KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: M. AZHAR RIZKI DALIMUNTHE NIM : 1111044100002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H/2016 M
i
KEWENANGAN PERADILAN AGANIA NIENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUNIEN DALAIVIEKONONTISYARIAH (AnalisisYuridisTerhadap PeraturanPerundang-undangan Dan PutusanPengadilan TentangPerlindunganKonsurncnDalamEkonorniSyariah)
Skripsi . Diajukan kepadaFakultasSyariahdan Hukum Untuk Memenuhi SalahSatuSyaratUntuk MemperolehGelar SaijanaSyariah(S.Sy)
OIeh: M. T\ZH.\R RIZKI DALI]\IUNTHE, NINI : 1111044100002 Pembimbing
H. Ah. Azharu NIP : 1 9 7
in Lathif, M.Ag
200112I 001
P R OGR A IV IST UD I HUKU IUKELUARGA F A K U L T A S SYARIAH DAN HUKUM U N I V E RSITAS ISLAM NEGERI SYARIF TIIDAYATULLAH JAKARTA 1437Ht20t6Nl
PENGESAHANPANITIA UJIAN Skipsi ini berjudul "KEWENANGAN PERADILAN r\Gr\llIA I'IENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSU]VIENDALAI\{ EKONOIVII SYARI,\II (AnalisisYuridis TerhadapPeruturanPerundang-undangln dan PutusanPeng*tlilan 'IentangPerl!ndungan KonsumendnlamEkononriSyariah)"telahdiujikandalamSidang Munaqasah FakultasSyariahdanFlukumUniversitas islamNegeri(UIN) SyarifHidayatullah Ja.karta padatanggal9 Mei 2016 2 Sya'ban1437H. Skripsiini telahditerimasebagaisalalr satusyaratmemperolehgelarSarjanaSyariah(S.Sy)padaprogramstudiHuh.rmKeluarga. Jakarta,09 Mei 2016 Mengesahkan l)ekanFakultasSyariahdan
PANITIAN UJIAN MTJNAQ Ketua
: Dr. H.AbdulHalim^M.A€; NIP19670608 1 9 9 4 003015
Sekretaris
Pembimbing
Penguji|
Pengujill
.
.. ...,..)
: Ario Purkon.MA. NrP1979042720031.2LA02
-.... .. .. . .. . )
H.Ah.Azharuddin_Lathif. MAg NIP 19740725200L1,27007 :!t. Mesraini.SH.M.Ag NtP197602 1 3 2 0 0132 1 0 0 2
(............
: HotnidaNasutionS.Ag.M.A NtP1972022 4 1 9 9 810030 3
{ ..................
........)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli Saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 12 Februari 2016
Muhammad Azhar Rizki
iv
ABSTRAK MUHAMMAD AZHAR RIZKI DALIMUNTHE, NIM: 1111044100002, “KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Syariah)” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xi 97 halaman. Skripsi ini bertujuan memberikan suatu khazanah baru tentang permasalahan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah di Indonesia. Sebagaimana mestinya Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang dimaksud. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian melalui Perundang-undangan (statute approach) dan melalui pendekatan kasus (case approach) atau dapat dikatakan sebagai pendekatan melalui putusan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Peradilan Agama. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa UUPK sebagai Undang-undang perlindungan konsumen yang menyatakan penyelesaian sengketa diselesaikan di Peradilan Umum lahir sebelum kewenangan absolut Peradilan Agama ditambahkan untuk kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui Pasal 49 huruf (i) UUPA. Selanjutnya bila melihat putusan-putusan pengadilan, putusan Peradilan Agama juga putusan Peradilan Umum telah menyatakan kewenangan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Mengenai kewenangan ini para hakim mengambil dasar hukum kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) yang membuka peluang penyelesaiaan sengketa di Peradilan Umum dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga kesimpulannya adalah Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Kata Kunci
: Perlindungan Konsumen, Ekonomi Syariah, Peradilan Agama.
Pembimbing : H. Ah. Azharuddin lathif, M.Ag Daftar Pustaka: Tahun 1983-2015
v
KATA PENGANTAR Kesyukuran dengan penuh kesadaran atas segala nikmat yang tak pernah berhenti dari Allah SWT. Tak ada lafal tertinggi kecuali puji syukur yang dipanjatkan seorang makhluk kepada tuhan penyeru alam yang telah menciptakan dunia dan seisinya. Hanya kepada Dia kita menyembah, kepada Dia kita memohon petunjuk dan pertolongan. Dengan kehadiran-Nya pulalah sehingga kiranya terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini dengan sebagaimana mestinya. Tak ada seorang makhluk yang paling kikir dan pelit di dunia kecuali ia yang enggan bersholawat atas sebuah nama Muhammad. Dia seorang makhluk terpuji yang telah mengantarkan kita kepada sebuah tatanan kehidupan yang penuh dengan keteraturan, ketentraman, kedamaian dan cinta kasih antara sesama makhluk dengan nuansa keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan kiranya kita mendapatkan syafa’at yang menolong kita pada hari pembalasan. Tentunya penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari segala pencaharian studi yang penulis lakukan. Mudah-mudahan penulisan karya ilmiah ini mengantarkan penulis kepada penulisan-penulisan berikutnya pada jenjang dan tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kebesaran hati dan penuh rasa haru Saya persembahkan tulisan ini kepada sosok yang telah mendidik dan membesarkan penulis hingga sampai pada titik akhir pencapaian di perkuliahan Strata Satu (S1) ini, Ayak dan Omakku tercinta, Bapak Asrul Haidir Dalimunthe, S.Pd dan Ibu Nureha Tanjung. Mudah-mudahan setiap tetesan keringat dan air mata yang menetes serta doa yang dipanjatkan adalah bukti penghambaan kita kepada Allah SWT. Tidak lupa, penulis dengan penuh kebanggaan menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi Hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:
vi
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta; 2. Dr. H. Abdul Halim, MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta, yang juga sebagai sosok yang banyak membantu dan memotivasi penulis, memberikan semangat, dorongan dan motivasi untuk selalu optimis. Juga kepada Bapak Arif Furqon, MA., Sekretaris program Studi Hukum Keluarga. 3. H. Ah. Azharuddin lathif, M. Ag., sebagai pembimbing yang telah mencurahkan keilmuannya dan membimbing penulis dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam penulisan skripsi ini hingga terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. 4. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di “Kampus Hijau” ini. 5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pustakawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Pustakawan Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), yang telah memberikan rujukan pustaka kepada penulis. 6. Sahabat WHITE HOUSE tercinta, kamar 1 sampai 15, abanganda Abdul Karim Munthe, S.Sy, S.H, Lc, M.H, sahabat, abang, juga pemompa semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka, Hakim dkk. Kepada Ibu Kost, orang tua kami di perantauan.
vii
7. Saudara-saudaraku di lingkungan Keluarga Besar Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum. Sahabat seperjuangan dari semester 1 sampai akhir perkuliahan. 8. Keluarga tercinta, kedua Almarhum Uakku, Uda Ucok, Uda Kamar, sanak saudara, abang tercinta M. Riswan Rizal. D, S. Pt., kakak tercinta Devi Fitriani Br. D, Am. Kom., Kedua adikku M. Irfan Salim D., dan M. Zikri Salsabila D., kalian berdua harus semangat belajar. Kalian semua adalah semangat tiada akhirku. 9. Kepada penghibur laraku, yang setia menemani hari-hariku dalam keadaan apapun, dendang rang minang takana juo. Untuk gadiah-gadiah minang Diah Maisa, Vanny vabiola, Yona Irma, Ratu Sikumbang, Hayati kalasa dll. Terutama untuk nasyid kerenku Maidany. 10. Sahabat Seperjuanganku Taufiq rezeki Saragih, sahabat selamanya, juga kepada Husnul Azmi Ritonga yang telah meninggalkan kami lebih dulu di Jakarta, Mufida Warni, Faisal Tanjung, Syaikhku Raihan Al-Ghiffary, Deni, Muhsin si Ustadz, Roni dan sahabat laiinnya. 11. Sahabat perjuangan di Organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, HMI Kompaksy, Lembaga Bantuan Hukum HMI (LKBHMI), Keluarga Besar Peradilan Agama (KBPA), teman-teman di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat, sahabat seperjuangan di Forum Komunikasi Alumni Daarul Uluum (FKADU-Jakarta), Kawan-kawan di Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah (IKRH) Jakarta, Himpunan Mahasiswa Labuhanbatu Raya (HIMLAB Raya jakarta), Komunitas Mahasiswa Sumatera Utara (KMSU), Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Quran NURMEDINA Pondok Cabe, Ikhwan dan Akwat di UKM Lembaga Dakwah Kampus (LDK Syahid), Adik-adikku di Ikatan Persaudaraan Pemuda dan Remaja Islam Masjid An-Nur (IP-PRIMA). viii
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang sangat membantu kepada penyelesaian tugas perkuliahan yang panjang ini. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita kepada jalan kesabaran. Semoga kita mencapai nilai pengabdian yang sangat tinggi di sisi Allah. Amien ya rabbal alamien. Wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 15 Maret 2016
Muhammad Azhar Rizki Dalimunthe
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv ABSTRAK .......................................................................................................... v KATA PENGANTAR....................................................................................... vi DAFTAR ISI........................................................................................................ x BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1 B.Pembatasan Dan Perumusan Masalah.............................................. 10 C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian........................................................ 12 D.Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 13 E.Kerangka Konseptual ........................................................................ 14 F.Metode Penelitian .............................................................................. 15 G.Sistematika Penulisan ....................................................................... 18 BAB II EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA................................................................. 20 A. Pengertian Peradilan Agama........................................................... 20 B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama ...................................... 22 1. Dasar Hukum Peradilan Agama.................................................. 22 2. Asas-asas Peradilan Agama ........................................................ 24 C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama................................................ 26 1. Tugas dan Fungsi Memberikan Keadilan (Yudisial) .................. 26 2. Tugas Non Yudisial..................................................................... 27 D. Kedudukan Peradilan Agama Di Indonesia .................................... 28 E. Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia .................................. 33 F. Hukum Acara Di Peradilan Agama ................................................. 39 x
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA ................................................................................ 41 A. Pengertian Perlindungan Konsumen .............................................. 41 B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen........................................... 42 C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ...................................... 43 D. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Konsumen .............................. 45 E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ............................................... 48 1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen non Litigasi................................................................................. 49 2. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Litigasi .......... 59 BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH...................................................... 64 A. Argumentasi Yuridis Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah ................... 64 B. Argumentasi Empiris Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah................... 70 1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah....................................................................... 71 C. Analisis Kewenangan Menyelesaikan Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah ............................. 77 BAB V PENUTUP............................................................................................ 82 A. Kesimpulan ..................................................................................... 82 B. Saran................................................................................................ 85
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama di Indonesia, merupakan salah satu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.1 Sebagaimana diketahui, bahwa dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana dan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang mempunyai kedudukan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.2 Hal ini dipertegas dengan hadirnya Undangundang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian ditambah dan diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian diubah dengan UU. No. 48 Tahun 2009. Kemudian dalam pelaksanaannya, Peradilan Agama berada di bawah naungan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi. Selanjutnya dalam perjalanan dan eksistensinya, Peradilan Agama mengalami pasang surut yang panjang. Dalam rentang waktu lebih dari 12 tahun sejak
1
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, (Bandung: P. T. ALUMNI, 2003), h. vii. 2
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem …., h. 33.
1
2
Proklamasi Kemerdekaan RI (yakni, tahun 1945-1957) terkait dengan keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan penyerahan Peradilan Agama kepada Kementerian Agama.3 Sampai akhirnya Peradilan Agama disatu atapkan dengan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung. Dengan penyetaraan Peradilan Agama dengan peradilan lainnya memberikan kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan dan mengadili perkara yang menjadi kewenangannya secara mandiri. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menjelaskan apa saja yang menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. Pasal 49 (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 50 Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 maka harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.4 3
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke -2. (Jakarta: KENCANA, 2010), h. 61. 4 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.104-105.
3
Mengenai kewenangan Peradilan Agama ini, untuk saat ini telah terjadi beberapa perubahan dan penambahan pada dua pasal ini. Dengan adanya amandemen UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 dan kemudian diamandemen lagi menjadi UU. No. 50 Tahun 2009 menambah kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam menyelesaikan sengketa perdata antara orang Islam. Salah satu kewenangan baru dalam undangundang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syari’ah sebagai kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49. Kemunculan otonomi ekonomi syariah ke permukaan ditandai dengan terselenggaranya The First International Conference in Islamic Ekonomic di Makkah, Arab Saudi, Tahun 1976. Bahkan banyak yang menyatakan hampir semua tokoh yang hadir pada waktu itu sepakat, bahwa konferensi tersebut menjadi titik tolak awal perjalanan ekonomi Islam di kemudian hari.5 Di Indonesia sendiri perkembangan ekonomi syariah begitu pesatnya, hal ini sangat didukung dengan keberadaan Indonesia yang memang berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, gadai syariah dan usaha syariah lainnya.6 Sebagai contoh perbankan syariah yang berkedudukan sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pengumpulan dana masyarakat. Tak ubahnya dengan 5
Hendi Risza Idris, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya, (Majalah Hidayatullah Edisi Maret 2007), h. 36. 6
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 169.
4
pengumpulan dana umum yang bersifat konvesional, dalam praktiknya kemungkinan timbulnya sengketa tetap ada. Timbulnya sengketa ini adalah karena dalam praktiknya sistem syariah ini juga diikat oleh kesepakatan di dalam akad. Selanjutnya dalam perbankan syariah, masyarakat yang turut menjadi peserta dalam pengumpulan dana (nasabah/kreditur) disebut sebagai konsumen, sedangkan bank yang menjadi pelaksana pengumpulan dana (debitur) disebut sebagai produsen. Kesepakatan antara produsen dan konsumen inilah yang kemudian sering menimbulkan permasalahan dan sengketa dalam praktik perbankan syariah. Kemudian masalah yang banyak timbul adalah mengenai hak-hak konsumen yang seharusnya dikembalikan kepadanya. Permasalahan inilah yang kemudian berkaitan dengan perlindungan konsumen. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hadir merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya saing.7 Mengenai sengketa perlindungan konsumen Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menjelaskan di Pasal 45 ayat (1):
7
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1995), h. 65.
5
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.”8 Selanjutnya dalam Pasal 49 huruf (i) menyatakan bahwa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa hal-hal yang kemudian termasuk ke dalam ekonomi syariah salah satu diantaranya adalah perbankan syariah. Sehingga penyelesaian sengketa perbankan syariah ini adalah kewenangan Peradilan Agama. Lebih jelas undang-undang mengatur tentang perbankan syariah. Undangundang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan pada Pasal 55 ayat 1 bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kemudian Pasal 55 ayat 2 menjelaskan dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Lalu bila dilihat dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) ini muncul suatu permasalahan yang menyebabkan tidak konsistennya penyelesaian sengketa perbankan syariah bahwa: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; 8
Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 223.
6
b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal di atas
kemudian menjadi permasalahan yang layak untuk dilakukan
penelitian mengenai tentang kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen perbankan syariah dalam ekonomi syariah. Peradilan manakah sebenarnya yang berhak menyelesaikan sengketa tersebut, apakah Peradilan Agama secara mutlak atau Peradilan Umum? Mengenai kewenangan absolut ini, pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013 dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi dikeluarkan putusan nomor 93/PUUX/2012 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Keputusan ini selayaknya menghapuskan kewenangan Peradilan Umum untuk dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Putusan ini kemudian menjadi dalil hukum para Majelis Hakim di Peradilan Agama untuk semakin meyakini kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia dan merdeka secara kewenangan relativ dan absolutnya. Namun di sisi lain masih banyak Hakim-hakim di Peradilan Agama seakan masih belum mengetahui dan meyakini perihal tersebut. Dalam pertimbangan hukum yang terdapat di dalam beberapa putusan Peradilan Agama, maupun Peradilan Negeri, Majelis Hakim berpendapat bahwa Peradilan Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen yang termasuk kepada suatu sengketa ekonomi yang berasaskan kesyariahan. Hal ini
7
tercantum sebagaimana
di dalam
putusan Peradilan Agama Banjarbaru
259/Pdt.G/2013/PA.Bjb tentang gugatan ekonomi
No.
syariah/gugatan perbuatan
melawan hukum, pada hari Rabu tanggal 27 november 2013 M bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1435 Hijriyyah. Bahwa penunjukan Peradilan Umum dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut lahir tahun 1999, sedangkan kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa ekonomi syariah sejak tahun 2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang menangani sengketa ekonomi syariah termasuk diantaranya sengketa perlindungan perbankan
syariah.9
Dalam
pertimbangan
hukum
selanjutnya
berdasarkan
pertimbangan tersebut Majelis Hakim sepakat bahwa “Peradilan Umum” dalam Pasal 45 UUPK dibaca sebagai “Peradilan Agama”. 9
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik 259/Pdt.G/2013/PA. Bjb. Tanggal27 November 2013, hlm, 35.
Indonesia
Putusan
Nomor
8
Selanjutnya
putusan
Pengadilan
Negeri
Martapura
yang
menyatakan
ketidakberwenangannya menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen syariah dan menyatakan bahwa Peradilan Agamalah yang memiliki kewenangan tersebut. Putusan No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP tentang Putusan Sela terhadap sengketa perlindungan konsumen syariah pada hari Senin tanggal 2 Desember 2013. Oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan eksepsi tergugat mengenai kewenangan mengadili secara absolut perkara aquo adalah bukan kewenangan Peradilan Negeri Martapura melainkan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim dalam putusan mengadili dan menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut pada poin dua.10 Putusan No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Pengadilan Agama Yogyakarta pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 bertepatan dengan tanggal 8 Sya’ban 1433 H. Tentang perkara sengketa konsumen dalam mudharabah muqayyah antara nasabah/konsumen dengan pihak BPRS. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa dalil eksepsi tergugat yang menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan dalil tersebut tidak tepat karena perkara tersebut adalah perkara sengketa syariah sehingga menurut Pasal 49 UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan 10
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik 03/Pdt.G/2013/PN.MTP. Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 21-22 dan 25.
Indonesia
Putusan
No.
9
Agama jo Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diselesaikan dalam lingkungan Peradilan Agama.11 Putusan No.
527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo Peradilan Agama Gorontalo tentang
sengketa perlindungan konsumen syariah, pada hari Kamis tanggal 27 November 2014 M bertepatan dengan tanggal 04 Safar 1436 H. Dalam perkara ini Majelis Hakim menyatakan bahwa perkara aquo adalah sengketa perlindungan konsumen. Namun dalam pertimbangan yang lain Majelis hakim juga menyatakan bahwa perkara yang dimaksud juga memiliki prinsip-prinsip kesyariahan. Sehingga dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim sependapat bahwa yang demikian dirasa perlu dipertimbangkan apakah sengketa konsumen juga termasuk kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa mengadilinya. Dalam pertimbangan lainnya Majelis Hakim cenderung mengarahkan dalil hukum perkara kepada pasal 45 UUPK tentang kewenangan Peradilan Umum untuk menyelesaikannya. Sehingga dalam mengadili menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.12 Dengan latar belakang tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah, dengan mengangkat judul, KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN 11
Indonesia
Putusan
No.
12
Indonesia
Putusan
No.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 25. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo tanggal 27 November 2014, hlm, 6-8.
10
DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis terhadap Peraturan Perundangundangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan dibahas, dirasakan perlu untuk mengadakan pembatasan dan perumusan masalah tersebut sesuai dengan judul yang dimaksud. Maka penulis memberikan batasan masalah dalam penelitian ini hanya terfokus pada konsep kewenangan absolut Peradilan Agama mengenai ekonomi syariah dalam hal ini terkait perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak akan dibahas bagian kewenangan absolut Peradilan Agama yang lain. 2. Perumusan Masalah Dalam UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) menjelaskan bahwa perkara perlindungan konsumen dapat diselesaikan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Namun dalam UU. No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf (i) menjelaskan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Kemudian hal ini dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) UU. No. 21 Tahun 2008
11
tentang Perbankan Syariah. Ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012. Agar lebih terarah, serta untuk memfokuskan tema permasalahan dan terciptanya efektifitas dari tema penelitian ini, rumusan masalah di atas, penulis rangkum dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a) Bagaimana seharusnya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan perundangundangan dan praktiknya di pengadilan? b) Apa yang menjadi legalitas kewenangan Hakim Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah? c) Bagaimana praktik penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah di pengadilan saat ini? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui bagaimana sebenarnya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktiknya di pengadilan. b. Melihat landasan pemikiran hakim terkait apa yang menjadi legalitas Peradilan Agama untuk mewenangi penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.
12
c. Menemukan perbedaan kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen
ekonomi syariah. 2. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi Penulis Penulisan ini bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata satu dalam bidang Hukum Keluarga, juga menambah khazanah pengetahuan di bidang kewenangan absolut Peradilan Agama, dalam hal ini ekonomi syariah. b. Bagi Akademisi Sebagai aset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan akademisi dalam upaya memberikan pengetahuan, informasi, dan sebagai proses pembelajaran mengenai ekonomi syariah dalam kewenangan Peradilan Agama. c. Bagi Praktisi Bagi Hakim Peradilan Agama atau Advokat yang menangani sengketa ekonomi syariah dapat dijadikan rujukan mengenai penyelesaiaannya. Dimana perlindungan konsumen perbankan syariah itu sendiri termasuk ke dalam ekonomi syariah yang dimaksud. Sedangkan untuk legislator diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memahami undang-undang yang terkait perlindungan konsumen antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum.
13
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Mengenai judul yang akan ditulis ini, sebelumnya telah ada penelitian yang berkaitan tentang kewenangan Peradilan Agama yang telah ditulis dalam bentuk skripsi dan penelitian ilmiah oleh beberapa orang yaitu: Djawahir Hazzaziev dengan judul penelitian Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah yang ditulis pada tahun 2013 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melianah dengan judul Proses Pembuatan Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam Perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen (studi kasus pada Bank Syariah Mandiri) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2014. Dalam penelitian ini hanya memfokuskan kepada bagaiamana membuat kontrak yang disesuaikan kepada Undang-undang Perlindungan Konsumen, di dalamnya tidak dibahas tentang penyelesaian sengketanya. Abdul Hafid Nur dengan judul Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang ditulis pada tahun 2010 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini menitikberatkan pembahasan penelitian kepada isi kontrak atau kesepakatan antara pihak bukan penyelesaian sengketanya. Dari beberapa tulisan yang penulis temukan di atas hanya mengatur pada pengertian dan maksud yang lain dan tidak membahas dari yang penulis maksudkan. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan ini berbeda dengan penelitian yang ada sebelumnya.
14
E. Kerangka Teori Konseptual 1. Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun hidup makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.13 2. Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.14 3. Sengketa Menurut Jhon Colier, yang dimaksud sengketa adalah perselisihan khusus mengenai fakta, hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah satu pihak bertemu dengan penolakan, gugatan balik atau penolakan oleh orang lain.15 4. Ekonomi Syariah Menurut Abdul Manan, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah “sosial science which studies the economic problems of people imbued with the values of Islam” (Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang
13
Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4.
14
Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.
15
www.pengertianpakar.com, diakses tanggal 23 Mei 2016 pukul 17.02 WIB.
15
memepelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam).16 F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah adalah kewenangan Peradilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah mengenai perlindungan konsumen, dengan demikian dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. 1. Jenis dan Pendekatan Jenis penelitian dalam penulisan ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan dua pendekatan. Pertama17, pendekatan undang-undang (statute approach). Penggunaan pendekatan ini untuk menelaah ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah, perlindungan konsumen, dan peradilan Agama. Dengan pendekatan ini peneliti melakukan sinkronisasi ketentuanketentuan yang terdapat dalam peraturan tersebut secara horizontal dan vertikal. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terkait dengan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di perbankan syariah.
16
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: KENCANA, 2012), h. 6-7. 17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: kencana, 2010), hlm. 93.
16
Pedekatan kedua adalah pendekatan kasus (case approach).18 Pendekatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran bagaimana para Hakim Peradilan Agama memutus perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Analisis dengan pendekatan putusan di sini melihat bagaimana peraktik dari peraturan perundangundangan itu diperaktikkan.
2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini penulis bagi kepada dua sumber data, sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disini adalah UU. No, 7 Tahun 1989 menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 menjadi UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan undang-undang lain yang berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama. Putusan beberapa pengadilan baik peradilan Umum maupun Peradilan Agama yang terkait sengketa perlindungan konsumen. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, surat kabar, kamus, majalah, hasil-hasil penelitian, jurnal-jurnal, artikel, internet, dan lain sebagainya yang dapat memberikan penjelasan data-data primer. 3. Metode Pengumpulan Data Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan studi pustaka (library research) dengan metode dokumentasi atau 18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ... hlm, 94.
17
studi dokumen. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barangbarang yang tertulis.19 Dalam melaksanakan metode dokumentasi yang dimaksud penulis melakukan penyelidikan dan mengumpulkan data-data atau dokumendokumen tertulis seperti buku-buku, artikel, peraturan-peraturan, undang-undang dan lain sebagainya. Putusan beberapa Peradilan Umum dan Peradilan Agama terkait penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diambil dari direktori putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang memayungi peradilan tingkat I dan II. Kdelapan putusan adalah putusan yang diputuskan atas perkara perlindungan konsumen yang terjadi di dalam Lembaga keuangan Syariah. 4. Metode Analisis Data Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, penelitian ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.
Sifat dari preskripsi dalam bidang
keilmuan hukum, penelitian yang bersifat normatif adalah berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang apa yang seharusnya dari setiap permasalahan. Sehingga penulis akan merangkum apa yang seharusnya dari peraturan perundang-undangan yang telah mengatur dan mempelajari putusanputusan yang telah diputuskan untuk mencapai apa yang dimaksudkan. 20
19
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 135. 20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... hlm. 35.
18
5. Metode dan Teknik Penulisan Adapun tekhnik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman penulisan skripsi Fakulas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengkonsep penulisan dengan menyajikan lima bab, diharapkan dengan sistematika yang terhimpun dalam kelima bab tersebut dapat memudahkan untuk membaca dan memahami dan mengerti tentang tujuan yang menjadi titik pencapaian dari penelitian yang dilakukan. Adapun tentang sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut. Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari pembahasan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori konseptual, metode penelitian, rancangan outline (sistematika penulisan). Bab kedua, berisikan tentang eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia yang terdiri dari pengertian Peradilan Agama, dasar hukum yang terdapat di dalam Peradilan Agama, asas-asas Peradilan Agama, tugas dan fungsi Peradilan Agama, kedudukan Peradilan Agama di Indonesia dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia serta hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama. Bab ketiga, akan membahas penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah yang terdiri dari pengertian perlindungan konsumen, konsep dan dasar hukum perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen,
19
prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bab keempat, adalah analisis kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah yang terdiri atas analisis yuridis penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen Syariah, analisi empiris penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen Syariah, serta hasil analisis penulis tentang kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen. Bab kelima, penutup, pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, serta saransaran yang dapat dilakukan dalam penataan peraturan perundang-undangan dan tertib beracara di lingkungan Mahkamah Agung.
BAB II EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA A. Pengertian Peradilan Agama Dalam khazanah Islam klasik telah dikenal pengertian peradilan dengan istilah-istilah keislaman, wilayat al-aqdha, hisbah, dan madzalim.1 Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan” dan “menyelesaikan”.2 Adapula yang menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dan pengadilan.3 Sebagaimana pengertian ini dijelaskan secara rinci di dalam buku Peradilan Agama di Indonesia. Disamping kata “menyelesaikan” dan menunaikan seperti di atas, arti qadha yang dimaksud adapula yang berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan suatu ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya berarti
1
Ketiga badan peradilan tersebut, merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman pada masa Islam klasik. Ketiganya berada di bawah; dinasti Umayyah menyebutnya dengan nizham al-qadhai, yakni pelaksana hukum. Muhammad jalal Syaraf dan Ali Abd al- Muth”i Muhammad, Fikr al-syasi fi al-Islam, (Iskandariyah: Dar al-Jami’at al-Mishriyat, 1978), h. 155-157). 2
Ahmad Warson, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Jakarta; M. Jakarta, 1996), cet. Pertama, h. 1225 3
Abdul Mujib Mabruri Thallah Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, (Jakartta; PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ketiga, h, 258. Lihat juga Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Depdikbud, Balai Pustaka, 1996), cet ketujuh, h. 7
20
21
“menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qadhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyaan.4 Kata peradilan menurut istilah ahli fikih ialah: 1. Lembaga Hukum (tempat di mana seseorang mengajukan permohonan keadilan). 2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.5 Peradilan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam6. Selanjutnya jika kata peradilan atau pengadilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian Peradilan Agama adalah “ kekuasaan negara dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan Peradilan
4
Hasby As-siddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta; PT. Ma’arif, 1994), h. 29. 5
6
Hasby As-siddieqy, Peradilan dan..., h. 30.
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.
22
Agama adalah pengadilan tingkat pertama pada lingkungan peradilan agama.7 Menurut Ramulyo, Peradilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis hakim atau mahkamah.8 B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama 1. Dasar Hukum Peradilan Agama Peradilan Agama sebagai institusi yang bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan atas adanya persengketaan-persengketaan di antara orang-orang yang beragama Islam yang diajukan kepadanya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus memenuhi standar pengadilan. Terpenuhinya standar pengadilan pada Peradilan Agama harus memenuhi tiga perangkat dasar, yakni peraturan perundang-undangan, organisasi dan aparat penegak hukum, serta tatalaksana, sarana dan prasarana. Ketiga perangkat tersebut merupakan kebutuhan mutlak bagi terlaksananya tugas-tugas dan fungsi Peradilan Agama dalam menegakkan hukum dan keadilan di Negara Hukum Republik Indonesia.9 Peradilan Agama sebagai sub sistem Peradilan Nasional, keberadaannya harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Sepanjang sejarah
7
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta; Pt. Rajawali Grafindo Persada, 1996), cet. Pertama, h. 6. 8
Moh. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1991), h. 12. 9
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 68.
23
perjalanan Peradilan Agama di Indonesia sebagai lembaga penengak hukum dan keadilan, hal-hal yang mengaturnya asal mulanya berupa penunjukan oleh para pihak yang bersengketa terhadap seseorang sebagai muhakkam.10 Selanjutnya berlanjut pada peraturan di masa kerajaan Islam, masa kolonial yang ditandai dengan hadirnya Stbl 1882 No. 152. Kemudian pada tahun 1937 diperbaharui dengan Stbl 1937 Nomor. 116 dan 610. Puncak kekokohan perangkat dasar peraturan perundang-undangan terjadi saat diundangkannya perubahan ketiga UUD Negara Republik Indonesia 1945. Perubahan ketiga ini menegaskan kedudukan konstitusional Peradilan Agama. Perihal dimaksud mengandung beberapa makna:11 1. Peradilan Agama adalah badan kenegaraan konstitusional dengan kedudukan yang dijamin Undang-undang Dasar. 2. Peradilan Agama adalah salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lain. 3. Peradilan Agama berhak atas “Privilage” dan Negara mempunyai kewajiban serta tanggung jawab memberikan dukungan yang sama dengan lingkungan peradilan yang lain.
10
Adalah pengertian bagi orang yang dianggap padanya mengerti tentang suatu hukum, memiliki naluri keadilan yang tinggi dan dapat dipercaya. Kemudian dipercayakan kepadanya untuk memberikan suatu keputusan terhadap suatu permasalahan. 11
Jaelani Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai..., h. 325.
24
4. Peradilan Agama merupakan satu kesatuan sistem peradilan nasional (national integrated judicial system), dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekwensi konstitusional dari perubahan tersebut, maka yang pertama kali diubah adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menjadi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang juga dirubah dengan UU No. 48 tahun 2009. Perubahan ini juga mengakibatkan perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjadi UU No. 5 tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU NO. 49 tahun 2009 dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009. Oleh karena itu perangkat yang menjadi dasar hukum Peradilan Agama tidak hanya sebatas yang menyangkut kelembagaan dan organisasi, akan tetapi juga menyangkut hukum materiil dan hukum acaranya, maka selain peraturan perundangan yang disebutkan di atas, peraturan-peraturan perundangan lain juga sebagai perangkat dasar hukum bagi Peradilan Agama diantaranya: 1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/HIR) dan Reglemen Buiten Govesten, 2) UU. No. 20 tahun 1947 tentang Pengadilan-pengadilan Ulangan, 3) UU. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, 4) UU. No. 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 5) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 6) UU No. 38 tahun 2004 tentang Zakat, 7). UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, 8) UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan UU No. 21 tahun
25
2008 tentang Perbankan Syariah, 9). PERMA No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi, 10) Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, 11) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 2. Asas-asas Peradilan Agama Asas-asas peradilan merupakan landasan pokok (fundamental) dalam pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Asas-asas yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum pada dasarnya berlaku juga di Peradilan Agama kecuali di atur lain. diantaranya; asas personalitas ke-Islaman, asas kebebasan, asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas, asas wajib mendamaikan, asas sederhana, cepat dan biaya ringan, asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak, asas persidangan terbuka untuk umum, asas aktif memberi bantuan, asas peradilan dilakukan dengan cara majelis hakim. Ketentuan mengenai asas personalitas ke-Islaman sebagaimana tercantum di dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian dirubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Pasal 2 menegaskan bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undag-undang ini”. Pasal 49 menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
26
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan seterusnya.12 Mengenai hubungan antara asas personalitas keislaman ini dengan ekonomi syariah adalah sangat berkaitan. Hal ini karena konsep dari ekonomi syariah adalah suatu prinsip-prinsip yang dibangun dengan pondasi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam. C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama Tugas dan fungsi peradilan dalam lingkungan peradilan Agama dapat dipilah menjadi dua macam, yakni tugas yudisial yang merupakan tugas pokok dan tugas non yudisial yang merupakan tugas tambahan, namun tidak mengurangi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 1. Tugas dan Fungsi memberi keadilan (yudisial) Yang dimaksud dengan tugas yudisial ialah tugas dan fungsi memberikan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Inti dari tugas ini adalah menegakkan hukum dan keadilan. 13 Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk mengadili apabila terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antar sesama warga masyarakat (perorangan atau badan hukum).14
12
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 160-162. 13
Purwoto S. Ganda Subrata, Dengan Etika dan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawa dan Martabat hakim Indonesia, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 3. 14
Purwoto S. Ganda Subrata, Tugas dan Fungsi Hakim, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 10
27
Jadi tugas utama peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Hakim) adalah menyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi keputusan kepada pihak yang berperkara. Hakim harus memutus menurut hukum, baik dalam arti harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau kepastian yang lahir dari putusan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama (hakim) adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar memenuhi tuntutan masyarakat.15 Tugas dan fungsi Peradilan Agama diatur jelas dalam perundang-undangan, diantaranya UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka 1, Pasal 25 ayat (3). Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009 tugas penegakan hukum dan keadilan di Peradilan Agama adalah dalam bentuk menerima, memeriksa, memutus/mengadili dan menyelesaikan perkara orang-orang yang beragama Islam menyangkut persengketaan perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Khusus untuk Peradilan di wilayah Aceh mencakup juga bidang mu’amalat dan jinayat. 2. Tugas non Yudisial Tugas non yudisial adalah tugas di luar tugas mengadili. Tugas semacam ini dapat dilakukan hanya atas dasar ketentuan Undang-undang. Tugas dimaksud 15
Bagir Manan, Tugas hakim: Antara Melaksanakan Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum Dalam Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung, (Jakarta; Dirjen PA, 2007), h. 122.
28
diatur dalam Pasal 52 dan 52 A UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009. Dinyatakan bahwa: 1. Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. 2. Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang. Tugas lain sebagaimana dimaksud pada pasal 52 ayat (2) UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009. Dinyatakan bahwa: 1. Tugas sebagaimana ditunjuk pasal 52 A Undang-undang tersebut, berupa pemberian istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah. 2. Tugas sebagaimana yang diatur di dalam pasal 107 ayat (2) Undangundang tersebut. Pasal tersebut menegaskan bahwa: “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 236 a Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatblad 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembahagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.” D. Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia Untuk lebih memahami dimana letak kedudukan Peradilan Agama dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia dapat dilihat dengan memperhatikan alatalat kekuasaan negara yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bahwa untuk melaksanakan kekuasaan negara dalam arti yang luas, UUD NRI 1945 menetapkan lima badan kekuasaan yang ada, yaitu; a. Kekuasaan Pemerintahan atau eksekutif, b. Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
c. Dewan
29
Perwakilan Rakyat (DPR), d. Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan e. Badan Kekuasaan Kehakiman. Selanjutnya mengenai poin yang kelima di atas, yakni tentang Badan Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 dan untuk memenuhinya hadirlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 undang-undang ini telah menetapkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer, d. Peradilan Tata Usaha Negara16 Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi juga ditetapkan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 10 Ayat 2. Mahkamah Agung juga sebagai peradilan tingkat akhir yang menyelesaikan perkara kasasi serta melaksanakan pengawasan kepada semua lingkungan peradilan termasuk diantaranya Peradilan Agama. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (yudisial power) di Indonesia. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, keberadaan Peradilan Agama jelas mempunyai kedudukan dan fungsi tersendiri di
16
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. Ketiga, (jakarta; PT. Sarana Bakti Semesta, 1997), h. 87 dan 89.
30
tengah-tengah pelaksana kekuasaan kehakiman lainnya. Untuk memahami bagaimana kedudukan dan fungsi Peradilan Agama diantara sesama pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, dapat dilihat dari sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini.17 Kemudian mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, kita harus merujuk pada UUD NRI 1945 yang sekarang telah diamandemen dalam beberapa perbaikan. Berdasarkan ketentuan pasal 24 UUD NRI 1945 telah dinyatakan sebagai berikut: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
1. 2.
3.
Sejalan dengan maksud Pasal 24 UUD 1945 tersebut, Pasal 1 dan 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah menyatakan bahwa: Pasal 1: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pasal 2: Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, 17
Rika Delfa Yona, Eksistensi Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengeksekusi Putusan Arbitrase Syariah , (Jakarta: UIN SYAHID Jakarta, 2010), h. 45.
31
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam penjelasan pasal demi pasal yang telah dijelaskan di atas, dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kekuasaan kehakiman tidak lain merupakan salah satu badan kekuasaan negara18 atau badan penyelenggara negara di samping MPR, Presiden, DPR, dan lainnya yang setara, yang kemudian fungsi utamanya adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.19 Diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai upaya singkronisasi segala urusan dan tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama dengan ketentuan UU No. 4 tahun 2004. Dengan demikian, jika sebelumnya segala urusan dan tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama dimaksud berada di bawah otoritas Departemen Agama, maka pasca UU No. 3 tahun
18
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Pustaka Kartini, 1993), h. 88. 19
Merdeka bermaksud bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman yang termasuk di dalamnya Peradilan Umum, Militer, Agama dan Tata Usaha negara adalah sebagai lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan dan interpensi dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bertujuan menciptakan sistem hukum yang benar-benar berasaskan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan demi menjamin hukum yang berkeadilan diantara sesama pelaku hukum.
32
2006 semuanya telah niscaya diserahkan dan dialihkan menjadi otoritas Mahkamah Agung.20 Keempat peradilan yang ada, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi. Peradilan Umum merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Sedangkan Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.21 Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Peradilan Agama dalam sistem tata hukum di Indonesia merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dan sebagai badan peradilan khusus, maka kekuasaan kehakiman yang diselenggarakannya adalah dikhususkan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu atau bagi golongan rakyat atau badan hukum yang dengan sendiri menundukkan diri dengan sukarela kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
20
Syamsuhadi Irsyad, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, (Makalah, 10 Juli 2006), h. 10. 21
Taufiq Hamami, Peradilan Agama..., h. 85.
33
E. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia Kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut.22 Kendati tidak sampai kepada penghapusan, namun lingkup yuridiksi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political willi) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan.23 Sehingga memang, faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menngoreskan catatan penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.24 Menurut Yahya Harahap, ada lima tugas dan wewenang Peradilan Agama, yaitu: (1) Fungsi kewenangan mengadili; (2) Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah; (3) Kewenangan lain oleh atau berdasarkan atas undang-undang; (4) Kewenangan pengadilan tinggi agama
22
C. Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan-Inkultra Foundation Inc., 1981), h. 51. 23
Soetandoyo Wingjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: Suatu Telaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989, h. 16. 24
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama, Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah,(Depok; Gramata Publishing, 2010), h. 9.
34
mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif, serta (5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.25 Mengenai kompetensi Peradilan Agama, tergolong kepada kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kekuasaan atau kompetensi relatif pada dasarnya kekuasaan peradilan yang menyangkut wilayah hukum.26 Sedangkan kekuasaan atau kompetensi absolut adalah kekuasaan peradilan yang menyangkut bidang perkara atau wewenang mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,27 yang berada di Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam kata lain bahwa kewenangan absolut adalah kewenangan dari badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain. Dasar hukum pemberian kompetensi relatif bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pada pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa: (1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. (2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
25
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang; UIN-Malang Press, 2008), h. 194. 26
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Danputusan Pengadilan, cet. Kesembilan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), h. 19. 27
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung, Mandar Maju, 1989), h. 8.
35
Dalam penentuan Pengadilan Agama yang mana yang berwenang atas suatu perkara yang menjadi bidangnya, ditentukan oleh tempat tinggal para pihak berperkara, atau keberadaan obyek perkaranya. Dalam hal ini penentuannya diklasifikasikan menurut bidang-bidang perkaranya. Menurut M. Yahya Harahap,
28
bahwa faktor yang menimbulkan terjadinya
pembatasan kewenangan relatif masing-masing peradilan pada setiap lingkungan peradilan ialah faktor wilayah hukum. Kompetensi relatif Peradilan Agama sesuai dengan Pasal 4 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama di atas menjelaskan bahwa tempat kedudukan Peradilan Agama adalah di Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi Kabupaten/Kota tersebut. Dapat dilihat setiap Peradilan Agama hanya berwenang mengadili perkara yang termasuk ke dalam wilayah hukumnya. Jangkauan kewenangan pelayanan peradilan yang dapat dilakukan secara formil, hanya perkara-perkara yang termasuk kedalam wilayah daerah hukumnya. Sekalipun secara subtantif merupakan kekuasaan absolut Peradilan Agama, kewenangan absolut tersebut dapat dihalangi kompetensi relatif yang mengakibatkan Peradilan Agama yang menerima perkara tidak berwenang mengadili, jika perkara yang bersangkutan termasuk kewenangan Agama lain. Kewenangan atau kompetensi absolut di lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman (yudisial power) bersumber
28
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, (Jakarta; Pt. Garuda metropolitan Press, 1993), h. 213
36
kepada amandemen UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diamandemen menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 dan kemudian dilakukan perubahan kedua menjadi UU. No. 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang tersebut telah diatur jelas tentang hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa perubahan terhadap Undang-undang Peradilan Agama ini diantaranya menambah kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam menyelesaikan sengketa perdata antara orang Islam mengenai kekuasaan relative maupun absolute Peradilan Agama. Salah satu kewenangan baru dalam undangundang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syariah sebagai kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-undang Peradilan Agama telah mengatur jelas apa saja yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Sebelumnya pada UU No. 7 tahun 1989 tenang Peradilan Agama telah dijelaskan bahwa hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya hanya kepada perkara-perkara yang bersifat keperdataan keluarga Islam pada umumnya, seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, wakaf, infaq dan sedekah. Kemudian dengan diamandemennya Undang-undang ini termasuk kedalam perubahan/dan atau penambahan dari pasal 49 ini melahirkan paradigma baru terhadap kedudukan dan kewenangan Peradilan agama dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia.
37
Kewenangan absolut Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan
beberapa
perkara
yang
menjadi
kewenangannya
untuk
menyelesaikannya. Bukan hanya terbatas kepada permasalahan perkawinan semata, namun hal-hal lain yang bersifat perdata juga turut menjadi kewenangan Peradilan Agama, diantaranya; waris29, wasiat30, hibah31, wakaf32, zakat33, infak34, dan sedekah35. Selanjutnya menurut pasal 49 huruf i Undang-undang ini kewenangan
29
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Lihat penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 tahun 2006. 30
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Lihat penjelasan pasal 49 huruf c UU No. 3 tahun 2006. 31
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Lihat penjelasan pasal 49 huruf d UU No. 3 tahun 2006. 32
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Lihat penjelasan pasal 49 huruf e UU No. 3 tahun 2006. 33
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Lihat penjelasan pasal 49 huruf f UU No. 3 tahun 2006. 34
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. Lihat penjelasan pasal 49 huruf g UU No. 3 tahun 2006. 35
Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu
38
Peradilan Agama diperluas, termasuk bidang ekonomi syariah.36 Hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan penegasan dan pemenuhan kewenangan Peradilan Agama dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum37 bagi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Perubahan ini mengangkat eksistensi Peradilan Agama semakin menduduki kompetensi yang semakin berdikari dan mandiri. Perubahan baru tersebut menyangkut yuridiksinya, sebagaimana yang kita pahami dijelaskan bahwa tentang pengertian Peradilan Agama itu sendiri. Sebelum dilakukan amandemen pada UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 2 memuat pernyataan bahwa; Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Kemudian setelah lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 2 telah diubah dengan menghapuskan kata “perdata” di dalamnya menjadi; Peradilan Agama dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho. Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Lihat penjelasan pasal 49 huruf h UU No. 3 tahun 2006. 36
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'. 37
Dasar hukum disini bermakna bahwa sebagai suatu pemenuhan kebutuhan dari masyarakat, maka kebutuhan akan kehadiran suatu sistem bermuamalat yang berasaskan sistem keislaman secara murni diharapkan akan mendapatkan suatu penjaminan juga daripada negara. Hal ini bertujuan bahwa kehadiran sistem yang baru ini mendapatkan suatu penempatan yang sama dihadapan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
39
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. Kata ”perkara perdata tertentu” telah diubah menjadi “perkara tertentu” dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi Peradilan Agama.38 Dengan adanya penegasan di atas, dalam hal ini perluasaan kewenangan Peradilan Agama tidak lagi terbatas hanya kepada perkara-perkara tertentu yang sifatnya termasuk kedalam perkara-perkara perdata. Namun lebih daripada itu, kewenangan menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang di luar perkara perdata dapat diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Agama. Akan tetapi kebebasan kewenangan ini tetap dibatasi oleh hal-hal pidana yang muncul dari pelanggaran hukum perdata. Termasuk kedalam kewenangan menyelesaikan pelanggaran kepada undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun. F. Hukum Acara di Peradilan Agama Hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
38
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (jakarta; Kencana, 2008), h.343.
40
Pasal 54 jo UU No. 3 tahun 2006 jo. UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyatakan; “Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini meliputi
kewenangan
relatif
Peradilan
Agama,
pemanggilan,
pemeriksaan,
pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan. Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar. Sudikno Martokusumo dalam bukunya hukum acara perdata terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum perdata formil atau hukum acara perdata. 39
39
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; UIN Jakarta/FSH, 2013), h. 8 dan 13.
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bahagian dari kemajuan teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara sederhana, dan hubungan antara konsumen dan masyarakat tradisional relatif masih sederhana, dimana konsumen dan produsen dapat bertatap muka secara langsung. Adapun masyarakat modern memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen secara massal pula (mass consumer consumption). Akhirnya hubungan antara konsumen dan produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal siapa produsennya, dan begitu pula sebaliknya, produsen tak mengenal siapa konsumennya, bahkan produsen tersebut berada di Negara lain.1 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen 1
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, (Jakarta; Universitas Indonesia, 2004), h. 2-3.
41
42
Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan. B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen. Namun hukum positif Indonesia berusaha menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.2 Perlindungan konsumen ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan serta memberikan kepastian hukum. Kedua tujuan ini diharapkan mampu untuk memberikan kualitas perlindungan konsumen, sehingga hak-haknya dapat terpenuhi tanpa adanya penyelewengan dari posisi lemah yang mereka3 miliki. Untuk mendapat legitimasi dan legalitas maka perlindungan tersebut harus diatur dalam bentuk perundang-undangan sebagai dasar hukumnya. Ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 13.
3
Kata “mereka” disini adalah untuk merangkul para konsumen, atau mereka yang berdiri sebagai masyarakat pemakai suatu produk barang dan/atau jasa. Dimana kedudukan mereka sebagai orang yang memakai juga mereka yang bergantung kepada suatu produk barang dan/atau jasa merupakan orang-orang yang perlu dilindungi hak-haknya dari kesewenangan pelaku usaha. Konsumen disini memang yang paling rentan untuk dilanggar hak-haknya oleh pelaku usaha, sehingga atas dasar alasan inilah dibutuhkan suatu perlindungan kepada mereka (perlindungan konsumen).
43
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 1. Asas-asas dalam Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Disamping itu perlindungan konsumen diselenggarakan bersama berdasarkan lima asas yang sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu;4 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan
konsumen harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan maksudnya agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen
dan
pelaku
usaha
untuk
memperoleh
hak
dan
kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan maksudnya perlindungan konsumen memberikan keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keselamatan dan keamanan konsumen yaitu untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan pada konsumen dan penggunaan 4
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, cet. Keenam (Depok; PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 192.
44
dan pemakaiaan, serta pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum maksudnya agar pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 2. Tujuan Perlindungan Konsumen Dalam huruf d dari dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab. Atas dasar pertimbangan di atas, ketentuan Pasal 3 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka setidaknya perlindungan konsumen memiliki tujuan, yaitu:5 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian kosumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat martabat konsumen dengan cara menghindari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
5
Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi,cet. Kelima,(Jakarta, PT. Grasindo, 2008),h. 160.
45
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi. 5. Menumbuhkan
kesadaraan
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang dan /atau
jasa
yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan /atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. D. Prinsip-prinsip Dalam Perlindungan Konsumen Melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bukanlah dalam artian anti terhadap produsen, namun sebaliknya justru merupakan apresiasi terhadap hakhak konsumen secara universal.6 Inilah yang kemudian dalam prakteknya, UUPK harus memegang teguh kepada ketiga prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen. Ketiga prinsip tersebut terbagi kepada; a. prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Negligence), 6
Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002), h. 12.
46
b. prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, c. prinsip berdasarkan tanggung jawab mutlak.7 1. Prinsip Perlindungan Konsumen dalam Islam Perlindungan konsumen Muslim sangat penting di Indonesia, karena mayoritas konsumen di Indonesia beragama Islam. Maka sudah selayaknya konsumen Muslim tersebut mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa sesuai syariat Islam. Pada sisi lain, pemerintah Indonesia juga dituntut untuk melakukan upaya aktif guna melindungi konsumen Muslim yang merupakan hak warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Konsumsi bagi seorang muslim hanyalah sekedar perantara untuk menambah kekuatan menaati Allah. Rezeki yang baik adalah tanpa melupakan rasa syukur dan tetap harus memperhatikan orang lain. Sebagaimana Al-Quran dalam surah Al-Ahqaf ayat 20 menjelaskan:
ﺎوا ْﺳﺘَ ْﻤﺘَ ْﻌﺘُ ْﻤﺎﻟ ﱡﺪ ْﻧﯿَﺎ َﺣﯿَﺎﺗِ ُﻜ ُﻤﻔِﯿﻄَﯿﱢﺒَﺎﺗِ ُﻜ ْﻤﺄ َ ْذھَ ْﺒﺘُ ْﻢ َ َﺎر َﻋﻠَﻰ ﺑِﮭ ِ َوﯾَﻮْ َم َﻛﻔَﺮُوااﻟﱠ ِﺬﯾﻨَﯿُﻌ َْﺮضُ اﻟﻨﱠ ْ ﺿﻔِﯿﺘَ ْﺴﺘَ ْﻜﺒِﺮُوﻧَ ُﻜ ْﻨﺘُ ْﻤﺒِ َﻤ .ﺎاﻟﮭُﻮﻧِ َﻌ َﺬاﺑَﺘُﺠْ َﺰوْ ﻧَﻔَ ْﺎﻟﯿَﻮْ َم ِ ْﺗَ ْﻔ ُﺴﻘُﻮﻧَ ُﻜ ْﻨﺘُ ْﻤ َﻮﺑِ َﻤﺎ ْاﻟ َﺤﻘﱢ َﻐﯿ ِْﺮ ْاﻷَر Artinya; Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik". (QS. Al-Ahqaf; 46:20). Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu:8 7
Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen.., (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002), h. 14.
47
1. Prinsip kebenaran, prinsip ini mengatur agar konsumen untuk menggunakan barang dan/atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik dari segi zat, proses produksi, distribusi, hingga tujuan mengonsumsi barang dan/atau jasa tersebut. Maka dalam ekonomi Islam barang dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuanketentuan syara’. 2. Prinsip kebersihan, bahwa konsumen berdasarkan ajaran Islam harus mengonsumsi barang dan/atau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau menjijikkan, serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang dan/atau jasa yang haram, kotor, dan bernajis membawa kemudaratan duniawi dan ukhrawi. 3. Prinsip
kesederhanaan,
Islam
memberikan
standarisasi
bagi
konsumen untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, serta mampu mengekang hawa nafsu dari pemborosan dan keinginan yang berlebihan. Selain itu, Islam juga mengajarkan kepada konsumen untuk menjaga keseimbangan, tidak terlalu kikir dan tidak terlalu berlebihan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. 4. Prinsip kemaslahatan, bahwa Islam membolehkan konsumen untuk menggunakan barang dan/atau jasa selama barang dan/atau jasa itu
8
Arif Pujiyono, “Teori Konsumen Islam”, artikel diakses pada 05 Januari 2016 dari WWW.eprints.undip.ac.id
48
memberikan kebaikan juga kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT. Di samping itu, Islam juga membolehkan konsumen untuk mengonsumsi barang dan/atau jasa yang haram jika dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tdak berlebihan dan tidak melebihi batas. 5. Prinsip moralitas atau akhlak, seorang Muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum melakukan sesuatu dan menyatakan terima
kasih
kepada-Nya setelah
melakukan
sesuatu.
Isalm
mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur, zikir dan pikir, serta mengesampingkan sifat-sifat tercela dalam mengonsumsi barang dan jasa. E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memang tidak ditemukan tentang definisi atau pengertian dari sengketa konsumen. Namun, dalam beberapa pasal ditentukan adanya larangan bagi pelaku usaha yang apabila dilakukan dapat merugikan konsumen. Larangan yang dilakukan pelaku usaha inilah yang bisa menjadi sengketa konsumen.9 Larangan bagi pelaku usaha tersebut ditentukan mulai dari Pasal 8 sampai Pasal 18 UU No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen. Di dalam pasal ini tertera jelas segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh si pelaku usaha yang 9
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan…, h. 197.
49
dapat merugikan konsumen. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan sengketa dan membutuhkan penyelesaian di dalamnya. Dalam hal penyelesaian sengketa perlindungan konsumen ini menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen para konsumen dapat memilih dua cara penyelesaian yaitu di pengadilan juga melalui luar pengadilan. Kedua cara penyelesaian sengketa perlindungan konsumen ini juga dapat disebut penyelesaian sengketa non litigasi dan penyelesaian sengketa litigasi. 1. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Diantara kedua cara tersebut, penyelesaian melalui jalur non litigasi cenderung lebih banyak diminati oleh masyarakat konsumen Indonesia. Hal ini karena dalam penyelesaian sengketa perlidungan konsumen melalui jalur non litigasi memiliki banyak pilihan lain dalam pelaksanaan penyelesaiannya juga tidak memakan waktu yang lebih lama dibanding penyelesaian di peradilan. Penyelesaian non litigasi memiliki pengertian bahwa penyelesaian yang dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan tidak atau bukan dihadapan peradilan. Penyelesaian non litigasi ini memiliki beberapa pilihan sebagai tempat penyelesaiannya. Hal ini juga merupakan suatu ketentuan yang diakui di Indonesia, dimana konsumen yang merasa dirugikan haknya berhak untuk memilih dimana ia akan mengadukan dan menyelesaikan sengketa yang sedang ia hadapi. Diantara badan atau lembaga yang dimaksud sebagai lembaga penyelesaian sengketa perlindungan konsumen non litigasi adalah produsen
50
secara langsung, Yayasan Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat, Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan penyelesaian lainnya. a. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen Pelaku usaha selaku pihak yang melakukan suatu produksi barang dan/atau jasa untuk kemudian dimanfaatkan oleh konsumen memiliki andil terbesar mengenai barang dan/atau jasa yang diberikan. Pelaku usaha adalah pihak yang paling mengerti tentang barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan. Sehingga sangat layak dan tepat apabila sebagai konsumen yang memakai dan memanfaatkan barang dan/atau jasa meminta haknya untuk sebuah barang dan/atau jasa yang berkualitas kepada pelaku usaha. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hak-hak konsumen, maka konsumen bisa langsung mendatangi produsen untuk menyampaikan komplain tentang barang dan/atau jasa yang diterimanya. Hal ini tentunya beserta buktibukti yang dapat menjelaskan tentang kebenaran pelanggran hak yang diterimanya. Menyertakan barang dan/atau produk misalnya, kwitansi pembelian, dan keterangan saksi-saksi. Dengan melakukan suatu protes secara langsung kepada produsen, konsumen telah membuktikan penerapan hak dan kewajiban yang dikaitkan kepadanya. Dengan begitu juga, konsumen dapat menunjukkan sikap kritiknya
51
kepada pelaku usaha untuk mengoptimalkan barang dan/atau jasa yang diberikannya.10 b. Penyelesaian Melalui Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindunga konsumen. Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ini meliputi kegiatan:11 1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; 2. Memberikan
nasehat
kepada
bekerjasama dengan instansi
konsumen
yang
memerlukannya,
terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen; 3. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; 4. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. 10
Hal inilah yang kemudian dalam UUPK dinyatakan bahwa produsen selaku yang memproduksi suatu barang dan/atau jasa harus mencantumkan kejelesan dan penjelasan tentang barang yang diproduksi, alamat produksi, informasi terkait produksi dan harus mendapatkan sertifikasi produksi dari pihak terkait. Kesemuaan ini adalah untuk menjamin konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang baik dan terhindar dari kerugian, dll. 11
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan …, h. 214.
52
c. Penyelesaian melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pertama kali didirikan di Jakarta dan merupakan sebuah lembaga yang bergerak untuk melindungi hak-hak masyarakat konsumen Indonesia. Perlindungan terhadap konsumen pada hakikatnya berarti pula bahwa dorongan terhadap produsen untuk menghasilkan barang yang terjamin mutunya. Dengan demkian konsumen tidak akan mengalihkan perhatiannya pada produk luar negeri. Kepercayaan konsumen yang diterima oleh produsen dengan sendirinya membuat produsen memperbesar volume produksinya. YLKI adalah oragnisasi non pemerintah dan nirlaba yang didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga
dapat melindungi dirinya sendiri
dan
lingkungannya.12 Selanjutnya dalam eksistensinya menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen, YLKI pada dasarnya melakukan tahapan-tahapan yang persis dan hampir sama dengan BPSK. Kemudian yang menjadi pembeda disini adalah kedudukannya yang non pemerintah sebagai lembaga swasta yang berdiri atas tujuan yang hampir sama dengan BPSK yaitu melindungi hak-hak konsumen. d. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 12
Sumber online:http://Wikipedia.org/wiki/ Diakses: Rabu, 23 September 2015, pukul 10.18 WIB.
Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia.
53
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPSK) yang berkedudukan di Ibu Kota
Negara
Republik
Indonesia
dan
bertanggung
jawab
kepada
Presiden(Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional).BPSK sedapat mungkin akan didirikan di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia untuk membantu pelaksanaan fungsi dan tugasnya.13 Badan
Perlindungan
Konsumen
Nasional
mempunyai
fungsi
memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya pengembangan
kepada
Pemerintah
dalam
upaya
mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia. Badan Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
(BPSK)
dan
Majelis
Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 huruf 11 dari Undang-undang tersebut menentukan bahwa yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Perlindungan Konsumen adalah “badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan cara melalui peradilan dan non peradilan. Yang non peradilan dilakukan dengan cara mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase.
13
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis......(Rajawali Pers:Jakarta,2012), hlm, 211.
54
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis. Jumlah majelis tersebut haruslah ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang mewakili semua unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera. Putusan majelis bersifat final dan mengikat. Meskipun putusan badan penyelesaian sengketa konsumen bersifat final dan mengikat dan pada hakikatnya tidak dapat diajukan keberatan, namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dapat diajukan keberatan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu; 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. 2. Setelah putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan. 3. Putusan diambil dari tipu muslihat, yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Keberatan dapat diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata, dalam tenggang waktu empat
55
belas hari terhitung sejak pelaku usaha atau konsumen menerima pemberitahuan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 14 Jalur penyelesaian yang dapat dilalui dalam menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen yang dilakukan di luar peradilan (non litigasi) dapat dilakukan dengan beberapa cara yang diakui oleh Undang-undang. diantaranya;15 a. Mediasi Mediasi
adalah
proses
pengikutsertaan
pihak
ketiga
dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi ini merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Lembaga yang dipilih selaku pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Mediator melakukan mediasi harus mengandung unsur-unsur antara lain: 1. Merupakan
sebuah
proses
penyelesaian
sengketa
berdasarkan
perundingan. 2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
14
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan …, h. 207-211.
15
Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam ..., h. 199-204.
56
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. 4. Tujuan mediasi untuk mecapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Dengan demikian putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. b. Konsiliasi Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun Undangundang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi rumusan itu dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa. Konsiliasi ini juga dapat dikatakan sebagai perdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi). Konsiliator yang dipercayakan harus memiliki peran yang cukup berarti, karena konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.
57
Antara mediasi dan konsiliasi seringkali dipersamakan, terutama tentang prosedur dan tata cara penyelesaiannya.16 Dalam menyelesaikannya sebagai konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada salah satu dari yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak mengeluarkan putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan diantara mereka. c. Arbitrase17 Menurut Subekti, arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk. Penyelesaian melalui arbitrase ini merupakan penyelesaian yang banyak dan disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional
maupun
internasional
dikarenakan
sifat
kerahasiaannya,
prosedurnya sederhana, putusannya bersifat mengikat para pihak dan bersifat final.
16
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis...., hlm, 315.
17
Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam …, h. 202-207.
58
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi. Perbandingan
penyelesaian
perlindungan
konsumen
antara
melalui
perundingan (negoisasi, mediasi,), Arbitrase, dan Litigasi.18 Proses Yang mengatur Prosedur
Perundingan Para pihak informasi
Jangka waktu Biaya
Segera (3-6 minggu) Murah (low cost)
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Arbitrase Arbiter Agak formal sesuai dengan rule Agak cepat (3-6 bulan) Terkadang sangat mahal Agak informal
Publikasi
konfidensial
Konfidensial
Hubungan para kooperatif pihak Fokus penyelesaian For the future Metode negosiasi
kompromis
Komunikasi Result Pemenuhan
Memperbaiki yang sudah lalu Win-win Sukarela
Suasana emosional
Bebas emosi
18
Antagonis Masa lalu (the past) Sama keras pada prinsip hukum Jalan buntu (blocked) Win-lose Selalu ditolak dan mengajukan oposisi Emosional
Litigasi Hakim Sangat formal dan teknis Lama (2 tahun lebih) Sangat mahal (expensive) Sangat formal dan teknis Terbuka untuk umum Antagonis Masa lalu (the past) Sama keras pada prinsip hukum Jalan buntu (blocked) Win-lose Ditolak dan mencari dalih Emosi bergejolak
Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam …, h. 210-211.
59
2. Penyelesaian Sengketa Litigasi Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah melakukan suatu penyelesaian sengketa konsumen dengan begitu lengkap dan dapat dikatakan berkeadilan. Melalui Undang-undang ini telah dijelaskan tentang penyelesaian yang dapat dilalui oleh pihak yang ingin memenuhi hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha. Setelah tadi dijelaskan tentang penyelesaian sengketa perlindungan konsumen melalui non peradilan (non litigasi), maka disini dijelaskan penyelesaian melalui jalur peradilan (litigasi). a. Melalui Peradilan Umum Sesuai dengan apa yang dijelaskan pada pasal 45 UUPK, bahwa dalam hal terjadi suatu sengketa oleh konsumen dapat melakukan pengaduan kepada lembaga yang telah ditunjuk ataupun melakukan pengaduan langsung kepada lembaga peradilan yang ada. Pasal 45 UUPK menjelaskan bahwa; 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. 4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
60
Dari apa yang dijelaskan dari pasal 45 UUPK di atas, bahwa pada dasarnya undang-undang ini terlebih dahulu menjelaskan tentang penyelesaian yang dilakukan melalui jalur yang non peradilan (non litigasi). Hal ini dikarenakan keefektifitasan waktu yang didapat apabila dilakukan diluar peradilan. Kita ketahui peradilan umum sendiri adalah lembaga peradilan yang paling sibuk dalam tugasnya. Setidaknya, dengan adanya jalur-jalur di luar peradilan ini juga dapat mengurangi jumlah perkara yag harus diselesaikan oleh lembaga peradilan. Selanjutnya Pasal 46 UUPK menjelaskan tentang gugatan yang disampaikan oleh pihak yang diambil haknya oleh pelaku usaha dapat dilakukan oleh mereka yang berhak untuk mengajukannya.19 1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. 2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
19
C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet. Kelima, (Jakarta; sinar grafika, 2010), h. 234-235.
61
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dalam penyelesaiannya peradilan melaksanakan suatu proses pernyelesaian perkara seperti biasa pada umumnya. Sehingga akhirnya peradilan mengeluarkan suatu putusan yang kemudian diterapkan sebagai hasil dari proses peyelesaian yang dilakukan.Untuk kiranya menjamin suatu keadilan kepada pihak dan/atau pihak-pihak yang dirampas haknya. b. Melalui Peradilan Agama Di Indonesia pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Setelah lahirnya Undangundang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan amandemen dari UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan perluasan kewenangan Peradilan Agama. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Peradilan Agama juga berwenang untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah “perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah; (c) asuransi syariah; (d)
62
reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) dana pensiunan lembaga syariah; (k) bisnis syariah. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Peradilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian kewenangan ini diperkuat dengan pasal 55 ayat 1 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun ayat berikutnya20 memberi peluang kepada pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan
perkara
mereka
di
luar
Peradilan
Agama.
Penyelesaian tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau menyelesaikan melalui Peradilan Umum.21 Mengenai Pasal 55 ayat 1 dan 2 UU No. 21 tahun 2008 ini menimbulkan perdebatan dikalangan ahli dan para pakar mengenai kewenangan absolut menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen 20
Adalah pasal 55 ayat 2 dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang kemudian membuka kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk menyelesaikan sengketa di dalam lingkungan peradilan lain (Peradilan Umum). 21
Sumber online; http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketaperbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.
63
dalam Lembaga Keuangan Syariah. Tidak dapat dipungkiri bahwa disini terjadi dualisme kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah antara Peradilan Negeri dengan Peradilan Agama. Hal ini tentu seharusnya sesegera mungkin harus ditemukan penyelesaian yang secara materil memuat peraturan terkait kewenangan absolut tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dalam amar putusannya menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;22 1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain selebihnya. Putusan
ini
secara
tegas
menghapuskan
kesempatan
untuk
kewenangan menyelesaikan sengketa keuangan syariah di Peradilan Umum karena Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan khusus, khusus antara orang atau badan hukum yang 22
Penjelasan Pasal 55 ayat (2): Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
64
menundukkan diri kepada prinsip Islam. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Peradilan Agama yaitu asas personalitas keislaman.
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH
A. Argumentasi Yuridis Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah Zainuddin Ali mengemukakan bahwa Pengertian Ekonomi Syariah atau Pengertian Ekonomi Islam merupakan kumpulan norma hukum yang bersumber dari alquran dan hadist yang mengatur perekonomian umat manusia.1 Sengketa ekonomi syariah adalah pertentangan atau konflik yang muncul akibat adanya perjanjian (aqad) yang dibangun antara para pihak mengenai tentang prilaku ekonomi yang berbasis kepada prinsip-prinsip yang Islami. Syariah yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada perbankan syariah saja. Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan; a) Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. b) Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan
1. Sumber online: http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-ruang-lingkupmanfaat.html#_, diakses tanggal 15 oktober 2015, pukul 08.20 WIB.
65
66
sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. 1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah dalam Peraturan Perundang-undangan Sebelum kemunculan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain melalui mediasi perbankan, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993. Perubahan nama dari BAMUI menjadi Basyarnas ditetapkan pada Rakernas MUI tahun 2002. Basyarnas merupakan satusatunya lembaga arbitrase yang berdasarkan prinsip syariah dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa muamalat. Ide pendirian Basyarnas erat kaitannya dengan pendirian Bank Muamalat, BPRS, dan rencana pendirian Asuransi syariah pada tahun 1994. Seperti lembaga keuangan lainnya, lembaga keuangan perbankan syariah dan asuransi syariah diprediksi akan menghadapi berbagai tantangan, termasuk sengketa dengan konsumennya. Untuk memastikan aktivitas lembaga ini sesuai dengan prinsip syariah, maka sengketa yang terjadi harus diselesaikan oleh lembaga yang kompeten yang mengggunakan prinsip syariah sebagai guideline-nya. Pada saat itu, lembaga peradilan yang ada dianggap tidak kompeten menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Peradilan Negeri meskipun mempunyai wewenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah, para hakimnya dianggap tidak memiliki pemahaman
67
yang mendalam terhadap transaksi-transaksi syariah sehingga dikuatirkan sengketa perbankan syariah diselesaikan tidak sesuai berdasarkan prinsip syariah. Di sisi lain, Peradilan Agama tidak mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangannya terbatas menyelesaikan sengketa terkait pernikahan, talak, waris, zakat, dan wakaf. Berdasarkan argumentasi di atas, Basyarnas didirikan dengan harapan agar sengketa perbankan syariah bisa diselesaikan dengan cepat dan fair berdasarkan prinsip syariah. Sejak berdirinya pada tahun 1993, sampai saat ini, tidak banyak kasus yang diselesaikan oleh Basyarnas. Data yang diperoleh tahun 2010 memperlihatkan hanya 18 kasus yang telah diselesaikan. Proses penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara confidential sesuai dengan prinsip syariah di mana para pihak dilarang untuk membuka aib pihak-pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase mengikat para pihak yang bersengketa. Informasi yang diperoleh, mayoritas kasus dapat diselesaikan secara damai, memuaskan dan tidak lebih dari 6 bulan.2 a. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) UU No. 8 tahun 1999 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013
2
http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-diindonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB.
68
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
telah
jelas
sebelumnya mengungkapkan pada Pasal 45 ayat (1) bahwa Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa
antara
konsumen
dan
pelaku
usaha
atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal ini menegaskan bahwa sengketa perlindungan konsumen yang diselesaikan melalui jalur peradilan hanya bisa diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Umum. Lahirnya undang-undang ini (UUPK) pada tahun 1999 adalah dimana belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perlindungan konsumen dalam bentuk ekonomi syariah. Ekonomi Syariah belum terlalu menjadi sesuatu yang banyak dibahas dalam cakupan nasional. Perlindungan konsumen yang dimaksudkan dalam undang-undang ini berbasis ekonomi konvensional, walaupun sebenarnya pada saat itu sistem ekonomi yang berbasis syariah sudah mulai terlihat kehadirannya. b. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan agama pada pasal 49 huruf (i) menegaskan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut
69
Peradilan Agama dan diselesaikan oleh majelis hakim di Peradilan tersebut. Pasal ini memberikan kesempatan yang lebih luas tentang kewenangan absolut Peradilan Agama dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memuat kewenangan absolut Peradilan Agama selama ini hanya terbatas kepada waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan sedekah. UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah awal dari penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah di bawah naungan Peradilan Agama. Penambahan kewenangan ini sangat sesuai dengan asas personalitas keislaman yang menjadi identitas dasar dari Peradilan Agama. Hal ini karena ekonomi syariah adalah suatu sistem keuangan dan bisnis yang berasaskan kepada prinsip-prinsip keislaman. Tentunya hal ini sangat berkaitan dan memang seharusnya kewenangan ini mutlak menjadi kewenangan Peradilan Agama. c. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Memperkuat legalitas kewenangan Peradilan Agama tentang sengketa ekonomi syariah, tahun 2008 lahirlah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang lebih khusus membahas tentang perbankan syariah yang merupakan salah satu dari bentuk ekonomi syariah yang dimaksud. Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah dinyatakan penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan dilingkungan Peradilan
70
Agama. Namun kemudian yang memberi celah kepada penyelesaian di lembaga peradilan lain dalam hal ini Peradilan Umum terdapat pada ayat selanjutnya yang menyatakan jika diadakan aqad yang memuat pernyataan penyelesaian yang lain dapat melalui Peradilan Umum. Penjelasan terkait hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Hadirnya UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ini memberikan suatu permasalahan baru. Bahwa kewenangan absolut yang secara khusus diberikan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dalam hal ini mengenai perlindungan konsumen justru melahirkan dualisme kewenangan untuk penyelesaiannya antara Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Hal inilah yang kemudian membutuhkan penyelesaian yang pasti mengenai lembaga peradilan yang berwenang. d. Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Mengenai dualisme kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen Lembaga Keuangan Syariah di atas, Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang untuk melakukan perubahan dan revisi terhadap peraturan perundang-undangan mengeluarkan putusan nomor 93/PUU-X/2012 tentang perubahan atas Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dengan menyatakan bahwa Pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dalam amar putusannya. Oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang
71
menangani sengketa ekonomi syariah. Hal ini dapat dikatakan sebagai puncak dari perdebatan selama ini dan menjadi landasan sebagai legalitas kewenangan Peradilan Agama secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk satu diantaranya adalah sengketa perlindungan konsumen. B. Argumentasi Empiris Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah Penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini mendapat banyak perdebatan di kalangan ahli hukum. Adanya kemungkinan dualisme yang terdapat di dalam penyelesaiannya mengharuskan adanya kepastian hukum untuk menjamin suatu kepastian sebagai jalan penyelesaian yang harus ditempuh. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menjelaskan di dalam Pasal 45 poin (1) bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan aturan ini para hakim peradilan berpendapat berbeda dengan tidak menyalahkan Undang-undang ini (UUPK) seluruhnya. Alasan yang paling sering muncul adalah bahwa UUPK hadir sebelum kewenangan absolut Peradilan Agama ditambahkan dengan kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada tahun 2006 melalui UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah lagi dengan UU
72
No. 50 Tahun 2009. Bahwa UUPK ini juga hadir sebelum UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah hadir. 1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah Beberapa alasan dan pendapat para hakim Peradilan Agama mengenai kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen ekonomi syariah telah tertuang di dalam beberapa putusan yang terdapat di dalam pertimbangan hukum terkait
dengan permasalahan ini. Banyak diantara para
hakim yang sependapat bahwa seharusnya kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen ekonomi syariah diselesaikan melalui Peradilan Agama. Hal ini bukan saja dinyatakan oleh Majelis Hakim di Peradilan Agama itu sendiri, beberapa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri dalam amar putusannya mengadili bahwa Peradilan Umum tidak berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen ekonomi syariah. Namun tidak memungkiri dalam putusan yang lain ada putusan majelis hakim Peradilan Agama yang belum berani menyatakan hal yang sama dan masih mengikut kepada peraturan perundangundangan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa memang permasalahan ini belum sepenuhnya diketahui oleh para hakim di peradilan. Dari beberapa putusan yang telah penulis baca dan pelajari, pertimbangan hukum yang mendasari
pendapat para hakim peradilan mengatakan bahwa
sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama.
73
a. Putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA. Bjb. Putusan
Peradilan Agama Banjarbaru ini
adalah tentang aqad
mudharabah antara penggugat Moses Antonius melalui kuasa hukumnya Suhatno dkk (YLPKK) dinyatakan sebagai penggugat melawan PT. Bank BNI Syariah kantor cabang banjarmasin. Bahwa penggugat adalah konsumen bank BNI syariah terkait dengan utang piutang untuk pembiayaan pembelian rumah (KPR) dengan sistem syariah. tertunggaknya pembayaran aqad mudharabah ini menyebabkan pelanggaran aqad oleh Bank BNI syariah kepada konsumennya terhadap perjanjian yang disepakati. bahwa hakim berpendapat tentang eksepsi kompetensi
tergugat
perlu
untuk majelis hakim bermusyawarah.
Bahwa
penunjukan Peradilan Umum dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut lahir tahun 1999, sedangkan kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa ekonomi syariah sejak tahun 2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) UndangUndang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
74
Nomor 93/PUU-X/2012, oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satusatunya pengadilan yang berwenang menangani sengketa ekonomi syariah. b. Putusan Peradilan Agama Yogyakarta No. 0047/Pdt.G/2012/ PA.Yk Putusan Peradilan Agama Yogyakarta adalah tentang Antara penggugat dan tergugat terlibat dalam kesepakatan mudharabah muqayyah executing tentang kerjasama investasi bukan utang piutang. Dengan kesepakatan bagi hasil 65% untuk BPRS dan 35 % untuk nasabah BMT. Di dalam aqad, penggugat merasa perjanjian tidak sesuai dengan UUPS karena mengandung klausula baku dan sepihak sehingga bertentangan dengan UUPK. Bahwa tergugat dalam empat poin eksepsinya mengatakan bahwa Peradilan Agama tidak berwenang tentang perkara yang dimaksud melainkan kewenangan Peradilan Umum. Bahwa kemudian atas semua permohonan yang dimohonkan penggugat dalam gugatan eksepsinya kemudian para hakim berpendapat bahwa Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang tergugat katakan bahwa Peradilan Agama Yogyakarta tidak berwenang menyelesaikan perselisihan investasi mudharabah muqayyah adalah tidak tepat karena merupakan salah satu dari kewenangan Peradilan Agama dalam Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah tentang perbankan syariah sebagaimana tercantum di dalam pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bahwa kemudian dengan semua pertimbangan yang ada. Majelis Hakim berpendapat perkara yang dimaksud adalah kewenangan yang termasuk dalam lingkungan Peradilan Agama.
75
c. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No. 40/Pdt.G/2012/PTA.Yk Putusan PTA Yogyakarta ini adalah perkara dari putusan PA Yogyakarta di atas yang kemudian dibanding kepada PTA Yogyakarta. Dalam putusan banding ini PTA Yogyakarta menguatkan sepenuhnya putusan PA Yogyakarta terkait sengketa perlindungan konsumen syariah di atas. d. Putusan Peradilan Agama Gorontalo No. 0527/Pdt.G/2014/ PA. Gtlo Putusan Peradilan Agama Gorontalo adalah tentang kredit murabahah. Bahwa penggugat I dan II menyerahkan kepada YLKI Gorontalo untuk melawan tergugat Rukmin Ressa mewakili PT Bank Muamalat. Perkara ini adalah tentang isi kalusula baku yang memperlihatkan kerugian kepada nasabah atau konsumen seperti yang dinyatakan UUPK. Selanjutnya PA Gorontalo melihat perkara ini sebagai sengketa perlindungan konsumen secara murni dan majlis hakim merujuk kepada pasal 45 UUPK dan menyatakan perkara yang dimaksud adalah kewenangan PN, meskipun sebenarnya mereka melihat adalah prinsip2 kesyariahan di dalam aqad yang dibangun. Bahwa menurut para hakim perkara yang dimaksud merupakan perkara yang diatur dalam perlindungan konsumen dan harus diselesaikan di peradilan umum. Bahwa kemudian hakim juga merasakan adanya sengketa ekonomi syariah di dalam perkara tersebut. Namun hakim tidak begitu meyakini tentang ini dan menyatakan bahwa perkara tersebut adalah perkara yang diwenangi oleh peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Atas dasar argumentasi ini kemudian para hakim menyatakan tidak dapat menerima perkara tersebut.
76
e. Putusan Peradilan Negeri Martapura No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP Putusan Peradilan Negeri Martapura ini adalah tentang Perkara antara penggugat Sehatno dkk dari YLPKK (Kalimantan) melawan PT. Al Ijarah Indonesia Finance cabang Martapura. Selanjutnya YLKI mewakili konsumen bernama Ferry Sadli terkait utang piutang secara angsuran untuk pembelian 1 unit mobil. Dalam gugatan ini tergugat menyatakan bahwa perkara ini adalah perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. hal ini dilihat dari nama perusahaan yang digugat adalah PT. Al Ijarah yang dalam prinsipnya melaksanakan ekonomi yang berbasis syariah. sehingga di dalam putusannya majelis hakim menyatakan perkara bukanlah kewenangan PN Martapura melainkan PA Martapura. bahwa hakim Peradilan Negeri Martapura berpendapat bahwa memang Peradilan Agamalah yang berhak menyelesaikan perkara tersebut. Bahwa badan usaha yang dimiliki tergugat adalah badan usaha yang telah menyatakan diri tunduk kepada prinsip-prinsip syariah, sehingga usaha ini adalah usaha syariah, hal ini terlihat dari namanya PT. Al Ijarah Indonesia Finance Cabang Martapura, dan seluruh nasabah/konsumen badan usaha ini adalah konsumen ekonomi syariah. Maka seharusnya menurut alasan yang sama persis seperti alasan yang disampaikan hakim Peradilan Agma Banjarbaru di atas, Peradilan Agamalah yang menyelesaikan perkara tersebut. Bahwa segala persengketaan yang berkaitan dengan ekonomi syariah adalah kewenangan absolut Peradilan Agama.
77
2. Tabel Perbandingan Putusan Para Hakim Peradilan Agama dan Peradilan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Ekonomi Syariah No 1
2
Nomor Putusan/ Tentang Nama Pengadilan Perkara 259/Pdt.G/2013/PA Adalah Moses Antonius .Bjb melalui kuasa hukumnya PA Banjarbaru Suhatno dkk (YLPKK) dinyatakan sebagai penggugat melawan PT. Bank BNI Syariah kantor cabang banjarmasin. Bahwa penggugat adalah konsumen bank BNI syariah terkait dengan utang piutang untuk pembiayaan pembelian rumah (KPR) dengan sistem syariah. tertunggaknya pembayaran aqad mudharabah ini menyebabkan pelanggaran aqad oleh Bank BNI syariah kepada konsumennya terhadap perjanjian yang disepakati. 0047/Pdt.G/2012/P Antara penggugat dan A.Yk tergugat terlibat dalam PA Yogyakarta kesepakatan mudharabah muqayyah executing tentang kerjasama investasi bukan utang piutang. Dengan kesepakatan bagi hasil 65% untuk BPRS dan 35 % untuk nasabah BMT. Di dalam aqad, penggugat merasa perjanjian tidak sesuai dengan UUPS karena mengandung klausula baku dan sepihak sehingga
Putusan Akhir Mengadili: (1) menyatakan mengabulkan eksepsi Tergugat. (2) menyatakan Peradilan Agama Banjarbaru tidak berwenang mengadili perkara ini. (namun perlu diperhatikan, bahwa maksud penolakan bukan karena Peradilan Agama tidak berwenang tentang perkara, namun lebih kepada kewenangan relatifnya yang ternyata salah. Hal ini tercantum dalam eksepsi). Mengadili: (2) Menyatakan Peradilan Agama berwenang untuk mengadili perkara tersebut.
78
3
40/Pdt.G/2012/PT A.Yk PTA Yogyakarta
4
0527/Pdt.G/2014/P A.Gtlo PA Gorontalo
5
03/Pdt.G/2013/PN. MTP PN Martapura
bertentangan dengan UUPK. Perkara ini adalah perkara dari putusan PA Yogyakarta di atas yang kemudian dibanding kepada PTA Yogyakarta. Dalam putusan banding ini PTA Yogyakarta menguatkan sepenuhnya putusan PA Yogyakarta terkait sengketa perlindungan konsumen syariah di atas. Bahwa penggugat I dan II menyerahkan kepada YLKI Gorontalo untuk melawan tergugat Rukmin Ressa mewakili PT Bank Muamalat. Perkara ini adalah tentang isi kalusula baku yang memperlihatkan kerugian kepada nasabah atau konsumen seperti yang dinyatakan UUPK. Selanjutnya PA Gorontalo melihat perkara ini sebagai sengketa perlindungan konsumen secara murni dan majlis hakim merujuk kepada pasal 45 UUPK dan menyetakan perkara yang dimaksud adalah kewenangan PN, meskipun sebenarnya mereka melihat adalah prinsip2 kesyariahan di dalam aqad yang dibangun. Perkara antara penggugat Sehatno dkk dari YLPKK (Kalimantan) melawan PT. Al Ijarah Indonesia Finance cabang Martapura.
Mengadili: (1) Menguatkan putusan Peradilan Agama Yogyakarta tanggal 05 Juli 2012 Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Sya’ban 1433 Hijriyyah, nomor 0047/Pdt.G/2012/PA.Y k. yang dimohonkan banding; Mengadili: (1) Menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;
Mengadili: (2) Menyatakan Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara
79
6
26/PDT.SUSBPSK/2015/PN.G RT PN Garut
Selanjutnya YLKI mewakili konsumen bernama Ferry Sadli terkait utang piutang secara angsuran untuk pembelian 1 unit mobil. Dalam gugatan ini tergugat menyatakan bahwa perkara ini adalah perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. hal ini dilihat dari nama perusahaan yang digugat adalah PT. Al Ijarah yang dalam prinsipnya melaksanakan ekonomi yang berbasis syariah. sehingga di dalam putusannya majelis hakim menyatakan perkara bukanlah kewenangan PN Martapura melainkan PA Martapura. Perkara ini adalah sengketa antara pihak pertama Dadang Setiawan melawan pihak kedua PT. BPRS PNM Mentari. Dimana Dadang mengajukan gugatan atas keberatannya kepada pihak kedua yang telah menyalahi aqad sebagai mana tercantum di dalam UUPK mengenai perlindungan konsumen. Bahwa kemudian majelis hakim PN Garut yang menerima gugatan penggugat menyatakan bahwa sengketa yang dimaksud bukanlah sengketa perlindungan konsumen sebagaimana
tersebut;
Mengadili: (2) menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Garut tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
80
7
8
dinyatakan UUPK diselesaikan di PN, namun para hakim menyatakan kewenangan menyelesaikannya adalah di PA Garut. Hal ini dikarenakan bahwa aqad yang dibangun oleh para pihak adalah aqad yang berpsinsip kesyariahan. 47/Pdt.G/2013/PN. Pihak penggugat dalam Klt perkara ini adalah Lembaga PN Klaten Perlindungan Konsumen Indonesia melawan PT. Bank BRI Syariah kantor pusat Jakarta CQ. PT. Bank BRI Syariah cabang Yos Sudarso Yogyakarta. Bahwa penggugat dengan tergugat telah melakukian aqad murabahah terkait peminjaman penggugat kepada tergugat senilai Rp. 130.000.000. Namun telah terjadi tunggakan pembayaran oleh penggugat terhadap tergugat sehingga menimbulkan persengketaan antara para pihak. Sehingga PN Klaten yang sebagai pengadilan yang menerima gugatan penggugat tersebut menyatakan bahwa PN Klaten tidak berwenang menyelesaikan sengketa karena sengketa tersebut adalah sengketa perlindungan konsumen syariah dan harus diselesaikan di PA. 158/Pdt.G/2013/PN Perkara antara YLKI,dkk .Mlg melawan PT. Bank
Mengadili: (1) Menyatakan Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 47/Pdt.G/2013/PN.Klt. tersebut;
Mengadili: (2) Menyatakan
81
PN Malang
Tabungan Negara Syariah cabang Malang. Bahwa penggugat telah melakukan aqad murabahah dengan pihak kedua terkait pembiayaan pembelelian satu unit rumah. Namun di tengah perjalanan pembiayaan tersebut penggugat mengalami kemacetan pembayaran kepada pihak bank yang menyebabkan kepada pelelangan jaminan yang diberikan penggugat kepada tergugat. Penggugat merasa kebertan dan mengajukan gugatan melalui YLKI kepada PN Malang. Selanjutnya PN Malang yang menyidangkan perkara ini menyatakan bahwa sengketa tersebut bukanlah kewenangan PN Malang, akan tetapi merupakan kewenangan PA.
Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara ini;
Dari delapan putusan peradilan yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya dari para hakim itu sendiri telah mengetahui dan sependapat tentang kewenangan absolut Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau bisnis syariah. Bukan hanya hakim di Peradilan Agama saja yang menegaskan tentang kewenangan untuk menyelesaikan perkara ini, beberapa putusan lain justru diputuskan oleh majelis hakim di Peradilan Negeri yang dalam amar
82
putusannya menyatakan Peradilan Umum tidak berwenang untuk mengadili perkara ekonomi syariah terutama perkara perlindungan konsumen. Dari kedelapan putusan tersebut di atas, dua putusan Peradilan Agama menyatakan Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu Pengadilan Tinggi Agama menguatkan putusan Peradilan Agama yang menyatakan berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Empat putusan Peradilan Negeri yang menyatakan tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu putusan Peradilan Agama yang menyatakan tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Putusan di atas memperlihatkan betapa sebenarnya para hakim mengetahui
tentang
kewenangan
absolut
Peradilan
Agama
untuk
menyelesaikan perkara yang dimaksud. Namun apa yang terdapat di dalam putusan Peradilan Agama Gorontalo juga memperlihatkan bahwa memang masih ada beberapa hakim yang belum mengetahui tentang kewenangan ini secara mendalam. Tentu seharusnya hal yang semisal putusan Peradilan Agama Gorontalo ini tidak terjadi karena legalitas untuk permasalahan ini dapat dilihat kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
83
C. Analisis Kewenangan Peradilan Agama Menyelesaikan Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah Penelitian yang penulis lakukan adalah dengan melihat secara lebih mendalam tentang analisis yuridis dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach) dan menggunakan pendekatan putusan atau kasus yang terjadi (Case Approach). Hasilnya setelah melihat dan mempelajari peraturan perundangundangan yang mengatur terkait permasalahan penelitian penulis serta melihat putusan-putusan
mengenai kewenangan absolut dalam menyelesaiakan sengketa
ekonomi syariah di atas, penulis memperkuat pendapat para hakim Peradilan Agama yang menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai dengan alasan-alasan yang mendasarinya. Diantaranya; 1. Asas Lex Specialis derogate legi generali (Hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum) Dalam istilah hukum kita temukan asas ini bahwa undang-undang yang secara khusus telah mengatur suatu perihal yang diundangkan memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dari pada perundangan yang masih secara umum mengatur tentang perkara yang dimaksud. Dimana kedudukannya akan lebih diutamakan sebagai sumber rujukan dan yang lebih diprioritaskan dalam prakteknya. Dalam hal ini sangat berkaitan bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah membahas secara global mengenai perlindungan konsumen. Namun tetap harus menjadi perhatian di kalangan ahli hukum bahwa
84
kehadiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah adalah undang-undang yang khusus dan mengkhususkan pengaturan tentang perbankan syariah termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa. Di sini kemudian diperlukan skala priotas yang seharusnya lebih didahulukan, bahwa memang segala urusan mengenai perbankan syariah merupakan suatu prihal yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Hal ini sangat sejalan dengan UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 yang menyatakan demikian. Sehingga penulis beranggapan bahwa kekuatan UUPK yang menyatakan bahwa Peradilan Umum lah yang berwenang menyelesaikan sengketa Perlindungan Konsumen akan menjadi berbeda ketika prinsip usaha barang dan/atau jasa yang dimaksud adalah yang berbasis syariah, dan hal ini merupakan pengkhususan yang dimaksud. 2. Lex posterior Derogat legi priori (Hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama) Di dalam asas ini juga terdapat persamaan dengan apa yang terjadi di atas, bahwa di dalam perundang-undangan akan selalu terjadi perubahan/revisi terhadap suatu peraturan yang telah diberlakukan sebelumnya. Hal ini karena prinsip hukum akan selalu berkembang dengan seiring perkembangan waktu dan zaman. Istilah ini juga terjadi di dalam perjalanan penerapan hukum Islam yang dibawa Rasulullah SAW bagaimana penerapan hukum itu dinamis dan berkembang sesuai dengan waktu dan zaman berlakunya. Bukan berarti hukum
85
bisa diubah seenaknya, pengembangan hukum tetap harus menghadirkan ketentuan sebelumnya, tidak menyalahi aturan yang lebih tinggi darinya. Dengan pengoptimalan untuk menghadirkan produk hukum akan memberikan kenyamanan yang lebih baik kepada masyarakat hukum tersebut. Dalam proses pengkajian hukum Islam inilah yang kemudian dikenal istilah Al-quran, Al-hadits, ijma’, qiyas dan lainnya. Dalam hukum positif asas ini bisa saja terjadi dimana hukum yang telah ada dan mengatur sebelumnya telah terhapus dengan hadirnya undang-undang atau peraturan yang baru yang mengatur kepada prihal yang sama. Sehingga tetap dalam perubahan tersebut tidak meniadakan istilah dan asas hukum yang lain yang seharusnya tidak dilanggar dalam penerapannya. Hal ini yang kemudian dapat dilihat dari kapan diundangkannya suatu undang-undang. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) lahir pada tahun 1999 yang secara umum mengatur tentang perlindungan konsumen secara keseluruhan. Kemudian UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama muncul menyatakan sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Tahun 2008 lahir pula UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan penyelesaiannya di dalam lingkungan Peradilan Agama. sehingga Pasal 45 UUPK yang menyatakan sengketa perlindungan konsumen diselesaikan di Peradilan Umum harus dibaca Peradilan Agama, karena tidak berlaku lagi dengan adanya peraturan yang baru. 3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
86
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang kemudian membuka kesempatan untuk penyelesaian dilingkungan Peradian Umum maka dikeluarkanlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Hal ini karena banyak para pihak yang sedang bersengketa melakukan eksepsi kepada Peradilan Agama atas kewenangan absolutnya menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Menurut para pihak melalui kuasa hukumnya perlindungan konsumen merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum. Kemudian disisi lain ekonomi syariah adalah kewenangan Peradilan Agama. Termasuk di dalamnya sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi ini seluruh sengketa yang berkaitan dengan ekonomi syariah merupakan kewenangan yang mutlak di Peradilan Agama dan putusan ini sekaligus menjadi jawaban dari pertanyaan tentang permasalahan ini selama ini. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 ini adalah sebuah aturan yang kekuatan hukumnya mengikat dan bersifat final. Hal ini karena keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Ketika Mahkamah Konstitusi menggunakan haknya sebagai negativ legislator ini, maka putusan tersebut dibacakaan di depan sidang yang terbuka untuk umum maka otomatis sejak saat ini Pasal tentang penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 menjadi tidak berlaku lagi sehingga Peradilan Agama adalah lembaga
87
peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. 4. Asas Personalitas Keislaman di Peradilan Agama Asas yang secara khusus hanya terdapat di Peradilan Agama ini adalah salah satu dalil yang mengharuskan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus diselesaikan di lembaga peradilan dalam dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian dirubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Pasal 2 menegaskan bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undag-undang ini”. Pasal 49 menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan kewenangan lainnya. Dengan pernyataan yang terdapat di Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Agama ini sangat sejalan dengan asas yang dimaksud. Bahwa perkara ekonomi syariah adalah perkara yang terdapat prinsip-prinsip keislaman di dalamnya, baik itu orangorangnya (para pihak) maupun lembaga atau organ yang terdapat di dalamnya. Sehingga seharusnya penyelesaian sengketa ini dikembalikan kepada lembaga peradilan yang secara kewenangannya mengurusi kepentingan perkara yang berkaitan dengan prinsip-prinsip keislaman yaitu Peradilan Agama.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya mengenai kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam sengketa ekonomi syariah penulis mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa perumusan masalah yang penulis berikan. Secara Peraturan Perundang-undangan, sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi telah di atur oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) atau UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini dalam Pasal 45 ayat (1) menyatakan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang diselesaikan melalui lembaga peradilan diselesaikan di Peradilan Umum. Bila melihat pasal ini secara umum Peradilan Agama tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen ini secara kewenangan absolutnya karena telah dibatasi oleh kewenangan yang diberikan kepada Peradilan Umum. Jangkauan kewenangan Peradilan Agama mewenangi penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi yang berbasis syariah ditandai dengan lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 huruf (i) menambahkan kewenangan absolut Peradilan
Agama
menyelesaikan 88
sengketa
ekonomi
syariah.
Dengan
89
diberikannya kewenangan ini menimbulkan suatu peralihan yang harus dialihkan dari yang sebelumnya perkara termasuk kedalam kewenangan Peradilan Umum kemudian diselesaikan di Peradilan Agama. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 55 menyatakan bahwa sengketa dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) diselesaikan di Peradilan Agama. Namun ayat kedua dari Pasal ini membuka celah untuk penyelesaiaan sengketa konsumen keuangan syariah diselesaikan di Peradilan Umum. Hal ini menimbulkan dualisme kewenangan, karena tidak mungkin ada dua peradilan yang menjadi tempat penyelesaian untuk satu kasus yang telah dikhususkan menjadi kewenangannya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012 tentang revisi dan perubahan terhadap Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan jalan keluar dari persoalan dualisme kewenangan ini. Putusan ini menyatakan bahwa Pasal ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan putusan ini, segala sengketa yang muncul dalam ekonomi syariah mutlak diselesaikan di Peradilan Agama ketika memilih jalur litigasi. Secara pendekatan terhadap putusan pengadilan mengenai kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah para hakim dalam amar putusannya telah menyatakan bahwa kewenangan ini merupakan kewenangan yang khusus bagi Peradilan Agama. Putusan yang menyatakan demikian bukan hanya terdapat dalam putusan Peradilan Agama saja. Dari delapan putusan yang penulis pelajari, dua putusan Pengadilan
90
Agama menyatakan Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu Pengadilan Tinggi Agama menguatkan putusan Pengadilan Agama yang menyatakan berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Empat putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu putusan Pengadilan Agama yang menyatakan
tidak
berwenang
untuk
menyelesaikan
perkara
sengketa
perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. 2. Kemudian yang menjadi legalitas tentang kewenangan absolut Pengadilan Agama menyelesaikan sengketa lembaga keuangan syariah dapat dilihat dari analisis yuridis terhadap peraturan undang-undang terkait permasalahan ini dan analisis empiris terhadap putusan-putusan lembaga peradilan yang telah diputuskan terkait sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Hasil akhir dari analisis yuridis dan empiris mengenai sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah membuktikan bahwa sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah menjadi kewenangan khusus yang diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini kemudian didukung dengan beberapa istilah dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam dunia hukum. Beberapa asas dan istilah yang memperkuat dalil tentang kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diantaranya;
Asas
Lex
Specialis
derogate
legi generali, Lex
91
posterior
Derogat
legi
priori, kemudian ditambahkan dengan asas
personalitas keislaman yang dimiliki oleh lembaga Peradilan Agama. 3. Dalam praktiknya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen syariah pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam sistem ekonomi konvensional. Dari beberapa putusan terkait persoalan tersebut menyatakan bahwa kewenangan ini memang merupakan kewenangan lembaga Peradilan Agama. Hal ini bukan saja dinyatakan oleh majelis hakim dalam Peradilan Agama itu sendiri. Hal yang sama juga dinyatakan oleh lembaga Peradilan Umum. Namun bila dilihat dari jumlah perkara yang diselesaikan masih sangat minim persidangan yang dilangsungkan mengenai sengketa perlindungan konsumen di Peradilan Agama. Hal ini bukan hanya karena kewenangannya yang dapat dikatakan masih baru namun juga karena banyaknya kesempatan untuk memilih lembaga lainnya di luar peradilan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen. B. Saran-saran Sebagai penutup dari kesimpulan di atas, penulis menyertakan beberapa saran mengenai kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam perbankan syariah mengenai ekonomi syariah: 1. Agar kiranya dikeluarkan peraturan atau perundang-undangan yang baru sebagai penyempurna dari peraturan yang ada sebelumnya yang secara rinci dan jelas mengatur tentang ekonomi syariah dan bagaimana proses penyelesaian sengketa yang ada di dalamnya. Hal ini untuk menjamin para konsumen
92
sebagai pemakai atau orang yang mengambil manfaat dari suatu produk barang dan/atau jasa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Sebagaimana seharusnya antara produsen dan konsumen atau semua pihak menjalankan prinsip jual-beli secara Islami dan menyelesaikan persengketaan juga dengan cara-cara yang Islami. 2. Sangat diperlukan adanya penegasan yang secara hukum memiliki kekuatan hukum yang kuat bahwa Peradilan Agama adalah lembaga Peradilan yang memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Karena syariah yang dimaksud adalah suatu konsep yang diperkenalkan oleh Islam yang kemudian Peradilan Agama adalah peradilan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sebagaimana Peradilan Agama memiliki asas personalitas keislaman. 3. Agar Negara memfokuskan suatu upaya untuk menciptakan hakim-hakim yang memiliki kompetensi yang mapan mengenai ekonomi syariah secara keseluruhan. Sebagaimana penulis melihat bahwa tidak dipungkiri banyak Hakim-Hakim di Peradilan Agama sendiri yang belum begitu memahami ekonomi syariah itu sendiri secara mendalam. 4. Penelitian ini masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan memerlukan lanjutan, khususnya mengenai proses penyelesaian sengketa ekonomi secara lebih mendalam.
93
DAFTAR PUSTAKA
A. BukuReferensi Alquran al-Karim Ahmad Noeh, Zainidan Adnan, Abdul Basit, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983. Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia, jakarta; Kencana, 2008. As-siddieqy, Hasby,Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta; PT. Ma’arif, 1994. Asyhadie, Zaeni, HukumBisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Depok; PT. Raja Grafindo Persada, 2012, cet. Ke-6. DelfaYona,Rika, Eksistensi Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengeksekusi Putusan Arbitrase Syariah , Jakarta: UIN SYAHID Jakarta, 2010. Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke -2.Jakarta: KENCANA, 2010. Echlos, Jhon M. dan Gramedia,1995.
Sadily,
Hasan,
Kamus
Inggris-Indonesia,
Jakarta;
Ganda Subrata, Purwoto S, Dengan Etikadan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawadan Martabat hakim Indonesia, Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994. Ganda Subrata, Purwoto S, TugasdanFungsi Hakim, Jakarta; BinaYustisia MahkamahAgung RI, 1994. Hamami, Taufiq. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalamsistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung: P. T. ALUMNI, 2003.
94
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Bandung; Citra AdityaBakti, 1997. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undangundang Nomor 7 tahun 1989, Jakarta; Pt. Garuda metropolitan Press, 1993. Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, DanputusanPengadilan, Jakarta; Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-9. Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan AcaraPeradilan Agama, Jakarta; PT. Sarana Bakti Semesta, 1997. Cet. Ke-3 HasanBisri, Cik,Peradilan Agama di Indonesia,Jakarta; Pt. RajawaliGrafindoPersada, 1996. Hasan, Hasbi, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah, Depok: Gramata Publishing, 2010. Hasan, Hasbi, KompetensiPeradilan Agama, Dalam Penyelesaian PerkaraEkonomi Syariah, Depok;Gramata Publishing, 2010. IdrisRamulyo, Moh,Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hill Co, 1991. Irsyad, Syamsuhadi, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, Makalah, 10 Juli 2006. Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; UIN Jakarta/FSH, 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Depdikbud, BalaiPustaka, 1996, Cet. Ke-7. Kansil, C.S.T., dan Kansil, Christie S.T., Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta; sinar grafika, 2010, Cet. Ke-5. Kartika, Elsi danSimanunsong, Advendi, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT. Grasindo, 2008, cet. Ke-5. Mabruri Thallah, Abdul Mujib, Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, Jakartta; PT. Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-3. Manan, Abdul ,Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama, Jakarta: KENCANA, 2012.
95
Manan, Bagir, Tugas hakim: Antara Melaksanakan FungsiHukum dan Tujuan Hukum Dalam Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung, Jakarta; Dirjen PA, 2007. Miru, Ahmadi & Yudo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007. Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; PT. Rajawali Grafindo Persada, 2004. Muhammad danAlimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta; BPFE, 2004. Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar, 1995. Poerwadarminta, WJS.,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta; BalaiPustaka, 1976. RiszaIdris, Hendi, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya, Majalah Hidayatullah EdisiMaret 2007. Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung jawab Mutlak, Jakarta; Universitas Indonesia, 2004. Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Sofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002. Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008. Vollenhoven, C. Van,Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Jakarta; DjambatanInkultra Foundation Inc., 1981. Warson, Ahmad, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia),Jakarta; M. Jakarta, 1996. Wingjosoebroto, Soetandoyo, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: Suatu Telaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989.
96
Wulan Sutantio, Retno dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, 1989. Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia, Malang; UIN-Malang UINMalang Press,2008. Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; Kencana, 2013. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 45) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diubah denganUndangundang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Syariah.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Rakernas Mahkamah Agung Republik Indonesia, Palembang, tahun 2009. C. Internet http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariahdi-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.
http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-ruang-lingkup-manfaat.html#_, diakses tanggal 15 oktober 2015, pukul 08.20 WIB.
97
http://Wikipedia.org/wiki/ Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia. Diakses Rabu, 23 september 2015 pukul 13.00 WIB. http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariahdi-indonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB. D. Penelitian dan Skripsi Hazzaziev, Djawahir.“Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah,” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Melianah. “Proses Pembuatan Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam Perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen (studi kasus pada Bank Syariah Mandiri),”Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2014. Abdul, Hafid Nur. “Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,”Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010. E. Putusan Mahkamah Agung Putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA.Bjb. Putusan Peradilan Agama Yogyakarta No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Putusan Peradilan Tinggi Agama Yogyakarta No 40/Pdt.G/2012/PTA.Yk Putusan Peradilan Agama Gorontalo No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo Putusan Peradilan Negeri Martapura No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP Putusan Peradilan Negeri GarutNo. 26/PDT.SUS BPSK/2015/PN.GRT Putusan Peradilan Negeri Klaten No.47/Pdt.G/2013/PN.Klt Putusan Peradilan Negeri Malang No.158/Pdt.G/2013/PN.Mlg