CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM HAK ASASI MANUSIA
(STUDI TERHADAP PEMENUHAN HAK EKONOMI SOSIAL MASYARAKAT LOKAL OLEH PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Oleh: Firdaus Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau
Abstrak Perkebunan kelapa sawit tanpa memperhatikan kepentingan lingkungan dapat merugikan kepentingan ekonomi dan sosial (Ekosos) masyarakat lokal. Masyarakat lokal pihak kurang mendapat perhatian dan pihak pertama yang merasakan dampak dalam pengelolaan perkebunan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pengelolaan sawit sejatinya mengubah keadaan hutan (koversi) yang multikultur menjadi tanaman yang monokultur. Perubahan hutan berimplikasi bagi masyarakat lokal, karena mereka kehilangan akses untuk menikmati kekayaan hutan yang telah mereka lakukan secara turun menurun. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik di tanah air antara perusahaan dan masyarakat lokal. Dalam tataran praktis kejahatan dalam HAM dapat saja dilakukan oleh negara dan aktor negara. Kekuataan yang dimiliki oleh perusahaan berpotensi dalam advokasi (memenuhi, melindungi, dan menghormati) serta dapat pula menjadi bagian yang merusak HAM. Aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit, bisa menjadi bagian dari pemenuh HAM apabila perusahaan mengimplementasikan CSR dalam memenuhi hak Ekosos masyarakat lokal. Pasal 74 UUPT telah mengubah paradigma CSR dari voluntary menjadi mandatory. Abstract Palm plantations without considering the interests of the environment can be detrimental to the economic and social interests (ecosoc) of local communities. Local communities and the less attention the first to feel the impact in the management by palm oil plantations. Management of palm plantation changes (converse) the condition of forest which is multicultural become a monoculture crop. The forest alteration is implicated to local communities, because they lose access to enjoy the forest wealth which they have done very day. These conditions led to various conflicts between companies and local communities. In practical term, the human rights crimes can be committed by the state and state actors. Power of which is owned by the company's potential in advocacy (fulfill, protect and respect) and can also be a destructive part of human rights. The activity of oil palm plantations, could be part of the fulfillment of human rights if the company implements CSR ecosoc in fulfilling the rights of local communities. Article 74 of Corporate Act has changed the paradigm of CSR from voluntary to mandatory. Kata kunci: CSR, perkebunan kelapa sawit, HAM
Oleh: Fahmi Dosen Fakultas Hukum Unilak. Alamat: Fak. Hukum Unilak Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai, Pekanbaru, Riau Abstrak
Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya sifatnya adalah code of conduct yang didasarkan pada etika dan moral.
Namun, telah terjadi pergeseran paradigma dari tanggung jawab sosial yang sifatnya sukarela menjadi tanggung jawab sosial yang sifatnya suatu kewajiban. Ini diatur dalam UUPT No. 40 Tahun 2007. Di dalam Pasal 74 UUPT dinyatakan bahwa perseroan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Bila hal ini dilanggar maka akan dikenakan sanksi. Dengan berdasarkan pada teori keadilan, tiap-tiap stakeholder memiliki bagian yang sama baik dalam bisnis maupun dalam masyarakat. Sebuah perusahaan harus memperlakukan semua pihak seperti pemegang saham, karyawan, penyedia barang dan/atau jasa, serta konsumen secara adil tanpa mengindahkan posisi, upah, besarnya saham dengan memberikan keuntungan yang sama besarnya pada pihakpihak tersebut. Ini berarti bahwa perusahaan terlibat dalam tanggung jawab sosial bagi masyarakat. Perusahaan tidak saja bertanggung jawab kepada pemegang saham tetapi juga bertanggung jawab kepada karyawan, supplier, masyarakat, dan lingkungan tempat perusahaan tersebut berada. Oleh karena itu, penting untuk melaksanakan tanggung jawab sosial bedasarkan konsep triple bottom line yang didasarkan pada keadilan sosial. Abstract Essentially, corporate social responsibility based on ethics and moral. However, there has been a change from social responsibility as voluntary becomes liability. It is set in the Corporate Act No.40 of 2007. In the Article 74 of Corporate Act stated that the company relating to the natural resources required to implement social and environmental responsibility (CSR). If this is violated, then there are a number of sanctions to wait. Based on the theory of justice, each stakeholder has an equal share in both business and in society. A company must treat all parties such as shareholders, employees, suppliers and / or services, as well as consumers fairly and without heeding the position, wages, the amount of shares by providing the same benefit amount on the parties. This means that companies engaging in social responsibility for society. Corporation not only responsible to shareholders, but also to employees, suppliers and / or services, and society where the firm is located. Therefore, it is important to perform CSR based on the concept of triple bottom line. Kata kunci: tanggung jawab sosial, uupt, keadilan sosial
IMPLIKASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP APLIKASI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Oleh: Yetti Dosen Fakultas Hukum Unilak. Alamat: Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai Pekanbaru Tlp. 076151877 Abstrak Sejak disahkannya UU No. 5 Tahun 1999, maka setiap pelaku usaha wajib untuk menaatinya sesuai dengan tujuan UU ini. Melaksanakan persaingan usaha sehat merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan secara eksternal, yaitu kepada pelaku usaha pesaing dan masyarakat selaku konsumen sebagaimana diatur dalam UUPT No.40 Tahun 2007. Apabila pelaku usaha tidak menyelenggarakan iklim usaha yang kondusif maka otomatis untuk waktu yang bersamaan pelaku usaha tersebut telah melanggar 2 (dua) undang-undang sekaligus, yakni undang-undang anti monopoli dan undang-undang perseroan terbatas. Para pelaku usaha tidak menyadari tindakan ketidakpedulian itu dapat mengakibatkan dampak yang luas bagi masyarakat. Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini ternyata diikuti dengan tindakan kejahatan yang berupa pelanggaran terhadap tanggung jawab sosial korporasi dalam rangka memasarkan produknya. Abstract Since the enactment of Law No.5 of 1999, then every business actor is obliged to obey them in accordance with the purposes of this Act. Implement a healthy business competition is part of corporate social responsibility externally, ie to business competitors and the public as consumers, as set forth in the Company Law No.40 of 2007. If businesses do not maintain a conducive business climate, it is automatic for the same time the business has violated 2 (two) legislation as well as the anti-monopoly laws and legislation Limited Liability. Business actors are not aware of actions that can lead to indifference broad impact for the community. Monopolistic practices and unfair business competition this was followed by the evil crime of violation of corporate social responsibility in order to market their products. Kata kunci: CSR, monopoli, persaingan usaha tidak sehat
KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA VERSUS KEBIJAKAN INDUSTRI: ASEAN FREE TRADE AREA AGREEMENT VERSUS PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI
Oleh: Cenuk Widiyastrisna Sayekti Dosen Fak. Hukum Unilak. Alamat: Jl. Yos Sudarso Km 8, Rumbai, Pekanbaru. Email:
[email protected] Abstrak Globalisasi ekonomi membawa seluruh negara pada satu sistem perdagangan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Ini disebut dengan kebijakan persaingan usaha. Akan tetapi tidak semua negara mampu untuk bersaing dengan negara-negara lain dikarenakan belum kokohnya industri dalam negeri. Agar industri dalam negeri tidak kolaps oleh pelaku usaha luar, maka negara melakukan kebijakan industri, seperti proteksi atau hambatan tarif, untuk melindungi usaha dalam negeri. Ini bertentangan dengan konsep hukum persaingan usaha. Jalan keluar yang paling baik dari dua hal yang bertentangan ini adalah dengan melakukan harmonisasi kebijakan persaingan dengan kebijakan industri. Proteksi dapat dilakukan, tetapi terbatas atau disebut dengan proteksi selektif. Diharapkan dengan proteksi selektif akan dapat menyiapkan industri muda untuk berdaya saing dengan pelaku usaha yang telah kuat di pasaran. Setelah industri muda dianggap mampu bersaing, maka proteksi harus dicabut dengan tujuan agar dapat bersaing di kancah perdagangan internasional. Abstract Economic globalization brings the whole country on one trading system in order to gain maximum benefit. It's called competition policy. But not all countries are able to compete with other countries due to yet-powerful domestic industry. Therefore, in order to domestic industry does not collapse by outside businesses, then the state performs industrial policy, such as protection or tariff barriers to protect domestic business. This contradicts to the concept of business competition law. The best way out of these two conflicting policies is the harmonization of competition policy with industrial policy. Protection can be done, but it is called limited or selective protection. Expected with selective protection industry will be able to prepare the young to be competitive with businesses that have been strong in the market. After the young industry is considered able to compete, then the protection should be revoked in order to compete in the international trade. Kata kunci: kebijakan persaingan, kebijakan industri, perlindungan industri
KEDUDUKAN PIAGAM MADINAH SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA
Oleh: Ardiansah Mahasiswa Program Doktor (S3) Fakulti Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Bidang Kajian Comparative Constitutional Law dan Dosen Fak. Hukum Unilak. Alamat: Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai Pekanbaru. Email:
[email protected] Abstrak Ada dua pendapat yang berbeda mengenai Piagam Madinah sebagai konstitusi. Pertama, pendapat yang tidak mengakui Piagam Madinah sebagai sebuah konstitusi. Pendapat kedua ini cukup beralasan bila dilihat pandangan K.C. Wheare yang menjelaskan bentuk konstitusi yang ideal adalah konstitusi itu harus singkat untuk menghindari kesulitan para pembentuk konstitusi memilih mana yang terpenting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang suatu konstitusi, sehingga hasilnya akan dapat diterima, baik oleh mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh konstitusi tersebut. Pandangan ini menempatkan kedudukan Piagam Madinah sebagai konstitusi negara. Pandangan ahli konstitusi ini merupakan syarat ideal sebuah konstitusi. Namun, secara keseluruhan Piagam Madinah telah memenuhi syarat sebuah konstitusi negara. Di samping itu, Piagam Madinah dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang pluralistik, memiliki relevansi yang kuat dengan perkembangan masyarakat internasional dan menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Abstract There are two different opinions regarding the Medina Charter as a constitution. First, the opinion does not recognize the Medina Charter as a constitution. A second opinion is quite reasonable when viewed outlook KC Wheare which describes the ideal form of constitution is the constitution should be short to avoid the difficulties of constitution makers choose which is most important and should be included in the constitution and which are not necessary at the time they will draft a constitution, so the results will be accepted, both by those who will perform as well as those who will be protected by the constitution. This view puts the position of the Charter of Medina as the state constitution. His views become a constitutional requirement. However, overall the Charter of Medina has been qualified a state constitution. In addition, the Charter of Medina can be accepted as a source of inspiration for building a pluralistic society, has a strong relevance to the development of the international community and become a modern worldview various countries in the world. Kata kunci: Negara Madinah, Piagam Madinah, Konstitusi Negara
PERBANDINGAN SEBATAN SYARIAH DI PROVINSI ACEH DAN MALAYSIA
Oleh : Hamdani Zainal Abidin dan Jasri Jamal Mahasiswa Program Doktor Fakulti Undang-Undang Universitas Kebangsaan Malaysia. Email:
[email protected] dan
[email protected] Abstrak Hukuman sebat diterapkan di Provinsi Aceh setelah disahkannya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Mahkamah Syar'iyah dan Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi'ar Islam, dan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang Khamar, Maisir dan Kwat. Salah satu bentuk hukuman yang dikenakan kepada si pelanggar qanun-qanun tersebut adalah hukuman sebat. Sementara itu, hukuman sebat diterapkan di Malaysia berdasarkan Perlembagaan Persekutuan Jadual ke-9 Daftar Negeri, Akta Parlemen, dan Akta Mahkamah Syariah (Pindaan 1984). Pemerintah Daerah Provinsi Aceh dan Malaysia berkewajiban melaksanakan hukuman sebat sesuai prosedur yang telah ditetapkan agar tidak akan menimbulkan fitnah pada intitusi peradilan Islam. Abstract Sebat is applied in the province of Aceh after the enactment of Law No. 44 Year 1999 on the Privileges of Aceh, the Act No. 18 of 2001 on Special Autonomy for Aceh as Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun No. 10 Year 2002 concerning Judicial Court Syar'iyah and Qanun No. 11 Year 2002 on the Implementation of Sharia Affairs' Agidah, Worship, and syi'ar Islam, and the Qanun No. 12, 13, and 14 of 2003 on Khamar, Maisir, and Kwat. One form of punishment imposed on the offender Qanun-Qanun was sentenced Sebat. In the meantime, Sebat is applied in Malaysia based on the Perlembagaan Persekutuan Jadual ke-9 Daftar Negeri, Akta Parlemen, and Akta Mahkamah Syariah (Pindaan 1984). Provincial Government of Aceh and Malaysia is obliged to carry out appropriate punishment of Sebat according to procedures so that will not cause fitnah in Islamic judicial institutions. kata kunci: hukuman sebat, Aceh, Malaysia
HAK DAN TANGGUNG JAWAB INDONESIA DALAM REZIM LINTAS TRANSIT DI SELAT MALAKA
Oleh: Muhammad Nasir Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Alamat: Jl. Medan-Banda Aceh, Cot Tengku Nie, Releut, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Email:
[email protected] Abstrak
Selat Malaka adalah selat yang digunakan oleh kapal dan pesawat melaksanakan lintas transit. Hak lintas transit diterapkan karena Selat Malaka terletak di antara dua bagian laut tinggi atau zonae eksklusif ekonomi, Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Indonesia adalah negara yang berbatasan dengan Selat Malaka dan telah meratifikasi UU 1982 Konvensi Laut. Sebenarnya, laut teritorial tidak termasuk dalam lintas transit dan negara selat (Indonesia) tidak memiliki hak kedaulatan di selat yang digunakan untuk navigasi internasional. Dengan kata lain, hukum 1982 dari bagian Laut Konvensi III mengecualikan laut teritorial, tetapi untuk menyertakan zona ekonomi eksklusif dan laut yang tinggi. Pasal 42 (1) a dan (1) b 1982 Konvensi Hukum Laut, negara-negara selat menyediakan dapat mengadopsi undang-undang domestik yang berkaitan dengan keselamatan navigasi dan pengendalian pencemaran. Ada kesulitan dalam pelaksanaan hukum domestik karena hukumhukum ini tidak akan diskriminasi dan harus sesuai dengan peraturan internasional. Negara-negara selat wajib menginformasikan bahaya dalam pengetahuan mereka kepada negara-negara pengguna. Abstract Strait of Malacca is a strait used by the vessel and aircraft exercising the transit passage. The right of transit passage is applied because the Strait of Malacca is located between two part of the high sea or economic exclusive zonae, the Indian Ocean and South China Sea. Indonesia is the state bordering the Strait of Malacca and have ratified the 1982 Law of the Sea Convention. Actually, the territorial sea is not included in the transit passage and the strait state (Indonesia) do not possess the sovereignty rights in the strait used for international navigation. In other words, the 1982 Law of the Sea Convention part III exclude the territorial sea but to include the economic exclusive zonae and high sea. Article 42 (1) a and (1) b 1982 Law of the Sea Convention, provides the strait states may adopt domestic laws relating to safety of navigation and control of pollution. There are difficulties in implementation the domestic laws because these laws shall not discriminate and must conform with international regulations. The strait states shall inform any danger within their knowledge to the user states. Kata kunci: hak dan tanggung jawab, lintas transit, selat malaka
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN HALAL DALAM PERSPEKTIF UNI EROPA
Oleh: Ika Riswanti Putranti PhD Candidate in European Union Law Faculty of Law University of Ferrara Email:
[email protected] Abstrak Perlindungan hewan pada saat penyembelihan menjadi perhatian publik yang mempengaruhi sikap konsumen (consumer attitudes) terhadap produk peternakan. Terhitungg 1 Januari 2013 akan berlaku peraturan baru Uni Eropa Council Regulation (EC) No. 1099/2009 tertanggal 24 September 2009 tentang perlindungan hewan pada saat penyembelihan (the protection of animals at the time of killing) dan peraturan Directive Act 93/119/EEC 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam peraturan itu memberikan pengecualian untuk tidak melakukan stunning atau teknik pemingsanan pada saat penyembelihan hewan di RPH untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi daging umat Islam dan Yahudi. Untuk melakukan penyembelihan seseorang harus memiliki sertifikat kompetensi penyembelihan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
Abstract Protection of animals at slaughter of public concern affecting consumer attitudes (Consumer Attitudes) of livestock products. Terhitungg January 1, 2013 will apply new rules of the European Union Council Regulation (EC) No. 1099/2009, dated 24 September 2009 on the protection of animals at slaughter (the protection of animals at the time of killing) and the regulations Directive 93/119/EEC Act 1993 is no longer valid. In the rules do not make exceptions for stunning or pemingsanan technique during slaughter of animals at the slaughter house for meat consumption needs of Muslims and Jews. To conduct a slaughter person must have a certificate of competency issued by the slaughter of an authorized institution. Kata kunci: rumah pemotongan hewan, halal, dan pemingsanan
PIDANA UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: Dafrigo Amrizal Alamat: Jl. Mulia Indah No.09, Labuai, Pekanbaru, Riau Email:
[email protected] Abstrak Sebagai akibat tindak pidana korupsi yang terus berlangsung, rakyat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera. Selain pidana penjara, seorang koruptor dapat dijatuhkan dengan vonis yang disebut uang pengganti. Uang pengganti itu berasal dari perkara tindak pidana korupsi yang sudah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain pidana tambahan yang disebut KUHP, majelis hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti. Pembayaran uang pengganti maksimal sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Abstract As a result of criminal acts of corruption that continues to progress, people lose their basic rights to live in prosperity. In addition to imprisonment, a corrupt person can be imposed by the so-called money substitutes verdict. The money came from the replacement of corruption crimes tribunal that has been disconnected and have obtained permanent legal force. Under the provisions of Article 18 of Law Number 31 Year 1999, in addition to additional criminal called the Criminal Code, judges can also impose an additional penalty in the form of money substitute. Maximum payment of compensation equal to property acquired from criminal acts of corruption. Kata kunci: tindak pidana, uang pengganti, korupsi