HASIL DAN PEMBAHASAN Informasi Tanaman dan Kondisi Lingkungan Tanaman Jagung yang digunakan adalah tanaman jagung varietas Pertiwi-3 diproduksi oleh PT. Agri Makmur Pertiwi. Tanaman Jagung yang digunakan pada penelitian ini diolah menggunakan pupuk NPK dengan luas lahan tanam 64 x 27 cm. Lokasi tanam di kebun jagung Cikarawang. Tanaman Jagung dipanen pada umur 60, 70, 80 dan 90 hari. Pemanenan ke empat umur panen jatuh pada bulan Desember. Tabel 4 memperlihatkan data iklim lokasi tempat tanaman jagung ditanam dari bulan di mana tanaman di tanam hingga bulan panen. Temperatur rata-rata memperlihatkan besaran yang normal yaitu pada kisaran 25-26 ˚C dengan nilai besaran rata-rata kelembaban yang relatif optimal. Temperatur optimal untuk jagung dalam proses perkembangannya adalah pada kisaran 23-27 ˚C dan besaran kelembaban rata-rata 80% (Departemen Pertanian, 2011). Tanaman jagung ditanam dan dipanen pada saat musim hujan, hal ini dapat dilihat dari besaran curah hujan yang dialami pada bulan Oktober hingga Desember. Curah hujan optimal pada pertumbuhan biji jagung adalah 85-200 mm, angka ini jauh lebih rendah dari besaran curah hujan yang dialami. Jagung merupakan tanaman yang mudah beradaptasi pada kondisi tropis maupun subtropis akan tetapi tanaman ini sangat membutuhkan sinar matahari. Sinar matahari yang kurang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan biji pada tanaman jagung penelitian (Departemen Pertanian, 2011). Tanaman jagung lebih optimal ditanam pada akhir musim hujan menjelang musim kemarau. Tabel 4. Data Iklim Lokasi Tanam Tanaman Jagung
2011
Temperatur Rata-Rata (˚C) 26,30
Kelembaban Rata-rata (%) 75,00
Curah Hujan (mm) 257,00
Nop
2011
25,30
80,00
458,00
Des
2011
26,10
84,00
345,00
Jumlah
77,70
264,90
1060,00
Rata-rata
25,85
88,30
353,34
Bulan
Tahun
Okt
Keterangan : Data diambil dari BMKG, Balai Besar Wilayah II, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor.
26
Kondisi Awal Bahan Silase tanaman jagung yang digunakan pada penelitian ini memanfaatkan seluruh bagian tanaman. Bagian-bagian tersebut meliputi daun, jagung, batang, klobot dan tongkol. Data pada Tabel 5 memperlihatkan proporsi bagian-bagian dari tanaman jagung. Data menunjukkan hasil yang bervariasi untuk masing-masing umur. Proporsi daun tertinggi dihasilkan pada SJ60 yaitu 21,66% sedangkan untuk biji, data menunjukkan pola bahwa semakin tua umur panen, produksi biji jagung semakin tinggi di mana jumlah tertinggi terdapat pada SJ90 sebesar 14,22%. Proporsi batang terbanyak terdapat pada SJ60 sebesar 54,25% sedangkan klobot dan tongkol tertinggi dihasilkan pada SJ70. Hasil pengamatan sejalan dengan pernyataan McCutcheon dan Samples (2002) di mana batang merupakan proporsi terbanyak pada tanaman jagung. Tabel 5. Hasil Perhitungan Proporsi Botani Tanaman Jagung Proporsi Botani (% BS)*
Umur Tanaman
Daun
Biji
Batang
Klobot
Tongkol
60 hari
21,66
-
54,25
18,22
5,87
70 hari
18,03
4,92
30,33
27,38
19,34
80 hari
19,31
7,23
39,52
20,46
13,48
90 hari
18,74
14,22
36,57
18,08
12,39
Keterangan : (*) berdasarkan perhitungan.
Data selanjutnya yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan hasil pengukuran kadar bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan karbohidrat larut air (WSC) bahan sebelum ensilasi. Hasil pengukuran BK awal memperlihatkan bahwa semakin tua kadar BK tanaman semakin tinggi. Bal et al. (2000) dan Darby dan lauer (2002) menyatakan bahwa BK hijauan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatknya umur tanaman tersebut. Kandungan BK tanaman jagung yang digunakan pada penelitian tergolong rendah. Rendahnya kandungan BK dapat dihubungkan dengan umur dan tingkat kematangan tanaman. Umur jagung yang digunakan pada penelitian ini merupakan tanaman jagung pada fase belum masak (Silking/ R1 dan Blister/ R2) (Weiss, 2012) di mana kadar air mencapai >80% (Johnson dan McClure, 1968; Chase, 2011)
27
Hasil pengukuran kadar protein kasar (PK) menunjukkan SJ60 memiliki kadar protein paling tinggi dibandingkan SJ70, SJ80 dan SJ90 yaitu sebesar 16,75% ± 1,19%. Besaran kadar PK pada tanaman jagung berhubungan dengan fase pertumbuhan tanaman. Tanaman jagung umur 60 hari merupakan akhir fase vegetatif di mana produksi hijauan maksimal dan merupakan awal fase reproduksi di mana kandungan protein kasar lebih tinggi untuk pertumbuhan bagian vegetatif dan belum terakumulasinya pati akibat belum munculnya biji jagung. Tabel 6. Hasil Pengukuran Komposisi Kimia Sebelum Ensilasi Perlakuan
Peubah BK (%)*
PK (%)*
WSC (%)*
SRK
45,28 ± 0,06a
19,52 ± 1,69a
18,31 ± 0,29a
SJ60
14,30 ± 0,05e
16,75 ± 1,19b
11,85 ± 0,13c
SJ70
17,99 ± 0,15d
13,72 ± 0,89c
16,46 ± 0,63b
SJ80
21,09 ± 0,04c
14,74 ± 0,01bc
12,11 ± 0,88c
SJ90
25,41 ± 0,04b
10,71 ± 0,64d
15,65 ± 0,00b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*) Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Hasil pengukuran menunjukkan SJ60 dan SJ80 menghasilkan WSC lebih rendah dibandingkan SJ70 dan SJ90. Nilai kandungan WSC bertolak belakang dengan kandungan PK. Hasil pengukuran kadar WSC tanaman jagung berkisar pada 11%-16%. Kadar WSC tanaman jagung yang digunakan lebih tinggi dari nilai kandungan WSC hijauan yang berkualitas baik untuk pembuatan silase yaitu 3-5% (McDonald et al., 1991) sehingga diharapkan dapat mempercepat proses fermentasi aerob dan penurunan pH sehingga bahan cepat terawetkan. Karakteristik Fisik Silase Karakteristik fisik silase yang dihasilkan pada semua perlakuan secara umum tidak menunjukkan hasil yang berbeda (Tabel 7). Aroma yang teramati setelah kelima silase dibuka adalah asam segar. Silase beraroma asam menunjukkan proses fermentasi berjalan dengan baik (Elfrink et al., 2000). Tekstur silase dari semua silase menunjukkan tekstur yang lepas tidak menggumpal.
28
Pengamatan warna pada silase menghasilkan warna yang terbentuk yaitu warna hijau yang lebih gelap dari warna asal. Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa warna pada silase menggambarkan hasil fermentasi selama proses ensilasi dan silase yang berkualitas baik adalah silase yang berwarna hampir sama dengan warna bahan sebelum ensilasi. Warna gelap pada silase menunjukkan ciri kualitas silase yang rendah (Despal et al., 2011). Tabel 7. Hasil Pengamatan Deskriptif karakteristik Fisik Silase Peubah Perlakuan
Bagian Berjamur
Aroma
Tekstur
Warna
SRK
Asam
Lepas
Hijau
1,1
SJ60
Asam
Lepas
Hijau gelap
3,27
SJ70
Asam
Lepas
Hijau gelap
6,97
SJ80
Asam
Lepas
Hijau gelap
14,44
SJ90
Asam
Lepas
Hijau gelap
12,74
(%BS)*
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*) Berdasarkan pada perhitungan.
Perhitungan persentase bagian yang berjamur menunjukkan silase jagung pada umur panen lebih tua berjamur lebih banyak dibandingkan umur panen muda dan kontrol. Persentase optimum bagian berjamur pada silase berkualitas baik adalah 10% (Davies, 2007). Penyebab paling utama silase terkontaminasi jamur adalah suplai oksigen yang maksimal. Jamur tersebut akan tumbuh pada kondisi aerob dan tumbuh dipermukaan silase (McDonald et al., 2002). Pembatasan oksigen yang kurang optimal dipicu oleh ukuran partikel dari bahan. Tanaman jagung pada umur panen tua lebih keras dibandingkan panen muda sehingga ukuran partikel yang terlampau besar akan menyulitkan dalam pengepakan dan pencacahan. Pencacahan pada bahan dapat mengubah pola fermentasi. Pencacahan mengubah laju kerusakan jaringan tanaman sekaligus memperbaiki proses fermentasi melalui pengepakan yang lebih mudah dan teratur, sehingga lebih mudah dipadatkan. Pemadatan optimal akan memperluas permukaan area kontak antara substrat dan
29
mikroorganisme (Church, 1991) sehingga bakteri asam laktat dapat lebih aktif dalam memproduksi asam laktat dan konsentrasi asam laktat meningkat (McDonald et al., 1991). Akhirnya penurunan pH optimal dan pengawetan pakan lebih cepat tercapai. Karakteristik Fermentatif Silase Nilai pH silase Hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan silase yang dipanen pada umur tua (SJ80 dan SJ90) lebih asam dibandingkan perlakuan lainnya. Kisaran nilai pH yang dihasilkan pada silase tanaman jagung penelitian berada dalam kisaran yaitu 3,7-3,9. Silase tanaman jagung yang berkualitas baik memiliki kisaran pH 3,8-4,2 (Haustein, 2003; Saun dan Heinrich, 2008) Perbedaan pH yang terjadi pada tiap perlakuan berhubungan dengan ketersediaan karbohidrat larut air pada bahan. Cherney et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antar karbohidrat larut air dan pH. Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri asam laktat sebagai substrat dalam memproduksi asam hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 2011). Tabel 8. Hasil Pengukuran pH, BK, VFA, dan Kehilangan BK Perlakuan
Peubah pH*
BK (%)*
VFA (mM)*
Kehilangan BK (%)
SRK
4,53 ± 0,09a
44,46 ± 0,01a
57,94 ± 5,90a
3,22 ± 0,03a
SJ60
3,86 ± 0,03b
13,77 ± 0,58e
34,08 ± 5,90b
1,47 ± 0,42b
SJ70
3,79 ± 0,03bc
16,31 ± 0,70d
30,67 ± 10,22b
1,72 ± 0,68b
SJ80
3,75 ± 0,04c
19,83 ± 0,75c
30,67 ± 10,22b
1,49 ± 0,33b
SJ90
3,76 ± 0,01c
23,76 ± 0,25b
34,08 ± 11,81b
1,65 ± 0,25b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*) Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Derajat keasaman atau pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri merugikan dan juga menghentikan aktivitas enzim tanaman yang menyebabkan perombakan protein. Saat kondisi asam, asam laktat dan asam asetat lebih mampu membatasi pertumbuhan mikroorganisme pembentuk jamur (Muck,
30
2011). Silase berkadar air tinggi apabila tidak dikontrol dengan penurunan pH yang optimal maka akan mengalami perombakan protein yang cukup besar akibat tingginya aktivitas enzim proteolisis dan tingginya kontaminasi jamur hingga menyebabkan kebusukan (Saun dan Heinrichs, 2008; Muck, 2011) Kandungan BK, VFA, dan Kehilangan BK Kandungan bahan kering merupakan aspek penting penentuan kualitas silase. Hasil pengukuran kadar BK pada Tabel 8 menunjukkan tanaman jagung yang dipanen pada umur tua lebih tinggi dibandingkan dengan umur panen muda. Pola data kandungan bahan kering setelah esilasi serupa dengan kadar bahan kering sebelum ensilasi. Kandungan bahan kering silase tanaman jagung penelitian tergolong sangat rendah dibandingkan kisaran optimum (Ohmomo et al., 2002) . Rendahnya nilai kandungan bahan kering berkaitan dengan kandungan bahan kering awal, tingkat kematangan tanaman, dan kehilangan yang terjadi pada saat ensilasi maupun pada saat pengeringan bahan. Umur panen tanaman jagung penelitian merupakan diduga masih dalam fase reproduksi awal di mana kandungan bahan kering silase <20% (Johnson dan McClure, 1968). Keterlambatan pertumbuhan tanaman dapat diakibatkan oleh varietas benih, pengolahan, keadaan tanah dan iklim. Pengeringan silase pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ovendrying yang banyak menyebabkan penguapan senyawa-senyawa volatil (Hood et al., 1971) akibatnya kehilangan BK meningkat dan akhirnya mempengaruhi kadar BK (Despal et al., 2011). Silase identik dengan terjadinya kehilangan kandungan nutrisi salah satunya adalah kehilangan BK dan energi. Kehilangan ini dapat terjadi dari mulai pemanenan hingga pemberian silase pada ternak. Asam lemak terbang (VFA) merupakan hasil dari penguraian bahan organik selama ensilasi. Konsentrasi VFA silase yang dihasilkan berdasarkan analisis statistik menunjukkan silase kontrol nyata lebih tinggi dibandingkan ke empat silase tanaman jagung (P<0,05) sedangkan ke empat silase tanaman jagung tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Variasi konsentrasi total VFA silase secara umum dipengaruhi beberapa faktor yaitu jenis tanaman, kadar bahan kering pada saat panen, populasi bakteri, kehilangan selama panen maupun saat proses ensilasi, cuaca pada saat panen, kandungan karbohidrat bahan (Saun dan Heinrichs, 31
2008). Silase yang berkualitas baik adalah silase dengan dominasi asam laktat (>60%) pada komposisi total asam lemak terbang (VFA) silase. Besarnya kehilangan bahan kering akan menurunkan nilai nutrisi dari silase tersebut. Silase tanaman jagung pada penelitian ini mengalami kehilangan bahan kering pada kisaran 1,0%-1,8%, angka ini lebih rendah dari silase tanaman jagung Kim dan Adesogan (2005) yang mengalami kehilangan BK lebih tinggi (13%). Despal et al. (2011) menyatakan bahwa kehilangan BK masih dapat dikatakan normal pada kisaran <6%. Silase berkadar air tinggi akan lebih berpotensi mengalami kehilangan bahan kering yang tinggi dalam bentuk gas. Kondisi ini menurunkan kualitas dan meningkatkan aktivitas fermentasi yang tidak diinginkan akibat meningkatnya aktivitas Clostridium dan bakteri heterolaktat memproduksi CO2, etanol dan panas (Nussio, 2005) dan juga menyebabkan tingginya kehilangan energi (McDonald et al., 1991). Kondisi aerob menyebabkan bakteri lebih banyak memproduksi CO2, etanol dan panas dibandingkan memfermentasikan asam. Kondisi aerob juga terjadi sebagai akibat dari penanganan terhadap silase pada saat pemasukan bahan yang buruk di mana silase terpapar oksigen terlalu banyak dalam jangka waktu yang cukup lama (Muck, 2011) Bahan pakan yang mengalami proses fermentasi akan mengalami banyak kehilangan senyawa volatil yang mengandung energi. Peristiwa ini yang menyebabkan pengukuran bahan kering pakan fermentasi sebaiknya menggunakan faktor koreksi untuk akurasi nilai kandungan bahan kering silase (Weissbach et al., 2008). Hasil perhitungan bahan kering setelah ensilasi menggunakan faktor koreksi sebesar 1,056 untuk silase tanaman jagung dan 1,063 untuk silase ransum komplit (Fox dan Fenderson, 1978) disajikan pada Tabel 9. Kandungan bahan kering koreksi yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan BK tidak terkoreksi namun angka yang dihasilkan lebih besar. Hasil perhitungan kehilangan bahan kering setelah koreksi menunjukkan tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05).
32
Tabel 9. Hasil Perhitungan Kandungan dan Kehilangan BK Koreksi Perlakuan
Peubah BK Koreksi (%)
Kehilangan BK Koreksi (%)
SRK1
44,70 ± 0,04a
0,57 ± 0,04
SJ602
13,55 ± 0,45e
0,74 ± 0,45
2
SJ70
17,19 ± 0,72
d
0,81 ± 0,72
SJ802
20,70 ± 1,41c
0,39 ± 0,34
SJ902
25,09 ± 0,27b
0,32 ± 0,27
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. 1faktor koreksi 1,063; 2Faktor koreksi 1,056. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Kandungan PK, N-NH3, dan Perombakan PK Hasil pengukuran kadar protein kasar (N
6,25) pada perlakuan silase
tanaman jagung beda umur menunjukkan pola yang sama dengan kandungan protein kasar tanaman jagung sebelum ensilasi (Tabel 10). Berdasarkan analisis sidak ragam silase tanaman jagung umur 60, 70 dan 80 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dan nyata lebih tinggi dibandingkan umur 90 hari (P<0,05). Besarnya kandungan protein silase dipengaruhi oleh besarnya kandungan protein bahan dan juga perombakan protein kasar. Protein bahan akan mengalami penguraian pada saat ensilasi di mana protein akan dirombak menjadi asam amino dan polipeptida, yang kemudian diurai lebih lanjut menjadi ammonia nitrogen, VFA dan CO2. Kondisi ini akan terjadi secara intensif apabila suplai oksigen mencukupi. Perombakan protein menjadi ammonia nitrogen (N-NH3) pada silase tanaman jagung penelitian ini berkisar antara 1,3-1,7 mM. Silase yang berkualitas baik adalah silase yang menghasilkan ammonia nitrogen sebesar <50 g/kg total N (Zamudio et al., 2008) atau perombakan protein sebesar <4,1% (Despal et al., 2011). Silase tanaman jagung pada penelitian ini menghasilkan ammonia nitrogen yang rendah yaitu <2 mM mengindikasikan silase berkualitas baik namun karena kandungan PK awal yang rendah, perombakan protein yang dialami jagung tersebut menjadi lebih tinggi secara proporsi yaitu berkisar antara 4,8%-6,0% dari kadar protein bahan.
33
Tabel 10. Hasil Pengukuran PK, N-NH3, dan Perombakan PK Peubah Perlakuan PK (%)*
N-NH₃ (mM)*
Perombakan PK (%)
SRK
19,23 ± 0,24a
2,99 ± 0,12a
3,01 ± 0,17b
SJ60
14,78 ± 1,20b
1,41 ± 0,12b
5,90 ± 0,74a
SJ70
13,10 ± 1,08b
1,55 ± 0,21b
5,67 ± 1,24a
SJ80
13,66 ± 1,41b
1,59 ± 0,05b
4,89 ± 0,61a
SJ90
10,61 ± 0,11c
1,58 ± 0,09b
5,75 ± 0,31a
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*) Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Water Soluble Carbohydrate (WSC) Karbohidrat terlarut air (WSC) merupakan substrat bagi BAL selama ensilasi untuk meningkatkan proses pengawetan (Davies et al., 2005). Data hasil pengukuran kandungan karbohidrat terlarut air disajikan pada Tabel 11. Residual WSC yang dihasilkan pada silase tanaman jagung penelitian secara numerik memperlihatkan kecenderungan pola semakin menurun pada umur panen yang meningkat. Residual WSC pada silase tanaman jagung umur panen 60 hari cenderung lebih tinggi dibandingkan silase pada umur panen lainnya dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan SRK. Residual WSC SRK lebih tinggi dibandingkan dengan SJ70, SJ80 dan SJ90. Didasarkan pada besarnya nilai kandungan WSC awal bahan dan setelah ensilasi, maka banyaknya kehilangan WSC dapat dihitung. Hasil perhitungan menunjukkan silase tanaman jagung SJ70 dan SJ90 dengan besar kehilangan berturut-turut yaitu 11,87% ± 0,28% dan 11,76% ± 0,85% mengalami kehilangan lebih besar dari umur lainnya. Berdasarkan
besarnya
nilai
kehilangan
WSC
dapat
diduga
BAL
memanfaatkan karbohidrat terlarut lebih optimal dibandingkan umur lainnya. Silase tanaman jagung umur 80 hari meskipun mengalami kehilangan WSC lebih sedikit, namun hasil pengukuran menunjukkan kualitas fermentatif yang dihasilkan cukup optimal.
34
Tabel 11. Hasil Pengukuran Residual & Kehilangan WSC dan NF Perlakuan
Peubah Residual WSC (%BK)*
Kehilangan WSC (%BK)
Nilai Fleigh
SRK
6,11 ± 1,31a
11,78 ± 0,29a
109,68 ± 7,03a
SJ60
4,98 ± 0,29ab
6,81 ± 0,07b
74,66 ± 0,40c
SJ70
4,68 ± 0,07b
11,87 ± 0,28a
80,72 ± 0,50c
SJ80
4,23 ± 0,28b
7,88 ± 0,29b
90,09 ± 2,56b
SJ90
3,91 ± 0,85b
11,76 ± 0,85a
95,13 ± 1,20b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*) Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan.
Nilai pH, kehilangan BK dan perombakan protein kasar SJ80 cenderung sama dengan SJ70 dan SJ90. Kondisi ini diduga bahwa kehilangan WSC tidak hanya karena pemanfaatannya yang optimal oleh BAL (Chen dan Weinberg, 2008) namun juga karena kehilangan akibat fermentasi aerob. Kehilangan WSC selama ensilasi disebabkan tidak hanya akibat aktivitas bakteri namun juga akibat respirasi oleh enzim tanaman. Aksi respirasi dari enzim tanaman ini didukung dengan ketersediaan oksigen yang akan memperpanjang proses fermentasi aerob sehingga menyebabkan banyak kehilangan akibatnya kualitas fermentasi menurun. Kehilangan WSC pada SRK meskipun cukup tinggi, namun tidak mampu menurunkan pH ke arah optimal. Kondisi tersebut diduga oleh tingginya PK ransum yang menyebabkan kapasitas penyangga silase menjadi tinggi. Kualitas Silase Berdasarkan Nilai Fleigh Nilai Fleigh merupakan perhitungan yang digunakan untuk mengukur kualitas fermentasi silase berdasarkan nilai kandungan bahan kering dan pH silase. Nilai Fleigh yang dihasilkan pada silase penelitian ini menunjukkan SRK, SJ80, dan SJ90 menghasilkan nilai Fleigh >85 sehingga dikategorikan sebagai silase yang berkualitas sangat baik sedangkan SJ60 dan SJ70 menghasilkan nilai Fleigh yang masuk pada kisaran 60-80 sehingga dikategorikan sebagai silase berkualitas baik (Ozturk, 2005).
35
Karakteristik Utilitas Silase Fermentabilitas Pakan di dalam Rumen NH3 Rumen. Amonia (NH3) merupakan hasil fermentasi protein di dalam rumen yang akan digunakan mikroba rumen sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba (McDonald et al., 2002) yang akan menentukan status nutrisi pada ternak (Uhi et al., 2006). Protein pakan akan dihidrolisis oleh enzim proteolisis menjadi asam amino dan peptid. Asam amino kemudian akan diurai menjadi ammonia, asam organik (VFA) dan CO2. Penguraian protein didalam rumen dibutuhkan dalam jumlah terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan bakteri akan nitrogen. Kadar NH3 rumen yang dihasilkan silase tanaman jagung pada Tabel 12 menunjukkan secara statistik SJ60 dan SJ70 menghasilkan ammonia yang nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan SJ80 dan SJ90 dan tidak berbeda nyata dengan silase kontrol (P>0,05). Konsentrasi ammonia di dalam rumen harus optimal untuk memaksimalkan sintesis protein mikroba, memasok sebagian sumber N mikroba dan mempengaruhi fermentasi asam organik. Tinggi atau rendahnya konsentrasi NH3 didalam rumen disebabkan oleh besarnya kandungan protein pakan (Despal et al., 2011), tingkat perombakan protein dan lamanya pakan difermentasi di dalam rumen (Uhi et al., 2006). Besarnya NH3 rumen yang dihasilkan silase tanaman jagung penelitian berada pada kisaran ammonia optimum dalam rumen menurut Sutardi (1977) yaitu 412 mM dan McDonald et al. (2002) yaitu 6-21 mM. VFA rumen. Volatile fatty acid (VFA) atau asam lemak terbang merupakan hasil fermentabilitas bahan organik untuk digunakan mikroba rumen sebagai sumber energi (Orskov dan Ryle, 1990). Konsentrasi VFA rumen yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 154-168 mM berada pada kisaran optimum silase berkualitas baik menurut Suryapratama (1999) yaitu 80-160 mM. Tingginya kadar VFA yang dihasilkan menggambarkan sedikitnya bahan yang mudah larut difermentasi oleh BAL selama ensilasi dan mudahnya pakan difermentasi dalam rumen. Konsentrasi VFA rumen silase yang dihasilkan lebih tinggi dari silase daun rami beraditif sumber karbohidrat yang dilaporkan Despal et al. (2011) dan Wang et 36
al. (2005) yaitu 127-164 mM dan 93,4-99,6 mM. Berdasarkan analisis sidik ragam, konsentrasi VFA dalam rumen tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan merupakan salah satu indikator dalam evaluasi bahan pakan dan mengindikasikan
ketersediaan nutrien
yang terkandung bagi
ternak
yang
mengkonsumsinya. Analisis sidik ragam pada pengukuran kecernaan silase tanaman jagung pada penelitian (Tabel 12) menunjukkan kecernaan BK silase tanaman jagung umur 90 hari nyata lebih tinggi dibandingkan umur yang lebih muda (P<0,05) namun nyata lebih rendah dibandingkan kontrol. Nilai kecernaan bahan kering silase tanaman jagung yang dihasilkan menunjukkan pola yang positif antara umur panen dan kecernaan bahan kering di mana semakin meningkatnya umur panen kecernaan semakin tinggi. Kondisi tersebut diduga berhubungan dengan meningkatnya proporsi biji jagung dan menurunnya proporsi serat (batang, tongkol, klobot dan daun). Kecernaan bahan kering yang dihasilkan pada silase tanaman jagung penelitian berkisar pada 58%-73%. Tabel 12. Hasil Pengukuran NH3, VFA rumen dan KCBK, KCBO Peubah Perlakuan
NH₃ (mM)*
VFA (mM)*
KCBK (%)*
KCBO (%)*
SRK
10,09 ± 2,64a
168,38 ± 48,59
77,79 ± 2,79a
79,37 ± 3,59a
SJ60
10,18 ± 3,36a
168,45 ± 62,19
62,32 ± 4,73c
63,86 ± 5,54c
SJ70
9,32 ± 2,37a
161,01 ± 10,43
62,24 ± 1,59c
64,86 ± 2,15c
SJ80
7,81 ± 1,94b
155,11 ± 27,00
63,08 ± 3,72c
63,30 ± 4,99c
SJ90
6,20 ± 2,82c
154,63 ± 52,80
68,75 ± 3,88b
69,80 ± 4,47b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*) Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan.
Weinberg et al. (2007) melaporkan nilai cerna silase tanaman jagung selama 48 jam inkubasi menghasilkan koefisien cerna sebesar 66,6% lebih tinggi dari silase gandum sebesar 61,7%. Aksu et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian silase tanaman jagung secara in vivo pada domba menghasilkan koefisien cerna yang
37
berkisar antara 57%-61% dan Dann et al. (2008) sebesar 84%-86% pada sapi perah FH. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien baik untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak (Yusmadi, 2008). Pola nilai kecernaan bahan organik akan mengikuti pola kecernaan bahan kering (Puastuti et al., 2004). Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (Sutardi, 1977). Sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya kecernaan bahan organik ransum. Pernyataan ini sesuai dengan hasil pengukuran kecernaan BK silase perlakuan. Silase tanaman jagung umur panen 90 hari secara statistik juga menghasilkan koefisien cerna BO yang nyata lebih tinggi (P<0,05) diantara silase tanaman jagung lainnya. Aksu et al. (2003) melaporkan nilai koefisien cerna BO secara in vivo pada domba sebesar 68,39%. Nilai kecernaan bahan organik silase jagung pada penelitian ini lebih rendah dari pada silase daun rami dengan penambahan 20% jagung yaitu 73,60% (Despal et al., 2011) dan lebih tinggi dari silase sorghum sebesar 54% (Marco et al., 2009). Kecernaan bahan organik menggambarkan senyawa protein, karbohidrat dan lemak yang dapat dicerna oleh ternak. Pengukuran kecernaan bahan organik digunakan untuk mengestimasi kandungan net energi dari bahan pakan. Besarnya nilai kecernaan bahan organik dipengaruhi oleh kandungan serat bahan pakan dan aktivitas bakteri selulolitik akibat perubahan pH (Fabio et al., 2007). Pengukuran kandungan serat bahan meskipun tidak dilakukan selama penelitian namun efek serat terhadap kecernaan dapat diduga dari tingginya fraksi daun, batang, klobot dan tongkol. Bagian-bagian tersebut mengandung lebih banyak serat yang sulit dicerna seperti lignin. Menurut McCtucheon dan Samples (2002) batang jagung memiliki kecernaan bahan kering in vitro sebesar 51%, daun 58%, tongkol 60% dan klobot 68%.
38