ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh : Dewi Mutia Handayani A14301056
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
DEWI MUTIA HANDAYANI. ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN. Studi Kasus Desa Karacak, Kecama tan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Di bawah bimbingan M. PARULIAN HUTAGAOL). Lahan merupakan salah satu modal bagi petani dalam mengusahakan pertanian. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian semakin berkurang, karena proyek pembangunan atau pembukaan lahan baru tidak sebanding dengan pertambahan penggunaan lahan. Kondisi ini tentu saja menimbulkan banyak masalah, yaitu meningkatnya jumlah petani lahan sempit dan petani yang tidak memiliki lahan garapan. Petani yang menguasai lahan sempit sering disebut dengan petani gurem. Petani-petani tersebut memiliki ciri-ciri antara lain: (1) kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar, (2) modal kecil, dalam hal ini tenaga kerja kadang-kadang merupakan satu-satunya faktor produksi yang digunakan, (3) teknologi yang digunakan sangat sederhana, (4) mutu produksi yang dihasilkan tergolong rendah, (5) pasar terbatas, (6) dalam pembiayaan usahatani, mereka tidak memiliki akses terhadap dunia perbankan, (7) memiliki posisi tawar- menawar (bargaining position) yang rendah dan (8) kesulitan dalam merespon teknologi, karena terbatasnya kualitas SDM. Petani-petani yang tidak memiliki lahan didalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya mengerjakan lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil/sakap yaitu memberikan sebagian dari hasil panen kepada pemilik lahan. Ketidakseimbangan pasar persewaan lahan menyebabkan kedudukan petani bukan milik (sakap) lemah. Hal ini disebabkan petani bukan milik (sakap) dihadapkan pada ketidakpastian dalam menggarap (tenancy security). Keberlangsungan petani bukan milik (sakap) dalam menggarap tergantung dari pemilik lahan. Jika pemilik lahan masih menginginkan petani tersebut untuk menggarap lahannya, maka petani tersebut memiliki lahan untuk digarap. Tetapi jika pemilik lahan tidak menginginkan petani sakap tersebut untuk tetap menggarap lahannya, maka petani bukan milik (sakap) harus mencari pemilik lahan baru yang mau menyakapkan lahannya. Disamping itu, petani bukan milik (sakap), pada umumnya kurang memiliki modal dan kemampuan yang cukup dalam mengelola usahataninya, sehingga peluang dalam meningkatkan kesejahteraan kecil. Sehubungan dengan hal tersebut, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah : (1) Bagaimana pengaruh status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan terhadap biaya-biaya usahatani padi sawah yang dikeluarkan di lokasi penelitian? (2) Bagaimana pengaruh luas dan status kepemilikan lahan terhadap pendapatan usahatani padi sawah? (3) Apakah usahatani padi sawah masih cukup menguntungkan untuk dilakukan, khususnya pada usahatani milik sempit dan usahatani bukan milik (sakap)?. Penelitian lapang dilaksanakan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive
dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Leuwiliang merupakan salah satu sentra produksi padi sawah di Kabupaten Bogor. Pemilihan responden dilakukan dengan sistem acak berlapis sengaja (stratified random sampling) sebanyak 40 responden. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara langsung dengan petani dan instansi terkait dan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi atau dinas yang berkaitan dengan masalah penelitian seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Biro Pusat Statistik, Balai Penyuluhan Pertanian serta Kantor Kelurahan/Desa, informasi dan hasil penelitian serta tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis yang dilakukan meliputi analisis biaya, analisis pendapatan untuk mengetahui sejauh mana luas lahan garapan dan status kepemilikan terhadap pendapatan usahatani dan analisis profitabilitas untuk mengukur efisiensi usahatani dan keberhasilan suatu usahatani. Berdasarkan hasil analisis pendapatan dan analisis profitabilitas diperoleh bahwa usahatani milik jauh lebih menguntungkan dibandingkan usahatani bukan milik (sakap). Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio pada usahatani milik lebih besar dari pada usahatani bukan milik (sakap) karena pada usahatani bukan milik (sakap) harus mengeluarkan biaya bagi hasil yang mencapai 60 persen dari total biaya. Jika dilihat dari segi keuntungan, usahatani milik luas lebih besar dari pada usahatani milik sempit yang dibuktikan dengan nilai R/C rasio pada usahatani milik luas sebesar 2,12 dan pada usahatani milik sempit sebesar 1,97. Lebih rendahnya keuntungan yang diterima pada usahatani milik sempit disebabkan proporsi biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Pada usahatani bukan milik (sakap) luas memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan pada usahatani bukan milik (sakap) sempit. Dimana nilai R/C rasio pada usahatani bukan milik (sakap) luas sebesar 1,32 dan nilai R/C rasio pada usahatani bukan milik (sakap) sempit sebesar 1,36. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani padi sawah bukan milik (sakap) sempit lebih efisien dibandingkan usahatani bukan milik (sakap) luas. Namun, secara umum usahatani padi sawah yang dilakukan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor masih cukup menguntungkan dan memberikan insentif untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu pada usahatani menurut luas dan status kepemilikan lahan. Oleh karena itu, usahatani padi sawah khususnya pada usahatani milik sempit dan usahatani bukan milik (sakap) masih cukup menguntungkan untuk dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan pemerintah khususnya pemerintah daerah segera meninjau dan mempertegas kembali mengenai pelaksanaan dari Undang-undang landreform khususnya dari segi kepemilikan lahan dan batasan luas kepemilikan lahan. Selain itu, pemerintah pun diharapkan mulai memperhatikan kesejahteraan (yang dilihat dari total pendapatan bersih usahatani) petani bukan milik (sakap) dengan mengontrol pelaksanaan dari Undang-undang Bagi Hasil, khususnya dari proporsi biaya yang harus ditanggung antara petani sakap dan pemilik lahan.
ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Dewi Mutia Handayani A14301056
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul : ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (STUDI KASUS DESA KARACAK, KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT) Nama : Dewi Mutia Handayani NRP : A14301056
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS NIP. 131 284 623
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698
Tanggal lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Desember 2005
Dewi Mutia Handayani A14301056
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor, tepatnya tanggal 7 Oktober 1983 sebagai putri pertama dari pasangan Ibu Ida Farida dan Bapak Encep Syafroni (Alm). Pada tahun 1988, penulis mulai menginjakkan kaki di dunia pendidikan formal taman kanak-kanak di TK Anggraeni, masa sekolah dasar di SD Panaragan II tahun 1989 selama 1 tahun, lalu dilanjutkan di SD Ciomas IV hingga tamat. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 6 Bogor selama 3 tahun lalu melanjutkan pada jenjang selanjutnya di SMUN 2 Bogor. Setamat penulis dari SMU, penulis diterima sebagai mahasiswa pada program studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di IPB, penulis mencoba memetik pengalaman dengan mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan di dalam kampus, disamping mengikuti organisasi sosial diluar kampus. Penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam pada semester genap tahun ajaran 2002/2003. Disamping itu, penulis juga aktif dalam kegiatan ilmiah seperti Economic Student Club serta menjadi salah satu finalis dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XVIII di Padang (12-15 Juli 2005). Hingga saat ini, penulis juga masih aktif sebagai salah satu staf pengajar di lembaga pendidikan Azkia Plus.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW. Skripsi ini berjudul ”Analisis Profitabilitas dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor)” yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan baik secara moral maupun materi dari semua pihak. Terlaksananya skripsi ini tak lepas dari bantuan pembimbing, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku dosen pembimbing atas segala kritik, saran, bimbingan dan pengarahan serta kesabaran dan kemuraha n hatinya terutama dedikasi yang telah diberikan kepada penulis. Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1.
Ibunda yang telah melahirkanku, terima kasih atas cinta dan do’a yang telah diberikan. Untuk Intan dan Dinda terima kasih atas perhatiannya.
2.
Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji utama dan Ir. Murdianto, Msi sebagai dosen penguji komisi pendidikan. Terima kasih atas kesediaannya
untuk menjadi penguji serta atas saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 3.
Kepada seluruh staff Karyawan Sosek atas segala keramahan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis.
4.
Kepada seluruh staff karyawan Kecamatan Leuwiliang dan Desa Karacak atas keramahannya selama penulis melakukan penelitian.
5.
Bapak U. A. Syamsudin dan para petani responden atas kesediaannya dalam meluangkan waktu dan memberikan informasi yang diperlukan oleh penulis dan kepada Bapak Surahman, selaku penterjemah dan pendamping penulis selama melakukan penelitian lapang.
6.
Seluruh teman-teman, kakak dan ade kelas, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk hadir pada seminar saya.
7.
Seluruh pihak yang telah berjasa dalam membantu menyelesaikan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, dengan berbagai kekurangan yang ada. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Desember 2005
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR TABEL....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Perumusan Masalah................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian................................................................
1 1 2 6 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi ......................................... 2.2 Status Petani Berdasarkan Kepemilikan Lahan ...................... 2.3 Usahatani Padi......................................................................... 2.4 Analisis Usahatani ................................................................... 2.5 Biaya Usahatani....................................................................... 2.6 Analisis Pendapatan ................................................................ 2.7 Analisis Profitabilitas .............................................................. 2.8 Studi Terdahulu .......................................................................
8 8 9 11 14 15 16 17 18
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................... 21 BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lapangan.................................. 4.2 Teknik Pengumpulan Contoh dan Metode Pengumpulan Data ........................................................................................ 4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data.................................... 4.3.1 Analisis Biaya Usahatani ............................................... 4.3.2 Analisis Pendapatan Usahatani ...................................... 4.3.3 Analisis Profitabilitas ..................................................... 4.4 Definisi Operasional................................................................
25 25
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 5.1 Keadaan Geografis .................................................................. 5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ............................................ 5.3 Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah di Desa Karacak .... 5.4 Karakteristik Petani Responden ..............................................
33 33 34 35 38
26 27 28 29 30 30
BAB VI SISTEM USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARACAK 45 6.1 Keragaan Usahatani................................................................. 45 6.1.1 Pengolahan Lahan .......................................................... 45
6.1.2 Penyemaian ................................................................. 6.1.3 Penanaman .................................................................. 6.1.4 Penyiangan .................................................................. 6.1.5 Pemupukan.................................................................. 6.1.6 Pengendalian Hama dan Penyakit ............................... 6.1.7 Panen ........................................................................... 6.2 Sistem Bagi Hasil ................................................................. 6.3 Sistem Upah Borongan......................................................... 6.4 Sistem Upah Harian .............................................................
46 47 48 48 49 51 51 53 54
BAB VII HASIL..................................................................................... 55 7.1 Penggunaan Input Usahatani Padi Sawah di Desa Karacak 7.1.1 Benih ........................................................................... 7.1.2 Pupuk ........................................................................... 7.1.3 Obat Pemberantas Hama ............................................. 7.2 Analisis Biaya Usahatani Padi Sawah.................................. 7.2.1 Biaya Tunai ................................................................ 7.2.2 Biaya Yang Diperhitungkan....................................... 7.2.3 Total Biaya Usahatani ................................................ 7.3 Analisis Penerimaan Usahatani Padi Sawah ........................ 7.4 Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah......................... 7.5 Analisis Profitabilitas Usahatani Padi Sawah ......................
55 55 57 58 59 59 64 66 69 71 73
BAB VIII PEMBAHASAN DAN IMPLIKASINYA ............................. 75 8.1 Pengaruh Luas Lahan Garapan terhadap Optimalisasi Produksi dan Pendapatan Usahatani ................................... 75 8.2 Pengaruh Status Kepemilikan Lahan terhadap Optimalisasi Produksi, Pendapatan dan Pemanfaatan Teknologi ............ 77 8.3 Kendala-Kendala Usahatani Padi Sawah di Desa Karacak. 81
BAB IX KESIMPULAN ...................................................................... 83 7.1 Kesimpulan........................................................................... 83 7.2 Saran ................................................................................... 84 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 85
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1.
Ketersediaan dan Keperluan Beras Indonesia Periode 1990-2001 ......
2
2.
Keadaan Penggunaan Lahan Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor hingga Tahun 2004 .................................................
34
3.
Komposisi Penduduk Desa Karacak Berdasarkan Kelompok Umur ...
34
4.
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Desa Karacak, 2002 ............
35
5.
Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
38
Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
40
Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Status dan Luas Kepe milikan Lahan Garapan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ..............................................................
42
Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Padi Sawah di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ............................................................................................
43
Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Sifat Usahatani Padi di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
44
6.
7.
8.
9.
10. Rata-rata Penggunaan dan Harga Benih Usahatani Padi Sawah per Hektar Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan, MT II 2004/2005 ............................................................................................ 11.
56
Rata-rata Penggunaan Pupuk Kimia dan Pupuk Kandang Petani Usahatani Padi Sawah per Hektar Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan, MT II 2004/2005 ...............................................
57
12. Rata-rata Penggunaan Pestisida Kimia Petani Usahatani Padi Sawah Responden per Hektar Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan, MT II 2004/2005 .................................................................................
58
13. Biaya Total Usahatani Padi Sawah Musim Tanam II 2004/2005, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa barat ........
67
14. Rata-rata Penerimaan per Hektar Usahatani Padi Sawah MT II 2004/2005 di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ................................................................................ 15.
16.
70
Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah MT II 2004/2005 di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat .......
72
Rasio Penerimaan dan Biaya Usahatani Padi Sawah MT II 2004/2005 di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat .....................................................................................................
74
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Teks
Halaman
Kerangka Pemikiran Operasional.........................................................
24
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang dominan dan strategis dalam kegiatan
perekonomian Indonesia. Semenjak Repelita VII, pembangunan pertanian tanaman pangan khususnya beras sebagai sub sektor terus ditingkatkan karena ketersediaan beras nasional memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas ekonomi, sosial, keamanan dan politis. Dari sisi konsumsi, beras sebagai makanan pokok tampaknya tetap mendominasi pola makan orang Indonesia. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi konsumsi beras yang masih di atas 95%. Ketergantungan akan beras ini mengakibatkan tingkat permintaan terhadap beras semakin tinggi. Kecukupan pangan seringkali menjadi masalah besar yang dihadapi pemerintah Indonesia. Kondisi ini biasanya dengan mudah diatasi pemerintah dengan mengimpor beras dari negara lain seperti dari Vietnam dan Thailand. Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa permintaan beras dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk. Sedangkan jumlah beras yang tersedia untuk konsumsi jumlahnya berfluktuasi tergantung dari hasil panen. Pada tahun 1991 terjadi penurunan produksi padi sawah, lalu meningkat lagi pada tahun 1992 dan menurun lagi pada tahun 1994, 1997, 1998 dan 2001. Penurunan produksi yang cukup besar terjadi pada tahun 1997 hingga tahun 1998, kondisi ini disebabkan adanya gejala alam El Nino.
Tabel 1. Ketersediaan dan Keperluan Beras Indonesia Periode 1990-2001 Tahun
Jumlah Penduduk (000 jiwa)
1990 179.829 1991 182.815 1992 185.849 1993 188.934 1994 190.676 1995 193.486 1996 196.480 1997 201.390 1998 204.392 1999 207.437 2000 210.480 2001 213.529 Sumber: Biro Pusat Statistik (2001)
Tersedia Untuk Konsumsi (000 ton) 24.076 23.818 25.712 25.681 24.863 26.514 27.237 25.589 25.517 26.361 26.523 25.954
Keperluan Konsumsi (000 ton) 24.409 24.683 24.965 25.393 25.642 26.039 25.913 26.549 26.857 27.290 27.713 27.972
Mengingat fungsinya yang strategis, maka kerentanan terhadap rawan pangan terutama beras sejauh mungkin harus dihindari. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi dalam negeri sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian yaitu meningkatan produksi dan pendapatan petani, salah satunya melalui kebijakan harga gabah agar petani lebih bergairah lagi dalam meningkatkan hasil produksi.
1.2
Perumusan Masalah Disamping modal dan tenaga kerja, lahan merupakan faktor produksi yang
sangat penting. Lahan merupakan modal bagi petani yang mengusahakan pertanian guna menjamin kehidupannya serta keluarganya. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian semakin berkurang, karena proyek pembangunan atau pembukaan lahan baru tidak sebanding dengan pertambahan penggunaan lahan. Kondisi ini
tentu saja menimbulkan banyak masalah, salah satunya yaitu meningkatnya jumlah petani yang menguasai lahan sempit. Sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga (RT) petani gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) meningkat dari 10,9 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 (Biro Pusat Statistik, 2004). Petani yang menguasai lahan sempit sering disebut dengan petani gurem (petani
miskin).
Kebanyakan
kehidupan
mereka
berada
pada
tingkat
memprihatinkan. Petani-petani tersebut memiliki ciri-ciri antara lain: (1) memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, (2) modal kecil, dalam hal ini tenaga kerja kadangkadang merupakan satu-satunya faktor produksi yang digunakan, (3) teknologi yang digunakan sangat sederhana, (4) mutu produksi yang dihasilkan tergolong rendah, (5) pasar terbatas, (6) dalam pembiayaan usahatani, mereka tidak memiliki akses terhadap dunia perbankan, (7) memiliki posisi tawar- menawar (bargaining position) yang rendah dan (8) kesulitan dalam merespon teknologi, karena terbatasnya kualitas SDM. Petani lahan sempit seringkali menjual hasil panen sebelum waktu panen tiba, karena hasil panen sebelumnya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup hingga panen mendatang ataupun karena ada keperluan lain yang mendesak. Penjualan semacam ini dikenal dengan penjualan dengan cara “ijon”. Ada dua pendapat mengenai implikasi dari sistem ijon. Pertama, kalangan yang menilai sistem ijon sebagai hal yang merugikan, dan kedua adalah pihak yang menyatakan bahwa sistem ijon tersebut belum tentu merugikan petani. Penjualan dengan cara ijon akan menguntungkan petani apabila mereka mempunyai kekuatan untuk menawar, pandai menaksir hasil perkiraan hasil panen, dan dapat
memanfaatkan
uang
hasil
ijon
untuk
hal- hal
yang
bersifat
produktif
(re- invesment)1 . Tetapi petani lahan sempit pada umumnya mereka tidak memiliki tiga kekuatan tersebut, mereka terpaksa mengijonkan karena desakan kebutuhan. Maka biasanya petani akan menderita kerugian, karena harga gabah dinilai lebih rendah dari harga sesungguhnya. Dampak pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan pembukaan lahan baru selain meningkatkan jumlah petani lahan sempit, juga meningkatkan jumlah petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Petani-petani yang tidak memiliki lahan didalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya mengerjakan lahan milik orang lain dengan sistem sewa ataupun bagi hasil/sakap yaitu memberikan sebagian dari hasil panen kepada pemilik lahan. Ketidakseimbangan pasar persewaan lahan menyebabkan kedudukan petani bukan milik (sakap) lemah. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah menganggap perlu mengeluarkan Undang- undang tentang Perjanjian Bagi Hasil (1960) yang memuat pokok-pokok sebagai berikut: (1) Untuk me negakkan keadilan dalam hubungan antara pemilik tanah dan petani sakap, (2) Untuk melindungi petani sakap yang biasanya lemah terhadap pemilik tanah yang secara ekonomis lebih kuat dan (3) Untuk merangsang petani sakap agar berusaha lebih keras dalam mena mbah produksi. Namun tidak jarang petani sakap memperoleh perlakuan yang tidak adil dan merugikan.
1
La Ode Syafiuddin 1983, Keadaan dan Masalah Petani Berlahan Sempit, Biro Pusat Statistik, halaman : 233-234
Berkembangnya teknologi pertanian juga sering disebut sebagai penyebab kerugian petani bukan milik (sakap), selain kurang/tidak diterapkannya Undangundang Perjanjian Bagi Hasil sebagaimana mestinya. Teknologi pertanian sering dituduh sebagai faktor pendorong petani berfikir rasional terutama dalam proses produksi, sehingga perjanjian bagi hasil yang dulu sering dianggap sebagai harmoni pedesaan (social welfare), sekarang lebih merupakan perjanjian biasa yang lebih bersifat ekonomis (Siahaan, 1979 dalam Syafiuddin, 1986). Pendapat yang menyatakan bahwa sistem bagi hasil kurang efisien karena petani bukan milik (sakap) dihadapkan pada ketidakpastian dalam menggarap (tenancy security). Keberlangsungan petani bukan milik (sakap) dalam menggarap tergantung dari pemilik lahan. Jika pemilik lahan masih menginginkan petani tersebut untuk menggarap lahannya, maka petani tersebut memiliki lahan untuk digarap. Tetapi jika pemilik lahan tidak menginginkan petani sakap tersebut untuk tetap menggarap lahannya, maka petani bukan milik (sakap) harus mencari pemilik lahan baru yang mau menyakapkan lahannya. Selain itu, ada yang menyatakan bahwa petani bukan milik (sakap) tidak memiliki kebebasan dalam memilih berbagai input yang digunakan dalam usahataninya, tetapi pilihannya dibatasi oleh kemungkinan pemberhentian apabila hasilnya tidak memuaskan pemilik lahan. Kebebasan ini hanya ada pada petani pemilik dan petani penyewa (Bishop dan Toussaint, 1979 dalam Porajouw, 1990). Disamping itu, petani bukan milik (sakap), pada umumnya kurang mempunyai modal dan kemampuan yang cukup dalam mengelola usahataninya, sehingga peluang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga petani kecil.
Sehubungan dengan hal yang telah diungkapkan sebelumnya, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah: 1.
Bagaimana pengaruh status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan terhadap biaya-biaya usahatani padi sawah yang dikeluarkan di lokasi penelitian?
2.
Bagaimana pengaruh luas dan status kepemilikan lahan terhadap pendapatan usahatani padi sawah?
3.
Apakah usahatani padi sawah masih cukup menguntungkan untuk dilakukan, khususnya pada usahatani milik sempit dan usahatani bukan milik (sakap)?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis biaya-biaya
usahatani padi sawah berdasarkan status
kepemilikan lahan dan luas lahan garapan usahatani. 2.
Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah pada usahatani milik dan usahatani bukan milik serta pada usahatani milik luas dengan usahatani milik lahan sempit.
3.
Menganalisis profitabilitas usahatani padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan usahatani.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi beberapa pihak sebagai berikut:
1.
Sebagai bahan kajian dalam merumuskan program dan kebijakan di bidang pertanian dan usaha penyempurnaan sistem pertanian.
2.
Sebagai masukan bagi petani agar dapat mengelola usahataninya secara produktif dan efisien.
3.
Sebagai bahan penelitian yang akan datang untuk memperbaiki dan lebih menyempurnakan tentang perkembangan usahatani padi sawah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gambaran Umum Komoditas Padi Padi (Oriza sativa) merupakan tanaman pangan yang dihasilkan dalam
jumlah terbanyak di dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika (Sanchez, 1993 dalam Sumiati, 2003). Berdasarkan beberapa pihak, tanaman padi berasal dari Cina, karena di wilayah tersebut banyak ditemukan jenis-jenis padi liar. Hal ini didasarkan pada teori vavilov yang menyatakan bahwa daerah asalusul suatu tanaman ditandai dengan terdapatnya pemusatan jenis-jenis tanaman liar tersebut (Manurung, 1998 dalam Sumiati, 2003). Pada umumnya tanaman padi merupakan tanaman semusim dengan empat fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif cepat, vegetatif lambat, reproduktif dan pemasakan. Secara garis besar, tanaman padi terbagi kedalam dua bagian yaitu bagian vegetatif dan bagian generatif, dimana bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, daun dan bagian generatif terdiri dari malai yang terdiri dari bulir-bulir, daun dan bunga. Dalam pertumbuhannya tanaman padi memerlukan unsur hara, air dan energi. Unsur hara merupakan unsur pelengkap dari komposisi asam nukleit, hormon dan enzim yang berfungsi sebagai katalis dalam merombak fotosintat atau respirasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Air diperoleh tanaman padi dari dalam tanah dan energi diperoleh dari hasil fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Budaya konsumsi beras cukup sulit untuk dihilangkan dari masyarakat Indonesia. Alasan yang sangat mendasar ialah karena telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Jika mereka belum mengkonsumsi beras, maka mereka belum makan. Selain itu, makan nasi merupakan budaya yang telah mengakar sejak zaman nenek moyangnya dahulu. Beras bukan hanya berfungsi sebagai komoditas pangan dan ekonomis, tetapi juga merupakan komoditas politik dan keamanan. Bagi negara besar seperti Amerika Serikat, pangan (termasuk beras di dalamnya) merangkap komoditas politik dan strategis yakni bila diperlukan, pangan dapat dipakai sebagai senjata ampuh untuk menekan suatu negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya (Sawit, 2001 dalam Sumiati, 2003).
2.2
Status Petani Berdasarkan Kepemilikan Lahan Soeharjo dan Patong (1977) membedakan status petani dalam usahatani
menjadi tiga, yaitu; (1)
Petani Pemilik (owner operator) Petani pemilik adalah golongan petani yang memiliki tanah dan ia pulalah yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktorfaktor produksi baik yang berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani sendiri. Dengan demikian, ia bebas dalam menentukan kebijaksanaan usahataninya tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain. Golongan petani yang agak berbeda statusnya adalah yang mengusahakan tanamannya sendiri dan juga mengusahakan lahan orang lain (part owner operator).
(2)
Petani Penyewa Petani penyewa adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang lain dengan jalan menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum penggarapan dimulai. Lama kontrak sewa ini tergantung pada perjanjian antara pemilik tanah dengan penyewa. Jangka waktu dapat terjadi satu musim, satu tahun, dua tahun atau jangka waktu yang lebih lama. Dalam sistem sewa, resiko usahatani hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah menerima sewa tanahnya tanpa dipengaruhi oleh resiko usahatani yang mungkin terjadi.
(3)
Penyakap Penyakap adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, resiko usahatani ditanggung bersama oleh pemilik tanah dan penyakap. Besarnya bagi hasil tidak sama untuk setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah masing- masing, kelas tanah, kesuburan tanah, banyaknya pemintaan dan penawaran dan peraturan negara yang berlaku. Menurut peraturan pemerintah, besarnya bagi hasil ialah 50 persen untuk pemilik lahan dan 50 persen untuk penyakap setelah dikurangi dengan biaya-biaya produksi
yang
berbentuk sarana. Disamping kewajiban terhadap
usahataninya, dibeberapa daerah terdapat pula tambahan bagi penyakap, misalnya kewajiban membantu pekerjaan dirumah pemilik tanah dan kewajiban-kewajiban lain berupa materi.
Keuntungan petani sebagai pemilik lahan dan sebagai penyewa, antara lain: (1) Lahan tersebut bebas diolah petani, (2) Petani bebas untuk menentukan tanaman yang akan diusahakan, dan (3) Petani bebas dalam menggunakan teknologi dan cara budidaya yang paling dikuasai. Berbeda dengan petani penyakap, mereka tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pola tanam dan jenis input yang digunakan, tetapi pilihannya dibatasi oleh kemungkinan pemberhentian apabila hasilnya tidak memuaskan pemilik lahan.
2.3
Usahatani Padi Menurut Rifai dalam Soeharjo dan Patong (1977) usahatani didefinisikan
sebagai kegiatan dibidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, modal dan manajemen. Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa terdapat empat unsur pokok yang harus ada pada suatu usahatani, ya itu unsur tanah yang mewakili untuk alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga petani, unsur modal yang beraneka ragam jenisnya dan unsur pengelolaan atau manajemen yang peranannya dibawakan seseorang yang disebut petani. Pada umumnya, ciri-ciri usahatani yang ada di Indonesia memiliki lahan sempit, modal relatif kecil, tingkat pengetahuan terbatas dan kurang dinamik, sehingga berdampak terhadap pendapatan usahatani yang rendah (Soekartawi, et all, 1986). Pada dasarnya usahatani padi memiliki 2 faktor yang akan mempengaruhi proses produksi, yaitu faktor internal seperti penggunaan lahan, tenaga kerja dan modal serta faktor- faktor eksternal yang meliputi faktor produksi yang tidak dapat dikontrol oleh petani seperti iklim, cuaca, perubahan harga dan sebagainya.
(1)
Tanah Tanah memiliki beberapa sifat antara lain: (1) luas relatif tetap atau
dianggap tetap, (2) tidak dapat dipindahkan, dan (3) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan. Dalam usahatani, lahan didefinisikan sebagai tempat produksi dan tempat tinggal keluarga petani. Tingkat kesuburan dan luas lahan mempunyai pengaruh yang nyata dalam peningkatan produksi padi. Besarnya luas lahan usahatani mempengaruhi petani dalam menerapkan cara-cara berproduksi. Luas lahan usahatani yang relatif kecil membuat petani sukar mengusahakan cabang usaha yang bermacam- macam, karena ia tidak dapat memilih kombinasi-kombinasi cabang usaha yang paling menguntungkan. (2)
Tenaga Kerja Dalam ilmu ekonomi, tenaga kerja didefinisikan sebagai sumberdaya
manusia untuk melakukan usaha menghasilkan atau memproduksi barang atau jasa. Angkatan kerja (labour force) ialah bagian dari penduduk yang sanggup menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam usahatani primitif, alam memegang peranan utama sebagai penghasil produksi, akan tetapi dengan berkembangnya usahatani, alam dan tenaga kerja menjadi sangat berperan dalam proses produksi usahatani. Adapun sifat pekerjaan dalam usahatani adalah: (1) Pekerjaan dalam usahatani sifatnya tidak kontinu, banyak dan lamanya waktu kerja tergantung dari jenis tanaman, waktu dan musim, (2) Dalam usahatani tidak terdapat spesialisasi pekerjaan, sehingga seorang petani harus mengetahui tahap pekerjaan dari awal sampai akhir
hingga memperoleh produksi, dan (3) Dalam usahatani terdapat ikatan yang erat antar pekerjaan yang diupah dengan petani sebagai pelaksana. Jenis tenaga kerja dalam usahatani meliputi tenaga kerja manusia, ternak dan mesin. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja pria biasanya dapat mengerjakan seluruh pekerjaan. Tenaga kerja wanita umumnya digunakan untuk menanam, memelihara tanaman/ menyiang dan panen, sedangkan tenaga kerja anak-anak digunakan untuk menolong pekerjaan pria dan wanita. Beberapa pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, digantikan dengan tenaga mesin dan hewan. Kemampuan kerja dari masing- masing tenaga kerja ini diperhitungkan dengan setara kerja pria atau Hari Kerja Pria (HOK). Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam keluarga dan luar keluarga petani. Tenaga luar keluarga dapat diperoleh dengan cara upahan, dimana upah pekerja pria, wanita dan anak-anak berbeda. Pembayaran upah dapat harian atau mingguan ataupun setelah usai pekerjaan, atau bahkan borongan. Tenaga upahan ini ada juga yang dibayar dengan natura atau hasil panen. Tenaga kerja dalam keluarga umumnya tidak diperhitungkan karena sulit dalam pengukuran penggunaannya, biasanya tenaga kerja ini lebih banyak digunakan pada petani yang menggarap lahan sempit. (3)
Modal Modal merupakan unsur pokok usahatani yang penting. Dalam pengertian
ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu berupa produksi pertanian.
Menurut Hernanto (1988), dalam usahatani modal meliputi tanah, bangunan-bangunan (gudang, kadang, lantai jemur, pabrik dan lain- lain), alat-alat pertanian (traktor, luku, garu, spayer, cangkul parang dan la in- lain), tanaman, ternak, sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan) dan uang tunai. Modal menurut sifatnya dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Modal tetap (fixed capital) yang diartikan sebagai modal yang tidak habis pada satu periode produksi atau dapat digunakan berkali-kali dalam proses satu kali produksi, modal tetap ini meliputi tanah dan bangunan, dan (2) Modal bergerak (working capital), yaitu jenis modal yang habis atau dianggap terpakai habis dalam satu periode proses produksi. Modal bergerak ini meliputi alat-alat pertanian, bibit, pupuk, obat-obatan dan uang tunai.
2.4
Analisis Usahatani Analisis usahatani bertujuan untuk melihat keberadaan suatu aktivitas
usahatani. Usahatani dapat dikatakan berhasil dari segi finansial, apabila usahatani tersebut telah dapat menunjukkan hal- hal sebagai berikut (Kurniati, 1995 dalam Hartono, 2000): (1)
Usahatani tersebut menghasilkan penerimaan yang dapat menutupi semua biaya atau pengeluaran.
(2)
Usahatani tersebut dapat menghasilkan penerimaan tambahan untuk membaya r bunga modal yang dipakai, baik modal sendiri maupun modal yang dipinjam.
(3)
Usahatani tersebut dapat memberikan balas jasa pengelolaan yang wajar kepada petani itu sendiri.
(4)
Usahatani tetap produktif pada akhir tahun, seperti halnya pada awal tahun produksi. Dalam melakukan analisis usahatani harus mengetahui besarnya biaya
yang dikeluarkan dan nilai produksi yang akan dicapai selama umur proyek, yang keduanya dapat dihitung dari usahatani tersebut. Menurut Pandia dkk, 1986 dalam Nugroho, 2001, ditinjau dari segi bisnis, petani/pengusaha akan dapat menikmati hasil usahanya jika memiliki: a.
Kemampuan berproduksi
b.
Kemampuan memasarkan produknya
c.
Kemampuan mengelola usahataninya secara efisien
2.5
Biaya Usahatani Biaya adalah korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi semula
fisik, kemudian diberi nilai rupiah (Hernanto, 1988). Sedangkan menurut Soekartawi, et.al. (1986) menyebutkan bahwa biaya atau pengeluaran usahatani adalah semua nilai masuk yang habis dipakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Menurut Daniel (2004), dalam usahatani dikenal dua macam biaya, yaitu biaya tunai atau biaya yang dibayarkan dan biaya tidak tunai atau biaya yang tidak dibayarkan/diperhitungkan. Biaya tunai atau biaya yang dibayarkan adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan bawon panen juga termasuk biaya iuran pemakaian air dan irigasi, pembayaran zakat dan lain- lain. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya
pendapatan kerja petani jika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Selain itu, biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung nilai penyusutan dari penggunaan suatu peralatan.
2.6
Analisis Pendapatan Pendapatan usahatani merupakan selisih biaya yang dikeluarkan dan
penerimaan yang diperoleh (Tjakrawiralaksana, 1983). Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa untuk tenaga kerja, modal kerja keluarga ya ng dipakai dan pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Bentuk dan jumlah pendapatan memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memenuhi keperluan sehari- hari dan memberikan kepuasan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dan kewajiban-kewajiban. Dengan demikian pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Soeharjo dan Patong (1977) juga menyebutkan bahwa analisis pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi dimana ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usahatani, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani sendiri sangat bermanfaat bagi petani untuk mengukur tingkat keberhasilan dari usahataninya. Bagi seorang petani, analisis pendapatan membantunya untuk mengukur apakah usahataninya pada saat itu berhasil atau tidak. Usahatani dikatakan sukses apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut.
b.
Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan (termasuk pembayaran sewa tanah atau pembayaran dana depresiasi modal).
c.
Cukup untuk membayar tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak dupah. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua informasi, yaitu informasi
keadaan seluruh penerimaan dan informasi seluruh pengeluaran selama waktu yang telah ditetapkan (Soekartawi, 1986).
2.7
Analisis Profitabilitas Keberhasilan dari suatu usahatani selain diukur dengan nilai mutlak
(analisis pendapatan), juga diukur dari analisis efisiensinya (Soeharjo dan Patong, 1977). Salah satu ukuran efisiensinya adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio). Dalam analisis R/C akan diuji seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Semakin tinggi nilai R/C rasio, menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Sehingga dengan perolehan nilai R/C rasio yang semakin tinggi maka tingkat efisiensi pendapatan pun semakin baik.
2.8
Studi Terdahulu Pendapatan yang diterima seorang petani dalam satu musim tanam/satu
tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan seorang petani yang mengusahakan pada luasan lahan yang sama dari musim ke musim menerima pendapatan yang berbeda-beda juga dari tahun ke tahun. Berbagai faktor mempengaruhi pendapatan petani, namun ada beberapa faktor yang tidak dapat diubah, yaitu iklim dan jenis tanah. Kemampuan petani untuk mempengaruhi iklim dan jenis tanah sangat terbatas. Sedangkan luas lahan, efisiensi kerja dan efisiesi produksi masih ada dalam batas kemampuan petani untuk mengubahnya (Soeharjo dan Patong, 1977). Berdasarkan
hasil
penelitian,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pendapatan usahatani adalah luas skala usaha, tingkat produksi, pilihan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan pertanaman dan efisiensi tenaga kerja. Sedangkan untuk mengukur tingkat produksi dipakai ukuran produktivitas per hektar dan indeks pertanaman (Hernanto, 1988). Penelitian serupa yang dilakukan oleh Ramdhani (1998) dalam Nugroho (2001) mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani pada petani markisa di Kecamatan Lembang Jaya, Sumatera Utara terdiri dari faktor internal yang meliputi luas lahan, umur tanaman, tenaga kerja, usia petani dan pendidikan formal dan faktor eksternal meliputi kebijaksanaan pemeritah mengenai pengembangan usahatani. Suatu penelitian di Jawa ditemukan bahwa petani penyakap sulit untuk mengadopsi inovasi teknologi (pupuk dan pestisida) karena keuntungan yang diperoleh akibat pemupukan sangat kecil. Keuntungan yang kecil ini terutama pada sistem bagi hasil yang memaksa penyakap membayar semua input dan
menyerahkan separuh hasil panen kepada pemilik lahan, sehingga penyakap yang menggunakan pupuk kehilangan setengah dari keuntungan investasinya (Siahaan, 1977 dalam Porajouw, 1990). Perbedaan dalam adopsi teknologi produksi pertanian khususnya pupuk dan pestisida antara status penguasaan lahan di suatu daerah di Minahasa menunjukkan bahwa petani pemilik berada pada tingkat yang paling tinggi yaitu sebesar 430 kilogram per hektar dan petani penyakap sebesar 295 kilogram per hektar. Tetapi untuk tenaga kerja, petani penyakap berada pada tingkat penggunaan yang paling tinggi yaitu sebesar 123 hari orang kerja (HOK) dan penggunaan terendah pada petani pemilik yaitu sebesar 108 HOK per hektar. Demikian juga dengan modal yang digunakan tertinggi adalah pada petani penyakap lalu diikuti oleh petani penyewa dan petani pemilik (Raturandang, 1987 dalam Susilowati, 1992). Hasil penelitian Porajouw (1990), dalam tesis yang berjudul ” Status Kepenguasaan Lahan dan Alokasi Sumberdaya pada Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa” diperoleh hasil bahwa petani penyakap lebih efisien dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi usahatani padi sawah dibandingkan dengan petani pemilik. Lebih efisiennya petani penyakap disebabkan alokasi tenaga kerja yang lebih tinggi daripada petani pemilik. Selain itu pula, efisiensi ekonomis tertinggi diperoleh petani penyakap dibandingkan petani pemilik-penggarap. Sedangkan hasil analisis faktor- faktor produksi
usahatani
jagung
di
Kabupaten
Minahasa
(Susilowati,
1992)
menunjukkan bahwa usahatani jagung baik petani pemilik maupun petani penyakap tidak efisien. Pada usahatani kacang tanah dan ubi kayu, perbedaan
luasan lahan yang diusahakan baik pada petani pemilik-penggarap maupun petani penyakap tidak berpengaruh nyata pada produksi, sedangkan hasil analisis efisiensi faktor- faktor produksi, baik pada petani pemilik-penggarap maupun petani penggarap belum efisien. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andri, 2002 yaitu “Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat” diperoleh hasil bahwa biaya yang dikeluarkan oleh petani yang menggarap lahan milik orang lain jauh lebih besar dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan milik sendiri. Dan penerimaan petani pemilik-penggarap lebih besar dari pada petani penyakap sehingga pendapatan bersih yang diperoleh petani pemilik-penggarap pun lebih besar. Meskipun demikian, usahatani yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Tempuran masih menguntungkan. Penelitian serupa dilakukan oleh Sumiati, 2003 di Desa Cisalak, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, hasil produksi padi yang diusahakan oleh petani penyakap lebih besar dibandingkan petani yang menggarap lahan sendiri. Meskipun jika dilihat dari segi biaya, petani penyakap jauh mengeluarkan biaya tunai yang lebih besar dari pada petani yang menggarap lahan sendiri. Tetapi berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa usahatani yang dilakukan oleh petani penyakap masih cukup menguntungkan yang dibuktikan dengan nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
Usahatani padi sawah merupakan kegiatan di bidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, modal dan manajemen, yang ditujukan untuk produksi padi. Keempat unsur, yaitu lahan yang mewakili untuk alam, tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga tani, modal yang beraneka ragam jenisnya serta unsur pengelolaan atau manajemen yang peranannya dibawakan oleh seseorang yang disebut petani, saling terkait satu sama lain karena kedudukannya dalam usahatani padi sama pentingnya sehingga keempat unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Lahan merupakan modal utama dalam usahatani padi sawah selain tenaga kerja
dalam
menopang
kehidupannya.
Meningkatnya
jumlah
penduduk
mengakibatkan lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian menjadi semakin berkurang. Berkurangnya lahan pertanian menyebabkan jumlah usahatani sempit bertambah. Dalam usahatani, input terbagi menjadi dua macam. Pertama, input berupa tenaga kerja, baik tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Kedua, input bukan tenaga kerja seperti benih, pupuk dan pestisida. Pada petani miskin (lahan sempit), mereka memiliki persediaan yang cukup dalam input tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dalam keluarga. Karena lahan mereka sempit, mereka cukup menggunakan tenaga kerja dalam keluarga untuk mengelola usahataninya. Namun, petani miskin (lahan sempit) memiliki keterbatasan dalam penggunaan input bukan tenaga kerja, karena pada umumnya mereka memiliki modal yang sedikit. Sehingga dalam mengelola usahataninya,
petani miskin (lahan sempit) akan mengoptimalkan penggunaan input tenaga kerja dalam keluarga untuk meningkatkan produksi. Sedangkan petani kaya (lahan luas), mereka tidak memiliki persediaan input tenaga kerja yang cukup dalam mengelola usahataninya, karena tidak akan efisien jika hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Maka petani kaya (lahan luas) akan menggunakan tenaga kerja luar keluarga karena mereka memiliki modal yang cukup untuk membayar upah tenaga kerja. Selain itu juga petani kaya (lahan luas) akan mengoptimalkan penggunaan input bukan tenaga kerja seperti penggunaan benih, pupuk dan obatobatan dalam meningkatkan produksi. Permasalahan pertanian Indonesia tidak saja menya ngkut luas pemilikan lahan, tetapi meliputi status pemilikan lahan. Ada gambaran yang menyatakan bahwa usahatani milik akan lebih efisien dari pada usahatani bukan milik (sakap) dengan sistem bagi hasil dalam pengelolaan usahataninya. Dalam usahatani milik, petani akan menerima keuntungan bersih secara penuh sehingga petani akan bergairah dalam mengerjakan lahan demi meningkatkan hasil yang dinikmati secara penuh tanpa potongan. Berbeda dengan usahatani bukan milik (sakap) yang mengerjakan lahan dan menerima hasil setelah dikurangi bagi hasil dan biaya sarana-sarana produksi. Dalam usahatani bukan milik (sakap), petani akan bergairah dalam meningkatkan produksinya tergantung pada perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap. Dalam usahatani bukan milik (sakap), petani akan berusaha meningkatkan produksi jika sistem bagi hasilnya menguntungkan. Tetapi kenyataannya sistem bagi hasil lebih menguntungkan bagi pemilik lahan. Selain itu, pendapat kurang efisiennya
sistem bagi hasil disebabkan ole h pandangan bahwa petani bukan
milik (sakap) tidak memiliki kebebasan dalam memilih berbagai input yang digunakan dalam usahataninya, tetapi pilihannya dibatasi oleh kemungkinan pemberhentian apabila hasilnya tidak memuaskan pemilik lahan. Petani bukan pemilik (penyakap) juga pada umumnya kurang mempunyai modal dan kemampuan yang cukup dalam mengelola usahataninya, sehingga peluang untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani pun kecil. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis pendapatan dan profitabilitas pada usahatani padi sawah dengan mengambil sampel petani yang telah distratifikasi berdasarkan status kepemilikan lahan menjadi petani milik dan petani bukan milik (sakap). Kemudian masing- masing populasi tersebut distratifikasi lagi berdasarkan luas lahan garapan menjadi petani milik luas, petani milik sempit, petani bukan milik (sakap) luas dan petani bukan milik (sakap) sempit. Dalam penelitian ini tidak memasukkan petani dengan status kepemilikan sewa, karena melihat kondisi di lapangan yang lebih dominan petani penyakap. Dari masing- masing sub populasi tersebut akan dianalisis tingkat pendapatan dan profitabilitas usahataninya untuk melihat sejauh mana pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi sawah yang dilakukan berdasarkan luas dan status kepemilikan lahan, serta apakah usahatani yang dilakukan oleh petani tersebut cukup menguntungkan atau justru kebalikannya. Untuk kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.
Petani padi sawah Status kepemilikan Lahan
Usahatani Milik Luasan lahan
Luas (= 1 Ha)
Sempit (< 1 Ha)
Luas (= 1 Ha)
Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani KEUNTUNGAN MAKSIMUM
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Usahatani Bukan Milik (sakap)
Sempit (< 1 Ha)
Analisis Profitabilitas Usahatani
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lapangan Penelitian ini merupakan penelitian dua tahap. Tahap pertama yaitu dalam
pencarian literatur dan tahap kedua yaitu dalam proses turun lapang, pengolahan dan analisis data. Penelitian lapangan dilaksanakan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan Kecamatan Leuwiliang sebagai lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Leuwiliang merupakan salah satu sentra produksi padi di Kabupaten Bogor. Disamping itu, pada kecamatan ini terdapat Balai Penyuluhan Pertanian yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan penelitian, khususnya dalam hal pencarian informasi- informasi tambahan yang relevan. Pemilihan Desa Karacak sebagai lokasi penelitian karena desa ini merupakan salah satu desa di Kecamatan Leuwiliang yang pertaniannya relatif maju namun masih terdapat petani yang relatif kurang maju. Dengan demikian, kondisi di desa ini diasumsikan dapat mewakili berbagai kondisi yang terjadi di lapang. Selain itu, sesuai dengan tujuan penelitian, maka alasan lain dipilihnya desa ini adalah terdapatnya petani dengan status kepemilikan lahan sebagai petani milik dan petani bukan milik (sakap), yang masing- masing petani tersebut ada yang menggarap usahatani dalam luasan lahan luas dan luasan lahan sempit. Dalam penelitian ini, peneliti membagi lahan luas dengan ukuran (= 1 Ha), dan lahan sempit dengan ukuran (< 1 Ha). Pembagian luasan lahan ini disesuaikan
dengan kondisi lapangan. Penelitian lapangan dilaksanakan pada akhir Bulan Juli hingga Bulan Agustus 2005.
4.2
Teknik Pengambilan Contoh dan Metode Pengumpulan Data Unit- unit contoh dalam penelitian ini adalah petani padi sawah. Pemilihan
petani responden dilakukan dengan sistem acak berlapis sengaja (stratified random sampling). Populasi petani dibagi menjadi 2 populasi, yaitu berdasarkan status kepemilikan lahan ya ng distratifikasi menjadi petani milik dengan petani bukan milik (sakap). Lalu dari masing- masing populasi tersebut distratifikasi lagi berdasarkan luas lahan garapan menjadi 2 sub populasi, yaitu petani garapan luas dan petani garapan sempit. Petani garapan luas yaitu petani yang menggarap lahan seluas = 1 Ha dan petani garapan sempit yaitu petani yang menggarap lahan seluas < 1 Ha. Kemudian dari masing- masing sub populasi tersebut diambil masingmasing 10 responden, sehingga total responden sebanyak 40 orang. Data untuk penelitian ini dikumpulkan dari tingkat petani (tingkat primer) dan data sekunder, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung terhadap responden (petani padi sawah) yang telah dipilih sebelumnya dengan menggunakan kuisioner. Data primer yang dikumpulkan berupa data biaya yang meliputi biaya tunai dan biaya diperhitungkan, produksi dan penerimaan dalam usahatani padi sawah dalam satu kali produksi, hasil produksi fisik dan nilai produksi dari usahatani padi serta data penggunaan input usahatani seperti benih, pupuk kimia dan pupuk kandang, obat pemberantas hama/pestisida dan tenaga kerja. Wawancara dilakukan pada responden baik satu-persatu maupun
secara berkelompok, dan mengadakan pengamatan secara langsung keadaan usahatani yang dimiliki responden. Sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi atau dinas yang berkaitan dengan masalah penelitian seperti Dinas Pertanian Tanaman pangan, Biro Pusat Statistik, Balai Penyuluhan Pertanian serta Kantor Kelurahan/Desa, informasi dan hasil penelitian serta tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.3
Metode Analisis dan Pengolahan Data Pengolahan dan analisis data disesuaikan dengan data yang tersedia dan
tujuan yang hendak dicapai. Analisis yang dilakukan adalah analisis biaya, pendapatan dan profitabilitas (R/C rasio). Data yang diperoleh diolah dan disederhanakan dengan bantuan kalkulator dan komputer serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Pada penelitian ini dibandingkan keadaan usahatani padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan usahatani dengan data usahatani pada Musim Tanam II 2004/2005. Data yang diambil merupakan data usahatani pada Musim Tanam II 2004/2005 dengan mempertimbangkan data yang didapat lebih akurat karena petani hanya mengingat data yang baru saja terjadi, sehingga faktor bias dapat dihindari. Selanjutnya untuk mengetahui apakah keadaan ratarata antara kedua jenis responden berbeda nyata secara statistik, maka dilakukan uji dua nilai tengah pada taraf nyata 5 persen. Prosedur pengujian adalah sebagai berikut (Walpole, 1998):
Hipotesa statistik:
t-hit
=
H0
: µ = µ0
H1
: µ ? µ0
x − µο S/ n
Dimana: X
= nilai rata-rata petani garapan luas
µ0
= nilai rata-rata petani garapan sempit
S
= ragam petani sampel garapan luas
n
= jumlah responden
Kriteria keputusan, jika ? t-hit ? > t-tabel, maka tolak H0 dan terima H1
4.3.1
Analisis Biaya Analisis ini digunakan untuk mengetahui biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam usahatani padi sawah berdasarkan status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan. Dalam analisis ini, biaya dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai yang meliputi biaya benih, pupuk kimia, pupuk kandang, pestisida kimia, pestisida botanis, tenaga kerja luar keluarga, pajak lahan, biaya pengairan dan biaya bagi hasil dan biaya yang diperhitungkan yang meliputi biaya benih, tenaga kerja dalam keluarga dan sewa lahan. Selain itu, biaya yang diperhitungkan juga digunakan untuk menghitung nilai penyusutan dari penggunaan suatu peralatan. Nilai penyusutan dihitung dengan metode garis lurus dengan rumus: Penyusutan =
NE ( pxn) UExnMT )
Keterangan: NE
= Nilai Ekonomi
p
= Harga Unit
n
= Jumlah Unit yang Digunakan
UE
= Umur Ekonomis
nMT = Jumlah Musim dalam Satu Tahun
4.3.2
Analisis Pendapatan Usahatani Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh luas lahan
garapan dan status kepemilikan lahan terhadap pendapatan usahatani padi sawah di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Analisis pendapatan usahatani padi ini hanya dilakukan pada satu musim tanam, yaitu Musim Tanam II (Januari-April) 2004/2005. Pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran kotor usahatani, yang dapat dilihat dari persamaan dibawah ini: P = TP – ( BT + BTT ) Keterangan: P
= Pendapatan bersih usahatani (Rp/Ha/ MT)
TP
= Total Pendapatan kotor usahatani (Nilai Produksi) (Rp/Ha/MT)
BT
= Biaya Tunai (Rp/Ha/MT)
BTT
= Biaya Tidak Tunai (Rp/Ha/MT) Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dapat didefinisikan
sebagai nilai produk total usahatani dalam waktu tertentu, baik yang dijual
maupun yang tidak dijual. Pendapatan kotor usahatani ini juga merupakan hasil kali jumlah fisik produk dengan harga jual di tingkat petani. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai (biaya yang diperhitungkan).
4.3.3
Analisis Profitabilitas Untuk mengukur efisiensi usahatani dan keberhasilan dati suatu usahatani,
dapat menggunakan analisis rasio penerimaan dan biaya (R/C rasio). Rasio0 penerimaan dan biaya merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap rupia h yang dikeluarkan dalam proses produksi. Semakin besar nilai R/C rasio, yaitu R/C = 1 maka semakin menguntungkan usahatani tersebut. Perhitungan R/C dapat dirumuskan sebagai berikut: R/C =
TP BT + BTT
Dimana: TP
= Total Pendapatan kotor usahatani (Nilai Produksi) (Rp/Ha/MT)
BT
= Biaya Tunai (Rp/Ha/MT)
BTT
= Biaya Tidak Tunai (Rp/Ha/MT)
4.4
Definisi Operasional Untuk mengukur variabel-variabel yang telah ditetapkan dalam penelitian
ini,
maka
masing- masing
dioperasionalisasikan,
sehingga
variabel dapat
tersebut
diberi
diketahui
dengan
batasan jelas
atau
indikator
pengukur annya. Variabel- variabel yang dioperasionalisasikan tersebut adalah:
•
Responden adalah petani yang mengusahakan padi sawah, baik petani dengan usahatani luas dan sempit maupun petani milik dan bukan milik (sakap).
•
Bagi hasil adalah siste0m sewa lahan dengan pembayarannya berasal dari sebagian hasil panen setelah dikurangi biaya benih, pupuk dan pengairan.
•
Garapan luas adalah luas lahan garapan =1 hektar.
•
Garapan sempit adalah luas lahan garapan <1 hektar.
•
Usahatani Milik adalah usahatani yang langsung diusahakan oleh pemilik lahan.
•
Usahatani Bukan Milik (sakap) adalah usahatani yang dilakukan bukan dilahan milik sendiri dengan sistem bagi hasil.
•
Modal adalah barang ekonomi berupa lahan, bangunan, alat-alat dan mesin, tanaman di lapangan, sarana produksi dan uang tunai yang digunakan untuk menghasilkan padi.
•
Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi baik untuk persiapan bibit, pengolahan sawah, penanaman dan pemeliharaan, pemanenan dan pengangkutan. Tenaga kerja ini dibedakan menjadi tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga. Seluruh tenaga kerja disertakan dengan Hari Orang Kerja (HOK) dengan lama kerja 6-8 jam kerja per hari. Tingkat upah berdasarkan pada tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.
•
Produksi total adalah hasil padi yang diperoleh dari luas tertentu, diukur dalam kilogram (Kg).
•
Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli benih, pupuk, pestisida, biaya pengairan, PBB, serta untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, diukur dalam satuan rupiah.
•
Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran yang turut diperhitungkan sebagai biaya usahatani yang meliputi biaya benih, biaya penyusutan alat-alat pertanian, biaya sewa lahan untuk petani milik dan upah tenaga kerja untuk keluarga berdasarkan tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian, yang diukur dalam satuan rupiah.
•
Biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan biaya tidak tunai (biaya yang diperhitungkan) yang dikeluarkan per musim tanam. Besarnya biaya total diukur dalam satuan rupiah.
•
Penerimaan Usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani. Satuan yang dipakai adalah rupiah.
•
Pendapatan Usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya usahatani.
•
Benih adalah jumlah benih yang digunakan dalam usahatani dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan kilogram.
•
Pupuk kimia adalah jumlah pupuk yang digunakan dalam proses produksi usahatani padi sawah, seperti Urea, SP-36, KCl, ZA, NPK dalam satuan musim panen dan diukur dalam kilogram (Kg).
•
Pestisida adalah jumlah pestisida yang digunakan dalam proses produksi dalam suatu musim tanam dan diukur dalam satuan liter.
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Keadaan Geografis Desa Karacak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Leuwiliang Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan salah satu desa terluas diantara desa lain yang berada di Kecamatan Leuwiliang yaitu seluas 750,723 Ha. Dilihat dari posisinya, Desa Karacak dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
: Desa Barengkok
b. Sebelah Selatan
: Desa Karyasari
c. Sebelah Barat
: Desa Pabangon
d. Sebelah Timur
: Desa Situ Udik
Jarak desa ke kecamatan sekitar 5 Km dengan waktu tempuh selama 1 jam, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 42 Km dengan waktu tempuh selama 4 jam, dan jarak dari ibu kota propinsi sekitar 153 Km. Desa Karacak mempunyai ketinggian sekitar 500-600 m diatas permukaan laut. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 4682 mm. Topografi atau bentang alam Desa Karacak terdiri atas perbukitan seluas 500,223 Ha dan dataran seluas 250,500 Ha. Meskipun didominasi perbukitan, akan tetapi di desa ini jarang terjadi erosi, dengan tingkat kesuburan tanah sedang seluas 725,723 Ha dan tanah kritis seluas 25 Ha. Jenis tanahnya merupakan tanah podsolik dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Luas areal tanah secara keseluruhan adalah 750,723 Ha, yang meliputi pemukiman penduduk, pembangunan (berupa perkantoran, sekolah, tempat
peribadatan, makam, jalan dan lain- lain) pertanian sawah, perkebunan, sarana rekreasi dan olah raga dan perikanan darat/air tawar (Tabel 2).
Tabel 2. Keadaan Penggunaan Lahan Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor Hingga Ta hun 2004 No 1 2
Keadaan Pemukiman Pembangunan - Pekantoran - Sekolah - Tempat peribadahan - Makam - Jalan - Dan lain- lain 3 Pertanian sawah 4 Perkebunan 5 Rekreasi dan olah raga 6 Perikanan darat/air tawar 7 Lain- lain Total Sumber: Laporan Hasil Observasi 2004
5.2
Luas (Ha) 36,236
Persen (%) 5,36
0,910 1,687 2,450 7,000 13,500 24,000 350,224 270,020 3,990 13,826 25,000 750,723
0,12 0,22 0,33 0,93 1,80 3,25 46,65 35,97 0,20 1,84 3,33 100,00
Penduduk dan Mata Pencaharian Hingga akhir tahun 2004 jumlah penduduk Desa Karacak adalah sebanyak
9.228 jiwa, dengan kepadatan penduduk 12,3 jiwa/ Km2 . Komposisi penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari 4.792 jiwa laki- laki dan 4.434 jiwa perempuan. Komposisi penduduk berdasarkan umur dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Karacak Berdasarkan Kelompok Umur, 2004 No
1 2 3 4
Umur (tahun)
Jumlah Penduduk (jiwa)
<5 5 – 25 26 – 60 > 60 Jumlah Sumber: Laporan Hasil Observasi, 2004
1.243 4.713 2.944 328 9.228
Persen (%)
13,00 51,00 32,00 4,00 100,00
Berdasarkan Tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk usia sekolah (5-25 tahun) adalah yang paling banyak yaitu sekitar 51,07 persen dari total penduduk. Sehingga anak-anak jarang ikut membantu orang tuanya dalam mengelola usahatani keluarga, kecuali pada waktu-waktu tertentu yaitu sepulang sekolah atau hari libur. Mata pencaharian penduduk sebagian besar berada di sub sektor pertanian tanaman pangan, kemudian sub sektor perkebunan/perladangan dan sub sektor peternakan (Tabel 4). Sedangkan pada sub sektor industri kecil/kerajinan dan sub sektor perikanan hanya sejumlah 17 orang.
Tabel 4. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Desa Karacak, 2004 No 1 2 3 4 5 6
Subsektor Pertanian tanaman panga n Perkebunan/perladangan Peternakan Perikanan Industri kecil/kerajinan Jasa/perdagangan Total Sumber: Laporan Hasil Observasi 2004
5.3
Jumlah (jiwa) Persen (%) 1.174 29,70 580 14,67 404 10,22 95 2,40 17 0,43 1.683 41,58 3.953 100,00
Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah di Desa Karacak Desa Karacak merupakan salah satu desa di Kecamatan Leuwiliang yang
usahatani padinya cukup luas. Penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun. Musim Tanam I (MT I) antara bulan Juli-Oktober dan Musim Tanam II (MT II) antara bulan Januari-April, mereka tidak tetap dalam melakukan tandur tergantung dari hari raya. Petani di desa ini, pada umumnya menggunakan pola tanam monokultur. Varietas padi yang umumnya di tanam adalah IR 64 dan Ciherang.
Sistem budidaya padi di Desa Karacak dimulai dari penyiapan lahan dengan cara pengairan lahan, pengolahan lahan dengan cangkul ataupun bajak/ kerbau. Selanjutnya dilakukan penyemaian benih padi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Umur persemaian padi rata-rata 23 hari sebelum dipindah ke la han penanaman (tandur). Penyiangan dilakukan rata-rata dua kali dalam satu musim tanam bergantung pada banyak sedikitnya gulma yang ada, begitu pula dengan pemupukan. Intensitas dan cara pengendalian hama dan penyakit tanaman sangat bervariasi, mulai dari cara pengendalian mekanik hingga cara pengendalian kimiawi. Kegiatan terakhir dalam produksi adalah pemanenan yang dilakukan saat umur tanaman antara 100 sampai dengan 120 hari sejak tanam (tandur). Sistem panen yang umum digunakan adalah sistem bawon, dimana pemanen adalah tenaga kerja luar keluarga yang dibayar dengan cara memberi 1/5 bagian dari hasil panen dalam bentuk gabah kering panen. Sarana produksi yang digunakan untuk usahatani padi sawah di Desa Karacak terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan alat pertanian. Pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk urea dan TSP, sedangkan pupuk KCl, ZA dan pupuk kandang jarang digunakan. Pestisida juga jarang digunakan oleh petani di Desa Karacak, karena mereka sedang mencoba menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), sehingga mereka lebih banyak menggunakan pestisida nabati/ botani yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, meskipun masih ada petani yang menggunakan pestisida kimia, jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan alat-alat pertanian yang dimiliki dan sering digunakan oleh petani adalah cangkul, caplak,
sabit, ember dan garu. Jarang petani yang memiliki traktor sendiri, biasanya mereka menggunakan traktor dengan sistem sewa. Penggunaan tenaga kerja dipengaruhi oleh luas lahan garapan dan berat jenis pekerjaan. Tenaga kerja luar keluarga biasanya lebih banyak digunakan apabila luas lahan garapan relatif besar, sedangkan untuk luas lahan garapan yang relatif kecil dan jenis pekerjaan yang tidak terlalu berat biasanya lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Adapun status petani berdasarkan pemilikan lahan garapan yang ada di Desa Karacak terdiri dari petani milik yang menggarap lahannya sendiri atau digarap oleh orang lain (kuli), dan petani penggarap yang menggarap lahan orang lain baik dengan sistem sewa, bagi hasil (maro) maupun gadai. Dilokasi penelitian petani penggarap jumlahnya lebih banyak dibandingkan petani milik. Petani milik yang menggarap lahannya sendiri akan menanggung seluruh biaya usahatani dan akan menerima seluruh penerimaan usahatani. Sedangkan petani pemilik yang lahannya digarap oleh orang lain akan menanggung beberapa biaya bersama seperti halnya petani penggarap dan mendapat bagi hasil sebagai pembayaran sewa atas lahannya. Petani penggarap sistem sewa akan mengeluarkan seluruh biaya variabel seperti biaya sewa kerbau, benih, pupuk, pestisida dan seluruh biaya tenaga kerja luar keluarga. Tetapi petani penggarap dengan sistem sewa ini akan mendapatkan seluruh penerimaan dari hasil usahatani padi sawah tersebut. Sedangkan petani penggarap dengan sistem bagi hasil (maro), sebagian biaya usahatani seperti biaya bibit, pupuk dan pengairan ditanggung oleh pemilik lahan ataupun sebagian ditanggung oleh pemilik lahan dan sebagian lagi ditanggung oleh petani
penggarap, tergantung dari kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Tetapi pada umumnya biaya, bibit, pupuk dan pengairan ditanggung oleh pemilik lahan.
5.4
Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden akan diuraikan berdasarkan umur petani,
tingkat pendidikan, status kepemilikan dan luas lahan garapan, pengalaman berusahatani
dan
sifat
usahatani
padi.
Karakteristik
petani
responden
selengkapnya sebagai berikut: (1)
Umur Petani Petani responden sebagian besar berasal dari kelompok umur 40-65 tahun,
baik petani milik maupun petani bukan milik (sakap). Karakteristik petani responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 5. Usia petani responden yang relatif tua menyebabkan petani di lokasi penelitian bersifat statis tidak bersifat dinamis dan progresif, sehingga usaha pembangunan usahatani sulit untuk dikembangkan.
Tabel 5. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat Kelompok Umur
Petani Milik
Jumlah (orang) 31-40 tahun 2 41-50 tahun 8 > 50 tahun 10 Total 20 Sumber: Data Primer (diolah)
Persen (%) 10,00 40,00 50,00 100,00
Petani Bukan Milik (Sakap) Jumlah Persen (%) (orang) 0.,00 7 35,00 13 65,00 20 100,00
Tingginya persentase petani yang berusia diatas 50 tahun menunjukkan bahwa petani padi, baik yang berstatus milik maupun bukan milik (sakap) masih didominasi oleh kaum tua. Hal ini terjadi karena sebagian pemuda yang ada di Desa karacak enggan untuk bekerja sebagai petani. Pemuda di Desa Karacak lebih suka menganggur atau bekerja diluar bidang usahatani. Umur dapat menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat perbedaan perilaku berdasarkan usia yang dimilikinya. Semakin muda umur petani biasanya mempunyai semangat untuk mempelajari hal- hal yang belum diketahui, sehingga mereka berpotensi untuk lebih cepat dalam mengadopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam inovasi tersebut. Semakin tua umur petani, biasanya semakin lambat dalam mengadopsi suatu inovasi dan cenderung hanya melalukan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan secara turun temurun. Namun berkat kesabaran dan cara penyuluhan yang diberikan oleh koordinator kelompok tani bekerja sama dengan penyuluh pertanian menyebabkan para petani bersedia sedikit demi sedikit untuk merubah sistem usahataninya, salah satunya dengan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). (2)
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani responden bervariasi mulai dari tidak tamat SD
hingga SLTA. Petani milik yang tidak tamat SD berjumlah 4 orang (20 persen) sedangkan petani bukan milik (sakap) yang tidak tamat SD berjumlah 13 orang (65 persen). Sedangkan tingkat pendidikan tertinggi pada petani milik adalah SLTA yaitu berjumlah 1 orang (5 persen) dan untuk petani bukan milik (sakap) adalah SD yaitu berjumlah 7 orang (35 persen). Tingkat pendidikan terbanyak adalah SD, baik untuk petani milik maupun petani bukan milik (sakap).
Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikaan selengkapnya tersaji pada Tabel 6. Tingkat pendidikan diduga berpengaruh terhadap respon petani untuk mengadopsi sistem usahatani padi sawah. Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula kemungkinan petani dalam menerapkan teknologi. Karena petani responden sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka rendah pula kemungkinan petani dalam menerapkan teknologi dan dalam menerima serta menyerap inovasi- inovasi baru yang datang dari luar. Biasanya petani yang tidak memiliki pendidikan sampai tingkat dasar kurang memperhitungkan resiko yang akan dihadapinya dalam melakukan perubahan usahataninya. Hal ini karena petani melakukan perubahan dengan mengikuti petani lain. Sedangkan petani yang berpendidikan akan selalu berhati- hati dalam mengambil keputusan dengan terlebih dahulu memperhitungkan resiko yang akan dihadapinya.
Tabel 6. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Tingkat Pendidikan
Petani Milik Jumlah (orang)
Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA Total Sumber : Data Primer (diolah)
4 13 2 1 20
Persen (%) 20,00 65,00 10,00 5,00 100,00
Petani Bukan Milik (Sakap) Jumlah Persen (orang) (%) 13 65,00 7 35,00 20 100,00
Selain pendidikan formal, beberapa petani milik maupun petani bukan milik (sakap) pernah mengikuti berbagai pendidikan informal pertanian seperti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Pada SLPHT ini petani dibekali dengan beberapa pengetahuan, seperti teknik budi daya serta pengendalian terhadap hama dan penyakit. Selain itu petani pun diberi informasi tentang manfaat dan resiko yang akan dihadapi jika mnengembangkan usahatani padi organik oleh penyuluh pertanian. Diharapkan dengan diberikan informasi seperti itu petani dapat mempertimbangkan manfaat dan resiko yang dihadapi. (3)
Status Kepemilikan dan Luas Lahan Garapan Status petani di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu petani pemilik lahan, petani milik sekaligus penggarap dan petani yang menggarap lahan milik orang lain, baik dengan sistem sewa, bagi hasil (sakap) ataupun buruh. Petani pemilik lahan adalah petani yang menyerahkan pengolahan lahannya pada orang lain, baik dengan sistem sewa, bagi hasil ataupun buruh. Petani milik sekaligus penggarap yaitu petani yang menggarap lahan miliknya sendiri, sehingga hasil panen dan biaya usahatani sepenuhnya menjadi tanggungannya. Petani penggarap adalah petani yang menggarap lahan milik orang lain dan kemudian membayar sewa ataupun bagi hasil kepada pemilik lahan tersebut. Petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan dibedakan atas dua jenis, yaitu petani milik dan petani bukan milik (sakap). Petani milik yaitu petani yang memiliki lahan sekaligus menggarapnya sendiri, yang diambil sebagai responden sebanyak 20 orang (50 persen) dan petani bukan milik (sakap) yaitu
petani yang menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil sebanyak 20 orang (50 persen). Luas lahan garapan petani responden bervariasi, mulai dari petani dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 Ha hingga petani yang memiliki luas lahan garapan lebih dari 2 Ha (Tabel 7). Pada responden baik petani milik maupun petani bukan milik (sakap), luasan lahan usahatani yang paling banyak digarap yaitu luasan lahan antara 1 hingga 1,49 hektar, masing- masing sebanyak 7 orang (35 persen) untuk petani milik, dan petani bukan milik (sakap) sebanyak 10 orang (50 persen). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Penguasaan lahan yang relatif sempit akan berdampak terhadap efisiensi hasil panen. Petani yang hanya memiliki dan menggarap lahan sempit tidak akan berproduksi secara optimal, bahkan seringkali penerimaan petani saat panen akan lebih kecil dibandingkan dengan total biaya usahatani yang harus dikeluarkan.
Tabel 7. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Status dan Luas Kepemilikan Lahan Garapan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Status dan Luas Lahan
Petani Milik Jumlah (orang)
< 0,5 Ha 4 0,5 – 0,99 Ha 6 1 – 1,49 Ha 7 1,5 – 2 Ha 3 > 2 Ha Total 20 Sumber : Data Primer (diolah)
Persen (%) 20,00 30,00 35,00 15,00 100,00
Petani Bukan Milik (Sakap) Jumlah Persen (%) (orang) 2 10,00 8 40,00 10 50,00 20 100,00
(4)
Pengalaman Berusahatani Para petani responden sebagian besar telah menggeluti bidang usahatani
lebih dari 20 tahun baik untuk petani milik maupun petani bukan milik (sakap). Hanya sebagian kecil saja petani yang kurang berpengalaman dan relatif baru dalam menggeluti usahatani padi tersebut. Petani milik yang telah menggeluti bidang usahatani padi lebih dari 20 tahun berjumlah 9 orang (45 persen) sedangkan untuk petani bukan milik (sakap) berjumlah 14 orang (70 persen). Pada umumnya mereka mulai menggeluti bidang usahatani semenjak masa remaja dan mendapatkan keahlian berusahatani padi dari orang tua secara turun temurun.
Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Padi Sawah di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Pengalaman Berusahatani
Petani Milik Jumlah (orang)
5-10 tahun 2 11-15 tahun 4 16-20 tahun 5 > 20 tahun 9 Total 20 Sumber: Data Primer (diolah)
(5)
Persen (%) 10,00 20,00 25,00 45,00 100,00
Petani Bukan Milik (Sakap) Jumlah Persen (%) (Orang) 6 30,00 14 70,00 20 100,00
Sifat Usahatani Padi Hampir seluruh petani responden menyatakan bahwa usahatani padi sawah
merupakan usaha pokok, artinya bahwa penghidupan mereka sangat tergantung dari usahatani padi sawah. Dari 20 orang petani milik, 13 orang (65 persen) diantaranya menyatakan bahwa berusahatani padi merupakan usaha pokok, sedangkan 7 orang (35 persen) yang lain menyatakan bahwa berusahatani
merupakan usaha sampingan. Untuk petani bukan milik (sakap), 18 orang (90 persen) menyatakan bahwa usahatani padi merupakan usaha pokok, sedangkan 2 orang (10 persen) yang lain menyatakan bahwa usahatani merupakan usaha sampingan. Umumnya masyarakat di Desa Karacak memiliki mata pencaharian sebagai petani, baik sebagai usaha pokok maupun sebagai usaha sampingan. Kondisi ini berkaitan dengan karakteristik Desa Karacak sebagai salah satu wilayah pertanian di Kecamatan Leuwiliang, dimana 46,65 persen dari total luas wilayahnya merupakan tanah sawah penagiran setengah teknis. Adapun alasan masyarakat menjadi petani umumnya disebabkan karena menekuni usahatani padi merupakan kebiasaan yang turun temurun, sedangkan alasan lainnya yang banyak diungkapkan adalah karena mereka tidak memiliki keahlian lain selain berusahatani,
sehingga
menjadikan
usahatani
sebagai
pekerjaan
utama.
Meskipun diluar itu mereka memiliki usaha sampingan seperti buruh bangunan, beternak ayam, beternak kambing maupun berkebun.
Tabel 9. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Sifat Usahatani Padi Sawah di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Sifat Usahatani Padi
Petani Milik Jumlah (orang)
Usaha pokok Usaha sampingan Total Sumber : Data Primer (diolah)
13 7 20
Persen (%) 65,00 35,00 100,00
Petani Bukan Milik (Sakap) Jumlah Persen (orang) (%) 18 90,00 2 10,00 20 100,00
BAB VI KERAGAAN SISTEM USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARACAK
6.1
Keragaan Usahatani Keragaan usahatani menggambarkan keseluruhan aspek pengusahaan padi
sawah di Desa Karacak, mulai dari karakteristik petani itu sendiri, usahatani yang dijalankan hingga pada tahap pemasaran. Adapun keragaan usahatani padi sawah di Desa Karacak mencakup kegiatan sebagai berikut: 6.1.1
Pengolahan lahan Pengolahan lahan dimaksudkan untuk menstabilkan kondisi tanah dari segi
kandungan unsur hara, perbaikan sifat fisik tanah dan perbaikan drainase tana h sehingga tanah menjadi gembur dan siap untuk ditanami. Proses pengolahan lahan diawali dengan pembajakan (nyambut) dengan menggunakan alat bajak berupa traktor atau kerbau. Biasanya traktor yang digunakan disewa dari pemilik traktor dengan biaya sewa Rp. 40.000,00 dalam waktu tujuh jam. Setelah lahan dibajak, kemudian diberakan selama dua minggu. Bongkahan-bongkahan tanah yang dihasilkan dari pembajakan kemudian dihaluskan dengan menggunakan cangkul dan setelah itu tanah diratakan dengan papan perata (ngegaru) sehingga menjadi rata dan gembur. Setelah rata dan gembur, kemudian lahan diberakan kembali selama dua hari dan setelah itu baru dilakukan penanaman. Dalam pengolahan ini pada umumnya petani memakai tenaga kerja dari luar keluarga dengan upah Rp. 10.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per orang dalam satu hari.
6.1.2
Penyemaian Penyemaian
diawali
dengan
proses
pengolahan
tanah
dengan
menggunakan cangkul hingga kondisi tanah menjadi gembur dan rata. Setelah selesai proses pengolahan tanah, kemudian benih ditaburkan secara merata diatas lahan tersebut. Untuk mengantisipasi agar benih yang ditabur tidak dimakan bebek ataupun hewan lain yang digembalakan di sawah, maka lahan dipagari dengan menggunakan pagar dari bambu yang pinggirnya ditutupi dengan plastik. Adapun luasan lahan semai yang biasa digunakan untuk luasan penanaman satu hektar adalah 400 m2 . Benih padi yang sering digunakan petani di Desa Karacak adalah varietas IR-64. Adapun alasan petani memakai varietas IR-64 ini adalah umurnya yang relatif pendek sehingga petani dapat menanam padi dua kali dalam satu tahun. Disamping itu, alasan petani menggunakan varietas ini karena varietas IR-64 lebih tahan terhadap hama dan penyakit bila dibandingkan dengan varietas lokal. Benih yang dibutuhkan rata-rata 20 Kg per hektar sawah yang akan ditanami. Pada umumnya benih yang digunakan adalah benih yang dibeli dari penanggung jawab kelompok tani seharga Rp. 15.000,00/kampil, dimana satu kampil setara dengan 5 Kg. Akan tetapi, ada juga benih yang merupakan hasil panen padi sendiri yang memang telah disiapkan untuk dijadikan benih. Benih yang akan ditanam, sebelumnya dikecambahkan dengan cara direndam selama 24 jam dan diperamkan selama 24 jam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi masa dormansi benih. Benih ditaburkan sebanyak yang dibutuhkan, setelah berumur 20 hingga 25 hari, bibit dapat segera ditanam ke lahan dengan jarak 25 X 25 cm. Biasanya jumlah bibit perumpun sebanyak 3 hingga 5 batang.
6.1.3
Penanaman Belum tersedianya saluran irigasi yang memadai menyebabkan penanaman
padi (tandur) di Desa Karacak tidak dapat dilakukan secara serempak. Apabila dilakukan secara serempak, maka akan menyebabkan beberapa lahan petani kekurangan air sehingga berdampak terhadap produktivitas tanaman yang dihasilkan. Oleh karena itu, penanaman padi di Desa Karacak tidak dilakukan secara serempak karena petani tidak mau mengambil resiko lahannya menjadi kekurangan air. Namun, dampaknya tanaman padi mudah terserang hama tikus dan keong mas, akibatnya produksi menjadi menurun. Pada penanaman padi ini petani menggunakan jarak tanam 25 x 25 cm dengan jumlah bibit per lubang tanam sebanyak tiga hingga lima batang. Namun sekarang ini sedang coba diterapkan jarak tanam Legowo, yaitu pola penanaman dengan jarak tanam 12,5 x 25 cm. Karena berdasarkan hasil penelitian, jarak tanam ini memberikan hasil produksi yang lebih besar dibandingkan dengan jarak tanam sebelumnya.
6.1.4
Penyiangan Penyiangan (ngarambet) merupakan kegiatan pencabutan gulma dan
pembersihan pematang sawah dari rumput. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebanyak dua kali dalam satu musim tanam. Penyiangan pertama dilakukan petani ketika tanaman berusia 15 – 20 hari setelah tanam. Sedangkan penyiangan kedua dilakukan diantara kegiatan pemupukan I dan pemupukan II atau ketika tanaman berusia 30 – 40 hari setelah tanam.
Biaya penyiangan biasanya dibayarkan dalam dua bentuk, yaitu tunai dan non tunai. Bentuk tunai yaitu biaya yang dikeluarkan dalam bentuk upah kerja sebesar Rp. 10.000,00 hingga Rp. 12.000,00/orang dalam satu hari penuh. Sedangkan bentuk non tunai yaitu biaya yang dikeluarkan dalam bentuk gabah kering panen (GKP) seberat 2-3 Kg/orang setelah panen selesai.
6.1.5
Pemupukan Sistem pertanian padi sawah di Desa Karacak pada umumnya
menggunakan pupuk kimia dengan jenis Urea, TSP atau SP-36 dan KCl. Disamping itu, adapula petani yang menggunakan pupuk kandang. Jenis pupuk dan dosis yang digunakan oleh petani masih belum sesuai dengan anjuran pemerintah yaitu harus menggunakan pupuk Urea, TSP atau SP-36, KCl dan ZA dengan dosis berturut-turut sebesar 200 Kg, 100 Kg dan 100 Kg per hektar lahan per musim tanam. Sebagian besar petani hanya menggunakan pupuk Urea dan TSP atau SP-36 saja, sedangkan yang menggunakan KCl dan ZA hanya beberapa orang saja. Masalah penggunaan pupuk yang belum berimbang ini bukan berarti bahwa petani tidak tahu sama sekali tentang aturan dosis pupuk berimbang. Sebenarnya petani telah mengetahui dosis penggunaan pupuk berimbang per hektar dari PPL ataupun dari penanggung jawab kelompok tani. Namun, yang menjadi kendala para petani untuk menerapkan penggunaan pupuk berimbang adalah:
(1)
Anggaran petani untuk modal usahatani cukup kecil dan tidak tentu setiap musimnya
(2)
Harga pupuk yang berubah-ubah dan relatif cukup mahal bila dibandingkan dengan harga gabah kering
(3)
Pupuk tidak tersedia dalam jumlah yang cukup Kegiatan pemupukan di Desa Karacak dilakukan sebanyak dua hingga tiga
kali. Pemupukan pertama, untuk yang melakukan tiga kali pemupukan adalah ketika tiga hari sebelum dilakukan penanaman. Sedangkan untuk yang melakukan pemupukan sebanyak dua kali, biasanya waktu pemupukannya adalah ketika tanaman berusia 20 hari setelah tanam atau sama dengan waktu pemupukan kedua untuk yang melakukan tiga kali pemupukan. Pada kegiatan pemupukan ini, petani melakukannya dengan cara ditebarkan. Pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk Urea, KCl dan pupuk kandang.
6.1.6
Pengendalian Hama dan Penyakit Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan penyuluh pertanian,
selama proses budidaya padi ada beberapa serangan hama yang cukup mengancam hasil produksi, diantaranya yaitu serangan hama tikus dan keong mas. Hal ini disebabkan oleh pola tanam yang tidak serempak sehingga perkembangan hama dan penyakit berada di atas ambang batas ekonomi. Dampaknya produksi yang dihasilkan menjadi menurun. Pada pengendalian hama dan penyakit ini petani di Desa Karacak pada umumnya menaburkan dan menyemprotkan pestisida. Pestisida tersebut digunakan oleh petani ketika tanaman sedang/tidak sedang terserang hama
penyakit. Adapun alasan petani tetap melakukan penyemprotan ketika pertanaman sedang tidak terserang oleh hama dan penyakit adalah sebagai tindakan antisipasi untuk menghalau serangan hama dan penyakit. Meskipun jika dilihat dari Pengendalian Hama Terpadu (PHT), cara tersebut tidak baik dilakukan karena akan menyebabkan hama menjadi resisten terhadap pestisida. Sebagian petani ada juga yang menggunakan ramuan-ramuan alami atau yang dikenal dengan sebutan ”pestisida botanis” dalam mengendalikan hama yang menyerang tanaman padinya. Meskipun penggunaan pestisida botanis ini sudah dianjurkan oleh penanggung jawab kelompok tani dalam memberantas hama dan penyakit, namun petani pada umumnya malas untuk membuat ramuan-ramuan alami tersebut. Mereka lebih baik mengeluarkan uang daripada harus meluangkan waktu mereka untuk membuat ”pestisida botanis”.
6.1.7
Panen Cara pemanenan yang biasa dilakukan pada dasarnya masih menggunakan
teknologi sederhana, yaitu dengan menggunakan pisau khusus dan biasanya bergerigi. Adapun proses kegiatannya pada tahap awal, padi dipotong dengan pisau tersebut kemudian padi dikumpulkan pada satu tempat yang luas untuk mempermudah
dalam
melakukan
kegiatan
perontokan.
Adapaun
cara
perontokannya adalah dengan membantingkannya pada papan kayu atau hamparan karung yang telah disiapkan. Perontokan dilakukan dilahan milik petani. Untuk melakukan panen, petani menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan sistem bawon. Sistem bawon atau bisa dikatakan borongan ini
dibayar dari 1/5 bagian dari total produksi padi yang dipanen dan itu sudah termasuk biaya makan, minum, rokok dan lainnya.
6.2
Sistem Bagi Hasil Pengertian bagi hasil atau yang lebih dikenal dengan istilah maro yang
terdapat di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah penyerahan seme ntara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian tertentu yang terikat dengan tradisi yang berlaku. Perjanjian tersebut terutama menyangkut masalah pembagian beban sarana produksi dan tenaga kerja yang selanjutnya mempengaruhi sistem bagi hasil panen antara petani bukan milik (sakap) dan pemilik lahan. Dengan demikian, dalam sistem bagi hasil ini pemilik lahan ikut menanggung resiko bila mengalami kegagalan. Kontrak bagi hasil pada petani sakap di Desa Karacak tidak mengikuti kaidah pasar persaingan sempurna. Petani yang berhasil memperoleh kesempatan untuk menggarap lahan milik orang lain adalah terbatas pada kelompok tertentu yang biasanya memiliki hubungan keluarga, kerabat atau kenalan dekat yang telah dipercaya. Motivasi utama dari pemilik lahan di Desa Karacak untuk menyakapkan lahan yang dimilikinya kepada petani sakap umumnya hanya didasari oleh keinginan untuk membantu memberikan sumber mata pencaharian kepada keluarga, kerabat ataupun kenalan dekatnya. Lahan yang disakapkan kepada petani sakap ini terus dilakukan, baik pada musim kemarau ataupun musim penghujan. Petani sakap tidak memiliki kekuatan dalam memilih lahan dan besarnya luas lahan yang akan digarapnya. Letak lahan maupun luas lahan yang akan
digarap tergantung pada keinginan pemilik lahan. Sebagai tambahan, pada umumnya petani sakap memiliki kondisi finansia l yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pemilik lahan. Sistem bagi hasil yang dilakukan antara petani dengan status bukan milik (sakap) dengan petani yang memiliki lahan yang digarap oleh petani sakap di Desa Karacak adalah sistem bagi hasil maro. Dalam sistem maro ini, hasil panen yang diperoleh setelah dikurangi dengan bawon (upah memanen hasil dalam bentuk gabah), dibagi dua secara proporsional antara petani pemilik lahan dengan petani sakap. Pemilik lahan ikut menanggung beban sebesar 100 persen pada sarana produksi benih, pupuk dan pengairan sedangkan biaya obat-obatan, faktor produksi tenaga kerja dan biaya penyewaan traktor semuanya merupakan tanggungan petani sakap. Biaya-biaya sarana produksi dan berbagai iuran umumnya ditanggung oleh pemilik lahan terlebih dahulu. Ketika panen, barulah petani sakap membayar hutang yaitu biaya yang merupakan bagiannya tanpa dikenakan bunga. Pengetahuan umum tentang berusahatani padi telah diketahui oleh seluruh petani, mengingat usahatani padi merupakan usaha turun temurun yang dilakukan di desa ini. Pengetahuan-pengetahuan baru mereka dapatkan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) setempat atau dari sesama petani yang lebih dahulu mengetahui. Keputusan-keputusan dalam proses usahatani seperti jumlah penggunaan sarana produksi dan cara-cara yang dilakukan dalam persemaian, pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan serta pengendalian hama dan penyakit umumnya berada pada petani sakap. Dengan demikian, keputusan
penerapan teknologi usahatani padi selama proses produksi berada pada petani sakap.
6.3
Sistem Upah Borongan Jenis pekerjaan yang umumnya diupahkan dengan sistem borongan di
Desa Karacak adalah jenis pekerjaan mengolah tanah, menanam dan memanen. Pekerjaan mengolah tanah biasanya dikerjakan oleh tenaga handtractor yang dikendalikan oleh dua orang secara bergantian. Pembayaran dua orang tenaga ditambah satu handtractor ini dilakukan secara borongan
yang besarnya
tergantung dari banyaknya waktu yang digunakan. Pekerjaan menanam yang dimaksud disini adalah memindahkan bibit dari persemaian ke sawah. Pekerjaan ini dilakukan secara berkelompok, yang sebagian besar dilakukan oleh wanita. Pengupahan dilakukan sesuai dengan banyaknya waktu yang digunakan dan luas lahan sawah. Pekerjaan memanen biasanya dilakukan oleh tenaga yang diupah. Sistem pembayaran dari pekerjaan ini bukan dengan bentuk uang, tetapi dengan sistem bawon. Setiap enam kilogram gabah yang berhasil diperoleh oleh pekerja, maka lima kilogram adalah hak petani sakap ataupun pemilik lahan dan satu kilogram untuk dirinya.
6.4
Sistem Upah Harian Pekerjaan yang membutuhkan buruh yang diupah secara harian di Desa
Karacak misalnya kegiatan penaburan benih, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit baik dipersemaian ataupun di sawah. Selain itu, meratakan
tanah hasil olahan dan merapikan galangan untuk saluran air disawah serta kegiatan menyiangi rumput-rumput liar juga dilakukan oleh buruh. Pekerjaan seperti menabur benih, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, meratakan tanah hasil olahan dan kegiatan merapikan galangan untuk saluran air biasanya dilakukan oleh laki- laki. Besarnya upah harian relatif sama di setiap lahan sawah dengan besar sekitar Rp. 10.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per hari dalam tujuh jam kerja.
BAB VII HASIL
7.1
Penggunaan Input Sarana produksi yang digunakan dalam usahatani padi sawah di Desa
Karacak terdiri dari benih, pupuk, obat pemberantas hama dan tenaga kerja. 7.1.1
Benih Benih padi yang biasa digunakan/ditanam di Desa Karacak, Kecamatan
Leuwiliang adalah varietas Ciherang dan IR-64. Namun, petani responden seratus persen menggunakan varietas yang sama yaitu IR-64. Berdasarkan hasil wawancara, alasan petani responden menggunakan varietas tersebut karena umurnya yang relatif rendah dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit bila dibandingkan dengan benih padi varietas lokal. Benih yang digunakan petani responden diperoleh dari penanggung jawab kelompok tani dengan membayar sebesar Rp. 15.000,00/kampil. Dimana satu kampil setara dengan 5 kg. Benih yang digunakan petani tidak semuanya berasal dari hasil pembelian. Tetapi ada sebagian petani responden yang menggunakan benih yang berasal dari panen Musim Tanam sebelumnya yang telah diseleksi untuk dijadikan benih. Rata-rata penggunaan benih per hektar (baik benih yang dibeli maupun benih yang berasal dari hasil panen sebelumnya) pada usahatani milik dan usahatani bukan milik (sakap) serta pada usahatani milik luas dan usahatani milik sempit dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, rata-rata penggunaan benih per hektar secara absolut memang tidak terlalu berbeda. Pada usahatani milik luas menggunakan benih sebanyak 19,57 Kg/Ha dan usahatani milik sempit
menggunakan benih sebanyak 20,43 Kg/Ha. Menurut uji statistik, perbedaan sebesar 0,86 Kg/Ha adalah nyata pada α = 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan mempengaruhi penggunaan benih.
Tabel 10. Rata-rata Penggunaan dan Harga Benih Usahatani Padi Sawah per Hektar Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan, MT II 2004/2005 Jenih Benih
Usahatani Milik
Usahatani Bukan Milik (Sakap)
IR-64 t α=0,05 =1,833
< 1 hektar
= 1 hektar
20,43 Kg/Ha
19,57 Kg/Ha
t hitung = 1,463
< 1 hektar
= 1 hektar
19,01 Kg/Ha 19,60 Kg/Ha t hitung = 1,783
Rata-rata penggunaan benih per hektar pada usahatani bukan milik (sakap) luas dan sempit, jika dilihat secara absolut memang tidak terlalu berbeda. Usahatani bukan milik (sakap) sempit menggunakan benih sebanyak 19,01 Kg/Ha dan usahatani bukan milik (sakap) luas menggunakan benih sebanyak 19,60 Kg/Ha. Berdasarkan uji statistik, perbedaan sebesar 0,59 Kg/Ha adalah tidak nyata pada α = 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan tidak mempengaruhi penggunaan benih pada usahatani milik maupun usahatani bukan milik (sakap). Hal ini mungkin disebabkan karena varietas yang digunakan telah sama.
7.1.2
Pupuk Para petani responden dalam memupuk tanaman padi yang diusahakan
menggunakan pupuk kimia (denga n jenis Urea, TSP dan KCl) dan pupuk kandang. Seluruh petani responden menggunakan pupuk kimia jenis Urea dan TSP, namun hanya 25 persen petani responden yang menggunakan pupuk kimia jenis KCl. Alasan petani responden yang tidak menggunakan pupuk kimia jenis KCl adalah karena harganya yang relatif mahal yaitu seharga Rp. 2.000,00/Kg dibandingkan dengan pupuk Urea yaitu seharga Rp. 1.200,00/Kg dan pupuk TSP seharga Rp. 1.600,00/Kg. Selain pupuk kimia, petani responden juga menggunakan pupuk kandang dalam usahataninya. Hanya saja proporsi penggunaan pupuk kandang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pupuk kimia. Alasan petani responden menggunakan pupuk kandang dalam jumlah yang relatif kecil adalah karena pupuk kandang kurang praktis.
Tabel 11. Rata-rata Penggunaan Pupuk Kimia dan Pupuk Kandang Usahatani Padi Sawah per Hektar Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan, MT II 2004/2005 Jenis
Usahatani Milik
Usahatani Bukan Milik
Pupuk Kimia
t α=0,05=1,833
Kandang
t α=0,05=1,833
(Sakap) < 1 hektar
= 1 hektar
< 1 hektar
= 1 hektar
383,33
331,33
310,83
254
Kg/Ha
Kg/Ha
Kg/Ha
Kg/Ha
t hitung = 1,960
t hitung = 3,560
103,33
37,15
125
83,33
Kg/Ha
Kg/Ha
Kg/Ha
Kg/Ha
t hitung = 8,460
t hitung = 5,734
Tingkat penggunaan pupuk kimia dan pupuk kandang pada petani responden dapat dilihat pada Tabel 11. Pada usahatani sempit menggunakan pupuk kandang rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan usahatani luas. Perbedaan penggunaan pupuk kimia sebesar 52,03 Kg pada usahatani milik sempit dan usahatani milik luas, serta sebesar 56,83 Kg pada usahatani bukan milik (sakap) sempit dan luas terbukti nyata pada taraf α = 0,05. Sedangkan perbedaan penggunaan pupuk kandang sebesar 66,18 Kg pada usahatani milik sempit dan luas serta sebesar 41,67 Kg pada usahatani bukan milik (sakap) sempit dan luas terbukti nyata pada taraf α = 0,05.
7.1.3
Obat Pemberantas Hama Petani responden di Desa Karacak pada umumnya dalam memberantas
hama menggunakan pestisida kimia. Namun, semenjak di disebarluaskannya “pestisida botanis”, petani sedikit demi sedikit mulai menerapkan pengunaan “pestisida botanis” terhadap usahatani yang mereka lakukan, meskipun jumlahnya masih relatif sedikit. Jenis pestisida (obat pemberantas hama) yang biasa digunakan petani responden adalah matador. Rata-rata penggunaan obat pemberantas hama pada petani responden MT II 2004/2005 dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rata-rata Penggunaan Pestisida Kimia Usahatani Padi Sawah per Hektar Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan, MT II 2004/2005 Jenih
Usahatani Milik
Usahatani Bukan Milik
Pestisida
(Sakap) < 1 hektar
Kimia
0,68Lt/Ha
t α=0,05 =1,833
= 1 hektar 0,58 Lt/Ha
< 1 hektar 0,50 Lt/Ha
t hitung = 3,540
= 1 hektar 0,56Lt/Ha
t hitung = 1,890
Perbedaan penggunaan pestisida kimia sebesar 0,1 liter pada usahatani milik sempit dan usahatani milik luas serta sebesar 0,06 liter pada usahatani bukan milik (sakap) sempit dan usahatani bukan milik (sakap) luas meskipun secara absolut tidak begitu jauh berbeda, tetapi berdasarkan hasil uji statistik terbukti nyata pada taraf α = 0,05.
7.2
Analisis Biaya Usahatani Padi Sawah Analisis biaya usahatani dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang
harus dikeluarkan dalam menjalankan usahatani padi. Biaya usahatani merupakan korbanan yang harus dikeluarkan. Dalam analisis biaya usahatani padi sawah dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Berikut analisis biaya usahatani padi sawah petani responden: 7.2.1
Biaya Tunai Biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahatani padi sawah terdiri dari
biaya penggunaan bibit, pupuk (baik pupuk kimia maupun pupuk kandang), pestisida, tenaga kerja luar keluarga, biaya pengairan, biaya pajak bagi usahatani
milik dan biaya bagi hasil bagi usahatani bukan milik (sakap). Biaya-biaya tunai tersebut adalah sebagai berikut: a.
Biaya Benih Benih padi sawah responden yang digunakan adalah varietas IR-64. Bibit
tersebut diperoleh dari penanggung jawab kelompok tani dengan membayar sebesar Rp. 15.000,00/kampil, dimana satu kampil setara dengan 5 Kg. Usahatani milik sempit mengeluarkan biaya sebesar Rp. 56.400,00 (2,20 persen dari biaya total). Sedangkan usahatani milik luas mengeluarkan biaya sebesar Rp.46.060,00 (2,07 persen dari biaya total). Pada usahatani bukan milik (sakap) sempit mengeluarkan biaya benih sebesar Rp. 57.800,00 (1,62 persen dari biaya total) dan usahatani bukan milik (sakap) luas sebesar Rp. 53.720,00 (1,63 persen dari biaya total). b.
Biaya Pupuk Kimia Pupuk yang digunakan meliputi pupuk urea dengan harga Rp. 1.050,00-
Rp.1.200,00/Kg, pupuk TSP seharga Rp. 2.000,00/Kg dan KCL seharga Rp. 1.600,00/Kg, tetapi pupuk KCL ini jarang sekali digunakan. Hasil analisis diperoleh bahwa usahatani milik sempit mengeluarkan total biaya pupuk kimia sebesar Rp. 521.168,00 (20,42 persen dari total biaya) dan usahatani milik luas mengeluarkan total biaya pupuk Rp. 427.351,00 (19,20 persen dari total biaya). Pada usahatani bukan milik (sakap) sempit total biaya yang dikeluarkan untuk pupuk kimia sebesar Rp. 424.250,00 (11,86 persen dari total biaya) dan Rp. 331.958,70 (10,05 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) luas. Berdasarkan hasil konversi dalam satu hektar, ternyata biaya pupuk yang dikeluarkan pada usahatani milik sempit lebih besar dari pada yang dikeluarkan
pada usahatani milik luas. Hal ini disebabkan harga beli pada usahatani milik sempit lebih tinggi dari pada usahatani milik luas, karena pada umumnya pada usahatani sempit membeli input dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan petani luas. c.
Biaya Pupuk Kandang Selain pupuk kimia, petani responden juga menggunakan pupuk kandang,
tetapi dalam proporsi yang sangat rendah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa usahatani milik sempit dan luas, masing- masing sebesar Rp. 103.333,00 (4,05 persen dari total biaya ) dan Rp. 37.150,00 (1,67 persen dari total biaya). Sedangkan pada usahatani bukan milik (sakap), biaya yang dikeluarkan untuk pupuk kimia sebesar Rp. 125.000,00 (3,49 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) sempit dan Rp. 83.333,30 (2,52 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) luas. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa usahatani sempit menggunakan pupuk kandang yang dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan usahatani luas, dengan alasan bahwa penggunaan pupuk kandang kurang efisien apalagi persediaan pupuk kandang cukup terbatas. Pupuk kandang ini lebih banyak digunakan pada usahatani sempit dalam menutupi kekurangan penggunaan pupuk kimia. d.
Biaya Pestisida Kimia Biaya pestisida kimia yang dikeluarkan dari total biaya pada usahatani
milik sempit maupun usahatani milik luas dan usahatani bukan milik (sakap) sempit maupun usahatani bukan milik (sakap) luas secara berturut-turut sebesar Rp. 20.280,00 (0,79 persen dari total biaya), Rp. 17.295,00 (0,78 persen dari total
biaya), Rp. 15.125,00 (0,42 persen dari total biaya) dan Rp. 16.700,00 (0,50 persen dari total biaya). Penggunaan pestisida kimia banyak dilakukan dalam usahatani milik, karena ingin mendapatkan hasil yang terbaik bagi usahataninya. Sedangkan bagi usahatani bukan milik (sakap) yang relatif memiliki modal yang lebih kecil akan berfikir dua kali dalam menggunakan pestisida kimia dalam jumlah yang cukup banyak. Selain pertimbangan harganya yang cukup mahal, juga harus menanggung biaya pestisida kimia sendiri tanpa dibantu oleh pemilik lahan. Pestisida kimia lebih banyak digunakan dalam usahatani milik luas. Sedangkan pada usahatani milik sempit dan usahatani bukan milik (sakap) hanya sedikit dalam menggunakan pestisida kimia karena harganya yang cukup mahal, sedangkan modal yang dimiliki relatif kecil. e.
Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga Upah rata-rata buruh tani di daerah penelitian yaitu sebesar Rp. 10.000,00
hingga Rp. 12.000,00/HOK dengan lama kerja rata-rata 6-7 jam. Biaya tenaga kerja upahan banyak digunakan untuk kegiatan seperti pengolahan tanah, penanaman, pemupukan dan pemanenan. Usahatani milik sempit dan usahatani milik sempit proporsi biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar
Rp. 455.466,00 (17,85 persen dari biaya total) dan Rp. 676.700,00
(30,40 persen dari total biaya). Sedangkan usahatani bukan milik (sakap) sempit mengeluarkan biaya tenaga kerja luar keluarga sebesar Rp. 173.367,00 (4,84 persen dari total biaya), dan pada usahatani bukan milik (sakap) luas sebesar Rp. 632.613,33 (19,16 persen dari total biaya). Perbedaan dalam penggunaan tenaga kerja antara usahatani milik luas dan usahatani milik sempit cukup besar,
hal ini disebabkan pada usahatani milik luas menggunakan tenaga kerja luar keluarga lebih besar, dimana tenaga kerja tersebut dalam melakukan kegiatan usahatani lebih efisien dibandingkan dengan tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan pada usahatani milik sempit dan usahatani bukan milik (sakap) biasanya mengoptimalkan produktivitas dari tenaga kerja dalam keluarga karena keterbatasan modal. f.
Biaya Pajak Biaya pajak lahan di daerah penelitian sebesar Rp. 110.000,00/ha dalam
satu tahun, sehingga dalam satu musim tanam biaya yang dikeluarkan untuk pajak sebesar Rp. 55.000,00. Biaya pajak ini hanya dikeluarkan pada usahatani milik, sedangkan pada usahatani bukan milik (sakap) tidak mengeluarkan biaya pajak. Pembayaran biaya pajak di lokasi penelitian dilakukan oleh petani milik maupun petani pemilik lahan. Dimana pembayarannya dilakukan secara koordinir melalui aparat desa. Petani responden khususnya petani milik seluruhnya selalu membayar biaya pajak lahan ini. Dengan alasan dari pada mereka mendapatkan masalah, maka biaya yang akan dikeluarkan pun menjadi lebih besar. Jika petani di Desa Karacak yang memiliki lahan (khususnya untuk sawah) tidak membayar ataupun terlambat dalam membayar pajak, maka mereka akan diberi sangsi dengan membayar sejumlah uang yang besarnya tergantung pada luas lahan yang dimiliki ataupun berdasarkan jumlah hari keterlambatan pembayaran. g.
Biaya Bagi Hasil Biaya bagi hasil ini dikeluarkan pada usahatani bukan milik (sakap). Biaya
bagi hasil ini diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan penjumlahan biaya yang dikeluarkan untuk benih, pupuk (baik pupuk kimia maupun pupuk kandang)
dan biaya pengairan yang dibagi dua. Proporsi bagi hasil disetiap daerah berbedabeda tergantung pada adat istiadat dan perjanjian antara pemilik dan penyakap. Tetapi di Desa Karacak, sistem bagi hasil yang dilakukan adalah sistem maro, yang artinya bahwa petani pemilik lahan dan petani penyakap mendapatkan proporsi hasil panen yang sama yaitu 50 persen. Hanya saja biaya yang ditanggung oleh petani penyakap lebih besar dibandingkan biaya yang harus ditanggung oleh petani pemilik lahan.
7.2.2
Biaya Yang Diperhitungkan Dalam analisis pendapatan usahatani padi sawah di daerah penelitian,
biaya yang diperhitungkan meliputi biaya benih, biaya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat pertanian serta biaya sewa lahan pada usahatani milik. Biaya yang diperhitungkan dalam usahatani padi sawah adalah sebagai berikut: a.
Biaya Benih Benih yang digunakan oleh petani responden untuk usahatani padi sawah
tidak seluruhnya berasal dari hasil pembelian di kios-kios ataupun dari penanggung jawab kelompok tani. Tetapi adapula yang berasal dari hasil panen sebelumnya yang memang telah dipersiapkan untuk benih tanam selanjutnya. Benih yang dipersiapkan biasanya jumlahnya tidak begitu besar yaitu berkisar antara 4 hingga 5 kilogram per hektar. Dalam analisis biaya ini, harga benih sendiri per kilogramnya disamakan dengan benih yang dibeli di kios-kios atau dari penanggung jawab kelompok tani yiatu sebesar Rp. 3.000,00/Kg.
Biaya benih sendiri paling banyak dikeluarkan pada usahatani milik dibandingkan dengan usahatani bukan milik (sakap) dengan tujuan untuk menghemat biaya tunai terhadap benih. Hal ini disebabkan karena pada usahatani milik, petani menanggung semua biaya yang dikeluarkan. Sedangkan pada petani penyakap, biaya benih ditanggung sepenuhnya oleh pemilik lahan ataupun tergantung pada perjanjian antara penyakap dengan pemilik lahan. b.
Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga Usahatani milik sempit, biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja dalam
keluarga sebesar Rp. 526.666,67 (20,64 persen dari total biaya) dan pada usahatani milik luas biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 130.000,00 (5,84 persen dari total biaya). Sedangkan pada usahatani bukan milik (sakap) sempit, biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja keluarga sebesar Rp. 613.500,00 (17,14 persen dari total biaya) dan Rp. 174.800,00 (5,30 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) sempit. Perbedaan dalam penggunaan tenaga kerja dalam keluarga antara usahatani milik luas dan usahatani milik sempit terlihat begitu jelas. Usahatani milik sempit memiliki keunggulan input berupa tenaga kerja khususnya tenaga kerja dalam keluarga dibandingkan pada usahatani milik luas. c.
Biaya Penyusutan dan Sewa Lahan Umumnya petani padi sawah di Desa Karacak tidak membeli alat
pertanian setiap musim tanamnya. Hal ini disebabkan alat-alat tersebut masih dapat digunakan kembali, sehingga yang diperhitungkan dalam analisis pendapatan adalah hanya nilai penyusutan dari penggunaan peralatan tersebut.
Pada analisis ini diperhitungkan biaya penyusutan alat-alat pertanian yang digunakan berdasarkan pada harga beli dan umur masing- masing alat. Pada penelitian ini hanya menetapkan alat yang paling banyak dipergunakan oleh petani responden, yaitu cangkul, hand sprayer, sabit dan parang. Dari hasil analisis diperoleh bahwa rata-rata petani menggunakan alat pertanian setiap hektarnya sebesar Rp. 25.259,00 (0,99 persen dari total biaya) pada usahatani milik sempit dan Rp39.582,00 (1,77 persen dari total biaya) pada usahatani milik luas, Rp. 19.151,06 (0,54 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) sempit dan Rp. 45.970,04 (1,40 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) luas. Biaya sewa lahan di daerah penelitian adalah Rp. 1.500.000,00/hektar dalam satu tahun, sehingga dalam satu kali musim tanam biaya sewa lahan yang dikeluarkan sebesar Rp. 750.000,00. Sama halnya biaya pajak lahan, maka biaya sewa lahan pun dibebankan pada petani yang berstatus sebagai pemilik lahan.
7.2.3
Total Biaya Usahatani
Berdasarkan hasil analisis biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan, maka biaya total usahatani padi sawah adalah penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya total yang dikeluarkan oleh masing- masing petani responden berdasarkan status kepemilikan dan luas lahan yang telah dikonversi dalam satu hektar disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13.
Biaya Total Usahatani Padi Sawah Musim Tanam II 2004/2005, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Uraian
Usahatani Milik < 1 ha
%
Usahatani Bukan Milik (Sakap)
= 1 ha
%
< 1 ha
%
= 1 ha
%
Biaya Tunai a.
Benih
56400,00
2,20
46060,00
2,07
57800,00
1,62
53720,00
1,63
b.
Pupuk Kimia
521168,00
20,42
427351,00
19,20
424250,00
11,86
331958,70
10,05
c.
Pupuk Kandang
103333,00
4,05
37150,00
1,67
125000,00
3,49
83333,30
2,52
d.
Pestisida Kimia
20280,00
0,79
17295,00
0,78
15125,00
0,42
16700,00
0,50
e.
Pestisida alami
5600,00
0,22
6070,00
0,27
5390,00
0,15
7245,00
0,22
f.
Tenaga Kerja Luar Keluarga
455166,67
17,85
676700,00
30,40
173367,00
4,84
632613,33
19,16
g.
Pajak Lahan
55000,00
2,15
55000,00
2,47
0,00
0,00
0,00
0,00
h.
Pengairan
28000,00
1,1
28000,00
1,26
28000,00
0,78
28000,00
0,85
i.
Bagi Hasil
Total Biaya Tunai
0,00
0,00
0,00
0,00
2115958,70
59,14
1923569,20
58,27
124524,67
48,79
1293626,00
58,12
2944890,70
82,29
3077139,53
93,21
4900,00
0,19
12610,00
0,57
1000,00
0,03
3300,00
0,10
Biaya Yang Diperhitungkan a.
Benih
b.
Sewa lahan
750000,00
29,39
750000,00
33,70
0,00
0,00
0,00
0,00
c.
Penyusutan
25259,88
0,99
39582,99
1,77
19151,06
0,54
45970,04
1,40
d.
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
526666,67
20,64
130000,00
5,84
613500,00
17,14
174800,00
5,30
Total Biaya Diperhitungkan
1306826,55
51,21
932192,99
41,88
633651,06
17,71
224070,04
6,79
Total Biaya
2552074,22
100,00
2225818,99
100,00
3578541,76
100,00
3301209,57
100,00
t α=0,05 =1,833
t hitung = 1,874
t hitung = 1,985
Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa total biaya yang digunakan pada usahatani milik sempit sebesar Rp. 2.552.074,22 dengan perincian biaya tunai sebesar Rp. 1.124.5247,67 (48,79 persen dari total biaya) dan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp. 1.306.826,55 (51,21 persen dari total biaya) dan usahatani milik luas sebesar Rp. 2.225.818,99 dengan perincian biaya tunai sebesar Rp. 1.293.626,00 (58,12 persen dari total biaya) dan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp. 932.192,99 (41,88 persen dari total biaya). Komponen biaya tunai yang paling besar dikeluarkan pada usahatani milik sempit adalah biaya pupuk kimia yaitu sebesar 20,42 persen dari total biaya, dan pada usahatani milik luas adalah tenaga kerja luar keluarga yaitu sebesar 30,40 persen dari biaya total. Sedangkan pada usahatani bukan milik (sakap) sempit, total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 3.578.451,76 dengan rincian biaya tunai sebesar Rp. 2.944.890,70 (82,29 persen dari total biaya) dan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp. 633.651,06 (17,71 persen dari total biaya) dan pada usahatani bukan milik (sakap) luas sebesar Rp. 3.301.209,57 dengan perincian biaya tunai sebesar Rp. 3.077.139,53 (93,21 persen dari total biaya) dan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp. 224.070,04 6,79 persen dari total biaya). Pada usahatani bukan milik (sakap) luas dan usahatani bukan milik (sakap) sempit, biaya tunai yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan biaya diperhitungkan. Dimana komponen biaya tunai yang paling besar dikeluarkan adalah biaya bagi hasil yang proporsi biayanya mencapai 60 persen dari total biaya. Sedangkan komponen biaya tunai terbesar selanjutnya adalah pupuk kimia (11,86 persen dari total biaya) pada usahatani bukan milik (sakap) sempit. Sedangkan pada usaha tani bukan milik
(sakap) luas, komponen biaya tunai yang paling besar dikeluarkan adalah biaya tenaga kerja luar keluarga yaitu sebesar 19,16 persen dari total biaya. Berdasarkan uraian tersebut maka semakin luas lahan usahatani padi sawah, maka biaya total yang dikeluarkan semakin kecil. Secara absolut, selisih antara biaya yang dikeluarkan pada usahatani milik luas dan usahatani milik sempit serta pada usahatani bukan milik (sakap) luas dan usahatani bukan milik (sakap) sempit berbeda jauh. Berdasarkan hasil uji statistik, perbedaan biaya total yang dikeluarkan usahatani milik luas dan usahatani milik sempit berbeda secara nyata pada taraf nyata a = 0,05. Begitupula pada usahatani bukan milik (sakap) luas dan usahatani bukan milik (sakap) sempit berbeda secara nyata pada taraf nyata a = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan berpengaruh terhadap biaya total yang dikeluarkan dalam usaha tani padi sawah.
7.3
Analisis Penerimaan Usahatani Padi Sawah Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka
waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total padi dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk menentukan pendapatan yang diperoleh dari suatu usahatani padi sawah. Pendapatan usahatani padi sawah merupakan selisih dari penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan, dengan demikian dapat dilihat sejauh mana peranan usahatani padi sawah terhadap pendapatan rumah tangga petani di daerah penelitian. Analisis ini terdiri dari analisis struktur biaya dan penerimaan usahatani padi sawah. Pengukuran penerimaan pada penelitian ini didasarkan pada
hasil produksi pada Musim Tanam II (Januari-April) 2004/2005. Sedangkan biaya dihitung berdasarkan harga yang berlaku di pasar. Penerimaan usahatani padi sawah diperoleh dari hasil rata-rata panen padi pada Musim Tanam II (Januari- April) 2004/2005 dikalikan dengan rata-rata harga jual padi dalam GKP (Gabah Kering Panen) yang diterima oleh petani. Harga padi (GKP) di lokasi penelitian diberi harga Rp. 1.050,00 hingga Rp. 1.200,00. Ratarata penerimaan dari suatu usahatani padi sawah per hektar berdasarkan status kepemilikan dan luas lahan yang digunakan pada Musim Tanam II 2004/2005 dapat dilihat pada Tabel 14 berikut: Tabel 14. Rata-rata Penerimaan per Hektar Usahatani Padi Sawah MT II 2004/2005 di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Uraian
Usahatani Milik < 1 hektar
= 1 hektar
Usahatani Bukan Milik (Sakap) < 1 hektar
= 1 hektar
Produksi (GKP/Kg)
4946,67
4.659,50
4.776,33
4.246,27
Harga rata-rata
1015,00
1.050,00
1.020,00
1.025,00
4.729.392,50
4.871.856,60
4.352.426,75
Total Penerimaan t α=0,05=1,833
5.020.870,05
t hitung = 2,05
t hitung = 4,95
Pada Tabel 14 terlihat bahwa total penerimaan dari suatu usahatani padi sawah per hektar pada usahatani milik sempit sebesar Rp. 5.020.870,05 lebih besar dibandingkan pada usahatani milik luas yaitu sebesar Rp. 4.729.392,50. Pada usahatani bukan milik (sakap) sempit, total penerimaan yang diterima sebesar Rp. 4.871.856,60 lebih besar dibandingkan dengan usahatani bukan milik (sakap) luas yaitu sebesar Rp. 4.352.426,75.
Perbedaan penerimaan yang diperoleh pada usahatani milik luas dan usahatani milik sempit berbeda secara nyata pada taraf nyata a = 0,05. Begitupula dengan usahatani bukan milik (sakap) luas dan usahatani bukan milik (sakap) sempit menunjukkan bahwa perbedaan penerimaan sebesar Rp. 519.429,95 berbeda secara nyata pada a = 0,05, dimana usahatani dengan lahan lebih sempit memiliki total penerimaan yang lebih besar.
7.4
Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendapatan merupakan balas jasa dari kerja sama faktor- faktor produksi
lahan, tenaga kerja, modal dan pengelolaan. Sedangkan secara harfiah, pendapatan dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam melakukan analisis pendapatan ini dapat mengukur sejauh mana keberhasilan dari suatu usahatani. Selain itu, dengan analisis ini dapat diketahui gambaran usahatani saat ini sehingga dapat melakukan evaluasi untuk perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Pendapatan usahatani padi sawah merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Hasil perhitungan pendapatan usahatani padi sawah pada MT II 2004/2005 dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pendapatan bersih terbesar diperoleh pada usahatani milik luas. Perbedaan pendapatan bersih ini berdasarkan hasil uji statistik berbeda secara nyata pada taraf a = 0,05. Sedangkan pada usahatani bukan milik (sakap), pendapatan bersih terbesar diperoleh pada usahatani bukan milik (sakap) sempit. Pendapatan bersih yang diterima dari usahatani bukan milik (sakap) luas dan
Tabel 15. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah MT II 2004/2005 Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor Uraian < 1 ha A.Penerimaan Usahatani 1. Jumlah Produksi (Kg/Ha) 2. Harga Jual (Rp/Ha) 3. Nilai Produksi B. Biaya Usahatani 1. Biaya Tunai a. Benih b. Pupuk kimia c.Pupuk kandang d. Pestisida kimia e.Pestisida alami f.Tenaga Kerja Luar Keluarga g.Pajak lahan h.Pengairan i. Bagi hasil Total Biaya Tunai 2. Biaya Yang Diperhitungkan a. Benih b.Sewa lahan c. Penyusutan d. Tenaga Kerja Keluarga Total Biaya Diperhitungkan C. Biaya Total Usahatani D. Pendapatan Kotor (A-B1) E. Pendapatan Bersih (A-C) t α=0,05 =1,833 R/C Rasio terhadap Biaya Total
Usahatani Milik % = 1 ha
%
< 1 ha
Usahatani Bukan Milik (Sakap) % = 1 ha
%
4946,67 1015,00 5020870,05
-
4659,50 1050,00 4729392,50
-
4776,33 1020,00 4871856,60
-
4246,27 1025,00 4352426,75
-
56400,00 521168,00 103333,00 20280,00 5600,00 455166,67 55000,00 28000,00 0,00 1245247,67
2,20 20,42 4,05 0,79 0,22 17,85 2,15 1,1 0,00 48,79
46060,00 427351,00 37150,00 17295,00 6070,00 676700,00 55000,00 28000,00 0,00 1293626,00
2,07 19,20 1,67 0,78 0,27 30,40 2,47 1,26 0,00 58,12
57800,00 424250,00 125000,00 15125,00 5390,00 173367,00 0,00 28000,00 2115958,70 2944890,70
1,62 11,86 3,49 0,42 0,15 4,84 0,00 0,78 59,14 82,29
53720,00 331958,70 83333,30 16700,00 7245,00 632613,33 0,00 28000,00 1923569,20 3077139,53
1,63 10,05 2,52 0,50 0,22 19,16 0,00 0,85 58,27 93,21
4900,00 750000,00 25259,88 526666,67 1306826,55
0,19 29,39 0,99 20,64 51,21
12610,00 750000,00 39582,99 130000,00 932192,99
0,57 33,70 1,77 5,84 41,88
1000,00 0,00 19151,06 613500,00 633651,06
0,03 0,00 0,54 17,14 17,71
3300,00 0,00 45970,04 174800,00 224070,04
0,10 0,00 1,40 5,30 6,79
2552074,22 3775622,38 2468795,83 t hitung = 1,884 1,97
-
2225818,99 3435756,50 2503573,51
-
-
3301209,57 1275287,22 1051217,18
-
-
2,12
-
-
1,32
-
3578541,76 1926965,90 1293314,84 t hitung = 2,003 1,36
usahatani bukan milik (sakap) sempit berdasarkan ha sil uji statistik berbeda secara nyata pada taraf a = 0,05. Rendahnya pendapatan pada usahatani bukan milik (sakap) bukannya disebabkan karena rendahnya produksi, melainkan disebabkan tingginya biaya bagi hasil yang harus dibayarkan kepada pemilik lahan, seperti dapat dilihat pada Tabel 15 dimana biaya bagi hasil mencapai kurang lebih 60 persen dari total biaya usahatani.
7.5
Analisis Profitabilitas Usahatani Padi Sawah Jika dilihat dari hasil analisis R/C rasio atas biaya total pada usahatani
milik sempit yaitu sebesar 1,97 yang artinya bahwa setiap seratus rupiah biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dapat dibayar dengan penerimaan total sebesar Rp. 197,00. Sedangkan pada usahatani milik luas, rasio penerimaan dengan biaya total sebesar 2,12 yang artinya bahwa setiap seratus rupiah biaya yang dikeluarkan dapat dibayar dengan penerimaan total sebesar Rp. 212,00. Perbedaan nilai rasio penerimaan terhadap biaya total pada usahatani milik sempit dengan usahatani milik luas terbukti nyata menurut uji statistik pada taraf nyata a = 0,05. Artinya bahwa usahatani dengan lahan luas lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani sempit. Pada usahatani bukan milik (sakap) sempit, hasil analisis rasio penerimaan terhadap biaya total sebesar 1,36 yang artinya bahwa setiap seratus rupiah biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 136,00. Nilai rasio ini lebih besar dari pada yang diperoleh dari usahatani bukan milik (sakap) luas yaitu sebesar 1,32 yang artinya bahwa setiap biaya total
yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 132,00. Perbedaan nilai rasio penerimaan terhadap biaya total pada usahatani bukan milik (sakap), dimana nilai R/C pada usahatani bukan milik (sakap) luas, lebih kecil daripada nilai R/C rasio pada usahatani bukan milik (sakap) sempit terbukti berbeda nyata pada taraf nyata a = 0,05. Artinya bahwa usahatani bukan milik (sakap) sempit lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani bukan milik (sakap) luas. Tetapi pada usahatani milik dengan usahatani bukan milik (sakap), usahatani milik jauh lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan pada usahatani milik akan diperoleh pendapatan bersih secara penuh, berbeda pada usahatani bukan milik (sakap) yang harus membagi pendapatan yang diterima dengan pemilik lahan, sehingga keuntungan yang diperoleh pun menjadi lebih kecil. Tabel 16. Rasio Penerimaan dan Biaya Usahatani Padi Sawah MT II 2004/2005, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Nilai R/C Lahan < 1 hektar Lahan = 1 hektar t α=0,05 =1,833
Usahatani Milik 1,97 2,12 t hitung = 3,75
Usahatani Bukan Milik (Sakap) 1,36 1,32 t hitung = 15,748
Nilai R/C > 1 menunjukkan bahwa usahatani padi sawah yang dilakukan di lokasi penelitian masih tergolong layak secara finansial. Secara umum usahatani padi sawah di daerah penelitian dalam jangka pendek masih dapat memberikan insentif berupa keuntungan, sehingga dapat dikatakan bahwa petani di daerah penelitian masih menaruh perhatian terhadap usahatani tersebut. Tetapi pada dasarnya pendapatan yang dihasilkan masih bisa ditingkatkan dengan cara menekan biaya produksi, khususnya dalam penggunaan pupuk kimia dan tenaga kerja luar keluarga.
BAB VIII PEMBAHASAN DAN IMPLIKASINYA
8.1
Pengaruh Luas Lahan Garapan terhadap Optimalisasi Produksi dan Pendapatan Usahatani
Berdasarkan hasil konversi produksi padi sawah dalam satu hektar pada usahatani milik sempit ternyata memberikan hasil produksi yang lebih besar dibandingkan dengan usahatani milik luas. Hal ini mungkin disebabkan karena usahatani milik sempit lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang relatif lebih sungguh-sungguh dalam bekerja dibandingkan dengan tenaga kerja luar keluarga. Usahatani milik sempit umumnya memiliki kondisi permodalan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan usahatani milik luas. Di sisi lain, usahatani milik sempit memiliki akses terhadap input dan perbankan yang sangat terbatas dibandingkan dengan usahatani milik lahan luas. Dengan demikian, usahatani milik sempit biasanya lebih hemat dalam penggunaan faktor- faktor produksi lainnya seperti obat pemberantas hama (pestisida) dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja luar keluarga. Di samping lahan, faktor produksi tenaga kerja dalam keluarga merupakan asset yang dimiliki usahatani milik sempit,
sehingga
dalam
menjalankan
usahatani,
petani
akan
berusaha
memaksimumkan produktivitas tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini adalah salah satu upaya yang ditempuh pada usahatani milik sempit dalam meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan, mengingat keterbatasan kemampuan modal yang dimiliki.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, petani lahan sempit relatif bersungguh-sungguh dalam berproduksi. Karena dengan keterbatasan lahan yang dimiliki mereka harus mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Tetapi tingkat ketekunan mereka untuk aktif dalam kegiatan penyuluhan maupun pelatihan yang sebenarnya dapat menambah pengetahuan mereka akan teknologi relatif rendah jika dibandingkan dengan petani lahan luas karena kesibukan petani lahan sempit dalam berusahatani. Mereka umumnya berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja yang mereka miliki agar dapat lebih sedikit menggunakan tenaga kerja upahan. Hal ini membuat mereka sibuk dan lelah, sehingga sebagian dari mereka malas untuk datang ke kegiatan penyuluhan yang biasanya dilakukan pada pagi ataupun siang hari. Berbeda dengan petani lahan luas, karena pada umumnya petani lahan luas lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Sehingga tenaga/energi mereka tidak habis dicurahkan hanya untuk berusahatani di sawah, dampaknya mereka memiliki waktu yang cukup luang untuk menghadiri kegiatan penyuluhan. Menurut
hasil
penelitian
dilapang,
usahatani
milik
luas
lebih
menguntungkan meskipun jika dilihat dari hasil produksi rata-rata per hektar usahatani luas lebih rendah dibandingkan usahatani milik sempit. Akan tetapi, usahatani milik luas pada umumnya memiliki akses terhadap pasar yang luas dan bargaining position yang cukup tinggi. Sehingga, meskipun usahatani milik luas jika dilihat dari hasil produksi rata-rata per hektar lebih rendah, tetapi pendapatan bersih yang diterima dari usahatani milik luas lebih tinggi dari usahatani milik sempit.
Walaupun produksi rata-rata per hektar yang diperoleh dari usahatani milik sempit lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, namun berdasarkan hasil analisis pendapatan diperoleh bahwa pendapatan bersih usahatani milik luas lebih besar dibandingkan usahatani milik lahan sempit. Hal ini disebabkan biaya yang diperhitungkan pada usahatani milik sempit lebih besar dari pada usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Namun, usahatani sempit masih cukup menguntungkan untuk dilakukan. Hal ini terbukti dari nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu (lihat Sub Bab Analisis Profitabilitas Usahatani Padi Sawah pada Bab VII).
8.2
Pengaruh Status Kepemilikan Lahan terhadap Optimalisasi Produksi, Pendapatan dan Pemanfaatan Teknologi
Usahatani bukan milik (sakap) umumnya memiliki kondisi permodalan yang relatif lebih rendah dibandingkan usahatani milik. Di sisi lain, dalam usahatani bukan milik (sakap) ada perjanjian yang mengikat antara penyakap dan pemilik lahan, yang menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung oleh pemilik lahan hanya biaya benih, pupuk dan pengairan, sedangkan sisanya ditanggung sepenuhnya oleh petani penyakap. Dengan demikian, usahatani bukan milik (sakap) lebih hemat dalam penggunaan faktor- faktor produksi lainnya seperti obat pemberantas hama (pestisida) dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja luar keluarga. Faktor produksi tenaga kerja merupakan satu-satunya asset yang dimiliki oleh petani penyakap sehingga usahatani bukan milik (sakap) akan berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini merupakan salah satu usaha yang ditempuh dalam
usahatani bukan milik (sakap) dalam meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan, mengingat keterbatasan kemampuan modal yang dimiliki. Kondisi permodalan pada usahatani bukan milik (sakap) yang relatif lebih lemah dibandingkan usahatani milik tidak hanya mempengaruhi alokasi penggunaan faktor produksi tenaga kerja. Penggunaan faktor produksi dan pestisida kimia dan pupuk kimia pada usahatani bukan milik (sakap) juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan usahatani milik. Biaya sarana produksi pupuk dan obat pemberantas hama yang harus ditanggung oleh petani sakap, umumnya dipinjamkan terlebih dahulu oleh pemilik lahan. Hutang sarana produksi oleh petani sakap ini baru dibayar setelah panen tanpa dikenakan bunga. Walaupun mendapat pinjaman modal, petani sakap relatif lebih hemat dalam penggunaan pupuk kimia maupun obat pemberantas hama dibandingkan petani milik. Relatif lebih rendahnya tingkat produksi per hektar pada usahatani bukan milik (sakap) ini tidak hanya disebabkan karena lebih rendahnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia. Hal ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lebih rendahnya tingkat keterampilan dan tingkat pendidikan petani sakap dibandingkan dengan petani milik. Menurut hasil penelitian dilapangan, petani sakap relatif bersungguhsungguh dalam berproduksi. Tetapi tingkat ketekunan mereka untuk aktif dalam kegiatan penyuluhan maupun pelatihan yang sebenarnya dapat menambah pengetahuan mereka akan teknologi relatif lebih rendah dibandingkan dengan petani milik. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan kurangnya insentif yang diberikan oleh pemilik lahan bila petani sakap dapat meningkatkan produksi padi
dari lahan yang digarapnya. Dengan demikian, pada akhirnya dapat mengurangi motivasi mereka untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, relatif lebih rendahnya tingkat ketekunan mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut disebabkan karena kesibukan petani sakap dalam berusahatani. Mereka umumnya berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja dalam keluarga yang mereka miliki agar dapat lebih sedikit menggunakan tenaga kerja upahan. Hal ini membuat mereka sibuk dan lelah, sehingga sebagian dari mereka malas untuk datang ke kegiatan penyuluhan yang biasanya dilakukan pada pagi ataupun siang hari. Menurut hasil penelitian dilapang, sistem bagi hasil (maro) di desa karacak ini lebih menguntungkan pihak pemilik lahan dibandingkan bagi petani sakap. Dari hasil analisis biaya usahatani (lihat Sub Bab Biaya Usahatani pada Bab Hasil dan Pembahasan) dapat diketahui bahwa sekitar 80 persen dari total biaya produksi, ternyata harus ditanggung oleh petani sakap. Di sisi lain, petani sakap berada pada posisi lemah. Kedudukannya sebagai penyakap tergantung kebaikan hati pemilik lahan. Bila pemilik lahan tidak mau menunjuknya lagi sebagai petani yang menggarap lahannya, petani sakap tidak mempunyai hak untuk tetap bertahan (tenancy security). Petani sakap tidak mempunyai hak untuk menentukan letak lahan maupun luas lahan yang akan digarapnya. Resiko kegagalan ditanggung bersama. Total biaya yang harus dikeluarkan penyakap relatif lebih besar dibandingkan pemilik lahan, namun hasil panen yang diperoleh harus dibagi dua sama besar dengan pemilik lahan. Walaupun menurut hasil analisis pendapatan usahatani, sistem bagi hasil di Desa Karacak cukup menguntungkan pemilik lahan. Tetapi motivasi pemilik
lahan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain (yang biasanya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan dapat dipercaya) bukan dilatarbelakangi tujuan yang komersil melainkan tujuan untuk membantu orang lain dengan memberikan sumber mata pencaharian. Hal ini diperkuat dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa pemilik lahan tidak memberikan bunga atas modal yang dipinjamkan kepada penyakap. Selain itu, pemilik lahan tidak menargetkan suatu tingkat produksi yang harus dicapai. Lahan yang disakapkan kepada petani penyakap tersebut tidak sebatas hanya musim kemarau saja, yaitu disaat produksi relatif lebih rendah, tetapi juga pada musim penghujan. Seluruh tindakan ini sebenarnya disatu sisi cukup memberikan kemudahan bagi petani sakap, tetapi disisi lain tindakan pemilik lahan ini tidak dapat memacu petani sakap untuk lebih termotivasi dalam meningkatkan produksi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani sakap berusaha untuk melakukan penghematan dalam penggunaan faktor produksi untuk menekan biaya produksi dan melakukan produksi dengan sungguh-sungguh. Selain itu, petani sakap berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja sebagai satu-satunya asset yang dimiliki olehnya. Hal yang masih disayangkan adalah tindakan tersebut belum diikuti dengan pemanfaatan teknologi secara tepat dan benar sehingga tingkat produksi yang dicapainya tidak maksimal bahkan relatif lebih rendah dibandingkan dengan petani milik. Tingkat produksi per hektar yang lebih rendah menyebabkan penerimaan yang diperoleh dari usahatani bukan milik (sakap) pun menjadi lebih rendah dibandingkan penerimaan yang diperoleh dari usahatani milik. Ditambah lagi pada usahatani bukan milik (sakap), petani harus membagi dua sama besar hasil
panennya kepada pemilik lahan. Akibatnya pendapatan bersih yang diterima dari usahatani bukan milik (sakap) jauh lebih rendah dibandingkan usahatani milik. Bagi petani di Desa Karacak, yang terpenting dari usahatani mereka adalah modal yang mereka keluarkan untuk usahatani dapat kembali lagi. Meskipun usahatani padi sawah tersebut hanya bisa mengembalikan modal, mereka akan tetap berusahatani padi dengan alasan daripada lahan didiamkan begitu saja. Selain itu pula karena alasan mereka tidak memiliki keterampilan lain disamping berusahatani padi sawah. Berdasarkan hasil analisis R/C rasio menunjukkan bahwa usahatani bukan milik (sakap) cukup menguntungkan, yang dibuktikan dengan nilai R/C rasio lebih besar dari satu (lihat Sub Bab Analisis Profitabilitas Usahatani Padi Sawah pada Bab VII).
8.3
Kendala-Kendala Usahatani Padi Sawah Secara umum, perkembangan usahatani padi sawah di Desa Karacak
dihadapkan pada beberapa kendala, seperti kendala teknis, kendala finansial dan kendala sumberdaya manusia. Kendala teknis pertanian ya ng paling dominan adalah pengairan. Dimana pengairan di Desa Karacak masih bersifat sederhana dan tidak beraturan pada setiap musim tanam. Sehingga hal ini mempengaruhi pola tanam para petani di Desa Karacak, yaitu pola tanam yang tidak serempak. Ketidakseragaman dalam pola tanam dalam berusahatani padi di Desa karacak, mengakibatkan petani lebih beresiko terserang hama, khususnya hama tikus. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan produksi padi di Desa Karacak
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang dapat mencapai enam ton per hektar. Kendala finansial berkaitan dengan pembiayaan usahatani. Biaya produksi yang cenderung kian meningkat membuat petani padi sawah semakin mengalami kesulitan dalam usaha menerapkan anjuran dan dosis penggunaan input yang diberikan pemerintah agar produksi yang dihasilkan optimal. Kesulitan ini disebabkan petani padi sawah di Desa Karacak pada umumnya memiliki modal yang terbatas. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya koperasi. Hal ini memaksa petani untuk mencari sumber dana pinjaman pada petani kaya ataupun dengan cara membeli faktor produksi secara kredit. Selain itu tidak adanya lembaga yang mendukung permodalan, menyebabkan petani kurang dapat menerapkan teknologi yang berimbang sesuai anjuran pemerintah. Kendala lainnya adalah relatif rendahnya sumberdaya manusia para petani di daerah setempat. Hal ini mempengaruhi keragaan usahatani padi yang diterapkan dan mengakibatkan sulitnya mengadaptasikan inovasi- inovasi baru terhadap sistem pertanian guna perbaikan kualitas dan kuantitas produksi serta pertanian yang berwawasan lingkungan.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis pendapatan dan profitabilitas usahatani padi
sawah di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1)
Usahatani milik jauh lebih menguntungkan dibandingkan usahatani bukan milik (sakap). Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio pada usahatani milik yang lebih besar dari pada usahatani bukan milik (sakap). Kecilnya keuntungan yang diterima dari usahatani bukan milik (sakap) disebabkan karena petani penyakap harus membayar biaya bagi hasil.
(2)
Keuntungan dari usahatani milik luas lebih besar dari pada usahatani milik sempit, yang dibuktikan dengan nilai R/C rasio usahatani milik luas lebih besar dari pada usahatani milik sempit dan pendapatan bersih yang lebih tinggi.
(3)
Usahatani padi sawah bukan milik (sakap) sempit lebih efisien dibandingkan usahatani bukan milik (sakap) luas. Hal ini dapat dilihat dari nilai rasio R/C yang diperoleh pada usahatani bukan milik (sakap) sempit lebih besar dibandingkan dengan nilai R/C rasio pada usahatani bukan milik (sakap) luas.
(4)
Berdasarkan nilai R/C pada seluruh usahatani baik dengan status kepemilikan lahan milik maupun bukan milik (sakap) dan dengan garapan luas dan sempit menunjukkan bahwa nilai R/C = 1. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah masih menguntungkan dan memberikan
insentif bagi petani padi sawah di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
9.2
Saran
(1)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa usahatani milik luas lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani milik sempit. Oleh karena tu, diharapkan pemerintah khususnya pemerintah daerah mulai meninjau dan
menegaskan
kembali
mengenai
pelaksanaan
Undang-undang
landreform. (2)
Usahatani bukan milik (sakap) yang dilaksanakan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor cukup menguntungkan. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah mulai memperhatikan kesejahteraan (yang dilihat dari total pendapatan bersih usahatani) petani bukan milik (sakap) dengan mengontrol pelaksanaan dari Undang-undang Bagi Hasil, khususnya dari proporsi biaya yang harus ditanggung oleh petani sakap dan pemilik lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko, Agus. 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya. Jakarta. Arief, Sritua. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI-Press. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2004. Jakarta Cahyono, Bambang Tri. 1983. Ekonomi Pertanahan. Liberty. Yogyakarta. Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Bumi Aksara. Jakarta. Dewi, Ani Rahayuni Ratna. 2002. Pengaruh Irigasi Desa Terhadap Usahatani, Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Desa Padabeunghar, Kecamatan Jampang Tengah, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Dewi, Indah Kusuma. 1996. Dampak Penggunaan Pupuk Urea terhadap Fungsi Produksi Padi Sawah (Kasus di Desa Cibatok II Cibungbulang Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Hartono, Rudi. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani Markisa dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan). Skripsi. Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Mosher. A.T. 1965. Menggerakkan dan Membangun Pertanian (Syarat-syarat Pokok Pembagunan dan Modernisasi). C. V. Yasaguna. Jakarta. Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Nugroho, Andreas Priyo. 2001. Analisis Pendapatan Usahatani Apel Malang (Studi Kasus: Desa Bumiaji dan Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kotif Batu, Kabupaten Malang, Jatim). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Paranoan, Yohanis Meda. 1990. Analisis Efisiensi Ekonomi pada Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Rantepao Kabupaten Tana Toraja. Tesis. Fakultas Pascasarjana. KPK Institut Pertanian Bogor-Universitas Hasanudin. Perhepi, 1983. Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta.
Porajouw, Oktavianus. 1990. Status Penguasaan Lahan dan Alokasi Sumberdaya pada Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian BogorUniversitas Sam Ratulangi. Setiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian (Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani). Institut for Global Justice (IGJ). Jakarta. Siregar, Hadrian. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. PT Sastra Hudaya. Soeharjo, A. dan Patong. 1977. Sendi-Sendi Pokok Usahatani. Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, A. Soeharjo, John L. Dillon dan J. Brian Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Perkembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta. Soekartawi, A. 1993. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Rajawali Pers. Jakarta. Sumiati, Iin. 2003. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Petani SLPHT dan Non SLPHT di Desa Cisalak, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Suryana, Achmad dan Sudi Mardianto. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI). Jakarta. Susilowati, M. H. Dewi. 1992. Penguasaan Lahan dalam Hubungannya dengan Produktivitas Lahan Pertanian (Palawija) di Kabuapten Minahasa, Propinsi Sulawesi utara. Tesis. Fakultas Pascasarjana. KPK Institut Pertanian Bogor-Universitas Sam Ratulangi. Syafiuddin, La Ode dkk. 1986. Keadaan dan Masalah Petani Berlahan Sempit. Bagian Analisa Statistik Ekonomi, Biro Pusat Statistik. Tjondronegoro, S. M. P. dan Gunawan Wiradi.1984. Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). PT Gramedia. Jakarta. Wijaya, Andri. 2002. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.