ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH KARENA CACAT ADMINISTRASI BERDASARKAN PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PENGKAJIAN DAN PENANGANAN KASUS PERTANAHAN OLEH KANWIL BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI KALIMANTAN BARAT
OLEH : PUJI LESTARI, SH. A.2021131012
ABSTRAK Tesis ini membahas tentang analisis yuridis pembatalan hak atas tanah karena cacat administrasi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat. Di samping itu juga mempunyai tujuan yaitu untuk mengungkapkan dan menganalisis dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat, konsekuensi hukum diterbitkannya keputusan pembatalan sertipikat hak atas tanah berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, dan efektifitas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah. Melalui studi kepustakaan menggunakan metode pendekatan hukum normatif diperoleh kesimpulan, bahwa dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat adalah karena adanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), hasil penelitian yang membuktikan adanya cacat administrasi, keterangan penyidik tentang adanya tindak pemalsuan dalam penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Hak Atas Tanah dan surat-surat lain yang membuktikan telah terjadi cacat administrasi. Adapun konsekuensi hukum diterbitkannya Keputusan Pembatalan sertipikat hak atas tanah berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan 1
Penanganan Kasus Pertanahan adalah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan hak atas tanah, yang secara teoritis pembatalan suatu keputusan dalam hal ini sertipikat hak atas tanah dapat berakibat batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (varniatigbaar). Dalam praktiknya, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan sangat efektif dalam penyelesaian sengketa tanah karena memberikan kepastian hukum atas kepemilikan hak atas tanah. Namun dari aspek aturan, aparat maupun budaya hukumnya harus diperbaharui dan diperjelas lagi. Kata kunci : pembatalan – hak atas tanah – cacat administrasi. ABSTRACT This thesis discusses the juridical analysis cancellation of land rights due to defective administration by Regulation of the National Land Agency No. 3 of 2011 on the Management Assessment and Case Management of Land by the Regional Office of the National Land Agency of West Kalimantan Province. In addition it also has the objective is to reveal and analyze the basis of cancellation of certificate of land rights due to defective administration by Regulation of the National Land Agency No. 3 of 2011 on the Management Assessment and Handling of Cases of Land by the Head Office of the National Land Agency of West Kalimantan Province , the legal consequences the publication of the decision on cancellation of certificate of land rights under Regulation Head of National Land Agency No. 3 of 2011 on the Management Assessment and Handling of Cases of Land, and the effectiveness of the Regulation of the National Land Agency No. 3 of 2011 on the Management Assessment and Management Land in the case of land dispute resolution. Through literature study using normative legal approach is concluded, that the basis of the cancellation of the certificate of land rights due to defective administration by Regulation of the National Land Agency No. 3 of 2011 on the Management Assessment and Handling of Cases of Land by the Head Office of the National Land Agency Kalimantan West is due to the Court judgment which has obtained permanent legal force (inkracht), the results of studies that prove the existence of defective administration, information investigators about the existence of fraud in the issuance or transfer of a Certificate of Land and other papers that prove there has been a defect of administration , The legal consequences of the issuance of the Decree Cancellation of certificate of land rights under Regulation Head of National Land Agency No. 3 of 2011 on the Management Assessment and Case Handling Land is to provide legal certainty over land ownership, which theoretically annulment of a decision in this regard certificate of land rights may result in void (nietig), null and void (van rechtswege nietig) and can be canceled (varniatigbaar). In practice, the Regulation of the National Land Agency No. 3 of 2011 on the Assessment and
2
Management of Land Case Handling is very effective in resolving land disputes because it provides legal certainty over land ownership. However, from the aspect of the rule, officials and legal culture should be updated and clarified. Keywords: cancellation - land rights - defective administration.
3
A. PENDAHULUAN Sertipikat hak atas tanah pada umumnya merupakan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”. Dengan melihat pengertian sertipikat tersebut, maka dapat diketahui bahwa Sertipikat hak atas tanah akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut yang berkenaan jenis hak atas tanah, subyek hak dan obyek hak. Terdapat berbagai jenis hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, salah satunya yaitu Hak Milik. Dengan demikian, sertipikat hak milik atas tanah merupakan surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Namun walaupun sertipikat hak milik atas tanah merupakan tanda bukti hak atas tanah, namun hal tersebut belum dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang haknya. Oleh karena itu, bagi pihak yang merasa memiliki tanah yang telah diterbitkan sertipikat hak milik atas tanah dapat melakukan gugatan di pengadilan. Gugatan terhadap terbitnya sertipikat hak milik atas tanah, selain disebabkan karena sertipikat merupakan alat bukti kepemilikan hak atas tanah, sertipikat juga merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat penetapan (beschiking). Oleh karena itu, sertipikat hak atas tanah juga merupakan suatu keputusan pemerintahan yang bersifat konkrit dan individual, yang merupakan pengakuan hak atas tanah bagi pemegang hak tersebut. Selain itu gugatan atas terbitnya sertipikat hak milik atas tanah disebabkan karena sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia, adalah sistem publikasi negatif. Sistem publikasi negatif dapat diartikan
4
bahwa kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan kata lain bahwa sertipikat bukan merupakan alat bukti yang bersifat mutlak. Pendaftaran tanah dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kepastian dan kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, hal inilah yang menimbulkan peluang bagi pihak lain yang keberatan atas terbitnya sertipikat hak atas tanah yaitu sertipikat hak milik atas tanah suatu bidang tanah tertentu menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut, atau menggugat pejabat yang berwenang menerbitkan atau mengeluarkan sertipikat hak milik atas tanah tersebut. Oleh karena itu apabila suatu sertipikat hak milik atas tanah terdapat adanya cacat hukum administrasi atau terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), maka permasalahan hak milik atas tanah dapat diselesaikan oleh pemerintah (dalam hal ini Badan
Pertanahan
Nasional)
dengan
melakukan
pengkajian
dan
penanganan kasus pertanahan tersebut. Pengkajian dan penanganan kasus pertanahan adalah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Naisonal Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang menetapkan “Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan
untuk
memberikan
kepastian
hukum
akan
penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia”. Dalam
hal penyelesaian
kasus pertanahan
terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun adanya suatu cacat yuridis dalam penerbitan suatu sertipikat hak milik atas tanah, maka terhadap sertipikat hak milik atas tanah tersebut dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintah dalam hal ini pejabat yang berwenang untuk melakukan pembatalan.
5
Kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap sertipikat hak atas tanah termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah berada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, yang menetapkan bahwa: “Pemutusan hubungan hukum atau pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data pemeliharaan data pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”. Selain itu dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) menetapkan bahwa: “Kepala BPN RI menerbitkan keputusan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kepala BPN Republik Indonesia untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah, maka akan menimbulkan tanggungjawab terhadap penerbitan Keputusan tersebut. Selanjutnya kewenangan untuk menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 58 ayat (2) yang menetapkan “Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Deputi atau Kakanwil”. Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, tidak secara khusus mengatur mengenai pembatalan hak atas tanah, namun diatur dalam ketentuan mengenai penyelesaian kasus pertanahan pada Bab VII dengan memberikan pengaturan bahwa penyelesaian kasus pertanahan pada dasarnya ada 2 (dua), yaitu: 1) pelaksanaan putusan pengadilan; dan 2) penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan serta penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan dapat melahirkan perbuatan hukum berupa pembatalan sertipikat hak atas tanah sehingga
6
dapat dikatakan bahwa jika didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011, maka pembatalan hak atas tanah dapat dilakukan dengan 2 (cara), yakni: 1) berdasarkan putusan pengadilan; dan 2) tidak berdasarkan putusan pengadilan. Proses pembatalan hak atas tanah merupakan salah satu proses yang diambil oleh Kantor Pertanahan guna menyelesaikan suatu permasalahan pertanahan, baik itu dalam lingkup internal instansi Kantor Pertanahan maupun permasalahan pertanahan
yang terjadi di dalam
masyarakat. Ada beberapa macam permasalahan dalam persoalan pertanahan, misalnya: sengketa tanah warisan, tapal batas tanah, tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah sengketa yang bersumber dari kesalahan dalam proses pengurusan hak atas tanah. Atas dasar adanya fakta tersebut, maka penulis ingin meneliti tentang proses pembatalan hak atas tanah yang terjadi dikarenakan cacat administrasi (kesalahan prosedur). Pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi hanya dilaksanakan terhadap sertipikat yang diketahui di kemudian hari mengandung cacat dalam penerbitannya dan pembatalannya tidak membutuhkan putusan pengadilan tetapi dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional setelah melalui mekanisme-mekanisme tertentu sehingga dapat diyakini bahwa secara nyata terdapat kekeliruan dalam administrasi
ataupun
prosedur
penerbitan
sertipikat
hak
tersebut.
Pembatalan hak karena cacat administrasi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 merupakan pembatalan hak tanpa melalui proses peradilan tetapi karena ditemukan kekeliruan dalam penerbitan sertipikat tersebut. Berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi dan pembatalannya dilaksanakan tidak melalui putusan pengadilan, realita saat ini menunjukkan bahwa jenis pembatalan seperti ini sangat jarang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional meskipun telah sekian banyak masyarakat meminta hal tersebut melalui surat pengaduan yang diajukan ke Kantor Pertanahan, Kanwil BPN ataupun BPN
7
RI. Banyak yang kemudian memberikan pandangan bahwa BPN tidak memiliki keberanian membatalkan sertipikat hak atas tanah meskipun mengetahui bahwa telah ada kekeliruan dalam penerbitannya. Pertanyaan yang kemudian menarik untuk dicermati adalah hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai cacat administrasi yang dapat dibatalkan tanpa melalui putusan pengadilan. Pertanyaan ini menjadi urgen untuk dijawab karena ketidakjelasan kategori cacat administrasi yang dapat dibatalkan oleh BPN tanpa Putusan Pengadilan sehingga menimbulkan keraguan bagi pihak BPN untuk melaksanakan pembatalan tersebut padahal peraturan-peraturan dalam bidang pertanahan memberikan kewenangan tersebut kepada BPN. Pertanyaan ini kerap ditanyakan oleh masyarakat ketika sertipikat mereka tumpang tindih kemudian mereka meminta BPN untuk melakukan pembatalan tanpa putusan pengadilan tetapi BPN memilih untuk menyarankan mereka menempuh jalur hukum. Jika ditelaah, sertipikat kedua yang terbit dalam sertipikat ganda jelas terbit tidak sesuai dengan prosedur karena prosedur yang benar adalah tidak diperbolehkan sebuah sertipikat diterbitkan di atas tanah yang telah dilekati oleh hak. Sertipikat ganda hanya merupakan salah satu contoh bentuk
kesalahan
administrasi/prosedur
yang
nyata
ditemukan
di
masyarakat tapi seringkali BPN tidak berani melakukan pembatalan dengan dasar cacat administrasi. Dalam Pasal 62 ayat (2) Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa: “Cacat hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah, kesalahan subyek dan/atau obyek hak dan kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan”.
8
Selanjutnya Pasal 64 Perkaban No. 3 Tahun 2011 mengatur pula bahwa permohonan/usulan perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat administrasi dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan/pemohon atau kuasanya. Kemudian Pasal 65 mengatur bahwa pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) yaitu aparatur BPN RI yang mengetahui data dan/atau warkah penerbitan hak atas tanah yang tidak sah mengenai substansi dan/atau proses penerbitannya, aparatur BPN RI mempunyai bukti adanya kesalahan prosedur administrasi penerbitan sertipikat hak atas tanah dan pihak yang dirugikan akibat terbitnya sertipikat hak atas tanah yang cacat. Terdapat 7 (tujuh) jenis cacat administrasi yang disebutkan dalam Pasal 62 Perkaban No. 3 Tahun 2011 menurut penulis masih membutuhkan pengkajian lebih jauh karena jenis-jenis cacat administrasi tersebut masih menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Hal yang perlu dikaji dalam kaitan dengan pembatalan sertipikat dengan dasar cacat administrasi sebagai berikut : 1. Jika pihak yang mengajukan adalah pihak lain yang merasa dirugikan maka dalam masalah ini terdapat sengketa antara pemegang hak dengan pihak yang mengajukan. 2. Jika dasar yang digunakan untuk mengajukan hak adalah tanda bukti kepemilikan tanah dengan status tanah bekas milik adat berarti diperlukan adanya pembuktian kebenaran tanda bukti kepemilikan tersebut, misalnya: kebenaran letak tanah yang dimaksud dengan tanda bukti yang diajukan. 3. Pembuktian kebenaran dasar dan dalil yang diajukan oleh pemohon pembatalan tentu saja berhadapan dengan pembuktian kebenaran dasar dan dalil yang diajukan oleh pemegang hak dalam pendaftaran haknya. Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak hanya dapat dijadikan dasar pembatalan hak tanpa putusan pengadilan jika kesalahan tersebut tidak melibatkan dua pihak yang bersengketa dan pihak
pemegang
hak
sendiri
yang
9
meminta
pembatalan
karena
menemukan adanya kekeliruan dalam proses penetapan atau pendaftaran hak,
misalnya:
pemegang
hak
menemukan
bahwa
tanah
yang
didaftarkannya diproses pemberian haknya padahal pada saat melakukan permohonan hak, ia mengajukan bukti pemilikan tanah bekas milik adat. Namun masalah yang kemudian patut dicermati adalah “jika pembatalan hak dilaksanakan, hal ini berarti akan dilakukan proses pendaftaran hak sesuai dengan prosedur harus diulang? ”Bagaimana tanggung jawab BPN terhadap hal ini, apakah BPN siap untuk menanggulangi biaya-biaya permohonan pendaftaran hak ulang yang akan dilaksanakan ? Oleh karena itu, kategori cacat administrasi ini membutuhkan pengaturan lebih lanjut terkait dengan mekanisme pembatalan serta konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari pembatalan tersebut. Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti membutuhkan pula kejelasan dalam pengaturannya. Kesalahan seperti apa yang dimaksud dalam hal ini. Ketika seseorang mengajukan permohonan pembatalan hak karena kesalahan dalam pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti dan melibatkan sengketa antara dua pihak, maka pembatalan hak membutuhkan adanya putusan pengadilan dan jika melibatkan satu pihak, maka pengulangan proses
peralihannya
atau
penggantian
sertipikatnya
membutuhkan
pengaturan terkait dengan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul akibat pembatalan tersebut. Demikian pula dengan jenis cacat yang lain yaitu kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah serta kesalahan subyek dan/atau obyek hak. Demikian halnya dengan cacat administrasi karena kesalahan hasil pengukuran. Sebagai contoh kasus cacat administrasi yang terjadi di Kantor Pertanahan Kota Singkawang adalah penerbitan Sertipikat Hak Milik Nomor 4434/Pasiran seluas 86 M² (delapan puluh enam meter persegi) atas nama Jintar Samosir terletak di Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang
10
Barat, Kota Singkawang ternyata terdapat cacat administrasi dalam proses penerbitannya
(tumpang
tindih
dengan
aset
Pemerintah
Singkawang berupa Rumah Dinas Kehutanan Eks. Singkawang).
Akibat
adanya
kesalahan
tersebut,
Daerah
Kantor BPKH
maka
diterbitkan
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat Nomor: 03/Pbt/BPN.61/2013 tentang Pencabutan dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 4434/Pasiran, Atas nama Jintar Samosir terletak di Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang Provinsi Kalimantan Barat karena cacat administrasi dan mengembalikan status tanahnya pada status semula menjadi Tanah Negara. Begitu pula dengan kasus cacat hukum administrasi yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, di mana penerbitan Sertipikat Hak Milik Nomor 301/Desa Arang Limbung seluas 32.580 M2 atas nama Sri Darwatie Soenaryo dan Sertipikat Hak Milik Nomor 302/Desa Arang Limbung seluas 74.990 M2 atas nama Syarifah Rugayah bin Syarif Abdurrahman, dkk, yang keduanya terletak di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, ternyata terdapat cacat administrasi dalam proses penerbitannya (tumpang tindih dengan Hak Pakai PT. Angkasa Pura II (Persero)). Akibat dari adanya cacat administrasi tersebut, maka diterbitkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat Nomor : 03/Pbt/BPN.61/2015 tentang Pencabutan dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 301/Desa Arang Limbung seluas 32.580 M2 atas nama Sri Darwatie Soenaryo dan Sertipikat Hak Milik Nomor 302/Desa Arang Limbung seluas 74.990 M2 atas nama Syarifah Rugayah bin Syarif Abdurrahman Yang Keduanya Terletak Di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya Yang Dimohonkan Oleh PT. Angkasa Pura II (Persero). Selain itu kasus cacat hukum administrasi lainnya juga terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, di mana penerbitan Sertipikat Hak Milik Nomor 1901/Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang seluas
11
18.766 M2 atas nama Lim Budiono ternyata terdapat cacat administrasi dalam proses penerbitannya yang telah terbukti berdasarkan putusan perkara pidana dengan terpidana Sdr. Lim Budiono (tumpang tindih dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 134/Desa Korek seluas 18.100 M2 dan Sertipikat Hak Milik Nomor 135/Desa Korek seluas 13.990 M2 atas nama Emmy Sudjana). Akibat dari adanya cacat administrasi tersebut, maka diterbitkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat Nomor : 06/Pbt/BPN.61/2015 tentang Pencabutan dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 1901/Desa Korek Atas Nama Lim Budiono Yang Terletak Di Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Yang Dimohonkan Pembatalannya Oleh Sdr. Emmy Sudjana Karena Cacat Administrasi Yang Telah Dibuktikan Oleh Putusan Pengadilan Pidana Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap. Dari berbagai macam permasalahan yang terjadi di wilayah hukum Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat terdapat
pula
permasalahan
mengenai
penyelesaian
hukum
dan
perlindungan hukum terhadap penerbitan sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administratif yang disebabkan karena beberapa alasan. Hal tersebut yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administratif. Melihat bahwa pembatalan hak atas tanah merupakan pembatalan yang berdasarkan peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah pertanahan, maka penelitian ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan serta pengaturan hukum dalam tatacara serta prosedur pembatalan serta masalah administratif dalam pertanahan. Jika melihat bahwa proses pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi merupakan bentuk kerugian yang ditanggung oleh salah satu pihak pemilik tanah, maka secara substansial dalam pelaksanaannya harus memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan proses pembatalan hak atas tanah.
B. RUMUSAN MASALAH
12
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat ? 2. Bagaimana konsekuensi hukum diterbitkannya keputusan pembatalan sertipikat hak atas tanah berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan ? 3. Bagaimana efektifitas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah ?
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengungkapkan dan menganalisis dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat. 2. Untuk
mengungkapkan
diterbitkannya
keputusan
dan
menganalisis
pembatalan
konsekuensi
sertipikat
hak
atas
hukum tanah
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. 3. Untuk mengungkapkan dan menganalisis efektifitas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang
13
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah.
D. KERANGKA TEORETIK Dalam rangka penelitian analisis yuridis pembatalan hak atas tanah karena
cacat
Pertanahan
administrasi
Nasional
berdasarkan
(Perkaban)
Nomor
Peraturan 3
Tahun
Kepala
Badan
2011
tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat diperlukan teori, asas dan konsep yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam membahas permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun teori, asas dan konsep yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Teori Fungsi Peraturan Perundang-undangan Secara umum, peraturan perundang-undangan fungsinya adalah “mengatur” sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Artinya, peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument) apapun bentuknya, apakah bentuknya penetapan, pengesahan, pencabutan, maupun perubahan. Bagir Manan mengemukakan bahwa fungsi peraturan perundangundangan, yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu: 1 Fungsi internal peraturan perundang-undangan terdiri atas: a) Fungsi penciptaan hukum melalui pembentukan hukum oleh organ legislatif dan eksekutif, keputusan hakim (yurisprudence), hukum adat, serta konvensi ketatanegaraan. b) Fungsi pembaharuan hukum untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman, kurang adil, tidak lengkap, atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini.
1
Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan (Makalah), (Jakarta: 1994), halaman 47.
14
c) Fungsi
integrasi
pluralisme
sistem
hukum,
ialah
mengintegrasikan beberapa sistem hukum dan atau materi-materi hukum sejenis sehingga tersusun dalam satu tatanan kodifikasi dan unifikasi hukum yang harmonis. d) Fungsi kepastian hukum (rechtszekerheid) untuk menjamin terpeliharanya upaya pengaturan dan penegakan hukum melalui perumusan norma hukum yang memenuhi kriteria asas, bentuk, pengertian, penggunaan bahasa, maupun keberlakuannya. Fungsi eksternal peraturan perundang-undangan terkait dengan fungsi sosial hukum, berkorelasi dengan hukum adat, yurisprudensi dan atau lingkungan tempat berlakunya peraturan perundang-undangan, yaitu: a) Fungsi Perubahan, berkenaan dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan (law as a tool social engineering) guna merubah kondisi SOSEKBUD masyarakat dan aparatur Negara, baik mengenai pola pikir maupun perilakunya dari status tradisional (konservatif)
ke
status
modern
(progresif),
dalam
rangka
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dianggap terbaik bagi kepentingan negara, pemerintah dan rakyat. b) Fungsi stabilisasi, mengandung pengertian peranan peraturan perundang-undangan untuk menstabilkan keadaan-keadaan tertentu, dari kondisi yang kacau dan carut marut ke kondisi yang lebih tertib dan terkendali; c) Fungsi
kemudahan,
ialah
untuk
memberikan
kemudahan-
kemudahan, toleransi dan fasilitas tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Kesemuanya itu mencerminkan bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Konsep bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Seidman terekspresikan dari dali-dalil: 1) Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak.
15
2) Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai respons peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lain. 3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan merupakan fungsi peraturanperaturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpanumpan balik yang datang dari para pemegang peranan. 4) Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatankekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.2 Dalam konteks Negara Hukum Indonesia elemen-elemen di atas merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan untuk melaksanakan dan mengefektifkan peraturan hukum agar mampu memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum bagi warga masyarakat. Efektivitas hukum menurut Satjipto Rahardjo, dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor utama, yaitu: 1) Sumber daya peraturan perundang-undangan; berkorelasi dengan persyaratan hukum yang baik secara yuridis, sosiologis, filosofis, politis, dan teknis; 2) Sumber daya manusia penegakan hukum; menyangkut kesiapan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di jajaran institusi penegakan hukum; 3) Sumber daya fisik penegakan hukum; berkenaan dengan pengadaan sarana dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan penegakan hukum; 4) Sumber Daya Keuangan; yaitu anggaran yang harus dipersiapkan untuk membiayai personil, sarana dan prasarana penegakan hukum; 5) Sumber Daya Pendukung lainnya; seperti kesadaran hukum warga masyarakat dan pra kondisi yang perlu dipersiapkan untuk mengefektifkan penegakan hukum3. 2
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, (Bandung: Angkasa, 1980), halaman 27. 3
Ibid., halaman 11.
16
2. Konsep Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Pandangan Makmur mengenai Pemerintahan yang Baik (Good Governance) yakni dapat dilihat dari 2 (dua) sisi pandang, yang pertama pemerintahan sebagai multiproses dari berbagai kegiatan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat, yang kedua pemerintahan dapat dilihat dari segi organisasi sebagai wadah untuk melakukan kerja sama dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan sebelumnya.4 Menurut Koiman, governance merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi
pemerintah
atas
kepentingan-kepentingan
tersebut.
Governance merupakan mekanisme-mekanisme, proses-proses dan institusi-institusi melalui warga Negara mengartikulasi kepentingankepentingan mereka, memediasi perbedaan-perbedaan mereka serta menggunakan hak dan kewajiban legal mereka. Governance merupakan proses lembaga-lembaga pelayanan, mengelola sumber daya publik dan menjamin realita hak azasi manusia. Dalam konteks ini, good governance
memiliki
hakikat
yang
sesuai
yaitu
bebas
dari
penyalahgunaan wewenang dan korupsi serta dengan pengakuan hak yang berlandaskan pada pemerintahan hukum.5
4
Makmur, Kriminologi Administrasi dalam Pemerintahan, (Bandung: Refika Aditama, 2013), halaman 38-39. 5
Hetifa Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, (Bandung: Yayasan Obor Indonesia, 2009), halaman 273.
17
Menurut dokumen United Nation Development Program (UNDP), tata kelola pemerintahan yang baik adalah “Penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat“. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Good Governance
merupakan
tata
pemerintahan,
adalah
penggunaan
wewenang ekonomi, politik, dan administrasi guna mengelola urusanurusan Negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan tersebut mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan
hak
hukum,
memenuhi
kewajiban
dan
menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Secara istilah, pengertian good governance dapat ditinjau dari 2 (dua) segi yang berbeda, yaitu good government governance dan good corporate governance. Good government governance dilihat dari sudut pandang pemerintah sedangkan good corporate governance dilihat dari sudut pandang korporasi atau perusahaan swasta. Dalam tulisan ini, good governance yang dimaksud adalah good government governance karena topik yang dibahas lebih condong pada sudut pandang kepemerintahan. Good governance meliputi 3 (tiga) domain, yaitu: state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Berdasarkan ketiga domain tersebut, good governance dapat didefinisikan kondisi yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: 1. Ketiga domain (state, private sector and society) mengetahui, memahami, dan menjalankan fungsinya masing-masing secara benar dan efektif;
18
2. Ketiga domain (state, private sector and society) memiliki hubungan yang pas, sesuai proporsinya, tidak kurang dan tidak lebih (appropriate relationship). Dalam dokumen kebijakan United Nation Development Program (UNDP) lebih jauh menyebutkan ciri-ciri good governance yaitu: 1. Mengikut sertakan semua, transparansi dan bertanggung jawab, efektif dan adil. 2. Menjamin adanya supremasi hukum. 3. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsesus masyarakat. 4. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.6 Kunci utama untuk memahami kepemerintahan yang baik (good governance) adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya. Selain itu, penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bertanggungjawab baru akan tercapai apabila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi, dan administrasi ketiga komponen good governance tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara. Interaksi dan kemitraan seperti ini biasanya baru dapat berkembang subur apabila prinsip-prinsip good governance telah diterapkan dengan baik. Menurut United Nation Development Program (UNDP) prinsipprinsip yang dikembangkan dalam Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) adalah sebagai berikut : 1) Partisipasi (Participation) 2) Kepastian Hukum (Rule Of Law) 3) Transparansi (Transparancy) 4) Tanggung Jawab (Responsiveness) 5) Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) 6) Berkeadilan (Equity) 7) Efektifitas dan Efisiensi 8) Akuntabilitas 9) Visi Strategis (Strategic Vision)
6
Ibid., halaman 3.
19
Jumlah
komponen
ataupun
prinsip
yang
melandasi
tata
pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.7
3. Konsep Maladministrasi Yang dimaksud pengertian maladministrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar termasuk penundaan pemberian pelayanan tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa sesorang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif, atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta tidak masuk akal. Maladministrasi8 merupakan perbuatan sikap maupun prosedur tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha saja. Hal-hal maladministrasi tersebut menjadi salah satu penyebab bagi timbulnya pemerintahan yang tidak efisien, buruk dan tidak memadai. Ukuran maladministrasi publik menurut Hardijanto9, dapat diukur dengan menggunakan parameter asas-asas pemerintahan yang baik (good governance) dan hak asasi manusia. Pada dasarnya asas umum good governance merupakan kristalisasi dari prinsip-prinsip akuntabilitas publik, transparansi/keterbukaan, dan kepastian hukum (rule of law). Prinsip penegakan hukum dalam good governance tidak dalam arti 7
Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil, (Bandung: Rafika ADITAMA, 2009), halaman 289. 8
Sadjijono, Memahami Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Laksbang Persindo, 2008), halaman 113. 9
Hardijanto, Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance, (Jakarta: Work Paper TOT, 2000), halaman 35.
20
sempit yang hanya meliputi hukum tertulis juga meliputi hukum adat dan etika kemasyarakatan. Budhi Masthuri berpendapat bahwa tindakan pejabat publik yang tidak sesuai dengan asas-asas umum good governance, seperti antara lain tindakan pengambilan kebijakan publik yang tidak transparan/tidak partisipatif, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan tindakan yang tidak sesuai dengan semangat supremasi hukum dapat dikategorikan menjadi perbuatan maladministrasi.10 Adapun
pandangan
Joko
Widodo
mengenai
makna
maladministrasi, yakni: “Suatu Praktek yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi”.11 Secara teoritis, maladministrasi dapat terjadi akibat adanya tindakan hukum pemerintah tersebut harus selalu didasarkan atas asas legalitas (Legalitiet Beginsel) atau perundang-undangan yang berlaku kategori administrasi bahwa tindakan hukum dimaksud bertentangan dengan kaidah atau norma dalam menjalankan pemerintahan termasuk norma hukum. Sehingga menurut Sunaryati Hartono tindakan atau perilaku maladministrasi bukan merupakan sekedar penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat negara atau aparat penegak hukum, tetapi juga dapat merupakan perbuatan hukum Onrechtmatige Overheidsdaad (perbuatan melawan hukum), Detournement de Pouvoir (kebijakan/kebijaksanaan), atau Detournement de Procedure (penyimpangan prosedur). 4. Teori Kewenangan Istilah kewenangan dan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan pandangan dari beberapa literatur yang ada. Secara konseptual istilah kewenangan sering disebut authority, gezag 10
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), halaman 50. 11
Joko Widodo, Good Governance, (Surabaya: Insan Cendikia, 2001), halaman 259.
21
atau yuridiksi dan istilah wewenang disebut dengan competence atau bevoegdheid.12 Menurut Juanda yang menyatakan bahwa “kewenangan adalah kekuasaan formal yang berasal dari atau diberikan oleh UndangUndang misalnya kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan terdapat kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang”.13 Sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu atau bidang tertentu saja.14 Sedangkan menurut pendapat Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Lukman Hakim, memakai istilah wewenang yang dapat dipertukarkan dengan istilah kewenangan, kedua istilah itu sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam bahasa Belanda.15 Menurut Atmosudirdjo antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid) perlu dibedakan, walaupun dalam praktik pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu.16 Kewenangan memiliki
kedudukan
yang
penting
dalam
menjalankan
roda
pemerintahan, di mana di dalam kewenangan mengandung Hak dan Kewajiban dalam suatu hubungan hukum publik. Menurut H.D Stout yang mengatakan bahwa: Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuurs rechtelijke
12
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), halaman 153. 13
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Alumnni, 2004), halaman 265.
14
SF. Marbun, Op. Cit., halaman 154.
15
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, (Malang: Setara Press, 2012), halaman 74. 16
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), halaman 78.
22
bevoegdhed en door publiek rechtelijke rechtssubjecten in het bestuurs rechtelijke rechtsverkeer.17 (Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik). Pemerintah dalam mengambil suatu tindakan, harus disadarkan pada hukum yang berlaku, oleh karena itu agar suatu tindakan pemerintah dikatakan sah, maka hukum memberikan suatu kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak maupun tidak. Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan 2 (dua) cara, yaitu: dengan atribusi atau dengan delegasi.18 Senada dengan hal tersebut, menurut pendapat F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek yang dikutip oleh Sajidjono, mengatakan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yakni atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi adalah menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada, untuk wewenang mandat dikatakan tidak terjadi perubahan wewenang apapun, yang ada hanyalah hubungan internal.19 Namun secara teoritis, pemerintah memperoleh kewenangan dari 3 (tiga) sumber, yaitu: atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan yang diperoleh secara atribusi menunjukkan pada kewenangan asli yaitu bahwa adanya pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang kepada suatu organ pemerintah. Suatu atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada suatu peraturan perundang-undangan. 17
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), halaman 101. 18
Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian Administrative Law, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), halaman 130. 19
H. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan II, Edisi II, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011), halaman 65.
23
Delegasi dapat diartikan adanya penyerahan/pelimpahan wewenang oleh pejabat pemerintah (delegans) kepada pihak lain yang menerima wewenang tersebut (delegatoris). Kewenangan yang diperoleh secara mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi antara pemberi mandat dengan penerima mandat. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, sumber wewenang bagi pemerintah dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena dalam penggunaan wewenang tersebut selalu berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum. Dalam pemberian kewenangan kepada setiap organ atau pejabat pemerintahan tertentu tidak terlepas dari pertanggungjawaban yang ditimbulkan. Badan
Pertanahan
Nasional
(BPN)
merupakan
Lembaga
Kementerian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, dan dipimpin oleh seorang Kepala, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 Jo. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya dalam Pasal 2 menetapkan, bahwa: “Badan Pertanahan
Nasional
mempunyai
tugas
melaksanakan
tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, yang kewenangannya diperoleh dari adanya pendelegasian wewenang. Begitu juga berkaitan dengan produk hukum yang dihasilkan oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dalam bentuk regulasi, yaitu salah satu dalam bentuk Peraturan Kepala Badan. Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari: (a) pendelegasian Undang-Undang; (b) peraturan kebijaksanaan.20 Dengan dibentuknya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 yang berkaitan dengan Pembatalan Hak 20
Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenscapelijkrecht) Konsolidasi Tanah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), halaman 25.
24
dalam
Atas Tanah menjadi dasar kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang disertai dengan tanggung jawab secara internal maupun secara eksternal dalam hal menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah.
E. METODE PENELITIAN Penelitian
ini
merupakan
penelitian
hukum
normatif
dengan
pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu mencari asas-asas, doktrin-doktrin dan sumber hukum dalam arti filosofis yuridis21 untuk memahami prinsip-prinsip pembatalan sertipikat hak milik atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya penelitian ini juga mencari bentuk konsep pembatalan sertipikat hak milik atas tanah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini akan mengkaji asas-asas yang berlaku umum atau disebut penelitian filosofis22 terhadap norma, kaidah serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kewenangan pembatalan
sertipikat hak milik atas tanah, maladministrasi keputusan tata usaha negara dan penerapan prinsip-prinsip good governance.
F. ANALISIS HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat, ternyata telah terjadi 3 (tiga) kasus pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi di wilayah Kalimantan Barat selama kurun waktu tahun 2013 sampai dengan tahun 2015.
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2005), halaman 137-139. 22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-13, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), halaman 62.
25
Adapun ketiga kasus pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi di wilayah Kalimantan Barat selama kurun waktu tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 adalah sebagai berikut: 1. Terbitnya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Kalimantan
Barat
Nomor:
03/Pbt/BPN.61/2013
tentang
Pencabutan dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 4434/Pasiran, atas nama Jintar Samosir yang terletak di Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang Provinsi Kalimantan Barat karena Sertipikat Hak Milik Nomor 4434/Pasiran seluas 86 M² (delapan puluh enam meter persegi) atas nama Jintar Samosir yang terletak di Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang penerbitannya
ternyata
terdapat
(tumpang
tindih
cacat
administrasi
dengan
aset
dalam
proses
Pemerintah
Kota
Singkawang berupa Rumah Dinas Kehutanan Eks. Kantor BPKH Singkawang). 2. Terbitnya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Kalimantan
Barat
Nomor:
03/Pbt/BPN.61/2015
tentang
Pencabutan dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 301/Desa Arang Limbung seluas 32.580 M2 atas nama Sri Darwatie Soenaryo dan Sertipikat Hak Milik Nomor 302/Desa Arang Limbung seluas 74.990 M 2 atas nama Syarifah Rugayah bin Syarif Abdurrahman Yang Keduanya Terletak Di Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya Yang Dimohonkan Oleh PT. Angkasa Pura II (Persero) karena Sertipikat Hak Milik Nomor 301/Desa Arang Limbung seluas 32.580 M2 atas nama Sri Darwatie Soenaryo dan Sertipikat Hak Milik Nomor 302/Desa Arang Limbung seluas 74.990 M2 atas nama Syarifah Rugayah bin Syarif Abdurrahman, dkk, yang keduanya terletak di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, ternyata dalam proses penerbitannya terdapat tumpang tindih dengan Hak Pakai PT. Angkasa Pura II (Persero).
26
3. Terbitnya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Kalimantan
Barat
Nomor:
06/Pbt/BPN.61/2015
tentang
Pencabutan dan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 1901/Desa Korek Atas Nama Lim Budiono Yang Terletak Di Desa Korek, Kecamatan
Sungai
Ambawang,
Kabupaten
Kubu
Raya
Yang
Dimohonkan Pembatalannya Oleh Sdr. Emmy Sudjana Karena Cacat Administrasi Yang Telah Dibuktikan Oleh Putusan Pengadilan Pidana Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap, karena Sertipikat Hak Milik Nomor 1901/Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang seluas 18.766 M2 atas nama Lim Budiono tumpang tindih dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 134/Desa Korek seluas 18.100 M2 dan Sertipikat Hak Milik Nomor 135/Desa Korek seluas 13.990 M2 atas nama Emmy Sudjana. Dari adanya kasus pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi di atas, maka perlu dilihat faktor-faktor yang menyebabkan sehingga terbitnya Sertipikat Hak Atas Tanah yang cacat
administrasi
tersebut. Adapun faktor-faktor penyebab terbitnya Sertipikat Hak Atas Tanah yang cacat administrasi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Internal a. Karena peta pendaftaran tanah yang belum lengkap dan administrasi pertanahan yang belum tertib. Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. Sedangkan Administrasi Pertanahan adalah keseluruhan proses dan informasi mengenai tanah secara efektif yang menaruh perhatian pada kepemilikan, nilai dan penggunaan tanah. Untuk mencegah terjadinya Sertipikat Hak Atas Tanah yang cacat administrasi tidak ada jalan lain harus mengoptimalkan administrasi pertanahan dan pembuatan peta pendaftaran tanah. Dengan adanya peta pendaftaran tanah dan administrasi pertanahan yang baik kesalahan letak dan batas dapat diketahui sedini mungkin, sehingga
27
terhadap Sertipikat Hak Atas Tanah yang cacat administrasi dapat segera dilakukan pembatalan. b. Adanya kesalahan dan ketidakhati-hatian yang disebabkan oleh karena kecerobohan atau ketidaktelitian dalam menerbitkan sertipikat hak atas tanah dari petugas pendaftaran tanah. Artinya petugas kurang meneliti dengan seksama dokumen-dokumen yang ada, sedangkan dokumen-dokumen tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. 2. Faktor Eksternal a. Adanya itikad tidak baik dari Pemohon sewaktu dilakukan pengukuran atau penelitian di lapangan, di mana Pemohon dengan sengaja menunjukkan letak tanah dan batas-batas tanah yang salah. Padahal tugas Badan Pertanahan Nasional hanya melakukan pengukuran berdasarkan penentuan batas-batas yang ditunjuk oleh pemohon atau pemilik tanah dengan persetujuan dari para tetangga yang berbatasan dengan pemohon atau pemilik tanah (contradictoire delimitatie). Dengan adanya persetujuan tetangga yang berbatasan dalam penentuan batas-batas yang ditunjuk oleh pemohon (contradictoire delimitatie),
maka
dapat
menghindari
sengketa
batas
dalam
penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah. b. Pemecahan atau Pemekaran Wilayah Terjadinya pemecahan atau pemekaran wilayah berakibat terjadinya perubahan batas-batas wilayah. c. Adanya Perubahan Tata Ruang oleh Pemerintah Kota/Kabupaten Adanya tanah yang sudah disertipikatkan oleh BPN lalu terjadi Perubahan Tata Ruang oleh Pemerintah Kota, sehingga timbul penguasaan-penguasaan baru (Undang-Undang menyatakan setelah penguasaan 20 tahun dapat jadi tanah hak) menyebabkan terjadinya tumpang tindih sertifikat. Sertipikat yang cacat administrasi jelaslah membawa akibat ketidakpastian hukum bagi pemegang hak atas
28
tanah yang sangat tidak diharapkan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Pembatalan sertipikat hak atas tanah, dapat dilakukan karena: 1. Adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan sertipikat hak milik atas tanah. Terkait dengan adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan sertipikat hak milik atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 62 ayat (1) Peraturan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 yang menentukan bahwa: “Sertipikat hak atas tanah yang mengandung cacat hukum administrasi
dilakukan
pembatalan
atau
pemerintah
melakukan
pencatatan perubahan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut peraturan
perundang-undangan”.
Selanjutnya
Pasal
62
ayat
(2)
Perkaban Nomor 3 Tahun 2011, menetapkan bahwa: a. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah; b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti; c. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat; d. kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas; e. tumpang tindih hak atau sertipikat hak atas tanah; f. kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dan g. kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan perbuatan hukum dalam menerbitkan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah diatur dalam Pasal 63 Perkaban Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi
dilaksanakan
dengan:
(a)
menerbitkan
Keputusan
pembatalan; dan/atau (b) pencatatan pemeliharaan data pendaftaran tanah”. 2. Sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, badan atau pejabat yang
29
berwenang dapat melakukan suatu tindakan hukum berupa pembatalan sertipikat hak atas tanah termasuk juga hak milik atas tanah. Tindakan hukum pembatalan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 55 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa: “Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa: a. pelaksanaan dari seluruh amar putusan; b.
pelaksanaan
sebagian
amar
putusan;
dan/atau
c.
hanya
melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar putusan”. Dalam kaitannya dengan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 56 ayat (1) yang menetapkan bahwa: “Perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan putusan pengadilan dilaksanakan dengan keputusan pejabat yang berwenang”. Jadi dalam hal dilakukan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah baik karena cacat hukum administrasi maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan suatu Keputusan sebagai bentuk dari tindakan hukum dari pejabat
yang
diberikan
wewenang
untuk
menerbitkan
Keputusan
pembatalan hak milik atas tanah. Dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah baik sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang menjadi dasar bagi Aparatur Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai wewenang untuk itu dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang berupa Penerbitan Keputusan Pembatalan adalah Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) dan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah karena cacat administrasi yang mengakibatkan suatu Sertipikat Hak Atas Tanah menjadi tidak sah dikuatkan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh
kekuatan
hukum
tetap,
hasil
penelitian
yang
membuktikan adanya cacat administrasi, keterangan penyidik tentang
30
adanya tindak pemalsuan dalam penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Hak Atas Tanah dan surat-surat lain yang membuktikan telah terjadi cacat administrasi. Sehubungan dengan adanya Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah karena cacat administrasi berdasarkan Pasal 62 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tersebut, menurut penulis dapat menimbulkan multi tafsir dan mengalami kesulitan dalam penerapannya. Adapun konsekuensi hukum diterbitkannya Keputusan Pembatalan sertipikat hak atas tanah berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan adalah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan hak atas tanah, yang secara teoritis pembatalan suatu keputusan dalam hal ini sertipikat hak atas tanah dapat berakibat batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (varniatigbaar). Dalam praktiknya, Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional
(Perkaban)
Nomor
3
Tahun
2011
tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan sangat efektif dalam penyelesaian sengketa tanah karena memberikan kepastian hukum atas kepemilikan hak atas tanah. Namun dari aspek aturan, aparat maupun budaya hukumnya harus diperbaharui dan diperjelas lagi.
G. PENUTUP 1. Kesimpulan Menutup uraian penelitian tesis ini, maka akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah karena cacat administrasi berdasarkan
Peraturan
Kepala
Badan
Pertanahan
Nasional
(Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat adalah karena adanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
31
(inkracht),
hasil
penelitian
yang
membuktikan
adanya
cacat
administrasi, keterangan penyidik tentang adanya tindak pemalsuan dalam penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Hak Atas Tanah dan surat-surat lain yang membuktikan telah terjadi cacat administrasi. 2. Adapun konsekuensi hukum diterbitkannya Keputusan Pembatalan sertipikat hak atas tanah berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan adalah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan hak atas tanah, yang secara teoritis pembatalan suatu keputusan dalam hal ini sertipikat hak atas tanah dapat berakibat batal (nietig), batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (varniatigbaar). 3. Dalam praktiknya, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan sangat efektif dalam penyelesaian sengketa
tanah
karena
memberikan
kepastian
hukum
atas
kepemilikan hak atas tanah. Namun dari aspek aturan, aparat maupun budaya hukumnya harus diperbaharui dan diperjelas lagi. 2. S a r a n Dari uraian kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan bahan rekomendasi sebagai berikut: 1. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional hendaknya berhati-hati dan bersikap cermat dalam penerbitan Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah mengingat salah satu pihak yang dibatalkan sertipikatnya akan merasa dirugikan dan terjadinya sertipikat hak atas tanah karena kelalaian dari Kantor Pertanahan selaku pihak yang memiliki kewenangan menerbitkan Sertipikat Hak Atas Tanah. 2. Hendaknya setiap Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memiliki peta pendaftaran yang lengkap dan administrasi pertanahan yang tertib
32
sehingga apabila terjadi adanya cacat administrasi dapat diketahui sedini mungkin. 3. Diharapkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mengadakan pembinaan dan pelatihan terhadap bawahannya agar tidak terjadi penerbitan sertipikat yang cacat administrasi, misalnya kesalahan prosedur dan kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan.
33
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR : Al Kajangi, H. Mustamin Daeng Matutu, et.al, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: UII Press. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Anggriani, Jum, 2012, Hukum Adminsitrasi Negara, Yogyakarta: Graha Ilmu. Atmosudirdjo, Prajudi, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Ghalia Indonesia. Barnett, Hilaire, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, London and New York: Routledge. Dewa, Muh. Jufri, 2011, Hukum Administrasi Negara: Dalam Perspektif Pelayanan Publik, Kendari: Unhalu Press. Direktorat Jenderal Agraria, 1982, Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dwiyanto, Agus, 2006, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hadjon, Philipus M., et.al, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian Administrative law, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ------------, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu. ------------, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (bestuurshandeling), Surabaya: Djumali. ------------, dan Titiek Sri Djatmayati, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Malang: Setara Press. Hakim, Abdul Aziz, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 34
Halim, Hamzah, 2009, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis & Praktis (Disertasi Manual Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris), Jakarta: Kencana Preneda Media Group. Harsono, Boedi, 2002, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan. Harahap, Zairin, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hartono, C.F.G. Sunaryati, dkk., 2003, Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia, Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional. Huda, Ni’matul, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hutagalung, Arie S., et.al, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Denpasar: Pustaka Larasan. HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Jeddawi, H. Murtir, 2012, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Total Media. Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni. Kerlinger, 2000, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Edisi 3, Cetakan Ketujuh, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Krina, P., 2003, Indikator dan Alat Ukur Akuntanbilitas, Transparansi dan Partisipasi, Jakarta: Sekretariat Good Public Governance, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Lotulung, Paulus Efendie, 1994, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Makmur, 2013, Kriminologi Administrasi dalam Pemerintahan, Bandung: Refika Aditama. Marbun, SF., 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty. ------------, dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cetakan Kelima, Yogyakarta: Liberty.
35
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana. Masthuri, Budhi, 2005, Mengenal Ombudsman Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita. Pujirahayu, Esmi Warrasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT. Suryandaru Utama. Purbopranoto, Kuntjoro, 1981, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni. Raharjo, Satijipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ------------, 1980, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Bandung: Angkasa. Saleh, K. Wantjik, 1990, Hak Anda Atas Tanah, Cet. Ke VI, Jakarta: Ghalia Indonesia. Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, Edisi Pertama, Cetakan Ke-2, Jakarta: Kencana. Schmid, J.J. Von, 1958, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT. Pembangunan. Setiawan, Yudhi, 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenscapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Seidmenn, Aan, et.all., 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, Jakarta: ELIPS. Sadjijono, 2011, Bab- Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan II, Edisi II, Yogyakarta: Laksbang Pressindo. ------------, 2008, Memahami Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Laksbang Persindo. Sedarmayanti, 2009, Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Bandung: Refika Aditama. ------------, 2004, Good Government (Pemerintahan yang Baik), Bandung: CV. Mandar Maju. Soehino, 1984, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, Yogyakarta: Liberty.
36
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press. ------------, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV. Ramadja Karya. ------------, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ------------ dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-13, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. Soetami A. Siti, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung: PT. Refika Aditama. Sumarto, Hetifa Sj., 2009, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Bandung: Yayasan Obor Indonesia. Sutedi, Adrian, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, Jakarta: BP. Cipta Jaya. ------------, 2011, Sertipikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika. Tjandra, W. Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Wade, H.W.R., 1977, Administrasi Law, Fourth Edition, England: Oxford University Press. Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Surabaya: Insan Cendikia. Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM-HUMA. Winata, Cecep, 2012, Bahan Ajar Modul 4: Kerangka Pemikiran Teoritik, Jakarta: FE-Universitas Mercu Buana.
MAKALAH / JURNAL : Arifin, Indar, 2012, Good Governance dan Pembangunan Daerah Dalam Bingkai Nilai Lokal Sebuah Studi Birokrasi dan Perubahan Sosial Politik, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Makassar: Universitas Hasanuddin.
37
Depdagri-LAN, 2007, Modul Kebijakan Pelayanan Publik, Diklat Teknis Pelayanan Publik, Akubtabilitas dan Pengelolaan Mutu (Public Service Delivery, Accountability, and Quality Management), Jakarta. Ekwarso, Hendro, dan Gunawan, 2011, Kajian Penciptaan Good Governance di Propinsi Riau, Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun 1, Nomor 2 Maret. Hadjon,
Philipus M., 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari.
Hanafiah, Pipin, 2007, Good Governance: Membangun Masyarakat yang Demokratis dan Nasionalis, (Makalah), Bandung: Fisip Unpad. Hardijanto, 2000, Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance, Jakarta: Work Paper TOT. Holle, Erick S., 2011, Pelayanan Publik Melalui Electronic Government Upaya Meminimalisir Praktek Maladministrasi Dalam Meningkatkan Public Service, Jurnal Sasi Vol. 17. No 3. Bulan Juli – September. Manan, Bagir, 1994, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan (Makalah), Jakarta. ------------, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional (Makalah), Jakarta. Syafrudin, Ateng, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,Bandung: Universitas Parahyangan. Syamsudin, Aziz, 2009, Ombudsman Republik Indonesia, Merengkuh Keluhan Rakyat ’Menjewer Sang Pejabat’, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jis Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
38
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
39