Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PRESTASI AKADEMIK RENDAH PADA MAHASISWA PROGRAM NON-PENDAS DI UPBJJ-UT DENPASAR Oleh Heri Wahyudi (
[email protected]) Sudrajat Wayan Meter UPBJJ-UT Denpasar
Abstract This study aims to analyze the factors that cause low student academic achievement. To achieve these objectives, this study used a survey design to collect data from respondents. Before the first study researchers conducted pre-survey interview technique to several respondents in order to obtain information to formulate a construct that will be analyzed and research instruments. The context of this study conducted in UPBJJ-UT Denpasar with respondents of Non-Pendas Program student that low academic achievement. Respondents in this study was 71 students with a response rate of 92.5%. To analyze the factors that lead to low academic achievement and determine the level of influence with confirmatory factor analysis and descriptive statistics using SPSS 16.0 software support for windows. Key words : Analysis of the factors, low academic achievement
I. LATAR BELAKANG MASALAH Keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan inti dan utama. Secara psikologis belajar dapat diartikan sebagai suatu proses memperoleh perubahan tingkah laku untuk mendapatkan pola respon baru yang diperlukan dalam interaksi dengan lingkungannya. Proses perbuatan belajar menyangkut berbagai
aspek diantaranya
mengenai latar belakang timbulnya
belajar, jenis dan bentuk-bentuk belajar, faktor yang mempengaruhi perbuatan belajar, transfer dalam belajar sehingga sangat menentukan keberhasilan dalam proses perbuatan belajar. Selain itu ada aspek lain yang sangat penting dalam keberhasilan proses perbuatan belajar yaitu, seperti kematangan idividu pembelajar,
1
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 lingkungan keluarga yang mendukung, lingkungan sekolah yang kondusif, lingkungan masyarakat mendukung, metode belajar yang up to date dan tersedianya alat-alat belajar/media belajar dan materi pembelajaran yang mudah dipelajari dan dimengerti. Dengan demikian pelaksanaan proses perbuatan belajar terdapat beberapa masalah baik bagi mahasiswa seperti dalam pengaturan waktu belajar, memilih metode belajar, pengunaan sumber/buku belajar, cara belajar dengan kelompok, dan persiapan menghadapi ujian. Begitu pula dengan permasalahan bagi tutor/dosen sebagai pelaksana proses pembelajaran harus mempersiapan materi pembelajaran, teknik pembelajaran yang tepat digunakan agar dapat menunjang proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pembelajar, tentunya apabila permasalahan telah diantisipasi lebih awal oleh tutor/dosen diharapkan proses pembelajaran akan tercapai secara optimal. Universitas Terbuka (UT) sebagai lembaga pendidikan tinggi, tentu saja mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu para mahasiswa agar mereka berhasil dalam belajarnya. Untuk itu hendaknya UT memberikan bantuan kepada para mahasiswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kegiatan belajar. Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pelayanan dengan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ), mempunyai implikasi terhadap penataan proses belajar mengajar yang berbeda dari sistem pengajaran perguruan tinggi “tatap muka” biasa. Proses belajar mengajar jarak jauh yang diterapkan oleh UT, pada dasarnya ditujukan kepada kegiatan mahasiswa untuk belajar mandiri dan belajar berkelompok. Bahan pelajaran disampaikan melalui paket pelajaran yang disebut modul yang terdiri dari bahan ajar cetak dan non cetak. Bahan ini dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa. Belajar mandiri lebih menuntut ketekunan, disiplin dan kejujuran. Sebab selain belajar, mahasiswa juga diwajibkan melakukan penilaian sendiri terhadap kemajuan belajarnya.
2
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Untuk membantu para mahasiswa belajar secara mandiri agar dapat mencapai hasil belajar yang optimal diperlukan bimbingan yang terarah. Bimbingan tersebut menjadi tanggung jawab tutor. Proses bimbingan ini disebut dengan tutorial. Dalam setiap kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB) Mahasiswa Program Non Pendas yang dilakukan setiap semester, mahasiswa dibekali strategi belajar mandiri dan pembentukan kelompok belajar untuk membantu mahasiswa dalam menyelesaikan studinya dengan tepat waktu dan prestasi yang bagus, namun dari pengamatan terhadap nilai indeks prestasi mahasiswa pada setiap semester, masih sangat banyak mahasiswa yang mendapatkan indeks prestasinya di bawah dua koma. Berdasarkan data pada masa registrasi 2009.2 jumlah mahasiswa dengan IP antara 2,00 sampai 4,00 sebanyak 127 mahasiswa dan IP di bawah 2,00 sebanyak 349 mahasiswa. Sedangkan pada masa registrasi 2010.1 jumlah mahasiswa dengan IP antara 2,00 sampai 4,00 sebanyak 86 mahasiswa dan IP di bawah 2,00 sebanyak 341 mahasiswa. Data SRS hasil Ujian Akhir Semester yang diolah UT Pusat. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1). Faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah pada mahasiswa program Non-Pendas? (2). Sejauhmana faktorfaktor tersebut mempengaruhi terhadap prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar?
II. LANDASAN TEORI Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar ialah ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lain. Kemampuan belajar itu memberikan manfaat bagi induvidu dan juga bagi masyarakat. Bagi masyarakat, belajar memainkan peranan penting dalam penerusan kebudayaan berupa kumpulan pengetahuan ke generasi baru. Hal itu memungkinkan temuan-temuan dan penemuan-penemuan baru berdasarkan perkembangan di waktu sebelumnya.
3
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Orang sebagai induvidu dan masyarakat mempunyai kepentingan agar berhasil dalam mengelola balajar. Orang-orang yang sudah terampil belajar mandiri mampu mengusai berbagai keterampilan untuk mengisi waktu senggang dan melakukan pekerjaan baru. Mereka juga mengembangkan kemampuan berkehidupan yang kreatif sepanjang hayatnya. Bila ditelusuri secara mendalam, proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal. Menurut pendapat Muhammad Ali (1987) Pengertian belajar maupun mengajar yang dirumuskan para ahli, antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang. Terdapat beberapa alasan mengapa muncul aneka ragam pengertian itu. Di antara alasan itu adalah: (1). Karena adanya perbedaan dalam mengidentifikasi fakta. Dasar perumusan suatu teori adalah fakta yang diindentifikasikan melalui penelitian terhadap sejumlah subjek sebagai sampel. Antara seorang ahli dengan ahli lain penelitian dilakukan terhadap obyek yang berbeda.
Perbedaan
ini
mengakibatkan
diperoleh
hasil
berbeda
pula,
(2). Perbedaan penafsiran terhadap fakta. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh latar belakang peninjauan yang berbeda-beda. Perumusan suatu teori di samping terpengaruh oleh penafsiran terhadap fakta, juga oleh banyaknya fakta yang dapat diindentifikasi. Dengan demikian teori yang dirumuskan pun berbeda pula, (3). Perbedaan terminologi (peristilahan) yang digunakan serta konotasi masingmasing istilah itu. Peristilahan yang digunakan sebagai dasar analisis dan pembahasan ilmiah seringkali berbeda-beda. Setiap istilah mempunyai konotasi tertentu. Oleh karena itu teori sebagai hasil studi ilmiah berbeda-beda sejalan dengan perbedaan istilah yang digunakan dan konotasinya masing-masing, (4). Perbedaan penekanan terhadap aspek tertentu. Dalam melakukan studi tentang mengajar ataupun belajar setiap ahli memberi penekanan terhadap aspek tertentu. Studi tentang mengajar ada menekankan pentingnya proses belajar. Demikian pula tentang belajar, ada menekankan pada aspek asosiasi (hubungan) antara stimulus-respon,
4
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 ada pula menekankan pentingnya hasil kognitif. Hal ini membawa pengaruh terhadap kesimpulan yang diperoleh
Kesulitan Belajar Kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih keras lagi untuk dapat mengatasi kesulitan itu. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tetap untuk mencapai hasil belajar. Hambatan ini mungkin disadari mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya. Orang yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada di bawah yang semestinya. Kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan kedalamannya termasuk pengertian seperti learning disorder (kekacauan belajar), learning disfunction (proses belajar yang tidak berfungsi), under echiever (prestasi belajar rendah), slow learner (lambat belajar) dan sebagainya. Menurut Ngalim Purwanto (1998), ada empat hal atau kategori dalam belajar, yaitu: (1). Ada perubahan tingkah laku yang lebih baik, atau mungkin lebih buruk, (2). Perubahan yang terjadi dapat melalui latihan atau pengalaman, (3). Perubahan itu relatif mantap, dan (4). Perubahannya menyangkut aspek kepribadian. Sementara itu Skinner (1997) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat. Hal ini merupakan dasar dari teori belajar conditioning dari Skinner, yaitu bahwa timbulnya tingkah laku lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan) dengan respons.
5
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Berkaitan dengan proses belajar mengajar dalam kelas, maka proses stimulus dan respons pada dasarnya merupakan situasi dan proses yang melibatkan dua faktor perbuatan, yaitu faktor perbuatan belajar oleh mahasiswa, dan faktor perbuatan mengajar dari guru. Interaksi antara mahasiswa dengan guru dan antara mahasiswa dengan mahasiswa menjadi proses interaksi sosial yang terjadi di dalam kelas. Tanpa interaksi di antara mereka maka proses belajar dan mengajar tidak akan terjadi. Pada dasarnya, ada dua faktor utama yang berpengaruh dalam proses belajar yaitu faktor yang ada dalam diri organisme, yang disebut dengan faktor individual, seperti kematangan, kecerdasan, latihan dan motivasi. Sedangkan faktor kedua berasal dari luar individu, yang dapat disebut sebagai faktor sosial. Termasuk faktor sosial adalah keadaan rumah tangga, keadaan guru, cara mengajar, alat pelajaran, lingkungan dan kesempatan yang tersedia. Munawar dalam pustaka psikologi pendidikan (1999), paling tidak terdapat tiga golongan teori belajar yang cukup populer, yaitu teori belajar menurut ilmu jiwa daya, teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi, dan teori belajar menurut ilmu jiwa Gestalt. Teori belajar menurut Ilmu Jiwa Daya memandang bahwa jiwa manusia terdiri dari beberapa daya dan masing-masing daya memiliki fungsi tertentu seperti daya pikir, mengingat, mengkhayal dan sebagainya. Daya tersebut dapat dilatih melalui proses belajar sehingga fungsinya akan bertambah baik. Teori belajar menurut Ilmu Jiwa Asosiasi berpendapat bahwa keseluruhan itu terdiri atas penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsur. Dalam golongan teori ini terdapat dua aliran
yang terkenal yaitu teori connectionisme dan teori
conditioning. Teori connectionisme memandang bahwa belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara stimulus dan respons, sedangkan teori conditioning memandang bahwa belajar merupakan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons yang perlu dibantu dengan situasi tertentu. Teori belajar Ilmu Jiwa Gestalt memandang keseluruhan merupakan prinsip yang penting. Anak tidak dipandang sebagai sejumlah daya melainkan sebagai suatu
6
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 keseluruhan, yakni individu yang dinamis dan senantiasa dalam keadaan berinteraksi dengan dunia sekitarnya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Menurut teori ini, seseorang akan belajar jika ia mendapat suatu insight. Dalam hal ini, timbulnya insight tergantung pada kesanggupan, pengalaman, sifat atau taraf kompleksitas, latihan dan trial and error. Selain itu, masih menurut teori ini, belajar harus dirangsang dengan adanya permasalahan. Gejala kesulitan belajar akan dimanifestasikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Tingkah laku yang dimanifestasikannya ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Kesulitan belajar ini akan nampak dalam aspek-aspek motoris, kognitif, afektif baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapainya. Beberapa ciri tingkah laku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain : (1). Menunjukkan hasil belajar yang rendah dibawah nilai yang dicapai kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya, (2). Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang telah dilakukan, (3). Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, (4). Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti : acuh tak acuh, menentang, berpurapura dan sebagainya, (5). Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah dan sebagainya. Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai individu yang mengalaminya, diperlukan adanya patokan atau kriteria sebagai batas untuk menetapkannya. Dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana seseorang dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Kemajuan belajar seseorang dapat dilihat dari segi tujuan yang harus dicapai, kedudukannya dalam kelompok yang memiliki potensi yang sama, tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan potensi (kemampuannya) dan dari segi kepribadiannya. Terjadinya kesulitan belajar pada seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1). Faktor-faktor yang terdapat dalam diri seseorang : (a). Kelemahan secara fisik antara lain: susunan syaraf yang tidak berkembang secara sempurna/cacat/sakit sehingga sering membawa gangguan emosional, panca
7
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 indera kurang berkembang secara sempurna sehingga menyulitkan proses interaksi secara efektif, (b). Kelemahan secara mental, (c). Kelemahan emosional, seperti terdapat rasa tidak aman, ketidakmatangan, (d). Kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan dan sikap yang salah seperti banyak melakukan aktifitas yang bertentangan dan tidak menunjang proses pembelajaran yang sedang diikuti seseorang, gagal untuk memusatkan perhatian, tidak disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran, (e). Tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan dasar yang diperlukan seperti kurang menguasai pengetahuan dasar untuk bidang studi yang diikuti, memiliki kebiasaan dan cara bekerja yang salah. (2). Faktor yang terdapat di luar diri seseorang antara lain : (a). Kurikulum yang seragam, (b). Ketidaksesuaian standar administrasi atau sistem pengajaran, (c). Materi pelajaran kurang diminati, (d). Kelemahan yang terdapat dalam kondisi rumah tangga seperti tingkat pendidikan, status sosial ekonomi (Sudjana, 1988). Dalam sistem belajar jarak jauh (SBJJ) yang diselenggarakan oleh UT, tutorial atau pembimbingan merupakan salah satu komponen yang penting bagi keberhasilan sistem belajar jarak jauh secara keseluruhan. Untuk itu maka pengelolaan program tutorial perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, terencana, baik penyiapan materi yang akan digunakan sampai dengan metode pengajaran yang dipakai dengan peran serta para tutor secara aktif. Agar pelayanan bimbingan belajar atau tutorial dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya, maka sistem belajar jarak jauh dan tutorial perlu dipahami dengan baik oleh para tutor. Di samping itu tutor hendaknya memahami pula tentang masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa dalam mempelajari modul. Selain itu sistem belajar jarak jauh (SBJJ) menuntut belajar mandiri para mahasiswa. Permasalahan belajar yang berbeda sehingga menjadi hambatan dalam proses pembelajaran. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan dalam masalah akademis, misalnya kesulitan dalam mempelajari modul, kesulitan dalam menentukan jadwal dan strategi belajar, kesulitan dalam menentukan sumber dan nara sumber untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan mungkin juga
8
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dihadapi mahasiswa. Hambatan-hambatan yang sifatnya psikologis misalnya perasaan terisolir, menurunnya motivasi belajar, kesulitan dalam keluarga dan sebagainya. Untuk membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi mahasiswa Program Non-Pendas terutama dalam masalah akademis, maka perlu dilaksanakan program pembimbingan mahasiswa atau tutorial. Dalam pembimbingan (tutorial) tersebut para mahasiswa dapat berdialog dalam mengemukakan kesulitannya secara langsung kepada tutor ataupun kepada sesama rekan mahasiswa (tutorial tatap muka). Sedangkan kontak itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa macam media seperti : tatap muka, radio, TV, Online dan sebagainya.Seorang tutor mempunyai peran sebagai fasilitator dalam proses belajar mahasiswa pada sistem belajar jarak jauh (SBJJ), berperan juga membantu lancarnya proses belajar mahasiswa dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi mahasiswa.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Cooper dan Schindler (2006) dalam bukunya mengatakan bahwa desain penelitian adalah sebuah aktivitas dan rencana berdasarkan pada waktu, didasarkan pada pertanyaan penelitian, mengarahkan pilihan dari sumber dan tipe-tipe informasi, sebuah kerangka kerja untuk menentukan hubungan di antara variabel penelitian dan garis besar prosedur untuk setiap aktivitas penelitian. Sedangkan Sekaran (2003) menyatakan bahwa desain penelitian merupakan upaya yang melibatkan sebuah urutan dari pilihan pengambilan keputusan rasional. Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah. Desain penelitian ini merupakan exploratory study yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor dengan waktu penelitian yang bersifat crosssectional, ruang lingkup topik berupa penelitian statistik dan lingkungan penelitiannya merupakan penelitian lapangan. Data untuk mengukur masing-masing 9
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 variabel dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Kuesioner penelitian berisi item-item pernyataan yang menggambarkan variabel-variabel yang diteliti. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan pra survei pada beberapa responden dimaksudkan untuk menggali informasi guna mendesain instrumen penelitian. 3.2. Metode Analisis Data Untuk menganalisis data berdasarkan model ini, peneliti melakukan analisis dengan menggunaka statistik deskriptif yaitu nilai mean dari setiap variabel dengan bantuan software SPSS 16.0 for windows. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis hasil penelitian mengenai variabel-variabel yang diuji. Analisis dimulai dengan tahap pengumpulan data, karakteristik responden, pengujian validitas dan reliabilitas serta analisis pembahasan. 4.1. Hasil Pengujian Faktor-Faktor Hasil analisis faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah tersaji pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Hasil Pengujian Faktor-Faktor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor Kurangnya motivasi belajar prestasi akademik rendah Kurangnya waktu belajar prestasi akademik rendah Tidak memiliki bahan ajar prestasi akademik rendah Tidak mengikuti tutorial online prestasi akademik rendah Tidak membentuk kelompok belajar prestasi akademik rendah Kurangnya persiapan ujian prestasi akademik rendah Kurangnya pengayaan materi rendahnya prestasi akademik Tidak mendukungnya situasi belajar prestasi akademik rendah Kurangnya perencanaan studi prestasi akademik rendah
10
Pengaruhnya rendah rendah rendah cukup tinggi cukup tinggi cukup tinggi cukup tinggi cukup rendah cukup rendah
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 4.2. Hasil Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang respon mahasiswa pada faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah. Sebelum peneliti menyusun kuesioner penelitian sebagai instrumen penelitian untuk mengumpulkan data penelitian, terlebih dahulu peneliti melakukan pra-survei dengan teknik wawancara terhadap beberapa mahasiswa Program Non-Pendas yang mempunyai prestasi akademik secara berturut-turut dua semester rendah yaitu indeks prestasinya kurang dari 2,00. Tujuan dari wawancara tersebut adalah untuk mendapatkan data yang menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah. Kesimpulan dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa diperoleh sembilan faktor yang menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah yaitu kurangnya motivasi belajar, kurangnya waktu belajar, tidak memiliki bahan ajar, tidak mengikuti tutorial online, tidak membentuk kelompok belajar, kurangnya persiapan ujian, kurangnya pengayaan materi, tidak mendukungnya situasi belajar serta kurangnya perencanaan studi. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut memiliki beberapa item-item atau indikator-indikator yang membentuknya. Agar variabel tersebut valid maka perlu diuji validitasnya dengan uji Confirmatory Factor Analysis (CFA) menggunakan software SPSS 16.0 for windows. Item-item yang tidak memenuhi persyaratan statistik dalam membentuk konstruk atau variabel maka direduksi dan tidak diikutsertakan pada analisis. Uji reliabilitas juga dilakukan untuk mengukur konsistensi alat ukur dalam mengukur suatu konstruk atau variabel. Variabel yang diuji reliabilitasnya adalah yang memiliki item atau indikator lebih dari dua. Sedangkan untuk menentukan tinggi-rendahnya pengaruh varibel tersebut diukur dengan nilai rata-ratanya (mean) pada statistik deskriptif. Dari hasil analisis faktor, variabel kurangnya motivasi belajar dibentuk oleh satu indikator yaitu “mahasiswa mengikuti kuliah bertujuan untuk mencari status”. Pada umumnya kalau mahasiswa mengikuti kuliah bertujuan mencari status seperti agar diakui oleh masyarakat seseorang yang berpendidikan maka motivasi untuk
11
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 belajar guna mendapatkan ilmu pengetahuan kurang. Kurangnya motivasi untuk belajar menyebabkan pemahamanan atau penguasaan terhadap materi kuliah akan berkurang sehingga prestasi akademik yang diperoleh rendah. Faktor atau variabel kurangnya waktu belajar dibentuk oleh satu indikator yaitu “saya sangat sibuk dengan hobby sehingga tidak sempat belajar”. Kesibukan mahasiswa dengan hobby yang mereka gemari akan menyebabkan waktu untuk belajar sangat kurang sehingga mahasiswa yang sangat sibuk dengan hobby tidak sempat untuk belajar, ini berakibat rendahnya prestasi akademiknya. Bahan ajar yang berupa buku materi pokok atau modul bagi mahasiswa Universitas Terbuka merupakan pengganti dosen seperti halnya pada kuliah tatap muka (konvensional). Dosen memberikan materi perkuliahannya melalui modul yang dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa. Apabila mahasiswa tidak mempunyai modul maka tidak dapat mengikuti perkuliahan, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak ada. Modul bagi mahasiswa Universitas Terbuka wajib dimiliki karena sistem belajarnya secara mandiri melalui modul dan media lain. Mahasiswa yang tidak memiliki modul maka tidak bisa menguasi materi perkuliahan sehingga dapat menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah. Beberapa hal mengapa mahasiswa tidak mempunyai bahan ajar diantaranya tidak mengerti cara membeli modul lewat internet dan mahasiswa tidak tahu ke mana. Bagi UPBJJ-UT Denpasar kiranya perlu disosialisasikan pada mahasiswa menganai ke mana dan bagaimana caranya membeli bahan ajar atau modul. Dalam sistem belajar mandiri, insiatif belajar datang dari mahasiswa. Selain mahasiswa belajar mandiri dengan bahan ajar berupa modul atau media lainnya, Universitas Terbuka memberikan layanan bantuan belajar berupa tutorial tatap muka dan tutorial online. Tutorial online selain dapat menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah yang ditempuh juga dapat berkontribusi terhadap nilai akhir sebesar 30%. Tutorial online dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja asal ada jaringan internetnya. Mahasiswa yang tidak
12
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 mengikuti tutorial online bisa saja menyebabkan prestasi akademik rendah karena pemahaman terhadap materi kurang dan tidak mempunyai kontribusi nilai akhir. Belajar mandiri bukan berarti belajar sendirian tetapi belajar atas insiatif sendiri. Belajar mandiri dapat belajar sendiri maupun belajar berkelompok dengan cara membentuk kelompok belajar. Keuntungan belajar berkelompok salah satunya dapat berdiskusi terhadap suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri. Mahasiswa yang membentuk kelompok belajar akan mempunyai teman yang bisa diajak belajar bersama, mempunyai teman yang bisa dimintai penjelasan jika ada kesulitan belajar dan mempunyai teman yang bisa diajak berdiskusi. Sehingga mahasiswa yang tidak membentuk kelompok belajar akan menyebabkan prestasi akademik rendah. Ujian akhir semester merupakan evaluasi terhadap hasil belajar mahasiswa selama mengikuti perkuliahan satu semester. Untuk mendapatkan nilai ujian yang baik atau lulus, kiranya perlu dipersiapkan mahasiswa baik secara materi maupun mental jauh hari sebelumnya. Persiapan yang matang dan baik akan dapat memberikan kepercayaan diri bagi mahasiswa dalam menghadapi ujian. Sebaliknya mahasiswa yang kurang persiapan ujian akhir maka tidak memberikan kepercayaan diri bahwa mereka mampu mendapatkan nilai baik dan dapat ujian dengan baik dan tenang. Sehingga kurangnya persiapan ujian ini dapat menyebabkan rendahnya prestasi akademik. Selain belajar mandiri dengan menggunakan buku materi pokok atau modul, mahasiswa dapat melakukan pengayaan materi kuliah dengan mempejalari media lain seperti VCD, web supplemen, siaran radio atau buku-buku lain yang relevan. Dengan melakukan pengayaan materi maka akan dapat menambah wawasan, pemahaman dan pengetahuan terhadap suatu matakuliah yang sedang dipelajari. Sehingga mahasiswa yang kurang pengayaan materi dapat menyebabkan rendahnya prestasi akademik. Agar sesorang dapat belajar dengan baik maka perlu pada situasi dan kondisi yang mendukung. Belajar di tempat yang terlalu ramai, pencahayaan kurang,
13
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 tidak pada tempat belajar yang khusus maka berpengaruh terhadap pemahaman materi yang sedang dipelajari. Bisa saja mahasiswa yang belajar pada situasi dan kondisi seperti itu sangat sulit untuk menyerap dan memahami materi yang sedang dipelajari. Sehingga tidak mendukungnya situasi dan kondisi belajar akan menyebabkan rendahnya prestasi akademik mahasiswa tersebut. Untuk mencapai suatu tujuan tertentu, biasanya dimulai dengan melakukan perencanaan. Begitu juga dengan mengikuti suatu perkuliahan atau studi, agar dalam studi mencapai hasil yang maksimal, indeks prestasi yang baik, lulus tapat waktu dan menambah ilmu pengetahuan maka perlu adanya perencanaan studi yang baik. Dengan adanya perencanaan yang baik maka akan lebih terarah dalam proses belajarnya. Salah satu contoh mahasiswa dapat mengikuti paket arahan sehingga tidak asal saja dalam mengambil matakuliah. Sehingga kurangnya perencanaan dapat menyebabkan rendahnya prestasi akademik.
V. KESIMPULAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang respon mahasiswa Program Non-Pendas terhadap faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah. Seperti telah dibahas sebelumnya, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar? Bagaimana faktor-faktor tersebut pengaruhnya terhadap prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar? Untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut, peneliti melakukan cross-sectional survey untuk mendapatkan data primer menggunakan kuesioner. Keusioner didesain dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pada saat prasurvei. Kuesioner tersebut digunakan untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah. Total 39 item pernyataan digunakan dalam penelitian ini.
14
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Unit analisis dalam penelitian ini adalah individual. Individu-individu tersebut merupakan mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar. Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan non-probability sampling dengan teknik purposive sampling. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting, di antaranya: 1.
Kurangnya motivasi belajar, kurangnya waktu belajar dan tidak memiliki bahan ajar merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah, namun pengaruhnya rendah.
2.
Tidak mengikuti tutorial online, tidak membentuk kelompok belajar, kurangnya persiapan ujian dan kurangnya pengayaan materi merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah, di mana pengaruhnya cukup tinggi.
3.
Tidak mendukungnya situasi belajar serta kurangnya perencanaan studi merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah, namun pengaruhnya cukup rendah.
DAFTAR RUJUKAN Ali, M., Sukarman, M., dan Rahmad, C. 1984. Bimbingan Belajar, Penuntun Sukses di Perguruan Tinggi Dengan Sistem SKS. Bandung: Sinar Baru. Ali, M., 1987. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru. Cooper, D.R. and Schindler, P.S. 2006. Business Research Methods. 9th edition. New York: McGraw-Hill. Munawar, A. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Dian Ilmu. Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach.New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
15
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAl (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM MATA KULIAH PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA DAPAT MENUMBUHKAN JIWA ENTREPRENEUR PADA MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI Oleh Ni Nyoman Murniasih Program Studi Pendidikan Ekonomi FP IPS IKIP PGRI BALI Abstract Learning is a process to grow behaviour or attitude of someone according to practical or certain experience. Learning experience which makes motivation grew is the experience where the university student actively participate in facing the nature. Through CTL (Contextual Teaching Learning) approach in The Development of Village Society University Subject, the university student will have a meaningful learning The subject material given linked with situation in real world and support University Student to make a correlation between the knowledge they have with the implementation in everyday‟s life. To make the learning process more effective, it is the lecturer‟s job to facilitate so that the student can implementate the ideas that they have. On The development of village society subject, university students are directed to have the spirit of entrepreneurship. Enterpreneurship is the implementation of creativity and innovation to solve problems and and the effort to use the chance that they have. As University student who majoring economical science, will not only be job seeker, but also able to create job opportunity in order to support village development and national development to reduce unemployment. I.
LATAR BELAKANG Kegiatan
belajar
mengajar
melibatkan
beberapa
komponen
yaitu
pembelajar, pendidik, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari pembelajar setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (behaviour) yang dapat diamati oleh orang lain melalui alat indra baik tutur kata motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik. Salah satu diantaranya adalah pendekatan yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan 16
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 yang dikemukakan oleh Zainal Aqib yaitu ada sepuluh pendekatan; pendekatan lingkungan, penemuan, konsep, ketrampilan proses, pemecahan masalah, induktifdeduktif, sejarah, nilai, komunikatif, tematik. Sedangkan Udin S Winataputra berpendapat bahwa pendekatan terdiri dari; pendekatan lingkungan, ketrampilan proses, penemuan dan terpadu. Pendekatan pembelajaran yang sesuai adalah pendekatan yang berorientasi pada kepentingan siswa atau siswa sentries. Hal ini sesuai dengan pendekatan penemuan (discovery and inquiry) yang menunjukkan dominasi pembelajar selama proses pembelajaran dan fungsi pendidikan hanya sebagai fasilitator. Di samping berfungsi sebagai fasilitator pendidik juga berfungsi sebagai planner yaitu dengan memiliki program kerja yang jelas mulai dari merencanakan setiap pembelajaran yang dilakukan sehingga berhasil maksimal. Hal ini dilakukan dengan merubah pola lama yang tidak memberikan hasil maksimal menuju pola baru dalam pembelajaran yang memungkinkan untuk mencapai pendidikan yang lebih berkualitas efektif dan cepat. Pendidikan bukan sekedar mencetak tenaga kerja yang siap pakai, pendidikan adalah proses pembentukan generasi yang siap memerankan kehidupan. Dalam kurikulum pendidikan ekonomi yang telah diperbaharui salah satu mata kuliah yang relevan dengan mengaplikasikan pendekatan di atas adalah mata kuliah; Pembangunan Masyarakat Desa, yang materinya kebanyakan bersentuhan dengan dunia nyata di pedesaan antara lain; Masalah-masalah yang dihadapi desa, faktor penyebabnya, teknik pendekatan terhadap masyarakat desa, potensi-potensi desa yang bisa dikembangkan, industri kecil dipedesaan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang cocok untuk diterapkan berkaitan dengan materi ajar di atas adalah pendekatan konnstektual. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang mampu mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini sekaligus menyiapkan mahasiswa sedini mungkin tertarik berwiraswasta, mengingat desa memiliki potensi-potensi yang siap digarap dan dikembangkan sehingga masyarakat desa tingkat kesejahteraannya dapat ditingkatkan. Peran mahasiswa pada
17
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 jurusan pendidikan ekonomi sangat strategis dalam turut serta membuka kesempatan kerja, bukan sebagai pencari kerja. II.
PEMBAHASAN Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya,
bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat dalam jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam jangka panjang. Kebanyakan pembelajar tidak mampu membuat kaitan antara apa yang diajarkan dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan. Dalam pendekatan konstektual (CTL) pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk mahasiswa bekerja dan mengalami dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Proses dan strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil (learning by process) dalam konteks ini mahasiswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya dan bagaimana mencapainya. Jika mahasiswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti maka siswa akan memposisikan diri sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya. Mahasiswa akan lebih tertarik mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya inilah diperlukan kehadiran dosen sebagai pembimbing dan pengarah. Agar pembelajaran dengan pendekatan CTL berhasil dengan baik ada 7 prinsip yang harus diikuti : 1.
Belajar berbasis masalah (problem based learning) belajar bukanlah sekedar drill informasi tetapi bagaimana menggunakan informasi dan berpikir kritis yang ada untuk memecahkan masalah yang ada di dunia nyata.
2.
Pengajaran autentik (autentik instruction) pendekatan pembelajaran yang mempelajari konteks bermakna sesuai dengan kehidupan nyata.
3.
Belajar berbasis inquiri (inqury based learning) belajar adalah kegiatan memproduksi bukan mengkonsumsi belajar untuk mengetahui kebutuhan apa yang ingin diketahui dan mencari sendiri jawabannya.
4.
Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (proyek based learning) belajar bukan sekedar menyerap hal kecil sedikit demi sedikit dalam waktu yang panjang
18
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 tetapi secara komprehensif/terpadu untuk mendapatkan banyak hal. Proyek membantu orang untuk melibatkan keseluruhan mental dan fisik, syaraf, indera termasuk kecakapan sosial dengan melakukan banyak hal sekaligus. 5.
Belajar berbasis kerja (work based learning) untuk membuat belajar lebih efektif belajar harus berdasarkan pengalaman dan bukan kata-kata semata. Jika mencari informasi perlu membaca kata-kata. Jika memerlukan pengalaman milikilah pengalaman dengan melakukannya. Belajar adalah bekerja dan ketika ia bekerja ia belajar banyak hal.
6.
Belajar jasa layanan (servise learning) emosi sangat menentukan proses dan hasil belajar. Perasaan positif yang timbul saat belajar dapat mempercepat belajar. Belajar dengan percaya diri, merasa dibutuhkan, bekerja sama menolong orang lain dan akrab pada kegiatan diluar maupun didalam kelas lebih mejanjikan hasil.
7.
Belajar kooperatif (cooperative learning) biasanya orang akan lebih banyak belajar melalui interaksi dengan teman-teman. Satu kelas yang belajar bersama akan menghasilkan prestasi lebih baik daripada setiap individu belajar sendirisendiri. Dengan belajar bersama akan timbul persaingan individu yang satu dengan yang lainya ini akan memotivasi setiap orang untuk lebih berprestasi. Pembelajaran dengan pendekatan konstektual bertujuan membekali siswa
dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain dari suatu konteks ke konteks lain. Dengan layanan dosen yang memadai melalui berbagai bentuk penugasan mahasiswa belajar bekerja sama untuk menyelesaikan masalah (problem based learning) dan saling menghargai sehingga hubungan antar mahasiswa akan lebih harmonis. Mahasiswa yang merasa kurang dapat belajar bersama-sama mahasiswa yang pandai mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasil penelitiannya dengan presentasi dihadapan kelas dan mendiskusikannya. Melalui diskusi mahasiswa dibiasakan mengemukakan ide dan buah pikiran serta menerima berbagai kritik dan saran, sehingga apa yang disimpulkan menjadi kesimpulan bersama. Pentingnya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran masa kini lebih didasarkan pada berbagai kelebihan yang dimiliki, dibandingkan dengan pendekatan
19
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pembelajaran konvensional. Berikut ini merupakan perbandingan yang membedakan antara kedua pendekatan. No 1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11
Pendekatan CTL Siswa terlibat aktif dlm proses pembelajaran (student center ) Siswa belajar bersama dalam kerja dan diskusi kelompok Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata atau didasarkan pada masalah Perubahan perilaku siswa dibangun atas kesadaran sendiri Memperoleh keterampilan yang dikembangkan dari pemahaman Penghargaan yang diberikan berupa kepuasan diri Siswa tidak berprilaku jelek karena dia sadar dan merugikan Bahasa yang disampaikan komunikatif Belajar dari apa yang sudah dikenal siswa Adanya kemampuan proses dalam pembelajaran Pengetahuan yang ada dibangun dan dikembangkan sendiri
12
Didasarkan pada pengalaman siswa
13
Hasil belajar diukur berdasarkan proses Pembelajaran tidak terbatas pada ruang kelas Adanya upaya pemecahan masalah
14 15
Pendekatan Konvensional Siswa hanya menerima informasi secara pasif (teacher center ) Siswa belajar secara individual Pembelajaran telalu abstrak dan teoritis Perubahan perilaku siswa dibangun atas kebiasaan Memperoleh keterampilan yang dikembangkan atas dasar latihan Penghargaan diberikan dalam bentuk angka/nilai rapor Siswa tidak berprilaku jelek karena dia takut hukuman Bahasa yg disampaikan terkesan satu arah (struktural) Belajar dari sesuatu yang asing atau tidak dikenal siswa Hanya berlaku pasif menerima imformasi Pengetahuan didasarkan pada penangkapan serangkaian fakta, konsep atau hukum diluar dirinya Tidak didasarkan pada pengalaman siswa Hasil belajar hanya diukur dari hasil tes Pembelajaran hanya terjadi di ruang kelas Tidak ada upaya pemecahan masalah
Salah satu perbedaan antara pendekatan CTL dengan konvensional adalah Mahasiswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran (Student Center) Konsep pembelajaran aktif sudah dikembangkan oleh Confusius dengan mengungkapkan teori sebagai berikut : Apa yang saya dengar saya lupa
20
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Apa yang saya lihat saya ingat Apa yang saya kerjakan saya paham Selanjutnya
dalam
buku
Active
Learning
dari
Mel
Silberman
mengembangkan pernyataan Confusius menjadi paham belajar aktif sebagai berikut: Apa yang saya dengar saya lupa Apa yang saya lihat saya ingat sedikit Apa yang saya dengar, lihat dan diskusikan saya mulai mengerti Apa yang saya lihat, dengar, diskusikan dan kerjakan saya dapat pengetahuan dan ketrampilan Apa yang saya ajarkan saya kuasai. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk melibatkan mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran adalah dengan menugaskan mahasiswa mencari permasalahan yang ada di masyarakat (lingkungan) yang ada kaitannya dengan materi pembelajaran. Dalam mata kuliah Pembangunan Masyarakat Desa materinya hampir semuanya menyangkut kehidupan nyata dalam masyarakat desa. Dengan pendekatan CTL Mahasiswa diberikan tugas untuk mencari potensi-potensi apa yang bisa dikembangkan dan industri apa yang ada di suatu desa berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki. Untuk lebih meyakinkan mahasiswa diharapkan membuat kalkulasi (perhitungan) antara pendapatan yang diterima (Revenue) dengan pembiayaan (Cost) yang dikeluarkan untuk suatu usaha. Adapun langkah pembelajaran dengan pendekatan CTL pada mata kuliah: Pembangunan Masyarakat Desa adalah sebagai berikut; 1.
Penyampaian materi sesuai dengan tuntutan silabus
2.
Pembagian kelompok yang beranggotakan 3 – 4 orang
3.
Melakukan penelitian lapangan, sesuai dengan tema/materi
4.
Menyususun laporan hasil penelitian
5.
Mempresentasikan hasil penelitian yang dilengkapi dengan Tanya jawab
6.
Simpulan dan solusi yang ditawarkan.
21
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Judul penelitian yang dipresentasikan oleh mahasiswa dengan alokasi waktu penyampaian 15 menit dilanjutkan dengan tanya jawab 25 menit dan merumuskan simpulan 10 menit. Penelitian yang diangkat oleh mahasiswa meliputi judul; 1.
Manfaat Usaha Water Rafting Bagi Masyarakat Desa Bongkasa Badung
2.
Budidaya Asparagus dan Pare Putih di Desa Pelaga Kabupaten Badung
3.
Pengelolaan Air Panas di Desa Penatahan Merupakan Salah Satu Potensi Pengembangan Pariwisata di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan
4.
Peternakan
Babi
Sebagai
Salah
Satu
Alternatif
Meningkatkan
Perekonomian Desa Pedungan 5.
Pengembangan Objek Pariwisata Melalui Agrowisata Perkebunan Salak di Desa Sebetan Kabupaten Karangasem
6.
Pembudidayaan Rumput Laut di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan Mampu Membuka Kesempatan Kerja
7.
Potensi Desa Mas Sebagai Daerah Pengerajin Patung
8.
Usaha Produksi Coklat Di Desa Batubulan Kabupaten Gianyar
9.
Usaha Pengerajin Gamelan (Gong) Mampu Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung
10. Pengembangan Garam Rakyat Di Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang 11. Potensi Air Pembejian Mampu Meningkatkan Pendapatan Desa Adat di Desa Baha Badung 12. Produksi Dodol Nangka di Desa Jasri Kabupaten Karangasem 13. Hutan Bakau (Mangrove) Merupakan Salah Satu Taman Wisata Alam di Desa Pemogan 14. Produksi Genteng dan Keramik Mampu Meningkatkan Perekonomian Di Desa Pejaten dan Nyitdah Kabupaten Tabanan
22
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 15. Industri Kerajinan Bambu di Desa Sulahan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli Dengan pengajaran yang menitik beratkan pada pengalaman ini dapat mengarahkan mahasiswa ke dalam eksplorasi yang alami dan investigasi langsung ke dalam suatu situasi nyata. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk terlibat kegitan belajar secara aktif dengan personalisasi pengajaran berdasarkan pengalaman memberikan kepada mahasiswa seperangkat atau serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya. Berdasarkan pengalaman untuk mengadakan pembahasan berbagai permasalahan di masyarakat diharapkan jiwa entrepreneur tumbuh dan berkembang, hal ini sejalan dengan pendapat Thomas W Zimerte mengatakan kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari, sebagai langkah strategis mengembangkan jiwa kewirausahaan adalah melalui pendidikan dan pelatihan.
III. PENUTUP Melalui pendekatan CTL dalam mata kuliah pembangunan masyarakat desa, mahasiswa diajak belajar melalui pengalaman langsung bukan hanya menghafal, karena CTL adalah konsepsi pembelajaran yang menghubungkan materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata. CTL telah mampu menggugah motivasi dan meningkatkan aktivitas melalui berbagai diskusi dan yang bermuara pada berbagai permasalahan di lapangan. Hal ini diharapkan akan mendorong jiwa kewiraswastaan bagi mahasiswa, sehingga pada gilirannya setelah tamat bukan saja menambah antrean pencari kerja tetapi mampu ikut menciptakan berbagai peluang untuk menciptakan kesempatan kerja di masyarakat. Sehingga secara otomatis ikut berperan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
23
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 DAFTAR RUJUKAN Amirullah Imam Harjanto, 2005. Pengantar Bisnis, Yogyakarta, Graha Ilmu. Aqib, Zainal, 2002. Profesional Guru Dalam Pembelajaran, Jakarta, Insan Cendekia. Beratha, I Nyoman, Desa Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Jakarta, Ghalia Indonesia. Boeree, C, George, 2008. Metode Pembelajaran dan Pengajaran, Yogyakarta, A M. Depdiknas, 2003. Pendekatan Konstektual (Contextual Theaching and Learning), Jakarta. ________, 2005. Ilmu Pengetahuan Sosial: Materi Pelatihan Terintegrasi, Jakarta. Hamalik, Oemar, 2009. Proses Belajar Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara. Lia Amalia, 2007. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta, Graha Ilmu. Meredithg, Geoffrey, 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek, Jakarta, Pustaka Binaman Presindo Muchith, Soekhan, M, 2008. Pembelajaran Kontekstual, Semarang, Rasail. Nurhadi Dan Senduk, A.G, 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And Learning/CTL). Dan Penerapan dalam KBK, Malang, Universitas Negeri Malang. Sagala, H. Syaiful, 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, CV Alfabeta. Sanusi, Bachrawi, 2004. Pengantar Ekonomi Pembangunan, Jakarta, Rineka Cipta. Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta, PT Renika Cipta. Sobry Sutikno, M. 2006. Pendidikan Sekarang Dan Masa Depan, Mataram, NTP Press. Udin S Winataputra, 2007. Materi dan Pembelajaran IPS SD, Jakarta, Universitas Terbuka.
24
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMAIN DRAMA SISWA KELAS XI IPA2 SMA NEGERI 1 SUKAWATI GIANYAR TAHUN PELAJARAN 2010/2011 Oleh Ketut Yarsama IKIP PGRI BALI
ABSTRACT During this time, teachers apply lecture and question and answer method in teaching drama appreciation. The result, the ability to play drama is still low. Therefore, teachers implementing cooperative method jigsaw type to improve the ability to play drama. The purpose of this study is to improve students' ability to play drama the students of class XI science 2 SMA Negeri 1 Sukawati with the application of Cooperative Learning jigsaw type. The design of this implementation uses a class action research. The research was planned two cycles with the stages of planning, implementation and reflection observations. Data collected by testing and observation method. From the results of data analysis found that the application of the type of jigsaw cooperative learning can enhance students' ability to play drama in class XI IPA 2 SMA N 1 Sukawati Academic Year 2010/2011.
Keywords: Jigsaw Type Cooperative To Play Drama
25
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Pembelajaran koperatif yang diterapkan dalam proses pembelajaran sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, melalui belajar berkelompok siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, dan tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih karena kerja kelompok adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Data tentang kondisi siswa yang kurang aktif dan bekerja sama yang penulis paparkan di atas terlihat pula dari sedikitnya siswa yang memberikan respon (pertanyaan, tanggapan, komentar, dan sejenisnya). Guru selama proses pembelajaraan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Lebih lanjut penulis uraikan, di kelas XI IPA 2 hanya kurang lebih 4 orang (+ 10%) anggota kelas yang memberikan respon dalam proses pembelajaran. Di samping interaksi dalam proses pembelajaran kadarnya relatif rendah, prestasi belajar yang dicapai siswa juga rendah. Interaksi yang terjadi hanyalah antara guru dengan siswa, sehingga situasi dan kondisi kelas kurang menyenangkan. Dengan situasi dan kondisi kelas yang penulis temukan di atas berdampak negatif pada prestasi belajarnya. Berdasarkan observasi penulis pada catatan nilai siswa kelas XI IPA 2 ternyata prestasi belajar bahasa Indonesia khususnya pada substansi menerpkan drama relatif rendah (hanya mencapai nilai rata-rata sebesar 65). Tentunya nilai rata-rata yang diperoleh siswa tersebut belum memenuhi kriteria tuntas seperti yang diterapkan oleh Kurikulum yaitu 70. Berdasarkan data-data empiris yang penulis temukan, maka penulis berpendapat bahwa di dalam proses belajar -mengajar siswa perlu diberikan kesempatan bekerja sama dalam kelompok. Dengan kerjasama yang baik 26
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dalam kelompok akan menumbuhkan gairah dan motivasi belajar siswa dan pada akhirnya prestasinya juga meningkat. Untuk memperbaiki atau meningkatkan kemampuan bermain drama siswa kelas XI IPA 2 Sekolah menengah Atas Negeri 1 Sukawati sehubungan dengan fenomena-fenomena yang penulis uraikan di atas, menurut penulis pembelajaran kooperatif dengan teknik Jigsaw merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan. Di dalam pembelajaran kooperatif dengan teknik Jigsaw, siswa dapat bekerjasama, saling menisi antara individu satu dengan yang lain dalam upaya meningkatkan prestasi belajarnya. Kooperatif jigsaw juga memiliki kelebihan yang dilakoni oleh Suyatno (2009 : 53-54). (1) meningkatkan pemahaman siswa secara bermakna dalam permainan drama, (2) meningkatkan pemahaman siswa secara bermakna dalam bermain drama, (3) meningkatkan pemahaman siswa tentang terori drama, (4) meningkatkan pemahaman siswa tentang apresiasi sastra. Berdasarkan latar belakang di atas maka dapatlah dirumuskan masalah penelitian itu yaitu apakah penerapan pembelajaran kooperatif dengan Tipe Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan bermain drama siswa Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar tahun pelajaran 2010/2011 ? Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan Tipe Jigsaw dalam meningkatkan kemampuan bermain drama siswa Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar ta hun pelajaran 2010/2011. Kajian Pustaka Antariasih (2002) menelit i tentang “Kemampuan Bermain Peran pada Siswa Kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri Blahbatuh Tahun Pelajaran 2002/2003”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa siswa mampu bermain peran karena nilai rata-rata kelasnya sebesar 76. Sehubungan dengan
27
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 penelitian tersebut penelitian ini ada hubungannya tetapi berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian ini meneliti kemampuan siswa pada tataran kemampuan bermain drama melalui penerapan pembelajaran kooperatif dengan tipe jigsaw. Kemampuan bermain drama merupakan tataran kemampuan pada ranah yang lebih dalam dibandingkan dengan penelitian ini. Widiantari
(2007)
meneliti
tentang
“Kemampuan
Menyusun
Naskah Drama pada siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar Tahun pelajaran 2007/2008”. Hasil Penelit iannya menunjukkan bahwa siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Ngeri di Denpasar Tahun Pelajaran 2007/2008 mampu menyusun
naskah
drama.
Penelitian
tersebut
menitikberatkan
pada
penyusunan naskah mampu menyusun mesti mampu bermain, sehingga memerlukan waktu yang relatif lama. Penelitian ini juga mencakup tentang drama tetapi sub materinya tentang bermain drama, sehingga berimbang antara teori dan praktek. Berdasarkan tinjauan terhadap kedua penelitian tersebut ternyata ada persamaan dengan penelitian ini yaitu sama -sama meneliti tentang drama persamaan dengan penelitian ini yaitu sama -sama meneliti tentang drama perbedaannya terletak fokus variabel yang diteliti. Penelititian ioni difokuskan
pada
kemampuan
bermain
drama
dengan
pembelajaran
kooperatif dengan teknik jigsaw. Dengan demikian, dapat dikatakan penelitian ini masih layah untuk diteliti.
Landasan Teori Sumardjo dan Saini (1986 : IX) apresiasi adalah mencintai dan menikmati sastra. Santosa (2004 : 8.14-1.15) menyatakan pengertian apresiasi antara lain : (arti pertama) apresiasi bertalian dengan kesadaran masyarakat terhadap nilai seni dan budaya. Semua nilai yang terkandung
28
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dalam karya seni dan budaya membimbing manusia ke arah kehidupan yang beradab, lebih baik, dan manusiawai; (arti kedua) apresiasi bertalian dengan penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu hal/masalah, dengan menghargai sesuatu hal/masalah berarti memberi perhatian, penghormatan, menjunjung tinggi, dan mengindahkan hal yang diamanatkan kalau perlu melaksanakan sesuatu itu; (arti ketiga) apresiasi bertalian dengan dunia ekonomi. Santosa (2004 : 8.28) menyatakan manfaat apresiasi sastra adalah untuk memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika karya sastra itu dibaca atau ditonton. Juga mendidik, melatih kepekaan batin atau sosial serta menambah wawasan dan mengembangkan kepribadian yang baik pada pembaca atau penonton. Meurut Kurnioa (1998:92), drama termasuk ragam sastra karena ceritanya (lakon drama) bersifat imajinatif dalam bentuk naskah. Seagai suatu seni, drama merupakan seni yang kompleks, karena terkait dan ditunjang oleh seni-seni yang lain, diantaranya seni musik, seni arsitektur (tata panggung), seni dekorasi, seni hias (tata wajah dan tata busana), tata sinar, dan seni tari. Rahmanto (1998 : 89) menyatakan, pengajaran drama diperlukan karena drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikkan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari masyarakat. Bentuk ini didukung oleh tradisi sejak jaman dulu yang melekat erat pada budaya masyarakat setempat. Di samping mudah disesuaikan untuk dimainkan dan dinikmati masyarakat segala umur, drama sangat tinggi nilai pendidikannya. Karena drama merupakan peragaan tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat disusun dan dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti baik oleh penulis maupun para pemainnya.
29
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Johnson (2007 : 296) menyatakan, seperti halnya pembuatan proyek dan portofolio, pertunjukan drama juga bisa dipakai sebagai alat ajar
sekaligus
alat
penilaian.
Dalam
pertunjukan,
para
siswa
mempertontonkan dihadapan khalayak bahwa mereka telah menguasai tujuan belajar tertentu. Tarigan (1990 : 74-78) menyatakan agar dapat mengevaluasi suatu lakon, maka terlebih dahulu harus dikenal unsur-unsur drama yang baik. Unsur-unsur drama antara lain: (1) alur, (2) penokohan, (3) dialog, dan (4) aneka sarana kesastraan dan kedramaan. Tokoh atau lakon sangat berperan penting dalam kesuksesan pergelaran suatu drama. Dalam suatu pergelaran drama, biasanya ada beberapa jenis tokoh. Beberapa jenis pelaku yang biasa dipergunakan dalam teater/pergelaran drama diantaranya : (1) The Foil: tokoh yang kontras dengan tokoh lainnya dan berfungsi memerankan suatu bagian penting dalam lakon tersebut, tetapi secara insidental bertindak sebagai seorang pembantu. (2) the Type Character: tokoh yang dapat berperan dengan tepat dan tangkas. Kemampuan tokoh tipeini serba bisa. Dapatlah diketahui bahwa
keberhasilan
suatu pentas drama
bergantung pada kemampuan tokoh dalam berperan atau kemampuannya dalam menunjukkan karakter tokoh (Tarigan, 1990 : 76) Dalam setiap lakon, dialog itu haruslah memenuhi dua hal, yaitu : (1) dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak. Maksudnya seorang dramawan haruslah dapat berbuat lebih banyak. Selain membuat dialognya menarik hati, dia harus membuatnya baik dan selalu wajar; (2) dialog haruslah baik dan bernilai tinggi. Yang dimaksud dengan baik dan bernilai tinggi di sini ialah dialog itu haruslah lebih terarah dan teratur daripada percakapan sehari-hari.
30
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Jadi, dialog merupakan pembicaraan antar pelaku. Dalam hal ini, diperlukan kemampuan berbicara yang relevan dengan tema (Tarigan, 1990 : 77) Berbagai sarana yang terdapat dalam bidang kesastraan da n kedramaan merupakan unsur yang amat pentingdan tarut pula menentukan keberhasilan suatu lakon. Beberapa unsur tersebut diantaranya : (1) Perulangan, (2) Gaya dan Atmosfer, (3) Simbolisme, (4) Empati dan Jarak Estetik, secara artistik, (Tarigan, 1990 : 78) Sehubungan dengan apresiasi drama, perlu diketahui tentang naskah dan lakon. Setiawan (1988 : 5.33) menyatakan naskah berbeda dengan lakon. Naskah merupakan urutan cerita sebelum dipentaskan. Urutan itu dalam drama modern berbentuk tulisan sedangkan dala m drama tradisional biasanya berbentuk lisan (ludruk, ketoprak, lenong, dan lain lain). Lakon adalah cerita dari naskah yang terlihat saat dipentaskan. Dengan begitu, meskipun naskah drama yang sama dipentaskan dalam waktu yang berlainan atau oleh grup drama yang berbeda, lakon yang muncul akan berbeda. Perbedaan itu lebih ditentukan oleh imajinasi sang sutradara, gaya para aktor, tatapentas, tatarias, dan sebagainya. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengupayakan seorang siswa mampu mengajarkan kepada peserta lain. Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan, ia menjadi nara sumber bagi peserta lainnya. Pengorganisasian pembelajaran dicirikan siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif untuk bekerja sama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Mereka akan berbagi penghargaan bila mereka berhasil sebagai kelompok. Muslimin Ibrahim dkk (2006 : 6) dalam pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur antara lain: (1), Siswa dalam kelompoknya haruslah
31
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 beranggapan bahwa mereka hidup sepenanggungan bersama; (2), siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri; (3), siswa haruslah melihat bahwa semua anggota dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama; (4), siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya; (5), siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok; (6), siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama
selama
proses
belajar;
dan
(7),
siswa
akan
diminta
mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Tujuan
pembelajaran
kooperatif
berbeda
dengan
kelompok
konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situa si di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, dkk. (2000), yaitu: (1) hasil belajar akademik, (2) penerimaan terhadap keragaman, dan (3) pengembangan ketrampilan sosial. Pada pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama. Selanjutnya langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga dapat dilihat pada Tabel 01. Berikut ini.
32
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 01. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Fase ke 1
Indikator
Aktivitas/Kegiatan guru
Menyampaikan tujuan dan Memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demontrasi atau lewat bahan bacaan Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Guru membimbing kelompokkelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok.
2
Menyajikan informasi
3
Mengorganisasikan siswa kedalam kelompokkelompok belajar
4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
5
Evaluasi
6
Memberikan penghargaan
Kerangka Berpikir Ketrampilan bermain drama harus dikuasai siswa kelas XI SMA (sesuai dengan KTSP tahun 2006). Bermain drama dapat meningkatkan mental, moral dan wawasan sastra di kalangan siswa. Dalam bermain drama diperlukan kelompok masing-masing anggota memegang peran sesuai dengan keahlian/kesanggupannya. Anggota dalam kelo mpok saling bekerja sama positif sehingga terwujudlah kesan yang benar -benar dramatis dalam permainan. Karena kemampuan siswa dalam bermain drama belum tuntas maka pemanfaatan metode kooperatif tipe jigsaw dipandang layak untuk diterapkan.
Metode
kooperatif
tipe
jigsaw
dilaksanakan
secara
berkelompok dan masing-masing anggota bekerja sama positif, saling membantu di dalamnya. 33
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Hipotesis Tindakan Berdasarkan bahasaan teoretik dapatlah dirumuskan hipotesis tindakan yang berbunyi “Pemanfaatan Pembelajaran Kooperatif dengan Tipe Jigsaw dapat Meningkatkan Kemampuan Bermain Drama Siswa Kelas XI IPA 2 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011”. METODE PENELITIAN Produser PTK Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati Gianyar pada siswa kelas XI IPA 2 beserta guru pengajar. Keduanya
mendapat
perhatian
yang
sama
karena
pada
dasarnya
pembelajaran merupakan suatu interaksi yang terjadi antara guru dan siswa. Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dalam pelaksanaannya dirancang dalam n siklus penelitian, mengingat keterbatasan peneliti. Adapun hasil temuan nanti merupakan hasil penelitian yang perlu di bahas. Secara umum produser PTK dapat digambarkan sebagai berikut.
Refleksi Awal
Rencana Tindakan I
Rencana Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan II
Observasi / Evaluasi
Observasi / Evaluasi
Analisis + Refleksi
Analisi + Refleksi
Memutuskan Tindakan Terbaik
34
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Tes adalah suatu cara untuk mencari data dengan memberikan tugas pada seluruh responden yang nantinya diperoleh skor. Skor tersebut dapat dibandingkan dengan skor standar. Tes yang diberikan berupa tes lisan (tes tugas bermain peran). Instrumen yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa bermain peran dalam penelitian ini berupa tes (tes lisan bermain peran). Tes lisan yang digunakan dalam menilai kemampu an siswa bermain peran sudah disusun berdasarkan materi yang ada dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/ materi yang disajikan dalam kelas sehingga tes tersebut sudah memiliki raliditas isi. Peningkatan
hasil
tes
belajar
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan rumus: P=
x 2 x1 x 100% x1
(Hadi, 2008 : 29) Untuk mencapai peningkatan hasil belajar perindividu. Keterangan: P : persentase peningkatan X 2 : skor setelah tindakan X 1 : skor sebelum tindakan Hasil belajar siswa tersebut dianalis is dan dicari nilai rata-rata kelasnya. Dalam menganalisis data digunakan uji perbedaan nilai rata -rata sebelum tindakan dengan setelah tindakan dengan rumus :
35
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
M=
ΣX X
(Hadi, 2008 : 29) Keterangan : M : skor rata-rata kelas ΣX : jumlah skor siswa X : jumlah siswa
Hasil Penelitian Pada bagian ini dikemukakan hasil penelitian dari siklus I dan siklus II. Semua subjek penelitian yang terdiri dari siswa kelas XI IPA 2 yang berjumlah 38 orang. Ternyata semua siswa memiliki da ta lengkap. Dipilihnya siswa kelas XI IPA 2 sebagai subjek penelit ian, karena berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru pengajar kelas XI IPA 2 dan Kepala Sekolah diperoleh informasi bahwa siswa kelas XI IPA 2 pada umumnya pasif dan rendah prestasi belajarnya dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bermain peran. Oleh karena itu peneliti cenderung untuk mengadakan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas XI IPA 2 yang terdiri dari 38 orang. Untuk menjawab masalah penelit ian ini diadakan dua siklu s. Dalam dua siklus itu, peneliti menyajikan dua kali pembelajaran bermain peran. Kedua siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Siklus I Dari langkah yang telah dilakukan pada siklus I diperoleh hasil sebagai berikut.
36
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 02 Rekapitulasi Skor Mentah dan Skor Standar Kemampuan Bermain Peran Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati Tahun Pelajaran 2010/2011 Pada Siklus I No
Nama Siswa
1
2
Skor Mentah 3
Skor Standar 4
1
Adeprima Adiluhur Made
75
80
2
Adi Putra I Made
70
70
3
Agus Oka Wirjaya I Gusti
60
60
4
Agus Purna Jaya I Gede
70
70
5
Agus Putra Wiratmaja I Made
80
80
6
Andi Aries Tenaya Kadek
70
70
7
Anggy Samantha Putra I Wayan
70
70
8
Asih Arini Ni Luh Gede
60
60
9
Bayu Sutrisna I Gusti Putu
60
60
10
Candra Dewi Ida Ayu
70
70
11
Candrawati Ni Made
65
70
12
Dessy Karolina Sari Ni Wayan
70
70
13
Dian Rosita Kadek
80
80
14
Dwi Candra Yadnya Sari Dewa Ayu
65
70
15
Dwi Hendrayana Surya I Made
70
70
16
Eka Candra Merta Sari Dewa Ayu
80
80
17
Eka Tirtayani Ni Putu
70
70
18
Hermadi Putra I Made
70
70
19
Indah Widyasari I Gusti Ayu
80
80
20
Indra Adi Saputra I Wayan
70
70
21
Irvan Ade Candra I Putu
80
80
22
Lavi Arini Ni Made
65
70
23
Mirah Sanjiwani I Gusti Ayu
70
70
24
Murnitha Sari Rahayu Putu
60
60
37
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 25
Pitri Widnyani I Gusti Ayu
65
70
26
Puranamawan Putra I Gede
75
80
27
Putra Wedantha Pande Made
70
70
28
Reni Wijayanti Ni Luh
65
70
29
Ria Safari Ni Kadek
70
70
30
Sarwan Hedi Peradnyana I Nyoman
60
60
31
Sintya Pramestiana Dewi Ni Kadek
70
70
32
Sri Mahadewi Kadek Ayu
65
70
33
Sri Utami Putu
70
70
34
Suarningsih Ni Luh
80
80
35
Suradnya Adi Brata Gede
70
70
36
Teja Dewanti Ni Putu
65
70
37
Wisnu Anugrah Pradana Made
60
60
38
Wisnu Shintaro Waraspati I.B
60
60
Jumlah
2625
2650
Rata-rata
69,08
69,26
Dari tabel di atas, diketahui nilai rata-rata siswa pada siklus I adalah 69,26.
Siklus II Hasil yang diperoleh dari langkah-langkah pelaksanaan siklus II dapat dilihat tabel 03 di bawah ini.
38
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 03 Rekapitulasi Skor Mentah dan Skor Standar Kemampuan Bermain Peran Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati Tahun Pelajaran 2010/2011 Pada Siklus II No
Nama Siswa
1
2
Skor Mentah 3
Skor Standar 4
1
Adeprima Adiluhur Made
85
90
2
Adi Putra I Made
75
80
3
Agus Oka Wirjaya I Gusti
80
80
4
Agus Purna Jaya I Gede
75
80
5
Agus Putra Wiratmaja I Made
90
90
6
Andi Aries Tenaya Kadek
75
80
7
Anggy Samantha Putra I Wayan
75
80
8
Asih Arini Ni Luh Gede
75
80
9
Bayu Sutrisna I Gusti Putu
75
80
10
Candra Dewi Ida Ayu
75
80
11
Candrawati Ni Made
85
90
12
Dessy Karolina Sari Ni Wayan
75
80
13
Dian Rosita Kadek
80
80
14
Dwi Candra Yadnya Sari Dewa Ayu
75
80
15
Dwi Hendrayana Surya I Made
75
80
16
Eka Candra Merta Sari Dewa Ayu
90
90
17
Eka Tirtayani Ni Putu
75
80
18
Hermadi Putra I Made
75
90
19
Indah Widyasari I Gusti Ayu
85
80
20
Indra Adi Saputra I Wayan
75
80
21
Irvan Ade Candra I Putu
75
80
22
Lavi Arini Ni Made
85
90
23
Mirah Sanjiwani I Gusti Ayu
70
70
39
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 24
Murnitha Sari Rahayu Putu
75
80
25
Pitri Widnyani I Gusti Ayu
90
90
26
Puranamawan Putra I Gede
75
80
27
Putra Wedantha Pande Made
75
80
28
Reni Wijayanti Ni Luh
75
80
29
Ria Safari Ni Kadek
80
80
30
Sarwan Hedi Peradnyana I Nyoman
75
80
31
Sintya Pramestiana Dewi Ni Kadek
75
80
32
Sri Mahadewi Kadek Ayu
75
80
33
Sri Utami Putu
75
80
34
Suarningsih Ni Luh
75
80
35
Suradnya Adi Brata Gede
75
80
36
Teja Dewanti Ni Putu
75
80
37
Wisnu Anugrah Pradana Made
75
80
38
Wisnu Shintaro Waraspati I.B
85
90
Jumlah
2955
3110
Rata-rata
77,76
81,84
Dari tabel di atas, diketahui nilai rata-rata siswa pada siklus II adalah 81,84.
Pembahasan Hasil Penelitian Untuk mengetahui apakah pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw dapat meningkatkan prestasi bermain drama siswa Kelas XI SMA Negeri
1
Sukawati
tahun
pelajaran
kuantitatif dan kuanlitatif.
40
2 010/2011
digunakan
analisis
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Secara kuantitatif, langkah pertama dilakukan dengan mencari nilai rata-rata siswa untuk masing-masing siklus dengan menggunakan rumus: Μ=
X N
Keterangan: M = Nilai rata-rata siswa; X = Jumlah nilai siswa N = Jumlah siswa. Dengan demikian, pada siklus I nilai rata-rata siswa adalah: M=
2670
= 70,26
40 Selanjutnya pada siklus II, nilai rata-rata siswa adalah: M=
3110
= 81,84
38 Dari data nilai rata-rata di atas dapat ditentukan persentase peningkatan prestasi siswa dengan menggunakan rumus : P=
1
= x t x 100%
X Keterangan: P
= persentase peningkatan/penurunan prestasi siswa;
X
= nilai rata-rata siswa siklus I;
T
= selisih nilai rata-rata siswa siklus I dan siklus II. Dari perumusan di atas, dapat diketahui bahwa peningkatan
prestasi siswa antara siklus I dan II dalam as pek bermain drama dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebesar: P=
1
x 11,58 x 100% = 16,48%
70,26 Analisis secara kuanlitatif dilakukan dengan membahas sejumlah temuan yang dianggap pentong sebagai berikut. (1) pe mbelajaran apresiasi 41
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 drama yang dilakukan secara berkelompok sangat membantu siswa dalam pengembangan sikap sosial, kerjasama, sehingga permainan peran menjadi lebih baik dan dapat saling membantu siswa dalam berperan yang terkait dengan watak tokoh. (2) t anya jawab yang dilakukan secara berkelompok dapat memberikan stimulasi kepada siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran, lebih-lebih diserai dengan pujian.
Simpulan Berdasarkan hasil observasi nilai tugas dan respon siswa setelah pembelajaran bermain drama melalui pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa mengalami peningkatan dari rata-rata 70,26 menjadi 81,84 pada siklus II. Ini menggambarkan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa yang bermuara pada hasil belajar. Respon siswa sangat positif terhadap pembelajaran ini, karena suasana belajar menyenangkan, siswa menjadi lebih tertarik terhadap proses pembelajaran.
Saran-saran Guru-guru di SMA Negeri 1 Sukawati agar memanfaatkan pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw ini sebagai alternatif untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Penerapan pembelajaran kooperatif dengan tipe jigsaw ini tidak hanya untuk pembelajarana bermain peran, tetapi juga dapat diterapkan untuk materi pembelajaran yang lainnya. Siswa disarankan untuk latihan bermain secara intensif sehingga ketrampila atau kemampuannya bermain peran dapat ditingkatkan dan dikembangkan.
42
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 DAFTAR RUJUKAN Arends, RJ. 1997. Classroom Instruction. New York : MC Grand. Antariasih 2002. “Kemampuan Bermain Peran Pada Siswa Kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Blahbatuh Tahun Pelajaran 2002/2003. Skripsi Denpasar Mahasaraswati. Ibrahim. 2002. Contextual Teaching and Learning. Bandung : Mizon Hasi, Sutrisno.2008. Metodologi Research. Bandung : Angkasa Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Johnson. 2007. Contextual Teaching and Learning. Bandung : Miszon Media Kurnia, Sayuti. 1998. Teori Sastra. Jakarta : Depdikbud. Nurkencana dan Sumartrana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Nur, Mohammad dan Wikandari, Retno.2004. pengajaran Berpusa Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabay : Universitas Negeri Surabaya. Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius Santosa. 2004. Materi dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta : Penerbitan Universitas Terbuka. Setiawan, Wawan. 1998. Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta : Depdiknas. Slavin. 1997. Cooperatif learning. Massachusetts : A.Simon Sumajaya. 2008. “Penggunaan Metode Demonstrasi Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas XI SMA Negeri 6 Denpasar Dalam Bermain Drama Tahun Pelajaran 2008/2009. Skripsi Denpasar Mahasaraswat i. Sumarjo, Jacob. 1986. Masyarakat Sastra Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbagasa. Bandung : Ganesa. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbagasa. Bandung : Ganesa.
43
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tarigan, Henry Guntur. 1990. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menyimak Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa. Widiantari. 2007. “Kemampuan Menyusun Naskah Drama Pada Siswa Kelas IX SMPN di Denpasar Tahun Pelajaran 2007/2008. Skripsi Denpasar. Mahasaraswati.
44
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 THE INFLUENCE OF RECTOR LEADERSHIP TO MOTIVATE LECTURER ACHIEVEMENT By: I Wayan Citrawan Nyoman Rajeg Mulyawan ABSTRACT The aim of this research is to know abo ut the influence of rector leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali. The approach that used in this research is empiric approach, because the symptom that examine already exists naturally is rector leadership to motivate lecturer achievement. This survey is held at IKIP PGRI Bali. The subjects of the research amount to 73 people based by Krejcie table with proportional random sampling that meant the appointment of the sample to give attention to the balance amount of the lecturer every faculty in addition the election of all the lecturers have same chance to be samples. This technique is choosed because the taking of samples consider lecturer amount of each faculty, remembering the lecturer amount of each faculty is not the same. This meant to be the characteristic of the population optimally represented if not, the conclution error is getting bigger. The sample withdrawal is use draw technique. In collecting data questioner is used to get rector leadership and lecturer achievement mot ivation. From data analyzis that use signification rank 5 % and N = 73 the value of rejection that use zero hypothesis in product moment value table is 0,227, if compare the result of the research is 0,312, the result of the research is bigger then the value of rejection, so the zero hypothesis is denied and this research is significant. The denial of the zero hypotesis says that there is no influence between rector leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali, the alternative hypothesis that says in this research is acceptable. So the conclution is that there is significant influence between rector leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali.
1.
LATAR BELAKANG Sistem pendidikan Nasional Indonesia merupakan sub-sistem dari
pembangunan nasional. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mempunyai peran utama dalam mengelola pengembangan dan pembinaan sumberdaya manusia sebagai kekuatan sentral dalam proses pembangunan. Melalui
45
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pendidikan manusia Indonesia diharapkan melahir kan individu yang mempunyai
kemampuan
dan
keterampilan
untuk
secara
mandiri
meningkatkan taraf hidup lahir batin dan meningkatkan peranannya sebagai pribadi, dosen, warga masyarakat, warga Negara, dan sebagai mahluk Tuhan. Pembicaraan tentang pendidikan tidak terlepas dari sudut pandang yang digunakan. Pendekatan sistem merupakan suatu cara memandang pendidikan secara menyeluruh dan sistemik. Pendidikan sebagai suatu sistem merupakan kesatuan yang utuh dengan bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain. Pendidikan dapat diartikan sebagai satu keseluruhan
karya
insan
yang
terbentuk
dari
bagian-bagian
yang
mempunyai hubungan fungsional dalam mencapai tujuan akhir. Melalui proses pendidikan diperoleh hasil pendidikan yang merupakan lulusan yang sudah terdidik yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan untuk masing -masing tingkat pendidikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan dan bermuara ke tujuan pendidikan nasional, yaitu membangun menusia Indonesia yang seutuhnya. Selanjutnya hasil pendidikan dikembalikan kepada lingkungan atau supra sistem. Di dalam lingkungannya, hasil pendidikan merupakan indicator
efektifitas
dan efisiensi
proses
pendidikan dalam sistem
pendidikan.Dari hasil pendidikan sistem pendidikan akan mendapatkan umpan balik yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses pendidikan. Universitas atau Institusi sebagai sub sistem pendidikan mengolah sumberdaya input (resources inputs) melalui proses pendidikan ( education process) menjadi output pendidikan (education outputs). Ketiga hal ini saling terkait dan saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pendidikan. Bahwa pengubahan input menjadi output tidak lepas dari upaya dan proses
46
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 saling mempengaruhi antara individu yang terlibat di dalamnya, s eperti dosen, pimpinan, para pegawai, serta sarana dan prasarana sangat menentukan dalam mewujudkan cita-citayang diinginkan. Pendidikan merupakan upaya sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan
bimbingan,
pengajaran
dan
atau
pelatihan
bagi
peranannya di masa yang akan dat ang. Artinya pendidikan mempunyai misi mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia secara utuh untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya, untuk mengemban tanggung
jawab
dalam
pembangunan
masyarakat
dan
ba ngsanya.
Pelaksanaan pendidikan ini diselenggarakan antara lain melalui jalur perguruan tinggi sampai universitas. Untuk melaksanakan misi pendidikan, diperlukan sistem dan program pendidikan yang bermutu, yang bisa dinilai dari proses dan hasilnya, yang tidak hanya dari sisi akademik tetapi mencakup segala aspek kepribadian peserta didik. Mutu pendidikan yang berupa prestasi belajar dalam bentuk keseluruhan kepribadian peserta didik itu sangat tergantung pada berbagai unsur secara bersama-sama, unsur itu paling sedikit mencakup program pendidikan, sarana dan prasarana, sistem penilaian, pengelola pendidikan, peserta didik dan pendidik sebagai pengajar. Dari uraian di atas, untuk jenjang pendidikan tinggi, salah satu faktor yang esensial untuk menunjang terc apainya tujuan pendidikan tinggi adalah dosen. Dosen mempunyai peran sentral di dalam proses belajar mengajar, karena dosen secara langsung berinteraksi dengan mahasiswa, dan menentukan tingkat keberhasilan mahasiswa. Kemampuan dosen untuk mengelola proses belajar mengajar dapat mendorong mengembangkan potensi yang dimiliki oleh mahasiswa. Oleh karena itu, perhatian pimpinan pada
peningkatan
kemampuan
dosen
terwujudnya peningkatan mutu pendidikan.
47
adalah
sangat
penting
demi
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Selanjutnya kesadaran dosen untuk menjungjung tinggi profesinya sendiri sangat penting bagi kelancaran pelaksanaan tugasnya. Dosen yang bangga terhadap profesinya akan dapat melaksanakan tugas dengan semangat dan disiplin tinggi untuk mewujudkan pendidikan di universitas. Usaha untuk mengelola sumberdaya manusia agar dosen dapat bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan universitas tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan pimpinan yang
mampu
menerapkan perilaku
kepemimpinan yang efektif , pengaturan serta menciptakan hubungan manusia yang baik. Seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya secara normatif
memahami
manajemen
kampus
sebagaimana
manajemen
organisasi lainnya yang memiliki masalah khas, seperti : masalah yang menyangkut pengelolaan pengajaran, pengelolaan mahasiswa, pengelolaan personalia, pengelolaan sarana dan prasarana, dan pengelolaan hubungan perguruan tinggi dengan masyarakat. Hal yang tidak kalah pentingnya terkait dengan tercapainya apa yang menjadi tujuan seseorang adalah aspek motivasi yang menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu terdiri dari 2 aspek, yaitu aspek subjektif dan objektif. Aspek subjektif merupakan kondisi yang berada dalam diri individu yang berwujud need berasal dari motif yang mendorong bekerja untuk mencapai kebutuhan. Sedangkan aspek objektif adalah aspe k yang berada diluar individu yang berwujud inisiatif atau tujuan (goal). Motivasi merupakan keadaan di dalam individu yang menggerakkan untuk elakukan sesuatu. Tanpa motivasi, maka tidak akan nada tujuan dan tingkah laku yang diorganisasikan oleh individu baik di tempat kerja maupun diluar tempat kerja. Berdasarkan paparan tersebut, permasalahan yang dikaji pada penelitian ini dan ingin memperoleh jawaban adalah apakah ada pengaruh kepemimpinan rektor terhadap motivasi berprestasi para dosen di IKIP PGRI Bali?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
48
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 mengetahui ada tidaknya pengaruh kepemimpinan rektor terhadap motivasi berprestasi para dosen di IKIP PGRI Bali. Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat untuk meningkatkan kinerja p ara dosen di IKIP PGRI Bali.
2. DESKRIPSI TEORETIS Motivasi Berprestasi Motivasi merupakan faktor penting di dalam memahami perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, seperti dalam kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi. Motivasi adalah fa ktor pemicu timbulnya perilaku manusia, dimana manusia memiliki kebutuhan -kebutuhan dan secara sadar ataupun tidak berusaha memenuhinya. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi keinginan atau kebutuhannya itu. Jadi perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan,
yaitu
dimotivasi
oleh
keinginan
untuk
mencapai
tujuan
tertentu.(Hersey dan Blanchard, 1988:18) Di dalam organisasi, pemahaman tentang motivasi adalah masalah yang tidak sederhana karena kebutuhan dan k einginan individu sebagai anggota organisasi tidak homogeny, tetapi sebagai acuan dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan sesuatu di dalam diri manusia yang memberi energi, aktivasi dan gerakan yang mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan (Koontz, dkk, 1982: 632) Dengan memahami pengertian motivasi serta mengetahui motivasi manusia lain maka kita dapat mengambil sikap yang sesuai. Motivasi bagi seorang anggota organisasi dapat dikatakan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke a rah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu memenuhi sesuatu kebutuhan individual (Robbins, 1995: 212) Motivasi yang ada di dalam diri manusia dapat diuraikan berdasarkan tiga pendekatan yaitu pendekatan perilaku, pendekatan
49
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 kognitif
dan
pendekatan
humanis.
Mereka
yang
menganut
paham
pendekatan perilaku mengatakan bahwa motivasi berawal dari situasi, kondisi dan objek yang menyenangkan, jika hal ini memberi kepuasan yang berkelanjutan maka akan menimbulkan tingkah laku yang siap untuk melakukan
sesuatu.
Kelompok
yang
menganut
faham
kongnitif
mempercayai bahwa yang mempengaruhi perilaku individu adalah proses pemikiran, karena itu penganut paham kongnitif memfokuskan pada bagaimana individu memproses informasi dan memberikan penafsiran untuk situasi khusus. Sedangkan kelompok humanis mengatakan bahwa manusia bertindak pada suatu lingkungan dan membuat pilihan mengenai apa yang dikerjakannya (Robbins, 1995: 360) Sebagai suatu konstruk yang memberi andil di dalam pembentukan perilaku manusia, motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dari dalam diri manusia, yang akan mempengaruhi cara bertindak seseorang, untuk memenuhi keinginannya atau mencapai tujuan tertentu. Pengertian serupa tentang motivasi, ialah kerelaan untuk berusaha secara sungguh-sungguh dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang disertai dengan kemampuan berusaha guna mencapai keinginan dan kepuasan beberapa individu dalam organisasi tersebut (Robbins, 1997: 38) Di samping itu di dalam pembahasan lebih luas faktor motivasi anggota organisasi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk mencapai tujuan organisasi dengan penekanan pada intensitas usaha dan pencapaian terhadap tujuan organisasi serta kepentingan individu dalam organisasi. Motivasi merupakan doro ngan di dalam diri manusia yang mengaktifkan, menggerakkan serta mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan, sebagai suatu konsep yang dimanfaatkan untuk menguraikan kekuatan -kekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku, dimana unsure utama untuk mengerti motivasi
50
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 adalah dengan memmahami hubungan antara kebutuhan, dorongan dan tujuan yang ada di alam diri manusia.(Luthans dalam Gunada, 2000: 23)
Kebutuhan Tak Terpuaskan
Ketegangan
Ketegangan Berkurang
Perilaku Pencarian
Dorongan
Kebutuhan dipuaskan
Dari gambar proses motivasi seperti di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan dan keinginan akan menyebabkan timbulnya keteganganketegangan di dalam diri manusia. Pada tahap selanjutnya dari keteganagn yang timbul akan merangsang timbulnya dorongan-dorongan di dalam diri, dimana doronga tersebut akan berperan dalam pembentukan perilaku manusia untuk menemukan formula terpenuhinya memungkinkan
kebutuhan tujuan
dan
mencapai tujuan, yang berarti
keinginan.
tercapai
akan
Perilaku
pencarian
menyebabkan
yang
pengurangan
ketegangan-ketegangan di dalam d iri, dan kalau tujuan tercapai berarti kebutuhan terpuaskan (Robbins, 1995: 213) Unit dasar dari perilaku manusia adalah aktivitas atau kegiatan, karena pada dasarnya perilaku manusia merupakan kumpulan dari kegiatan kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan. Pada waktu yang sama, bisa saja manusia melakukan lebih dari satu kegiatan, akan tetapi jika hal itu tidak dapat dikerjakan secara bersama -sama maka manusia harus memilih kegiatan mana yang akan dilakukannya terlebih dahulu. Di dalam proses pemilihan kegiatan ini pertimbangan manusia di dasarkan oleh motivasinya, karena itu motivasi dapat dikatakan sebagai sekumpulan faktor yang mendorong, menopang dan mengarahkan perilaku menuju
51
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pencapaian tujuan. Jika melihat proses ini maka motivasi dapat pula dikatakan
sebagai
suatu
dorongan
di
dalam
diri
individu
yang
menggerakkan individu untuk melakukan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu (Terry dan Franklin, 1985: 298) Motivasi dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal, tergantung dari mana suatu kegiatan dimulai. Motivasi internal adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan motivasi eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri manusia. Walaupun sebetulnya motivasi dibangun di atas motivasi internal(Hadiprojo, dan Handoko, 1986: 257). Kebutuhan dan keinginan yang ada di di dalam diri akan menimbulkan motivasi internal, menjadi sesuatu kekuatan yang mengarah perilaku, tetapi dalam kenyataan tidak semua motivasi internal menjadi suatu kekuatan yang dapat memuaskan kebutuhan, terkadang jika tujuan tidak tercapai maka terjadi mekanisme pertahanan diri pada manusia,
misalnya
ia
melakukan
rasionalisasi,
berkompromi,
mengundurkan diri, tetapi dapat pula menjadi regresi atau agresif. Teori Kebutuhan Manusia
yang
iperkenalkan oleh Maslow,
mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri (Maslow, 1970:35) Pertama adalah kebutuhan fisik (psysiological needs), yang merupakan kebutuhan manusia tingkat pertama yang paling bawah. Termasuk di dalam kebutuhan fisik ini adalah sandang, pangan, papan dan seks. Ke dua adalah kebutuhan akan rasa aman (safety and security needs), dimana yang termasuk di dalam kebutuhan ini adalah rasa aman di dalam diri, keselamatan diri, bebas dari ketakutan, bebas dari ancaman dan yang lainnya. Ketiga adalah kebutuhan akan sosialisasi yaitu kebutuhan untuk dicintai, dikasihi, diterima oleh teman dan lingkungan sosial.
52
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman bersama-sama dengan kebutuhan sosialisasi dogolongkan sebagai kebutuhan tingkat rendah. Sedangkan dua tingkatan selanjutnya digolongkan sebagai kebutuhan tingkat tinggi. Keempat adalah kebutuhan untuk dihargai ( esteem needs), dimana di dalam kebutuhan ini antara lain : kebutuhan untuk mendapat penghargaan, dihargai hasil kerjanya, rasa percaya diri. Kelima adalah kebutuhan mengaktualisasikan diri ( self actualization needs), merupakan kebutuhan tingkat tertinggi dimana termasuk dia ntaranya adalah kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan diri, mewujudkan eksistensi, ekspresi kreatif dan lain-lain (Maslow, 1970: 35-46) Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow harus dipenuhi secara berurutan, mulai dari kebutuhan paling rendah yaitu kebut uhan tingkat pertama. Manusia memerlukan kebutuhan yang lebih rendah untuk dapat dipuaskan pertama-tama sebelum menginjak pada upaya pemenuhan kebutuhan selanjutnya. Pada kondisi dimana kebutuhan lebih rendah belum terpuaskan maka kebutuhan dengan tingkat lebih tinggi akan terdesak ke belakang, demikian pula sebaliknya. McClelland yang dikutip oleh Harold Koontz dkk, menyebutkan di dalam teorinya bahwa kebutuhan manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kebutuhan untuk berkuasa ( need for power), kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation) dan kebutuhan untuk berprestasi ( need for achievement). (1) Manusia yang mempunyai keinginan berkuasa tinggi mempunyai keinginan berkuasa tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk menanamkan pengaruhnya dan me ngendalikan orang lain, dimana selalu mencari posisi untuk memimpin, penuh daya, pintar bicara, keras kepala, suka memerintah serta gembira jika berbicara di depan umum. Motivasi untuk berkuasa merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang lain, untuk mengubah situasi, yang akan menimbulkan dampak pada organisasi. (2) Manusia yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi
53
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 umumnya
senang
sosialisasi,
senang
dicintai
dan
tidak
menyukai
kesendirian, diasingkan oleh lingkungan sosial dan sebagainya. Manusia jenis ini menikmati rasa keakraban dan saling pengertian, slalu siap menghibur
dan
menolong
orang
yang
kesulitan
serta
menyenangi
persahabatan. Motivasi untuk berafiliasi merupakan dorongan untuk berhubungan dengan orang atas dasar sosial. (3) Manusia yang mempu nyai kebutuhan berprestasi tinggi mempunyai keinginan tinggi untuk sukses, dimana keinginan untuk sukses ini sama besar dengan ketakutannya untuk gagal. Manusia jenis ini menyukai tantangan, berani mengambil resiko, berani menghadapi kesulitan, sanggup mengambil alih tanggung jawab dalam tugas, tangkas, senang bekerja keras, serta cenderung menonjolkan diri (Koontz dkk dalam Gunada, 2000:28) Teori mengenai kebutuhan hidup manusia menurut Teori ERG dapat
dikelompokkan
menjadi
tiga,
yaitu
eksistensi
( existence),
keterhubungan (relatedness) dan pertumbuhan (growth). Maksud dari teori dari ketiga pengelompokan itu adalah : (1) Eksistensi adalah kebutuhan eksistensi untuk bertahan hidup merupakan kebutuhan fisik, misalnya makan, minum, sex dan kebutuhan fisik lainnya. (2) keterhubungan adalah kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia lain, sosialisasi, saling membutuhkan seperti dengan keluarga, sahabat, atasan, keanggotaan di dalam masyarakat. (3) Pertumbuhan adalah kebutuhan manusia untuk menjadi produktif dan kreatif misalnya diberdayakan di dalam potensi tertentu dan berkembang secara terus menerus. Teori dua faktor yang diperkenalkan oleh Herzberg membagi motivasi
manusia
menjadi
dua
kumpulan
yaitu
faktor
perawatan
(maintenance factor) dan faktor (motivational faktor). (1) Faktor perawatan yang bersifat ekstrinsik, dimana faktor-faktor perawatan ini jika tidak ada akan
lebih
menyebabkan
ketidakpuasan
dibandingkan
menyebabkan
kepuasan jika faktor itu ada. Termasuk di dalam lingkungan faktor -faktor
54
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 perawatan adalah kebijakan dan adsministrasi perusahaan, supervise, hubungan dengan supervisor, hubungan dengan rekan sekerja, hubungan dengan bawahan, gaji, keamanan kerja, kehidupan pribadi, kondisi kerja dan status. (2) Faktor motivasional yang bersifat intrinsik, merupakan faktor-faktor yang kehadirannya akan menyebabkan kepuasan kerja sekaligus memberikan motivasi jika ada. Termasuk di dalam faktor -faktor motivasional
adalah
pencapaian
prestasi,
penghargaan,
kemajuan,
pekerjaan sendiri, kemungkinan untuk maju dan t anggung jawab. Dari uraian teori mengenai motivasi di atas, maka yang dimaksud dengan motivasi berprestasi adalah suatu dorongan, upaya dan keinginan individu yang mengarahkan perilakunya untuk berprestasi dengan baik di dalam bekerja, yang mencakup aspek : bekerja dengan baik, memanfaatkan umpan balik, berusaha untuk mencapai tujuan, bekerja dengan tanggung jawab, berani bersaing, menikmati kesuksesan, kesediaaan menerima tugas serta takut akan kegagalan.
Kepemimpinan Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan (Davis dan Newsterm, 1985: 158) Kepemimpinan adalah sebuah bagian yang penting dari manajemen tetapi bukan merupakan keseluruhan dari manajemen itu sendiri. Pemimpin antara lain diwajibkan untuk merencanakan dan mengorganisasikan, tetapi peran utama pemimpin adalah mempengaruhi orang lain orang lain untuk berusaha mencapai tujuan dengan antusias. Hal ini berarti bahwa jika perencanaan mereka jelek, sehingga menyebabkan kelompoknya menuju pada arah yang salah. Gagasan mereka dapat menerima kelompoknya bergerak, mereka hanya tidak dapat bergerak menuju kearah yang dapat melayani tujuan organisasi (Davis dan Newsterm, 1985: 158)
55
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang anda inginkan untuk dikerjakan oleh mereka. Konsep demikian kelihatannya cukup sederhana pada permukaannya, tetapi pada kenyataannya seringkali kompleks. Dimana di dalam kepemimpinan hadir suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi tugas -tugas yang berhubungan dengan kegiatan anggota kelompok. Dari pengertian tersebut maka dapat diuraikan empat implikasi penting, yaitu (1) kepemimpinan melibatkan orang lain sebagai berikut, misalnya karyawan. Dengan keinginan mereka untuk menerima pengarahan da ri pimpinan, anggota kelompok membantu mendefinisikan status pimpinan dan membuat proses kepemimpinan memungkinkan; tnpa orang mengarahkan, semua kualitas kepemimpinan dari seorang manajer akan anyang tidak seimbang antara pemimpin dan anggota kelompok. Anggota kelompok bukan tanpa kekuatan; mereka dapat dan membentuk kegiatan dalam sejumlah cara. Selain
itu
pemimpin
biasanya
mempunyai
kekuatan
lebih.
(3)
kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perila ku-perilaku pengikut dalam sejumlah cara. Tentu saja, pemimpin telah mempengaruhi karyawan untuk membuat pengorbanan pribadi untuk kebaikan perusahaan. Kekuatan membawa pengaruh kita pada aspek keempat kepemimpinan. (4) aspek gabungan dari ketiganya dan mengakui bahwa kepemimpinan adalah tentang nilai-nilai (values). Ini adalah sebuah catatan berharga bahwa meskipun kepemimpinan adalah dihubungkan secara tinggi dan penting bagi manajemen, kepemimpinan dan manajemen bukanlah konsep yang sama (Freeman, dan Gilbert, 1995: 470) Kepemimpinan adalah proses seorang individu untuk memengaruhi anggota kelompok lain kea rah pencapaian tentang definisi tujuan kelompok atau organisasi. Catatan menurut definisi ini, kepemimpinan adalah terutama sebuah proses melibatkan pengaruh orang dimana seorang
56
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pemimpin mengubah kegiatan-kegiatan atau sikap-sikap dari beberapa anggota kelompok atau bawahan. Kepemimpinan atau memimpin ( leading) adalah mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang pimpinan inginkan mereka kerjakan (Mondy, dan Premeux, 1993: 332) Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Proses kepemimpinan melibatkan penggunaan kekuasaan untuk menentukan tujuan-tujuan kelompok atau organisasi, memotivasi anggota organisasi untuk bekerja kearah pencapaian tujuan tersebut, dan mempengaruhi dinamika kelompok dan budaya organisasi. Seorang pemimpin adalah seorang yang memajukan tujuan organisasi dengan mempengaruhi sikap dan kegiatan-kegiatan orang lain. Kepemimpinan dan motivasi bekerja bahu-membahu
seperti
karyawan
menarik
inspirasi
dari
pimpinan,
pemimpin tidak dipertimbangkan sebagai pemimpin apabila mereka tidak mampu memotivasi orang lain. Secara umum, kepemimpinan organisasi adalah sebuah proses terus menerus bukan sebuah peristiwa sekali, mempersiapkan tujuan akhir untuk kerja (performance).(L. Bovee, dkk, 1993:468) Telah
diuraikan
diatas
bahwa
kepemimpinan
adalah
proses
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu dalam keadaan tertentu. Disamping itu pengertian kepemimpinan yang dipesentasikan dalam buku ini juga menyatakan secara tidak langsung bahwa : (1) pimpinan mempunyai sebuah pengertian tentang arah ( a sense of direction), dan (2) keefektifan seseorang mencoba untuk mempengaruhi tergantung pada faktor-faktor situasi unik. Kepemimpinan secara sederhana adalah sebuah tipe tentang pengaruh, pengaruh seorang individu mendesak melalui sebuah kelompok. Kepemimpinan adalah perilaku seorang manajer menggunakan pengaruh sebuah kelompok. Dimana di dalam proses tersebut kepemimpinan
57
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 berusaha mempengaruhi kegiatan para pengikut melalui proses komunikasi dan kearah pencapaian beberapa tujuan. Pengertian ini secara tidak langsung
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
melibatkan
penggunaan
pegaruh dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Di samping itu di dalam definisi ini juga dinyatakan pentingnya proses komunikasi. Kejelasan dan ketetapan komunikasi mempengaruhi perilaku dan unjuk kerja pengikut. Elemen lainnya dari definisi mem fokuskan pada penyelesaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus dapat bertransaksi dengan individu, kelompok, dan tujuan-tujuan organisasi. Keefektifan pemimpin secara khas dipertimbangkan dalam arti tingkat penyelesaian satu atau kombinasi dari tujuan-tujuan tersebut. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi sebuah kelompok kea rah pencapaian tujuan. Sumber dari pengaruh dapat berasal dari formal, seperti kepemilikan dari tingkat manajerial dalam suatu organisasi (Robbins, 1996: 413) Kepemimpinan adalah sebuah proses mendorong, mengembangkan, dan bekerja dengan orang dalam suatu organisasi. Hal ini sebuah proses yang berorientasi pada manusia dan memfokuskan pada motivasi personal, hubungan manusia atau interaksi sosial, komunikasi antar personal, suasana
organisasi,
konflik
antar
personal,
pertumbuhan
dan
pengembangan personal, dan meningkatkan produktivitas faktor -faktor manusia secara umum. Kepemimpinan mengambil tempat dalam konteks sebuah organisasi dan oleh karena itu, harus diperhatikan dengan realisasi tujuan, menetapkan arah baru, penyerahan pelayanan kualitas pendidikan, implementasi perubahan esensial dan seterusnya, maupun kepuasan dan ketidakpuasan aktivitas personal dan hubungan manusia. Kesimpulan yang dibuat bahwa kepemimpinan adalah kompleks dan multi dimensi. Ada beberapa definisi satu dimensi kepemimpinan lain yang dapat menghasilkan salah persepsi tentang sifat dari proses dan kompetensi -
58
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 kompetensi yang diminta. Kepemimpinan adalah sebuah proses yang memfokuskan pada orang dan dapat diukur dengan dampaknya pada prilaku organisasi.
Termasuk
membantu
orang
dalam
sebuah
organisasi
memperoleh sebuah pengertian baru tentang arah dimana ada kekurangan atau tidak realistik, menciptakan jenis-jenis pola struktural yang akan meningkatkan produktivitas personal, memotivasi orang ke tingkat unjuk kerja lebih tinggi, dan seterusnya. Kepemmpinan adalah kompleks dan multi dimensi dalam karakter dan tak seorangpun dapat menghasilkan resep lompatan secara premature dan menggeneralisasi dari riset kepemimpinan. Kepemimpinan adalah ramuan yang kritis dalam keefektivan organisasi. Hal ini adalah sebuah proses antar personal yang kompleks untuk mempengaruhi perilaku (Rao, dan Surya P. Rao dalam Gunada, 2000: 60) Ada tiga teori kepemimpinan – teori ciri-ciri (trait theory), teori perilaku (behavioral theory), dan teori situasional (situasional theory), (Rao, dan Surya P Rao dalam Gunada, 2000: 60)
Pendekatan pertama,
memandang kepemimpinan sebagai sebuah konglemerasi dari sebuah susunan
ciri-ciri
kepribadian.
Tradisi
tertua
dalam
studi-studi
kepemimpinan telah dicari untuk dikelompokkan ke dalam ciri-ciri, atribut atau perbedaan tipe individu lainnya, yang menyusun pemimpin terpisah dari pengikutnya atau yang membedakan pemimpin yang efektif dari pemimpin yang tidak efektif. Teori ciri-ciri mencoba menggali sebuah prototype yang murni tentang kepribadian kepemimpinan. Pendekatan kedua, mempelajari kepemimpinan mencoba mengidentifikasi perilaku individu pemimpin yang berhubungan dengan kepemimpinan yang efekt if. Tentu saja, satu asumsi fundamental diletakkan pada teori ciri-ciri dan perilaku bahwa seorang individu yang memiliki ciri-ciri pantas atau mempertonton perilaku yang pantas akan muncul sebagai pemimpin dalam kelompok apapun ia berada. Berpikir dan ris et yang terbaru menyandarkan
59
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pendekatan ketiga terhadap sebuah perspektif situasional. Disini periset mengubah
perhatiannya
situasional
tertentu
yang
untuk
mengidentifikasikan
menentukan
faktor -faktor
bagaimana
sebuah
gaya
kepemimpinan khusus akan menjadi efektif. Kepemimpinan
sebagai
kemampuan
untuk
mempengaruhi
sekelompok orang untuk tercapainya tujuan tertentu. Dari pengertian kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tert entu maka dapat diketahui bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Sumber dari pengaruh di dalam kepemimpinan bisa formal, misalnya yang disediakan oleh pemilikan tingkat manajerial dalam suatu organisasi, seseorang menjadi pemimpin karena kedudukannya yang formal. Sumber kepemimpinan dapat pula berasal dari luar struktur formal, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi walaupun tidak berada dari struktur formal organisasi. Keberhasilan pemimpin tergantung pada perilaku, tindakan yang tepat dan keterampilan. Ada dua katagori utama perilaku kepemimpinan yaitu struktur inisiasi (iniating structure) dan konsiderasi (consideration). Struktur inisiasi mengacu pada perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara diri pemimpin sendiri dengan anggota kelompok kerja dan dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Sebaliknya konsiderasi mengacu pada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya. (Agus Darma, 1996: 153) Ditinjau
dari keterampilan pemimpin,
maka
ada tiga
keterampilan yang berbeda yaitu keterampilan teknis,
jenis
keterampilan
manusiawi dan keterampilan konseptual. (1) Keterampilan teknis ( technical skill) mengacu pada pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam salah
60
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 satu jenis proses atau teknik. Antara lain keterampilan yang dimiliki seorang juru ketik, insinyur, akuntan, dan tukang. Keter ampilan jenis ini merupakan ciri yang menonjol dari prestasi kerja pada tingkat operasional, semakin tinggi jabatan dan tanggung jawab maka keterampilan teknis menjadi semakin berkurang. (2) Keterampilan manusiawi ( human skill) yaitu kemampuan kerja secara efektif dengan rekan kerja di dalam satu tim. (3) Keterampilan konseptual ( conceptual skill) merupakan kemampuan untuk berfikir secara konsep berkaitan dengan model, kerangka dan hubungan yang luas, seperti rencana jangka panjang. Semakin tinggi jabatan maka keterampilan konseptual semakin dibutuhkan. Dari uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan adalah suatu cara pandang individu terhadap pimpinan, gaya kepemimpinan dan motivasi kerjanya, dimana tercakup di dalamnya adalah pola hubungan, kesempatan berinteraksi, masa kerja, lingkungan kerja, mampu membaca situasi, kesediaan menerima tugas serta tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, maka dapat diduga terdapat pengaruh positif antara kepemimpinan rektor terhadap profesi dengan motiva si dosen untuk berprestasi.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bersifat expost facto atau non eksperimen, karena tidak melakukan manipulasi terhadap gejala yang diteliti dan gejalanya sudah ada secara wajar di lapangan. Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data primer. Data ini dikumpulkan melalui pengukuran secara langsung terhadap responden yang meliputi: kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi para dosen di IKIP PGRI Bali. Pengumpulan data untuk variabel kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi dosen digunakan kuesioner. Semua data yang diperoleh berbentuk data interval.
61
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Populasi adalah kelompok yang diminati oleh peneliti, kelompok yang peneliti disukai untuk menggeneralisasikan hasil studinya. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk
dipelajari
dan
kemudian
ditarik
kesimpulan
(Sugiyono,1992: 57). Populasi dalam penelitian ini yang diperhitungkan dalam pe ngambilan sampel adalah seluruh dosen yayasan dan dosen Negeri dipekerjakan di IKIP PGRI BALI yang berjumlah 92 orang “Sampel adalah bagian populasi” (Riyanto, 2001: 65). Sedangkan Sugiarto dkk (2001: 2 ), menjelaskan bahwa sampel adalah “anggota dari populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu, sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya”. Jadi Sampel dapat didefinisikan sebagai sembarang himpunan yang merupakan bagian dari suatu populasi Atas dasar tujuan penelitian yang ingin dicap ai dan memperhatikan heterogenitas populasi, maka teknik sampling yang digunakan adalah “proporsional
random
sampling”
artinya
penentuan
sampel
dengan
memperhatikan perimbangan jumlah dosen setiap jurusan serta di dalam pemilihannya semua dosen mempunyai kesempatan yang sama menjadi anggota sampel. Untuk menentukan besarnya sampel yang akan dijadikan subjek penelitian, digunakan tabel dari Robert V. Krejcie dan Daryle W. Morgan (Sugiyono, 1992: 63). sehingga populasi yang besarnya : 92 orang diperoleh besar sampel : 73 orang. Untuk pengambilan sampelnya dengan menggunakan teknik undian. Pengumpulan data untuk kepemimpinan rektor
dan motivasi berprestasi
dosen dipergunakan kuesioner. Semua data yang diperoleh berbentuk data interval. Sebagai responden adalah para dosen IKIP PGRI Bali
62
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Metode Analisis Data dan Uji Hopotesis Teknik analisis yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah teknik analisis statistik. Yang dimaksud dengan analisis statistik adalah suatu teknik a tau cara menganalisa data yang bersifat kuantitatif atau bereupa angka -angka. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan :Analisis statistik berarti cara ilmiah yang dipergunakan untuk mengumpulkan, menyususn, menyajikan dan menganalisa
data penyelidikan yang diharapkan dapat menyediakan
dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menarik kesimpulankesimpulan yang benar dan untuk mengambil kep utusan- keputusan yang layak. (Sutrisno Hadi, 1982 : 22) Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa statistik yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah statistik infrensial. Sesuai dengan judul penelitan yang telah dirumuskan bahwa masalah yang diteliti adalah : Pengaruh Kepemimpinan Rektor Terhadap Motivasi Berprestasi Dosen Dengan
tujuan
untuk
mengetahui
ada
tidaknya
Pengaruh
Pengaruh Kepemimpinan Rektor Terhadap Motivasi Berprestasi Dosen yang telah disebutkan di atas. Untuk menguji hipotesisnya dipergunakan teknik Korelasi Product Moment,
untuk
menghitung
koefisien
korelasi
produ ct
dipergunakan rumus :
rxy
N XY X Y
N X 2 X 2 N Y 2 Y 2
Keterangan : R xy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y XY= Product X dan Y X = Kepemimpinan Rektor
63
moment
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Y = Motivasi Berprestasi Dosen N = Jumlah subyek yang diteliti ( Arikunto, 2000)
4. ANALISIS DATA Teknik analisa yang digunakan dalam pengujian hipotesis dilakukan dengan analisa statistik yaitu analisa Product Moment. Sebagai sistimatika dalam analisa nanti, akan ditempuh langkah-langkah : (1) Merumuskan hipotesis nol, (2) Menyusun daftar belanja statistik, (3) Memasukan data ke dalam rumus, (4) Menguji nilai r xy , dan (5) Menarik kesimpulan Merumuskan hipotesis nol. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan rektor terhadap motivasi berprestasi dosen di IKIP PGRI Bal i Menyusun Daftar Kerja Statistik Tabel 04 Daftar Tabel Kerja Statistik Skor Kepemimpinan Rektor terhadap Motivasi berprestasi Dosen di IKIP PGRI Bali No Sby 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
X 99 100 109 97 103 97 93 83 94 87 102 90 99 99
Y 71 70 74 73 68 74 66 63 63 65 76 65 78 65
X2 9801 10000 11881 9409 10609 9409 8649 6889 8836 7569 10404 8100 9801 9801
64
Y2 5041 4900 5476 5329 4624 5476 4356 3969 3969 4225 5776 4225 6084 4225
XY 7029 7000 8066 7081 7004 7178 6138 5229 5922 5655 7752 5850 7722 6435
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
96 99 95 95 95 79 91 94 86 111 82 87 101 83 95 93 89 83 96 99 105 89 95 96 97 99 80 101 91 86 101 91 77 97 82 102 78
80 74 64 56 67 65 67 71 63 71 61 72 66 77 62 72 58 67 57 66 73 59 80 57 80 62 59 64 70 67 58 70 61 56 68 62 66
9216 9801 9025 9025 9025 6241 8281 8836 7396 12321 6724 7569 10201 6889 9025 8649 7921 6889 9216 9801 11025 7921 9025 9216 9409 9801 6400 10201 8281 7396 10201 8281 5929 9409 6724 10404 6084
65
6400 5476 4096 3136 4489 4225 4489 5041 3969 5041 3721 5184 4356 5929 3844 5184 3364 4489 3249 4356 5329 3481 6400 3249 6400 3844 3481 4096 4900 4489 3364 4900 3721 3136 4624 3844 4356
7680 7326 6080 5320 6365 5135 6097 6674 5418 7881 5002 6264 6666 6391 5890 6696 5162 5561 5472 6534 7665 5251 7600 5472 7760 6138 4720 6464 6370 5762 5858 6370 4697 5432 5576 6324 5148
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
79 97 86 98 108 99 101 90 69 102 111 114 85 93 103 100 92 91 84 80 88 96 6834 Keterangan :
57 65 64 68 65 67 68 66 68 65 73 68 60 71 78 75 57 70 57 64 59 60 4864
6241 9409 7396 9604 11664 9801 10201 8100 4761 10404 12321 12996 7225 8649 10609 10000 8464 8281 7056 6400 7744 9216 645458
3249 4225 4096 4624 4225 4489 4624 4356 4624 4225 5329 4624 3600 5041 6084 5625 3249 4900 3249 4096 3481 3600 326942
X = Kepemimpinan rektor = 6834 Y = Motivasi berprestasi dosen = 4864 X 2 = 645458 Y 2 = 326942 XY = 456607
Memasukan Data Dalam Rumus.
rxy
N XY X Y
N X 2 X 2 N Y 2 Y 2 66
4503 6305 5504 6664 7020 6633 6868 5940 4692 6630 8103 7752 5100 6603 8034 7500 5244 6370 4788 5120 5192 5760 456607
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
rxy
=
=
73456607 6834 4864
73645458 68342 73326942 48642 33332311 33240576
471188434 4670355623866766 23658496 91735
414878208270 91735
=
86406641060 =
91735
0,312
293950
r xy = 0,312 R 2 = 0,1033
Menguji nilai r xy Berdasarkan taraf signifikansi 5 % dan N =73, besarnya angka batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai Product Moment adalah = 0,227. Jika dibandingkan dengan besarnya angka yang didapatkan dari hasil penelit ian yang besarnya 0,312, maka nilai r xy yang diperoleh dari hasil penelitian lebih besar atau melebihi angka bata penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai product moment, sehingga hipotesis nol yang diajukan ditolak. Ini berarti nilai r xy yang didapatkan dari hasil penelitian signifikan. Dengan ditolaknya hipotesis nol yang berbunyi bahwa tidak ada pengaruh kepemimpian rektor terhadap motivasi berprestasi dosen baik dosen Dpk maupn dosen yayasan IKIP PGRI Bali, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpian rektor terhadap motivasi berprestasi dosen baik dosen Dpk maupn dosen yayasan IKIP PGRI Bali. 67
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 5. KESIMPULAN ANALISIS Berdasarkan
perhitungan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
kepemimpinan institusi dalam hal ini adalah kepemimpiaan rektor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi berprestasi di kalangan para dosen baik dosen dpk maupun dosen yayasan di IKIP PGRI Bali. Kesimpulan ini dapat dibuktikan deng an besarnya taraf signifikasi 5% dan N = 73, ternyata nilai r xy hasil penelitian yang besarnya 0,312 lebih besar dari nilai batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai Product Moment adalah 0,227, maka hipotesis nol ditolak, sehingga hasil penelit ian ini signifikan. Karena arah pengaruhnya positif, maka dapat dikatakan bahwa
semakin demokr atis kepemimpinan rektor,
maka akan dapat meningkatkan motivasi berprestasi dosen. variasi
motivasi
berprestasi
dosen
yang
dapat
Besarnya
dijelaskan
oleh
kepemimpinan rektor adalah sebesar 10,33%.
DAFTAR RUJUKAN Abraham Maslow. 1970. Motivation and personality : New York Arikunto, Suharsini. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Agus Darma. 1996. Perilaku dan Organisasi: Erlangga Jakarta Gunada, Ida Bagus. 2000. “Motivasi berprestasi Dosen”. ( Disertasi) Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Paul Hersey dan Ken H. Blanchad. 1988. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Rsources (Englewood Cliffs: Prentice Hall Stehen P. Robbins. 1995. Organization Behavior, Controversics & Application (New Jersey: Prentice Hall. Stephens P Robins. 1977. Managing Today (New Jersey: Prentice Hall International) Stephens P Robins. 1996. Organizational Beavior Concept and Aplication. New Jersey: Prentice Hall.
68
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Sugiarto, Dkk. 2001. Teknik Sampling. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Hadi, Sutrino,1982. Statistik II.Yogyakarta Yayasan Penerbitan, Fakultas Psikologi UGM Sekso Hadiprojo dan Hani T. Handoko. 1986. Organisasi Perusahan): Yogyakarta Sugiyono.1992. Statistika untuk Penelitian: Penerbit CV AlFABETA, Bandung. Keith Davis, dan John W, Newstrom, 1985. Human Behavior At Work: Organizational Beavior. Singapore James A.F. Stoner. R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert. 1995. Management. New Jersey: Prentice Hall. Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penerbit SIC Surabaya.
69
Penelitian
Pendidikan:
Penerbit
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PEMANFAATAN SENYAWA HAYATI EKSTRAK DAUN BELENG DALAM PENANGGULANGAN JAMUR Fusarium oxysporum f.sp. vanillae PENYEBAB PENYAKIT BUSUK BATANG PADA VANILI Oleh I MADE SUBRATA Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali ABSTRACT This research was done to improve understanding and insight into the education of Biology students of the plants diversity and the use of biological compounds contained in plants for control of plant diseases. Beleng crop cultivars, which is one of the betel plant (Piper betle L.) is able to inhibit the growth of the fungus Fusarium oxysporum f.sp. vanillae cause stem rot disease in vanilla. In order to find other alternatives for controlling the disease, Beleng leaf were studied for their bioactivity against F. oxysporum f. sp. vanillae. The result of the study indicated that the crude extract of Beleng leaf at concentration 0.05%; 0.1%; 0.15%; 0.2%; 0.25%; 0.3% and 0.35% was able to inhibit the radial growth of F. oxysporum f.sp. vanillae on Potato Dextrose Agar (PDA) medium. The variation of crude extract concentration was found to influence the fungal growth on vanilla stem cutings on PD Broth medium. In addition, the crude extract of Beleng leaf was able to inhibit the spore germination and spore formation of F. oxysporum f. sp. vanillae on PD Broth medium. The fractination of Beleng leaf crude extract with Column Chromatography and Thin Layer Chromatography produced 15 fractions of compound, the fraction number VI which is made of three compounds with Rf value : 0.35; 0.55 and 0.78 efectively inhibited the growth of F. oxysporum f. sp. vanillae on PDA medium. Utilization of biological compounds of plant extracts are preservation of the environment, so that it can be used as an alternative in the activities of the practice of Environmental Education and can be applied to the community. Key words : Environmental education, biological compounds, Fusarium oxysporum f. sp.vanillae fungus
I.
LATAR BELAKANG MASALAH Kelestarian lingkungan merupakan permasalahan yang dihadapi seluruh
dunia, sehingga dijadikan muatan kurikulum perguruan tinggi pada jurusan/program studi tertentu, misalnya Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Pelaksanaan
70
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup lebih menekankan pada penerapan dalam kehidupan sehari-hari (Sastrawijaya, 2000). Pemanfaatan senyawa hayati merupakan salah satu materi praktikum sebagai dasar aplikasi penanggulangan penyakit tanaman, misalnya penyakit jamur Fusarium yang menyerang tanaman vanili. Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika, karena dapat menimbulkan berbagai penyakit di antaranya penyakit busuk batang panili, penyakit busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk batang panili disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, yang juga disebut F. batatatis (Semangun, 1991), penyakit busuk kering pada umbi kentang disebabkan oleh jamur F. solani var. coeruleum (Semangun, 2000) dan penyakit layu pada pisang disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Borges et al., 2004). Penyakit panili yang terpenting adalah penyakit busuk batang (Semangun, 1991). Masalah kerugian dan kerusakan oleh penyakit busuk batang panili dapat berakibat langsung terhadap kematian tanaman serta akibat tidak langsung terhadap penurunan produksi. Produksi panili di Bali mencapai puncaknya tahun 1988 sebesar 324,314 ton polong kering dan menurun pada tahun berikutnya. Tahun 1995 hanya mencapai 64,967 ton polong kering. Secara nasional ekspor panili di Indonesia pada tahun 2001 hanya 339 ton polong kering, sedangkan pada tahun 1998 sekitar 729 ton polong kering, ketika pertumbuhan tanaman panili relatif masih baik (Ruhnayat, 2004). Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan oleh petani selama ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun terhadap jamur itu sendiri karena dapat terjadi resistensi dan resurgensi (Suprapta et al., 2002). Langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, dengan pengadaan pestisida
71
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan, baik pestisida yang berasal dari mikroba antagonis (biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pestisida yang mendapat perhatian adalah pestisida dari tumbuh-tumbuhan, sering disebut dengan pestisida nabati. Secara evolusi, tumbuhan telah mengeluarkan bahan kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya yaitu sebagai respon invasi patogen ke tanaman inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001) mengusulkan istilah fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang sudah ada pada tumbuhan sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon terhadap serangan patogen. Penggunaan ekstrak tanaman sebagai pestisida nabati dapat mengurangi efek negatif pestisida sintetik terhadap lingkungan biologis (Suprapta et al., 2003). Indonesia sebagai daerah tropis, mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan tertentu dapat menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk bahan obat-obatan atau bahan pestisida nabati. Moeljanto dan Mulyono (2003), menyebutkan bahwa tanaman sirih (Piper betle L.) bisa dimanfaatkan sebagai fungisida, yakni untuk membasmi jamur Phythophthora palmivora yang menyerang tanaman lada. Fungisida botani dari daun sirih ini mampu menghambat perkecambahan spora dan menekan pertumbuhan jamur. Tanaman Beleng (Bahasa Bali) merupakan salah satu varietas dari tanaman sirih. Habitat maupun habitus tanaman Beleng sama dengan sirih, perbedaannya warna Beleng lebih hijau, tangkai daun, tulang daun dan batang berwarna hijau kemerahan. Aroma daun Beleng lebih sengak daripada sirih. Tanaman dalam satu spesies, selain memiliki persamaan dalam morfologi dan anatomi, juga memiliki beberapa persamaan secara fisiologi. Penelitian ini mencoba untuk menguji aktivitas fungisida ekstrak daun sirih kultivar Beleng terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
72
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui daya hambat ekstrak daun
Beleng terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae dan mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae.
II.
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biologi Jamur Fusarium Fusarium adalah genus jamur yang terdapat di seluruh dunia dan sering dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit tumbuhan. Jamur ini dapat diisolasi dari berbagai sampel, misalnya dari tanah dan tanaman pertanian yang terinfeksi, berkembang biak di kawasan lembab dan panas sehingga diberi sebutan “penyakit beriklim panas” (Salleh, 1989). Genus Fusarium menghasilkan konidium berbentuk bulan sabit. Spesies Fusarium cukup banyak, belum ada keseragaman di antara para peneliti mengenai jumlah spesiesnya. Salah satu spesies Fusarium adalah Fusarium oxysporum, yang menyebabkan penyakit pada jaringan pembuluh beberapa jenis tanaman pertanian (Takehara and Kuniyosu, 1995). Perbedaan karakter dalam satu spesies serta patogenitasnya terhadap tanaman tertentu disebut formae spesiales (f.sp.) atau cultivar (var). Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika karena dapat menimbulkan berbagai penyakit, diantaranya penyakit busuk batang panili, penyakit busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk batang panili disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. vanillae yang juga disebut batatatis, F. bulbigenum var. batatas atau F. batatas (Salleh, 1989). 2.2 Penyebaran Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Infeksi pada tanaman sehat dapat disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. vanillae yang berasal dari tanaman yang sakit. Infeksi mulai terjadi pada pangkal batang dan selanjutnya meluas pada batang dan akar hawa. Di dalam satu kebun diduga konidium fusarium dipencarkan oleh angin.
73
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Fusarium dapat bertahan lama sebagai saprofit dalam tanah. Semangun (1991) menyatakan bahwa di dalam tanah jamur ini dapat bertahan selama tiga tahun. Tanah dianggap sebagai sumber infeksi yang utama. Penyakit busuk batang dapat juga ditularkan atau disebarkan dengan perantaraan kontak langsung, perantaraan air hujan dan serangga. Penanaman stek panili pada tanah bekas tanaman panili sakit, pangkal stek akan busuk beberapa waktu kemudian. Hal ini dapat terjadi walaupun tanah tersebut diistirahatkan ataupun dikeringkan terlebih dahulu, karena klamidospora patogen dapat bertahan lama di dalam tanah yaitu empat tahun tanpa tanaman inang (Suharyon dan Rozak, 1996).
2.3 Gejala Penyakit Busuk Batang Panili Umumnya penyakit busuk batang panili timbul pada tanaman panili yang berumur tiga tahun atau lebih. Bila keadaan tidak menguntungkan bagi perkembangan penyakit, pada batang terjadi bercak-bercak yang panjangnya beberapa centimeter, berbatas tegas, berwarna cokelat dan mengendap. Kalau keadaan menguntungkan, terjadilah bercak yang berbatas kurang tegas, berwarna hitam, yang dengan cepat meluas melingkar pada ruas batang. Setelah itu bagian yang terserang keriput (mengisut), berwarna cokelat dan akhirnya mengering. Pada bagian yang busuk dan keriput itu terdapat bintik-bintik putih kekuningan yang terdiri dari kumpulan konidiofor dan konidium jamur. Kalau batang pada bagian yang sakit dibelah membujur, tampak bahwa di sebelah dalam perubahan warna meluas mendahului perubahan warna yang terlihat dari luar (Semangun, 1991). Jamur ini menginfeksi jaringan pengangkut pada tanaman panili (CMI, 1978).
2.4 Pestisida Nabati Setelah ditemukan pestisida sintetis pada awal abad ke-20, manfaat pestisida dari bahan alami dilupakan (Novizan, 2002). Pestisida sintetis memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh pestisida alami. Pestisida sintetis
74
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dapat dengan cepat menurunkan populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan periode pengendalian (residu) yang lebih panjang. Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, maka perlu adanya pengadaan pestisida alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal, terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan. Salah satu sumber pestisida yang mendapat perhatian ilmuwan adalah dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan tingkat tinggi melalui metabolisme sekunder mampu menghasilkan berbagai senyawa kimia untuk melindungi dirinya dari gangguan hama, penyakit, maupun gulma. Fungisida nabati adalah salah satu bagian dari pestisida nabati, yaitu senyawa kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Fungisida tersebut dalam bentuk alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan patogen (Suprapta, 2005). Banyak senyawa “constitutive” dari tumbuhan dilaporkan mempunyai aktivitas anti jamur. Contoh yang sangat populer adalah fenol dan glikosida fenol, lakton tidak jenuh, senyawa-senyawa sulfur, saponins, glikosida syanogenik dan glikosinolat (Suprapta, 2001). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan melalui metabolisme sekundernya.
2.5 Tanaman Sirih (Piper betle L.) kultivar Beleng Tanaman Beleng (Bahasa Bali) sering juga disebut degan nama base-base, base alas atau kakap. Semua nama tersebut mengindikasikan bahwa tanaman tersebut bukan sirih yang telah dikenal oleh masyarakat luas. menyebutkan varietasnya dengan nama Beleng sesuai dengan nama yang diberikan oleh masyarakat Bali secara kebanyakan. Menurut Moeljanto dan Mulyono (2003), daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol, seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol dan karvakrol. Selain itu, juga mengandung enzim diastase, gula dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung diastase, gula dan minyak atsiri
75
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Heyne (1987) mengatakan bahwa sepertiga dari minyak atsiri dalam daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar dari fenol tersebut adalah kavikol. Kavikol ini memberikan aroma khas sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali daripada fenol biasa. Kandungan fenol pada tanaman dapat menahan serangan jamur, tetapi ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995). Sifat anti mikroba pada sirih dihasilkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada sirih tersebut. Adanya fenol dalam suatu bahan dapat menyebabkan lisis pada sel mikroba (Yanti et al., 2000).
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Bahan yang digunakan adalah daun sirih kulitvar Beleng, jamur F. oxysporum f. sp. vanillae, media Komada, media PDA dan beberapa zat kimia yaitu methanol pro analisis, aceton, n-heksana, etil asetat, alkohol 70% dan aquadest. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Laminar flow, pisau, sprayer, jarum ose, lampu spritus, aluminum foil, gelas ukur, tabung reaksi, timbangan, piring Petri, vacuum rotary evaporator dan alat fraksinasi. Jamur F. oxysporum f. sp. vanillae diisolasi dari batang vanili yang terinfeksi penyakit busuk batang. Bagian batang diambil, kemudian dicuci dan disterilkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dalam laminar flow dilakukan pemotongan kurang lebih 1 cm pada bagian perbatasan, dibelah dua secara membujur. Belahan kemudian dicelupkan dalam alkohol 70% lalu dicuci dalam air steril. Potongan batang diinokulasikan pada piring Petri yang telah berisi media biak selektif untuk jamur Fusarium yaitu media komada. Kultur diinkubasi dalam suhu kamar selama lima hari. Ekstraksi dilakukan pada daun tanaman Beleng yang telah bersih, dicincang dan dikeringanginkan selama dua sampai tiga hari. Sebanyak 100 g dari bahan kering tersebut dimaserasi di dalam 1 liter methanol pada suhu kamar selama 48 jam
76
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dengan tujuan untuk menarik zat aktif pada bahan yang akan diujikan pada jamur patogen. Filtrat diperoleh dengan penyaringan rendaman daun Beleng melalui dua lapis kain kasa dan kertas saring Whatman No.2, kemudian diuapkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 400C, sehingga diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini siap diujikan pada jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
3.1 Pengujian
Pengaruh
Ekstrak
Sirih
Kultivar
Beleng
terhadap
Pertumbuhan Koloni Jamur F . oxysporum f. sp. vanillae Pengujian pertumbuhan koloni jamur pada konsentrasi ekstrak yang berbeda, dilakukan pada media PDA dengan cara sebagai berikut : Ekstrak sirih kultivar Beleng diencerkan dengan solven etil asetat dan tween 80 (2,5%) dengan perbandingan 1 : 3 menjadi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6% 7% dan kontrol 0%. Ekstrak sirih kultivar Beleng diambil dengan mikropipet sebanyak 0,5 ml dan dituangkan ke dalam piring Petri steril, selanjutnya ditambahkan 10 ml PDA yang masih encer (suhu 45-500C) sehingga konsentrasi ekstrak menjadi 0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, 0,35%. Piring Petri digoyang simultan sampai merata dan dibiarkan sampai padat. Jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang telah dibiakkan dalam piring Petri dan telah berumur dua hari, diambil dengan cork borer dengan diameter 5 mm selanjutnya diletakkan pada bagian tengah media, diinkubasi pada suhu kamar. Sebagai kontrol digunakan media PDA yang ditambah solven etil asetat : tween 80 (2,5%) = 1 : 3. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan pada setiap konsentrasi ekstrak. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur dengan mengukur diameter koloni mulai pada hari kedua sampai hari ke 11. Aktivitas anti jamur ditentukan dengan menghitung daya hambat terhadap pertumbuhan jamur (Rusni,2004) dengan rumus : Diameter koloni kontrol – Diameter koloni perlakuan Daya hambat
=
x100% Diameter koloni kontrol
77
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 3.2 Pengujian Kemampuan Ekstrak Sirih Kultivar Beleng untuk Menekan Infeksi Patogen Batang vanili yang sehat dicuci, disterilkan dengan alkohol 70% dan air steril, selanjutnya dipotong dengan ukuran kurang lebih 1,5 cm. Potongan batang tersebut dimasukkan dalam piring Petri yang berisi 30 ml media PD Broth, suspensi jamur 200 l dengan kepadatan 2.580 cfu/ml dan ekstrak 500 l dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% sehingga konsentrasi akhir menjadi 0,017%; 0,033%; 0,050%; 0,067% dan 0,083%. Kontrol sakit tidak ditambahkan ekstrak tetapi diinokulasikan patogen . Pada eksperimen juga dibuat kontrol sehat yaitu batang vanili, tanpa diinokulasikan jamur dan tanpa ekstrak.
3.3 Pengujian Mekanisme Penghambatan Pertumbuhan Jamur oleh Ekstrak Sirih Kultivar Beleng Pengujian mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur oleh ekstrak kasar, diuji dengan menumbuhkan spora pada media PD Broth selama lima hari. Suspensi jamur disaring dengan kertas saring Whatman No.2. Dengan penyaringan tersebut, spora akan lolos saringan dan ditampung dalam bekker glass. Selanjutnya mekanisme penghambatan oleh ekstrak kasar diuji terhadap perkecambahan spora dan pembentukan spora. Pengujian pada perkecambahan spora dilakukan dengan menginokulasikan 200 l suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 1 ml media PD Broth dalam tabung reaksi, ditambahkan 100 l ekstrak dengan variasi konsentrasi ekstrak menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4% dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibuat tiga kali ulangan. Kerapatan spora pada saat inokulasi dihitung dengan haemositometer. Setelah inkubasi 24 jam pada suhu kamar, jumlah spora yang berkecambah dihitung dengan haemositometer. Spora yang berkecambah ditandai dengan terbentuknya tabung kecambah, yaitu bagian pertama dari miselium yang dapat mempenetrasi tubuh inang (Agrios, 1988).
78
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Pengujian pada pembentukan spora dilakukan dengan menginokulasi 200 l suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 10 ml media PD Broth dalam piring Petri, ditambahkan 500 l ekstrak dengan variasi konsentrasi ekstrak menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibuat tiga kali ulangan. Setelah inokulasi 48 jam pada suhu kamar dilakukan penghitungan jumlah spora yang terbentuk. Penghitungan spora diteruskan sampai lima hari pengamatan. Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi Ekstrak kasar yang telah menunjukkan aktivitas fungisida selanjutnya difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan panjang 60 cm dan diameter 3 cm Sebanyak 20 g ekstrak kasar dilarutkan dalam aceton, ditambahkan silika gel (wako gel C-300, partikel size 40-75 m) lalu dievaporasi sampai remah. Ekstrak kasar yang telah berbentuk kristal dimasukkan ke dalam kolom yang panjangnya 60 cm dengan diameter 3 cm, kemudian dilanjutkan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan plat KLT berukuran 10 x 10 cm (Keisal Gel 60 F 254). Eluen yang digunakan sebagai pengembang adalah heksan : aceton = 2 : 3
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan koloni jamur F. oxysporum f.sp. vanillae pada media PDA. Daya hambat ekstrak kasar daun Beleng disajikan pada Tabel 1.
79
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 1.
Daya Hambat Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur Fusarium oxysporum f.sp.vanillae pada Media PDA
Konsentrasi Ekstrak (%) 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35
Diameter koloni pada hari terakhir (mm) 85,00 ± 0,82 80,00 ± 0,82 71,00 ± 2,83 61,67 ± 2,36 50,33 ± 4,12 30,00 ± 4,08 14,33 ± 2,62 0,00
Daya hambat (%) 0,00 5,88 16,47 27,45 40,79 64,71 83,14 100,00
Berdasarkan tabel 1 nampak bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak, pertambahan diameter koloni jamur semakin kecil atau daya hambat ekstrak terhadap pertumbuhan koloni jamur F. oxysporum f.sp. vanillae semakin besar. Daya hambat 100% terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae terjadi pada konsentrasi ekstrak 0,25%, 0,30% dan 0,35%. Koloni jamur yang tidak tumbuh pada media PDA telah dicoba dipindahkan ke media PDA yang baru tanpa ekstrak setelah pengamatan berakhir. Koloni jamur Fusarium tersebut akhirnya tumbuh. Data ini menunjukkan bahwa ekstrak daun Beleng bersifat fungistatik, yaitu hanya menekan pertumbuhan jamur, tidak bersifat membunuh jamur (fungitoksik).
4.2
Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng pada Bagian Tanaman terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F.
oxysporum f.sp. vanillae pada potongan batang vanili yang direndam dalam media PD Broth. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, intensitas serangan jamur terhadap potongan batang vanili semakin kecil (Tabel 2).
80
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 2
Aktivitas Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. vanilla pada potongan batang vanili dalam Media PD Broth Konsentrasi ekstrak
Hari ke 1
0% (kontrol sehat) -
0% (kontrol sakit) +
2
-
3
0,017%
0,033%
0,050%
0,067%
0,083%
-
-
-
-
-
++
+
+
+
-
-
-
+++
++
++
++
+
-
4
-
+++
+++
+++
+++
++
+
5
-
+++ +
+++
+++
+++
++
+
Keterangan : (-) (+) (++) (+++) (++++)
4.3
= = = = =
jamur tidak tumbuh pada batang atau pada media jamur tumbuh pada permukaan potongan batang panili jamur tumbuh mengelilingi seluruh batang jamur tumbuh pada media jamur tumbuh memenuhi media
Mekanisme Penghambatan Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Ekstrak kasar daun Beleng mampu menekan pertumbuhan jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae melalui penghambatan perkecambahan spora dan penghambatan pembentukan spora pada media PD Broth (Tabel 3).
81
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 3.
Perkecambahan Spora dan Pembentukan Spora Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae pada Media PD Broth dan Ekstrak Daun Beleng
Konsentrasi (%) 0,0
Kerapatan Spora Daya Hambat yang terhadap berkecambah perkecambahan (x103/ml ) spora (%) 650 ± 8,16 0,00
5.053 ± 14,46
Daya hambat terhadap pembentukan spora (%) 0,00
Kerapatan spora yang terbentuk (x103/ml)
0,1
580 ± 14,14
10,77
2.450 ± 40,82
51,51
0,2
220 ± 16,73
66,15
913 ± 26,25
81,93
0,3
110 ± 14,14
83,08
433 ± 30,91
91,43
0,4
30 ± 8,16
95,38
146 ± 12,49
97,11
0,5
0,00
100,00
0,00
100,00
Keterangan :
Pengamatan dilakukan selama lima hari terhadap tiga kali ulangan pada setiap konsentrasi Perhitungan daya hambat dilakukan pada data hari kelima Kerapatan spora awal : F. oysporum f.sp. vanillae : 20 x 103 spora / ml
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak yang berbeda,
jumlah
spora
yang
berkecambah
juga
berbeda.
Penghambatan
perkecambahan spora dimulai dari konsentrasi ekstrak 0,1%. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, jumlah spora yang berkecambah makin kecil, ini berarti ekstrak daun Beleng mampu menghambat perkecambahan spora jamur Fusarium. Pengamatan yang dilakukan setelah 24 jam, dalam konsentrasi ekstrak 0,4% spora tidak berkecambah, Spora yang berkecambah akan membentuk miselia, kemudian miselia membentuk spora kembali. Data pada Tabel 3 juga
menunjukkan bahwa
pembentukan spora juga dihambat oleh ekstrak daun Beleng. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, spora yang terbentuk semakin sedikit. Pada konsentrasi 0,4 % kerapatan spora yang terbentuk 0, karena tidak terjadi pembentukan miselia baru. Perkecambahan spora dan pembentukan spora dari miselia merupakan bagian penting pada perkembangbiakan jamur, terutama jamur Fusarium yang tergolong
82
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 fungi imperfecti yaitu jamur yang belum diketahui perkembangbiakan secara generatifnya. Suprapta et al. (2006) mengatakan bahwa penghambatan pembentukan spora adalah salah satu mekanisme penghambatan pertumbuhan dan perkembangan jamur. Tanaman Beleng merupakan salah satu varietas dari tanaman sirih, oleh karena itu kandungan senyawa kimia daun Beleng secara kualitatif sama dengan daun sirih. Menurut Eykman (1885) dalam Heyne (1987), bahwa sepertiga dari minyak atsiri daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar berupa kavicol. Kavicol ini memberikan aroma khas pada sirih dan memiliki daya bunuh bakteri lima kali daripada fenol biasa. Menurut Burkill (1953) dalam Yanti et al. (2000), dinyatakan bahwa dalam minyak atsiri daun sirih terdapat campuran fenol dan terpen. Di antara fenol yang ada, eugenol merupakan jumlah terbesar pada daun sirih yang terdapat di India, sedangkan senyawa yang banyak terdapat pada daun sirih di Siam dan Jawa adalah fenol betel dan kavicol. Kandungan fenol pada suatu tumbuhan dapat menahan serangan jamur, tetapi ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995). Senyawa fenol yang dapat meracuni patogen selalu terdapat dalam tumbuhan baik yang sehat maupun yang sakit. Sintesis dan akumulasi senyawa tersebut dipercepat setelah terjadinya infeksi. Senyawa fenol teroksidasi menjadi Quinon oleh enzim Polifenoloksidase yang dihasilkan oleh patogen. Quinon yang terjadi mengalamai polimerisasi menjadi pigmen cokelat mengarah pada reaksi hipersensitif
yang
mengakibatkan
hilangnya
permeabilitas
membran
sel,
meningkatnya respirasi, akumulasi dan oksidasi senyawa fenol serta pembentukan fitoaleksin (Semangun, 2001). Dengan demikian senyawa Quinon sering lebih beracun bagi mikroorganisme dibandingkan dengan fenolnya sendiri (Agrios, 1988).
Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi Fraksinasi dengan kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis dihasilkan 15 fraksi. Fraksi VI membentuk tiga spot dengan nilai Rf berturut-turut 83
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 sebesar 0,35; 0,55; dan 0,78, menunjukkan aktivitas yang positif terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut : 1.
Ekstrak daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae.
2.
Fraksi VI yang terdiri atas tiga kelompok senyawa dengan nilai Rf 0,35; 0,55 dan 0,78 mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae.
3.
Mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f. sp. vanillae terjadi melalui penghambatan perkecambahan spora, pembentukan spora dan pertumbuhan koloni.
5.2 Saran 1.
Tanaman Beleng memiliki fungsi yang sama seperti tanaman sirih sebagai bahan fungisida nabati, maka perlu dibudidayakan sebagai tanaman sela pada perkebunan.
2.
Perlu dilakukan pengujian ekstrak kasar daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f. sp. vanillae di lab kaca atau di lapangan, sehingga peranannya secara nyata dapat bermanfaat untuk penanggulangan penyakit tanaman yang bersifat ramah lingkungan
3.
Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang terkandung dalam daun Beleng.
DAFTAR RUJUKAN Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. San Diego, California : Academic Press. Inc.803p. 84
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Borges, A. A, A. Borges-Perrez, M. Fernandez-Falcon. 2004. Induced Resistance to Fusarial Wilt of Banana by Menadione Sodium Bisulphite Treatments. Crop Protection 23 : 1245-1247. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya. 631 h. Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya. 88 h. Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB. 367 h. Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus L.) Terhadap Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Busuk Buah Pisang (tesis). Denpasar : Universitas Udayana. 50 h. Salleh, B. 1989. Perkembangan Mutakhir Penelitian Fusarium di Kawasan Tropika, Naskah Lengkap Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Denpasar. Denpasar 14 – 16 Nopember 1989 :11 – 18. Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 274 h. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 850 h. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Mada University Press. 754 h.
Gajah
Sudana, I M. 2004. Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang dan Tingkat Patogenesitasnya Pada Beberapa Jenis Pisang Lokal Bali. Agritrop 23 :82-87. Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur. Agritrop. 20 : 52-55. Suprapta, D. N., I G. A. N. A. Suwari, N. Arya and K. Ohsawa. 2002. Pometia pinnata Leaves Extract to Control Late Blight Disease of Tomato. Journal of ISSAAS 8 : 31-36. Suprapta, D. N., I B.G. Darmayasa, N. Arya, I G. R. M. Temaja and K. Ohsawa. 2003. Bacterial Activity of Spaeranthus indicus Extract against Ralstonia solanacearum in Tomato. Journal of ISSAAS. 9 : 69-74.
85
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Suprapta, D.N., M. Subrata, K. Siadi, I.G.A. Rai, F. Tunnisa and K. Ohsawa. 2006. Fungicidal Activity of Extract of Several Piperaceae Plants against Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Academic Frontier Research Centre, Tokyo University of Agriculture. 44-52. Yanti, R., Suyitno dan E. Harmayani. 2000. Identifikasi Komponen Ekstrak Sirih (Piper betle Linn.) Dari Beberapa Pelarut dan Pemanfaatannya Untuk Pengawetan Ikan. Agrosains. 13 : 239-250.
86
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PEMBELAJARAN DONGENG KOALISI I LUTUNG DENGAN I MACAN MENUMBUHKAN SIKAP ILMIAH DAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA By I Wayan Suanda FPMIPA IKIP PGRI Bali ABSTRACT Fables are stories that inspire people in closer between parent and children, while inserting lesson and preservation of cultural manners. In school, learning stories can also provide attraction to students to pay attention and from a scientific attitude and to improve the character of students. In this paper described “Fairy tale with a coalition of a monkey that can grow tiger scientific attitude and character of students”. Of this fairy tale, comes innovative idea and creative students to prove fairy tales through simple scientific research. In this paper emphasized at trial that the applicable leaf (Artocarpus elastica) do not want to be eaten by termites (Macrotermes gilvus (Hagen)). Termite is cellulose-eating insects that are dangerous to buildings made of materials containing cellulose such as wood and wood derived products. Termite rest control efforts so far have focused on the use of synthetic insecticides in excessive and less selective toward the target, giving rise to side effect such as resistance, harmful to the user and environmental pollution, it should be pursued to find a way control pest termites (M. gilvus (Hagen)) is safe for the environment. Purpose of making this work is to develop scientific attitude and character as well as on students, cultural preservation. Through myth and evidence of learning with a simple experiment insecticidal activity of leaf extract applicable (A. elastica) of the termite pest (M. gilpus (Hagen)). The results showed that the leaf extract applicable (A. elastica) has insecticidal activity against pest termites (M. gilvus (Hagen)) with properties that reduce appetite antifidant of insects termites.
Keywords : Fable, Scientific Attitude, Character Education, Arranging Leaf extract, Termites I. Latar Belakang Masalah Dongeng merupakan cerita rakyat yang tumbuh subur di bumi Nusantara ini hingga tahun 1970-an. Saat itu dongeng dijadikan media pendidikan antara orang tua dengan anaknya, antara guru dengan siswa di sekolah. Melalui dongeng orang tua dan guru memasukkan pendidikan yang menekankan unsur sikap dan perilaku 87
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 berupa budi pekerti yang baik. Cara seperti ini akan memudahkan pelajaran diterima, sehingga mudah dimengerti oleh peserta didik. Nusantara ini sangat kaya dengan cerita rakyat berupa dongeng dan ada beberapa dongeng yang sampai saat ini masih dikenal dan dijadikan tuntunan hidup di masyarakat, sehingga dipelihara dan dilestarikan sebagai warisan budaya. Seperti dongeng Malinkundang, I Bawang dan I Kesuna, dongeng Tangkuban Perahu dari Jawa Barat, dongeng Lutung Kesarung dari Jawa Timur serta dongeng I Lutung dengan I Macan, I Kancil dengan I Kakul dan masih banyak dongeng yang lainnya. Berbekal dari pengalaman itu maka penulis sebagai guru Pembina ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Ganesha Denpasar, dalam proses pembelajaran ekstrakurikuler KIR juga memberikan cerita berupa dongeng ”KOALISI I LUTUNG DENGAN I MACAN”. Dalam cerita dongeng ini dikisahkan I Lutung (bangsa Kera) dan I Macan (bangsa Harimau) berteman sangat baik, sehingga muncul keinginan untuk membuat suatu persatuan yang dinamakan Koalisi. Koalisi yang terbangun sangat rekat dan saling pengertian, namun belakangan menjadi kurang kondusif, yang diawali dengan hadiah seekor penyu yang diperoleh dari suatu sayembara. Hadiah tersebut kemudian disembelih menjadi sate untuk merayakan kemenangangan dalam sayembara. Pembuatan sampai pembagian sate penyu inilah yang menjadi bibit keretakan dalam kelangsungan koalisi. Keretakan mulai nampak kepermukaan setelah sate penyu itu matang (siap dimakan), sate tersebut semuanya dibawa oleh I Lutung ke atas pohon Terap besar, sambil memakannya satu persatu sampai habis. Sementara I Macan dengan keterbatasannya yaitu tidak bisa memanjat pohon, hanya berada di bawah pohon sambil menunggu belas kasihan I Lutung, namun impian I Macan menikmati sate penyu tidak pernah kesampaian dan ia menjadi geram namun tetap sabar dan mengalah. Namun I Lutung tetap tutup telinga dan tutup mata serta pikiran menjadi gelap tanpa menghiraukan tuntutan I Macan.
88
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Pada suatu ketika, tiupan angin mamiri yang sepoi-sepoi basa menyebabkan I Lutung ngantuk dan tertidur nyenyak dengan mimpi indahnya, maka pada saat itu pula I Macam mengaum dengan nada menggeletar, seolah-olah pohon ikut terkejut, sehingga I Lutung tanpa sadar jatuh ke bawah pohon dan langsung dihampiri oleh I Macan. Saat itu I Lutung yang dalam keadaan bahaya dan terjepit, dengan akal muslihatnya secepat kilat berkata, ampun I Macan, beribu ampun, saya salah dan menyesal, mari kita rajut pertemanan yang lebih akrab dan lebih bermoral serta berkarakter diucapkan dengan nada manis, sehingga I Macan tidak jadi marah dan memaafkan, sehingga tidak jadi membunuh I Lutung dan hanya mengikat I Lutung dengan tali pada pohon, sehingga tidak bisa berkutik. Akal dan tipu muslihat yang dimiliki, I Lutung berteriak minta tolong agar bisa lepas dari jeratan tali, dengan janji-janji manis yang pro pada semua kehidupan di bumi dan berjanji memberikan hadiah yang sangat menarik serta gratis ini dan gratis itu. Ternyata jeritan itu didengar oleh bangsa Rayap (Macrotermes gilvus (Hagen)) (Tetani = bahasa Bali). Rayap pun mendekat untuk membantu melepaskan I Lutung dari ikatan tali. Bangsa Rayap dengan hati yang tulus secara bergotong royong memakan tali pengikat hingga putus. Setelah lepas dari ikatan tali, I Lutung yang memiliki akal jahat dan tidak berkarakter tersebut, langsung mengobrak abrik bangsa Rayap dengan memakannya, tentu saja bangsa Rayap lari untuk menyelamatkan diri, namun tetap dikejar sampai jauh. Di suatu tempat ada daun Terap (Artocarpus elastica), dan di sinilah beberapa rayap itu bersembunyi sambil meminta bantuan agar dilindungi supaya tidak diketahui oleh I Lutung, sambil berjanji bahwa bangsa rayap beserta keturunannya kelak tidak akan berani memakan daun terap beserta kayunya untuk selama-lamanya. Berdasarkan cetrita itu, penulis selaku guru pembina KIR mengatakan daun terap tidak berani dimakan oleh bangsa rayap, mari kita buktikan cerita tersebut melalui percobaan ilmiah, sehingga menjadi suatu teori baru. Pengalaman baru juga diberikan oleh guru Pembina KIR, yaitu siswa diajak melihat keranjang sampah yang di bagian dasarnya dialasi dengan daun terap.
89
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Ternyata daun Terap tidak sedikitpun termakan hama rayap, namun keranjang sampah yang terbuat dari bambu itu menjadi indah akibat terukir oleh gigitan rayap, hingga menjadi compang-camping, dan contoh lainnya yang juga pernah siswa lihat di lingkungan tempat tinggalnya. Cerita dongeng ini memberikan motivasi dan menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik, sebagai basis dari pelajaran KIR. Terbentuknya sikap ilmiah peserta didik, mulai dari rasa ingin tahu, mencari masalah di lingkungan tempat tinggalnya yang nanti diwujudkan dalam penelitian ilmiah sederhana, selanjutnya dibuat dalam bentuk tulisan ilmiah.
B. Gagasan Kreatif dan Inovatif Penulis yang menjadi pembina ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) di SMP Ganesha Denpasar, selalu mengarahkan peserta didik untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam pembinaan KIR, melalui percobaan atau penelitian sederhana pada beberapa permasalahan yang ada di lingkungan tempat tinggal. Dari ektrakurikuler KIR ini dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki yang dilandasi oleh rasa ingin tahu dan kreatif yang dicobakan berdasarkan langkah-langkah metode ilmiah, melalui percobaan sederhana yang ramah lingkungan, namun bermanfaat bagi kehidupan manusia. Bentuk dari percobaan ini adalah membuktikan “Sumpah bangsa Rayap terhadap daun Terap” yang diuraikan dalam cerita dongeng Koalisi I Lutung dengan I Macan tersebut di atas. Melalui percobaan ini penulis ingin menghindari kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga Rayap (M. gilvus (Hagen)) pada perabot rumah tangga melalui pengujian ekstrak tumbuh-tumbuhan, yaitu ekstrak daun Terap (A. elastica). Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang memperkaya khazanah alam Indonesia. Diperkirakan terdapat 100 sampai dengan 150 jenis family tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
90
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Indonesia. Dari jumlah tersebut sebagaian besar tumbuh-tumbuhan mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai tanaman industri, tanaman buah-buahan, tanaman rempah-rempahan dan berpotensi sebagai bahan pestisida (pestisida nabati). Pestisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh organisme yang mengganggu atau merusak tanaman, dapat berupa jamur (fungi), bakteri, maupun serangga. Pestisida yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga pengganggu, disebut insektisida. Insektisida ada yang berasal dari senyawa kimia, dikenal dengan insektisida sintetis, sedangkan insektisida yang bahan dasarnya berasal dari metabolit sekunder tumbuh-tumbuhan, sering disebut insektisida nabati. Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan tertentu memiliki suatu zat metabolit yang dapat berupa racun, sehingga dapat digunakan sebagai bahan insektisida nabati (Nasution, 1992). Tumbuh-tumbuahan yang berpotensi sebagai insektiisda nabati diantaranya adalah tanaman tembakau, kenikir, pandan, kemangi, cabai rawit, kunyit, bawang putih, gadung, sereh, brotowali dan lain-lain (Anonim, 2009). Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis insektisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia termasuk ternak peliharaan karena residunya mudah hilang (Hutton and Reilly, 2001). Insektisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Insektisida ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya terhadap serangga. Rayap (M. gilvus (Hagen)) merupakan golomgan serangga yang makanan utamanya adalah kayu atau bahan yang terutama terdiri atas selulosa. Rayap (M. Gilvus (Hagen)) merupakan salah satu serangga yang sering ditemukan di rumah, terutama pada rumah yang dibangun di tempat yang dulunya lahan tersebut di
91
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 jadikan tempat pembuangan sampah (TPA) dan memiliki perabotan yang terbuat dari bahan kayu, bisa juga dijumpai pada kayu dan sampah yang sudah lapuk. Dari perilaku yang demikian maka Rayap (M. Gilvus (Hagen)) termasuk golongan makhluk hidup perombak bahan mati, terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. rayap (M. Gilvus (Hagen)) tidak hanya memakan material dari tumbuh-tumbuhan terutama kayu yang tidak bermanfaat bagi manusia, bahkan rayap (M. Gilvus (Hagen)) kini sudah menjadi ancaman dan masalah besar bagi manusia, karena sudah menjadi hama perusak bangunan dan perabotan rumah tangga berbahan kayu, seperti mebeler, kusen, jendela, pintu, plapon rumah, rak buku dan yang lainnya termasuk memberikan pemandangan yang kumuh pada sudut tembok rumah berupa hamparan bercak tanah pada bagian yang dilalui hama rayap ini. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang pernah dilakuakan Suanda (2002),
dengan
menguji
beberapa
ekstrak dari tumbuh-tumbuhan untuk
mengendalikan serangga Plutella xylostella yang merupakan hama tanaman kubis. Dari latar belakang tersebut, maka penulis ingin meneliti manfaat ekstrak daun Terap (Artocarpus. elastika) sebagai bahan insektisida nabati terhadap hama rayap (Macrotermes gilvus).
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.
Tujuan Penulisan Setiap aktivitas atau kegiatan yang dilakukan tentunya memiliki tujuan, karena tujuan merupakan pedoman dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk: a.
Menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik melalui kegiatan penelitian sederhana
b.
Membentuk karakter peserta didik melalui pembelajaran dongeng Koalisi I Lutung dengan I Macan.
c.
Membuktikan “Mitos” cerita dongeng, dalam bentuk metode ilmiah, berupa percobaan sederhana.
92
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 2.
Manfaat Penulisan Apabila dari penerapan pembelajaran dongeng koalisi I Lutung dengan I Macan dapat menumbuhkan karakter peserta didik serta hasil percobaan ini menunjukkan hasil yang signifikan (sangat nyata), maka dapat bermanfaat baik dari segi teoritis maupun praktis. a.
Dari segi teoritis, penerapan pembelajaran dongeng dapat menumbuhkan karakter dan sikap ilmiah peserta didik, serta hasil penelitian ini dapat menambah teori dan khazanah ilmu pengetahuan peserta didik, khususnya materi pelajaran tentang lingkungan dan kehidupan serangga rayap dalam pembelajaran IPA.
b.
Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat melatih peserta didik dan guru untuk berpikir kreatif, inovatif dan kritis serta analitis dan berkarakter dengan kegiatan penelitian melalui pemecahan masalah sederhana, memberikan pengalaman riset sederhana yang sangat bermanfaat bagi peserta didik, guru dan masyarakat.
II. TELAAH PUSTAKA A. Pendidikan Karakter Untuk menjaga proses pembelajaran di kelas agar tetap berlangsung dengan baik dan bermakna, maka perlu diberikan pembelajaran yang mampu menarik perhatian peserta didik, yang lebih dikenal dengan “PAIKEM GEMBROT‟ yang artinya Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira tetapi Berbobot, dengan memberi selingan ceritera atau dongeng. Melalui ceritera/dongeng tersebut peserta didik tersentuh jiwanya terhadap keagungan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), yang adil dan selalu berpihak kepada orang yang rajin bekerja, rajin belajar, memiliki moral yang baik, bersikap santun, berjiwa jujur, memiliki rasa pengabdian, peduli kepada sesama, mau mengalah, memaafkan kesalahan teman dan sederet perbuatan baik lainnya, yang sekarang lebih popular dengan “Pendidikan Karakter”. Tersentuhnya jiwa dan pikiran peserta didik melalui
93
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pembelajaran dongeng ini, niscaya dapat berimbas kepada pembentukan karakter pada peserta didik. Pada tulisan ilmiah ini penulis ingin menceritakan perilaku yang ditunjukkan oleh binatang dalam ceritera ini I Lutung dengan I Macan. Dimana I Lutung sebagai binatang yang cerdas, namun karakternya kurang bermoral dan kurang beretika, sedangkan I Macan disimbulkan sebagai binatang kuat, namun dia menunjukkan karakter yang bermoral, pemaaf dan beretika, karena dia tetap mengedepankan persahabatan. Disamping itu penulis juga ingin menginformasikan bahwa dari ceritera/dongeng ini selain pendidikan karakter yang bisa diserap juga memunculkan penemuan ilmu pengetahuan baru sebagai teori untuk menghasilkan suatu produk yang ramah lingkungan, seperti “Ekstrak Daun Terap sebagai Insektisida Nabati terhadap Hama Rayap”
B. Rayap sebagai Hama Perusak Kayu Masyarakat umum sudah mengenal bahwa Rayap adalah serangga yang merugikan karena merusak (makan) kayu. Di seluruh dunia jenis-jenis Rayap yang telah dikenal atau dideskripsikan dan diberi nama ada sekitar 2000 spesies diantaranya 120 spesies merupakan hama, sedangkan di negara kita dari kurang lebih 200 spesies yang dikenal baru sekitar 20 spesies yang diketahui berperan sebagai hama perusak kayu serta hama hutan atau hama pertanian. Masyarakat Indonesia juga sudah mengenal jenis-jenis serangga yang umum disebut Rayap. Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang sangat berbahaya bagi bangunan yang dibuat dengan bahan-bahan yang mengandung selulosa seperti kayu, dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat, plywood, blockboard, dan laminated board). Rayap merusak bangunan tanpa memperdulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung, bahkan juga menyerang barang-barang yang disimpan. Untuk mencapai sasaran, Rayap dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa senti meter (cm),
94
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 menghancurkan plastik, dan kabel penghalang fisik lainnya (Nandika dan Farah Diba, 2003). Semula agak mengherankan para pakar bahwa Rayap mampu makan atau menyerap selulosa karena manusia sendiri tidak mampu mencerna selulosa, sedangkan Rayap mampu melumatkan dan menyerapnya sehingga sebagian besar ekskremen (zat sisa) hanya tinggal lignin saja. Keadaan menjadi jelas setelah ditemukan berbagai protozoa flagellata dalam usus bagian belakang dari berbagai jenis Rayap (terutama Rayap tingkat rendah: Mastotermitidae, Kalotermitidae dan Rhinotermitidae), yang ternyata berperan sebagai simbion untuk melumatkan selulosa, sehingga Rayap mampu mencerna dan menyerap selulosa. Bagi Rayap yang tidak memiliki protozoa seperti famili Termitidae, bukan protozoa yang berperan tetapi bakteria. Beberapa jenis Rayap seperti Macrotermes, Odontotermes dan Microtermes memerlukan bantuan jamur perombak kayu yang dipelihara di kebun jamur dalam sarangnya. 1.
Sistematika Rayap Secara umum, ada 4 jenis Rayap yang berpotensi merusak bangunan yaitu dari genus Macrotermes, Coptotermes, Macrotermes dan Cyrptotermes. Diantara keempat jenis ini, hanya jenis Coptotermes sp. yang paling tangguh dan mempunyai kecepatan merusak paling cepat. Menurut Tarumingkeng (1990), kedudukan sistematika Rayap (M. gilvus Hagen) adalah: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Isoptera
Family
: Termitidae
Genus
: Makrotermes
Spesies
: Macrotermes gilvus Hagen
95
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
Macrotermes
Criptotermes
Microtermes
Coptotermes
Gambar 1. Jenis-Jenis Rayap Perusak Kayu 2.
Morfologi Rayap Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang
disebut koloni. Komunitas tersebut bertambah efisien dengan adanya spesialisasi (kasta) dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berada dalam kehidupannya. Rayap memiliki tubuh yang lunak dengan warna putih dan memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik-manik. Dada dan perut rayap bergabung dengan ukuran yang hampir sama. Individu Rayap yang bersayap disebut Laron (sulung, alata, alates) memiliki sepasang sayap yang dalam keadaan diam sayap diletakkan datar pada abdomen. Cara melipatnya memanjang dan lurus ke belakang. Sayap depan dan belakang memiliki bentuk, ukuran dan pola pertulangan yang sama (Nandika dan Farah Diba, 2003).
96
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
Gambar 2. Pembagian Kasta pada Koloni Rayap C. Perkembangbiakan Rayap Seperti serangga pada umumnya, rayap merupakan individu seksual yang terdiri dari rayap jantan yang disebut raja dan rayap betina yang disebut ratu. Proses reproduksi terjadi di pusat sarang dimana ratu yang mampu hidup sampai 25 tahun dapat menghasilkan telur hingga jutaan telur pertahun. Ratu mengetahui dan dapat mengatur individu rayap yang harus dilahirkan sesuai kebutuhan koloninya. Pejantan atau raja bertanggung jawab untuk membuahi sang ratu. Rayap mengalami fase-fase pertumbuhan atau metamorfosis. Metamorfosis adalah perubahan yang terjadi dari telur hingga dewasa. Rayap mengalami metamorfosis tak sempurna atau hemimetabola yang melalui stadium-stadium seperti berikut: a. Telur b. Nimfa, adalah serangga muda yang mempunyai sifat dan bentuk yang sama dengan dewasanya. Dalam fase ini rayap mengalami pergantian kulit. c. Imago atau dewasa, adalah fase yang ditandai telah berkembangnya semua organ tubuh dengan baik, termasuk alat perkembangbiakan serta sayap bagi rayap reproduktif.
97
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
Gambar 3. Siklus Hidup Rayap D. Tanaman Terap (A. elastica) Pohon terap adalah sejenis pohon buah dari marga pohon nangka (Artocarpus). Di Aceh pohon ini disebut Torop, di Jawa Barat disebut Teureup, di Sunda disebut Benda atau Bendo, di Bali disebut Teep, di Malaysia disebut Tekalong atau Terap. Tumbuhan ini merupakan jenis pohon yang tingginya sedang sampai tinggi sekali, dengan diameter pohon mencapai 45 – 125 cm, tumbuh dan tersebar hampir di seluruh nusantara. Di Jawa pohon terap tumbuh liar pada ketinggian 1200 m dari permukaan laut.
Gambar 4. Pohon Terap (A. elastica).
98
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 1.
Sistematika Tanaman Terap (A. elastica) Menurut Heyne (1987), kedudukan sistematika pohon terap adalah:
2.
Kingdom
:
Plantae
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Morales
Famili
:
Moraceae
Genus
:
Artocarpus
Spesies
:
Artocarpus elastica
Kandungan Kimia Penelitian mengenai kandungan kimia tanaman ini belum banyak dilakukan sehingga kandungan kimianya masih belum diketahui.
Gambar 5. Daun dan Buah Terap (A. elastica) E. Insektisida Nabati Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati termasuk jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif pestisida (Suanda, 2002). Tumbuhtumbuhan mempunyai sifat istimewa yaitu kemampuannya untuk mensintesis sejumlah besar molekul organik sekunder atau bahan alami melalui metabolisme sekunder dari bahan organik primer seperti : karbohidrat, lemak dan protein (Suanda, 2002). Informasi hasil penelitian mengenai jenis tumbuh-tumbuhan ini sangat diperlukan, sejalan dengan semakin nyatanya bahaya insektisida sintetis terhadap kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan, maka para peneliti kembali
99
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 ke alam (back to natural) mencari dan meneliti beberapa tanaman yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Tersedianya kekayaan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang cukup, peraturan pendaftaran pestisida alami yang sederhana serta tersedianya berbagai teknologi sederhana merupakan peluang yang besar untuk mengembangkan pestisida alami di Indonesia (Suprapta, 2001). Insektisida nabati memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh insektisida sintetik. Secara umum Pestisida alami diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (Suanda, 2002). Pada umumnya pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih mengandung senyawa kompleks yang relatif kurang stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan senyawa kimia sintetis. Jenis pestisida ini biasanya hanya terdiri dari C, H, O dan kadang-kadang N yang mudah terdegradasi oleh alam dan relatif aman bagi lingkungan (Kardinan,1999) Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan sasaran, dewasa ini harga insektisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya. Di sisi lain ketergantungan akan pentingnya penggunaan insektisida cukup tinggi. Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa dikerjakan di antaranya adalah memanfaatkan
tumbuhan
yang memiliki khasiat
insektisida khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu sebagai sediaan insektisida.
F. Insektisida Sintetis dan Dampak yang Ditimbulkan Beberapa dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia pada lahan pertanian yang telah diketahui, diantaranya mengakibatkan resistensi hama sasaran, gejala resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna, bahkan beberapa pestisida disinyalir memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan global dan penipisan lapisan ozon (Samsudin, 2008). Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida
terhadap
keselamatan
nyawa 100
dan
kesehatan
manusia
sangat
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 mencengangkan. WHO (World Health Organization) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negaranegara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya.. Beberapa pestisida bersifat karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian terbaru dalam Environmental Health Perspective menemukan adanya kaitan kuat antara pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya. Menurut NRDC (Natural Resources Defense Council) tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan penderita kanker otak, leukemia dan cacat pada anak-anak awalnya disebabkan tercemar pestisida kimia III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Dalam kegiatan penelitian ini, adapun alat dan bahan yang diperlukan yaitu: 1.
Alat Alat yang diperlukan berupa: cawan petri, priok, kompor, pisau, timbangan elektrik, sendok/spatula, Waskom plastik/beker glas, saringan/kain kasa, kertas tissue, kuas gambar, kertas lebel dan alat tulis.
2.
Bahan Bahan yang diperlukan berupa: serangga Rayap, tanah, air aqua dan kayu kering.
B. Penyediaan Bahan Ekstrak Ektrak dibuat dari daun Terap (A. elastica) yang sudah tua yang diperoleh di areal dekat tempat tinggal penulis yaitu di Br. Pitik Kelurahan Pedungan, Denpasar Selatan. Daun Terap yang sudah tua di cuci bersih, kemudian dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil kira-kira 1 cm selanjutnya dikeringanginkan selama 2 jam. Daun Terap (A. elastica) tersebut ditimbang seberat 200 gram ditambahkan air 1000 ml, selanjutnya dipanaskan pada suhu kamar (40 o C) selama 5 menit, kemudian didinginkan. Air rebusan tersebut setelah dingin disaring dengan saringan atau kain kasa, sehingga mendapatkan cairan berwarna kuning kemerahan (seperti
101
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 warna teh) yang diduga mengandung metabolit sekunder dari daun Terap (A. elastica), selanjutnya disebut ekstrak kasar daun Terap (crude extrac) konsentrasi 20%. Ekstrak daun Terap tersebut di tuangkan pada beker gelas. C. Pengujian Ekstrak Daun Terap terhadap Hama Rayap Pelaksanaan penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang terdiri atas dua variabel, yaitu variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen). Sebagai variabel bebas adalah aktivitas ekstrak daun Terap (A. elastica), sedangkan variabel terikatnya berupa penurunan berat kayu yang dimakan oleh hama Rayap. Penurunan berat kayu yang dimakan hama Rayap diperoleh dengan mengurangi berat kayu awal dengan berat kayu setelah dimakan Rayap selama 48 jam pada perlakuan kontrol (P0) dan perlakuan eksperimen (P1), kemudian hasil pengurangan tersebut dibandingkan dengan selisih berat kayu perlakuan kontrol (P0) awal dengan berat kayu yang dimakan Rayap setelah 48 jam, yaitu dengan mengurangi berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan ekstrak daun Terap (P1) dengan berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan kontrol (P0). Hama Rayap diperoleh dan dikumpulkan dari kayu yang dimakan Rayap sebanyak 200 ekor. Rayap tersebut dipelihara selama 2 hari dalam kardus berisi makanan berupa kayu kering, tujuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga Rayap tersebut siap untuk dijadikan serangga uji. Dalam kegiatan penelitian ini, penulis hanya menggunakan 2 perlakuan yaitu perlakuan kontrol (P0) hanya menggunakan air (aqua) dan perlakuan eksperimen (P1) menggunakan ekstrak daun Terap, yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali, sehingga percobaan berjumlah 6, yaitu 3 perlakuan kontrol (P0) dan 3 perlakuan ekstrak (P1). Cawan petri yang sudah bersih disiapkan sebanyak 6 buah (3 cawan petri untuk P0 dan 3 cawan petri untuk P1). Pada masing-masing cawan petri itu diisi tanah yang agak lembab untuk mengkondisikan Rayap sesuai habitat hidupnya. Kayu lapuk, ditimbang masing-masing beratnya 2 gram untuk 20 ekor Rayap, sebanyak 6 kali sesuai percobaan pendahuluan yang pernah dilakukan Suanda, (2010). Kayu tersebut dibagi untuk perlakuan kontrol dan perlakuan ektrak yang
102
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 masing-masing berjumlah 3 buah. Untuk perlakuan ekstrak (P1) kayu seberat 2 gram tersebut masing-masing dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap selama 5 detik, kemudian dikeringanmginkan selama 60 menit di atas kertas tissue, sedangkan perlakuan kontrol (P0) masing-masing kayu hanya dicelupkan ke dalam air (aqua). Setelah kering kayu tersebut masing-masing diletakkan dalam cawan petri dengan memberi alas plastik bening pada kayu tersebut, dan memberi kertas lebel pada masing-masing cawan petri. Selanjutnya pada masing-masing cawan petri diinvestasikan (dimasukkan) serangga Rayap sebanyak 120 ekor dipilih yang memiliki ukuran sama dan sehat, kemudian dipuasakan selama 60 menit. Selanjutnya Rayap diambil sebanyak 20 ekor untuk diinvestasikan ke dalam masingmasing cawan petri yang telah disiapkan.
P0 a
P0 b
P0 c
P1 a P1 b P1 c Gambar 6. Aktivitas Ekstrak Daun Terap (A. elastica) sebagai Antifidan terhadap Rayap (M. gilvus (Hagen)). Keterangan : P0 = Perlakuan kontrol P1 = Perlakuan ekstrak daun Terap
103
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Pengamatan mortalitas Rayap dan penurunan berat kayu yang dimakan dilakukan 24 jam setelah investasi serangga. Penghitungan rata-rata mortalitas rayap dilakukan dengan cara penghitungan langsung terhadap objek, sedangkan untuk menghitung rata-rata penurunan berat kayu yang dimakan rayap digunakan neraca elektrik yang merupakan timbangan yang standar, dengan menggunakan rumus:
PA (1
Bmp ) x100% Bmk
Keterangan : PA
= Penurunan aktivitas makan Rayap (%)
Bmp
= Berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan (gram)
Bmk
= Berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan kontrol (gram).
(Prijono, 1988 dalam Suanda, 2002)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Hasil Pengamatan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan hasil pengamatan terhadap
mortalitas Rayap selama 24 jam setelah aplikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan data berat kayu yang dimakan Rayap selam 24 jam setelah aplikasi disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 1 Rata-Rata Mortalitas Rayap 24 Jam Setelah Aplikasi I Mortalitas Rayap
Ulangan (ekor) II Mortalitas Rayap
III Mortalitas Rayap
Kontrol
0
0
0
Ekstrak Daun Terap
0
0
1
Perlakuan
104
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 2. Rata-Rata Berat Kayu yang dimakan Rayap 24 Jam Setelah Aplikasi (mg)
I
Perlakuan
Ulangan (gram) II
III
Berat kayu
Berat kayu
Berat kayu
Kontrol
1,75
1,80
1,65
Ekstrak Daun Terap
0,08
0,10
0,08
B. Pembahasan Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan kontrol (P0) jumlah Rayap yang mati tidak ada (0%), sedangkan pada perlakuan ekstrak daun Terap jumlah Rayap yang mati berjumlah 1 ekor atau sebesar 0,33%. Adanya kematian Rayap sebesar 0,33 % belum bisa dikatagorikan senyawa kimia yang terkandung dalam ektrak daun Terap sebagai racun atau pembunuh Rayap. Hal ini sesuai dengan pendapat Prijono dkk. (1998) bahwa mortalitas larva Croccidolomia binotalis instar III yang mencapai 33,9% sampai dengan 43,9% pada pemberian ekstrak biji mahoni, belum cukup sebagai pembunuh, tetapi lebih bersifat menghambat pertumbuhan. Lebih lanjut dinyatakan oleh Muron dan Norton (1984) dalam Laba dan Soekarna (1986), melaporkan bahwa suatu senyawa dikatakan efektif bila mampu membunuh 80% atau lebih serangga uji. Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dijelaskan pada perlakuan kontrol terjadi berat kayu yang dimakan sebesar rata-rata 1,73 gram selama 24 jam setelah aplikasi, sedangkan pada perlakuan ektrak daun Terap terjadi berat kayu yang dimakan Rayap rata-rata 0,09 gram. Adanya selisih berat kayu yang dimakan Rayap antara perlakuan kontrol (P0) dengan perlakuan ektrak daun Terap (P1) sebesar 1,64 gram sebagai tanda terjadinya penurunan berat kayu yang dimakan oleh Rayap selam 24 jam setelah aplikasi. Penurunan berat kayu yang dimakan Rayap selama 24 jam 105
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 setelah aplikasi sebesar 1,64 gram dari berat kayu awal yaitu 2 gram menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan (sangat nyata). Penurunan berat kayu yang dimakan oleh Rayap sebesar 1,64 gram terhadap kontrol menunjukkan bahwa pada perlakuan (P1) mengandung senyawa aktif yang bersifat antifidan (penurunan nafsu makan) Rayap pada kayu yang dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap, sehingga ekstrak terap berpotensi dijadikan sebagai bahan tir (cat) kayu.
C. Simpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa 1.
Dongeng
yang
diberikan dalam
pembelajaran di
sekolah
dapat
menumbuhkan sikap ilmiah dan pendidikan karakter serta pelestarian budaya. 2.
Ektrak daun Terap (A. elastica) dapat bersifat antifidan dengan menurunkan nafsu makan Rayap, sebesar 1,64 gram.
D. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas dapat disarankan bahwa : 1.
Perlu diberikan pelajaran Dongeng di sekolah untuk meningkatkan pelestarian budaya dan pendidikan karakter serta tumbuhnya ide inovatif untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa, sehingga siswa kreatif untuk mencoba dan menghasilkan suatu pengetahuan baru berupa teori baru.
2.
Ekstrak daun Terap dapat direkomendasikan untuk dijadikan bahan “Teer” agar serangan Rayap tidak terjadi pada perabotan rumah tangga DAFTAR RUJUKAN
Anonim.
2009. Tanaman Obat Indonesia Available at: http//: Iptek.net.id/index.php.id=12.ch=pd Opened: 15-3-2009.
106
www.
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Heyne, K. 1987. Tumbuhan Beruna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Vol. I –IV Huton, P. and Reilly. 2001. Biopesticides. United States Enviromental Production Agency. Pp 1-3. Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Bogor.Penebar Swadaya. Laba, I W. dan D. Soekarno. 1986. Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) pada Berbagai Instar Perlakuan Insektisida pada Kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Jakarta. Nandika, D. Yudi R. dan Farah Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Harun JP. Ed Surakarta. Muhamandyah Univ. Press. Prijono, D. 1998. Insecticidal Activity of Meliaceous seed Extracts Againts Crocidolomia binotalis Zeller. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Vol. 10 No. 1. Suanda, I Wayan. 2002. Aktivitas Insektisida Ektrak Daun Brotowali (Tinospora crispa L) terhadap Larva Plutella xylostella L. pada Tanaman Kubis. Tesis. Program Pascasarjanan. Denpasar. Universitas Udayana. _____,. 2010. Uji Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Terap (Artocarpus elastica) terhadap Hama Rayap (Macrotermes gilpus (Hagen)) sebagai pemakan Kayu (dalam Majalah Ilmiah Mahawidya Saraswati UNMAS Denpasar No. 71, Januari - Juni 2010). Suprapta, D.N. 2001. Meninjau Kembali Kebijaksanaan Penggunaan Pestisida pada Lahan Pertanian. Pertanian Masa Depan: Kembali ke Pupuk Nabati. Yayasan Manikaya Kauci. Taruminangkeng, Rudy C. 1990. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu Indonesia. Lap. L.P.H. No. 138. 28p.
107
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PERBEDAAN PENGARUH EKSTRAK GAMBIR (Uncaria gambir) DAN GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP DAYA SIMPAN BUAH CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum) Oleh I Gusti Ayu Rai Dosen FPMIPA IKIP PGRI BALI ABSTRACT Gambier plant (Uncaria gambier) and aloe vera (Aloe vera) may be used as a natural preservative, especially for the shelf life of fruit. This is possible because the gambier plant contains catechins, flavonoids, tanning substances, a number of alkaloids like gambirtanin allegedly capable of inhibiting the damage caused by microorganisms and oxidation degradation. Similarly, aloe vera and wax coating containing oxidase which acts as an antioxidant that has the potential to slow down and inhibit the growth of microorganisms in food. The purpose of this study was to determine the effects difference gambier extract, aloe vera gel and mix gambier extract and aloe vera gel to keep the big red chilies. Furthermore this study aims to determine the most optimal effect of the extract on the shelf life of red chilies. Data collected in this study is a quantitative difference chilies weight (grams) on the first day by day 14, and the qualitative data about the signs of decay in pepper fruit such as texture (wrinkles), blacking, the growth of mold, and discharge. To obtain the data used the method of observation and recording of direct observations. Data on the weight of a large red chilies, analyzed with a statistical hypothesis testing using the One Way ANAVA. Based on the analysis of data was obtained F0 value is 11.40029, where the value is greater than the rejection of the null hypothesis at 5% significance level is 4.49, and at 1% significance level is 5.95. It can therefore be interpreted that there are differences in the influence of gambier extract and aloe vera gel to keep the big red chilies (C. annuum). Among the three natural preservatives, which gives the best effect on the shelf life of red chilies are the aloe vera gel. This can be supported by qualitative data during the observation, that the signs of decay that occurs at least chilies are given treatment with extracts of aloe vera gel (Aloe vera), and the most common on pepper fruit extracts are not given the treatment (control). Key words : gambier extract, aloe vera gel, the shelf life of red chilies. I. LATAR BELAKANG MASALAH Hasil pertanian berupa buah dan sayuran pada umunya mudah mengalami kerusakan. Kerusakan ini dapat disebabkan karena kurang hati-hati dalam
108
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 menangani hasil pertanian tersebut, terutama saat pasca panen. Di samping itu kerusakan juga disebabkan oleh mikroba, baik yang berasal dari tanah, air, udara, serangga maupun hewan. Mikroba dapat tumbuh pada permukaan buah tanaman. Apabila ada kerusakan fisik, maka kerusakan oleh mikroba dapat berkembang dengan cepat. Cara pemanenan yang kurang baik menyebabkan keluarnya cairan buah yang berisi nutrien, sehingga cairan tersebut dapat digunakan oleh mikroba yang menyebabkan mikroba cepat tumbuh dan memudahkan penetrasi ke dalam jaringan tanaman, termasuk pada buah cabai (Dwiari, 2008). Cabai merupakan salah satu komoditas pangan yang keberadaannya tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bumbu dapur, industri saos, industri bubuk cabai, industri mie instan, sampai industri farmasi menggunakan cabai sebagai bahan baku utamanya. Kandungan gizi buah cabai sangat tinggi dan baik bagi kesehatan karena mengandung banyak karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Namun karena adanya kandungan minyak atsiri yang bersifat ”membakar” maka cabai berasa pedas dan dilupakan kandungan gizinya. Bisa dikatakan bahwa cabai, yang paling pedas sekalipun kandungan gizinya relatif setara dengan sayur dan buah-buahan lain (Warisono, 2010). Dari kandungan gizi dan organoleptik yang terdapat pada cabai, maka kebutuhan akan cabai terus meningkat. Produksi cabai dapat dipengaruhi oleh iklim seperti iklim hujan yang berkepanjangan, sehingga perlu adanya teknologi pangan sebagai upaya untuk mengawetkannya. Teknologi pangan sangat dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan konsumen. Walaupun banyak pengawet sintetis yang bisa digunakan namun penggunaannya sering tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen. Untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan pengawet sintetis maka perlu adanya alternatif lain yang dapat menggantikan pengawet sintetis, salah satunya adalah ekstrak gambir (Uncaria gambir) dan gel
109
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 lidah buaya (Aloe vera). Gambir memiliki kandungan katekin yang dapat mengawetkan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi reaksi oksidasi (Anonim, 2011). Lidah buaya juga memiliki kandungan berupa enzim oksidase yang dapat dimanfaatkan sebagai anti oksidan, yang menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan oksigen, sinar panas, dan beberapa logam sehingga dapat mencegah terjadinya kebusukan (Anonim, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh pelapisan antara yang menggunakan ekstrak gambir (Uncaria gambir) dengan yang menggunakan gel lidah buaya (Aloe vera) terhadap daya simpan cabai merah besar (Capsicum anuum).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanaman Cabai (Capsicum anuum) Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu. Biasanya batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk banyak percabangan. Untuk jenis cabai besar, panjang batang dapat mencapai 2 meter bahkan lebih. Batang tanaman cabai berwarna hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang yang telah tua, akan muncul warna cokelat seperti kayu. Ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim. Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah, umumnya berwarna hijau muda atau hijau pucat. Permukaan daun cabai ada yang halus dan adapula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm. Tanaman cabai berakar serabut dan biasanya terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang berfungsi sebagai akar tunggang semu.
110
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun dalam keadaan tunggal atau bergerombol di dalam tandan. Buah cabai merupakan bagian tanaman yang tidak dapat dipisahkankan dari kebutuhan manusia sehari-hari, terutama sebagai bumbu karena buah cabai dapat memberikan organoleptik yang dapat menentukan rasa dalam masakan. Dalam buah cabai terkandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin C, vitamin E, vitamin K, fitosterol, betakaroten, betacryptoxanthin, mineral, dan minyak atsiri yang memberikankan rasa pedas. 2.2 Tinjauan tentang Tanaman Gambir (Uncaria gambir) Gambir termasuk tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang. Ciri-ciri dari tanaman ini adalah daunnya berbentuk oval, memanjang, ujung meruncing, permukaan tidak berbulu (licin), dengan tangkai daun pendek. Bunganya tersusun majemuk dengan mahkota berwarna merah muda atau hijau, buah berupa kapsula dengan dua ruang. Kandungan yang utama adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid, seperti gambirtannin. Selain itu gambir dijadikan obat-obatan modern, sebagai pewarna cat, pewarna pakaian, dan sebagai komponen menyirih. Fungsinya yang tengah dikembangkan saat ini adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel. Di samping itu secara alami para produsen makanan menggunakan tanaman ini sebagai pengawet makanan, karena dalam daunnya terdapat kandungan katekin yang dapat mengawetkan bahan makanan atau makanan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi reaksi oksidasi (penyebab basi). 2.3 Tinjauan tentang Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera) Tanaman lidah buaya termasuk semak rendah, tergolong tanaman yang bersifat sukulen, akar serabut, batang pendek, daun berbentuk tombak, tidak bertulang daun, berdaging tebal, mempunyai lapisan lilin, bermelingkar (roset), serta
111
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 bunga berbentuk lonceng. Tanaman ini di Indonesia terkenal sebagai bahan baku kosmetik, terutama sebagai penyubur rambut. Berdasarkan hasil penelitian tanaman ini kaya akan kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, Lidah Buaya berkhasiat sebagai anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri, dan membantu proses regenerasi sel (Wahyono dan Kusnandar, 2002). Salah satu zat yang terkandung dalam lidah buaya adalah aloe emoidin sebuah senyawa organik dari golongan antrokuinon yang mengaktivasi jenjang sinyal insulin seperti pennyerap insulin-beta dan -substrat1, fosfatidil insitol-3 kinase dan meningkatkan laju sintetis glikogen dengan menghambat glikogen sintase kinase3beta¹ sehingga sangat berguna untuk mengurangi rasio gula darah. Khasiat lainnya adalah sebagai antibakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogens), sebagai antiinflamasi, dan antiviral HIV). Potensi lidah buaya sangat baik untuk terus dikembangkan, salah satunya adalah sebagai bahan pengawet alami. Kandungan enzim oksidase yang ada didalamnya dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan dalam peningkatan daya simpan bahan pangan, sehingga bahan pangan menjadi lebih awet atau tahan lama. Pengawetan sendiri bertujuan untuk menghambat terjadinya pembusukan bahan pangan dan menjamin kualitas bahan pangan agar tetap terjaga selama mungkin. Lidah buaya sebagai antioksidan yang mengandung beragam antibiotik dan zat-zat pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah terjadinya kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Di samping itu gel lidah buaya yang mengandung lapisan lilin mampu menjaga kualitas pangan dengan baik (Wahyono dan Kusnandar, 2002).
2.4 Kerusakan Bahan Pangan Pangan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah terjadi perubahanperubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. Kerusakan dapat terjadi karena 112
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 kerusakan fisik, kimia, enzimatis. Namun secara umum, kerusakan pangan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tumbuhnya bakteri, kamir atau kapang pada pangan yang dapat merusak protein sehingga, mengakibatkan bau busuk, dan juga dapat membentuk lendir, gas, busa, asam ataupun racun (Anonim, 2006). Suatu bahan pangan dinyatakan rusak jika terjadi penyimpangan yang melewati batas dapat diterima secara normal oleh panca indra atau parameter lain yang biasa dilewatkan. Beberapa bahan dianggap rusak bila menunjukan penyimpangan organoleptip serta tekstur dari keadaan normal. Misalnya suatu bahan pangan dalam keadaan normal kental tetapi bila berubah menjadi encer maka dikatakan mengalami kerusakan. Penyebab utama kerusakan bahan pangan meliputi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri, kapang dan kamir. Faktor-faktor ini sangat sulit diisolasi di alam misalnya bakteri, insekta, sinar, dapat secara kontinu menimbulkan kerusakan baik selama di lapangan maupun di gudang. Faktor panas, kadar air, dan udara salin dapat menyebabkan kerusakan dan dapat juga menunjang aktivitas mikroba. Selama proses pemanenan, penyinaran dan pengangkutan ke pasar, buah dan sayuran berpeluang terkontaminasi bahan kimia pertanian seperti residu pestisida, antibiotik pertanian, pupuk dan bahan perangsang tumbuh. Karena itu sebelum diolah dan dikonsumsi, buah dan sayuran harus dicuci terlebih dahulu dengan air bersih. Kerusakanjuda sering terjadi karena benturan fisik, serangan serangga dan serangan mikroorganisme. Buah dan sayuran yang rusak terlihat busuk, berubah warna dan rasa, serta berlendir (Dwiari, 2008). III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang berupa selisih berat buah cabai dari hari pertama sampai hari ke 14, dan data kuantitatif yang berupa tanda-tanda kebusukan seperti: 1) tekstur, 2)
113
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 munculnya plek-plek hitam, 3) tumbuhnya jamur, dan 4) data tentang keluarnya cairan pada buah cabai merah besar (C. Anuum). Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah metode observasi yang dilakukan selama dua minggu (14 hari). Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan bahwa ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. Gambir) dan ekstrak gel lidah buaya (A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. Anuum). Jumlah populasi yang digunakan adalah 1000 buah cabai merah besar, dan dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai sampel sebanyak 560 buah untuk empat kali ulangan. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik random sederhana yang diambil secara acak. Sampel yang telah ditetapkan dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok 1 (P0) sebagai kontrol, kelompok 2 (P2) diberikan perlakuan dengan ekstrak gambir, kelompok 3 (P3) diberikan perlakuan dengan gel lidah buaya, dan kelompok 4 (P4) diberikan perlakuan dengan campuran ekstrak gambir dan lidah buaya. Masing-masing kelompok terdiri dari 35 buah cabai sehingga total sampel yang digunakan dalam setiap perlakuan untuk empat kali ulangan adalah 140 buah cabai merah besar.
3.2 Teknik Analisis Data Data yang telah diperoleh melalui observasi yang berupa data kuantitatif dan kualitaf dimasukan ke dalam tabel kerja. Selanjutnya untuk data kuantitatif yaitu mengenai selisih berat buah cabai dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis komparatif k sampel berkorelasi. Pengujian hipotesis menggunakan One Way Anava, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan interpretasi dan uji Tukey’s HSD.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data Sebelum dianalisis masing-masing data dimasukkan ke dalam tabel kerja sebagai berikut.
114
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 01 Selisih Berat Buah Cabai antara Hari Pertama dengan Hari ke 14 (gram) No (1) 1 2 3 4
Ulangan (2) Percobaan I Percobaan II Percobaan III Percobaan IV Jumlah Keterangan : Po P1 P2 P3
: : : :
Po (3) 181 180 168 162 691
P1 (4) 146 78 81 72 377
P2 (5) 106 60 45 39 250
P3 (6) 149 111 87 90 437
Total (7)
1755
Cabai yang tidak dilapisi apa-apa (kontrol). Cabai yang dilapisi Ekstrak gambir (U. gambir) Cabai yang dilapisi gel lidah buaya (A. vera) Cabai yang dilapisi campuran ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A.vera). Tabel 02
Data Tentang Tekstur Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji) Pengamatan
1
2
3
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
4 4
Hari 5 6 7 8 9 16 31 55 70 83 9 30 34 11 37 46 60
10 99 54 4 69
11 12 13 14 117 129 137 140 61 77 87 101 18 30 37 60 88 102 114 120
Tabel 03 Data Tentang Plek-plek Hitam Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji) Pengamatan Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
1
2
3
4
5
6 3
7 4
Hari 8 9 10 17
1
115
3
10 42 1
11 60 6
6
16
12 71 12 4 23
13 82 15 10 30
14 88 23 16 43
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 04 Data Tentang Tumbuhnya Jamur pada Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji) Pengamatan
1
2
3
4
5
6
7
Hari 8 9
10
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
11 19
12 56 10 5 14
13 65 19 6 27
14 65 24 14 34
12 28 6 1 8
13 31 10 3 12
14 45 13 5 24
Tabel 05 Data Tentang Keluarnya Cairan pada Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji) Pengamatan
1
2
3
4
5
6
7
Hari 8 9
10
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
11 15 4 6
4.2 Analisis Data Data tentang selisih berat buah cabai dari hari pertama sampai hari ke 14 yang telah diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik One Way Anava. Setelah melalui beberapa prosedur pengujian maka diperoleh hasilnya sebagai berikut. Tabel 06 Tabel Ringkasan dari Hasil Analisis Data dengan Teknik One Way Anova No 1 2 3
Sumber Variance Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
dk
SS
MS
3
25768,19
8589,39
12
9041,24
753,436
15
34809,43
116
Fo
11,40029
Ft
Interpretsi
F0,05 3,49 F0,01 5,95
Signifikan Signifikan
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Hasil pengujian dengan teknik One Way Anava kemudian disubstitusikan ke dalam rumus analisis varians (ANOVA) satu jalur dengan bantuan program SPSS 10.0 for windows . Ringkasan hasil perhitungan analisis varians satu jalur untuk uji hipotesis adalah sebagai berikut. Tabel 30 Ringkasan Hasil Analisis Varians ANOVA CABAI
Between Groups Within Groups Total
A.
Sum of Squares 25768.188 9077.250 34845.438
df 3 12 15
Mean Square 8589.396 756.438
F 11.355
Sig. .001
Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029
sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v1=3 dan v2=12 dengan taraf signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga Ho yang diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat diinterpretasikan ”bahwa ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum)”. Hasil pengujian dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355. Setelah diperoleh data tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis lanjutan ANOVA, yang disebut dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukey’s HSD, dengan rumus :
117
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 1. Hitung Tukey‟s HSD
X1
X2
X3
X4
X1
X
78,5
110,25
63,5
X2
78,5
X
31,75
15
X3
110,25
31,75
X
46,75
X4
63,5
15
46,75
X
B.
Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029
sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v1=3 dan v2=12 dengan taraf signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan
118
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga, Ho yang diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan ” bahwa ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum)”. Hasil pengujian dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355. Hasil yang ditunjukkan oleh analisis lanjutan ANAVA, yang sering disebut dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukey’s HSD adalah sebesar 57,642. Hal ini berarti, diperoleh nilai yang lebih besar dari HSD (57,642), sehingga dapat dikatakan mempunyai perbedaan secara signifikan, yang ditunjukkan oleh gel lidah buya (X3) dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 110, 25. Dilanjutkan dengan ekstrak gambir (X2) dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 78,5 dan campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya (X4) dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 63,5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang memberikan pengaruh yang paling baik terhadap daya simpan buah cabai merah besar adalah gel lidah buaya (A. Vera). Dari data kualitatif yang diperoleh melalui observasi menunjukkan adanya kesesuaian, bahwa tanda-tanda kebusukan secara berturut-turut mulai dari yang paling ringan sampai yang paling parah adalah buah cabai yang diberikan ekstrak lidah buaya yang diikuti dengan buah cabai yang diberikan ekstrak gambir, buah cabai yang diberikan campuran ekstrak lidah buaya dan ekstrak gambir, dan buah cabai yang tidak diberikan perlakuan (kontrol). Buah cabai yang dilapisi dengan gel lidah buaya memiliki pengaruh yang paling baik dalam menjaga kualitas cabai dalam penyimpanan. Gel lidah buaya mampu mempertahankan keawetan buah karena gel lidah buaya memiliki kandungan enzim oksidase yang berperan sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, zat-zat pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah terjadinya kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Gel lidah buaya dapat membuat lapisan seperti lilin sehingga buah tetap dapat terjaga kualitasnya dan menjadi lebih awet (Wahyono dan Kusnandar, 2002). Berbeda
119
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 halnya dengan ekstrak gambir, kandungan utamanya adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid, seperti gambirtannin. Secara alami para produsen makanan sering menggunakan tanaman ini untuk pengawet bahan pangan. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun tanaman gambir terdapat sebuah kandungan katekin yang dapat mengawetkan makanan dan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi reaksi oksidasi. III. PENUTUP 3.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1.
Ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum).
2.
Di antara ketiga bahan pengawet alami tersebut yang memberikan pengaruh paling optimal terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum), adalah gel lidah buaya (A. vera).
3.2 Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu : 1.
Bagi masyarakat disarankan untuk menggunakan gel lidah buaya (A. Vera) dan ekstrak gambir (U. gambir) sebagai salah satu upaya untuk mengawetkan buah, karena disamping lebih ekonomis bahan pengawet alami ini aman bagi kesehatan dan lingkungan.
2.
Karena dalam penelitian ini hanya meneliti selisih berat dan tanda-tanda kerusakan pada buah cabai yang dilapisi ekstrak gambir, gel lidah buaya dan campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya, maka penulis menyarankan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan agar dapat menemukan dan mengungkap pengaruh variabel-variabel lainnya.
120
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 DAFTAR RUJUKAN Bukcle, Edwards, Fleet dan Wooton, 2007. Ilmu Pangan, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pengawet Alami Pengganti Formalin, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dwiari, 2008 pada Warisono, 2010. Peluang dan Usaha Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hasan, Iqbal, 2004. Analisi Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta. Irianto, Agus, 2009. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, Kencana, Jakarta. Margono, S, 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta. Sanders, 1998. dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sugiyono, 2009. Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung. Wahyono dan Kusnandar, dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
121
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE IN DENPASAR SOCIETY By I Wayan Adnyana IKIP PGRI BALI Abstract The management of minimarket network is a business conduted in the field of minimarket business through a whole system of management and distribution of goods to the outlet of the network. Consumer culture can be seen as a culture that flourished from individuals and families to the community of a country and even parts of the world community. Meeting the needs of goods and services in an effort to maintain life known as consumption, but consumerism is defined as a lavish (more than it is supoosed to be) consumption activities. The presence of media, advertising is able to encourage consumerism in urban communities, which gradually turning into urban lifestyle that is more oriented on imaging. Key words : minimarket, consumerism, imaging (image)
I. INTRODUCTION Complexity and changes has become an important feature of contemporary industrial society. Complexity that permeates all aspects of life, such as trading systems, global marketing, long-distance communication via electronic networks are very sophisticated, all of which make this world more and more narrow. Globalization in relations to products that will dominate the market, are products that have quality and global prices. Products that are not served by the quality and global prices will tend to be abandoned and eliminated from the market (Revrison Baswir, 1999: 83). Small businesses continue to experience marginalization, which in turn will create a small society increasingly driven by efforts that are much more highly capitalized, with instant service. Socio-economic and cultural transformation is a very interesting study. The technological revolution of electronic and communication technologies have a connection with various parts of the world. As a result, the "consumer culture" trend growth in the cities. In this process of consumption, it is an important factor in the change order and the order of symbolic
122
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 value. In this trend of identity and subjectivity do transformation, both related to the issue of integration and nationalism. Logic of late capitalism no longer needs to produce objects as much as possible with minimum cost, but produces the need through the creation of images (image) by advertising agencies. Mass culture or popular culture is the culture that produced for ordinary people, ordinary people in this approach is considered as a share of the market, consumers in a focus group of pop culture described certain commodities (Adlin, 2006:121). In today's consumer society, various new logic of consumption model developed and that development fundamentally changed the relationship between the consumer and the object or product. In a developing society, object is no longer bound to the logic of utility, functionality and requirements (needs), but on what is called as the logic of signs (logic of sign) and image logic (logic of image). Indonesia‟s consumptive behavior is excessive compared with the nations of Southeast Asia. This can be seen from the low level of private savings. Consumerism is often defined as lavish consumption. Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly experiencing a numerous variety of social, cultural and economic developments. To meet the needs of society, with economic activity of nearly 24 hours a day, in which the consumer has changed from buying products to buying the image of the product, it is certainly the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a minimarket. With instan standard products and services. Consumption process is now dominated by the pleasure principle, in which the essential meaning is no longer that important. A commodity became popular is not because for whom the goods were producted, but rather due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity, which is determined in the socio-economic process. II. MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE Denpasar as a capital city, have numerous mini market, supermarket and hypermarket stores which are categorized as either modern or stand-alone franchaising. The distance between one another is very close, which means a
123
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 struggle for market share between mini market and particularly to the “oldfashioned” small traders who conduct activities in traditional markets and grocery shops. This competition is certainly will ended up with the glory of modern store in terms of better management, capital and a range of services and quality products. The spread of modern shop in Denpasar can be seen in the following table. Table 1 The Spread of Modern Store in Denpasar No.
District
Minimarket
Supermarket
Hypermarket
Total
1
South Denpasar
121
10
2
133
2
West Denpasar
64
16
-
80
3
East Denpasar
38
1
-
39
4
North Denpasar
48
12
-
60
Total 271 39 2 Sources : Department of Trade and Industry Denpasar, 2011
312
From the table above can be seen that Southern Denpasar district has the biggest number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the reason why Southern Denpasar chosed as the research area. Table 2 Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the store) No.
Minimarket
1 Circle K 2 Indomaret 3 Alfamart 4 Lotus Mart 5 Alfa Midi 6 Alfa Express 7 Mini Mart 8 Petto Mart 9 Cahaya Minimarket 10 Inti Mart Sources : Department of Trade and Industry Denpasar
124
Total 48 33 21 9 8 8 6 3 3 2
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Type of product which small traders in South Denpasar District sell is diverse. From the observation, it is founded 10 kinds major product, which are food and beverage, clothing, fruits, household appliances, religious ceremony equipment seller, primary needs like rice or cooking oil, agricultural produts, toys, souvenirs, and eye glasses, spread almost all over the district especially in village market and surrounding citizens neighborhood. Table 3 The Bussiness Area of Small Scale Enterprise In Southern Denpasar District No Village Traditional market Shopping Centre Total 1 Pemogan 4 195 199 2 Pedungan 4 264 268 3 Sesetan 3 251 254 4 Serangan 1 119 120 5 Sidakarya 2 138 140 6 Panjer 1 377 378 7 Renon 2 27 29 8 Sanur Kauh 1 248 249 9 Sanur 1 525 526 10 Sanur Kaja 1 102 103 ____________________________________________________________________ Total 20 2246 2266 ____________________________________________________________________ Sources : Monografi of Southern Denpasar District, 2009.
On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises, are all included in the category of small businesses. Small businesses are economically productive, conducted by an individual or business entity that is not a subsidiary or branch of a company and also not owned, controlled, or a part, either directly or indirectly from medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9 of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by small businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million rupiah) up to a maximum of Rp 500 million, - (five hundred million rupiah) excluding the value of land and building where the business conducted.
125
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 On the other hands, the definition of Modern store is store with independent way of payment, such as Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket. The network manager is a businessman who do business in the field of Minimarket, through a system of unified management and distribution of goods to a network outlet. The presence of minimarket encourage consumerism. The community is no longer think rationally to meet his needs, as they already persuade by the media which advertising it widely, so that consumers continue to be influenced by the not only psychological interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21). "Discipline mall" (a term used to describe the shopping centre condition is very persuading customer to be consumptive, which starts from arrival at a mall that begin with take the trolley, often called a stroller that serves as a shopping bag, then select the item and put it on a trolley, which filled “properly” by the customer, as full as possible. The full contents of the trolley looks “wow”, and when arrived at cashier counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On the monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the number, the bigger pride for the customer. For the young urban, the cool image of minimarket is attached, so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in small stalls or traditional markets because the image will not be look “cool”, and prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because they felt a pleasure in an objective and subjective way, as it can boost the image of themselves, that they have became contemporary society. As a consequence, small scale enterprise can not win the competition and some even have to close their enterprise. Research conducted by global companies Meadwestvaco in 2000 at 12 KMart stores with the title "Display of merchandise affect sales." K-Mart is the main outlet for your writing tools. An experiment was designed in which 12 K-Mart store. Six stores were randomized assigned to implement the new system in the display of merchandise, while six other stores displaying merchandise with the old way. The experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of products that
126
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 implement the new system has a 7% higher sales than the sales of stores that use the old system (Malhotra, 2005: 101). The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2 mentioned about brand awareness and image impact on satisfaction and trust to increase future sales. This would appear to: (1) brand awareness has a positive effect on current purchase (2) brand image has a positive efeect on current purchase (3) brand awareness has a positive efeect on future purchase and (4) brand image has a positive effect on future purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al, 2006 : 98-105). In European Journal of Marketing Vol.40 No. ½, stated that one thing that is important to foster relationships between the seller and the buyer is "trust" (trust). Confidence arising from a long training process until both parties trust each other. Both party will be honest, fair and reliable in carrying out activities in the future. In this connection the high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1) increase commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4) reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145). Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City Lifestyle Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle changes, especially in big cities, suppose to make the traditional stores change the old pattern of their business smartly. Development of the convenience store and mini market not only requires adjustment of the operating hours, but also the adjustment and payment of merchandise. Application of the supply chain as an alternative. Traditional store merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1% for <20 product number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5% for > 25 products (Jawa Post, 2010). This study provides the basis of marketing strategy for the minimarket. In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about culture in three broad definitions, namely (1) a general process of intellectual, spiritual, and aesthetic development, (2) a special way of life for people, a period, or a group, called the lived cultures or cultural practice, and (3) the works and practices
127
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 primarily aesthetic and intellectual activity, called the signifying practices. The concept of culture written above is the recognition of various modern human activities in various forms including the consumption or even consumerism. Minimarket is present in the middle of a large urban community to meet the needs of the community that felt as "emergency" in the middle of the night. Customer segments are employees, students and people who work until late at night or traveling at night which classified as middle-up. In running the retail business, integrated retail concept applied, CARE, implying a deep perspective. This perspective departs from a focus on customer needs, coordinating the activities which affect the consumer, and make a profit by building relationships with consumers in the long run based on customer satisfaction and value (Lynda and Cynthia, 2001: 7). The operation of minimarket which operate for 24 hours a day, helps to increase consumers number especially among younger consumers. Circle K minimarket imaged as a hip minimarket and they serve drinks that are complete enough, an option preferred by Indonesian youth of today. Buyers of the stores were also allowed to sit in front of the minimarket while enjoying what they had bought, and that indirectly lead to made circle k as the youth gathering place in the evening time. Shopping in minimarket is seen as a lifestyle or life style can be defined as a pattern of space, time, and the certain goods of social groups usage. Lifestyle, then, is how certain social groups use the space, time, and goods, with the pattern, style, or habit, which is done repeatedly in the certain space-time. When associated with the geography-time, the lifestyle is how the patterns, habits, and style of a particular social group in the routine of everyday social practices within the space-time (Filiang, 2004: 60). By understanding the customer is one of the keys to make minimarket succeed. Here are the pictures of minimarket, Circle K.
128
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
Picture 1 : Minimarket Circle K Shopping at the minimarket create a memorable shopping experience through a selection of goods and creative promotional activities and create a shopping environment that is safe, comfortable and enjoyable. Minimarket Circle K is open 24 hours, appears in the following figure;
Picture 2 : Circle K on Evening Time Minimarket visited by a lot of middle-low housewife to buy household needed per week or per month. On the other side, the circle K approached by staff, students, and young middle-up for shopping needs only at that moment. Selected target consumers as employees and students because the two segments that havea lot
129
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 of activity. It is often that the duty office and school work have to be until late at night. Circle K applied the special concept of illumination (ligthing) specifically to give visitors a sense of security when shopping at night time, good lighting in the store area or in the parking lot. Store locations are also chosen specially so that it is far from posssible criminal action, such as train stations or bus terminals. Store design is also different. Circle K has a attractive modern design, by offering room and light, shelf or display of products arranged in such a way that impressed nicely, while the minimarket was designed simple. In terms of product price, the price at the Circle K is a bit more expensive than most of the minimarket but this is not an obstacle to the middle up class to shop. Circle K maximize customer satisfaction with emphasis on speed of service, cleanliness, store cleanliness, hospitality services and a pleasant store atmosphere. Added with the facility of free wifi or internet that is intended for those who like to surf in cyberspace, which attracted a lot of customer. Here's a comment or response from some of the mini-circle K of visitors,: "Agus Damadi found shopping at Circle K is very satisfactory, as it also comfortable and clean place, comfort is also important when shopping, the products are sold well equipped, almost everything I need is available, although the price is more expensive. Circle K also often give a bonus if you buy a particular product and not all kiosks provide a facility like this". “Aloysius Sanjaya Susel expressed that minimarket is a convenient place to shop especially at night after work. Not only Circle K is open 24 hours a day, but also it is located at the side of the highway makes it easy to find. Circle K is very cool to hang out as he used to surf with friends. Items are sell well and complete so that we find almost everything here, which is also very comfortable place.” The existence of minimarket around us can not be denied as the people's needs. A good arrangement of space, comfort, price information transparent and good service, and the price is just one hundred rupiah difference with regular stalls in things like soap and instant noodles. Every comfort is made to make customer
130
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 purchased more goods outside of their daily needs so that the culture of consumerism continues to run. Consumers is as king. Just choose, take, bring it to the cashier and pay. Member card swipe. Imagine, just take the card, traveling like a king, choose, calculate, and friction out of the mini was very stylish and modern. Forget how much money they spent away. Lifestyle is the hallmark of a modern world, or who is often called modernity. The point is that those who live in modern society will use the notion of lifestyle for themselves and describe the actions of others. In daily interactions we can apply the idea of a lifestyle without the need to explain what we mean, and we are really challenged and may be difficult to find a general description of the things that refer to the lifestyle. Lifestyles are patterns of action that differentiates one person to another or life style as a set of practices and attitudes that make sense in certain contexts (Chaney, 2009: 40-41). In view of psychology, lifestyle is generally understood as a procedure or personal habits of individual and unique. But then life style followed by a group of people so there was a shift towards an understanding of lifestyle, which is to be the way of life that reflects the attitudes, values and norms of a particular social group. Lifestyle as a way of life includes a set of habits, views, and patterns of response to life, and especially the equipment for a living. The way is not something natural, but it was found, adopted or created, developed, and used to show action in order to achieve certain goals (of calendar, 2006: 36-39).
III. CONCLUSION Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it can be said to be poorly controlled and have marginalized the small merchants who sell on traditional markets and stalls, need to get special attention from economic actors and governments. It should be understood that the minimarket as a modern store that can provide a variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially for urban communities. Minimarket are heavily promoted by the advertising media,
131
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 which is recognized by the consumer that has built a variety of imaging which is the urban lifestyle. In this research, there is a purpose to understand and transform structures of domination in capitalist society, which in this case represented by the minimarket. Industrialization has rise the production of goods and services in a very large amount, that must be combined with high number of consumers. That is the reason why consumer culture on society should be examined critically.
REFERENCES Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta: Jala Sutra Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra. Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006. An Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial BuyerSeller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40 No. 1/2 Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT Indeks Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta: Relief Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga: Merdeka. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta : Universitas Atmajaya
132
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2 Takwin, Bagus.2006.” Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup”. Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.: 35-54. Document and Electronic Sources Camat Denpasar Selatan, 2010. ”Monografi Kecamatan Denpasar Selatan” Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. ”Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Pembelanjaan, dan Toko Modern. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008. ”UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. “Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat”. Dalam Radar Bali, 16 Juni 2010. Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. “Pemkot Segel Tujuh Minimarket”. Dalam Jawa Pos, 13 Juli 2010. Tim Redaksi Radar Bali 2011c. “Ijin Toko Modern Distop”. Dalam Radar Bali, 8 April 2011. www.circlek.com.
133
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 STUDI TENTANG DIVERSITAS KELAPA (Cocos sp.) UNTUK UPAKARA YADNYA DI DESA MARGA DAJAN PURI TABANAN Oleh Ni Nyoman Parmithi Dosen FPMIPA IKIP PGRI Bali ABSTRACT Hindu community in particular, was never separated from the yadnya ceremony. Upakara is part of Hindu religious framework, in addition to Tatwa (philosophy) and Vice (ethics). Means of the ceremony usually use certain parts of the plant such as stems, leaves, flowers and fruits are often accompanied with a special identity. Coconut is one of the fruits of their use for purposes Yadnya, not independent of the morphological aspects and philosophical meaning. Morphological aspects can be seen from the shape, color, bark, leaves and seludang. While the philosophical meanings depending on the type and name Yadnya offerings. Use of this palm fruit (bungkak) from the young to old (nyuh). In relation to the second aspect, quite a lot of people who do not know about the types and varieties of coconuts are used for the Yadnya benefit. In addition, it is still quite a lot of people who do not know the meaning of the philosophy of coconuts in relation to the name of offerings, given the wide variety of offerings that require coconut different. This study aims to determine the types and varieties of coconuts are used for the benefit Yadnya, as well as to determine the morphological aspects of the philosophy and meaning of coconuts used, and to determine the classification of coconut plantations in ethnobotany. The research was conducted in the village of Marga Dajan Puri Tabanan. The method used is the method of observation and interviews with informants like Sulinggih, stakeholders and artisan offerings. These results indicate that the types of coconuts used there are two types, namely: (1) of the type Typika coconut (coconut), and (2) palm of the type Nana (early maturing coconut). Local designation is nyuh mulung coconut, nyuh bojog, nyuh Rangda/nyuh Bingin, nyuh tiger, nyuh bejulit, solar nyuh, nyuh Sudamala, nyuh shrimp, nyuh ivory, nyuh months, and nyuh sieve. Morphological aspects of the coconut fruit is used to upakara yadnya is the color of the fruit, the child form the structure of leaves, leaf midrib, fruit shape, fruit sheath/keloping, color mesokarp/fibers, shape and petals color/pockmark/mosquito, and the color filter. Philosophical significance of coconuts in general is alit and the globe symbolizes the great Huana. While the classification is based on the ethnobotany community interests consumption/economy and the interests upakara/ ceremony.
134
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 I. LATAR BELAKANG MASALAH Kelapa (Cocos sp) merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Pohon tinggi berjenis palem ini telah dibudidayakan sejak zaman dahulu kala, disebarkan secara luas oleh ras manusia, dan secara alamiah tumbuh di tepi pantai tropis. Ada dua pendapat mengenai asal usul kelapa (Cocos sp) yaitu dari Asia atau Indo Pasific menurut Berry, Lepesma, dan dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari. Kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama, atau dapat juga disebut
pohon
kehidupan (tree of life), karena tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hampir seluruh bagian dari pohon kelapa seperti akar, batang, daun, dan buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan hidup manusia (Anonim, 2011). Tumbuhan kelapa (Cocos sp), bagi masyarakat Bali selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga mempunyai peran penting dalam berbagai upacara, baik upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Pitra Yadnya. Pemanfaatan buah kelapa dalam berbagai upacara didasarkan atas bentuk morfologi dan warna yang dimiliki oleh kelapa tersebut. Bentuk morfologi dan warna buah kelapa memang beraneka ragam ada yang lonjong, bulat atau bulat lonjong. Begitu juga warnanya ada yang hijau, merah, coklat, ataupun jingga. Desa Marga Dajan Puri adalah desa yang penduduknya berjumlah 612 KK (2109 jiwa), dan terdiri dari 4 (empat) banjar, yakni Banjar Tengah Semeton, Banjar Tengah Nyendoan, Banjar Anyar, dan Banjar Bugbugan yang hampir semua masyarakatnya beragama Hindu. Frekuensi pelaksanaan upacara setiap tahunnya relatif tinggi, seperti upacara Dewa Yadnya ngodalin di Paibon/Merajan, ngusaba nini dan nganteg linggih. Pada tingkat keluarga seperti meotonan, nelubulanin, ngeraja swala (upacara meningkat dewasa), metatah (upacara potong gigi) dan masih banyak lagi upacara-upacara yang lainnya. Pelaksanaan upacara yadnya yang variatif dan tinggi tersebut membutuhkan banyak bahan upakara, salah satu diantaranya adalah buah kelapa. Penggunaan buah kelapa untuk upakara yadnya
135
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 tersebut juga bervariasi dilihat dari usia, warna dan bentuknya (jenis kelapa). Penggunaan berbagai macam jenis dari buah kelapa tersebut disesuaikan dengan jenis dan tingkatan upacara itu sendiri yakni mulai dari tingkatan upacara yang paling kecil/sederhana (nista), biasa/menengah (madya) serta tingkatan upacara yang paling besar/utama (utama). “Desa-Kala-Patra”menunjukkan bahwa pelaksanaan dan penggunaan sarana upakara yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, namun tetap mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menghaturkan bakti suci dengan perwujudan yadnya. Hal ini terkait dengan pengertian "Desa" adalah tempat dimana kita berada, yang dalam hal ini berarti bahan upakara dapat disesuaikan dengan keadaan setempat ; "Kala" adalah waktu ; dan "Patra" adalah keadaan, yang memiliki makna bahwa upakara yang dilakukan menyesuaikan dengan waktu dan kemampuan seseorang. Hasil observasi yang penulis lakukan di Desa Marga Dajan Puri Tabanan menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang belum mengetahui jenis-jenis kelapa yang diperlukan dalam upakara yadnya. Jenis kelapa yang dipergunakan dalam upakara kadang-kadang sulit untuk dicari dan dipenuhi karena masyarakat tidak mengetahui bagaimana ciri-ciri yang ada pada kelapa tersebut. Dewasa ini hanya orang-orang yang berkecimpung dalam upakara yadnya saja yang mengetahuinya, seperti tukang banten (sutri), pemangku, dan sulinggih. Masyarakat khususnya umat Hindu, tidak dapat lepas dari pelaksanaan upacara yadnya. Upakara merupakan bagian dari kerangka Agama Hindu, di samping Tatwa (filsafat) dan Susila (etika). Sarana upacara biasanya menggunakan bagian-bagian tertentu dari tanaman seperti batang, daun, bunga dan buah yang sering disertai dengan identitas khusus. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas peneliti memfokuskan penelitian pada satu aspek tanaman upakara dengan judul “Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp) untuk Upakara Yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan".
136
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 1.1 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : 1) Jenis-jenis kelapa apakah yang digunakan untuk upakara yadnya, khusunya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan? 2) Bagaimanakah aspek morfologi dan makna filosofis buah kelapa dalam kaitannya dengan nama banten/upakara? 3) Apakah ada pengklasifikasian secara etnobotani terhadap jenis dan varietas buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan?
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui jenis-jenis buah kelapa yang digunakan dalam upakara Yadnya, khusunya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan. 2) Untuk mengetahui aspek morfologi dan makna filosofis buah kelapa dalam kaitannya dengan nama banten/upakara. 3) Untuk mengetahui pengklasifikasian secara etnobotani terhadap jenis dan varietas buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya, khususnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan.
1.3 Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1.
Manfaat Teoritis a.
Dapat manambah wawasan khususnya bagi umat Hindu tentang jenis-jenis buah kelapa, makna filosofis dan aspek morfologis dalam kaitannya dengan upakara yadnya.
137
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 b.
Untuk menambah pengetahuan tentang identifikasi tanaman kelapa secara etnobotani, khususnya yang berkaitan dengan upakara yadnya.
c.
Dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi di SMP maupun SMA dengan berorientasi pada pembelajaran yang berbasis kearifan lokal (local genius).
2.
Manfaat praktis a.
Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pembaca khususnya generasi muda tentang jenis-jenis buah kelapa, makna filosois dan aspek morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya.
b.
Dapat menumbuhkan kesadaran bagi umat Hindu untuk melestarikan tumbuhan khususnya pohon kelapa mengingat manfaat dan fungsinya terutama yang berkaitan dengan upakara yadnya.
II. Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan beberapa informan seperti sulinggih, pemangku, dan tukang banten yang ada di Desa Marga Tabanan. 2.1 Hasil Penelitian 2.1.1 Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan diperoleh data tentang jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk kepentingan upakara yadnya seperti dalam tabel 01 sebagai berikut.
138
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 01 Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan No
Nama Indonesia
1.
Kelapa Raja
Nyuh Gading Cocos nucivera var.Regia
Araceae
Penggunaan dalam Upacara Yadnya 1 2 3 4 5 √ - √ √ √
2.
Kelapa Gading
Nyuh Bulan
Cocos nucivera var.Ebunea
Araceae
√
-
√
-
√
3.
Kelapa puyuh Nyuh Gadang Cocos nucivera / kelapa bagi var.Pumila
Araceae
√
-
√
-
√
4.
Kelapa hijau
Araceae
√
-
√
-
√
5.
Kelapa hijau Nyuh bojog
Araceae
√
- -
6.
Araceae
√
-
7.
Kelapa Merah Nyuh rangda Cocos rubescen /nyuh bingin Kelapa Merah Nyuh macan Cocos rubescen
Araceae
√
- -
-
-
8.
Kelapa hijau Nyuh bejulit
Cocos veridis
Araceae
√
- -
-
-
9.
Kelapa Merah Nyuh surya
Cocos rubescen
Araceae
√
-
√ -
-
10. Kelapa hijau Nyuh Cocos veridis Sudamala 11. Kelapa Merah Nyuh udang Cocos rubescen /Nyuh Brahma Sumber : Sulinggih (griya pada), Br.Tengah Semeton.
Araceae
√
-
√
-
√
Araccae
√
-
√
-
√
Nama Daerah
Nama Ilmiah
Nyuh Mulung Cocos veridis
Keterangan √ = ya - = tidak
Cocos veridis
1. Dewa yadnya 2. Rsi yadnya 3. Manusa yadnya 4. Pitra yadnya 5. Bhuta yadnya
139
Suku
-
-
-
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 2.1.2 Data tentang Makna Filosofis dan Aspek Morfologi Buah Kelapa dalam Kaitannya dengan Nama Banten atau Upakara Tabel 02 Makna Filosofis Buah Kelapa dalam Kaitannya dengan Nama Banten/Upakara Digunakan dalam upacara serta nama Aspek banten/upakara Bagian yang morfologi / digunakan Dewa Rsi Manusa Pitra Bhuta Anatomi buah Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Jenis kelapa Daksina Buah/biji Bentuk dalam (tall kelapa tua bulat variety) (nyuh) serta dari Banten Biji kelapa Bentuk jenis kelapa penyam tua (nyuh) bulat genjah butan (dwarf variet Sesantun Buah Bentuk kelapa tua buah yang besar (nyuh) Dandanan Buah Bentuk kelapa tua bulat yang kecil (nyuh) Pekekeh/ Biji kelapa Bentuk srembean tua yang bulat pase besar (nyuh) Pulokerti/ Pulokerti/ Buah Bentuk pengawak pengakelapa tua bulat wak yang kecil Sibuh Biji kelapa Bentuk pepek tua yang bulat besar/kecil (nyuh) Segehan Biji kelapa Bentuk agung tua yang bulat kecil (nyuh) Tempat Buah Bentuk ari-ari kelapa tua bulat yang besar (nyuh) Semua jenis kelapa
140
Maknanya Melambang kan bumi Melambang kan bumi Melambang kan alam semesta Melambang kan bumi Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Lanjutan Tabel 02 Semua jenis kelapa
Digunakan dalam upacara serta nama Aspek banten/upakara Bagian yang morfologi / digunakan Dewa Rsi Manusa Pitra Bhuta Anatomi buah Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Banten Biji kelapa Bentuk dyus yang tua bulat kamagali (nyuh) Pesipetan Biji kelapa Bentuk yang tua bulat (nyuh) Pegat sot Biji kelapa Bentuk yang tua bulat (nyuh) PenguripBiji kelapa Bentuk urip yang tua bulat (nyuh) Banten Daging Putih ajuman kelapa lembaga yang telah lunak dapat diolah dimakan (saur) Damar Minyak Hasil olahan kurung kelapa putih lembaga menjadi minyak Bubuh Minyak Hasil olahan sasuru kelapa putih lembaga menjadi minyak Api Sabut Mesokarp takep kelapa yang kering untuk membuat api Damar Tempurung Endokarp kurung kelapa sebagai arang
141
Maknanya Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi Melambang -kan bumi Lambang lauk / persemba han Lambang kekuatan / sakti Dewa Brahma Lambang kekuatan / sakti Dewa Brahma Kesejahter aan dan keselamat an Lambang ke-kuatan / sakti Dewa Wisnu
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Lanjutan Tabel 02 Semua jenis kelapa
Digunakan dalam upacara serta nama Aspek banten/upakara Bagian yang morfologi / digunakan Dewa Rsi Manusa Pitra Bhuta Anatomi buah Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Pegeni Tempurung Endokarp an kelapa sebagai arang Banten suci Banten celemik pat
Biji kelapa tua (nyuh) Daging kelapa tua
Maknanya
Lambang ke-kuatan / sakti Dewa Wisnu Bentuk yang Melambang membulat kan bumi Putih Lambang lembaga persemba dapat han dimakan
Secara umum makna filosofi, penggunaan jenis-jenis kelapa dalam upakara yadnya menunjukkan pemujaan kepada Dewata Nawa Sanga, yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dewata Yadnya merupakan 9 (sembilan) Dewa penguasa seluruh penjuru arah mata angin. Mulai dari arah Timur berstana Dewa Iswara yang merupakan simbul warna putih (nyuh bulan), arah Tenggara berstana Dewa Maheswara yang merupakan simbul warna dadu/barak baag (nyuh surya), arah Selatan berstana Dewa Brahma yang merupakan simbul warna merah (nyuh udang), arah Barat Daya berstana Dewa Rudra yang merupakan simbul warna jingga (nyuh rangda), arah Barat berstana Dewa Mahadewa yang merupakan simbul warna kuning (nyuh gading), arah Barat Laut berstana Dewa Sangkara yang merupakan simbul warna hijau (nyuh bojog), arah Utara berstana Dewa Wisnu yang merupakan simbul warna hitam (nyuh mulung), arah Timur Laut berstana Dewa Sambhu yang merupakan simbul warna biru (nyuh bejulit), dan arah tengah berstana Dewa Ciwa yang merupakan simbul warna campuran/brumhun (nyuh sudamala). Masing-masing kelapa yang digunakan dalam upakara yadnya terdiri dari kelapa yang telah tua (nyuh) dan kelapa yang masih muda (kelungah). Nyuh mempunyai makna sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana 142
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Alit (tubuh manusia). Sedangkan kelungah mempunyai makna sebagai lambang pebersihan dan kesucian. Aspek Morfologis Tanaman Kelapa yang Digunakan dalam Upacara Yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan adalah sebagai berikut. b. Nyuh Gading Nyuh gading berwarna kuning emas, pelepah dan lidah daun berwarna kekuningkuningan dan bentuk buahnya bulat hingga lonjong. c. Nyuh Bulan Nyuh bulan adalah buah berwarna kuning gading atau kuning
keputihan.
Sebagian daunnya juga berwarna kuning.
d. Nyuh Gadang Nyuh gadang berwarna hijau tua. e. Nyuh Mulung Nyuh mulung berwarna hijau muda pekat/gadang sabilulung. Kelopak bunga (tapuk/nyamuk) berwarna merah muda, pelepah dan lidah daun berwarna hijau. f. Nyuh Bojog Nyuh bojog mesokarpnya (sabut kelapa) berwarna abu-abu sehingga, dipersonifikasikan seperti warna bulu pada kera /bojog. g. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin Nyuh rangda/nyuh bingin buahnya berwarna jingga, susunan anak daun pada ujung pelepah menjurai vertikal, kemudian pelepah daun bagian bawah menjurai menutupi buah dan buahnya diselimuti oleh tapis. h. Nyuh Macan Nyuh macan adalah buah berwarna jingga atau hijau kekuningan. Pada kulit buah terdapat bercak-bercak (bertotol-totol) loreng seperti kulit macan. i. Nyuh Bejulit Nyuh bejulit buahnya berwarna hijau kebiruan. Rangkaian anak daun satu sama lain
pada
pelepah
menempel/gempel
143
dan
pelepah
daunnya
pipih.
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Dipersonifikasikan seperti perawakan bejulit/ikan sidat yaitu ikan panjang seperti ular yang bentuknya pipih. j. Nyuh Surya Nyuh surya adalah buah berwarna merah dadu/merah kecoklatan. k. Nyuh Sudamala Nyuh sudam kulit buahnya berwarna hijau. Mempunyai seludang buah/keloping bertumpuk dua, dan ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga/tapuk. l. Nyuh Udang/Nyuh Brahma Nyuh udang/nyuh brahma buahnya berwarna hijau kekuningan, kelopak bunga (tapuk/nyamuk) dan mesokarpnya (sabut kelapa pada saat muda) berwarna merah.
2.1.3
Data tentang Pengklasifikasian Tanaman Kelapa Ditinjau dari Segi Etnobotani oleh Masyarakat Marga Dajan puri Tabanan Pengklasifikasian tanaman kelapa secara etnobotani oleh masyarakat
Marga Dajan Puri Tabanan, dilakukan berdasarkan atas manfaat atau fungsinya yaitu : a. Berdasarkan kepentingan konsumsi/ekonomi. Umumnya buah kelapa yang digunakan untuk keperluan konsumsi atau ekonomi dicari buah kelapa yang ukurannya relatif besar, tebal, kadar minyak tinggi, dan rasa daging kelapa muda manis. b. Berdasarkan kepentingan upakara/upacara Umumnya buah kelapa yang digunakan adalah kelapa yang mempunyai ciri khas yang spesifik (khusus) seperti warna buah (warna eksokarp dan warna mesokarp), struktur atau bentuk anak daun, morfologi kelopak bunga, dan morfologi seludang buah Pada jenis-jenis upakara tertentu ada yang menggunakan kelapa yang sudah tua (nyuh) dan ada pula yang menggunakan kelapa yang masih muda (kelungah). Misalnya, pada upakara pengresikan mempergunakan buah kelapa yang masih muda (kelunguh), dan pada
144
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 upakara/banten pejati, daksina, dan banten suci mempergunakan buah kelapa yang sudah tua (nyuh). Hal itu disesuaikan dengan fungsi dan makna buah kelapa pada upakara yadnya.
2.2 Pembahasan Bagi umat Hindu jenis dan varietas buah kelapa dalam kaitannya dengan pelaksanaan upakara yadnya memiliki makna filosofi dan penggunaannya berdasarkan bentuk atau aspek morfologi dan nama banten/upakara. a.
Nyuh Gading Nyuh gading merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf
variety) dengan nama Indonesia kelapa raja (C. nucivera var. regia). Kelapa jenis ini digunakan dalam Upacara Dewa yadnya, yang terdiri dari upakara/banten sesayut prayascita luwih, prayascita sakti, prayascita biasa, dan pedudusan agung (pedarinan, pengenteg, penyegjeg). Pada upacara Manusa Yadnya kelapa raja atau nyuh gading digunakan dalam upakara/banten pewintenan, peras potong gigi, eteheteh pengelukatan, eteh-eteh pedudusan alit, dan sebagai tempat pembuangan pedanggal. Pada upacara Pitra Yadnya nyuh gading dipergunakan sebagai tempat abu puspa sarira dan caru panca sato dalam upacara Bhuta Yadnya. Bagian yang digunakan dalam upakara adalah kelungah (kelapa yang masih muda), nyuh (kelapa tua), dan janur nyuh gading. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya, yaitu kandungan air dan warna buah nyuh gading bermakna sebagai lambang kesucian, pebersihan, serta sebagai simbul perwujudan manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai Dewa Mahadewa dalam kontek Dewata Nawa Sanga (Dewa penguasa 9 penjuru arah mata angin). b.
Nyuh Bulan Nyuh bulan merupakan sebutan lokal dari kelapa gading (Cocos nucivera var.
ebunea) termasuk ke dalam jenis kelapa genjah (dwarf varied). Kelapa gading atau nyuh bulan digunakan dalam upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara
145
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya nyuh hulas digunakan sebagai upakara eteh-eteh pedudusan alit, banten pewintenan, dan banten pangulapan. Digunakan pula pada caru panca sato dalam upacara Bhuta Yadnya, bagian yang digunakan adalah kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki. Buah berwarna kuning gading/kuning keputihan bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara (arah timur). c.
Nyuh Gadang Nyuh gadang merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf
variety) dengan nama Indonesia kelapa puyuh/kelapa bagi. Nyuh gadang digunakan dalam upacara Dewa Yadnya digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Kemudian pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam etch-eteh pedudusan alit. Pada upacara Bhuta Yadnya digunakan dalam upakara tebasan durmengala dan upakara caru panca sato. Bagian yang digunakan kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki. Maknanya sebagai lambang kesucian dan pebersihan. d.
Nyuh Mulung Nyuh mulung merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh mulung digunakan dalam upacara Manusa Yadnya sebagai sarana upakara banten mewinten, dan eteheteh pedudusan alit. Untuk upakara tebasan durmengala dan caru panca sato digunakan dalam upacara Bhuta yadnya.Bagian yang digunakan ialah kelungah nyuh mulung. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah kandungan airnya, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu (arah utara).
146
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 e.
Nyuh Bojog Nyuh bojog merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Dalam upacara Dewa Yadnya nyuh bojog digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Bagian yang digunakan untuk upakara adalah kelungah nyuh bojog. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kadungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara (arah barat laut). f.
Nyuh Rangda/Nyuh Bingin Nyuh rangda atau nyuh bingin merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa
dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh rangda/Nyuh bingin digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman, pengenteg penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Rudra (barat daya). g.
Nyuh Macan Nyuh macan merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh macan digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara/banten catur (upacara nganteg linggih), pedudusan agung (pedarman, pengenteg, penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya adalah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah kandungan air, warna buah, sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta karakter dari sifat macan yang bermakna sebagai lambang kekuatan yang kokoh sebagai simbol/nyasa agar ajeg dan tegteg.
147
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 h.
Nyuh Bejulit Nyuh bejulit merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh bejulit digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman, pengenteg, penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam upakara ialah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah kandungan air dan warna buah yang miliki. Maknanya sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Sambhu (arah timur laut). i.
Nyuh Surya Nyuh surya merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh surya digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg) serta pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam upakara pewintenan. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa yang masih muda) dan nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upacara yadnya ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Maheswara (arah tenggara). j.
Nyuh Sudamala Nyuh sudamala merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall
variety) dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh sudamala digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedurman penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam upakara etch-eteh pedudusan alit serta digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam upakara caru panca sato. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah dan nyuh. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upacara yadnya ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi
148
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Ciwa (arah tengah). k.
Nyuh udang/Nyuh brahma Nyuh udang atau Nyuh brahma merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa
dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh udang atau Nyuh brahma digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam upakara eteh-eteh pedudusan alit, dan banten byakala serta digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam upakara caru panca sato. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa yang masih muda) dan nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma (arah selatan). Deskripsi morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan dapat dilihat berdasarkan atas ciri-ciri morfologi yang ada pada kelapa tersebut. Dimulai dari warna buah, kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya memiliki warna kuning emas, merah kecoklatan (warna dadu), kuning gading/kuning keputihan, hijau muda pekat, hijau kebiruan, hijau kekuningan dengan sedikit warna merah pada pangkal buah, jingga (orange), hijau, hijau tua, dan hijau kekuningan. Dilihat dari struktur anak daun, jenis kelapa untuk upakara yadnya tersebut ada yang mempunyai susunan anak daun pada pelepah saling menempel (nyuh bejulit). Ada pula memiliki susunan anak daun pada ujung pelepahnya menjurai vertikal (nyuh rangda). Pada nyuh sudamala mempunyai struktur seludang buah/ spata (keloping) bertumpuk dua, ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga. Melalui hasil pengamatan struktur anatomi dengan membelah buah kelapa menjadi dua tampak mesokarp (sabut) ada yang berwarna merah (nyuh udang/nyuh brahma) dan abu-abu (nyuh bojog). Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat didasarkan atas manfaat atau
149
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 fungsi buah kelapa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarkan manfaat atau fungsinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu berdasarkan konsumsi/ekonomi, dan berdasarkan kepentingan upakara/upacara. Semua bagian dari buah kelapa, mulai dari sabut, tempurung, daging buah, dan air dapat dimanfaatkan untuk upakara yadnya. Buah kelapa yang dimanfaatkan dalam upakara yadnya adalah kelungah dan nyuh. Secara umum makna filosofis kelungah adalah sebagai lambang penyucian jasmani dan rohani, sedangkan makna filosofis nyuh adalah sebagai lambang bumi/alam semesta (Bhuwana Agung) dan tubuh manusia (Bhuwana Alit) (Nala, 2004). Pada upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan jenis kelungah dengan warna yang berbeda-beda, makna filosofis dari berbagai jenis kelungah yang digunakan tersebut melambangkan kekuasaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa-Dewa penguasa seluruh penjuru mata angin (Dewata Nawa Sanga). Jro Mangku Kahyangan Tiga, seorang pemangku di Desa Marga Dajan Puri, mengatakan bahwa semua kelungah yang dipergunakan dalam upakara dikasturi terlebih dahulu; yaitu bagian atas (pangkal) buah dilubangi dengan bentuk segitiga, barulah kemudian dipergunakan sesuai dengan tata cara upacara yang dilakukan. "kasturi" yang dilakukan pada kelungah mengandung makna : (l) agar tirta tersebut mendapatkan penganugrahan dari Dewa Tri Murti dan (2) merupakan penyupatan dari Tri Mala," jelas Jro Mangku Jingga, pemangku Pura Desa Marga Dajan Puri. Selanjutnya, (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Adat Bali 2004) menyatakan kasturi yang berbentuk segitiga merupakan lambang trinitas: Utpati (penciptaan), Stithi (pertumbuhan), dan Pralina (peniadaan) kehidupan manusia. Secara umum makna filosofis kelungah setiap jenis kelapa sangat penting, karena masing-masing mempunyai makna dalam setiap bagian upakara yadnya seperti; (1) untuk membersihkan atau menyucikan bangunan/pelinggih di Pura-Pura, karena pelinggih merupakan Stana/ tempat Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) agar
150
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 bersih dari kotoran secara niskala; (2) untuk menyucikan banten yang dihaturkan; dan (3) untuk menyucikan seseorang yang akan dibuatkan upacara (Ngurah Nala, dalam Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali 2004). Dari hasil penelitian dan pengamatan antara morfologi dan pemanfaatan buah kelapa dalam upakara yadnya memiliki hubungan erat. Hal ini disebabkan karena pada banten/upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan jenis kelungah dengan warna yang berbeda-beda, yang merupakan lambang dari Dewa-Dewa penguasa seluruh penjuru mata angin. Sedangkan penggunaan buah kelapa pada upakara/banten yang menggunakan nyuh, misalnya kelapa tidak membedakan warna buah, boleh menggunakan buah kelapa dari semua jenis warna. Hal ini disebabkan karena makna filosofis nyuh pada upakara tidak berdasarkan warna, tetapi berdasarkan bentuk, yang melambangkan bumi (bulat). Ida Pedanda Istri Putra Tangkeban menyatakan bahwa kelungah pada banten tidak bisa digantikan dengan kuud atau nyuh karena komposisi air kelungah sudah berbeda dengan kuud atau nyuh. Hal ini dapat dilihat dari komposisi air kelungah adalah sebagai berikut, gula : 1,7 %; kandungan mineral tinggi; kandungan protein tinggi; kandungan sitokinin juga tinggi; dan memiliki pH 5,0. sedangkan komposisi air kuud adalah gula 3 %, kandungan protein berkurang, kandungan mineral bertambah, hormon sitokinin berkurang, dan memiliki pH 6,5 dan komposis air nyuh adalah gula 2,5 %, protein 0,55 %, mineral dan pH 5,5 (Warisno, 2003). Menurut (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara Adat Bali 2004) dikatakan jika kelapa dimaknai sebagai Bhuwana Alit (tubuh manusia) buah kelapa tersusun atas tujuh lapisan. Lapisan luar dari kelapa melambangkan kulit luar manusia, lapisan dalam melambangkan kulit dalam manusia. Serabut basah pada buah kelapa melambangkan urat-urat pada tubuh manusia. Batok kelapa sebagai lapisan keras merupakan lambang tulang, isi atau daging kelapa melambangkan daging. Air yang ada di dalamnya melambangkan darah, dan kesucian yang ada dalam air kelapa melambangkan atma yang memberikan manusia hidup.
151
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Selain itu, dalam pustaka rontal "Aji Sangkhya" dalam (Arwati, 2002) alam semesta (Buana Agung) dinyatakan terdiri dari 14 lapisan, terdiri dari 7 (tujuh) lapisan dalam pertiwi, disebut "Sapta Petala, " dan 7 (tujuh) lagi yang termasuk ke dalam angkasa disebut "Sapta Loka”. Adapun lambang "Sapta Loka" pada kelapa adalah 1) Air sebagai lambang mahalala; 2) Isinya yang lembut sebagai lambang tala-tala; 3) Isinya sebagai lambang lala; 4) Lapisan pada isi sebagai simbol antala; 5) Lapisan isinya yang keras sebagai lambang sutala; 6) Lapisan tipis paling dalam sebagai lambang nitala; 7) Batoknya sebagai lambang patala. Lambang "Sapta Loka" pada kelapa disebutkan sebagai berikut. 1) Bulu batok kelapa sebagai lambang bhur Loka; 2) Serat saluran sebagai lambang bhwah Loka; 3) Serat serabut sebagai lambang swah Loka; 4) Serabut basah sebagai lambang maha Loka; 5) Serabut kering sebagi lambang jnana Loka; 6) Kulit serat kering sebagai lambang tapa Loka; dan 7) Kulit keras kering sebagai lambang setia Loka.
III. PENUTUP 3.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 3.1.1
Jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan ada 2 jenis yaitu; (1) kelapa dari jenis Typika (kelapa dalam); dan (2) kelapa dari jenis Nana (kelapa genjah). Sebutan lokal kelapa tersebut yaitu nyuh mulung, nyuh bojog, nyuh rangda/nyuh bingin, nyuh macan, nyuh bejulit, nyuh surya, nyuh sudamala, nyuh udang, nyuh gading, nyuh bulan, dan nyuh gadang.
3.1.2
Aspek morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya adalah warna buah, struktur bentuk anak daun, pelepah daun, bentuk buah, seludang buah/keloping, warna mesokarp/serabut, bentuk dan warna kelopak bunga/ tapuk/nyamuk, dan warna tapis. Makna filosofis buah kelapa secara umum adalah melambangkan buana alit dan huana agung.
152
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 3.1.3
Pengklasifikasian
etnobotani
oleh
masyarakat
adalah
berdasarkan
kepentingan konsumsi/ekonomi dan kepentingan upakara/upacara.
3.2 3.2.1
Saran-saran Kepada Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Bali, mengingat banyaknya jenis dan varietas kelapa yang diperlukan untuk kepentinyan Upakara Yadnya, maka diharapkan adanya program pelestarian tanaman kelapa, misalnya dengan penanaman secara mengkhusus pada suatu areal atau tempat, sehingga ke depannya dapat mempermudah masyarakat dalam memperoleh informasi tentang jenis-jenis kelapa yang dapat digunakan untuk kepentingan upakara Yadnya.
3.2.2
Dalam pembelajaran Biologi yang berorientasi pada kearifan lokal, maka bagi guru diharapkan dapat mensinergikan antara pembelajaran di kelas dengan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat yang terkait dengan materi pelajaran guna mempermudah serta memperkaya pemahaman dan pengetahuan siswa.
DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2000. Obyek Peningkatan Sarana dan Prasaruna Kehidupan Beragama Panca Yadnya (Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya). Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali Mantera. 2004. Tanaman Upacara Adat Bali Sebagai Upaya Mendukung Pelestarian Tanaman Bali. Baturiti : Kebun Raya Eka Karya BaliLIPI. Nala, Ngurah. 2004. Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali. Bali : UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali LIPI ______, 2004. Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara Agama Hindu di Bali. Makalah Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu : Kebun Raya Ekakarya Bali Purwanto. 2008. Etnobotani Ilmu Interdisipliner dan Holistik : Labotatorium Etnobotani Bidang Botani Pusat Penelitian Bogor.
153
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Surayin, I.A.P. 2002 Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya. Surabaya : Paramita Surabaya. Sudarsaria, I.B.P. 2001. Ajaran Agama Hindhu, Upacara Manusa Yadnya Magedong-Gedongan. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandara Sastra. Sudarsana, I. B. P. 2002 . Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Suwita Utami. 2004. Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara Adat Bali. Baturiti Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI Tantra, Sri Mpu Nabe Dwi. 1984. Penuntun Upacara Panca Yadnya. Singaraja : Pengurus Pusat Maha Gotra Sanak Sapta Rsi. Wahyu, Astiti. 2005. Etnobotani Buah Kelapa (Cocos sp) yang digunakan dalam upakara Yadnya. Singaraja : Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas MIPA Skripsi, tidak diterbitkan Walujo, E. B. 2004. Tumbuhan Upacara Adat Bali dalam Persepektif Penelitian Etnobotani. Makalah Seminar Konscrvasi Tumbuhan Upacra Agama Hindu. Kebun Raya Eka Karya Bali.
154
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA Sebuah Kajian Morfologi Generatif Oleh Ida Ayu Agung Ekasriadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali Denpasar Abstract This research discussed the process of inflectional affixation that produced verbs in Indonesian language. The study adhered to the working principles of the theory of generative morphology, the most cutting edge theory for morphological study that was initially proposed by Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise (1984), and modified by Dardjowidjojo (1988). The basic concepts of inflections applied are rooted in the basic concepts of inflections in English mentioned by Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991), and Robins (1959 and 1998). In this research, it was found that there were a number of affixes categorized as inflectional affixes in Indonesian language, namely: (1) prefixes meN-, ber-, di-, and ter- ; (2) suffixes -i and -kan ; and (3) confixes ber-an and kean. The meanings of inflections emerge due to affixation in Indonesian language is (1) active voice, marked by prefixes meN- (-kan, -i); (2) passive voice, marked by prefixes di- (-kan, -i), ter-, and personal pronouns (ku-, kau, kami, kita); (3) reciprocal, marked by prefixes ber- and confix ber-an; (4) accidental, marked by prefix ter-; (5) excessive, marked by confix ke-an; (6) iterative, marked by suffix - i or confix ber-an; and (7) irregular, marked by confix ber-an. Keywords : inflectional affixation, generative morphology
I. LATAR BELAKANG Perubahan morfologis secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu infleksi dan pembentukan kata (Matthews, 1974 : 38). Perubahan morfologis mencakup pemajemukan, afiksasi, konversi, derivasi balik, perubahan bunyi, suplesi, perpaduan (blending), dan pengakroniman. Proses pembentukan kata dengan penambahan afiks pada akar atau dasar (pangkal) kata sehingga menghasilkan bentuk baru, baik secara leksikal maupun gramatikal disebut afiksasi. Afiksasi yang menghasilkan bentuk baru secara leksikal disebut derivasi, sedangkan
155
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 afiksasi yang menghasilkan bentuk baru yang secara leksikal tetap sama, tetapi berbeda secara gramatikal dinamakan infleksi. Infleksi tidak hanya terjadi melalui afiksasi, tetapi dapat juga terjadi melalui konversi dan perubahan vocal (Huddleston, 1984 : 22-25). Setakat ini pembicaraan afiksasi Bahasa Indonesia pada umumnya hanya dikaitkan dengan derivasi. Misalnya, Ramlan dalam salah satu pembicaraannya tentang proses morfologis, afiksasi hanya dibicarakan dari sudut asli tidaknya suatu afiks dan produktif tidaknya suatu afiks (Ramlan 1987 : 54-62). Sementara itu, Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak relevan dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak tergolong bahasa fleksi (1984 : 17). Pada bagian lain, Kridalaksana mengatakan bahwa perbedaan derivasi dan infleksi dalam Bahasa Indonesia tidak sejelas perbedaan derivasi dan infleksi dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, ia menunda pembicaraan infleksi sampai ada penelitian yang meyakinkan (1989 : 11). Pembicaraan afiksasi yang menyinggung adanya derivasi dan infleksi dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada tulisan Parera (1994) dalam Morfologi Bahasa. Pembicaraan ini tidak khusus membahas derivasi dan infleksi dalam bahasa Indonesia, namun sekadar contoh-contoh untuk menjelaskan kedua konsep istilah tersebut. Kajian afiksasi yang secara tegas membedakan derivasi dan infleksi dapat dilihat pada tulisan Robins (1959) yang diterjemahkan oleh Kridalaksana (1983) dalam Sistem dan Struktur Bahasa Sunda. Bertolak dari kajian yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini belum ada kajian yang secara khusus membahas afiksasi infleksional dalam bahasa Indonesia sehingga kajian pada bidang ini sangat penting dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
156
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 1) Jenis-jenis afiks yang manakah yang terlibat dalam afiksasi infleksional Bahasa Indonesia? 2) Bagaimanakah makna infleksi
yang ditimbulkan sebagai akibat
pembubuhan afiks dalam Bahasa Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) jenis-jenis afiks dalam afiksasi infleksional Bahasa Indonesia dan (2) makna infleksi yang ditimbulkan sebagai akibat pembubuhan afiks dalam Bahasa Indonesia. Semua deskripsi dalam telaah ini diharapkan dapat mendekati gambaran umum afiksasi infleksional Bahasa Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup Mengingat terbatasnya kesempatan, maka penelitian ini hanya terbatas pada pengkajian mengenai afiksasi verbal Bahasa Indonesia, khususnya
verba yang
dihasilkan oleh afiks infleksi. Kajian ini dilakukan terhadap ragam bahasa Indonesia baku. Ragam bahasa baku menurut Bawa dkk. (1988 : 31) adalah ragam bahasa yang digunakan pada komunikasi resmi, wacana teknis seperti laporan resmi dan karangan ilmiah (populer), pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan yang dihormati.
1.5. Sumber Data Data penelitian ini bersumber dari bahan tertulis, yaitu kumpulan cerita rakyat dari seluruh Indonesia yang berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara (t.t.) karya Kidh Hidayat. Dalam karya ini terdapat 26 cerita rakyat dari 26 propinsi yang ada di Indonesia, mulai dari cerita rakyat dari Aceh sampai dengan cerita rakyat dari Irian Jaya. Di samping itu, terdapat pula cerita rakyat dari mancanegara, yaitu cerita rakyat dari Timur Tengah, Inggris, Spanyol, dan Rusia. Dengan demikian, pemilihan kumpulan cerita ini sebagai sumber data dapat dianggap mewakili pemakai bahasa
157
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Indonesia dari berbagai latar belakang geografis dan mempresentasikan pemakaian bahasa Indonesia dalam berbagai kehidupan di Indonesia. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia dalam kumpulan cerita rakyat tersebut memenuhi persyaratan kebahasaan yang menjadi objek dalam penelitian ini, yakni pemakaian bahasa Indonesia ragam baku.
1.6. Metode Penulisan Dalam penelitian ini digunakan tiga macam metode, yakni 1) metode penyediaan data, 2) metode analisis data, dan 3) metode penyajian hasil analisis data. Ketiga metode tersebut akan diuraikan di bawah ini. Dalam penyediaan data digunakan metode kepustakaan karena data diambil dari bahan tertulis, yakni kumpulan cerita rakyat yang berjudul Dongeng Rakyat SeNusantara. Teknik catat digunakan sebagai teknik lanjutan, yakni penulis mencatat setiap kalimat yang menggunakan verba berafiks infleksi. Dalam analisis data, pertama-tama dilakukan pemilihan terhadap data yang terkumpul berdasarkan makna
infleksi yang ditemukan, apakah aktif, pasif,
resiprokal, aksidental, eksesif, iteratif, atau irregular. Langkah selanjutnya adalah penentuan jenis-jenis afiks infleksi. Dalam hal-hal tertentu, misalnya, untuk mengukur produktivitas afiks digunakan teknik seperti yang dianjurkan oleh Sudaryanto (1993 : 36), yaitu teknik substitusi, teknik penambahan, dan teknik parafrasa. Setelah
analisis
data
dilakukan,
langkah
selanjutnya
adalah
pengorganisasian dan penulisan hasil analisis data. Hasil analisis disajikan dengan metode informal (dengan kata-kata biasa) dan metode formal (dengan tanda dan lambang-lambang).
158
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1. Kajian Pustaka Kajian afiksasi bahasa Indonesia pada khususnya dan morfologi pada umumnya memang sudah cukup banyak. Akan tetapi, tidak semua hasil kajian itu akan dipetakan di sini. Uraian ini hanya mencakup hasil kajian yang dianggap gayut terhadap topik yang akan dibahas. Ramlan dalam bukunya Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif membahas seluk-beluk struktur kata dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan dewasa ini. Ia berpegang pada teori struktural yang menggunakan model penataan. Seluruh proses morfologis yang ada dalam Bahasa Indonesia dibahas olehnya, yakni afiksasi, pengulangan, dan pemajemukan. Dalam subbutir fungsi pembubuhan afiks dan pengulangan, ia mengulas fungsi dan makna masing-masing afiks dengan sangat rinci (1987: 54-63; 106-175). Dalam buku ini, tidak ditemukan secara eksplisit pemilahan afiks nomina, verba, adjektiva, atau adverbia. Kelemahan lain yang dapat ditemukan dalam kajian tersebut adalah tidak adanya deskripsi tentang afiks derivasi dan infleksi. Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan bagaimana proses afiksasi itu terjadi, dan apakah dalam proses afiksasi ini tidak menemukan kendala. Atas dasar kelemahan itu, maka kajian Ramlan belum dapat dianggap sempurna. Walaupun demikian, deskripsi tentang fungsi afiks, jenis bentuk dasar yang dapat diikatnya, dan sejumlah makna afiks yang muncul dalam proses afiksasi merupakan hal yang sangat berharga dalam kaitannya dengan kajian ini. Pendekatan khas yang membedakan kajian proses morfologis Kridalaksana (1989) dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia dengan kajian-kajian lainnya adalah adanya interaksi antara leksikon dan gramatika dan pemanfaatan konsep leksem. Meskipun ia bukan penganut aliran transpormasi generatif, model proses dimanfaatkan dengan dasar bahwa model proses ini cocok untuk menggambarkan morfologi bahasa Indonesia secara keseluruhan. Konsep afiksasi menurut Kridalaksana adalah
proses yang mengubah leksem menjadi kata
kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori
159
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 tertentu sehingga berstatus kata (atau setelah berstatus kata berganti kategori),dan (3) sedikit banyak berubah maknanya. Sekilas, tampak telaah yang dilakukan oleh Kridalaksana cukup mendalam dan menyeluruh karena dapat menampilkan 89 bentuk afiks dan sekitar 274 kemungkinan makna atau petanda yang bisa diungkapkan, belum terhitung perubahan-perubahan kelas yang dilibatkannya. Selain itu, ia telah mengklasifikasikan secara jelas fungsi afiks. Keunggulan yang lain tentang kajian ini adalah proses pembentukan kata yang dipaparkan tidak hanya mencakup kata-kata baku (ragam standar), tetapi juga yang nonbaku (nonstandar) (1989 : 25-85). Jadi, dalam ulasan ini, Kridalaksana banyak menampilkan hal yang baru yang belum pernah dibahas oleh ahli lain (1989 : 25-85). Di balik keunggulankeunggulan tersebut, terdapat juga kelemahan dalam kajian ini, yakni tidak adanya pembagian yang eksplisit tentang afiks yang berfungsi derivasi dan yang berfungsi infleksi. Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak relevan dibicarakan dalam
bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak
tergolong bahasa fleksi. Padahal seperti contoh-contoh yang diberikan dalam pembahasan derivasi dan infleksi oleh Parera dalam Morfologi Bahasa (1994 : 2123) menunjukkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada afiks yang berfungsi infleksi. Parera (1994) dalam Morfologi Bahasa tidak mendeskripsikan morfologi bahasa secara khusus. Walaupun demikian, contoh-contoh yang diberikan lebih banyak dengan data dan model bahasa Indonesia, termasuk di dalam membahas derivasi dan infleksi. Pembahasan pada subbab derivasi dan infleksi ini dapat memberikan petunjuk bahwa secara garis besarnya afiks dalam afiksasi bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni afiks infleksional dan afiks derivasional. (1994 : 21-23; 123-128). Dari pembahasan ini dapat dilihat bahwa Parera memberikan contoh-contoh afiks derivasional yang jauh lebih lengkap dan rinci jika dibandingkan dengan contoh-contoh yang diberikan terhadap afiks infleksional. Ini membuktikan bahwa pembahasan-pembahasan tentang afiksasi infleksional bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian, bahkan peneliti lainnya seperti Ramlan dan Kridalaksana, misalnya, sama sekali luput dari pembahasannya.
160
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Walaupun demikian, apa yang dilakukan oleh Parera merupakan langkah maju dalam kajian morfologi bahasa Indonesia, dan contoh-contoh yang diberikan dalam pembahasan derivasi dan infleksi ini dapat memberikan petunjuk, arah, dan informasi yang sangat berarti dalam kajian afiksasi infleksional yang penulis lakukan.
2.2. Konsep Ada dua konsep yang perlu diuraikan pada subbab ini, yaitu derivasi dan infleksi. Aronoff (1976: 1-2) mengatakan bahwa secara tradisional gejala morfologi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional. Gejala derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya, proses derivasional menyangkut proses pembentukan kata baru. Gejala infleksional berkaitan dengan kategori gramatikal. Itu berarti dalam proses infleksional tidak terjadi proses pembentukan kata baru, tetapi terjadi pemrosesan kata sehingga dapat berfungsi dalam satuan gramatikal tertentu. Malmkjaer dkk. (1991: 317-318) mengatakan bahwa infleksi menyangkut proses perubahan bentuk kata, sedangkan derivasi menyangkut proses pembentukan kata, baik yang mengubah kelas maupun yang mempertahankan kelas. Proses infleksi baru dapat dilakukan apabila suatu bentuk telah mengalami proses derivasi atau pemajemukan. Oleh karena itu, infleksi merupakan proses yang menutup kelas. Kategori infleksi mencakup kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah yang merupakan kaidah terpenting dalam sintaksis dan sering disebut kategori morfosintaksis. Proses infleksi sangat produktif dan biasanya dilakukan pada stem (bentuk dasar) dan bukan root (bentuk asal). Makna infleksi teratur dan teramalkan. Spencer (1991 : 20-21)berpendapat bahwa infleksi adalah varian dari satu kata yang sama dan cenderung tidak mengubah kelas. Derivari merupakan proses pembentukan kata, pada umumnya mengubah kategori bentuk dasar. Istilah derivasi zero atau morfologi konversi atau null atau zero afixation adalah untuk menandai
161
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 proses pembentukan kata yang tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk dasar. Proses infleksi menyangkut proses penambahan unsur ekstra pada kata, misalnya penambahan makna (kala, aspek, modus, negasi, dan lain-lain) dan juga terjadi penambahan atau perubahan fungsi gramatikal. Dua prinsip dasar yang mencirikan infleksi adalah kesesuaian dan kepenguasaan (agreement and goverment). Robins (1959 dan 1998) dalam tulisannya tentang sistem dan struktur bahasa Sunda yang diterjemahkan oleh Kridalaksana berpendapat bahwa sebagian besar pembentukan kata dapat diklasifikasikan sebagai derivasi, dalam hal kata itu dihasilkan dengan kelas yang tidak sama atau kelas yang berbeda dengan kata asal atau akar. Proses morfologis dalam bahasa Sunda berikut ini dapat dimasukkan dalam proses infleksi, yaitu (a) nasalisasi verba, sebagai penanda aktif; (b) prefiksasi di- dan ka- untuk verba pasif; (c) Afiksasi yang menandai beberapa persona; (d) pembentuk nomina jamak; (e) pembentuk verba jamak (1983 : 80,83). Prinsip dasar derivasi adalah proses pembentukan kata, apakah kata yang terbentuk itu berubah kelas atau tidak. Prinsip dasar infleksi adalah pemrosesan kata menjadi satuan yang dapat digunakan dalam tataran gramatikal tertentu. Tidak menjadi soal, apakah proses itu mengakibatkan perubahan bentuk kata atau tidak. Secara umum, infleksi selalu berkaitan dengan masalah kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah. Oleh karena itu, proses infleksi--khususnya dalam bahasa Inggris--pada umumnya dikaitkan dengan pemakaian kata dengan kala yang berbeda, aktif-pasif, maskulin-feminim, dan tunggal-jamak. Bertolak dari prinsip dasar itu, maka Robins (1959) mengatakan bahwa nasalisasi verba sebagai penanda aktif, prefiksasi penanda pasif, afiksasi persesuaian persona, pembentuk nomina jamak, dan pembentuk verba jamak tergolong proses infleksi. Dalam telaah afiksasi verbal bahasa Indonesia, konsep dasar infleksi yang diterapkan dalam penelitian ini, bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa Inggris yang telah dikemukakan para ahli di atas. Prinsip dasar ini akan disesuaikan dengan kenyataan yang ada dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itu, maka telaah infleksi dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia mencakup infleksi aktif, infleksi
162
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 pasif, infleksi aksidental, infleksi aksesif, infleksi jamak (iteratif), dan infleksi ketidakteraturan (irregular) (Bandingkan dengan Tampubolon, 1977 : 235-285). Dari sejumlah pendapat yang dipetakan di atas, dapat disimpulkan bahwa a) secara umum afiks dapat diklasifikasikan ke dalam afiks derivasional dan afiks infleksional, b) afiks derivasional dapat membentuk leksem baru, sedangkan afiks infleksional tidak, c) bentuk-bentuk yang sudah mengalami proses derivasi masih dapat mengalami proses infleksi, tetapi tidak bisa terjadi sebaliknya, d) pada umumnya, proses derivasi terjadi lebih dulu sebelum mengalami proses infleksi, dan e) proses derivasi bersifat kurang produktif (ada beberapa idiosinkrasi), sedangkan proses infleksi bersifat produktif (hampir tidak ditemukan kendala).
2.3. Kerangka Teori Penelitian ini berpegang pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalies (1984), dan dimodifikasi Dardjowidjojo (1988). Pemilihan teori ini didasarkan atas pertimbangan bahwa teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut produktivitas dan kendala produktivitas, sedangkan kajian afiksasi bahasa Indonesia yang telah dilakukan sebelumnya sebagian besar menggunakan teori struktural khususnya struktural Amerika yang menerapkan model Item and Arrangement (IA) sehingga kurang memberi penjelasan bagaimana proses terjadinya suatu bentuk. Menurut Halle (1973), morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah: (1) list of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM); (2) word formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK); dan (3) filter (saringan, penapis, tapis) (Halle, 1973 :3-8). Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik derivasional maupun infleksional. Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan 163
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan. Misalnya, write dalam bahasa Inggris harus diberi keterangan : termasuk verba dasar bukan berasal dari bahasa Inggris dan lain-lain. Komponen kedua adalah APK, yaitu komponen yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentukbentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentukbentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan. Misalnya, bentuk mencantik dan berbus dalam bahasa Indonesia dan ngejuk dan *nyelem dalam bahasa Bali adalah hasil APK karena semua bentuk itu memenuhi syarat dalam penerapan APK. Komponen ketiga, yaitu komponen saringan atau penapis berfungsi menyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh APK dengan menempeli beberapa idiosinkrasi, seperti idiosinkrasi fonologi, idiosinkrasi leksikal, atau idiosinkrasi semantik. Idiosinkrasi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang dihasilkan APK yang dianggap “aneh”. Hal ini, dimaksudkan agar bentukbentuk potensial/tidak lazim tidak masuk dalam kamus. Secara garis besar, pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini. DIAGRAM I List of Morphemes
Word Formation Rules
Output
Dictionary of Words
Filter
Phonology
(Halle, 1973 : 8 ; Scalise, 1984 : 23--25 ; Dardjowodjojo, 1988 : 36).
164
Syntax
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Sesungguhnya, APK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan penurunan kata sehingga sering disebut morpheme based. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle dalam kata transformational dianggap ada lima morfem. Kelima morfem itu adalah trans-format-ion-al (1973 : 3). Cara seperti ini jelas tidak diterapkan karena tidak mungkin menguraikan kata menjangan menjadi men-jangan hanya karena dalam bahasa Indonesia ada afiks men- seperti pada menjangan. Daftar morfem yang memuat dasar dan afiks yang diusulkan Halle juga mengandung kelemahan karena tidak mempertimbangkan adanya morfem pangkal seperti yang terdapat dalam Bahasa Indonesia. Morfem pangkal juga berpotensi untuk membentuk kata. Jika mengikuti pendapat Halle, maka bentuk itu tidak mungkin diberi keterangan sintaksis karena kategorinya belum pasti
sebelum
mendapat afiks atau bergabung dengan bentuk lain. Misalnya, bentuk juang, temu dalam bahasa Indonesia berpotensi menjadi verba atau nomina, bergantung dari afiks atau morfem lain yang mengikutinya. Halle tidak menyediakan tempat untuk menampung bentuk seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, DM Halle harus diperluas sehingga DM tidak hanya menampung dasar dan afiks, tetapi juga bentuk yang sejenis temu (Periksa saran Dardjowidjojo, 1988 : 57). Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif. Kamus
memiliki peranan dalam pembentukan kata karena
APK dapat
memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Di samping itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Oleh karena itu, Dardjowidjojo (1988 : 57) menganggap bahwa kamus merupakan bagian yang integral dalam morfologi generatif. Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan dalam kamus. Tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung. Dardjowidjojo berpendapat bahwa bentuk-bentuk potensial ini dapat disimpan dalam kamus. Akan tetapi, untuk
165
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 membedakan dengan kata nyata ia mengusulkan agar bentuk potensial diberi keterangan tambahan atau diberi tanda (*). Saringan atau penapis dengan beberapa idiosinkrasi dapat memberikan informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak. Hal ini merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa penerapan teori morfologi generatif dalam kajian afiksasi verba bahasa Indonesia sangat gayut. Berdasarkan diagram
yang diajukan oleh Scalise (1984 :
31),
Dardjowidjojo merombak model Halle seperti tampak di bawah ini (Dardjowidjojo, 1988 : 57). DIAGRAM II DM
APK
SARINGAN
KAMUS
Kata dasar a Bebas
b
Terikat c d A f i k s
g i
h
e j f
k
Dengan merombak pandangan Halle, Dardjowidjojo mengusulkan adanya empat komponen yang integral dalam morfologi generatif. Keempat komponen itu
166
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 adalah DM, APK, saringan, dan kamus. Pada komponen DM dipisahkan antara bentuk bebas dan bentuk terikat. Ini dimaksudkan untuk menampung bentuk terikat, seperti morfem prakategorial. Mekanisme model ini adalah : bentuk bebas seperti baju, sabit, dan lain-lain melalui jalur a. tanpa terhambat di saringan. Jalur b. untuk bentuk bebas setelah mengalami afiksasi ; apabila tidak ada idiosinkrasi boleh langsung disimpan dalam kamus, sedangkan apabila dikenali idionsinkrasi harus lalui jalur c. Jalur d. untuk bentuk potensional yang tidak ada dalam pemakaian, melalui jalur d.g. dan disimpan dalam kamus dan diberi catatan (*). Untuk bentukbentuk yang mustahil seperti *berjalani, *melukisan akan melewati jalur d-h, dan akan tertahan di saringan. Bentuk-bentuk terikat bisa tertahan di saringan apabila afiksasinya keliru. Misalnya, bentuk juang, selenggara apabila bergabung dengan afiks *ber-i atau *meN-an lewat jalur e-i. Pemisahan
jalur d-g dengan d-h dimaksudkan untuk
membedakan bentuk yang memang tidak mungkin, dan yang ketidakmungkinannya hanya kebetulan. Jalur f. pecah menjadi f-j untuk bentuk yang tidak punya idiosinkrasi, sedang jalur f-k untuk yang memiliki idiosinkrasi. Menurut Dardjowidjojo bentuk pegolf dianggap sebagai bentuk yang kena idiosinkrasi fonologis, walaupun bentuk itu beranalogi pada bentuk pegulat dan petinju. Kata berjuang kena idiosinkrasi semantik.
III. AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA 3.1. Jenis-Jenis Afiks Infleksional Untuk mengetahui jenis-jenis afiks infleksional yang terlibat dalam afiksasi verba bahasa Indonesia, perhatikanlah kalimat berikut. (1) Tak berpikir panjang, ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya. (2) Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bagu Raja Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong. (3) Teuku memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Gama Dewa.
167
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 (4) Untunglah tindakan kasar Cah Saimin dapat dicegah oleh salah seorang dayang Putri Nini. (5) Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama Si Jampang. (6) Dengan bahagia mereka berpelukan. (7) Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi. (8) Ia terpelanting jauh dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong lehernya. Semua kalimat di atas (1-8) mengandung verba turunan. Secara garis besar, afiks yang membentuk verba itu dapat dipilah menjadi beberapa bagian, yaitu prefiks, sufiks, dan konfiks. Ketiga jenis afiks itu tergolong afiks infleksional. Untuk melihat bahwa ketiga afiks tersebut memiliki fungsi infleksi, seluruh kalimat di atas dapat dianalisis seperti terurai di bawah ini. Verba menombak pada kalimat (1) dibentuk dari dasar verba tombak dan prefiksasi meN-. Verba tombak diturunkan dari nomina tombak melalui proses derivasi zero atau konversi. Perubahan tombak menjadi menombak merupakan proses infleksi karena di samping menombak sebagai verba, juga ditemukan verba tombak. Misalnya, Tombak babi itu !. Jadi, proses prefiksasi nasal bukan membentuk kata secara leksikal, tetapi membentuk satuan yang berfungsi untuk menandai diatesis aktif. Verba mematuki pada kalimat (2) memiliki kedekatan makna dengan verba patuki yang dibentuk dari dasar verba patuk dan sufiksasi -i. Perubahan dari patuki menjadi mematuki bersifat gramatikal. Bentuk mematuki muncul dalam konstruksi gramatikal yang mementingkan subjek sebagai pelaku, sedangkan konstruksi patuki mementingkan predikat sebagai tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, sufiks -i pada mematuki disebut afiks infleksional. Hal ini sama dengan contoh kalimat (3) yang memiliki bentuk perintah sebagai verba dasar dan sufiksasi -kan, dan kemudian dibubuhkan prefiks meN-.
168
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Dalam kalimat (4), verba dicegah berasal dari dasar verba cegah dan prefiksasi di-, sedangkan bentuk aktif ditandai oleh meN-, yaitu mencegah. Jadi, ditermasuk afiks infleksional. Afiks pada kalimat (5), (6), (7), dan (8) juga tergolong afiks infleksional, yaitu sebagai penanda resiprokal, penanda eksesif, dan penanda aksidental. Masingmasing ditemui pada verba berdebat (5), berpelukan, (6), kehausan dan kelaparan (7), dan terpelanting (8). Afiks infleksional yang ditemukan pada keempat verba itu adalah ber-, ber-an, ke-an, dan ter-. Berdasarkan analisis seluruh kalimat di atas (1--8) dapat disimpulkan bahwa dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia terdapat afiks infleksional. Adapun afiks infleksional ini meliputi : meN-, di-, kan-, -i, ber-, ber-an, ke-an, dan ter-. Jenis-jenis makna infleksi yang ditandai oleh masing-masing afiks tersebut akan diuraikan berikut ini.
3.2. Afiksasi Infleksional Di atas telah disebutkan bahwa dalam bahasa Indonesia ditemukan afiks meN-, di-, -i, -kan, ber-, ber-an, ke-an, dan ter- sebagai afiks infelksional. Tiap-tiap afiks merupakan penanda aktif, penanda pasif, penanda resprokal, penanda aksidental, penanda eksesif, dan penanda iteratif. Di samping itu, juga ditemukan afiks infleksional yang menandai adanya ketidakteraturan tindakan, yaitu prefiks ber-an.
3.2.1. Infleksi Aktif Infleksi aktif adalah proses infleksi yang menyebabkan perubahan bentuk verba menjadi penanda diatesis aktif. Secara lahir infleksi aktif ditandai oleh hadirnya meN- pada verba bahasa Indonesia. Amati data berikut ini. (9)
Ia selalu memandang rendah orang lain.
(10)
Mereka berusaha memberikan pertolongan sebisa-bisanya.
(11)
Kemudian, Gama Dewa mengajari dayang Putri Nini petuah-petuah agama.
169
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Bentuk pandang, berikan, dan ajari masing-masing merupakan bentuk imperatif yang menjadi dasar infleksi verba memandang, memberikan, dan mengajari. Oleh karena perubahan verba pandang menjadi memandang, berikan menjadi memberikan, dan ajari menjadi mengajari semata-mata karena kemauan penutur untuk memilih bentuk aktif, maka hadirnya afiks meN- (-kan, -i) bersifat infleksional. Di samping data tersebut di atas, berikut ini juga disajikan beberapa contoh untuk memperkuat penjelasan dimaksud. Bentuk Imperatif
Bentuk Aktif
bakar
membakar
perintahkan
memerintahkan
temukan
menemukan
percayai
mempercayai
Secara ringkas proses infleksi aktif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut. Verba
infleksi
(dasar)
(dasar + aktif)
Verba imperatif
meN - + verba imperatif „aktif‟
Contoh lain dapat dilihat di bawah ini (12)
Ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya
(13)
Dia (kerbau) sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah. Pada kedua kalimat di atas, ditemukan verba menombak (12) dan menanduk
(13). Kedua verba ini masing-masing dibentuk dari dasar verba tombak + prefiks meN- dan dasar verba tanduk + prefiks meN-. Verba dasar tombak dan tanduk ini masing-masing merupakan hasil derivasi zero atau konversi dari nomina tombak dan tanduk. Berdasarkan data yang ditemukan, ternyata tidak semua nomina (alat) dapat dibentuk menjadi verba. Untuk itu, perhatikan kalimat berikut ini. (14) Ia merencong Tuanku Patih
170
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Secara morfologis, semestinya verba di atas dapat diterima. Akan tetapi, verba itu tidak pernah muncul dalam pemakaian. Setidak-tidaknya bentuk itu dianggap janggal. Di sini perlu dibedakan bentuk berterima (acceptable) dan bentuk gramatikal (gramatical). Tampaknya, tidak semua bentuk yang gramatikal dapat dijumpai dalam pemakaian. Ketidak-munculan verba di atas disebabkan oleh adanya kendala dalam proses produktivitas. Untuk mengganti bentuk *merencong yang berasal dari rencong dalam bahasa Indonesia ditemukan padanannya yang lebih tepat, yakni menikam. Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat seperti di atas diungkapkan dengan kata menikam. Karena itu, bentuk *merencong tidak pernah dijumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia.
3.3. Infleksi Pasif Infleksi pasif merupakan
proses morfologis yang mengakibatkan
terjadinya perubahan fungsi pada tataran kalimat yang secara teratur ditandai oleh hadirnya afiks pada struktur lahir. Perubahan fungsi yang dimaksud di sini adalah perubahan fungsi sintaksis, yaitu konstituen yang berfungsi objek pada kalimat aktif berubah menjadi fungsi subjek pada kalimat pasif. Dalam bahasa Indonesia infleksi pasif secara teratur ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan klitik pada verba transitif. Kalimat (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), dan (23) berikut adalah kalimat pasif yang ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan klitik ku-, kami, kita, dan kau. (15)
Tapi, akhirnya Cah Saimin dapat diringkus oleh para pengawal kerajaan Tampuh.
(16)
Setelah usianya cukup dewasa, ia dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari Kebayoran Lama (oleh orang tuanya).
(17)
Kebun itu ditanami tebu yang tumbuh dengan suburnya (oleh Oheo).
(18)
I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu.
(19)
Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya.
171
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 (20)
Engkau tadi dapat kukalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga larimu lambat.
(21)
Jika tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.
(22)
Kalau begitu, kita hancurkan kerajaan Lodaya.
(23)
Kau jemput aku besok saja sebab aku belum mandi.
Kalimat (15), (16), dan (17) memperlihatkan bahwa pasif ditandai oleh prefiks di(-kan, -i), kalimat (18) dan (19) ditandai oleh prefiks ter-, dan kalimat (20), (21), (22), dan (23) masing-masing ditandai oleh klitik ku-, kami, kita, dan kau. Verba pada kalimat di atas (15--22), yaitu diringkus, dinikahkan, ditanami, terkejut, kukalahkan, kami serahkan, kita hancurkan, dan kau jemput masing-masing berasal dari ringkus, nikah, tanam, kejut, kalah, serah, hancur, dan jemput. Semua kalimat pasif di atas dapat dikembalikan ke dalam bentuk aktifnya seperti di bawah ini. (15a)
Tapi, akhirnya para pengawal kerajaan Tampuh dapat meringkus Tampuh.
(16a)
Setelah usianya cukup dewasa, orang tuanya menikahkan anaknya dengan seorang gadis cantik dari Kebayoran Lama.
(17a)
Oheo menanami kebun itu dengan tebu yang tumbuh dengan suburnya.
(18a)
Suara gaib itu sangat mengejutkan I Gusti Gede Pasekan.
(19a)
Kedua orang tuanya mendengar kedatangan si Kulup di desanya.
(20a)
Aku tadi dapat mengalahkan engkau karena engkau memakai tanduk sehingga larimu lambat.
(21a)
Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, kami akan menyerahkan sebagian isi muatan perahu (ini) kepada Tuan sebagai upahnya.
(22a)
Kalau begitu, kita akan menghancurkan kerajaan Lodaya.
(23a)
Kau menjemput aku besok saja sebab aku belum mandi. Tampaknya, baik prefiks di- (-kan, -i), ter-, maupun klitik ku-, kami, kita
dan kau dapat digunakan secara bergantian. Itu berarti baik prefiks di- (-kan, -i), ter, maupun klitik ku-, kami, kita, dan kau memiliki fungsi yang sama, yakni sama-
172
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 sama pembentuk pasif. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam ternyata afiks dan klitik tersebut memiliki perbedaan prilaku sintaksis. Pelaku pada kalimat pasif yang ditandai dengan klitik adalah
pronomina persona, sedangkan pasif yang
ditandai oleh di- pelakunya nomina nonpronomina, dan ter- bisa kedua-duanya. Prefiks di- dan ter- bisa diikuti oleh prefosisi oleh, sedangkan klitik tidak. Prefiks ter- digunakan untuk mengungkapkan suatu proses yang tidak disengaja, sedangkan prefiks di- dan klitik sebaliknya. Kalimat pasif (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), (23) dan padanan aktifnya (15a), (16a), (17a), (18a), (19a), (21a), (22a), (23a) di atas memiliki hubungan, baik secara sintaksis maupun secara semantik. Secara sintaksis, penentuan subjek pada kalimat pasif berkaitan dengan objek pada kalimat aktif. Secara semantik, agen pada kalimat pasif sama dengan agen pada kalimat aktif. Demikian pula, pasien pada kalimat pasif sama dengan pasien pada kalimat aktif. Walaupun demikian, kalimat pasif dan kalimat aktif memiliki perbedaan, terutama pada cara pengemasan informasi yang dikaitkan dengan masalah tematikalisasi. Hal itu, selaras dengan pernyataan Gruber (1976 : 157) yang mengatakan bahwa bentuk pasif tidak mengubah semua unsur makna kalimat aktif. Sehubungan dengan kalimat pasif, Palmer (1987) mengatakan bahwa konstruksi pasif adalah konstruksi yang agentless atau tidak menonjolkan konstituen pada urutan pertama sebagai pemegang peran agen (Periksa kembali kalimat pasif di atas). Konstruksi pasif berkaitan dengan ketransitifan verba. Artinya, konstruksi yang dapat dipasifkan adalah konstruksi yang verbanya tergolong verba transitif. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa pemasifan berkaitan dengan topikalisasi (1987 : 77-83). Dalam kaitan dengan topikalisasi Brown dan Miller mengatakan bahwa konstituen yang dikedepankan ditekankan sebagai pusat pengisahan. Dalam kalimat aktif subjek agen sebagai pusat pengisahan, sedangkan dalam kalimat pasif subjek pasien sebagai pusat pengisahan (1980 : 103).
173
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Berkaitan dengan pengedepanan konstituen sebagai pusat pengisahan, Chafe menyebut konstituen yang dikedepankan sebagai old (informasi lama) dan konstituen yang mengikutinya sebagai new (informasi baru). Kedua konsep itu dapat disejajarkan dengan tema-tema atau topik-komen (1970 : 211 ; Bandingkan dengan Lyons, 1977 : 500-511). Di atas telah disinggung bahwa aktif-pasif berkaitan dengan ketransitifan verba. Artinya, pemasifan hanya dapat dilakukan apabila verba pada kalimat itu tergolong verba transitif. Apabila verba pada kalimat yang bersangkutan tergolong verba intransitif, maka pemasifan tidak dapat dilakukan. Jadi, kalimat dengan verba intransitif berikut ini tidak dapat dipasifkan. (24)
Keesokan harinya raksasa sakti mengamuk
(25)
Ia menangis minta makan
(26)
Putri Nini menikah dengan Gama Dena
(27)
Timun Emas pun ikut menyanyi sampai larut malam. Mengenai masalah ketransitifan verba, Lyons berpendapat bahwa apa yang
secara tradisional disebut verba transitif adalah verba yang memiliki dua valensi dan menguasai objek langsung (Lyons, 1977 : 486 ; Bandingkan dengan Spencer, 1991 : 10). Oleh karena verba pada kalimat (24), (25), (26) dan (27) tergolong verba intransitif, maka dapat dikatakan bahwa keempat verba pada kalimat itu memiliki satu valensi. Meskipun kalimat pasif memiliki kaitan dengan kalimat aktif, akan tetapi tidak semua kalimat aktif dapat dipasifkan. Hal itu disebabkan adanya beberapa kendala dalam hubungannya dengan aktif-pasif. Dalam bahasa
Inggris, Quirk
mencatat adanya lima kendala dalam aktif pasif : (a) kendala verba, (b) kendala objek, (c) kendala agen, (d) kendala makna, dan (e) kendala frekuensi pemakaian (Quirk at al., 1985 : 162-126). Dari semua kendala yang disebutkan di atas, penulis melihat adanya kendala aktif-pasif dalam bahasa Indonesia, yaitu kendala verba dan kendala makna. Kendala verba yang dimaksudkan di sini adalah pemasifan tidak dapat dilakukan
174
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 karena sejumlah verba yang hanya memiliki bentuk aktif dan tidak memiliki bentuk pasif, seperti kalimat berikut. (28)
Sang Raja ingin sekali mempunyai seorang anak putri.
(28a) * Seorang anak putri ingin sekali dipunyai oleh Sang Raja (29) Putri Cermin Cina menjerit kesakitan (29a) * Kesakitan dijerit oleh Putri Cermin Cina. Kendala verba yang lain adalah ada (beberapa) kalimat yang berverba pasif tidak dapat dikembalikan pada konstruksi aktif seperti kalimat berikut. (30) Dusun Aroempi banyak ditumbuhi tanaman sagu. (30a) * Tanaman sagu banyak menumbuhi Dusun Aroempi (31) * Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi (31a) Melihat peristiwa tadi hatinya benar-benar memukulnya Di samping kendala verba, dalam bahasa Indonesia juga ditemukan kendala makna sehingga pemasifan tidak dapat dilakukan. Kendala makna yang dimaksudkan adalah makna kalimat aktif tidak persis sama dengan kalimat pasif. Misalnya, kalimat (31) dan (31a), (32), (32a), dan (32b) berikut ini tidak memiliki makna yang sama. (31)
Suatu ketika Sanggmaima berburu babi hutan
(31a) * Suatu ketika babi hutan diburu oleh Sanggmaima. (32) Ibu mau menanam padi dulu (32a) * Padi mau ditanam dulu oleh ibu (32b) * Padi mau ibu tanam dulu Proses infleksi pasif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut. Verba dasar/pangkal
Infleksi
(Verba aksi/pangkal)
(dasar/pangkal + pasif)
Verba aksi/pangkal
di- (-kan, -i) / ter- / klitik + verba aksi/pangkal ‘pasif’
175
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 3.2.3. Infleksi Resiprokal Infleksi resiprokal adalah proses infleksi yang terjadi pada verba dasar yang tergolong verba aksi. Proses infleksi menyebabkan verba dasar bermakna „saling/berbalasan‟. Infleksi resiprokal dalam bahasa Indonesia ditandai oleh prefiks ber- dan konfiks ber-an. Kalimat (33), (34), (35), (36), dan (37) berikut ini akan memperjelas hal itu. (33)
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang.
(34)
Setelah meninggalkan pesan itu, kedua naga itu pun bertempur di sungai, yang telah mengubah ujud mereka.
(35)
Mereka berkenalan.
(36)
Dengan bahagia mereka berpelukan.
(37)
Bahkan Patih Inderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dulu karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin. Verba berdebat (33), bertempur (34) masing-masing berasal dari ber- dan
debat (verba dasar), ber- dan tempur (bentuk prakategorial atau pangkal), sedangkan verba berkenalan (35), berpelukan (36), dan berpapasan (37) masing-masing berasal dari kenal (pangkal), peluk (verba dasar, biasa dipakai sebagai imperatif), dan papas (bentuk prakategorial). Ketiga bentuk tersebut mendapat konfiks ber-an sehingga membentuk verba seperti pada (35), (36), dan (37). Secara semantik, kelima verba di atas telah menyiratkan adanya dua pelaku atau lebih karena tindakan berdebat, bertempur, berkenalan, berpelukan, dan berpapasan tidak dapat dilakukan oleh seorang pelaku. Kaidah resiprokal prefiks ber- dan ber-an dapat disajikan sebagai berikut Pangkal /verba dasar
Infleksi
(pangkal atau verba dasar)
Pangkal/verba dasar + resiprok)
Pangkal/dasar
ber-/ber-an + pangkal/dasar „saling, beralasan‟
176
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 3.2.4. Infleksi Aksidental Dalam proses infleksi aksidental verba aksi mendapat tambahan ciri semantik sehingga verba aksi berarti „tiba-tiba/perlakuan atau aksi yang tidak disengaja‟. Makna aksidental ditandai oleh prefiks ter-. (38) Putri Nini terjatuh ke dalam sumur muara. (39) Tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah. (40) Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika. (41) Istri Tulup ini juga mendapat pukulan yang dahsyat dari Abo dan terlempar jauh, maka matilah suami istri itu. Verba terpental pada (39) berasal dari morfem pangkal pental. Bentuk pental ini terikat dengan bentuk lain seperti ter- pada terpental, sedangkan verba terjatuh, terbalik dan terlempar berasal dari bentuk dasar jatuh, balik, dan lempar. Ketiga bentuk dasar itu dapat hadir secara mandiri sebagai unsur kalimat, seperti tampak pada kalimat berikut ini. (41) Ia jatuh (42) Balik ! (43) Lempar batu itu ! Berdasarkan data yang ada, infleksi aksidental dapat dilakukan pada verba intransitif. Proses infleksi aksidental dalam bahasa Indonesia dapat dikaidahkan sebagai berikut. Verba dasar/pangkal
Infleksi
(Verba aksi / pangkal)
(dasar / pangkal + aksidental)
Verba dasar / pangkal
ter- + dasar/pangkal „tiba-tiba/tidak disengaja‟
3.2.5 Infleksi Eksesif Proses infleksi eksesif merupakan proses penambahan ciri semantik pada verba keadaan sehingga verba keadaan mengandung arti „sifat atau keadaan yang berlebihan‟. Baik verba keadaan maupun verba hasil infleksi sama-sama tergolong
177
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 verba keadaan. Dalam bahasa Indonesia infleksi eksesif ditandai oleh ke-an. Verba pada (44), (45), (46), dan (47) di bawah ini adalah verba yang bermakna eksesif. (44)
Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi.
(45)
Mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.
(46)
Mereka
ketakutan
dan
memohon
kepada
Dena
Iriwonawai
agar
Kelima verba di atas kehausan, kelaparan, kelelahan, ketakutan,
dan
memadamkan awan merah itu. (47)
Sejak ditinggal mati istrinya, si Jambang merasa kesepian.
kesepian berasal dari verba keadaan haus, lapar, lelah, takut, dan sepi. Pembubuhan konfiks ke-an membentuk verba dasar menjadi verba jadian dengan makna berlebihan. Secara ringkas infleksi eksesif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut. Verba dasar
Infleksi
(Verba keadaan)
(dasar + eksesif)
Verba keadaan
Verba keadaan + ke-an, „terlalu‟
3.2.6 Infleksi Iteratif Infleksi iteratif merupakan suatu proses afiksasi yang menyebabkan verba yang dibubuhi afiks memiliki arti jamak/berulang-ulang. Pengulangan tindakan ini dapat dilakukan oleh satu pelaku (iteratif) atau beberapa pelaku (tiap-tiap pelaku hanya melakukan tindakan sekali). Objek sasaran dapat bersifat jamak (plural) atau tunggal (singular). Infleksi iteratif dalam bahasa Indonesia ditandai oleh hadirnya sufiks -i atau ber-an pada verba aksi, seperti pada contoh berikut ini. (48)
Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.
178
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 (49)
Namun, ada wataknya yang tidak baik, ia suka mencumbui anak-anak lakilaki.
(50)
Oleh karena itu, mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan berbagai pertanyaan.
(51)
Jika gendang itu berbunyi, orang-orang akan berdatangan dan berkumpul karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat gendang itu. Verba mematuki di dalam kalimat (48) menunjukkan adanya kejamakan
tindakan yang dilakukan oleh satu pelaku. Verba itu berasal dari verba dasar patuk dan sufiks -i, kemudian mengalami nasalisasi. Keteratifan tindakan ditandai oleh hadirnya sufiks -i karena nasalisasi hanya berfungsi sebagai penyesuaian gramatikal. Demikian pula verba mencumbui di dalam kalimat (49) mencerminkan adanya keiteratifan tindakan yang dilakukan oleh satu pelaku -- dalam hal ini pelakunya ia. Verba menghujani di dalam kalimat (50) dapat ditafsirkan sebagai kejamakan pelaku (mereka, cucu-cucuku kakek), tetapi dapat juga berarti keiteratifan tindakan karena setiap anak dapat mengajukan pertanyaan lebih dari sekali, sedangkan verba berdatangan pada kalimat (51) dapat ditafsirkan sebagai kejamakan pelaku (banyak orang). Berdasarkan data di atas, infleksi jamak (pluralis) dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut. Verba dasar
Infleksi
(dasar)
(dasar + jamak)
Verba aksi
Verba aksi + -i/ber-an „jamak / berulang-ulang‟
3.2.7. Infleksi Irregular Verba yang dihasilkan oleh proses irregular menunjuk pada „aksi yang tidak teratur‟. Proses infleksi irregular yang ditemukan terjadi pada morfem pangkal yang ditandai oleh konfiks ber-an, seperti nampak pada contoh berikut. (52)
Burung malam mulai berkeliaran
179
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 (53)
Sementara itu, tikus-tikus sudah berkeliaran lagi.
(54)
Dia selalu berkeliaran menjelajah celah-celah pegunungan.
(55)
Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran ke sana ke mari hingga ketemu di sini.
(56)
Sebelum mandi, burung-burung itu lebih dahulu makan tebu sehingga ampas tebu berhamburan di tepi sungai. Verba berkeliaran pada kalimat (52), (53), (54), (55) dan berhamburan
pada (56) di atas berasal dari morfem pangkal keliar dan hambur dan konfiks beran.
Melekatnya
konfiks
ber-an
pada
morfem
pangkal
dengan
makna
„ketidakteraturan aksi/tindakan atau tindakan yang ke sana ke mari‟ hanya terbatas pada dua di atas. Secara ringkas infleksi irregular dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut : Pangkal
Infleksi
(Pangkal)
(Pangkal + ketidakteraturan)
Pangkal
ber-an + pangkal „ketidakteraturan/ tindakan ke sana ke mari‟
DIAGRAM III. Afiksasi Infleksional Dalam Bahasa Indonesia No. Jenis Infleksi 1. 2.
Aktif Pasif
3. 4.
Aksidental Resiprokal
5.
Iteratif
6. 7.
Eksesif Irregular
Penanda meN- (-kan, -i) di- (-kan, -i) klitik (ku-, kau, kami, kita) terterberber-an -i ber-an ke-an ber-an
180
Makna „meng-‟ „di-‟ „tiba-tiba / tidak disengaja‟ „tiba-tiba / tidak disengaja‟ „saling/berbalasan‟ „jamak/berulang-ulang‟ „berlebihan/terlalu‟ „ketidakteraturan aksi / tindakan ke sana ke mari‟
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 V. PENUTUP 4.1. Simpulan Kajian Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Indonesia ini mengungkapkan permasalahan seputar proses morfologis khususnya proses pembubuhan afiks infleksi yang menghasilkan verba bahasa Indonesia. Permasalahan yang berhasil dipecahkan dalam penelitian ini dapat dipilah menjadi dua bagian pokok: (1) pengelompokan afiks infleksi dan (2) makna infleksi yang disebabkan oleh pembubuhan afiks. Kajian ini dilakukan terhadap bahasa Indonesia standar ragam tulis. Sumber datanya adalah kumpulan cerita rakyat dari seluruh Indonesia yang berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara. Kajian ini berpatokan pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise (1984), dan dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988). Konsep dasar infleksi yang diterapkan dalam penelitian ini bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa Inggris yang dikemukakan oleh Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991), dan Robins (1959 dan 1998). Prinsip dasar ini disesuaikan dengan kenyataan yang ada dalam bahasa Indonesia. Teori morfologi generatif adalah teori yang paling mutahir untuk kajian morfologi. Teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis afiksasi bahasa Indonesia karena teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut produktivitas dan kendala produktivitas. Berdasarkan hasil analisis data, ada sejumlah afiks yang tergolong afiks infleksi dalam bahasa Indonesia: (1) prefiks meN-, ber-, di-, dan ter-; (2) sufiks -i dan -kan; dan (3) konfiks ber-an dan ke-an. Makna infleksi yang timbul sebagai akibat pembubuhan afiks dalam bahasa Indonesia adalah (1) aktif, yang ditandai oleh prefiks meN- (-kan, -i); (2) pasif, yang ditandai oleh prefiks di- (-kan, -i), ter-
181
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dan
pronomina
persona/klitik
(ku-,
kau,
kami,
kita);
(3)
resiprokal
(saling/berbalasan), yang ditandai oleh prefiks ber- dan konfiks ber-an; (4) aksidental (tiba-tiba/tidak disengaja), yang ditandai oleh prefiks ter-; (5) eksesif (sifat atau keadaan yang berlebihan), yang ditandai oleh konfiks ke-an; (6) iteratif (jamak/berulang-ulang), yang ditandai oleh sufiks -i atau konfiks ber-an; dan (7) irregular (ketidakteraturan aksi/tindakan ke sana ke mari), yang ditandai oleh ber-an.
4.2. Saran Penelitian mengenai afiksasi infleksional bahasa Indonesia ini merupakan kajian yang sangat terbatas, baik mengenai ruang lingkup pembahasannya maupun mengenai sumber datanya. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian lebih lanjut tentang hal ini. Jika memungkinkan sangat penting sekali dilakukan penelitian terhadap proses morfologis
bahasa Indonesia yang lebih luas dan mendalam
berdasarkan teori morfologi generatif mengingat kajian morfologi bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan ini masih sangat terbatas sekali.
DAFTAR RUJUKAN Aronoff, Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammar. Cambridge : Massachusets Institute of Technology, The MIT Press. Bawa, I Wayan dkk. 1988. Bahan Pengajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Denpasar : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Brown, E.K. and J.E. Miller. 1980. Syntax : A Linguistic Introduction to Sentence Structure. London, Hutchinson. Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago and London : The University of Chicago Press. Dardjowidjojo, Soejono. 1988. “Morfologi Generatif : Teori dan Permasalahannya” dalam Pellba I. Soenjono (Peny.). Jakarta : Lembaga Bahasa Atma Jaya. Grady, William O‟ dkk. 1987. Contemporary Linguistic Analysis : An Introduction. Toronto, A. Longman Company.
182
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Gruber, Jeffry S. 1976. Lexical Structure in Syntax and Semantic : Studies in Lexical Relations Functions of The Lexicon in Formal Descriptive Grammars. Amsterdam : North-Holland Publishing Company. Halle, Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation” dalam Linguistic Inguiry. Vol. IV No. 1. Huddleston, Rodney. 1984. Introduction to The Grammar of English. Combridge : Combridge University Press. Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Lyons, John. 1977. Semantic Jilid I dan II. Combridge : Cambridge University Press. Malmkjaer, Kirsten dkk. 1991. The Linguisticts Encyclopedia. London and New York Routledge. Martha, I Nengah. 1986. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Singaraja : FKIP, Universitas Udayana. Matthews, P.H. 1974. Morphology : An Introduction to The Theory of Word Structure. London : Combridge University Press. Palmer, F.R. 1987. The English Verbs. London : Longman. Parera, Jos Daniel. 1994. Morfologi Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Quirk, et.al. 1973. A University Grammar of English. England : Longman. Ramlan, M. 1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV. Karyono. Robins, R.H. 1959. “Nominal and Verbal Derivation in Sundanese” Terjemahan Harimurti Kridalaksana diterbitkan dalam Sistem dan Struktur Bahasa Sunda oleh Harimurti Kridalaksana (ed) (1983) Seri ILDEP. Jakarta : Djambatan. Robins,
1988. “General Linguistics” diterjemahkan dan diterbitkan kembali dalam Linguistik Umum : Sebuah Pengantar oleh Soenarjati Djajanegara (1992). Yogyakarta : Kanisius.
Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordresct Holland/ CanniminsionUSA : Foris Publication.
183
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Scpencer, Andrew. 1991. Morphological Theory : An Introduction to Word Structure in Generative Grammar. Combridge : Combridge University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta : Duta Wacana University Press. Tampubolon. D.P. 1977. Verbal Affication in Indonesian : A Semantic Exploration. Desertasi Georgetown University.
184
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DENGAN MENERAPKAN ASESMEN PORTOFOLIO Oleh I Wayan Gunartha e-mail:
[email protected] Abstract Teacher's professional ability in conducting the assessment of process and learning outcomes are indeed still very lacking. Given the ways during this assessment has many shortcomings, then since the enactment of the competencybased curriculum, enforced a concept 2004 classroom-based assessment with one model or his approach is based on the valuation of the portfolio. This paper aims to provide a clear picture of: (1) understanding the portfolio assessment, (2) the purpose and function of the assessment portfolio, (3) advantages and disadvantages of portfolio assessment, and (4) the application portfolio assessment in learning Indonesian Language. Portfolio assessment is on going assessment based collection of information that shows the development of the ability of learners within a certain period. The purpose of the portfolio assessment is to provide information to parents about the development of learners complete with support data and documents are accurate. The portfolio function is as a source of information for teachers and parents, as a learning tool, as an authentic assessment tool (authentic assessment). Assessment of this portfolio has many advantages compared to the conventional assessment, in addition to its shortcomings. In its application in the Indonesian Language learning, assessment portfolios can be done by following the steps exactly. Thus, the use of asaesmen portfolio really can be utilized to improve learning achievements. Key words : assessment, portfolios, language learning achievements, Indonesia.
A.
Latar Belakang Masalah Para pakar pendidikan dan psikologi di Indonesia banyak memberikan
pandangan dan analisis terhadap mutu pendidikan, tetapi sampai saat ini tidak pernah tuntas, bahkan muncul masalah-masalah pendidikan yang baru. Masalah mutu pendidikan yang banyak dibicarakan adalah rendahnya hasil belajar peserta didik. Padahal kita tahu, bahwa hasil belajar banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kemampuan profesional guru dalam melakukan
185
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 penilaian hasil belajar. Kemampuan professional guru dalam melakukan penilaian proses dan hasil belajar memang masih sangat kurang. Kebanyakan guru melakukan penilaian lebih menekannkan pada hasil belajar, sedangkan proses belajar kurang diperhatikan bahkan cenderung diabaikan. Padahal, proses belajar sangat menentukan hasil belajar (Arifin, 2009: 194). Di samping itu, para guru juga terbiasa dengan kegiatan-kegiatan penilaian rutin yang sifatnya praktis dan ekonomis sehingga tidak heran jika guru banyak menggunakan soal yang sama dari tahun ke tahun. Walaupun guru telah sering mengikuti pelatihan tentang evaluasi pembelajaran atau evaluasi hasil belajar, mereka tatap kembali ke habitatnya semula, tanpa melakukan inovasi, perbaikan, dalam pelaksanaan penilaian. Mengingat cara-cara penilaian selama ini memiliki banyak kelemahan, maka sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, diperkenalkan suatu konsep “penilaian berbasis kelas” (classroom-based assessment) dengan salah satu model atau pendekatannya adalah “penilaian berbasis portofolio” (portofoliobased assessment), yaitu suatu model penilaian yang dilakukan secara sistematis dan logis untuk mengunkapkan dan menilai peserta didik secara komprehensif, objektif, akurat, dan sesuai dengan bukti-bukti autentik (dokumen) yang dimiliki peserta didik. Menurut Mardapi (2005: 2), dalam pembelajaran berbasis kompetensi, standar kompetensi
lulusan
mencakup
kemampuan
penalaran,
keterampilan,
dan
kepribadian. Tiga aspek ini harus dikembangkan melalui program pembelajaran dan hasilnya dinilai. Hasil penilaian ini merupakan produk kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya, dijelaskan bahwa penilaian memerlukan informasi yang akurat dari hasil pengukuran terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik dalam semua aspek. Informasi ini dapat diperoleh melalui tes atau kumpulan semua karya atau prestasi yang dimiliki peserta didik. Kumpulan karya ini merupakan portofolio dari peserta didik. Kumpulan karya yang dinilai, sesuai dengan sistem penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi, menjadi bagian pembentukan suatu kompetensi atau yang terkait dengan kompetensi. Untuk memperoleh informasi yang akurat diperlukan bukti otentik tentang kemampuan peserta didik. Penggunaan bukti
186
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 otentik dalam sistem penilaian dikenal dengan penilaian otentik, yang salah satu bentuknya adalah model penilaian portofolio (Mardapi, 2005: 3; Suwandi, 2009: 13; Depdiknas, 2006: 155). Implikasi
pemberlakuan
Kurikulum
2004
(Kurikulum
Berbasis
Kompetensi), yang disempurnakan dalam Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) 2006 terhadap pola penilaian pembelajaran di sekolah adalah: Pertama, guru dan kepala sekolah harus berperan sebagai pembuat keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan kurikulum, termasuk proses pembelajaran. Kedua, guru harus menyusun silabus yang menjamin terlaksananya proses pembelajaran yang terarah dan bermakna. Ketiga, guru harus melakukan continuous-autentic assessment yang menjamin ketuntasan belajar dan pencapaian kompetensi peserta didik. Akan tetapi, menurut pengakuan beberapa guru yang pernah penulis wawancarai, mereka belum sepenuhnya mengerti apa dan bagaimana asesmen otentik, asesmen kelas, termasuk asesmen portofolio tersebut. Hal ini terjadi karena minimnya informasi terutama yang berupa literatur yang dimiliki oleh para guru. Dengan demikian, mereka tetap saja menerapkan penilaian konvensional. Untuk itu, beberapa masalah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah: (1) Apakah yang dimaksud dengan asesmen portofolio? (2) Apakah tujuan dan fungsi asesmen portofolio? (3) Apa kelebihan dan kekurangan asesmen portofolio? dan (4) Bagaimanakah aplikasi asesmen portofolio dalam pembelajaran Bahasa Indonesia ?
B.
Pembahasan 1. Pengertian Asesmen Portofolio Istilah portofolio pertama kali digunakan oleh kalangan fotografer dan
artis (Arifin, 2009: 197). Melalui portofolio, fotografer dapat memperlihatkan prosfektif pekerjaan mereka kepada pelanggan dengan menunjukkan koleksi pekerjaan yang dimilikinya. Dalam dunia pendidikan, portofolio dapat digunakan guru melihat perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu berdasarkan
187
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 kumpulan hasil karya sebagai bukti suatu kegiatan pembelajaran. Menurut para ahli, portofolio memiliki beberapa pengertian. Ada yang memandang sebagai benda/alat, dan ada yang memandang sebagai metode/teknik/cara. Portofolio sebagai wujud kumpulan benda fisik, yakni kumpulan dokumentasi atau hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan dalam suatu bendel. Portofolio ini merupakan karya terpilih dari peserta didik, baik perseorangan, maupun kelompok. Popham (1994) menjelaskan “asesmen portofolio merupakan penilaian secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan informasi atau data secara sistematik atas hasil pekerjaan peserta didik dalam kurun waktu tertentu.” Definisi ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Depdiknas (2006: 167), yang mendefinisikan penilaian portofolio sebagai penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam suatu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan nilai) atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensittn dalam suatu mata pelajaran. Menurut Reckase (1995), portofolio adalah kumpulan karya peserta didik yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan prestasi peserta didik dalam suatu bidang (dalam Mardapi, 2005: 7). Dalam beberapa pengertian asesmen portofolio di atas, tidak terdapat perbedaan yang mendasar. Pada prinsipnya, penilaian portofolio adalah penilaian terhadap kumpulan pekerjaan siswa, yang telah dikumpulkan dalam file untuk setiap siswa. Jadi, dalam asesmen portofolio guru membuat file untuk setiap peserta didik, berisi kumpulan sistematis atas hasil prestasi belajar mereka selama mengikuti proses pembelajaran. Dalam file tersebut, dikumpulkan bukti fisik dan catatan prestasi siswa, seperti hasil ulangan, hasil tugas mandiri, hasil praktikum, dan lainlain. Selain itu juga dikumpulkan catatan nonakademik, seperti kerajinan, kerapian, kejujuran, kemampuan kerja sama, prestasi olah raga, kesenian, dan lain-lain. Menurut Jonson and Jonson (2002: 103), portofolio bisa berupa kumpulan tugas peserta didik perorangan atau kelompok.
188
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Portofolio dapat mencakup materi satu semester, satu tahun, atau beberapa tahun, dan bisa mewakili kerja peserta didik dalam satu atau beberapa mata pelajaran. Menurut Johnson and Johnson (202: 1030, portofolio bisa berupa kumpulan tugas peserta didik perorangan atau kelompok. Selanjutnya dilelaskan bahwa portofolio bisa mencakup pekerjaan rumah, tugas kelas, tes buatan guru, komposisi atau karangan, presentasi, penyelidikan, ceklis pengamatan, seni visual, dan lain-lain. Data yang terkumpul dari waktu ke waktu ini kemudian digunakan oleh guru untuk menilai dan melihat perkembangan kemampuan serta prestasi akademik peserta didik dalam periode tersebut. File portofolio sekaligus akan memberikan umpan balik (feed back) baik kepada guru, maupun kepada peserta didik. Proses terjadinya umpan balik sangat dimungkinkan karena dalam sistem penilaian portofolio data yang terkumpul dianalisis secara kolaboratif dengan melibatkan guru, peserta didik, serta orang tua.
2. Tujuan dan Fungsi Asesmen Portofolio Pada hakikatnya tujuan penilaian portofolio adalah untuk memberikan informasi kepada orang tua tentang perkembangan peserta didik secara lengkap dengan dukungan data dan dokumen yang akurat. Rapor merupakan bentuk laporan prestasi peserta didik dalam belajar dalam kurun waktu tertentu (Arifin, 2009: 200). Menurut Surapranata dan Hata (2004), penilaian portofolio dapat digunakan untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu “menghargai perkembangan yang dialami peserta didik, mendokumentasikan proses pembelajaran yang berlangsung, memberi perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik, merefleksikan kesanggupan mengambil risiko dan melakukan refleksi diri, membantu peserta didik dalam merumuskan tujuan”. Sedangkan, fungsi portofolio dapat kita lihat dari berbagai segi, yaitu: a.
Portofolio sebagai sumber informasi bagi gudan orang tua untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik,
189
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 tanggung jawab dalam belajar, perluasan demensi belajar dan inovasi pembelajaran. b.
Portofolio sebagai alat pembelajaran merupakan komponen kurikulum karena portofolio mengharuskan peserta didik untuk mengoleksi dan menunjukkan hasil kerja mereka.
c.
Portofolio sebagai alat penilaian otentik (authentic assessment).
d.
Portofolio sebagai
sumber informasi bagi peserta didik untuk
melakukan self-assessment. Maksudnya, peserta didik mempunyai kesempatan yang banyak untuk menilai diri sendiri dari waktun ke waktu. Selanjutnya,
Direktorat
PLP-Ditjen
Dikdasmen-Depdiknas
(2003)
mengemukakan bahwa penilaian portofolio dapat digunakan untuk: (a) memperlihat perkembangan pemikiran atau pemahaman siswa pada periode waktu tertentu, (b) menunjukkan suatu pemahaman dari beberapa konsep, topik, dan isu yang diberikan, (c) mendemonstrasikan perbedaan bakat, (d) mendemonstrasikan kemampuan untuk memproduksi atau mengkreasi suatu pekerjaan baru secara orisinal, (e) mendokumentasikan kegiatan selama periode waktu tertentu, (f) mendemonstrasikan
kemampuan
menampilkan
suatu
karya
seni,
(g)
mendemontrasikan kemampuan mengintergrasikan teori dan praktik, dan (h) merefleksikan nilai-nilai individual atau pandangan dunia secara lebih luas.
3. Karakteristik Asesmen Portofolio Proses penilaian portofolio menuntut terjadinya interaksi multiarah, yaitu dari guru ke peserta didik, dari peserta didik ke guru, dan antarpeserta didik. Direktorat PLP Ditjen dikdasmen Depdiknas (2003) mengemukakan pelaksanaan penilaian portofolio hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut. a.
Mutual trust (saling mempercayai), artinya jangan ada saling mencurigai antara guru dan peserta didik maupun antar peserta didik. Mereka harus
190
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 saling percaya dan saling membutuhkan, saling membantu, terbuka dan jujur sehingga dapat membangun suasana penilaian yang lebih kodusif. b.
Confidentiality (kerahasiaan bersama), artinya gurun harus menjaga kerahasiaan semua hasil pekerjaan peserta didik dan dokumen yang ada, baik perseorangan maupun kelompok, sebelum didiadakan pameran.
c.
Joint Ownership (milik bersama), artinya semua hasil pekerjaan peserta didik dan dokumen yang ada harus menjadi milik bersama antara guru dan peserta didik, karena itu harus dijaga bersama.
d.
Satisfaction
(kepuasan)artinya
semua
dokumen
dalam
rangka
pencapaian standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator harus dapat memuaskan semua pihak, baik guru, orang tua, maupun peserta didik. e.
Relevance (kesesuaian), artinya dokumen yang ada harus sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang diharapkan.
Di samping itu, Surapranata da Hatta (2004) menambahkan tiga prinsip, yaitu “penciptaan budaya mengajar, refleksi bersama, serta proses dan hasil”. Artinya, penilaian portofolio hanya dapat dilakukan jika pembelajarannya juga menggunakan pendekatan portofolio.
4. Jenis Asesmen Portofolio Menurut Mardapi (2005: 8), ada dua tipe portofolio, yaitu portofolio hasil karya terbaik, dan portofolio proses. Portofolio karya terbaik adalah kumpulan karya-karya terbaik dari peserta didik dari suatu bidang. Portofolio proses mencakup semua karya yang dimiliki peserta didik. Menurur Arifin (2009: 207) portofolio proses menunjukkan tahapan belajar dan menyajikan catatan perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu. Portofolio proses menunjukkan kegiatan pembelajaran untuk mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan sekumpulan indikator yang telah dotetapkan dalam kurikulum serta menunjukkan semua hasil dari awal sampai dengan akhir selama kurun waktu tertentu.
191
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Dalam portofolio proses, guru dapat menyajikan berbagai macam tugas yang setara atau yang berbeda kepada peserta didik. Guru juga dapat memutuskan apa yang harus dikerjakan peserta didik atau peserta didik diajak bekerja sama dengan peserta didik lan dalam mengerjakan tugas tertentu. Portofolio proses digunakan untuk melihat proses pembuatan suatu karya atau suatu pekerjaan yang menuntut adanya proses diskusi antara peserta didik dengan guru atau sesame peserta didik. Portofolio produk hanya menekan pada penguasaan (materi) dari tugas yang dituntut dalam standar
kompetensi, kompetensi dasar dan sekumpulan
indikator prncapaian hasil belajar, serta hanya menunjukkan evidence yang paling baik, tanpa memperhatikan kapan dan bagaimana evidence
tersebut diperoleh.
Tujuan portofolio produk adalah untuk mendokumentasikan dan merefleksikan kualitas prestasi yang telah dicapai.
5. Teknik Asesmen Portofolio Menurut Suwandi (2009: 103-105), teknik asesmen portofolio di dalam kelas memerlukan langkah-langkah sebagai berikut. 1.
Jelaskan kepada peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya merupakan kumpulan hasi kerja peserta didik yang digunakan oleh guru untuk penilaian, tetapi digunakan juga oleh peserta didik sendiri. Dengan melihat portofolionya peserta didik dapat mengetahui kemampuan, keterampilan, dan minatnya.
2.
Tentukan bersama peserta didik sampel-sampel portofolio apa saja yang akan dibuat. Portofolio antara peserta didik yang satu dengan yang lain bisa sama bisa berbeda. Misalnya untuk kemampuan menulis peserta didik mengumpulkan karangan-karangannya, sedangkan untuk kemampuan menggambar, peserta didik mengumpulkan gambar buatannya.
3.
Kumpulkan dan simpanlah karya-karya tiap peserta didik dlam satu map atau folder di rumah masing-masing atau loker masing-masing di sekolah.
192
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 4.
Berilah tanggal pembuatan pada setiap bahan informasi perkembangan peserta didik sehingga dapat dilihat perbedaan kualitas dari waktu ke waktu.
5.
Sebaiknya tentukan kriteria penilaian sampel portofolio dan botnya dengan peserta didik sebelum mereka membuat karyanya. Misalnya, kriteria kemampuan menulis karangan, yaiyu: penggunaan tata bahasa, pilihan kata, kelengkapan gagasan, dan sistematika penulisan. Dengan demikian, peserta didikmengetahui harapan (standar) guru dan berusaha mencapai standar tersebut.
6.
Minta peserta didik menilai karyanya secara berkesinambungan. Guru dapat membimbng peserta didik, bagaimana
cara menilai dengan member
keterangan tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut, serta bagaimana
cara memperbaikinya. Hal itu dapat dilakukan pada saat
membahas portofolio. 7.
Setelah suatu karya dinilai, dan nilainya belum memuaskan, maka peserta didik diberi kesempatan untuk memperbaiki. Namun, antara peserta didik dan guru, perlu ada kontrak atau perjanjian mengenai jangka waktu perbaikan, misalnya dua minggu harus diserahkan kepada guru.
8.
Bila perlu, jadwalkan pertemuan untuk membahas portofolio. Jika perlu, undang orang tua peserta didik dan diberi penjelasan tentang maksud serta tujuan portofolio, sehingga orang tua dapat memotivasi anaknya. Contoh Penilaian Portofolio Mata Pelajaran Alokasi Waktu Nama Siswa
: Bahasa Indonesia : 1 Semester : _______________________
No.
SK/KD
Tata Bahasa
1
Menulis karangan deskriptif
Kriteria Periode
Kosa kata
30/7 10/8 Dst. 193
Kelengkapan gagasan
Sistematika Penulisan
Ket.
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
2
Membuat resensi buku
1/9 30/9 10/10 dst
Catatan: Setiap karya siswa sesuai Standar Kompetensi/Kompetensi dasar yang masuk dalam portofolio dikumpulkan dalam satu file (tempat) untuk setiap peserta didik sebagai pekerjaannya. Skor untuk setiap kriteria menggunakan skala 010 atau 0-100. Semakin baik hasil yang terlihat dari tulisan peserta didik, semakin tinggi skor yang diberikan. Kolom keterampilan diisi dengan catatan guru tentang kelemahan dan kekuatan tulisan yang dinilai. Menurut Harsiati (2003: 4-5), prosedur penyusunan dan penilaian portofolio dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) Identifikasi tujuan portofolio, (2) penentuan jenis portofolio, (3) penentuan kompetensi dan tahapan pencapaiannya, (4) penentuan kriteria penilaian karya yang sesuai dengan kompetensi yang akan ditunjukkan siswa, dan (5) penentuan isi tiap-tiap bagian portofolio. Contoh perencanaan Portofolio : Tujuan portofolio
: Mengamati perkembangan kemampuan menulis
Jenis portofolio
: Portofolio proses
Kelas
: II
Rentangan Waktu : Satu semester Nama Siswa
: ……………………………………..
Isi Portofolio Bagian 1 (Kumpulan karya siswa dan tahapan prosesnya) Bagian I berisi sejumlah proses penyusunan dan hasil akhir karya siswa. Jumlah dan jenis kompetensi menulis yang akan didokumentasikan disesuaikan dengan KD dalam kurikulum. Proses dan hasil karya dipaparkan sebagai berikut. A. Kompetensi Menulis puisi -
Perencanaan penulisan (topik yang dipilih, cara pembatasan topik)
-
Buram puisi
-
Hasil penyuntingan-penyuntingan yang dilakukan 194
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 -
Hasil akhir prnulisan puisi
B. Kompetensi menulis Cerpen -
Perencanaan penulisan cerpen (pokok persoalan yang dipilih)
-
Buram cerita pendek
-
Hasil penyuntingannya
-
Hasil akhir penulisan cerpen
C. Kompetensi ………………….. D. Kompetensi……………………(dan seterusnya)
Bagian 2 (Penilaian diri dan penilaian guru) Bagian ini berisi sejumlah rubrik sesuai dengan kompetensi yang dipelajari siswa dengan hasil penilaian siswa terhadap karyanya. Selain itu, dalam bagian ini juga terdapat rubrik dengan hasil penilaian guru.
Bagian 3 (Simpulan dan hasil penilaian) Bagian ini berisi simpulan siswa tentang tingkatan kemampuan menulisnya. Pada bagian ini juga berisi simpulan siswa tentang grade yang sesuai dengan dirinya dan alasan-alasan yang mendukungnya. Selain dari pihak siswa, bagian 3 ini juga berisi simpulan dari pihak guru tentang proses dan produk karya yang dihasilkan siswa. Sebagai mana disinggung di bagian sebelumnya, portofolio diharapkan dapat memberikan balikan bagi siswa maupun guru serta dapat menggambarkan pertumbuhan kemampuan siswa. Untuk itu, penilaian portofolio harus dilakukan pada awal, tengah, dan akhir pembelajaran. Guru dan siswa harus menyepakati kapan penilaian awal, tengah, dan akhir dilakukan. Penilaian karya produktif (menulis dan berbicara) memerlukan bantuan rubrik agar penilaian lebih terpokus. Portofolio dinilai dengan cara menganalisis, membandingkan, dan menyimpulkan bukti proses penulisan. Untuk tujuan memberikan balikan, setiap karya dianalisis kemudian disimpulkan apakah karya tersebut membuktikan bahwa siswa telah belajar sesuatu. Simpulan ini disampaikan kepada siswa sebagai 195
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 balikan. Hasil penilaian portofolio haru ditindaklanjuti dengan berbagai latihan tambahan yang diperlukan sesuai dengan hasil penilaian. Misalnya, siswa perlu diberi kesempatan berlatih menyusun kerangka karangan karena portofolio menunjukkan bahwa kemem siswa dalam menyusun kerangka karangan belum memadai. 6. Kelebihan dan Kekurangan Asesmen Portofolio Setiap konsep atau model asesmen tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Begitu pula dengan asaesmen portofolio. Kelebihan model asesmen portofolio antara lain sebagai berikut. 1.
Dapat melihat pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu berasarkan feed back dan refleksi diri.
2.
Membantu guru melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta didik di kelas.
3.
Mengajak peserta didik untuk belajar bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka kerjakan, baik di kelas, maupun di luar kelas.
4.
Meningkatkan peran serta peserta didik secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan penilaian.
5.
Member kesempatan kepada peserta didik untuk meningkatkan kemampuan mereka.
6.
Membantu guru mengklarifikasi dan mengidentifikasi program pembelajaran.
7.
Terlibatnya berbagai pihak, seperti orang tua, guru, komite sekolah dan masyarakat lainnya dalam melihat pencapaian kemampuan peserta didik.
Adapun kekurangan asesmen portofolio antara lain, sebagai berikut. 1.
Membutuhkan waktu dan kerja ekstra.
2.
Penilaian portofolio dianggap kurang reliabel dibandingkan bentuk penilaian yang lain. 196
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 3.
Ada kecenderungan guru hanya memperhatikan pencapaian akhir sehingga proses penilaian kurang mendapat perhatian.
4.
Jika guru melaksanakan proses pembelajaran yang bersifat teacheroriented, maka asesmen portofolio tidak dapat dilaksanakan.
5.
Orang tua peserta didik sering berpikir skeptis karena laporan hasil belajar anaknya tidak berbentuk angka.
6.
Asesmen portofolio masih relative baru sehingga banyak guru, orang tua, dan peserta didik yang belum mengetahui dan memahaminya.
7.
C.
Tidak tersedianya kriteria penilaian yang jelas.
Kesimpulan Asesmen Portofolio adalah asesmen berkelanjutan yang didasarkan
kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan nilai), atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu mata pelajaran. Asesmen portofolio pada dasarnya menilai karya-karya siswa secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu periode, karya tersebut dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar peserta didik melalui karyanya, antara lain: karangan, puisi, surat, hasil membaca buku/literatur, hasil penelitian, hasil wawancara, dan lain-lain. Karya siswa harus merupakan karyanya sendiri, bukan dibuatkan orang lain. Adapun tujuan asesmen portofolio ini adalah untuk memberikan informasi kepada orang tua siswa tentang perkembangan peserta didik secara lengkap dengan dukungan data dan dokumen yang akurat. Portofolio ini boleh dikatakan lampiran dari rapor peserta didik. Disamping itu, portofolio ini bertujuan untuk menghargai
197
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 perkembangan
yang
dialami
peserta
didik,
mendokumentasikan
proses
pembelajaran, memberikan perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik, meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, dan lain-lain. Sedangkan fungsi portofolio adalah sebagai sumber informasi bagi guru dan orang tua untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik, sebagai alat penilaian otentik (authentic assessment), sebagi sumber informasi bagi peserta didik untuk melakukan self-assessment. Asesmen portofolio memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan asesmen konvensional, antara lain: (1) dapat
melihat
pertumbuhan dan
perkrmbangan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu, (2) membantu guru dalam melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta didik di kelas, (3) melatih peserta didik bertanggung jawab, (4) meningkatkan peran serta peserta didik secara aktif dalam pembelajaran,dan (5) member kesempatan kepada peserta didik untuk
meningkatkan
kemampuan
mereka.
Kekurangannya
antara
lain:
membutuhkan waktu dan kerja ekstra, dianggap kurang reliabel, belum banyak guru yang memahaminya, kriteria penilaian tidak jelas, sulit diterapkan untuk ujian nasional. Dalam aplikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, asesmen portofolio dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah (1) Jelaskan kepada peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya untuk guru, tetapi juga untuk siswa sendiri, (2) Tentukan bersama siswa sampel portofolio apa saja yang akan dibuat, (3) Simpanlah karya setiap peserta didik dalam suatu map atau folder di rumah masing-masing atau di sekolah, (4) Beri tanggal pembuatan pada tiap bahan informasi perkembangan peserta didik, (5) Tentukan kriteria penilaiannya serta bobot nilainya dengan peserta didik sebelum mereka membuat karya, (6) Minta siswa menilai karyanya secara berkesinambungan, atas bimbingan guru, (7) beri kesempatan kepada peserta didik utu memperbaiki karya yang belum memuaskan, (8) Jadwalkan (bila perlu) pertemuan untuk membahas portofolio dengan mereka.
198
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arter, Judith A. and Vicki Spandel. Using Portofilio of Student Work in Instruction and Assessment. ITEM. Depdiknas. 2006. Pedoman Model Penilaian Kelas Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan TK-SD-SMP-SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP Cipta Jaya. Harsiati, Titik. 2003. Penilaian otentikdlm pembelajaran Bahasa Indonesia. Makalah. Johnson, D. W., Johnson, R. T. 2002. Meaningful assessment. Boston: Allyn and Bacon. Mardapi, Djemari. 2005. Penilaian model portofolio pada pembelajaran berbasis kompetensi di perguruan tinggi. Makalah disampaikan pada Seminar Penilaian Portofolio untuk Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Sebelas Maret 30 Maret 2005 di Surakarta. Supranata, S. dan Hatta, M. 2004. Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suwandi, Sarwiji. 2009. Model Assesmen Dalam Pembelajaran. Surakarta: YUMA PUSTAKA
Biodata Penulis: -
Penulis adalah Lektor Kepala dalam Bidang Evaluasi Pendidikan dan Bekerja Sebagai Dosen Kopertis Wilayah VIII, Dpk Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar.
-
Saat ini penulis masih tercatat sebagai mahasiswa Program Doktor sejak tahun akademik 2010/2011, dan sedang menyelesaikan disertasi tentang Pengembangan Model Evaluasi Program Pembelajaran Anak Usia dini.
199
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PENERAPAN METODE PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIDATO BAHASA BALI SISWA KELAS X1 SMA NEGERI 1 PETANG, BADUNG TAHUN PELAJARAN 2010/2011 Oleh Dewa Ayu Widiasri One of the aspects in Balinese language Learning Process is Speaking skill. Balinese language speech is one of speaking skill which listed in Senior high school syllabus. As we have seen that all this time Balinese Language learning process used discussion and lecturing methods in the classroom. Based on the researcher`s observation that the students` speech skill were very low. It`s assumed that the strategies which used by the teacher were less precisely. Based on this fact, the researcher tried to collaborate to the teacher who taught Balinese Language to apply modeling method. Modeling method in speech teaching and learning process is a method through presenting a model in front of the class. By presenting a model is expected that the skill of Balinese Language Speech will be much better. This research was carried out at the eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the 2010/2011 academic year. The problem formulation of this research were (1) How can modeling method improve speech skill in Balinese language at eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the 2010/2011 academic year? (2) How are the students` responses toward the application of modeling method to improve speech skill in Balinese Language? The purpose of this research was to improve or increase speaking skill, meanwhile The specific purpose of this research were(1) to improve speech ability in Balinese language at eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the 2010/2011 academic year through the application of modeling method,(2)to find out the response of the eleventh grade students of SMA N 1` Petang in the 2010/2011 academic year through the application of modeling method. To achieve these goals, the researcher used three methods, they were; (1) Subject research determination which consists of Subject of the research, object of the research and the plan of the research, (2) The collecting data method consists of test method, observation method, and questionnaire method, (3) Data analysis method consisted of the result of observation scoring, changing crude score became a standard score, finding out the mean, and deciding predicate criteria of subject of this research on 32 students of the eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the 2010/2011 academic year. Data was obtained using action test instrument; students were asked to pay attention to the model who performed in front of the class then students acted as the model did. The obtaining data was analyzed by using descriptive statistical analysis so that we can find out the quality of students achievement. The program of this research consisted of (1) research planning, (2) the implementation of action (3) observations and (4) reflection. 200
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Based on the analysis, it can be concluded that, (1)Modeling method can improve speech skill in Balinese language of the eleventh grade students of SMA N 1 Petang, (2).Modeling method got good response from the eleventh grade students in SMA N 1 Petang. The implementation at the beginning observation score was 1868 with average score 58, on the cycle I the score was 2420 with average 76, and on cycle II the score was 2788 with average 87. It meant that students` achievement on the eleventh grade improved 11%. Concerning to the conclusion above teachers were suggested (1)to apply modeling method in Balinese language speech teaching to improve students` skill in Balinese language speech, (2) to apply modeling method to improve students` responses in Balinese Language learning process.
1.
LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Bahasa bali itu adalah bahasa daerah orang Bali yang dibawa sejak lahir yang dikenal sebagai bahasa ibu. Semenjak orang Bali itu lahir mereka sudah diajarkan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Bali. Bahasa Bali tidak hanya diajarkan dilingkungan keluarga dan masyarakat, melainkan dilingkungan sekolah juga diajarkan. Bahasa Bali diajarkan mulai dari taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA, juga dalam universitas yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Bali. Pembelajaran bahasa Bali meliputi empat aspek keterampilan yakni keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Semua aspek tersebut sangat penting untuk dipelajari, akan tetapi di dalam lingkungan masyarakat salah satu aspek dari ke empat aspek tersebut ada yang paling penting yaitu aspek berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari ternyata manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara. Seperti pengajaran tata karma dan adat istiadat dalam masyarakat selalu diajarkan dengan cara lisan. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kalangan masyrakat tradisional tetapi masih berlaku juga dikalangan masyarakat modern. Jadi, semua kalangan masyarakat perlu memiliki keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara bisa ditampilkan dengan berbagai macam kreativitas. Salah satu bentuk kreativitas dalam berbicara yaitu berpidato. Banyak kegiatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang memakai pidato. Seperti, dalam
201
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 acara lamaran, pernikahan, peresmian, dan lain sebagainya. Berpidato merupakan suatu keterampilan berbicara yang memerlukan keahlian berbicara dan mental yang bagus karena, berpidato itu selalu dilakukan di depan umun atau di depan orang banyak. Keterampilan berpidato sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Memandang hal tersebut, pemerintah di bidang pendidikan mencantumkan keterampilan berpidato bahasa Bali kedalam kurikulum pembelajaran bahasa Bali. Hal itu dibuktikan dalam pembelajaran bahasa Bali di kalangan siswa SMA dari kelas X hingga kelas XII semester satu dan dua yang pertama tercantum dalam silabus adalah pelajaran pidato. Dalam pembelajaran pidato tersebut terdapat indikator-indikator yaitu siswa dapat memahami isi pidato, siswa dapat menyampaikan isi pidato, dan yang terakhir siswa mampu berpidato bahasa Bali. Metode pemodelan merupakan suatu metode yang menggunakan seorang model di depan kelas. Model yang ditampilkan dalam pengajaran pidato bahasa Bali adalah seseorang yang sudah terampil dalam berpidato bahasa Bali. Setiap metode pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Begitu pula dengan metode pemodelan. Adapun kelemahan atau kekurangan dari metode pemodelan ini yaitu, susahnya mencari orang yang benar-benar terampil dalam berpidato bahasa Bali. Sedangkan kelebihan daripada metode pemodelan tersebut adalah dengan melihat model yang di tampilkan, siswa dapat memahami secara langsung apa itu pidato dan bagaimana cara penyampaiannya. Selain itu guru juga lebih praktis dalam mengajar. Dalam mengajar pidato tersebut guru tidak mengahabiskan tenaga banyak untuk menjelaskan. Guru hanya perlu menjawab pertanyaan siswa apabila ada yang mereka tidak ketahui atau tidak mereka mengerti mengenai pidato bahasa Bali tersebut. Metode pemodelan merupakan suatu metode yang baru bagi siswa. Dengan adanya perubahan metode dalam pengajaran berpidato bahasa Bali siswa akan lebih antusias dalam belajar. Semangat yang baik dalam belajar merupakan awal dari
202
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 suatu keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah peningkatan keterampilan berpidato siswa melalui penerapan metode pemodelan. Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran umum mengenai metode pemodelan terhadap pembelajaran berpidato bahasa Bali di SMA Negeri1 Petang. Baik itu perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan dari kegiatan pembelajaran itu sendiri serta pembaharuan-pembaharuan yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan anak atau siswa di dalam berpidato. Dalam hal ini secara implisit juga bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pemilihan metode pembelajaran dalam meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa di dalam penelitian selanjutnya. 2. Tujuan Khusus Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitia ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk meningkatkan kemampuan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran 2010/2011 melalui penerapan metode pemodelan. 2) Untuk mengetahui respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran 2010/2011 dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan. Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut, 1) Bagi guru bahasa daerah Bali, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai umpan balik atas kemampuan siswanya dalam berpidato bahasa Bali. Dengan demikian, guru akan dapat memperbaiki strateginya terutama dalam pemilihan metodenya. 2)
Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu bentuk pengalaman dalam memilih strategi pembelajaran pidato bahasa Bali.
203
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 3) Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang positif dalam meningkatkan mutu sekolah dan efektifitas pembelajaran bahasa Bali pada umumnya. 4) Bagi pengembang kurikulum, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam rangka penyusunan kurikulum berikutnya terutama berkenaaan dengan penataan materi pidato bahasa Bali dalam kerangka pembelajaran bahasa dan sastra Bali.
2.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas atau classroom action
research, yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, menanggulangi permasalahan yang dihadapi siswa dalam proses belajar mengajar, serta mengujicobakan langkah-langkah pembelajaran yang baru untuk meningkatkan nilai yang maksimal bagi siswa. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMA N 1 Petang. Adapun lokasi SMA Negeri 1 Petang berada di jalan raya Petang, kecamatan Petang, Kabupaten Badung tepatnya berada di sebelah utara lapangan umum Petang, dan tepat di sebelah selatan Pura Pucak Rantaja, batas timur dan baratnya adalah perkebunan penduduk. Lingkungan belajarnya kondusif, artinya lokasi sekolah jauh dari keramaian lalu lintas umum sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan lancar. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester satu tahun pelejaran 2010/2011, yaitu dari bulan Januari sampai bulan April 2011. Penentuan waktu penelitian akan disesuaikan mengacu pada kalender akademik sekolah dan jadwal kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran bahasa bali di sekolah. Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester ganjil yaitu semester satu. Subjek penelitian adalah setiap individu yang akan kita selidiki. Pengertian individu mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda. Dalam penelitian tindakan kelas ini, yang menjadi subjek penelitian adalah siswa
204
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, dengan jumlah siswa 32 orang yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 22 orang perempuan. Objek penelitian adalah setiap gejala atau peristiwa yang akan diselidiki, baik itu berupa gejala alam, maupun gejala kehidupan. Berpedoman pada prosedur penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini yang menjadi objek penelitiannya adalah keterampilan berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan yang dihasilkan oleh siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011. Objek yang diamati dalam berpidato bahasa Bali adakah lingkungan di sekitar sekolah yang masih tepat guna dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Sedangkan kriteria penilaian berpidato bahasa Bali meliputi (1) wicara, (2) wiraga, (3) wirama, (4) wirasa, dan (5) wesata. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan penelitian tentang situasi kelas yang dilakukan secara sistematik dengan mengikuti prosedur atau langkahlangkah tertentu.dalam penelitian ini akan direncanakan dua siklus, dimana setiap siklus dilaksanakan dua kali pertemuan. Dalam satu siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi.Siklus yang direncanakan ini tidaklah mutlak. Siklus bisa saja ditambah sampai ditemukan adanya peningkatan dalam berpidato bahasa Bali. Rancangan
penelitian
juga
berfungsi
untuk
menjelaskan
atau
mendeskripsikan tentang pemanfaatan pemodelan dalam berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011. Adapun rancangan penelitian seperti bagan di bawah ini. RANCANGAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS Model berpidato Bahasa Bali
Keterampilan berpidato bahasa Bali rendah
Keterampilan berpidato bahasa Bali meningkat
205
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Penelitian
Tindakan
Kelas
ini
menghendaki
siklus
yang
dapat
dikolaborasikan hingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan hasil yang terbaik (Wardani, 2008 : 2.4). Setiap siklus terdiri dari empat tahap kegiatan yaitu; perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi. Adapun kegiatan yang dilakukan untuk setiap siklusnya seperti pada bagan berikut. RANCANGAN KEGIATAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS SETIAP SIKLUS Perencanaan (1)
Refleksi (4)
Pelaksanaan Tindakan (2)
Observasi-evaluasi (3)
Tindakan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan, yang dirancang dalam refleksi siklus I digunakan sebagai acuan dalam menentukan perbaikan tindakan pada siklus berikutnya. Apabila pada siklus I belum berhasil maka akan dilanjutkan pada siklus II, hasil siklus II nantinya digunakan sebagai acuan untuk rencana tindak lanjut pada pembelajaran selanjutnya. Pada tahap pelaksanaan tindakan dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut. a) Memberikan motivasi awal kepada siswa dalam upaya menumbuhakan minat berpidato bahasa Bali. b) Langkah-langkah pelaksanaan tindakan yang akan diterapkan tertuang dalam rencana pembelajaran. Penyampaian materi pelajaran sesuai dengan
206
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 c) Menutup pembelajaran dengan membuat rangkuman, dilakukan pada akhir pembelajaran dan menekankan kembali pokok-pokok materi yang penting dan menyinggung materi kajian berikutnya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan keperluan untuk mencapai tujuan penelitian tindakan kelas ini. Untuk mendapat data yang lengkap, dipergunakan dua metode pengumpulan data yaitu, metode tes dan metode observasi. Penelitian ini akan menggunakan metode analisis statistik deskriptif. Pengolahan data dilaksanakan dengan melakukan perhitungan statistik sesuai dengan data yang diperoleh. Adapun tahapan pengolahan data dilakukan melalui beberapa langkah kerja, yakni (1) menskor tes, (2) mengubah skor mentah menjadi skor standar, (3) menentukan kriteria predikat, dan (4) mencari skor rata-rata. Skor mentah yang diperoleh diubah menjadi skor standar dengan menggunakan pedoman konversi norma absolut skala seratus seperti berikut ini. P=
X
x 100
SMI Keterangan : P
= Persentil
X
= Skor standar yang dicapai
SMI
= Skor Maksimal Ideal
Adapun langkah-langkah yang ditempuh didalam mengubah skor mentah menjadi skor standar yaitu : 1) Menentukan skor maksimal ideal (SMI) Skor maksimal ideal adalah skor yang munkin dicapai apabila semua item dapat dijawab dengan benar (Nurkancana dan Sumartana, 1922:92).Skor maksimal ideal ini dicari dengan jalan menghitung jumlah item yang diberikan serta nilai masing-masing item dengan rumus sebagai berikut.
207
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 SMI = jumlah butir soal x bobot masing -masing
Skor tes keterampilan berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan adalah 5 x 5 = 25. Jadi skor maksimal idealnya (SMI) adalah 25 2) Menentukan skor mentah yang diperoleh siswa (X) Skor mentah diperoleh dari hasil observasi pidato bahasa Bali yang dibawakan oleh siswa skor mentah adalah skor masing-masing deskriptor yang diperoleh siswa dari masing-masing aspek yang dinilai. X = jumlah masing-masing skor deskriptor x jumlah aspek Setelah SMI dan skor mentah masing-masing siswa ditetapkan, maka pengubahan skor mentah menjadi skor standar untuk masing-masing siswa dapat dihitung seperti contoh berikut. Contoh mengubah skor mentah menjadi skor standar : 1) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 15, maka skor standarnya adalah : P=
15 x 100 25
= 60 2) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 22, maka skor standarnya adalah : P=
25 x100 25
= 88 Data tentang aktivitas berpidato bahasa Bali siswa dianalisis dengan statistik deskriptif dan penyimpulannya didasarkan atas skor rata-rata (mean) dengan pedoman konversi sebagai berikut.
208
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Tabel 3.4 Pedoman Konversi Aktivitas Berpidato Siswa Interval 0 – 39,9 40,0 – 54,9 55,0 – 69,9 70,0 – 84,5 85,0 – 100
Kualifikasi Sangat kurang Kurang Cukup Baik Sangat baik
Dengan demikian, aktivitas berpidato bahasa Bali siswa selama proses pembelajaran dikatakan memiliki aktivitas baik jika dari analisis diperoleh aktivitas siswa minimal baik. Langkah selanjutnya setelah mengubah skor mentah menjadi skor standar dalam pengolahan adata adalah mencari nilai rata-rata. Rata-rata (mean) ini didapat dengan mengumpulkan skor standar kemudian dibagi jumlah subjek. Untuk memperoleh rata-rata hasil belajar, dipergunakan rumus sebagai berikut : M=
Σfx N
Keterangan : M = mean (nilai rata-rata) ∑fx
= jumlah skor
N
= jumlah individu
(Nurkancana dan Sumartana, 1992:152) Kriteria ini dibuat untuk mengklasifikasikan keterampilan siswa dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan, dalam materi pidato bahasa Bali. Berdasarkan perolehan nilai setiap siswa, maka akan lebih jelas diketahui dimana tingkat keberhasilan siswa dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan. Langkah terakhir dalam mengolah data adalah menentukan simpulan. Apakah penerapan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali dapat berhasil atau tidak, semua itu dapat dicari dengan cara membandingkan rata-rata dari masing-masing siklus. Apabila rata-rata dari masing209
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 masing siklus mengalami peningkatan, maka penerapan metode pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang dapat dinyatakan berhasil.
3.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tahap observasi awal menunjukkan bahwa adanya beberapa hambatan
yang dialami siswa pada saat melaksanakan proses belajar. Siswa masih terlihat malu-malu, intonasi suara masih kurang keras dan juga cara penyampaiannya masih sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang belum terampil dalam berpidato bahasa Bali. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran berpidato bahasa Bali, peneliti merancang pembelajaran dengan menerapakan metode pemodelan dalam upaya meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali. Pada siklus I dilaksanakan dua kali pertemuan yaitu satu kali untuk pelaksanaan pembelajaran dan menghadirkan model orator untuk diperhatikan oleh siswa, pertemuan ke dua untuk pelaksanaan tes.Materi yang dibahas pada siklus I mengenai pidato bahasa Bali. Sesuai dengan rancangan penelitian yang dikemukakan, maka hasil penelitian pada siklus I dapat disajikan sebagai barikut. Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrumen (terlampir), apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan. Pada tahap pelaksnaan tindakan ini, guru bidang studi bahasa daerah Bali melaksanakan pembelajaran berdasarkan rencana pembelajaran (terlampir) yang telah disusun pada tahap perencanaan yaitu rencana pembelajaran yang mengacu pada penerapan metode pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
210
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 1)
Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas, guru terlebih dahulu mengucapkan salam sesuai dengan salam yang dipakai oleh umat Hindu (mengingat para siswa umumnya berada pada lingkungan masyarakat Hindu).
2)
Guru melaksanakan apersepsi, yaitu memberikan motivasi belajar dengan tujuan agar siswa memiliki kesiapan dalam proses belajar.
3)
Guru memberikan penjelasan kepada siswa sesuai dengan materi yang terkait yakni tentang pidato bahasa Bali. Selanjutnya guru menghadirkan seorang model, dalam hal ini siswa ditugaskan berpidato sesuai dengan model yang telah disajikan.
4)
Berdasarkan hasil berpidato siswa setelah menyimak model orator yang diperoleh, kemudian guru mengarahkan siswa untuk mencermati kembali beberapa hal yang penting sehingga diperoleh simpulan yang berupa materi atau konsep yang mesti dipelajari. Kegiatan observasi dan evaluasi dilaksanakan secara continue setiap
pertemuan. Guru mengadakan observasi selama proses belajar berlangsung, dengan mencatat segala peristiwa yang terjadi ketika berlangsungnya proses pembelajaran. Seperti aktivitas belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi.Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami siswa selama proses pembelajaran berlangsung sehingga diketahui gambaran mengenai keberhasilan belajar siswa. Keterampilan berpidato bahasa Bali dinilai berdasarkan hasil tes. Atas dasar hasil tersebut peneliti melakukan evaluasi secara umum terhadap hasil yang dicapai dari penerapan tindakan yang direncanakan. Refleksi dilakukan pada akhir siklus. Pada tahap ini guru mengkaji hasil tindakan dan kendala-kendala atau kekurangan-kekurangan dari tindakan yang telah dilakukan pada siklus I. Sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil observasi dan evaluasi pembelajaran pada siklus I. Bertolak dari hasil penelitian yang diperoleh dari siklus I, maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan pada pembelajaran pada siklus II sehingga didapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik untuk
211
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 memperbaiki siklus I. Hal ini dilakukan karena pada siklus I prestasi belajar siswa masih kurang baik. Jika dikaji hambatan belajar siswa masih dalam kualifikasi hambatan sedang, yang disebabkan oleh masih banyaknya siswa yang kurang memiliki persiapan yang mantap saat mengikuti pelajaran, dalam hal ini pelajaran pidato bahasa Bali. Siswa tampak kesulitan dalam penguasaan pidato sehingga dalam berpidato masih seperti menghafal. Pada umumnya, diperlukan adaptasi karena siswa baru pertama kali mengenal metode pemodelan dalam berpidato bahasa Bali. Siswa cenderung kaku, tegang, dan kurang santai dalam mengikuti proses pembelajaran. Ini disebabklan karena guru mengajar lain dari biasanya. Hal ini tentunya menyebabkan siswa merasakan sesuatu yang baru dalam lingkungan belajarnya. Dari hasil penelitian dan refleksi terhadap jalannya pembelajaran pada siklus I, maka hal-hal yang perlu diperbaiki adalah sebagai berikut. 1)
Mencermati kembali langkah-langkah pembelajaran pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun.
2)
Mengarahkan siswa agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan pidato bahasa Bali
3)
Memberikan motivasi kepada siswa tentang manfaat pentingnya belajar pidato bahasa Bali.
4)
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, menjawab dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya/ mengemukakan pendapatnya.
5)
Membimbing siswa pada saat menyampaikan pidato
6)
Mengarahkan siswa untuk memperbaiki caranya berpidato apabila ada kesalahan. Siklus II dilaksanakan selama 2 kali pertemuan yaitu 1kali pertemuan untuk
pelaksanaan pembelajaran dan I kali untuk pelaksanaan tes. Siklus II ini merupakan perebaikan sekaligus penyempurnaan terhadap kendala-kendala yang dihadapi pada
212
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 siklus I. Adanya perbaikan dapat dilihat dari prestasi belajar siswa dan hambatan belajar siswa. Berdasarkan refleksi pada siklus I, perencanaan pada siklus II sama seperti pada siklus I. Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrument (terlampir), apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan. Pada tahap pelaksanaan siklus II, guru kembali melaksanakan pembelajaran di kelas sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran seperti yang terurai pada siklus I. Pada tahap ini guru lebih intensif mencermati dan menekankan hal-hal atau materi yang kurang difahami oleh siswa, serta hambatan yang dialami oleh siswa pada saat proses pembelajaran. Sebagaimana halnya pada sikluis I, observasi kelas dilkukan untuk memperoleh gambaran mengenai hambatan yang dialami serta hasil yang dicapai dari penerapan pembelajaran. Kemudian atas dasar hasil observasi kelas yang dilakukan selama kegiatan siklus II, guru melakukan evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari penerapan tindakan yang telah direncanakan, sehingga dapat dirumuskan kembali penyempurnaan tindakan yang telah dilakukan. Pelaksanaan evaluasi pada siklus II ini pada prinsipnya sama dengan pelaksanaan evaluasi pada siklus I. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpidato bahasa Bali dari siklus I ke siklus II. Atas dasar observasi kelas dan hasil tes yang dilakukan selama kegiatan siklus II, guru dapat melakukan evaluasi secara umum untuk mengtahui keberhasilan tindakan yang dilkukan pada siklus II. Berdasarkan hasil kuesioner siswa menunjukan bahwa, guru telah melaksanakan tindakan sesuai dengan yang direncanakan. Data yang diperoleh dari kuesioner menunjukan siswa mengalami peningkatan hasil dalam berpidato bahasa Bali, siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran. Dengan diterapkannya metode pemodelan siswa lebih tahu apa itu pidato bahasa Bali. Siwa dapat mengatasi
213
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam berpidato bahasa Bali. Siswa merasa tidak bosan lagi karena strategi guru dalam mengajar sudah diperbaiki, dengan dihadirkan seorang model siswa siswa dapat menyimak secara langsung bagaimana cara berpidato yang baik dan benar.dari hasil kuesioner siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang merasa senang diterapkannya metode pemodelan dalam pembelajaran berpidato bahasa Bali. Hasil penelitian yang diperoleh pada siklus II telah mengalami perbaikan atau peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya prestasi belajar siswa, maka dari itu semua kendala pada siklus I dapat teratasi dan permasalahan pada bab 1 dapat terjawab. Dengan meningkatnya prestasi belajar siswa, maka dapat diartikan bahwa melalui penerapan metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung. Pembahasan ini bertujuan untuk mempertajam temuan dengan melihat keterkaitan antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Pada pembahasan ini akan disajikan mengenai prestasi belajar siswa setelah diterapkan metode pemodelan untuk meninglkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali. Untuk mengetahui apakah dengan penerapan metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali dicari nilai rata-rata siswa untuk masing-masing siklus dengan rumus : M=
Σfx N
Keterangan : M
= nilai rata-rata
∑fx
= jumlah skor
N
= jumlah siswa Dengan demikian, nilai rata-rata siswa pada tahap pre-test adalah:
M
=
1868 32
= 58,375 = 58 (dibulatkan) 214
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Nilai rata-rata siswa pada siklus I adalah: M
=
2420 32
= 75,6 = 76 (dibulatkan)
Nilai rata-rata siswa pada siklus II adalah: M
=
2788 32
= 87,13 = 87 (dibulatkan) Berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh pada masing-masing siklus, maka sudah dapat dilihat peningkatan hasil belajar siswa dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan. Untuk observasi awal nilai rata-rata siswa sebesar 58, pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 76, sedangkan pada siklus II nilai rata-rata siswa sebesar 87. Sesuai dengan predikat kemampuan siswa skor pada rentangan 86-100 memperoleh predikat sangat baik. Ini berarti prestasi belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 3% (skor mentah) atau 11% (skor standar) setelah dilaksanakannya penerapan metode pemodelan dalam berpidato bahasa Bali, sehingga hipotesis yang diajukan pada bab II yaitu melalui metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali oleh siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011 dapat diterima.
4.
PENUTUP Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian yang penelitiannya
dilaksanakan pada kelas X1 SMA Negeri 1 Petang dalam pembelajaran bahasa Bali khususnya apresiasi berpidato bahasa Bali, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1)
Metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali oleh siswa kel,as X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran 2010/2011. Ini dibuktikan dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam berpidato bahasa Bali yang terlihat dari observasi awal, siklus I, dan siklus II 215
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dimana nilai rata-rata pada observasi awal sebesar 58 ; pada siklus I sebesar 76 dan pada siklus II meningkat menjadi 87. Dari hasil tersebut, dinyatakan bahwa siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang memperoleh predikat baik dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan. 2)
Respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang terhadap penerapan metode pemodelan dalam upaya peningkatan keterampilan berpidato bahasa Bali sangatlah baik, siswa merasa sangat terbantu dengan diterapkannya metode pemodelan guna menggali dan mengasah kemampuan, minat, serta bakat siswa dalam hal berpidato bahasa Bali. Berdasarkan simpulan (1) di atas, disarankan kepada guru bahasa daerah
Bali untuk dapa tmenerapkan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa. Karena penerapan metode pemodelan sudah terbukti dapat meningkatkan hasil belajar berpidato bahasa Bali mulai dari observasi awal, siklus I, siklus II yang sudah mengalami peningkatan yang cukup besar. Berdasarkan simpulan (2) di atas, disarankan kepada guru bahasa Bali untuk menerapkan metode pemodelan
untuk dapat lebih meningkatkan respon siswa
dalam mengikuti proses belaja rmengajar terutama dalam pembelajaran bahasa daerah Bali. Karena berkat penerapan metode pemodelan respon
siswa telah
mengalami peningkatan yang sangat bagus. Ini dimaksudkan guna menghindari kejenuhan siswa di dalam mengikuti pelajaran.
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharasimi,1997. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. -------------------------, 2006. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta : Bumi Aksara. Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Deberah A. Mellrath dan Wlliam G Hait. 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.2004. Kurikulum Standar Kompetensi Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa Daerah Bali 216
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Evendhy Siregar, dkk. 1998. Teknik Berpidato. Jakarta : Sarana Aksara Pelita Etik Elfi Endrawati. Peningkatan Kemampuan Bermain Drama dengan Teknik Pemodelan di kelas V SD Negeri Karangsono 02 Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Gulo,W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana. Prof. W. James, Pengertian Berpidato ( http/www.Goegle. come.) Narbuko,Cholid. 2001. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Akasara Nurkancana. 1983. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional ----------------. Nurkancana dan Sumartana, 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Uasaha Nasional Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. ----------------. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. Suarjana, I Nyoman Putra. 2008. Sor Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali Dalam Dharma Papandikan, Pidarta, Sambrama Wecana dan Dharma Wecana (Sebuah Renungan untuk Perhatian). Denpasar : PT.Tohpati Grafika Utama. Suwija, I Nyoman. 2009. Kumpulan Pidarta Bahasa Bali. Denpasar Tarigan, Djago dan H.G.Tarigan. 1991. Tehnik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And learning ) Di Kelas.Cerdas Pustaka Publiser-Jakarta.
217
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 PROSES MENGAJAR MENYIMAK YANG EFEKTIF Oleh Ida Ayu Iran Adhiti
ABSTRACT To observe means listening with understanding and attentively and full of appreciation. To observe is also a process of listening activity the oral symbols attentively. Praticing the students to listen is proposed to the students so that they can follow the mind of the speaker quickly and precisely. Listening activity is really hard and exhausted, because it needs focus of the mind continuously. In class, the students may listen the lesson in brief, then they speak to each other to release thair stress. Besides the knowledge and capability of the teacher, the personality is also important to determine whetter he is efectif or not. Teacher must be loved by the students. It is hope that he has sense of humour so that he can make friends with the students. Academically, teacher is also able to rise student‟s interest to the lesson, rise the will to learn and attractive. So the observe activity should be taught well and trutfully so that it can give the result effectively and efficiently. The process is prepared by the teacher with some steps and process in accordance with the material beig taught. Key word : teaching, observing, effectivity.
I.
LATAR BELAKANG MASALAH Sebagaimana diketahui bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa, dalam
arti bahwa salah satu ilmu yang berurusan dengan bahasa. Adanya linguistik bukan hanya karena adanya objek sasaran yang dikhususkan namun karena adanya kerangka pikiran mengenai objek tersebut. Linguistik juga mempunyai dugaan tertentu terhadap gejala yang ada pada bahasa dari aspek kebahasaannya (Sudaryanto, 1986: 24). Verhaar menekankan bahwa linguistik teoritis memerikan tentang teori-teori linguistik itu sendiri, sedangkan linguistik praktis dimanfaatkan untuk suatu pengajaran bahasanya (1984: 10). Pada dasarnya bidang linguistik dibagi menjadi 2 bidang: (1) mikrolinguistik yakni bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalamnya atau mempelajari
218
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 struktur bahasa itu sendiri; dan (2) makrolinguistik yakni bidang lingusitik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa termasuk
didalamnya
interdisipliner
seperti:
bidang fonetik,
interdisipliner
dan
stilistika,
filsafat
bidang bahasa,
terapan.
Bidang
psikolinguistik,
sosiolinguistik, etnolinguistik, filologi, semiotika, dan epigrafi. Sedangkan bidang terapan seperti: pengajaran bahasa, penterjemahan, leksikografi, fonetik terapan, sosiolinguistik terapan, pembinaan bahasa dan sebagainya (Kentjono ed.,1982: 12). Pendapat lain mengatakan bahwa linguistik dalam arti luas disebut makrolinguistik yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari semua aspek bahasa, strukturnya, sejarahnya serta hubungan timbal baliknya dengan aspek kehidupan manusia. Sedangkan dalam arti sempit linguistik disebut juga linguistik proper atau mikrolinguistik yang diartikan sebagai suatu studi yang mempelajari tentang struktur bahasa (Jendra, 1980: 2). Kajian pengajaran menyimak termasuk makrolinguistik bidang terapan terutama pada bidang pengajaran bahasa. Selanjutnya pengajaran bahasa yang diajarkan tentu terkait dengan atas dasar tata bahasa ilmiah dan didaktik bahasa. Hal tersebut akan menghasilkan tata bahasa pedagogis, tergantung pada tujuan pendidikan karena diharapkan agar siswa memahami tentang “struktur bahasa” yang diajarkan (Samsuri, 1985: 43). Pengajar atau guru mengajarkan keterampilan berbahasa kepada siswa agar mengerti dan memahami bahasa yang diajarkan serta terampil menggunakan bahasa yang sedang dipelajari oleh siswa. Keterampilan berbahasa yang diajarkan tersebut baik keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Proses dalam arti katanya adalah suatu runtutan perubahan atau peristiwa dalam perkembangan sesuatu, misalnya perkembangan jiwa statis menjadi dinamis (Poerwadarminta, 1976: 769). Terkait dengan kajian tulisan ini dimaksudkan bahwa proses mengajar menyimak yang efektif yakni bagaimana mengajar yang baik dan benar dengan runtutan tertentu sesuai dengan perkembangan jiwa anak dari beberapa
219
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 konsep yang ada. Diharapkan pada kegiatan menyimak, siswa mampu memahami secara menyeluruh materi yang diajarkan oleh guru di kelas.
II.
PEMBAHASAN Keterampilan berbahasa (language skills) mencakup 4 segi yakni
keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills). Keterampilan menyimak dan berbicara dipelajari sebelum memasuki usia sekolah, sedangkan keterampilan membaca dan menulis dipelajari di usia sekolah. Keempat keterampilan tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut sebagai catur tunggal. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan, 1980: 2). Kegiatan menyimak dan berbicara merupakan komunikasi 2 arah yang dilakukan secara langsung atau tatap muka dengan istilah face to face communication. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat seperti dalam mengajarkan ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru karena contoh yang disimak oleh siswa sangat penting dalam kecakapan berbahasa lisan. Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan mendapatkan penangkapan informasi yang baik oleh siswa dalam kegiatan menyimak. Meningkatkan keterampilan menyimak berarti pula membantu meningkatkan kualitas berbicara siswa. Informasi yang diperoleh pada kegiatan menyimak sesungguhnya bersifat langsung, apresiasif, reseptif, dan fungsional. Bersifat langsung dimaksudkan bahwa informasi yang diperoleh siswa secara langsung oleh guru di kelas. Kemudian apresiasif adalah informasi yang diperoleh penuh apresiasi atau penjiwaan. Sedangkan reseptif yang dimaksudkan bahwa siswa bersifat menerima saja dari informasi yang diberikan oleh guru. Selanjutnya fungsional dimaksudkan bahwa informasi yang disampaikan oleh guru kepada siswa diharapkan dapat berfungsi atau bermanfaat dengan baik sehingga berguna dalam kehidupan.
220
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Selanjutnya kegiatan menyimak di sekolah bertujuan: (1) agar siswa dapat memberikan respons yang tepat; (2) memperoleh informasi yang berkaitan dengan profesi; (3) dapat mengumpulkan data dan memberi keputusan yang masuk akal; serta (4) membuat hubungan antar pribadi yang lebih efektif. Apabila ditinjau dari tujuan umumnya, kegiatan menyimak bertujuan untuk memperoleh informasi, menangkap isi, dan memahami makna komunikasi yang disampaikan oleh pembicara. menyebabkan
Sedangkan ditinjau
dari tujuan khususnya
adanya beraneka ragam menyimak yakni menyimak ekstensif
(extensive listening) dan menyimak intensif (intensive listening). Menyimak ekstensif yang dimaksudkan adalah melakukan kegiatan menyimak mengenai halhal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran. Sumber yang paling baik digunakan oleh guru diperoleh dari rekaman radio dan televisi. Kegiatan menyimak ekstensif ada beberapa bagian seperti menyimak sosial (social listening), menyimak sekunder (secondary listening), menyimak estetik (aesthetic listening), dan menyimak pasif (passive listening). Kemudian kegiatan menyimak intensif yang dilakukan diharapkan untuk lebih diarahkan pada suatu kegiatan yang lebih diawasi oleh guru di kelas. Menyimak intensif dapat dibagi dalam beberapa bagian seperti: (1) menyimak kritis (critical listening); (2) menyimak konsentratif (concentrative listening); (3) menyimak kreatif (creative listening); (4) menyimak eksploratif (exploratory listening); (5) menyimak interogatif (interrogative listening); dan (5) menyimak selektif (selective listening) (Tarigan, 1980: 55). Menyimak
sesungguhnya
bermakna
mendengarkan
dengan
penuh
pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam cerita atau uraian yang didengarkan.Untuk keperluan tersebut diperlukan adanya perlengkapan bahasa dengan indera pendengaran yang berfungsi baik. Kegiatan
221
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 mendengarkan sesungguhnya
berat
dan memenatkan,
karena
memerlukan
pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya dalam waktu singkat dapat mendengarkan pelajaran, kemudian melakukan kegiatan bercakap-cakap untuk melepaskan beban yang berat. Hal ini disebabkan oleh materi yang diajarkan oleh guru di luar bidang studi siswa dan cara guru mengajar sangat membosankan. Di dalam membuat perencanaan untuk latihan menyimak, guru harus mampu melihat jenis situasi kehidupan nyata apa yang hendak disajikan kepada siswa. Guru juga perlu memperhatikan kesulitan-kesulitan yang mungkin akan ditemui siswa dan bagaimana cara siswa mengatasi kesulitan tersebut. Faktor lain
yang cukup
kompleks adalah sifat dan proses belajar mengajar di dalam kelas itu sendiri. Ada faktor-faktor fisik yang harus diperhatikan seperti ukuran dan pengaturan siswa di dalam kelas, jumlah siswa dalam kelas, serta media yang digunakan di kelas seperti: tape recorder atau peralatan elektronik lainnya. Faktor-faktor pedagogik juga diperhatikan seperti: meningkatkan motivasi, konsentrasi dan partisipasi siswa, cara mengoreksi, memberikan masukan, memberikan latihan secara efektif dan efesien dan seterusnya (Ghazali, 2010: 167). Beberapa hal yang harus dipahami oleh guru dalam mengajar seperti: (1) waktu mengajar jangan terlalu lama; (2) ada pergantian bagi siswa antara mendengarkan dan bekerja; (3) bahan pengajaran wajib menarik perhatian siswa; (4) suara guru berirama, hidup dan tidak menjemukan; dan (5) antara pelajaran satu dengan yang lain ada selingan menyanyi, sekedar bergurau, melawak, dan sebagainya sebagai pelepas lelah (Soejono, 1983: 90). Dalam kenyataannya mendengarkan sesungguhnya kegiatan yang sulit bagi siswa. Hal ini dibuktikan bahwa banyak suruhan yang dilaksanakan salah. Banyak orang menulis diktat yang didiktekan tidak tepat. Dengan berbagai latihan maka guru wajib melatih siswa agar pandai mendengarkan. Latihan mendengarkan dapat dilakukan dengan 2 cara yakni: (1) latihan mendengarkan tidak sengaja dan (2) latihan mendengarkan disengaja. Latihan mendengarkan dengan tidak sengaja
222
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 bertujuan tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk keperluan lain. Pelajaran berbagai bidang studi tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk melatih menambah pengetahuan bidang studi IPS, IPA, Matematka dan sebagainya. Secara tidak sengaja siswa dilatih untuk mendengarkan. Selanjutnya latihan mendengarkan disengaja bertujuan untuk melatih siswa pandai mendengarkan dengan berbagai macam latihan seperti pada pelajaran bahasa yakni: dikte pikir dan guru bercerita. Pada dikte pikir, guru memberi suatu perintah atau mengatakan suatu kalimat. Siswa disuruh mengerjakan atau menirukannya. Sukar atau mudah perintah tersebut disesuaikan dengan tingkat kepandaian siswa. Pada saat guru bercerita, guru membacakan sesuatu. Siswa disuruh mendengarkan dengan baik. Isi cerita merupakan alat pelatih. Siswa sengaja dilatih mendengarkan. Selanjutnya siswa diberikan pertanyaan tentang cerita tersebut dengan menghubungkan bagian-bagian dalam cerita yang dibaca oleh guru. Hal ini bertujuan untuk melatih ingatan dan kecerdasan siswa dalam menarik kesimpulan cerita tersebut (Soejono, 1983: 91). Mengingat begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam mengajar terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan sikap guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan kecakapan guru, pribadinya juga memegang peranan penting untuk menentukan apakah guru tersebut efektif atau tidak. Guru harus disukai oleh siswa. Diharapkan guru mampu melakukan pekerjaan sekolah sehingga dapat memberi tugas pelajaran. Guru juga mempunyai rasa humor sehingga dapat berteman dengan siswa. Secara akademik, guru juga mampu membangkitkan minat pelajaran kepada siswa, menimbulkan hasrat untuk belajar dan dapat menyenangkan. Guru perlu bersikap tegas, adil, tidak marah-marah, sehingga siswa mampu memahami pelajaran yang diajarkan. Pribadi yang menarik dan menyenangkan juga merupakan syarat pokok yang dimiliki oleh guru (Witherington dkk, 1982: 134). Guru dalam mengajar bidang studi apapun diharapkan bersikap kreatif. Pandai saja tidak dianggap cukup. Selanjutnya guru harus cerdas dalam mengembangkan keterampilan dan mencari bahan ajar yang betul-betul sesuai
223
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 dengan peserta didik. Guru tidak hanya mengajar tetapi juga menyentuh hati siswa. Belajar mengajar dengan sentuhan kasih sayang akan menguatkan hubungan batin antara guru dan peserta didiknya. Hal ini sesuai dengan motto guru yakni: Not only teach, but also touch. Dengan berpijak pada motto tersebut akan melahirkan adanya guru yang kreatif serta professional dengan syarat-syarat : (1) fleksibel: guru tidak kaku, luwes, dan mampu memahami kondisi siswa: (2) optimis: guru memiliki keyakinan yang tinggi akan kemampuan pribadi dan keyakinan akan perubahan siswa ke arah yang lebih baik; (3) respek: guru memiliki rasa hormat yang ditumbuhkan di depan anak untuk memacu memahami beberapa hal; (4) cekatan: guru mampu memahami kondisi siswa ; (5) humoris: guru tidak killer sehingga mampu menyenangkan siswa; (6) inspiratif: guru mampu menemukan ide baru yang positif di luar kurikulum; (7) lembut: guru tidak bersikap kasar, tidak kaku, dan tidak emosional sehingga tidak menimbulkan dampak buruk terhadap siswa; (8) disiplin: guru mampu menjadi teladan dalam berbagai hal dan sebagainya (Asfandiyar, 2009: 13). Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat dipaparkan beberapa hal bahwa: mempelajari suatu keterampilan berbahasa dapat dilakukan dengan menyimak, meniru, dan mempraktekkannya dengan berbagai langkah. Guru diharapkan mampu menentukan makna dari materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kemudian guru memperagakan dengan ekspresi yakni mengucapkan beberapa kali kata-kata yang diajarkan di depan kelas. Guru menyuruh mengulangi serta siswa meniru apa yang diucapkan oleh guru dengan gerak tertentu. Langkah terakhir adalah guru memberikan latihan secara ekspresif dengan melakukan pengulangan kata-kata yang diajarkan dengan aplikasi serta pengawasan yang teliti. Dengan demikian kegiatan menyimak sebaiknya diajarkan dengan baik dan benar sehingga dapat menghasilkan hasil simakan yang efektif dan efesien. Proses tersebut disusun oleh guru dengan tahapan tertentu dan beberapa proses sesuai materi yang diajarkan.
224
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Proses kegiatan menyimak yang dilakukan oleh siswa dapat dilakukan melalui beberapa tahap seperti: (1) tahap mendengar (tahap hearing) : siswa mendengarkan sesuatu yang dikemukakan oleh guru di kelas; (2) tahap memahami (tahap understanding): siswa mengerti secara mendalam materi simakan yang diucapkan oleh guru di kelas; (3) tahap menginterpretasi (tahap interpreting): siswa mampu menafsirkan dengan baik, cermat, dan teliti tentang butir-butir yang disampaikan oleh guru di kelas; (4) tahap evaluasi (tahap evaluating): siswa mampu mengevaluasi pendapat untuk dinilai, keunggulan, kelemahan, serta kebaikan dan keburukan materi yang disampikan oleh guru di kelas; dan (5) tahap menanggapi (tahap responding): siswa mampu menyerap dan mencamkan gagasan yang disampaikan oleh guru di kelas (Tarigan 1980:58). Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbahasa pada umumnya, baik keterampilan menyimak, berbicara, membaca maupun menulis, sangatlah penting guru menyiapkan rencana penyusunan pembelajaran maupun rencana pengajaran dari keterampilan berbahasa yang akan diajarkan. Perencanaan pembelajaran menyimak yang akan diberikan oleh guru di kelas antara lain: (1) guru memberikan arah yang hendak dituju dan rasa percaya diri kepada siswa; (2) guru menyusun isi pelajaran; (3) guru mengumpulkan dan mempersiapkan materi pelajaran; (4) guru mampu menggunakan strategi dan kegiatan pengajaran; (5) guru mampu berinteraksi siswa dengan baik; serta (6) guru mampu memotivasi siswa belajar pada materi yang dijarkan. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan oleh guru pada pengajaran menyimak adalah; (1) guru mampu menentukan tujuan umum dan tujuan khusus dari pengajaran terkait dengan materi yang diajarkan; (2) guru menentukan topik dan sub topik dari materi yang akan diajarkan oleh guru; (3) guru menentukan alokasi setiap materi yang diajarkan; (4) guru menentukan strategi pengajaran dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa di kelas; dan (5) guru menentukan prosedur penilaian dalam pengajaran sesuai dengan materi yang dijarkan ( Rahim, 2005: 17).
225
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Dengan demikian, mengajar menyimak yang efektif di sekolah diharapkan guru mampu memahami kegiatan menyimak seperti: pengertian menyimak secara menyeluruh, tujuan menyimak, manfaat menyimak, tahap-tahap penyimak serta proses menyimak yang baik, dan langkah-langkah yang dilakukan oleh guru terkait dengan perencanaan pembelajaran menyimak serta cara pengajarannya. Di samping hal tersebut, guru juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan menyimak yang dilakukan oleh siswa di sekolah. Guru yang kreatif dan profesional merupakan kunci dari segala sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.
III.
KESIMPULAN Menyimak
sesungguhnya
bermakna
mendengarkan
dengan
penuh
pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam cerita atau uraian yang didengarkan. Kegiatan mendengarkan sesungguhnya berat dan memenatkan, karena memerlukan pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya dalam waktu singkat dapat mendengarkan pelajaran, kemudian melakukan kegiatan bercakap-cakap untuk melepaskan beban yang berat. Hal ini disebabkan oleh materi yang diajarkan oleh guru di luar bidang studi siswa dan cara guru mengajar sangat membosankan. Begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam mengajar terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan sikap guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan kecakapan guru, pribadinya juga memegang peranan penting untuk menentukan apakah guru tersebut efektif atau tidak. Guru harus disukai oleh siswa. Diharapkan guru mampu melakukan pekerjaan sekolah sehingga dapat memberi tugas pelajaran.
226
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Guru juga mempunyai rasa humor sehingga dapat berteman dengan siswa. Secara akademik, guru juga mampu membangkitkan minat pelajaran kepada siswa, menimbulkan hasrat untuk belajar dan dapat menyenangkan. Guru perlu bersikap tegas, adil, tidak marah-marah, sehingga siswa mampu memahami pelajaran yang diajarkan, apalagi kegiatan menyimak yang diberikan di kelas. Beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) mempelajari suatu keterampilan berbahasa dapat dilakukan dengan menyimak, meniru, dan mempraktekkannya dengan berbagai langkah. Guru diharapkan mampu menentukan makna dari materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (2) guru memperagakan dengan ekspresi yakni mengucapkan beberapa kali kata-kata yang diajarkan di depan kelas; (3) guru menyuruh mengulangi serta siswa meniru apa yang diucapkan oleh guru dengan gerak tertentu; dan (4) langkah terakhir adalah guru memberikan latihan secara ekspresif dengan melakukan pengulangan kata-kata yang diajarkan dengan aplikasi serta pengawasan yang teliti. Dengan demikian kegiatan menyimak sebaiknya diajarkan dengan baik dan benar sehingga dapat menghasilkan hasil simakan yang efektif dan efesien. Proses tersebut disusun oleh guru dengan tahapan tertentu dan beberapa proses sesuai materi yang diajarkan. Guru juga diharapkan mampu menyusun perencanaan pembelajaran dan cara pengajaran menyimak sehingga mandapatkan hasil menyimak yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif. Jakarta: PT Mizan Pustaka. Jendra, I Wayan. 1980. Pengantar Ringkas Linguistik Umum Jilid 1.Denpasar: Lembaga Penelitian Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT Refika Aditama.
227
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Soejono, Ag. 1983. Metodik Khusus Bahasa Indonesia. Bandung: Bina Karya. Samsuri. 1985.Analisis Bahasa. Jakarta: PT. Erlangga. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tarigan, Henry Guntur.1980. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung. PT Angkasa. Verhaar, J.W.M. 1984. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Witherington, H.C.dkk. 1982. Teknik-Teknik Belajar Dan Mengajar. Bandung: Jemmars.
228
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Pengantar Redaksi IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi akademik yang berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun dan mensosialisasikan
perkembangan
ilmu
pendidikan
itu.
Berdasarkan
kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit dua kali setahun, yakni pada bulan April dan Oktober. Apa yang ada di tangan pembaca budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 13 Tahun VII April 2012. Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi ini disebarkan secara internal dalam kampus IKIP PGRI Bali, seperti terbitan edisi sebelumnya, juga didistribusikan pada komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan Widyadari kali ini memuat sepuluh artikel ilmiah yang dihasilkan oleh para dosen IKIP PGRI Bali dan beberapa artikel ilmiah dari dosen luar IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan tulisan dari luar kampus IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik. Semoga penerbitan jurnal pendidikan Widyadari ini menjadi wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitas edisi selanjutnya. Redaksi
ii 229
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................... Daftar Isi .........................................................................................................
ii iii
Analisis Faktor-faktor yang Menyebabkan Prestasi Akademik Rendah Pada Mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar Heri Wahyudi, Sudrajat dan Wayan Meter ...............................................
1
Penerapan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning) Dalam Mata Kuliah Pembangunan Masyarakat Desa Dapat Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur Pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi Ni Nyoman Murniasih .................................................................................
16
Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng Dalam Penanggulangan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang Pada Vanili I Made Subrata ..............................................................................................
25
The Influence of Rector Leadership to Motivate Lecturer Achievement I Wayan Citrawan dan Nyoman Rajeg Mulyawan ............................
45
Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng Dalam Penanggulangan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang Pada Vanili I Made Subrata ..............................................................................................
70
Pembelajaran Dongeng Koalisi I Lutung dengan I Macan Menumbuhkan Sikap Ilmiah dan Pendidikan Karakter Pada Siswa I Wayan Suanda ............................................................................................
87
Perbedaan Pengaruh Ekstrak Gambir (Uncaria gambir) dan Gel Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Daya Simpan Buah Cabai Merah Besar (Capsicum annuum) Gusti Ayu Rai ................................................................................................ 108 Minimarket and Consumer Culture in Denpasar Society I Wayan Adnyana ........................................................................................ 122 Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp.) Untuk Upakara Yadnya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan Ni Nyoman Parmithi ..................................................................................... 134 Afiksasi Infleksional Dalam Bahasa Indonesia; Sebuah Kajian Morfologi Generatif
iii
230
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232 Ida Ayu Agung Eka Sriadhi. ........................................................................ 155 Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menerapkan Asesmen Portofolio I Wayan Gunartha ....................................................................................... 185 Penerapan Metode Pemodelan Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpidato Bahasa Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Petang, Badung Tahun Pelajaran 2010/2011 Dewa Ayu Widiasri ....................................................................................... 200 Proses Mengajar Menyimak Yang Efektif Ida Ayu Iran Adhiti ....................................................................................... 218
Pelindung : Drs. I Dewa Putu Tengah (Pembina iv YPLP PT IKIP PGRI Bali) Drs. IGB. Arthanegara, S.H., M.Pd. (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali) I Gusti Ngurah Oka, S.H. (Sekretaris YPLP PT IKIP PGRI Bali) 231
Nomor 13 Tahun VII April 2012 ISSN 1907-3232
Penanggung Jawab Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum. (Rektor IKIP PGRI Bali) Ketua Redaksi I Wayan Citrawan, M.Pd. Sekretaris Redaksi Drs. Ketut Yarsama, M.Hum. Anggota Dewan Redaksi : Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. (Unhi) Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M.S. (Unud) Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si. Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd. Drs. IGB. Ardana Adnya, M.Si. Dr. Nengah Arnawa, M.Hum. Dr. A.A. Ngr. Adi Putra, M.Pd. Drs. I Ketut Sumerta, M.For. Drs. I Dewa Made Alit, M.Pd. Drs. I Wayan Suanda, S.Pd., M.Si. Bendahara Ni Putu Siti Firmani, M.Hum. Distribusi I Ketut Sudana Ni Luh Putu Ayu Suati Alamat Redaksi Kampus IKIP PGRI Bali Jalan Seroja-Tonja Denpasar Utara Telp. (0361) 431434
232