Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
Oleh Pdt. Daniel Ronda, Th.M[1]
Pendahuluan:
Adalah kunci bagi seorang hamba Tuhan untuk menguasai teknik menafsir Alkitab atau yang dikenal dengan nama hermeneutika. Karena dengan penafsiran yang baik akan menghasilkan suatu khotbah yang bermutu di mana ini merupakan kebutuhan vital jemaat.[2] Salah satu teknik penafsiran yang baru lagi dihargai dalam kelompok evangelikal adalah penafsiran naratif biblika.
Telah terjadi perubahan yang mendasar sikap kaum evangelikal terhadap pentingnya naratif biblika. Pada waktu lalu (sampai tahun 70-an) kaum evangelikal sangat jarang memfokuskan naratif Alkitab. Padahal teologi dalam Perjanjian Lama dan juga sebagian Perjanjian Baru diberikan kepada manusia dalam bentuk naratif. Yesus sendiri seringkali memberikan pengajaran dalam bentuk perumpamaan. Namun fokus lebih banyak diberikan kepada tulisan Paulus yang bersifat didaktik sehingga dapat dikatakan bahwa teologi kaum evangelikal sangat banyak mengarah kepada teologi Paulus.[3]
Dalam paper ini saya akan menjabarkan: 1) apa itu penafsiran naratif; 2) mengapa ini
1/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
penting dan baru dihidupkan dalam kaum Injili; dan 3) contoh pemakaiannya; serta 4) bagaimana hamba-hamba Tuhan mengembangkan teknik penafsiran naratif ini.
Apa Itu Penafsiran Naratif?
Penafsiran naratif atau disebut juga kritik naratif adalah “Cabang dari kritik sastra yang disebut dan mirip dengan apa yang telah dikerjakan oleh para pembaca sastra klasik berabad-abad lamanya. Upaya meneliti Alkitab sebagai sastra (literatur) dalam sekolah umum dan perguruan tinggi.”[4]
Di dalam penafsiran naratif, maka cara yang dipakai dalam menafsir naratif dalam Alkitab dengan menganalisis alur cerita (plot), tema, motif-motif, watak (karakterisasi), gaya (style), gambaran pidato, simbolik, bayangan, pengulangan, kecepatan waktu dalam naratif, sudut pandangan, dll.[5]
Harus dicatat bahwa kritik naratif dalam gereja Protestan (mainline) pengkajiannya lebih mementingkan nilai estetika sastranya daripada nilai teologi dan moral. Sedangkan kaum evangelikal mempercayai bahwa informasi dalam naratif ada inspirasi ilahi di dalamnya. [6]
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana memakai bentuk naratif di dalam khotbah? Jelas bahwa setiap penafsir harus mulai dengan eksegesis dan mengaplikasikannya ke khotbah. Tetapi penafsiran ini tidak memakai prinsip “tiga poin” khotbah yang disusun secara logis di sekitar garis besar utama dalam teks, melainkan khotbah disusun berdasarkan mengikuti cerita tersebut, menceritakan kembali drama dan membantu jemaat menghidupkan kembali drama dan tensi dalam narasi.[7] Di sini latar belakang cerita menjadi alat dalam khotbah, yang menuntun jemaat kepada situasi mula-mula dan mengaplikasikan ke situasi saat ini. Jadi dalam menyusun outline-nya disusun secara alami (bisa dua, tiga atau lebih m ain point ) tergantung dari ceritanya.
2/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
Mengapa Naratif Itu Penting dan Baru Dihidupkan Kembali?
Seperti yang dikatakan di atas penghargaan terhadap naratif baru dihidupkan dalam penafsiran evangelikal. Mengapa demikian? Ini jelas berhubungan dengan munculnya liberalisme pada pertengahan abad-18 an dengan munculnya kelompok Tubingen yang dipimpin oleh Ferdinand Christian Baur. Baur adalah mahaguru di Universitas Tubingen Jerman yang menerapkan filsafat dialektik Hegelian (tesis, antitesis, sintesis) dalam Alkitab. Sebagai contoh, kitab Kisah Para Rasul (KPR) adalah hasil dari seorang sejarawan yang revisionis yaitu sintesis dari Kristen Yahudi (tesis) dan Kristen non-Yahudi (antitesis). Singkatnya, KPR hanya memberikan sedikit saja kebenaran fakta sejarah karena ditulis pada abad kedua oleh seorang yang tidak dikenal yang menteologikan peristiwa-peristiwa dan membuat idealisasi sejarah kekristenan.[8] Walaupun di kalangan kelompok Tubingen, pendapat ini masih diragukan, namun inilah cikal bakal munculnya gerakan yang lebih ekstrim terhadap fakta historis baik di dalam keempat Injil maupun KPR yang melahirkan konsep kritik teks ( redaction criticism ).
Dapat dipahami mengapa reaksi kaum evangelikal sangat negatif. Bagi kaum evangelikal, setiap keraguan terhadap keakuratan sejarah dari Alkitab, maka itu merupakan serangan terhadap hakikat kekristenan. Sehingga kaum evangelikal menghadapi serangan ini membuat suatu pernyataan: bahwa para penulis kitab Injil bukanlah seorang teolog, tetapi sejarawan. Jadi kaum evangelikal menghindari pembahasan mengenai motivasi teologi dari penulis Injil dan juga tidak mau membahas maksud teologis dari suatu cerita/naratif.[9] Secara radikal dapat dikatakan bahwa Kitab Injil dan KPR telah dianggap sebagai dokumen sejarah dan mencoba menghindari ciri teologisnya. Dengan kata lain narasi di dalam Alkitab tidak lebih merupakan fakta historis saja.
Hal ini diperkuat oleh teolog evangelikal mula-mula seperti Bernard Ramm, John Stott, Gordon Fee dan Douglas Stuart dalam bukunya “How to Read the Bible for All its Worth (1981).” Mereka beranggapan bahwa cerita naratif tidaklah seberharga pengajaran didaktis. Malah Fee dan Stuart berkata, “Kecuali jika Alkitab secara eksplisit memberitahukan kita bahwa kita harus melakukan sesuatu, apa yang bersifat narasi dan penjelasannya tidak dapat berfungsi sebagai sesuatu yang normatif.”[10] Jadi doktrin tidak dapat didasarkan atas naratif saja karena naratif tidak dapat diukur ketepatannya.
Namun, pada tahun 80-an ke atas muncul ahli-ahli Alkitab dari kelompok evangelikal seperti Howard Marshall, Grant Osborne, Robert Stein, Joel Green, Darell Bock, Craig
3/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
Blomberg (dan masih banyak lagi). Mereka mulai mengembangkan konsep kritik teks seperti yang dilakukan ahli Alkitab dari Jerman (gereja main line), namun mempertahankan otoritas Alkitab sebagai Firman Allah. Dan pada saat yang sama, mereka mulai melihat bahwa ada perspektif teologis dalam kitab Injil dan KPR. Mereka menyatakan bahwa penulis Injil adalah benar seorang teolog dan mereka menuliskannya dengan berita khusus yang harus dipercayai oleh jemaat. Dengan kata lain, kitab Injil dan KPR diceritakan dengan membawa berita teologis.
Di gereja-gereja Indonesia sendiri juga baru mengalami kebangkitan kembali metode naratif ini. E. G. Singgih, yang dianggap sebagai pelopor kembali penafsiran naratif mengemukakan bahwa cerita-cerita Alkitab di gereja-gereja Indonesia telah turun derajatnya menjadi hanya dianggap cerita anak-anak untuk sekolah minggu saja. Bahkan para pendeta tidak merasa perlu menguasai metode naratif ini karena gaya sistematis dan teologis telah cukup lama berkuasa di gereja.[11] Kesadaran baru mulai tumbuh dengan melihat cerita Alkitab berbicara utuh pada dirinya sendiri dan perlu pendekatan khusus untuk memahami makna teologisnya.
Bila ini telah diterima, maka jelas sekali pentingnya mengembangkan penafsiran naratif karena melaluinya dapat digali kekayan naratif di dalam Alkitab termasuk kitab Injil dan KPR. Grant Osborne berkata, “Saya menentang kecenderungan untuk menolak dimensi teologis naratif bersifat tidak langsung daripada langsung. Ini menyngkali hasil dari kritik teks yang telah menunjukkan bahwa naratif biblika adalah sesungguhnya bersifat teologis sebagai intinya dan menuntun pembaca untuk menghidupkan kembali kebenaran yang terbungkus dalam cerita. Naratif tidaklah langsung sebagaimana materi yang bersifat didaktis, tetapi memiliki poin teologis dan mengharapkan pembaca berinteraksi dengan beritanya. Alasan saya adalah naratif biblika dalam bentuknya bahkan lebih baik daripada pengajaran yang diaplikasikan kepada situasi yang sama di dalam kehidupan manusia.”[12] Jelaslah dengan perkembangan di atas, naratif di dalam Injil, KPR dan kitab lainnya telah memiliki makna yang baru dan berharga di dalam kehidupan jemaat.
Contoh Naratif: Matius 28[13]
Matius 28 adalah cerita tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan hubungan dengan misi Kristen. Biasanya orang tertarik membahas ayat 16-20 saja yaitu dengan mengekesegesis atau mengeksposisi kata pergi, jadikanlah, ajarlah, baptislah. Bahkan dalam mencoba menemukan
4/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
grammar -nya dengan mengatakan bahwa kata jadikanlah yang merupakan maksud utama, alasannya dengan terdapatnya kata sandang tersendiri yang tidak ada pada ketiga kata perintah itu. [14] Walaupun ini benar bahwa hanya kata jadikanlah yang berisi kata sandang, tidak berarti bahwa itu inti dari berita dalam naratif. Bila memang kata jadikanlah yang menjadi inti, tentu Injil Markus dalam pasal 16 yang berisi catatan tentang perintah Yesus akan menyebut hal yang sama. Ternyata kata pergi menjadi dominan dalam misi.
Berdasarkan naratif ini lalu dihubungkan, mengapa perlu menyebarluaskan berita tentang Kristus. Bila kita mengikuti pola penafsiran naratif, maka akan dilihat aktor, setting, plotnya. Aktornya adalah Yesus, para murid, wanita-wanita, malaikat, para serdadu dan pemimpin agama. Plot dari narasi ini adalah adanya upaya menutupi kebenaran kebangkitan dengan cara dua cara. Pertama, menutup kubur dengan batu yang besar, dijaga serdadu dan diberi materai (pasal 27). Namun upaya itu gagal. Kedua, dengan menyuap para serdadu, para pemimpin agama mengharapkan bahwa akan terbentuk opini mayat itu dicuri. Itulah sebabnya pada sisi lain, malaikat menyuruh para wanita pergi untuk menyampaikan berita bahwa Kristus sudah bangkit. Dan Yesus pun menyuruh mereka pergi menyampaikan kemenangan kebangkitan ini. Setting dari narasi ini adalah di gua kubur, di suatu tempat lain dengan suasana takut bercampur gembira serta adanya kepastian aan kemenangan. Tetapi tokoh antagonis menginginkan kematian Yesus selama-lamanya.
Bila hendak disampaikan dalam bentuk khotbah, maka salah satu main point dapat diambil dari plotnya yaitu misi kemenangan Kristus harus diberitakan karena ada yang berupaya menutupi kebenaran itu. Kemudian bisa mengambil dari setting -nya di mana adanya kepastian kemenangan menghilangkan ketakutan. Ini hanya merupakan contoh singkat betapa model penafsiran naratif akan memperkaya kehidupan jemaat.
5/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
Kesimpulan
Nenek moyang orang Indonesia kaya akan cerita di mana dengan bercerita mereka meneruskan pesan moral kepada generasi berikutnya. Cerita bagi orang Asia memiliki kekuatan untuk membentuk diri seseorang, bahkan membentuk masyarakat yang mendengarnya.[15] Alkitab pada saat yang sama mempunyai kemiripan dalam menyampaikan maksud Allah yaitu melalui cerita. Itu sebabnya penting seorang hamba Tuhan untuk belajar metode panafsiran naratif ini. Bila di Barat orang Kristen mulai menghargai cara orang Asia mendidik generasi penerus dengan cerita, [16] maka adalah kewajiban setiap hamba Tuhan belajar hal ini lebih serius mengembangkannya, yang pada akhirnya dapat memperkuat dunia kekristenan.
[1] Disampaikan di Kapel STT Jaffray Makassar, 27 Januari 2000.
[2] Ingat bahwa Protestantisme sejak Luther dan Calvin pada zaman reformasi sangat mementingkan pemberitaan Firman Tuhan dalam ibadah yang menggantikan misa yaitu korban Kristus yang menjadi sentral dalam ibadah seperti yang dilanjutkan dalam tradisi Katolik.
[3] Lihat diskusi dalam Robert P. Menzies, “The Quiet Revolution: The New Role of Narrative in Evangelical Hermeneutics,” dalam presentasi di Asian Evangelical Society, Manila: 19 Januari 1999.
6/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
[4] A. A. Sitompul & U. Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPKGM, 1998), 302.
[5] Ibid., 303. Karena keterbatasan tempat untuk mambahas satu per satu tentang plot, dsb., maka buku yang baik untuk itu adalah Metode Penafsiran Alkitab oleh Sitompul dan Beyer. Walaupun harus diingat bahwa buku ini tidak mewakili pandangan kaum evangelikal, namun prinsip-prinsip penafsiran bisa dipakai dengan presuposisi yang jelas bahwa Alkitab adalah Firman Allah.
[6] Ini juga merupakan kesimpulan Sitompul dan Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, 303.
[7] Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral (Downers Grove, Ill.: InterVarsity, 1991), 172.
[8] Menzies, “The Quite Revolution,” 4.
[9] Ibid., 5.
[10] Gordon D. Fee & Douglas Stuart, How to Read the Bible for All its Worth (Grand Rapids, Mich. Zondervan, 1981), 97.
[11] E. G. Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), 152.
[12] Osborne, The Hermeneutical Spiral, 172.
[13] Bdk. Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, 155-165. Saya memakai contoh ini karena E.G. Singgih juga dalam bukunya mengangkat cerita naratif ini dengan kesimpulan yang bertolak belakang dengan apa yang saya uraikan. Bagi Singgih, misi pergi
7/8
Naratif Dalam Hermeneutika Kaum Evangelikal Written by Daniel Ronda Thursday, 16 April 2015 06:19 - Last Updated Wednesday, 29 April 2015 01:52
adalah pelayanan yang bersifat holistik melihat konteks narasi sebelumnya. Bagi saya, misi pewartaan Kristen harus terus dilakukan, walaupun caranya harus melihat konteks di mana Injil disampaikan. Pewartaan verbal yang menjadi ciri khas kaum evangelikal masih relevan dalam narasi ini.
[14] Lihat kesimpulan Vergil Gerber, Pedoman Pertumbuhan Gereja/Penginjilan (Bandung: Kalam Hidup, 1982), 14.
[15] Lihat C. S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami: Teologi Cerita dari Perspektif Asia (Jakarta: BPK GM, 1993), ix-xii.
[16] Lihat Menzies, “The Quite Revolution,” 15.
8/8