128 •
"SEKHAR PRO DAN KONTRA ADANYA LEMBAGA SANDERA DALAM HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA". Perlukah dihidupkan kembali di dalam .pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata bam mendatang? .
_ _ _ _ _ _ _ Oleh: Mochtar Rosyidi, S.H. _ _ _ _ _ _--' 1. Pendahuluan Masalah lem bag a sandera sekarang perlu diketengahkan lagi, oleh karena di sam ping Pemerintah telah berhasil mengundangkan K.UB.A. Pidana tanggal 31 Desem ber 1981 juga yang lebih penting lagi bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata baru telah selesai penyusunannya. Pada Naskah RUU Hukum Acara Perdata tersebut secara tegas tidak mencantumkan lem baga sandera, karena dianggapnya bahwa di dalam praktek banyak dan mudah disalah-gunakan, sehingga merupakan senjata ampuh bagi para kapitalis untuk menekan dan memaksa orang-orang yang lemah ekonominya. Untuk lebih jelasnya penulis kutipkan pasal 179 dari Naskah RUU Hu.kum Acara Perdata, yang merupakan pasal terakhir dari Bab VII Tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Pasal 179 menentukan : Putusan suatu badan Pengadilan dari suatu Negara Asing yang dim intakan pelaksanaannya di Indonesia dengan peran taraan Pengadilan Negeri tidak dapat dijalankan . (Panitia sepaham dengan aliran yang ada dalam kaiangan Mahkamall Agung bahwa "lembaga sandera (giizelingJ" dalam Hukum Acara Perdata seperti yang diatur dalam HIR dalam prakteknya banyak dan mudah disalah gunakan, sehingga dapat merupakan senjata yang am-
puh bagi para kapitalis untuk menekan dan memaksa orang-orang yang lemah ekonominya, maka oleh karena itu Panitia berpendapat cukup alasan untuk tidak memasukkan 'lem bag a sandera" dalam Naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdana inn. Pengutipan hal di atas, penulis tidak bermaksud lain kecuali agar mendapat penilaian yang lebih obyektif khususnya dari kalangan para pengabdi hukum mengenai lembaga sandera, sehingga perlu atau tidaknya lem baga . sandera tersebut diatur dalam K.U. H.A. Perdata baru mendatang. Perihal lem baga sandera dalam H ukum Acara Perdata pernah menjadikan • polelhnik justru khususnya dari para pengabdi hukum sendiri. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Majalah Hukum dan Keadilan: No.2 tahun kesatu bulan lanuari - Pebruari 1970, No. 4 tahun kesatu bulan Mei - luni 1970, No. 6 tahun kesatu bulan Septern ber - Oktober 1970, No. I tahun kedua bulan Nopember - Desember 1970. Perlukah lembaga sandera dihidupkan kern bali dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang baru? Mengenai hal ini pada prinsipnya ada dua kelompok yang berbeda, yakni yang pro dan yang kontra terhadap adanya lembaga sandera dalam Hukum Acara Perdata. Pendapat-pendapat mana dikemukakan dengan disertai alasannya masing-
,
Ll'm baga Sandera
masing oleh para pendukungnya, yang secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini. Di dalam tulisan ini pula akan dikcmukakan di samping pendapat penulis sendiri juga hasil wawancara penulis dengan beberapa Hakim, Advokat dan Pengacara di Bandung dan Jakarta. Dengan harapan sellloga tulisan ini ada manfaatnya.
2. Lembaga sandera dalam Hukum Acara Perdata dewasa ini. Lembaga sandera yang diatur oleh pasal 209 sid 223 HIR pernah berlaku, dalam rangka eksekusi pada Pengadilan-I)engadilan di Indonesia. Hal mana menyangkut pelaksanaan putusan Hakim secara tidak langsung, yaitu dengan menyandera pihak yang kalah. Den"an '" cara ini diharapkan , bahwa pihak yang dimcnangkan perkaranya dapat meIllperoleh semua isi putusan Hakim yang tetap. Pada tanggal 22 J anuari 1964 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Fdaran No. 2 tahun 1964, dim ana Mahkamah Agung berpcndapat bahwa penyanderaan adalah bertentangan dengan azas pcri-kemanusiaan. Surat Edaran Mahkamall Agung No. 2/1964 tersebut disusul kemudian dengan Surat hlaran Mahkamah Agung No. 02 tahun 1975 tcrtanggal 1 Desember 1975, yang pada pokoknya mencgaskan lagi bahwa tidaklah dibenarkan untuk menggunakan lembaga sandera, dan dalam melaksanakan eksekusi haruslah sesuai dcngan ketcntuan yang . terdapat dalam pasal 33 UndangUndang No. 14 tahun 1970 Tentang Ketcntuan-I\.etentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu tidak bolch meninggalkan alas peri-kemanusiaan. Dalam waktu an tara dikeluarkan ua SEM A di atas, yaitu pada 'tanggal 27 Md 1974 Pcngadilan Negeri Jakarta Utara Timur dengan Penetapannya No. I I I 974/(;ijz., yang TIlt'/lgablll-
129 kal1 permohonal1 penyanderaan tel all
dibatalkan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan Penetapan No. 951/Kj Sip.j1974, tertanggal 6 Pebruari 1975. Dengan demikian dapatlah dikatakan, ballwa sejak tanggal 22 Januari 1964 hingga kini secara praktis lem' baga sandera dalam Hukum Acara Perdata sudah tidak lagi ada lagi. Maka ketentuan-ketentuan perihal sandera di luar HIR dengan sendirinya tidak berfungsi lagi, yaitu yang diatur oleh pasal 580 sid 606 Reglemen t op de burgerlijk rech tv ordering (RV),dan pasal 84, 85 86, 87 dan pasal 32 ayat (3) Faillissement Verordening (FV).
3. Lembaga sandera menurut Undang-Undang No. 49/Prp/1960 Tentang Panitia Urusan Piu tang Negara. Berbeda dengan lem baga sandera yang ' diatur oleh pasal 209 sid 223 HIR, pada lembaga sandera yang diatur oleh pasal 10 ayat (3) UndangUndang No. 49/Prp/1960 tersebut hingga kini masih diakui yaitu dalam rangka ' menyelesaikan piu tang-piu tang Negara yang dinyatakan macet dan diserahkan pcngurusannya kepada PUPN. Oi sam ping itu, kiranya dapatlah ditam bahkan bah wa lem baga sandera juga masih diakui dalam hal hu tang pajak yang tidak dibayar, yang diatur oleh pasal 15 sid 23 Undang-Undang No. 19 tahun 1959, L.N. TH. 1959 No. 63 Tentang Penagihan Hutang Pajak Negara Dengan Surat Paksa. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 49/Prp/1960 terse but menentukan: "Pelaksanaan ini, dilakukan oleh Ketua Panitia dengan mengeluarkan suatu surat paksa, yang dapat dijalankan secara pensitaan dan pelelangan barang-barang kekayaan pcMar,., 191U
>2.]1Ji5
241131
;:
.. !l$$.$
G Te:; 113
_ is;
A)
,I ,:
; )PSLL'
.: ;
,
:s. :
,
.... : ; 0 ; ' T"
130
•
nanggung hu tang dan secara penyanderaan terhadap penanggung hutang". Berdasarkan pasal II Undang-Un• dang No. 49/Prpfl960, antara lain menentukan- bahwa ketentuan-ketentuan perihal sandera dalarn UndangUndang No. 19 tahun 1959, L.N. TH. 1959 No. 63, yaitu yang diatur oleh pasal 15 sid 23 diberlakukan juga untuk PUPN. Secara singkat terjadinya penyanderaan dalarn PUPN, sebagaimana terurai di bawah ini. Suatu piutang negara yang dinyatakan macet dan diserahkan pengurusannya kepada PUPN akan dibuatkan Surat Pernyataan Serah Terirna Piutang Negara, yang selanjutnya PUPN akan mengadakan penelitian. Kemudian dilakukan penagihan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Panggilan atau Surat Peringatan yang langsung ditujukan ke alarnat debitur. Apabila debitur hadir atas panggilan itu, maka akan diinterogasi perihal hutangnya kepada Negara. Kalau debitur itu inengakui hutangnya, maka akan dibuatkan Surat Pernyataan Bersarna, yang ditanda tangani kedua be1ah pihak, antara debitur dan PUPN. Apabila ternyata debitur tetap tidak mau atau lalai memenuhi isi Sur at Pernyataan Bersarna tersebut PUPN dapat mengeluarkan Surat Paksa untuk menagih sekaligus seluruh sisa hutang debitur. Kalau ternyata misalnya, debitur dipandang nakal atau membahayakan piutang Negara (akan melarikan diri atau mengalihkan atau menyembunyikan baranjkbarangnya), malta terhadap debitur ini dapat dikenakan penyanderaan dengan bantuan Polisi atau Jaksa. Sehubungan dengan perihal sandera dalam PUPN ini, perlulah ditam bahkan bahwa dalarn Rapat Kerja yapg diadakan di Bandung bulan Mei 1981,
"sa
2
LI'
'LOLa a as;
1 s
' _ ;0
1£
,
iE .,iliNZI;:;. G'LL . '
=
Hukum dan Pembangunan
oleh PUPN Pusat dengan 22 Kantor Cabang di seluruh Indonesia, salah satu hasil diantaranya adalah "menginginkan lem baga sandera dalarn PUPN digalakkan ".
4. Masalah pro dan kontra terhadap adanya lembaga sandera dalam Hukum Acara Perdata. Seperti yang telah disebutkan terdahulu, bah wa lem baga sandera pernah menjadikan polemik khususnya oleh para pengabdi huku,m sendiri, sehingga pada prinsipnya menimbulkan dua kelompok, yakni kelompok yang pro dan , kontra terhadap adanya lembaga sandera dalam Hukum Acara Perdata. A. Kelompok yang pro terhadap adanya lembaga sandera, antara lain mengemukakan: a. Bahwa, dilihat dari sudut · yuridis fOl1Uil peraturan yang berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung tidak cukup berdasar atau tidak cukup sah. Karena Mahkamah Agung tidak bisa membatalkan ketentuan-ketentuan perihal sandera yang ter.cantum dalarn HIR sebagai Undang-Undang. Dan Surat Edaran Mahkamah Agung itu bukan sebagai sumber hukum, kecuali melalui pu tusan kasasi yang dapat menJadi yurisprudensi te- ' tap. b. Bahwa, dasar dari peri-kemanusiaan yang dipakai sebagai alasan Mahkamah Agung tersebut keliru dan tidak benar. Penyanderaan sebagai lembaga hukum itu tidak bertentangan dengan Pancasila, apalagi dengan peri-kemanusiaan yang bersifat universal. Hal ini terbukti, bahwa di negara-negara Barat yang juga mempunyai dasar peri-kemanusiaan lem baga sandera tetap ber-
• ~embaga
Sandera
laku dan dapat berjalan dengan baik. Dan apabila elilihat dari sudut Pancasila, hendaknya jangan ditinjau dari satu sila saja yaitu sila peri-kemanusiaan, melainkan harus dari kelima sila secara bulat atau dalam kaitannya yang tidak terlepaskan dengan sila-sila lainnya. c. Bahwa, Pemerintah dan Mahkamah Agung ternyata juga tidak konsekwen sikapnya mengenai . lem baga sandera ini. Hal ini terbukti, bahwa hingga kini masih diakui lem baga sandera oleh PUPN, berdasarkan Undang-Undang No. 49/Prp/1960. Pula, hingga kini lembaga sandera masih diakui juga, dalam hal hutang pajak yang tidak dibayar, yang diatur oleh pasal 15 sId 23 Undang Undang No. 19 tahun 1959, L.N. TH. 1959 No. 63 Tentang Penagihan Pajak Negara Dengan 8urat Paksa; serta berdasarkan 8tbl. 1917 No. 171 Jo 8tbl. 1927 No. 392, yang telah diubah dengan 8tbl. 1937 No. 207 Perihal Hutang Pajak Yang Tidak Dibayar. d. Bahwa, dengan ditutupnya lembaga sandera berakibat tidak berfungsinya mekanisme (proses) hukum untuk mendapatkan keadilan (regres) dalam hal adanya ingkar janji atau wanprestasi di dalam perkara-perkara perdatao Hal ini berakibat, bahwa orang-orang yang patuh dan taat pada hukum menjadi frustasi, sehingga tidak mempunyai kepercayaan lagi pada hukum. Akibat lebih lanjut, bahwa banyak orang atau bad an hukum yang sering mencari sanksi eli luar hukum atau Pengadilan eli luar Indonesia. e. Bahwa, dengan dila:angnya pe~,
131 nyanderaan, hal itu merupakan salah satu sebab yang menimbulkan pihak yang menang lalu kurang puas terhadap cara eksekusi. Dalam praktek sering terjadi, bahwa kemenangan dalam suatu perkara perdata hanya merupakan kemenangan di atas kertas saja. 8ehingga eksekusi itu tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Misalnya barang-barang milik pihak yang kalah sudah dialihkan atau disembunyikan jauh-jauh hari atau pada saat ia punya niat buruk akan sengaja melakukan ingkar . .. JanJl. f. Penyanderaan adalah semacam sanksi pidana dan sangat berfaedah. Hal ini merupakan semacam jaminan untuk orang-orang yang secara sadar melakukan ingkar janji. Penyanderaan sifatnya memaksa, akan tetapi tidak bertentangan dengan hukum. Kalau lembaga sandera tidak diatur atau tidak diadakan, maka dalam praktek banyak terjadi penyalah gunaan dan mendorong terjadinya cara main hakim sendiri (eigenricli'tihg). Hal ini di dalam praktek dapat terjadi dengan cara atau bentuk yang beraneka, dan yang paling membahayakan serta mengkhawatirkan adalah tim bul dan berkem.bangnya kelompok-kelompok orang yang bersedia untuk menagihkan piutang-piutang seseorang. Cara-cara yang dilakukan kadang-kadang sungguh diluar batas perikemanusiaan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Ini berjadi barangkali karena irnbalannya yang cukup besar, yaitu sekitar 50% dari jumlah hutang yang ditagih. Sebagai contoh misalnya, pada waktu debitur melaMaret 198j
132
Hukum dan Pembangunan
kukan hutang kepada kreditur telah memberikan jaminan yang cukup, berbentuk Cek, Wesel atau Giro Bilyet (Surat berharga). Akan tetapi sebelum sampai hari jatuhnya surat itu, sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau diblokir oleh debitur sendirio Debitur mau membayar surat berharga yang dijaminkan itu dengan harga jauh di bawah nilai nominalnya, yaitu antara 40% sid 60% atau bahkan kadang-kadang sampai 20% dan diangsur lagi. Kalau kreditur tidak mau dibayar dengan harga sebesar itu, dipersilahkan menggugat melalui Pengadilan. B. Keiompok yang kontra adanya lembaga sandera dalam Hukum Acara Perdata, antara lain mengemukaKan: a. Lem baga sandera adalah bertentangan dengan sila peri-kemanusiaan sebagai salah satu sila dari Pancasila, terutama apabila lembaga sandera dikenakan terhadap pihak yang kalah yang memang sudah tidak mempunyai apa-apa lagi dan benar-benar sudah tidak mampu untuk membayar hutanya. Apabila pihak yang kalah disini dikenakan sandera sudah barang tentu akan membawa akibat fatal bagi keluarganya sehingga keluarga itu hancur berantakan, karena orang yang disanMra itulah justru yang mencari nafkah setiap hari bagi keluarganya. b. Bahwa, eksekusi ;, yang · kurang memuaskan bukan karen a tidak diperbolehkannya penyanderaan, akan tetapi antara lain teIjadi oleh karena pihak yang kalah sering menggunakan oknum-oknum tertentu yang tidak ber-
C.
•
tanggung jawab, sekalipun sudah ada larangan bahwa oknumoknum terse but dilarang ikut cam pur tangan dalam perkara perdata. Bahwa, seseorang yang akan mem berikan pinjaman kepada orang lain haruslah tetap berhatihati, yaitu dengan cara meminta jaminan yang cukup serta memeriksa apakah benar barang yang dijaminkan itu betul-betul miliknya. Dan apabila terjadi adanya perselisihan di Pengadilan, maka pihak kreditur dapat pula mengajukan peIlllohonan sita jaminan atas barang-barang milik debitut (tergugat), untuk menjamin bahwa ia benar-benar akan memperoleh kern bali' piu tangnya.
d. Apabila debitur nyata-nyata akan melakukan Chicanes dan membuat hutang dengan sekehendak hatinya tanpa memperdulikan apakah kelak ia dapat membayar kern bali, maka debitur itu toh dapat dituntut berdasarkan penipuan (pasal 378 K.U. H. Pidana).
S. Pendapat penulis Diatas telah penulis kemukakan secara singkat pendapat yang pro dan kontra terhadap adanya lem bag a sandera . dalam Hukum Acara Perdata, baik yang terdapat dalam Majalah Hukum dan Keadilan serta literatur lain, seperti telah terse but terdahulu, juga hasil wawancara penulis dengan beberapa Hakim, Advokat dan Pengacara di Bandung dan Jakarta. Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat yang pro dan menganggap perlu diadakan atau diatur dalam pembentukan Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata baru mendatang, akan tetapi dengan batasbatas tertentu. Dengan batas-batas
Lembaga Sandera
tertentu, dimaksudkan agar lem baga sandera benar-benar dapat dirasakan manfaatnya dan tidak disalahgunakan serta tidak dipergunakan untuk mengadu domba rakyat yang malah bisa meresahkan masyarakat. Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan oleh pendapat yang pro terhadap adanya lem baga sandera dalam hukum Acara Perdata, menurut pendapat penulis juga ada beberapa hal yang dapat ditam bahkan, diantaranya yaitu : a. Bahwa, berdasarkan pasal 26 ayat (2) Un dang Undang Pokok Agraria, No. 5 tahun 1960, dim an a orang asing tidak boleh memiliki hak at as tanah. Pula, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.1 0 tahun 1959, bahwa orang asing juga tidak boleh melakukan usaha perdagangan di suatu tempat tertentu. Untuk menyimpangi hal-hal di atas, di dalam praktek sering terjadi yang bersangkutan dipergunakan kedok/topeng membeli tanah-tanah dengan diatas namakan anak-anak atau saudara-saudaranya, bahkan orang lain misalnya pembantunya. Demikian juga dalam dunia perdagangan, sering terjadi perusahaan dijalankan oleh anak-anak atau saudara-saudaranya, yang sebetulnya milik modal usaha perusahaan tersebut adalah orang asing. Di dalam dunia perdagangan apabila segal a sesuatunya diatur secara sangat fOlluil dan ketat, hal itu akan mengham bat perkem bangan usaha perdagangan. Sehingga dalam praktek sering terjadi, bahwa perjanjian hutang piutang secara kepercayaan saja. Dalam hal ini, jika debitur sengaja ingkar janji atau wanprestasi maka kreditur akan mengalami kesulitan untuk meminta piutangnya. b. Bahwa. di dalam Burgerlijk Wet-
133
boek (B.W) terdapat tiga azas perjanjian, yakni azas keterbukaan (pasal 1338 ayat 1), azas kesepakatan/konsensus (pasal 13 20) dan azas itikad baik (pasal 1338 ayat 3). Dengan demikian apabila suatu surat perjanjian yang dibuat atas dasar ketiga azas terse but di atas maka perjanjian itu berlaku sebagai Undang-un dang bagi pihak-pihak yang mem buatnya. Bahkan bisa dianggap lebih tinggi derajatnya dari pada Undang-undang, yaitu apabila dalam perjanjian itu dicantumkan clausule, bah wa levering dilakukan di rumah pem beli, misalnya. Dalam hal ini masalah akan timbul , misalnya, apabila dalam suatu perjanjian yang dibuat atas dasar ketiga azas perjanjian tellllaksud di atas dan dicantumkan clausule: "bilamana ternyata debitur dikemudian hari tidak bisa membayar lUnas atautidak teplU: pada waktunya, debitur mau dan bersedia secara sukarela untuk disandera". Masalah di atas apabila sampai di Pengadilan tentunya akan menjadikan masalah baru yang cUkup sulit untuk dipecahkan, mengingat lembaga sandera sudah tidak boleh dipergunakan lagi. Menurut pendapat penulis, justru dengan diadakannya lem baga sandera dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata baru mendatang, ketiga azas perjanjian dapatlah ditegakkan sebagaimana mestinya, khususnya azas keterbukaan. Sehingga pada akhimya Hukum Perjanjian akan dihormati dan ditaati isinya oleh masing-masing pihak, serta an tara Hukum Perjanjian dan lem baga sandera dapatlah berjalan seiring (serasi) Dalam Negara Hukum Indonesia tepatlah kiranya pepatah: "orang itu harus dapat dipegang mulutnya", dan bahwa "suatu janji akan dibawa mati". Maret 1983
---~
134
Hukum dan Pembangunan
c. Bahwa, pada prinsipnya sampai kinipun masih diakui adanya lembaga sandera dalam suatu proses perkara perdata maupun proses perkara pidana di Pengadilan. Hal ini terbukti, yaitu terhadap saksi yang tidak mau (enggan) memenuhi kewajibannya di depan Pengadilan, dalam perkara perdata diatur dalam pasal 148 HIR. Sedangkan tet'hadap saksi yang tidak mau atau enggan memenuhi kewajibannya dalam perkara ' pidana, diatur berdasarkan pasal 161 K.U H.APidana (baru). ,
,
d. Bahwa, lembaga sandera tidaklah selalu , bertentangan dengan azas peri-kemanusiaan. Apabila debitur .nyata-nyata 'beritikad . buruk, dengan macam-macam dalih dan cara sengaja melakukan ingkar janji dan dengan sengaja pula menyembunyikan barang-barangnya, baik yang ada di dalam' negeri maupun ke luar negeri, maka tidaklah adil jika pihak debitur itu tidak bisa atau tidak boleh . dibatasi kebebasannya agar barang-barang terse but dikeluarkannya untuk memenuhipiutang pihak kreditur. •
•
Bahan apakah tidak bertentangan dengan sila peri-kemanusiaan yang adil dan beradab, jika karena satu dan lain hal hingga kreditur jatuh , . miskin, apalagi ia sampai minta bantuan pihak ketiga di luar hukum. Bukankah itu berarti, bahwa azas peri-kemanusiaan dalam Pancasila itu justru ,dipergunakan untuk melindungi . debitur yaJ}$ berlebihan, yang tidak selalu dalam keadaan ekonomis le~ah, yang sebenarnya haruslah puia ' diperhatikan kepentingan kreditur, yang tidak selamanya dalam keadaan fmansiil .k uat. Pada dewasa ini dan dugaan di · masa datang, dalarn,-dunia- perdagangan khususnya arifara pihak mditur dan debitur urnumnya status
sosial ekonomisnya sarna kuat. I;Ial ini diantaranya sebagai akibat hasil program pembangunan nasional dan kemajuan tehnologi yang makin bertam bah maju (modem), Dalam hal ini penulis berharap, hendaklah di samping penafsiran azas "peri-kemanusiaan" dalam Pancasila itu haruslah dalam kaitannya dengan sila-sila lainnya yang terlepaskan juga haruslah melindungi kepentingan kreditur ' dan debitur secara seimbang, melindungi pihak yang bertikad baik dan tidaklah melindungi pihak yang beritikad buruk, dan tidaklah pilih kasih., e. Bahwa, berdasarkan Keputusan Presiden No. 14 A tahun 1980 Tentang Pelaksana.an Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka dewasa ini telah lahir dan berkembang luas beraneka kredit kecil, misalnya, kredit investasi kecil, kredit modal keIja pennanen, kredit bimas dankredit candakkulak. Dalam aneka kredit kecil tersebut justru Pemerintah ingin melindungi, mem bantu dan mengem bangkan perusahaan golongan ekonomi lemah. , Mengenai hal ini masalah akan .timbut, yaitu apabila kredit-kredit tersebut macet dan diserahkanpeng. rusannya kepada PUPN. Penyerah- ' an ini bersifat wajib, berdasarkan pasal 12 ayat (l) Undang Undang No. 491Prp/1960. Masalah ini ha. . ruslah dipecahkan, mengingat bahwa lern baga sandera masih diakui dan dapatlah dikenakan oleh PUPN, rnalah dalam RAKER di Bandung tahun 1981, menginginkan lernbaga sandera lebih digalakkan dalam pelaksanaannya. . •
•
•
Adapun batas-batas yang perlu diperhatikan dalam memberlakukan lembalIa sandera cialam K.U.H.A. P~rdata baru mendatanll, an tara lain adalah:
,
• "' , '4
135
Lembaga Sandera
•
a. Pad a seorang yang ekonomis lemah, tidak beritikad buruk dan betulbetul tidak mampu untuk membayar hutangnya, baik sebagian ataupun seluruhnya dalam rangka eksekusi, hendaknya ia mendapat perlindungan, yakni tidak boleh disandeni. Perihal ini Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sebagai pengawas masalah eksekusi setiap waktu dapat selalu mengam bil ke bijaksanaan. b. Itikad buruk debitur sengaja tidak mau membayar hutangnya meskipun yang bersangkutan mampu, haruslah dibuktikan oleh pihak lawan di Pengadilan, yang akhirnya dinyatakan dengan putusan Hakim. c. Hendaknya lembaga sandera berlaku hanya dalam bidang Hukum PeIjanjian saja. d. Hendaknya lembaga sandera tidak dapat diwariskan . Meskipun misalnya dalam surat perjanjian hutang piutang dinyatakan secara tegas, bahwa segenap ahli waris (apabila debitur meninggal) secara sukarela bersedia disandera untuk melunasi hutang dibitur almarhum, meskipun pula para ahli waris menya,takan dirinya menerima seluruh harta warisan (tidak menolak atau beneficiair). e. Lembaga sandera hendaknya tidak dapat dikenakan, an tara lain terhadap : - seorang debitur yang telah mencapai usia 65 tahun ke atas atau keadaan fisik dan atau mentalnya cacad; - seorang anak yang belum dewasa atau di bawah umur , - seorang pimpinan perusahaan yang dinyatakan pailit oleh Ketua Pengadilan Negeri; - seorang yang masih ada hubungan darah dalam garis lurus °ke
atas dan ke bawah tanpa batas derajad; - seorang yang masih ada hubungan darah dalam garis ke sam ping misalnya sampai derajat tiga, atau masih ada hubungan keluargajfamili yang dekat, misalnya mertua, saudara ipar atau saudara sepupu; - sekalian orang yang karena martabat, pekeIjaan atau jabatannya dalam suam Negara atau masyarakat
-
6. Kesimpulan dan saran Telah penulis uraikan secara ringkas perihal lembaga sandera, baik yang terdapat dalam beberapa literatur, hasil wawancara, seperti . termaksud terdahulu, maupun pendapat penulis sendiri. Maka, kini kiranya dapatlah diam bil kesimpulan. Dalam pembentukan K.U.H.A. Perdata baru mendatang, perlulah lembaga sandera diatur kembali dengan batas-batas tertentu. Hal ini mengingat, demi tegaknya tiga azas Hukum PeIjanjian khususnya azas kebebasan berkontak, sehingga antara Hukum PeIjanjian dengan lembaga sandera dapat beIjalan seiringjserasi. Di samping itu, dapat menjamin terpenuhinya isi putusan Hakim tetap ° (inkrac;' van gewisde) dan mencegah teIjadinya itikad buruk o.sengaja ingkar janji. atau wanprestasi, sehingga pada akhirnya • • dapat secara preventlf mengurangJ. bertumpuknya perkara perdata di Pengadilan. Pula, khususnya dalam bidang Hukum Perikatan dapat mert1e~ • nuhi kebutuhan masyarakat seSUal dengan kemajuan pembangunan di segala bidang juga antar Hukum Perikatatan dan pelaksanaan putusan Pengadilan-pengadilan Indonesia dengan Negara-negara Asiang dapatlah bergaul dengan baik, pada dewasa ini dan masa mendatang. Maret 1983
•
.•
__
I
1ijij)]$, i22U.1$ . $,Zld13Y;S
, i31i22§
13-6
._
52$
!ii.jUt~(!
1'-"52)2:11
HUkum dan Pembanf(Unan
Adapun mengenai saran-saran yang dapat penulis kemukakan, antara lain adalah: a. Tempat penyanderaan hendaklah diadakan terpisah dengan para nara pidana dalam suatu lembaga tersendiri. b. Lembaga sandera terse but di atas seyogyanya diadakan dalam setiap Ibu Kota Propinsi. Bagi para sandera laki-Iaki dan perempuan juga diadakan dalam suatu bangunan yang terpisah. Segala fasilitas dan kebutuhan primair dicukupi seperti keadaan sebelum disandera, diusahakan sedemikian rupa (misalnya, setiap sandera masing-masing kamarnya terpisah, hiburan dan kebebasan bergerak dibatasi), sehingga ia cepat jera dan menyadari itikad buruknya, yang pada akhirnya ia akan mengeluarkan semua barangbarang yang disem bunyikannya guna memenuhi isi putusan Hakim tetap. c. Semua orang yang dikenakan penyanderaan, baik karena hutang pajak yang tidak dibayar, tagihantagihan negara yang diserahkan kepada PUPN maupun para debitur. yang beritikad buruk, kesemuanya itu dijadikan dalam suatu wadab, yaitu ke d,alam lembaga sandel'll. d. Hendaknya pengawasan terhadap pelaksanaan penyanderaan diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negerio Karena beliaulah yang berwenang melaksanakan dan memimpin eksekusi. .; '. e. Hendaknyasebelum dijatuhkannya putusan Hakim yang berisi penctapan penyanderaan terhadap terhukum. tcrle bih dahulu diadakan pemeriksaan se'tempat oleh Hakim Komisaris sendiri atau menunjuk beberapa orang tcrtcntu. untuk •
•
11.&1
mengadakan pemeriksaan setempat ke rumah orang yang akan disandera. f. Seyogyanya surat penetapan penyanderaan terhadap terhukum sebelum dilaksanakan, dikukuhkanl dikuatkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan atau oleh Ketua Mahka, mah Agung. g. Tentang ketentuan dan syarat-syarat penyanderaan , misalnya akte penyanderaan, jumlah hutang, lamanya penyanderaan , uang muka untuk pemeliharaan dan perawatan kesehatan sandera serta pembatasan-pem batasan lainnya hendaknya diatur secara tegas dan terperim:i dalam suatu Undang-undang. h. Untuk menyusun ketentuan-ketentuan perihal sandera ke dalam K.U.H.A. Perdata yang baru, kiranya ada gunanyalah apabila memperhatikan juga ketentuan-ketentuan : pasal 580 sid 606 Reglement op de burgerlijk rechtvordering; Stb!. 1917 No. 171 Jo Stbl. , 1927 No. 392, yang telah diubah dengan Stb!. 1937 No. 207 Perihal Hutang Pajak yang Tidak Dibayar; -
pasal 84, 85, 86, 87 dan 32 ayat (3) Faillissement Verordening; - pasa1 IS sid 23 Un dang Undang No. 19 tahun 1959; L.N. TH. 1959 No. 63 Tentang Penagihan Hutang Pajak Dengan Surat I'aksa.
7. Penutup Mengingat, bah wa dalam pasal 179 Naskah Rancangan Undang Undang Hukum Acara I'erdata baru tidak diatur adanya Jcmbaga sandera, maka penulis berharap dengan segala hormat agar supaya p'dsal 179 terse but ditinjau kem bali.
•