ISSN 2087-2208
KUALITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (STUDI TENTANG KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP PESERTA JAMKESMAS PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU) Oleh: Drs.Budi Mulyawan, M.Si.
ABSTRACT The quality of service delivery is the strategic pillar for the implementation of a hospital, especially for the local government-owned hospitals in the era of decentralization. It is quite ironic to discover that the quality of services provided by the District Public Hospital (RSUD) is still below the people’s expectation while the poor, the under privileged members of the community are in dire need of quality service. Such disheartening condition sare experienced bythe Indramayu-based RSUD, as indicated by many complaints voiced by the members of the society over the quality of services delivered by the hospital and the hospital’s achievement of several indicators which are directly related to the quality of in-patient care services, such as BOR and ALOS, which is still below the ideal standard established by the Health Department of the Republic of Indonesia (now the Ministry of Health of the Republic of Indonesia). This research was conducted to obtain an in-depth overview of the in-patient care service quality on the basis of the satisfaction of the Jamkesmas-participating patients. Key words : service quality, satisfaction, and qualitative satisfaction
LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance),pelayanan publik merupakan instrumen penting dalam mengukur penyelenggaraan berpemerintahan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang dasar penyelenggaraannya diatur melalui Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Implikasi dari dikeluarkannya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebutadalah ditempatkannya rakyat pada posisi utama dalam mengukur keberhasilan pelayanan birokrasi pemerintahan, sehingga kualitas pelayanan publik tidak an sich didasarkan atas pengakuan atau penilaian aparatur pemerintahan sebagai pihak pemberi pelayanan, melainkan diberikan oleh masyarakat sebagai penerima pelayanan.Dalam konteks inilah organisasi pelayanan publik mempunyai ciri akuntabilitas publik (public accountability) di mana anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima (Hardiyansyah, 2011:42). Dengan demikian, setiap organisasi pelayanan publik harus mampu menempatkan masyarakat sebagai fokus pelayanan (putting customers first). Dalam tataran realita, melakukan reformasi sistem pelayanan publik sesuai gagasan demokrasi sebagaimana di atasbukanlah hal yang mudah, karena dalam pelaksanaannya bersifat dilematis. Di satu sisi, pemerintah yang profesional dan rasional melalui penerapan prinsip-prinsip objektivitas, efisiensi, pertimbangan biaya dan manfaat serta legalitas formal dapat saja dilakukan; sementara di sisi lain, tuntutan terhadap responsivitas yang tinggi seperti kepekaan sosial terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang termasuk kategori kurang beruntung (difabel) harus dikedepankan oleh aparat birokrasi. Sebagai konsekuensinya, prinsip-prinsip legalitas dan efisiensi terkadang harus dikorbankan karena yang dipentingkan adalah bahwa birokrasi harus mampu menjadi pelayan yang baik (Kumorotomo, 2008:191).
FISIP UNWIR Indramayu
1
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Kesehatan merupakan sektor pelayanan publik yang paling merasakan situasi dilematis tersebut, menimbang sektor ini sangat sarat dengan fungsi sosial dan kemanusiaan. Dapat dikatakan, kinerja pelayanan publik sektor kesehatan tidak bisa diukur secara ekonomis saja. Terlebih aksesibilitas warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar dengan dilandasi prinsip keadilan (equity) dan persamaan hak (equality). Dalam konteks ini, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai operator terdepan pelayanan publik sektor kesehatan di daerah kerapkali menjadi sorotan publik terkait dengan aspek kualitas pelayanannya yang dinilai masih rendah, terutama bagi kalangan masyarakat miskin. Hal ini mudah dipahami mengingat RSUD merupakan organisasi pemerintah yang memiliki peranan strategis dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat di daerahserta dalam penyelenggaraan layanan bersifat nirlaba, dalam pengertian, sektor ini harus lebih mengedepankan fungsi sosial ketimbang fungsi ekonominya. Dalam pelayanan publik sektor kesehatan, masyarakat miskin mendapatkan perhatian ekstra bukan hanya karena tingginya jumlah penduduk miskin dari data yang dimiliki pemerintah, melainkan karena kondisi sosial dan psikologis mereka cenderung menjadikan mereka rentan untuk mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam mengakses pelayanan tersebut.Harus kita akui bahwa perhatian pemerintahsemakin meningkat dengan hadirnya sejumlah program asuransi kesehatan bagi kalangan masyarakat ini,namunprogram tersebut ternyata masih menyisakan berbagai persoalan, terutama di seputar sikap dan etika pelayanan dari penyelenggara pelayanan(Dwiyanto, 2010:165-166).Pihak penyelenggara pelayanan pada umumnya memiliki pandangan yang streotipe terhadap kalangan ini sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya birokrasi pelayanan tanpa memberikan kontribusi pemasukan kepada sumber daya birokrasi itu sendiri. Sebaliknya dari sisi masyarakat miskin, pendidikan yang rendah dan akses terhadap pengetahuan yang sangat minim, menyebabkan mereka kurang menyadari hak-hak mereka sebagai warga negara (civil right) dalam memperoleh pelayanan kesehatan.Hal tersebut menjadi penyebab rendahnya kontrol sosial masyarakat miskin terhadap pihak penyelenggara pelayanan, sehingga penyelenggara pelayanan tidak berusaha untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan yang berimplikasi pada buruknya kualitas pelayanan. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu merupakan salah satu SKPD di Kabupaten Indramayu yang memiliki statusRumah Sakit tipe B dengan menyelenggarakan 13 unit pelayanan.Jumlah pasien yang melakukan kunjungan ke RSUD ini dari tahun ke tahun memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat inap. Adapun dari sisi kunjungan pasien rawat inap, data tahun 2011sampai dengan tahun 2013 menunjukkan fluktuasi. Namun demikian, selama jangka waktu tiga tahun tersebut kunjungan kalangan keluarga miskin yang menggunakan fasilitas Jamkesmas dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) selalu berada di atas 50% dari total kunjungan rawat inap. Peningkatan jumlah pasien keluarga miskinyang menjalani rawat inap di RSUD Kabupaten Indramayu mengindikasikan keberhasilan rumah sakit tersebut dalam menjalankan fungsi sosialnya. Namun di sisi lain, hal ini memiliki potensi menjadi masalah serius yang dihadapi pihak manajemen dan unsur pelaksana kebijakan rumah sakit apabila kurang berhati-hati dalam pengelolaannya, khususnya dalam aspekpeningkatan kualitas pelayanannya. Berbagai usaha peningkatan pelayanan sebenarnya telahcukup banyak dilakukan oleh pihak manajemen RSUD Kabupaten Indramayu sebagai wujud respons terhadap kebutuhan masyarakat, diantaranya dengan menerapkan sistem Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada tahun 2009. Sistem ini diterapkan dalam upaya memberikan pelayanan secara efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya, terutama bagi masyarakat miskin. Namun langkah-langkah tersebut tidak serta merta dapat memuaskan publik. Hal ini diindikasikan dengan masih ditemukannya keluhan masyarakat atas jasa pelayanan yang diselenggarakan pihak RSUD Kabupaten Indramayu. Penelitian pendahuluan (preliminary research) dari hasil studi dokumentasi mengindikasikan adanya permasalahan pada kualitas pelayanan rawat inap yang diselenggarakan RSUD Kabupaten Indramayu. Hal ini dapat dilihat dari dua indikator rumah sakit, yaitu rata-rata lamanya pasien dirawat(Average Lenght Stay/ALOS) dan frekuensi penggunaan tempat tidur (Bed Turn Over/BTO) yang belum mencapai standar ideal sebagaimana ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (sekarang Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) seperti terlihat pada tabel berikut.
2
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Tabel 1. : Hasil Pencapaian Indikator ALOS dan BTO RSUD Kabupaten Indramayu Tahun 2011 – 2013 Hasil Pencapaian No
Indikator
Standar Depkes 2011
2012
2013
1
ALOS
3
3
3
6‒9 hari
2
BTO
98
102
96
40‒50 kali
Sumber: Diolah dari Profil RSUD Kabupaten Indramayu tahun 2011 dan 2013
Dari tabel di atas dapat diketahui, indikatorALOS selama 3 (tahun) tahun berturut-turut menunjukkan tidak ada peningkatan, yaitu 3 (tiga) hari, sementara nilai ideal yang ditetapkan Depkes adalah 6-9 hari. Rendahnya capaian ALOS ini mengindikasikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh RSUD Indramayu masih dalam kategori kurang baik. Berdasarkan keterangan pihak manajemen RSUD Indramayu hal ini disebabkan masih banyak pasien yang pulang paksa. Diduga hal ini berkaitan dengan faktor pelayanan yang kurang memuaskan pasien. Sementara capaian indikator BTO selama 3 (tiga) tahun berturut-turut masih jauh di atas standar yang ditetapkan Depkes. Tingginya frekuensi pemanfaatan tempat tidur ini berdampak pada ketidaknyamanan pelayanan, seperti kondisi tempat tidur yang tanpasprai, ruang perawatan dan toilet yang kurang memadai, dan sebagainya. Berbagai kondisi tersebut mencerminkan kualitas pelayanan rawat inap RSUD Kabupaten Indramayu yang kurang begitu baik. Hal ini diperkuat dengan adanya sejumlah keluhan warga masyarakat peserta Jamkesmas − baik melalui media cetak maupun elektronik − ketika melakukan rawat inap di RSUD Kabupaten Indramayu, terkesan kurang mendapat pelayanan optimal.Citra buruk pelayanan RSUD Kabupaten Indramayu ini menjadi perhatian DPRD Kabupaten Indramayu melalui pernyataan salah seorang anggotanya: “Penilaian kami di Dewan, rumah sakit milik pemerintah daerah masih belum memberikan pelayanan yang memuaskan. Kami banyak menerima keluhan dari masyarakat soal layanan rumah sakit.” Atas dasar berbagai keluhan warga masyarakat tersebut, sejumlah fraksi mengusulkan RSUD ini dijadikan rumah sakit swasta karena kualitas pelayannnya masih rendah dan dianggap tidak ada perubahan (http://www.koran-sindo.com/node/347242 diunggah tanggal 5 Desember 2013).
PERMASALAHAN Beranjak dari latar belakang, maka yang menjadi fokus dari studi ini adalah kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas RSUD Kabupaten Indramayu, menimbang dalam paradigm penyelenggaraan pelayanan publik dewasaini yang menjadi parameter berkualitas tidaknya organisasi penyelenggara layanan adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Selanjutnya perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas pada RSUD Kabupaten Indramayu? Adapun tujuannya untuk memahami konsep dan teori dalam memecahkan permasalahan yang aktual di lapangan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
KERANGKA PEMIKIRAN Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sektor kesehatan merupakan pelayanan publik dasar (core public services),menimbang kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Implikasi dari tujuan bangsa tersebut adalah negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya dengan memberikan perlindungan dan pelayanan kesehatan berlandaskan pada prinsip keadilan (equity) dan persamaan hak (equality). Ironis dengan tujuan bangsa di atas, masih banyak kalangan masyarakat miskin mengalami hambatan dalam menjangkau pelayanan medis formal, terutama bagi mereka yang memerlukan layanan rawat inap. Untuk mendapatkan jasa layanan tersebut masyarakat dari populasi miskin rata-rata harus mengeluarkan lebih dari 2,3 kali pengeluaran total bulanan keluarganya (Soeharto, 2009:63). Sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap kalangan masyarakat tidak mampu agar akses dalam pelayanan kesehatan FISIP UNWIR Indramayu
3
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 makamelalui Keputusan Menteri Kesehatan No.125/Menkes/SK/II/2008 diselenggarakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Namun hadirnya program tersebut tidak serta merta mampu menghapus berbagai persoalan yang dihadapi kalangan masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Persoalan yang muncul seputar penyelenggaraan asuransi keluarga miskin menurut Dwiyanto (2010:165-166) berkisar pada perlakuan diskriminatif dari aparatur penyelenggara pelayanan. Padahal mereka tidak sekedar memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, namun lebih dari itu berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dalam konteks mengetahui seberapa baik kualitas pelayanan yang diselenggarakan organisasi penyelenggara pelayanan, Zeithaml, et al, (1990:23) mengemukakan dimensi-dimensi kualista pelayanan sebagai berikut: 1) Tangibles, yaitu kualitas pelayanan berupa sarana fisik penyelenggara, peralatan, dan penampilan aparat. 2) Reliability yaitu kemampuan dan keandalan menyediakan pelayanan yang terpercaya; 3) Responsiveness yaitu kesanggupan membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat, tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen; 4) Assurance yakni kemampuan dan keramahan serta sopan santun petugas dalam meyakinkan kepercayaan kostumer; 5) Empathy yaitu sikap tegas tetapi penuh perhatian dari aparat terhadap kostumer. Selanjutnya, kualitas pelayanan itu sendiri diukur dari kepuasan pengguna layanan seperti dikemukakan oleh Zeithaml et al. (1990:178) sebagai berikut:“Kepuasan maupun ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanan timbul dari proses perbandingan antara jasa yang diharapkan (expected service) sesuai janji penyelenggara layanan dengan kenyataan jasa yang mereka dapatkan (perceived service). Kepuasan pengguna layanan atas jasa layanan pada umumnya bersifat subjektif, karena bergantung pada persepsi, latar belakang sosial-ekonomi, norma, pendidikan, budaya, bahkan bergantung pada kepribadian kustomer bersangkutan (Rewansyah, 2011:238). Dalam konteks ini Stauss dan Neuhaus (dalam Fandy dan Gergorius, 2007:202-205) mengembangkan model kepuasan kualitatif. Model tersebut membedakantiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan berdasarkan kombinasi emosi spesifik terhadap penyedia jasa, ekspektasi menyangkut kapabilitas kinerja masa depan pemasok jasa, dan minat berperilaku untuk memilih lagi penyedia jasa bersangkutan. Tipe-tipe tersebut adalah: 1) Demanding customer satisfaction. Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Relasi dengan penyedia jasa emosi positif, terutama optimisme dan kepercayaan. 2) Stable customer satisfaction. Pelanggan dalam tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif dan perilaku yang demanding. 3) Resigned customer satisfaction. Pelanggan dalam tipe ini merasa puas namun bukan diakibatkan pemenuhan ekspektasinya, tetapi lebih didasarkan pada kesan tidak realistis untuk berharap lebih 4) Stable customer dissatisfaction. Pelanggan dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerja penyedia jasa namun cenderung tidak melakukan apa-apa. 5) Demanding customer dissatisfaction. Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku demanding, pada tingkat emosi ketidakpuasan menimbulkan protes dan oposisi, mereka aktif menuntut perbaikan. METODE PENELITIAN Penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi, melalui kajian terhadap kepuasan pasien peserta Jamkesmas atas jasa layanan rawat inap yang mereka terima dari pihak penyelenggara layanan RSUD Kabupaten Indramayu. Kajian tersebut dilakukan melalui pemahaman (verstehen) terhadap berbagai fenomena yang dianggap memiliki kaitan dengan masalah penelitian.Adapun arti “pemahaman” dalam konteks penelitian ini, sebagaimana pendapat Habermas (dalam Bungin, 2007:183), “suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu.” Unit analisispenelitian adalah pasien peserta Jamkesmas sejumlah 22 orang yang dipilih melalui teknik sampling purposif dengan ketentuan: pasien pengguna Jamkesmas yang telah menjalani rawat rawat inap
4
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 minimal 2x24 jam dan sejumlah informan kunci (keyinforman) dari pihak penyelenggara layanan.Sedangkan data penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari manusia (human subject) berupa informasi verbal dalam wujud tanggapan, pendapat, maupun pandangan (persepsi), juga tindakan/perilaku subjek penelitian yang dapat diamati sesuai konteks. Selain data primer, peneliti juga menjaring data yang bersifat non-human datasebagai data sekunder melalui studi dokumentasi, seperti data profil RSUD Kabupaten Indramayu pada tahun-tahun tertentu yang dianggap relevan dan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian. Sesuai karakteristik data, maka dalam proses penjaringan data, peneliti menggunakan beberapa teknik yang dikelompokkan menjadi tiga cara, yaitu: (1) observasi yaitu mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari pada latar penelitian, baik latar sosial (social setting) maupun latar kebendaan (material setting); (2) wawancara yaitu menjaring sejumlah data verbal dari informan dengan maksud untuk mengetahui tanggapan, pendapat maupun pandangan mereka mengenai pelayanan yang mereka dapatkan; dan (3) studi dokumentasi yaitupenelaahan terhadap dokumen-dokumen resmi. Analisis data dalam penelitian ini dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis pralapangan dilakukan terhadap data sekunder yang dijadikan landasan bagi peneliti dalam menyusun fokus penelitian. Adapun analisis data selama peneliti di lapangan menggunakan model Interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (2007:16-21). Dalam model ini, analisis dibagi menjadi 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/ verification). KAJIAN PUSTAKA Hakikat Pelayanan Publik Rumusan pelayanan publik yang ditemukan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Bab I Pasal 1 ayat (1) dinyatakan sebagai berikut:“Kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.” Selanjutnya dikatakan dalam undang-undang tersebut bahwa penyelenggara pelayanan publik adalah: “setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.” Oleh karena dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka organisasi penyelenggara pelayanan publik mempunyai karakteristik public accountability, di mana setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima (Hardiyansyah, 2011:42). Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Pelayanan Publik Di tangan pemerintahlah tanggung jawab pelayanan terhadap berbagai kebutuhan masyarakat diletakkan. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah seyogyanya tidak an sich berorientasi pada efektivitas dan efisiensi, karena ada parameter lain yang harus diperhatikan, yakni keadilan (Sinambela, 2008:15). Tanpa memperhatikan parameter ini, ketimpangan pelayanan tidak dapat dihindari. Pelayanan publik yang senantiasa berorientasi pada efisiensi dan efektivitas cenderung menetapkan target dan pencapaian target, sehingga cenderung mengindari kelompok miskin, rentan, dan terpencil. Ketika pemerintah memacu efisiensi, pelayanan publik untuk lapisan bawah, miskin, dan terpencil, yang biasanya diabaikan. Untuk kalangan masyarakat miskin, rentan, dan terpencil diberlakukan kebijakan yang disebut protective regulatory policy yang dimaksudkan untuk melindungi mereka karena kelompok ini tidak mungkin dapat bersaing dengan kekuatan-kekuatan lain yang berada di atas mereka. Menurut Dwiyanto (2010:115), masih sangat sedikit warga masyarakat yang beranggapan bahwa mengakses pelayanan publik yang mereka butuhkan itu merupakan haknya dan menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Hal demikian menyebabkan warga masyarakat seringkali dalam posisi lemah (powerless) pada saat mengakses layanan sehingga mereka mudah diperlakukan semena-mena oleh penyelenggara layanan, padahal dalam proses pelayanan yang perlu diperhatikan adalah kriteria hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yakni derajat kesamaan dan saling kebergantungan antara dua pihak pelayanan, konsensus, keseragaman, spesialisasi, dan konsistensi dalam proses pelayanan sehingga
FISIP UNWIR Indramayu
5
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 akhirnya menghasilkan konformitas, kesesuaian, dan kecermatan pelayanan (Sarlito dalam Napitupulu, 2007:186)). Esensi Kualitas Pelayanan dalam Perspektif Pelayanan Publik Hubungan pemerintahan yang demikian mengharuskan adanya kualitas pelayanan yang memadai, baik dalam proses maupun kualitas produknya, karena tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat sebagai pihak penerima pelayanan.Adapun konsep kualitas pelayanan oleh Zeithaml, Patasuraman, dan Berry (1990:23) dinyatakan sebagai berikut: “Service quality is a measure of how well the service level delivered matches customer expectations. Delivery quality service means conforming to customer expectations on a consistent basis Selanjutnya, kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu:pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang diterima(perceived service). Kualitas pelayanan sebagaimana dipaparkan di atas memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepuasan pelanggan. Bahkan kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan (Hardiyansyah, 2011:42).Dalam konteks pengertian kepuasan, Zeithaml et al. (1990:178) mengemukakan sebagai berikut: “Kepuasan maupun ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanan timbul dari proses perbandingan antara jasa yang diharapkan (expected service) sesuai janji penyelenggara layanan dengan kenyataan jasa yang mereka dapatkan (perceived service). Sementara itu, Stauss dan Neuhaus (dalam Fandy dan Gergorius, 2007:202-205) memiliki argumen bahwa kepuasan maupun ketidakpuasan memiliki dimensi kualitatif. Model tersebut membedakantiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan berdasarkan kombinasi emosi spesifik terhadap penyedia jasa, ekspektasi menyangkut kapabilitas kinerja masa depan pemasok jasa, dan minat berperilaku untuk memilih lagi penyedia jasa bersangkutan. Tipe-tipe tersebut adalah: 1) Demanding customer satisfaction. Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Relasi dengan penyedia jasa emosi positif, terutama optimisme dan kepercayaan. 2) Stable customer satisfaction. Pelanggan dalam tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif dan perilaku yang demanding. Emosi positifnya terhadap penyedia jasa bercirikan steadiness dan trust dalam relasi yang terbina saat ini, dimana mereka menginginkan segala sesuatunya tetap sama. 3) Resigned customer satisfaction. Pelanggan dalam tipe ini merasa puas namun bukan diakibatkan pemenuhan ekspektasinya, tetapi lebih didasarkan pada kesan tidak realistis untuk berharap lebih. 4) Stable customer dissatisfaction. Pelanggan dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerja penyedia jasa namun cenderung tidak melakukan apa-apa. 5) Demanding customer dissatisfaction. Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku demanding, pada tingkat emosi ketidakpuasan menimbulkan protes dan oposisi, mereka aktif menuntut perbaikan.
Pelayanan Inklusif Kelompok masyarakat miskin merupakan kelompok yang rentan untuk tidak mendapatkan haknya secara memadai terhadap pelayanan publik, khususnya kesehatan. Dalam hal ini perhatian pemerintah terhadap kelompok penduduk miskin untuk akses dalam pelayanan kesehatan dewasa ini memang meningkat yang diindikasikan dengan hadirnya sejumlah progam jaminan kesehatan yang ditujukan bagi kelompok ini, seperti Jaminan sosial kesehatan (Jamkesmas). Namun, menurut Dwiyanto (2010:147), keberadaan berbagai program tersebut masih menyisakan beberapa persoalan. Sebagian aparat birokrasi masih menjadikan status sosial warga pengguna sebagai pertimbangan dalam memberikan pelayanan. Sebagian masyarakat yang terdaftar sebagai sasaran program jaminan sosial dari pemerintah, seperti pengguna Jamkesmas, memilih untuk tidak menggunakan haknya karena ketika mereka menggunakan itu justru mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dan tidak lebih baik dibandingkan jika mereka menjadi pengguna biasa (Dwiyanto, 2010:148). Lebih lanjut Dwiyanto dkk. (2010:182) menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan bagi warga miskin dalam bentuk program askeskin atau variannya menjadi contoh pelayanan yang tidak inklusif. Mereka didaftar dan diberi kartu Jamkesmas bukan menjamin akses mereka terhadap pelayanan yang sama dengan warga lainnya, tetapi untuk memperoleh perlakuan yang berbeda. Menurutnya,aparatur pelayanan kesehatan yang umumnya tidak memiliki wawasan inklusivitas dan diversitas cenderung memperlakukan mereka secara diskriminatif, dengan memberikan perlakuan yang buruk kepada mereka. Rezim pelayanan
6
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 cenderung menganggap penerima Jamkesmas sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya birokrasi pelayanan tanpa memberikan kontribusi pemasukan kepada birokrasi pelayanan.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang Penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penjaminan terhadap masyarakat miskin yang meliputi sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin, program ini berganti nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Jamkesmas dengan tidak ada perubahan jumlah sasaran.Tujuan umum Jamkesmas adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Deskripsi Objek Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu terletak di Jalan Murah Nara No. 7 Kecamatan Sindang. Posisi rumah sakit cukup strategis, mudah diakses baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Batas-batas geografis RSUD Indramayu adalah: - Sebelah Utara : Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Sindang. - Sebelah Selatan : Akademi Keperawatan Pemda Kabupaten Indramayu. - Sebelah Barat : Sekolah Menengah Atas 1 Sindang. - Sebelah Timur : Sungai Cimanuk. RSUD Kabupaten Indramayu memiliki lahan seluas 33.200 𝑚2 . Halaman depan rumah sakit difungsikanuntuk area parkir kendaraan roda dua maupun roda empat. Di area ini terdapat tiga pintu masuk. Bila jam dinas berlangsung area ini dipadati sejumlah kendaraan roda empat, sehingga adakalanya mobil pengunjung terlihat parkir di sepanjang bahu jalan Murah Nara. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Rumah Sakit Umum Unit Daerah Kabupaten Indramayu dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat memiliki Rencana Strategis Rumah Sakit yang merupakan Rencana Strategis Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. Dalam Renstra tersebut di dalamnya terdapat visi, misi, dan tujuan sebagai berikut: 1. Visi “Terwujudnya Pelayanan Kesehatan yang Bermutu bagi Seluruh Lapisan Masyarakat untuk Mencapai Derajat Kesehatan yang Lebih Baik.” 2. Misi a) Memberikan pelayanan kesehatan spesialistik yang optimal; b) Menjadi pusat rujukan pelayanan kesehatan untuk wilayah Indramayu; c) Meningkatkan sumber daya manusia; d) Meningkatkan sarana dan prasarana rumah sakit; dan e) Meningkatkan kesejahteraan pegawai. 3. Tujuan Sejalan dengan visi dan misi di tersebutRSUD Kabupaten Indramayu mempunyai tujuan, yaitu: “Memberikan Pelayanan Prima” kepada Masyarakat yang Datang Berkunjung. Keadaan Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan unsur vital dalam pelayanan publik. Berkualitas tidaknya pelayanan publik sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya manusia penyelenggara pelayanan. Dalam menyelenggarakan misi dan tugas pokoknya, RSUD Kabupaten Indramayu yang saat ini merupakan rumah sakit umum berklasifikasi B didukung oleh sumber daya manusia sebanyak 544 orang yang terdiri dari 36 FISIP UNWIR Indramayu
7
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 orang tenaga medis, 269 orang tenaga paramedis perawatan, 60 orang tenaga paramedis nonkeperawatan, dan 179 tenaga non-medis (administrasi). Pelayanan Rawat Inap RSUD Kabupaten Indramayu Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan RSUD Kabupaten Indramayu menyediakan 9 (sembilan) ruangan bagi pasien yang menjalani rawat inap, yaitu: (1) ruang inap penyakit dalam; (2) ruang inap penyakit anak; (3) ruang inap bedah; (4) ruang inap kebidanan; (5) ruang inap perinatologi; (6) ruang inap Kelas I; (7) VIP A; (8) VIP B; (9) ruang inap ICU; dan ruang inap Kelas III dengan ketersediaan kapasitas tempat tidur sebanyak 206 tempat tidur. Bagi pasien dari kalangan masyarakat miskin yang menggunakan fasilitas Jamkesmas dan SKTM, disediakan ruangan kelas III di 6 (enam) jenis ruangan, yaitu: (1) ruang penyakit dalam, (2) ruangpenyakit anak, (3) ruang bedah, (4) ruang kebidanan, (5) ruang Perinatologi), ruang ICU, dan ruang Kelas III Baru. Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas pada RSUDKabupaten Indramayu Seluruh informan yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki harapan untuk mendapatkan pertolongan dan pelayanan yang baik ketika menjalani perawatan, baik dari segi kenyamanan, fasilitas, keramahan perawat dan petugas rumah sakit, ketelitian dokter dan perawat dalam menangani mereka. Harapan seperti ini dikemukakan oleh seorang informan yangsudah tiga hari menjalani rawat inap karena penyakit typus yang dideritanya: “…yang saya harapkan pastinya dari segi kenyamanan dan kemudian fasilitas yang memadai, lalu keramahan perawat, kesigapan dan ketelitian dokter dan perawat dalam merawat saya.” Selanjutnya ketika informan tersebut diminta tanggapannya mengenai kesesuaian antara harapannya itu dengan realita yang dialami setelah beberapa hari menjalani perawatan, informan menjawab tidak sepenuhnya, bahkan banyak hal yang tidak sesuai dengan harapannya. “Sejauh yang saya ketahui, rumah sakit merupakan tempat yang seharusnya jauh dari kegaduhan dan mengutamakan kenyamanan.” Dengan demikian, kenyataan yang dialami berbedadengan harapannya. Ketika pertanyaan yang sama ditujukan kepada beberapa informan lain, ditemukan enam orang yang memberikan esensi jawaban sama, yakni pelayanan RSUD Kabupaten Indramayu tidak sesuai dengan harapan mereka karenapelayanannya tidak terlalu baik. Pelayanan yang dimaksud ditujukan pada aspek keramahan dan sopan santun (courtesy) serta kecepatan dalam menanggapi permintaan medis. Adapula informan yang merasa tidak puas terhadap pelayanan rumah sakit yang ditujukan pada dimensi reliability, yakni keandalan pelayanan yang diberikan pihak rumah sakit, seperti pernyataan informan berikut: “Saya tidak puas dengan pelayanan rumah sakit ini karena sudah pulang kambuh lagi dan dirawat lagi.” Menurut informan tersebut, rawat inap yang dijalaninya saat ini merupakan yang kedua kalinya. Rawat inap pertama dijalaninya selama 3 hari, baru pulang selama 4 hari, penyakitnya kambuh dan harus menjalani rawat inap kembali. Kejadian seperti ini menurut pihak rumah sakit, seringkali terjadi disebabkan banyak pasien yang memaksa pulang ke rumah walaupun dokter belum merekomendasikan kesembuhan bagi pasien bersangkutan. Kasus seperti ini yang dikonstatir menjadi salah satu penyebab masih rendahnya capaian ALOS di rumah sakit tersebut. Studi ini menginformasikan bahwa sebagian besar informan memiliki keinginan untuk secepatnya sembuh dan segera pulang ke rumah. Suatu keinginan dan harapan yang tentunya ada pada diri setiap orang yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, walaupun mereka dibebaskan dari biaya perawatan maupun pengobatan. “Wong dirawat ning rumah sakit langka sing enak, pengene jagian balik, waras maning” (orang yang dirawat di rumah sakit tidak ada yang enak, ingin secepatnya pulang dan sehat kembali). Demikian pernyataan sebagian besar informan. Dengan demikian, pasien yang pulang paksa tidak semata-mata karena kualitas pelayanan yang buruk. Kualitas pelayanan yang baik pun tidak sepenuhnya menjamin pasien betah untuk berlama-lama dirawat di sebuah rumah sakit, menimbang bahwa pasien rawat inap Jamkesmas mayoritas berpendidikan rendah sehingga tidak memahami kondisi kesehatan mereka. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa setelah mendapatkan pengobatan dan perawatan, mereka merasa sudah sembuh dari penyakit yang diderita. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan oleh pasien adalah informasi mengenai kondisi kesehatan mereka. Dengan demikian pihak rumah sakit seyogyanya lebih meningkatkan upaya-upaya yang bersifat informatif, misalnya menjelaskan kepada pasien maupun anggota keluarga mengenai perkembangan kesehatan mereka dengan penggunaan bahasa yang mudah dipahami dan melalui cara-cara persuasif. Hal sudah tentu ini menuntut adanya kedekatan psikologis antara petugas medis dan pasien sehingga di antara keduanya tercipta komunikasi yang baik. Namun hubungan yang dilandasi afeksi tampaknya tidak ditemukan dalam pola hubungan antara pasien dan
8
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 petugas medis di RSUD Kabupaten Indramayu. Hal ini diindikasikan dengan jawaban sebagian besar responden yang mengatakan “biasa saja” ketika pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan perasaan mereka pada saat berhubungan dengan dokter maupun perawat. Adapun responden yang menjawab secara tegas pelayanan rumah sakit sudah sesuai dengan harapan sejumlah 6 orang, diantaranya seorang bapak yang sepanjang wawancara berlangsung mengekspresikan kegembiraan, dengan wajah selalu tersenyum mengemukakan tanggapan sebagai berikut: “ Pelayanan rumah sakit ini sesuai dengan harapan saya dan saya puas dengan pelayanan rumah sakit ini. Semoga pelayanan rumah sakit dengan kartu Jamkesmas lebih baik lagi untuk ke depannya.” Sementara itu ada dua orang informan yang agak ragu memberikan pernyataan ketika diminta pendapatnya mengenai kesesuaian antara harapan dengan kenyataan yang mereka dapatkan selama menjalani rawat inap. Menurut mereka, sebenarnya harapan mereka tidak sepenuhnya didapatkan, namun ketika ditanya apakah informan merasa puas dengan pelayanan rawat inap di rumah sakit ini. Responden pertama menjawab: “Puas saja karena sudah ditolong sih ya, terimakasih.” Sementara responden kedua dengan raut wajah yang kurang meyakinkan mengemukakan jawaban singkat: “…puas bae-lah” (secara semantik, kata − dalam bahasa Indramayu − “bae-lah” memiliki arti dalam bahasa Indonesia “sajalah” ). Dari beberapa tanggapan informan di atas dapat dikemukakan bahwa kategori informan yang menjawab puas dengan pelayanan RSUD Kabupaten Indramayu adalah informan yang merasa harapan mereka terpenuhi. Hal ini berhubungan dengan apresiasi mereka yang positif terhadap lima dimensi mutu pelayanan (tangible,reliability,responsiveness,assurance, danempathy) yang diselenggarakan rumah sakit. Sebaliknya, kategori informan yang merasa tidak puas maupun kurang puas, karena merasa harapan mereka tidak terpenuhi. Hal ini dapat ditelusuri dari jawaban-jawaban mereka ketika diminta tanggapan terhadap lima dimensi kualitas pelayanan, mayoritas memiliki apresiasi negatif terhadap satu atau lebih dimensi kualitas pelayanan. Dengan demikian kepuasan (satisfaction) maupun ketidakpuasan (dissatisfaction) pasien peserta Jamkesmas dalam menjalani rawat inap di RSUD Kabupaten Indramayu sesuai pendapat Zeithaml et al. (1990:178) dipengangaruhi oleh sejauhmana pelayanan yang mereka terima (perceived service)sesuai dengan pelayanan yang diharapkan (expected service). Jika perceived service lebih besar dari expected service, masyarakat akan merasa puas. Sebaliknya, jika perceived service lebih kecil dari expected service berarti kualitas pelayanan sangat rendah sehingga masyarakat tidak puas dengan produk pelayanan yang diterima. Namun teori Zeithaml tersebut dalam studi ini tidak dapat digeneralisasikan bagi semua informan, karena ditemukan sejumlah informan yang memberikan tanggapan bahwa tidak sepenuhnya harapan mereka terpenuhi, tetapi mereka merasa “puas” terhadap jasa pelayanan. Kajian terhadap kategori informan semacam ini memerlukan pijakan teori yang sesuai, yang akan dikemukakan pada uraian selanjutnya. Paling tidak, temuan ini mendukung pendapat Rewansyah(2011:238) yang mengatakan bahwakepuasan pengguna layanan atas jasa layanan pada umumnya bersifat subjektif, karena bergantung pada persepsi, latar belakang sosial-ekonomi, norma, pendidikan, budaya, bahkan bergantung pada kepribadian kustomer bersangkutan (Rewansyah, 2011:238). Berpijak pada 3 (tiga) tipe model kepuasan kualitatif yang dikemukakan oleh Straus dan Neuhaus (dalam Fandy dan Gergorius, 2007:203-205O),maka informan yang merasa “puas” terhadap jasa layanan dalam studi ini diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu demanding customer satisfaction dan resigned customer satisfaction. Tipe pertama, demanding customer satisfaction, dapat disimak melalui pernyataan informan berikut: “Pelayanan rumah sakit ini sesuai dengan harapan saya dan saya puas dengan pelayanan rumah sakit ini. Semoga pelayanan rumah sakit dengan kartu Jamkesmas lebih baik lagi untuk ke depannya.” Pernyataan tersebut merefleksikan sikap optimisme dan kepercayaan bahwa pihak rumah sakit akan mampu untuk lebih meningkatkan pelayanan di masa datang. Menurut informan tersebut, realitas membuktikan bahwa pelayanan di rumah sakit ini lebih baik daripada dua tahun yang lalu ketika dia menunggui istrinya yang dirawat di rumah sakit ini. Dia merasa puas dan dengan senang hati bersedia meneruskan relasi dengan pihak rumah sakit. Menurut Straus dan Neuhaus, demanding customer satisfaction merupakan tipe kepuasan yang aktif, sehingga apabila pasien merasa puas sangat besar kemungkinannya akan menyampaikan informasi positif (rekomendasi) pelayanan rumah sakit kepada kerabat, teman, dan orang-orang yang mereka kenal secara getok tular (word of mouth). Dalam konteks ini, word of mouth merupakan sarana promosi yang sangat menguntungkan bagi RSUD Kabupaten Indramayu. Sebaliknya, bila pasien merasa dikecewakan, maka akan melakukan semacam “kampanye negatif,” yang jelas akan sangat merugikan citra rumah sakit. Hal ini dapat disimak dari petikan wawancara dengan seorang ibu rumah tangga berusia 27 tahun sebagai berikut: FISIP UNWIR Indramayu
9
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Peneliti
: “Informasi seperti apa yang akan Ibu sampaikan kepada kerabat ataupun teman tentang kualitas pelayanan di rumah sakit ini?” Responden : “Saya akan menyampaikan sesuai dengan apa yang saya alami bahwa tempatnya tidak nyaman dan petugasnya kebanyakan jutek, kurang ramah.” Peneliti : “Apabila ada kerabat ataupun teman yang perlu menjalani rawat inap, apakah Ibu akan menganjurkan ke RSUD Kabupaten Indramayu?” Responden : “Tidak karena pelayanannya kurang baik” (menjawab dengan ekspresi kecewa). Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada beberapa responden yang merasa tidak puas terhadap pelayanan rumah sakit, secara getok tular (word of mouth), jawaban merekacenderung akan merugikan citra rumah sakit, seperti jawaban-jawaban informan berikut: “Tergantung, kalau bisa mending ke rumah sakit lain, selain rumah sakit ini, karena pelayanannya kurang memuaskan.” Demikian pula dengan jawaban responden lainnya: “Tidak pasti, jika orang itu memiliki biaya lebih, lebih baik untuk menjalani rawat inap di rumah sakit yang lebih bagus.” Jawaban senada dikemukakan oleh seorang responden: “Kalau orang itu punya uang, saya akan menganjurkan ke rumah sakit lain saja, yang pelayanannya bagus.” Pernyataan beberapa responden di atas – setidaknya − menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa masih banyak warga Kabupaten Indramayu yang berobat ke rumah sakit-rumah sakit di luar Indramayu. Sebagaimana pernah diungkap oleh Bupati Indramayu, H. Anna Sophanah pada suatu kesempatan sebagai berikut: “Jujur saja, masyarakat Indramayu saat menderita sakit, masih banyak yang berobat di luar Indramayu. Ini menjadi bahan introspeksi bagi kami. Jangan-jangan rumah sakit yang ada di Indramayu belum memenuhi harapan masyarakat.” (Sindo, 21 Pebruari 2013). Tipe kepuasan kedua, resigned customer satisfaction dapat disimak dari dua pernyataan responden yang telah dikemukakansebelumnya. Responden pertama merasa puas karena sudah “mendapat pertolongan” serta jawaban “…puas bae-lah” (secara semantik, kata dalam bahasa Indramayu “bae-lah” memiliki arti dalam bahasa Indonesia “sajalah,” sehingga “puas bae-lah” berarti “puas sajalah”) Suatu jawaban yang dapat diinterpretasikan bahwa responden tidak merasakan kepuasan dalam pengertian sesungguhnya (tidak sungguh-sungguh merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan namun atas dasar pertimbangan tertentu, misalnya mawas diri, responden mengatakan puas). Interpretasi ini didukung atas dasar pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa yang menjadi harapan responden sebenarnya belum seluruhnya terpenuhi, terutama dalam aspek kenyamanan. Dia sangat terganggu dengan kehadiran pengunjung yang secara bebas keluar masuk dan melakukan aktivitas dalam ruangan. Hal ini sesuai pendapat Straus dan Neuhaus bahwa dalam tipe resigned customer satisfaction, konsumen merasa puas bukan karena terpenuhinya ekspektasi tetapi lebih didasarkan pada kesan tidak realistis untuk berharap lebih. Dalam hal ini informan beranggapan bahwa pelayanan yang mereka dapatkan bersifat cuma-cuma, sehingga mereka mawas diri dan tidak terlalu banyak berharap. Adapun informan yang menjawab “tidak puas” dengan mengacu pada ciri-ciri dua tipe ketidakpuasan (stable customer dissatisfaction dan demanding customer dissatisfaction) yang dikemukakan oleh Straus dan Neuhaus, maka dalam studi ini lebih mendekati tipe stable customer dissatisfaction. Ada beberapa alasan mengapa informan yang merasa tidak puas dalam studi ini diklasifikasikan ke dalam tipe stable customer dissatisfaction. Pertama, harapan-harapan yang tidak terpenuhi cenderung menyebabkan hubungan antara pasien dan pihak rumah sakit diwarnai emosi negatif dan kedua, informan bersikap pasif, menerima begitu saja setiap keadaan yang mereka alami. Menurut Straus dan Neuhaus, sikap pasif ini disebabkan mereka pesimis akan terjadi perubahan dan perbaikan dalam pelayanan. Dalam konteks studi ini, pendapat Straus dan Neuhaus tersebut − untuk sementara waktu − dapat diterima, mengingat dalam anggapan sebagian besar informan, pelayanan yang mereka terima merupakan konsekuensi atas penggunaan Jamkesmas atau perawatan secara cuma-cuma. Hal yang tidak bisa dihindari, meskipun maksud pelayanan kesehatan gratis (cuma-cuma) bukan untuk mengecilkan ataupun menurunkan mutu layanan kesehatan, namun anggapan bahwa pelayanan gratis identik dengan pelayanan kesehatan kualitas kelas dua yang diberikan institusi pelayanan kesehatan pemerintah sudah sejak lama melekat di hati masyarakat (Hardiyansyah, 2011:108). Namun demikian, hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai faktor tunggal penyebab pasien bersikap pasif dalam menuntut perbaikan pelayanan. Ada hal lain yang memerlukan kajian lebih lanjut, menimbang di setiap unit perawatan tidak ditemukan adanya kotak pengaduan maupun informasi mengenai hak-hak pasien. selain lembar pengumuman berukuran kecil yang ditemukan di ruang rawat inap anak bertuliskan tangan berisi sebaris kalimat: Apabila ada keluhan hubungi nomor ini (tertera nomor telefon seluler yang dapat dihubungi). Informasi tersebut 10
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 tidak mudah terbaca karena berukuran kecil dan diletakkan di tempat yang kurang strategis. Fenomena ini ini memberi kesan bahwa pihak rumah sakit tidak bersungguh-sungguh membuka diri untuk menerima pengaduan masyarakat. Bagi pasien pengguna Jamkesmas − yang secara sosial, ekonomi, maupun pendidikan dalam kategori masyarakat bawah − ketersediaan kotak pengaduan merupakan sarana yang harus ada, karena melalui media ini pengadu relatif lebih terjaga kerahasiaan jati dirinya. Berbagai literatur maupun hasil penelitian menyatakan bahwa pasien dalam kategori ini enggan untuk mengeluhkan pelayanan yang diterimanya karena takut mendapat perlakuan diskriminatif dari petugas pelayanan, mereka merasa tidak berdaya (powerless) di hadapan birokrasi pelayanan (Dwiyanto, 2010:148). Dalam konteks ini maka perlu dilakukan kajian terhadap sikap pasif pasien pengguna Jamkesmas dan golongan masyarakat miskin dalam penyelenggaraan pelayanan, khususnya pelayanan rawat inap, apakah mereka bersikap pasif karena didasari perasaan pesimistis birokrasi akan mengadakan perbaikan, mengingat pelayanan bersifat cumacuma; ataukah sikap pasif yang lebih dipicu oleh perasaan khawatir mendapatkan perlakukan diskriminatif apabila pasien melakukan pengaduan. Dari kajian di atas dapat dikemukakan bahwa berdasarkan klasifikasi tipe-tipe kepuasan maupun ketidakpuasan pasien rawat inap pengguna Jamkesmas di RSUD Kabupaten Indrmayu ditemukan dua tipe pasien yang cenderung bersikap pasif dalam menuntut perbaikan pelayanan, yakni pasien bertipe resigned customer satisfaction dan stable customer dissatisfaction. Namun ada hal mendasar yang membedakan sikap pasif dari kedua tipe tersebut.Sikap pasif yang mendasari tipe pertama adalah sikap mawas diri(selffulfilling) untuk tidak berharap lebih dari sekedar mendapatkan pertolongan. Menurut Dwiyanto (2010:115) masyarakat dalam kategori ini pada umumnya menganggap pelayanan publik merupakan kebaikan dan kedermawanan pemerintah atau negara, sehingga cenderung pasrah dan menerima apa adanya pelayanan dari pemerintah dan birokrasinya. Mereka pada umumnya kurang peduli terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara Wasistiono (2003:15) memandang hal tersebut dari aspek masih rendahnya kesadaran anggota masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara maupun sebagai konsumen, sehingga mereka cenderung menerima begitu saja layanan yang diberikan oleh instansi pemerintah, terlebih lagi apabila layanan yang diberikan bersifat cuma-cuma. Sementara tipe kedua, stable customer dissatisfaction, yakni pasien bersikap pasif didorong perasaan pesimistis bahwa pihak rumah sakit akan melakukan perbaikan ke depan. Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa ditemukan pengaduan pasien inap peserta Jamkesmas, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Pada umumnya pengaduan ditujukan pada aspek ketidakramahan petugas medis (khususnya ruang rawat kebidanan) dan petugas kebersihan. Rendahnya jumlah pengaduan seyogyanyatidak lantas diartikan oleh pihak penyelenggara bahwa pasien merasa terhadap pelayanan, karena dari hasil wawancara, sebagian besar informan justru menjawab merasa tidak/kurang puas. Selanjutna ketika diajukan pertanyaan apakah pernah mengadukan hal-hal yang menyebabkan ketidakpuasan mereka, beberapa informan menjawab tidak pernah, karena tidak tahu mekanisme ataupun prosedur pengaduan dilakukan, bahkan ada yang menjawab: “Percuma saja malah beresiko.” Dari jawaban informan tersebut dapat disimpulkanbahwa tidak semua pasien yang merasakan ketidakpuasan akan berlaku pasif bila saja pihak manajemen menyediakan kotak layanan pengaduan disertai jaminan keamanan terhadap mereka dari ancaman yang bersifat sosial maupun psikologis. Dalam hal ini dimungkinkan muncul pasien bertipe demanding customer dissatisfaction, yakni pasien yangbercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku demanding, di mana pada tingkat emosi ketidakpuasan mereka melakukan protes dan oposisi dalam menuntut perbaikan. Dengan demikian, tidak ditemukannya pengaduan dari pasien kalangan masyarakat miskin tidak lantas disikapi oleh pihak rumah sakit dengan perasaan puas bahwa penyelenggaraan pelayanan yang diberikan telah baik dan dianggap sebagai kondisi normal. Sejatinya, sikap aktif pasien kalangan masyarakat miskin justeru sangat dibutuhkan sebagai feedback dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan. Sesungguhnya feedback adalah pengalaman berharga yang direfleksikan pasien (Anwar, 2010:51). Untuk itu, apabila pihak rumah sakit bersungguh-sungguh mengkedepankan kualitas pelayanan, maka pengaduan dan ketidakpuasan atas pelayanan harus disikapi secara objektif disertai keseriusan dalam melayani pengaduan tersebut, serta bersikap transparan dalam menjelaskan bagaimana pengaduan ditindaklanjuti. Selain itu, hal penting lain yang harus diperhatikan oleh pihak RSUD Kabupaten Indramayu adalah adanya jaminan keamanan − baik sosial maupun psikologis − bagi pasien kalangan miskin yang mengemukakan keluhannya,
FISIP UNWIR Indramayu
11
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 menimbang mereka merupakan kelompok yang rentan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparatur penyelenggara layanan. Sikap pasif dari pasien golongan miskin dalam menuntut perbaikan kualitas pelayanan, apapun alasan yang melatarbelakanginya, akan menyebabkan rendahnya kontrol sosial golongan masyarakat ini terhadap kinerja rumah sakit, sehingga pihak rumah sakit tidak berusaha untuk melakukan perbaikan. Hal ini berimplikasi terhadap rendahnya kualitas pelayanan rumah sakit. Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan sesuai tujuan yang akan diwujudkan yakni “Memberikan Pelayanan Prima kepada Masyarakat yang Berkunjung,” pihak manajemen RSUD Kabupaten Indramayu hendaknya bersungguh-sungguh dalam menanggapi keluhan masyarakat dan semaksimal mungkin dalam melakukan berbagai upaya perbaikan kinerja pelayanan, menimbang bahwa pelayanan publik yang prima dinilai dari proses dan produk pelayanannya (Sinambela, 2008:6). Aspek proses meliputi SDM aparatur, mekanisme, serta sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses, sedangkan aspek produk pelayanan menyangkut jenis, kualitas, dan kuantitas produk pelayanannya.Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik melalui pelayanan prima mengandung makna menutup kesenjangan antara persepsi pemberi layanan dan pengguna layanan akan proses dan hasil layanan. Dalam konsep pelayanan publik yang berlaku saat ini di mana masyarakat pengguna layanan diposisikan tidak sekedar kustomer melainkan sebagai warga negara yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang yang berlaku, sikap penyelenggara pelayanan yang cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat akan sangat merugikan, tidak hanya dalam perspektif bisnis akibat tingginya tingkat persaingan, namun juga kerugian bagi pemerintah daerah. Bagaimanapun, sepanjang proses pelayanan yang dilakukan, pemerintah membutuhkan kepercayaan dari rakyat dalam melegitimasi dan memobilisasi kekuasaan yang diperoleh secara otoritatif yang diwujudkan melalui janji-janji politik (Napitupulu,3007:186). Dalam hal ini rakyat akan memberikan respons positif, berwujud dukungan terhadap pemerintah ini jika kebutuhan, kepentingan, motivasi, dan keinginannya terpenuhi; sebaliknya, jika ternyata berbagai kebutuhan dan kepentingan rakyat diabaikan dan janji tidak ditepati serta pemerintah berperilaku bertentangan dengan apa yang telah dijanjikan atau melanggar norma sosial yang disepakati, rakyat akan mengubah sikap dan perilakunya dari yang positif menjadi negatif. Hal ini yang selalu harus diperhatikan oleh pihak RSUD Kabupaten Indramayu, menimbang kesehatan adalah pelayanan publik yang bersifat dasar dan RSUD merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Program penjaminan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu dengan nomenklatur Jamkesmas yang telah berjalan sejak tahun 2008 (sebelumnya Askeskin) ini sejak tanggal 1 Januari tahun 2014 telah menjadi bagian dari program Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN BPJS) bersama program-program asuransi kesehatan lain yang diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam konteks perubahan ini, pada saat penelitian dilakukan RSUD Kabupaten Indramayu masih menjalani proses transisi. Pada masa transisi tersebut, RSUD Kabupaten Indramayu masih menerima kunjungan pasien rawat inap yang memegang kartu Jamkesmas. KESIMPULAN Dari hasil kajian terhadap kualitas pelayanan rawat inap peserta Jamkesmas pada RSUD Kabupaten Indramayu dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Terdapat 3 (tiga) dimensi pelayanan yang banyak mendapat keluhan pasien, yaitu: (1) dimensi tangible yang ditujukan pada aspek: fasilitas ruang tunggu perawatan, kondisi kamar mandi di beberapa ruang rawat inap, dan ketenangan waktu istirahat pasien; (2) dimensi assurance yang ditujukan pada aspek keramahan dan sopan santun petugas; dan (3)dimensi responsiveness yang ditujukan pada kekurangtanggapan petugas ketika bantuan medis. 2) Ditemukan sejumlah pasien yang merasa puas terhadap pelayanan RSUD Kabupaten Indramayu walaupun jumlahnya tidak sebanyak yang merasa tidak puas. Pasien yang merasa puas terbagi menjadi dua tipe, yaitu: demanding customer satisfaction, yaitu pasien merasa puas karena pelayanan rumah sakit sesuai dengan harapannyadan resigned customer satisfaction yaitu pasien merasa puas bukan karena pelayanan telah memenuhi ekspektasi tetapi lebih didasarkan pada kesan tidak realistis untuk berharap mendapatkan pelayanan yang lebih baik karena dalam pandangan mereka, pelayanan yang mereka dapatkan bersifat cuma-cuma. Sedangkan pasien yang merasa tidak puas memiliki tipe stable customer dissatisfaction, yaitu pasien tidak puas, namun cenderung bersikap pasif dalam menuntut perbaikan. Pasien yang merasa tidak puas berpotensi
12
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 menyebabkan word of mouth negatif yang dapat merugikan citra lembaga di mata publik Indramayu. SARAN 1) Pihak manajemen RSUD Kabupaten Indramayu hendaknya lebih serius melakukan berbagai peningkatan kualitas pelayanan, menimbang berdasarkan hasil studi ini sebagian besar informan masih mengeluhkan kualitas pelayanan terutama ditujukan pada beberapa dimensi kualitas pelayanan di atas. Dalam hal ini pasien bertipe resigned customer satisfaction belum dapat dijadikan parameter bagi pihak penyelenggara layanan untuk mengklaim bahwa kualitas pelayanan yang diselenggarakan telah baik. Mereka merasakan puas didorong rasa mawas diri dengan kondisi sosial ekonomi kehidupan mereka. Selain itu, rendahnya penganduan dikonstatasikarena banyak pasien rawat inap peserta Jamkesmasbertipe stable customer dissatisfaction, yaitu pasien merasa tidak puas terhadap pelayanan, namun cenderung bersikap pasif dalam menuntut perbaikan. Pasien tipe terakhir ini memiliki potensi word of mouth negatif yang dapat merugikan citra lembaga di mata publik Indramayu. 2) Pihak manajemen hendaknya lebih proaktif dan responsif terhadap pengaduan masyarakat. Dalam hal ini perlu: - secepatnya disediakan kotak pengaduan di setiap ruang perawatan atau unit pelayanan - mensosialisasikan mekanisme ataupun prosedur pengaduan yang dapat menjamin keamanan pasien dari berbagai tekanan sosial maupun psikologis. Hal yang harus dipahami penyelenggara layanan adalah pengaduan merupakan refleksi dari sikap aktif masyarakat yang sangat dibutuhkan sebagai feedback dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo, 2008. Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta. Anwar, M. Khoirul, 2010. Citizens Character dan Citizens Report Card dalamPeningkatan Pelayanan Publik dalam Menuju Pelayanan Prima: Konsep dan Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Malang : Averroes Press. Creswell, John W., 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (alih bahasa Achmad Fawaid). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. _______, 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Ernawan, Erni, 2011. Organizational Culture. Budaya Organisasi dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis.Bandung : Alfabeta. Hardiyansyah, 2011. Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator, dan Implementasinya. Yogyakarta : Gava Media. Ibrahim, Amin, 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik serta Implementasinya. Bandung: Mandar Maju. Kumorotomo, Wahyudi, 2008. Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa pada Masa Transisi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mas’oed, Mochtar, 2003. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Jogyakarta : Pustaka Pelajar. Miles, B. Matthew dan Huberman, Michel A., 1992. Analisis Data Kualitatif (alih bahasa: Tjetjep Rohendi). Jakarta : UI Press. Napitupulu, Paimin. 2007. Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction. Bandung: PT. Alumni. Ndraha, Taliziduhu, 2000. Kybernologi: Sebuah Konstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta Rasyid, Muhammad Ryaas, 1996. Pengembangan Aparatur Pemerintah Daerah dalam Menyongsong Era Otonomi Daerah. Jakarta: Jurnal MIPI Edisi Ketiga. Rewansyah, Asmawi, 2011. Kepemimpinan dalam Pelayanan Publik. Jakarta: STIA- LAN Press. Sinambela, Lijan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
FISIP UNWIR Indramayu
13
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Suhartono, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. Bandung: Alfabeta Tjiptono, Fandi dan Gregorius Candra, 2007. Service Quality and Satisfaction. Jogyakarta: Andi Offset. Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus Media. Widianingrum, Ambar, 2009. Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan dalam Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia (Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto. Ed.). Yogyakarta: Gava Media. Zeithaml, V.A,. Parasuraman, and L.L Berry, 1990. Delivering Quality Service. New York: The Free Press. Dokumen-dokumen: Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur NegaraNo.63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Sumber-sumber Lain: Abdul Barrri, Ucu, 2010. UU No. 25 Tahun 2009: Mungkinkah Mewujudkan Pelayanan yang Berkeadilan? Available at: http://hmjanfisipunsoed.blogspot.com/ Kusuma, Agung Teja, 2009. Definisi Kepuasan Pelanggan. Available at: http//agungteja. blogspot.com/ Udansyah, Deece, 2008.Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Menuju “Good Governance.” Wawasan Tridharma, vol 12, no.6, Desember 2008.
Kebijakan Kesehatan yang Berpihak pada Masyarakat Miskin (Pro Poor Health Policy). Available at:http://www.puskesmascarita.com/imagestories/tentangjamkesmas Berbagai Rumah Sakit Belum Ramah Pasien Miskin. Available at: http://www. menkokesra.go.id/ (diakses Maret 2010). DPRD Usulkan RSUD Jadi Swasta. Available at: http://www.koran-sindo.com/node/347242
Pelayanan RSUD Masih Buruk, DPRD Minta Kebijakan Manajemen Segera Ditingkatkan. Available at:http://www.koran-sindo.com/node/308859
14
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MELALUI MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN DALAM RANGKA OPTIMALISASI OTONOMI DAERAH Oleh : Ismanudin, M.Si*) ABSTRAK. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang berlandaskan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerahdengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.Dengan diberlakunnya pula Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,maka proses perencanaan pembangunan daerah dilakukan melalui Musrenbang sesuai tingkatan pemerintahan. Tulisan ini membahas kajian teoritas menurutmodel implementasi kebijakan yang dikembangkan George C. Edward III yang meliputi 4 (empat) variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Kata Kunci: Kebijakan Pemerintah, Implementasi kebijakan Pemerintah, dan Perencanaan Pembangunan.
A. PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai, salah satunya dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Dewasa ini, termasuk Pemerintah Indonesia terus melakukan upaya pembangunan tersebut, baik melalui pembangunan nasional maupun pembangunan daerah yang diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah. Implementasi kebijakan otonomi daerah dimaksud berlandaskan atas Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konteks kebijakan otonomi daerah, pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, dalam aspek pembiayaannya didasarkan atas Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sementara itu, sesuai tuntutan lingkungan strategis pemerintahan maupun global, upaya reformasi dalam sistem perencanaan pembangunan dilakukan secara terus-menerus, termasuk berubahnya mekanisme perencanaan pembangunan yang sebelumnya bercorak sentralisitik menjadi ke arah desentralisasi. Namun demikian, proses implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah secara keseluruhan guna menghasilkan suatu pelaksanaan pembangunan yang efektif yang didasari dengan perencanaan yang lebih memadai (ideal) belum tercapai secara optimal. Dengan kata lain, belum efektifnya kinerja perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang dalam mendukung pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri maupun pembangunan nasional selama ini.
------------------*) Makalah dipresentasikan dalam Seminar Bersama Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial BKU Ilmu Administrasi Publik Fakultas Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung – Fakulti Sains Pentakbiran dan Pengajian Polisi University Teknologi Mara (UTM) di Malaysia, tanggal 18 Februari 2014. FISIP UNWIR Indramayu
15
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Dalam proses perencanaan pembangunan maupun pelaksanaan rencanannya dalam berbagai tingkatan pemerintahan, di samping adanya pelibatan pemerintah, dan sektor swasta, juga adanya peningkatan partisipasi masyarakat yang dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota hingga di tingkat nasional melalui proses Musyawarah Renncana Pembangunan (Musrenbang). Partisipasi masyarakat sesuai kewenangannya dalam perencanaan pembangunan tersebut, dimaksudkan untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaandan penganggaran, pelaksanaan pembangunan, serta pengawasan pembangunan di semua tingkatan pemerintahan. Dalam konteks optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah, selain perlunya pelibatan pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat secara efektif sesuai kewenangannya, baik dalam proses perencanaan pembangunan maupun pelaksanaan perencanaannya di satu sisi, disisi lainnya agar pembangunan daerah ke depan perlu terus dilakukan secara lebih terarah, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan konsep perencanaan jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek (tahunan) secara konsisten dan terukur dengan memperhatikan berbagai aspek,sepertiaspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, maupun aspek lainnya dengan prioritas kebijakan dan program yang tepat seperti penanggulangan kemiskinan dan mengurangi pengangguran, berpihak kepada rakyat serta pembangunan pedesaan yang berbasis pertanian, industri kecil dan menengah, dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia serta sesuai potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Proses implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang perlu diketahui efektivitas maupun kinerjanya. Dalam makalah ini, perumusan masalahnya adalah: “Bagaimana kinerja implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang tersebut cukup efektif atau tidak, terutama dalam mendukung kualitas perencanaan pembangunan daerah itu sendiri maupun pembangunan nasional selama ini?”. Untuk itu, makalah ini akan membahas: (1) Bagaimana konsep dan teori kebijakan pemerintah?; (2) Bagaimana konsep kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang?; (3) Bagaimana implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang selama ini?. Urutan pertanyaan dalam makalah ini sekaligus menunjukkan urutan dalam pembahasannya. B. KONSEP DAN TEORI KEBIJAKAN PEMERINTAH. 1. Pengertian Kebijakan Pemerintah. Menurut Thomas R. Dye (dalam Lubis, 2007:6) menyebutkan bahwa “kebijakan sebagai pilihan Pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (“to do or not to do”). Sedangkan Lasswell dan Kaplan (dalam Islamy, 2000:17) bahwa kebijakan adalah sebagai “a projected program of goals, values and practices” (“Suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah”). Friedrick (dalam Abidin, 2004:20-21) menyatakan bahwa “Kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau kelompok orang atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”. Kemudian Friedrick juga memerinci apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan, yaitu adanya: a) tujuan (goal), b) sasaran (objektives), dan c) kehendak (purpose). Sementara Anderson (dalam Islamy, 2000:17) bahwa kebijaksanaan itu adalah “A purposive cource of action fpllowed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of cancern” (“Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”). Kemudian Easton (dalam Islamy, 2000:19) memberi arti kebijakan sebagai “the authoritative allocation of values for the whole society”. (“pengalokasian nilai-nilai secara paksa (syah) kepada seluruh anggota masyarakat”). Berdasarkan pengertian-pengertian kebijakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah pada hakekatnya adalah suatu keputusan Pemerintah untuk melakukan tindakan ataupun tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu, guna mencapai tujuan tertentu. Dalam kontek pemerintahan daerah, maka kebijakan Pemerintah Daerah adalah semua keputusan yang telah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah untuk mencapai tujuan tertentu.
16
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 2. Implementasi Kebijakan Pemerintah. Pada dasarnya setiap usulan suatu kebijakan telah diterima, dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka kebijakan pemerintah tersebut telah siap untuk diimplementasikan. Implementasi kebijakan pada hakekatnya merupakan serangkaian kegiatan yang terencana, sistematis dan bertahap yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait sesuai dengan garis-garis ketentuan yang tertuang dalam suatu kebijakan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Tachyan (2006:vi) bahwa “implementasi kebijakan pemerintah (publik) merupakan proses yang kompleks, melibatkan dimensi organisasi, kepemimpinan, dan manajerial dari pemerintah sebagai pemegang otoritas”. Bahkan tidak jarang bermuatan politis karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan (Agustino, 2006:153). Menurut Udoji (dalam Wahab (2008:59) mengatakan ”the execution of poilicies is as important if not more important that policy making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Sementara itu, Van Metter dan Van Horn (dalam Wahab, 2008:65) merumuskan proses implementasi sebagai berikut: “those actions by public or private individuals (or groups) tgat are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individuindividu/pejabat/pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan mengarahkan pemahaman kepada sejauhmana tindakan para pelaksana sesuai dengan prosedur, dan tujuan kebijakan yang telah digariskan oleh pembuat kebijakan. Fokus perhatian tersebut membawa konsekuensi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisien dan efektivitas pelaksanaan dari suatu kebijakan pemerintah. Selanjutnya, menurut Van Metter dan Van Horn (dalam Agustino, 2008: 142-144), terdapat 6 (enam) variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu: 1) Ukuran dan Tujuan Kebijakan. 2) Sumberdaya. 3) Karakteristik agen pelaksana. 4) Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana. 5) Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana. 6) Lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Kemudian menurut model implementasi kebijakan yang dikembangkan George C. Edward III yang dinamakan “Direct and Indirect Input on Implementation” terdapat 4 (empat) variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijkan, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Sedangkan menurut Hoogerwerf, (1983:157) terdapat tiga unsur penunjang keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu (a) adanya kebijakan yang akan dilaksanakan, (b) targets groups, dan (c) unsur-unsur pelaksana yang bertanggung jawab. Adapun ketagori kegagalan suatu kebijakan, menurut Wahab (1997:61) yaitu bila tidak diimplementasikan (non implementation), bahwa kebijakan tidak dilaksanakan sesuai rencana; dan implementasi yang tidak berhasil (unsuccesfull implementation), bahwa kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana, namun faktor eksternal tidak menguntungkan. Ditambahkan menurut Wahab (1997:95) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan meliputi: a) Kondisi sosio ekonomi dan teknologi; b) Dukungan publik; c) Sikap dan sumber yang dimiliki kelompok; d) Dukungan dari pemerintah pusat; e) Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana. Di samping itu, keberhasilan suatu kebijakan ditentukan pula oleh dukungan dan partisipasi masyarakat. Menurut Islamy (2000:107), bahwa kebijakan pemerintah akan menjadi efektif, bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota masyarakat.
FISIP UNWIR Indramayu
17
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 C. KONSEP KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN MELALUI MUSRENBANG. Pengertian perencanaan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah “suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia“ Sedangkan pengertian pembangunan daerah itu sendiri, menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, disebutkan bahwa: Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3) juga ditegaskan pengertian perencanaan pembangunan daerah sebagai berikut: Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Penyusunan perencanaan, dan proses pembangunan merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam tahap penyusunan perencanaan, proses pelaksanaan pembangunan yang nantinya akan terjadi dalam periode perencanaan tersebut diperkirakan akan sesuai dengan kerangka perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Dengan demikian, perencanaan merupakan jawaban sementara atas persoalan-persoalan pembangunan yang dihadapi masyarakat. Aspek perencanaan, termasuk dalam perencanaan dibidang pembangunan daerah, perlu dilakukan sebelum kegiatan pokok/utama dilakukan yaitu berupa pelaksanaan rencana pembangunan daerah sesuai bidangnya masing-masing. Dengan demikian, tanpa adanya perencanaan yang efektif, dikuatirkan suatu program/kegiatan pembangunan daerah kurang dapat dilakukan secara efektif, efisien dan akuntabel serta berkelanjutan. Karena itu pula, perencanaan adalah selain sebagai alat pembangunan, dan juga sebagai alat dalam penganggaran maupun sebagai alat evaluasi. Menurut Albert Waterston (dalam Turner dan Holme, 1997:132) bahwa pada hakekatnya “perencanaan adalah usaha yang dilakukan secara sadar, terorganisir, dan terus menerus memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu”. Menurut Siagian (2003:88) perencanaan didefenisikan “sebagai keseluruhan proses pemikiran, dan penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan”. Sementara itu menurut Tjokroamidjojo (1995:12) merumuskan arti dan fungsi perencanaan pembangunan sebagai berikut: a) Perencanaan dalam arti yang seluas-luasnya adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. b) Suatu cara bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya (maximum output) dengan sumbersumber yang ada supaya efektif dan efisien. Kemudian dijelaskan pula Tjokroamidjojo (1995:14) bahwa di dalam perencanaan pembangunan, perlu diketahui lima hal pokok yaitu: Pertama, adalah permasalahan-permasalahan pembangunan suatu masyarakat yang dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan, dalam hal ini sumber-sumber daya ekonomi, dan sumber-sumber daya lainnya, Kedua, adalah tujuan serta sasaran rencana yang ingin dicapai. Ketiga, adalah kebijakan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-sumbernya, dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik. Keempat, penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha yang kongkrit. Kelima, adalah jangka waktu pencapaian tujuan. Selanjutnya Tjokroamidjojo (1995:57) juga menegaskan secara umum bahwa unsur-unsur pokok yang terdapat dalam perencanaan pembangunan adalah: a. Kebijakan atau starategi dasar rencana pembangunaan, disebut juga sebagai arah, tujuan dan prioritas pembangunan, meliputi pula sasaran pembangunan. Unsur ini merupakan dasar dari semua rencana yang kemudian dituangkan ke dalam unsur-unsur perencanaan. 18
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 b. Perkiraan sumber-sumber pembangunan, yaitu sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang juga sangat penting diketahui dalam penyusunan perencanaan pembangunan. c. Adanya kerangka rencana, disebut juga kerangka makro rencana, dalam kerangka ini dihubungkan berbagai variabel-variabel pembangunan serta implikasi hubungan tersebut. d. Uraian tentang kerangka kebijaksanaan yang konsisiten, berbagai kegiatan perlu dirumuskan dan dilaksanakan, dan juga kebijakan-kebijakan pembangunan tersebut satu sama lain harus serasi dan konsisiten. Kebijaksanaan dalam hal ini meliputi kejakan fiskal, penganggaran, kebijakan moneter, serta berbagai kegiatan sektoral lainnya. e. Program investasi, program ini dilakukan secara sektoral seperti bidang pertanian, industri, pertambangan, pendidikan dan sebagainya. Program investasi secara sektoral ini dilakukan bersamaan dengan penyusunan sasaran-sasaran rencana, dilihat dari pembinaan ekonomi dan pembangunan diserasikan dengan kemungkinan biaya secara wajar. f. Administrasi pembangunan, hal ini penting dalam proses perencanaan karena diperlukan suatu administrasi negara yang mendukung usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tersebut. Sementara itu, Kartasasmita (1994:59) memberikan pengertian pembangunan itu sendiri yaitu “sebagai suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.Dengan demikian, tujuan pembangunan yang hendak dicapai adalah peningkatan taraf hidup masyarakat dan penggunaan sumber-sumber daya sesuai potensi daerahnya. Berdasarkan defenisi-definisi tersebut di atas terdapat 4 (empat) elemen dasar perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Arsyad (dalam Robinson, 2002: 5) yaitu : a) Merencanakan berarti memilih; b) Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya; c) Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan; d) Perencanaan adalah berorientasi ke masa depan. Selanjutnya menurut Alexander Abe (2001:72), bahwa “perencanaan adalah kegiatan masyarakat dan organisasi untuk mengembangkan strategi yang optimal terkait tindakan tim ke masa depan untuk mencapai seperangkat tujuan yang diimpikan, guna mengatasi permasalahan yang nyata dalam konteks yang kompleks, dan didukung oleh keuangan dan keinginan untuk mengalokasikan sumber daya serta bertindak sesuai yang diperlukan”. Oleh karenanya, dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah perlu juga diperhatikan sumber-sumber daya yang tersedia atau potensi-potensi wilayah, baik yang menyangkut sumber daya alam, maupun sumberdaya aparatur yang mengelolanya serta memperhatikan kemampuan anggaran untuk membiayai berlangsungnya proses pembangunan tersebut. Dalam kontek implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang, sesuaipasal 14 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, ditegaskan bahwa: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) menyiapkan rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah terpilih yang penyusunannya berpedoman kepada Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Sehubungan dengan itu, perlunya disusun dokumen RPJMD yang menjadi landasan hukum bagi perencanaan anggaran pembangunan daerah,termasuk Daerah Kabupaten/Kota dalam bidang ekonomi, infrastruktur, dan sosial budaya yang sifatnya sistematis, terukur, konfrehensif, transparan dan akuntabel berdasarkan proses dalam suatu Musrenbang.Musrenbang pada dasarnya adalah mekanisme perencanaan pembangunan yang bersifat button-up. Dengan mekanisme ini diharapkan adanya keterlibatan masyarakat sejak awal dalam proses pembangunan. Musrenbang dilakukan secara bertingkat mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai Nasional. Fungsi Musrenbang ini adalah wadah silaturrahmi antara masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah, antara masyarakat dengan stakeholders lainnya. Dasar penyelenggaraan Musrenbang dalam setiap tahun anggaran yang akan berjalan, mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat nasionalberlandaskan atas amanat peraturan perundang-undangan terkait tentang pemerintahan daerah, dan pengelolaan keuangan negara/daerah, dan lebih khusus lagi terkait dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Adapun peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
FISIP UNWIR Indramayu
19
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Daerah.Dalam garis besarnya mengenai mekanisme waktu pelaksanaan Musrenbang diatur sebagai berikut: 1) Musrenbang tingkat Desa/Kelurahan dilaksanakan sepanjang bulan Januari, dan paling lambat akhir bulan Januari seluruh Desa/Kelurahan telah melaksanakannya. 2) Musrenbang tingkat Kecamatan dilaksanakan sekitar bulan Februari dan paling lambat akhir minggu ke 3 bulan Februari seluruh Kecamatan sudah selesai melaksanakan Musrenbang Kecamatan. 3) Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)/Gabungan SKPD Kabupaten dilaksanakan antara minggu ke 2 bulan Februari sampai dengan minggu ke 1 bulan Maret. 4) Musrenbang tingkat Kabupaten dilaksanakan sepanjang bulan Maret. 5) Musrenbang tingkat Pusat dilaksanakan pada akhir bulan Maret. 6) Forum SKPD/Gabungan SKPD Propinsi dilaksanakan paling lambat minggu ke 2 bulan Maret. 7) Musrenbang tingkat Propinsi dilaksanakan paling lambat akhir bulan Maret. 8) Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) dilaksanakan pada akhir bulan April. Selanjutnya untuk hasil perencanaan yang optimal, masyarakat harus menyampaikan skala prioritas kegiatan pembangunan dalam proses perencanaan pembangunan di seluruh tingkatan pemerintahan (Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional) dan perlu diimbangi dengan konsultasi inklusif pihak eksekutif dan legislatif serta stakeholders non pemerintah yang berpengaruh langsung terhadap isu dan permasalahan pembangunan di dalam forum Musrenbang. Kemudian dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tersebut di atas, menegaskan bahwa: “perencanaan pembangunan daerah dilakukan pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing”. Dalam kaitan itu, terdapat 3 (tiga) komponen pemangku kepentingan (stakeholders) yang sekaligus merupakan pilar penunjang pembangunan daerah, yaitu pemerintah daerah, swasta dan masyarakat. Pelibatan komponen-komponen tersebut dalam perencanaan pembangunan dimaksudkan untuk tercapainya tujuan dan sasaran perencanaan pembangunan di berbagai tingkatan pemerintahan. Selain itu, agar mekanisme perencanaan pembangunan daerah optimal, diharapkan dalam perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan berkelanjutan. D. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SELAMA INI. 1. Kinerja Impementasi Kebijakan tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan pemerintah tentang perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang dalam tulisan ini adalah model implementasi kebijakan yang dikembangkan George C. Edward III. Dalam pendekatan model ini, terdapat 4 (empat) variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Secara garis besarnya, kinerjaimplementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang selama ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Komunikasi. Aspek komunikasi tampaknya merupakan variabel yang cukup penting dan mempengaruhikeberhasilan implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah selama ini. Komunikasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses perencanaan pembangunan melalui Musrenbang terutama dari pihak pemerintah dengan pemangku kepentingan lainnya (stakeholders), dalam hal ini misalnya dengan pihak sektor swasta maupun masyarakat sudah cukup baik. Masing-masing pihak setidaknya sudah cukup memahami dan mengetahui yang harus mereka kerjakan terkait dalam perencanaan pembangunan tersebut. Selain itu kebijakan yang akan dikomunikasikan pun terlihat sudah cukup tepat, meskipun demikian segi keakuratan informasi maupun konsistensi yang perlu ditingkatkan terus. Aspek komunikasi tampaknya telah disadari begitu penting oleh para pihak terkait tersebut, sehingga para pembuat keputusan dan para implementator akan semakin konsisten dalam melakukan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.
20
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Dilihat dari indikator transmisi, bahwa penyaluran komunikasi terlihat juga sudah cukup baik, meskipun masih dimungkinkan terjadinya mis-komunikasi, hal ini karena komunikasi terjadi melalui beberapa tingkatan birokrasi pemerintahan, sehingga apa yang diharapkan bisa jadi terdistorsi di tengah jalan. Sementara indikator kejelasan, bahwa komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan tersebut sudah cukup jelas dan tidak membingungkan. Begitu pula dengan indikator konsistensi, bahwa perintah yang diberikan dalam pelaksanaan komunikasi sudah cukup konsisten dan cukup jelas. 2) Sumber daya. Dilihat dari variabel sumber daya terlihat secara keseluruhan telah mendukung dalam implementasi kebijakan ini. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu (1) staf pelaksana, (2) informasi, (3) wewenang dan (4) fasilitas. Unsur staf pelaksana tampaknya merupakan sumber daya utama dalam implementasi kebijakan ini. Hal yang ditemukan di beberapa daerah yaitu masih terbatasnya jumlah staf yang memadai, di samping kurangnya kompetensi mereka khususnya dibidang perencanaan. Upaya penambahan staf sebagai implementator kebijakan masih perlu terus dilakukan, di samping diperlukan upaya kecukupan staf pelaksana dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan. Meskipun demikian adanya utusan atau delegasi yang menjadi wakil dalam pelaksanaan Musrenbang tingkat berikutnya sangat membantu bagi staf pelaksana baik dalam perumusan maupun pengambilan keputusan dalam setiap tingkatan Musrenbang. Terkait dengan aspek informasi yang dibutuhkan dalam implementasi kebijakan ini, tampak bahwa informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan, secara umum pelaksana kebijakan sudah mengetahui yang mereka harus lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan, namun demikian mengenai informasi data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan, rata-rata implementator kurang mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum atau tidak. Dalam aspek wewenang, pada umumnya kewenangan yang dimiliki para implementator bersifar formal, sehingga berbagai perintah yang diterimanya dapat dilaksanakan secara baik sesuai kewenangan yang dimilikinya. Namun demikian efektivitas kewenangan masih tetap diperlukan, agar kewenangan yang dimilikinya tidak diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Begitu pula telah adanya aspek fasilitas yang cukup mendukung, baik berupa sarana maupun prasarana lainnya dalam mendukung implementasi kebijakan tersebut. 3) Disposisi. Dilihat dari variabel disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan, terlihat juga adanya sikap yang cukup mendukung dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut karena selain para pelaksana kebijakan tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga memiliki kemampuan meskipun masih cukup terbatas untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya tidak menjadi bias. Namun demikian, dilihat dari indikator segi pengangkatan birokrat, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mepertimbangkan personil yang mempunyai dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan. Sementara itu, untuk mengatasi kecenderungan para pelaksana sudah dilakukan memanipulasi insentif, dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu yang diharapkan menjadi faktor pendorong agar para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini terlihat misalnya dari adanya pos anggaran daerah, khusnya untuk biaya perencanaan yang cukup besar dalam setiap tahun anggaran yang akan berjalan. 4) Struktur Birokrasi. Birokrasi sebagai pelaksana kebijakan tentang perencanaan pembangunan daerah secara umum telah dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan, dengan jalan melakukan koordinasi. Namun demikian, secara umum koordinasi yang dibangun secara umum masih kurang efektif. Meskipun demikian terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi tersebut yaitu melakukan standard operating prosedures (SOPs), dan melaksanakan fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat FISIP UNWIR Indramayu
21
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 untuk melaksanakan kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sedangkan pelaksanaan pragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitasaktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja. 2. Beberapa Permasalahan dalam Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah. Dengan berubahnya mekanisme perencanaan pembangunan pada era otonomi daerah, telah membawa implikasi terhadap program perencanaan pembangunan daerah. Seperti diuraikan sebelumnya, permasalahan utama pada saat ini bahwa proses perencanaan pembangunan secara keseluruhan guna menghasilkan suatu pelaksanaan pembangunan yang efektif yang didasari dengan perencananaan yang lebih memadai belum tercapai (Solihin dan Semendawai, 2013:54). Perencanaan pembangunan daerah yang efektif pada hakekatnya adalah serangkaian tingkat keberhasilan dalam perencanaan pembangunan maupun pelaksanaan rencananya dalam mencapai sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan pembangunan secara efektif, efisisen dan berkelanjutan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya sesuai potensi dan permasalahan yang ada. Berkaitan dengan permasalahan di atas, Solihin dan Semendawai (2013:54-55), menyebutkan bahwa kondisi yang dijumpai, baik di Pusat maupun di Daerah adalah sama. Hal tersebut diantaranya dalam pembahasan usulan program/kegiatan tiap kementerian/ lembaga belum terlihat adanya koordinasi yang efektif. Masing-masing kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri, padahal dapat dipastikan bahwa akan selalu ada keterkaitan antar satu dengan kementerian/lembaga lainnya untuk mencapai efektivitas pencapaian sasaran bersama. Disamping itu, masih banyak ditemukan berbagai program kementerian/lembaga yang turun ke daerah tidak sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan aspirasi daerah yang tertuang dalam RKPD masing-masing Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Selain itu juga disebutkan bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang ada sekarang, tidak matching dengan tuntutan global.Maka dalam era desentralisasi ini diwarnai dengan banyaknya perubahan dari peraturan perundang-undangan serta lahirnya undang-undang baru. Hal lain yang terkait dengan produk hukum, adalah lemahnya koordinasi lintas sektor dan kebutuhan mndesak akan suatu produk hukum sering menimbulkan inkonsistensi antar produk hukum satu dengan lainnya. Sebagai contoh, pengaturan RPJMD, dalam Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional mengamanatkan bahwa “RPJMD ditetapkan berdasarkan Peraturan Kepala Daerah, sedangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, RPJMD ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Hal tersebut telah menimbulkan disharmoni antara pemerintah daerah dengan DPRD terutama di Kabupaten/Kota. Selanjutnya kualitas sumber daya manusia, khususnya pada bidang perencanaan juga masih terbatas.Dalam hal ini diperlukan sumber daya manusia yang memiliki spesifikasi atau keahlian dibidang perencanaan, karena dapat memainkan peran penting dalam memberikan saran-saran penyusunan rencana suatu kebijakan (policy making). Adapun permasalahan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah, antara lain terlihat dari masih belum optimalnya formulasi visi daerah, yang amat penting sebagai pedoman termasuk dalam implementasi pembangunan di daerahnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah menyebutkan bahwa “visi jangka panjang yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJP Daerah harus menjadi koridor dan arahan bagi visi tiap kepala daerah yang bersifat tahunan”. Selama ini visi-misi yang telah disusun dalam dokumen RPJP Nasional misalnya, telah dilakukan dengan melalui kajian mendalam.Berkaitan dengan itu, masing-masing daerah harus dapat menterjemahkan visi-misi tersebut sebagai pedoman dalam penyusunan dokumen RPJP Daerah maupun RPJM Daerahnya. Belum optimalnya format baru perencanaan pembangunan daerah berdasarkan visi-misi daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) disebabkan karena dalam dokumen RPJP Nasional mengamanatkan visi-misi pembangunan sebagai pedoman bagi daerah, sedangkan masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berlainan. Inilah yang sering menjadi permasalahan pokok, sehingga diperlukan sinergitas visi antar tingkatan pemerintahan, baik daerah Kabupaten dan Kota dengan Provinsi maupun Nasional. Selain itu, juga ditemukan kasus di beberapa daerah, dimana belum adanya sinergitas visi antar kabupaten dan kota dengan provinsi bersangkutan maupun dengan nasional. Kondisi ini juga mengindikasikan kurang adanya koherensi dan sinergitas antar visi maupun Renstrada yang disusunnya
22
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 selama ini. Dalam kaitan ini, masih diperlukan pentingnya upaya sinergitas dan sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota, provinsi dengan nasional.
antara
3. Kondisi yang diharapkan dalam Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah ke Depan. Dalam optimalisasi pelaksanaan otomoni daerah, khususnya yang terkait dengan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang diharapkan, menurut Solihin dan Semendawai (2013:94-95) menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1) Agar mekanisme perencanaan pembangunan daerah optimal, diharapkan dalam perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, efisien, efektif, akutabel, partisipatif, terukur, dan berkelanjutan. 2) Dalam pelaksanaan Musrenbang agar dapat enghasilkan keluaran yang optimal sesuai dengan program/kegiatan prioritas daerah, dan menyentuh kebutuhan masyarakat, serta menjamin keterlibatan masyarakat yang lebih intensif maka pada setiap tahapan/mekanismenya mulai dari persiapan sampai dengan paska Musrenbang perlu difasilitas oleh fasilitator yang memadai. 3) Pelaksanaan Musrenbang dilakukan dengan selalu memperhatikan prinsip-prinsip: (1) inklusif yaitu memastikan keterlibatan dan keterwakilan para pemangku kepentingan (stakeholders); (2) relevan yaitu melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki kepedulian, kompetensi serta peranan dalam proses pemecahan permasalahan penyelenggaraan fungsi dan urusan wajib/pilihan pemerintahan daerah; (3) sensitif gender yaitu memastikan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama pada pengambilan keputusan perencanaan pembangunan daerah; (4) partsisipatif dan interaktif yaitu proses pembahasan melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara seimbang, baik dalam penyampaian informasi, analisis, maupun pengembangan kesepakatan untuk pengambilan keputusan. 4) Para pemangku kepentingan (stakeholders) diharapkan memehami bahwa Musrenbang memiliki arti penting dala memutuskan rencana program/kegiatan dimana tidak hanya bersifat lokal, tetapi lebih luas yaitu lintas SKPD, lintas sektoral, dan lintas wilayah. 5) Penyusunan visi, misi dan arah pembangunan jangka panjang diharapkan selaras dengan arah pembangunan nasional dan sesuai dengan kondisi dan potensi daerah. 6) Substansi RPJP Daerah mengandung muatan visi. Misi dan arah pembangunan daerah yang sesuai dengan potensi daerah, berorientasi pada kepentingan umum dan pemberdayaan kelompokkelompok marginal serta mempertimbangkan tujuan pembanguna global (Millenium Development Goals). 7) Arah pembangunan harus mempunyai konsistensi dalam jangka panjang, dalam arti sispapun kepala daerahny, program yang dikembangkan harus mendukung pada pencapaian arah pembangunan jangka panjang. Atas dasar tersebut, maka dalam merumuskan arah pembangunan harus didasarkan atas sinergitan antara potensi pengembanga kebijakan pembangunan, baik dalam skala lokal, maupun regional dan nasional. 8) Substansi RPJP Daerah sebagai visi daerah sudah memberikan gambaran/indikasi yang jelas mau ke mana daerah dalam jangka panjang. Selanjutnya RPJP Daerah telah memberikan pentahapan dalam bentuk pembangunan jangka menengah, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi calon-calon kepala daerah dalam merumuskan visi, misi dan program pokok dalam kaitan proses pemilihan kepala daerah. Selanjutnya dalam kontek optimalisasi otonomi daerah, menurut Solihin dan Semendawai (2013:95) maka perencanaan yang ideal adalah perencanaan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Memiliki prinsip partisipatif, yaitu masyarakat yang akan memperoleh manfaat dari perencanaan harus turut serta dalam prosesnya. 2) Prinsip kesinambungan, yaitu perencanaan tidak hanya berhenti pada suatu tahapa, tetapi harus berlanjut sehingga menjamin adanya kemajuan terus menerus dalam kesejahteraan, dan jangan sampai terjadi kemunduran. 3) Prinsip holistik, yaitu masalah dalam perencanaan dan pelaksanaannya tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi (atau sektor) tetapi harus dilihat dari berbagai aspek, dan dalam keutuhan konsep secara keseluruhan. 4) Mengandung sistem yang dapat berkembang (a learning and adaptive system). 5) Perencanaan yang terbuka dan demokratis (a pluralistic social setting). FISIP UNWIR Indramayu
23
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan tentang perencanaan pembangunan daerah tersebut secara garis besarnya juga dipengaruhi oleh aspek-aspek seperti (a) kondisi sosio ekonomi dan teknologi yang cukup mendukung, (b) adanya dukungan publik, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor privat (swasta) maupun masyarakat, (c) adanya sikap dan sumber yang dimiliki kelompok, (d) adanya dukungan dari pemerintah pusat, terutama melalui pengaturan, norma dan standar dalam perencanaan pembangunan termasuk dukungan anggaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta (e) adanya komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana ditingkat daerah, meskipun hal ini masih perlu terus ditingkatkan lagi. E. KESIMPULAN. Berdasarkan uraian di atas, dan sebagai penutup dalam makalah ini dapat diuraikan kesimpulan sebagai berikut: 1) Kebijakan pemerintah pada hakekatnya adalah suatu keputusan Pemerintah untuk melakukan tindakan ataupun tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu, guna mencapai tujuan tertentu. Dalam kontek pemerintahan daerah, maka kebijakan Pemerintah Daerah adalah semua keputusan yang telah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah untuk mencapai tujuan tertentu. 2) Dengan berubahnya mekanisme perencanaan pembangunan pada era otonomi daerah saat ini, telah membawa implikasi terhadap program perencanaan pembangunan daerah. Permasalahan utama pada saat ini bahwa proses perencanaan pembangunan secara keseluruhan guna menghasilkan suatu pelaksanaan pembangunan yang efektif yang didasari dengan perencananaan yang lebih memadai belum tercapai. 3) Kinerja implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang yang dianalisis dengan model implementasi kebijakan yang dikembangkan George C. Edward III dengan melihat 4 (empat) variabel yang dianggap sangat menentukan keberhasilan dalam implementasi kebijakan, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi bahwa secara umum variabel-variabel tersebut kurang sepenuhnya optimal dalam implementasinya. Oleh karena itu, secara terus menerus perlunya dilakukan peningkatan kualitas dari beberapa indikator-indikator yang terkait dengan varaiabel-variabel tersebut. 4) Implementasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah melalui Musrenbang juga masih dihadapkan pada sejumlah kendala baik secara internal maupun hambatan secara eksternal. Hal ini terkait seperti faktor kondisi sosio ekonomi dan teknologi, (b) kurang optimalnya dukungan publik, (c) sikap dan sumber yang dimiliki kelompok, (d) kurang optimalnya dukungan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah itu sendiri, serta (e) masih lemahnya komitmen dan kemampuan kepemimpinan diantara beberapa pejabat pelaksana di tingkat daerah.
DAFTAR PUSTAKA. Abidin, Said, Z. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Kartasasmita, Ginanjar. 1994. Perencanaan Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta. Rineka Cipta. Lubis, M. Solly. 2007. Kebijakan Publik. Bandung: CV Mandar Maju. Robinson. 2002. Perencanaan Pembangunan : Implementasi, Konsep dan Teori. Jakarta: Medica. Siagian, Sondang P. 2003. Perencanaan, dan Evaluasi Pembangunan. Yogyakarta: Gramedia. Solihin, Dadang dan Semendawai, Radjab. 2013. Optimalisasi Otonomi Daerah: Kebijakan, Strategi dan Upaya. Jakarta: Yayasan Empat Salemba Indonesia. Syafudin, Ateng. 1993. Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah. Bandung: Mandar Maju. Tachyan. H. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lemlit Unpad. 24
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Toko Gunung Agung. Turner, Mark dan Holme, David. 1997. StateWork. Kumarian Pres Inc. USA.
Governance, Administration, and Development: Making The
Wahab, Solichin A. 1997. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
FISIP UNWIR Indramayu
25
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
MODEL MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KUWU (Studi Kasus di Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu) Oleh : Didi Nursidi, SH., MH.
ABSTRAK. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak secara otomatis pemilihan kepala desa (pemilihan kuwu) memasuki gerbang sebagai rezim khusus pemerintahan desa, sebab dalam implementasinya kedudukan Bupati sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pemilihan kepala desa/kuwu kewenangannya bersumber dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Permasalahannya dalam realitas praktek pemilihan kuwu serentak 10 Desember 2014 di 171 desa di Kabupaten Indramayu, masih menyisakan adanya perselisihan di 14 desa, yang walaupun berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 jo. Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 telah diterbitkan Keputusan Bupati tentang Penetapan Hasil Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Kuwu di Kabupaten Indramayu Tahun 2014, tetapi tidak menutup kemungkinan kasus tersebut untuk dilanjutkan melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tulisan ini membahas model pendekatan mekanisme penyelesaian hasil pemilihan Kuwu sebagai solusi permasalahan yang berkembang.
I PENDAHULUAN. Hiruk pikuk sebuah perhelatan pesta demokrasi sebagai sarana hukum bagi prosesi peralihan (suksesi) kepemimpinan, diantaranya adalah adanya ketidakpuasan dari salah satu atau peserta pemilihan baik di tingkat nasional, daerah ataupun di tingkat desa.Dalam rezim pemilihan umum maupun rezim pemerintahan daerah sesuai dengan mekanisme ketentuan perundang-undangan yang berlaku ditentukan bahwa penyelesaian atas hasil pemilihan umum (Perkara PHPU) diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, sedangkan penyelesaian atas kasus penetapan penyelenggara pemilihan umum (Dalam Tahapan Pemilihan) baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dapat diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara1.Persoalannya adalah bagaimanakah mekanisme penyelesaian perselisihan atas hasil pemilihan kuwu (kepala desa) menurut dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap kondisi ini dalam banyak kasus yang terjadi di seluruh wilayah desa di Indonesia masih menyisakan keragaman model, diantaranya bisa diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan oleh Kepala Daerah, melalui mekanisme penyelesaian perselisihan Pengadilan Negeri dan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam kaitan dengan pola atau model ala demokrasi desa, Ujang Suratno mengemukakan bahwa : “Tidak ada yang lebih menarik mengkaji berbagai peran organisasi yang tumbuh dalam masyarakat, termasuk negara adalah pada aspek sosioantropologis. Kajian atas interaksi antara organisasi dengan lingkungan sekitarnya dan kebudayaan dimana ia tumbuh dan berkembang merupakan aspek yang sangat aktual, karena disitulah “bumi dipijak langit dijunjung”. Volgaist “jiwa bangsa” akan sangat terasa pada tataran ini2. Oleh karenanya, variatif penerapan demokrasi dalam implementasi penyelenggaraan pemilihan kepala desa (kuwu) serta model penyelesaian atas perselisihan yang ditimbulkannya adalah suatu realitas yang semestinya sebagai bentuk keberagaman nilai bangsa. 1
Bandingkan dengan Atoilah, Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (Phpu) Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Jurnal Ilmu Hukum Yustitia FH Unwir, Indramayu, 2013 2 Ujang Suratno, Peranan Dpd Dalam Sistem Ketatanegaraan RiPerspektif Sosiologis Dan Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Yustitia, FH Unwir, Indramayu, 2013
26
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Pemilihan kuwu pasca era reformasi di hampir sebagian besar wilayah NKRI harus diakui mendapat imbas model baik yang bernuansa positif maupun yang berkorelasi negatif terhadap proses demokrasi di desa terutama dari model regulasi dan atau praktek penyelenggaraan pemilihan umum baik tingkat nasional (Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden) maupun tingkat daerah (Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah). Pada tataran praktek Mahkamah Agung R I menyandarkan kepada ketentuan sebagaimana dimaksud UU No : 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah terakhir dengan UU No : 51 Tahun 2009, yang secara tersirat menyebutkan “keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan KPU baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai hasil pemilihan umum tidak dapat digugat di PTUN”, artinya PTUN tidak memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa terkait hasil pemilihan kepala daerah terkait, oleh karena kewenangan itu telah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi R I dan penegasan tersebut sejalan dengan SEMA No : 8 Tahun 2005 yang pada prinsipnya MARI memandang agar tahapan pemilukada tidak terganggu, maka keputusan KPU pusat dan daerah dalam setiap tahapan pemilukada tidak bisa digugat ke PTUN. Dalam perkembangan selanjutnya melalui SEMA No : 7 Tahun 2010 tanggal 11 Mei 2010 MARI mengubah prinsipnya yakni membolehkan keputusan KPU digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, perubahan arah kebijakan MARI ini setidaknya didasarkan kepada realitas dalam praktek PTUN, dimana banyak diantaranya putusan PTUN berisi mengabulkan tuntutan penggugat atau membatalkan keputusan yang dibuat oleh penyelenggara pemilu (KPU) baik di pusat maupun di daerah. Persoalannya adalah bagaimana dengan keputusan yang dibuat oleh penyelenggara pemilihan kepala desa (kuwu) berdasarkan ketentuan UU No : 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, apakah terhadap keputusan penetapan hasil pemilihan atau keputusan-keputusan tentang tahapan pemilihan dapat digugat ke PTUN ?, sebab UU No : 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No : 51 Tahun 2009 digariskan bahwa kewenangan PTUN adalah mengenai obyek sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Melalui analisis yuridis normatif dimaksudkan untuk dapat menemukan jawaban atas permasalahan tersebut dan guna kepastian hukum. II. PEMBAHASAN. A. KEDUDUKAN KASUS. Bahwa pemilihan kuwu sebagaimana diatur oleh Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 jo. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, pada asasnya merupakan kebijakan pemerintah tentang suatu model yang dianggap terbaik bagi bagaimana rakyat desa yang bersangkutan menentukan pilihan atas pemimpinnya (Kuwu) yang paling sesuai dengan aspirasi dan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembangan di masyarakat. Jadi pemilihan kuwu hanya merupakan sarana berdemokrasi dan bukan tujuan, oleh karenanya benang merahnya terletak pada : (1) bagaimana hak pilih setiap warga desa ditetapkan didalam DPT/DPTB, (2) bagaimana hak pilih setiap warga desa bisa tersalurkan pada hari pemungutan suara sesuai dan berdasarkan prinsip Luber Jurdil dan adanya perlindungan hukum atas hak asasi warga Desa Wirakanan. Bahwa Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 jo. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 Pasal 18 ayat (5) menentukan : “calon pemilih yang telah di daftar oleh Panitia Pemilihan Kuwu disusun dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)”, Pasal 19 (1) menentukan : ”Bagi warga desa yang berhak memilih tapi belum terdaftar dalam DPT, maka mengusulkan kepada Panitia Pemilihan Kuwu untuk didaftarkan dalam Daftar Pemilih Tambahan”, dan Pasal 20 ayat (1) yang menentukan : “Daftar hak pilih yang telah disahkan menjadi dasar dalam pembuatan dan atau pengisian Kartu Tanda Pemilih, ….” dari ketentuan tersebut substansinya adalah bahwa warga desa sebagai komunitas masyarakat terkecil didalam sistem kemasyarakatan warga bangsa/negara, yang didalam kegiatan pemilihan kuwu bagi warga desa yang telah memiliki hak pilih tidak boleh terabaikan hak pilihnya, tetapi realitasnya Panitia telah melakukan perbuatan yang sunguh-sunguh sistemik, terstruktur dan masif, yaitu : 1. DPT berdasarkan Berita Acara Penetapan DPT tanggal 24 Nopember 2014 : FISIP UNWIR Indramayu
27
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
9.
Jumlah pemilih laki-laki = 2.755 Jumlah pemilih perempuan = 2.713 DPTB berdasarkan Berita Acara tanggal 9 Desember 2014 : Jumlah pemilih laki-laki = 115 Jumlah pemilih perempuan = 110 Jadi jumlah DPT ditambah DPTB = 5.468 + 225 = 5.693 pemilih Surat Suara yang disiapkan untuk digunakan di hari pemungutan suara berdasarkan Berita Acara tanggal 9 Desember 2014 sejumlah 4.956 + 20 = 4.976 lembar surat suara DPT dan DPTB berdasarkan Berita Acara Pembagian Surat Pemberitahuan Panggilan tanggal 9 Desember 2014 jumlah DPT ditambah DPTB = 5.467 + 215 = 5.682 pemilih Kartu Tanda Pemilih (KTP) yang dibagikan = 4.956 lembar ditambah KTP yang tidak dibagikan = 726 lembar Terdapat dua dokumen Berita Acara yang tanggal penerbitannya sama tetapi isi uraiannya berbeda satu dengan yang lainnya, yaitu Berita Acara Daftar Pemilih Tetap Tambahan tanggal 9 Desember 2014 yang menguraikan laki-laki = 115 dan perempuan = 110 dengan Berita Acara Penutupan Pendaftaran Pemilih Tetap Tambahan tanggal 9 Desember 2014 yang menguraikan laki-laki berjumlah 105 orang dan perempuan berjumlah 110 orang Pasal 5 ayat (2) huruf b. Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 Panitia Pemilihan Kabupaten “memfasilitasi pencetakan surat suara” pertanyaannya adalah : atas dasar apa Panitia Pemilihan Kabupaten mencetak surat suara ? karena Panitia Pemilihan Kuwu tidak menerbitkan Berita Acara yang berisi kebutuhan surat suara sesuai dan berdasarkan Berita Acara Perubahan DPT dan DPTB. Akibatnya jumlah surat suara yang dicetak tidak memiliki dasar hukum sesuai ketentuan, hal demikian merupakan kekeliruan nyata yang terstruktur Dari uraian angka 1,2,3,4,5,6,7, dan 8 Panitia telah melakukan kekeliruan nyata dengan sengaja tidak membuat Berita Acara Perubahan DPT, padahal Pasal 18 ayat (9) Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 menentukan :” Dalam hal DPT hasil pendataan terjadi perubahan jumlah pemilih, maka Panitia Pemilihan Kuwu membuat Berita Acara dengan disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diketahui oleh calon kuwu atau kuasanya, sehingga DPT yang digunakan pada pemilihan kuwu Desa Wirakanan tanggal 10 Desember 2014 sebagai cacat hukum, jadi oleh karenanya kegiatan pemungutan suara dan hasil penghitungan suara yang dilaksanakan oleh Panitia adalah tidak sah dan harus dibatalkan
Bahwa dari keseluruhan Berita Acara sebagai produk hukum Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan telah dibuat sebagai disengaja tanpa disertai NOMOR BERITA ACARA sehingga terdapat dugaan, hal ini dilakukan untuk memudahkan Panitia melakukan perubahan atas isi suatu Berita Acara dan pihak lain (termasuk didalamnya calon kuwu) akan mengalami kesulitan dalam pengawasannya, misalnya berapa jumlah dan tentang apa saja Berita Acara tersebut telah diterbitkan oleh Panitia, sehingga jika demikian itu substansinya maka Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan sebagai telah melakukan kekeliruan nyata dan sistemik. Bahwa Pasal 17 ayat (1) huruf b. Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 menentukan : “ yang dapat memilih kuwu adalah penduduk desa Warga Negara Indonesia : penduduk desa yang berada diluar desa …….. “. Pada hari pemungutan suara tanggal 10 Desember 2014 terdapat sejumlah pemilih yang diantaranya atas nama Amin Mubarok oleh Panitia dilarang mencoblos padahal yang bersangkutan telah terdaftar dalam DPT dan telah memiliki Kartu Tanda Pemilih Bahwa kesaksian beberapa orang (diantaranya Sdr. Sunarto) telah melihat Panitia Pemilihan Kuwu diketahui melakukan perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan penggelembungan suara dengan memberikan kesempatan kepada yang bukan (luar) warga Desa Wirakanan dan tidak terdaftar didalam DPT tetapi ikut mencoblos Bahwa berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 menentukan ; “……., pemilih menunjukan Kartu Tanda Pemilih kepada Panitia ……” dan Pasal 28 ayat (3) menentukan : “ ….. yang tidak dapat menunjukan atau membuktikan Kartu Tanda Pemilih yang dikeluarkan oleh
28
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Panitia Pemilihan Kuwu, maka tidak dapat menyalurkan hak pilihnya” . Dalam realita telah terjadi kecurangan yang dilakukan Sdr. Wasmin Rana Wiharja (Wakil Ketua Panitia) dan Warlim (Satgas Desa) yang pada hari pemungutan suara tanggal 10 Desember 2014 di tempat pemungutan suara (TPS) mengambil Kartu Tanda Pemilih atas nama sejumlah pemilih sesuai DPT, sehingga oleh karena perbuatan tersebut berakibat mereka (pemilih) tidak bisa/gagal menyalurkan hak pilihnya, dan jika demikian substansinya maka perbuatan tersebut dapat golongkan sebagai perbuatan menghilangkan hak asasi warga. Oleh karena perbuatan yang dilakukan Sdr. Wasmin Rana Wiharja juga dalam kapasitas sebagai Wakil Ketua Panitia Pemilihan Kuwu dimana dengan sengaja telah mengambil Kartu Tanda Pemilih diantaranya atas nama : Tarsa, Wardani, Sukardi, Caskinah, Rosiah, Daryunah, Warto, Karta Dinata, Sartinih, Darpan, Wusneri, Wasniti, Yulita, Warsih, Kardem, Ketin, Darwanto, Kustimin, Tayim, Gontor, Asim, Tarwan, Mahmud Ali Shodikin, Adi Suta Wijaya, Daryono, Carim, Rasgani, Nur Kuswatun Hasanah, dll., maka dengan dalih dan alasan apapun tidak dapat dibenarkan dan itu berarti pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan sebagai telah melakukan kekeliruan nyata dan masif Bahwa Pasal 42 ayat (2) Peraturan daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang pada intinya : Bupati membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu, dan Pasal 42 ayat (4) yang pada intinya : Tim Fasilitasi dalam pelaksanaan tugas pokok untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Buapti, sebelumnya melakukan koordinasi dengan Panitia, Pengawas, dan Komponen lainnya di Desa Wirakanan, bahwa alasan-alasan yang digunakan dalam permohonan sengketa adalah : a). Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih yang dimohonkan pembatalannya itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, b). Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih yang dimohonkan pembatalannya itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bahwa sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (4) menyatakan :” pemilihan kuwu dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan : “ Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu meliputi : Asas kepastian hukum, Asas tertib penyelenggaraan pemerintahan, Asas tertib kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas proporsionalitas, Asas profesionalitas, Asas akuntabilitas, Asas efektivitas dan efisiensi, Asas kearifan lokal, Asas keberagaman dan Asas partisipatif”. Bahwa sebagaimana dimaksud Pasal 42 Peraturan daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang menyatakan : “Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kuwu, dan dalam rangka penyelesaian perselihan tersebut Bupati membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu, yang tugas pokoknya untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati dengan sebelumnya melakukan koordinasi dengan Panitia Pemilihan Labupaten, Pengawas Tingkat Kabupaten dan Pengawas Tingkat Kecamatan, serta Panitia Pemilihan Kuwu dan Komponen lainnya di Desa yang bersangkutan. Bahwa pelaksanaan proses terbitnya Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan sebagaimana yang tertera dalam obyek perselisihan (sengketa) a quo, diduga kuat telah tidak dilaksanakan berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Daerah Nomor `13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, sehingga kerananya terjadi ketidaklengkapan syarat dan prosedur yang berlaku, dan terjadinya pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilihan kuwu oleh Panitia dalam bentuk kekeliruan nyata dan disengaja secara sistemik, terstruktur, dan masif, sehingga dengan demikian segala dokumen yang terkait dalam pelaksanaan pemilihan kuwu Desa Wirakanan tanggal 10 Desember 2014 sebagai batal demi hukum.
FISIP UNWIR Indramayu
29
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
B. TINJAUAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 13 TAHUN 2014. Obyek Perselisihan (Sengketa) Adapun yang menjadi obyek perselisihan (sengketa) adalah Penetapan Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tanggal 12 Desember 2014 yang berisi tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Legal Standing Pemohon : Kepentingan Pemohon sebagai Pemohon Pembatalan adalah sebagai berikut : Bahwa Pemohon adalah subyek hukum perdata yang saat ini menjadi Pemohon dalam surat Permohonan Pembatalan Penetapan Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tanggal 12 Desember 2014 yang berisi tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Bahwa dalam permohonan Pemohon dalam perkara tentang Permohonan Pembatalan Penetapan Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tanggal 12 Desember 2014 yang berisi tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu tersebut masih dalam rentang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 38 Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 jo. Pasal 38 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Indramayu Bahwa ketetapan Termohon yang mengeluarkan Berita Acara Penetapan Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tanggal 12 Desember 2014 yang berisi tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu, telah tidak mengindahkan situasi dan realita yang terjadi pada keseluruhan proses penyelenggaraan pemungutan suara dan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu oleh Panitia Pemilihan Kuwu seperti tertuang didalam Berita Acara tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan, yang juga telah menimbulkan penolakan/perselisihan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu di Kabupaten Indramayu, semestinya yang ditetapkan melalui Berita Acara tersebut adalah Berita Acara Penghitungan Suara Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan Tahun 2014. Untuk itu Bupati seharusnya membatalkan Berita Acara dimaksud karena telah tidak dilaksanakan sebagaimana dimaksud Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 jo. Pasal 38 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Indramayu. Selanjutnya berdasarkan Pasal 42 ayat (2) yang pada intinya : Bupati membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu, dan Pasal 42 ayat (4) yang pada intinya : Tim Fasilitasi dalam pelaksanaan tugas pokok untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Buapti, sebelumnya melakukan koordinasi dengan Panitia, Pengawas, dan Komponen lainnya di Desa Wirakanan. Kepentingan Pemohon sebagai CALON KUWU : Bahwa kepentingan Pemohon dalam permohonan Pembatalan Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan kepada Bupati adalah wujud partisifasi politik, yang dalam memandangsubstansi pemilihan kuwu sesungguhnya terdapat tujuan dan manfaat utama dari pelaksanaan pesta demokrasi (Pilwu). Bahwa hak politik seseorang dalam mengajukan diri atau diajukan sebagai calon kuwu memerlukan perlindungan hukum, jadi sejatinya yang terpenting adalah semangat untuk menghormati hak politik seseorang, sehingga ketika terjadi hal-hal yang menimbulkan penolakan/perselisihan tidak boleh dipandang sebagai sebuah kekurangan yang hanya bersifat administratif prosedural belaka tetapi harus dipandang jika itu secara subtantif benar harus segera 30
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 ditindaklanjuti melalui mekanisme sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu di Kabupaten Indramayu, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) dan ayat (4). Bahwa melalui pesta demokrasi pemilihan kuwu menghendaki wujud partisipasi publik dalam kerangka menciptakan proses suksesi kepemimpinan di desa yang bersifat transparan, partisipatif, dan akuntabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi : “Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” meliputi : 1) Asas Kepastian Hukum 2) Asas tertib penyelenggaraan pemerintahan 3) Asas kepentingan umum 4) Asas keterbukaan 5) Asas proporsionalitas 6) Asas profesionalitas 7) Asas akuntabilitas 8) Asas efektivitas dan efisiensi 9) Asas kearifan lokal 10) Asas keberagaman dan 11) Asas partisipatif Bahwa Penggugat memiliki hak secara hukum yang untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk : Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang terjadinya pelanggaran kecurangan oleh Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan pada pelaksanaan pemilihan kuwu Desa Wirakanan tanggal 10 Desember 2014 ; Hak untuk mendapatkan hasil pemilihan kuwu berdasarkan prinsif Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jurjur, dan Adil (Luber Jurdil) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Panitia Pemilihan Kuwu, Panitia Pemilihan Kabupaten, Pengawas Tingkat Kecamatan, Pengawas Tingkat Kabupaten, dan Bupati Indramayu. Hak untuk menyampaikan dan mengadukan keberatan atas proses penyelenggaraan dan hasil penghitungan suara pada pemilihan kuwu berdasarkan prinsif-prinsif kebenaran yang bertanggungjawab Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : a) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam angka 1), 2), 3), dan 4) ; b) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa kepentingan Penggugat untuk berpartisipasi dalam proses suksesi kepemimpinan melalui keikutsertaan sebagai calon kuwu pada Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tahun 2014 yang transparan, partisipatif dan akuntabel, sejalan dengan prinsip utama penyelenggara pemilihan kuwu sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (10) PERDA Nomor 13 Tahun 2014 “…… akan menegakan kehidupan demokrasi dan UUD 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, Daerah dan NKRI.” Bahwa dengan tidak terpenuhinya aspek transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas maka tujuan pemilihan kuwu sebagaimana sejalan dengan Pasal 4 bagian (e) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan “ membentuk pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab” menjadi terabaikan. Bahwa ketetapan Pemohon untuk tidak menerima proses pelaksanaan pemungutan suara secara utuh dan tidak menerima atas hasil penghitungan suara, semata-mata dalam kerangka memperjuangkan kepentingan publik atau hak konstitusional Warga Desa (Warga Negara), dan demi mengawal berjalannya penyelenggaraan pemilihan kuwu berdasarkan asas langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil (Luber Jurdil) sebagai pondasi bagi berjalannya penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan hukum dengan senantiasa memperhatikan asasFISIP UNWIR Indramayu
31
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 asas umum pemerintahan yang baik, juga merupakan perwujudan dari kepentingan Pemohon sebagai subyek hukum perdata yang concern terhadap supremasi hukum. Bahwa dikarenakan Pemohon adalah merupakan subyek hukum perdata yang memiliki hak dan kepentingan sebagai Calon Kuwu, sebagai rakyat pencari keadilan yang haknya terlanggar oleh Termohon, maka pembatalan terhadap Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan oleh Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tanggal 12 Desember 2014 merupakan solusi satu-satunya dan tidak terdapat solusi lain. Kedudukan Hukum Termohon : Bahwa Termohon adalahPanitia Pemilihan Kuwu yang dibentuk dan diangkat oleh Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan kebijakan pelaksanaan pemilihan kuwu sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang kedudukannya berada dalam lingkup tanggungjawab Bupati Kabupaten Indramayu sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dan sekaligus sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah yang keberadaannya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa Pasal 6 ayat (7) huruf l Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “Panitia Pemilihan Kuwu bertugas melaksanakan pemilihan kuwu” Bahwa Pasal 36 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “setelah penghitungan suara selesai, Panitia Pemilihan Kuwu menerbitkan Berita Acara Penghitungan Suara yang disertai dengan penandatanganan bersama antara segenap Panitia Pemilihan Kuwu dengan calon kuwu atau kuasanya/saksi.” Bahwa Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “…… Panitia Pemilihan Kuwu menetapkan dan melaporkan hasil penghitungan suara pemilihan kuwu kepada BPD dengan dilengkapi Berita Acara hasil penghitungan suara pemilihan kuwu”; dan Pasal 37 ayat (2) menyatakan : “ BPD meninjaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada Bupati ……..”. Bahwa Pasal 38 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “ Bupati menerbitkan keputusan tentang pengesahan dan pengangkatan kuwu terpilih ……”. DASAR PERMOHONAN Adapun permohonan ini diajukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : Bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “setelah penghitungan suara selesai, Panitia Pemilihan Kuwu menerbitkan Berita Acara Penghitungan Suara yang disertai dengan penandatanganan bersama antara segenap Panitia Pemilihan Kuwu dengan calon kuwu atau kuasanya/saksi.” Bahwa Termohon selaku Panitia Pemilihan Kuwu telah menerbitkan Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan yang merupakan obyek perselisihan (sengketa) dari permohonan ini, yaitu Berita Acara Panitia Pemilihan Kuwu tanggal 12 Desember 2014 tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu, yang tidak diatur baik didalam Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 maupun Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan a quo kepada Bupati pada hari Senin tanggal 29 Desember 2014, dan karenanya masih dalam tenggang waktu untuk mengajukan permohonan,
32
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu. Bahwa obyek perselisihan (sengketa) a quo yang diterbitkan oleh Termohon tersebut adalah obyek perselisihan (sengketa) pemilihan kuwu, sebagaimana yang ditentukan oleh Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 jo. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang merupakan tindakan hukum serta menimbulkan akibat : a. karena obyek sengketa tersebut dibuat oleh Termohon, dalam pengertian berwujud tertentu dan dapat ditentukan terhadap apa yang dilakukan berdasarkan Penetapan a quo, yaitu : Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu b. karena obyek sengketa tersebut ditujukan kepada Kuwu Terpilih yang pengesahan dan pengangkatannya selanjutnya akan diterbitkan melalui Surat Keputusan Bupati Indramayu tentang Pengesahan dan Pengangkatan sebagai Kuwu Desa Wirakanan. c. karena obyek sengketa sudah ditetapkan dan menimbulkan suatu akibat pada saat dilaporkan kepada BPD, yang oleh BPD ditindaklanjuti dengan melaporkan kepada Bupati untuk diterbitkan keputusan pengesahan dan pengangkatannya dengan keputusan Bupati Indramayu tentang Pengesahan dan Pengangkatan sebagai Kuwu Desa Wirakanan dan akan terus berjalan apabila tidak ada permohonan pembatalan ini. d. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau subyek hukum perdata, karena dengan terbitnya Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih tersebut telah menimbulkan kerugian langsung bagi Pemohon yang tidak mendapatkan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil, transparan, partisipatif dan akuntabel sebagai Calon Kuwu pada pemilihan kuwu Desa Wirakanan Tahun 2014 tanggal 10 Desember 2014, yang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, menuntut keseluruhan rangkaian kegiatan pemilihan harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil (Luber Jurdil). Obyek Perselisihan (Sengketa) yang Dikeluarkan Termohon Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku. Bahwa obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat bertentangan dengan Pasal 42 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang menyatakan : “Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kuwu, dan dalam rangka penyelesaian perselihan tersebut Bupati membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu, yang tugas pokoknya untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati dengan sebelumnya melakukan koordinasi dengan Panitia Pemilihan Kabupaten, Pengawas Tingkat Kabupaten dan Pengawas Tingkat Kecamatan, serta Panitia Pemilihan Kuwu dan Komponen lainnya di Desa yang bersangkutan. Pelanggaran yang terjadi yaitu Panitia Pemilihan Kuwu menerbitkan Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan padahal yang seharusnya adalah Berita Acara Penghitungan Suara Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan, dan juga tidak dilaksanakannya transparansi dalam keseluruhan proses penyelenggaraan (pemungutan dan penghitungan suara) pemilihan kuwu dibawah tanggungjawab Termohon, dan tidak adanya perlindungan hukum dan perlakuan yang adil kepada Pemohon selaku Calon Kuwu yang telah mencurahkan seluruh potensi yang dimilikinya guna mengawal proses demokrasi di Desa Wirakanan sebagai sarana suksesi kepemimpinan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka demi hukum obyek perselisihan (sengketa) yang dikeluarkan Termohon haruslah dibatalkan Obyek Perselisihan (Sengketa) Bertentangan Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
FISIP UNWIR Indramayu
33
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Bahwa obyek sengketa yang dikeluarkan Termohon telah melanggar AAUPB sebagaimana dimaksud Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu meliputi : Asas kepastian hukum, Asas tertib penyelenggaraan pemerintahan, Asas tertib kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas proporsionalitas, Asas profesionalitas, Asas akuntabilitas, Asas efektivitas dan efisiensi, Asas kearifan lokal, Asas keberagaman dan Asas partisipatif. Pelanggaran yang terjadi dimana asas-asas ini mengamanatkan agar setiap penetapan yang dikeluarkan oleh penyelenggara kegiatan pemerintahan senantiasa harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan serta AAUPB, namun Termohon tidak menjalankan ketentuan dimaksud dengan melaksanakan proses pemilihan kuwu Desa Wirakanan sebagai tidak merujuk kepada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu berarti tidak menjalankan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka obyek perselisihan (sengketa) yang dikeluarkan oleh Termohon tidak memenuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), maka obyek perselisihan (sengketa) a quo yang dikeluarkan oleh Termohon haruslah dibatalkan. Dalam Penundaan : Bahwa tindak lanjut pelaksanaan obyek permohonan yang dikeluarkan Termohon untuk ditunda selama pemeriksaan perselisihan (sengketa) sedang berjalan sampai ada putusan Bupati Indramayu yang bersifat final dan mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (5) Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 jo. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud semestinya dikabulkan : a. karena terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Pemohon sangat dirugikan jika Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan yang dimohonkan pembatalannya itu tetap dilaksanakan tindaklanjutnya b. karena jika Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan tetap ditindaklanjuti maka akan bertentangan dengan kepentingan umum terutama dalam kerangka pembangunan pilar demokrasi Pancasila Bahwa selanjutnya Pemohon akan menguraikan argumentasi mengenai syarat “keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Pemohon sangat dirugikan jika Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan yang dimohon pembatalannya itu tetap dilaksanakan tindaklanjutnya” dan pentingnya obyek perselisihan (sengketa) a quo untuk dilakukan penundaan dalam pemberlakuannya (tindaklanjutnya). Bahwa rangkaian proses penyelenggaraan pemungutan suara dan penghitungan suara dalam pemilihan kuwu di Desa Wirakanan yang selanjutnya oleh Termohon dikeluarkan Berita Acara a quo, telah melanggar hukum dan perundang-undangan, sehingga tercederainya prinsip-prinsip HAM dan demokrasi di Negara Republik Indonesia yang menganut sistem Negara Hukum, sehingga akan berakibat akan terlanggarnya hak konstitusi Pemohon sebagai Warga Desa dan sebagai Warga Negara Indonesia, sehingga Berita Acara a quo dalam prosesnya mengandung cacat hukum, sehingga untuk kepentingan apapun perlindungan dan perlakuan hukum kepada semua Calon Kuwu secara tidak diskriminatif, tidak dipermainkan, tidak dipolitisasi, merupakan bentuk penghormatan atas hak dasar manusia sebagai warga , karena merupakan hak konstitusi yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan demikian Pemohon mohon kepada Bupati agar terhadap Berita Acara a quo untuk dilakukan penundaan pelaksanaan tindaklanjutnya sebagai obyek perselisihan (sengketa) yang dikeluarkan oleh Termohon. Berdasarkan seluruh uraian Pemohon di atas, mohon kiranya Bupati memutuskan sebagai berikut : 34
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 TUNTUTAN. Dalam Penundaan : Menunda pelaksanaan tindaklanjut atas Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan tanggal 12 Desember 2014 yang menetapkan kuwu terpilih Sdr. H. Mulyono Hadi Saputra Dalam Pokok Permohonan 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya 2. Membatalkan atau menyatakan tidak sah Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu tanggal 12 Desember 2014 3. Memerintahkan Termohon (Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan) untuk melaksanakan Pemilihan Ulang C. TINJAUAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah : Keputusan Bupati Indramayu Nomor …… / Kep.15.A-Otdes/ 2015 tanggal …… Januari 2015 yang berisi tentang Pengesahan Dan Pengangkatan Jabatan Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Legal Standing Pemohon : Kepentingan Penggugat sebagai Pemohon adalah sebagai berikut : Bahwa Penggugat adalah subyek hukum perdata yang saat ini menjadi Pemohon di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dalam Perkara Nomor ………………. Tentang Permohonan Pembatalan Keputusan Bupati Nomor ……/Kep.15.A-Otdes/2015 tentang Pengesahan Dan Pengangkatan Jabatan Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Bahwa dalam gugatan Penggugat dalam perkara Nomor ………………. Tentang Permohonan Pembatalan Keputusan Bupati Indramayu Nomor ……/Kep……Otdes/ 2015 tentang Pengesahan Dan Pengangkatan Jabatan Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu tersebut masih dalam rentang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun !986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Bahwa keputusan Tergugat yang menerbitkan Keputusan Bupati Nomor ………/Kep……Otdes/2015 yang telah tidak mengindahkan situasi dan realita yang terjadi pada keseluruhan proses penyelenggaraan pemungutan suara dan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kuwu Tahun 2014-2020 Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu oleh Panitia Pemilihan Kuwu seperti tertuang didalam Permohonan Pembatalan Berita Acara tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur tertanggal 12 Desember 2014 yang menimbulkan penolakan/perselisihan yang berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu di Kabupaten Indramayu, telah tidak dilaksanakan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) yang pada intinya : Bupati membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu, dan Pasal 42 ayat (4) yang pada intinya : Tim Fasilitasi dalam pelaksanaan tugas pokok untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati, sebelumnya melakukan koordinasi dengan Panitia, Pengawas, dan Komponen lainnya di Desa Wirakanan.
FISIP UNWIR Indramayu
35
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Bahwa terhadap permohonan pembatalan Berita Acara Panitia Pemilihan Kuwu dimaksud, Bupati telah menerbitkan Surat Keputusan No : 141.1.043/Kep.15.A-Otdes/2015 tentang Penetapan Hasil Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 yang didasarkan kepada pertimbangan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Penanganan Pengaduan/Keberatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu Tahun 2014 Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur No : 141.1/27-Tim FPP tanggal 13 Januari 2015 yang didalam proses dan mekanismenya tidak dilaksanakan sesuai dan berdasarkan Pasal 42 ayat (2) Perda Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu di Kabupaten Indramayu, yaitu : a. Tim FPP dibentuk untuk memfasilitasi penyelesaian perselisihan, didalam proses kerjanya sama sekali tidak melibatkan Penggugat sebagai pihak yang berselisih atas Berita Acara Panitia Pemilihan Kuwu tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur tertanggal …… Desember 2014 b. Tim FPP telah mengesampingkan dan tidak mengindahkan realita peristiwa pelanggaran hukum yang nyata-nyata diketahuinya yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kuwu dan atau pihakpihak lain yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepanitiaan, dan tidak melakukan verifikasi atas keseluruhan alat bukti yang diajukan Penggugat c. Bupati telah menggunakan Hasil Tim FPP sebagai pertimbangan hukum penerbitan Keputusan No : 141.1.043/Kep.15.A-Otdes/2015 tentang Penetapan Hasil Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 yang didalam diktumnya berlaku untuk empat belas (14) desa tanpa menyebutkan pertimbangan hukum untuk setiap desa, padahal pada masing-masing desa itu bentuk dan peristiwa pelanggaran hukumnya berbeda-beda Bahwa dengan dikeluarkannya Keputusan oleh Tergugat tersebut, Penggugat telah diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang, karena Tergugat menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk tujuan yang berbeda dari yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (detournement de pouvoir) Bahwa Keputusan TUN yang menjadi obyek gugatan sengketa TUN dalam perkara ini terbukti melanggar peraturan perundang-undanagn yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (2a) UU No : 5 Tahun 1986 jo. UU No : 9 Tahun 2004, sehingga Keputusan tersebut mengandung cacat hukum dan haruslah dinyatakan batal atau tidak sah demi hukum. Kepentingan Penggugat sebagai CALON KUWU : Bahwa kepentingan Pemohon dalam permohonan Pembatalan Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan kepada Bupati adalah wujud partisifasi politik, yang dalam memandangsubstansi pemilihan kuwu sesungguhnya terdapat tujuan dan manfaat utama dari pelaksanaan pesta demokrasi (Pilwu). Bahwa hak politik seseorang dalam mengajukan diri atau diajukan sebagai calon kuwu memerlukan perlindungan hukum, jadi sejatinya yang terpenting adalah semangat untuk menghormati hak politik seseorang, sehingga ketika terjadi hal-hal yang menimbulkan penolakan/perselisihan tidak boleh dipandang sebagai sebuah kekurangan yang hanya bersifat administratif prosedural belaka tetapi harus dipandang jika itu secara subtantif benar harus segera ditindaklanjuti melalui mekanisme sesuai dengan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) dan ayat (4)Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu di Kabupaten Indramayu, jo. UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Bahwa melalui pesta demokrasi pemilihan kuwu menghendaki wujud partisipasi publik dalam kerangka menciptakan proses suksesi kepemimpinan di desa yang bersifat transparan, partisipatif, dan akuntabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi :
36
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 “Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” meliputi : 1) Asas Kepastian Hukum 2) Asas tertib penyelenggaraan pemerintahan 3) Asas kepentingan umum 4) Asas keterbukaan 5) Asas proporsionalitas 6) Asas profesionalitas 7) Asas akuntabilitas 8) Asas efektivitas dan efisiensi 9) Asas kearifan lokal 10) Asas keberagaman dan 11) Asas partisipatif Bahwa Penggugat memiliki hak secara hukum yang untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk : Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang terjadinya pelanggaran kecurangan oleh Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan pada pelaksanaan pemilihan kuwu Desa Wirakanan tanggal 10 Desember 2014 ; Hak untuk mendapatkan hasil pemilihan kuwu berdasarkan prinsif Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jurjur, dan Adil (Luber Jurdil) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Panitia Pemilihan Kuwu, Panitia Pemilihan Kabupaten, Pengawas Tingkat Kecamatan, Pengawas Tingkat Kabupaten, dan Bupati Indramayu Hak untuk menyampaikan dan mengadukan keberatan atas proses penyelenggaraan dan hasil penghitungan suara pada pemilihan kuwu berdasarkan prinsif-prinsif kebenaran yang bertanggungjawab Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam angka 1), 2), 3), dan 4) ; Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa kepentingan Penggugat untuk berpartisipasi dalam proses suksesi kepemimpinan melalui keikutsertaan sebagai calon kuwu pada Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan tahun 2014 yang transparan, partisipatif dan akuntabel, sejalan dengan prinsip utama penyelenggara pemilihan kuwu sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (10) PERDA Nomor 13 Tahun 2014 “…… akan menegakan kehidupan demokrasi dan UUD 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, Daerah dan NKRI”. Bahwa dengan tidak terpenuhinya aspek transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas maka tujuan pemilihan kuwu sebagaimana sejalan dengan Pasal 4 bagian (e) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan “ membentuk pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab” menjadi terabaikan. Bahwa ketetapan Penggugat untuk tidak menerima proses pelaksanaan pemungutan suara secara utuh dan tidak menerima atas hasil penghitungan suara, semata-mata dalam kerangka memperjuangkan kepentingan publik atau hak konstitusional Warga Desa (Warga Negara), dan demi mengawal berjalannya penyelenggaraan pemilihan kuwu berdasarkan asas langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil (Luber Jurdil) sebagai pondasi bagi berjalannya penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan hukum dengan senantiasa memperhatikan asasasas umum pemerintahan yang baik, juga merupakan perwujudan dari kepentingan Pemohon sebagai subyek hukum perdata yang concern terhadap supremasi hukum. Bahwa dikarenakan Penggugat adalah merupakan subyek hukum yang memiliki hak dan kepentingan sebagai Calon Kuwu, sebagai rakyat pencari keadilan yang haknya terlanggar oleh FISIP UNWIR Indramayu
37
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Tergugat, maka pembatalan terhadap Keputusan Bupati Indramayu Nomor ……/Kep……Otdes/ 2015 tentang Pengesahan Dan Pengangkatan Jabatan Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu tanggal ….. Januari 2015 merupakan solusi satu-satunya dan tidak terdapat solusi lain. Kedudukan Hukum Tergugat : Bahwa Tergugat adalah Bupati Kabupaten Indramayu adalah Pejabat Tata Usaha Negara dan sekaligus sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah yang keberadaannya diatur berdasarkan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan pembuat kebijakan mengenai pelaksanaan pemilihan kuwu sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang kedudukannya berada dalam lingkup tanggungjawab Bupati Kabupaten Indramayu sebagai Pejabat Tata Usaha Negara Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan : “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom” Bahwa Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan : “Daerah kabupaten selain berstatus sebagai Daerah juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja bagi Bupati dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah kabupaten” Bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan : “…… Pemerintah Daerah Kabupaten dapat melakukan penataan Desa”; dan Pasal 7 ayat (3) menyatakan : “ penataan Desa bertujuan : a). mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, b). mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, c). mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, d). meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa, dan e).meningkatkan daya saing Desa Bahwa Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “…… Panitia Pemilihan Kuwu menetapkan dan melaporkan hasil penghitungan suara pemilihan kuwu kepada BPD dengan dilengkapi Berita Acara hasil penghitungan suara pemilihan kuwu”; dan Pasal 37 ayat (2) menyatakan : “ BPD meninjaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada Bupati ……..”. Bahwa Pasal 38 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 menyatakan : “ Bupati menerbitkan keputusan tentang pengesahan dan pengangkatan kuwu terpilih ……”. DASAR GUGATAN Adapun gugatan ini diajukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : Bahwa Tergugat adalah selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) telah menerbitkan Putusan TUN yang merupakan obyek sengketa dari gugatan ini, yaitu Keputusan Bupati Indramayu Nomor………/Kep…..Otdes/2015 tanggal ……Januari 2015 tentang Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 …… Bahwa Termohon selaku Panitia Pemilihan Kuwu telah menerbitkan Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan yang merupakan obyek perselisihan (sengketa) dari permohonan ini, yaitu Berita Acara Panitia Pemilihan Kuwu tanggal 12 Desember 2014 tentang Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu, yang tidak diatur baik didalam
38
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Serentak Di Kabupaten Indramayu Tahun 2014 maupun Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu Bahwa Penggugat mendaftarkan gugatan a quo di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung pada hari …………… tanggal ……Januari 2015, dan karenanya masih dalam tenggang waktu untuk mengajukan gugatan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Bahwa obyek sengketa a quo yang diterbitkan oleh Tergugat tersebut adalah obyek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang merupakan tindakan hukum yang bersifat konkrit, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum : Konkrit, karena obyek sengketa tersebut dibuat oleh Tergugat, dalam pengertian berwujud tertentu dan dapat ditentukan terhadap apa yang dilakukan berdasarkan Keputusan Bupati a quo, yaitu : Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan periode 2014 ……… Individual, karena obyek sengketa tersebut ditujukan kepada Kuwu H. Mulyono Hadi Saputra, yang disahkan dan diangkat oleh Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor …………/Kep…….Otdes/2015 tanggal……. Januari 2015 tentang Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan periode 2014 ……… Final, karena obyek sengketa sudah berlaku definitif dan menimbulkan suatu akibat hukum pada saat keputusan Bupati Indramayu Nomor ………/Kep…….Otdes/2015 tanggal……. Januari 2015 tentang Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan periode 2014 ……… diterbitkan dan akan terus berjalan apabila tidak ada gugatan ini Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau subyek hukum perdata, karena dengan terbitnya Keputusan Bupati Indramayu tersebut telah menimbulkan kerugian langsung bagi Penggugat yang tidak mendapatkan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil, transparan, partisipatif dan akuntabel sebagai Calon Kuwu pada pemilihan kuwu Desa Wirakanan Tahun 2014 tanggal 10 Desember 2014, yang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, menuntut keseluruhan rangkaian kegiatan pemilihan harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil (Luber Jurdil) Obyek Sengketa Yang Dikeluarkan Tergugat Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Bahwa obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat bertentangan dengan Pasal 42 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu, yang menyatakan : “Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kuwu, dan dalam rangka penyelesaian perselihan tersebut Bupati membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kuwu, yang tugas pokoknya untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati dengan sebelumnya melakukan koordinasi dengan Panitia Pemilihan Kabupaten, Pengawas Tingkat Kabupaten dan Pengawas Tingkat Kecamatan, serta Panitia Pemilihan Kuwu dan Komponen lainnya di Desa yang bersangkutan yang dalam kenyataannya Tim FPP sama sekali tidak melibatkan pihak yang bersengketa (Penggugat) maupun unsur masyarakat lainnya sebagai bagian dari komponen masyarakat Desa Wirakanan. Pelanggaran tersebut sebagai bentuk lanjutan dari pelanggaran awal yang terjadi yaitu Panitia Pemilihan Kuwu menerbitkan Berita Acara Penetapan Kuwu Terpilih Desa Wirakanan padahal yang seharusnya adalah Berita Acara Penghitungan Suara Pemilihan Kuwu Desa FISIP UNWIR Indramayu
39
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Wirakanan, dan juga tidak dilaksanakannya transparansi dalam keseluruhan proses penyelenggaraan (pemungutan dan penghitungan suara) pemilihan kuwu dibawah tanggungjawab Tergugat, dan tidak adanya perlindungan hukum dan perlakuan yang adil kepada Pemohon selaku Calon Kuwu yang telah mencurahkan seluruh potensi yang dimilikinya guna mengawal proses demokrasi di Desa Wirakanan sebagai sarana suksesi kepemimpinan berdasarkan perundangundangan yang berlaku Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka demi hukum obyek sengketa yang dikeluarkan Tergugat haruslah dibatalkan Obyek Sengketa Bertentangan Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) Bahwa obyek sengketa yang dikeluarkan Tergugat telah melanggar AAUPB sebagaimana dimaksud Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik itu meliputi : Asas kepastian hukum, Asas tertib penyelenggaraan pemerintahan, Asas tertib kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas proporsionalitas, Asas profesionalitas, Asas akuntabilitas, Asas efektivitas dan efisiensi, Asas kearifan lokal, Asas keberagaman dan Asas partisipatif. Pelanggaran yang terjadi dimana asas-asas ini mengamanatkan agar setiap penetapan yang dikeluarkan oleh penyelenggara kegiatan pemerintahan senantiasa harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan serta AAUPB, namun Tergugat tidak menjalankan ketentuan dimaksud dengan melaksanakan proses pemilihan kuwu Desa Wirakanan sebagai tidak merujuk kepada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Di Kabupaten Indramayu berarti tidak menjalankan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat tidak memenuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), maka obyek sengketa a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat haruslah dibatalkan. Dalam Penundaan : Bahwa pelaksanaan obyek gugatan yang dikeluarkan Tergugat sungguhpun telah diterbitkan dan juga telah dilakukan pelantikan untuk segera dilakukan penundaan implementasinya serta dilakukan pengangkatan Pejabat Kuwu (Pelaksana Tugas) selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagimana diatur dalam Pasal 67 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud semestinya dikabulkan : karena terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Pemohon sangat dirugikan jika Keputusan Bupati Indramayu No : ……/Kep.15.A-Otdes/2015 tanggal ……Januari 2015 tentang Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 ……… yang dimohonkan pembatalannya itu tetap dilaksanakan tindaklanjutnya karena jika Keputusan Bupati Indramayu No : ……/Kep.15.AOtdes/2015 tanggal ……Januari 2015 tentang Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 ………tetap ditindaklanjuti maka akan bertentangan dengan kepentingan umum terutama dalam kerangka pembangunan pilar demokrasi Pancasila Bahwa selanjutnya Pemohon akan menguraikan argumentasi mengenai syarat “keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Pemohon sangat dirugikan jika Keputusan Bupati Indramayu No : ……/Kep.15.A-Otdes/2015 tanggal ……Januari 2015 tentang Pengesahan dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 ……… yang dimohon pembatalannya itu tetap dilaksanakan tindaklanjutnya” dan 40
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 pentingnya obyek perselisihan (sengketa) a quo pemberlakuannya (tindaklanjutnya).
untuk dilakukan penundaan dalam
Bahwa Pasal 67 ayat (4) UU PTUN menyatakan bahwa : “Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : a. Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan b. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut “. Bahwa rangkaian proses penyelenggaraan pemungutan suara dan penghitungan suara dalam pemilihan kuwu di Desa Wirakanan yang selanjutnya oleh Tergugat dikeluarkan Keputusan a quo, telah melanggar hukum dan perundang-undangan, sehingga tercederainya prinsip-prinsip HAM dan demokrasi di Negara Republik Indonesia yang menganut sistem Negara Hukum, sehingga akan berakibat akan terlanggarnya hak konstitusi Pemohon sebagai Warga Desa dan sebagai Warga Negara Indonesia, sehingga Keputusan a quo dalam prosesnya mengandung cacat hukum, sehingga untuk kepentingan apapun perlindungan dan perlakuan hukum kepada semua Calon Kuwu secara tidak diskriminatif, tidak dipermainkan, tidak dipolitisasi, merupakan bentuk penghormatan atas hak dasar manusia sebagai warga , karena merupakan hak konstitusi yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan demikian Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar terhadap Keputusan a quo untuk dilakukan penundaan pelaksanaan tindaklanjutnya sebagai obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Tergugat. Berdasarkan seluruh uraian Penggugat di atas, mohon kiranya Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung memutuskan sebagai berikut : TUNTUTAN Dalam Penundaan : Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Bupati Indramayu Nomor ……/Kep.15.A-Otdes/…/2015 tanggal …Januari 2015 tentang Pengesahan Dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 ……… DALAM POKOK GUGATAN 1. 2.
3.
4. 5.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya Membatalkan atau menyatakan tidak sah Keputusan Bupati Indramayu Nomor ……/Kep.15.AOtdes/…/2015 tanggal …Januari 2015 tentang Pengesahan Dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 ……… Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Keputusan Bupati Indramayu Nomor ……/Kep.15.A-Otdes/…/2015 tanggal … Januari 2015 tentang Pengesahan Dan Pengangkatan saudara H. Mulyono Hadi Saputra sebagai Kuwu Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur periode 2014 ……… Memerintahkan Tergugat untuk melaksanakan Pemilihan Ulang diseluruh wilayah Desa Wirakanan Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini
FISIP UNWIR Indramayu
41
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 III. KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku pada asasnya obyek sengketa terkait keputusan penetapan hasil pemilihan kuwu (kepala desa) dapat dimintakan penyelesaiannya, baik melalui permohonan keberatan hasil perhitungan suara pemilihan kuwu kepada Bupati maupun gugatan atas keputusan pengesahan dan perngangkatan kuwu terpilih melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. 2. Memperhatikan perkembangan realitas yang terjadi dan guna terciptanya kepastian hukum diperlukan adanya penegasan MARI melalui SEMA tentang kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menerima, memeriksa serta memutus sengketa atas hasil pemilihan kuwu (kepala desa).
DAFTAR PUSTAKA. Ujang Suratno, Peranan Dpd Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Perspektif Sosiologis dan Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Yustitia, FH Unwir, Indramayu, 2013. Atoilah, Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (Phpu) Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Jurnal Ilmu Hukum Yustitia FH Unwir, Indramayu, 2013. Lembaga Bantuan Hukum Marhaen, naskah dokumen Permohonan Pembatalan Penetapan Panitia Pemilihan Kuwu Desa Wirakanan kepada Bupati Indramayu, Indramayu, 2014. Lembaga Bantuan Hukum Marhaen, naskah dokumen Gugatan Permohonan Pembatalan Keputusan Bupati Indramayu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung ,Bandung, 2014.
42
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
PERAN KEPEMIMPINAN WANITA DAN KETERLIBATANNYA DALAM BIDANG POLITIK DI INDONESIA Oleh: Fitria Damayanti, S.E.,M.M. ABSTRAK. Emansipasi wanita merupakan perjuangan kaum wanita demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengurusutamaan Gender merupakan indikasi bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapat perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan.Peran, fungsi dan fakta menunjukkan bahwa peran wanita Indonesia secara progressif sudah banyak menduduki posisi-posisi yang penting.Hasil penelitian ini menunjukakan bahwa kekuatan berupa ketegaran, ketegasan, dan ketepatan dalam mengambil keputusan merupakan ciri yang dimiliki wanita sekaligus menjadi syarat bagi kepemimpinannya.Dalam bidang poltik, penetapan target keterwakilan (kuota) sebesar 30% dalam pemilihan umum merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi.Kesejajaran antara wanita dengan laki-laki merupakan suatu usaha yang tidak sia-sia apabila wanita berusaha sesuai dengan kemampuannya, untuk dapat bersaing dengan kaum laki-laki sesuai dengan sifat kewanitaannya hingga keberadaanya selalu diakui dan tidak dipandang sebelah mata. Kata kunci :gender dan kepemimpinan politik.
PENDAHULUAN. Kemajuan jaman telah banyak mengubah pandangan tentang wanita, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa wanita hanya berhak mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki laki adalah mahluk yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan jaman dan emansipasi menyebabkan wanita memperoleh hak yang sama dengan laki - laki. Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah yang memiliki arti yang sangat penting bagi wanita Indonesia, karena pada tahun tersebut tercantum untuk pertama kali Garis-Garis Besar Hukum Negara (GBHN) dan Pelita III secara ekspilisit memuat butir-butir tentang peranan wanitadalam pembangunan dan pembinaan bangsa. Pada tahun itu juga Kabinet Pembangunan III dibentuk suatu lembaga, yaitu Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita.Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia secara sadar mengakui pentingnya peranan wanita sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan. Dalam GBHN 1978, telah dirumuskan 7 (Tujuh) esensi terkait dengan peranan perempuan, antara lain disebutkan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan nasional. Hal tersebut menunjukan bahwa wanitajuga merupakan subyek pembangunan yang berarti ikut menentukan pembangunan itu dalam semua tahapan melalui dari perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Dalam GBHN-GBHN (Propenas) selanjutnya, peran wanita sangat ditingkatkan dengan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gendar (PUG) mengisyaratkan bahwa pembangunan nasional harus berprespektif gendar. Artinya, bahwa setiap kebijakan, program dan kegiatan pembangunan harus selalu mempertimbangkan dari sisi laki-laki dan wanita baik mencangkup partisipasi, akses, kontrol, atau manfaat yang akan diperoleh oleh laki-laki maupun wanita. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan strategi yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan, dalam hal ini tentunya termasuk juga kebijakan di bidang politik. Apabila diperhatikan dengan cermat, setiap wanita berkesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan.Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya.Ungkapan “Setiap Warga Negara” dalam ketentuan tersebut diatas tentu saja berarti warga negara laki-laki maupun wanita. Walaupan tidak dinyatakan secara ekspilisit, berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut dapat diartikan pula bahwa UUD 1945 sudah menganut prinsip non diskriminatif. Dengan prinsip non diskriminatif FISIP UNWIR Indramayu
43
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 tersebut, maka wanita sebagai warganegara dapat dikatakan memperoleh peluang yang sama dengan lakilaki dalam pemerintahan. Hal ini berarti bahwa tiap warga negara, terlepas dari apapun gendernya, berhak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Dalam konteks tersebut, Nilakusuma (1960 : 151 - 152) menjelaskan sebagai berikut: Wanita dan laki-laki mempunyai tempatnya masing - masing di dalam kehidupan kemasyarakatan. Dan kedua jenis manusia tersebut dapat menempati tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang hak - sama, karena pikiran, kecerdasan, menentukan nilai yang sama antara laki-laki dan wanita. Memang banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki dan wanita dengan tidak meninggalkan sifat sifat asli wanita. Malah menjadi kepala jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan sifat-sifat kewanitaan tadi, karena jabatan - jabatan ini, kecerdasan dan pikiranlah yang memegang peranan banyak. Adapun tuntutan persamaan hak wanita tentunya didasarkan pada beberapa anggapan bahwa antara wanita dan laki - laki tidak banyak terdapat perbedaan, sebagaimana dikemukakan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno (dalam Sarinah 1963 : 30) bahwa: ... ini tidak menjadi bukti bawa dus kwaliteit otak perempuan itu kurang dari kwaliteit otak kaum laki - laki, atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki. Kwaliteitnya sama, ketajamannya sama hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya kesempatan oleh masyarakat sekarang pada kaum perempuan, maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidakadilan masyarakat terhadap kepada kaum perempuan itu. Jelas sekali pendapat di atas bahwa kaum wanita memiliki kedudukan yang sama dalam berusaha dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat yang menganggap wanita harus berada di rumah mengurus rumah tangga. Tetapi dengan adanya kemajuan jaman maka wanita dan laki - laki dapat bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, bahwa wanita perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama. Tuntutan persamaan hak wanita tentunya didasarkan pada beberapa anggapan bahwa antara wanita dan laki-laki tidak banyak terdapat perbedaan, Kesejajaran wanita dengan laki - laki sebagai suatu usaha yang tidak sia-sia apabila wanita itu sendiri berusaha sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan kemampuan yang sama maka akan sanggup bersaing di kehidupan ini dengan kaum laki-laki sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Persamaan hak yang dimiliki oleh kaum wanita Indonesia dalam mengisi pembangunan dan berpartisipasipasi dalam bidang politik memiliki hak yang sama dengan laki-laki tetapi bukan berarti yang bersangkutan harus meninggalkan tugas-tugas kewanitaannya sebagai seorang ibu.Berdasarkan uraian diatas, penulis akan membatasi permasalahannya pada hal-hal berikut: a. Bagaimana peran kepemimpinan wanita serta keterlibatannya dalam bidang politik? b. Kendala apa yang menyebabkan kepemimpinan wanita dan keterlibatannya dalam berpolitik belum mencapai hasil yang maksimal? Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, yaitu merupakan deskriptif kualitatif dimana berisi informasi – informasi mengenai kepemimpinan wanitadan keterlibatannya dalam bidang politik. Adapun data dalam penulisan ini merupakan data sekunder, yakni data historis yang sudah tertuang dalam bentuk buku atau dokumen yang berisi informasi yang berkaitan dengan pembahasan yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum dan objektif yang dapat menggambarkan permasalahan sebenarnya.
PEMBAHASAN. a. Peran Ganda Wanita Peran laki-laki dan perempuan dalam pembangunan, bukanlah sesuatu yang kodrati sifatnya.Namun konstruksi peran sesngguhnya telah dibentuk jauh sebelum budaya dan perkembangan masyarakat mencapai titik kemajuan.Sama halnya dengan pemikiran seorang wanita yang telah berkembang ke arah yang lebih maju.Wanita yang masih lajang ataupun yang sudah berumah tangga tentunya menginginkan kehidupan yang mapan dari segi ekonomi, terlebih wanita yang telah berkeluarga.Hal ini meniti beratkan peran wanita sebagai seorang ibu rumah tangga dan aktivitas politik.Fenomena ini terjadi karena memang dengan profesi sebagai seorang politisi tidak menyita banyak waktu, sehingga seorang wanita yang telah berumahtangga tetap dapat mencurahkan waktunya di rumah bersama suami dan anak.Peran ini terdiri 44
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 dari peran seorang ibu.Sebagai ibu layaknya bertanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anakanak.Peran dalam rumah tangga ini sering diistilahkan dengan twenty-four-hours-a day-job. Beberapa wanita memandang peran ini sebagai tugas yang paling penting, dan merupakan prioritas yang utama dari segala peran yang dimiliki.Semua perhatian dan kasih sayang yang dimiliki dilimpahkan kepada suami dan anak-anak.Dan lebih jauh lagi, mendidik putra-putrinya dengan baik menjadi tujuan utama hidupnya. Namun, banyak wanita masa kini yang beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab untuk mengelola rumah tangga serta membesarkan dan mendidik anak-anak bukan semata-mata menjadi tugas wanita, melainkan menuntut pria pun berperan aktif, sehingga konsep kemitrasejajaran dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan berumah tangga. dengan demikian, wanita pun mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasiksan dan mengembangkan kemampuannya baik di sektor formal maupun informal.melalui latar belakang pendidikan, kemampuan, dan pengalamannya seorang wanita yang berkomitmen untuk meniti karier berupaya mengembangkan diri seluas-luasnya untuk mencapai hasil maksimal pekerjaannya. Segenap energi yang dimiliki dicurahkan untuk mencapai tujuan menjadi yang terbaik.dalam konteks ini sang wanita sudah meninggalkan pandangan konservatif dan siap untuk tampil dalam citra profesional. di luar rumah, perkembangan dunia profesional memberikan banyak kesempatan wanita untuk menunjukkan kemampuannya, pada perkembangan politik yang menghadirkan wanita sebagai sosok yang mengetahui teknik ketenangan batin, harmoni sosial, pengabdian tanpa pamrih, dan kepuasan ekonomi.Peran wanita ini secara sederhana menurut Suwondo (2006 : 266) dikemukakan: a. Sebagai warga negara dalam hubungannya dengan hak - hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern; b. Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi intern. Fungsi ekstern dan fungsi intern tersebut merupakan dasar peran yang dimiliki wanita terutama mereka yang memiliki karier, sehingga wanita harus benar-benar dapat mengatur perannya agar kedua peran tersebut tidak ada yang terabaikan. Jika tidak, maka kehidupan akan menjadi tidak seimbang, sehingga tidak jarang di antara mereka memilih salah satu peran, akibatnya terdapat salah satu peran yang dikorbankan. Apabila terus memilih karier tidak jarang di antara mereka yang menyebabkan keretakan bahkan perceraian rumah tangga, atau wanita itu sendiri memilih kariernya dengan mengabaikan perkawinan, sehingga yang bersangkutan tetap hidup tanpa didampingi suami atau tetap lajang.Sedangkan bagi wanita yang bersuami yang memilih peran kedua, berarti yang bersangkutan mengorbankan kariernya atau keluar dari pekerjaan dengan menjadi ibu rumah tangga yang tinggal diam di rumah, sehingga hal ini patut disayangkan karena potensi yang terdapat dalam diri wanita bersangkutan menjadi terbenam, bahkan terkubur selamanya. Dengan demikian, wanita yang hanya memilih salah satu peran saja sekarang ini dianggap kurang baik dalam membina kehidupan, karena itu wanita yang unggul dan tangguh ia dapat berjuang menghadapi berbagai tantangan apabila memilih peran ganda seperti di atas, tetapi jangan lupa harus terdapat saling pengertian dan saling mengisi kehidupan rumah tangganya. Tradisi yang berlaku di Indonesia sampai sekarang ini, bukan merupakan kewajiban bagi wanita yang bersuami bekerja secara formal, tetapi keadaan ini tergantung pada kemampuan ekonomi dan ijin yang diberikan suaminya. Atas dasar hal tersebut, maka dilihat dari hubungan suami-istri atau hubungan wanita dengan keluarga, dapat menimbulkan masalah apabila wanita bekerja. Berikut ini, beberapa pandangan yang menyebabkan wanita tidak bekerja atau tidak melaksanakan fungsi ekstern, kalaupun terpaksa karena ada alasan tertentu sebagaimana Tan, (1991 : 86 - 87) sebagai berikut, 1. Perempuan belum/tidak menikah/cerai, dan pada dasarnya tidak ingin bekerja, tapi tidak mempunyai daya guna membiayai kebutuhan hidup sehari -hari. 2. Perempuan belum/tidak menikah/cerai, senang bekerja, memiliki cukup dana untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari - hari, tetapi keluarganya tidak setuju/keberatan bila ia bekerja. 3. Perempuan belum/tidak menikah/cerai, ingin bekerja tetapi tidak mempunyai bekal ilmu dan dana guna membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. 4. Perempuan menikah, dan suami berpendapat bahwa pencari nafkah di antara mereka berdua cukup dibatasi pada suami dan pendapatan suami melebihi kebutuhan hidup papan sandang dan rekreasi berdua.
FISIP UNWIR Indramayu
45
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 5. Perempuan menikah, dan suami berpendapat bahwa pencari nafkah di antara mereka cukup dibatasi pada suami, meskipun pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan hidup papan sandang pangan mereka berdua. 6. Perempuan menikah, yang bekerja dengan persetujuan suami namun kemudian mempunyai anak. Perempuan ingin tetap terus bekerja, meskipun pendapatan suami cukup untuk membiayai kebutuhan bersama istri dan anak. 7. Perempuan menikah, yang bekerja dengan persetujuan suami namun kemudian mempunyai anak. Perempuan pada dasarnya tidak mutlak ingin terus bekerja, namun pendapatan suami tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup bersama istri dan anak. Nampaknya pada penjelasan di atas merupakan gambaran dari keadaan wanita Indonesia sekarang ini antara keinginan bekerja, dilarang untuk bekerja, dan tidak ingin bekerja dengan alasan tertentu. Sedangkan bagi kaum wanita yang benar - benar ingin bekerja, terdapat alasan tertentu, seperti dikemukakan Tan( 1991 : 86) yaitu: 1. Karena faktor ekonomi; 2. Karena orangtua telah memberikan kesempatan bagi si perempuan untuk menuntut ilmu, sehingga ia memiliki suatu keahlian yang memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk mencari nafkah sendiri; 3. Karena memang secara sadar ingin meniti karier Alasan untuk bekerja tersebut tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang dikehendaki wanita, karena dapat saja adanya alasan tertentu menyebabkan wanita tidak bekerja.Di samping wanita bekerja baik di sektor formal maupun informal sebagai fungsi ekstern, juga seorang wanita tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai ibu yang menjadi fungsi intern. Lebih jauh lagi wanita yang memiliki fungsi ekstern harus berperan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa seperti yang diungkapkan oleh Suwondo (2006 : 267) sebagai berikut, 1. Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan. 2. Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi peranannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya, dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya. 3. Untuk lebih memberikan peranan dan tanggung jawab kepada kaum wanita dalam pembangunan, maka pengetahuan dan keterampilan wanita perlu ditingkatkan di berbagai bidang yang sesuai dengan kebutuhannya. Peranan tersebut merupakan konsep yang harus dijalankan oleh wanita Indonesia sebagai fungsi eksternnya. Selajutnya Suwondo (2006 : 267) mengemukakan kembali tuga-tugas wanita dalam keluarga dan masyarakat sebagai fungsi intern dan ekstern, sebagai berikut: 1. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama - sama membina keluarga yang bahagia; 2. Sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, supaya anak anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman, dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa; 3. Sebagai ibu pengatur rumah tangga, supaya rumah tangga merupakan tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarga; 4. Sebagai tenaga kerja dan dalam profesi, bekerja di pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik, berwiraswasta dan sebagainya untuk menambah penghasilan keluarga; 5. Sebagai anggota organisasi masyarakat, terutama organisasi wanita, badan - badan sosial dan sebagainya, untuk menyumbangkan tenaganya kepada masyarakat. Tugas wanita seperti di atas merupakan peran ganda wanita di luar dan di dalam rumah yang sekaligus sebagai wanita yang diharapkan dalam pembangunan ini. Sehingga antara tugas rumah tangga dan tugas karier di dalam pekerjaannya akan menimbulkan resiko yang besar dalam hidupnya, sebagaimana dikemukakan Notopuro Hardjito, (2007: 54) sebagai berikut, ada wanita yang punya bakat dan cita - cita luhur, sehingga ia memberikan seluruh pengabdiannya ia memilih untuk tidak berumah tangga (tepat single);
46
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 -
ada wanita yang susah merasa bahagia dengan memberikan pengabdiannya kepada keluarga, jadi 100% menjadi ibu rumah tangga; ada wanita yang cakap dan mungkin karena ambisinya (eerzucht), rela memberikan prioritas kepada pekerjaannya di atas keluarganya. Ini dapat menimbulkan konsekuensi perceraian. Ada wanita memilih jalan tengah karena ia bekerja, maka menerima peran rangkapnya dengan coba mengadakan kombinasi yang sebaik - baiknya. Wanita ini harus mengerti apa yang menghambat suksesnya dalam pekerjaan, akan tetapi ia rela karena kesadarannya bahwa baginya keluarga adalah penting juga. Dengan demikian, bahwa jalan terbaik adalah membagi tugas sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita yang bekerja. Karena itu tugas wanita yang utama dari banyaknya tugas - tugas lain adalah membina keluarga bahagia sejahtera.Tugas pokok wanita sebagai ibu, sebagai pemelihara rumah tangga, pengatur, berusaha sengan sepenuh hati agar keluarga sendiri sebagai masyarakat akan berdiri dengan tegak, megah, aman, tenteram dan sejahtera, hidup berdampingan dengan dan di dalam masyarakat. Sebagai ibu, seorang wanita dapat menciptakan persahabatan, kekeluargaan dengan keluarga-keluarga lainnya dalam lingkungan di manapun ia berada, secara damai dan harmonis. Tugas terhadap keluarganya sendiri menjadikan sebagai keluarga yang rukun dan terhormat. Wanita bersangkutan berusaha, bekerja, dan memberikan segala sesuatu sebagai miliknya demi keutuhan keluarga, dengan sepenuh hatinya secara ikhlas menjaga kehormatan keluarga bersama - sama dengan suami dan anak-anaknya. Sebagai pendamping suami, bagi seorang wanita berkeyakinan bahwa keluarga akan berdiri kuat dan berwibawa apabila antara wanita sebagai ibu dan suami sebagai bapak dalam rumah tangga berada dalam keadaan yang seimbang, selaras, dan serasi dengan landasan pengertian, kesadaram, dan pengorbanan. Ibu di dalam rumah tangga memegang peranan yang penting dan menonjol, terutama dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya.Begitupula dalam urusan ketatalaksanaan rumah tangga. b. Kepemimpinan Wanita Secara fisik, memang perempuan memiliki keterbatasan.Ia tidak memiliki tenaga yang besar layaknya laki-laki, namun secara ide dan gagasan, perempuan tak dapat dikesampingkan peran dan fungsinya. Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktivitas politik.Perjuangan fisik melawan penjajahtelah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis, dan sebagainya. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Wanita sebagai seorang pemimpin formal pada mulanya banyak yang meragukan mengingat penampilan wanita yang berbeda dengan laki - laki, tetapi keraguan ini dapat diatasi dengan keterampilan dan prestasi yang dicapai. Di dalam kepemimpinan baik dilakukan oleh wanita maupun laki - laki memiliki tujuan yang sama hanya saja yang berbeda dilihat dari segi fisik semata-mata, sebagaimana dikemukakan Kartono Kartini (2012 : 40) bahwa,Kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu; berdasarkan akseptasi/penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus. Pemimpin yang memiliki kemampuan khusus dan diakui oleh kelompoknya termasuk ke dalam pemimpin informal, karena kepemimpinan tersebut lebih menekankan pada kekhususan tertentu terutama tempat dan individunya, sehingga seorang pemimpin terjadi atas dasar kemampuan atau keahlian tertentu, bukannya atas dasar kemampuan memimpin, misalnya kelompok wanita yang terampil dalam bidang pembuatan batik, sehingga yang paling ahli akan menjadi pemimpinnya, begitu pula kelompok wanita yang bekerja sebagai pembuat kain tenun, maka yang paling terampil akan diangkat sebagai pemimpin, dan seterusnya. Pemimpin yang berada pada organisasi formal akan memiliki kekuasaan manajemen yang didasarkan pada prinsip - prinsip manajemen pula, sehingga kekuasaan yang dimilikinya bersifat institusional dan tidak dihubungkan dengan sifat - sifat pribadi, misalnya, seorang wanita yang menjadi kepala sekolah, kemudian bawahannya baik guru - guru atau staf tata usaha tunduk kepadanya bukan pada pribadi melainkan pada kepemimpinannya karena ia sebagai pemimpin formal. Penting sekali untuk dikaji bahwa kepemimpinan seorang muncul dan dapat mensejajarkan dirinya dengan laki - laki apabila yang bersangkutan memiliki kebutuhan untuk mencapai prestasi, sebagaimana dikemukakan oleh M Clelland (dalam Weiner, 1987 : 2) yaitu: FISIP UNWIR Indramayu
47
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 ... virus mental yakni suatu cara berfikir tertentu yang kurang lebih sangat jarang dijumpai tetapi apabila terjadi pada diri seseorang, cenderung untuk menyebabkan orang itu bertingkah laku sangat giat. ...Virus mental ini diberi nama n Ach (singkatan dari need for achiement), kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi). Sebab, ia ditemukan pada suatu macam pikiran yang berhubungan dengan “melakukan sesuatu dengan baik” ataupun “melakukan sesuatu dengan lebih baik” daripada yang pernah dibuat sebelumnya : lebih efisien dan lebih cepat, kurang mempergunakan tenaga, dengan hasil yang lebih baik, dan sebagainya. Dengan demikian, bahwa seorang pemimpin dapat meningkatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya dan memiliki prestasi kerja yang lebih baik pula, sehingga seorang pemimpin wanita akan diakui kepemimpinannya oleh bawahan maupun orang lain karena kemampuan memimpin yang baik apalagi berhasil mencapai tujuan institusi yang dipimpinnya. Wanita yang menjadi seorang pemimpin formal termasuk seorang wanita karier yang akan banyak menghadapi berbagai masalah, terutama berhubungan dengan posisi yang bersangkutan antara karier dan rumah tangga, seperti yang dikemukakan oleh Tan, ( 1991 : 6 –7) yaitu, Bila semua wanita menjadi ibu rumah tangga, keberanian untuk berkarier tentu harus ditopang oleh kemampuan yang memadai, tetapi berkarier memerlukan pula tekad dan konsentrasi yang tadinya tidak dituntut pada wanita, jadi tidak dengan sendirinya menjadi modalnya.Pengembangan ambisi, keyakinan memimpin, upaya dan keberhasilan ambisi dilaksanakan dalam iklim kehidupan dengan suatu etika atau moralitas tertentu yang sebenarnya tidak dimiliki wanita. Kemampuan, ambisi, dan keberhasilan yang dicapai dengan tidak mengabaikan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga, juga dapat bekerjasama dengan kaum laki - laki.Kepemimpinan seorang wanita dilihat dari bentuk kedewasaannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, terutama sesuai dengan bidang yang dipimpinnya tanpa meninggalkan sifat kewanitaannya. Karena itu, kepemimpinan wanita perlu didefinisikan kembali, seperti dikemukakan Tan ( 1991 : 11) yaitu, ... ini berarti bahwa konsep kepemimpinan yang lebih memperoleh corak pengertian pria harus siap mengalami redefinisi sedemikian rupa sehingga kepemimpinan menurutt perspektif wanita dimungkinkan. Masyarakat kita yang memberi tempat tinggi pada citra keibuan akan menopang pemimpin sebagai ibu dan sudah menjurus ke arah itu. kepemimpinan berarti kompetisi dan hierarki, berkaitan dengan masalah kekuasaan dan tanggung jawab. Dari segi wanita ... pengertian ini perlu mendapat redefinisi, seperti halnya kekuasaan juga memperoleh redefinisi menurut konteks budaya yang kita hadapi. Akhirnya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai bentuk kedewasaan. Sedangkan kedewasaan adalah kemampuan mengolah dilema .penghayatan serta manifestasinya: integritas dan keterlibatan. Ciri khas kepribadian pemimpin terlettak pada kedewasaan yang merupakan bentuk kepribadian yang pada wanita berkembang pula maskulinitas, pada pria aspek feminitas, dalam arti bahwa kepemimpinan sekaligus menggabungkan kedewasaan maskulin maupun feminim dalam satu pribadi : tegas dan peka, perkasa dan lembut, tegar tetapi penuh empati. Kepemimpinan berarti pengembangan sifat androgy, baik pada pria maupun pada wanita sehingga bagi wanita tidak melalaikan aspek maskulin pada perkembangan dirinya. Wanita yang mampu dan bertindak sebagai pemimpin, memiliki sifat ganda baik sebagai wanita yang feminim maupun memiliki kekuatan berupa, tegas, tegar, dan keperkasaan dalam arti mampu mengambil keputusan yang tepat seperti halnya dilakukan laki - laki. Hal ini, merupakan sifat yang diperlukan seorang pemimpin, tanpa hal yang itu akan sulit dilaksanakan, mengingat banyak pendapat bahwa wanita adalah mahluk yang lemah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Wanita sebagai pemimpin tidak jarang menghadapi banyak hambatan yang berasal dari sikap budaya masyarakat yang keberatan, mengingat bahwa laki - laki berfungsi sebagai pelindung dan kepala keluarga.Begitu pula hambatan fisik wanita yang dianggap tidak mampu melaksanakan tugas - tugas berat. Untuk lebih jelasnya Tan, (1991:16) menguraikan beberapa hambatan yang muncul dari kepemimpinan wanita, sebagai berikut: Pertama, hambatan fisik.Perempuan, katanya, dibenani tugas “kontrak” untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.Keharusan ini mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus menerus dalam berbagai bidang kehidupan.Bayangkan jika perempuan harus melahirkan sampai lebih selusin anak. Pastilah usia produktifnya habis dipakai untuk tugas - tugas reproduktif yang mulia itu. 48
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Kedua, hambatan teologis.Untuk waktu yang lama, perempuan dipandang sebagai mahluk yang dicipta untuk lelaki.Termasuk mendampingi mereka, menghiburnya, dan mengurus keperluannya.Perempuan, menurut cerita teologis seperti ini, diciptakan dari rusuk lelaki.Cerita ini telah jauh merasuk dalam benak banyak orang, dan secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan untuk mengambil peran yang berarti. Ketiga, hambatan sosial budaya.Terutama dalam bentuk stereotipikal.Pandangan ini melihat perempuan sebagai mahluk yang pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan.Sebaliknya, lelaki dinilai sebagai mahluk yang aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan sebagainya.Pandangan ini menempatkan lelaki secara sosio - kultural lebih tinggi “derajatnya” dibanding perempuan. Keempat, hambatan sikap pandang. Hambatan ini antara lain bisa dimunculkan oleh pandangan dikotomistis antara tugas perempuan dan lelaki. Perempuan dinilai sebagai mahluk rumah, sedangkan lelaki dilihat sebagai mahluk luar rumah.Pandangan dikotomistis seperti ini boleh jadi telah membuat perempuan merasa risi keluar rumah, dan visi bahwa tugas - tugas kerumahtanggaan tidak layak digeluti lelaki. Kelima, hambatan historis. Kurangnya nama perempuan dalam sejarah di masa lalu bisa dipakai membenarkan ketidakmampuan perempuan untuk berkiprah seperti halnya lelaki. Lima hambatan tersebut menyebabkan potensi kepemimpinan wanita menjadi tidak mendapat tempat yang layak di dalam kehidupan, tetapi dengan adanya arus informasi dan komunikasi yang masuk dan diterima oleh kaum wanita menyebabkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan kepemimpinannya menjadi terbuka lebar. Bagi wanita yang memiliki pendidikan cukup sesuai dengan Undang - Undang Wajib Belajar telah memberi kesempatan kepada wanita untuk berkarier sesuai dengan kemampuannya apalagi dengan kuatnya arus informasi yang diterima di rumah melalui televisi, radio, surat kabar ataupun majalah, telah membuka cakrawala wanita untuk berusaha seluas - luasnya. Apabila wanita sebagai ibu rumah tangga hanya bertugas sebagai mahluk yang harus melahirkan terus menerus tentu saja kesempatan untuk mengembangkan diri hampir tersita untuk mengandung, melahirkan dan mengurus anak, tetapi dengan adanya alat kontrasepsi menyebabkan kelahiran yang banyak dapat diatasi bahkan dijarangkan, sehingga kesempatan untuk mendidik anak dan mengembangkan dirinya menjadi lebih terbuka. Untuk dapat menjadi seorang pemimpin bagi wanita, tidaklah mudah terutama sekali adalah kemampuan yang ada dalam dirinya yang ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang yang akan dipegangnya, sehingga untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil terdapat beberapa nilai dasar kepemimpinan, menurut Tan,( 1991 : 71 - 72) sebagai berikut, a. intelegensi yang relatif lebih tinggi daripada yang dipimpin b. berfikir positif c. kedewasaan sosial dan cakupan jangkauan yang luas d. menjadi panutan yang baik e. menjadi pendengar yang baik f. keterbukaan dalam berkomunikasi g. tidak mudah menyerah Nilai dasar kepemimpinan tersebut merupakan arah yang harus dijalankan seorang pemimpin dalam menjalankan organisasi yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan yang harus dicapai.Apabila seorang pemimpin telah menjalankan nilai dasar kepemimpinan, maka antara pemimpin wanita dan laki - laki tidak ada bedanya, sehingga proses organisasi atau institusi yang dipimpinnya akan berjalan sesuai tujuan dengan meminimalkan resiko yang mungkin muncul. Karena itu, kepemimpinan wanita dimanapun juga perlu diberi kesempatan yang sama seperti yang dikemukakan Tan,(1991 : 38) yaitu, a. Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan sekarang dan masa yang akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik, ekonomi, social - budaya, dan agama bangsa. b. Kepemimpinan perempuan dapat berkembang jika pendidikan perempuan dapat ditingkatkan sama dengan laki - laki. c. Kepemimpinan perempuan harus dinyatakan perlu dan penting untuk dikembangkan disegala bidang dan bagi semua tingkat.
FISIP UNWIR Indramayu
49
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 d. Pemimpin laki - laki perlu diyakinkan pentingnya kepemimpinan perempuan, dan diyakinkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan menyaingi potensi kepemimpinan laki - laki. Namun justru akan melengkapi dan memperkaya kepemimpinan laki - laki. Untuk itu kepemimpinan laki laki perlu memberikan kesempatan yang sebanyak - banyaknya kepada pemimpin perempuan. e. Pemerintah bersama - sama dengan organisasi - organisasi perempuan perlu menyusun “masterplan”, tentang bagaimana meningkatkan kepemimpinan perempuan di segala bidang kehidupan bagsa dan negara. Dengan demikian, bahwa kepemimpinan wanita berfungsi sebagai mitra dari kepemimpinan laki - laki, dan wanita memiliki porsi yang jelas keikutsertaannya dalam pembangunan bangsa dan negara. Lambat laun kedudukan dan kepemimpinan wanita secara nyata akan sama dengan kaum laki - laki, sehingga tidak ada lagi pemisahan gender dalam berusaha dan mengabdikan diri untuk pembangunan yang sesuai dengan cita - cita nasional. c. Partisipasi Politik Wanita. Keterlibatan wanita dalam politik merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara.Ibarat negara sebuah rumah tangga, maka wanitalah yang memiliki peran untuk mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut.Maka, dapat dipastikan bahwasanya wanita memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.Walaupun demikian, bagi negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal ini terlihat dari total partisipasi wanitadalam parlemen yang dibatasi hanya sebesar 30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang menjunjung genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran wanita. Hingga saat ini, peran wanitadan representasi politiknya di parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih sangat rendah dan memprihatinkan. Rendahnya partisipasi wanita tersebut bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang, tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik untuk memperkuat keterampilan politiknya, kurang adanya kesadaran untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga legislatif dan partai politik, serta masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi aksesibilitas dan partisipasi wanita dalam pemilu, perlemen dan dalam pemerintahan. Alasan- alasan inilah yang menjadi suatu pembeda antara kaum laki- laki dan kaum wanita.Bahkan, dalam pembagian hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya yang diatur oleh agama, wanita dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini bukanlah suatu kerugian bagi seorang wanita, melainkan sebuah pernyataan tertulis bahwasanya wanita adalah makhluk yang sejatinya harus dijaga harkat dan martabatnya serta diposisikan dalam konteks yang lebih kompleks dan utama, dibandingkan dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Nurhaeni (2009:53) menyatakan: “Sepanjang dibelahan dunia patriarki seperti Indonesia, representasi isu- isu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya) telah ditolak di dalam wacana public. Diperlukan suatu terobosan baru dalam mengaktualisasikan peran wanita dalam wacana publik atau dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, terkadang wanita menjadi “korban” dalam suatu dinamika politik.Itulah mengapa, terkadang dalam sistem politik Indonesia, jarang sekali yang menampilkan arahan kebijakan pemberdayaan wanita sebagai mana yang diharuskan dalam peraturan perundang- undangan yang menetapkan perlunya meningkatkan kedudukan dan peranan wanita serta meningkatkan kualitas peranan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, peranan wanita merupakan merupakan jawaban dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita - citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur - unsur masyarakat, yang pada hakekatnya bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek pembangunan tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi wanita perlu
50
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 untuk diperhitungkan jika tidakingin disebut bahwa wanita Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di Negara - negara lain. Kenyataan yang terjadi adalah perempuan masih sering dianggap hanya sekedar mengurusi urusan dapur dan kerap kali kemampuannya masih diremehkan untuk mengatasi urusan-urusan krusial.Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang hendak mencalonkan diri untuk maju pada posisi strategis seperti sebagai anggota legislatif ataupun pemimpin dalam tingkat daerah, sering kali dianggap sebelah mata dan kurang diperhitungkan.Hal-hal tersebut kemudian menjadi penyebab keterlibatan wanita di dunia politik menjadi terlambat. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,1999, 2004, 2009 dan 2014. Dalam hal keterwakilan perempuan, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang Pemilu yang memuat ketentuan pencalonan perempuan oleh partai politik sekurang-kurangnya 30% mengawali aspirasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada ranah politik. Undang-Undang tersebut kemudian diperbarui dengan lahirnya Undang-Undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008, yaitu pasal 53 yang menyatakan bahwa daftar calon memuat minimal 30% perempuan, dan pasal 55 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap tiga nama calon memuat minimal satu perempuan. Wanita Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan.Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata mata hanya sekedar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa. Hak suara wanita memiliki kesejajaran dengan laki - laki dalam hal mengambil dan menentukan keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi pilihannya, apalagi ia duduk sebagai pengurus dari salah satu partai, seperti dikemukakan Nilakusuma (1960:180): Kita harus insyaf dan mengerti akan keharusan adanya partai-partai di suatu negara, dan sumbangan-sumbangan apa yang diberikan partai untuk pembangunan neegara dan bangsa. Di samping ini, kita harus mengerti pula bahwa partai-partai itu adalah kumpulan dari orang-orang yang mempunyai ideologi sama, agar di dalam meneruskan suara merupakan kesatuan yang baik. Dengan mempunyai kesadaran ini, wanitapun dapat berdiri sendiri dengan kecerdasannya, memilih partai yang sesuai dengan cita-citanya.Sungguh mengecewakan, jika partai-partai itu menjadi sasaran pencari untuk untuk sendiri, dan wanita dijadikan alatnya karena tidak cukup kesadaran di dalam partai.Jika wanita duduk di dalam partai, bukanlah semata - mata untuk diberi tugas guna menyediakan jamuan pada rapat rapat partainya atau ketika partai kedatangan tamu agung, tetapi juga memberikan suaranya bersama dengan anggota laki-laki. Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik tidak dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki - laki. Walaupun demikian, bahwa hakhak politik yang dimiliki wanita pada kenyataannya tidaklah sesuai yang diinginkan, sebagaimana dikemukakan oleh Suwondo (2006:141): 1. Kenyataan bahwa jumlah wanita yang duduk dalam badan - badan legislatif belum memadai, disebabkan oleh sistem pencalonan melalui daftar calon, di mana wanita dicantumkan di bagian bawah dari daftar. 2. Kenyataan yang menunjukkan bahwa jabatan/kdudukan penentuan kebijaksanaan (policy making) belum banyak diisi oleh kaum wanita. Maka dalam rencana Kegiatan Nasional Wanita Indonesia antara lain disarankan mengenai bidang ini : a. Menggiatkan pendidikan di kalangan wanita tentang pengetahuan kewarganegaraan dan perundang - undangan; b. Meningkatkan partisipasi wanita dibidang pembuatan perundang - undangan yang perlu segera dikeluarkan mengenai : catatan sipil; adopsi; hukum waris atas dasar persamaan hak antara pria dan wanita; hukum acara untuk pengadilan agama; pemberantasan pelacuran; pengadilan anak dan kesejahteraan anak; c. Mengusahakan perbaikan dalam bidang pencalonan anggota - anggota wanita dalam badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; d. Mengadakan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan undang - undanf, terutama yang menyangkut kedudukan dan kesempatan bagi wanita ; FISIP UNWIR Indramayu
51
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 e. Mengenai peranan wanita dalam kerjasama international : 1. Dalam pelaksanaan kerjasama international, regional, dan sub regional hendaknya wanita diikutsertakan dalam penentuan kebijaksanaan (policy making). 2. Pemerintah menjamin bahwa wanita terwakili secara seimbang di antara utusan - utusan inti ke semua badan international, koperensi, termasuk yang menangani masalah - masalah politik, hukum, pembangunan ekonomi dan sosial, perencanaan, administrasi dan keuangan, ilmu dan teknologi, lingkungan dan kependudukan. 3. Dalam kerjasama di lingkungan ASEAN, hendaknya segera disertakan pembentukan Permanent Committee on Women dalam struktur ASEAN. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peranan wanita dalam pembangunan nampaknya harus mendapat porsi yang seimbang dengan kaum laki - laki, sebagaimana dikemukakan oleh Anugrah Yusuf, 2009 : 35) sebagai berikut: Di bidang kehidupan politik, baik dari segi eksekutif, legislatif maupun yudikatifnya, kepemimpinan perempuan telah mulai diperhitungkan walaupun belum seimbang dengan proporsinya dalam masyarakat.Jumlah menteri dalam kabinet terbatas, itupun hanya kepentingan tertentu saja yang mestinya ditambah.Sekertaris jendral, direktur jendral dapat dihitung dengan jari.Apakah jabatan yang penuh tanggung jawab tersebut harus dipegang oleh pemimpin laki-laki? Pemimpin perempuan dengan kualitas yang sama nampaknya belum mungkin dipercayai memegang jabatan tersebut. Pemimpin perempuan dalam bidang pertahanan dan keamana? Nampaknya partisipasi wanita dalam bidang politik ini perlu dikaji kembali mengingat jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah wanita yang seharusnya berperan.Karena itu, perlu dikaji kembali bentuk partisipasi yang nyata dalam kehidupan politik bagi kaum wanita.Partisipasi politik bagi kaum wanita perlu mendapatkan penjelasan, sehingga pengertian partisipasi politik wanita menjadi jelas. Dalam konteks ini Budiardjo (2004:43) memberikan penjelasan mengenai partisipasi politik sebagai berikut: Di Negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegangtampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partisipasi politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut terlibat di dalamnya. Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar maka dianggap menjadi lebih baik.Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkan dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatankegiatan politik tersebut.Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi wanita itu rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum wanita yang tidak menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkan apabila terjadi kurangnya pendapat mengenai kebutuhan politik wanita yang dikemukakan, maka kepala negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan, sehingga cenderung akan melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Dengan demikian, bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh wanita dapat melalui beberapa jalur, yang meliputi : a. Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain - lain kegiatan yang menggerakan ibu - ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan b. Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat dilaksanakannya pemilu c. Wanita yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai dengankemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan dituntut untuk memiliki 52
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 keterampilan dan kemampuan memimpin, sehingga tidak tergantung pada laki - laki. Kegiatan di pemerintahan ini diharapkan menjadi seorang pengambilan keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala instansi di tempat kerjanya. d. Wanita yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain - lain. Secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesi, harapan bahwa partisipasi yang dilakukan wanita tidak saja sebagai partisipasi pasif,tetapijuga sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan agar dapat diwujudkan secara maksimal hingga keberadaannya dapat diperhitungkan,selalu diakui dan tidak dipandang sebelah mata.
KESIMPULAN. Dari uraian pemaparan diatas, kesimpulan yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut : 1. Peran Kepemimpinan Wanita dan keterlibatannya dalam bidang politik di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal, ditetapkannya Instruksi Presiden tahun 2000 tentang pengurusutamaan gender menjadi dasar pijakan politis bagi wanita untuk berpartisipasi didalam pembangunan. Prestasi dan keterampilan yang tinggi yang ditunjukkan oleh kaum wanitadi Indonesia belum sepenuhnya membuktikan bahwa wanita memiliki banyak persamaan dengan laki-laki. Tetapi dengan kemampuannya tersebut wanita dapat memiliki peran ganda, yaitu menjadi wanita sukses (wanita karier) dengan tanpa meninggalkan kodrat kewanitaannya sebagai ibu rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya. Salah satu kesuksesan wanita di luar dunianya, dapat dilihat dari kepemimpinan seorang wanita. Bahkan, kemampuan – ambisi – keberhasilan wanita dalam kepemimpinan dapat melebihi laki - laki, karena pada wanita tersimpan kekuatan berupa ketegasan, ketegaran, dan kemampuan dalam mengambil keputusan yang tepat, sebagai syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang pemimpin Keterlibatannya dalam bidang politik diharapkan tidak hanya sebagai partisipasi yang pasif tetapi juga harus aktif dalam keikutsertaannya untuk menentukan dan memutuskan dalam segala hal, agar keberadaannya selalu diakui dan diperhitungkan.Walau demikian, peran wanita masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya,hal ini terlihat dari total partisipasi wanita dalam perlemen yang dibatasi hanya sebesar 30%. 2. Selain itu, seorang wanita untuk menjadi pemimpin atau berkarier di luar rumah lebih banyak mendapatkan hambatan dibandingkan laki - laki, diantaranya adalah hambatan fisik, teologis, sosial budaya, sikap pandang, dan hambatan historis.Kenyataan yang terjadi adalah perempuan masih sering dianggap hanya sekedar mengurusi urusan dapur dan kerap kali kemampuannya masih diremehkan untuk mengatasi urusan-urusan krusial. Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang hendak mencalonkan diri untuk maju pada posisi strategis seperti sebagai anggota legislatif ataupun pemimpin dalam tingkat daerah, sering kali dianggap sebelah mata dan kurang diperhitungkan. Hal-hal tersebut kemudian menjadi penyebab keterlibatan wanita di dunia politik menjadi terlambat. DAFTAR PUSTAKA. Alfian. 2001 (ed)Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Anugrah Yusuf, 2009, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik. Jakarta:Pancuran Alam. Budiardjo, Miriam (ed). 2004. Partisipasi dan Partai Politik. .Jakarta : PT. Gramedia. Kartono, Kartini. 2012. Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah pemimpin abnormal itu?.Jakarta : CV. Rajawali. Weiner Myron. Modernisasi :Dinamika Pertumbuhan. New York : Voice of America Forum Lecture. Mutawali.1987. Peranan Wanita dalam Pembangunan Desa.Bandung : PT. Karya Nusantara. Nilakusuma, S. 1960. Wanita di dalam dan di luar Rumah.Bukittinggi : NV. Nusantara. FISIP UNWIR Indramayu
53
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Nurhaeni, 2009, Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Notopuro, Hardjito. 2007 Peranan Wanita dalam Masa Pembangunan di Indonesia.Jakarta : Ghalia Indonesia Soekarno.Sarinah.1963 :Kewajiban wanita dalam perdjoangan Republik Indonesia. Jakarta : buku - buku karangan Presiden Sukarno. Suryohadiprojo, Sayidiman. 2001. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta : PT. Gramedia. Suwondo, Nani. 2000. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat.Jakarta : Ghalia Indonesia. Tan, Melly G (ed). 1991. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
54
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN POLITIK Oleh: Drs. Budi Mulyawan, M.Si.
Abstrak Budaya politik merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun modern, sehingga menjadi aspek yang siginifikan dalam sistem politik. Sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku politik seseorang, kajian terhadap pembangunan politik suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari budaya politik yang tumbuh dan berkembang di masyarakatnya. Seberapa besar harmonisasi yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan politik merupakan parameter dari pembangunan politik itu sendiri. Kata kunci: budaya politik, sistem politik, dan pembangunan politik. A. Pendahuluan Kebudayaan, merupakan blue print of behavior yang memberikan pedoman bagaimana warga masyarakat bertindak atau berperilaku dalam upaya mencapai tujuan bersama. Atas dasar kebudayaan, masyarakat membentuk prosedur-prosedur yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Budaya politik – sebagai unsur dari kebudayaan − merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun modern. Dalam hal ini Almond dan Verba (dalam Gaffer, 2006:99) mendefinisikan budaya politik sebagai “sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik Sedangkan David Easton (dalam Winarno, 2008:15) menyatakan bahwa budaya politik adalah “all politically relevan orientation whether of cognitive, evaluative, or expressive sort.”3 Budaya politik merupakan aspek yang sangat siginifikan dalam sistem politik.Hal ini dikarenakan bekerjanya struktur dan fungsi politik dalam suatu sistem politik sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya (Winarno, 2008:65).4 Dalam konteks sistem politik Indonesia, Kantaprawira (2006:35) memposisikan budaya politik sebagai satu dari sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik, bahkan yang dianggap paling intens dan mendasari sistem politik. Lebih jauh, Kantaprawira (2006:36) mengkonstatasi bahwa salah satu parameter pembangunan politik Indonesia adalah tercapainya keseimbangan atau harmoni budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau akan ada. Berpijak dari paparan di atas, tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai budaya politik Indonesia untuk mengenal atribut atau ciri yang terpokok untuk menguji proses 3
Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya.Sementara itu orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik.Jadi menyangkut feeling terhadap sistem politik.Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya. 4 Struktur-struktur yang umum dalam sistem politik adalah kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik, badan legislatif, eksekutif, birokrasi, dan badan-badan peradilan. FISIP UNWIR Indramayu
55
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
yang berlanjut maupun yang berubah, seirama dengan proses perubahan dan perkembangan politik masyarakat di masa konsolidasi demokrasi saat ini.5 . B. Tipe-tipe Budaya Politik Gabriel Almond dan Sidney Verba (1963) mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan politik : (1) Budaya politik parokial (parochial political culture) yang ditandai dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah. Hal ini disebabkan faktor kognitif, misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; (2) Budaya politik subyek (subject political culture) di mana anggota-anggota masyarakatnya memiliki minat, perhatian, mungkin pula kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap output-nya, namun perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik, boleh dikatakan nol; dan (3) Budaya politik partisipan (participant political culture) yang ditandai oleh adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik sehingga menyadari setiap hak dan tanggungjawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya. Namun demikian, dalam suatu masyarakat kerapkali ditemukan inklanasi kepada salah satu tipe budaya politik, misalnya, dalam budaya politik partisipan masih dapat dijumpai individuindividu yang tidak menaruh minat pada obyek-obyek politik secara luas. Menyadari realitas budaya politik yang hidup di masyarakat tersebut, Almond menyimpulkan adanya budaya politik campuran (mixed political culture) yang menurutnya lazim terjadi pada masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan dan dinamika yang pesat, sehingga sistem politik bisa berubah dan kultur serta struktur politik senantiasa tidak selaras. Budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Almond sebagai berikut: 1. Budaya Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture) Tipe budaya politik saat sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuintutan ekslusif masyarakat suku yang feodalistik.Masyarakatnya mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang sentralistis. 2. Budaya Subyek-Partisipan (The Subject-Participant Culture) Proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan yang sangat dipengaruhi oleh cara bagaimana peralihan budaya parokial menuju budaya subyek. Dalam budaya subyekpartisipan ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi yang aktif; sementara sebagian penduduk masih terorientasi dengan struktur kekuasaan yang otoriter dan menempatkan partisipasi masyarakat pasif. 3. Budaya Parokial-Partisipan (The Parochial-Participan Culture) Kondisi ini biasanya terjadi di dalam negara yang sedang berkembang.Hampir seluruh negara berkembang memiliki budaya parokial.Karenannya sistem politik mereka terancam oleh fragmentasi parokial yang tradisional, padahal mereka ingin secepatnya menjadi sebuah negara modern. Suatu masa, cenderung ke otoritarianisme dan pada waktu yang lain ke arah demokrasi. 4. Budaya Parokial-Subyek-Partisipan (Civic Culture) Civic culture (budaya kewarganegaraan) menekankan pada partisipasi rasional dalam kehidupan politik, digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan subyek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dari penggabungannya dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan keseimbangan aktivitas politik, 5
Esensi konsolidasi demokrasimenurut Larry Diamond adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elite maupun massa yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Sedangkan menurut Laurence Whitehead, konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.
56
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
keterlibatan dan adanya rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai parokial. Singkatnya, budaya politik ini merupakan penggabungan karakteristik dari ketiga budaya politik murni. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan terhadap pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku, dan agama. C. Budaya Politik Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Politik Sudah cukup banyak ahli yang melakukan kajian terhadap budaya politik Indonesia. Beberapa diantaranya menjadikan kelompok etnis Jawa sebagai titik tolak analisis mereka atas dasar asumsi bahwa di masyarakat yang multietnik akan ditemukan pola budaya yang dominan. Dalam hal ini, etnis Jawa dipandang sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik di Indonesia6. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa pola hubungan yang ditemukan pada masyarakat Indonesia bersifat patronase (patronage) yang sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara pemimpin dan pengikut yang berkembang pada kebudayaan Jawa. Jackson (1978:23) misalnya, menyatakan bahwa lingkaran hubungan patron-klien pada masyarakat Jawa disusun atas relasi hubungan yang bersifat diadik, face to face, tidak setara, tetapi saling menghargai antara pemimpin dengan pengikutnya (leaders and followers). Sementara Gaffar (206:109) menyoroti dasar dari pola hubungan antara patron (patron) dan klien (client) tersebut sebagai hubungan yang bersifat resiprokal dengan mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Pola hubungan tersebut walaupun bersifat asimetris, akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak memiliki sumber daya tersebut.7 Dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, Gaffar (206:107) memandangnya sebagai struktur yang bersifat hiearkhis yang didasarkan pada aspek kekuasaan (politis) ketimbang atribut sosial yang bersifat materialistik. Dalam hal ini ada pemilihan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan (priyayi sebagai pihak penguasa atau wong gedhe) dan rakyat kebanyakan (wong cilik), yang termanifestasi dalam kehidupan sosial di mana birokrat seringkali menampakkan diri dengan self-image atau citra diri yang bersifat benevolensi, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau guru/pendidik bagi rakyatnya, sehingga mewajibkan rakyat loyal kepada mereka. Implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kehidupan berdemokrasi adalah rakyat mengalami proses alienasi dari proses politik. Rakyat diposisikan sebagai objek yang harus selalu menerima segala keputusan pemerintah dalam setiap kebijakan publik. Dalam kajian selanjutnya, Gaffar (2006:114) mensinyalir kemunculan budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik dalam perpolitikan di Indonesia.Dikatakan neo-patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi; tetapi juga memperlihatkan beberapa atribut yang bersifat patrimonialistik sebagaimana konsep patrimonialisme yang dikembangkan oleh Max Weber.8 Pendapat Rusadi Kantaprawira (2006:37-39) selaras dengan dua ahli sebelumnya. Menurutnya, budaya politik Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi viariabel feodalisme, 6
Beberapa ahli yang dimaksud dalam tulisan ini antara lain Karl D. Jackson (1978),Afan Gaffar (2006 ), Rusadi Kantaprawira (2006), dan Budi Winarno (2008) 7 Sebagai pihak yang memiliki sumber daya yang lebih besar dan lebih kuat, sudah tentu patronlah yang paling banyak menikmati hasil dari hubungan ini. 8 Atribut yang dimaksud menurut Weber, yaitu: Pertama, kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya. Kedua, kebijakan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada universalistik.Ketiga, rule of laws merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (rule of man).Keempat, kalangan penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang menyangkut kepentingan pribadi dan mana yang menyangkut kepentingan publik. FISIP UNWIR Indramayu
57
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
paternalisme, dan primordialisme. Indikator dari paternalisme dan patrimonial yang masih cukup kuat mewarnai budaya politik Indonesia adalah asal bapak senang (bapakisme); sedangkan indikator primordialisme berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekataan terhadap agama tertentu, puritanisme dan non-puritanisme, dan sebagainya. Namun ditengah-tengah pengaruh tradisionalisme tersebut, Kantaprawira mengidentifikasi tumbuhnya kelompok elit di Indonesia sebagai akibat pengaruh pendidikan modern (Barat) yang merupakan partisipan aktif. Atas dasar analisis pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap budaya politik masyarakat, Kantaprawira (2006:38) berkesimpulan bahwa budaya politik Indonesia merupakan mixed political culture yang diwarnai oleh besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-subyek.9 Adapun di Era Reformasi, berdasarkan kajian Budi Winarno (2008:66-70), budaya politik masyarakat Indonesia ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan, karena masih tetap diwarnai oleh paternalisme, parokhialisme, mempunyai orientasi yang kuat terhadap kekuasaan, dan patrimonialisme yang masih berkembang dengan sangat kuat.Hal ini disebabkan adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya (yang biasanya diwujudkan dalam konstitusi), namun tidak pada semangat budaya yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut. Dalam mengkaji budaya politik masyarakat Indonesia atas dasar empat budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Gabriel Almond, Winarno (2008:66-68) berkesimpulan bahwa budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara parochial-subject culture, subject-participant culture, parochial-participant culture, dan civic culture. Dalam hal ini budaya politik Indonesia, menurutnya, bergerak di antara subject-participant culture dan parochial-participant culture. Subject-participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Rasa sebagai wong cilik, orang-orang tidak mampu, dan termarginalkan membuat mereka hanya berorientasi pada output sistem politik dibandingkan dengan kepedulian terhadap proses input sistem politik. Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di daerah-daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan di mana masyarakat miskin dan termarginalkan tumbuh subur.Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neo-liberal mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar. Parochial-participant culture ditandai semangat primordialisme secara berlebihan, yakni menguatnya wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah.Dalam hal ini terdapat tekanan dan desakan yang kuat di beberapa daerah agar pemimpin lokal seperti walikota/bupati dan gubernur dipilih dari putra-putra daerah. Situasi ini jelas akan merugikan sistem politik secara keseluruhan karena cenderung menimbulkan konflik horizontal dan menghambat rasa kebangsaan (nation building) yang pada akhirnya menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi. Sejauh ini belum ditemukan kajian ahli tentang budaya politik masyarakat Indonesia dengan menyertakan proporsi pada tiap kategori tipe budaya politik dalam konteks mengetahui model orientasi masyarakat terhadap pemerintahan dan politik. Tulisan ini mencoba memetakan budaya politik masyarakat Indonesia berdasarkan klasifikasi tipe-tipe budaya politik menurut Almond dengan menyertakan proporsi kuantitatif pendukung pada setiap klasifikasi. Langkah pemetaan dilakukan dengan melakukan dikotomi dua struktur komunitas: perkotaan dan perdesaan. Selanjutnya warga pada masing-masing komunitas dikelompokan 9
Kantaprawiraberusaha menggambarkan kondisi budaya politik Indonesia di masa diterapkannya sistem politik Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila;sementaraGaffar menjadikan budaya politik Orde Baru sebagai objek kajiannya.
58
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
berdasarkan status sosioekonomi mereka. Hal ini didasari pada pendapat Lipset (dalam Asrinaldi, 2012:68) bahwa masyarakat yang memiliki status ekonomi yang lebih baik akan lebih mudah berpartisipasi secara efektif ketimbang yang memiliki status ekonomi yang berkekurangan. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara status sosioekonomi seseorang dengan perkembangan demokrasi.Selain sosio-ekonomi, dimensi lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan demokrasi adalah tingkat pendidikan formal. Tinggi-rendah pendidikan individu berkaitan dengan rasionalitas seseorang dalam melakukan evaluasi terhadap aktivitas politik.Dalam hal ini terdapat korelasi antara sosio-ekonomi dengan tingkat pendidikan di mana pendidikan yang rendah pada umumnya ditemukan pada masyarakat kalangan miskin. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat perkotaan dibagi dalam tiga stratifikasi: masyarakat miskin, kelas menengah, dan kelas atas. Sementara warga komunitas perdesaan dibagi berdasarkan stratifikasi: elit − massa. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih pada Pemilu yang baru lalu berjumlah 186.612.255 jiwa10 sementara persentase penduduk perdesaan sebesar 50,2 % dan penduduk perkotaan 49,8%, maka penduduk pedesaan yang memiliki hak pilih sebesar 93.679.352 jiwa dan perkotaan 92.932.903 jiwa. Adapun angka kemiskinan di perdesaan pada tahun 2011 sebesar 16,56% dan di perkotaan 9,87%,11 sehingga jumlah penduduk miskin di pedesaan yang mempunyai hak pilih sebesar 15.513.300 jiwa sedangkan di perkotaan 9.172.478 jiwa. Menyoal struktur sosial masyarakat perkotaan di mana 9,87 persen merupakan masyarakat miskin dan 50,3 persen adalah kelas menengah.12Dalam konteks tersebut menarik untuk dikemukakan hasil penelitian Asrinaldi (2012:215) yang menyatakan bahwa budaya politik masyarakat miskin di perkotaan cenderung parokial dan subjektif. Di sini, Asrinaldi membagi sikap politik masyarakat miskin menjadi dua kategori: kelompok pertama adalah kelompok yang apatis terhadap politik; sedangkan kelompok kedua adalah yang dikategorikan memiliki sikap semi apatis atau semi politik. Pendidikan kelompok terakhir ini hanya tamat SD atau tidak tamat SLTP. Dasar pendidikan inilah yang membantu mereka mendapatkan informasi politik, misalnya mencari pengetahuan mengenai aktivitas politik melalui surat kabar – biasanya surat kabar bekas yang ada di sekitar mereka. Dari dua kategori ini walaupun Asrinaldi tidak secara tegas membedakan masing-masing kategori berdasarkan budaya politiknya, namun dapat diduga kelompok berkebudayaan parokial yang dimaksudkannya adalah kelompok apatis, sedangkan yang berbudaya subjektif merupakan kelompok semi apatis. Sementara berdasarkan hasil survey litbang Kompas, orientasi politik kelas menengah juga cenderung apatis dan belum mau bergerak mengorganisasikan diri untuk perubahan. Mereka tidak begitu menghiraukan apa yang terjadi pada kondisi sosial politik meskipun mereka masih menunjukkan eksistensinya dalam pemilihan umum dan daerah. Dengan demikian eksistensi atau keterlibatan kategori masyarakat ini hanya sebatas partisipasi tidak langsung (representative democracy)13, belum menyentuh partisipasi dengan keterlibatan langsung (representative democracy).Orientasi politik semacam ini dapat dikategorikan kebudayaan politik subyek.Hal ini dikuatkan dengan pendapat Dedi Irawan (dalam Efriza, 2012:118) bahwa masyarakat berkebudayaan politik subjek tergambarkan dalam kelompok-kelompok menengah di 10
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2014 Statistics Indonesia Tahun 2012 (http://puzzleminds.com/kualitas-kependudukan-di-indonesia/) 12 Survey litbang Kompas mengenai kelas menengah 2012 (http://politik.kompasiana.com/2012/ 09/21/ membacapilihan-politik-kelas-menengah-494839.html) 13 Secara teoritis partisipasi politik masyarakat menurut ahli dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu partisipasi langsung dan tidak langsung. Partisipasi langsung berkaitan dengan keterlibatan langsung (representative democracy), misalnya melakukan debat politik, diskusi publik, lobi politik, dan menghadiri kampanye politik. Sedangkan partisipasi tidak langsung(representative democracy) diidentifikasi dengan keterlibatan publik yang terbatas atau bahkan diwakilkan, misalnya kegiatan mencoblos dalam pemilu. 11
FISIP UNWIR Indramayu
59
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
perkotaan.Mereka memiliki tingkat kesadaran politik yang memadai, yaitu memahami tentang situasi dan dinamika politik yang mengantarkan mereka untuk bersimpati pada salah satu parpol.Hanya saja kalangan menengah perkotaan ini biasanya bersikap pasif dalam aktivitas politik. Adapun dalam menentukan kategori masyarakat berbudaya politik partisipan, parameter yang digunakan dalam tulisan ini adalah aspek rasionalitas masyarakat dalam kegiatan politik.14 Apabila diasumsikan rasionalitas seseorang dalam melakukan aktivitas politik ditentukan oleh pengetahuan mereka dan pengetahuan tersebut dibentuk oleh proses pendidikan formal (Asrinaldi, 2012:45), maka budaya politik partisipan dianggap ekuivalen dengan pendidikan tinggi yang dicapai seseorang. Bertolak dari beberapa asumsi dan data kuantitatif tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa dari sejumlah 92.932.903 jiwa penduduk dewasa di perkotaan: - Penduduk miskin apatis bertipe budaya politik parokial diperkirakan berjumlah 4.553.712 jiwa atau 4,9 persen. Sementara warga masyarakat miskin yang memiliki sikap semi apatis atau semi politik berkebudayaan subyek berjumlah 4.646.645 atau 5 persen. - Kelas menengah berjumlah 46.745.250 atau 50,3 persen penduduk dewasa, berbudaya politik subjek.15 - Masyarakat bertipe kebudayaan partisipan diperkirakan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi (sarjana dan diploma) yang jumlahnya berkisar antara 5-10%16 atau berkisar antara 9.330.613 sampai 18.661.225 jiwa. Sementara dari kalangan mahasiswa sebanyak 4,8 juta17 jiwa atau 2,56 persen dan kalangan elit yang jumlahnya diperkirakan mencapai kurang dari 2 persen. Dari perhitungan sederhana ini dapat diketahui bahwa jumlah warga masyarakat perkotaan bertipe budaya partisipan berjumlah ± 15 persen atau 13.939.935 jiwa. Adapun identifikasi masyarakat pedesaan dilakukan dengan mendasarkan pada konsep stratifikasi masyarakat pedesaan yang dikemukakan Hofsteede (1992:45-46), yakni: (1) Elit desa, yang terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan pusat, pemimpin formal dan pemuka masyarakat, guru, tokoh-tokoh politik maupun agama, dan petani kaya dan (2) Massa, yang terdiri dari petani menengah, buruh tani, pedagang kecil, serta pengrajin. Dari stratifikasi tersebut akan sangat mudah diketahui bahwa kelompok elit desa sebagai lapisan teratas jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan kelompok massa. Diperkirakan jumlahnya antara 2-3 persen saja dari seluruh warga desa.Kalangan yang dikonstatasi merupakan kelompok terpelajar dan memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya ekonomi di pedesaan ini kita kategorikan dalam kelompok masyarakat berkebudayaan politik partisipan. Sebagaimana dikemukakan, jumlah penduduk miskin yang mempunyai hak pilih di pedesaan mencapai16,56 persen atau 15.513.301 jiwa. Diasumsikan angka buta aksara 12,2 persen seluruhnya merupakan warga miskin pedesaan, maka sebesar itu pula jumlah warga masyarakat miskin bertipe budaya parokial (11.428.881 jiwa); sementara sisanya sebesar 4.084.420 atau 4,36 persen bertipe budaya politik subjek. Namun dalam hal ini keterbatasan dan minimnya akses
14
Rasionalitas yang dimaksud tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi memperoleh manfaat dari tindakannya, tetapi juga membawa pengaruh pada kebijakan publik, kinerja pemerintahan, dan aspek personal dari pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat (V.O. Key dalam Asrinaldi, 2012: hlm44) 15 Kelas menengah di Indonesia dicirikan dengan rata-rata pendidikannya setingkat SMA, dengan penghasilan Rp. 1,9 Juta per bulan serta pengeluaran Rp. 750 ribu - Rp. 1,9 Juta per bulan (Kompas, 2012). 16 Angkatan kerja Indonesia berpendidikan diploma/sarjanaberdasarkan Statistics Indonesia Tahun 2012 berjumlah 10.318.000 jiwa yang terdiri dari para pekerja 9.418.000 jiwa dan yang belum bekerja 900,000. Dengan demikian angka yang mendekati riil adalah 5,53% dikalikan jumlah penduduk yang memiliki hak pilih, hasilnya 10.319.657,7 atau 10.319.658 jiwa. 17 Menurut data BPS tahun 2012, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru mencapai 4,8 juta orang.
60
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
terhadap informasi politik memungkinkan jumlah warga miskin di wilayah pedesaan bertipe budaya politik parokial jumlahnya lebih besar lagi. Masyarakat budaya politik parokial yang disebabkan terbatasnya informasi politikditemukan padapada struktur komunitas masyarakat desa terpencil dan suku yang terpencar menjauh dari pusat kekuasaan politik.Sebagai contoh situasi yang ditemukan di desa-desa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di propinsi Kalimantan Barat.Namun jumlah penduduk komunitas ini relatif kecil, diperkirakan hanya beberapa ratus jiwa. Untuk mendeskripsikan kebudayaan politik masyarakat pedesaan, khususnya kelompok massa dengan proporsi yang mendekati kenyataan yang sesungguhnya, sudah tentu memerlukan kajian yang mendalam, menimbang pengaruh budaya tradisional masih sangat kuat berakar pada komunitas ini. Pola hubungan patronase, misalnya, masih sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat pedesaan. Ini diindikasikan dengan suksesnya beberapa elit desa yang ditengarai memiliki kekayaan berupa bidang tanah yang sangat luas berhasil lolos menuju legislatif tingkat Kabupaten bahkan Propinsi karena jumlah suara dari klien mereka memadai dalam mengusung mereka menduduki kursi tersebut. Dalam hal ini kelompok massa pedesaan nampaknya sudah memiliki ciri-ciri tipe budaya politik subjek, namun masih diwarnai budaya tradisional sebagaimana dikemukakan, terlebih paternalisme yang sudah sangat mengakar dalam struktur masyarakat pedesaan. Paparan di atas mendukung pendapat ahli bahwa budaya politik Indonesia merupakan mixed political culture, kombinasi dari 3 (tiga) budaya politik: (1) masyarakat budaya parokial yang jumlahnya diperkirakan kurang dari 20 persen penduduk dewasa yang berasal dari masyarakat miskin berpendidikan sangat rendah dan warga komunitas masyarakat desa terpencil dan suku terasing; (2) masyarakat budaya politik partisipan, jumlahnya diperkirakan 16 persen berasal dari kalangan sarjana, mahasiswa, elit politik perkotaan, dan elit desa; dan (3) masyarakat budaya politik subjek, jumlahnya mencapai lebih dari 60% yang terdiri dari kalangan kelas menengah perkotaan dan massa pedesaan. D. Penutup Budaya politik Indonesia di Era Reformasi tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap budaya politik masyarakat Indonesia, walaupun secara historis pelembagaan formal sistem politik Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan.18Hal ini dapat dipahami mengingat suatu kebudayaan berdasarkan hukum-hukum perkembangan masyarakat (laws of social development) berjalan relatif lambat.Dalam konteks ini perlu kita simak pendapat dari Winarno (2008:67) bahwa mengubah budaya politik tidak semudah mengubah struktur dan fungsi-fungsi politik. Mengubah struktur dan fungsi dapat dilakukan dengan mengubah undangundang dasar suatu negara, tetapi mengubah budaya politik suatu bangsa akan memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Terlebih ketika budaya tersebut telah mengakar dalam kehidupan politik masyarakatnya. Capaian proporsi 12,57% penduduk dewasa berkebudayaan politik partisipan tentunya dibilang masih rendah bila dibandingkan dengan capaian masyarakat demokratik industrial, 19 sebuah masyarakat di mana terdapat cukup banyak ativis politik dan kehadiran pemberian suara yang besar ataupun publik peminat yang kritis dalam mendiskusikan masalah-masalah 18
Pelembagaan formal yang dimaksud adalah sistem politik Demokrasi Liberal ke sistem Demokrasi Terpimpin dan terakhir ke sistem politik Demokrasi Pancasila. 19 Bandingkan dengan pendapat Almond bahwaproporsi kebudayaan politik dalam masyarakat demokratik industrial mencapai 40-60% penduduk dewasa berbudaya politik partisipan; ± 30% berbudaya subyek; dan penduduk dewasa berbudaya parokial kira-kira 10% (Mas’oed dan Andrwew, 2008:52).
FISIP UNWIR Indramayu
61
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
kemasyarakatan dan pemerintahan, dan kelompok-kelompok penekan yang mengusulkan kebijakan-kebijkan baru (Winarno, 2008:19). Namun demikian, melihat tingginya proporsi masyarakat bertipe budaya subjek yang terdiri dari kalangan menengah perkotaan dan pemilih pemula yang rata-rata berpendidikan SLTA , maka potensi terjadinya pergeseran budaya politik masyarakat kalangan ini ke arah budaya politik partisipan sangatlah besar. Terlebih fenemona yang terjadi akhir-akhir ini di mana kalangan pengusaha, baik kelas atas atau maupun kelas menengah mulai tertarik untuk terjun dalam kancah politik praktis. Hal ini sudah tentu menjadi fenomena yang sangat menggembirakan dalam pembangunan politik di Indonesia Daftar Pustaka Agustino, Leo, 2009. Politik dan Perubahan.Yogyakarta : Graha Ilmu Asrinaldi, 2012.Politik Masyarakat Miskin Kota.Yogyakarta : Gava Media. Elfriza, 2012.Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung : Alfabeta. Gaffar, Affan,2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hofsteede, W.M.F. 1992 Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat.Yogyakarta.Gajah Mada Press. Jackson, Karl D. & Pye, Lucian W, 1978.Political Power and Communications in Indonesia. Barkeley and Los Angeles : University of California Press. Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta : Kencana. Mas’oed, M & MacAndrew, C, 2008.Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Varma, S.P., 2010. Teori Politik Modern.Jakarta : RajaGrafindo Persada. Winarno, Budi, 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.Yogyakarta : MedPress. Website http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/33/URBANISASI-DAN-KEMISKINAN-DESA http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/26/13202052/Mahasiswa.di.Indonesia. Cuma.4.8.Juta http://puzzleminds. com/kualitas-kependudukan-di-indonesia/
62
Program Studi Ilmu Pemerintahan