengemukakan keinginan rakyat melalui parpol ini mengandung pengertian adanya demokrasi. Menurut Carl J. Friedrich yang dikutip dalam bukunya Ng. Philipus dan Nurul Aini (2006 : 121-122) “Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan
12
penguasaan ini ia memberikan manfaat yang bersifat idiil maupun materiil kepada anggotanya”. Menurut Giovani Sartori dalam Miriam Budiardjo (2008 : 404-405) “Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office).” Menurut Ichlasul Amal (1988 : xi) memberikan definisi yang modern, “Partai politik dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat
sehingga dapat
mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah”. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kenneth Janda et all (1992 : 266-267) yaitu ” A political party is an organization that sponsors candidates for political office under the organization’s name”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang mendukung calon-calonnya memperoleh jabatan politik melalui nama organisasinya (partai). Partai politik mengajukan nama-nama calon untuk menjadi wakil rakyat untuk dipilih oleh rakyat untuk menduduki jabatan publik (lembaga legislatif) pada saat pemilihan umum sehingga dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Menurut A. Mukthie Fadjar (2008 : 15) Pengertian modern “Partai politik adalah suatau kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengatasi atau mempengaruhi tindakantindakan pemerintah”. Sedangkan menurut Saeful Muhtadi (2008 : 165) bahwa : 1) Partai adalah juga wadah berkumpulnya para pemimpin masyarakat. Sebab partai idealnya selalu lahir dari jantung kehidupan masyarakat, atas dasar kebutuhan politik para pengikutnya, dan bukan karena cita-cita politik personal ataupun sekelompok orang. 2) Partai adalah juru bicara massa pendukungnya, untuk mampu berdialog dengan massa dari partai-partai yang lainnya. Sebab partai merupakan salah satu ciri demokrasi, dan demokrasi sendiri mensyaratkan adanya kompromi.
13
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli ataupun sarjana tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta mengajukan caloncalon yang dipilih rakyat dalam pemilu untuk menduduki atau mempertahankan jabatan publik sehingga dapat mengontrol dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Kehidupan masyarakat yang demokratis, modern, dan kompleks memunculkan banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Salah satu sarana dan alat untuk menyatukan gagasan dan cita-cita bersama tersebut adalah melalui partai politik. Partai politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.
b. Jenis Partai Politik Ichlasul Amal (1988 : xii-xiii) mengklasifikasikan partai politik menjadi 5 (lima) jenis berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan, yakni : 1. Partai Proto, adalah tipe awal parpol sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini yang muncul di Eropa Barat sekitar abad tegah sampai akhir abab 19. Ciri paling menonjol partai porto adalah perbedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-anggota (outs). Masih belum nampak sebagai parpol modern, tetapi hanya merupakan faksi-faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi dalam masyarakat. 2. Partai Kader, merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto, muncul sebelum diterapkan hak pilih secara luas bagi rakyat, sehingga sangat tergantung masyarakat kelas menengah keatas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta pemberi dana. Tingkat ideologi dan organisasi masih rendah karena aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat. 3. Partai Massa, muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. 4. Partai Diktatorial, merupakan sub-tipe dari partai massa, tetapi memiliki ideologi yang lebih kaku dan radikal.
14
5. Partai Catch-all, merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Catch-all diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Miriam Budiardjo (1982 : 166) partai politik berdasarkan segi komposisi dan fungsi keanggotaannya dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Partai Massa Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. 2. Partai Kader Partai kader mementingkan kekuatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap anggotanya dan memecat anggotanya yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Menurut Haryanto (1982 : 97) apabila dilihat dari segi sifat dan orientasinya partai politik dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Partai Lindung (Patronage Party) Partai lindung adalah yang biasanya aktif pada saat menjelang dilangsungkannya pemilu saja. Adapun yang menjadi tujuannya berusaha memenangkan pemilu, yang berarti pula berusaha mendudukan anggota-anggota partai pada jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan yang memang sudah ditargetkan. Partai lindung ini biasanya kurang mempunyai disiplin yang kuat dari anggotanya. 2. Partai Ideologi atau Asas (Programmatic Party) Partai ideologi atau partai asas pada umumnya mempunyai disiplin yang kuat dan mengikat diantara anggota-anggotanya. Pedoman partai digariskan dengan tegas dan dilaksanakan dengan ketat pula. Para warga negara yang akan masuk menjadi anggota partai ini harus melalui penyaringan terlebih dahulu. Demikian diadakan seleksi ketat bagi anggota-anggota partai yang akan dilibatkan menjadi pemimpin. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa partai kader mempunyai keunggulan dibangdingkan dengan partai massa yaitu partai kader dalam hal keoorganisasian lebih sistematis dan lebih matang dibandingkan dengan partai massa. Partai kader mempunyai keunggulan dalam
15
hal peningkatan kualitas koorganisasian salah satunya yaitu mengenai rekrutmen anggota dan pendidikan politiknya.
c. Fungsi Partai Politik Partai politik merupakan organisasi politik tidak hanya sebuah sarana untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan atau jabatan publik saja, akan tetapi lebih luas lagi seperti yang dikemukana oleh Gabriel Almond dan Coleman yang dalam bukunya Ng. Philipus dan Nurul Aini (2006 : 122-123) dalam setiap sistem politik, partai politik menjalankan fungsi input, yaitu : 1) Sosialisasi dan rekruitmen politik; 2) agregasi kepentingan; 3) artikulasi kepentingan; 4) komunikasi politik. Menurut David Beetham dan Kevin Boyle (2004 : 31) partai politik mempunyai fungsi yaitu : 1) Bagi elektorat (para pemilih) Partai politik membantu menyederhanakan dan memfokuskan pilihan mereka terhadap kedudukan-kedudukan politik dan program-program kebijakan yang pantas dipilih. 2) Bagi pemerintah Partai politik menyediakan pengikut atau pendukung politis yang cukup stabil yang akan memungkinkan mereka melaksanakan programprogramnya setelah mereka terpilih. 3) Bagi pihak-pihak yang mempunyai komitmen politis yang lebih kuat Partai politik memberikan kesempatan untuk terlibat dalam masalahmasalah publik; Partai politik juga dapat menjadi sarana bagi pendidikan politik serta saluran untuk mempengaruhi kebijakan publik. Menurut Sukarna (1981 : 90) Adapun beberapa fungsi partai politik ialah sebagai berikut : 1) Pendidikan politik ( political education). 2) Sosialisasi politik (political socialization).
16
3) Pemilihan pemimpin-pemimpin politik (political selection). 4) Pemaduan pemikiran-pemikiran politik (political aggregation). 5) Memperjuangkan
kepentingan-kepentingan
rakyat
(interest
articulation). 6) Melakukan tata-hubungan politik (political communication). 7) Mengeritik rezime yang memerintah (criticism of regime). 8) Membina opini masyarakat (stimulating public opinion). 9) Mengusulkan calon (proposing candidates). 10) Memilih pejabat-pejabat yang akan diangkat (choosing appointive officers). 11) Bertanggung jawab atas pemerintahan (responsibility for government). 12) Menyelesaikan perselisihan (conflict management). 13) Mempersatukan pemerintahan (unifying the government). Menurut Miriam Budiardjo (2008 : 409) Fungsi partai politik di negara demokrasi adalah : 1) Sebagai sarana komunikasi politik. 2) Sebagai sarana sosialisasi politik 3) Sebagai sarana rekrutmen politik 4) Sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management) Sedangkan menurut Gaffar dan Amal yang dikutip dalam Mukthie Fadjar (2008 : 21) partai politik mempunyai peran, yaitu : 1) Dalam proses pendidikan politik; 2) Sebagai sumber rekruitmen para pemimpin bangsa guna mengisi berbagai macam posisi dalam kehidupan bernegara; 3) Sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan masyarakat, dan 4) Sebagai penghubung antara penguasa dan rakyat.
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 11 Ayat (1), Partai politik berfungsi sebagai sarana :
17
1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; 2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; 3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijaksanaan Negara; 4) Partisipasi politik Warga Negara Indoneisa; dan 5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Sedangkan menurut Amal (1988 : xi) menyatakan sebagai berikut : Sebagai organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan secara maksimal kepemimpinan politik secara sah (legitimate) dan damai. Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai fungsi partai politik dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu fungsi partai politik dalam rangka untuk membangun kesadaran dan patisipasi politik masyarakat yaitu terletak fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik, dengan dilaksanakannya pendidikan politik sehingga masyarakat memiliki kesadaran sehingga mau melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dalam hal ini salah satunya yaitu menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
d. Hak dan Kewajiban Partai Politik Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, partai politik mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Partai politik berhak : 1) Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; 2) Mengatur dan mengurusi rumah tangga organisasi secara mandiri;
18
3) Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 4) Ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 5) Membentuk fraksi ditingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota sesuia dengan peraturan perundang-undangan; 6) Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7) Mengusulkan pergantian antar waktu anggotaya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 8) Mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 9) Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundangundangan; 10) Membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan 11) Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain partai politik mempunyai hak, ia juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, partai politik berkewajiban :
19
1) Mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan; 2) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatua Republik Indonesia; 3) Berpartisipasi dalam pembangunan nasional; 4) Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; 5) Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; 6) Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; 7) Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban anggota; 8) Membuat
pembukuan,
memelihara
daftar
penyumbang
dan
sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat; 9) Menyampaikan laporan pertanggung jawaban penerimaan dan pengeluaran
keuangan
yang
bersumber
dari
dana
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1(satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; 10) Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan 11) Mensosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat. Sesuai dengan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menyatakan bahwa Partai politik selain mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban, salah satu kewajiban tersebut adalah melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat”.
2. Tinjauan Tentang Pendidikan Politik a. Pengertian Pendidikan Politik Menurut Solly Lubis (1989 : 81) pendidikan politik ditinjau dari aspek konstusional dan relevansinya terhadap pembangunan nasional yaitu ”pendidikan politik adalah merupakan subsistem atau komponen atau bagian dari kehidupan
20
politik, dan jika dilihat dari segi tugas kepartaian maka pendidikan politik itu adalah salah satu dari tugas-tugas Partai Politik (Parpol)”. Menurut David Beetham dan Kevin Boyle (2004 : 31) mengatakan “partai politik juga dapat menjadi sarana bagi pendidikan politik serta saluran untuk mempengaruhi kebijakan publik”. Hal tersebut juga banyak diungkapkan oleh para ahli mengenai fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik. Kesadaran dan partisipasi politik merupakan dua hal yang dihasilkan melalui pendidikan politik. Menurut R. Hajar yang dikutip oleh Kartini Kartono (1989 : 14) “Pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik”. Menurut Kartini Kartono (1989 : 14) Pendidikan politik ialah : 1) Bentuk pendidikan orang dewasa dengan jalan menyiapkan kader-kader untuk pertarungan politik, agar menang dalam perjuangan politik. 2) Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis atau moril dalam mencapai tujuantujuan politik. Menurut Abu Ridho (2002 : 7) bahwa “pendidikan politik atau tarbiyah siyasiyah adalah jagat siyasiyah tarbiyah atau pendidikan politik yang diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran politik atau al wa’yu al siyasi dan partisipasi politik atau musyarokah siyasiyah”. Sedangkan menurut konsep Ikhwanul Muslimin dalam Utsman Abdul Mu’iz Ruslan ( 2000 : 45) bahwa pendidikan politik merupakan: Upaya yang dilakukan untuk membangun dan menumbuhkan keyakinan, nilai dan orientasi pada para anggotanya, yang menjadikan mereka dapat menerima prinsip dan tujuan Islam, juga untuk menghapuskan imperialisme dalam segala bentuknya, membantu mereka membangun pola pikir sesuai dengan Islam seputar masalah hukum dan kekuasaan yang berati pula memberikan penyadaran tentang Islam; tentang persoalan politik, baik regional, nasional maupun internasional, tentang berbagai hal yang terjadi di seputar sikap politik. Ini berarti membangun kesadaran beraqidah, hingga siap berjihad di jalan Islam, yang setiap muslim adalah senjata untuk membela dan melawan musuh-musuh Islam, di samping juga untuk membela dan melawan musuh-musuh Islam, di samping juga untuk membela hak-haknya sebagai masyarakat serta untuk dapat menunaikan
21
berbagai kewajiban. Dengan demikian, ia menjadi aktivis di lapangan kerja sosial dalam berbagai bentuknya dan berpartisipasi dalam kehidupan politik secara memadai. Katini Kartono (1989 : 20) menyatakan bahwa : Pendidikan Politik ialah rangkaian upaya edukatif yang sistematis dan intensional untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara, dalam menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai falsafah hidup serta landasan konstitusional; juga merupakan upaya pembaharuan kehidupan politik bangsa Indonesia dalam rangka tegaknya satu sistem politik yang demokratis, sehat dan dinamis. Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan politik adalah suatu rangkaian
pendidikan
yang
dilakukan
dengan
sadar,
sistematis,
dan
berkesinambungan dalam rangka membentuk individu yang mempunyai kasadaran dan partisipasi politik sehingga dia dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Tujuan Pendidikan Politik Menurut Solly Lubis (1989 : 90) menyatakan bahwa ”tujuan dari pendidikan politik
adalah untuk membentuk kader-kader yang tangguh dan
berkualitas maupun dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang beroriantasi kepada program pembangunan”. Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 31 Ayat (1), partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup dan tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesejahteraan gender dengan tujuan antara lain : 1) Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan 3) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Menurut Kartini Kartono (1989 :21) bahwa landasan pokok yang dipakai dalam melaksanakan pendidikan politik ialah Pancasila, UUD 1945, GBHN dan
22
Sumpah Pemuda 1928. Khusus bagi generasi mudanya, tujuan pendidikan politik di Indoneisa ialah : 1) Membangun generasi muda Indonesia yang sadar politik dan sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, 2) Sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang perwujudannya tercermin dalam sejumlah sifat watak atau karakteristik kepribadian Indonesia. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo (2008 : 408) menyatakan ”Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan mendapatkan kepentingannya sendiri di bawah kepentingan nasional”. Menurut Utsman Abdul Mu’iz Ruslan (2000 : 91) menyatakan ”Pendidikan politik bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, sebagaimana juga bertujuan untuk membentuk kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu itu menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif”. Sedangkan menurut Ikhwanul Muslimin dalam Abdul Mu’iz Ruslan (2000 : 485-547) ada beberapa aspek yang terkandung di dalam pendidikan politik, meliputi : 1) Pendidikan Aqidah, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk memperkokoh keimanannya dan keyakinannya atas kekuasaan Allah SWT dengan menyembah-Nya. Menempatkan loyalitas hanya kepadaNya dan menolak loyalitas selain kepada-Nya. 2) Pendidikan Spiritual, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk memperkuat hubungan ruhani manusia dengan sang pencipta, sehingga membangkitkan ruh (jiwa) agar ia bangkit untuk bergerak, yang terejawantahkan dalam kegiatan memberantas kemungkaran dan menegakkan sistem yang adil.
23
3) Pendidikan Moral, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk memunculkan sikap dan perilaku positif, seperti jujur, memiliki kemauan kuat, tabah, tidak lemah, dan sebagainya. 4) Pendidikan Sosial, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk memunculkan sikap solidaritas sosial, peduli pada sekitar dan melakukan pemberdayaan sosial. 5) Pendidikan Jasmani, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk membangun kekuatan fisik dan mengembangkan sikap sportif, kerjasama, dan sebagainya. 6) Pendidikan Intelektual, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk mengembangkan wawasan dan membentuk intelektual muslim yang memahami Islam secara benar, memiliki kemerdekaan berfikir, kritis, sehingga mampu menganalisa berbagai problematika dan menemukan solusinya. Dari beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan politik dapat disimpulkan bahwa pendidikan politik bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, juga bertujuan untuk membangun kepribadian seseorang dengan membangun mental spiritualnya sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Metode Sosialisasi Politik Menurut Ikhwanul Muslimin yang dikutip dalam bukunya Abdul Mu’iz Ruslan (2000 : 76-78) menyatakan secara global, ada dua metode pendidikan politik, yaitu : 1) Metode
Pengajaran
Tidak
Langsung,
merupakan
proses
untuk
mendapatkannya melalui berbagai persiapan dan orientasi secara umum, yang ia sendiri tidak harus bersifat politis, akan tetapi setelah itu mempengaruhi perkembangan orientasi politik pada individu. Misalnya melalui : a) Talmadzah (apprenticeship; pelatihan atau magang)
24
Yang dimaksud di sini adalah transformasi berbagai pengalaman dan keterampilan pada individu melalui berbagai kegiatan di bidangbidang nonpolitik. Misalnya kelembagaan mahasiswa atau organisasi kemasyarakatan lainnya. b) Ta’mim (generalization), Artinya memperluas cakupan nilai-nilai sosial keberbagai bidang politik yang akhirnya akan membentuk orientasi politiknya. 2) Metode Pengajaran Langsung, yaitu berbagai proses kegiatan yang dengannya terjadi transformasi muatan politik tertentu kepada individu, dengan tujuan membentuk orientasi-orientasi politik. Misalnya : a) Pembelajaran Politik (Political Learning), yaitu berbagai proses kegiatan yang dimaksudkan untuk mentransfer orientasi-orientasi politik kepada orang lain, baik melalui jalur formal maupun non formal. b) Taklid (Imitation), yaitu meniru cara hidup para pemimpin atau tokoh merupakan sumber penting bagi nilai-nilai dan orientasi-orientasi politik. c) Pengalaman-pengalaman politik, yakni hal-hal yang diperoleh seseorang melalui partisipasi politik. Berdasarkan uraian di atas mengenai metode sosialisasi politik yang pada dasarnya berhubungan dengan proses pendidikan politik untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, serta membentuk kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu tersebut menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif dapat dilakukan dengan metode pengajaran langsung dan metode pengajaran tidak langsung. Pendidikan politik yang diberikan kepada individu maupun masyarakat tidak selalu bermuatan tentang politik saja, akan tetapi dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan maupun kemahasiswaan.
25
3. Tinjauan Tentang Partisipasi Politik a. Pengertian Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan aspek terpenting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 67) menyatakan “partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah”. Menurut Kenneth Janda et al (1992 : 228 ) yaitu “ Political participation as those actions of private citizens by which they seek to influence or to support government and politics”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi politik merupakan perbuatan yang dilakukan warga negara secara sadar tanpa paksaan yang mana mencoba untuk mempengaruhi atau mendukung pemerintah dan politik. Ramlan Surbakti yang dikutip oleh A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said (2007 : 90-91) mengatakan “Partisipasi politik adalah sebagai keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak memiliki kewenangan) dalam memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik”. Menurut Hutington dan Nelson yang dikutip Sidijono Sastroatmodjo (1995 : 68) mengartikan “partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah”. Miriam Budiardjo (2008 : 367) mengartikan “partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)”. Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau waraga negara secara sadar dan dengan sukarela dalam bidang politik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain itu dapat
26
diketahui bahwa partisipasi politik sangat erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik masyarakat.
b. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Menurut Ramlan Surbakti yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 74) mengatakan bahwa “Sebagai suatu kegiatan, partisipasi dibedakan mejadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif”. Dimana partisipasi aktif mencangkup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatau kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut serta dalam pemilihan pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif, antara lain berupa kegiatan mentaati peraturan atau perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah saja. Sedangkan Milbrath dan Goel yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 74-75) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori, yaitu : Kategori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah spektator. Kategori kedua ini berupa orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator, yakni orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat. Keempat pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Sementara itu menurut Huntington dan Nelson yang dikutip Miriam Budiardjo (1998 : 4) mengatakan bahwa “partisipasi yang bersifat otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation)”. Sedangkan menurut Edward N. Muller yang dikutip Sudjiono Sastroatmidjo (1995 : 77) mengatakan bahwa “bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi politik individual dan partisipasi kolektif”. Partisipasi individual dapat berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah,
27
sedangkan partisipasi kolektif merupakan kegiatan warga negara secara serentak yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum. Kenneth Janda et al (1992 : 228) partisipasi politik dibedakan menjadi dua yaitu “conventional participation and unconventional participation”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan berikut ini : a) Conventional participation is relatively routine behavior that uses the institutional channels of representative government, especially campaigning for candidates and voting in elections. b) Unconvetional participation is relatively uncommon behavior that challenges or defies government channnels or the dominant culture (and thus is personally stressful to participants and their opponents). Bentuk-bentuk partisipasi politik diatas dapat diartikan partisipasi konvensional adalah tindakan yang relatif sering dilakukan menyalurkan aspirasi melalui lembaga pemerintahan, terutama pada saat kegiatan kampanye para caloncalon dan pemberian suara dalam pemilu. Sedangkan partisipasi nonkonvensional adalah tindakan yang jarang dilakukan untuk menentang atau melawan kebijakan pemerintah. (Dalam kondisi seperti itu seseorang akan mengalami keputusasaan untuk ikut serta sehingga mereka melawan). Pendapat tersebut juga dikemukankan oleh Mochtar Mas’oed dan Colin Mc Andrews (2006 : 47) bentuk-bentuk partisipasi politik juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut : Tabel 3. Bentuk-Bentuk partisipasi politik Konvensional
Non-Konvensional
Pemberian suara (voting) Pengjuan petisi Diskusi politik Berdemonstrasi Kegiatan kampanye Konfrontasi Membentuk dan bergabung dalam Mogok kelompok kepentingan. Komunikasi individual dengan pejabat Tindakan kekerasan politik terhadap politik administratif harta-benda (perusakan, pengeboman, pembakaran). Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) Perang gerilya dan revolusi.
28
Menurut N. Muller dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 77-78) menyatakan “Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan menjadi dua, yakni partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum”. Partisipasi kolektif dapat dibedakan mejadi dua, yaitu partisipasi kolektif yang konvensional dan partisipasi politik yang tak konvensional. Menurut Miriam Budiardjo (1998 : 5) menyatakan bahwa “ disamping mereka yang ikut dalam satu atau lebih bentuk partisipasi, ada warga negara masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik”. Hal ini adalah kebalikan dari partisipasi dan disebut apati (apathy). Sikap seseorang yang demikian sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan perkembangan demokrasi dan terutama keberhasilan dalam pelaksanaan pemilihan umum. Dari berbagai macam bentuk partisipasi politik dari beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik merupakan suatu bentuk respon yang diberikan seseorang atau masyarakat terhadap sebuah kebijakan-kebijakan politik maupun sistem politik pemerintah yang sedang berkuasa. Bentuk partisipasi yang lebih mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat adalah bentuk partisipasi politik secara kolektif konvensional, misalnya yang sering dilakukan yaitu partisipasi politik dalam penggunaan hak suara pemilihan umum, kampanye, diskusi politik. Meskipun ada sebagian dari masyarakat melakukan partisipasi politik dalam bentuk Non-Konvensional, misalnya berdemonstrasi, melakukan aksi mogok, dan lain sebagainya.
c. Penyebab Partisipasi Politik Menurut Myron Weiner yang dikuti Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews (2006 : 45-46) mengemukakan lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
29
1) Modernisasi disemua bidang sehingga mereka merasa ternyata dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri dan mereka semakin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik. 2) Perubahan-perubahan struktur kelas sosial sehingga timbul suatu pertanyaan mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahanperubahan dalam pola partisipasi politik. 3) Pengaruh kaum intelektual dan komuniakasi massa modern. Melalui kaum intelektual dan media komunikasi modern, ide demokratisasi partisipasi telah tersebar kebangsa-bangsa baru merdeka jauh sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang. 4) Konflik diantara kelompok-kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar elit, yang dicari adalah dukungan rakyat. 5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan publik. Menurut Romdlon Naning (1982 : 58-59) menyatakan keharusan partisipasi rakyat disebabkan oleh dua hal, yaitu : 1) Keinginan rakyatlah yang harus dilaksanakan. Prinsip yang paling mendasar baik dalam perjuangan kemerdekaan, dalam Proklamasi Kemerdekaan maupun dalam penyusunan UUD 1945 adalah prinsip kedaulatan rakyat. 2) Rakyat yang menetukan penyelenggaraan negara. Ada 6 hajat hidup negara yang harus diselenggarakan oleh masing-masing penyelenggara negara. Pengisian lembaga-lembaga tersebut hanya dapat dilakukan oleh rakyat selaku yang berdaulat untuk menetukan siapa-siapa yang harus mengisinya. Apabila rakyat tidak berpartisipasi dalam pengisian kelembagaan tersebut baik langsung maupun tidak, maka jelas akan mengakibatkan tidak adanya penyelenggara negara (pelaksana tugas dan fungsi nhegara), dan ini berarti mandeglah hidupnya negara. Michael Rush dan Philip Althoff yang dikutip oleh A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said (2007 : 93) dalam hierarkhi partisipasi politiknya juga menjelaskan bahwa kegiatan “partisipasi politik disebabkan oleh adanya keinginan untuk mencari jabatan politik atau administrasi maupun menduduki jabatan politik atau administrasi”. Sedangkan A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said (2007 : 99-100) berpendapat bahwa partisipasi politik juga disebabkan oleh adanya “faktor kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik)”.
30
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang berpartisipasi politik karena adanya kesadaran politik pada dirinya dan adanya pengaruh dari luar, selain itu seseorang berpartisipasi politik karena hal tersebut dipandang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pribadinya.
d. Fungsi Partisipasi Politik Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 86), menyatakan bahwa bagi pemerintah, partisipasi politik warga negara dapat dikemukakan dalam berbagai fungsi, yaitu : 1) Partisipasi masyarakat untuk mendukung program-program pemerintah 2) Partisipasi politik masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan, selain itu partisipasi politik masyarakat juga digunakan sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Menurut Robert Lane yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 84) bahwa partisipasi politik paling tidak mempunyai empat fungsi, yaitu sebagai berikut : 1) Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi 2) Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial 3) Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus 4) Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam sadar dan kebutuhan psikologi tertentu. Menurut Arbi Sanit (1985 : 95) menyatakan bahwa ada tiga tujuan partisipasi politik massa di Indonesia, yaitu sebagai berikut : 1) Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang disusunnya. 2) Partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan penguasa dengan harapan supaya penguasa mengubah ataupun memperbaiki kelemahan tersebut. 3) Partisipasi politik sebagai tanggapan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkan sehingga terjadi perubahan pemerintahannya atau sistem politik.
31
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi partisipasi politik dapat dibagi menjadi dua fungsi, yaitu partisipasi politik untuk memenuhi kepentingan individu atau pribadi dan partisipasi untuk kepentingan umum atau bersama. Partisipasi untuk memenuhi kebutuhan individu atau pribadi dimaksudkan untuk memperoleh suatu kedudukan atau jabatan, kekuasaan dan kepuasan psikologi pribadi seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan partisipasi politik untuk kepentingan bersama yaitu turut ambil bagian dalam usaha memberikan kritikan, masukan dan pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa dan pemerintah.
4. Tinjauan Tentang Golongan Putih (Absentia Voter) a. Pengertian Golongan Putih Menurut Abdurrahman Wahid dalam Asfar (2004 : xiv) memberikan definisi “Golput adalah tidak memberikan suara dengan jalan tidak datang ke TPS, atau’mencoblos’ semua calon yang disahkan KPU”. Golput merupakan bentuk sikap protes terhadap sistem politik yang ada. Sehingga konsep golput berbeda dengan apatis (non-vote). Menurut Asfar (2004 : 11-12 ) konsep golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut : 1) Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes, 2) Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan 3) Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Sedangkan konsep non-voting (apatis) ditujukan pada perilaku tidak memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Namun kedua kedua istilah tersebut menunjuk pada hasil perbuatan yang sama, yakni hak pilihnya tidak digunakan dengan benar. Nyoman Subanda bahwa “golput bisa diartikan sebagai protes atau penolakan terhadap mekanisme atau sistem yang sedang berjalan”. (Nyoman
32
Subanda,
blogs.depkominfo.go.id/bip/files/2009/.../edisi-4_desember-2008.pdf,
Diakses pada hari Sabtu 4 September 2009). Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat diambil kesimpulan pengertian golput adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok dengan sengaja atau secara sadar dengan tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik pada saat dilaksanakannya pemungutan suara.
b. Faktor-faktor Penyebab Golongan Putih Menurut Asfar (2004 : 259-291) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku tidak memilih, yaitu : 1) Faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi, yaitu bahwa perilaku nonvoting dapat dijelaskan berdasarkan latarbelakang sosial ekonomi mereka seperti tingkat pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan dan aktivitas dalam organisasi. 2) Karakteristik Kepribadian dan Pengalaman Sosialisasi, yaitu perilaku nonvoting di Indonesia lebih merefleksikan kepedulian atas kepentingan publik dan nasib orang lain dari pada sebaliknya. 3) Protes terhadap Sistem Politik dan Pemilu, yaitu perilaku golput pada era reformasi maupun Orde Baru sama-sama ditujukan sebagai protes terhadap sistem politik dan pemilu. Konsep sistem di sini tidak sematamata dalam pengertian prosedural atau aturan main, tetapi lebih mengarah
pada
kebijakan
pemerintah
dan
kinerjanya
dalam
mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang melakukan sebagai aksi protes terhadap sistim politik yang ada, yaitu : a) Sistem politik yang sedang dikembangkan rezim yang sedang berkuasa sekarang dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat, baik pada tingkat elite maupun massa. b) Para pendukung golput juga kecewa dengan sistem politik yang sedang dikembangkan oleh bangsa ini, dengan tidak memberi
33
kewenangan yang memadai terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagaimana hasil amandeman UUD 1945. 4) Rendahnya Kepercayaan Politik, yaitu ketidak hadiran dalam pemilu atau perilaku golput merupakan bentuk protes atas ketidakpercayaan mereka terhadap sistem politik yang ada. Ada beberapa penyebab rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik baik diera reformasi maupun dimasa Orde Baru, yaitu : a) tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan rakyat, khususnya DPR/MPR b) tidak berfungsinya lembaga peradilan pada masa pemerintahan c) praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pemerintahan, baik di era reformasi maupun di masa Orde Baru d) berbagai kebijakan politik pemerintahan yang tidak kondusif bagi proses demokrasi di Indonesia. Menurut Syamsudin Haris yang dikutip dalam bukunya Tataq Chidmad (2004 : 57) minimal empat faktor dimana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu yaitu : 1) Kekecewaan publik terhadap parpol 2) Parpol sebagian kaya akibat money politics 3) KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society 4) Sistem pemilu yang rumit. Menurut Moon yang dikutip oleh Asfar (2004 : 30-31) menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih (turn out) atau ketidak hadiran pemilih (nonvoting) dalam suatu Pemilu, yaitu : pendekatan karakteristik sosial-psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu. Dalam pendekatan ini biasanya menemui kesulitan dalam membangun penjelasan kehadiran atau ketidakhadiran, sehingga dapat diambil kesimpulan mengenai faktor yang paling penting terhadap penjelasan mengenai kehadiran dan ketidakhadiran pemilih. Dalam sudut pandang semacam ini, telah terbukti bahwa faktor-faktor seperti pendidikan, sikap terhadap sistem politik, hubungannya dengan partai politik, tatanan-tatanan institusi (institutional
34
arrangements), dan sebagainya mempunyai hubungan sangant kuat dengan kehadiran pemilih. Menurut Campbell yang dikutip Asfar (2004 : 34) ia menggunakan istilah passive citizen bahwa “the truly passive citizen is nonvoter because of lack motivation”. Menurut Campbell memberikan istilah “warganegara yang pasif”. Sesungguhnya warga negara yang pasif adalah tidak memilih hal tersebut disebabkan karena tidak mempunyai motivasi. Menurut McClosky yang dikutip Miriam Budiardjo (1995 : 5) sikap apatis disebabkan karena : Ada yang tidak ikut dalam pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan di mana ketidak-sertaan merupakan hal yang terpuji. Menurut Abdurrahman Wahid dalam bukunya Asfar (2004 : xvii) menyatakanbahwa “faktor penyebab golput adalah pesimisme yang ada tentang hasil pemilu merupakan pemicu dari sikap untuk mendorong golput”. Pesimisme tersebut disebabkan oleh banyak hal, yang akhirnya menimbulkan sikap umum untuk tidak mempercayai pemilu itu sendiri sebagai suatu yang ada gunanya. Menurut Ignas Kleden dalam Kalla et al (2004 : 18) bahwa : Kelemahan seorang tokoh politik dapat diimbangi oleh visi, organisasi, dan disiplin partai; dan sebaliknya kelemahan dalam visi dan organisasi partai dapat diimbangi oleh inspirasi, kepemimpinan, dan karisma seorang pemimpin politik. Kalau dua jenis identifikasi ini menghadapi terlalu banyak kesulitan (partai centang-perentang dan pemimpinnya tanpa integritas), besar kemungkinan orang tidak bergairah memilih, dan mulai berfikir untuk bergabung dengan golput (golongan putih). Menurut Asfar (2004 : 13) menyatakan ada beberapa penjelasan mengapa suara golput menguat pada Pemilu 2004, yaitu : Pertama, adanya kelompok-kelompok yang semakin berani menunjukkan pilihan politiknya untuk tidak memilih, Kedua, tingkat ketidak kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan anggota dewan menyebabkan sikap antipati pada sebagian kelompok terhadap partai politik.
35
Dari beberapa pendapat para sarjana di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang melakukan tindakan golput di Indonesia pada umumnya disebabkan antara lain yaitu : Pertama, faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi; Kedua, tidak mempunyai motivasi atau niat; Ketiga, rendahnya kepercayaan dan kecewa terhadap partai politik maupun anggota legislatif; Keempat, sistem pemilu yang rumit.
c. Pengaruh Golongan Putih Seberapa tingginya atau besarnya golput tidak dapat dijadikan tolak ukur sah tidaknya hasil pemilu. Menurut M. Mahfud MD dalam Kalla et al (2004 : 66) menyatakan bahwa “Memang, berapapun besarnya jumlah golput dan suara coblosan yang tidak sah tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan pemilu tidak sah secara yuridis, tetapi secara politis hasil pemilu itu bisa dipersoalkan dari aspek legitimasi politiknya dan bukan dari legitimitas yuridisnya”. Asfar (2004 : 8) yang menyatakan “secara teoritis, ketidak hadiran pemilih oleh sebagian teoritisi politik dimaknakan sebagai indikator lemahnya legitimasi rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga suara golput bisa dimaknakan sebagai ketidakpercayaan pada pemerintah yang sedang berjalan. Ketidak hadiran pemilih dianggap sebagai reaksi atau ekspresi dan ketidaksukaan masyarakat terhadap rezim yang berkuasa. Dari uraian hasil pendapat dari ahli di atas dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya jumlah golput berpengaruh terhadap legitimasi politik kebijakankebijakan publik pemerintahan yang sedang berkuasa.
5. Tinjauan Tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 3) menyatakan bahwa “Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat”. Peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat.
36
Menurut David Beetham (2000 : 63 ) menyatakan “Tujuan pemilu di tingkat nasional ada dua, yaitu : yang pertama adalah untuk memilih kepala pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menggolkan kebijakan umum yang akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih. Yang kedua adalah untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan, legislatif atau parlemen, yang akan menetapkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan serta mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat”. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (2) tentang diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Prwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif, yaitu : DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Legislatif, yang menyatakan bahwa : 1) Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3) Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4) Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Derah kabupaten/kota sebagimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif adalah pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif yag terdiri dari
37
anggota DPR, DPD, dan DPRD yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. a. Pemilih dan Peserta Pemilihan Umum Legislatif 2009 Warga negara yang berhak memilih telah diatur dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pada pasal 19 menyebutkan bahwa : (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih. Selanjutnya untuk dapat menggunakan hak pilihnya harus terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sudah disahkan oleh KPU. Sedangkan untuk mengantisipasi Warga Negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih tetapi karena sesuatu hal belum terdaftar sebagai pemilih dalam DPT seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pada pasal 19 ayat (1), maka berkaitan dengan hal tersebut dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pasal 40 yang menyebutkan bahwa : (1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara. (2) Daftar pemilih tambahan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar. (3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.
38
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada suatu alasan apapun bagi Warga Negara Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih pada pemilu legislatif tahun 2009 untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan belum terdaftar sebagai pemilih dalam DPT. Pada pemilu legislatif tahun 2009 peserta pemilu tergantung pada jenis pemilunya. Untuk pemilu DPR/DPRD pesertanya adalah partai politik sedangkan pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. 1) Peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 134) pada tingkat nasional, peserta pemilu legislatif 2009 berjumlah 38 partai politik. Dari jumlah tersebut, secara kategoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi di DPR pada pemilu sebelumnya yaitu pemilu legislatif tahun 2004. Pada kategori ini, terdapat 7 (tujuh) partai yang lolos electoral threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD, dan PKS. b) Partai-partai baru berdiri dan lolos berdasarkan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu. Masuk dalam kategori ini 27 partai politik. c) Kelompok partai politik yang pada pemilu 2004 mendapat kursi di DPR tetapi perolehan kursinya tidak mencapai electoral threshold 2%. Terdapat 10 partai politik yang masuk dalam kategori ini. d) Kelompok partai politik dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold dan tidak mendapat kursi di DPR. Terdapat 4 partai politik dalam kategori ini, yaitu Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Serikat Indonesia, dan Partai buruh. Kelompok partai politik dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold dan tidak mendapat kursi di DPR dapat menjadi peserta pemilu 2009 karena gugatan mereka atas ketidakadilan dari pasal 316 huruf d dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas putusan MK tersebut, KPU tanpa melakukan verifikasi keabsahan syarat-syarat ikut serta dalam pemilu 2009 mengesahkan mereka menjadi peserta pemilu 2009. Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 137) terkait dengan syarat pencalonan, dalam pemilu legislatif tahun 2009 terdapat beberapa perubahan dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD dibandingkan pemilu sebelumnya, dan selebihnya adalah sama. Perbedaan tersebut yaitu :
39
a) Tidak adanya larangan dari mereka yang diindikasikan terlibat PKI untuk mencalonkan diri. b) Adanya ketentuan untuk mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota TentaraNasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan tidak dapat ditarik kembali. c) Adanya ketentuan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan. d) Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-pejabat lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang bersumber dari keuangan negara. 2) Peserta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Peserta DPD dapat berasal dari calon independen ataupun individu yang berasal atau aktif dari partai politik. Selain itu, untuk menjadi calon anggota DPD tidak menyertakan syarat domisili calon. Terkait dengan syarat dukungan calon seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 13, seseorang calon harus mendapatkan dukungan pemilih sebagai berikut : a) Provinsi berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta), minimal didukung 1.000 (seribu) pemilih; b) Provinsi berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) - 5.000.000 (lima juta), minimal didukung 2.000 (dua ribu) pemilih; c) Provinsi berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) - 10.000.000 (sepuluh juta), minimal didukung 3.000 (tiga ribu) pemilih; d) Provinsi berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) - 15.000.000 (lima belas juta), minimal didukung 4.000 (empat ribu) pemilih; atau e) Provinsi berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) minimal didukung 5.000 (lima ribu) pemilih. Dukungan pemilih tersebut harus tersebar di 50% kabupaten/kota dari provinsi tempat seorang mencalonkan diri. Sementara itu, bagi anggota (incumbent) dapat langsung menjadi calon anggota DPD tanpa harus mendapat
40
persyaratan dukungan minimal. Incumbent cukup memenuhi persyaratan administrasi/kualifikasi.
b. Sistem Pemilu Pemilihan Umum Legislatif 2009 1) Sistem Pemilu DPR dan DPRD Secara prinsip, sistem pemilu yang dipakai masih melanjutkan sistem pemilu sebelumnya, yaitu sistem proporsional, meskipun dengan melakukan beberapa modifikasi. Konsep representasi atau daerah pemilih yang dipakai adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi yang diperebutkan disetiap daerah pemilihan (district magnitude) berkisar antara 3 (tiga) sampai dengan 10 (sepuluh) kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan berkisar antara 3 sampai dengan 12 kursi. Dalam kandidasi anggota DPR, setiap partai poltik dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan. Pada setiap tiga nama calon, partai harus menyertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) calon perempuan (kuota 30% dalam pencalonan). Cara menempatkan calon perempuan bisa disetiap kelipatan tiga ataupun dua. Dalam format kertas suara, dicantumkan nama dan tanda gambar partai serta daftar calon nggota DPR dari setiap partai berdasarkan nomor urut. Cara penyuaraan (balloting) yang dipakai adalah dengan menandai salah satu diantara gambar partai, nomor urut calon, atau nama calon. Suara tidak sah apabila memberi tanda lebih dari satu kali pada kertas suara. Pada pemilu kali ini memakai 2 (dua) threshold. Pertama, electoral threshold, yaitu syarat partai untuk dapat ikut serta dalam pemilu sebelumnya, sebesar 3% suara. Kedua, Parliementary threshold, yaitu syarat partai untuk dapat diikutsertakan dalam penghitungan kursi DPR, yaitu sebesar 2,5%. Partai-partai yang perolehan suaranya tidak mencapai 2,5% tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR. Parliementary threshold ini dijadikan dasar untuk menentukan partaipartai yang tidak diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi partai.
41
Penghitungan perolehan kursi partai untuk DPRD tidak berbeda dengan pemilu tahun 2004. Sementara itu, pada penentuan perolehan kursi DPR terdapat modifikasi, yaitu menggunakan sistem sisa suara terbesar (largest remainder) varian Hare dengan bersyarat. Penentuan perolehan kursi partai dilakukan setelah dilakukan pengurangan suara dari partai-partai yang memenuhi parliamentary threshold, dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapatkan suara lebih dari 50% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Apabila masih terdapat sisa kursi disebuah daerah pemilihan tetapi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50% BPP maka suara partai diakumulasikan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan pembagi pemilih baru untuk menetapkan kursi. Adapun penentuan calon jadi disebuah partai politik yang memperoleh kursi parlemen adalah didasarkan pada sistem suara terbanyak. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak tanpa melihat nomor urut dalam daftar pencalonan ditetapkan menjadi calon jadi. Penggunaan sistem suara terbanyak ini didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-IV/2008 yang membatalkan ketentuan Pasal 214 Huruf a sampai e Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang dipandang bertentangan dengan prinsip konstitusi tentang kedaulatan rakyat.
2) Sistem Pemilu DPD Pada pemilu 2009 sama dengan sistem yang dipakai dalam pemilu 2004, yaitu sistem distrik berwakil banyak (single Non-transfverebel Vote/SNTV). Setiap privinsi diwakili oleh 4 (empat) orang anggota DPD. Pemilih memilih satu kandidat, dan pemenangnya adalah yang memperoleh suara terbanyak. Empat orang calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pemenang. B. Kerangka Berfikir Kehidupan masyarakat yang demokratis, modern, dan kompleks memunculkan banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas apabila
42
tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Salah satu sarana dan alat untuk menyatukan gagasan dan cita-cita bersama tersebut adalah melalui partai politik (parpol). Partai politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggungjawab. Seperti halnya dengan PKS, merupakan partai da’wah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Partai Keadilan Sejahtera juga mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Selain mempunyai visi khusus tersebut, PKS sebagai partai politik mempunyai beberapa fungsi yang salah satunya yaitu sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat. Pendidikan politik sangat penting sekali dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik anggota maupun masyarakat. Dalam upaya mewujudkan visinya dan fungsinya tersebut yaitu sebagai sarana pendidikan politik, PKS sebagai partai politik turut ambil bagian dalam menghadapi permasalahan berhubungan dengan menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu yaitu meningkatnya jumlah golongan putih (golput). Golongan putih adalah Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes, Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan mencontreng bagian putih dari kartu suara. Berdasarkan konsep golput tersebut dapat disimpulkan bahwa golput yaitu tidak digunakannya hak pilihnya dengan benar. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya jumlah golput pada dasarnya di Indonesia disebabkan karena yaitu : Pertama, faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi; Kedua, tidak mempunyai motivasi atau niat; Ketiga, rendahnya kepercayaan dan kecewa terhadap partai politik maupun anggota legislatif; Keempat, sistem pemilu yang rumit. Sebagai upaya mengurangi jumlah golput, PKS sebagai partai politik dalam mewujudkan visi khususnya yaitu sebagai partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat
43
Indonesia yang madani, pendidikan politik sangat diperlukan dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik anggota maupun masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam upaya mengnyikapi golput dapat dilakukan metode sosialisasi politik yang pada dasarnya berhubungan dengan proses pendidikan politik untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, serta membentuk kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu tersebut menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif dapat dilakukan dengan metode pengajaran langsung dan metode pengajaran tidak langsung. Pendidikan politik yang diberikan kepada individu maupun masyarakat tidak selalu bermuatan tentang politik saja, akan tetapi dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan maupun kemahasiswaan. Sebagai gambaran pemikiran untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta Meningkatnya Golput
Faktor Penyebab Golput
Pendidikan Politik Tidak Langsung
Pendidikan Politik Langsung
Kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu Legislatif
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Suatu penelitian memerlukan tempat penelitian yang dijadikan objek untuk memperoleh data penelitian. Didalam melaksanakan penelitian ini peneliti memilih lokasi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Surakarta dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta yang berlokasi di Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta. Adapun alasan peneliti memilih tempat penelitian ini karena : 1. Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Sondakan, Kecamatan Laweyan berlokasi di tempat tinggal peneliti sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan penelitian tentang penyebab pemilih di TPS XII melakukan golput dalam pemilihan umum legislatif 2009. 2. Partai Keadilan Sejahtera merupakan salah satu partai politik yang dalam setiap pemilihan umum legislatif mengalami peningkatan perolehan jumlah suaranya di Kota Surakarta dan dapat dikatakan sebagai salah satu partai politik di Kota Surakarta yang kader-kader PKS aktif melakukan rekruitmen anggota dan berbagai aktifitas simpatik kemasyarakatan.
2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan untuk mengadakan penelitian ini selama tujuh bulan, yaitu mulai bulan Juni 2009 sampai dengan bulan April 2010. Kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
45
Tabel 4. Rencana Waktu Penelitian No
Kegiatan
Bulan Jun Jul
1.
Pra penelitian
2.
Pengajuan judul
3.
Membuat
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
proposal 4.
Pengurusan ijin
5.
Pengumpulan data
6.
Analisa data
7.
Menulis laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif, karena dalam mengkaji masalah, peneliti tidak membuktikan atau menolak hipotesis yang dibuat sebelum penelitian tetapi mengolah data dan menganalisis suatu masalah secara non numerik. Suharsimi Arikunto (2002 : 10-11) mengatakan diantara banyak model yang ada dalam penelitian kualitatif, yang dikenal di Indonesia adalah penelitian naturalistic atau kualitatif naturalistik. Istilah “naturalistik menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami”. Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 4) yang mengutip pendapatnya Bogdan dan Taylor tentang Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut : “Metodologi kualitatif adalah prosedur yang dihasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
46
Sesuai perumusan permasalahan yang dirumuskan peneliti, maka jenis penelitian yang sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai penyebab golongan putih dan pendidikan politik DPD PKS Kota Surakarta untuk menyikapi golongan putih dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009.
2. Strategi Penelitian Dalam setiap penelitian agar tujuan yang telah direncanakan dapat dicapai dan untuk mengkaji permasalahan penelitian secara mendetail dan lengkap maka diperlukan strategi penelitian yang tepat. Strategi yang dipilih oleh peneliti digunakan sebagai dasar untuk mengamati, mengumpulkan data dan untuk menyajikan analisis hasil penelitian. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002 : 42) menjelaskan sebagai berikut : “bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan studinya”. Dalam penelitian ini, peneliti sudah menetukan terlebih dahulu fokus pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap. Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek penelitian adalah tunggal yaitu Pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan yang melakukan golput; Pengurus dan kader DPD PKS Kota Surakarta. Terpancang sendiri mempunyai arti yaitu untuk mengetahui faktor penyebab golput dan pendidikan politik DPD PKS Kota Surakarta untuk menyikapi golongan putih pada pemilihan umum legislatif tahun 2009.
47
C. Sumber Data Menurut H.B. Sutopo (2002 : 50) menyatakan bahwa “sumber data dalam penelitian kualitatif terdiri dari berbagai jenis, bisa berupa orang, peristiwa dan tempat atau lokasi, benda, serta dokumen atau arsip”. Sumber-sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa informan, tempat dan peristiwa, serta dokumen atau arsip.
1. Informan Informan adalah orang yang dianggap dapat memberikan informasi atau keterangan-keterangan sesuai dengan masalah yang diteliti. Di dalam penelitian kualitatif, informan ini disebut responden. Menurut HB. Sutopo (2002 : 50) “Dalam penelitian kualitatif, posisi narasumber sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi”. Oleh karena itu di dalam memilih siapa yang akan menjadi informan, peneliti wajib memahami posisi dengan beragam peran serta yang ada sehingga dapat diperoleh informasi, pernyataan maupun kata-kata yang diperoleh dari informan yang disebut data primer atau sering disebut sebagai informan kunci (key informan). Adapun informan dalam penelitian ini antara lain : a. Bapak Dardji selaku Kepala Kelurahan Sondakan. b. Bapak Soemardjo Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Sondakan. c. Yophi Irawan, Yekti Sulastri, Dwi Lismawan selaku anggota KPPS TPS XII. d. Rizky Rachmawati, Deky Lesmana, Rachmad Andi Sulistyo, Yanuar Joko Listyanto, Ninik Resmi Nur Akhdiyati, dan Slamet, Zaini Anggoro Putro, Harman Suryono, Salimi, dan Heri Tamtomo selaku masyarakat yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum legislatif 2009. e. Sugeng Riyanto, S.S selaku Ketua DPD PKS Kota Surakarta. f. Ikhlas Thamrin, S.H selaku Ketua Bidang Politik DPD PKS Kota Surakarta.
48
g. Ahmad Faizal, Choirul selaku Kader DPD PKS Kota Surakarta.
2. Lokasi Penelitian H.B. Sutopo (2002 : 52) menyatakan “ Tempat atau lokasi penelitian yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan oleh peneliti”. Hal-hal yang dapat dijadikan sumber data sekaligus objek pengamatan dari lokasi penelitian ini meliputi gambaran keadaan tempat atau ruang., benda atau peralatan, para pelaku, kegiatan atau aktivitas yang berlangsung. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan permasalahan yang diteliti, lokasi penelitian dalam hal ini yaitu : Premulung RT 01 RW IX, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan Surakarta yang menjadi TPS XII dan Kantor DPD PKS Kota Surakarta Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta.
3. Dokumen Menurut HB. Sutopo (2002 : 54) mengemukakan bahwa “Dokumen adalah bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu, sedangkan arsip merupakan catatan rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana dalam organisasi”. Dalam penelitian ini, dokumen dan arsip yang digunakan antara lain : a. Berita Acara Pemungutan Suara Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan
Suara
Dalam
Pemilihan
Umum
Anggota
DPRD
Kabupaten/Kota Tahun 2009. (Lampiran 5) b. Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009. (Lampiran 6). c. Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta Revisi Hasil Penghitungan Suara Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah. (Lampiran 7). d. Laporan Monografis Dinamis Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan Triwulan : I/Bulan : Februari/Tahun : 2010. (Lampiran 8).
49
e. AD/ART Partai Keadilan Sejahtera. (Lampiran 9). f. Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera.
D. Teknik Sampling H.B. Sutopo (2002 : 54) menyatakan “Teknik cuplikan merupakan suatu bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi”. Peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Menurut Goetz dan Le Compte dalam H.B. Sutopo (2002 : 185) bahwa “Purposive Sampling yaitu teknik mendapatkan sampel dengan memilih individuindividu yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data”. Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Dimana peneliti hanya memilih informan yang danggap mengetahui informasi dan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sempel yaitu : Kepala Kelurahan Sondakan, Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Sondakan, Ketua dan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS XII Kelurahan Sondakan, beberapa masyarakat yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum legislatif 2009, Ketua DPD PKS Kota Surakarta, Pengurus DPD PKS Kota Surakarta, dan Kader DPD PKS Kota Surakarta.
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :
50
1. Observasi Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut pendapat H.B. Sutopo (2002 : 64) bahwa “teknik observasi digunakan untuk menggali data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekanan gambar”. Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejalagejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada tempat terjadinya peristiwa. Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejalagejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada tempat terjadinya peristiwa yaitu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII.
2. Wawancara Teknik wawancara merupakan cara penyelenggaraan pemeriksaan dengan seksama. Dengan meninjau setiap aktivitas secara bergilir serta komunikasi langsung dengan mengajukan suatu rangkaian pertanyaan yang sistematis. Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 186) mengemukakan bahwa “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan”. Menurut H. B. Sutopo (2002 : 59) mengatakan bahwa wawancara dalam penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan secara tidak terstruktur atau sering disebut sebagai teknik wawancara mendalam. Dengan demikian wawancara yang dilakukan mengarah pada kedalaman informasi. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam, karena dengan wawancara mendalam peneliti memperoleh data dari para informan, dengan maksud dapat mengungkap permasalahan yang diteliti melalui pertanyaan maupun sikap. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada
51
kedalaman informasi untuk menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih mendalam. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu agar pokok-poko yang telah direncanakan dapat tercakup seluruhnya dan hasil wawancara dapat mencapai sasaran. Daftar pertanyaan yang peneliti ajukan dalam penelitian ini telah peneliti susun secara sistematis, menggunakan bahasa yang jelas dan sederhana agar sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan metode tanya jawab dan diskusi. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai pokok permasalahan sesuai dengan pedoman wawancara tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pertanyaan yang diajukan lebih luas (untuk pedaoman wawancara dapat dilihat dilampiran 1, sedangkan hasil petikan wawancara dapat dilihat pada lampiran 2). Adapun informan yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagai berikut : a. Bapak Dardji selaku Kepala Kelurahan Sondakan. b. Bapak Soemardjo Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Sondakan c. Yophi Irawan, Yekti Sulastri, Dwi Lismawan selaku anggota KPPS TPS XII. d. Rizky Rachmawati, Deky Lesmana, Rachmad Andi Sulistyo, Yanuar Joko Listyanto, Ninik Resmi Nur Akhdiyati, dan Slamet, Zaini Anggoro Putro, Harman Suryono, Salimi, dan Heri Tamtomo selaku masyarakat yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum legislatif 2009. e. Sugeng Riyanto, S.S selaku Ketua DPD PKS Kota Surakarta. f. Ikhlas Thamrin, S.H selaku Ketua Bidang Politik DPD PKS Kota Surakarta. g. Ahmad Faizal, Choirul selaku Kader DPD PKS Kota Surakarta.
3. Analisi Dokumen Merupakan teknik penelitian yang dilakukan dengan cara mencatat dan mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang isinya
52
berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian. H.B. Sutopo (2002 : 54) mengemukakan bahwa “Dokumen adalah bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu, sedangkan arsip merupakan catatan rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana dalam organisasi”. Dokumen yang dianalisis dalam penelitian yang dilakukan peneliti yaitu : Berita Acara Pemungutan Suara Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta Revisi Hasil Penghitungan Suara Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah, Laporan Monografis Dinamis Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan Triwulan : I/Bulan : Februari/Tahun : 2010, AD/ART Partai Keadilan Sejahtera, dan Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera.
c. Validitas Data Validitas data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data dalam suatu penelitian, mulai dari penjabaran konsep sampai pada data siap dianalisa. Validitas data dapat di uji dengan menggunakan trianggulasi. Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 330) mengemukakan bahwa “Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu dan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”. Kemudian menurut Patton dalam HB. Sutopo (2002 : 78) menyatakan ada empat macam trianggulasi yaitu : 1. Trianggulasi Data (data Triangulation), dimana peneliti menggunakan beberapa sumber dengan data yang sama. 2. Trianggulasi Peneliti (Investigator Triangulation), yaitu pengumpulan data yang sama dan dilakukan oleh beberapa orang peneliti. 3. Trianggulasi Metodologi (Methodological Triangulation), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data yang sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda. 4. Trianggulasi Teoritis (Theoretical Triangualtion), yaitu menggunakan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda.
53
Adapun trianggulasi yang peneliti terapkan dalam penelitian ini adalah triangulasi data. Sebab cara ini mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data harus menggunakan beragam data yang tersedia, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari informan yang berbeda baik dari yang terlibat langsung dengan golput maupun yang tidak terlibat secara langsung. Data hasil trianggulasi data I dan trianggulasi data II dapat dilihat pada lampiran 3 dan lampiran 4.
d. Analisis Data Metode analisis yang peneliti gunakan pada penelitian ini adalah model analisi interaktif mengalir, yaitu model analisi yang menyatu dengan proses pengumpulan data dalam suatu siklus. Secara garis besar analisi interaktif mengalir terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk lebih jelasnya dapat peneliti uraikan mengenai tiga alur kegiatan dalam analisis interaktif mengalir yakni sebagai berikut : 1. Pengumpulan Data Pengumpulan
data
merupakan
kegiatan
yang
digunakan
untuk
memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang dikumpulkan masih berupa data mentah, sehingga harus di analisis agar menjadi data yang lebih teratur. 2. Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
suatu
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi dari fieldnote (data mentah). Menurut H.B. Sutopo (2002 : 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-halyang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan peneliti dapat dilakukan”.
54
3. Sajian Data Sajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan table. Semuanya dirakit secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi. 4. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Ketiga macam kegiatan analisis yang menyatu dengan pengumpulan data si muka saling berhubungan atau terkait dan berlangsung terus menerus selama penelitian dilakukan. Secara skematis, model analisis interaktif mengalir dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan/ Verifikasi
Gambar 2. Skema Model Analisi Interaktif (Huberman & Miles, 1992 : 20)
e. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan beberapa langkah atau melalui beberapa prosedur yaitu :
55
1. Persiapan Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merencanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian, yakni mengurus perijinan penelitian, menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian 2. Pengumpulan Data Kegiatan yang dilakukan setelah persiapan penelitian selesai adalah mengumpulkan data di lapangan dengan observasi, wawancara mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen. Setelah data terkumpul tahap selanjutnya melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul. Tahap yang terakhir yaitu memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan. 3. Analisis Data Kegiatan yang dilakukan setelah pengumpulan data adalah menentukan teknik analisa data yang tepat. Selanjutnya mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian dicocokkan dengan temuan lapangan. Setelah mendapatkan data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses verivikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan kepada orang yang lebih ahli. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan peneliti. 4. Penulisan Laporan Tahap penulisan laporan dilakukan dengan menyusun laporan awal dari hasil analisis data yang diperoleh di lapangan. Selanjutnya dilakukan review laporan dengan dilakukan pengecekan ulang laporan yang telah tersusun agar lebih valid. Tahap selanjutnya yaitu penyusunan laporan akhir.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Deskripsi Kelurahan Sondakan Lokasi Kelurahan Sondakan terletak di Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Kelurahan Sondakan terbagi menjadi 15 (lima belas) Rukun Warga (RW) yang keseluruhannya mencangkup 5 lingkungan (kampung) yaitu Tegalrejo, Sondakan, Premulung, Mutihan, dan Jantirejo. Berdasarkan data monografi Kelurahan Sondakan tahun 2010 triwulan ke I, bulan Februari 2010, letak geografisnya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Batas Wilayah a. Sebelah Utara
: : Kelurahan Kerten dan Kelurahan Pajang
b. Sebelah Selatan : Kelurahan Laweyan dan Kelurahan Pajang c. Sebelah Barat
: Kelurahan Pajang
d. Sebelah Timur : Kelurahan Purwosari dan Kelurahan Bumi 2. Keadaan Penduduk : a. Jumlah Penduduk
: 11.918 jiwa
b. Jumlah Kepala Keluarga : 2.772 Selanjutnya jumlah penduduk Kelurahan Sondakan menurut umur, tingkat pendidikan dan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Kelamin
57
No. 1.
Kel. Umur 0–4
Jumlah 493
% 4,1
2.
5–9
840
7,0
3.
10 – 14
867
7,3
4.
15 – 19
989
8,3
5.
20 – 24
1.025
8,6
6.
25 – 29
1.187
10
7.
30 – 39
2.101
17,6
8.
40 - 49
1.821
15,3
9.
50 – 59
1.347
11,3
10.
60 >
1.248
10,5
11.918
100
Jumlah
Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010 Komposisi tabel diatas dapat diketahui berarti besarnya penduduk di Kelurahan Sondakan yang memiliki usia produktif sebagai pemilih dalam pemilu atau sudah memenuhi sayarat sebagai pemilih dalam pemilu sesuai dengan ketentuan sebagai pemilih Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu dari usia 17 tahun atau sudah kawin kurang lebih sebanyak 59,8 %. Dari banyaknya jumlah penduduk yang mempunyai usia produktif tersebut, dapat diketahui jumlah penduduk menurut mata pencaharian sebagai berikut :
Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Bagi Umur 10 tahun keatas) No
Mata Pencaharia
Jumlah
%
58
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Petani sendiri Buruh tani Nelayan Pengusaha Buruh industri 2.887 Buruh bangunan 3.185 Pedagang 969 Pengangkutan 808 Peg. Negeri (Sipil/ABRI) 594 Pensiunan 280 Lain-lain 1.839 Jumlah 10.562 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
27,3 30,2 9,2 7,7 5,6 2,7 17,4 100
Berdasarkan data tabel di atas, dapat diketahui mayoritas penduduk di Kelurahan Sondakan bermata pencaharian sebagai buruh bangunan dan buruh industri. Selain itu dapat diketahui penduduk di Kelurahan Sondakan yag bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengangkutan lebih besar dari pada jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai PNS (Sipil/ABRI) dan Pensiunan. Sehingga berdasarkan dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan Sondakan berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan jumlah penduduk Kelurahan Sondakan berdasarkan tingkat pendidikannya dapat di lihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pendidikan Jumlah Tamat Akdm/Perg. Tinggi 1.611 Tamat SLTA 3.763 Tamat SLTP 1.835 Tamat SD 1.563 Tidak Tamat SD 541 Belum Tamat SD 918 Tidak Tamat Sekolah 816 Jumlah 11.047 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
% 14,6 34,1 16,6 14,1 4,9 8,3 7,4 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan Sondakan memiliki tingkat pendidikan tamat SLTA dan tamat SLTP. Sedangkan
penduduk
yang
memiliki
tingkat
pendidikan
tamat
59
Akademi/Perguruan Tinggi menempati urutan yang ketiga. Selain itu juga dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di Kelurahan Sondakan yang mempunyai pendidikan tergolong masih rendah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan yang menengah keatas. Sedangkan
berdasarkan
jumlah
penduduk
Kelurahan
Sondakan
berdasarkan agama yang dianut mayoritas penduduk di Kelurahan Sondakan adalah beragama Islam yatu sebanyak 88,6%.. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Agama yang Dianut No. Agama Jumlah 1. Islam 10.562 2. Kristen Katholik 863 3. Kristen Protestan 437 4. Budha 40 5. Hindu 16 Jumlah 11.918 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
% 88,6 7,2 3,7 0,3 0,1 100
2. Tempat Pemungutan Suara XII Sondakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII dalam pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 berlokasi di Premulung RT 01 RW IX, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang di peroleh dari KPU Kota Surakarta terdapat 337 pemilih yang mempunyai hak pilih sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 9. Data Pemilih Pemilu Legislatif 2009 di TPS XII Sondakan, Laweyan, Kota Surakarta. No. Uraian 1. Jumlah pemilih terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap 2. Jumlah Pemilih Terdaftar Dalam Pemilih Tambahan 3. Jumlah Seluruh Pemilih Terdaftar
Laki-laki 166
Perempuan 169
Jumlah 335
1
1
2
167
170
337
60
dalam Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan Sumber : KPU Kota Surakarta Berdasarkan dari tabel di atas, dapat diketahui terdapat 335 jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dan terdapat 2 jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan, sehingga jumlah keseluruhan pemilih di TPS XII yaitu 337 pemilih. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 40 yang mengatur tentang Daftar Pemilih Tambahan. Pada saat hari pelaksanaan pemungutan suara tanggal 9 April 2009 di TPS XII terdapat sejumlah 122 jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan sebanyak 14 jumlah suara yang tidak sah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 10. Data Penggunaan Hak Pilih Pemilu Legislatif 2009 di TPS XII Sondakan, Laweyan, Surakarta. No.
Uraian
Jumlah
1.
Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih
215
2.
Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih
122
3.
Jumlah
337
Sumber : KPU Kota Surakarta Berdasar pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 337 pemilih di TPS XII yang mempunyai hak pilih sebanyak 215 atau 63,8% pemilih menggunakan hak pilihnya, sebanyak 122 atau 36,2% pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. Sedangkan data suara sah/tidak sah pemilu legislatif 2009 di TPS XII lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 11. Data Suara Sah/Tidak Sah DPRD Kabupaten/Kota No. 1.
Uraian Jumlah Suara Sah
Jumlah 201
61
2.
Jumlah Suara Tidak Sah
14
3
Jumlah
215
Sumber : KPU Kota Surakarta Berdasarkan data di atas dapat diketahui dari sejumlah 215 pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam pemiliu legislatif 2009 di TPS XII Sondakan terdapat 201 atau 93,5% jumlah suara yang sah dan 14 atau 6,5% jumlah suara yang tidak sah. Sehingga berdasarkan data tersebut dapat diketahui banyaknya pemilih yang golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar pada pemilu legislatif 2009 di TPS XII Sondakan sebanyak 136 pemilih.
3. Latar Belakang Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera a. Sejarah Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru yang sangat fenomenal adalah penetapan ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal kehidupan sosial politik masyarakat. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.3 dan 8 tahun 1985. Kebijakan ini bergulir dalam rangka menghilangkan perbedaan ideologi dari berbagai kelompok masyarakat, sehingga kondisi stabilitas nasional bisa tetap terlestarikan. Adanya aneka ragam ideologi yang dianut setiap kelompok masyarakat, dipandang sebagai bibit perpecahan
yang akan
mengganggu stabilitas nasional. Selain itu adanya perbedaan ideologi dikalangan masyarakat akan mengancam kestabilan jalannya roda pemerintahan.Hal ini disebabkan karena dengan adanya perbedaan ideologi antara negara dengan suatu kelompok masyarakat akan mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat tersebut kepada negara, dan ini akan menghambat jalannya pemerintahan. Dalam rangka stabilitas nasional ini pula sebelum digulirkannya UU tersebut, pemerintah Orde Baru telah melakukan penyederhanaan partai. Langkah ini kemudian diikuti dengan upaya penyeragaman asas partai politik dalam satu asas tunggal Pancasila. Pemberlakuan asas tunggal ini pula tidak hanya dikenakan pada kehidupan politik, namun lebih luas diberlakukan terhadap seluruh kehidupan organisasi. Organisasiorganisasi yang berdiri dan tidak menggunakan asas tunggal Pancasila dianggap subvertif, membahayakan negara, sehingga harus “ditumpas” eksistensinya.
62
Dengan kata lain, pemerintah orde baru tidak memberikan celah terhadap adanya perbedaan yang sifatnya fundamental. Kebijakan pemberlakuan asas tunggal cukup mengganggu eksistensi organisasi-organisasi pada saat itu, terkhusus di dalamnya organisasi-organisasi massa Islam. Sudah sejak lama kekuatan Islam dipandang serius oleh pemerintah. Kekuatan Islam sejak lama merupakan sebuah kekuatan yang sangat potensial untuk membuat gerakan yang biasanya akan selalu berlawanan dengan arah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Lebih jauh ternyata
kekuatan
tersebut
mengarah
kepada
gerakan
perlawanan
dan
pemberontakan. Hal ini muncul karena adanya sebuah keinginan yang sangat fundamental, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Pemerintah Orde Baru memandang bahwa ideologi yang berbasis keagamaan pada suatu organisasi akan sangat mudah memunculkan semangat perlawanan terhadap pemerintah. Pemerintah memandang tepat untuk adanya penyatuan yang sifatnya fundamental berupa penyeragaman ideologi. Pada kondisi dimana setiap organisasi menerapkan asas Pancasila, maka semangat perlawanan kepada pemerintah yang tumbuh dari nilai-nilai ajaran agama mampu diredam. Setelah itu, maka langkah selanjutnya adalah mengarahkan pandangan dan kehendak masyarakat sesuai dengan kepentingan dan kehendak pemerintah. Dalam mengarahkan kehendak dan pandangan masyarakat tersebut, pemerintah Orde Baru menerapkan gagasan sekulerisasi dalam kehidupan negara. Pemerintah memandang bahwa masalah agama adalah urusan individual dan tidak ada relevansinya dengan urusan politik kenegaraan. Agama hanyalah sebagai modal dasar dalam menetukan arah perubahan sosial, namun tidak memiliki hubungan struktural dengan institusi kenegaraan. Pandangan seperti itu cukup efektif dalam mendoktri
masyarakat
dalam
melakukan
setiap
aktivitasnya
untuk
mengesampingkan ajaran agama dalam setiap hubungan sosialnya. Beragam respon yang dilontarkan umat Islam terhadap kebijakan penyeragaman ideologi itu. Respon tersebut di antaranya berbentuk penerimaan, sikap apatis, dan sikap penolakan. Salah satu bentuk penolakan yang dilakukan oleh Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Dua organisasi kaum pemuda Islam ini menolak dengan tegas tanpa kompromi
63
pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Kedua organisasi inilah yang kemudian mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kemunculan gerakan-gerakan kampus. Sikap penolakan tanpa kompromi terhadap pemberlakuan asas tunggal itu membuahkan tindakan keras dari pemerintah Orde Baru saat itu, yaitu pembubaran organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan dianggap terlarang melalui SK Mendagri No. 120 tahun 1987. Pembubaran secara formal PII tidak menjadikan mereka berhenti dari perjuangnnya. Mereka melakukan gerakan-gerakan “bawah tanah” dalam membina kaum muda Islam. Dalam situasi yang cukup menegangkan dan statusnya yang illegal, maka pembinaan-pembinaanyang dilakukan pula sangat sarat dengan muatan-muatan ideologis. Dari pembinaan-pembinaan yang dilakukan itu menghasilkan kader-kader pemuda yang militan yang mempunyai semangat dan pengorbanan yang besar dalam menentang kebijakan pemerintah yang sangat kontroversial tersebut. Kebijakan NKK/BKK yang digulirkan pada awal tahun 1980-an semakin mempersempit ruang gerak dari gerakan mahasiswa. Semua aktivitas kampus yang berbau politis harus disingkirkan dan tidak boleh hidup di tengah-tengah kehidupan kampus. Aktivitas politis menjadi suatu wilayah “terlarang” bagi para aktivis dakwah kampus. Aktivitas dakwah kampus pada saat itu lebih berorientasi pada pemurnian ajaran dan pemikiran Islam, dari pada gerakan yang berorientasi politik. Gerakan-gerakan yang mereka jalankan harus berada pada koridor gerakan moral, tanpa ada misi-misi politik di dalamnya. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru sangat concern pada upaya-upaya pengidentifikasian gerakan-gerakan
mahasiswa
yang
dipandang
menyimpang
dari
konsep
NKK/BKK. Dalam kondisi yang penuh kekangan tersebut, bermunculan kelompok-kelompok studi Islam, yang secara tidak langsung membawa pencerahan baru bagi aktivitas dakwah kampus. Forum-forum studi yang terbentuk berpengaruh pada perkembangan ke-Islaman dalam berbagai bidang kehidupan dan implementasi nilai-nilai serta ajaran Islam dalam kehidupan seharihari.
64
Sebelum menjadi sebuah partai, para aktivis PK adalah orang-orang yang lebih bergelut di seputar kegiatan dakwah. Mereka bergerak di kampus-kampus dan sangat terbatas disejumlah sekolah. Sesuai dengan kondisi Orde Baru yang sangat reprensif dan “anti-Islam”, gerakan mereka bersifat bawah tanah. Pada dekade 1980-an, kita mengenal mereka sebagai gerakan usroh. Namun, pada 1990-an dan hingga kini, mereka lebih menyukai disebut sebagai gerakan tarbiyah (pendidikan). Kegiatan mereka relatif tertutup dan dalam kelompok-kelompok kecil. Lingkup kegiatannya terbatas pada pengajian dan sesekali tadabur alam. Mereka sangat menghindari untuk bersentuhan dengan kegiatan politik maupun sosial. Pokok bahasannya lebih pada masalah tauhid. Namun, mereka sangat disiplin dalam hal ritual ibadah dan bentuk-bentuk keshalihan sosial. Organisasi mereka sangat sederhana namun dengan disiplin dan hierarki yang ketat. Situasi ini sangat berbeda dengan organisasi dakwah lain yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai atau berafiliasi dengan partai seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Walaupun mereka lahir dan tumbuh pada masa kolonial, namun mereka organisasi permukaan tanah. Aktivitasnya terbuka dan tokohnya pun dikenal sehingga publik cukup kenal mereka saat, mereka kemudian bersama-sama mendirikan partai Masyumi atau ketika mereka kemudian mendirikan/
merestui
PKB
maupun
PAN.
Kegiatan
dakwah
gerakan
usroh/tarbiyah relatif mengisolasi diri dari kehidupan politik, sosial, maupun budaya di sekitarnya. Strategi ini paling pas buat mereka. Walau bagaimanapun, mereka menyadari bahwa jika mereka tampil maka yang akan terjadi adalah kegagalan: ditangkap, diintimidasi, dimati-sosialkan, dan akhirnya lebur dalam suasana mayoritas yang diam terhadap represi dan ketidakadilan Orde Baru. Walaupun mereka mengisolasi diri bukan berarti mereka adalah sekumpulan orang-orang yang asing dan berjarak dengan negara-kebangsaan (nation-state) Indonesia. Mereka mengisolasi diri untuk membentuk masyarakat yang solid untuk melawan kediktaktoran. Terbukti, ketika Orde Baru mulai melemah, mereka segera keluar sarang. Aktivis mereka awalnya mengambil tema-tema dunia Islam Internasional seperti
65
soal Palestina maupun Bosnia. Walaupun demo-demo yang mereka gelar diikuti massa yang sangat besar, namun mereka aman dari represi pemerintah saat itu. Hal itu juga sekaligus sebagai ajang pelatihan. Massa mereka merupakan yang paling efektif, berdisiplin, dan damai saat gerakan reformasi Mei 1998. Sampai pada saat digulingkannya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai wujud aksi perlawanan mahasiswa bersama rakyat untuk menyusun kekuatan untuk mengadakan proses perubahan terhadap kondisi yang ada pada saat itu. Lengsernya Soeharto bukan berarti menandai berakhirnya perjuangan mencapai cita-cita dakwah untuk mengubah kondisi bangsa dan negara. Namun ini hanya sebagai pintu gerbang untuk mengawali proses perubahan kehidupan bangsa dalam sekuruh aspek kehidupan. Kondisi negara paska lengsernya Soeharto bukan berarti Indonesia terlepas dari segala hal permasalahan yang ada sebelumnya. Pada saat itu pengelolaan negara baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif masih banyak terpengaruh budaya Orde Baru,
yaitu masih
membudayanya praktek-praktek KKN. Walaupun pada saat itu pintu kebebasan sudah terbuka begitu lebar, namun kontrol masyarakat dalam hal ini terutama para kativis dakwah kampus masih mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap para penyelenggara negara. Berangkat dari kondisi seperti ini, maka munculah pemikiran tentang membangun institusi kuat yang mempunyai daya tawar yang baik terhadap pemerintah. Pada akhirnya, wacana ini cukup menkristal dalam gagasan-gagasan para aktivis dakwah kampus, sehingga sampai pada suatu kesimpulan pada suasana kebebasan yang terbentuk itu, perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mencapai cita-cita dakwah Islam. Institusi sebagai pengontrol negara dan juga sebagai sarana perjuangan dakwah, pada akhirnya berwujud sebagai sebuah partai politik. Masyarakat mulai menyadari ada kekuatan yang besar dan terorganisasi dengan rapi yang selama ini ada di bawah permukaan. Berawal dari gagasangagasan itu, maka secara resmi pada tanggal 20 Juli 1998 (26 Rabi’ul Awwal 1419 H), didirikanlah sebuah partai politik yang diberi nama Partai Keadilan (PK). Adapun pengukuhan dalam bentuk deklarasi oleh Dewan Pendiri Partai dilakukan pada hari Ahad, 9 Agustus 1998 yang bertempat di Masjid Al-Azhar
66
Jakarta. Dewan Pendiri Partai berjumlah 50 orang dengan diwakili oleh Dr.H.M. Hidayat Nur Wahid, MA, dan H. Luthfi Hasan Ishaaq, MA. Deklarasi partai dihadiri oleh sekitar 50 ribu massa pendukung. Dengan dukungan dan jaringan yang cukup besar bagi sebuah partai baru tersebut, maka Partai Keadilan berhasil lolos menjadi salah satu kontestan Pemilu 1999. Perolehan suara yang diraih oleh PK cukup mengejutkan. Sebagai partai baru yang belum mampunyai pengalaman masa lalu dan tidak memiliki tokoh bertaraf nasional, ternyata PK berhasi mejadi tujuh partai besar dalam pemilu 1999 tersebut. Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26 Kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten). Namun demikian, dengan jumlah suara tersebut, Partai Keadilan tidak mampu menembus ketentuan electoral threshold, yaitu batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2% atau sepuluh kursi di DPR. Dengan ketentuan tersebut, sudah bisa dipastikan Partai Keadilan tidak bisa lagi menjadi kontestan pemilu pada tahun 2004. Setelah melalui berbagai pemikiran dan pertimbangan, maka tibalah pada sebuah keputusan, bahwa dalam rangka mempertahankan kiprah partai dalam arena perpolitikan, dalam rangka mempertahankan serta menegakkan dakwah di lingkungan kekuasaan negara, maka perlu dibentuk institusi baru untuk melanjutkan perjuangan dari Partai Keadilan. Institusi baru penerus Partai Keadilan tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai baru ini secara resmi dideklarasikan pada hari Ahad, 20 April 2003 (9Jumadil’Ula 1423 H) di lapangan Monas Jakarta. Pada saat itu pula disampaikan pernyataan resmi dari Presiden Partai Keadilan, bahwa Partai Keadilan secara resmi bergabung dan siap dipimpin oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS percaya bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan professional. Karena itu PKS sangat peduli dengan perbaikan-perbaikan kearah terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera. Kepedulian ini yang menapaki setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari sebuah entitas yang belum dikenal
67
sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia hingga dikenal dan eksis sampai saat ini. Beberapa hal yang terdapat dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS), antara lain : 1) Landasan Filosofis Pendirian Partai Keadilan Sejahtera tidak terlepas dari tujuan untuk mencapai cita-cita perjuangan dakwah. Harakatul Islam (gerakan perbaikan) yang meliputi segala aspek kehidupan bangsa dan negara memerlukan institusi politik yang mempunyai kekuatan untuk ikut andil dalam menentukan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pembentukan partai merupakan pilihan yang lebih tepat dalam rangka eksistensi perjuangan dakwah. Partai politik merupakan sarana untuk menata kekuatan dan strategi perjuangan untuk mencapai cita-cita dakwah. Adanya institusi formal ini akan menjadi wadah konsolidasi kekuatan dan penentuan strategi perjuangan, sehingga aktivitas dakwah menjadi lebih sistematis dan produktif. Banyaknya unsure kekuatan dakwah yang sudah dimiliki akan menghasilkan perubahan kehidupan bangsa yang signifikan, tanpa adanya pengaturan barisan dengan orientasi dan perncanaan yang jelas. Oleh karena itu, partai ini didirikan dalam rangka membangun kesadaran umat terhadap eksistensi dirinya dan menghimpunnya dalam sebuah barisan yang solid, kuat dan teratur. PKS mencoba menawarkan model sebuah partai yang modern yang tetap memegang teguh nilai-nilai Islam. Sebagai partai dakwah, PKS tidak hanya berorientasi untuk turut serta dalam pemilihan umum, namun lebih jauh berorientasi pada perluasan dakwah dalam rangka mengembalikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, partai ini tidak akan bubar hanya karena kalah dalam jumlah perolehan suara dalam pemilu. Pemilihan umum hanyalah sebagai wasilah (sarana), bukan sebagai tujuan dari keberadaan PKS. Tujuan utama yang akan diraih adalah mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang diridhoi Allah SWT. Orientasi dan keberadaan partai yang tidak hanya menuju pemilu dan kursi kekuasaan merupakan suatu hal yang tidak cukup lazim dalam budaya
68
perpolitikan Indonesia. Terlebih lagi bertujuan sebagai sarana kegiatan dakwah, yang nilai dan budaya sudah mereka bangun selama ini dalam kegiatan dakwahnya, belum tentu bisa diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, PKS sulit untuk diidentikkan dengan keberadaan partai-partai lainnya di masa lalu.
2) Karakteristik Ada tujuh karakteristik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sesuai dengan apa yang tertuang dalam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pimpinan pusat. Tujuh karakter tersebut adalah moralis, profesional, patriotik, moderat, demokrat, reformis, dan independen. a) Moralis Sebagai sebuah partai yang memiliki semangat dan berlandaskan pada nilai-nilai ke-Islaman, maka aspek moralitas ditempatkan pada karakter pertama partai. Islam sebagai agama dan pedoman hidup yang lengkap dan sempurna, tentunya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur umatnya dalam masalah kegiatan ritual ibadah. Sebagai pedoman hidup, Islam juga mengatur masalah ekonomi, hukum, politik, kebudayaan, dan pendidikan. Islam merupakan jalan hidup yang total dan tawazun (seimbang), yang tidak hanya mengatur aktivitas yang berorientasi ukhrawi, namun juga mengatur masalah-masalah duniawi. Sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam juga memberikan bimbingan dan menjadi pedoman dalam kehidupan politik. Politik merupakan salah satu bagian terpenting dalam Islam. Dalam melakukan aktivitas politik ini, setiap muslim terikat dan harus mengacu pada etika maupun norma yang telah digariskan. Setiap muslim dilarang untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Prinsip-prinsip kebenaran, kejujuran, dan amanah harus menjadi landasan dalam kiprah seorang muslim dalam kiprah berpolitik. b) Profesional Profesional bercirikan pada penguasaan detail masalah yang akan mengantarkan partai pada kebijakan-kebijakan yang bertanggung jawab atas berbagai masalah yang dihadapi, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan
69
budaya. Pembentukan pribadi dengan memperhatikan intelektualitas, sikap kritis, dan sensivitas mendapatkan perhatian yang lebih dalam aktivitas partai ini. Profesional yang terbentuk tidak bisa terlepas dari karakter moral. Dengan kata lain profesionalitas yang tumbuh dari kondisi yang penuh kebebasan jharus senantiasa dikendalikan oleh rasa tanggung jawab pribadi. Dengan rasa tanggung jawab ini maka segala bentuk penyelewengan, anarki, dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi orang lain dapat dihilangkan dari mulai lingkup organisasi. c) Patriotik Bagi kader PKS hidup berpartai adalah jihad siyasi (jihad dalam politik). Jihad dalam politik merupakan perjuangan menegakkan dakwah Islam melalui arena perpolitikan. Karena itu jihad politik merupakan sebuah kewajiban bagi kader dalam rangka memperjuangkan dakwah Islam melalui medan siyasah (politik). Pemahaman dan keyakinan seperti ini telah terpatri dalam pribadi kader, sehingga mereka siap mengerahkan segenap kemampuan untuk menjayakan partai. Hal ini tidak mengherankan karena jiwa patriotik sesungguhnya merupakan sebuah karakter yang dibangun sejak lama dalam tubuh Partai Keadilan, atau bahkan sebelum berdirinya Partai Keadilan, melalui proses tarbiyah (pembinaan). d) Moderat Sikap moderat merupakan sesuatu sikap yang alamiyah., bahwa alam ini diciptakan dengan segala keseimbangan dan keadilannya. Kehidupan alam semesta tidak hanya mengutamakan satu sisi kehidupan saja, namun secara komprehensif memperhatikan seluruh segi kehidupan. Oleh karena itu, sikap pertengahan merupakan sebuah sikap yang alamiah, dimana pemikiran, pandangan, dan sikap moderasi, berimbang dan pertengahan, serta saling melengkapi bagi manusia dan kehidupan merupakan sikap objektif yang selaras dengan tata alamiah. Sikap semacam ini merupakan refleksi dari pandangan yang menggambarkan jalan tengah yang telah menjadi ciri umat pilihan, umat yang jauh dari sikap berlebih-lebihan dan pengabaian. e) Demokrat Berkaitan dengan karakter ini, Partai Keadilan Sejahtera menerima nilainilai universal dari demokrasi, yang notabene bukan nilai yang berasal dari Islam.
70
Nilai dan semangat demokrasi dalam kondisi bangsa yang ada saat ini lebih memungkinkan masyarakat leluasa dalam menyikapi pendapat, mengekspresikan diri dan menyalurkan potensinya membentuk kekuatan kebersamaan. Nilai demokrasi yang beresensikan pada pembentukan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun perlu diingat bahwa penyelenggaraan negara disini didasarkan pada nilainilai syuro, dimana penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah Negara didasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan sunnah. f) Reformis Partai Keadilan Sejahtera menempatkan dirinya sebagai partai reformis yang berupaya konsisten menjauhkan diri dari sifat-sifat atau karakter-karakter yang menyimpang dan menimbulkan kerusakan. Karakter reformis pada diri PKS berawal dari kualitas pribadi kader yang mampu menampilkan shaksiyah (kepribadian) Islam dalam berbagai segi kehidupan. PKS berprinsip bahwa persoalan politik sama pentingnya dengan pembinaan pribadi para calon politikus. Oleh karena itu aktivitas kaderisasi pada partai ini menjadi aktivitas utama yang terus dilakukan secara intensif. Tidak heran kalau partai ini sering disebut sebagai partai kader. g) Independen Definisi independen atau merdeka yang dimiliki oleh PKS adalah seperti halnya yang dikemukakan oleh seorang panglima perang Islam, Ribi’ bin Amir di hadapan panglima Rustum, “Aku datang diutus untuk membebaskan manusia menuju penghambaan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia-akhirat, dan dari tirani agama-agama menuju keadilan Islam”. Dengan prinsip kemerdekaan ini, maka kemerdekaan, kebebasan, dan keasilan yang dipunyai dan dicita-citakan oleh Partai Keadilan Sejahtera adalah tidak terbataskan oleh perbedaan etnis, ras, suku, status sosial, dan agama.
3) Paradigma Terminologi yang muncul di tengah kehidupan modern untuk menggambarkan aktivitas perubahan sosial terencana adalah pembangunan. Sejak
71
akhir tahun lima puluhan dan akhir tahun enem puluhan, pembangunan disama artikan dengan kemajuan dan modernisasi. Menurut konsep ini, perbaikan lingkungan fisik atau kemajuan material merupakan fokus dari aktivitas pembangunan. Negara sedang berkembang dan negara terbelakang diartikan sebagai negara yang dalam bidang industri, ekonomi, teknologi, kelembagaan dan kebudayaan sedang berusaha untuk maju meniru model negara maju di barat. Implementasi konsep pembangunan semacam itu, akan menihilkan perlindungan terhadap lima aspek utama kebutuhan dasar manuasia (agama, jiwa, akal, harta dan keturunan). Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam atas konsep pembangunan yang akan diterapkan. Urbanisasi dan industrialisasi melahirkan masalah kebodohan, kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan rasa tidak
tenteram.
Beberapa
analisis
mutakhir
atas
dampak
ideologi
developmentalisme Barat memperlihatkan suatu kesimpulan, bahwa pembangunan telah menyeret manusia kepada enam ancaman serius, yaitu: industri yang tidak terkendali; mengeringnya sumber-sumber alam (seperti energi, hutan, pangan dan air); tekanan perkapita yang telah melampaui titik kritis atas tanah dan lingkungan; limbah industri dan rumah tangga yang terus bertambah; perlombaan senjata nukli, kimia dan biologi; pertumbuhan dan persebaran penduduk dunia secara tidak terkendali. Indonesia harus merumuskan ulang paradigma pembangunannya dengan menyaring konsep yang dating dari luar secara kritis dan tepat, dan berani mengungkapkan gagasan-gagasan orisinilnya. Pancasila sebagai dasar negara, secara konsepsional mengandung nilainilai Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), demokrasi (syura), hak asasi manusia (maqasi
syariah),
pluralitas
persatuan
dan
kesatuan,
dalam
semangat
kekeluargaan dan kebersamaan yang harmonis serta untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan idiil kehidupan berasama bangsa Indonesia. Tujuan didirikannya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera Pasal 5, yaitu:
72
1. Terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, dan 2. Terwujudnya masyrakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi Allah subhanahu wa ta’ala, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Prinsip Dasar Sebagai Industri kepartaian yang memiliki agenda politik, ada beberapa prinsip dasar yang menjadi pegangan Partai Keadialan Sejahtera, yaitu sebagai berikut: a)
Keadilan, persamaan dan keseimbangan adalah pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak politik dan sosial setiap manusia yang memiliki kedudukan hukim dan undang-undang yang sama, meski berbeda suku, warna kulit, dan agama, baik laki-laki maupun perempuan.
b) Kesatuan nasional, yaitu memperkokoh struktur Negara sambil tetap menjaga integritas dan persatuan nasional. Memandang pluralitas rakyat dan realitas hokum serta kekayaan alam sebagai kenyataan alamiah yang harus dihormati secara proporsional. c) Kemajuan, adalah membangun kesadaran sejarah, kesadaran tentang realitas dan kesadaran tentang keharusan melakukan perbaikan sebagai perwujudan kewajiban sebagai makhluk moral dalam melaksanakan misi untuk membangun peradaban. d) Khidmatul Ummah demi persatuan, adalah upaya menjadi jembatan berbagai kelompok, organisasi atau partai-partai Islam dalam mewujudkan persatuan umat. e) Kerjasama internasional, yaitu menjalin interaksi dengan bangsa lain dalam rangka menandaskan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, mengakui hak-hak bangsa-bangsa dalam kehidupan bersama yang saling menghormati dan saling bekerja sama untuk meningkatkan kemajuan, pertumbuhan, dan pemekmuran bumi yang dilandasi rasa keadilan.
73
5) Visi dan Misi a) Visi Partai Keadilan Sejahtera PKS mempunyai Visi Umum dan Visi Khusus, yaitu : (1) Visi Umum Sebagai Partai Dakwah Penegak Keadilan dan Kesejahteraan Dalam Bingkai Persatuan Umat dan Bangsa. (2) Visi Khusus Partai berpengaruh, baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yanga madani. Visi ini akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai: 1. Partai da’wah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa diberbagai bidang. 3. Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan system Islam yang rahmatan lil alamin. 4. Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia. b) Misi Partai Keadilan Sejahtera 1) Menyebarluaskan da’wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir taghyir. 2)
Mengembangkan
institusi-institusi
kemasyarakatan
yang
Islami
diberbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi. 3) Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan
ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.
4) Membangun kesadaran politik masyrakat, melakukan pembelaan, pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya. 5) Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam.
74
6) Secara efektif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi. 7) Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhdap negeri-negeri muslim yang tertindas.
6) Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, merupakan dokumen yang merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap berbagai persoalan di Indonesia. Platform Kebijakan Pembangunan PKS ini akan menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai, dan akan menjadi sebuah dakwah Partai Keadilan Sejahtera di semua sektor kehidupan, dapat diberdayakan dan didaya gunakan, bekerja secara terintegrasi, kontinyu, fokus dan terarah sehingga sumber daya partai yang terbatas bisa dikelola secara baik menjadi efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan secara langsung bisa dirasakan oleh para simpatisan, konstituen partai, dan masyarakat. Platform Kebijakan Pembangunan PKS dalam berbagai bidang kehidupan yang strategis dipandang penting untuk dua sasaran, yaitu pertama, sebagai instrument komunikasi kepada massa konstituen sekaligus sebagai alat untuk meresonansikan presepsi tentang kehidupan bersama yang diperjuangkan. Kedua, Sasaran yang bersifat internal ke dalam tubuh PKS sebagai institusi dakwah terhadap negara, pengelolaan negara dan kehidupan bersama dalam wilayah NKRI. Platform politik ini juga menegaskan kembali karakteristik PKS sebagai partai dakwah, yang bukan sekedar bekerja struggle for power secara structural politik setiap 5 tahunan dalam bingkai pemilu, tetapi juga sebagai sebuah partai yang menggulirkan kerja-kerja kultural dalam pembangunan umat dan peradaban.
75
Sebagai wujud dari ras tanggung jawab PKS dalam perbaikan kehidupan bangsa dan negara dan sebagai dari penyelesaian masalah bangsa dalam rangka mewujudkan masyarakat madani adil, sejahtera dan bermartabat, maka dalam platform tersebut berisi kebijakan-kebijakan yang dibagi menjadi dua rumusan yaitu kebijakan umum. Kebijakan umum dijabarkan dalam berbagai aspek yang merupakan lingkup kehidupan sehari-hari partai yaitu : a) Ideologi Diprediksi kesadaran politik masyarakat akan terus meningkat seiring penguatan ideologisasi dalam tubuh partai politik. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan sebuah kebijakan dasar dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya konflikkonflik ideologis dikalangan aktivis partai. 1) Memproyeksikan Islam sebagai sebuah ideologi umat yang menjadi landasan perjuangan politik menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin. 2) Menjadikan ideologi Islam sebagai ruh perjuangan pembebasan manusia dari penghambaan anata sesama manusia manuju pengahambaan hanya kepada Allah SWT; pembebasan manusia dari kefajiran idiologi rekaan manusia menuju keadilan Islam; dan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dan ketenangan hidup. 3) Operasionalisasi ideologi Islam dan cita-cita politiknya di atas tiga prinsip, yaitu: a. Kemenyeluruhan dan finalitas Islam b. Otoritas syari’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan Ijtihad c. Kesesuaian aplikasi sistem dan solusi Islam dengan setian zaman dan tempat
b) Politik (1) Pembanguna sistem. Memperjuangkan konsepsi-konsepsi Islam dalam sistem kemasyarakatan dan kenegaraan (2)Pembangunan komunikasi politik. Komunikasi politik dipandang sebagai proses yang dilakukan satu system untuk mempengaruhi sistem yang lain
76
melalui signal-signal yang disampaikan. Dikarenakan komunikasi politik dilakukan dengan tujuan tujuan agar orang lain mau berpartisipasi dalam politik maka diperlukan beberapa kerangka dasar yang dapat dijadikan guidance para aktivis dalam komunikasi politik, yaitu : (a) Penyadaran umum pentingnya sistem politik Islami sebagai solusi terhadap persoalan bangsa dan negara. (b) Mengokohkan kredibilitas dan efektifitas komunikasi antara partai dan masyarakat (3) Pembangunan budaya politik a.
Mengokohkan Islam sebagai sumber nilai budaya dalam kehidupan politik
b. Mengembangkan budaya egaliter dan demokratis yang tercermin dalam perilaku politik c.
Membangun budaya rasionalitas dalam kehidupan politik
d. Mengembangkan budaya hisbah (4) Pembangunan partisipasi politik (a) Perubahan
kondisi
yang
menyebabkan
lahirnya
kesediaan
masyarakat untuk berpartisipasi politik melalui Partai Keadialan Sejahtera secara sukarela. (b) Mempersiapkan suasana yang konusif yang dapat menarik orang untuk berpartisipasi secara bebas. (5) Hubungan Eksternal Pola ta’awun ‘alal birri wat taqwa (bekerja sama dalam merealisir kebijakan dan taqwa), dan tidak ta’wun ‘alal ismi wal ‘udwan (bekerjasama dalam dosa dan melanggar hukum) adalah merupakan prinsip dasar dalam membangun kerjasama. Selain itu Al-Wala merupakan asas hubungan sesama muslim. Sedangkan Al-Barra merupakan asas hubungan dengan orang-orang kafir. Dalam rangka optimalisasi prinsip dasar hubungan sesame manusia dalam perspektif Islam itu perlu kebijakan umum, yaitu:
77
(a) Bersikap cinta, kerja sama (ta’awun), dan loyal dengan partai, organisasi, dan lembaga-lembaga Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. (b) Aktif dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk terciptanya kerjasama, ukhuwah, dan persatuan antara lembaga-lembaga Islam. (c) Membudayakan sikap baik sangka (husnuzhan) terhadap sesama organisasi Islam. (d) Bersikap tegas terhadapa semua institusi yang mengusung dan mengibarkan bendera kekufuran. c) Birokrasi Dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul dalam bidang birokrasi maka Partai Keadilan Sejahtera perlu memiliki kebijakan dalam bidang birokrasi dengan tujuan islah al-hukumah dengan kebijakan sebagai berikut, yaitu: 1) Lebih memperhatikan birokrasi dengan memasukkan anasir-anasir taghyir internal untuk menduduki jabatan strategis dengan tetap berpegang pada asas kepatutan dan akhlak karimah 2) Membentuk wadah independent bagi pegawai yang bekerja di pemerintahan 3) Menjadi pelopor dalam pemberantasan KKN dan dalam menegakkan kejujuran, keadilan, kesederhanaan, dan profesionalisme dalam melayani masyarakat. 4) Melakukan kontrol secara aktif. d) Ekonomi dan Kesejahteraan Langkah-langkah strategis dan konkrit dalam upaya menumbuhkan kemandirian, yaitu: 1) Menumbuhkan kesadaran nilai-nilai Islam dalam perilaku dan kebijakan ekonomi 2) Mambangun kekuatan ekonomi umat dan bangsa melalui pendirian proyek ekonomi yang mandiri betapapun kecilnya dan memberantas KKN, sistem kartel, dan monopoli yang menghancurkan ekonomi rakyat.
78
3) memeilihara
kekayaan
umat
secara
umum
dengan
mendorong
berkembangnya industri dan proyek-proyek ekonomi Islam. 4) tidak membiyarkan begitu saja satu keping mata uang jatuh ketangan musuh-musuh umat 5) menjaga kekayaan alam dari eksploitasi yang merugikan rakyat banyak 6) memperbanyak usaha-usaha solutif dan pilot roject untuk memajukan ekonomi rakyat, bekerjasama dengan berbagai pihak yang komitmen baik di dalam maupun diluar negeri. e) Sosial Budaya Kecenderungan membiaknya deviasi sistemik pada bidang sosial budaya, pengabaian nilai-nilai luhur yang diiringi dengan menguatnya kultur materialisme, dan serbuan budaya pop yang dibarengi dengan kecenderungan distorsi pemahaman keagamaan bagi sebagian besar masyarakat muslim telah menjadi fenomena umum. Hal itu menjadi kondisi lingkungan sosial yang jauh dari nilainilai Islam. Oleh sebab itu, Partai Keadilan Sejahtera perlu mengantisipasi sedini mungkin setidak-tidaknya untuk membentengi dengan menetapkan kebijakan umum sebagai berikut, yakni: (1) Membangun imunitas individu, keluarga, dan masyarakat dari berbagai virus sosial budaya yang dapat merusak jati diri kaum muslimin. (2) Mengembangkan produk-produk budaya Islam baik dalam bentuk keteladanan ataupun dalam bentuk kesenian (3) Aktif dalam mewujudkan perundang-undangan yang meninggikan budaya bangsa dan mengkoreksi budaya yang merusak. f) IPTEK dan Industri IPTEK dan industri merupakan syarat bagi kemajuan materi suatu bangsa dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Sedangkan kebahagiaan hakikinya hanya mungkin tercipta apabila manusia mampu memahami kehendak Allah yang dimanifestasikan di dalam hukum-hukum-Nya, dan diaplikasikan melalui aktivitas etis, aktivitas sosial, dan teknologi yang dikendalikan secara etis. Untuk itu perlu sebuah kebijakan yang dapat mengarahkan IPTEK dan industri untuk kebahagiaan manusia, yaitu :
79
(1)
Penguasaan bidang IPTEK dan industri sebagai syarat kemajuan materi
suatu bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan hidup
manusia. (2)
Menghidupkan
upaya-upaya
pemberian
bingkai
moral
dalam
pengembangan dan aplikasi IPTEK, sehingga menjadi rahmat bagi manusia. (3)
Mengembangkan
IPTEK
terapan
untuk
membantu
akselerasi
penguasaan teknologi dalam rangka peningkatan sumber daya umat. (4)
Menumbuhkembangkan sentra-sentra industri yang strategis untuk kemajuan ekonomi umat dan bangsa.
g) Peran dan Tugas Wanita Pada kenyataannya bahwa tugas memakmurkan bumi (istikhlaf) merupakan tugas kolektif manusia (laki-laki dan perempuan) yang menunjukkan kenyataan adanya prinsip ‘kemitraan’ dalam peran sosial politiknya. Hal itu setidak-tidaknya tercermin dalam persamaan nilai kemanusiaan, persamaan hak sosial, dan persamaan dalam tanggung jawab beserta balasannya. Kenyataan lain menunjukkan partisipasi wanita dalam siyasah, terutama dalam perolehan suara pada Pemilu, sangat signifikan. Oleh sebab itu, partai perlu memiliki kebijakan dasar mengenai keterlibatan wanita dalam politik, yaitu: (1) Mengoptimalkan peran wanita dalam segala bidang kehidupan dengan tetap memelihara harakat dan martabat kewanitaan. (2) Membangun kondisi yang kondusif bagi optimalisasi peran politik wanita dalam mengusung cita-cita politik dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam dan fitrah. (3) Keseimbangan hak pemberdayaan politik (4) Keseimbangan proporsional dalam penempatan wanita di lembagalembaga strategis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. (5) Perhatian yang cukup terhapa isu-isu kontemporer wanita yang berkembang di masyarakat. (6) Menjadikan institusi keluarga sebagai lembaga pendidikan politik. h) Hukum
80
Dalam rangka turut menegakkan supremasi hukum di Indonesia, maka Partai Keadilan Sejahtera perlu menentukan kebijakan dasar sebagai berikut : (1) Mendukung terwujudnya supremasi hukum di dalam kehidupan masyarakat. (2) Membangun kesipan masyarakat untuk secara bertahap manerima syariat Islam melalui cara-cara yang syar’i dan konstitusional. (3) Memperjuangkan secara struktural pemberlakuan hukum-hukum Islam yang masyarakat telah siap menerimanya. (4) Mempraktekkan ajaran Islam dan syariatnya secara istiqomah, sebagai solusi, keteladanan dan rahmat bagi kehidupan.
i) Pendidikan Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang seharusnya ditangani secara serius dan bertanggungjawab. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan adalah dasar pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan harus sejalan dengan nilai-nilai dan keyakinan otentik bangsa. Maka setiap upaya pendidikan yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar suatu bangsa akan melahirkan generasi yang rapuh dan lepas dari akar kekuatannya. Partai Keadilan Sejahtera mempunyai kebijakan dalam rangka turut serta meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, yaitu : (1) Mengupayakan secara sungguh-sungguh terselenggaranya system pendidikan integral yang menjamin lahirnya generasi yang beriman, bertaqwa, cerdas, dan trampil. (2) Melindungi anak bangsa dari sasaran rekayasa pendangkalan aqidah dan pemurtadan yang berkedok aktivitas pendidikan. (3) Memperjuangkan model pendidikan yang terjangkau seluruh elemen masyarakat dan berkualitas.
b. Deskripsi Partai Keadilan Sejahtera Skala Nasional 1) Struktur Organisasi
81
Sejak awal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera pada tanggal 20 April 2002, partai ini telah berhasil melakukan pengembangan struktural partai secara vertikal dengan terbentuknya jaringan sebanyak 30 DPW, 366 DPD, dan 2475 DPC di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Anggaran Dasar Partai BAB IV Pasal 8 tentang Struktur Organisasi, di tingkat nasional/pusat, yaitu: a) Majelis Syura b) Dewan Pimpinan Tingkat Pusat c) Majelis Pertimbangan Pusat d) Dewan Pengurus Pusat e) Dewan Syari’ah Pusat Struktur pelaksana harian diserahkan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dengan skup nasional sampai tingkat kelurahan, yang meliputi: a) DPP (Pengurus harian setingkat nasional) b) DPW (Pengurus harian setingkat propinsi) c) DPD (Pengurus harian setingkat kotamadya atau kabupaten) d) DPC (pengurus harian setingkat kecamatan) e) DPRa (Pengurus harian setingkat kelurahan) 2) Keanggotaan Dalam Anggaran Dasar BAB III Pasal 9 mengenai Keanggotaan disebutkan bahwa setiap warga Negara Indonesia dapat menjadi anggota partai. Sedangkan dalam Anggran Rumah Tangga BAB III Pasal 5 mengenai Sistem dan Prosedur Keanggotaan disebutkan bahwa anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terdiri dari, yaitu: a) Anggota Kader Pendukung, yaitu mereka yang terlibat aktif mendukung setiap kegiatan kepartaian. Anggota Kader Pendukung terdiri dari: (1)
Anggota Pemula yaitu mereka yang mengajukan permohonan untuk menjadi anggota partai dan terdaftar dalam keanggotaan partai yang dicatat oleh Dewan Pimpinan Cabang setelah lulus mengikuti Training Orientasi Partai.
82
(2)
Anggota Muda yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dan telah lulus pelatihan kepartaian tingkat dasar satu.
b) Anggota Kader Inti yaitu anggota yang telah mengikuti berbagai kegiatan pelatihan kepartaian dan dinyatakan lulus oleh panitia penyeleksi. Anggota Kader Inti terdiri dari : (1) Anggota Madya yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dan telah lulus pelatihan kepartaian tingkat dasar dua. (2) Anggota Dewasa yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah dan telah lulus pelatihan kepartaian tingkat lanjut. (3) Anggota Ahli yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dan telah lulus pelatihan kepartaian tingkat tinggi. (4)Anggota Purna yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dan telah lulus pelatihan kepartaian tingkat ahli. c) Anggota Kehormatan, yaitu mereka yang berjasa dalam perjuangan partai dan dikukuhkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
c. Diskripsi Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta 1) Struktur Kepengurusan Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKS, Dewan Pimpinan Tingkat Daerah (DPTD) terdiri dari Majelis Pertimbangan Daerah (MPD), Dewan Pengurus Derah (DPD), dan Dewan Syari’ah Daerah (DSD). Dalam struktur kepengurusan ketiganya memiliki kedudukan yang sejajar. Adapun Struktur komposisi pengurus DPTD PKS Kota Surakarta adalah sebagai berikut : a) Majelis Pertimbngan Daerah (MPD) Kepengurusan MPD Kota Surakarta terdiri dari :
83
(1) Ketua
: Muhammad Rodhi, Ir
(2) Sekretaris
: Ma’ruf Pujianto
(3) Anggota
: - Dra. Muti Mujiyati, M.Si. - Haryanto, S.Pd.
b) Dewan Pengurus Daerah (DPD) DPD adalah lembaga eksekutif partai di tingkat kabupaten/kota. Kepengurusan DPD PKS Kota Surakarta terdiri dari seorang Ketua Umum, beberapa Ketua Bidang, Seorang Sekretaris dan beberapa wakil Sekretaris Umum dan seorang Bendahara Umum dan beberapa wakil Bendahara Umum, Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini : Struktur Komposisi DPD PKS Kota Surakarta
Ketua Umum DPD Sugeng Riyanto,SS
Bendahara Umum Asih Sunjoto Putro, S.Si
Bidang Pembinanaa Kader Fa. Izzaturrohman, ST, MT
Bidang Pelajar dan Mahasiswa Ahmad Masduki, SH
Sekretaris Umum Abdul Ghofur I, S.Si
Bidang Ekueintek Dwi Setyo I,SP
Bidang Politik dan Hukum M. Ikhlas Thamrin, SH
Bidang Kewanitaan Suranti Donita R, S.Pi
Bidang Humas Thamrin Kurniawan
Gambar 3. Struktur Komposisi DPD PKS Kota Surakarta
c) Dewan Syari’ah Daerah (DSD) Kepengurusan MPD Kota Surakarta terdiri dari :
Bidang Kesejahteraan Rakyat Lukman Ali P, S.Sos
84
(1) Ketua
: Wahid Ahmadi
(2) Anggota
: Kasori Mujahid, S.Si
2) Sekretariat Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta berlokasi di Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. B. Deskripsi Permasalahan Penelitian Pemilu merupakan sebuah sarana untuk mengisi jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan berdasarkan pada pilihan warga negara yang sudah memenuhi syarat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam hal ini pemilu legislatif sangat penting sekali dalam rangka menciptakan sirkulasi elite atau wakil-wakil rakyat melalui mekanisme pemilu tersebut. Meskipun berhasil atau tidaknya penyelenggaraan pemilu tidak dapat didasarkan besar-kecilnya partisipasi masyarakat, tetapi besarkecailnya partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap legitimasi politik kebijakan-kebijakan lembaga legislatif maupun pemerintah yang sedang berkuasa. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009, salah satunya di warga masyarakat di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta sejumlah 136 pemilih. Salah satu upaya untuk menekan angka golput agar tidak mengalami peningkatan jumlahnya dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan politik bagi masyarakat terutama bagi pelaku golput itu sendiri. Pendidikan politik dilakukan dengan bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, juga bertujuan untuk membangun kepribadian seseorang dengan membangun mental spiritualnya sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu dari lembaga pendidikan politik yaitu partai politik. Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik dalam menumbuhkan
85
kepribadian, kesadaran, dan partisipasi politik masyarakat. Salah satu tujuan dari pendidikan politik dalam menumbuhkan sikap, kesadaran, dan partisipasi politik salah satunya dalam pelaksanaan pemilu yaitu dengan menggunakan hak pilihnya dengan benar. Sesuai dengan hal tersebut maka untuk memberikan gambaran mengenai permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan. Pemilihan umum legislatif merupakan manifestasi dari sebuah pesta akbar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi tidak semua warga negara yang mempunyai hak pilih dapat memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik yaitu dengan cara menggunakan hak pilihnya untuk ambil bagian dalam proses perubahan politik dalam hal ini perubahan elite wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan. Dengan berbagai alasan yang komplek menyebabkan sebagian pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik. Seperti halnya dengan apa yang telah terjadi kepada sebagian masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik di TPS XII Sondakan, Laweyan, Kota Surakarta. Meskipun dilakukan oleh sebagian pemilih di TPS tersebut, akan tetapi layak menjadi sebuah bahan pembelajaran mengenai faktor peyebab yang menjadikan sebagian pemilih di TPS tersebut tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik. Data jumlah pemilih di TPS XII Sondakan secara keseluruhan sebanyak 337 pemilih. Tidak semua pemilih di TPS XII Sondakan mengguanakan hak pilihnya dengan baik yang dikarenakan oleh faktor antara lain : Pertama, masalah administratif yaitu Dia (pemilih) terdaftar sebagai pemilih di sini atau TPS XII Kelurahan Sondakan, tetapi tempat tinggalnya di luar kota atau daerah tempat dia berkerja; Kedua, ideologis yaitu sebagian pemilih menganggap memilih atau tidak, tidak akan berpengaruh secara langsung terhadap mereka; Ketiga, masyarakat tidak mengenal atau mengetahui para caleg secara jelas karena kurangnya sosialisasi. Faktor-faktor penyebab tersebut untuk lebih jelasnya dipaparkan sebagai berikut :
86
a. Masalah Administratif Masalah Administratif menjadi salah satu faktor penyebab sebagian pemilih di TPS XII tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009. Hal tersebut dialami oleh beberapa warga yang terdaftar sebagai pemilih di TPS XII yang pada saat hari dilaksanakannya pemungutan suara tidak berada dimana pemilih terdaftar sebagai pemilih di TPS XII Sondakan. Meskipun sebenarnya memilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Apabila pemilih tidak dapat melakukan pemilihan di TPS dimana ia terdaftar, sebelumnya harus melakukan pemberitahuan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara ditempat ia terdaftar sebagai pemilih dengan memberikan alasan yang jelas dan dapat diterima. Apabila dapat diterima dan disetujui akan diberi surat pengantar yang ditujukan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara yang ditunjuk oleh pemilih. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan. Seperti yang diungkapkan oleh Rachmad Andi Sulistyo, S.T. dan Ninik Resmi Nur Akhdiyati yang pada hari pemungutan suara tidak menggunakan hak pilihnya karena berada di Jakarta untuk berkerja sebagai berikut : Kebetulan saya dan istri saya pada pemilu legislatif 2009 sama-sama berkerja di Jakarta dan mengontrak rumah disana padahal saya masih tercatat sebagai warga di kampung dan terdaftar sebagai pemilih di daerah saya. Pada hari pemungutan suara saya tidak bisa pulang karena liburnya hanya sehari dan pekerjaan saya masih banyak yang harus segera diselesaikan, sehingga saya tidak menggunakan hak pilih karena tidak datang ke TPS. (Wawancara dengan Rachmad Andi Sulistyo, S.T. dan Ninik Resmi Nur Akhdiyati, 11 November 2009). Hal tersebut juga di ungkapkan oleh Yanuar Joko Listyanto, S.T. sebagai pemilih di TPS XII Sondakan yang juga tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada pemilu legislatif dikarenakan terkendala masalah administratif untuk menjadi pemilih di TPS di tempat tinggalnya dimana dia berkerja, yang mengatakan “Pada pemilu legislatif kemarin saya tidak menyontreng karena saya masih di Jakarta menyelesaikan proyek dan tidak sempat balik ke Solo. Padahal Saya terdaftar menjadi pemilih di Solo untuk mengurus menjadi pemilih disana juga harus
87
meminta surat pengantar dari Solo dulu”. (Wawancara dengan Yanuar Joko Listyanto, S.T. , 18 November 2009). Ketatnya prosedur yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umum tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi adanya kecurangan yang dilakukan oleh pemilih pada pemilu legislatif 2009 agar tidak menjadi pemilih ganda yang dapat dimanfaatkan untuk memenangkan calon anggota legislatif maupun partai politik. Karena pemilu legislatif sendiri merupakan pemilihan umum dengan skala nasional sehingga memang harus benar-benar maksimal. Akan tetapi hal tersebut juga mempunyai kelemahan yaitu terhadap pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya di TPS bukan dimana dia terdaftar sebagai pemilih. Dari uraian penjelasan di atas merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab pemilih di TPS XII Sondakan tidak dapat menggunakan hak pilihnya. b. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif
Kepada
Masyarakat Pemilu legislatif era reformasi berbeda dengan pemilu pada masa orde baru yang hanya di ikuti oleh tiga partai politik, akan tetapi pasca tumbangnya orde baru berganti dengan sistem multi partai (banyak partai) dan pemilihan secara langsung untuk memilih calon anggota legislatif. Sistem pemilu yang dipakai masih melanjutkan sistem pemilu sebelumnya, yaitu sistem proporsional. Konsep representasi atau daerah pemilih yang dipakai adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi yang diperebutkan disetiap daerah pemilihan (district magnitude) berkisar antara tiga sampai dengan sepuluh kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan berkisar antara tiga sampai dengan dua belas kursi. Dalam kandidasi anggota DPR, setiap partai poltik dapat mengajukan calon sebanyakbanyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan. Pada setiap tiga nama calon, partai harus menyertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) calon perempuan (kuota 30% dalam pencalonan).
88
Dengan semakin banyaknya partai politik dan caleg yang diajukan setiap partai tidak diimbangi dengan pelaksanaan kampanye yang cukup singkat menimbulkan sebuah persoalan yang secara langsung berhubungan dengan pemilih yaitu kurang optimalnya kampanye yang berhubungan dengan pengenalan atau sosialisasi calon legislatif terhadap pemilih. Sosialisasi tidak hanya sekedar memasang atribut dan gambar caleg dan partai, akan tetapi ada yang lebih penting dari hal tersebut yaitu pengenalan secara langsung caleg dengan visi, misi dan program yang ditawarkan kepada pemilih, karena masyarakat sudah semakin jeli dan pandai dalam memberikan. Kurang optimalnya sosialisasi caleg dengan pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak digunakannya hak pilihnya. Seperti yang di ungkapkan oleh Rizky Rachmawati pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yaitu “Karena Saya tidak mengenal para caleg yang ikut dalam pemilu legislatif kemarin. Hal itu karena saya menjadi warga pendatang di daerah tempat pemilihan saya yang baru. Hal tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh masing-masing caleg, tim sukses maupun partai politik di daerah tempat tinggal saya”. (Wawancara dengan Rizky Rachmawati, 9 November 2009). Hal tersebut juga dialami oleh Deky Lesmana yang menyatakan ” Saya tidak tahu siapa yang akan saya pilih karena tidak ada satu pun caleg yang saya kenal, ketimbang saya asal memilih caleg. Selain itu juga tidak ada yang melarang datang ke TPS apa tidak”. (Wawancara dengan Deky Lesmana, 10 November 2009). Kurangnya sosialisasi secara langsung dengan pemilih juga dialami oleh Bapak Slamet yang mengatakan ”Saya tidak mempunyai pilihan karena saya juga tidak tahu caleg-caleg tersebut, yang saya tahu hanya gambar orangnya saja”. (Wawancara dengan Bapak Slamet, 17 November 2009). Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh alasan yang diungkapkan oleh Bapak Salimi dan Heri Tamtomo yang tidak menggunakan hal pilihnya dikarenakan tidak mengenal caleg secara jelas.
c. Ideologis Pemilih Yang dimaksud dengan faktor ideologis pemilih adalah bahwa setiap orang mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda-beda terhadap
89
penyelenggraan pemilu yang tidak terlepas dari salah satu perwujudan demokrasi. Seperti
halnya
dengan
pendapat
dan
pandangan
seseorang
mengenai
menggunakan hak pilihnya atau tidak memilih dalam penyelenggaraan pemungutan suara merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan menyeluruh. Anggota legislatif baik yang berada di tingkat kota/kabupaten maupun di tingkat pusat yaitu DPR RI merupakan wakil-wakil rakyat yang diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat kepada penguasa berkaitan dengan pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat sebagian pemilih ragu-ragu dan bahkan tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Seperti yang diungkapkan oleh Zaini Anggoro Putro pemilih di TPS XII yang tidak menggunakan hak pilihnya yaitu ”Saya rasa menyontreng atau tidak juga sama saja selama wakil-wakil rakyat belum bisa mengesampingkan kepentingan pribadi dan partainya. Selain itu tidak ada yang melarang saya menyontreng apa tidak adalah hak saya”. (Wanwancara dengan Zaini Anggoro Putro, 31 November 2009). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Harman Suryono yang juga tidak menggunakan hak pilihnya menyatakan “Alasan saya tidak datang ke TPS untuk mencontreng karena saya merasa seperti pada tahun-tahun yang lalu menyontreng atau tidak menurut saya juga sama saja dan saya tidak mengenal caleg-calegnya secara pasti, kalau pemilu legisalatif lima tahun yang lalu saya datang ke TPS ikut mencoblos karena di daerah saya ada yang menjadi caleg dan saya kenal”. (Wanwancara dengan Harman Suryono, 4 November 2009). Dari beberapa faktor yang menyebabkan sebagian warga masyarakat yang menjadi pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak pilihnya
90
(golput) tersebut merupakan sebagian kecil dari perilaku politik masyarakat yang tidak memanfaatkan kesempatan dengan baik dalam proses perubahan politik dalam hal ini elit politik di lembaga legislatif.
2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Sebagai partai dakwah, PKS mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Sebagai partai dakwah, pendidikan politik bertujuan untuk membangun karakter kepribadian seseorang yang utuh dan kesadaran politik. Salah satu wujud nyata dalam rangka menjalankan visinya salah satunya yaitu melaksanakan pendidikan politik. Pendidikan politik yang dilakukan PKS kepada anggotanya maupun masyarakat lebih berorientasi pada pembentukan pribadi Islami yang mempunyai komitmen dan loyalitas pada aktualisasi dakwah Islam dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan politik akan selalu berfondasikan pada pembentukan pribadi kader, sehingga aktivitas politik yang dilakukan adalah politik yang sehat, bermoral dan jauh dari ambisi pribadi yang cenderung diskriminatif. Sebagai upaya meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan, dan kesadaran politik anggota maupun masyarakat, PKS mempunyai format-format pendidikan politik sendiri. Pendidikan politik yang dilakukan PKS tidak hanya ditujukan kepada anggota atau kader PKS saja, tetapi juga kepada masyarakat. Kegiatan-kegiatan pendidikan politik yang diberikan anggota dan masyarakat pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah bobot materi yang disampaikan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ikhlas Thamrin selaku ketua bidang politik DPD PKS Kota Surakarta sebagai berikut : Pada prinsipnya sama materi yang diberikan dalam pendidikan politik yang diberikan kepada kader PKS maupun masyarakat, hanya yang membedakan yaitu bobotnya. Tetapi pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama agar
91
mempunyai pendidikan politik yang baik. Misalnya agar bisa menerima adanya perbedaaan, bagaimana cara mengemukakan pendapat yang baik, bagaimana kebebasan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam kehidupan pribadi. Hal tersebut memang benar-benar riil terjadi di PKS. (Wawancara dengan Ikhlas Thamrin, 25 Desember 2009). Pendidikan politik DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta untuk menyikapi golput lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut : a. Nadwah atau Seminar Seminar di PKS merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan politik bagi anggota maupun masyarakat. Kegiatan nadwah atau seminar merupakan forum diskusi untuk mengkaji suatu permasalahan dan memberikan pemecahan masalah serta mengambil keputusan dalam menyikapi permasalahan tersebut, yang diikuti baik anggota amupun masyarakat umum. Seminar dengan mengangkat tema isu-isu maupun fenomena-fenomena yang berkembang dalam masyarakat yang tidak hanya dalam bidang politik saja akan tetapi juga seluruh bidang kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Sugeng Riyanto yaitu : Nadwah atau seminar yaitu aktivitas pengkajian terhadap suatu masalah. Seminar yang dilaksanakan dalam pendidikan politik ini mengambil tematema tentunya mengenai politik dan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dimasyarakat. Seminar tersebut juga didukung oleh pemateri yang tidak hanya dari tokoh internal partai, tetapi juga menghadirkan tokohtokoh atau pakar dari luar partai baik yang berskala lokal maupun nasional. Sasaran kegiatan ini dimaksudkan untuk terbentuknya pemahaman yang luas atas berbagai macam masalah politik dan problematika masyarakat melalui dialog dengan berbagai macam latarbelakang pemikiran dari berbagai disiplin ilmu dan mengenal berbagai macam metodologi praktis untuk menyelesaikan persoalan dari berbagai sudut pandang. (Wawancara dengan Sugeng Riyanto, 8 Desember 2009). Kegiatan nadwah atau seminar mempunyai muatan pendidikan politik yang terkandung didalamnya, yaitu terbentuknya pemahaman yang luas atas berbagai ragam masalah politik dan problematika masyarakat melalui dialog dengan berbagai macam latar belakang pemikiran dari berbagai disiplin ilmu, selain itu juga memberikan pengenalan berbagai ragam metodologi praktis untuk menyelesaikan persoalan dari berbagai sudut pandang kepada kader maupun masyarakat.
92
b. Tatsqif atau Kajian Tatsqif atau kajian yaitu aktivitas untuk memperluas wacana dan intelektual anggota, diantaranya tatsqif yang membahas masalah ke-Islaman, tatsqif siyasi (politik) yang membahas masalah-masalah politik, dan lain sebagainya. Sugeng Riyanto menyatakan bahwa : Tatsqif atau kajian yaitu aktivitas untuk memperluas wacana dan intelektual anggota, diantaranya tatsqif yang membahas masalah ke-Islaman, tatsqif siyasi (politik) yang membahas masalah-masalah politik, dan lain sebagainya. Kegiatan kajian tidak hanya diperuntukkan kepada anggota atau kader saja tetapi juga terbuka bagi masyarakat yang ingin bergabung berdiskusi mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan. (Wawancara dengan Sugeng Riyanto, 8 Desember 2009). Kegiatan kajian ini biasanya terdiri dari beberapa anggota maupun masyarakat yang dipimpin oleh seorang ustadz. Kegiatan kajian ini biasanya dilaksanakan setiap pekanan atau dua pekanan dan dilaksanakan di bisa dimasjid maupun dirumah peserta kajian secara bergiliran. Kegiatan ini bertujuan untuk menambah
wawasan
politik,
keagamaan,
keluarga
dan
permasalahan-
permasalahan lainnya. c. Kegiatan Sosial Di PKS banyak sekali kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan politik selain seperti yang telah diuraikan diatas. Kader-kader PKS aktif
melakukan
rekruitmen
anggota
dan
berbagai
aktifitas
simpatik
kemasyarakatan yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada mereka. Dalam rangka pengenalan program partai (Direct Selling) PKS dengan masyarakat, PKS juga melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau bakti sosial PKS. Salah satu wujud kegiatan tersebut yaitu dengan membuka sekolah gratis untuk pendidikan usia dini, membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis untuk masyarakat, silaturahmi dengan langsung mendatangi rumah warga masyarakat dan lain sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh Choirul anggota DPD PKS kota Surakarta sebagai berikut :
93
Saya menjadi kader PKS bukan mengharapkan sesuatu untuk kepentingan pribadi saya. Saya memandang bahwa partai politik yang sangat kental sekali dengan kekuasaan, akan tetapi berbeda dengan PKS meskipun sebagai partai politik tetapi PKS tidak hanya mengajarkan cara berpolitik saja, akan tetapi juga diajarkan tetang dakwah dan bersosial dengan baik. Kegiatan-kegiatan di PKS menurut saya sangat positif. Dalam setiap kegiatan-kegiatannya selalu tertanam unsur-unsur dakwah yaitu bagaimana menjaga amanah, bermasyarakat, dan berpolitik dengan baik juga. Misalnya : PKS menyelenggarakan kegiatan pengobatan gratis bagi masyarakat tiap bulan, mendirikan pos penanggulangan bencana, Mengadakan seminar bagi umum dan remaja, PKS juga membuka sekolah untuk usia dini secara gratis, dan berbagai kajian dan pengajian secara rutin. (Wawancara dengan Choirul, 17 Desember 2009). Kegiatan pendidikan politik yang dilakukan DPD PKS kota Surakarta seperti yang sudah diuraikan di atas merupakan kegiatan pendidikan politik dalam upaya untuk menyikapi golput di kota Surakarta. Pada dasarnya kegiatan pendidikan politik tersebut dilaksanakan tidak hanya selalu bermuatan politik saja akan tetapi juga terdapat muatan-muatan keagamaan yang tidak terlepas dari PKS sebagai partai dakwah. Dalam upaya menyikapi golput DPD PKS kota Surakarta lebih cenderung kearah diskusi dan kajian-kajian untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat baik mengenai politik maupun keagamaan. Strategi tersebut dirasa sangat tepat oleh DPD PKS Kota Surakarta untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat, karena dengan diskusi dan kajian-kajian dirasa lebih mengena. Selain pendidikan politik yang dilaksanakan berupa diskusi dan kajian, DPD PKS Kota Surakarta juga melakuakan kegiatan sosial yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung. Hasil yang diperoleh pendidikan politik yang dilakukan DPD PKS di Kota Surakarta dengan melakukan berbagai kegiatan penidikan politik yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, karakter, dan partisipasi politik anggota dan masyarakat seperti yang telah diuraikan di atas, salah satunya yaitu bertambahnya jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta setiap tahunnya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 12. Jumlah Kader DPD PKS Kota Surakarta tahun 2006 – 2009.
94
Tahun Jumlah
2006
2007
2008
2009
5.278
4.253
4.339
5.400
Kader Sumber : Arsip DPD PKS Kota Surakarta Jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta yang sudah mengikuti pembinaan pada tahun 2006 sebanyak 5.278 orang yang menjadi kader DPD PKS Kota Surakarta. Sebanyak 5.278 orang kader tersebut ada sebagian kader dari berbagai daerah Se- Eks Karesidenan Surakarta yang meliputi Surakarta, Boyolali, Sragen, Wonogiri, Karanganyar, dan Sukoharjo yang terdaftar sebagai kader DPD PKS Kota Suarakarta. Pada tahun 2007 DPD PKS Kota Surakarta melakukan verifikasi terhadap kadernya yang bukan berdomisili di Kota Surakarta dengan menyerahkannya kepada DPD atau Pengurus Cabang di daerahnya masingmasing, sehingga setelah dilakukannya verifikasi tersebut jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta menjadi 4.253 orang. Pada tahun 2008 jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta mengalami penambahan menjadi 4.339 orang dan bertambah menjadi 5.400 orang pada tahun 2009. Bertambahnya jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta merupakan sebuah hasil yang diperoleh dari pendidikan politik DPD PKS kota Surakarta, seperti yang di ungkapkan oleh Ikhlas Thamrin selaku ketua bidang politik DPD PKS Kota Surakarta sebagai berikut : “Pendidikan politik PKS diberikan selain kepada anggota juga kepada masyarakat, bahkan kepada seseorang yang tadinya memilih golput pun juga kami berikan. Banyak masyarakat yang telah kami beri pendidikan politik di beri pemahaman, pengetahuan akhirnya pada pemilu berikutnya dia mau datang ke TPS untuk memberikan suara dan malah banyak yang kemudian menjadi kader PKS. Hal tersebut merupakan hasil yang diperoleh dari pendidikan politik yang dilakukan oleh DPD PKS selama ini. (Wawancara dengan Ikhlas Thamrin, 25 Desember 2009). Pendidikan politik juga membawa hasil terhadap keberhasilan PKS dalam pemilu legislatif 2009 baik di daerah maupun nasional. Hasil yang diperoleh PKS dalam pemilu legislatif 2009 di kota Suarakarta mengalami peningkatan dibandingkan dengan perolehan suara pada pemilu legislatif 2004, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini :
95
Tabel 13. Perolehan Suara Tujuh Besar Partai Pemilu Legislatif 2004 di Kota Surakarta Partai Jumlah Suara PDIP 104.932 PAN 41.549 PD 32.700 Partai GOLKAR 31.274 PDS 25.906 PKS 23.833 PPP 9.263 Sumber : Arsip DPD PKS Kota Surakarta
% 35,85 14,19 11,17 10,68 8,85 8,14 3,16
Partai Keadilan Sejahtera pada pemilu legislatif 2004 di Kota Surakarta memperoleh suara sebanyak 23.833 atau 8,14%, sedangkan pada pemilu legislatif 2009 memperoleh suara sebanyak 25.993. Apabila dibandingkan perolehan suara PKS dalam pemilu legislatif 2004 dengan peilu legislatif 2009 mengalami peningkatan sebanyak 2.160 suara.
C. Temuan Studi Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, peneliti menemukan beberapa temuan studi yaitu : 1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan. Dari hasil penelitian terhadap beberapa responden, dapat diketahui faktor yang menyebabkan pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada pemilu legislatif 2009 yaitu : a. Masalah Administratif Menggunakan hak pilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Apabila pemilih tidak dapat melakukan pemilihan di TPS dimana ia terdaftar, sebelumnya harus melakukan pemberitahuan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara ditempat ia terdaftar sebagai pemilih dengan memberikan alasan yang jelas dan dapat diterima. Apabila dapat diterima dan disetujui akan diberi surat pengantar yang ditujukan kepada panitia penyelenggara
96
pemungutan suara yang ditunjuk oleh pemilih. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan. b. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada Masyarakat Sosialisasi tidak hanya sekedar memasang atribut dan gambar caleg dan partai, akan tetapi ada yang lebih penting dari hal tersebut yaitu pengenalan secara langsung caleg dengan visi, misi dan program yang ditawarkan kepada pemilih, karena masyarakat sudah semakin jeli dan pandai dalam memberikan. Kurang optimalnya sosialisasi caleg dengan pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak digunakannya hak pilihnya. c. Ideologis Pemilih Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan menyeluruh. Anggota legislatif baik yang berada di tingkat kota/kabupaten maupun di tingkat pusat yaitu DPR RI merupakan wakil-wakil rakyat yang diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat kepada penguasa berkaitan dengan pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat sebagian pemilih ragu-ragu dan bahkan tidak menggunakan hak pilihnya (golput). 2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta Pendidikan politik PKS tidak hanya ditujukan kepada anggota atau kadernya saja tetapi juga ditujukan kepada masyarakat. Tujuan dilaksanakannya pendidikan politik di PKS adalah selain untuk pengetahuan tentang politik, kesadaran politik juga lebih ditekankan pada pembentukan moral yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan anggota dan masyarakat. Bentuk pendidikan politik di PKS antara lain : Tatsqif atau kajian, nadwah atau seminar,
97
dan kegiatan sosial. Selain itu juga dilaksanakan pendidikan politik yang secara langsung melibatkan masyarakat atau kegiatan sosial antara lain : PKS juga terdapat sekolah politik bagi anggota atau kader juga masyarakat umum dan simpatisan partai, membuka sekolah gratis pendidikan untuk usia dini (play group), baksos (membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis), ceramah-ceramah, silaturahmi langsung kerumah warga masyarakat maupun tokoh masyarakat, dan lain-lain. Akan tetapi pendidikan politik tersebut apabila dikaitkan dengan pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS untuk mengatasi golongan putih masih kurang optimal, karena dilihat dari faktor penyebab golput sendiri sangat komplek. Untuk menekan golput dengan pendidikan politik tersebut kurang maksimal, karena tidak semua pemilih yang golput orang yang tidak paham politik, tetapi bagaimana dengan faktor penyebab golput berhubungan dengan masalah administratif.
98
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan. Dari hasil penelitian terhadap beberapa responden, dapat diketahui faktor yang menyebabkan pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada pemilu legislatif 2009 yaitu : c. Masalah Administratif Menggunakan hak pilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan. d. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada Masyarakat Kurang makasimalnya pengenalan secara langsung calon anggota legislatif kepada pemilih di TPS XII Sondakan tentang visi, misi dan program yang ditawarkan kepada pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak digunakannya hak pilihnya. c. Ideologis Pemilih Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan menyeluruh. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat
99
sebagian pemilih tidak menggunakan hak pilihnya (golput) karena mersa tidak berpengaruh baik secara langsung maupun tidak terhadap dirinya. 2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta Bentuk pendidikan politik di PKS antara lain : Tatsqif
atau kajian,
nadwah atau seminar, dan kegiatan sosial. Selain itu juga dilaksanakan pendidikan politik yang secara langsung melibatkan masyarakat atau kegiatan sosial antara lain : PKS juga terdapat sekolah politik bagi anggota atau kader juga masyarakat umum dan simpatisan partai, membuka sekolah gratis pendidikan untuk usia dini (play group), baksos (membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis), ceramah-ceramah, silaturahmi langsung kerumah warga masyarakat maupun tokoh masyarakat, dan lain-lain. Akan tetapi pendidikan politik tersebut apabila dikaitkan dengan pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS untuk mengatasi golongan putih masih kurang optimal, karena dilihat dari faktor penyebab golput sendiri sangat komplek. Untuk menekan golput dengan pendidikan politik tersebut kurang maksimal, karena tidak semua pemilih yang golput orang yang tidak paham politik, tetapi bagaimana dengan faktor penyebab golput berhubungan dengan masalah administratif.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan peneliti di atas, maka dapat dikemukakan hasil penelitian. Implikasi hasil penelitian ini adalah : 1. Dengan dioptimalkannya sosialsiasi politik dapat memberikan rangsangan terhadap seseorang atau masayarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik yang dapat berpengaruh pada partsisipasi politik seseorang atau masyarakat terutama pada pelaksanaan pemilu. 2. Dengan dioptimalkannya peran partai politik dalam pendidikan politik masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap meningkatnya kesadaran politik dan partisipasi politik masyarakat salah satunya dalam pelaksanaan pemilu.
100
C. Saran Dari hasil analisi, pembahasan, kesimpulan dan implikasi diatas, maka peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut : 1. Bagi Masyarakat Golput bukan merupakan tindakan yang tepat masih banyak alternatifalternatif yang lain selain melakukan golput, karena dengan melakukan golput tidak akan memberikan perubahan. Dalam rangka mewujudkan kehidupan dan pemerintahan yang demokaratis dibutuhkan peran aktif masayarakat terutama partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Partai Politik a. Khususnya bagi PKS, dalam rangka meningkatkan kesadaran politik dan keimanan anggota atau kader dan masyarakat lebih ditingkatkan pelaksanaan pendidikan politiknya. Pendidikan politik tidak hanya diberikan pada orang dewasa saja, tetapi lebih mengena apabila juga diberikan sejak usia dini. b. Dalam rangka mengembalikan keprcayaan masyarakat, partai politik harus mampu maningkatkan kualitasnya, terutama peningkatan kualitas anggota atau kadernya, sehingga apabila nantinya menjadi wakil rakyat bisa benarbenar melaksanakan kinerjanya dengan baik. Partai politik harus benarbenar dapat menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat.
101
DAFTAR PUSTAKA A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said. 2007. Sosiologi Politik : Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung : Pustaka Setia. Abu Ridho. 2002. Pengantar Pendidikan Dalam Islam. Bandung : PT Syamil Cipta Media. A. Mukthie Fadjar. 2008. Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Malang : In-TRANS Publising. A. Saeful Muhtadi. 2008. Komunikasi Politik Indonesia Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Arbi Sanit. 1985. Perwakilan Politik Di Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali.
David Beetham, Kevin Boyle. 2000. DEMOKRASI. Yogyakarta : KANISIUS.
, Kevin Boyle. 2004. DEMOKRASI. Yogyakarta : KANISIUS.
Haryanto. 1982. Sistem Politik Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.
Ichlasul Amal. 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. Janda, K., Berry.M.J, Goldman, Jerry. 1992. The Challenge of Democracy Government in America. USA : Houghton Mifflin Company. Kalla et al.2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Kartini Kartono. 1989. Pedidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa. Bandung : Mandar Maju. (Koran Target, http://korantarget.wordpress.com/2009/05/10/hasil-akhir-pemilulegislatif-2009-juara-1-tetap-golput-juara-3-suara-tidak-sah/, Diakses pada 10 Mei 2009). Lexy J. Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
102
Mattew Milles dan Hubberman. 1992 . Analisis Data Kuantitatif. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Miriam Budiardjo. 1982. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. .1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
.2008. Dasar Dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Muhammad Asfar. 2004. Presiden Golput. Surabaya : Jawa Pos Press.
Ng. Philipus dan Nurul Aini.2006. Sosisologi dan Politik. Jakarta: PT Raj Grafindo Persada. NN. 2008. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indoneisa. Solo : Adzana Putra.
NN. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bandung : Nuansa Aulia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, http://www.kpu.go.id. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. http://www.kpu.go.id. Nyoman
Subanda, blogs.depkominfo.go.id/bip/files/2009/.../edisi-4_desember2008.pdf, Diakses pada hari Sabtu 4 September 2009.
Sigit Pamungkas. 2009. PERIHAL PEMILU. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Ramdlon Naning.1982. Pendidikan Politik Dan Regenerasi. Yogyakarta : Liberty.
Solly Lubis. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung : CV. Mandar Maju.
103
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Penelitian Praktik. Jakarta : Rineka Pustaka. Sukarna.1981. SISTIM POLITIK. Bandung : Alumni.
Sutopo.H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian Tiga. Surakarta : Uiversitas Sebelas Maret Press. Tataq Chidmad. 2004. Kritik Terhadap Pemilihan Langsung. Yogyakarta : Pustaka Widyatama. Utsman Abdul Mu’iz Ruslan. 2000. PENDIDIKAN POLITIK IKHWANUL MUSLIMIN (Studi Analisis Evaluatif terhadap Proses Pendidikan Politik ”IKHWAN” untuk para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954), Salafuddin Abu Sayyid et al. Solo : Era Media.