ISSN: 1979-7362
Optimasi Proses Pemanasan Pada Pembuatan Chips Wortel Kaya Karotenoid Menggunakan Renponse Surface Methodology) (Optimization Of Heating Process In Carrot Chips Hight Carotenoids By Response Surface Methodology) Fajriyati Mas’ud Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang (
[email protected]) Andi Saleha Baharuddin Akademi Ilmu Gizi (AIGI), YPAG Makassar Suhardi Program Studi Teknik Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar Abstract Carrot (Daucus carota) contains carotenoid pigment in the form of vitamin A of about 12.000 S.I/100 gram. Epidemiology studies show that carotenoid has many benefits for health. Carotenoid is affected by temperature during thermal process. Therefore carrot processing must be controlled to minimize carotenoid destruction during process. The aims of this research were to optimize temperature processing, time, and ratio of carrot-tapioca flour. It was assumed that carotenoid destruction can be minimized by using appropriate carrot-tapioca flour ratio, controlled temperature, and controlled time of process. This research was conducted in two steps. The first step was carried out to determine appropriate process condition by using 3 variables: (1) time of process, (2) temperature, and (3) carrottapioca flour ratio. Indicators used to determine optimum condition from those variables were: total carotenoid and water content. The second step was carried out to optimize processing condition by using Central Composite Design (CCD). Response Surface Methodology (RSM) was used to analyze total carotenoid and water content of chips. This research showed that the optimum conditions for carrot processing were reached at the temperature of 45oC, processing time 16 minutes, and ratio of carrot-tapioca flour 1:8.1. Under these conditions, the carrot chips produced contained total carotenoid 345.82 ppm. On the other hand, the optimum processing conditions for optimum water content of 3% was obtained at temperature 520C, processing time 29 minutes, and ratio of carrot-tapioca flour 1:9.4. Keywords: carrot, chips, carotenoid.
PENDAHULUAN Wortel merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang tumbuh dengan baik di dataran tinggi beriklim dingin. Wortel menghasilkan umbi berwarna orange dan terasa agak manis. Warna orange tersebut diakibatkan oleh “pigmen karotenoid” yang dikandungnya. Kata “karoten” berasal dari bahasa Latin ”carrot” yang berarti “wortel”, yaitu pigmen warna
kuning dan orange pada buah dan sayur (Kumalaningsih 2006). Karotenoid merupakan pigmen alami yang berwarna kuning sampai merah, ditemukan pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme (Linder, 1991). Karotenoid hanya bisa disintesa oleh tanaman dan alga, sedangkan karotenoid yang terdapat di dalam tubuh hewan dan manusia berasal dari tanaman yang dikonsumsinya (Nishigaki dan Waspodo,
Jurnal AgriTechno (Vol. 4, No. 1, September 2011)
2007). Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 – 480 nm (Delia dan Kimura 2004). Pigmen Karotenoid merupakan zat gizi yang sangat penting sebab merupakan pro-vitamin A. Karotenoid yang dikonsumsi akan menjadi vitamin A aktif dalam tubuh. Efek fisiologis vitamin A antara lain adalah menjaga sistem penglihatan, pendengaran dan reproduksi, menjaga kondisi biologis kulit dan mukosa, serta merupakan zat anti kanker. Fungsi utama vitamin A selain menunjang dalam proses penglihatan, juga diperlukan untuk pertumbuhan yang normal (Linder 1991), sehingga vitamin A sangat dibutuhkan khususnya oleh balita dan anak-anak guna mencegah defisiensi vitamin A. Menurut Arnelia (2002), karoten mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh antara lain untuk menanggulangi kebutaan akibat xeropthalmia, meningkatkan imunitas tubuh, mencegah proses penuaan dini, dan menunjang reproduksi. Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman dari pada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintesis dan difortifikasi ke dalam makanan (Linder 1991). Tubuh akan mengkonversi βkaroten menjadi vitamin A dalam jumlah secukupnya saja, selebihnya akan tetap tersimpan sebagai β-karoten. Sifat inilah yang menyebabkan β-karoten berperan sebagai sumber vitamin A yang aman (Kumalaningsih, 2006). Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang dewasa adalah sekitar 5.000 SI per hari, wanita hamil perlu mendapat tambahan sekitar 1.000 SI dan 3.000 SI untuk wanita menyusui. Anak-anak membutuhkan sekitar 200 – 4.000 SI per hari (Muchtadi TR, 1996). Vitamin A diukur dalam retinol equivalent (RE),
dimana 1 µg retinol = 1 RE = 6 µg β-karoten = 12 µg karotenoid = 10 IU (International Unit) atau SI (Satuan Internasional) (Winarno 1991). Umbi wortel segar mengandung vitamin A = 12.000 SI/100 gram (Direktorat Gizi Depkes RI, 2008) dan karotenoid 400 mg RE/g (Hariyadi, 2006). Hal ini berarti wortel sangat potensial untuk dikembangkan menjadi berbagai produk makanan kaya karotenoid. Hingga saat ini konsentrat karotenoid masih merupakan produk impor, dan umumnya karotenoid yang digunakan merupakan senyawa sintetik. Demikian pula kapsul vitamin A yang tersedia saat ini umumnya diolah dari minyak ikan dan masih merupakan produk impor (Elisabeth et al. 2003), sehingga pengembangan wortel sebagai sumber karotenoid sangat diperlukan. Melihat manfaat besar karotenoid bagi tubuh, maka penelitian diarahkan untuk memperoleh karotenoid dari sumber alaminya, misalnya dari wortel yang telah dikenal merupakan sayuran sumber karotenoid yang tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengolah wortel menjadi berbagai jenis produk pangan kaya karotenoid. Pada proses pengolahan wortel, tidak dapat dihindari proses pemanasan yang umum dilakukan dalam pengolahan pangan. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa karotenoid tidak tahan terhadap suhu tinggi di atas 60oC, sehingga dibutuhkan optimasi proses selama pengolahan wortel guna menyelamatkan karotenoid yang dikandungnya. Salah satu olahan wortel yang sangat potensial dikembangkan adalah ”chips wortel” yang dalam pengolahannya membutuhkan proses pemanasan. Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan 2
untuk mengoptimasi suhu dan waktu pemanasan adonan chips wortel hingga diperoleh adonan yang sempurna dan tidak lengket dengan kandungan karotenoid yang tinggi dan mutu yang memenuhi SNI. Selain itu, untuk memperoleh chips wortel juga digunakan tepung tapioka, sehingga ratio wortel-tapioka yang terbaik penting diketahui untuk memperoleh produk yang disukai. Optimasi proses pada pengolahan pangan sangat penting dilakukan sebab sangat terkait dengan biaya produksi serta mutu produk, utamanya mutu sensorik dan kandungan gizi. Untuk itu, adanya optimasi proses memungkinkan produk dapat diproduksi secara komersial hingga ke tingkat industri dengan biaya produksi yang rendah. Disamping itu mutu sensorik produk dan kandungan gizinya lebih dapat dipertahankan. Response Surface Methodology (RSM) merupakan suatu kumpulan teknikteknik statistik dan matematika yang berguna untuk menganalisis permasalahan tentang beberapa variabel bebas yang mempengaruhi variabel tak bebas, serta bertujuan mengoptimumkan respon tersebut. RSM dapat digunakan oleh peneliti untuk (1) mencari suatu fungsi pendekatan yang cocok untuk meramalkan respon yang akan datang, (2) menentukan nilai-nilai dari variabel bebas yang mengoptimumkan respons yang dipelajari (Gaspersz, 1995). Seringkali dalam suatu percobaan peneliti tidak tahu pasti dimana lokasi titik maksimum berada, dengan demikian dapat saja terjadi bahwa dugaan awal tentang kondisi proses (operasi) yang optimum dari sistem akan berbeda jauh dari kondisi optimum yang aktual, sehingga dengan RSM ini peneliti dapat dibantu untuk mengetahui lokasi titik maksimum dengan tepat. Dengan kata lain, RSM dapat membantu peneliti untuk menentukan
kondisi operasi yang optimum sehingga dapat menghemat biaya, waktu dan tenaga (Gaspersz, 1995). METODOLOGI Bahan baku berupa umbi wortel segar diperoleh dari Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bahan-bahan lainnya adalah tepung tapioka, plastik, ketumbar, bawang putih, bawang merah, garam, serta hexan untuk analisa. Adapun alat-alat yang digunakan adalah spektrofometer (Spectronic 20 genesys), dan oven (type Venticell 111). Analisis Bahan Baku Analisis kandungan umbi wortel dilakukan untuk mengetahui kadar karotenoid wortel segar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kerusakan karotenoid selama pengolahan. Penelitian Tahap I Pada penelitian tahap I dilakukan penentuan lama dan suhu proses pemanasan adonan, serta rasio worteltapioka yang dapat menghasilkan adonan yang tidak lengket dengan kandungan karotenoid produk yang tinggi serta kadar air produk yang memenuhi SNI. Lama proses pemanasan adonan yang dicobakan adalah 15, 20, 25, 30, dan 35 menit, pada suhu 60oC dengan rasio wortel-tapioka 1:9. Penentuan suhu dan rasio worteltapioka dilakukan dengan mengkombinasikan 3 (tiga) level perlakuan suhu, yaitu 50, 60, dan 70oC, dengan menggunakan lama proses terbaik dari perlakuan sebelumnya serta rasio wortel-tapioka 1:9. Penentuan rasio wortel-tapioka dilakukan dengan mengkombinasikan 3 (tiga) perlakuan yaitu rasio wortel-tapioka 3
1:8, 1:9, dan 1:10, dengan menggunakan lama dan suhu proses pemanasan terbaik dari perlakuan sebelumnya. Perlakuan lama dan suhu proses pemanasan adonan serta rasio wortel-tapioka terbaik digunakan sebagai titik tengah perancangan tahap II. Indikator penentuan perlakuan terbaik adalah kadar karotenoid produk yang tinggi serta kadar air yang memenuhi SNI. Kadar air penting menjadi indikator sebab berpengaruh terhadap daya tahan produk selama penyimpanan. Kadar air kerupuk berdasarkan SNI maksimal 3% . Pada kadar air tersebut produk-produk kelompok kerupuk aman selama penyimpanan. Proses pembuatan chips wortel adalah sebagai berikut: dipilih wortel yang baik dan segar, kulit dikupas dan dicuci dengan air bersih, di blanching hingga strukturnya lunak, diblender hingga menjadi bubur wortel yang selanjutnya dicampurkan dengan tapioka dengan perbandingan sesuai perlakuan, dan juga dicampur dengan bumbu yang telah dihaluskan hingga menjadi adonan, adonan dipanaskan dengan suhu dan waktu sesuai perlakuan hingga menjadi adonan yang tidak lengket, adonan dicetak dengan cara dibungkus plastik berdiameter 3 cm, adonan diris dengan ketebalan 2-3 mm hingga menjadi chips mentah, selanjutnya dikeringkan hingga kadar air maksimum 3%. Penelitian Tahap II Penelitian tahap II dilakukan untuk memperoleh kondisi proses pemanasan adonan chips wortel yang optimum untuk menghasilkan chips wortel yang mengandung karotenoid tinggi dan kadar air yang memenuhi SNI. Penelitian mengikuti rancangan Central Composite Design (CCD) dari Response Surface Methodology (RSM) dengan 3 (tiga)
variabel yaitu lama proses pemanasan adonan, suhu proses pemanasan adonan, dan rasio wortel-tapioka. Titik tengah perancangan penelitian diambil dari lama proses pemanasan, suhu, dan rasio worteltapioka terbaik dari penelitian tahap I. Perlakuan dan kode perlakuan untuk 3 variabel dapat dilihat pada Tebel 1. Rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 2. Model umum rancangan yang digunakan adalah : k
k
k 1, k
i 1
i 1
i 1, j 2
Y 0 i X i ii X i2
i, j
Xi X j
Dimana Y = Respon pengamatan, β0 = Intersep, βi = Koefisien linier, βii = Koefisien kuadratik, βij = Koefisien interaksi perlakuan, Xi = Kode perlakuan untuk faktor ke-i, Xj = Kode perlakuan untuk faktor ke-j, k = Jumlah faktor yang dicobakan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan software SAS v6.12, dan untuk memperoleh bentuk permukaan respon menggunakan software SURFER 32. Parameter Parameter yang diukur adalah kadar air (Metode Oven, AOAC 1995), dan kadar karotenoid (Metode Spektrofotometri, PORIM 1998). Prinsip pengukuran kadar air metode oven adalah pengeringan sampel dalam oven pada suhu di atas titik didih air hingga diperoleh berat yang tetap. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, didinginkan dalam desikator lalu ditimbang, kemudian ditimbang 5 gram sampel dan dimasukkan ke dalam cawan, tutup cawan diangkat dan tempatkan cawan dan tutupnya beserta sampel di dalam oven selama 6 jam, kontak antara cawan dengan dinding oven dihindari. Selanjutnya cawan dipindahkan ke dalam desikator, ditutup dengan penutup cawan lalu didinginkan. Setelah dingin, ditimbang kembali, lalu dikeringkan kembali di dalam oven sampai 4
diperoleh berat yang tetap. Perhitungan kadar air menggunakan rumus:
Kadar air (%) =
x 100%
Keterangan : m1 = berat sampel m2= berat sampel setelah pengeringan Prinsip pengukuran kadar karotenoid metode spektrofotometri adalah pengukuran karotenoid dengan absorbsi pada panjang gelombang dengan kisaran 430 – 480 nm. Sebanyak 0,1 gram sampel yang telah dihaluskan dilarutkan dengan hexan dalam labu ukur 25 ml sampai tanda tera, lalu dikocok hingga homogen. Selanjutnya absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. Total karotenoid menggunakan rumus : Total karotenoid (ppm)
Hasil penentuan lama proses pemanasan adonan chips wortel dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan kadar karotenoid dan kadar air produk chips wortel yang dihasilkan dari masing-masing waktu yang dicobakan, maka perlakuan ke-3 yaitu lama pemanasan 25 menit, suhu 60oC, dan rasio wortel-tapioka 1:9 memberikan hasil yang terbaik dengan kadar karotenoid 284 ppm dan kadar air 3%. Dengan demikian maka lama pemanasan 25 menit dipilih menjadi titik tengah perancangan tahap II. Pemanasan adonan chips wortel selama 15 dan 20 menit sebenarnya mengandung karotenoid yang lebih tinggi, namun kadar airnya di atas 3%. Selama proses pemanasan, kadar air akan berkurang seiring dengan semakin lamanya proses berlangsung akibat penguapan. Hal serupa juga terjadi pada karotenoid dimana degradasi karotenoid terjadi akibat paparan suhu tinggi.
=
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku Hasil yang diperoleh dari analisis bahan baku umbi wortel dapat dilihat pada Tabel 1. Umbi wortel yang diperoleh dari Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan mengandung karotenoid rata-rata 420 ppm. Tabel 1. Hasil analisis bahan baku umbi wortel Ulangan Karotenoid (ppm) 1
420
2
418
3
421
Rata-rata
420
Penelitian Tahap I
Gambar
1.
Hubungan antara lama pemanasan (menit) adonan chips wortel dengan kadar air (%) dan kadar karotenoid (ppm) produk chips wortel pada suhu 60C dan rasio worteltapioka 1:9.
Hasil yang diperoleh dari penentuan perkiraan suhu dan rasio wortel-tapioka dapat dilihat pada Gambar 5
2. Grafik pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa pada suhu 60oC, rasio worteltapioka 1:9, dan lama pemanasan 25 menit, chips yang dihasilkan memiliki kadar karotenoid 283 ppm dan kadar air 3%. Dengan demikian maka suhu 60oC dipilih menjadi titik tengah perancangan penelitian tahap II. Hasil penelitian di atas sesuai dengan pendapat Fennema (1985), bahwa karotenoid tidak mengalami kerusakan pada pemanasan 60oC. Lebih lanjut Iwasaki dan Murakhosi (1992) mengatakan bahwa bila suhu lebih tinggi akan terjadi oksidasi karotenoid terutama jika terdapat prooksidan. Bila teroksidasi, aktivitas karotenoid akan menurun karena terjadinya perubahan isomer dari bentuk trans menjadi cis. Aktivitas biologis isomer cis karotenoid ini sekitar 15-75% (Onyewu 1985).
Gambar 2. Hubungan antara suhu (C) dan rasio wortel-tapioka dengan kadar karotenoid (ppm) dan kadar air (%) produk chips wortel pada t=25 menit Penelitian Tahap II a.
kombinasi lama pemanasan, suhu, dan rasio wortel-tapioka berpengaruh menurunkan kadar karotenoid produk. Visualisasi permukaan respon dari data kadar karotenoid chips wortel yang dihasilkan dari keduapuluh perlakuan (Tabel 3) yang menggunakan uji RSM dapat dilihat pada Gambar 3. Persamaan RSM dari proses pemanasan adonan chips wortel untuk memperoleh kadar karotenoid yang maksimum adalah: Y = -1028.948469 + 16.933710X1 + 3,709748X2 + 15592X3 2 0.180536X1 0.048611X1X2 – 0.075536X22 + 1.060606X1X3 + 7.181818X2X3 63754X32 ……………………………………… …………..(Persamaan 1) Dimana Y adalah kadar karotenoid, X1 adalah suhu pemanasan, X2 adalah lama pemanasan, dan X3 adalah rasio wortel-tapioka. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa model permukaaan respon memiliki nilai R2 = 0,75 atau koefisien korelasi (r) yang cukup besar yaitu 0,86. Hal ini berarti variabilitas data dapat dijelaskan oleh model, sehingga model persamaan tersebut dapat digunakan sebagai model dalam menentukan optimasi terhadap kadar karotenoid chips wortel yang maksimum. Tabel 2. Perlakuan dan kode perlakuan untuk 3 variabel Perlakuan
Perlakuan dan Kode Perlakuan 1,682
-1
0
1
1,682
Suhu pemanasan (0C)
50
54
60
66
70
Lama pemanasan (menit)
15
19
25
31
35
1:8.0
1:8.4
1:9.0
1:9.6
1:10
Rasio wortel-tapioka
Hasil optimasi kadar karotenoid
Hasil optimasi kondisi proses pemanasan adonan chips wortel untuk memperoleh produk yang mengandung karotenoid tinggi menunjukkan terjadinya penurunan, hal ini berarti bahwa 6
Tabel 3. Rancangan percobaan dengan sistem pengkodean No
Suhu pemanasan(0C)
Lama pemanasan (menit)
Rasio worteltapioka
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
-1 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1,682 1,682 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-1 -1 1 1 -1 -1 1 1 0 0 -1,682 1,682 0 0 0 0 0 0 0 0
-1 -1 -1 -1 1 1 1 1 0 0 0 0 -1,682 1,682 0 0 0 0 0 0
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Suhu pemanasa n(0C) 54 66 54 66 54 66 54 66 50 70 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60
Tabel 3. Lanjutan
Lama pemanasan (menit) 19 19 31 31 19 19 31 31 25 25 15 35 25 25 25 25 25 25 25 25
Rasio worteltapioka 1:8.4 1:8.4 1:8.4 1:8.4 1:9.6 1:9.6 1:9.6 1:9.6 1:9.0 1:9.0 1:9.0 1:9.0 1:8.0 1:10 1:9.0 1:9.0 1:9.0 1:9.0 1:9.0 1:9.0
Gambar 3. Permukaaan tanggap (response surface) kadar karotenoid chips wortel Berdasarkan analisis kanonik (canonical analysis) untuk menentukan kondisi optimum respon yaitu kadar karotenoid, diketahui bahwa nilai kritis untuk suhu adalah 45oC, lama pemanasan 16 menit, dan rasio wortel-tapioka 1:8,1. Pada titik-titik tersebut nilai kadar karotenoid yang diperkirakan pada titik stasioner adalah 345,82 ppm. Gambar 3 memperlihatkan permukaaan tanggap (response surface) kadar karotenoid chips wortel pada kondisi pemanasan adonan yang optimum. Tampak bahwa pengaruh suhu lebih kuat terhadap degradasi karotenoid dibandingkan pengaruh lama pemanasan. Degradasi karotenoid lebih besar dengan meningkatnya suhu pada lama proses pemanasan yang sama (konstan) dibandingkan dengan degradasi karotenoid dengan semakin lamanya pemanasan pada suhu yang sama (konstan). Kurva pada sumbu x (suhu) lebih cembung dibanding kurva pada sumbu y (waktu), artinya degradasi karotenoid lebih besar apabila suhu meningkat dibanding degradasi karotenoid apabila waku pemanasan semakin lama. Hasil penelitian Sahidin et al. (2000) menunjukkan bahwa degradasi βkaroten sangat dipengaruhi oleh suhu dan lamanya pemanasan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan 7
mengakibatkan degradasi β-karoten semakin besar. Struktur senyawa βkaroten yang mempunyai 11 ikatan rangkap yang terkonyugasi mengakibatkan β-karoten mudah terdegradasi oleh panas. Rianto (1995) melaporkan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap penurunan karoten total. Artinya, semakin tinggi suhu pemanasan maka semakin besar penurunan karoten total dengan waktu pemanasan yang sama, dan juga semakin lama pemanasan maka semakin besar penurunan karoten total dengan suhu pemanasan yang sama. Penurunan karoten total tersebut semakin besar bila pemanasan dilakukan pada suhu tinggi Eskin (1989) mengemukakan pengaruh suhu terhadap karotenoid. Karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna karotenoid atau terjadi pemucatan. Lebih lanjut Priata (1997) menjelaskan bahwa degradasi thermal yang terjadi pada βkaroten dipengaruhi oleh cahaya, suhu, dan oksigen.
Y =
3.852345 + 0.153893X1 0.080613X2 – 66.906330X3 0.001666X12 0.000455X1X2 + 0.001134X22 + 0.293394X1X3 + 0.361758X2X3 + 194.166397X32 ……………………………..……… …….(Persamaan 2)
Dimana Y adalah kadar air, X1 adalah suhu pemanasan, X2 adalah lama pemanasan, dan X3 adalah rasio worteltapioka. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa model permukaaan respon memiliki nilai R2 = 0,87 atau koefisien korelasi (r) yang besar yaitu 0,93. Hal ini berarti variabilitas data dapat dijelaskan oleh model, sehingga model persamaan tersebut dapat digunakan sebagai model dalam menentukan optimasi terhadap kadar air chips wortel yang minimum.
b. Hasil optimasi kadar air Hasil optimasi kondisi proses pemanasan adonan chips wortel untuk memperoleh produk chips wortel dengan kadar air yang rendah menunjukkan terjadinya penurunan, hal ini berarti bahwa kombinasi lama pemanasan, suhu, dan rasio wortel-tapioka berpengaruh menurunkan kadar air produk chips wortel. Visualisasi permukaan respon dari data kadar air chips wortel yang dihasilkan dari keduapuluh kondisi proses pemanasan adonan chips wortel yang menggunakan uji RSM dapat dilihat pada Gambar 4. Persamaan RSM dari proses pemanasan adonan chips wortel untuk memperoleh kadar air yang minimum adalah:
Gambar 4. Response surface kadar air chips wortel pada kondisi pemanasan adonan yang optimum Berdasarkan analisis kanonik untuk menentukan kondisi optimum respon yaitu kadar air diketahui bahwa nilai kritis untuk suhu adalah 52oC, lama proses 29 menit, dan rasio wortel-tapioka 1:9,4. Pada titik-titik tersebut nilai kadar air chips wortel yang diperkirakan pada titik stasioner adalah 3%. Gambar 4 memperlihatkan response surface kadar air chips wortel pada kondisi 8
pemanasan adonan yang optimum. Dapat dilihat bahwa pengaruh suhu lebih kuat terhadap penurunan kadar air dibandingkan pengaruh lama pemanasan. Penurunan kadar air lebih besar dengan semakin meningkatnya suhu pada lama pemanasan yang sama (konstan), dibanding dengan penurunan kadar air dengan semakin lamanya pemanasan pada suhu yang sama (konstan). Kurva pada sumbu x (suhu) lebih cembung dibanding kurva pada sumbu y (waktu), artinya penurunan kadar air lebih besar apabila suhu meningkat dibanding penurunan kadar air apabila waku pemanasan semakin lama.
DAFTAR PUSTAKA Arnelia. 2002. Fito-kimia komponen ajaib cegah penyakit jantung koroner dan kanker. http://www.kimianet.lipi.go.id. [3 September 2006]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Vol IIA. AOAC Inc. 4: 17 – 19. Washington. Delia, Kimura M. 2004. HarvestPlus Handbook for Carotenoid Analysis. 2nd edition. HarvestPlus Technical Monograph. Washington.
KESIMPULAN Kondisi proses pemanasan adonan chips wortel yang optimum untuk memperoleh produk chips wortel yang mengandung karotenoid tinggi dilakukan pada suhu 45oC, lama pemanasan 16 menit, dan rasio wortel-tapioka 1:8,1. Pada titik-titik tersebut nilai kadar karotenoid yang diperkirakan pada titik stasioner adalah 345,82 ppm. Sedangkan kondisi proses pemanasan adonan chips wortel yang optimum untuk memperoleh produk chips wortel yang mengandung kadar air maksimum 3% dilakukan pada suhu 52oC, lama pemanasan 29 menit, dan rasio wortel-tapioka 1:9,4. Pada titiktitik tersebut nilai kadar air chips wortel yang diperkirakan pada titik stasioner adalah 3%. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada pimpinan dan segenap staf Akademi Ilmu Gizi (AIGI), Yayasan Perguruan Amanna Gappa (YPAG) Makassar, yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Elisabeth J, Siahaan D, Andarwulan N. 2003. Mikroenkapsulasi minyak makan merah untuk produk suplemen dan fortifikan pangan. J. Penelitian Kelapa Sawit. Vol 11. No 3:143 – 157. Eskin. 1989. Plant Pigment, Flavor and Texture. Academic Press. New York. Fennema . 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. Gaspersz V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito. Bandung. Hariyadi, P. 2006. Minyak sawit ingridien pangan potensial. Bogor: Food Review Indonesia. PT. Media Pangan Indonesia. Jakarta. Iwasaki R, Murakoshi M. 1992. Palm oil yields carotene for world market. Oleochemicals, inform, Vol. 3, No. 2: 210 – 217. Kumalaningsih S. 2006. Antioksidan alami. Trubus Agrisana, Surabaya.
9
Linder MC. 1991. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical Applications. Ed 2nd. Pretice-Hall International Inc. California. Muchtadi TR. 1996. Peranan teknologi pangan dalam rangka peningkatan nilai tambah produk minyak sawit Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu dan Teknologi Pangan. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Nishigaki, Waspodo IS. 2007. Khasiat Buah Merah Sebuah Kajian di Jepang. Cindy Printing. Jakarta. Onyewu PN. 1985. Thermal Degradation of β-carotene Under Simulated Time and Temperatures Conditions of Various Food Processes. UMI Dessertation Services. Michigan. PORIM. 1995. PORIM Test Methods. Palm Oil Research Institute of Malaysia; Ministry of Primary Industries. Malaysia. Priata A. 1997. Karakteristik senyawa non volatil produk degradasi thermal beta-karoten. [Skripsi]. Bogor: FATETA-IPB. Rianto D. 1995. Sifat fisiko-kimia dan stabilitas panas minyak sawit merah. [Skripsi]. Bogor: FATETAIPB. Sahidin, Sabirin M, Eka N. 2000. Degradasi β-karoten dari minyak sawit mentah oleh panas. J. Penelitian Kelapa Sawit Vol. 8. No. 1: 39-49. Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
10
ISSN: 1979-7362
Studi Degradasi Fungsi Infrastruktur Waduk Bakaru dengan Pemodelan Suspended Load DPS Mamasa Kabupaten Pinrang (Infrastructure Degradation Function Study of Bakaru Resevoir by Suspended Load Modeling on Mamasa River Watershed Pinrag Regency) I. Widyastuti Universitas Kristen Indonesia Paulus, Makassar L. Samangi Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar A. Munir Jurusan Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar Abstract The main function of Bakaru Resevoir is degradating as a hydroelectrical resource (PLTA) to supply SULSEL, SULBAR, and SULTRA area. This research aims to I) analyze Mamasa River water resources that influence the sedimentation rate and volume deposit in the reservoir, II) inflow suspended load disperse pattern in the reservoir that influence the water quality standard to turbine movement. Hydrology data obtained from three rainfall hydrologic Station Mamasa, Sumarorong and Sikuku and daily flowrate data from AWLR Dam Bakaru Station. Resevoir capacity degradation analysis utilized two approaches. 1) Numeric analysis by Surface water Modelling System Version 8.1 that shown the suspended load disperse pattern in the reservoir and the input data using Nakayasu Method flood. 2) Empirical analysis for reservoir capacity estimation by a) flow-sediment curve using Cubic Spline Interpolation Method and sediment sample measurement. B) Generation flow by Thomas Fiering Method. The result showed that Mamasa River is in critical condition criteria 90, maximum specific discharge is 17.24 m3/det/100 Km2 and minimum 1.9 m3/det/100 Km2. Sediment rate of 406.991 m3/year and deposite sedimentation volume of 4,997,360 m3 with reservoir effective volume 1,92,640 m3 till 2010 year. Analyses result showed reservoir effective capacity decrease 9% per year. Suspended load dispersion paterrn showed that sediment consentration is 0.578 g/l at the upper reservoir stream and 0.004 g/l at the lower reservoir stream with alteration base line 0.165 m at the upper reservoir stream and 0.004 m at the lower reservoir stream. Keywords : reservoir, suspended sediment, effective capacity, degradation. PENDAHULUAN Infrastruktur Waduk Bakaru secara geografis terletak pada 119o 35’ 50” BT dan 3o 26’ 53” LS. Infrastruktur ini merupakan bangunan penting yang berada di Wilayah hilir DPS Mamasa dengan wilayah administrasi Kabupaten Mamasa seluas 83.352 ha (79%), wilayah Kabupaten Pinrang seluas 21.160 ha (20%), dan wilayah Kabupaten Tana Toraja seluas 705 ha (1%). Luas total DAS Mamasa ±105.217 ha memiliki S. Mamasa sebagai sungai utama dengan panjang ±117 km
Jurnal AgriTechno (Vol. 4, No. 1, September 2011)
terbentang dari utara (Kab. Mamasa) menuju ke selatan (Kab. Pinrang). S. Mamasa merupakan media untuk mengalirkan air sekaligus mengangkut sedimen yang tersuspensi dari hasil erosi. Infrastruktur Waduk yang berada pada DPS Mamasa atau yang dikenal dengan Waduk Bakaru memiliki fungsi utama yaitu sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Infrastruktur ini merupakan salah satu infrastruktur terbesar di Sulawesi Selatan yag terletak di Kabupaten Pinrang memiliki luas waduk
199,85 ha dengan kapasitas tampungan 8,38 x 106 m3 dan kapasitas efektif sebesar 2 X 106 m3, selain itu Waduk Bakaru memiliki 2 (dua) buah turbin yang memiliki tenaga mekanik sebesar 126 MW dan untuk menggerakkan ke dua turbin tersebut dibutuhkan debit air normal sebesar 45 m3/detik. Kemampuan produksi kWh listrik tahunan turbin PLTA Bakaru sangat dipengaruhi oleh kemampuan infrastruktur dalam menyimpan air. Ada beberapa parameter yang mempengaruhi kemampuan waduk dalam menyimpan air, satu diantaranya adalah laju sedimentasi waduk. Berdasarkan hasil pengukuran dan penelitian kondisi existing infrastruktur Waduk Bakaru yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) wil. XIII Sektor Bakaru,2005, menunjukkan kondisi infrastruktur sangat memprihatinkan, dimana volume air di waduk cenderung menurun dari kapasitas tampung 6.919.900 m3 pada tahun 1990 menjadi 588.500 m3 pada tahun 2005, sedangkan volume sedimentasi menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu 0 m3 pada tahun 1990 menjadi 6.331.400 m3. (Hasil laporan pengukuran/penelitian PT. PLN Sektor Bakaru, 2005) Dalam upaya memperbaiki dan memulihkan kondisi infrastruktur waduk diperlukan identifikasi dan pemetaaan masalah secara tepat. Salah satu upaya yang dilakukan melalui penelitian ini, yakni bagaimana mengidentifikasi laju sedimen, volume dan pola sebaran sedimen melayang. Penelitian ini menitikberatkan pada studi pengurangan fungsi infrastruktur untuk kapasitas tampungan dan pengurangan debit berdasarkan kapasitas efektif, sehingga studi ini dapat memberikan masukan bagi pihakpihak yang terkait dalam pengelolaan infrastruktur Waduk pada khususnya serta keberadaan infrastruktur tersebut bisa memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya.
geografis terletak antara 3o 30’ – 2o 51’ LS dan 119o 15’ – 119o 45’ BT. Khusus pengambilan sample sedimen dilakukan di hilir Sungai Mamasa, berjarak 5 Km dari Waduk Bakaru (sumber : observasi awal) tepatnya di Dusun Silei, Kelurahan Lembang, Kecamatan Ulu Saddang, Kabupaten Pinrang. Kerangka Konseptual Penelitian degradasi fungsi infrastruktur waduk yang dilakukan pada DPS Mamasa memiliki kerangka konseptual sebagai berikut: Isu Degradasi Kondisi Pengaliran Waduk
Sedimentasi berlebihan di Sungai atau Tampungan (Sedimen di Hilir)
Studi Karakteristik DAS
Erosi Daerah Aliran Sungai Laju Sedimen (Erosi di Hulu)
Dampak terhadap Keseimbangan Air Waduk
Kese imba Debit dan kosentrasi ngan Suspended Load Air Topo grafi Simulasi Pola Aliran Sedimen Melayang Pada Waduk SMS – Ex.SED2D-WES
Studi Karakteristik Sedimen (Lab./Observa si) Kurva Debitsedimen
Kapasitas Waduk Tindakan Mitigasi Jangka Pendek / Menengah
Degradasi Fungsi Waduk
Tindakan Mitigasi Jangka Panjang
Gambar 1. Diagram Kerangka Konseptual
METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Daerah Pengaliran sungai Mamasa yang secara
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menganalisis data 12
primer dan sekunder. Dalam penelitian dilakukan beberapa analisis yaitu : 1. Analisis data curah hujan, akan menghasilkan debit rancangan banjir 2. Analisis data sedimen melayang menggunakan percobaan laboratorium dan akan menghasilkan nilai konsentrasi sedimen (Cs), hubungan dengan debit (Qw), dan akhirnya akan menghasilkan hubungan antara sedimen melayang dan debit dalam bentuk lengkung debit-sedimen melayang. 3. Untuk menentukan banyaknya sedimen yang masuk sampai saat ini, digunakan debit bangkitan harian guna mendapatkan data debit bulanan selama 1 tahun. Pembangkitan data debit menggunakan Metode Thomas Fiering. 4. Analisis Selanjutnya untuk menentukan laju numerik sedimen melayang waduk menggunakan alat bantu Model SMS (Surface Water Modelling System) versi 8.1 berdasarkan debit rancangan. 5. Setelah mengetahui besarnya sedimen yang masuk ke waduk maka ditentukan penurunan fungsi infrastruktur terhadap kapasitas efektif waduk.
Metode Analisis Data 1. Dalam menganalisis data curah hujan menggunakan metode analisis hidrograf satuan sintetik. 2. Untuk menganalisis sedimen melayang menggunakan hasil laboratorium dan pengolahan data pengukuran debit menggunakan metode Cubic Spilne Interpolation. 3. Analisis Estimasi laju sedimen yang masuk ke infrastruktur waduk menggunakan metode lengkung debit. Untuk sedimen melayang menggunakan persamaan empiris dan untuk sedimen dasar menggunakan hasil penelitian terdahulu. 4. Dari analisis volume waduk selanjutnya diketahui besarnya tingkat degradasi fungsi infrastruktur waduk yang mempengaruhi inflow standar waduk. Diagram Alir Penelitian Identifikasi Masalah Sedimentasi
Jenis Data Data – data yang diperlukan dalam penelitian : a. Data Sedimen b. Peta topografi DPS Mamasa c. Peta Bathimetri Waduk d. Data Curah Hujan harian/bulanan/tahunan e. Data inflow maksimum pengoperasian waduk
Input data Sekunder: Input data Primer: Peta Topografi & Pengukuran debit bathimetri waduk Pengukuran sample Data Curah hujan sedimen layang Data Sedimen dasar Data Inflow (Debit) Pengolahan data Analisis Hidrologi
Analisis Sedimen
Analisis Numerik
Analisis Empirik
Metode Pengumpulan Data Data Primer meliputi data pengukuran debit dan data pengukuran sedimen melayang (Januari, 2010). Data Sekunder meliputi peta topografi DPS Mamasa, peta bathimetri Waduk Bakaru, data curah hujan, dan data inflow standar pengoperasian infrastruktur waduk diperoleh dari PT. PLN (PERSERO) Sektor Bakaru serta data Pengukuran Sedimen dasar, dari tahun 1985 s/d 1996
Hidrograf Debit rancangan kondisi banjir
Pemodelan Sedimen Melayang SMS 8.1 Ex. SED2D-WES
Pola Sebaran Sedimen Melayang
Degradasi Kapasitas Waduk
Debit
Debit Bangkitan Harian Thomas Fiering
Sedimen Melayang Debit Cubic Spiline Interpolation
Kurva debit-sedimen
Estimasi Kapasitas dan Inflow Infrastruktur
Selesai
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
13
Pengukuran Debit dan Angkutan Sedimen. Pengukuran debit dan angkutan sedimen yang masuk ke waduk PLTA Bakaru dilakukan dengan cara dan prosedur sebagai berikut: Pengukuran debit Sebagaimana lazimnya, pengukuran debit dengan cara langsung dilakukan dengan mengukur profil melintang sungai/saluran dan kecepatan aliran secara periodik pada lokasi yang sama. Dengan menggunakan sejumlah data pengukuran tersebut, digambarkan hubungan antara debit dengan kedalaman, kecepatan atau parameter lainnya yang diperlukan. Pada penelitian ini pengukuran debit menggunakan Metode Cubic-Spline Interpolation. Budi I (2009) dalam Perbaikan Metode Pengukuran Debit Sungai menggunakan Metode Cubic-Spline Interpolation, mengatakan fungsi ini digunakan untuk menggambarkan profil sungai secara kontinyu yang terbentuk atas hasil pengukuran jarak dan kedalaman sungai.
System (SMS) Versi 8.1 extension SED2D-WES, dimana data debit rancangan (Q) dan kosentrasi sedimen (Cs) sebagai masukan untuk melihat laju sedimen (Qs) sehingga volume sedimen di waduk dapat dipetakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lingkungan Fisik Wilayah PLTA Bakaru adalah infrastruktur waduk dengan type run off river, salah satu pembangkit hidro dalam system kelistrikan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan kapasitas 2 x 63 MW. Saat ini PLTA Bakaru menyumbang tidak kurang dari 30 % dari kebutuhan daya total system sebesar 530 MW.
Pengukuran sedimen. Pengukuran sedimen dilakukan dengan mengambil sampel sedimen, baik sampel sedimen layang maupun sedimen dasar pada saat yang sama dengan pengukuran debit. Sampel sedimen tersebut dianalisa di laboratorium untuk mendapatkan parameter fisik sedimen yang dibutuhkan untuk estimasi selanjutnya. Estimasi Pola Sebaran Sedimen. Dengan menggunakan data-data hidrologi, selanjutnya diestimasi debit sedimen, dimana untuk sedimen layang dapat diestimasi secara langsung dari debit aliran dan konsentrasi sedimen didalam debit aliran tersebut. Analisis pola sebaran sedimen dilakukan menggunakan bantuan pemodelan Surface Water Modelling
Gambar 3. Kondisi Waduk PLTA Bakaru, 2010
Keadaan Umum DPS Mamasa Secara geografis, daerah aliran sungai Mamasa terletak antara 2o51’ - 3o30’ LS dan 119o15’ - 119o45’ BT. Secara administratif, DPS Mamasa mencakup tiga wilayah kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Polmas, Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Enrekang. Bentuk DPS menyerupai bulu burung yang 14
memanjang dari utara ke selatan dengan luas DPS 1052,41 km2 dan panjang sungai utama 117 km.
Pada tabel 1, curah hujan yang tercatat pada 3 stasiun hujan (1991 – 2009) didalam wilayah DPS Mamasa menunjukkan bahwa curah hujan ratarata pada DPS tersebut lebih dari 15002000 mm pertahun dan distribusinya hampir merata sepanjang tahun. Debit Data debit tahunan (1985 - 2009) diketahui debit rata-rata bulanan maksimum 181.42 m3/det dan minimum sebesar 20.01 m3/det. Debit bulanan minimum sebesar 31.67 m3/det (2006) sedangkan debit tahunan maksimum sebesar 84.76 m3/det (1998). Tabel 2. Debit rata-rata bulanan S. Mamasa Stas. AWLR DAM Bakaru (1985-2009) No
Gambar 4. DPS Mamasa
Keadaan topografi DAS Mamasa pada umumnya berbukit dan bergunung dengan ketinggian lebih dari 600 m diatas permukaan laut. Kemiringan lereng pada umumnya lebih besar dari 15%. Hidrologi. . Tabel 1. Curah hujan rata-rata (mm) DPS Mamasa Stasiun
Stasiun
Stasiun
Mamasa
Sumarorong
Mesawa
Jan Feb
167.2 168.7
277.6 250.3
243.5 206.9
Mar
196.7
266.9
219.8
Apr
260.9
332.8
216.4
May
162.1
247.8
188.6
Jun
131.3
182.3
146.9
Jul
86.7
113.9
99.3
August
55.7
73.5
52.2
Sept
55.6
81.3
81.9
Okt
117.2
176.9
178.9
Nov
157.7
239.7
200.0
Des
166.1
235.9
208.6
1,725.9
2,478.8
2,042.9
Bulan
Jumlah
Bulan
Debit (M3/det) Maks
Min
1
Jan
158.12
36.61
2
Feb
162.39
38.03
3
Mar
145.47
36.38
4
Apr
181.42
52.21
5
Mei
178.70
44.76
6
Jun
124.52
37.78
7
Jul
98.29
30.94
8
August
64.12
24.34
9
Sept
63.06
20.01
10
Okt
84.39
22.50
11
Nov
120.72
32.04
12
Des
173.95
35.70
Hidrograph Pengaliran Sungai Mamasa Besarnya aliran di dalam sungai ditentukan terutama oleh besarnya intensitas hujan, luas daerah hujan, lama waktu hujan, luas daerah aliran sungai dan ciri-ciri daerah aliran itu.
15
Analisis Curah Hujan Curah Hujan Maksimum Rata-rata Daerah Curah hujan rata-rata daerah pada studi ini dihitung dengan metode rata-rata polygon thiessen. Dari metode rata-rata Polygon Thiessen terlihat hujan harian maksimum rata-rata terjadi hampir disemua daerah tangkapannya.
Program Havara memberikan hasil distribusi yang sesuai dengan daerah studi adalah LOG PEARSON III. Dengan detailnya memberikan hasil uji kesesuaian untuk Uji Chi-square dan Uji Smirnov-Kormogolov ditunjukkan pada tabel 5 dan tabel 6. Tabel 5. Hasil Chi-square untuk distribusi Log Pearson III Jumlah Kelas
P (x<=xm)
EF
OF
EF OF
(EF OF)2 / EF
5
0,200
3
3
0
0,013
Tabel 3. Curah hujan harian maksimum rata-rata Tahun
Mamasa
Sumarorong
Mesawa
0.42 %
0.28 %
0.29 %
0,400
3
3
0
0,013
3
3
0
0,013
Rerata
1994
0
89
42
50
0,600
1995
89
92
60
91
0,800
3
4
-1
0,200
1996
49
61
78
56
0,999
3
3
0
0,013
1997
48
76
77
64
1998
87
65
47
75
1999
77
86
95
82
2000
85
70
104
76
2001
56
84
80.2
72
2002
65
66
60
66
2003
52
41
77
46
2004
60
53
150
56
2005
65
48
53
55
2006
80
45
90
60
2007
180
45
15
103
2008
38.6
10.2
150
22
2009
86.89
41
37
38
Uji Distribusi Frekuensi Dalam penentuan metode curah hujan rencana dan uji kesesuaian pada daerah studi ini, digunakan Program Havara. Tabel 4. Statistik dasar analisis frekuensi No. 1
Keterangan Jumlah Data
Nilai 16.000
2
Nilai Rerata (Mean)
63,250
3
Standar Deviasi
20,138
4
Koefisien Skewness
0,000
5
Koefisien Kurtosis
0,348
6
Koefisien Variasi
0,318
Dengan Chi-square : 0.250 ; Derajat Kebebasan : 1 ; dan Chi-Kritik : 3.8415 Karena Chi-square (X2hit) < Chi-Kritik (X2cr), maka distribusi frekuensi dapat diterima. Tabel 6. Hasil Smirnov-Kormogolov untuk distribusi Log Pearson III Data
m
P = m / (N + 1)
P (x > = xm)
Do
103,00
1
0,059
0,070
0,011
91,00
2
0,118
0,127
0,010
82,00
3
0,176
0,196
0,019
76,00
4
0,235
0,257
0,022
75,00
5
0,294
0,269
0,025
72,00
6
0,353
0,306
0,047
66,00
7
0,412
0,393
0,018
64,00
8
0,471
0,426
0,045
60,00
9
0,529
0,495
0,034
56,00
10
0,588
0,569
0,019
56,00
11
0,647
0,569
0,078
55,00
12
0,706
0,588
0,118
50,00
13
0,765
0,685
0,080
46,00
14
0,824
0,760
0,064
38,00
15
0,882
0,888
0,006
22,00
16
0,941
0,995
0,054
Dengan D Kritik : 0.330 D Maks
: 0.117
Karena. D Maks. < D Kritis maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima. 16
Hujan Rencana
Hujan Efektif
Kalau banjir rencana di tentukan berdasarkan hujan, dengan sendirinya perlu ditetapkan besarnya hujan rencana. Setelah mendapatkan hasil uji kesesuaian, maka Program Havara memberikan hasil dari kala ulang hujan seperti tersaji pada tabel 7.
Hasil perhitungan Hujan Efektif dan Hujan Efektif jam-jaman beserta grafik distribusi hujan jam-jaman pada daerah studi, disajikan seperti pada tabel 9, tabel 10. Tabel 9. Hasil perhitungan hujan efektif
Tabel 7. Hasil hujan rancangan distribusi Log Pearson III
Kala Ulang
Curah Hujan Rancangan
Koef. Pengaliran
Hujan Netto Rn
Kala Ulang (Tahun) 2
LOG PEARSON III 63,248
(Tahun)
(mm)
(C )
(mm)
1
Probabilitas (%) 0.500
2
63.248
0.65
41.11
2
0.200
5
80,195
5
80.195
0.65
52.13
3
0.100
10
89,062
10
89.062
0.65
57.89
4
0.050
20
96,384
20
96.384
0.65
62.65
5
0.020
50
104,622
50
104.622
0.65
68.00
No
Tabel diatas merupakan hasil hujan rencana yang menggambarkan hujan dalam 1 hari (24 jam) dengan masa ulang tertentu, misalnya 2 tahun, 5 tahun, 5 tahun dan seterusnya.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Hujan Efektif Jamjaman t
Rt
(Jam)
(%)
Intensitas Hujan dan Hujan Efektif
Hujan Netto (Rn, mm) dengan Kala Ulang (Tahun) 2 5 10 20 50 41.111
52.127
57.890
62.650
68.004
Hujan Netto Jam-jaman = Rn x Rt
Dalam menentukan debit rancangan yang perlu diketahui adalah Intensitas Curah Hujan dan selanjutnya dapat diketahui pula Hujan Efektif. Intensitas Curah Hujan
1
55.032%
22.624
28.686
31.858
34.477
37.424
2
14.304%
5.881
7.456
8.281
8.961
9.727
3
10.034%
4.125
5.230
5.809
6.286
6.824
4
7.988%
3.284
4.164
4.624
5.004
5.432
5
6.746%
2.773
3.516
3.905
4.226
4.587
6
5.896%
2.424
3.074
3.413
3.694
4.010
Hidrograf Debit Satuan
Intensitas curah hujan dapat di hitung berdasarkan formula dari dr. Mononbe (Sasdorsono-Takeda, 1983 dalam Panggih R, 2008). Tabel 8. Persentase intensitas hujan rata-rata
(t jam)
No.
t (jam)
Rt
A.
1
0.55032
B.
2
0.14304
C.
3
0.10034
D.
4
0.07988
E.
5
0.06746
F.
6
0.05896
Hidrograf satuan dapat kita susun apabila tersedia hidrograf aliran yang telah disusun menurut pengamatan sebenarnya. Karena data yang dibutuhkan tidak ada , maka dapat dibuat satuan hidrograf sintetik. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu (UH) Data Daerah Pengaliran Sungai yang diperlukan untuk analisis debit rancangan untuk Satuan Sintetik Nakayasu (UH) adalah sebagai berikut 17
Tabel 11. Parameter DPS Mamasa No.
Keterangan
Besaran
Satuan
1
Nama Sungai
2
Panjang Sungai Utama
Sungai Mamasa 112.00
km
-
3
Luas DAS
1010.95
km2
4
Waktu Kelambatan (tg)
6.90
jam
5
Waktu Lama Hujan (tr)
6.90
jam
6
Waktu O,3 (t0,3)
20.69
jam
7
Waktu Puncak (tp)
12.41
jam
8
Debit Puncak Qp
11.50
m3/dt
Analisis Hidrograf Debit Rancangan Dari hasil perhitungan Debit Rancangan pada DPS Mamasa didapatkan Hidrograf Debit Rancangan untuk kala ulang 2 tahun seperti di tunjuk pada Gambar 5.
Gambar 5. Hidrograf Banjir S. Mamasa
Hasil Analisis dan Pembahasan Untuk mengukur tingkat degradasi sebuah DPS dapat digunakan perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Debit maksimum terjadi pada musim hujan dan debit minimum terjadi pada musim kemarau.Bila fluktuasi debit maksimum dan debit minimum menunjukkan perbandingan debit max/min 50, maka kondisi DPS tersebut sudah kritis, dan bila angka tersebut lebih kecil dari 15 maka DPS masih dianggap bagus. Hasil analisis terhadap kondisi DPS Mamasa diperoleh debit bulanan tertinggi sebesar 181,42 m3/det (tabel 1) yang terjadi pada bulan april dan debit terendah sebesar 20,00 m3/det (tabel 2) terjadi pada bulan September. Berdasarkan hasil
analisis tersebut menunjukkan perbandingan debit max/min sebesar ± 90, maka kondisi DPS Mamasa bisa dikatakan sudah mengalami kekritisan. (Pawitan dalam Selintung, Makalah 2008) Penggunaan debit jenis (specific discharge) atau debit persatuan luas dapat juga dipakai sebagai indikator dalam menilai karakteristik hidrologi banji dari suatu sungai. Hasil studi Pawitan menemukan bahwa specific discharge sungai yang diteliti (sepuluh sungai besar di Indonesia) berkisar antara 10-80 m3/det/100Km2, delapan sungai masih termasuk moderate dan untuk ketersediaan air terutama pada musim kering dapat dinyatakan dengan specific discharge sungai dengan besaran 4-10 m3/det/100Km2. Sedangkan hasil penelitian debit pada musim kering di Sungai Mamasa terjadi di bulan september 20,00 m3/det (tabel 2), dengan specific discharge adalah 1,90 3 2 m /det/100Km dan debit pada musim hujan terjadi dibulan april 181,42 m3/det (tabel 2) dan specific discharge adalah 17,24 m3/det/100Km2. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketersediaan air Sungai Mamasa sangat kurang, baik pada musim kering maupun musim hujan. Walaupun ketersediaan air pada Sungai Mamasa sangat kurang, namun fluktuasi debit (1985-2009) yang terjadi di S. Mamasa sangat besar. Dari rencana debit yang di tetapkan untuk menggerakkan turbin adalah 45 m3/det, maka persentase debit dibawah 45 m3/det sebesar 44 %, sedangkan persentase debit diatas 45 m3/det sebesar 66%.
18
Selain itu parameter lain yang dapat menggambarkan kondisi S. Mamasa yaitu berdasarkan hasil analisis lengkung debit hidrograf banjir (gambar 5). Hidrograph banjir menunjukkan kenaikan laju debit mulai terjadi pada jam ketujuh hingga puncak banjir terjadi pada jam keempatbelas. Kondisi ini menggambaran waktu kosentrasi untuk tercapainya banjir maksimum membutuhkan waktu selama tujuh jam. Akumulasi kosentrasi untuk terjadinya banjir maksimum akibat kontribusi pengaliran dari sub-sub DPS yang memiliki intensitas hujan yang besar dan dekat dengan lokasi pengamatan. Selain itu bisa digambarkan meningkatnya kecepatan air dipermukaan diakibatkan tutupan lahan yang tidak mampu lagi menampung laju air larian sehingga mempercepat proses terjadinya banjir di Sungai Mamasa.
Pengolahan Data Debit. Adapun pengolahan dimaksudkan antara lain
Estimasi Empirik Volume Angkutan Sedimen Pengukuran Debit, Sedimen Melayang dan Lengkung Sedimen Pengukuran Debit Pengukuran laju angkutan sedimen pada prinsipnya mencakup dua hal, yaitu pengukuran debit aliran dan pengukuran muatan sedimen pada waktu yang bersamaan.
yang
a. Pengolahan
data pengukuran penampang sungai dan data pengukuran kecepatan aliran menjadi kurva lengkung debit (Gambar 6).
Gambar 6. Penampang Sungai Mamasa Tabel 12. Data Cubic Spline Interpolation A (m2)
Dari lengkung hidrograf terlihat pula air menjadi normal kembali dari permulaan banjir ± 3 hari lamanya. Ini bisa dikarenakan air hujan yang jatuh di suatu tempat di daerah aliran sungai memerlukan waktu untuk mengalir dan mencapai waduk atau hilir aliran sungai. Waktu tersebut merupakan lamanya air hujan yang jatuh dan berasal dari daerah tangkapan air yang berada di hulu mengalir menuju ke hilir.
data
P (m)
R (m)
H (m)
Q (m3/s)
85.265
52.809
1.615
2.250
88.029
30.855
47.020
0.656
2.200
17.478
28.433
45.281
0.628
2.120
15.640
19.268
42.901
0.449
2.090
8.477
16.739
41.646
0.402
2.030
6.839
15.530
39.518
0.393
1.920
6.251
14.385
37.389
0.385
1.870
5.708
13.665
35.302
0.387
1.820
5.444
12.650
33.171
0.381
1.790
4.991
12.005
31.083
0.386
1.740
4.776
12.027
29.082
0.414
1.550
5.008
6.857
26.191
0.262
1.550
2.105
5.604
23.939
0.234
1.530
1.597
4.940
21.781
0.227
1.500
1.378
3.956
18.970
0.209
1.480
1.044
3.111
15.647
0.199
1.450
0.795
1.552
12.852
0.121
1.420
0.284
0.846
10.344
0.082
1.360
0.120
0.597
7.057
0.085
1.150
0.086
0.154
4.377
0.035
1.100
0.012
-0.010
-1.750
0.005
0.000
0.000
19
d. Selanjutnya dari perhitungan debit dan tinggi muka air yang tetap. Dari grafik hubungan debit (Q) dan Sedimen Melayang (Qs) didapatkan hubungan dalam bentuk persamaan : Qs = 0.177 Q 2.237 Bangkitan Inflow Waduk
Gambar 7. Grafik hubungan Debit (Q) dan TMA
Pada tabel 12, menunjukkan pengukuran sesaat dan menghasilkan lebar sungai sekitar 60 meter, kedalaman 3 meter, luas penampang basah ± 93,46 m2, perimeter 54,21 m, radius hidrolika 1,72, debit sungai 95,13 m3/det, dengan kemiringan hidrolikanya 1,1 X 10-1 serta kurva debitnya mengikuti formula Q = 15,82 X H 3.67. Pengukuran Sedimen Lengkung Sedimen
Melayang
dan
a. Pengukuran Sedimen Melayang dilakukan bersamaan dengan pengukuran debit banjir b. Waktu pengukuran debit dilakukan pada saat banjir, dimana periode waktu pengukuran pada ketinggian muka air tertentu, untuk kemudian dilaksanakan pengukuran debit apabila selama banjir tersebut telah terjadi perubahan tinggi muka air. c. Kemudian dibuat grafik hubungan sedimen melayang dan debit dalam bentuk lengkung sedimen, lihat gambar 8.
Gambar 8. Grafik Hubungan Qs dan Q
Data debit Harian yang disediakan adalah data debit Stasiun DAM Bakaru tahun 2000 –2009. Bangkitan data harian yang menghasilkan 12 bulan (satu tahun). Proses pembangkitan data dilakukan dengan Metode Thomas Fiering dan untuk uji validasi data dapat dilihat dari pola aliran antara debit historis dan debit bangkitan pada gambar 9.
Gambar 9. Pola aliran debit asli dan debit hasil transformasi.
Estimasi Total Angkutan Sedimen yang Masuk dan yang Tertahan di Daerah Genangan Waduk Hubungan antara Laju Sedimen melayang (Qs) dan Laju sedimen dasar (Qb) terhadap debit (Q) sebesar Qs = 0.177 Q 2.237 dan Qb = 1.40 Q 1.613(Tanan. B, 1998) Hasil pengukuran konsentrasi sedimen layang (PT. PLN PERSERO Wil. VIII, 1996) diketahui bahwa rata-rata sedimen layang yang mengendap di daerah genangan bendung adalah sebesar 38.29 %.Berdasarkan persentase rata-rata angkutan sedimen layang yang tertahan serta asumsi bahwa seluruh angkutan 20
sedimen dasar akan tertahan di daerah genangan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka laju sedimentasi di daerah genangan bendung PLTA Bakaru dapat diestimasi dengan persamaan : Qtr = Qb + 0.3829 . Qs dimana : Qtr = debit total sedimen yang terendapkan (ton/hari) 3
Q = debit aliran (m /det) Hasil analisis pada tabel 13, sedimen yang mengendap dari tahun 2000-2010 di daerah genangan bertambah menjadi 2.786.007,77m3 sehingga perkiraan total yang mengendap dari tahun 2000 sampai tahun 2010 sebesar 8.803.642,8 m3. Adapun grafik volume sedimen tahunan dapat dilihat pada gambar 9.
Tabel 13. Estimasi angkutan sedimen yang masuk dan
yang tertahan di daerah genangan Waduk PLTA Bakaru (2000 - 2010) Sedimen Mengendap
No
THN Qb
Qs
ton
m3
1
2000
476079.04
459077.39
935156.43
352889.22
2
2001
415735.74
318146.92
733882.66
276936.85
3
2002
474285.36
458224.66
932510.02
351890.58
4
2003
387617.71
309978.38
697596.08
263243.81
5
2004
382154.51
314671.20
696825.71
262953.10
6
2005
368889.18
283555.75
652444.93
246205.63
7
2006
160949.57
91566.93
252516.50
95289.24
8
2007
407860.53
321665.10
729525.63
275292.69
9
2008
470828.21
399780.45
870608.66
328531.57
10
2009
235148.19
167582.12
402730.30
151973.70
11
2010
362734.63
245293.64
608028.27
229444.63
4142282.67
3369542.53
7511825.19
2834651.02
376571.15
306322.05
682893.20
257695.55
Jumlah Total/tahun
Gambar 10. Grafik volume sedimen di waduk PLTABakaru tahun 2000 – 2010
Estimasi Numerik Laju Sedimen Melayang Simulasi Model SMS (Surface Water Modelling System) Versi 8.1 Pada penelitian ini, dilakukan simulasi sedimen untuk mengetahui pola sebaran sedimen berdasarkan kondisi banjir kala ulang 2 tahun. Analisis dilakukan dengan bantuan Model Laju Sedimen SMS (Surface Modelling System) versi 8.1. Untuk melakukan simulasi pola sebaran sedimen melayang menggunakan TABS SED2D, maka sebelumnya dilakukan solusi hidrodinamika menggunakan TABS RMA 2. Input data RMA 2: a) Data debit banjir rancangan, dipilih debit banjir dengan kala ulang 2 tahun b) Register peta bathimetri Peta bathimetri yang digunakan adalah peta kondisi existing sedimentasi tahun 2008. (PT. PLN (PERSERO) Sektor Bakaru) c) Pembuatan Map Modul. d) Pembuatan Mesh Modul e) Simulasi Model
21
Input data SED2-D a) Nilai Kosentrasi awal sedimen melayang adalah 0.578 g/l, nilai kosentrasi ini merupakan kosentrasi awal pengambilan sample sedimen (hasil Laboratorium Pertanian, UNHAS, 2010) b) faktor bentuk dari sedimen layang, yang ditentukan 0.7 (Sedimentation Engineering, Vanoni V. A, 2006) c) Dalam penelitian ini, sedimen layang adalah pasir dengan ukuran minimum 0.0750 mm dan maksimum 1.270 (hasil laboratorium PT. PLN,1996) d) Berat jenis material tanah adalah 2.65, (Linsley K.R dalam Teknik Sumber Daya Air) e) Simulasi Model SED2D Tujuan simulasi model dalam bentuk animasi untuk mengetahui pola sebaran sedimen melayang pada daerah genangan.
Gambar 11. Sebaran kosentrasi sedimen melayang
Pada gambar 11, terlihat pola sebaran sedimen melayang berdasarkan degradasi warna, dimana hasil simulasi menggambarkan kosentrasi yang terjadi di daerah genangan makin kecil karena inflow yang masuk ke waduk makin lambat.
Tabel 14. Kosentrasi sedimen dan perubahan dasar waduk Jarak
Cs
Perubahan Dasar
Jarak
Cs
Perubahan Dasar
(m)
(g/l)
(m)
(m)
(g/l)
(m)
0.00
0.578
0,165
1535.21
0,013
0,024
115.47
0,389
0.158
1625.30
0,013
0,021
217.39
0,305
0.152
1837.06
0,013
0,014
348.96
0,239
0,145
2364.25
0,004
0,011
504.96
0,145
0,125
2444.14
0,004
0,011
589.58
0,128
0,108
2780.20
0,004
0,008
656.02
0.107
0,098
3100.29
0,004
0,008
707.10
0,098
0,076
3236.61
0,004
0,004
909.53
0,051
0,065
3417.54
0,004
0,004
1013.03
0,042
0,051
3864.26
0,004
0,004
1102.12
0,032
0,041
4218.41
0,004
0,004
1147.63
0,023
0,034
4493.07
0,004
0,004
1225.23
0,013
0,031
4818.78
0,004
0,004
1367.56
0,013
0,028
5293.35
0,004
0,004
1428.01
0,013
0,028
5531.00
0,004
0,004
Hasil Analisis dan Pembahasan. Hasil simulasi sedimen pada tabel 26, dengan model SMS 8.1 (Surface water Modeling System) memperlihatkan hasil sedimen melayang yang terjadi memiliki kosentrasi sedimen di hulu waduk sebesar 0,578 g/l dan perubahan dasar sebesar 0,165 m sedangkan kosentrasi yang menuju ke daerah hilir waduk semakin kecil sebesar 0,004 g/l dan perubahan dasar sebesar 0,004 m, hal ini berarti sedimen yang masuk langsung terdeposisi di daerah genangan. Perubahan berdasarkan degradasi warna, juga menunjukkan kosentrasi yang kecil terjadi pada daerah pinggiran sungai karena inflow air cenderung melambat karena telah terjadi penumpukkan sedimen di sepanjang pinggir sungai menuju hilir waduk. Dengan besarnya erosi yang dihasilkan, maka meningkat pula sedimen yang tersuspensi ke badan 22
sungai. Bila air yang mengandung sedimen mencapai suatu waduk, maka partikel-partikel terapung yang agak kasar serta sebagian muatan dasar akan mengendap membentuk delta di hulu waduk sedangkan partikelpartikel yang lebih kecil akan terapung lebih lama dan akan mengendap di bagian hilir waduk dan pada akhirnya akan mempengaruhi efesiensi operasional waduk.
infrastruktur waduk pada elevasi 615.50 adalah 6.919.000 m3, maka estimasi sedimentasi yang mengendap di waduk telah merubah tampungan efektif waduk dari ± 2 juta m3 menjadi 1.921.639,23 m3 hingga tahun 2010.
Degradasi Kapasitas Infrastruktur Degradasi Kapasitas Tampungan Waduk Tabel 15. Estimasi volume sedimen yang mengendap
No
1
Uraian
Penggelontoran PLN SBKR, Feb. 2000
Volume air
Volume sedimen
el. 615.5
el. 615.50
(m3)
(m3)
1.795.765,00
5.124.135,00
Estimasi Volume, 2000 Penggelontoran PLN SBKR, Apr 2001
1.442.875,80
5.477.024,20
1.699.715,80
5.220.184,20
1.422.778,90
5.497.121,10
5
Estimasi Volume, 2001 Penggelontoran PLN SBKR, Sept. 2001
1.610.500,90
5.309.399,10
6
Estimasi Volume, 2002
1.258.610,30
5.661.289,70
7
Estimasi Volume, 2003
995.366,50
5.924.533,50
8
Estimasi Volume, 2004 Penggelontoran PLN SBKR, Mei 2005
732.413,40
6.187.486,60
894.413,40
6.025.486,60
Estimasi Volume, 2005 Pengerukan PLN SBKR, Nov 2005
648.207,80
6.271.692,20
728.207,80
6.191.692,20
632.918,60
6.286.981,40
13
Estimasi Volume, 2006 Pengerukan PLN SBKR, Nov 2006
1.329.138,60
5.590.761,40
14
Estimasi Volume, 2007
1.053.845,90
5.866.054,10
15
Estimasi Volume, 2008 Pengerukan PLN SBKR, Nov. 2008
725.314,30
6.194.585,70
1.425.314,30
5.494.585,70
1.273.340,60
5.646.559,40
18
Estimasi Volume, 2009 Pengerukan PLN SBKR, 2009
2.103.340,60
4.816.559,40
19
Estimasi Volume, 2010
1.921.639,23
4.997.360,77
2 3 4
9 10 11 12
16 17
Gambar 12. Grafik pengurangan kapasitas waduk
Degradasi Kapasitas “Inflow Hidropower” Infrastruktur Waduk Laju sedimen yang masuk ke waduk dengan sendirinya mengurangi kapasitas tampungan waduk karena terjadi sedimentasi yang memperlambat inflow yang masuk ke waduk dan mengganggu inflow normal untuk menggerakkan turbin sebesar 45 m3/de Gambar 13, menunjukkan pola aliran air yang masuk ke waduk tiap tahunnya dengan rata-rata persentase penurunan sebesar 9,09%. Penurun dikarenakan adanya sedimentasi didaerah genangan. Hal ini terjadi karena inflow air ke dalam waduk diperlambat oleh penumpukan sedimen di sepanjang daerah masuknya inflow air.
Tabel 15, menunjukkan estimasi rata-rata volume sedimen yang mengendap 257.695,547 m3/tahun. Karena kapasitas tampungan 23
ketersediaan air yang dinyatakan dengan specific discharge pada musim hujan sebesar 17,24 3 2 m /det/100Km sedangkan pada 3 musim kering 1,90 m /det/100Km2, sehingga kondisi DPS Mamasa termasuk kategori DPS yang sudah kritis. Gambar 13. Grafik Inflow waduk 2000 – 2010
Hasil Analisis dan Pembahasan Mekanisme terjadinya sedimentasi di Sungai Mamasa berlangsung diruas aliran yang berada dekat dengan Waduk Bakaru sehingga hal ini mengganggu inflow yang masuk ke waduk. Operasional Waduk Bakaru untuk menggerakkan turbin 126 MW bergantung pada inflow yang masuk ke intake sebesar 45 m3/det. Pada tabel 29, menunjukkan rata-rata inflow maksimum yang masuk di Waduk Bakaru antara 30-15 m3/det terjadi dalam bulan agustus dan september, yaitu di bawah inflow standar waduk. Pihak PLTA Bakaru telah melakukan penggelontoran sedimen yang berada dekat dengan waduk namun tidak mampu membuang semua hasil sedimen yang berada jauh dari waduk sehingga penumpukan sedimen dari tahun ketahun makin meningkat dan mengganggu inflow air yang masuk ke waduk. Sebenarnya pengendapan di waduk tidak dapat dicegah, tetapi dapat dihambat. Upayaupaya yang dilakukan dapat berupa mitigasi jangka pendek maupun jangka panjang. KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penelitian, sumber daya air Sungai Mamasa menunjukkan perbandingan debit maksimum dan debit minimum sebesar 90:1, dan ukuran
2. Hasil analisis menunjukkan rata-rata laju sedimen yang masuk ke infrastruktur sebesar 443.990 3 m /tahun dan volume sedimen mengendap sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar 4.997.360,77 m3. 3. Dari hasil pemetaan sedimen melayang yang di buat oleh model, menunjukkan pola sebaran dimulai dengan terbentuknya delta di hulu waduk. Partikel sedimen yang lebih besar akan terangkut selanjutnya mengikuti pola penimbunan.kosentrasi sedimen di daerah hulu waduk ± 5 Km sebesar 0,578 g/l dengan perubahan dasar sebesar 0,165 m dan kosentrasi sedimen di daerah hilir waduk sebesar 0,004 g/l dengan perubahan dasar yang langsung terdeposisi sebesar 0,004 m. 4. Hasil analisis menunjukkan degradasi fungsi infrastruktur yaitu berkurangnya kapasitas efektif tiap tahun menurun sebesar 9% akibat sedimen yang mengendap di dalam daeranh genangan. DAFTAR PUSTAKA Asdak Chay, 2007, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Jakarta 24
BAPEDALDA PROP. SULSEL, 2002, Analisis Sumber Sedimentasi Dan Upaya Penanggulangan Pendangkalan DAM Bakaru Prop. Sulawesi Selatan, Makassar
Setiawan B I, 1997, Perbaikan Metode Pengukuran Debit Sungai Menggunakan Cubic Spline Interpolation, Jurnal Teknik Pertanian
Badan Standar Nasional, 2008, Tata Cara Pengambilan Contoh Muatan Sedimen Melayang Di Sungai Dengan Cara Integrasi Kedalaman Berdasarkan Pembagian Debit, Revisi SNI 03-34141994,
Selintung Mary, 2008, Sumber Daya Air Berbasis Konservasi Daerah Aliran Sungai, Makassar, (Seminar Sehari)
Jayadi R, 2000, Pengenalan Hidrologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Soewarno, 1991, Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri), NOVA, Bandung
Linsley R. K, 1986, Hidrologi untuk Insinyur, Erlangga, Jakarta Linsley R. K, 1994, Teknik Sumber Daya Air, Erlangga, Jakarta PT. PLN (PERSERO), Wilayah VIII, 1996, Studi Karakteristik Aliran Sungai Mamasa Dan Angkutan Sedimen Yangg Masuk Ke Wadukk PLTA Bakaru, ujung pandang : Dept. Pertambangan Dan Energy. PT. PLN (PERSERO), Wilayah VIII, 2004, Pengukuran / Penelitian Pendangkalan Sedimentasi Dan Kualitas Air Waduk PLTA Bakaru, Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Hasanuddin PT. PLN (PERSERO), Wilayah VIII, 2005, Pengukuran / Penelitian Pendangkalan Sedimentasi Dan Kualitas Air Waduk PLTA Bakaru, Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Hasanuddin Raharjo P, 2008, Simulasi Sedimentasi Dan Umur Waduk Studi Kasus Waduk Saguling, Tugas Akhir Strata I, Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung (ITB) (Email ITB Library)
Soebarkah, I, 1980, Hidrologi untuk Bangunan Air, Erlangga, Jakarta.
Soewarno, 1995, Hidrologi, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, NOVA, Bandung Sugiyono, 2007, Statistik untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung Supriatin, S, 2004, Dampak Sedimen Pada Waduk Saguling, Tesis Magister, Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia (Email UI Library) Tanan B, 1998, Pengukuran dan Estimasi Angkutan Sedimen, Fakultas Teknik Sipil Universitas Kristen Indonesia Paulus, Makassar (Seminar Sehari) Vinoni V. A, 2006, Sedimentation Engineering, Processes, Measurements, Modelling, and Practice, http://search.barnesandnoble.com/s edimentationengineering/American-Societyof.CivilEngineeringstaff/e/9780784408148, diakses 6 Juli 2010.
25
Wahid, A, 2008, Indentifikasi Kondisi Sedimentasi Di Waduk PLTA Bakaru Dalam Upaya Menanggulangi Krisis Energi Listrik Di Propinsi Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Barat. Tesis Doctor, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (jurnal)
26
Perancangan Sensor Kandungan Sedimen Terlarut Dengan Metode Optik Mursalim, Abd Waris dan Daniel Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Kampus Unhas Tamalanrea Km. 10 Makassar 90245.
Abstrak Pengukuran atau pendugaan erosi menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mengetahui erosi yang telah, sekarang dan yang akan terjadi. Dengan mengetahui besar erosi yang terjadi, kita dapat menganalisa peristiwa erosi sehingga menjadi pertimbangan untuk mencegah dan mengatasi masalah erosi tersebut. Pengukuran dengan Sensor kandungan sedimen (bahan terlarut) yang menggunakan prinsip Instrumentasi merupakan salah satu alternatif yang mampu mengetahui atau menduga sedimentasi akibat erosi yang terjadi dengan lebih cepat dan mudah. Sensor ini mampu dengan cepat memberikan informasi tentang sedimentasi yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sensor untuk mengukur kandungan sedimen (bahan terlarut) dalam cairan dan kegunaannya adalah sebagai metode alternatif yang dapat mengukur kandungan sedimen dalam cairan dalam bentuk besaran listrik sehingga dapat diterapkan dalam monitoring sedimentasi akibat erosi tanah dengan cepat dan mudah. Metode yang digunakan adalah metode perancangan dengan menggunakan pendekatan fungsional dan struktural, hasil rancangan kemudian di uji. Pengujian yang dilakukan meliputi uji kemampuan sensor mendeteksi konsentrasi kandungan sedimen. Indikator keberhasilan bahwa perubahan konsentrasi sedimen secara langsung sebanding dengan perubahan nilai ukur sensor pada avometer secara linear. Dari hasil uji kinerja sensor dengan perlakuan konsentrasi sedimen dari 0 mg/cm3 sampai 16 mg/cm3 menunjukkan bahwa kandungan konsentrasi sedimen akan mempengaruhi intensitas cahaya yang tertangkap oleh sensor di mana semakin tinggi konsentrasi sedimen maka semakin tinggi pula tahanan ataupun tegangan keluaran. Keluaran sensor adalah linear pada kandungan konsentrasi sedimen dari 0 mg/cm3 sampai 16 mg/cm3. Dan nilai respon sensor yang diperoleh juga memiliki waktu hingga 6 detik untuk menjadi lebih stabil. Sensor hasil rancangan ini juga memiliki sensitifitas yang tinggi berdasarkan persamaan y = 0,1658x + 0,0457 di mana sensor memberi tanggapan meski perubahan sedimennya sangat kecil. Berdasarkan kriteria tersebut maka sensor hasil rancangan ini telah memenuhi kriteria sensor yang baik. Kata Kunci : Sensor, sedimen, optik
27
ISSN: 1979-7362
PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan sedimentasi merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh manusia yang melakukan berbagai kegiatan di muka bumi terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pertanian. Sedimentasi mempunyai dampak yang sangat luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja dialami oleh daerah di mana erosi terjadi (daerah hulu) tetapi juga oleh daerah yang dilewati oleh aliran endapan(daerah tengah), dan di bagian hilir. Secara spesifik kerugian erosi di daerah hulu antara lain mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian, perkebunan dan padang pengembalaan. Di banyak tempat di Indonesia telah dapat kita lihat bukti otentik bahwa sedimentasi ataupun sedimentasi yang terjadi berlangsung hebat dan ditunjukkan oleh perilaku-perilaku sungai di negara kita. Umumnya sungai-sungai di negara kita sepanjang tahun keruh. Tidak hanya itu saja sungai-sungai di negara kita mengalami pendangkalan yang sangat hebat. Tidak menherankan bila sungai-sungai di negara kita banjir bandang pada musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau (Suripin, 2001). Pengukuran atau pendugaan sedimentasi menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mengetahui erosi yang telah, sekarang dan yang akan terjadi. Dengan mengetahui besar sedimentasi yang terjadi, kita dapat menganalisa peristiwa erosi sehingga menjadi pertimbangan untuk mencegah dan mengatasi masalah sedimentasi tersebut. Sensor kandungan sedimen (bahan terlarut) yang menggunakan metode optik merupakan salah satu alternatif yang mampu mengetahui atau menduga sedimentasi akibat Jurnal AgriTechno (Vol. 4, No. 1, September 2011)
erosi yang terjadi dengan lebih cepat dan mudah. Sensor ini mampu dengan cepat memberikan informasi tentang sedimentasi yang terjadi. Rumusan Masalah Berdasarkan pengukuran kandungan sedimen dengan menggunakan cara evaporasi maka perlu untuk merancang alat sensor Sedimentasi Tanah yang bersifat elektrik dengan perumusan masalah sebagai berikut: a. Membuktikan bahwa kandungan sedimen (bahan terlarut) dapat dideteksi dengan menggunakan sensor optik berupa komponen LDR b. Adanya hubungan antara tegangan keluaran dengan kandungan bahan terlarut dalam bahan sampel sedimen Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan sensor untuk mengukur kandungan sedimen (bahan terlarut) dalam cairan. Kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai metode alternatif yang dapat mengukur kandungan sedimen dalam cairan dalam bentuk besaran listrik sehingga dapat diterapkan dalam monitoring sedimentasi akibat erosi tanah dengan cepat dan mudah. METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Multimeter digital, solder, gergaji. Palu, pemotong kaca, cutter, gunting, bor, pahat, obeng, pensil, mistar, timbangan analitik, dan wadah sampel tanah. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kaca, papan, papan
rangkaian (PCB), kabel, LDR (Light Dependent Resistor), LED (Light Emitting Dioda), Kapasitor, Transformator, IC Regulator, IC LM 324, Resistor 10 KΩ, dioda, timah, lem kayu, paku, sekrup, lem kaca dan plastik. Penelitian ini menggunakan software Elektronik Work Bech (EWB) untuk simulasi rangkaian pada komputer. Tempat Dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi, Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar. Pada Bulan September sampai Desember 2009.
Pendekatan Fungsional Pendekatan Fungsional yang ditempuh adalah dengan merancang sistim. Perancangan sistim pada rancangan sensor kandungan sedimen dapat dilihat pada skema sebagai berikut: Penembak
Penembak
Wadah Sampel
Sensor
Wadah Kalibrasi
Sensor
Pengkonversi dan Penguat
Gambar 2. Merancang sistim pada Sensor Kandungan Sedimen Prinsip sederhana dari sistim yang dibuat adalah sebagai berikut:
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan secara umum dapat dilihat pada bagan alir berikut: Mulai
Merancang dengan pendekatan fungsional
Gambar 3. Prinsip kerja sensor kandungan sedimen.
Merancang dengan pendekatan Struktural
Sensor Uji Fungsional
Uji Kinerja Pengamatan dan Pembahasan
Gambar 1. Bagan Alir Sensor Kandungan Sedimen
Prinsip kerja alat dapat dijelaskan berdasarkan Gambar 3, Penembak cahaya yang digunalkan adalah LED yang memiliki spesifikasi yang sama, LED 1 menembakkan cahaya ke wadah sampel yang terbuat dari kaca berbentuk kotak. Cahaya LED akan menembus wadah sampel sesuai dengan material sedimen yang diamati. Bersamaan dengan LED 1, LED 2 menembakkan cahaya ke wadah kalibrasi yang sama dengan wadah sampel. Cahaya LED 1 dan LED 2 akan tertangkap oleh sensor LDR, kemudian sinyal akan diteruskan 29
ke pengkonversi. Wadah kalibrasi berfungsi sebagai pengkalibrasi sehingga tegangan keluaran menjadi 0 V ketika tidak ada perlakukan sedimen yang diberikan. Pengkonversi akan mengubah sinyal dari LDR menjadi Tegangan (V) sedangkan Penguat digunakan ketika sinyal sensor yang dihasilkan lemah. Sensor akan menghasilkan keluaran tegangan yang nilainya dapat dilihat dengan menghubungkannya dengan Voltmeter. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural perancangan sensor kandungan sedimen dalam cairan sebagai berikut: o
Melakukan pembuatan struktur rancangan sensor kandungan sedimen, hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4. Struktur Rancangan Sensor Kandungan Sedimen Adapun struktur rangkaian sensor kandungan sedimen dapat dilihat pada gambar berikut:
Gamba 5. Rangkaian Sensor Kandungan Sedimen Uji Kinerja Alat Uji kinerja dilakukan dengan tahap sebagai berikut: Memberikan perlakuan dengan berbagai besar kandungan sedimen yang telah diayak untuk mendapatkan tekstur sedimen melayang yang seragam pada sensor. Membuat konsentrasi sedimen mulai dari 0 mg/cm3 hingga konsentrasi maksimal yang dapat diukur sensor. Bila volume air pelarut 35 cm3 maka untuk mendapatkan konsentrasi 1 mg/cm3 diperlukan sampel tanah sedimen sebanyak 35 mg. Sampel selanjutnya merupakan kelipatan 35 mg. Mengamati tingkat sensitivitas/respon sensor dengan menggunakan alat ukur waktu. Mengamati tingkat kelinieran sensor melalui perlakuan pertambahan konsentrasi kandungan sedimen. Rumus yang Akan Digunakan 1.
V = V -V …....... (persamaan 1)
2.
I trafo Ib1 + Ib2 +..+ Ibn.. .(Persamaan 2)
3.
I
4. 5.
RLC > T ............ (persamaan 4) 1 1 T 8,33ms ...(persamaan 5) 2 f 2 x60
r
M
L
P V atau …………(persamaan 3) V R
30
6.
Vo
R4( R2 R1) R1 …… (persamaan 6) .V 2 V1 R2( R3 R4) R2
7.
A
Vx ………… (persamaan 7) Vy
Di mana : V adalah tegangan (V), I adalah arus listrik (A), P adalah daya (watt), R adalah Resistansi (ohm), C adalah Kapasitansi (farad), T adalah periode (s), f adalah frekuensi (Hz), dan A adalah besar penguatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perancangan sistem sensor kandungan sedimen pada penelitian ini adalah seperti gambar di bawah ini:
Wadah Sampel dan Kalibrasi Rancangan Sensor kandungan sedimen ini menggunakan dua jenis wadah yang memiliki bahan, bentuk dan ukuran yang sama yakni wadah sampel dan wadah kalibrasi. Wadah sampel sedimen berfungsi sebagai tempat untuk melakukan pengamatan terhadap sedimen. Sedangkan wadah kalibrasi berfungsi sebagai bagian sistem yang menjadi pengkalibrasi. Kotak kaca yang dirancang memiliki ukuran dimensi 2 cm x 4 cm x 5 cm dengan pertimbangan agar pergerakan sedimen lebih mudah, ukuran wadah relatif kecil dan berdasarkan kemampuan pencahayaan lampu LED.
Gambar 6. Hasil Rancangan Sensor Kandungan Sedimen Sensor kandungan sedimen ini terdiri dari beberapa unit yaitu wadah sampel dan kalibrasi, pengkonversi, penguat dan catu daya. Komponen tersebut memiliki fungsi masingmasing terhadap sistem yaitu wadah sampel sebagai wadah untuk meletakkan sampel sedimen yang ingin diteliti, wadah kalibrasi sebagai wadah pengkalibrasi sistem sehingga masukan awal mendekati 0. pengkonversi digunakan sebagai pengubah tahanan menjadi tegangan, dan penguat berfungsi untuk menguatkan sinyal, serta catu daya berfungsi sebagai sumber tegangan pada sistem.
Gambar 7. Wadah sampel dan kalibrasi Lampu LED diletakkan disisi kotak kaca yang sejajar secara vertikal diletakkan pula LDR disisi kotak kaca tersebut sehingga posisi LED dan LDR saling berhadapan dengan diantarai oleh kotak kaca. LED yang digunakan adalah jenis LED fokus yang berwarna bening. Sedangkan LDR yang digunakan memiliki diameter 1 cm agar dapat menangkap cahaya yang berhasil melewati kotak kaca. Kotak kaca untuk wadah sampel dan kalibrasi kemudian ditempatkan ke dalam kotak kayu yang 31
ditengahnya terdapat sekat pemisah serta bagian atasnya dapat tertutup bila digunakan. Tujuannnya adalah untuk melakukan isolasi terhadap lingkungan luar utamanya pengaruh cahaya lain. Sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Pengkonversi dan Penguat Pengkonversi adalah mengubah bentuk besaran listrik (resistansi atau kapasitansi) menjadi tegangan. Jadi tahanan listrik akan diubah oleh jembatan IC menjadi tegangan pada keluaran sensor (Tompkins dan Webster, 1988).
Transformator Transformator atau trafo digunakan untuk menaikkan atau menurunkan tegangan sesuai dengan tegangan beban yang diperlukan (Malvino,1995). Nilai tegangan beban yang dibutuhkan pada alat adalah 12 volt. Jadi nilai tegangan trafo yang digunakan harus minimal 12 volt. Nilai trafo yang digunakan jika merujuk pada data book minimal 45,6 mA akan tetapi dalam penelitian ini menggunakan I trafo yang digunakan adalah 500mA dengan tujuan pengembangan. Dioda
Gambar 8. Penguat Differensial Dalam penelitian ini rangkaian pengkonversi dibuat dengan memasukkan persyaratan Vout = 5volt, Vref = 12volt, nilai R1=R2+R3=R4, jika salah satu R nya diganti dengan sensor (R1=Rt) maka diperoleh rangkaian pengkonversi teoritis dan rumus pada lampiran 2. Hal ini sesuai dengan pendapat Tompkins dan Webster (1988). Catu Daya Komponen utama catu daya yang digunakan pada alat ini adalah sebagai berikut:
Dioda digunakan untuk mengubah tegangan AC menjadi tegangan DC. Nilai dioda ditentukan berdasarkan arusnya (I). Dioda yang digunakan harus memiliki arus yang lebih besar dari arus (I) beban, berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran 1, I beban yang diperoleh adalah sebesar 0,3 mA maka nilai dioda yang digunakan minimal 0,3mA, pada penelitian ini menggunakan dioda 1A. dengan maksud agar pemakaian dioda lebih aman dan tidak mudah terbakar terutama jika terjadi usaha pengembangan sistem. Hal ini sesuai dengan pendapat Malvino (1996) yang menyatakan bahwa apabila dioda melampaui batas maksimun dayanya maka komponen tersebut akan terbakar. Integrated Circuit (IC)
Gambar 9. Hasil Rancangan catu daya
Integrated Circuit atau IC yang digunakan sebagai pengatur tegangan agar tegangan menjadi stabil (Malvino, 1995). Salah satu IC stabilisator yang 32
Kapasitor Kapasitor yang biasa digunakan pada rangkaian catu daya adalah kapasitor yang memiliki nilai yang relatif besar dan memiliki bentuk fisik yang relatif kecil sehingga jenis kapasitor yang memenuhi adalah kapasitor elco dengan pertimbangan tersebut maka pada perancangan catu daya ini menggunkan kapasitor Elco atau Elektronic Condensator. Menurut Wasito nilai C tanpa melihat R beban berkisar antara 100-1000 mikrofarad, nilai kapasitor yang digunakan pada penelitian ini dalah 1000 mikrofarad. Uji Pendahuluan Respon Dinamika sensor Berdasarkan grafik di bawah ini tampak bahwa sensor membutuhkan waktu sekitar 6 detik (sekon) untuk mencapai keadaan stabil, ini menunjukkan bahwa sensor sangat cepat memberikan tanggapan, sifat ini memenuhi syarat sensor yakni bahwa suatu sensor mesti memiliki respon yang cepat terhadap adanya perubahan terhadap objek yang diamati.
7 6 5 4
Pengamatan Kandungan Sedimen dengan Sensor Hasil Rancangan Pengukuran kandungan sedimen dengan mengunakan hasil sensor rancangan dihubungkan dengan avometer untuk mengetahui besar keluaran tegangan (volt) untuk tiap sampel yang akan diukur. Hasil Pengukuran Konsentrasi Sedimen (mg/cm3) 3,5 3 2,5 2 1,5 1
y = 0,134x + 0,2636 R2 = 0,9246
Waktu Respon (s)
3 2 1 0
Hasil Pengukuran sensor Linear (Hasil Pengukuran sensor)
0,5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2,6
2,59
2,54
2,44
2,34
2,15
2,04
1,88
1,56
1,35
1,14
1,06
0,82
0,53
0,43
0,36
Sedimen (mg/cm3)
0,34
Waktu Respon (sekon)
Hasil Pengukuran Respon Sensor tehadap Tegangan yang Dihasilkan
Pada grafik tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa respon yang diberikan oleh sensor untuk melakukan tindakan terhadap perubahan sekitar 6 detik (sekon). Hal ini menujukkan bahwa kemampuan respon sensor sangat cepat karena memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi terhadap perubahan perlakuan dengan bertambahnya nilai tegangan melalui penambahan konsentrasi kandungan sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa sensor rancangan ini memenuhi standar kriteria suatu sensor yang mesti memilki respon atau sensitivitas yang sangat tinggi terhadap adanya perubahan dalam sistim.
Tegangan (V)
murah, muda diperoleh dan cukup stabil untuk digunakan pada rangkaian catu daya adalah IC AN 78XX, karena pada rangkaian catudaya membutuhkan tegangan 12 volt maka pada penelitian ini digunakan IC AN 7812.
Tegangan (V)
Grafik 1. Hasil Pengukuran Respon sensor terhadap Tegangan yang dihasilkan
Grafik 2. Hasil Pengukuran Kandungan sedimen dengan sensor menggunakan Sesnsol Hasil Rancangan
33
Grafik tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kandungan sedimen dengan tegangan cukup erat yakni memiliki hubungan berbanding lurus, di mana jika kandungan sedimen semakin tinggi maka nilai tegangan juga semakin tinggi. Kandungan sedimen yang terletak pada wadah akan menjadi penghambat untuk jatuhnya cahaya yang dipancarkan oleh lampu LED (Light Emitting Dioda) pada LDR (Light Dependent Resistor) sebagai komponen sensor utama. Kandungan sedimen dalam cairan akan menghambat gelombang cahaya yang terpancar dari LED sehingga mempengaruhi intensitas cahaya yang dapat diteruskan untuk melalui wadah sampel. Semakin tinggi konsentrasi sedimen maka daya hambatnya terhadap cahaya yang terpancar juga semakin tinggi. Sisa cahaya yang berhasil melewati wadah sampel setelah mengalami hambatan dari kandungan sedimen inilah yang ditangkap oleh LDR sebagai komponen sensor cahaya yang akan memproses intensitas cahaya yang jatuh kepadanya. LDR memiliki karakteristik utama yakni bila cahaya yang jatuh pada LDR lebih tinggi atau terang maka nilai keluarannya akan semakin rendah, sebaliknya jika cahaya yang jatuh kurang atau gelap maka keluaran pada LDR akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Bishop (2001) yang menyatakan bahwa LDR atau Light Dependent Resistor memiliki karakteristik yaitu bila cahaya yang jatuh pada LDR lebih tinggi atau terang maka nilai keluarannya akan semakin rendah, sebaliknya jika cahaya yang jatuh kurang atau gelap maka keluaran pada LDR akan semakin tinggi. Hal ini membuat LDR sangat layak digunakan sebagai komponen utama dalam perancangan sensor kandungan sedimen ini dengan menerapkan prinsip cahaya atau optik. Pada grafik nampak jelas terlihat hasil linear pada pengukuran konsentrasi sedimen dari 0 mg/cm3 sampai dengan 16 mg/cm3. Pengukuran konsentrasi sedimen hanya sampai pada 16 mg/cm3 karena telah mencapai batas maksimal kemampuan sensor dalam mendeteksi kandungan sedimen, hal ini ditunjukkan oleh nilai antara 15 mg/cm3 dan 16 mg/cm3 memiliki kesamaan yakni 2,95 volt
sehingga jika pengukuran diteruskan dengan pertambahan konsentrasi maka hasilnya tetap saja seperti hasil yang diperoleh ketika mengukur konsentrasi 15 mg/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran dengan sensor rancangan ini menunjukkan hasil linier di mana pada nilai regresi adalah sebesar 0,9246 sehingga berdasarkan data yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa sensor rancangan ini memenuhi syarat sensor yakni mesti memiliki hasil pengukuran yang linear. Berdasarkan grafik juga diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat sensitifitas sensor yang sangat tinggi dalam mengukur kandungan sedimen ke dalam bentuk tegangan (Volt) melalui persamaan y = 0,134x + 0,2636 jika dilakukan subtitusi besarnya kandungan sedimen pada persamaan akan diperoleh besar tegangan yang dihasilkan pada pengukuran tersebut dengan lebih mudah. Adanya hubungan ini menunjukkan sensor memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap perubahan jumlah kandungan sedimen di mana sensor memberi tanggapan meski perubahan kandungan sedimen sangat kecil. Pengamatan Kandungan Sedimen Beberapa Sungai atau saluran Irigasi Dengan Menggunakan Sensor Hasil Rancangan. Berikut ini adalah beberapa hasil pengukuran sampel sedimen untuk beberapa sungai atau saluran irigasi yang diteliti sebagai aplikasi penggunaan sensor kandungan sedimen yang telah dirancang:
34
Tabel 1. Hasil pengukuran sedimen pada beberapa sungai/saluran irigasi dengan menggunakan sensor kandungan sedimen hasil rancangan Sampel Sedimen
Hasil ukur sensor (volt)
Nilai sedimen (mg/cm3)
Nilai konversi (mg/liter)
1
Sungai Saddang
0,37
1
1000
2
Sungai Maros
0,42
2
2000
3
Saluran irigasi Mandai
0,36
1
1000
4
Saluran Irigasi Maccopa
0,40
1,5-2
15002000
N O
Sumber : Data primer hasil pengukuran sensor, Desember 2009 Berdasarkan data hasil pengukuran sensor kandungan sedimen pada tabel di atas dapat diperoleh informasi bahwa rata-rata kandungan sedimen pada lokasi yang diteliti berkisar antara 0,37 sampai dengan 0,42 volt atau jika dikonversikan dalam satuan sedimen berdasarkan data yang diperoleh pada saat uji kinerja adalah setara dengan 1 mg/cm3 atau 1000-2000 mg/liter. Hasil pengukuran tertinggi diperoleh pada lokasi sungai Maros yaitu sebesar 0,42 volt atau setara dengan 2000 mg/liter. Sehingga dengan melihat data yang diperoleh dari hasil pengukuran sensor maka alat sensor ini telah dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sedimen sekaligus untuk kepentingan monitoring kandungan sedimen pada berbagai lokasi yang akan dijadikan objek penelitian. KESIMPULAN DAN SARAN
pengukuran sedimen dengan hasil linear dan telah memenuhi persyaratan utama sebagai sensor yang memiliki respon cepat, sensitivitas cukup tinggi, serta linear terhadap perubahan konsentrasi sedimen. Saran Kemampuan sensor ini dapat lebih ditingkatkan dengan penggunaan bahanbahan perancangan yang lebih berkualitas namun karena terkendala pada ketersediaan bahan dipasaran maka bahan yang digunakan terkadang mesti mengikuti bahan yang tersedia. DAFTAR PUSTAKA Anonim I, 2009a. http://elektrokita.blogspot.com/200 8/10/sensor.html Anonim II, 2009b. http://indomicron.co.cc/elektronika/ analog/sensor-cahaya-ldr-lightdependent-resistor/. Diakses tanggal 10 Juli 2009. Anonim III, 2009c. http://elektrokita.blogspot.com/200 8/10/catudaya.html. Diakses tanggal 10 Juli 2009 Anonim V. 2009d. Komponen IC. http://teknikelectronika.blogspot.co m/2009/02/ komponen-icintregated-circuit.html. diakses tanggal 7 Juni 2009. Anonim VI, 2009e. Penguat Operasional. http://www.ilmu.8k.com/pengetahu an/Diakses tanggal 10 Juli 2009
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah sensor yang telah dirancang dapat digunakan untuk melakukan
Arsyad, 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB, Bogor.
35
Asdak, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bishop, Owen, elektronika. Jakarta.
2004. Dasar-Dasar Penerbit Erlangga.
Borgardi, J., 1987. Sediment transport in Alluvial Streams. Akademi kaido, Budapest, Hungaria. Chow, V.T, 1964. Hand Book Applied Hydrology. Mc Graw Hill Book Co inc, New York. Hughes, FW, 1986. OP-Amp. Dalam Ignatius Hartono, 1994. Panduan Op-Amp. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Ilyas, M.A., 1987. Pemantauan kondisi Suatu DAS berdasarkan Erosi/Sedimen. JLP,No.5Th 2 KWI:2938. Malvino,A.P., 1995. Prinsip-Prinsip Elektronika. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Nurhayati, 2004, Studi Persamaan Fresnel Pada Cover Glass Dan Mika Dengan Menghitung Dan Mengukur Reflektansi Dan Transmitansinya, Universitas Diponegoro, Semarang. Tomkins and Webster, 1998. Interfacing Sensors, to The IMB PC. University of Wisconsin Madison. Soemarto, C.D., 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta. Suripin, 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Yogyakarta: Yogyakarta Sutedjo, M.M dan Kartasapoetro, A.G, 1988. Pengantar Ilmu tanah dan Terbentuknya tanah Pertanian. Bina Aksara, Jakarta. Wollard,B.G, 1996. Practical Electronics. Dalam Kristino, 2006. Elektonika Praktis. PT. Pradya Paramitha, Jakarta.
Malvino,A.P., 1996. Electronics Principles. Dalam Joko Santoso, 2004. PrinsipPrinsip Elektronika. Penerbit Salemba Teknika, Jakarta. Manan, S., 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB, Bogor. Milman dan Halkias, 1993. Elektronika Terpadu Linear. Erlangga. Jakarta Muawanah, Umi dan Supangat, Agus. 1998. Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar Laut. Badan Riset Kelautan Dan Perikanan: Jakarta. 36
Pendugaan Debit Aliran Sungai Menggunakan Model Watershed Modelling System Pada Das Maros-Sub Das Tanralili Suhardi, Totok Prawitosari, dan Nhaisya Dewi Purnama Abstrak Air sangat penting bagi kehidupan sehingga masalah yang berhubungan dengan sumber daya air menjadi hal yang penting. Kebutuhan suatu model pengelolaan DAS makin lama makin dirasakan. Salah satu komponen hidrologi yang merupakan data yang sangat penting dalam penyelesaian masalah hidrologi suatu DAS adalah data tentang debit sungai. Namun dilain pihak, pencatatan debit sungai yang teratur dan cukup panjang masih sangat kurang dan belum merata. Salah satu model yang digunakan untuk menduga aliran sungai adalah Watershed Modelling system (WMS) dimana dalam software ini memiliki banyak model hidrologi yang dapat digunakan. Salah satunya adalah Metode Rasional yang digunakan untuk memprediksi debit puncak suatu DAS. Data yang diperoleh, diolah kemudian diinput kedalam metode rasional Watershed Modelling System untuk mendapatkan debit puncak (peak flow). Hasil simulasi model diperoleh dengan Koefisien DAS (0,7) dan Tc = 290 menitan untuk periode ulang 2 tahun = 37,70 m3/dtk, 5 tahun = 44,31 m3/dtk, 10 tahun = 49,61 m3/dtk, 25 tahun = 57,78m3/dtk, 50tahun = 64,42m3/dtk, 100 tahun = 71,23m3/dtk. Kata kunci : Debit, model WMS, DAS PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi kehidupan sehingga masalah yang berhubungan dengan sumber daya air menjadi sorotan penting untuk dikaji. Di Indonesia bidang hidrologi semakin berkembang sejalan dengan semakin meningkatnya proyek-proyek pengembangan sumber daya air seperti pengendalian banjir, pengendalian erosi dan sedimentasi, penyediaan air irigasi,penyediaan air bersih, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sebagainya. Sejalan dengan itu maka keinginan untuk mengembangkan model-model hidrologi semakin terasa kepentingannya terutama dalam system analisis hidrologi pada suatu DAS (Sjarief Roestam, et all., 2008). Salah satu komponen hidrologi yang merupakan data yang sangat penting dalam penyelesaian masalah hidrologi suatu DAS
adalah data debit sungai. Namun dilain pihak, pencatatan debit sungai yang teratur dan cukup panjang masih sangat kurang dan belum merata. Untuk mengatasi kekurangan data pengukuran ini maka debit air sungai dapat diperkirakan menggunakan berbagai model hidrologi yang telah ada. Berdasarkan peta rawan banjir kabupaten Maros, Sub-DAS Tanralili merupakan salah satu lokasi yang rawan banjir (BAPPEDA MAROS, 2008). SubDAS Tanralili merupakan sub-DAS yang memberikan pengaruh (kontribusi) yang besar terhadap banjir yang terjadi di Kabupaten Maros, karena Outlet dari SubDAS Tanralili menuju ke DAS Maros. SubDAS Tanralili juga merupakan aliran yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, Namun pada Sub-DAS ini sulit diperoleh data mengenai debit air, sehingga digunakan model Watershed 37
Modelling System untuk mensimulasikan debit aliran pada Sub-DAS ini.
Prosedur Penelitian Pengumpulan Data
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi besarnya debit air sungai berdasarkan pada curah hujan dan penutupan lahan dengan menggunakan model Watershead Modelling System (WMS) pada Daerah Aliran Sungai Maros. Kegunaan dari penelitian ini yaitu dapat dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan, pengembangan, terutama untuk pengembangan jaringan irigasi dan drainase. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Pendugaan Debit Aliran Sungai Menggunakan Model Watershed Modelling System (WMS) dilakukan pada bulan Maret - April 2010, di Laboratorium Komputer dan Sistem Informasi, Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan data curah hujan mulai tahun 2000-hingga 2009, peta penggunaan/penutupan lahan, peta jenis tanah Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan menggunakan program Watershed Modelling System 7.0 dan ArcView 3.2.
Data yang dibutuhkan berupa data curah hujan diperoleh di Dinas PengelolaSumber Daya Air Sulawesi Selatan, sedangkan Peta Jenis tanah dan peta penggunaan Lahan, DEM Maros diperoleh dari Badan Pengelolaan DAS JeneberangWalanae. Menghitung curah hujan wilayah Curah hujan harian maksimum rata-rata wilayah dari dua stasiun pengamat curah hujan, yaitu Stasiun Lekopancing dan Stasiun Batu Bassi, yang kemudian dihitung dengan metode polygon Thiessen R = RA.KTA + RB.KTB,….+ RN.KTN
KT
Ai n
A
....
n 1
Dimana : R = Hujan rata-rata (mm/jam) KT = koefisien Thiessen Ai = Luas Daerah (ha) Curah hujan maksimum harian ratarata daerah diperoleh dengan langkahlangkah sebagai berikut : 1. Menentukan di salah satu pos hujan saat terjadi curah hujan harian maksimum 2. Mencari besarnya curahhujan pada tanggal yang sama untuk stasiun yang lain 3. Menghitung rata-rata curah hujan dengan metode thieesen 4. Menghitung curah hujan maksimum ratarata (seperti langkah 1) pada tahun yang sama untuk pos lain 5. Mengulangi langkah 2 dan 3 untuk seriap tahun 38
6. Mengambil salah satu data tertinggi pada setiap tahun dari data Thiessen 7. Data hujan yang terpilih merupakan basin rain fall
Waktu Konsentrasi dihitung dengan persamaan ( Arsyad, 1989): Tc 0,0195L0,77 S 0.385
Koefisien persamaan
Menghitung Hujan Rencana Curah hujan rencana diperoleh dengan: 1. Melakukan Uji kesesuaian distribusi dengan parameter penguji Chi-Kuadrat G
Xn 2 i 1
(Oi Ei ) 2 Ei
2. Menghitung curah hujan rencana dengan analisis frekuensi berdasarkan metode distribusi terpilih. Menghitung Debit Banjir Debit banjir dihitung dengan persamaan metode Rasional yang terdapat dalam Watershed Modelling System (WMS). Q= CIA Dimana: Q = debit puncak (m3/s) C = Koefisien Limpasan I = Intensitas Hujan (mm) A = Luas Area (ha) 1. Membuka WMS Software 2. Membuka data DEM (Digital Elevation Map) Sub-DAS Tanralili pada WMS 3. Memilih Drainage Module, kemudian menjalankan TOPAZ untuk melihat alur aliran sungai. 4. Menentukan Outlet pada DAS, kemudian memilih Delianate Basins Wizard untuk penggambaran DAS 5. Mengkonversi data DEM ke TIN 6. Memilih modul Hydraulogy Modelling kemudian memilih antar muka Metode Rasional 7. Memasukkan parameter Metode Rasional
DAS
C DAS
dihitung
dengan
C1 L1 C 2 L2 ............. C n Ln Ltot
Intensitas Curah hujan dihitung dengan persamaan Mononobe (Joesron Loebis, 1992 dalam Suroso, 2006):
R 24 I 24 24 t
2
3
8. Melihat hasil simulasi dari Metode Rasional berupa Hydrograph Debit Puncak Banjir. HASIL DAN PEMBAHASAN Letak dan luas Kabupaten Maros memiliki luas wilayah sekitae 1.619.12 km2, yang secara administratif terdiri dari 14 kecamatan, 23 Kelurahan dan 80 desa. Kabupaten maros memiliki batas-batas sebagai berikut Sebelah Utara berbatasan dengan Pangkep, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten bone, sebelah selatan berbatasan dengan kota Makassar, dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Secara geografis Sub-DAS Tanralili terletak pada posisi 119034’41.133”119o41’1.52952”BT dan 502’38.50548”509’37.569996”LU dengan luas daerah aliran ±32.175,4 ha. Terletak di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
39
Jenis Tanah Jenis tanah yang mendominasi di subDAS Tanralili adalah jenis tanah Litosol seluas 22.516 ha. Tabel 1. Jenis Tanah di Sub DAS Tanralili Jenis No Luas (Ha) % Tanah 1 Andosol 3419.824 10.63 2 Litosol 22516.84 69.98 3 Mediteran 6238.734 19.39 Jumlah 32175.4 100 Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010 Curah Hujan Wilayah Curah hujan daerah diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian dari 2 stasiun pencatat yaitu stasiun Batu Bassi dan stasiun Lekopaccing. Karena titik pengamatan (stasiun pencatat) tersebar tidak merata, maka cara perhitungan curah hujan daerah dilakukan dengan menggunakan metode Polygon Thieesen (Sosrosarsono, 1987). Masing-masing luas efektif yang terwakili untuk tiap stasiun pencatat adalah Stasiun Batu Bassi 5363.07 ha dengan nilai KT= 0.17 dan Stasiun Lekopancing 26812.33 ha dengan nilai KT=0.83. Nilai ini akan dikalikan dengan curah hujan maksimum dari tiap stasiun pada setiap tahunnya untuk mendapatkan curah hujan harian rata-rata. Hasil perhitungan curah hujan harian maksimum rata-rata daerah dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel
2. Curah Hujan Harian Maksimum Rata-Rata Daerah
No
Tahun
Tanggal
CH Maksimum (mm)
1
2000
30 Januari
149.27
2
2001
4 Maret
190.66
3
2002
4 Januari
155.13
4
2003
19 Februari
145.11
5
2004
9 Maret
88.05
6
2005
20 Desember
130.05
7
2006
30 Maret
197.08
8
2007
1 Februari
138.91
9
2008
13 Desember
166.71
10
2009
19 Mei
165.02
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010 Berdasarkan data diatas terlihat bahwa curah hujan maksimum rata-rata daerah terjadi pada 30 Maret 2006 sebesar 197.08 mm dan minimum pada 9 Maret 2004 sebesar 88.05 mm, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan intensitas curah hujan setiap tahunnya. Curah Hujan Rencana Perhitungan curah hujan rencana dilakukan dengan metode distribusi curah hujan metode Gumbel dan Log Person Type III, kemudian Hasil distribusi tersebut diuji menggunakan Uji Chi-Kuadrat untuk mengetahui data tersebut dapat diterima atau tidak. Tabel 3. Analisis Kesesuaian Distribusi Frekuensi dengan Uji ChiKuadrat No 1 2
Metode Distribusi Gumbel Log PersonType III
Peluang (%) 0, 55 56,33
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2010 40
Berdasarkan interpretasi hasi bahwa apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan distribusi dapat diterima Perhitungan curah hujan rencana dengan metode Log Person Type III dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 4: Curah Hujan Rencana dengan metode Log Person Type III Periode Ulang
G
Log Xt
Xt
2
-0.3500
2.140
137.944
5
-0.2700
2.148
140.474
10
0.9500
2.268
185.336
25
1.3700
2.309
203.890
50
1.5400
2.326
211.918
100
1.2100
2.294
196.612
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2010 Debit Puncak Metode Rasional Watershed Modelling System (WMS) Debit puncak dihitung dengan menggunakan metode rasional yang terdapat dalam Watershed Modelling System. Parameter Metode Rasional pada WMS diperoleh dengan hasil sebagai berikut : Nilai Waktu Konsentrasi diperoleh dengan panjang aliran (I) 48.481, 49 m, dengan kemiringan (S) 0,034 sehingga dapat diketahui nilai Tc = 267 menit Nilai Koefisien Daerah Aliran Sungai adalah 0,78. Nilai Intensitas Curah hujan (I) rencana dengan menggunakan Distribusi Log Person Type III yang sebelumnya telah diuji dengan menggunakan Uji Chi Kuadrat. Hasil Intensitas Hujan (I) yang dihitung dengan metode Mononabe adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Intensitas Hujan Rencana Kala Ulang Metode Mononabe periode ulang min
2
5
10
25
50
100
5
364.08
260.11
343.18
377.55
392.42
364.08
10
160.54
163.48
215.69
237.29
246.64
228.82
15
122.35
124.59
164.38
180.84
187.97
174.39
20
100.90
102.75
135.56
149.14
155.01
143.82
25
86.89
88.48
116.74
133.49
133.49
123.85
30
76.90
78.31
103.32
113.66
118.14
109.61
60
48.33
49.22
64.93
71.44
74.25
68.89
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010 Hasil Simulasi Debit Puncak Metode Rasional Watershed Modelling System dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Debit Puncak pada Berbagai Kala Ulang Metode Rasional Periode Debit puncak No Ulang (m3/s) 1 2 37,70 2 5 44,31 3 10 49,61 4 25 57,78 5 50 64,42 6 100 71,23 Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2010 KESIMPULAN
1. Model Watershed Modelling System selain dapat mensimulasikan kejadian alam seperti debit puncak, juga dapat menduga karakteristik DAS karena model bekerja berbasis DAS seperti panjang aliran dan kemiringan wilayah. 2. Kondisi Sub-DAS Tanralili masih relative baik, dimana dapat dicerminkan dari waktu konsentrasi (Tc) yang masih relative lama, Hal ini disebabkan karena 41
kondisi tutupan didominasioleh hutan.
lahan
masih
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009a. Watershed Modelling System. www.emrl.byu.edu/wms.htm. Akses tanggal 6 Februari 2010. Anonim. 2009b. Integrated Modelling for Flood HazardMapping Using Watershed Modelling System. University of Tehran. Iran. c
Anonim. 2009 . Peran Civil Engineering. www.yogiocxtavianto.ngeblos.com. Akses tanggal 14 Februari 2010.
Sri Harto. 1993. Analisi Hidrologi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Soemarto, C.D., 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya. Suripin, Dr.Ir., 2003. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi. Yogyakarta Suripin., 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. ANDI. Yogyakarta Susanto, S., 1995. Model Produksi Air dan Pengembangan Penyediaan Air. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta
Kodoatie, Robert J dan Sjarief Roestam., 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta.
42
LAMPIRAN GAMBAR
Tampilan Metode Rasional
Hasil Simulasi Metode Rasional pada WMS Hasil running TOPAZ, penentuan Outlet, penggambaran DAS menggunakan DEM
Hasil Konversi DEM ke TIN, kemudian memilih AntarMuka Metode Rasional
43
DIAGRAM ALIR PENELITIAN Mulai
Data Curah Hujan
Curah Hujan Maks
DEM (Digital Elevation Map)
Penggambaran DAS
Distribusi Hujan kala ulang
Intensitas Hujan
Peta Jenis Tanah, Peta Penggunaan Lahan
Koefisien DAS
Konversi DEM ke TIN
METODE RASIONAL
Hydrograph Debit Puncak
SELESAI
44
Kajian Pengurangan Gejala Chilling Injury Tomat Yang Disimpan Pada Suhu Rendah (Study On the Alleviation of Chilling Injury Symptoms of Tomato fruits Stored under Low Temperature) Olly Sanny Hutabarat1, Sutrisno2, Y. aris Purwanto2 Dosen Program Studi Keteknikan Pertanian UNHAS Makassar 2 Dosen Departemen Keteknikan Pertanian, Institut Pertanian Bogor 1
Abstract Tomato fruits (Lycopersicon esculentum Mill) are sensitive to low temperature and develop chilling injury. Understanding the physiological properties of tomato fruits stored under low temperature is important to find better storage method. The objective of this research was examine the effect of low temperature, heat shock treatment and aloe vera coating treatment was carried out at 420C during 20, 40 and 60 minutes. During storage, the changes of quality i.e. ion leakage, pH, soluble solid content, firmness, weight loss, respiration rate as well as visible appearance were evaluated. The results showed that the heat shock treatment and aloe vera coating reduced the chilling injury symptoms which indicated by the reduction of ion leakage. Keywords: chilling injury, heat shock, ion leakage ,tomato, Aloe vera. PENDAHULUAN Penanganan pasca panen produk hortikultura sangat berpengaruh terhadap mutu produk. Mutu produk dapat dipertahankan sebaik mungkin dengan penanganan lanjutan yang tepat. Pada prinsipnya suhu tinggi bersifat merusak mutu simpan sayur-sayuran dan buahbuahan, akan tetapi kenaikan suhu ini tidak dapat dihindarkan terutama apabila panen dilakukan pada hari yang panas. Laju respirasi dan kegiatan lainnya akan meningkat dengan semakin tinggi suhu sehingga akan mempercepat laju kerusakan mutu produk pasca panen (Pantastico, 1986). Tomat tergolong sayuran buah yang mudah rusak (perishable). Mutu tomat saat panen dapat dinilai berdasarkan sifat fisik (bentuk/kebulatan, warna, kekerasan, kelicinan kulit, ketebalan daging buah, tekstur) dan sifat kimia (vitamin C/ asam askorbat, total padatan terlarut, kadar asam,
kadar air dan komposisi nilai gizi). Untuk mengatasi masalah penurunan mutu buah tomat selama penyimpanan, salah satunya adalah dengan penyimpanan dingin. Penyimpanan dingin dimaksudkan untuk menurunkan suhu produk sehingga akan memperlambat laju respirasi sebelum dilakukan penanganan pasca panen lanjutan. Beberapa produk hortikultura mempunyai sifat sensitif terhadap suhu dingin sehingga penyimpanan di bawah suhu optimum dapat mengakibatkan chilling injury. Heat shock treatment dan coating aloe vera pada pasca panen tomat dapat menurunkan peningkatan ion leakage yang menyebabkan kerusakan serta dapat mengurangi chilling injury (Saltveit, 2004). Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji perubahan mutu tomat yang disimpan pada suhu dingin. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis parameter mutu tomat
dengan perlakuan heat shock dan coating aloe vera.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ion leakage
METODELOGI PENELITIAN 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2007 di Laboratorium AP4, TPPHP dan EEP, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.. 2. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah tomat varietas arthaloka, aloe vera dan aquabidest. Tomat diperoleh dari petani tomat di Goalpara, Sukabumi. Peralatan yang digunakan adalah HST chamber, electricity conduktivity meter (D-24 Horiba), Refraktometer (PR201 ATAGO), rheometer (CR-300 SunKAGAKU), gas analyzer Shimadzu, lemari pendingin, blender dan lain-lain. 3. Metode Penelitian Tomat diberi perlakuan heat shock 42 C selama 20, 40, 60 menit dan aloe vera coating kemudian disimpan pada suhu 50, 100C dan suhu ruang. Pengukuran dilakukan pada suhu ruang dengan selang waktu pengukuran mula-mula 20, 40, 60 menit selama 5 jam. Setelah 5 jam dengan menggunakan blender, tomat dihancurkan supaya semua ion terlarut dalam aquabides dan nilai konduktivitas listrik totalnya diukur. Parameter mutu yang diamati antara lain : Ion leakage, pH, susut bobot, total padatan terlarut, kekerasan, respirasi dan warna. 0
Gambar 1 menunjukkan perubahan ion leakage pada hari ke-20 dengan perlakuan heat shock 40 menit. Dalam grafik kenaikan persentase ion leakage dengan perlakuan heat shock 40 menit pada hari ke-20 suhu 50 C lebih tinggi daripada penyimpanan pada suhu 100 C dan suhu ruang. Selama penyimpanan terjadi kenaikan persentase ion leakage pada tomat yang mengindikasikan terjadinya kerusakan membran sel sebagai akibat penyimpanan dingin. Kerusakan membran sel ini terjadi karena lipid dan protein sebagai penyusun dinding sel mengalami ketegangan plastis akibat pendinginan. Hasil serupa dilaporkan oleh Salveit (2002) dimana pada suhu rendah di bawah suhu optimum penyimpanan tomat, terjadi kerusakan membran sel sebagai akibat kerusakan dingin. Nobel (1991) menyebutkan bahwa ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel dan bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam vakuola, permeabilitas protoplasma dan elastisitas dinding sel. Gambar 2 dan 3 menunjukkan perubahan ion leakage pada penyimpanan suhu 50C dan 100C dengan perlakuan heat shock 20, 40, 60 menit dan Aloe vera pada hari ke-20. Pada gambar 2 dan 3 menunjukkan kenaikan persentase ion leakage dengan perlakuan heat shock 20 menit lebih kecil dibanding perlakuan lain. Dari grafik terlihat bahwa penyimpanan tomat yang diberi perlakuan heat shock mengalami kenaikan persentase ion leakage yang lebih kecil daripada tanpa heat shock dan Aloe vera. Hal ini disebabkan
ion leakage (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
HST 40 T5
Waktu (hari) HST 40 T10
HST 40 TR
Gambar 1. Perubahan ion leakage HST 40 menit hari ke-20
Ion leakage (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 Waktu (m enit)
HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
Gam bar 2. Perubahan ion leakage HST 20, 40, 60 m nt, aloe dan kontrol hari ke-20 suhu 5 0C
Ion leakage (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 Waktu (m enit)
HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
Gam bar 3. Perubahan ion leakage HST 20, 40, 60, aloe, kontrol hari ke-20 suhu 100C
2. pH
pH
perlakuan heat shock meningkatkan fospolipid, dapat memulihkan transpor membran yang rusak diakibatkan 2+ meningkatnya ion Ca yang disebabkan meningkatnya kerusakan membran permeabel karena penyimpanan dingin sehingga ion calsium (Ca 2+) di dalam maupun di luar sel sama. Chang (2001) melaporkan heat shock protein dengan methyl jasmonate dan methyl salicylate dapat meningkatkan ketahanan tomat terhadap chilling injury karena dapat mengontrol protein dalam intrasel dan meningkatkan transport membran dengan menyesuaikan diri dengan mengikat dan melepaskan protein. Pernyataan ini juga didukung oleh Saltveit (2003) heat shock dengan suhu 450 selama 30 menit dapat mengurangi chilling injury pada Saintpaulia ionantha. Ion calsium (Ca 2+) yang tinggi dalam sitosol diketahui sebagai penghalang transport masuk dan keluar zat melalui membran. Peningkatan ion calsium (Ca 2+) secara langsung disebabkan meningkatnya kerusakan membran yang disebabkan oleh penyimpanan dingin sehingga ion calsium (Ca 2+) di dalam sel lebih besar daripada di luar sel. Secara physiologi heat shock dapat mengontrol konsentrasi calsium dalam sitosol pada saat disimpan pada suhu kritis. Saltveit (2003) juga melaporkan chilling injury disebabkan phase transisi membran atau kerusakan oksidatif yang berhubungan dengan disfungsi metabolik, meningkatkan konsentrasi ion calsium (Ca 2+) intraseluler.
4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 3.0 2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Waktu (hari) HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
Gambar 4.Perubahan pH selama penyimpanan pada suhu 5 C
Gambar 4 menunjukkan perubahan pH pada suhu 50C selama penyimpanan. Perubahan pH pada suhu simpan 50C menunjukkan berkurang atau meningkatnya konsentrasi H+. Pada awal sampai akhir penyimpanan, pH tomat relatif berubah. Perubahan pH disebabkan mitokondria tidak mampu mempertahankan ion hidrogen dan perubahan komposisi protein dalam membran sebagai akibat kerusakan dingin. Perubahan pH dapat dijadikan petunjuk terjadinya kerusakan dingin (Naruke et al., 2003). Pernyataan yang sama didukung oleh Schirra (1992) dalam Purwanto (2005) menyebutkan bahwa gejala kerusakan dingin pada buah anggur dapat diketahui dari akumulasi etanol yang berkaitan erat salah satunya dengan pH. Kenaikan pH
10
Susut bobot (%)
pada pada suhu 50C, diakibatkan oleh perubahan kandungan asam pada mentimun yang menunjukkan terjadinya gejala kerusakan dingin (Purwanto, 2005).
8 6 4 2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
3. Susut bobot Susut bobot terbesar terjadi pada suhu simpan 50 Cdengan perlakuan heat shock 60 menit. Perlakuan heat shock diduga menyebabkan stomata terbuka lebar sehingga transpirasi meningkat dan mengakibatkan hilangnya air dalam jumlah banyak dalam buah. Purwanto (2005) menyebutkan terjadinya susut bobot pada pada suhu 50C, meskipun proses respirasi berkurang tetapi terjadinya kerusakan dingin telah menyebabkan timbulnya bintik-bintik lubang kecil dari pengerutan kulit permukaan yang mengakibatkan keluarnya air dari dalam mentimun. Fallik (1996) melaporkan bahwa paprika yang direndam pada suhu 500 C selama 1, 3 menit dan 5 menit mengalami susut bobot yang lebih besar dibandingkan dengan paprika yang tidak dipanaskan. Susut bobot terendah terdapat pada perlakuan coating aloe vera, hal ini disebabkan kemampuan gel lidah buaya sebagai pelembab kerena mengandung glukomanan dan bahan-bahan yang bersifat hidrofilik seperti gula, asam amino khususnya glutamat dan arginin dan asam organik lainnya yang secara sinergis dapat mempertahankan kelembaban. Pernyataan ini didukung oleh Turner (2004) melaporkan penambahan gel sebanyak 10 % ke dalam larutan dapat menahan kecepatan penguapan sebesar 10 % atau persentase kehilangan berat lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan gel.
waktu (hari) HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
kontrol
Gam bar 5.Perubahan susut bobot HST 20, 40, 60, aloe, kontrol suhu 50C
4. Total Padatan Terlarut (TPT) Selama penyimpanan selain terjadi perubahan fisik juga terjadi perubahan kimia pada rasa manis buah yang ditunjukkan melalui total padatan terlarut (TPT). Sebagian besar total padatan terlarut berupa gula yang terdapat pada buah . Gambar 6 menunjukkan perubahan TPT dengan perlakuan heat shock 20, 40, 60 menit, coating aloe vera dan kontrol pada suhu 50 C selama penyimpanan. Pada penyimpanan 50 C dengan perlakuan heat shock 20 menit menunjukkan total padatan terlarut relatif lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Perlakuan heat shock cukup mampu mempertahankan kandungan kimia di dalam sel. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena dengan sedikitnya persentase perubahan ion leakage mengindikasikan bahwa dinding sel cukup mampu mempertahankan kandungan kimia di dalam sel. Hal serupa dilaporkan Saltveit (2003) yang menyatakan perlakuan heat shock mampu menjaga fospolipid tetap dalam jumlah besar, memulihkan transport membran yang rusak diakibatkan 2+ meningkatnya ion Ca sehingga ion 2+ calsium (Ca ) di dalam maupun sel di luar sel sama sehingga interaksi aktin-miosin dan distribusi materi di dalam sel normal kembali.
TPT ( 0Brix)
4.40 4.20 4.00 3.80 3.60 3.40 3.20 3.00 2.80 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Waktu (hari) HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
Gam bar 6. Perubahan TPT HST 20, 40, 60, aloe, kontrol suhu 5 0C
5. Kekerasan
Kekerasan (Newton)
Nilai kekerasan relatif lebih besar dengan perlakuan heat shock 20 menit dibandingkan perlakuan lain. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena dengan sedikitnya persentase perubahan ion leakage pada perlakuan heat shock 20 menit mengindikasikan bahwa dinding sel cukup mampu mempertahankan dinding sel yang tersusun dari senyawa – senyawa seperti selulosa, pektin, hemiselulosa dan lignin yang berpengaruh terhadap kekerasan. (Winarno dan Aman, 1981). Pernyataan yang sama didukung oleh Muchtadi (1992), perubahan turgor sel disebabkan karena komposisi dinding sel buah berubah, dan perubahan tersebut mempengaruhi kekerasan (firmness) buah, yang biasanya menjadi lunak apabila telah matang. 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Waktu (hari) HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
Gam bar 7.Perubahan kekerasan perlakuan HST 20, 40, 60 aloe dan kontrol suhu 5C
6. Respirasi Selama penyimpanan terjadi peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2. Pada gambar 8 menunjukkan laju respirasi pada suhu simpan 50 C selama
penyimpanan. pada grafik dapat dilihat bahwa perlakuan heat shock dapat meningkatkan atau menurunkan laju respirasi. Klein dan Lurie (1990), melaporkan bahwa perlakuan panas dapat meningkatkan atau menurunkan puncak respirasi buah-buahan klimakterik tergantung seberapa lama penundaan yang terjadi setelah perlakuan. Menurut (Jacobi et al, 1995), perlakuan panas tidak mempengaruhi waktu klimakterik. Terjadinya peningkatan atau penurunan laju respirasi setelah perlakuan panas erat kaitannya dengan kerusakan sel yang terjadi. Hal ini sangat mungkin terjadi karen lipid dan protein sebagai penyusun dinding sel mengalami ketegangan plastis akibat pendinginan. Kerusakan membran sel ini terjadi karena lipid dan protein sebagai penyusun dinding sel mengalami ketegangan plastis akibat pendinginan. Hasil serupa dilaporkan oleh Salveit (2002) dimana pada suhu rendah di bawah suhu optimum penyimpanan tomat, terjadi kerusakan membran sel sebagai akibat kerusakan dingin. Laju produksi CO2 dengan perlakuan heat shock 20, 40, 60 menit dan Aloe vera coating pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan pada suhu simpan 5, 100C. Hal ini disebabkan pada penyimpanan dingin proses respirasi dihambat sehingga produksi CO2 dan konsumsi O2 rendah. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), suhu yang rendah akan menghambat proses respirasi, aktifitas mikroorganisme dan enzim. Dikatakan pula bahwa makin tinggi suhu maka respirasi makin cepat, hal ini berlaku sampai suhu optimum, apabila melewati suhu optimum kecepatan respirasi menurun. Pantastico (1986) melaporkan respirasi dapat meningkat atau menurun tergantung pada kerentanan buah terhadap
Laju respirasi CO2 (ml/kg/jam)
suhu dingin. Pada Gambar 8 di bawah ini dapat dilihat bahwa laju respirasi perlakuan heat shock 20, 40 menit dan kontrol pada suhu simpan 50C mengalami puncak klimakterik berturut-turut pada hari ke-4 dan ke-5 penyimpanan, sedangkan pada perlakuan Aloe vera coating puncak klimakterik terjadi pada hari ke-6. Pada kondisi penyimpanan suhu 5 dan 100C perlakuan Aloe vera coating dapat menunda atau menekan kenaikan klimakterik buah tomat. Pernyataan ini didukung oleh Valverde et al. (2005) yang menyatakan bahwa Aloe vera coating dapat berperan baik menahan laju respirasi selama penyimpanan disebabkan gel Aloe vera bersifat higroskopis dan bersifat permeable terhadap transfer gas dan air. 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Waktu (hari) HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
Gambar 8. Produksi CO HST 20,40, 60, aloe dan kontro pada suhu 50C
merah dan –a dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b* menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan nilai +b dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 sampai -70 untuk warna biru (Soekarto, 1985). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses perombakan klorofil dan sekaligus memperlambat pula proses pembentukan likopen. Hal ini didukung pendapat Winarno dan Wirakartakusumah (1981) yang menyatakan bahwa suhu mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan pigmen. Rendahnya nilai warna pada perlakuan suhu penyimpanan 5 0C disebabkan oleh suhu yang terlalu rendah sehingga degradasi klorofil dihambat dan penyimpanan pada suhu ruang (28-300C) nilai warnanya tidak bisa menjadi jingga karena sintesa likopen terhambat pada suhu tinggi. Pada penelitian ini perlakuan heat shock treatment tidak berpengaruh terhadap perubahan warna dibanding dengan yang tidak diberi perlakuan/kontrol. SIMPULAN DAN SARAN
7. Warna
A. SIMPULAN 60 58 56 54
b
52 50 48 46 44 42 40 -40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
a HST 20
HST 40
HST 60
Aloe
Kontrol
1. Tomat yang disimpan pada suhu dingin mengalami penurunan mutu lebih lambat dibanding pada suhu ruang, sedangkan tomat yang diberi perlakuan heat shock dan Aloe vera coating lebih kecil penurunan mutunya dibanding dengan tomat tanpa perlakuan.
0
Gambar 9. warna a, b HST 20, 40, 60, aloe, kontrol suhu 5 C
Nilai a* menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a dari 0 sampai100 untuk warna
2. Tomat yang diberi perlakuan heat shock pada suhu simpan 50C menunjukkan gejala kerusakan dingin (chilling injury) yang terjadi pada hari pertama dengan meningkatnya ion leakage.
Tomat dengan perlakuan heat shock 20 menit pada suhu 5 dan 100C dapat memperkecil kenaikan persentase ion leakage dibanding perlakuan lain dan kontrol. 3. Aloe vera coating efektif mengurangi peningkatan susut bobot dan menjaga kekerasan buah tomat, tetapi tidak berpengaruh terhadap pengurangan chilling injury karena sifat Aloe vera coating hanya ke bagian permukaan buah dan tidak terjadi ke bagian dalam buah. Susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan heat shock 60 menit . 4. Aloe vera coating pada suhu simpan 5 dan 100C dapat menunda dan menekan puncak klimakterik tomat sampai hari ke-6, sedangkan perlakuan heat shock 20, 40, 60 menit dan kontrol mengalami puncak klimakterik pada hari ke2, 3 dan ke-4 penyimpanan. B. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk melihat pengaruh suhu perlakuan panas (heat shock) yang lebih bervariasi dan lama perlakuan heat shock terhadap perubahan mutu. 2.
Perlu dilakukan penelitian lanjut perlakuan heat shock 20 menit yang dilanjutkan dengan Aloe vera coating untuk mendapatkan mutu tomat yang lebih baik selama penyimpanan pada suhu rendah. DAFTAR PUSTAKA
Chang, K.D. 2001. Reduction of chilling injury and transcript accumulation of heat shock protein in tomato fruit by Methyl jasmonate and Methyl
salicylate. Plant Science. 161(2001) 1153-1159. Fallik, E., S. Grinberg, S. Alkaka, S. Lurie 1996. The effectiveness of postharvest hot water dipping on the control of grey and black moulds in sweet red Pepper (Capsicum annum). Plant Phatology 45:644-649. Jacobi, K.K. Giles, E. Macrae and T. Wegrzyn. 1995. Conditioning ‘ Kensington’ mango with hot air alleviates hot water desinfestation injuries. HortScience 30, 562-65. Klein, J. D., Lurie, S., 1990. heat treatment as a improving poststorage apples. J. Am. Soc. 115:265-269.
Prestorage means of quality of Hort. Sci.
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. IPB, Bogor. Naruke, T., Oshita S., Kuroki S., Seo Y. And Kayagoe., 2003. Relaxation time and other properties of cucumber in relation to chilling injury. Hort., 599, 265-271. Nobel, P.S. 1991 Physicochemical and Enviromental Plant Physiology. University of Calofornia, Los Angeles, California. Pantastico,Er. B., A.K.Matto, T. Murata dan K. Ogata. 1986. KerusakanKerusakan Karena Pendinginan. Dalam Er. B. Pantastico (ed). Fisilogi Pascapanen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika terjemahan. Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Purwanto, Y. A. 2005. Penentuan indeks kerusakan dingin berdasarkan perubahan Ion leakage dan pH pada produk pertanian. Fateta. IPB, Bogor. Saltveit, M. E., 2002. The rate or ion leakage lrom chilling-sensitive tissues does not immediately increase upon exposure to chilling temperatures. Postharvest Biology and Technology. 26:295-304. _______, 2003. Effect of heat shock on the chilling sensitivity of trichomes and Petioles of African Violet (Saintpaulia ionantha). Phisiology Plantarum 121: 35-43. Soekarto, S.T 1985. Penilaian organoleptik untuk industri pangan dan hasil pertanian. Bharata Karya Aksara, Jakarta). Turner, D. 2004. Isolation and characterization of structural components of Aloe vera . International Immunopharmacology 4(2004) 1745-1755. Winarno, F.G. dan M.A. Wirakartakusumah. 1981. Fisiologi Pasca Panen. PT. Sastra Hudaya, Jakarta. Winarno, F.G. dan Aman, S. 1981. Fisiologi Lepas Panen. IPB. PT. Sastra Hudaya, Jakarta.
Uji Kinerja dan Analisis Ekonomi Mesin Pengupas Kopi Tipe Huller pada Koperasi Tani Desa Bt. Alla’ Utara Kab. Enrekang Herman Saleh1, Mar Karmah Badruddin2, dan Abdul Waris2 Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian UNHAS Makassar 2 Dosen Program Studi Keteknikan Pertanian UNHAS Makassar
1
Abstrak Kopi merupakan salah satu komoditas utama Sulawesi Selatan. Desa Bt. Alla’ Utara adalah salah satu pemasok terbesar untuk kopi arabika dengan kualitas rasa yang khas. Pengolahan kopi yang masih sederhana menyebabkan kualitasnya kalah bersaing di pasaran. Oleh karena itu koperasi tani desa Bt. Alla’ Utara mengambil langkah inisiatif untuk mengolah hasil pertanian supaya memiliki nilai yang dapat bersaing dipasaran. Penelitian ini menggunakan metode pengujian langsung terhadap kinerja mesin menggunakan kopi jenis Arabika terhadap waktu pengilingan kopi kemudian dilakukan perhitungan terhadap efisiensi penggilingan. Kapasitas pengilingan, indeks kinerja mesin dan menghitung kelayakan ekonomi dari mesin tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pengupasan 0,998%, kapasitas pengupasan 327,6 (kg/jam), kualitas pengupasan biji utuh sebesar 97,86%, dan indeks kinerja 0,989(%) serta analisis biaya mesin untuk Break Even point (BEP) sebesar Rp. 259.742.000,-/tahun atau 9058 kg/tahun dan nilai Benefit Cost Ratio sebesar 1,723 menunjukkan mesin ini layak untuk beroperasi. Kata kunci : Kinerja, analisis, ekonomi, pengupas kopi PENDAHULUAN
menghasilkan kopi yang bermutu tinggi secara berkelanjutan.
Latar Belakang Kopi merupakan salah satu produk komoditas utama sulawesi selatan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kopi dapat dikonsumsi dalam negeri dan dapat pula diekspor. Hal ini perlu dikembangkan guna menambah dan penghasilan petani untuk meningkatkan pendapatan negara. Produksi biji kopi Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan umumnya masih rendah dan beragam khususnya hasil perkebunan kopi rakyat. Oleh karena itu, teknologi pengolahan kopi pada tingkat petani perlu ditingkatkan agar mampu
Mesin huller milik Koptan Makmur Desa Benteng Alla Utara adalah bantuan dari pemerintah. Modal dikembalikan secara angsur. Mesin huller mulai beroperasi pada bulan juni 2007, pengolahan kopi dimulai antara bulan Mei sampai September. Mesin langsung dioperasikan tanpa menguji kinerjanya sebelumnya. Koperasi ini sudah bekerjasama dengan perusahaan pengeskpor kopi PT Mega Putra Sejahtera (MPS). Hal ini dapat menambah pendapatan daerah, serta memberi peluang kerja bagi masyarakat Pengupasan kulit biji kopi dengan huller belum berkembang dikalangan
53
petani Desa Benteng Alla’. Hal ini masih sangat mahal dan prosesnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Mereka hanya mengolah kopinya dengan mesin pulling, difermentasi selama semalam lalu dicuci setelah itu dijual dengan harga dibawah standar. Mutu kopi petani dinilai dengan harga yang relatif murah karena proses pengolahannya yang tidak maksimal.
2. Stopwatch untuk mengukur waktu dibutuhkan dalam membersihkan bahan. 3. Timbangan digital untuk menimbang berat bahan. 4. Motor bakar solar penggerak huller. 5. Ember, karung, terpal untuk menampung bahan yang telah dibersihkan. Bahan yang digunakan adalah kopi jenis Arabika
Penggilingan kopi dengan huller masih meninggalkan kotoran yang bercampur dengan biji, kotoran tersebut berasal dari tanaman berupa kulit buah dan kulit ari, daun tanaman, biji rusak dan biji pecah, sedangkan kotoran yang berasal dari benda-benda asing lainnya berupa kerikil, pasir dan partikel lainnya. Keberadaan kotoran-kotoran tersebut dapat merugikan.
Metode Penelitian
Tujuan dan Kegunaan
1. Menghitung efisiensi penggilingan dengan persamaan sebagai berikut ( Destra dan Mishra, 1990) : Bk = 1 x 100% BK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kinerja mesin penggiling kopi huller dalam menggiling kopi serta menghitung biaya operasional mesin tersebut. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam operasional penggiling kopi huller untuk konsumsi dan komoditi ekspor. METODOLOGI PENELITIAN Alat dan bahan Alat yang digunakan penelitian ini adalah : 1. Mesin Penggiling Kopi Huller.
pada
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji kinerja mesin dengan menggunakan kopi jenis Arabika sebanyak 50 kg dengan ulangan sebanyak tiga kali. Prosedur Analisi Data Uji Kinerja Mesin
Keterangan :
= Efisiensi penggilingan (%). BK = Berat kopi yang dikupas (Kg). Bk =Berat kotoran dan benda-benda asing lainnya yang keluar melalui pengeluaran (kg). 2. Menghitung kapasitas penggiling dengan persamaan sebagai berikut (Destra dan Mishra, 1990) : BK Kp = T
54
Keterangan :
Analisi ekonomi alat
Kp = kapasitas penggilingan (Kg/jam)
1. Menghitung Biaya Tetap (FC) dengan menggunakan persamaan: PS Biaya Penyusutan (D) = N Keterangan :
BK = Berat Kopi yang dikupas (Kg) T
= waktu penggilingan (Jam)
3. Menghitung biji utuh, biji pecah, biji tercecer dan kotoran sebagai berikut (Destra dan Mishra, 1990). berat biji utuh Biji utuh = x Berat awal bahan 100% berat biji pecah Biji pecah = x Berat awal bahan 100% berat biji tercecer Biji tercecer = Berat awal bahan x 100% berat kotoran Kotoran = x Berat awal bahan 100%
4. Menghitung indeks kinerja dengan persamaan sebagai berikut (Destra dan Mishra, 1990) : Bt Bp Bk IK = 1 1 1 BK BK BK Keterangan : IK = Indeks kinerja mesin Bt = Berat biji tercecer (Kg) Bp = Berat biji pecah (Kg) Bk = Berat kotoran (Kg) BK = Berat kopi yang dikupas (Kg)
D = Biaya penyusutan (Rp/tahun) P = Harga Pembelian alat (Rp) S = Nilai akhir (10% dari P) (Rp) N = Umur ekonomis (tahun)
iP ( N 1) 2N Keterangan :
BM =
BM = Bunga Modal dan Asuransi (Rp/tahun) i = Tingakt suku Bunga bank (%/tahun) P = Harga awal Alat (Rp) N = Umur Ekonomis Alat (tahun) PBB/thn 2. Menghitung Biaya Tidak Tetap (VC) dengan mengggunakan persamaan sebagai berikut (Pramudia dan Dewi) : Biaya Operator (Bo) = Btk x Op x Hk Keterangan : Bo = Biaya Operator (Rp/tahun) Btk = Biaya (Rpxhari/orang)
tenaga
Op = Jumlah operator digunakan (orang)
kerja
yang
Hk = Jumlah hari kerja (hari/tahun)
55
Biaya Perawatan (Bpw) = (5% x P) Keterangan : BPw = Biaya Perawatan ( Rp/jam) P = Harga awal (Rp) Biaya Bahan Bakar (Bb) = Hb x Kb Keterangan : Bb = Biaya bahan bakar (Rp/jam) Hb = Harga Bahan bakar (Rp/l) Kb = Konsumsi bahan bakar (L/jam) Biaya Pelumas (Bp) = Hp x Kp keterangan :
3. Menghitung Break Even Point (BEP) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Riyanti, 2001) : BEP (Rp/tahun) = BiayaTetap 1 BiayaTidak Tetap Penjualan BEP (Kg/tahun) BiayaTetap h arg aJual BiayaOlah BiayaOlah=
=
TotalBiaya totalMassabhnyngtero lah(Kg )
Bp = Biaya Pelumas (Rp/jam) Hp = Harga pelumas (Rp/l) Kp (L/jam)
= Konsumsi pelumas
Biaya Transportasi (Bt) = Kef x Bt/kg Keterangan : Bt = Biaya tranportasi Kef = kapasitas efektif pengupasan Bt/kg = biaya transportasi perkilogram
4. Menghitung Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Riyanto, 2001) : BiayaPemas ukan B/C ratio = BiayaPenge luaran Jika B/C ratio > 1, maka proyek layak untuk dilaksanakan. Jika B/C Ratio < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. Berikut adalah alur dari proses pengupasan kopi dengan menggunakan mesin huller :
Biaya Sortasi (Bt) = Kef x Bs/kg Keterangan Bs = Biaya Sortasi Kef = kapasitas efektif pengupasan Bt/kg = biaya transportasi perkilogram
56
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mulai
Kinerja mesin Menyiapkan bahan
Menyalakan mesin
Memasukkan bahan ke mesin
Mengukur lamanya waktu penggilingan
Menimbang bahan yang telah digiling
Efisiensi Pengupasan Efisiensi mesin yang dihasilkan saat uji kinerja dengan menggunakan tiga kali pengulangan memiliki rata-rata sebesar 0,998%. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 1) diketahui bahwa efisiensi pengupasan untuk setiap kali ulangan bahan mendekati efisiensi yang maksimum hal ini disebabkan karena jumlah biji yang patah kotaran yang ikut bersama dengan biji kopi sedikit.
Menghitung kapasitas penggilingan, kualitas penggilingan, dan indeks kinerja mesin
Selesai
Gambar 1. Bagan Alir Prosedur Uji Kinerja Mesin Penggiling Kopi Huller Data Btk, Op, Hlk, P, i, N, Hd, dll
Data P, S, N
Gambar 5. Mesin Huller Pengupas Kopi Menghitung Biaya Tetap
Menghitung Biaya Tidak Tetap
Menghitung BEP
Menghitung B/C Ratio
Gambar 2. Bagan Alir Prosedur Analisa Ekonomi Mesin Penggiling Kopi Huller
Kapasitas Pengupasan (kg/menit) Kapasitas pengupasan yang dihasilkan saat uji kinerja dengan menggunakan kopi jenis Arabika untuk tiga kali ulangan memiliki rata-rata sebesar 5,46kg/menit. Berdasarkan hasil perhitungan Lampiran 2 diketahui bahwa kapasitas pengupasaan untuk tiap kali ulangan menunjukkan bahwa hasil yang paling besar diperoleh pada ulangan ketiga sebesar 5,49 Kg/menit, sedangkan yang terkesil diperoleh pada
57
saat pengupasan pertama sebsar 5,43 kg/menit. Kualitas Pengupasan Kualitas pembersihan yang dihasilkan saat uji kinerja mesin huller biji kopi varietas arabika seberat 50 kg dengan tiga kali ulangan memiliki ratarata biji utuh sebesar 97,86%, rata-rata biji pecah sebesar 0.907% dan rata-rata kotoran sebesar 0,173%. Indeks Kinerja Alat (%) Indeks kinerja alat yang dihasilkan saat uji kinerja memiliki rata-rata 0,989%. Indek kinerja mesin pengupas biji kering kopi arabika mengalami perbedan yang sedikit hal ini dipengaruhi oleh sortasi biji rusak, pembagian massa bahan dengan kotoran yang tidak seimbang. Analisa Ekonomi Total biaya tetap yang dikeluarkan selama setahun sebesar Rp. 24.647.500,-/tahun dan total biaya tidak tetap sebesar Rp. 118.500.200,-/tahun sehingga total biaya pengeluaran adalah Rp.143.147.700,-/tahun Nilai Break Even Point (BEP) Rp. 306.975.100,-/tahun, artinya titik impas pada mesin pengupas Huller biji kopi varietas Arabika ini tercapai bila pendapatan mencapai Rp. 306.975.100,/tahun. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 2.172.973.860/tahun, ini berarti masih terdapat kelebihan nilai pendapatan sebesar Rp. 1.052.968.260,/tahun.
Sedangkan untuk BEP (kg/tahun) sebesar 10.727 kg/tahun, jadi titik impas mesin Huller pengupas biji kopi varietas Arabika diperoleh jika telah menghasilkan 10.727 kg/tahun kopi. Jika dibandingkan dengan total biji kopi yang bisa diolah selama setahun yaitu sebesar 80.000,4 kg maka masih ada kelebihan total produksi sebesar 69.273 kg/tahun. Benefit Cost Ratio (B/C ratio) untuk mesin huller pengupas biji kopi varietas Arabika adalah 1,715 yang berarti bahwa mesin ini layak digunakan karena untuk Rp.1,00,-biaya yang dikeluarkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp. 1,715,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Riyanto (2001), bahwa kelayakan suatu alat dan mesin pertanian ditentukan oleh beberapa faktor antara lain dari segi biaya produksi, nilai dan peningkatan penjualan serta hasil perhitungan kelayakan usaha melalui metode Break even Point (BEP) dan B/C Ratio. Jadi berdasarkan dari analisis ekonomi mesin huller ini membawa keuntungan karena B/C rationya ≥ 1 yang artinya jumlah keuntungan (benefit) yang diperoleh selama umur teknisekonomisnya lebih besar dari total biaya yang digunakan.
58
Tabel 1. Hasil perhitungan Biaya mesin huller Pengupas biji kering kopi varietas Arabika
KESIMPULAN
Marappung, Muslimin., 1979. Teknik Tenaga Listrik. Armico, Bandung Najiyati. Sri, dan Danarti, 2001. Kopi: No
Komponen Biaya
1
Biaya Tetap Biaya Penyusutan (D) Biaya BM PBB Total Biaya Tetap
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapa disimpulkan bahwa : 1. Setelah melakukan uji kinerja diketahui efisiensi 99,8%, kapasitas pengupasan 327,6 kg/jam, kualitas pengupasan biji utuh 97,86% dan indeks kinerja 0,989% maka mesin ini masi layak untuk beroperasi . 2. Analisis ekonomi pengoperasian mesin huller menghasilkan break even point Rp. 259.742.000,-/tahun dan B/C ratio 1.715 maka mesin huller pengupas biji kering kopi varietas Arabika masih layak digunakan.
Nilai
Rp. 13.500.000,-/thn Rp. 11.137.500,-/thn Rp.
Rp. 24.647.500,-thn 2
Biaya Tidak Tetap Biaya Operator Biaya Perawatan Biaya Bahan Bakar Biaya Pelumas Biaya Tranportasi Biaya Sortasi Biaya Listrik Total Biaya Tidak Tetap
Rp. 7.200.000,-/thn Rp. 7.500.000,-/thn Rp. 36.000.000,-/thn Rp. 14.400.000,-/thn Rp. 40.000.200,-/thn Rp. 8.000.000,-/thn Rp.
DAFTAR PUSTAKA Anonim,1995. Kopi Arabika. Dinas Perkebunan provinsi sulawesi selatan. Ujung pandang Anonim,2009. Standar Nasional Indonesia, biji kopi.http // www.bsn.or.id.pdf. Tgl akses 7/04/2009 Bambang, Riyanto,. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Pembelanjaan Perusahaan Edisi ke-4. BPEF, Yogyakarta. Kodoatie,J., 1997. Analisa Ekonomi Teknik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta
10.000,-/thn
600.000,-/thn
Rp. 118.500.200,-/thn 3
Biaya Total
Rp. 143.147.700,-/thn
4
Break even point
Rp. 259.742.000,-/thn
5
B/C ratio
1,723
Budidaya Dan Penanganan Lepas Panen. Penebar Swadaya. Jakarta Purba, Radiks,. 1997. Analisis Biaya Dan Manfaat (Cost nad benfit Analysis). Rineka Cipta, Jakarta. Randi Sumitro, 2006. Kebijakan Pengembangan Industri Pengolahan dan Pemasaran Kopi. Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta
59
Srivastava, Ajit K,. Goering, Caroll E. And Rohrbach, Roger P., 1993. Enginering Principles Of Agricultural Machines. Pamela DeVore-Hansen, Editor Books & Journals, USA. Sularso dan Suga, Kiyatsu., 1997 Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin. Liberti, Yogyakarta
60
Studi Tingkat Kepadatan Tanah Pada Daerah Sawah Baru Darmaga Bogor Iqbal Program Studi Keteknikan Pertanian Unhas Makassar Abstrak Keadaan dan kondisi tanah akan sangat mempengruhi proses pengolahan lahan yang menggunakan alat pertanian baik yang tradisional maupun modern. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisika dan mekanika tanah pada daerah sawah baru Darmaga Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah yang terdiri dari tiga fase yaitu fase udara, air dan padatan dan ketiga fase tersebut memiliki nilai yang berbeda. Nilai bulk density (kepadatan) tanah semakin kebawah akan semakin besar dengan nilai porositas tanah semakin ke atas akan semakin besar. Kata kunci : Tanah, kepadatan, bulk density PENDAHULUAN Tanah untuk pertama kalinya dipelajari oleh para ahli tanah dari bidang pertanian, yang hanya terbatas pada tanah lapisan atas, yang berhubungan langsung dengan kesuburan tanah dan penyiapan tanah bagi tanaman. Dari hasil tersebut orang sudah mulai mengerti tentang dasar sifat fisika tanah, sifat kimia tanah, proses penghancuran tanah, proses pencucian tanah, proses pembentukan tanah dan faktor-faktor yang menentukan seperti pengaruh iklim, vegetasi, dan bahan induk/batuan. Keadaan dan kondisi tanah akan sangat mempengruhi proses pengolahan lahan yang menggunakan alat pertanian baik yang tradisional maupun modern. Hubungan tanah dan alat pertanian melibatkan dua aspek yang sangat berbeda tetapi hubungannya dengan pertanian, keterkaitannya sangat menentukan hasil akhir baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisika dan
mekanika tanah pada daerah sawah baru Darmaga Bogor.. BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi sawah baru, Bubulak Darmaga Bogor dan analisa tanah dilakukan di laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknologi Pertanian, Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah sekitar 10 Kg Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -
Ring sampel Pisau Isolasi Karung/wadah tanah Penetrometer Timbangan Oven Meteran 61
-
Batang penekan ring sampel
Prosedur Penelitian -
-
-
Mengambil sampel tanah di sawah Mengukur kekuatan tanah dengan pengukuran geseran pada permukaan tanah dan pengujian penetrasi. Analisa tanah di laboratorium untuk mencari nilai kadar air, bulk density, dan porositas tanah. Uji proctor dan Direct shear di laboratorium.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanah terdiri dari tiga fase yaitu fase udara, fase air dan padatan. Ketiga fase tersebut berbeda tapi saling berhubungan. Hubungan ini dapat menyebabkan absorbsi, tegangan permukaan, dan gesekan. Hubungan yang terpenting dari ketiga fase tersebut yaitu perbandingan ukuran luas per volume. Dimana dalam satu sampel tanah terdapat volume udara (Va), volume air (Vw) dan volume padatan (Vs). Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh bahwa ketiga fase tersebut menunjukkan nilai yang tidak sama, pada lapisan 0 - 10 cm volume udara rata-rata = 4,04 cc dan pada lapisan 10 - 20 cm = 1,04 cc serta lapisan 20 - 30 cm = 0,23 cc. Volume air rata-rata lapisan 0 - 10 cm = 56,88 cc, lapisan 10 - 20 cm = 58,98 cc dan lapisan 20 - 30 cm = 59,43 cc. Volume padatan rata-rata pada lapisan 0 - 10 cm = 39,41 cc, lapisan antara 10 - 20 cm = 40,30 cc dan lapisan antara 20 - 30 cm = 40,67 cc. Dari ketiga nilai tersebut volume air memiliki nilai volume terbesar. Besarnya volume air
menentukan kadar air dalam tanah, dimana kadar air tanah banyak mempengaruhi sifat fisik tanah seperti mengembang, menyusut, disversi, agregasi dan adhesi tanah. Tingkat kepadatan tanah dihitung dari nilai bulk density, dimana bulk density dipengaruhi oleh struktur tanah. Nilai bulk density ditentukan dari perhitungan berat kering dan berat basah sampel tanah dari. Pada table Lampiran 1menunjukkan bahwa nilai bulk density rata-rata lapisan 0 - 10 cm adalah 1,08 gram/cc, lapisan 10 - 20 cm = 1,11 gram/cc dan lapisan 20 - 30 cm = 1,12 gram/cc. Terlihat bahwa semakin ke bawah lapisan tanah maka nilai bulk densitynya semakin tinggi ini dipengaruhi oleh kegiatan mikroorganisme dan pengaruh perakaran tanaman. Semakin dalam tanah pengaruh kegiatan mikroorganisme dan perakaran akan berkurang. Nilai porositas rata-rata pada lapisan 0 - 10 cm adalah 60,7 %, lapisan antara 10 - 20 cm = 59,83 % dan lapisan antara 20 - 30 cm = 59,47 %. Terlihat bahwa porositas tanah semakin ke atas akan semakin besar karena dipengaruhi kegiatan mikroorganisme dan perakaran tanaman serta dipengaruhi strukutur tanah yang semakin ke bawah semakin padat karena belum mengalami pelapukan serta tekstur tanah yang semakin ke bawah semakin halus. Nilai kadar air tanah rata-rata pada lapisan 0 - 10 cm , lapisan antara 10 20 cm dan lapisan 20 - 30 cm adalah sama yaitu sekitar 53 %. Terlihat bahwa kadar air dari ketiga lapisan adalah sama, hal ini disebabkan karena sampel tanah berasal dari satu lokasi berupa sawah yang masih berair sehingga kadar air tanah ketiga lapisan relatif sama. Tingkat kedalaman dari
62
pengambilan tanah juga mempengaruhi banyaknya volume air yang dikandungnya, hal ini dapat terjadi karena pada permukaan tanah tingkat penguapan yang dapat mengurangi volume air terjadi lebih intensif dibanding tanah yang terletak agak dalam dari permukan tanah. Sehingga tanah permukaan dapat dikatakan memiliki padatan yang lebih banyak disbanding tanah agak dalam dari permukaan tanah.
Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis), Erlangga, Surabaya. Mandang, Tineke dan Nishimura, Isao., 1991, Hubungan Tanah dan Alat Pertanian, IPB, Bogor.
Nilai kadar air, bulk density, dan porositas sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah, warna tanah dan bendabenda lain seperti akar tanaman dan batu kecil yang terikut saat pengambilan sampel tanah dengan ring, sehingga dalam analisa sifat fisika tanah sangat mempengaruhi nilai kadar air, bulk density dan porositas tanah. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Tanah terdiri dari tiga fase yaitu fase udara, air dan padatan dan ketiga fase tersebut memiliki nilai yang berbeda. 2. Nilai bulk density (kepadatan) tanah semakin kebawah akan semakin besar. 3. Nilai porositas tanah semakin keatas akan semakin besar. 4. Nilai kadar air tanah dari tiga lapisan tanah sama. DAFTAR PUSTAKA Ariyono S.S, dan Soetoto, 1980, Mekanika Tanah 1, Depdikbud, Jakarta. Das M Braja ., Noor endah dan Indrasurya B. Mochtar, 1993.
63
Lampiran 1. Tabel Nilai Bulk density, Kadar air dan Porositas Tanah pad Sawah Baru Darmaga Bogor NO
BB
BK
KA
Vt
BD
P
Sampel
(gram)
(gram)
(%)
(cc)
(gram/cc)
(%)
Vw
Vs
Va
PD
(cc)
(cc)
(cc)
(gram/cc)
A 30
169.29
110.16
0.54
100.5
1.10
59.40
1.463
59.13
40.80
0.57
2.7
P50
A 20
161.39
103.57
0.56
100.5
1.03
A 10
161.07
104.47
0.54
100.5
1.04
59.70
1.484
57.82
40.46
2.22
2.56
P52
60.30
1.520
56.60
39.88
4.02
2.62
P49
B 30
176.23
116.07
0.52
100.5
B 20
180.49
119.69
0.51
100.5
1.15
59.90
1.494
60.16
40.30
0.04
2.88
P51
1.19
60.60
1.536
60.80
39.63
0.07
3.02
P53
B 10
175.09
118.55
0.48
100
1.19
60.60
1.539
56.54
39.39
4.08
3.01
J13
C 30
170.29
111.30
C 20
168.54
110.21
0.53
100
1.11
59.10
1.444
58.99
40.92
0.09
2.72
J1
0.53
100
1.10
59.20
1.450
58.33
40.82
0.85
2.7
J14
C 10
158.06
100.56
0.57
100.5
1.00
61.20
1.578
57.50
38.98
4.03
2.58
P54
e
Ket
Keterangan : BB = Berat basah tanah (gram) BK = Berat Kering tanah (gram) KA = Kadar air tanah (%) = (BB - BK)/BB Vt = Vulume total tanah (cc) BD = Bulk density (gram/cc) = Ws/Vt P = Porositas (%) = Vv/Vt Vw = Volume air (cc) Vs = Volume padata (cc) Va = Volume udara (cc)
64
Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman KentangBerbasis Sistem Informasi Geografis Studi Kasus: Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan (The Analyse of Land Suitability for Potatoes Plant Based on Geographic Information System A Case Study of Tinggimoncong District, Gowa Regency – South Sulawesi) Vicha Prabowo Lamoki, Totok Parwitosari, dan Haerani Program Studi Keteknikan Pertanian Universitas Hasanuddin Kampus Unhas Tamalanrea Km 10 Makassar 90245
[email protected] Abstract Land variety is a huge resouce to achieve a sustainable agriculture production, both in quality and quantity. Therefore, the use of land resources in agriculture development needs to pay attion in land suitability to achieve an optimum result. Tinggimoncong distric in Gowa regency is a potential area to develop agroindustry for potatoes. Geographic Information System (GIS) can cover large area in mapping and system analyses. Therefore GIS is used inagriculture commodity divisions. The study aim was to determine the land suitability for potatoes plant based on potato plant biophysic requirements by using GIS, in Tinggimoncong district, Gowa regency. The study consisted of preparation phase, work map development to produce land unit, field work and farmer survey, land sample analysis in laboratory, and land suitability analysis for potato plants by using Arcview software. Field work was carried out in every land units by using semi detail land survey. The land suitability classification used FAO based framework (1976) which divided land suitability into clases of S1, S2, S3, and N based on limiting factors in each unit. The study results showed that from 25,301 hectares study area, 3.7% (954.5 ha) was included in S1 class classification, 16.74% (4,234.5 ha) was S2 class classification, 38.13% (9,646.3 ha) was included in S3 class classification, and 41.4% (10,465.6 ha) was N class classification. Key words: Land suitability, Potatoes, Tinggimoncong, GIS, Land PENDAHULUAN Indonesia memiliki keragaman jenis tanah, iklim, bahan induk, relief/topografi, dan elevasi.Keragaman tanah ini merupakan salah satu modal besar dalammemproduksi berbagai komoditas pertanian secara berkelanjutan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.Oleh karena itu, pemanfaatan potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian perlu memperhatikan kesesuaian lahan, agar diperoleh hasil yang optimal.Kesesuaian lahan (land suitability) adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu.Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan merupakan daerah potensial pengembangan agribisnis tanaman kentang, oleh karenanya perlu mendapat perhatian khusus.Kecamatan ini memiliki kondisi iklim yang sesuai untuk pengembangan komoditas tanaman kentang. Dengan pengembangan lahan penanaman 65
kentang yang mengacu pada kesesuaian lahan untuk tanaman kentang, produksi dapat ditingkatkan, sehingga pada akhirnya kesejahteraan petani dan pendapatan asli daerah dapat meningkat. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi yang mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis, sehingga teknologi ini sering digunakan dalam proses pemwilayahan komoditi. Teknologi SIG akan meningkatkan efisiensi waktu perencanaan dengan tingkat ketelitian yang baik di dalam penataan pengelolaan suatu kawasan lahan permukaan. Salah satu bentuk penggunaan SIG adalah pemetaan tanaman kentang berdasakan beberapa keadaan biofisiknya. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian analisis kesesuaian lahan untuk tanaman kentang di kecamatan Tinggimoncong kabupaten Gowa.Penelitian ini bertujuan untuk menentukankesesuaian lahan berdasarkan beberapa persyaratan biofisik tanaman kentang dengan menggunakan teknologi SIG di kecamatan Tinggimoncong kabupaten Gowa.Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi untuk pengembangan tanaman kentang di wilayah tersebut. BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: 1. Sampel Tanah 2. Data curah hujan tahun 1998 sampai 2008 (dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Sulawesi Selatan). 3. Data suhu, kelembapan dari tahun 2005 sampai 2009 (dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Sulawesi Selatan). 4. Peta rupa bumi skala 1: 50.000 (dari Bakosurtanal Propinsi Sulawesi Selatan) 5. Peta Iklim skala 1:100.000 6. Peta Jenis tanah Land System skala 1:250.000 7. Peta Lereng skala 1:100.000 8. Peta Penggunaan lahan skala 1:100.000 9. Peta Administrasi desa di Kabupaten Gowa skala 1:50.000. Alat yang penelitian ini adalah:
digunakan
dalam
1. Meteran, Ring Sampel, Kantong plastik, cutter,camera digital 2. Satu unit GPS (Global Position System) 3. Perangkat keras (hardware) terdiri dari seperangkat unit komputer. 4. Perangkat lunak (software) yang terdiri dari Data Base, Arc View 3.2, Microsoft Excel.
Waktu dan Tempat Penelitian
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2010. Lokasi penelitian di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Hasanuddin dan di kecamatan Tinggimoncong kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Tahapan penelitian ini meliputi tahap pengumpulan data sekunder, pembuatan peta kerja, survei lapangan dan wawancara dengan petani, analisis sampel tanah di laboratorium, dan analisis kesesuaian lahan tanaman kentang menggunakan Software Arcview.Peta kerja dibuat dengan melakukan tumpang tindih (overlay) tiga jenis peta dasar yaitu peta lereng, peta jenis 66
tanah, dan peta administrasi. Peta kerja menghasilkan unit-unit lahan yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengambilan sampel tanah, survei lapangan dan wawancara dengan petani.Pengamatan lapangan dilakukan di seluruh unit lahan yang ditemukan dengan menggunakan survei tanah tingkat semi detail, setiap unit lahan diwakili oleh satu sampel tanah untuk setiap profil.Selain itu dilakukan pengamatan medan penelitian meliputi bentuk wilayah, lereng, drainase, kondisi batuan, vegetasi, dan batas administrasi. Analisis sampel tanah di laboratorium meliputi parameter: -
-
-
keasaman tanah (pH) dengan menggunakan pH meter dalam H2O (1:2,5) C-organik tanah dengan metode Walkley dan Black Kejenuhan basa (Kb) diperoleh dari basa-basa yang terekstrak oleh Ammonium Asetat (NH4OAc) 1 N Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dengan metode penjenuhan Amonium asetat (NH4OAc) 1 N pH 7.
Setelah data terkumpul, penentuan klasifikasi kesesuaian lahan menggunakan acuan kerangka dasar FAO(1976) yang mengelompokkan kelas kesesuaian lahan ke dalam kelas S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai) berdasarkan besarnya jumlah pembatas pada masing-masing unit lahan dengan menggunakan aplikasi software ArcView.Data-data yang meliputi parameter iklim dan parameter biofisik digunakan sebagai acuan penentuan kelas kesesuaian lahan dengan membandingkannya dengan persyaratan penggunaan lahan untuk kentang yang ditetapkan oleh Djaenuddin, et al (2003). Parameter iklim ini meliputi temperatur dan ketersediaan air (curah hujan dan kelembaban (Rh)). Sementara itu, parameter biofisik meliputi media perakaran (drainase, tekstur, dan kedalaman tanah); retensi hara (Kapasitas Tukar Kation (KTK), kejenuhan basa (Kb), Keasaman tanah (pH0, dan bahan C-organik tanah); dan bahaya erosi (lereng).Secara lengkap bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
67
Peta Kab.Gowa
Peta Administrasi
Peta Lereng
Peta Jenis tanah
Peta Curah Hujan
Peta Penggunaan Lahan
Peta Unit Lahan
Survei Lapangan
Analisis Sampel Tanah
Pengolahan Data
PETA KELAS KESESUAIAN LAHAN AKTUAL
Usaha Perbaikan
PETA KELAS KESESUAIAN LAHAN POTENSIAL
S1
S2
% Kesesuaian lahan yang sesuai dengan tanaman Kentang
S3
N
% Kesesuaian lahan yang tidak sesuai tanaman Kentang
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
68
HASIL DAN PEMBAHASAN Letak Geografis dan Administrasi Tinggi Moncong merupakan salah satu kecamatan yang terletak di dataran tinggi di Kabupaten Gowa. Secara geografis terletak antara 5o21’5”E – 5o’11’7” S dan antara 119o45’00”E – 190o56’35”S. Secara administrasi, Kecamatan Tinggimoncong berbatasn dengan: Sebelah utara : Kabupaten Kecamatan Tombolopao
Maros
dan
Sebelah Timur : Kabupaten Sinjai Sebelah Selatan: Kecamatan Bongaya, Kecamatan Bontolempangan dan Kecamatan Tompobulu Sebelah Barat :Kecamatan Parangloedan Kecamatan Manuju Luas wilayah Kecamatan Tinggimoncong adalah 25.301,029 ha (253,01 km2) yang meliputi 7desa (Bilarengi, Bulutana, Jonjo, Majanang, Manimbahoi, Parigi, dan Sicini) dan 2 kelurahan (Gatarang dan Malino). Gambar 2 menunjukkan Peta Administrasi
.
Gambar 2. Peta Administrasi Kecamatan Tinggimoncong
69
Jenis Tanah Berdasarkan hasil interpretasi peta jenis tanah Kecamatan Tinggimoncong skala 1:50.000, terdapat 5 jenis tanah pada daerah penelitian, yaitu Alfisols, Entisols, Inseptisols, Oxixols dan Ultisols.Great group yang terbentuk untuk kelima jenis tanah tersebut adalah Tropudalfs (untuk
Alfisols), Tropofluvents (untuk Entisols), Dystrandepst dan Hunitropepts (untuk Inseptisols), Haplorthox (untuk Oxixols), dan Tropohumults dan Tropudults (untuk Ultisols). Luasan area untuk masing-masing jenis tanah disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Jenis tanah dominan adalah Inseptisols (43,23 % dari luas area keseluruhan), sementara itu yang terendah adalah Entisols (2,90% dari luas area keseluruhan)
Tabel 1.Jenis Tanah di Kecamatan Tinggimoncong Luas Great Group
(ha)
(%)
Alfisols
3.567,026
14,1
Entisols
734,191
2,90
10.936,867
43,23
Oxixols
3.488,742
13,79
Utisols
6.574,203
25,98
25.301,029
100
Inseptisols
Total Sumber: Peta landsystem, 1989.
Penutupan Lahan Berdasarkan peta penggunaan lahan yang di interpretasi melalui Peta Rupa Bumiterdapat enam penutupan lahan yaitu semak belukar, pertanian lahan kering, hutan sekunder, tanah terbuka, sawah, dan tubuh air. Penutupan lahan yang paling dominan adalah semak belukar sebesar 40,04% dari luas area keseluruhan, sedangkan penutupan
lahan paling sedikit adalah tubuh air seluas 1,33% dari total luas keseluruhan.Vegetasi yang mendominasi yaitu tanaman hortikultura seperti kol, tomat, wortel, bawang, kacang panjang, kentang, dan ditambah juga dengan tanaman pangan seperti jagung serta umbi-umbian.Pada beberapa tempat banyak dijumpai vegetasi hutan seperti pinus, jati, dan sebagainya.Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
70
Tabel 2. Penggunaan lahan di Kecamatan Tinggimoncong Luas Penggunaan Lahan (ha)
(%)
Hutan Sekunder
3.272,386
12,93
Semak Belukar
11.648,806
46,04
Tanah Terbuka
1.412,849
5,58
Tubuh Air
337,074
1,33
Sawah
456,776
1,80
8173,138
32,3
25.301,029
100
Pertanian lahan kering Total Sumber: Peta landsystem, 1989.
Peta unit lahan (peta kerja) Peta penggunaan lahan digunakan sebagai acuan dalam penentuan lahan perkebunan kentang pada setiap unit lahan.Pada penentuan lokasi perkebunan kentang di 17 unit lahan, enam jenis penutupan lahan diatas diperkecil menjadiempat penutupan lahan. Penutupan lahan tubuh air, hutan sekunder, dan sawah digabungkam menjadi satu, yaitu lahan yang tidak digunakan.Sehingga, penutupan lahan yang digunakan untuk penentuan lahan perkebunan kentang hanya meliputi pertanian lahan kering, semak belukar, tanah terbuka dan lahan tidak dipergunakan.
Peta unit lahan atau peta kerja penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam penentuan posisi pengamatan profil tanah yang diperoleh dari hasil tumpang tindih (overlay)tiga jenis peta, yaitu peta lereng, peta jenis tanah, dan peta administrasi Kecamatan Tinggimoncong. Berdasarkan hasil tumpang tindih ini diperoleh 17 unit lahan (Gambar 3) dengan karakteristik unit lahan yang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
71
Gambar 3. Peta Unit Lahan (Peta Kerja) Kecamatan Tinggimoncong Tabel 3. Karakteristik Unit Lahan pada Lokasi Penelitian Unit lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kelas lereng 0-3 % 0-3 % 3-8 % 3-8 % 3-8 % 3-8 % 3-8 % 8 - 15 % 8 - 15 % 8 - 15 % 8 - 15 % 8 - 15 % > 15 % > 15 % > 15 % > 15 % > 15 %
Total Sumber: Peta Unit Lahan, 2010
Jenis tanah Alfisols Ultisols Alfisols Entisols Inseptisols Oxixols Ultisols Alfisols Entisols Inseptisols Oxixols Ultisols Alfisols Entisols Inseptisols Oxixols Ultisols
Luas (ha) 27.280 257.445 198.172 142.942 77.765 204.709 190.837 1156.451 48.674 954.538 720.561 991.279 2185.375 561.100 9904.562 2546.507 5132.832
(%) 0.11 1.02 0.78 0.56 0.31 0.81 0.75 4.57 0.19 3.77 2.85 3.92 8.64 2.22 39.15 10.06 20.29 25301.029 100.00
72
Curah hujan dan temperatur Data curah hujan selama 10 tahun terakhir (1998 sampai 2008) diperoleh dari stasiun Klimatologi Malino, stasiun inimewakili seluruh daerah penelitian.Berdasarkan data curah hujan ini, diperolehhasil bahwa tipe iklim di daerah penelitian berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson adalah
Zona B tipe iklim Basah (Wet) dengan total curah hujan sebesar2.945,83 mm/tahun. Sedangkan untuk temperatur rerata tahunan sebesar 27.94ºC dengan kelembapan rerata tahunan sebesar 70,51. Rata-rata curah hujan dan tipe iklim disajikan pada Tabel 4.Ditinjau dari segi kesesuaian iklim pada daerah penelitian, maka kelas kesesuaian iklim untuk tanaman kentang pada daerah penelitian ini tergolong sesuai (S1).
Tabel 4. Rata-Rata Curah Hujan Selama 10 Tahun Terakhir Periode 1998-2008 Stasiun Curah Hujan Malino No Bulan Rata-Rata Curah Hujan Bulanan (mm) 1 Januari 755,0 2 Februari 708,1 3 Maret 470,9 4 April 346,9 5 Mei 173,5 6 Juni 130,6 7 Juli 73,6 8 Agustus 35,3 9 September 39,8 10 Oktober 136,3 11 November 311,2 12 Desember 744,8 Total 3.925,9 Zona Iklim B (BASAH) (Schmidt-Ferguson) Sumber: Sub bagian Hidrologi, pengelolaan Sumber Daya Air, Makassar, 2010
Lereng
dan yang terendah adalah bentuk wilayah datar dengan selang lereng (0-3%).
Berdasarkan hasil interpretasi peta rupa bumi skala 1:50.000 lembar Tanete, terlihatkeadaan topografi pada daerah penelitian umumnya mempunyai bentukwilayah berbukit sampai dengan bergunung sangat curam (Tabel 5).Bentuk wilayah dan kemiringan lereng paling dominan di kecamatan Tinggimoncong adalah berbukit sampai dengan bergunung sampai curam dengan selang lereng (>15%) 73
Tabel 5.Bentuk Wilayah dan Kemiringan Lereng di Kec.Tinggimoncong Luas
Selang Lereng (%)
(ha)
(%)
Datar
0–3
286,292
1,13
Berombak
3–8
814,425
3,22
Bergelombang
8 – 15
3,852,978
15,2
Berbukit s/d Bergunung sangat curam
> 15
20,347,334
80,4
Bentuk Wilayah
TOTAL Sumber: Peta RBI lembar Tanete, 1999
Penentuan Kesesuaian Lahan Aktual Berdasarkan persyaratan penggunaan/karaakteristik lahan yang diperlukan untuk pengembangan tanaman kentang, maka hasil evaluasi kelas kesesuaian lahan aktual pada setiap unit
25,301,029
100
lahan adalah sebagai berikut: kelas kesesuiaan lahan aktual yang umumnya terdapat pada lokasi penelitian tergolong kelas sesuai marginal (S3) dan kelas cukup sesuai (S2), namun faktor pembatas masingmasing unit lahan berbeda. Penilaian kelas kesesuian lahan aktual dan luasannya pada lokasi penelitian disajikan pada tabel 6 berikut:
Tabel 6. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Aktual (KKLA) pada Tanaman Kentang Unit Lahan
KKLA
1,2,3,8
S3rc2,S2nr2
Faktor Pembatas
Luasan (ha) (%)
1. Media Perakaran: Tekstur
4
S3nr2,S2rc2nr2
2. Retensi Hara: KB 1. Media Perakaran: Tekstur
1639.348
6,47
142.942
0,56
282.474
1,11
190.837
0,75
2. Retensi Hara: KB, pH H20 5,6
S3rc2,S2rc4nr23
1. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman tanah 2. Retensi Hara: KB, pH H20
7
S3rc2nr3,S2nr2
1. Media Perakaran:Tekstur
74
2. Retensi Hara: KB, pH H20 1. Media Perakaran: Tekstur 9
S3rc2,S2nr23eh1
2. Retensi Hara: KB, pH H20
48.674
0,19
954.538
3,77
720.561
2,84
991.279
3,91
2185.375
8,63
561.100
2,21
9904.562
39,14
2546.507
10,06
5132.832
20,28
25301.029
100
3. Bahaya Erosi: Lereng 1. Retensi Hara: KB, C-org 10
S2nr24eh1
2. Bahaya Erosi: Lereng 1. Media Perakaran: Tekstur
11
S3rc2nr3,S2nr2eh1
2. Retensi Hara: KB, pH H20 3. Bahaya Erosi: Lereng 1. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman tanah
12
S3rc2,S2rc4nr2eh1
2. Retensi Hara: KB 3. Bahaya Erosi: Lereng 1. Bahaya Erosi: Lereng
13
S3eh1,S2rc4nr24
2. Media Perakaran: Kedalaman tanah 3. Retensi Hara: KB, C-org 1. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman Tanah
14
S3rc2eh1,S2rc4nr23
2. Retensi Hara: KB, pH H20 3. Bahaya Erosi: Lereng 1. Retensi Hara: KB, pH H20
15
S3nr3eh1,S2rc24nr2
2. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman Tanah 3. Bahaya Erosi: Lereng 1. Bahaya Erosi: Lereng
16
S3eh1,S2nr2
2. Retensi Hara: KB 1. Media Perakaran: Tekstur
17
S3rc2eh1,S2nr2
2. Retensi Hara: KB 3. Bahaya Erosi: Lereng Total
Sumber: Data Primer, 2011 Kelas kesesuaian lahan pada kondisi aktual akan menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survei tanah atau sumber daya lahan yang belum
mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang berupa sifat fisik lingkungan termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi (Rayes, 2007 dan PPTA, 1991) 75
Kesesuaian Lahan Potensial Setelah dilakukan berbagai usaha perbaikan pada beberapa faktor pembatas yang menjadi kendala menunjukkan bahwa kelas kesesuaian pada beberapa unit lahan dapat meningkat satu kelas, namun Tabel 7. Unit Lahan
1,2,3,8
4
5,6
7
9
umumnya masalah kelerengan, dan tekstur tanah menjadi faktor penghambat yang harus di perhatikan.Asumsi tingkat perbaikaan kelas kesesuaian lahan aktual untuk menjadi potensial disertai usaha perbaikannya disajikan pada tabel 7 berikut ini.
Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Aktual (KKLA) dan Potensial (KKLP) pada Tanaman Kentang KKLA
Faktor Pembatas
S3rc2,S2rc4nr23
Tidak dapat dilakukan perbaikan
2. Retensi Hara: KB
Penambahan BO atau pengapuran
1. Media Perakaran: Tekstur
Tidak dapat dilakukan perbaikan
2. Retensi Hara: KB, pH H20 1. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman tanah
Penambahan BO atau pengapuran
2. Retensi Hara: KB, pH H20
Penambahan BO atau pengapuran
1. Media Perakaran:Tekstur
Tidak dapat dilakukan perbaikan
2. Retensi Hara: KB, pH H20
Penambahan BO atau pengapuran
1. Media Perakaran: Tekstur
Tidak dapat dilakukan perbaikan Penambahan BO atau pengapuran Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah
S3rc2
Penambahan BO atau pengapuran Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah
S1
S3rc2nr3,S2nr2
S3rc2,S2nr23eh1
2. Retensi Hara: KB, pH H20 3. Bahaya Erosi: Lereng
1. Retensi Hara: KB, C-org 10
S2nr24eh1 2. Bahaya Erosi: Lereng
11
S3rc2nr3,S2nr2eh1
KKLP
1. Media Perakaran: Tekstur S3rc2,S2nr2
S3nr3,S2rc2nr2
Usaha Perbaikan
Tidak dapat dilakukan perbaikan
1. Media Perakaran: Tekstur
Tidak dapat dilakukan perbaikan
2. Retensi Hara: KB, pH H20
Penambahan BO atau pengapuran
S3rc2
S2nr3rc2
S3rc2,S2rc4
S3rc2,S2nr3
S3rc2,S2nr3
76
3. Bahaya Erosi: Lereng 1. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman tanah 12
S3rc2,S2rc4nr2eh1
2. Retensi Hara: KB
3. Bahaya Erosi: Lereng
1. Bahaya Erosi: Lereng 13
S3eh1,S2rc4nr24
S3rc2eh1,S2rc4nr23
S3nr3eh1,S2rc24nr2
3. Retensi Hara: KB, C-org
Penambahan BO atau pengapuran
2. Retensi Hara: KB, pH H20
1. Retensi Hara: KB, pH H20 2. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman Tanah 3. Bahaya Erosi: Lereng
1. Bahaya Erosi: Lereng 16
17
Penambahan BO atau pengapuran Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah Penambahan Solum Tanah
3. Bahaya Erosi: Lereng
15
Tidak dapat dilakukan perbaikan
2. Media Perakaran: Kedalaman tanah
1. Media Perakaran: Tekstur, Kedalaman Tanah 14
Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah
S3eh1,S2nr2
S2rc4eh1
Tidak dapat dilakukan perbaikan Penambahan BO atau pengapuran Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah
S3rc2,S2rc4eh1
Penambahan BO atau pengapuran Tidak dapat dilakukan perbaikan Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah
2. Retensi Hara: KB
Penambahan BO atau pengapuran
1. Media Perakaran: Tekstur
Tidak dapat dilakukan perbaikan
2. Retensi Hara: KB
Penambahan BO atau pengapuran
S3rc2eh1,S2nr2
S3rc2,S2rc4
S2rc24nr3eh1
S2eh1
S3rc2,S2eh1
77
Pembuatan teras, Strip cropping, penanaman tanaman penutup tanah
3. Bahaya Erosi: Lereng
Sumber: Data Primer, 2011
Tabel 7 menunjukkan besarnya potensi pengembangan lahan dari kesesuaian lahan aktual ke kesesuaian lahan potensial.17 unit lahan diklasifikasikan berdasarkan kesesuaian lahan potensial ini.Unit lahan yang memiliki tingkat faktor pembatas terbanyak di golongkan menjadi
kelas N atau S3, sedangkan areal unit lahan yang memiliki faktor pembatas sedang atau sedikit atau tidak memiliki faktor pembatas di golongkan ke dalam kelas S2 dan S1.Hal ini dapat di lihat pada Tabel 8 yang memperlihatkan kesesuaian lahan S3 mendominasi daerah Tinggimoncong.
Tabel 8. Luas Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Kentang Unit Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan
Luasan (ha)
(%)
10
S1
954,5
3,73
1,2,3,8,9,16
S2
4.234,5
16,79
4,5,6,7,11,12,13,17
S3
9.646,3
38,13
14, 15
N
10.465.7
41,4
25,301.9
100
Total
Sumber: Data Primer, 2011
Berdasarkan hasil penilaian kelas kesesuaian lahan aktual sebelumnya, menunjukkan bahwa faktor pembatas yang paling tingi pada seluruh unit lahan adalah retensi hara yaitu tingkat Kejenuhan Basa (KB) yang rendah serta pH yang masam hingga agak masam. Persyaratan tumbuh tanaman kentang kisaran untuk KB yang sesuai yaitu ≥ 35%,namun KB pada setiap unit lahan berkisar <35%. Sementara itu,persyaratan tumbuh tanaman kentang kisaran untuk pH yang sesuai yaitu 5,6-7,0, namun pH pada setiap unit lahan berkisar 5,0-6,40. Kendala tersebut masih dapat diatasi, salah satunya dengan cara pemberian bahan organik dengan melakukan pengapuran. Pengapuran bertujuan untuk menaikkan pH tanah, menambah unsur –
unsur Ca dan Mg, menambah ketersediaan unsur – unsur P dan Mo, mengurangi keracunan Fe, Mn, Al serta memperbaiki kehidupan mikroorganisme. Faktor pembatas berupa kelerengan terdapat pada semua unit lahan.Tidak ada usaha perbaikan yang dapat direkomendasikan sebab ini merupakan faktor alam. Kelerengan ini sendiri jika persentasenya sudah sangat tinggi, maka akanmenyebabkan tingginya kejadian erosi.Namun terdapat berbagai cara perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya erosi, misalnya pembuatan teras, penanaman sejajar kontur, dan penanaman tanaman penutup tanah (Hardjowigeno, 1992) 78
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi bentuk wilayah yang beraneka ragam yang menyebabkan variasi satuan lahan yang terdiri dari 17 satuan lahan. 2. Analisis kesesuaian lahan menggunakan aplikasi SIG memperlihatkan transisi kelas kesesuaian lahan aktual (yang sebenarnya) ke kelas kesesuaian lahan potensial (usaha perbaikan). 3. Dari luas total lahan yang dianalisis (25.301,029 Ha), 3,7% diantaranya (954,5 ha) memiliki kesesuaian lahan S1 untuk pengembangan kentang. Sementara itu, kesesuaian lahan S2 sebanyak 16,74% (4.234,5 ha), kesesuaian lahan S3 sebanyak 38,13% (9.646,3 ha), dan dengan kesesuaian lahan N sebanyak 41,4% (10.465,6 ha). 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kentang di Kecamatan Tinggimoncong memiliki prospek yang cukup baik menurut parameter karakteristik yang digunakan di penelitian ini. Adanya wilayah yang kurang sesuai untuk pengembangan tanaman kentang dikarenakan adanya faktor pembatas yang masih mungkin untuk diperbaharui karena hanya bersifat sementara
FAO (Food and Agriculture Organization), 1976.A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation ServiceLand and Water Development Division. FAO Soil Bulletin No.32. FAO-UNO, Rome. Hardjowigeno, S., 1992. Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. PPTA (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat). 1991. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta.Yogyakarta
Daftar Pustaka Djaenuddin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
79
80