STUDI PEMETAAN TANAMAN OBAT TEMULAWAK (CURCUMA XANTHORHIZA ROXB.) DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS : Studi Kasus di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
Oleh : INA NOPELINA A24101078
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SUMMARY INA NOPELINA. Study on Mapping of Wild Ginger (Curcuma xanthorriza Roxb) as Herbal Medicine by Applying the Geographic Information System : A Case Study in the Lamongan Regency, East Java. Supervised by Baba Barus and Atang Sutandi.
Lamongan Regency is one of production center of BPOM’s high yielding herbal medicine which has a variety in climatology and unique in land properties. One of the high-yielding herbal medicine is wild ginger. Evaluation of wild ginger distribution is important to see land characteristics where wild ginger grows and spreads. In Indonesia, generally the evaluation of this distribution is still in statistical data format (a non-spatial format). Hence, a study of wild ginger mapping in Lamongan Re gency was conducted, both its distribution and land suitability. In addition, evaluation of its physical environment was conducted and presenting them both spatial and non-spasial using Geographic Information System (GIS). The GIS operations in this research used a secondary data (topographical map, soil map, land system map, soil fertility data, statistical data and rainfall data) applying several methods such as operation, classification, generalization, overlapping, measurement, searching and development of Digital Elevation Model (DEM). The criteria of land suitability used for wild ginger derived from the result of the research conducted by The Biofarmaka Center of IPB in cooperation with BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). This criteria of land suitability was developed from the sample taken in the fields at Lamongan, Karanganyar, and Ngawi regency. This developed criteria was then used in the
land suitability class-mapping for wild ginger as herbal medicine in Lamongan regency. The land suitability map created based on physical and chemical data of the environment condition of the wild ginger distribution map and its analysis. The land suitability map was obtained by comparing the map of land quality and characteristic with the criteria of land suitability. Meanwhile, the map of wild ginger distribution was obtained by entering statistical data into attribute data. As result, generally Lamongan regency was classified into the S1 class. Based on the statistical data, the subdistric of Sambeng was know n to be the place where wild ginger are planted dominantly with area about 30.000 meters square. Keyword : Evaluation, GIS, Mapping, distribution, wild ginger
RINGKASAN INA NOPELINA. Studi Pemetaan Tanaman Obat Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di bawah bimbingan Baba Barus dan Atang Sutandi. Kabupaten Lamongan merupakan salah satu sentra produksi tanaman obat unggulan BPOM yang memiliki variasi klimatologi dan lahan yang spesifik. Salah satu tanaman obat yang menjadi unggulan adalah temulawak. Diperlukan evaluasi penyebaran temulawak untuk melihat kualitas agrobiofisik lahan tempat tumbuh temulawak dan penyebarannya. Di Indonesia, pada umumnya eva luasi penyebaran ini masih berupa data-data statistik (non-spasial). Dengan latar belakang ini maka dilakukan studi mengenai pemetaan temulawak di Kabupaten Lamongan, baik mengenai penyebarannya maupun kesesuaian lahannya serta mengevaluasi kondisi lingkungan tempat tumbuh temulawak dengan menyajikannya berupa data spasial maupun non-spasial dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi SIG yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder (peta rupabumi, peta tanah, peta sistem lahan, data analisis kesuburan tanah, data statistika, dan data curah hujan) dengan menggunakan operasi pemanggilan
data,
klasifikasi,
generalisasi,
tumpang-tindih,
pengukuran,
penelusuran (search), dan pembuatan Digital Elevation Model (DEM). Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman obat temulawak yang dipakai berasal dari hasil penelitian Pusat Biofarmaka, IPB bekerja sama dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Kriteria kesesuaian lahan ini dikembangkan dari sampel yang diambil di lapang di Kabupaten Lamongan, Karanganyar, dan Ngawi. Kriteria
yang dikembangkan tersebut kemudian dipakai untuk pemetaan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman obat temulawak di Kabupaten Lamongan. Hasil studi adalah peta kesesuaian lahan temulawak berdasarkan data fisik dan kimia kondisi lingkungan peta distribusi temulawak dan analisisnya. Peta kesesuaian lahan diperoleh dengan membandingkan peta satuan lahan dengan kriteria kesesuaian lahan. Sedangkan peta distribusi temulawak diperoleh dengan memasukan data statistik ke dalam data atribut. Secara umum Kabupaten Lamongan termasuk kedalam kelas kesesuaian S1. Berdasarkan data statistik, Kecamatan Sambeng merupakan daerah yang paling banyak menanam temulawak dengan luasan wilayah sekitar 30.000 m2. Kata Kunci : Evaluasi, SIG, pemetaan, distribusi, temulawak
STUDI PEMETAAN TANAMAN OBAT TEMULAWAK (CURCUMA XANTHORHIZA ROXB.) DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS : Studi Kasus di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Departemen Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : INA NOPELINA A24101078
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Skripsi
: Studi
Pemetaan
Tanaman
Obat
Temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb) dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Nama Mahasiswa
: INA NOPELINA
Nomor Pokok
: A24101078
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc NIP. 131 667 780
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si NIP. 130 937 427 Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr. NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lebak, Banten, 14 November 1982, merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara, pasangan A. Waid Sutisna dan Junaesih. Penulis memulai pendidikan di TK Mutiara, Sukamaju Baru, Cimanggis dan lulus pada tahun 1989. Kemudian melanjutkan ke SD Negeri Sukamaju Baru III, Cimanggis dan lulus pada tahun 1995.
Selanjutnya melanjutkan ke SLTP Negeri 1
Cimanggis dan lulus pada tahun 1998. Kemudian pada tahun 2001, penulis lulus dari SMU Negeri 98 Jakarta Timur. Pada tahun 2001, penulis diterima di Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Kartografi tahun ajaran 2004/2005, mata kuliah Sistem Informasi Ge ografi tahun ajaran 2004/2005, serta mata kuliah Pengantar Penginderaan Jauh tahun ajaran 2005/2006.
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim, Puji syukur atas rahmat serta karunia yang telah diberikan Allah SWT kepada penulis, sehingga penulis memiliki kemampuan menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian dari Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan penulis mengenai “Studi Pemetaan Tanaman Obat Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG)-(Studi Kasus di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur)” . Selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Baba Barus dan Bapak Atang Sutandi selaku pembimbing skripsi yang selalu memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 2. Bapak Basuki Sumawinata selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan selama penulis belajar di Institut Pertanian Bogor. 3. Staf Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Departemen Tanah atas bantuan dan informasinya sela ma penelitian. 4. Orangtua, kedua kakak, serta keluarga atas segala bantuan materi dan spiritual serta perhatiannya selama penulis menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan, meskipun masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Teks
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................
ii
DAFTA R TABEL ..................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
vi
I. PENDAHULUAN.............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian........................................................................
4
1.3. Hasil….............................................................................. .........
4
II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
5
2.1. Deskripsi Tanaman Temulawak.................................................
5
2.1.1. Batang..............................................................................
5
2.1.2. Daun ................................................................................
5
2.1.3. Bunga ..............................................................................
5
2.1.4. Rimpang..........................................................................
6
2.1.5. Akar .................................................................................
6
2.2. Syarat Tumbuh Temulawak .......................................................
6
2.3. Prospek Pemanfaatan Tanaman Obat Asli Indonesia ................
8
2.4. Pemetaan (Mapping) ..................................................................
8
2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)..............................................
9
III. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ..................................
11
3.1. Letak Geografis..........................................................................
11
3.2. Kondisi Fisik ..............................................................................
11
3.2.1. Topografi...........................................................................
11
3.2.2. Jenis Tanah. .......................................................................
12
3.2.3. Sistem Lahan...... ...............................................................
12
3.2.4. Iklim dan Curah Hujan......................................................
17
IV. BAHAN DAN METODE.................................................................
19
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian......................................................
19
4.2. Bahan dan Alat...........................................................................
19
4.3. Metode Penelitian.......................................................................
22
4.3.1. Pengumpulan Literatur dan Data Sekunder ......................
22
4.3.2. Analisis Data .....................................................................
22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................
31
5.1. Pembuatan Peta ..........................................................................
31
5.2. Penggunaan SIG dalam penentuan Satuan Lahan......................
34
5.3. Kesesuaian Lahan.......................................................................
37
5.4. Distribusi Temulawak................................................................
47
5.5. Keterbatasan Data ......................................................................
48
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................
51
6.1. Kesimpulan.................................................................................
51
6.2. Saran...........................................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
52
LAMPIRAN............................................................................................
53
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1.
Ketinggian Tempat Setiap Kecamatan di Kabupaten Lamongan...........
14
2.
Penyebaran Jenis Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Lamongan....
15
3.
Data Total Curah Hujan Tahun 2003 dan 10 Tahun Terakhir Serta Data Bulan Basah dan Bulan Kering Tahun 2003...........................................
18
4.
Data yang Digunakan..............................................................................
21
5.
Parameter yang Digunakan SLH dan SLtH ............................................
29
6.
Contoh Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan...........................................
36
7.
Potensi Pengembangan Tanaman Temulawak di Kabupaten Lamongan
42
8.
Sifat Fisik dan Kimia dari Lokasi Pengambilan Sampel.........................
45
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1.
Daun dan Rimpang Temulawak..............................................................
6
2.
Peta Tanah Kabupaten Lamongan...........................................................
13
3.
Peta Sistem Lahan Kabupaten Lamongan...............................................
16
4.
Peta Lokasi Pengambilan Sampel...........................................................
20
5.
Peta Banjaranyar dipotong menjadi 9 ba gian..........................................
23
6.
Proses Penyambungan Peta .....................................................................
23
7.
Pemasukan Nilai Koordinat ke Dalam Suatu Titik Kontrol....................
24
8.
Peta Elevasi .............................................................................................
25
9.
Alur Pembuatan Kelas Lereng ................................................................
26
10.
Peta Kelas Lereng....................................................................................
28
11.
Diagram Alir Penelitian..........................................................................
30
12.
Hasil Digitasi...........................................................................................
33
13.
Peta Satuan Lahan Kabupaten Lamongan...............................................
36
14.
Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Temulawak Kabupaten Lamongan....
39
15.
Peta Kesesuaian Lahan Temulawak dengan Faktor Pembatas ................
40
16.
Peta Penggunaan Lahan..........................................................................
41
17.
Peta Distribusi Temulawak.....................................................................
49
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
Halaman
1. Kriteria Kesesuaian Lahan Temulawak........................................................ 53 2. Data Bulan Kering (<100 mm) Kabupaten Lamongan Tahun 2003............. 54 3. Data Bulan Basah (>200 mm) Kabupaten Lamongan Tahun 2003 .............. 55 4. Data Statistik Luas Tanam, Luas Panen, dan Produksi Tanaman Temulawak Kabupaten Lamongan Bulan Oktober Tahun 2004....................................... 56
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan budidaya dan produksi tanaman obat. Ha l ini didukung oleh keadaan tanah dan kondisi iklim yang relatif cocok untuk tanaman tropik dan beberapa tanaman obat subtropik. Prospek pengembangan budidaya dan produksi tanaman obat kini mulai banyak diperhatikan. Hal ini mengisyaratkan pentingnya peranan tanaman obat dalam kehidupan masyarakat sebagai konsumsi makan, minum, dan obat-obatan. Salah satu pemanfaatan tanaman obat di Indonesia adalah jamu. Jamu dikenal sebagai obat tradisional asli Indonesia.
Industri obat tradisional ini
banya k menggunakan kelompok tanaman temu-temuan seperti jahe, kunyit, temulawak, dan kencur. Kebutuhan akan tanaman obat yang berproduktifitas tinggi diperlukan dalam menghasilkan obat tradisional yang berkualitas, sehingga diperlukan evaluasi terhadap kondisi lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Evaluasi terhadap kondisi lingkungan, baik sifat fisik maupun sifat kimia diperlukan dalam melihat korelasi antara parameter agrobiofisik yang berupa sifat fisik tanah, temperatur, elevasi dan lain sebagainya dengan tingkat produksi tanaman obat. Selain itu, evaluasi juga dapat berperan dalam pengembangan budidaya tanaman obat pada lahan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga pengembangan tanaman obat ini akan lebih efektif dibandingkan dengan pengembangan pada lahan yang tidak sesuai, baik dilihat dari segi biaya maupun tenaga.
Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional perlu terus ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui penggalian, penelitian, pengujian, pengembangan, dan penemuan obat- obat baru, termasuk budi daya tanaman yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan. Sesuai dengan misi BPOM untuk mengembangkan obat asli Indonesia dengan mutu, khasiat dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, maka dilakukan uji klinis terhadap sembilan tanaman obat unggulan yang saat ini sedang dikembangkan. Salah satu dari sembilan tanaman obat unggulan tersebut adalah temulawak. Salah satu bentuk penyajian peta yang banyak digunakan yaitu peta kesesuaian lahan untuk komoditas tertentu, dalam hal ini untuk tanaman obat temulawak. Peta ini dapat digunakan untuk menentukan wilayah penggunaan lahan untuk pengembangan komoditas tersebut. Selain itu, pemetaan tanaman obat tersebut dapat memberikan informasi penyebaran dimana saja daerah tempat tumbuh temulawak. Informasi ini dapat digunakan dalam perencanaan pengembangan budidaya dan produksi tanaman obat. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman obat temulawak yang dipakai berasal dari hasil penelitian Pusat Biofarmaka, IPB bekerja sama dengan BPOM (Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan).
Kriteria
kesesuaian
lahan
ini
dikembangkan dari sampel yang diambil di lapang di Kabupaten Lamongan, Karanganyar, dan Ngawi. Kriteria yang dikembangkan tersebut kemudian dipakai untuk pemetaan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman obat temulawak di Kabupaten Lamongan.
Lokasi penelitian dikonsentrasikan pada Kabupaten Lamongan karena Kabupaten ini merupakan sentra produksi tanaman obat unggulan BPOM yang ditunjang dengan variasi klimatologi dan lahan yang spesifik. Sedangkan penentuan komoditas temulawak didasarkan kuantitas dan penyebaran dominan tumbuhan
obat
yang
diharapkan
terdapat
pada
Kabupaten
Lamongan,
Karanganyar, dan Ngawi. Perkembangan teknologi semakin memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk mendapatkan data dan informasi. Data dan informasi yang penting akan mendapat nilai plus di mata konsumer bila disajikan dalam tampilan yang sederhana, menarik dan yang paling penting adalah mudah dimenge rti dan mengandung ketelitian yang tinggi meskipun tidak dapat dihindari akan terdapat unsur generalisasi dalam proses pembuatannya. Peta sebagai bentuk penyajian data dan informasi yang memberikan tampilan spasial disamping data tabular, dimana antara data spasial dan tabularnya memiliki suatu hubungan topologi. Topologi ini memberikan keterkaitan antara data spasial sebagai tampilan visual dan informasi disimpan dalam bentuk data tabular (atribut). Penyajian informasi dalam bentuk peta belum banyak dilakukan, sebagian besar masih menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan grafik yang kadangkala sulit untuk dimengerti dan tidak memberikan informasi tentang posisi. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu informasi yang dirancang untuk bekerja denga n data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi (Barus dan Wiradisastra, 2000). SIG mempunyai kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial dengan seperangkat operasi kerja dan juga dapat
menyimpan data non-spasial. Dengan sistem ini analisis menggunakan data yang besar dan penggunaan data yang berulang-ulang akan lebih mudah dan cepat, apalagi bila diperlukan analisis yang lebih kompleks.
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini : 1. Pemetaan kesesuaian lahan untuk tanaman obat Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb.) di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. 2. Investigasi dan pemetaan penyebaran komoditas Temu Lawak
(Curcuma
Xanthorhiza Roxb.) di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. 3. Evaluasi lokasi tanaman Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb.) dengan kondisi lingkungan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
1.3. Hasil Produk yang dihasilkan dari penelitian ini : 1. Peta Kelas Kesesuaian Lahan tanaman obat Temulawak berdasarkan data fisik dan kimia kondisi lingkungan. 2. Peta Distribusi Tanaman Temulawak di Kabupaten Lamongan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Tanaman Temulawak 2.1.1. Batang Batang temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Tanaman ini berbatang semu dan habitatnya dapat mencapai ketinggian 2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman (anakan), dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun. 2.1.2. Daun Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam. Panjang daun sekitar 50–55 cm, lebarnya ± 18 cm, dan tiap helai daun melekat pada tangkai yang posisinya saling menutupi secara teratur. Daun berbentuk lanset memanjang berwarna hijau tua dengan garis -garis coklat. Habitus tanaman dapat mencapai lebar 30-90 cm, dengan jumlah anakan perumpun antara 3-9 anak. 2.1.3. Bunga Bunga tanaman temulawak dapat berbunga terus-menerus sepanjang tahun secara bergantian yang keluar dari rimpangnya (tipe erantha), atau dari samping batang semunya setelah tanaman cukup dewasa. Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga kuning tua, serta pangkal bunganya berwarna ungu. Panjang tangkai bunga ± 3 cm dan rangkaian bunga (inflorescentia) mencapai 1.5 cm dalam satu ketiak terdapat 3-4 bunga.
2.1.4. Rimpang Rimpang induk temulawak bentuknya bulat seperti telur dan berukuran besar, sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian samping yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang cabang antara 3-4 buah. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda daripada rimpang induk. Warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuningkotor atau coklat kemerahan. Warna daging rimpang adalah kuning atau oranye tua, dengan cita rasanya amat pahit, atau coklat kemerahan berbau tajam, serta keharumannya sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman ± 16 cm. Tiap rumpun tanaman temulawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah rimpang muda.
Gambar 1. Daun dan Rimpang Temulawak
2.1.5. Akar Sistem perakaran tanaman temulawak termasuk akar serabut. Akarakarnya melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan (Direktorat Aneka Tanaman, 2000).
2.2. Syarat Tumbuh Temulawak Lingkungan tumbuh (habitat) alami tanaman temulawak umumnya merupakan tumbuhan liar di tempat-tempat yang terlindung seperti dibawah
naungan hutan jati, tanah tegalan, padang ala ng-alang, dan hutan belantara lainnya. Temulawak mempunyai daya adaptasi luas di daerah yang beriklim panas (tropis). Temulawak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai pegunungan (dataran tinggi), yakni mulai dari 5-1.800 meter diatas permukaan laut (dpl). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) menunjukan bahwa pembudidayaan temulawak di dataran rendah pada ketinggian 240 m dpl menghasilkan rimpang yang kandungan patinya lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran tinggi. Sebaliknya, pembudidayaan di dataran tinggi menghasilkan rimpang yang kadar minyak atsirinya lebih tinggi dibanding dengan dataran rendah. Kondisi iklim yang paling optimum untuk pengembangan budidaya temulawak adalah daerah dataran rendah sampai ketinggian 750 m dpl, suhu udaranya antara 19°-30°C, curah hujan tahunan 1.000-4.000 mm, dan tipe iklimnya termasuk tipe A, B atau C menurut Schmidt dan Ferguson. Temulawak toleran terhadap tempat-tempat yang terlindung (teduh), sehingga cocok ditanam di bawah pohon-pohon tahunan ataupun di lahan pekarangan. Temulawak dapat tumbuh pada berbagai tipe atau jenis tanah. Secara alami tanaman ini tumbuh pada tanah ringan, berkapur, agak berpasir, sampai liat keras. Untuk menghasilkan produksi rimpa ng yang maksimal (tinggi), temulawak membutuhkan tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, tidak mudah becek (menggenang), dan pengairannya teratur. Jenis tanah yang paling ideal untuk penanaman temulawak adalah tanah liat berpasir. Meskip un demikian, tanah-tanah yang berstruktur liat dapat dipilih untuk lokasi kebun
temulawak, asalkan didukung oleh tingkat pengelolaan yang baik, terutama penambahan pasir dan pemberian pupuk organik. Yang penting lahan tidak terkena sinar matahari secara la ngsung. Lahan dibawah pepohonan rindang akan membuat temulawak ini tumbuh dengan baik. Indikasi bahwa lahan terlalu panas terlihat pada daun yang me nggulung bila terkena panas matahari dan mudah rusak (Direktorat Aneka Tanaman, 2000).
2.3. Prospek Pemanfaatan Tanaman Obat Asli Indonesia Banyak kalangan mulai tertarik untuk mengembangkan tanaman obat, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk bisnis. Apalagi sejak masyarakat mulai sadar tentang manfaat tanaman obat untuk menjaga dan memelihara kesehatan dan dengan makin menjamurnya industri-industri obat tradisional di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga ditunjang dengan meningkatnya pandangan tentang segi positif mengonsumsi bahan-bahan alam (natural) dibandingkan bahan kimia atau sintetis. Dengan latar belakang tersebut maka beberapa pendapat mengatakan bahwa tanaman obat Indonesia patut dan layak dikembangkan (Martha Tilaar Innovation Center, 2002). Daerah mana saja yang dapat dikembangkan dapat jelas terlihat dengan peta.
2.4. Pemetaan (Mapping) Peta merupakan penyajian secara grafis dari kumpulan data maupun informasi sesuai lokasinya secara dua dimensi. Informasi merupakan bentuk data yang telah dianalisis, berbeda dari data mentah maupun yang biasanya lebih sering hanya merupakan hasil pengukuran la ngsung. Ditinjau dari peranannya,
peta adalah bentuk penyajian informasi spasial tentang permukaan bumi untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan. Supaya bermanfaat, suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak dapat dihindari akan bersifat selektif dan mempunyai unsur generalisasi. Data pada suatu peta biasanya telah mengalami pengolahan, umumnya ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Semua kegiatan untuk menghasilkan tampilan informasi tersebut secara keruangan (spasial) adalah apa yang disebut dengan pemetaan. Pemetaan ini adalah suatu bentuk komunikasi secara grafis antara pembuat dan pemakai peta yang telah lama dikenal orang (Barus dan Wiradisastra, 2000). Pengolahan data atribut dan data spasial dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).
2.5. Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem komputer untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi (Barus, 2005). Komponen utama SIG dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu : perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai (Barus dan Wiradisastra, 2000). Sistem Informasi Geografis merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau bentuk konvensional lainnya.
Dengan dipakainya sistem komputer maka bila diperlukan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah dari cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya
dengan
berbagai
tipe
data
dalam
suatu
analisis.
Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipe tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan-perbaikan secara terus-menerus (Barus dan Wiradisastra, 2000).
III.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
3.1. Letak Geografis Wilayah Kabupaten Lamongan terletak di antara 112° 4’41” - 112° 35’45” Bujur Timur dan antara 6°51’54” - 7°23’6” Lintang Selatan. Kabupaten Lamongan terletak di Propinsi Jawa Timur, yang dibatasi oleh pantai Laut Jawa di dua kecamatan paling utara yaitu Kecamatan Brondong dan Paciran dengan total panjang garis pantai ± 35 km. Bagian lain dari Kabupaten Lamongan berbatasan dengan daerah sebagai berikut : a. Sebelah Timur
: Kabupaten Gresik
b. Sebelah Selatan : Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang c. Sebelah Barat
: Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro
3.2. Kondisi Fisik 3.2.1. Topografi Topografi wilayah Kabupaten Lamongan cenderung cekung di tengah dan tinggi di bagian selatan dan utara. Bagian selatan merupakan wilayah pegunungan yang cenderung berbatu kapur, meliputi Kecamatan Sukorame, Bluluk, Ngimbang, Sambeng, Mantup, dan Modo.
Bagian tengah selatan merupakan
dataran rendah yang relatif agak subur, membentang dari kecamatan Kedungpring, Babat, Sugio, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung, Sarirejo, dan Kembangbahu. Sedangkan bagian tengah utara merupakan daerah dataran rendah yang rawan banjir (daerah Bonorowo) mulai dari kecamatan
Sekaran, Maduran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinangun, dan Glagah. Sekitar 6% dari seluruh wilayah Kabupaten Lamongan kemiringan tanahnya lebih dari 15 °, sedangkan sisanya merupakan wilayah dataran dengan tingkat kemiringan lahan kurang dari 15°, dan sebagian besar (70%) luas wilayah dengan kemiringan (0-2)° dan cenderung landai. Ketinggian Wilayah Kabupaten Lamongan diatas permukaan air laut adalah 0-7 meter. Secara keseluruhan, Kabupaten Lamongan berada pada ketinggian 0-200 m dpl (Tabel 1).
3.2.2. Jenis Tanah Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lamongan Tahun 2000, terdapat 8 (delapan) jenis tanah, yaitu aluvial hidromorf, aluvial kelabu tua, asosiasi aluvial kelabu tua dan aluvial coklat, asosiasi litosol dan mediteran, grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, mediteran coklat, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol. Informasi penyebaran jenis tanah pada masing-masing kecamatan dapat dilihat dalam Tabel 2 dan Gambar 2.
3.2.3. Sistem Lahan Terdapat 15 Sistem Lahan di Kabupaten Lamongan, dengan dominasi sistem lahan dataran hasil proses endapan sungai dan marin (MKS) di bagian tengah, mengikuti Bengawan Solo. Sistem lahan datar hingga landai yang didominasi oleh
tanah Aluvial (Inceptisol) dan Grumusol (Vertisol) dan curah hujan yang relatif rendah. Tanah Grumusol terlihat retak selama musim kering. Tabel 1. Ketinggian Tempat Setiap Kecamatan di Kabupaten Lamongan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Nama Kecamatan Lamongan Deket Turi Tikung Kembangbahu Ngimbang Bluluk Sambeng Mantup Babat Kedungpring Modo Sugio Sukodadi Karanggeneng Sekaran Karangbinangun Kalitengah Glagah Paciran Brondong Laren Pucuk Sukorame Solokuro Maduran Sarirejo Kabupaten Lamongan
Ketinggian tempat (m dpl) 0-25 0-25 0-25 0-100 0-100 25-200 25-200 25-200 25-200 0-100 0-100 0-200 0-100 0-200 0-25 0-25 0-25 0-25 0-25 0-200 0-200 0-25 0-100 0-100 0-25 0-25 0-25 0-200
Sumber: - Kabupaten Lamongan dalam Angka Tahun 2001.
Tabel 2. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penyebaran Jenis Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Lamongan Nama Kecamatan Jenis Tanah Lamongan Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua Deket Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua Turi Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua Tikung Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua Kembangbahu Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua Ngimbang Grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol 7. Bluluk Grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol 8. Sambeng Grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol 9. Mantup Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua 10. Babat Grumusol kelabu tua, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol, aluvial kelabu tua 11. Kedungpring Grumusol kelabu tua, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol, aluvial kelabu tua 12. Modo Grumusol kelabu tua, kompleks mediteran cok lat kemerahan dan litosol, aluvial kelabu tua 13. Sugio Grumusol kelabu tua, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol, aluvial kelabu tua 14. Sukodadi Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua 15. Karanggeneng Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tu a 16. Sekaran Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua 17. Karangbinangun Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua 18. Kalitengah Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua 19. Glagah Aluvial hidromorf 20. Paciran Asosiasi litosol dan mediteran, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol 21. Brondong Asosiasi aluvial kelabu tua dan aluvial coklat, mediteran coklat, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol 22. Laren Asosiasi litosol dan mediteran, aluvial kelabu tua 23. Pucuk Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua 24. Sukorame Grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol, aluvial kelabu tua 25. Solokuro Asosiasi litosol dan mediteran, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol 26. Maduran Grumus ol kelabu tua, aluvial kelabu tua 27. Sarirejo Grumusol kelabu tua, aluvial kelabu tua Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lamongan, 2000.
Sistem lahan yang menduduki urutan kedua dari ukuran luas adalah daerah dataran berombak pada batuan sedimen tidak terpisahkan, dengan tanah dominan Grumusol (Vertisol) (SNA). Wilayah ini walaupun elevasinya lebih tinggi tetapi tidak nyata menghasilkan curah hujan yang berbeda dengan MKS. Sistem lahan
ini terdapa t di bagian selatan Kab. Lamongan. Selain itu terdapat juga dataran berombak dari bahan sedimen dari bahan tufa. Secara topografi mirip dengan SNA tetapi tanahnya merupakan tanah Inceptisol atau Alfisol. Di bagian tengah di sekeliling Waduk Gondang ditemukan bentang lahan yang dihasilkan oleh outcrop kapur yang mempunyai kemiringan lereng dari curam hingga terjal, dengan dominasi tanah mediteran. Wilayah ini merupakan wilayah dominan hutan jati sehingga menghasilkan iklim mikro yang spesifik bagi lingkunga n setempat. Di bagian utara ini ditemukan juga lansekap yang dibangun dari bahan induk kapur, tetapi tidak terlalu luas, yang merupakan punggung memanjang yang relatif curam dengan dominasi tanah mediteran (LAR). Di bagian utara Kabupaten Lamongan terdapat sistem lahan yang spesifik, yang didominasi oleh kenampakan landform akibat pengaruh gunung kapur. Ditemuinya kenampakan bentang lahan plato ataupun punggung yang terangkat membentuk punggung datar dan tanah sangat tipis (AAR), dan juga kompleks dataran berombak pada bahan induk kapur dengan dominasi tanah mediteran (Inceptisol/Alfisol), yang berwarna merah. Wilayah ini ditandai dengan curah hujan yang relatif sangat kering dan juga ditandai dengan tidak banyaknya daerah artesis. Secara sporadis di bagia n utara dijumpai juga daerah rawa atau dataran banjir yang relatif sempit.
3.2.4. Iklim dan Curah Hujan Musim penghujan di Kabupaten Lamongan secara rata -rata per tahunnya cenderung lebih lama dibanding dengan musim kemarau. Dalam kondisi normal,
musim hujan akan jatuh antara pertengahan September sampai pertengahan Februari. Curah hujan selama tahun 2003 berkisar antara 616-2.256 mm/tahun, sementara curah hujan rata -rata dalam 10 tahun terakhir berkisar antara 1.1212.115 mm/tahun. Informasi ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Total Curah Hujan Tahun 2003 dan 10 Tahun Terakhir Serta Data Bulan Basah dan Bulan Kering Tahun 2003 Rata-rata Curah Bulan Total Curah Bulan Hujan 10 Th. No. Nama Kecamatan Hujan Th. 2003 Basah Kering Terakhir (mm/bulan) (bulan) (bulan) (mm/tahun) 1 Lamongan 1471 1539 7 5 2 Tikung 1643 1542 7 4 3 Mantup 616 1456 t.a.d t.a.d 4 Kembangbahu 1457 1244 6 5 5 Sukodadi 1210 1599 6 4 6 Sugio 1687 1743 7 4 7 Kedungpring 1645 2035 7 4 8 Ngimbang t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 9 Kedungpring 1791 1858 7 4 10 Ngimbang t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 11 Bluluk 1927 1905 8 4 12 Ngimbang 1322 1767 5 4 13 Ngimbang 1821 1121 6 4 14 Modo 2256 1748 8 4 15 Pucuk 1375 1489 6 4 16 Babat 1657 2115 7 5 17 Laren 1663 1800 6 5 18 Paciran t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 19 Brondong 1049 1185 5 5 20 Solokuro 1222 1609 5 5 21 Maduran 1320 1476 5 5 22 Karanggeneng 1464 1570 5 4 23 Glagah 1466 1814 6 5 24 Karangbinangun 1333 1651 5 5 25 Karangbinangun 1141 1571 5 5 Rata-rata Tahun 2003 616-2256 1121-2115 5-8 4-5 Sumber: - Kabupaten Lamongan dalam Angka Tahun 2003.
IV.
BAHAN DAN METODE
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Kartografi untuk analisis data yang dimulai pada bulan maret 2004 dengan studi kasus di Kabupaten Lamongan (Gambar 4). 4.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain : o Peta Topografi skala 1:25.000, lembar Brondong, Klayar, Banjaranyar, Karanggeneng, Prupuh, Babat, Sukodadi, Lamongan, Bungah, Sumberejo, Kedungpring, Sugio, Tikung, Cerme, Kedungadem, Ngimbang, Mantup, Balongpanggang, Sendanggogor, produksi Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). o Peta Tanah (Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lamongan Tahun 2000). o Peta RePPProT (Regional Ph ysical Planning Program for Transmigration) Skala 1:250.000, yang diproduksi oleh ODA UK dan Departemen Transmigrasi RI, untuk pengembangan daerah transmigrasi). o Data analisis kesuburan tanah (Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah IPB, 2005). o Data statistika areal penanaman tanaman obat temulawak di Kabupaten Lamongan (Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan, 2003-2004).
Peralatan yang digunakan terdiri dari peralatan laboratorium yang terdiri dari : •
Perangkat keras (Hardware) : Seperangkat Komputer, Scanner, dan printer.
•
Perangkat Lunak (Software) : Arc View GIS 3.2, Arc GIS ver 9.0, PanaVue ImageAssembler Version 2.0, Microsoft office.
Tabel 4. Data yang Digunakan Data Sumber data
Tujuan Penggunaan data
Bakosurtanal
Pembuatan peta digital administrasi, jalan, penggunaan lahan, kontur
Peta Sistem Lahan
Peta RePPProT
Mengetahui data geologi dan data tanah di Kabupaten Lamongan berdasarkan great group
Data Analisis Kesuburan Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, IPB.2005
Mengetahui sifat-sifat dari sampel tanah
Data Statistika Areal Penanaman Tanaman Obat
Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan
Melihat penyebaran tanaman temulawak di Kabupaten Lamongan
Peta Topografi
Data Curah Lamongan Dalam Hujan Angka Tahun 2003
Mengetahui Curah Hujan di Kabupaten Lamongan
Tabel Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Temulawak
Mengetahui Kelas Kesesuaian Lahan untuk temulawak di Kabupaten Lamongan
Laporan Akhir Studi Pemetaan Tanaman Obat di Sentra Produksi Pulau Jawa
Keterangan Skala 1:25.000 Kabupaten Lamongan meliputi 19 sheet Skala 1:250.000
Tahun 2003-2004
Tahun 2005, Data sekunder
4.3. Metode Penelitian Metode pelaksanaan kegiatan penelitian meliputi (1) Pengumpulan Literatur dan data sekunder, serta (2) Analisis data. 4.3.1. Pengumpulan Literatur dan data sekunder Literatur yang dikumpulkan berupa informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian dan karakteristik tanaman obat serta budida yanya. Sedangkan data sekunder berupa data curah hujan (Lamongan Dalam Angka Tahun 2003), penyebaran jenis tanah (Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lamongan Tahun 2000), data statistik areal penanaman tanaman obat (Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan, 2003-2004), serta data tanah dan biokimia dari sampel tanah. 4.3.2. Analisis Data Analisis data terdiri dari beberapa tahapan, yaitu : a. Pembuatan Peta Peta rupa bumi yang meliputi seluruh Kabupaten Lamongan dengan skala 1:25.000 discan / disiam. Karena ukuran scanner kecil (A4) maka peta perlu dipotong menjadi 9 bagian, kemudian peta disambung dengan menggunakan perangkat lunak Pana Vue ImageAssembler. Proses penyambungan dilakukan dengan mencari titik yang sama di peta.
Gambar 5. Peta Banjaranyar dipotong menjadi 9 bagian
Gambar 6. Proses penyambungan peta
Kemudian dila kukan transformasi geometri untuk mengaitkan koordinat bumi ke peta atau lapisan data dalam SIG untuk menyesuaikan satu lapisan data sehingga dapat ditumpangtindihkan dengan data lain yang mempunyai daerah sama (Barus dan Wiradisastra, 2000). Koreksi geometrik dilakukan dengan memasukan nilai koordinat yang terdapat di dalam peta cetakan ke dalam suatu titik kontrol (Gambar 7). Selanjutnya titik tersebut akan menyesuaikan posisinya sesuai dengan nilai koordinat dan sistem proyeksinya. Dalam hal ini, peta rupa bumi diproyeksi dengan Universal Transverse Mercator (UTM) dengan menggunakan software Arc View 3.2. Software Arc View ini juga digunakan dalam melakukan digitasi sehingga diperoleh peta digital dengan format struktur data vektor dalam bentuk shp file , shx file, dan dbf file. Hasil digitasi peta rupa bumi ini antara lain peta penggunaan lahan, (Land Use), peta kontur, peta administrasi, jalan dan sungai.
Gambar 7. Pemasukan nilai koordinat ke dalam suatu titik kontrol
b. Pembuatan Peta Kelas Lereng (Slope Map) Pembuatan Peta Kelas Lereng dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.2 dengan menggunakan Extensions 3D Analyst dan Model Builder. Peta Kelas Lereng (Slope Map) diperoleh dari hasil analisis kontur yang dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama peta kontur diubah menjadi Model Elevasi Digital (Digital Elevation Model/DEM) dengan metode TIN (Triangulated Irregular Network) dengan memilih SurfaceCreate TIN from features kemudian memasukkan Interval Kontur sebagai Height Source sehingga terlihat bentukan tiga dimensi dari topografi Kabupaten Lamongan. TIN adalah model data vektor topologi yang dipakai untuk penyajian data terain. Suatu TIN menggambarkan permukaan sehingga suatu rangkaian facet segi-tiga berkaitan. Setiap facet terdiri dari 3 poligon (vertices), nilai koordinat XY (lokasi geografi) dan koordinat Z (elevasi), yang semuanya diberi kode (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dengan TIN bentuk 3 dimensi kenampakan topografi terlihat lebih jelas, bagian mana saja dari kabupaten Lamongan ini yang memiliki dataran yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Peta Elevasi dalam bentuk TIN dari Kabupaten Lamongan ditampilkan pada Gambar 8.
10%
Rasterisasi
25%
Klasifikasi
5% 20%
Generalisasi DEM
15%
Peta Kelas Kemiringan Lereng Gambar 9. Alur Pembuatan Kelas Lereng
Selanjutnya TIN dikonversi ke dalam bentuk grid yang dikenal dengan sebutan rasterisasi, yaitu proses transformasi data spasial yang berbentuk rangkaian titik, garis, dan poligon ke bentuk susunan (array) sel yang mempunyai
nilai.
Kemudian
melalui
tahapan
klasifikasi/pengkelasan
kemiringan lereng dengan mengelompokkan nilai kelas lereng berdasarkan batasan nilai yang sudah ditetapkan sehingga terbentuk pola tertentu. Dari hasil klasifikasi diperoleh data spasial kemiringan lereng dalam bentuk grid. Hasil klasifikasi diubah menjadi bentuk vektor dengan mengkonversi ke dalam bentuk shp sehingga dapat dilakukan digitasi di program ArcView, selanjutnya dilakukan digitasi dengan sedikit dilakukan generalisasi. Alur pembuatan peta kelas lereng ditampilkan pada Gambar 9. Pengelompokan kelas lereng dibuat berdasarkan kriteria kesesuaian lahan. Peta Kelas Lereng ditampilkan pada Gambar 10. c. Satuan Lahan (Land Unit) Penyusunan peta satuan lahan in i berbasis data sekunder. Dalam hal peta yang dibuat berbasis data sekunder, konsep peta yang akan dibuat berbasis konsep satuan kehomogenan biofisik-produksi dan biokimia. Dalam hal ini data menjadi kunci, yang selanjutnya dipakai untuk keperluan pengembangan peta potensi bioregional tumbuhan obat (Pusat Studi Biofarmaka, 2005). Satuan
lahan disini merupakan peta yang berbasis konsep satuan kehomogenan biofisik dan biokimia. Poligon yang memiliki parameter yang sama/homogen dibentuk
menjadi
suatu
satuan
lahan.
Satuan
lahan
ini
kemudian
dikembangkan menjadi Satuan Lahan Homogen (SLH) dan Satuan Lahan tidak Homogen (SLtH). Pengembangan ini dengan alasan Satuan Lahan Homogen tidak hanya memiliki data biofisik wilayah penelitian, tetapi juga memiliki data mengenai kesuburan tanahnya yang berasal dari analisis titik sampel. Sedangkan Satuan Lahan tidak Homogen hanya memiliki data dari hasil tumpang tindih antara peta tanah, peta kelas lereng, dan peta sistem lahan yang antara poligon satu dengan poligon yang lain memiliki parameter yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan alasan kemudahan dalam pengelompokan dan dalam pengambilan keputusan. Satuan lahan ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk analisis selanjutnya (Setiawan, 2005). Peta Satuan Lahan ini sebagai dasar dari kualitas lahan dari daerah penelitian yang didalamnya terdapat informasi berupa sifat fisik tanah dan sifat lingkungan daerah penelitian sehingga dapat dibandingkan dengan syarat pertumbuhan tanaman obat untuk dapat menentukan kelas kesesuaian lahan dari tanaman obat. Parameter yang dimiliki Satuan Lahan Homogen yaitu Elevasi, Bulan Basah, Bulan Kering, Drainase Tanah, Tekstur, Kedalaman Solum, KTK, pH, C-Organik, N-Total, P, Kdd, dan Lereng. Sedangkan Satuan Lahan tidak Homogen memiliki parameter Elevasi, Bulan Basah, Bulan Kering, dan Lereng (Tabel 5).
d. Pembuatan Peta Kesesuaian Lahan Kelas Kesesuaian Lahan untuk temulawak ditentukan dengan membandingkan kualitas lahan yang tergambarkan dalam Peta Satuan Lahan dengan syarat tumbuh tanaman obat atau kriteria klasifikasi kesesuaia n laha n untuk tanaman temulawak. Tabel 5. Parameter yang digunakan SLH dan SLtH Parameter
- Elevasi ( m dpl) - Bulan Basah (> 200 mm) - Bulan Kering (< 100 mm) - Drainase tanah - Tekstur - Kedalaman solum - KTK - pH - C-organik (%) - Total N -P - Kdd - Lereng (%)
SLH √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
SLtH √ √ √ √
e. Investigasi Penyebaran Peta penyebaran diperoleh berdasarkan dari data statistik yang berasal dari Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan. Data statistik yang ada dimasukkan kedalam data atribut dimana data atribut ini berhubungan dengan data spasialnya, sehingga daerah dengan penanaman paling banyak dapat diketahui. f.
Evaluasi Lokasi dengan Kondisi Lingkungan Evaluasi diperoleh dari hasil investigasi antara Peta Penyebaran dan Peta Kesesuaian Lahan Temulawak.
Peta Rupabumi (Topografi)
Peta Sistem Lahan (Land System ) RePPProT
Penyiaman (Scanning) Koreksi Geometrik Digitasi Layar (On Screen) - Peta Administrasi - Peta Jalan - Peta Sungai
Jenis Tanah (Great Group)
Peta Kontur
DEM Rasterisasi Klasifikasi
Peta Kelas Lereng
Generalisasi
Data Statistik
Data Kesuburan Tanah Titik Sampel
Peta Penyebaran Temulawak
Peta Sat uan Lahan
Satuan Lahan Homogen
Satuan Lahan tidak Homogen
Kriteria Kesesuaian Lahan
Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Temulawak
Investigasi
Evaluasi Pemetaan
Gambar 11. Diagram Alir Penelitian
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pembuatan Peta Proses
pemasukan
data
dilakukan
sebagai
langkah
awal
untuk
memasukkan data kedalam komputer. Proses ini dapat disebut juga sebagai proses merubah data kedalam bentuk digital. Dalam proses pemasukan data spasial yang berupa peta hardcopy, data spasial ini disiam (scanning) dengan menggunakan scanner, peta ini belum memiliki referensi geografis karena itu peta yang telah disiam dilakukan koreksi geometrik atau biasa juga dikenal dengan sebutan registrasi. Untuk data tabular, proses pemasukan data dilakukan dengan pengetikan atau menyalin dari disket atau flash disk. Koreksi geometrik dilakukan untuk mengaitkan koordinat bumi kedalam peta yang telah disiam dengan me masukkan nilai koordinat kedalam suatu titik kontrol sehingga titik tersebut akan menempatkan posisinya sesuai dengan koordinat dan sistem proyeksinya. Kesulitan terjadi pada saat menentukan dimana titik tersebut ditempatkan, karena terdapat empat titik kontrol yang menentukan tepat-tidaknya penempatan titik koordinat. Keempat titik tersebut saling berhubungan dan memberi pengaruh satu sama lain, karena kesalahan penempatan pada satu titik akan mengakibatkan Root Mean Square Error (RMS-Error) semakin besar. Akurasi koreksi geometrik diperoleh berdasarkan nilai RMS-error. Semakin kecil nilai RMS-error maka peta topografi yang terkoreksi akan mendekati posisi yang sebenarnya pada koordinat bumi. Akurasi yang ba ik adalah jika tepat objek dan nilai RMS-error kurang dari satu yang menunjukan bahwa penyimpangan pergeseran objek tidak melebihi satu pixel.
Sistem proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Sistem proyeksi UTM adalah sistem koordinat bidang yang didasarkan pada sistem proyeksi transverse mercator. Sistem UTM ini membagi permukaan bumi menjadi 60 zona dengan membagi 6 derajat ke arah longitude, dimana setiap zona diberi nomor. Kemudian dilakukan pembagian quadrilateral setinggi 8 derajat latitude yang diberi kode huruf (Barus dan Wiradisastra, 2000). Setiap zone UTM memiliki sistem koordinat sendiri dengan titik nol sejati pada perpotongan antara meridian sentralnya dengan ekuator. Untuk menghindari koordinat negatif, meridian tengah diberi nilai awal absis (x) 500.000 meter. Untuk zone yang terletak di bagian selatan ekuator (LS), juga untuk menghindari koordinat negatif, ekuator diberi nilai awal ordinat (y) 10.000.000 meter. Sedangkan untuk zone yang terletak di bagian utara ekuator, ekuator tetap memiliki nilai ordinat 0 meter (Prahasta, 2003). Penggunaan sistem proyeksi ini lebih praktis dibandingkan dengan sistem proyeksi lain karena satuan meter yang digunakan memudahkan dalam perhitungan jarak antar titik atau menghitung luasan suatu wilayah di permukaan bumi. Koreksi geometrik dilakukan setelah dilakukan penyiaman (scanning) atau sebelum dilakukan digitasi. Setelah dilakukan koreksi geometrik peta yang berbentuk raster dirubah menjadi bentuk vektor dengan proses digitasi (Gambar 12). Proses koreksi geometrik dan digitasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.2.
Gambar 12. Hasil Digitasi
Peta yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupabumi (topografi) skala 1:25.000. Wilayah Kabupaten Lamongan mencakup 19 sheet. Dari hasil digitasi peta rupabumi diperoleh data digital spasial berupa jalan, sungai, landuse, batas administrasi, dan kontur. Analisis lanjutan dari kontur dilakukan untuk mendapatkan peta kelas lereng (hal ini dibahas dalam bab III). Dalam melakukan digitasi, obyek yang berbentuk titik direkam sebagai pasangan koordinat x dan y, sedangkan obyek berbentuk garis linier dapat direkam dengan menggunakan dua metode. Metode pertama adalah pointwise, yaitu proses pemasukan data titik dengan interval tertentu oleh operator atau yang kedua dengan cara kontinyu (disebut dengan stream mode) yang kerapatan titiknya diatur secara otomatis oleh alat. Pada metode pendigitasian yang terakhir, koordinat direkam dengan interval waktu atau jarak yang pasti sehingga mempengaruhi kerapatan titik penyusun suatu garis (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dalam penelitian ini digitasi dilakukan dengan metode pointwise karena pendigitasian lebih mudah dan ketepatan dalam mendigitasi obyek dapat lebih optimal meskipun waktu yang diperlukan untuk melakukan digitasi menjadi lebih lama, tapi kadangkala waktu yang diperlukan dalam mendigitasi akan lebih lama dengan metode stream mode bila dilakukan dengan komputer yang memiliki memori terbatas.
Secara umum, dalam mendigitasi suatu garis tidak ditemukan kesulitankesulitan yang berarti. Lain halnya dalam mendigitasi suatu poligon, seperti batas administrasi atau penggunaan lahan perlu dibuat theme terpisah sehingga garis batas poligon tidak tercampur karena warna, bentuk, dan atau tebal garis yang sama. Hal ini penting diperhatikan mengingat sebagian batas-batas perlu diulang dalam mendigitasi tetapi dengan resiko selain memakan waktu yang cukup banyak juga dapat menimbulkan sliver antara poligon yang berdampingan. Akibat dari sliver ini dapat mengakibatkan peta menjadi tidak rapi serta akan terbentuk poligon-poligon kecil (spurious) pada saat dilakukan tumpang-tindih antar peta. Setelah pendigitasian selanjutnya dilakukan pengisian data atribut. Data atribut sering dikategorikan sebagai data non-spasial, karena peranannya tidak menunjukan posisinya akan tetapi lebih bersifat penjelasan mengenai obyek atau bersifat identitas. Data atribut ini dapat berupa jenis tanah, nama kecamatan, atau nama lainnya tergantung dari kebutuhan.
5.2 Penggunaan SIG dalam penentuan Satuan Lahan Satuan lahan dapat diperoleh dari hasil tumpang tindih berbagai parameter lahan yang dapat dipetakan. Pada penelitian ini, suatu satuan lahan diperoleh dengan melakukan tumpang tindih antara peta kelas lereng, peta sistem lahan, dan peta administrasi. Peta elevasi dibuat dari peta kontur, hanya saja peta elevasi dengan batasan ketinggian kelas kesesuaian lahan tidak dibuat dengan alasan wilayah Kabupaten Lamongan secara umum berada pada ketinggian 0-200 m dpl, dimana berdasarkan crop requirement, tanaman temulawak tumbuh baik pada
ketinggian 5-1000 m dpl sehingga dilihat dari parameter elevasi, secara keseluruhan wilayah ini masuk ke dalam kelas kesesuaian S1. Peta tanah berasal dari Peta Sistem Lahan RePPProT yang juga memiliki informasi mengenai jenis tanah. Peta sistem lahan sudah tersedia dalam skala 1:250.000. Data RePPProT direvisi dengan menggunakan data dari Puslitanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat), Departemen Pertanian, dan juga dilakukan perbaikan terhadap data atributnya, khususnya di Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Lamongan. Perbaikan dilakukan khususnya dalam penetapan tanah dominan (Laporan Akhir Studi Pemetaan Tanaman Obat di Sentra Produksi Pulau Jawa, 2005). Keempat peta yang ditumpangtindihkan menghasilkan data berupa data spasial dan data atribut berupa satuan lahan dari kualitas fisik lahan. Dimana peta satuan lahan ini memuat informasi berupa data kemiringan lereng, jenis tanah, sistem lahan, dan batas administrasi sampai tingkat desa (Gambar 13). Satuan lahan ini kemudian digabungkan dengan data titik sampel penelitian yang berisi data kesuburan tanah yang terdiri dari sifat fisik dan kimia tanah, yaitu dengan memasukan data kesuburan tanah ke dalam atribut dari poligon tempat titik sampel ditempatkan. Satuan lahan yang digabung dengan data titik sampel kemudian disebut dengan Satuan Lahan Homogen (SLH). Data tersebut meliputi drainase tanah, tekstur, kedalaman solum (cm), KTK, pH tanah, C-Organik, N-Total, P 2O5 , K2O, kemiringan lereng, serta batuan permukaan. Sedangkan data yang tidak memiliki data titik sampel dari kesuburan tanah disebut juga dengan Satuan Lahan tidak Homogen (SLtH).
Satuan lahan homogen memiliki luasan sebesar 21.494,32 Ha (12.28 %) sedangkan satuan lahan tidak homogen luasannya sebesar 153.545,55 Ha (87.72%). Untuk kepentingan penelitian perbandingan antara satuan lahan homogen dan satuan lahan tidak homogen harus besar karena informasi dalam satuan lahan homogen lebih banyak sehingga memudahkan dalam pengambilan keputusan.
5.3 Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu, dalam hal ini, tipe penggunaan lahannya adalah untuk jenis tanaman obat temulawak. Tabel 6. Contoh Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Karakteristik lahan Kecamatan Desa Temperatur (t) - Rata-rata suhu tahunan (0 C) - Elevasi ( m dpl) Ketersediaan air (w) - Bulan Basah (> 200 mm) - Bulan Kering (< 100 mm) - Length growth period-LGP (hari) Media perakaran (r ) - Drainase tanah - Tekstur - Kedalaman solum Retensi hara (f) - KTK - pH - C-organik (%) Toxicitas (x) - Kejenuhan Al (%) Hara tersedia (h) - Total N -P - Kdd Kondisi medan/ terrain (m) - Lereng (%) - Batuan permukaan (%) - Singkapan batuan (%) Kelas Kesesuaian lahan
SLH Ngimbang Slaharwotan
SLtH Brondong Lembor
S1
S1
S3 S1 -
S3 S3 -
S3 S3 S1
-
S1 S3 S1
-
-
-
S2 S3 S3
-
S1 S3
S2 S3
Untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan kualitas lahan yang tergambarkan dalam peta satuan lahan dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan. Hasil perbandingan tersebut ditampilkan dalam tabel contoh penentuan kelas kesesuaian lahan (Tabel 6) dan peta kesesuaian lahan (Gambar 14 dan gambar 15). Di dalam penelitian ini tidak semua parameter kualitas lahan dipakai dalam menentukan kelas kesesuaian lahan dengan alasan karena ketersediaan data yang ada. Parameter yang tidak digunakan yaitu rata -rata suhu tahunan (°C), LGP, Kejenuhan Al (%), dan singkapan batuan (%). Secara umum tanaman temulawak dapat dikembangkan hampir di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan. Berdasarkan hasil analisis kabupaten ini memiliki kelas kesesuaian S1, S2m, dan S3f, S3rf, S3w, S3wf, S3wfh, S3wrf, S3wrfh. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Potensi pengembangan tanaman temulawak ini dikembangkan dari peta penggunaan lahan yang ditumpangtindih dengan peta kesesuaian lahan. Peta pe nggunaan lahan ini ditampilkan pada Gambar 16. Parameter elevasi (m dpl) menggambarkan topografi dari Kabupaten Lamongan. Secara umum daerah ini berada pada ketinggian 0-200 m dpl sehingga berdasarkan tabel kriteria kesesuaian lahan daerah ini sesuai untuk pengembangan tanaman temulawak. Bulan basah (>200 mm) dan bulan kering (<100 mm) digunakan dalam melihat ketersediaan air yang ada di wilayah ini untuk mendukung pertumbuhan tanaman temulawak. Data bulan basah dan bulan kering diperoleh berdasarkan data curah hujan pada tahun 2003, meskipun kelengkapan data sangat terbatas. Keterbatasan ini diatasi dengan asumsi bahwa nilai yang termasuk ke dalam bulan
lembab (100-150 mm) dimasukkan ke dalam kelompok bulan basah. Data bulan basah dianggap mewakili bila terdiri dari beberapa tahun, akan lebih baik jika data tersebut terdiri dari 10 tahun. Tabel 7. Potensi Pengembangan Tanaman Temulawak di Kabupaten Lamongan Kelas Kesesuaian Lahan
Kecamatan
S1
Babat, Bluluk, Brondong, Deket, Kalitengah, Kedungpring, Kembangbahu, Modo, Paciran, Pucuk, Sambeng, Sekaran, Sugio, Sukorame, Tikung, dan Turi
S2m
Modo, Paciran, dan Sambeng
S3f, S3rf, S3w, S3wf, S3wfh, S3wrf, S3wrfh
Babat, Brondong, Glagah, Karangbinangun, Karanggeneng, Kembangbahu, Lamongan, Laren, Mantup, Ngimbang, Paciran, Pucuk, Solokuro dan Sukodadi
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Luas (%)
Hutan 1813.14 5.79 Kebun/Perkebunan 10027.04 32.04 Pemukiman 6251.49 19.98 Rumput/Tanah Kosong 600.40 1.92 Semak Belukar 1884.84 6.02 Tegalan/Ladang 10717.60 34.25 Total 31294.51 100 ket : tanpa penggunaan lahan danau, empang, pasir, rawa, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan sungai Hutan 12.57 3.79 Kebun/Perkebunan 64.42 19.44 Pemukiman 9.56 2.89 Rumput/Tanah Kosong 1.43 0.43 Semak Belukar 38.61 11.65 Tegalan/Ladang 204.71 61.79 Total 331.30 100 ket : tanpa penggunaan lahan pasir dan sawah tadah hujan Hutan 654.73 2.02 Kebun/Perkebunan 9336.65 28.81 Pemukiman 5598.96 17.28 Rumput/Tanah Kosong 600.22 1.85 Semak Belukar 3787.29 11.69 Tegalan/Ladang 12428.06 38.35 Total 32405.91 100 ket : tanpa penggunaan lahan danau, empang, hutan rawa, laut, pasir, penggaraman, rawa, sawah irigasi, sawah tadah hujan, sungai, dan terusan
Selain itu, ketersediaan air dapat dilihat dari parameter LGP. LGP adalah lamanya periode pertumbuhan yang dinyatakan dalam hari. Dalam LGP ini diperlukan data mengenai evaporasi potensial yang tidak dimiliki disini sehingga parameter ini tidak digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan.
Media perakaran (r) dilihat dari parameter drainase tanah, tekstur, dan kedalaman solum. Drainase berhubungan dengan tekstur, di beberapa wilayah dengan tekstur liat memiliki drainase baik. Solum untuk perkembangan akar memiliki kedalaman yang dalam sehingga memungkinkan akar berkembang cukup baik. KTK, pH, dan C-organik merupakan parameter untuk melihat retensi hara (f). KTK di wilayah pengambilan sampel tinggi, sebagian besar meliputi kelas S1 dengan nilai >30. Kapasitas Tukar Kation (KTK) ini merupakan sifat kimia yang erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, dapat meningkatkan kesuburan tanah. Nilai pH di wilayah ini cukup tinggi dan tergolong basa, hal ini dipengaruhi pegunungan kapur yang terdapat di bagian utara dan selatan Kabupatan Lamongan. Kejenuhan Al (%) merupakan parameter yang digunakan dalam melihat toxicitas (x) tanah. Kejenuhan Al ini dapat menimbulkan keracunan terhadap tanaman sehingga pertumbuhan tanaman terganggu. Di dalam penelitian ini, kejenuhan Al tidak dipakai dalam menentukan kelas kesesuaian lahan karena keterbatasan data yang ada. Ketersediaan hara (h) ditentukan dari parameter Total N, P, dan Kdd. NTotal di wilayah ini sebagian besar meliputi kelas S2. Dimana kelas S2 N-totalnya SR (Sangat Rendah) dengan kriteria nilai sebesar <0.1%. Pada parameter P, sebagian besar Kabupaten Lamongan meliputi kelas S1 dengan kriteria >10.
Secara umum tanaman temulawak dapat dikembangkan hampir di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan, hanya ada beberapa wilayah di bagian utara dekat pantai memiliki kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas bulan basah, bulan kering, kedalaman solum, tekstur,dan pH. Sebagian kecil di bagian utara Lamongan terdapat S2 dengan faktor pembatas kemiringan lereng. Secara umum, Kabupaten Lamongan memiliki sifat tanah yang sama dalam tekstur dan pH. Sifat-sifat tanah dari sampel yang diambil dapat dilihat pada Tabel 8. Lokasi pengambilan titik sampel 1 di Desa/Kelurahan Sumurgayam terletak di bagian utara Lamongan, yang memiliki jenis tanah asosiasi litosol dan mediteran, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol. Litosol memiliki definisi tanah mineral yang ketebalannya 20 cm atau kurang yang di bawahnya terdapat batuan keras yang padu (Hardjowigeno, 2003). Mediteran seperti tanah podsolik (mempunyai horison argilik), dengan kejenuhan basa lebih dari 50% (Hardjowigeno, 2003). Dari jenis tanah ini dapat dilihat sifat tanahnya yaitu kejenuhan basa yang tinggi menyebabkan pHnya menjadi tinggi dan teksturnya liat berdebu karena adanya horison argilik. pH yang bernilai 7.87 menjadi fakt or pembatas bagi pertumbuhan tanaman temulawak. pH yang tinggi dipengaruhi pegunungan kapur yang terletak di bagian utara dan selatan Kabupaten Lamongan. Lokasi titik sampel 2 di Desa/Kelurahan Tenggulun terletak di bagian utara agak sedikit ke selatan da ri desa Sumurgayam. Daerah ini memiliki jenis tanah yang sama dengan Desa Sumurgayam, kemungkinan jarak yang tidak begitu jauh membuat kedua daerah ini memiliki jenis tanah yang sama. Hanya saja Desa
Tenggulun memiliki tekstur liat yang membuat wilayah ini memiliki kelas kesesuaian lahan S3 disamping karena pH yang tinggi, bulan basah serta bulan kering. Tabel 8. Sifat fisik dan kimia dari lokasi pengambilan sampel Sampel-1
Sampel-2
Sampel-3
Sampel-4
Sampel-5
Sampel-6
Sampel-7
Kecamatan
Paciran
Solokuro
Babat
Mantup
Ngimbang
Mantup
K e m bangbahu
Desa/Kelurahan
Sumurgayam
Tenggulun
Karangkembang
Sukobendu
Slaharwotan
Sumberbendo
Moronyamplung
Jenis tanah
Asosiasi Litosol dan Mediteran, Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol
Asosiasi Litosol dan Mediteran, Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol
Grumusol Kelabu Tua, Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol, Aluvial Kelabu Tua
Grumusol Kelabu Tua, Aluvial Kelabu Tua
Grumusol Kelabu Tua, Grumusol Kelabu, Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol
Grumusol Kelabu Tua, Aluvial Kelabu Tua
Grumusol Kelabu Tua, Aluvial Kelabu Tua
Lereng (%)
0-5 (S1)
0-5 (S1)
0-5 (S1)
0-5 (S1)
0-5 (S1)
0-5 (S1)
0-5 (S1)
Landsystem
AAR
OMB
BRU
BUT
BUT
SNA
SNA
Definisi System
Raised gently tilted rolling coralline terraces in dry areas
Undulating plain on marls and limestones in dry areas
Very steep karstic ridges on limestones in dry areas
Steep hills on marls with rock outcrops dry areas
Steep hills on marls with rock outcrops dry areas
Undulating mixed sedimentary plains in dry areas
Undulating mixed sedimentary plains in dry areas
Litologi
Limestone marl
Marl, limestone, mudstone
Limestone, coral
Marl, limestone, sandstone
Marl, limestone, sandstone
Mudstone, siltstone
Mudstone, siltstone
Tanah_ Greatgroup
Ustrothents; Calciustolls; Ustropepts
Ustropepts; Haplustalfs
Calciustoll; Ustropepts
Ustropepts; Haplustalfs; Paleustafs
Ustropepts; Haplustalfs; Paleustafs
Paleustults; Haplustults; Haplustox
Paleustults; Haplustults; Haplustox
Land
Total C urah Hujan Rata-rata Curah Hujan
-
1222
1657
616
1322-1821
616
1457
-
1609
2115
1456
1121-1767
1456
1244
hari hujan
-
68
87
17
55- 8 3
17
58
bulan basah
-
5 (S3)
7 (S1)
-
5-6 (S3)
-
6 (S1)
bulan kering
-
5(S3)
5(S3)
-
4(S1)
-
5(S1)
100 (S1) baik (S1)
100 (S1) baik (S1)
100 (S1) baik (S1)
300 (S1) agak terhambat (S3)
100 (S1) baik (S1)
50 (S3)
Liat (S3)
Liat (S3)
100 (S1) baik (S1) lempung berliat (S1)
solum (cm) drainase tekstur
liat berdebu (S2)
liat (S3)
liat berdebu (S2)
baik (S1) liat berdebu (S2)
pH
7.87 (S3)
7.91 (S3)
7.92 (S3)
7.88 (S3)
7.58 (S3)
7.52 (S3)
7.72 (S3)
C- organik
1.37 (S1)
1.37 (S1)
0.81 (S3)
1.32 (S1)
1.73 (S1)
2.65 (S1)
1.96 (S1)
60.21 (S1)
45.76 (S1)
14.45 (S3)
43.13 (S1)
54.57 (S1)
15.54 (S3)
41.6 (S1)
0.15 (S2)
0.14 (S2)
0.08 (S2)
0.14 (S2)
0.13 (S2)
0.24 (S1)
0.17 (S2)
ktk N-total p2o5 k2o batuan permukaan kelas kesesuaian faktor pembatas
-
15.9 (S1)
16.1 (S1)
7.7 (S2)
3 (S3)
4.9 (S3)
28.9 (S1)
0.67 (S1)
-
-
-
0.15 (S3)
-
-
-
-
-
-
-
10 (S2)
-
S3
S3
S3
S3
S3
S3
S3
S3ph
S3tx,ph,bb,bk
S3ktk,C,tx,ph,bk
S3ph,bk
S3dr,ph,bb,tx,p2,k2
S3ktk,p2,ph,bk
S3so,ph
Sampel ketiga di Desa/Kelurahan Karangkembang yang terletak di sebelah barat Lamongan yang berbatasan langsung dengan Bojonegoro. Desa ini memiliki jenis tanah Grumusol kelabu tua, kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol, aluvial kelabu tua. Grumusol memiliki definisi suatu tanah dengan kadar liatnya lebih dari 30% bersifat mengembang dan mengerut. Pada saat musim kering tanah keras dan retak-retak karena mengerut, dan bila basah lengket (mengembang) (Hardjowigeno, 2003). Aluvial merupakan tanah berasal dari endapan baru berlapis-lapis, bahan organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Hanya terdapat epipedon ochrik, histik, atau sulfurik, dengan kandungan pasir kurang dari 60%. Terlihat jelas dari jenis tanahnya, wilayah ini memiliki tekstur liat yang juga menjadi faktor penghambat dalam pertumbuhan tanaman temulawak. Selain itu, pH, KTK, C-Organik, dan bulan kering membuat wilayah ini memiliki kelas kesesuaian S3. Sukobendu merupakan tempat dari pengambilan sampel keempat. Wilayah ini memiliki jenis tanah grumusol kelabu tua dan aluvial kelabu tua, hampir sama dengan desa karangkembang hanya saja tanpa jenis tanah kompleks mediteran coklat kemerahan. Wilayah ini memiliki tekstur lempung berliat yang membuat wilayah ini termasuk ke dalam kelas kesesuaian S1, tapi pH yang tinggi dan bulan kering menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan temulawak sehingga wilayah ini masuk ke dalam kelas kesesuaian S3. Sampel kelima diambil di Desa/Kelurahan Slaharwotan. Wilayah ini memiliki jenis tanah grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, kompleks mediteran coklat dan kemerahan dan litosol dengan tekstur liat yang membuat drainase tanah di wilayah ini agak terhambat. Desa Slaharwotan terletak dekat dengan
pegunungan kapur yang menyebabkan daerah pengambilan sampel ini memiliki pH yang tinggi. Wilayah ini memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas drainase tanah yang agak terhambat, pH yang tinggi, bulan basah, tekstur liat, P 2O5 dan K2O yang rendah. Sampel 6 diambil di Desa/kelurahan Sumberbendo. Daerah ini terletak di dekat Desa Sukobendu yang berada tidak jauh dari pegunungan kapur, hal ini membuat pH tanah menjadi tinggi. Meskipun jenis tanahnya sama dengan Sukobendu, tapi sifat tanah antara keduanya berbeda. Tekstur liat berdebu, pH tinggi, KTK rendah, P2 O5 rendah menjadi faktor pembatas yang membuat wilayah ini masuk ke dalam kelas kesesuaian S3. Moronyamplung terletak di sebelah selatan Lamongan agak ke timur. Daerah ini sebagai tempat pengambilan sampel ketujuh, memiliki jenis tanah yang sama dengan Sumberbendo dan Sukobendu, yaitu grumusol kelabu tua dan aluvial kelabu tua. Solum sedalam 50 cm serta pH yang tinggi menjadi faktor pembatas di wilayah ini.
5.4 Distribusi Temulawak Peta distribusi temulawak di Kabupaten Lamongan berdasarkan data statistik dan titik sampel di lapangan. Data statistik yang dipakai adalah data triwulan III dari luas tanaman akhir triwulan laporan dalam satuan m2 berdasarkan laporan Bulan Oktober 2004. Untuk wilayah pengambilan sampel digambarkan dengan titik karena titik tempat pengambilan sampel telah diketahui berdasarkan tanda yang terdapat di peta topografi pada saat dibawa ke lapang. Posisi sampel ini dapat ditentukan
dengan menetapkan posisi berbasis tanda-tanda lapangan (land mark ), seperti jalan, posisi dusun, sungai, sekolah, pasar, dan sebagainya. Sedangkan untuk data statistik, ditampilkan dalam bentuk poligon yang merupakan prediksi daerah penyebaran. Poligon penyebaran ini bersifat dinamik secara temporal, yang jika dilakukan kunjungan ke lapangan belum tentu ditemukan terutama jika sudah selesai periode pengelolaan atau sudah dipanen (Tim Biofarmaka IPB, 2005). Berdasarkan data statistik, Kecamatan Sambeng merupakan daerah yang paling banyak menanam temulawak. Secara keseluruhan luasan wilayah yang menanam temulawak sebanyak 30.000 m2. Peta distribusi temulawak ditampilkan dalam Gambar 17. Selanjutnya Peta Penyebaran dibandingkan dengan Peta Kesesuaian Lahan. Dari perbandingan ini diperoleh bahwa kelas kesesuaian lahan S1 terdapat pada Kecamatan Modo, Bluluk, dan Sambeng dengan luasan berturut-turut 1723 m2 , 78 m2 , dan 30.000 m2. Sedangkan Kecamatan Lamongan dan Kecamatan Mantup memiliki kelas kesesuaian S3 dengan luas masing-masing 180 m2 dan 950 m2. Kecamatan Lamongan memiliki faktor pembatas bulan kering, sementara Kecamatan Mantup memiliki faktor pembatas bulan kering, KTK, P2O5, dan pH.
5.5 Keterbatasan Data Kemungkinan terdapat kesalahan dalam pembuatan peta dapat terjadi baik karena sumber data maupun kesalahan dalam proses pembuatan peta. Kesalahan sumber data dapat disebabkan akibat kesalahan penetapan titik sampel pada peta ataupun distorsi atau pengerutan kertas pada peta cetakan. Sedangkan kesalahan
dalam proses pembuatan dapat terjadi pada proses pendigitasian, proses tumpangtindih, atau proses dalam mengkonversi vektor ke raster atau sebaliknya. Penetapan titik sampel yang tidak tepat pada peta dapat mengakibatkan kesalahan memasukkan data atau informasi ke dalam atribut. Karena tiap poligon yang terbentuk dapat berbeda informasinya, meskipun ada beberapa yang memiliki sifat-sifat atau informasi yang sama. Penetapan titik sampel dalam penelitian ini berdasarkan tanda yang dibuat pada peta hardcopy yang dibawa pada saat ke lapang. Distorsi atau pengerutan kertas pada peta hardcopy dapat mempengaruhi luasan wilayah yang dihitung, bila terjadi pengerutan maka luasan akan menjadi berkurang. Selain itu, penyambungan pada peta yang kurang tepat dapat mempengaruhi ketepatan pada saat mendigitasi karena akibat kurang tepat dalam menyambung tadi membuat tampilan peta image menjadi kurang jelas dan kadang-kadang menjadi mengganda. Kesalahan dalam mendigitasi dapat dipengaruhi oleh kualitas dari peta image yang akan didigitasi, yang kesalahannya dapat timbul karena pada saat menyiam atau menyambung peta. Proses tumpang tindih dipengaruhi dari hasil digitasi. Sliver yang muncul akibat kesalahan digitasi dapat menimbulkan poligon-poligon kecil pada saat melakukan tumpang-tindih. Proses konversi dari raster ke vektor atau sebaliknya juga mempengaruhi kualitas data. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan pengurangan atau penambahan poligon karena pada saat mendigitasi raster yang berbentuk grid akan dilakukan generalisasi.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil yaitu: 1. Secara umum tanaman temulawak dapat dikembangkan hampir di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan dengan dominasi kelas kesesuaian la han S1. Selain itu, terdapat kelas kesesuaian S2 dengan faktor pembatas kondisi medan/terrain, dan kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas ketersediaan air, media perakaran, retensi hara, dan hara tersedia. 2. Berdasarkan data titik sampel, lokasi pengambilan sampel didominasi kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas ketersediaan air, media perakaran, retensi hara, dan hara tersedia. 3. Berdasarkan data statistik, Kecamatan Sambeng merupakan daerah yang paling banyak menanam temulawak. Secara keseluruhan luasan wilayah yang menanam temulawak sebanyak 30.000 m2. 4. Penyajian data spasial dan non spasial hasil evaluasi penyebaran tanaman temulawak dapat diproses dan disimpan dengan perangkat lunak yang berbasis Sistem Informasi Geografi.
6.2 Saran Saran yang dapat diberikan antara lain : Pengumpulan data dari daerah dengan agrobiofisik yang lebih luas sehingga kriteria yang dihasilkan dapat digunakan pada variasi karakteristik lahan yang lebih lebar.
DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal, 1999. Peta Rupa Bumi berbagai lembar Kabupaten Lamongan. Barus, B. 2005. Kamus SIG (Sistem Informasi Geografis) dengan 128 diagram. Studio Teknologi Informasi Spasial. Bogor. Barus, B dan U. S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen ta nah. Bogor. BPS dan Bappeda Kabupaten. 2003. Kabupaten Lamongan dalam Angka 2003. BPS dan Bappeda Kabupaten Lamongan. Lamongan. Direktorat Aneka Tanaman. 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Martha Tilaar Innovation Center. 2002. Budi Daya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Penebar Swadaya. Jakarta. Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung. RePPProT. 1990. Peta Land System RePPProT Pulau Jawa. ODA-BakosurtanalDepartemen Transmigrasi. Setiawan, R.R. 2005. Evaluasi Penyebaran Tanaman Obat Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dan Kunyit (Curcuma domestica Val) dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)-(Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah). Skripsi S1. Departemen Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tim Biofarmaka IPB. 2005. Studi Pemetaan Tanaman Obat di Sentra Produksi Pulau Jawa. Kerjasama BPOM, LPPM, IPB dan Pusat Studi Biofarmaka. Bogor.
Kriteria Kesesuaian Lahan Temulawak
Kualitas lahan Temperatur (t) - Rata-rata suhu tahunan (0 C) - Elevasi ( m dpl) Ketersediaan air (w) - Bulan Basah (> 200 mm) - Bulan Kering (< 100 mm) - Length growth periodLGP (hari) Media perakaran (r ) - Drainase tanah - Tekstur
Sangat sesuai S1
Klas Kesesuaian Lahan Cukup sesuai Agak sesuai S2 S3
25-27
22-24 ; 28-30
19-21 ; 31-33
<19 ; >33
6-9 <3 270-290
3-4 240-270
5-6 ≤5 210-240
>5 <180
baik
baik LS, SL, SiCL,SC
Sedang agak cepat StrC, C
60-75
40-60
>30 6-7 >1.3
20-30 5.5-6 ; 7-7,5 1.0-1.3
20 <5.5;7,5 <1.0
NR <4,5 NR
SR
R
S
T
S >10 >0.4
SR 7-10 0.3-0.4
NR <7 <0.3
NR NR NR
<10 <5 <2
10-20 5-10 2-10
20-40 10-20 10-25
>40 >20 >25
L, SCL, SiL, SiCL
- Kedalaman solum >75
O
Retensi hara (f) - KTK - pH - C-organik (%) Toxicitas (x) - Kejenuhan Al (%) Hara tersedia (h) - Total N - P - K-dd Kondisi medan/ terrain (m) - Lereng (%) - Batuan permukaan (%) - Singkapan batuan (%)
Tidak sesuai N
terhambat, sangat cepat kerikil, pasir, liat masif < 40
ND= tidak ada data NR= tidak dipersyaratkan SR= sangat rendah; R= rendah; S= sedang; T= tinggi; ST= sangat tinggi C= clay (liat); L= loam (lempung); S= sand (pasir); Si = Silt (debu); vfc = very fine clay = liat sangat halus; SL= sandy loam (lempung pasir); LS= loamy sand (pasir berlempung); SCL = lempung liat berpasir; SiCL (lempung liat berdebu); CL (lempung berliat); Str -C = liat berstruktur; CL = lempung berliat; SC = liat berpasir; SiC = liat berdebu.
Data Bulan Kering (<100 mm) Kabupaten Lamongan Tahun 2003 No.
Nama Stasiun Pengamatan
Kecamatan Lokasi Stasiun Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Lamongan Takeran Mantup Kembangbahu Sukodadi Gondang Kedungpring Gandang Prijetan Kayen Bluluk Ngimbang Girik Modo Pucuk Babat Jabung Paciran Brondong Bluri Pangkatrejo Karanggeneng Blawi Kuro Karangbinangun
Lamongan Tikung Mantup Kembangbahu Sukodadi Sugio Kedungpring Ngimbang Kedungpring Ngimbang Bluluk Ngimbang Ngimbang Modo Pucuk Babat Laren Paciran Brondong Solokuro Maduran Karanggeneng Glagah Karangbinangun Karangbinangun
Curah Hujan (mm) Januari
Pebruari
264 241 -
236 269 -
325 275 359 220 -
224 243 251 357 -
284 -
363 -
355 296 346 416 304 219 256 -
382 369 364 419 225 279 384 -
227 97 248 261 384 291 261
225 206 336 446 340 288 328
Mar et 243 341 204 109 178 310 295 244 291 200 282 131 220 158 154 179 157 117 199 149 119
April
Mei
144 43 92
153 113 92 144 119 225 214 210 158 214 218 140 184 227 196 55 194 98 94 129 92 41
46 101 82 91 159 152 60 265 63 111 42 27 23 22 10 48 87 37
Juni 81 3 7 9 2 3 31 9 10 47 61 31
Juli
Agustus
-
-
September
Oktober
November
Desember
Jumlah
26 9
34 147 70
141 186 287 298 242 182 178
149 294 75 262 120 141 152
1471 1643 616 1457 1210 1687 1645 0 1791 0 1927 1322 1821 2256 1375 1657 1663 0 1049 1222 1320 1464 1466 1333 1141
-
4 30
-
49 213 123 -
29 -
187
35
-
168
53 57
-
218
84 47 -
38 19 42 5 2 6
41 61 58 93 5 8 10
208 -
226 257 221 261 272
-
-
137 -
97 199
22 17
193
254 221 247 234 291 -
224 256 247 166 106 182 148
96 137 126 225 203 173 160
Bulan Kering 2003 (<100 mm) 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 4 5 5 5
Data Bulan Basah (>200 mm) Kabupaten Lamongan Tahun 2003 Kecamatan Nama Stasiun No. Lokasi Stasiun Pengamatan Januari Pebruari Maret Pengamatan 1 Lamongan Lamongan 264 236 243 2 Takeran Tikung 241 269 341 3 Mantup Mantup 4 Kembangbahu Kembangbahu 325 224 204 5 Sukodadi Sukodadi 275 243 109 6 Gondang Sugio 359 251 178 7 Kedungpring Kedungpring 220 357 310 8 Gandang Ngimbang 9 Prijetan Kedungpring 284 363 295 10 Kayen Ngimbang 11 Bluluk Bluluk 355 382 244 12 Ngimbang Ngimbang 296 369 291 13 Girik Ngimbang 346 364 200 14 Modo Modo 416 419 282 15 Pucuk Pucuk 304 225 131 16 Babat Babat 219 279 220 17 Jabung Laren 256 384 158 18 Paciran Paciran 19 Brondong Brondong 227 225 154 20 Bluri Solokuro 97 206 179 21 Pangkatrejo Maduran 248 336 157 22 Karanggeneng Karanggeneng 261 446 117 23 Blawi Glagah 384 340 199 24 Kuro Karangbinangun 291 288 149 25 Karangbinangun Karangbinangun 261 328 119
Curah Hujan (mm) April 144 43 92 46 101 82 91 159 152 60 265 63 111 42 27 23 22 10 48 87 37
Mei 153 113 92 144 119 225 214 210 158 214 218 140 184 227 196 55 194 98 94 129 92 41
Juni 81 3 7 9 2 3 31 9 10 47 61 31
Juli -
Agustus -
September 26 9 4 30 29 35 53 57 22 17 38 19 42 5 2 6
Oktober 34 147 70 49 213 123 187 168 97 199 84 47 41 61 58 93 5 8 10
November 141 186 287 298 242 182 178 193 218 226 257 221 261 272 224 256 247 166 106 182 148
Desember 149 294 75 262 120 141 152 137 208 254 221 247 234 291 96 137 126 225 203 173 160
Bulan Basah Jumlah (>200 mm) 1471 7 1643 7 616 1457 6 1210 6 1687 7 1645 7 0 1791 7 0 1927 8 1322 5 1821 6 2256 8 1375 6 1657 7 1663 6 0 1049 5 1222 5 1320 5 1464 5 1466 6 1333 5 1141 5
Data Statistik Luas Tanam, Luas Panen, dan Produksi Tanaman Temulawak Kabupaten Lamongan Bulan Oktober Tahun 2004
No Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Nama Kecamatan Lamongan Deket Turi Tikung Kembangbahu Ngimbang Bluluk Sambeng Mantup Babat Kedungpring Modo Sugio Sukodadi Karanggeneng Sekaran Karangbinangun Kalitengah Glagah Paciran Brondong Laren Pucuk Sukorame Solokuro Maduran Sarirejo
Luas Tanaman Akhir Triwulan yang lalu 180
68 1000 78 30000 950
TANAMAN TEMULAWAK (Dalam m2 Bilangan Bulat) Triwulan : III Luas Penanaman Luas Panen Luas Rusak / Luas Tanaman Baru (Tambah Akhir Triwulan Habis / Belum Tidak Berhasil Tanaman) (Puso) Laporan Dibongkar Habis 180
68 1000
308 1000 78 30000 950
950
1723 5600
5600
39599
6668
Produksi (Kg) Dipanen Habis Belum / Dibongkar Habis
Harga Jual Petani (Rp / Kg)
3000 700
700
3000
1723 28000
950
-
32931
29308
5000
700
2450