PENEMUAN HUKUM BERBASIS HUKUM PROGRESIF OLEH HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Oleh: Sadhu Bagas Suratno E-mail:
[email protected] Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Jember
Abstrak Dalam rangka menegakkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Namun dalam perkembangannya, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak diatur dalam ketentuan tersebut. Diantaranya ialah putusan konstitusional bersyarat, putusan sela dan ultra petita. Cara berhukum yang tidak terikat pada teks Undang-undang lazim disebut dengan penemuan hukum. Kegiatan hakim dalam melakukan penemuan hukum ternyata identik dengan karakter hukum progresif yang menganggap bahwa hukum bukanlah institusi yang mutlak dan final melainkan terus menerus menjadi. Akibatnya, hal ini akan mempengaruhi cara berhukum hakim yang tidak sekedar terjebak dalam ritme kepastian hukum semata, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Penemuan Hukum, dan Hukum Progresif Abstract In order to uphold the Constitution, the Constitutional Court has the authority to examine the laws of the constitution, rule on the dispute the authority of state institutions whose authorities are granted by the constitution, dissolution of political parties and to decide disputes the results of the elections as stated in the Constitution and the Law Law of the Constitutional Court. But in its development, there are several decisions of the Constitutional Court which is not provided for in the regulation. Among them is the decision of the constitutional conditional interim decision and ultra petita. How to arbitrate which is not attached to the text of legislation commonly known as legal discovery. The activities of judges in performing legal discovery turned out to be identical to the character of progressive laws that presume that the law is not an institution that is absolute and final; it continues to be. Consequently, this will affect how lawless judges not just get caught up in the rhythm of legal certainty alone, but also justice and expediency. Keywords: Constitutional Court, Legal Findings, and Progressive laws
undang dasar, memutus pembubaran partai
PENDAHULUAN Mahkamah
Konstitusi
sebagai
peradilan konstitusi di Indonesia dalam rangka menegakkan konstitusi berwenang untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-
politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana diatur dalam konstitusi dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Namun terdapat
dalam
beberapa
perkembangannya, putusan
Mahkamah
Konstitusi yang tidak diatur dalam ketentuan tersebut.
Di
antaranya
ialah
putusan 81
konstitusional bersyarat, putusan sela dan
normatif penemuan hukum oleh hakim
ultra petita. Cara berhukum yang tidak
Mahkamah Konstitusi dalam hukum nasional
terikat pada teks Undang-undang lazim
Indonesia di masa mendatang ?. Adapun
disebut dengan penemuan hukum.
tujuan dari penelitian ilmiah ini adalah: 1.
Di satu sisi cara berhukum Mahkamah
Untuk mengetahui konsep penemuan hukum
Konstitusi yang tidak hanya terikat sesuai
berbasis
dengan
Mahkamah
karakter
dan
semangat
hukum
hukum
progresif
Konstitusi
oleh
dalam
pengujian
bukanlah suatu yang bersifat final melainkan
mengetahui implikasi hukum dari putusan
terus menerus menjadi, merobohkan dan
Mahkamah
mengganti menyesuaikan dengan dinamika
penemuan hukum serta korelasinya terhadap
perkembangan zaman dan kebutuhan hukum
perlindungan
dan rasa keadilan masyarakat. Adapun
negara, 3. Untuk mengetahui bagaimanakah
beberapa putusan Mahkamah Konsitutsi yang
seharusnya konstruksi normatif penemuan
berdimensi penemuan hukum ialah:
1)
hukum oleh hakim Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14-
dalam hukum nasional Indonesia di masa
17/PUU-V/2007
mendatang.
konstitusional
Konstitusi
hak
yang
2.
perkara
progresif yang menganggap bahawa hukum
(putusan
Undang-undang,
hakim
Untuk
berdimensi
konstitusional
warga
bersyarat), 2) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 102/PUU-VII/2009 (putusan ultra
HASIL PENELITIAN DAN PEMBA-
petita), 3) Putusan Mahkamah Konstitusi
HASAN
nomor 133/PUU-VII/2009 (putusan sela),
Konsep Penemuan Hukum Berbasis Hukum Progresif Oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Pengujian Undang-undang
dan 4) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009
(mengesampingkan
Undang-undang). Adapun rumusan masalah dalam penelitian ilmiah ini adalah: 1. Bagaimanakah konsep penemuan hukum berbasis
hukum
Mahkamah
progresif
Konstitusi
oleh
dalam
hakim perkara
pengujian Undang-undang ?, 2. Apakah implikasi hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi hukum
yang
berdimensi
terhadap
Pada dasarnya penemuan hukum muncul sebagai akibat tidak lengkap atau tidak
hak
peraturan
perundang–
undangan tertulis yang ada, sehingga untuk memutus suatu perkara maka hakim harus melakukan kreasi aktifnya guna menemukan solusi hukum. 1
penemuan
perlindungan
jelasnya
Kreasi aktif dalam bentuk melakukan penemuan hukum ini perlu dilakukan oleh
konstitusional warga negara ? dan 3. 1
Bagaimanakah
seharusnya
konstruksi
Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), hlm 169. 82
hakim karena hakim tidak boleh menolak
adalah
suatu perkara dengan alasan tidak ada atau
sebuah kertas yang bernama Undang-undang
kurang jelas dasar hukumnya, sebagaimana
atau peraturan perUndang-undangan lainnya.
tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Pengertian hukum secara eksplisit tidak lain
undang Nomor 48 Tahun 2009, yakni:
adalah apa yang tertulis dalam setiap
Pengadilan
rumusan
dilarang
menolak
untuk
kumpulan
tulisan-tulisan
Undang-undang,
namun
dalam
untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
menemukan makna implisit perlu adanya
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
proses pemikiran dan kontemplasi, sehingga
hukum
jelas,
apa yang dikehendaki oleh pembentuk
melainkan wajib untuk memeriksa dan
Undang-undang dapat tercapai, meskipun
mengadilinya.
tahu
tidak selalu diartikan bahwa hakim hanya
hukumnya, artinya melalui penemuan hukum
sekedar menjalankan kehendak dari para
itu
pembentuk
tidak
hakim
ada
atau
Hakim
kurang
dianggap
mengisi kekosongan
hukum
(rechtsvacuum).
berpendapat
tanpa
ada
pertimbangan kemanfaatan atas penerapan
Sehingga tidak salah apabila Achmad Ali
Undang-undang
pelaksanaan
Proses penemuan hukum itu sendiri
Undang-undang oleh hakim bukan semata-
merupakan proses atau rangkaian kegiatan
mata
dan
yang bersifat kompleks, yang pada dasarnya
penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi
dimulai sejak hakim memeriksa kemudian
lebih merupakan pemberian bentuk yuridis
mengadili suatu perkara hingga dijatuhkan
kepada asas-asas hukum
putusan dalam perkara tersebut4
merupakan
bahwa,
hukum itu sendiri. 3
persoalan
logika
materiil yang
menurut sifatnya tidak logis dan lebih
Dalam
konteks
persidangan
di
mendasarkan pada pengalaman dan penilaian
Mahkamah Konstitusi, ditemukan beberapa
yuridis daripada mendasarkan pada akal yang
putusan
abstrak.2
berdimensi penemuan hukum. Penemuan
Mahkamah
Konstitusi
yang
Fungsi penemuan hukum itu sendiri
hukum oleh hakim Mahkamah Konstitusi
tidak lain untuk mencari dan menemukan
dapat dianggap sebagai perwujudan hukum
makna dan arti hukum yang sebenarnya
progresif
karena
karena makna hukum itu tidak selalu tersurat
Konstitusi
berani
hakim lepas
dari
Mahkamah belenggu
secara tekstual dalam rumusan Undangundang. Hukum dalam pengertian formil
2
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hlm.153-154.
3
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam PerkaraPerkara Pidana, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 23. 4 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 10. 83
Undang-undang
ketika
Undang-undang
terdapat kesamaan diantara keempatnya,
tersebut dirasa menciderai rasa keadilan
yang
masyarakat dan berpotensi melanggar hak
Mahkamah Konstitusi tidak segan untuk
konstitusional
warga
kaitannya
dengan
progresif,
keberanian
paling
fundamental
ialah
hakim
negara.
Dalam
keluar dari ketentuan normatif/teks Undang-
penegakan
hukum
undang apabila dirasa ketentuan tersebut
hakim
Mahkamah
Konstitusi mendobrak ketentuan a quo sesuai
justru
berpotensi
melanggar
hak
konstitusional warga negara.
dengan karakteristik hukum progresif, yang
Penolakan
terhadap
status
quo
menekankan bahwa paradigma progresif
tersebut
merubah
sekedar
progresif yang memandang bahwa hukum
menerapkan hukum positif secara tekstual
tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
semata menjadi cara berhukum dengan
untuk sesuatu yang lebih luas. Maka setiap
mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi
ada masalah dalam dan dengan hukum,
dan nurani. Penilaian keberhasilan cara
hukumnya-lah yang ditinjau dan diperbaiki
berhukum dengan nurani tidak hanya dilihat
bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk
dari diterapkannya hukum materiel maupun
dimasukkan ke dalam skema hukum. Dengan
formil semata, melainkan dari penerapannya
paradigma
yang bermakna dan berkualitas. 5
menghadapi atau didera oleh suatu persoalan,
cara
berhukum
dari
Adapun Putusan Mahkamah Konstiusi yang
berdimensi
ini,
bukan
maka
rakyat
apabila
yang
rakyat
disalahkan
hukum
melainkan harus dicari jalan keluarnya atas
diantaranya ialah: 1) Putusan Mahkamah
hukum yang ada, termasuk meninjau asas,
Konstitusi
doktrin,
nomor
penemuan
maka
sejalan dengan konsep hukum
14-17/PUU-V/2007
(putusan konstitusional bersyarat), 2) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
133/PUU-
VII/2009 (putusan sela), dan 4) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor VII/2009
(mengesampingkan
serta prosedur yang
102/PUU-
VII/2009 (putusan ultra petita), 3) Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
berlaku.
substansi, 6
Implikasi Hukum Dari Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Berdimensi Penemuan Hukum Terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara
138/PUUDalam konteks penegakan konstitusi,
Undang-
undang). Meskipun objek pengujian dari beberapa putusan tersebut berbeda, namun
putusan
Mahkamah
berdimensi
penemuan
Konstitusi
yang
hukum
pada
hakikatnya merupakan suatu upaya dalam 5
Satjitpo Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 10.
rangka 6
pemenuhan
keadilan
dan
hak
Satjitpo Rahardjo, Hukum... op.cit., hlm. 141-142. 84
konstitusional warga negara yang berpotensi
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
terlanggar karena Undang-undang a quo.
1945
Bahkan guna mewujudkan hal tersebut,
Mahkamah Konstitusi tidak dicantumkan
dengan berlandaskan pada semangat hukum
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
progresif, suatu model cara berhukum yang
menguji Perppu.
membebaskan dari kekakuan cara berpikir positivisme
hukum
Konstitusi
hakim
tidak
maupun
dalam
Undang-undang
Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-
Mahkamah
undang Dasar Negara Republik Indonesia
untuk
Tahun 1945 misalnya, hanya disebutkan
segan
mengesampingkan Undang-undang ada.
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
Memang dalam proses penegakan
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
hukum prosedur dan pasal-pasal Undang-
yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang itu tidak boleh diabaikan, karena itu
Undang-undang terhadap Undang-undang
merupakan sarana / perlengkapan pokoknya.
Dasar,
Akan tetapi harus diingat, bahwa sarana dan
lembaga
negara
perlengkapan itu bukanlah tujuan yang
diberikan
oleh
sesungguhnya ingin dicapai oleh hukum.
memutus pembubaran partai politik, dan
Prosedur dan pasal-pasal itu hanyalah sarana
memutus
dan perlengkapan yang diharapkan dapat
pemilihan umum. Ketentuan yang terdapat
mengantarkan para penegak hukum untuk
dalam Pasal 24C ayat (1) tersebut kemudian
sampai
yang
diderivasi secara utuh dalam Pasal 10 ayat (1)
dan
huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun
pada
sesungguhnya,
tujuan 7
yakni
hukum keadilan
kemanfaatan. 8
memutus
sengketa yang
kewenangan
kewenangannya
Undang-undang
perselisihan
Dasar,
tentang
hasil
2003. Secara tekstual jika mengacu pada
Cara berpikir yang demikian, tampak
kedua ketentuan tersebut, maka tertutuplah
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
peluang
138/PUU-VII/2009
melakukan pengujian terhadap Perppu.
Perppu
terhadap
(Perkara
pengujian
Undang-undang
Dasar
Mahkamah
Namun
dengan
Konstitusi
semangat
untuk
hukum
Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
progresif, serta dengan mempertimbangkan
Dalam putusannya, Mahkamah berpendapat
potensi kerugian konstitusional yang dialami
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
oleh para pemohon dengan adanya ketentuan
memutuskan permohonan a quo. Padahal
a
secara normatif baik dalam Undang-undang
mengesampingkan ketentuan normatif yang
7
Achmad Alie & Wiwie Heryani, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 259. 8 Achmad Ali, Menguak... op.cit., hlm.144.
ada
quo,
Mahkamah
untuk
kemudian
tidak
ragu
melakukan
untuk
suatu
terobosan hukum. Bagi hukum progresif, mengesampingkan
peraturan
perUndang85
undangan (ketentuan normatif) bukan suatu
dijatuhkannya putusan sela oleh Mahkamah
hal yang tabu. Sepanjang suatu peraturan
Konstitusi pada perkara pengujian Undang-
perUndang-undangan
tidak
undang. Melalui putusan ini, Mahkamah
mampu memberi rasa keadilan, maka hakim
Konstitusi menunjukkan bahwa Mahkamah
dituntut
keadilan
tidak berdiam diri terhadap potensi terjadinya
Untuk
pelanggaran hak konstitusional warga negara
untuk
berdasarkan
dipandang
membuat
kreasinya
sendiri.
kemudian dituangkan dalam pertimbangan-
oleh ketentuan a quo.
pertimbangan hukum yang lengkap serta
Sehingga,
memenuhi public common sense. 9 Dengan
semangat
keadilan masyarakat
meski
dalam
Undang-
undang Mahkamah Konstitusi tidak dikenal
memenuhi
rasa
pulalah Mahkamah
adanya
putusan
provisi
dalam
perkara
pengujian Undang-undang, seiring dengan
Konstitusi memutus secara ultra petita
perkembangan
perkara nomor 102/PUU-VII/2009, padahal
tuntutan
secara normatif hal tersebut tidak diatur
mahkamah
kesadaran
rasa perlu
keadilan
hukum
dan
masyarakat,
menjatuhkan
putusan
dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi. provisi. Cara berhukum yang didasarkan Putusan
tersebut
menjamin
hak
pada kedinamisan hukum yang tidak hanya
konstitusional warga negara untuk memilih
terikat
tersalurkan sekalipun ia tidak terdaftar dalam
senantiasa menundukkan rumusan peraturan
Daftar Pemilih Tetap karena dalam amar
pada
putusan
mahkamah
sedangkan yang ingin dijangkau adalah suatu
memperkenankan penggunaan KTP/Pasport
makna yang lebih dalam lagi, yaitu keadilan.
bagi mereka yang tidak terdaftar dalam
Dengan demikian, posisi awal dibuatnya
Daftar
hukum tertulis bukan merupakan sesuatu hal
tersebut
Pemilih
Tetap.
Padahal
secara
normatif
pada teks Undang-undang
posisi
sebagai
eksemplar
akan
awal,
yang bersifat mutlak dan final, melainkan
Semangat masyarakat
memenuhi
juga
rasa
keadilan
terus merobohkan dan mengganti kearah
pada
putusan
yang lebih baik. 10
tampak
Mahkamah Konstitusi nomor
133/PUU-
Dikabulkannya putusan sela tersebut
putusannya
sekaligus menegaskan bahwa mahkamah
Mahkamah Konstitusi mengabulkan putusan
telah keluar dari kerangkeng pemikiran legal
sela yang diajukan oleh para pemohon.
positivisme dan mendobrak paradigma lama
Putusan
yang telah mengakar kuat di Indonesia
VII/2009,
dimana
ini
dalam
merupakan
tonggak
awal
9
Moh. Mahfud MD, Inilah Hukum Progresif Indonesia dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafa Media, 2013), hlm. 7.
10
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 246. 86
bahwa hakim hanyalah corong Undang-
Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7
undang. Dengan kata lain, hakim Mahkamah
Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f
Konstitusi tidak segan untuk keluar dari teks
UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU BPK
Undang-undang dan melakukan terobosan
tidak bertentangan dengan UUD 1945,
hukum
sepanjang
ketika
Undang-undang
dinilai
ketentuan
yang
dimaksud
berpotensi menciderai serta melanggar nilai
diartikan tidak mencakup tindak pidana yang
keadilan dan hak konstitusionalitas warga
lahir karena kealpaan ringan (culpa levis)
negara. Sehingga putusan yang dihasilkan
dan tindak pidana karena alasan politik
mampu mengakomodir keadilan substansial,
tertentu, serta dengan mempertimbangkan
yang
sifat jabatan tertentu yang memerlukan
tidak
sekedar
mengejar
keadilan
formal-prosedural semata.
persyaratan berbeda sebagaimana diuraikan
Cara berpikir yang tidak hanya terikat
di atas.
pada teks Undang-undang juga tampak pada
Bagi hakim progresif, semangat untuk
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14-
senantiasa
17/PUU-V/2007, dalam putusan tersebut
hatikan rasa keadilan masyarakat dalam tiap
mahkamah berpendapat bahwa ketentuan
putusan yang dibuatnya dilatar belakangi
yang dimohonkan oleh para pemohon tidak
pemahaman bahwa putusan hakim akan
dapat diputuskan ke dalam tiga jenis amar
terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai
putusan Mahkamah Konstitusi, yakni: 1)
kewibawaan, jika putusan tersebut dapat
permohonan dinyatakan tidak dapat diterima,
merefleksikan
2) permohonan dinyatakan dikabulkan dan 3)
masyarakat dan juga merupakan sarana bagi
permohonan dinyatakan ditolak. Kemudian
masyarakat
memutuskan perkara tersebut dengan putusan
mendapatkan
konstitusional bersyarat.
Sebelum seseorang hakim memutus suatu
Hal
tersebut
dapat
mengakomodir
rasa
dan
memper-
keadilan
pencari
keadilan
kebenaran
dan
hukum
untuk keadilan.
dilihat
dari
perkara, maka ia akan menanyakan kepada
pertimbangan
hukum
mahkamah
yang
hati nuraninya sendiri, apakah putusan ini
menyatakan
bahwa
ketentuan
yang
nantinya
mempersyaratkan pidana
penjara
tidak
pernah
berdasarkan
akan
adil
bermanfaat
dijatuhi
(kemaslahatan)
putusan
sebaliknya, akan lebih banyak membawa
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
bagi
dan
manusia
ataukah
kepada kemudharatan.11
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres,
11
Rudi Suparmono sebagaimana dikutip dalam Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3. 87
Dengan melihat karakter hakim progresif
ketentuan penemuan hukum oleh hakim
dan konsep berhukum yang ditawarkan oleh
Mahkamah
hukum progresif, maka pendekatan hukum
khusus dalam Undang-undang Mahkamah
progresif
hakim
Konstitusi (guna optimalisasi pelaksanaan
memutus
penemuan hukum oleh hakim Mahkamah
yang
Mahkamah
digunakan
Konstitusi
oleh
dalam
perkara pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar
Tahun
1945
akan
mampu
mengantar
hakim Mahkamah Konstitusi
secara
tersendiri/
Konstitusi).
Negara Republik
Indonesia
Konstitusi
Guna
merealisasikan
hal
tersebut,
pembentukan regulasi yang dimaksud harus senantiasa
mengacu
pada
menyelami nilai-nilai yang terdapat di dalam
pembentukan
Undang-undang
Negara Republik
undangan
yang
baik,
Indonesia Tahun 1945, semangat dan jiwa
dihasilkan
suatu
peraturan
dari Undang-undang (sebagai produk hukum
undangan
yang
berkelanjutan
yang diuji) kemudian mengkorelasikannya
mewujudkan hal tersebut, mengacu pada dua
dengan
putusan
rasa
masyarakat
Dasar
keadilan yang
hak
dan
kegelisahan
peraturan
asas-asas
Mahkamah
perUndangagar
nantinya perUndang12
Konstitusi
Guna
yang
konstitusionalnya
dijadikan obyek kajian dalam penelitian ini,
merasa dilanggar oleh ketentuan a quo.
yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Dengan demikian, putusan yang dihasilkan,
102/PUU-VII/2009 dan Nomor 133/PUU-
merupakan
VII/2009 perlu dilakukan perubahan terhadap
putusan
yang
berkualitas
‘yurisprudensial’ (keputusan bermutu yang
beberapa
layak menjadi rujukan) guna memandu
Mahkamah Konstitusi yang berlaku saat ini
perubahan hukum secara progresif pula.
agar
Konstruksi Normatif Penemuan Hukum Oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Hukum Nasional Indonesia Di Masa Mendatang
Mahkamah
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman di Indonesia. Namun secara teoritis dengan
penemuan
dalam
Undang-undang
hukum
oleh
Konstitusi
hakim dapat
diimplementasikan secara optimal di masa mendatang. Analisanya
Secara normatif, penemuan hukum oleh hakim diatur dalam Pasal 5 ayat (1), dan
pasal
putusan
ialah
Mahkamah
sebagai
berikut:
Konstitusi
Nomor
102/PUU-VII/2009 memuat amar putusan yang melebihi permohonan yang diajukan oleh para pemohon (ultra petita). Memang
mempertimbangkan pembendaan Undang12
undang
berdasarkan
dipertimbangkan
pula
bentuknya, untuk
perlu
mengatur
Siti Sundari Rangkuti sebagaimana dikutip dalam Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan PerUndang-undangan Yang Baik (Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 168. 88
secara
konseptual
Konstitusi
putusan
tersebut
Mahkamah
masih
dapat
Mahkamah
Konstitusi
diharap
mampu
menegakkan
dan
menjamin
hak
diperdebatkan, kalangan ahli pun berbeda
konstitusional warga negara semaksimal
pendapat menyikapi hal ini. Ada yang
mungkin melalui putusannya, sekalipun hal
berpendapat bahwa larangan ultra petita
tersebut diwujudkan melalui putusan yang
hanya dapat diterapkan dalam ranah hukum
ultra petita.
perdata sementara dalam hukum tata negara
tertentu, putusan ultra petita boleh jadi
larangan tersebut tidak berlaku, namun ada
sangat diperlukan sebagai solusi ketika
juga yang menyatakan bahwa larangan ultra
menemui impase konstitusional atau jalan
petita berlaku bagi semua hakim tanpa
buntu hukum.
terkecuali,
tidak
memandang
ranah
hukumnya.
Dalam kasus dan kondisi
Pelarangan sama sekali atas Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan ultra
Namun, lepas dari perdebatan tersebut,
petita akan berpotensi menyurutkan kreasi
dalam perkembangannya ternyata larangan
hakim
ultra petita diakomodir di dalam Pasal 45A
melakukan penemuan hukum. Selain itu, jika
dan dipertegas dalam Pasal 57 ayat (2) a
dikaitkan dengan konsep kemerdekaan hakim
Undang-undang
2011
sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 24
tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
tersebut menunjukkan bahwa pembentuk
Republik
Undang-undang
menghendaki
kemudian diakomodir secara utuh dalam
Mahkamah Konstitusi membuat putusan
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 48
ultra petita. Meskipun pada hakikatnya, amar
Tahun 2009 maka larangan bagi hakim
putusan yang memuat ultra petita merupakan
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan ultra
upaya
petita
Nomor
tidak
Mahkamah
8 Tahun
Konstitusi
dalam
Mahkamah
Indonesia
juga
Konstitusi
dalam
Tahun 1945,
berpotensi
yang
mereduksi
menghadirkan keadilan substantif bagi para
kemerdekaan hakim dalam melaksanakan
pencari keadilan.
tugasnya.
Dalam
konteks
kebebasan
hakim,
Kembali menyoal penemuan hukum oleh
larangan ultra petita berpotensi mereduksi
hakim Mahkamah Konstitusi. Kebebasan
kreatifitas hakim dalam memutus perkara
hakim
yang sedang di hadapinya. Padahal secara
melakukan
teoritis, ketika hakim dihadapkan pada suatu
tereduksi dengan adanya Pasal 50A Undang-
persoalan berlakulah asas ius curianovit,
undang
yakni hakim dianggap tahu hukumnya. Jadi
menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
dengan pengetahuannya
dalam menguji Undang-undang terhadap
tersebut,
hakim
Mahkamah
Konstitusi
penemuan
Nomor
8
hukum
Tahun
dalam semakin
2011
yang
89
Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Konstitusi yang berbeda dari Mahkamah
Tahun 1945 tidak menggunakan Undang-
Agung, dia juga harus tunduk dan patuh pada
undang lain sebagai dasar pertimbangan
Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang
hukum.
penafsiran
merupakan Undang-undang khusus yang
gramatikal, maka pasal ini secara terang
menjabarkan lebih detil mengenai tugas dan
benderang
kewajiban Mahkamah Konstitusi.
Jika
menggunakan
melarang
hakim
Mahkamah
Konstitusi untuk menggunakan Undang-
Sehingga jika mengacu pada asas-asas
undang lain sebagai dasar pertimbangannya,
pembentukan
padahal dalam suatu sistem hukum ketentuan
undangan yang baik, regulasi yang mengatur
Undang-undang
mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman
yang
satu
tidak
bisa
peraturan
dipisahkan begitu saja dari Undang-undang
di
lainnya,
kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi
pasti
ada
irisan/keterkaitan
di
dalamnya.
Indonesia
belum
perUndang-
memenuhi
asas
muatan sebagaimana tercantum dalam Pasal
Sebagai kekuasaan
contoh,
penyelenggaraan
kehakiman
di
Indonesia
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
2011. Selain pertimbangan tersebut, penting-
sebagaimana
nya revisi terhadap Undang-undang Nomor 8
disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-
Tahun 2011 khususnya Pasal 45A, Pasal 57
undang Dasar Negara Republik Indonesia
ayat (2) a, dan Pasal 50A Undang-undang
Tahun 1945, yakni Kekuasaan kehakiman
Nomor 8 Tahun 2011 dikarenakan muatan
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dari ketiga pasal tersebut bersifat larangan
dan badan peradilan yang berada di
(prohibere). Sedangkan disatu sisi, ketentuan
bawahnya
yang bersifat
umum,
Konstitusi
5 huruf c Undang-undang Nomor 12 Tahun
dalam
lingkungan
lingkungan
peradilan
peradilan
larangan kecenderunganya
agama,
disertai pula dengan sanksi bagi siapa yang
lingkungan peradilan militer, lingkungan
melanggarnya. Meskipun di dalam Undang-
peradilan tata usaha negara, dan oleh
undang
sebuah Mahkamah Konstitusi.
dicantumkan secara konkret sanksi bagi
Nomor
8
tahun
2011
tidak
Implikasinya, dalam melaksanakan tugas
hakim Mahkamah Konstitusi yang melanggar
dan kewajibannya Mahkamah Konstitusi
Pasal 45A, Pasal 57 ayat (2) a, dan Pasal 50A
harus tunduk dan patuh pada Undang-undang
namun jika melihat konstruksi utuh Undang-
Kekuasaan
regulasi
undang Mahkamah Konstitusi, tidak menutup
umum yang mengatur mengenai pelaksanaan
kemungkinan hakim Mahkamah Konstitusi
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun,
yang melanggar ketentuan tersebut akan
mengingat
dikenakan
Kehakiman
sebagai
karakteristik
Mahkamah
sanksi
etik
oleh
Majelis 90
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
institusi yang mutlak dan final, karena
Hal ini dikarenakan Majelis Kehormatan
hukum selalu berada dalam proses menjadi.
Mahkamah Konstitusia dalam melaksanakan
Konsep berhukum yang demikian senantiasa
tugasnya (menjaga etik hakim Mahkamah
mendorong hakim Mahkamah Konstitusi
Konstitusi) salah satunya berpedoman pada
untuk
norma dan peraturan perUndang-undangan
kontekstual tidak hanya terkungkung pada
yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal
bunyi teks Undang-undang semata. Adapun
27 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun
secara
normatif
2011, yakni dalam melaksanakan tugasnya,
hukum
yang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
berpedoman pada:
a) Kode Etik dan
dengan adanya dua Undang-undang yang
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; b) tata
saling bertentangan. Undang-undang yang
beracara persidangan Majelis Kehormatan
dimaksud ialah, Undang-undang Nomor 48
Mahkamah Konstitusi; dan c) norma dan
Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 8
peraturan perUndang-undangan.
Tahun 2011. Dalam Pasal 5 ayat (1) dan
Keberadaan punishment secara tidak langsung
perkara
pelaksanaan dilakukan
Konstitusi
secara
penemuan
oleh
masih
hakim
terkendala
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48
mempengaruhi
Tahun 2009 telah diatur kewajiban hakim
kemerdekaan hakim dalam memutus perkara
dalam melakukan penemuan hukum. Namun
yang sedang dihadapinya. Pada akhirnya,
dalam Pasal 45A, Pasal 57 ayat (2) a, dan
punishment
membentuk
Pasal 50A Undang-undang Nomor 8 Tahun
Konstitusi
2011 terdapat ketentuan yang berpotensi
sebagai corong / penerjemah Undang-undang
membatasi hakim Mahkamah Konstitusi
semata, yang sulit mewujudkan keadilan
dalam
substansial karena lebih terpaku pada aspel
Menyikapi
legal formal semata.
singkronisasi dan harmonisasi di antara
karakter
berpotensi
memutuskan
tersebut
hakim
akan
Mahkamah
kedua
melakukan kondisi
penemuan
hukum.
ini,
adanya
Undang-undang
perlu
tersebut
guna
optimalisasi pelaksanaan penemuan hukum
Kesimpulan Penemuan hukum berbasis
hukum
progresif oleh hakim Mahkamah Konstitusi,
yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi.
ialah suatu penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim
Mahkamah
Konstitusi
berdasarkan pada karakter dan paradigma hukum
progresif,
menganggap
bahwa
diantaranya hukum
ialah
bukanlah 91
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk. Achmad Alie & Wiwie Heryani. 2012. Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Bagir Manan. 2009. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia. Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta, 2013 Moh. Mahfud MD. 2013 Inilah Hukum Progresif Indonesia. dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media. M. Syamsudin. 2012. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, Berbasis Hukum Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Satjitpo Rahardjo. 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Yuliandri. 2013. Asas-Asas Pembentukan Peraturan PerUndang-undangan Yang Baik (Gagasan Pembentukan Undangundang Berkelanjutan). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
92