Intervensi Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional Untuk Memberikan Perlindungan dan Bantuan Kemanusiaan Kepada Pengungsi Internal : Debat tentang Urgensi dan Kendalanya.1 (Humanitarian Intervention Trough International Organization as An Approach to Protect Internally Displaced Persons: Debate on Its Urgency and Obstacles) Oleh : Sigit Riyanto* Abstract Over the last decade, Internally Displaced Persons (IDPs) has become one of the pressing and dilemmatic humanitarian and human rights problems. As a rule, the primary responsibility to deal with the problems pertaining to IDPs is on the national authority of the concerned State. However, the problem of displacement becoming arduous and therefore attract international attention, when the national authority of the concerned State is unable or even un-willing to manage such a problem properly. One the one hand, IDPs are individuals deprived from their place of origin; but without crossing the international border. In such a case they are fall in to the domestic jurisdiction of the concerned State. On the other hand, it has to be born in mind that IDPs are a group of individuals in a vulnerable situation with an urgent need of protection and humanitarian assistance. In fact, there are international organizations getting involved in the effort of managing displacement situation through out the world. This article examines the urgency and relevance of humanitarian intervention conducted by international organizations as a model of protection and providing humanitarian assistance to IDPs throughout the world. Furthermore, the existing risks pertaining to the humanitarian intervention by international organizations have also been mapped and reviewed. Eventually, based on the perspective of humanitarian values universally recognized, humanitarian intervention in the context of protection and humanitarian assistance to IDPs has a valid legal and philosophical justification. On operational level however, taking into consideration the existing complicated problem and situation in the fields, a specific approach namely humanitarian negotiation should be developed by the stake holders. Such an approach with the aim of enhancing humanitarian protection should be based on humanitarian objectives. Kata Kunci : Organisasi Internasional; Pengungsi Internal, Intervensi Kemanusiaan; Negosiasi Kemanusiaan.
1
Naskah ini pernah dimuat di Jurnal MIMBAR HUKUM Vol. 19 No. 2 ( 2007). Wakil Dekan Bidang Akademik , Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; pernah bekerja sebagai Protection Officer UNHCR ( 2002-2005) Legal Counsel WHO (2000-2002) dan LegalAdviser ICRC (1999-2000). *
1
I.
Pendahuluan. Persoalan pengungsi internal atau yang sering juga di sebut dengan internally
displaced persons (IDPs)2, telah lama ada dan mungkin telah setua usia negara sebagai suatu entitas dengan batas-batas wilayahnya. Namun, berlainan dengan masalah pengungsi ( internasional ) yang melintasi batas-batas teritorial internasional dan memperoleh perhatian negara lain , organisasi internasional dan masyarakat internasional pada umumnya; pengungsi internal atau internally displaced persons(IDPs) yang secara tradisional tidak melintasi batas-batas wilayah internasional pada umumnya tidak memperoleh perhatian dari negara lain dan masyarakat internasional. Tidak ada satupun badan internasional termasuk
dari PBB yang secara khusus memiliki mandat atau
bertanggungjawab untuk membantu nenangani masalah pengungsi internal ini. Secara normatif, tanggung jawab utama berkaitan dengan persoalan pengungsi internal ini berada pada pemerintah nasional di mana mereka berada. Normalnya, pemerintah yang berdaulat dari suatu negara berkewajiban dan harus melakukan semua upaya untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada semua warganya. Namun demikian, persoalan pengungsi internal akan menjadi semakin problematis jika pemerintah dari negara yang bersangkutan tidak mampu ( unable ) atau tidak mau ( unwilling) untuk memberikan bantuan dan perlindungan yang dibutuhkan; baik mereka yang menjadi pengungsi internal karena bencana alam maupun mereka yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri karena bencana sebagai akibat ulah manusia ( man made disaster ). Dalam beberapa tahun terakhir ini persoalan pengungsi internal telah mengemuka sebagai salah satu persoalan kemanusiaan, hak asasi manusia, politik dan keamanan yang sulit yang harus dihadapi oleh masyarakat internasional. Sementara pengungsi internasional dapat mengandalkan perlindungan dan bantuan dari the United Nations High Commissionner for Refugees (UNHCR) atau Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi, pengungsi internal tidak dapat mengandalkan kepada satu badan internasional untuk memperoleh perlindungan dan bantuan. 2
Istilah Internally Displaced Persons (IDPs) digunakan terutama dalam kaitannya untuk membedakan dengan istilah Pengungsi yang diatur berdasarkan instrumen hukum internasional : The Geneva Convention Relating to the Status of Refugee of 1951 dan New York Additional Protocol Relating to the Status of Refugee of 1967. Selanjutnya dalam tulisan ini akan digunakan istilah Pengungsi Internal sebagai padanan istilah Internally Displaced Personal (IDPs).
2
Harus diakui bahwa, sampai saat ini masih terdapat ketidak-jelasan dan ketidakpastian tentang dasar hukum bagi perlindungan dan hak-hak pengungsi internal. 3 . Ketentuan- ketentuan hukum yang ada di dalam Konvensi Jenewa tahun 1951 maupun Protokol New York tahun 1967 tentang Status Pengungsi tidak dapat diberlakukan dalam persoalan yang berkaitan dengan pengungsi internal; karena dalam kasus yang berkaitan dengan pengungsi internal salah satu unsur penting sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa Tahun 1951, yakni; melewati batas-batas teritorial internasional sebagaimana disebut dalam Pasal 1 Konvensi tersebut, tidak terpenuhi. Persoalan pengungsi internal ini tampak makin rumit karena secara faktual jumlahnya jauh lebih besar daripada jumlah pengungsi internasional 4 , dan mereka seringkali lebih menderita daripada pengungsi internasional. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UNHCR tahun 2005, jumlah pengungsi internal di seluruh dunia adalah mencapai 25 juta orang; sementara pengungsi internasional berjumlah 9, 236, 6005. Meskipun secara praktis pembedaan antara pengungsi ( internasional) dengan Pengungsi Internal telah menjadi semakin kabur, sebagaimana ditunjukkan dalam krisis kemanusiaan yg terjadi di wilayah Afrika, Amerika Latin, Afghanistan, Irak, Kosovo dan
3
Gyiorgy Lissauer, in Book Reviews: Guiding Principles on Internal Displacement, in International Journal of Refugee Law, Vol. 13 No. 3 , Oxford : Oxford University Press, 2002. p. 485. 4 Istilah pengungsi internasional di sini dimaksudkan kepada pengungsi yang diatur oleh hukum internasional . Pengungsi ( internasional ) adalah orang yang melintasi batas-batas teritorial internasional untuk mencari perlindungan dari ancaman terhadap dirinya jika ia tetap berada di wilayah negara asalnya. Pengungsi internasional memperoleh pengaturan secara khusus di dalam : The Geneva Convention Relating to the Status of Refugee of 1951 dan New York Additional Protocol Relating to the Status of Refugee of 1967 maupun beberapa instrumen hukum internasional regional seperti ; The Cartagena Declaration atau Deklarasi Cartagena 1984 dan Convention of The Organisation of African Unity ( OAU) of 1969 . Pengungi internal, pergi secara terpaksa dari tempat tinggal asalnya dan mungkin juga karena alasan-alasan yang sejenis, tetapi mereka tetap tinggal di wilayah negaranya dan karenanya terikat serta tunduk kepada hukum nasional negara yang bersangkutan. Lihat misalnya dalam , The UNHCR, June 2000, The 1951 Refugee Convention; Question & Answer. p. 11. periksa juga, Sigit Riyanto, Urgensi Legislasi Hukum Pengungsi dan Kendalanya di Indonesia, dalam Journal Hukum
Internasional ,Volume 2 Nomor 1 Oktober 2004. 5
Berdasarkan estimasi UNHCR, pengungsi internal ini tersebar di berbagai wilayah dunia yakni: Algeria, Ivory Coast, DR Congo, Uganda, Sudan, Angola, Kenya, Somalia, Zimbabwe, Turkey, Lebanon, Azerbaijan, Federasi Rusia, Iraq, Bangladesh, India, Myanmar, Srilanka, Indonesia dan Colombia. Lihat UHCR, 2005 , Internally Displaced Persons: Questions & Answers; Lihat juga UNHCR, 2005, Refugees by Numbers. Geneva: UNHCR.
3
Timor Timur, pengungsi internal masih belum memperoleh bantuan dan perlindungan secara sistematis berdasarkan perjanjian internasional atau oleh Organisasi Internasional6. Pada umumnya bantuan yang diberikan kepada pengungsi internal oleh masyarakat internasional melalui oganisasi-organisasi internasional kemanusiaan yang ada dilakukan dengan pendekatan yang masih bersifat ad-hoc. Berdasarkan kontektualisasi permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, tulisan ini terutama akan memperdebatkan relevansi dan urgensi intervensi kemanusiaan ( humanitarian intervention) oleh organisasi internasional dalam melaksanakan misi kemanusiaan; khususnya dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi internal serta dilema yang terkait didalamnya. Tulisan ini secara khusus diharapkan dapat memetakan tiga hal pokok. Pertama, konteks dan urgensi intervensi kemanusiaan dalam sistem hukum internasional. Kedua, organisasi internasional yang relevan dan terlibat dengan persoalan pengungsi internal. Ketiga , adalah bagaimana resiko dilematis yang dihadapi serta pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengantisipasi resiko semacam itu.
II.
Konteks dan Urgensi Intervensi Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan terjadinya internal displacement
pada dasarnya merupakan permasalahan yang berada dalam konteks urusan nasional /domestik dalam suatu negara. Secara normatif, tanggung jawab utama berkaitan dengan persoalan pengungsi internal ini melekat kepada pemerintah nasional dari negara yang berdaulat di mana mereka berada. Tanggung jawab otoritas nasional berkaitan dengan permasalahan pengungsi internal ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip kedaulatan negara dan prinsip non intervensi yang berlaku dalam sistem hukum internasional7. Sebagai pihak yang berdaulat dan sederajat dengan negara lain, hukum internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki yuridiksi atas setiap benda, orang dan segala peritiwa yang terjadi di wilayah teritorialnya. Doktrin hukum internasional 6
Luke T, Lee, 2002, The Refugee Convention and Internally Displaced Persons, in The International Journal of Refugee Law Vol. 13 No. 3, Oxford : Oxford University Press. P. 363. 7 Bandingkan misalnya dengan : Katja Luoparjavi, 2003, Is There An Obligation on States to Accept International Humanitarian Assistance to Internally Displaced Persons Under International Law, in The International Journal of Refugee Law, Vol. 15. Oxford: Oxford University Press. P. 678.
4
mengakui bahwa yurisdiksi yang dimiliki oleh negara yang berdaulat itu meliputi; proses peradilan (Judicial Process), tindakan administratif atau penegakan hukum dan ketertiban, dan jurisdiksi yang bersifat preskriptif ( Prescriptif Jurisdiction) seperti regulasi dan legislasi8 . Persoalan pengungsi internal akan menjadi semakin problematis jika pemerintah dari negara yang bersangkutan tidak mampu ( unable ) atau tidak mau ( unwilling) untuk memberikan bantuan dan perlindungan yang dibutuhkan. Jika demikian halnya, dapatkah masyarakat internasional menyediakan alternatif sekiranya otoritas nasional negara yang bersangkutan tidak ampu atau tidakmau mengelola masalah displacement tersebut secara layak dan bermartabat? Di sinilah perlunya penjelasan tentang konteks dan urgensi intervensi kemanusiaan untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada pengungsi internal dalam sistem hukum internasional. Jurisdiksi domestik yang melekat pada negara yang merdeka dan berdaulat bukan merupakan konsep yang bersifat absolut. Dalam konteks sistem hukum internasional, jurisdiksi domestik merupakan konsep yang relatif. Perubahan atau perkembangan yang terjadi di dalam prinsip-prinsip hukum internasional akan berpengaruh terhadap pemaknaan konsep yurisdiksi dalam sistem hukum internasional. Dalam hal penghormatan dan penegakan hak asasi manusia telah membuktikan bahwa penmaknaan konsep yurisdiksi domestik oleh negara sangat dipengaruhi oleh, bahkan dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum internasional 9. Berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional tersebut, perlakuan negara terhadap warganya, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dasar sebagai manusia telah mengalami internasionalisasi. Praktik yang terjadi di dalam masyarakat internasional sejak berdirinya organisasi internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa, permasalahan yang berkaitan dengan penegakan hak-hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari domain hukum internasional
10
. Bahkan
penghormatan dan penegakan hak asasi manusia merupakan tujuan yang dirumuskan 8
JG Starke, 1988, Introduction to International Law, Tenth Edition, London : Butterworths. p. 201 MN Shaw, 1991, International Law, Third Edition, Cambridge: Grotius Publication Limited. pp. 395-396. Periksa juga: Thomas Buergenthal, 1988, International Human Rights in A Nutshell, St. Paul, Minn: West Publishing Co. pp. 4-5. 10 Lihat misalnya Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, mewajibkan setiap anggotanya untuk meningkatkan penghormatan dan penegakan hak-hak asasi manusia. 9
5
dalam Piagam PBB 11 .Yurisdiksi domestik tidak dapat dijadikan dalih untuk tidak menegakkan dan mengungkap terjadinya pelanggaran hak asasi di suatu wilayah negara12. Oleh karena itu kedaulatan negara harus diletakkan dalam konteks dan dikaitkan dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional, seperti ; larangan penyalahgunaan hak (prohibition of abuses of rights), pengormatan terhadap kedaulatan negara lain, due diligence, "minimum standards of civilisation", dan lain-lain. 13 Sejalan dengan hal tersebut, dewasa ini juga dikenal adanya doktrin “ sovereignty as responsibility” . Doktrin ini dikemukakan sebagai kerangka konseptual untuk menangani masalah pengungsi internal dari sudut pandang masyarakat internasional. Berdasarkan doktrin ini, ketika Negara tidak mampu (unable) untuk memberikan perlindungan dan atau menyediakan bantuan untuk kehidupan warganya, maka Negara itu diharapkan meminta dan menerima bantuan dari luar. Apabila Negara yang bersangkutan menolak atau mengacaukan akses bantuan bagi mereka yang membutuhkan dan mengakibatkan penderitaan bagi warganya, masyarakat internasional mempunyai hak dan tanggungjawab untuk memastikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan tersebut. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara harus diartikan juga sebagai akuntabilitas kepada warganya dan masyarakat internasional dalam wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia dan persetujuan-persetujuan tentang bantuan kemanusiaan14. Perlindungan terhadap pengungsi internal kiranya juga dapat ditempatkan dalam konteks perlindungan individu dalam sistem hukum internasional secara keseluruhan. Dewasa ini kedudukan individu dalam sistem hukum internasional telah memperoleh tempat yang sangat signifikan. Kedudukan individu dianggap penting dalam sistem hukum internasional, karena berkaitan dengan kepedulian dan kesepakatan masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu yang dilembagakan dalam instrumen-instrumen internasional. Masyarakat internasional telah
11
Henry J Steiner and Philip Alston, 2000, International Human Rights in Context: Law, Politic, Moral: Text and Materials, Second Edition. Oxford: Oxford University Press. Pp. 141-142. 12 DJ Harris, 1991, Cases and Materials on International Law, London: Sweet & Maxwell. p. 604. 13 Alain Pellet, 2000, State sovereignty and the protection of fundamental human rights: an international law perspective , dalam Pugwash Occasional Papers, I:i :February 2000, dimuat di http://www.pugwash.org/publication/op/opv 1n1.htm., 10 Juli 2006. 14 Lihat, Francis M Deng sebagaimana dikutip poleh Roberta Cohen , dalam : Internal Displacement in Asia ; Background Report for the Conference on Internal Displacement in Asia: Bangkok, Thailand, February 22-24, 2000.
6
menetapkan instrumen-instrumen hukum internasional baik dalam bentuk, deklarasi, konvensi maupun piagam dan atau instrumen hukum yang lain
yang memberikan
jaminan perlindungan kepada hak asasi manusia di dalamnya 15 . Instrumen-instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut dengan demikian telah menegaskan kedudukan individu sebagai subyek yang perlu diatur dan dilindungi hak-haknya dalam sistem hukum internasional. Rumusan tentang hak-hak individu yang ditetapkan oleh instrumen hukum internasional, sangat terbatas. Hak-hak individu yang ditetapkan dalam instrumen hukum internasional terdiri dari hak-hak yang sangat mendasar bagi kehidupan dan kehormatan manusia. Hak-hak yang mendasar dan ditetapkan dalam instrumen hukum internasional ini harus dihormati dan dipertahankan oleh masyarakat internasional16 . Pelanggaran terhadap kak-hak individu yang ditetapkan dalam instrumen hukum internasional dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap norma hukum internasional 17. Hukum internasional dengan demikian telah memberikan jaminan bagi kedudukan individu sebagai subyek serta hak-hak yang melekat padanya. Dalam konteks ini, hukum internasional dapat dipandang sebagai norma hukum yang berlaku secara universal bagi umat manusia 18. Perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu perkembangan hukum internasional yang paling pesat sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Perkembangan ini mencerminkan fenomena yang lebih luas yakni; meningkatnya kepedulian manusia tentang perlakuan terhadap sesama umat manusia.; terutama berkaitan dengan pemenuhan hak-haknya yang paling mendasar. Aturan hukum merupakan cerminan standar sosial dan kepentingan utama dalam perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia juga dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada tingkah laku individu 15
Lihat misalnya : di dalam Piagam PBB ( The United Nations Charter) di dalamnya terdapat ketentuanketentuan yang secara tegas memberikan perlindungan terhadap jaminan dan penghormatan terhadap HakHak asasi manusia seperti misalnya dalam Pasal 1; Pasal 13 ayat (1); Pasal 55. Instrumen internasional lainnya yang juga mengatur masalah hak asasi manusia misalnya: The Universal Declaration of Human Rights 1948; The Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948; The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965, The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966; The International Covenant on Civil and Political Rights 1966, dan lain-lain. 16 Herman Mosler, , 1980, The International Society as A Legal Community, Alphen aan den Rijn, The Netherlands: Sijtoff & Noordhoff. p. 63. 17 MN Shaw, op.cit. pp.192-196. 18 H Lauterpacht, 1950, International Law and Human Rights, dalam Martin Dixon& Robert Mc. Corquodale, 2000, Cases & Materials on International Law; Third Edition, London: Blackstone Press Limited. pp. 187-188.
7
dan pemerintah
19
. Harus diakui bahwa upaya perlindungan hak asasi manusia dengan
pendekatan penerapan sistem internasional adalah konsep yang bersifat revolutif. Dalam hukum internasional tradisional persoalan perlindungan hak asasi manusia tidak tercakup di dalamnya20. Dalam kerangka hukum internasional hak asasi manusia, perlindungan internasional berarti suatu perlindungan secara langsung kepada individu atau sekelompok individu yang dilakukan oleh badan-badan yang ada dalam masyarakat internasional. Perlindungan semacam itu dapat didasarkan kepada konvensi internasional, hukum internasional kebiasaan atau prinsip-prinsip umum hukum internasional. Dipandang dari segi tujuan dari dilakukannya tindakan perlindungan , perlindungan internasional dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama yakni: antisipatoris atau preventif; kuratif atau mitigasi; dan pemulihan atau kompensatoris21. Adanya fakta-fakta tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tidak berarti bahwa upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran semacam itu melalui pendekatan internasional sama sekali tidak ada gunanya. Terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia itu menunjukkan bahwa upaya-upaya perlindungan hak asasi manusia dengan pendekatan internasional masih perlu ditingkatkan 22. Dalam kaitannya dengan mencegah dan atu menghentikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dengan pendekatan internasional ini juga dikenal adanya doktrin tentang Intervensi Kemanusiaan ( Humanitarian Intervention) yang dikemukakan oleh Grotius pada abad ke XVII, dan diikuti oleh beberapa pakar hukum internasional berikutnya23. Berdasarkan doktrin ini, intervensi yang dilakukan oleh suatu negara atau lebih ke suatu negara dianggap sah jika intervensi itu dilakukan untuk menghentikan 19
AH Robertson and JG Merrils, 1992, Human Rights in the World : An Introduction to the Study of the International Protection of Human Rights, Manchester: Manchester University Press. pp 1-2. Periksa juga: Philippe Sands, 2005, Lawless World: America and the Making and Breaking of Global Rules,. London: Penguin Books. Pp. 7-11. 20 AH Robertson and JG Merrils, ibid. p.2. Periksa juga: Thomas Buergenthal, 0p.cit. p. 2. 21 Antonio Fortin, 2002, The Meaning of Protection in the Refugee Definition , dalam International Journal of Refugee Law, Vol. 12 No. 4 Tahun 2002, Oxford: Oxford University Press. p. 567. 22 AH Robertson and JG Merrils, op. cit. p.1. 23 Thomas Buergenthal, op. cit. p. 3. Lihat juga misalnya: Adam Roberts, New Criteria for Intervention in the Post-Cold War Period, in Peter Wallenstein ( ed ),1997, International Intervention : New Norms in the post-Cold War Era ?, Uppsala: Department of Peace and Conflict Research, Uppsala University. p. 5. Bandingkan juga : Ian Brownlie, 1990, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon Press. p.125. Lihat juga misalnya : Adam Roberts , 2000, Humanitarian Issues and Agencies as Triggers for International Military Action, dalam International Review of the Red Cross No. 839, pp. 673-698.
8
terjadinya pelanggaran hak-hak dasar manusia yang sangat brutal dan otoritas negara yang bersangkutan tidak mampu dan tidak mau mencegah atau menghentikan terjadinya pelanggaran tersebut 24 . Dalam perkembangan berikutnya doktrin tentang Intervensi Kemanusiaan ini juga menjadi landasan bagi tindakan intervensi oleh lembaga-lembaga internasional dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di suatu wilayah negara 25.
III.
Organisasi Internasional yang relevan dalam memberikan bantuan dan perlindungan bagi Pengungsi Internal.
Kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan dan menyertai keberadaan pengungsi internal telah mendorong berbagai organisasi internasional untuk melibatkan diri dalam memberikan bantuan kepadanya. Dewasa ini ada beberapa organisasi internasional yang relevan dan terlibat dalam menanganai permasalahan yang berkaitan dengan pengungsi internal. UNHCR ( The United Nations High Commissioner for Refugees). UNHCR( United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi mungkin merupakan salah satu organisasi internasional yang paling terkenal dan paling menonjol berkaitan dengan persoalan yang menyangkut pengungsi 26 . Alasannya cukup
sederhana dan mudah
dipahami yakni, karena pertimbangan-pertimbangan yang sangat relevan dengan masalah kemanusiaan dan perlindungan hak asasi manusia, sejak lembaga ini mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 1951 hingga akhir abad ke 20, UNHCR telah dikaitkan dengan dan terlibat dalam banyak krisis politik terburuk di berbagai wilayah dunia. Selanjutnya, pada tahun-tahun pertama Abad ke-21, keterlibatan UNHCR dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Afghanistan, Sudan, Sri Lanka, Kolombia dan negara-negara lainnya, telah mengkonfirmasikan fakta bahwa UNHCR merupakan aktor yang tidak tergantikan
24
J Peter Pham, 2006, The Limits of Intervention-Humanitarian or Otherwise, Dalam Human Rights and Human Welfare, Volume 6 of 2006. p. 14. 25 Thomas Buergenthal, op.cit. . pp. 3-4. Periksa juga: B.S. Chimmi, International Institutions Today: An Imperial Global State in the Making, dalam EJIL (2004), Vol. 15 No 1. p. 2.. 26 Stephane Jaquemet, Mandat dan Fungsi dari Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional / Indonesian Journal of International Law ,Volume 2 Nomor 1 Oktober 2004..
9
dan
menjadi
bukti
bahwa
masyarakat
internasional
belum
siap
“untuk
mengesampingkan” UNHCR. Dalam beberapa tahun terakhir ini persoalan pengungsi internal telah mengemuka sebagai salah satu persoalan kemanusiaan, hak asasi manusia, politik dan keamanan yang sulit yang harus dihadapi oleh masyarakat internasional. Pengungsi internal mungkin memiliki penyebab yang sama dengan pencari suaka dan pengungsi internasional. Mereka memerlukan bantuan kemanusiaan dan perlindungan, tetapi mungkin tidak memperoleh bantuan dan perlindungan semestinya dari otoritas nasional di negaranya. Akan tetapi, secara hukum mereka memiliki kategorisasi yang berbeda dengan pengungsi internasional. Perbedaan status hukum tersebut telah menimbulkan implikasi yang berbeda dalam hal perlindungan dan bantuan yang dapat diberikan oleh UNHCR. Pengungsi internasional dapat mengandalkan perlindungan dan bantuan dari UNHCR, sementara, pengungsi internal tidak dapat mengandalkan kepada UNHCR untuk memperoleh perlindungan dan bantuan. UNHCR mengakui bahwa
masalah pengungsi internal ini telah berkembang
sedemikian rupa sehingga mengalami internasionalisasi 27. Ada pendekatan yang bersifat ad hoc untuk memberikan bantuan kepada pengungsi internal, namun demikian sebagian besar dari mereka tidak memperoleh perlindungan dan bantuan. Dalam situasi tertentu UNHCR mungkin dapat membantu sebagian dari pengungsi internal ini tetapi jelas tidak seluruhnya.UNHCR memiliki mandat untuk pengungsi internasional dan dapat memiliki peran yang sangat terbatas berkaitan dengan persoalan pengungsi internal. Keterlibatan UNHCR untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi internal menuntut syarat-syarat tertentu misalnya 28; ¾
otorisasi dari Majelis Umum PBB, Sekretaris Jenderal atau organ utama PBB yang lain;
¾
persetujuan ( consent) dari negara yang bersangkutan;
¾
kompetensi yang relevan dan memadai untuk melaksanakan program;
27
Vannessa Mattar and Paul White, 2005, Consistent and Predictable Responses to IDPs: A Review of UNHCR’s Decision –Making Processes, Geneva : UNHCR Evaluation and Policy Analysis Unit. 28 Sigit Riyanto, UNHCR : The Roles, bahan ceramah untuk Workshops on IDPs, diselenggarakan oleh KOMNAS HAM, Pontianak, 20 Desember 2005.
10
¾
pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki UNHCR.
UNDP (United Nations Development Program ).29 Sebagai lembaga ang bergerak dalam menangani pembangunan, UNDP memfokuskan pada program reintegrasi bagi para pengungsi internal. Lembaga ini melakukan bantuan dalam kerangka
suatu proses yang berkesinambungan antara
pemulihan dan pembangunan. UNDP memiliki kantor yang beroperasi di berbagai wilayah negara anggota PBB, lembaga ini dapat memperoleh informasi secara dini tentang situasi pengungsi internal. Karena aktifitas UNDP cukup luas dan memiliki pengaruh secara langsung terhadap berbagai penyebab displacement seperti, persoalan yang berkaitan dengan tata-kelola ( governance), pembangnan, promosi Hak Asasi Manusia, dan sebagainya, kiranya lembaga ini dapat memberikan kontribusi bagi pencegahan terjadinya situasi pengungsi internal ( displacement). UNDP memiliki peran khusus dalam hal penanganan pengungsi internal, karena Resident Representative UNDP diberi mandat untuk mengkoordinasikan programprogram bantuan kepada pengungsi internal. Namun demikian, UNDP enggan untuk terlibat dengan untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan ( hukum); karena dikhawatirkan akan menggangu hubungannya dengan pemerintah negara setempat. OHCHR (The Office of the High Commissioner for Human Rights ). Sampai saat ini OHCHR tidak memiliki operasi secara langsung di lapangan atau di wilayah-wilayah dimana terjadi displacements. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah meliputi pemberian nasihat dan bantuan teknis kepada negara-negara yang ingin memperkuat institusi dan hukum nasionalnya dalam rangka meningkatkan perlindungan hak asasi manusia. Dengan meningkatnya pembentukan kantor-kantor cabang, di berbagai wilayah, lembaga ini berusaha meningkatkan kehadirannya. Namun, kehadiran lembaga ini di berbagai wilayah dunia masih terbatas, jika dibandingkan dengan badanbadan kemanusiaan internasional lainnya. Salah satu kelebihan lembaga ini dalam konteks menangani masalah pengungsi internal adalah, usahanya untuk selalu mendorong semua sektor kegiatan bantuan PBB 29
informasi lebih lanjut dapat diihat di : http://www.undp.org.
11
dikaitkan dengan dan diintegrasikan pada perlindungan terhadap hak-hak asasi pengungsi internal. OHCHR juga memberikan bantuan administratif kepada Special Representative on Internally Displaced Persons. Ketika menangani kegiatan yang berkaitan dengan penanganan hak asasi manusia di negara tertentu, lembaga ini juga melakukan intervensi untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi internal. Salah satu sumbangan utamanya adalah pemberian nasihat dan program-program bantuan teknis yang ditujukan secara langung bagi perlindungan pengungsi internal. UNICEF ( United Nations Children’s Fund).30 Pengungsi internal yang ada di berbagai wilayah dunia, sebagian besar adalah anak-anak.Oleh karena itu UNICEF merupakan salah satu organisasi internasional yang relevan dan memiliki mandat untuk membantu pengungsi internal anak-anak ini. Pada dasarnya UNICEF merupakan badan yang bergerak dalam hal pembangunan ( manusia); namun kini juga terlibat dalam operasi-operasi darurat. Kegiatan yang dilaksanakan oleh badan ini termasuk di antaranya peyediaan perawatan kesehatan dasar, nutrisi, air dan sanitasi, dan juga program pendidikan. Pada awalnya UNICEF enggan untuk melibatkan diri untuk menangani persoalan yang terkait dengan keberadaan pengungsi internal. Keengganan ini didasarkan pada alasan bahwa pengungsi bukanlah kelompok yang yang memiliki kategori secara khusus, sehingga bantuan yang secara khusus diberikan kepada pengungsi internal dikawatirkan akan menimbulkan diskriminasi bagi kelompok penduduk lain yang bukan masuk dalam kategori pengungsi internal. Dalam perkembangan berikutnya, UNICEF telah memodifikasi kebijakannya dan mengembangkan berbagai kebijakan dan program untuk pengungsi internal. UNCEF bahkan mendukung program bantuannya dengan kegiatan advokasi yang didasarkan pada the 1989 Convention on the Rights of the Child ( Konvensi Hak Anak). Dalam konteks ini UNICEF telah melakukan upaya-upaya seperti intervensi terhadap pemerintah, membuat laporan secara teratur tentang situasi pengungsi internal ( internal displacement), meyakinkan donor dan lain sebagainya. Kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan ditekankan pada perlindungan anak-anak dari kekerasan pisik maupun psiko-sosial, mempertahankan identitas kultural, dan bantuan terhadap 30
lihat : http://www.unicef.org.
12
kebutuhan dasar mereka. UNICEF telah mengembangkan berbagai inisiatif untuk membantu menangani masalah terkait dengan pengungsi internal. WFP ( World Food Program).31 Lembaga ini terutama berkonsentrasi pada distribusi makanan, rehabilitasi, program-program pemulihan dan pembangunan kembali. Sebagai salah satu lembaga pemberi bantuan makanan terbesar, kehadiran WFP memiliki peran yang penting berkaitan dengan situasi pengungsi internal.
Meskipun mandat utamanya adalah
memerangi kelaparan, lembaga ini juga mulai memberikan perhatian pada masalah perlindungan terhadap pengungsi internal khususnya berkaitan dengan pemantauan distribusi makanan kepada mereka yang berhak terutama wanita dan anak-anak. IOM ( International Organisation for Migration).32 IOM merupakan organisasi internasional antar pemerintah ( inter-governmental organisation) yang tujuan utamanya adalah memberikan bantuan kepada yang memerlukan sehingga dapat melakukan migrasi secara teratur dan bermartabat. Organisasi ini berada di luar sistem PBB tetapi karena kegiatannya sering bersamaan dan berinteraksi dengan badan-badan PBB sehingga seringkali dianggap merupakan badan internasional bagian dari PBB. Organisasi ini telah terlibat dalam menangani persoalan pengungsi internal di berbagai negara. IOM terutama memberikan memberikan bantuan tempat tinggal sementara, dan juga transportasi bagi mereka yang ingin kembali dan memerlukan bantuan semacam itu. Bantuan semacam itu diberikan khususnya ketika terjadi konflik bersenjata di wilayah negara tersebut. ICRC (International Committee of the Red Cross).33 International Committee of the Red Cross ( ICRC) atau Komite Internasional Palang Merah memiliki mandat untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada para korban dan orang-orang sipil ketika terjadi pertikaian bersenjata serta sebagai pengawal ( the guardian ) hukum humaniter internasional. Mengingat bahwa konflik bersenjata merupakan salah satu penyebab yang paling umum terjadinya pengungsi 31
lihat misalnya: http://www.wfp.org. informasi lebih lanjut dapat dilihat di : http://www.iom.int. 33 Lebih lanjut periksa juga : http://www.icrc.org; 32
13
internal, ICRC memiliki peran yang cukup penting dalam memberikan bantuan kepada para pengungsi internal. Dalam kasus-kasus tertentu di mana di suatu wilayah telah terjadi konflik dengan kekerasan, ICRC juga hadir dan berperan-aktif memberikan bantuan kepada pengungsi internal. Sebagai organisasi yang dibentuk dengan tujuan sepenuhnya untuk memberikan bantuan kemanusiaan, ICRC terlibat dalam berbagai kegiatan yang relevan dengan tujuan tersebut yakni : perlindungan dan bantuan kepada para korban pertikaian bersenjata, evakuasi penduduk sipil, promosi hukum humaniter internasional, dan lain-lainnya. Sebagai organisasi yang independen, tidak memihak dan sangat menekankan netralitas ICRC memiliki akses kepada semua kelompok yang sedang berada dalam situasi konflik. ICRC memiliki staff yang sangat siap untuk beroperasi di wilayah di mana terjadi konflik bersenjata, dan sering merupakan organisasi yang pertama-tama hadir di wilayah semacam itu. Bagi ICRC pengungsi internal tidak merupakan
kategorisasi operasional.
Lembaga ini tidak membuat pembedaan secara khusus terhadap pengungsi internal, karena menurut hukum humaniter internasional pengungsi internal bukan merupakan ketegorisasi secara khusus. Namun demikian ICRC sangat berhati-hati dalam menilai keberadaan pengungsi internal dan beranggapan bahwa pengungsi internal masuk dalam kelompok orang-orang sipil. Tindakan intervensi yang dilakukan oleh ICRC ketika terjadi konflik dengan kekerasan tidak membuat pembedaan apapun antara tindakan perlindungan dengan pemberian bantuan. Dengan demikian organisasi ini tidak perlu menghadapi situasi yang dilematis sebagaimana situasi yang harus dihadapi oleh UNHCR, ketika dihadapkan pada pilihan untuk mendahukkan pengungsi(hukum internasional) atau pengunsi internal. Munculnya dilema semacam itu dapat dipahami mengingat bahwa UNHCR memiliki mandat yang lebih solution oriented dan memainkan peran yang sangat penting pada tahap pemulangan dan reintegrasi, sementara ICRC tidak memiliki kapasitas semacam itu.
IV. Resiko Dilematis dan Negosiasi Kemanusiaan Pada umumnya setiap tindakan perlindungan dan bantuan kemanusiaan mempunyai
maksud dan
tujuan
yang sangat mulia. Namun demikian, proses
14
pelembagaan perlindungan dan bantuan kemanusiaan melalui tindakan intervensi kemanusiaan oleh organisasi internasional memerlukan komitmen dan dukungan dari masyarakat internasional. Di samping itu pada kenyataannya proses intervensi kemanusiaan oleh organisasi internasional harus menghadapi resiko-resiko dilematis sebagaimana uraian berikut ini.
1. Kegiatan dilakukan di Wilayah Negara yang sedang dilanda Konflik dan Fragmentasi34. Dalam satu dasa-warsa belakangan ini, badan-badan internasional telah diminta untuk
memberikan
bantuan
kemanusiaan,
rekonstruksi
dan
kegiatan-kegiatan
pembangunan lainnya di lokasi-lokasi yang sangat berbahaya. Badan-badan internasional ini harus beroperasi di wilayah-wilayah yang secara politik sangat tidak stabil maupun wilayah-wilayah yang sedang mengalami perang sipil dan perang internasional. Sebagai contoh, jumlah staf PBB yang dikirim ke wilayah yang berbahaya telah mencapai jumlah empat kali lipat dari tahun 1991 sampai dengan 2003, jumlahnya mencapai lebih dari 40, 000 orang. Badan-badan internasional yang lain tampaknya juga menghadapi situasi yang sama, dimana mereka harus menempatkan stafnya di wilayahwilayah konflik. Atas dasar permintaan pemerintah yang menjadi penyandang dana badan-badan internasional ini harus melakukan upaya sinergis antara kegiatan pemberian bantuan dengan upaya-upaya mewujudkan perdamaian. Mereka harus memperluas kegiatan dan operasionalnya; dari pemberian bantuan atau pemulihan tradisional ke arah penyusunan program-program rekonstruksi dan pembangunan yang berbasiskan pada hak ( rights-based programming) dan terutama adalah kegiatan-kegiatan pencegahan konflik atau bahkan penyelesaian konflik. Peningkatan secara kualitatif dalam hal pencegahan , pengelolaan dan resolusi konflik telah mengakibatkan badan-badan internasional harus menempatkan lebih banyak staf di berbagai wilayah yang dilanda konflik untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang secara politik lebih sensitif, dan dengan demikian telah menempatkan mereka dalam situasi yang rentan dan menghadapi resiko keamanan.
34
Claude Bruderlein & Pierre Gassmann , 2006, Managing Security Risks in Hazardous Missions: The Challenges of Securing United Nations Access to Vulnerable Groups in Harvard Human Rights Journal / Vol. 19 (2006)
15
2. Kekaburan Pembedaan antara Civilians dengan Combatants Sejak Perang Dunia Kedua, konflik telah meningkatkan jumlah orang-orang sipil terlibat di dalamnya; baik sebagai peserta aktifpertikaian dan sebagai sasaran serangan secara langsung. Lebih tragis lagi, sebagian besar korban perang adalah penduduk sipil. Para pemberi pertolongan termasuk organisasi internasional yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil sering kali harus menghadapi resiko, bahwa mereka dianggap telah memihak salah satu pihak yang bertikai ; sehingga sering dijadikan sasaran serangan karena kegiatan operasi kemanusiaan yang telah mereka. Serangan langsung terhadap markas PBB di Irak tahn 2003 dan pembunuhan terhadap anggota staf UNHCR di Afghanistan pada Bulan November 2003 menunjukkan meningkatnya resiko keamanan yang dihadapi oleh badan internasional termasuk PBB35.
3. Fragmentasi Angkatan Bersenjata. Sejak awal tahun 1990an, umumnya jumlah konflik internasional tradisional mengalami penurunan, namun demikian, masih ada dan muncul konflik-konflik baru sebagai akibat kegagalan atau hancurnya negara-negara tertentu. Fragmentasi negara dalam berbagai bentuknya ( kontrol pemerintah yang tidak efektif terhadap wilayah dan warganya, munculnya banyak pemimpin perang, penindasan terhadap kelompok minoritas, pemindahan paksa terhadap pengungsi internal maupun internasional) telah meningkatkan kompleksitas konflik yang ada. Organisasi dan badan-badan internasional harus menghadapi ketidak-jelasan situasi ini dengan mengembangkan strategi yang idealnya tetap tidak memihak kepada pihak manapun yang sedang berkonflik. Kemampuan organisasi untuk mempertahankan integritas program-programnya dan menjaga jarak dari pertikaian akan sangat berpengaruh terhadap keamanan staf maupun kegiatannya di lapangan. Dewasa ini tampak bahwa organisasi dan para pekerja kemanusiaan dihadapkan pada situasi di mana telah terjadi fragmentasi angkatan bersenjata di wilayah di mana mereka harus melaksanakan mandatnya. Di samping itu dalam situasi seperti itu, para pihak yang sedang bertikai menggunakan cara-cara berperang yang secara kualitatif berbeda dengan perang-perang yang pernah terjadi sebelumnya. Untuk memperoleh akses 35
Claude Bruderlein & Pierre Gassmann, ibid.
16
kepada penduduk sipil yang sangat rentan dan memerlukan bantuan kemanusiaan, organisasi-organisasi kemanusiaan internasional harus berhadapan dengan kelompokkelompok bersenjata yang melakukan kekerasan politik maupun kriminal36.
4. Globalisasi Gerakan Teror dan Gerakan Sektarian. Serangan-serangan terhadap kantor organisasi internasional sebagaimana yang terjadi terhadap PBB di Baghdad pada bulan Agustus dan September 2003, ICRC Oktober
2003
oleh
kelompok
teroris
bersenjata
telah
memaksa
mereka
mempertimbangkan kembali keamanan para stafnya dan jika perlu menarik mereka dari wilayah operasinya. Di masa lalu peristiwa semacam itu hanya dianggap sebagai kecelakaan karena adanya kekurang-pahaman tentang misi dan operasi kemanusiaan dari organisasi internasional yang bersangkutan. Kini fakta-fakta tentang serangan terhadap organisasi internasional yang sedang melaksanakan misi kemanusiaan tersebut telah dimaknai sebagai tantangan terhadap modus operandi yang dikembangkan oleh organisasi tersebut dalam rangka melaksanakan mandat yang diberikan kepadanya. Fakta-fakta tentang serangan terhadap organisasi internasional kemanusiaan tersebut merupakan peringatan bahwa keberadaan kelompok-kelompok teroris yang terlibat dalam serangan tersebut harus dicermati. Kegiatan kelompok teroris semacam itu telah membahayakan kegiatan kemanusiaan tidak hanya di wilayah tertentu atau dalam konflik tertentu saja; tetapi bahkan dapat mempengaruhi kegiatan operasi kemanusiaan secara global. Globalisasi gerakan teror semacam itu telah memaksa organisasi internasional berhadapan dengan situasi keamanan yang dilematis dan memaksa mereka melakukan re-evaluasi terhadap pendekatan strategis yang dilakukan terhadap situasi konflik yang dihadapi. Berkaitan dengan hal ini beberapa pertanyaan dapat mengemuka. Dapatkah organisasi internasional terus beroperasi jika mereka menjadi sasaran serangan secara terbuka ? Tindakan pengamanan macam apa yang dapat dilakukan untuk menjamin kegiatan-kegiatan pemberian bantuan terhadap para korban yang sangat membutuhkan ? Dapatkah organisasi internasional bersikukuh dengan dalih bahwa esensi dari tugas
36
Lihat misalnya situasi yang terjadi di Somalia ( sejak tahun 1990 dan berikutnya), Liberia ( 2001-2003), Irak ( 2003 sampai sekarang) dan Afghanistan ( 2001 sampai sekarang).
17
mereka adalah kemanusiaan – bertindak netral, dengan cara tidak memihak, independen dan berjarak dengan para pendukung – dan dengan demikian dapat diterima dengan baik oleh semua pihak?37
5.
Integrasi Operasional yang beresiko. Dalam kasus yang terjadi di Irak dan Afghanistan, bantuan internasional kepada
dua negara yang dilanda konflik tersebut dilakukan dalam suatu misi terintegrasi dengan kerangka yang disebut “one peace-building mission”. Salah satu tantangan yang melekat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi infra-struktur pemerintah dan sumber daya ekonomi di suatu negara yang telah terfragmentasi karena konflik sebagaimana terjadi di kedua negara tersebut adalah adanya rencana strategis dan integrasi bantuan internasional dalam suatu kerangka yang koheren. Akan tetapi, dewasa ini bantuan internasional terutama di wialyah yang sedang dilanda pertikaian bersenjata pada kenyataannya, harus dikaitkan juga dengan masalah keamanan ( security concerns). Dalam konteks semacam itu, pelibatan kekuatankekuatan militer dalam kegiatan operasi bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi yang dilakukan oleh badan-badan internasional di wilayah yang sedang terjadi konflik bersenjata, justru menimbulkan resiko keamanan yang lebih besar bagi para pekerja kemanusiaan yang bekerja untuk badan-badan internasional tersebut. Persepsi bahwa pemberi bantuan kemanusiaan berafiliasi dengan kekuatan militer tertentu dalam situasi konflik tertentu dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi keamanan pekerja kemanusiaan serta akses mereka terhadap para korban yang sangat membutuhkan dan berada dalam situasi yang rentan
38
. Pelibatan kekuatan militer dalam operasi
kemanusiaan dan rekonstruksi di wilayah yang sedang dilanda konflik bersenjata akan menempatkan organisasi internasional dan para stafnya di lapangan sebagai sasaran
37
Pertanyaan –pertanyaan tersebut layak dikemukakan karena beberapa organisasi internasional yang melakukan operasi kemanusiaan; termasuk badan-badan PBB sangat bergantung kepada para donor seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pada konteks demikian; kenyataan di lapangan ( terutama di wilayah yang di landa konflik berkepanjangan dan melibatkan gerakan-gerakan sektarian) telah menunjukkan bahwa operasi-operasi kemanusiaan oleh organisasi internasional harus menghadapi kesulitan karena adanya ancaman dari kelompok-kelompok bersenjata yang secara politik dan ideologi memiliki agenda yang bertentangan dengan Negara-negara donor tersebut. 38 Periksa misalnya : UN OCHA, 2004, Civil-Military Relationship in Complex Emergencies- An Inter Agency Standing Committee (IASC) Reference Paper, 28 June 2004.
18
serangan bagi para pihak yang sedang bersengketa. Dengan demikian pelibatan kekuatan militer oleh organisasi internasional dalam operasi kemanusiaan dapat dianggap sebagai tindakan yang kontra-produktif. Paparan tersebut diatas telah memetakan betapa dalam proses intervensi kemanusiaan terdapat banyak aktor yang terlibat di dalamnya. Di samping itu, komplikasi permasalahan yang harus dihadapi dalam proses
semacam itu tampaknya juga
menunjukkan perlunya dikembangkan strategi dan pendekatan baru yang disebut sebagai negosiasi kemanusiaan (humanitarian negotiation) dengan mengedepankan aspek tujuan kemanusiaan ( humanitarian objective)39. Penerapan strategi dan pendekatan semacam itu, di dalamnya
mensyaratkan ditegakkannya prinsip-prinsip kemanusiaan (humanity),
netralitas (neutrality), imparsialitas (impartiality), non diskriminasi ( non-discrimination) dan pertimbangan akan kebutuhan( need based assistance) 40 . Pada kenyataannya, di tingkat operasional strategi semacam ini dapat melibatkan banyak pihak yang merupakan domestic actors ; termasuk didalamnya antara lain adalah: Lembaga Swadaya Masyarakat, pemimpin komunitas, tokoh-tokoh agama dan ahli hukum41. Dalam satu dekade terakhir, muncul kecenderungan di mana badan-badan kemanusiaan internasional yang beroperasi di wilayah konflik; baik itu badan badan PBB ( UN agencies), Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs), dan sebagainya, diminta atau harus bernegosiasi dengan para pihak yang sedang bersengketa untuk memperoleh akses terhadap penduduk yang memerlukan dan untuk memberikan bantuan kepada mereka42. 39
Daniel Toole, 2001, Humanitarian Negotiation : Observations from Recent Experience, paper diterbitkan oleh Harvard Program on Humanitarian Policy and Conflict Research, Harvard University : 2001. pp. 1- 8. Bandingkan juga dengan : Claude Bruderlein & Jennifer Leaning, Education and Debate : New Challenges for Humanitarian Protection, published in British Medical Journal 1999 No. 319 ( 14 August). pp. 430-435 40 Prinsip non diskriminasi ditegaskan dalam beberapa instrument internasional hak asasi manusia, termasuk di antaranya dalam : Universal Declaration of Human Rights of 1948; International Covenant on Civil and Political Rights of 1966; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights of 1966. Prinsip-prinsip tersebut juga di tegaskan dalam prinsip panduan untuk memberikan bantuan kemanusiaan dalam UN General Assembly Resolution 46/182 of December 1991. Lihat juga misalnya UN OCHA, 2004, op.cit. 41 Lihat misalnya: Claude Bruderlein, 2001, The End of Innocence: Humanitarian Protection in the 21st Century, Published in Simon Chesterman, ed. Civilian in War. Boulder, CO : Lynne Rienner Publishers, 2001) 42 Daniel Toole, op.cit., misalnya menyebutkan bahwa negosiasi semacam ini harus dilakukan dengan pihak belligerents. Dalam konteks ini, penulis tidak menggunakan istilah belligerents, karena istilah ini merupakan kategorisasi yang bersifat legal. Pengalaman penulis ketika terlibat dalam membantu menangani konflik yang berkarakter non- internasional membuktikan bahwa negosiasi semacam ini tidak harus dilakukan dengan pihak-pihak yang termasuk dalam kategori belligerents. Dalam kasus-kasus
19
Dalam situasi seperti itu kecakapan dan ketrampilan para negosiator utk berhadapan dengan pihak yang sedang berkonflik dan mengajak berdialog tentang “humanitarian issue” merupakan hal yang sangat esensial. Kecakapan dalam bernegosiasi dengan para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut juga akan menentukan cakupan bantuan kemanusiaan dan tingkat perlindungan bagi penduduk yang sedang memerlukan. Dalam kerangka humanitarian negotiation, semacam ini, mungkin ada banyak sasaran yang ingin dicapai; pada dasarnya tujuan yang paling utama dan jelas adalah semua ingin menjamin akses bantuan dan perlindungan bagi para pihak yang membutuhkan. Dalam banyak kasus negosiasi semacam ini juga sangat diperlukan untuk menjamin keamanan bagi mereka yang akan memberikan bantuan.
V. Penutup. Pengungsi internal merpakan kelompok orang yang berada dalam situasi yang sangat rentan dan memerlukan perlindungan atas hak-haknya. Mereka, seringkali menghadapi situasi yang sulit dan memiliki penyebab yang mungkin sama dengan terjadinya pengungsi hukum internasional. Pengungsi internal memerlukan perlindungan dari tindakan kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan yang dapat membahayakan keselamatan mereka. Mereka memerlukan bantuan kemanusiaan, perlindungan dan untuk bertahan maupun kembali secara selamat dan terhormat. Seringkali bantuan dan perlindungan yang mereka butuhkan itu tidak dapat dipenuhi atau dilaksanakan secara efektif oleh otoritas nasional di negaranya Akan tetapi, berdasarkan the existing international law, mereka tidak memiliki status “ khusus”; sehingga tidak ada mekanisme perlindungan internasional tanpapermintaan dan persetujuan dari negara dimana mereka berada. Intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh organisasi internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi pengungsi internal memiliki argumentasi yuridis maupun filosofis. Ketentuan hukum hak asasi manusia sebagaimana tercermin dalam instrumen hukum internasional, hukum kebiasaan tertentu yang termasuk dalam kategori konflik dengan kekerasan di dalam negeri, pihak yang bertikai tidak dapat diketegorikan sebagai belligerents. Lihat misalnya: konflik komunal yang pernah terjadi di Indonesia cq.: kasus yang terjadi di Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara dan Poso ( Sulawesi Tengah).
20
dan prinsip-prinsip universal tentang hak asasi manusia merupakan landasan yang sahih (valid) bagi tindakan intervensi kemanusiaan dalam rangka menjamin dan memastikan pemenuhan hak-hak asasi pengungsi internal. Secara filosofis intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh organisasi internasional dalam rangka perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi internal merupakan tindakan yang sesuai dengan prinsip dan nilai
kemanusiaan universal. Bantuan kepada mereka yang sedang menderita dan
sangat memerlukan merupakan tindakan yang mulia dan dibenarkan berdasarkan nilainilai kemanusiaan universal. Intervensi untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi internal oleh organisasi internasional, memerlukan komitmen politik tingkat tinggi. Persetujuan dari negara dan otoritas nasional di mana pengungsi internal itu berada, merupakan kunci yang sangat menentukan bagi tindakan intervensi semacam itu. Senyampang dengan hal tersebut, juga diperlukan adanya komitmen masyarakat internasional yang dilembagakan melalui keputusan organisasi internasional yang relevan serta penyediaan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung operasi organisasi internasional tersebut43. Meskipun, intervensi kemanusiaan oleh organisasi internasional, secara konseptual menemukan kebenaran filosofis dan normatif. Pada level operasional, sebagaimana dipetakan pada bagian terdahulu dalam tulisan ini, memerlukan dukungan negosiasi kemanusiaan ( humanitarian negotiation) berbasis kemanusiaan
(common principles)
pada nilai umum
dan koordinasi yang berkelanjutan untuk
mengantisipasi adanya komplikasi dan resiko dilematis yang harus dihadapi.
43
Bandingkan misalnya dengan : Kenneth Anderson, 2004, Humanitarian Inviolability in Crisis: The Meaning of Impartiality and Neutrality for U.N. and NGO Agencies Following the 2003–2004 Afghanistan and Iraq Conflicts, in Harvard Human Rights Journal Vol. 17 of 2004. Harvard University.
21
Daftar Pustaka. Buku : Brownlie, Ian, 1990, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Oxford : Clarendon Press. Buergenthal, Thomas, 1988, International Human Rights in A Nutshell, St. Paul, Minn: West Publishing Co. Bruderlein, Claude, 2001, The End of Innocence: Humanitarian Protection in the 21st Century, Published in Simon Chesterman, ed. Civilian in War. Boulder, CO : Lynne Rienner Publishers, 2001) Cassese, Antonio, 1992, International Law in A Divided World, Oxford : Clarendon Press. Dixon, Martin & & Mc. Corquodale, Robert, 2000, Cases & Materials on International Law; Third Edition, London: Blackstone Press Limited. Goodwin-Gill, Guy S, 1998, The Refugee In International Law, second edition , Oxford :Oxford University Press. UNHCR, Guiding Principles on Internal Displacement: Extract from the document E/CN.4/1998/53/Add.2, dated 11 February 1998 , published by The Office of the High Commissioner for Human Rights Geneva, Switzerland OHCHR-UNOG. Harris, DJ, 1991, Cases and Materials on International Law, London: Sweet & Maxwell. Lauterpacht, Sir Elihu and Bethlehem, Daniel, 2003, The Scope and Content of the Principle of Non-Refoulement, dalam Erika Feller, Volker Turk and Frances Nicholson (eds), 2003, Refugee Protection in International Law: UNHCR’s Global Consultations on International Protection. Cambridge: Cambridge University Press. Macdonald, R. St., and Douglas M. Jonston, (eds) 1983, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy Doctrine and Theory, The Hague : Martinus Nijhoff Publishers. Mattar, Vannessa, and Paul White, 2005, Consistent and Predictable Responses to IDPs: A Review of UNHCR’s Decision –Making Processes, Geneva : UNHCR Evaluation and Policy Analysis Unit. Mosler, Herman, 1980, The International Society as A Legal Community, Alphen aan den Rijn, The Netherlands: Sijtoff & Noordhoff.
22
Pictet, Jean , 1985, Development and Principles of International Humanitarian Law , Dordrecht : Martinus Nijhoff Publishers. Pictet, Jean, 1988, Humanitarian Ideas Shared by Different Schools of Thought and Cultural Traditions, dalam International Dimensions of Humanitarian Law ,Paris : UNESCO; Geneva: Henry Dunant Institute; Dordrecht : Martinus Nijhoff Publishers. Roberts, Adam, 1997, New Criteria for Intervention in the Post-Cold War Period, in Peter Wallensteen ( ed ),1997, International Intervention : New Norms in the post-Cold War Era ?, Uppsala: Department of Peace and Conflict Research, Uppsala University. Robertson, AH and Merrils, JG , 1992, Human Rights in the World : An Introduction to the Study of the International Protection of Human Rights, Manchester: Manchester University Press. Sands, Philippe, 2005, Lawless World: America and the Making and Breaking of Global Rules,. London: Penguin Books. Shaw, MN, 1991, International Law, Third Edition, Cambridge: Grotius Publication Limited Starke, JG, 1988,
Introduction to International Law, Tenth Edition, London :
Butterworths. Steiner , Henry J and Alston, Philip, 2000, International Human Rights in Context: Law, Politic, Moral: Text and Materials, Second Edition. Oxford: Oxford University Press. The UNHCR, June 2000, The 1951 Refugee Convention; Question & Answer, Geneva : UNHCR Toole, Daniel, 2001, Humanitarian Negotiation : Observations from Recent Experience, paper published in Harvard Program on Humanitarian Policy and Conflict Research, Harvard University : 2001 Jurnal Ilmiah: Anderson, Kenneth, 2004, Humanitarian Inviolability in Crisis: The Meaning of Impartiality and Neutrality for U.N. and NGO Agencies Following the 2003–2004 Afghanistan and Iraq Conflicts, in Harvard Human Rights Journal / Vol. 17 ( 2004) . Harvard University. Bruderlein, Claude & Gassmann, Pierre , 2006, Managing Security Risks in Hazardous Missions: The Challenges of Securing United Nations Access to Vulnerable Groups in
23
Harvard Human Rights Journal / Vol. 19 (2006). Harvard University. Bruderlein, Claude & Leaning, Jennifer , 1999, Education and Debate : New Challenges for Humanitarian Protection, published in British Medical Journal 1999 No. 319 ( 14 August). Chimmi, B.S., 2004, International Institutions Today: An Imperial Global State in the Making, dalam European Journal of International Law; EJIL, (2004), Vol. 15 No 1. Fortin, Antonio, 2002, The Meaning of Protection in the Refugee Definition , dalam International Journal of Refugee Law, Vol. 12 No. 4 Tahun 2002, Oxford: Oxford University Press. Goldman , Robert K, 1998, Codification of International Rules on Internally Displaced Persons, dalam International Review of the Red Cross, No 328, 1998. Jaquemet, Stephane, 2001, The Cross-fertilization of International Humanitarian Law and International Refugee Law, in International Review of the Red Cross, Vol. 83, No. 843. 2001. Geneva ; ICRC. Jaquemet, Stephane 2004, Mandat dan Fungsi dari Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Urusan
Pengungsi
(UNHCR),
dalam
Journal
Hukum
Internasional ,Volume 2 Nomor 1 Oktober 2004. Lee, Luke T, 2002, The Refugee Convention and Internally Displaced Persons, in International Journal of Refugee Law Vol. 13 No. 3, Oxford : Oxford University Press. Lissauer, Gyiorgy, 2002, in Book Reviews: Guiding Principles on Internal Displacement, in International Journal of Refugee Law, Vol. 13 No. 3 , Oxford : Oxford University Press. Muller, J, 1988, Dimensi Global Dari Masalah Pengungsi, dalam Majalah Orientasi Baru, 1988. Phuong, Catherine, 2001, Improving the United Nations Response to Crises of Internal Displacement dalam International Journal of Refugee Law, Vol. 13 Number 4, Tahun 2001, Oxford: Oxford University Press. Pham, J Peter, 2006, The Limits of Intervention-Humanitarian or Otherwise, Dalam Human Rights and Human Welfare, Volume 6 of 2006. Riyanto, Sigit, 2004, Urgensi Legislasi Hukum Pengungsi dan Kendalanya di Indonesia, dalam Journal Hukum Internasional ,Volume 2 Nomor 1 Oktober 2004.
24
Roberts, Adam , 2000, Humanitarian Issues and Agencies as Triggers for International Military Action, dalam International Review of the Red Cross No. 839. Geneva: ICRC.
Paper:
Cohen, Roberta, 2000 , dalam : Internal Displacement in Asia ; Background Report for the Conference on Internal Displacement in Asia: Bangkok, Thailand, February 22-24, 2000. Pellet, Allain,2000, State sovereignty and the protection of fundamental human rights: an international law perspective , dalam Pugwash Occasional Papers, I:i :February 2000, dimuat di http://www.pugwash.org/publication/op/opv 1n1.htm., diakses 10 Juli 2006. UN OCHA, 2004, Civil-Military Relationship in Complex Emergencies- An Inter Agency Standing Committee (IASC) Reference Paper, 28 June 2004. Geneva: 2004.
25