TINJAUAN PUSTAKA
OKSIGENASI DALAM SUATU ASUHAN KEPERAWATAN
Ikhsanuddin Ahmad Harahap*
ABSTRAK Perawat dalam menjalankan perannya berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Salah satu kebutuhan dasar tersebut adalah oksigen. Seringkali perawat menganggap oksigenasi hanyalah rutinitas dan baru menganggap serius hal tersebut bila sudah terjadi kegawatan. Pemahaman perawat tentang terapi oksigenas dalam suatu paket intervensi asuhan keperawatan sangat berpengaruh terhadap keefektifan dan ketepatan tindakan yang meliputi indikasi, metode pemberian dan bahaya-bahaya yang mungkin terjadi selama dalam pemberian oksigen. Oksigenasi merupakan salah satu intervensi kolaboratif yang dilakukan oleh perawat sebagai bagian dari tim kesehatan dalam upaya menyelesaikan masalah pasien terutama yang berkaitan dengan gangguan sistem pernafasan Kata kunci : oksigen, respirasi, ventilasi, oksigenasi
∗
Penulis adalah staf pengajar PSIK FK USU bagian Keperawatan Medikal Bedah
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
29
PENDAHULUAN Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini iperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernafas. Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis.
pada tekanan parsial O2 di arteri (PaO2) 1 mmHg. Kedua bentuk pengangkutan ini disebut sebagai kandungan O2 atau “Oxygen Content” (CaO2) dengan formulasi: CaO2 = (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2) Sedangkan banyaknya O2 yang ditransportasikan dalam darah disebut dengan “Oxigen Delivery” (DO2) dengan rumus :
Adanya kekurangan O2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi demikian mengharapkan kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan hipoksemia dengan segera untuk mengatasi masalah.
DO2 = (10 x CaO2) x CO
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari atmosfir hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses respirasi. Berdasarkan hal tersebut maka perawat harus memahami indikasi pemberian O2, metode pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.
DO2 = (10 x CaO2) x CI
PROSES RESPIRASI Proses respirasi merupakan proses pertukaran gas yang masuk dan keluar melalui kerjasama dengan sistem kardiovaskuler dan kondisi hematologis. Oksigen di atmosfir mengandung konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke alveoli melalui mekanisme ventilasi kemudian terjadi proses pertukaran gas yang disebut proses difusi. Difusi adalah suatu perpindahan/ peralihan O2 dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dimana konsentrasi O2 yang tinggi di alveoli akan beralih ke kapiler paru. selanjutnya didistribusikan lewat darah dalam 2 (dua) bentuk yaitu : (1) 1,34 ml O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin (Hb) dengan persentasi kejenuhan yang disebut dengan “Saturasi O2” (SaO2), (2) 0,003 ml O2 terlarut dalam 100 ml plasma 30
Dimana CO adalah “Cardiac Output” (Curah Jantung). CO ini sangat tergantung kepada besar dan ukuran tubuh, maka indikator yang lebih tepat dan akurat adalah dengan menggunakan parameter “Cardiac Index” (CI). Oleh karena itu formulasi DO2 yang lebih tepat adalah : Selanjutnya O2 didistribusikan ke jaringan sebagai konsumsi O2 (VO2) Nilai VO2 dapat diperoleh dengan perbedaan kandurngan O2 arteri dan vena serta CI dengan formulasi: VO2a = (CaO2 – CvO2) x CI Selain faktor difusi dan pengangkutan O2 dalam darah maka faktor masuknya O2 kedalam alveoli yang disebut sebagai ventilasi alveolar. VENTILASI ALVEOLAR Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian penting karena O2 pada tingkat alveoli ini yang berperan dalam proses difusi. Besarnya ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk keluar paru, laju nafas, udara dalam jalan nafas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara masuk keluar paru dalam setiap bernafas disebut sebagai “Volume Tidal” (VT) bervariasi tergantung berat badan. Nilai VT normal orang dewasa ± 500 – 700 ml dengan menggunakan “Wright’s Spirometer”. Volume nafas yang ada di jalan nafas dan tidak ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai “Dead Space” (VD) (Ruang Rugi) dengan nilai normal sekitar 150 - 180 ml, terbagi tiga: (1) Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
Anatomic Dead Space, (2) Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space. Anatomic Dead Space yaitu volume nafas yang berada di dalam mulut, hidung dan jalan nafas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar Dead Space yaitu volume nafas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah. Udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari aliran darah pada alveoli tersebut. Ventilasi alveolar dapat diperoleh dari selisih volume Tidal dan ruang rugi, dengan laju nafas dalam 1 menit. VA = (VT – VD) x RR Sedangkan tekanan parsial O2 di alveolar (PaO2) diperoleh dari fraksi O2 inspirasi (FiO2) yaitu 20,9 % yang ada di udara, tekanan udara, tekanan uap air, tekanan parsial CO2 di arteri (PaCO2). PaO2 = FiO2 (760 – 47) – (PaCO2 : 0,8) Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi proses respirasi dimana respirasi tidak saja pertukaran gas pada tingkat paru (respirasi eksternal) tetapi juga pertukaran gas yang terjadi pada tingkat sel (respirasi internal). ASUHAN KEPERAWATAN Terapi O2 merupakan salah satu intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif yang merupakan bagian dari paket intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien berdasarkan diagnosa keperawatan yang dirumuskan sesuai dengan masalah pemenuhan oksigen pasien. Oleh karena itu maka langkah pertama yang perawat lakukan adalah melakukan pengkajian. Pengkajian ini ditujukan kepada keluhan-keluhan klien serta hasil pemeriksaan baik yang sifatnya pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang dan pememriksaan diagnostik yang berkaitan dengan system pernafasan serta system lain yang terlibat. Pengkajian keperawatan dapat dilakukan dengan metode wawancara yang
berkaitan dengan keluhan klien antara lain batuk dan lendir, sesak nafas, serta keluhan lain yang berkaitan dengan masalah transportasi O2. metode yang lain adalah metode observasi dengan melakukan pemeriksaan fisik pernafasan. Data yang didapa dapat berupa kecepatan, iram dan kedalam pernafasan, usaha nafas, sianosis, berkeringat, peningkatan suhu tubuh, abnormalitas sistem perrnafasan serta kardiovaskular. Selanjutnya data-data ini dapat didukung oleh hasil pemeriksaan penunjang seperti analisa gas darah ateri, spirometer serta foto torak. Perubahan pola nafas dapat menjadi indikator terdini atas adanya gangguan kebutuhan oksigen pasien, kondisi ini dapat terjadi akibat hipoksemia atau hipoksia. Hipoksemia adalah penirunan tekanan oksigen arteri dalam darah (Brunner & Suddarth, 2001 (Hal. 642) dapat memunculkan masalah perubahan status mental (berkembang mulai dari gangguan penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan koma), dyspnea, peningkatan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia, sianosis, diaforesis dan ekstremitas dingin. Kondisi hipoksemia ini biasanya mengarah kepada Hipoksia. Hipoksia adalah adalah penurunan suplai oksigen ke jaringan (Brunner & Suddarth, 2001 (Hal. 642). Hipoksia yang parah dapat mengarah kepada ancaman jiwa. Pada Hipoksia yang berkembang cepat, dapat terjadi perubahan pada sistem saraf pusat karena pusat saraf yang lebih tinggi lebih sensitif terhadap kekurangan oksigen Tahap beikutnya adalah perumusan Diagnosa Keperawatan yang berorientasi kepada keluhan yang dirasakan oleh klien. Diagnosa ini dirumuskan berdasarkan hasil pengkajian diatas. Adapun diagnosa keperawatan utama pada permasalahan oksigenasi yang dapat perawat rumuskan adalah antara lain : 1. Perubahan pola nafas berhubungan dengan (1) obstruksi trakeobronkial, (2) peningkatan produksi sekret, (3) perdarahan aktif, (4) penurunan ekspansi
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
31
paru, (5) proses inlfamasi, Ditandai: perubahan kedalaman, frekuensi, kecepatan dan irama nafas. Gangguan pengembangan paru, bunyi nafas tidak normal, batuk dan adanya peningkatan produksi sputum 2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan (1) Pengangkatan glotis, (2) Batuk, (3) kerusakan menelan, (4) edema jalan nafas, (5) peningkatan produksi sputum, (6) bronkospasme, (7) kelemahan, Ditandai: perubahan kedalaman, frekuensi, kecepatan dan irama nafas, kesulitan bernafas/dyspnea, abnormalitas bunyi nafas, batuk dan produksi sputum, penggunaan otot bantu pernafasan, dan sianosis 3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan (1) spsme brokus, (2) Jebakan udara, (3) kerusakan alveoli, (4) gangguan transportasi oksigen, Ditandai: perubahan kedalaman, frekuensi, kecepatan dan irama nafas. Adanya kesulitan bernafas/dyspnea, abnormalitas bunyi nafas, sianosis, takikardia, gelisah/perubahan mental, dan terjadinya hipoksia. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang maka disusunlah intervensi keperawatan Intervensi Keperawatan adalah suatu Rencana Tindakan bertujuan untuk penyelesaian masalah klien. Rencana ini selajutnya diimplementasikan. Rencana tindakan berisi tindakan madiri dan tindakan kolaboratif (selanjutnya penulis menitik beratkan pada tindakan kolaboratif oksigenasi)
TERAPI OKSIGEN Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan pemberian O2 (1) mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil AGD, (2) untuk menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard. Syarat-syarat pemberian O2 meliputi : (1) Konsentrasi O2 udara inspirasi terkontrol, (2) Tidak terjadi penumpukan CO2, (3) mempunyai 32
tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien dan ekonomis, (5) nyaman untuk pasien. Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal ini penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah mengalami humidfikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2 (Tabung) merupakan udara kering tidak terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan. INDIKASI PEMBERIAN O2 Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2, maka indikasi pemberian O2: (1) Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil AGD, (2) Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan serta kerja otot tambahan pernafasan, (3) Klien dengan peningkatan kerja miokard, untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat. Berdasarkan indikasi terapi pemberian O2 kepada klien dengan: (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3) perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7) selama dan sesudah pembedahan, (8) klien dengan keadaan yang tidak sadar. METODE PEMBERIAN O2 Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik: 1. Sistem aliran rendah Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit. Contoh system aliran rendah ini adal;ah : (1) kataeter naal, (2) kanula nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
muka dengan kantong rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing. Keuntungan dan kerugian masing-masing system: 2. Kateter nasal Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%. Keuntungan Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat. 3. Kanula nasal Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran 1– 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal. Keuntungan Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
Sungkup muka sederhana Alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi O2 40 – 60%. Keuntungan Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. 4. Sungkup muka rebreathing :
dengan
kantong
Suatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 – 12 L/mnt Keuntungan Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir Kerugian Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat. 5. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99% dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi Keuntungan Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugian Kantong O2 bisa terlipat. 6. Sistem aliran tinggi Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
33
lebih tepat dan teratur. Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup kemudian dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibat udara luar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini ± 4–14 L/mnt dan konsentrasi 30 – 55%. Keuntungan Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2 Kerugian Kerugian system ini hampir sama dengan sungkup muka yang lain pada aliran rendah. Pada akhirnya intervensi keperawatan tersebut baik intervensi mandiri ataupun kolaborasi akan di”Evaluasi” sejauhmana tindakan dapat mencapai tujuan sehingga tindakan dapat dilajutkan, dimodifikasi atau diganti. Beberapa hal yang dapat dievaluasi: (1) frekuensi, kedalaman dan irama pernafasan, (2) penggunaan otot bantu nafas, (3) sianosis, (4) dyspnea, (5) hipoksia, (6) kelebihan oksigen, dll Dalam melakukan evaluasi, perawat perlu mempertimbangkan bahwa pemberian oksigen bukan hanya memberikan efek terapi tetapi juga dapat memberikan efek merugikan oleh karen itu perawat perlu mewaspadai pemberian oksigen: 1. Kebakaran O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya kebakaran, oleh karena itu klein dengan terapi pemberian O2 harus menghindari : Merokok, membukan alat listrik dalam area sumber O2, menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”.
34
2. Depresi Ventilasi Perbandingan tekanan oksigen arteri (PaO2) dengan Nilai aliran oksigen diispirasi (FIO2). Umumnya terapi oksigen hanya untuk meningkatkan PaO2 kembali ke nilai dasar (antara 60 s/d 95 mmHg) dengan kurva disosiasi oksihemoglobin 80% s/d 98% (0,80 s/d 0,98). Nilai FIO2 yang lebih tinggi tidak lagi signifikan menambah jumlah oksigen pada lasma, sehingga bukannya membantu tetapi justru dapat menimbulkan depresi ventilasi. 3. Toksisitas oksigen Kelebihan oksigen dapat meimbulkan toksisitas pada paru dan sistem saraf, dimana konsentrasi oksigen tinggi akan menurunkan dorongan bernafas yang sudah terbentuk oleh tekanan oksigen rendah yang kronis pada pasien (penurunan ventilasi alveolar) sehingga dapat meningkatkan tekanan CO2 yang progresif yang mengarah pada kematian akibat narkosis CO2 dan Asidosis. Tanda dan gejala toksisitas oksigen berupa distress substernal, parestesia, dyspnea, gelisah, keletihan, malaise, kesulitan bernafas progresif. Pencegahan: berikan O2 sesuai instruksi, perhatikan pemberian, pertimbangkan nilai tekanan Akhir Pernafasan Positif (PEEP) atau Tekanan Jalan Nafas Continu (CPAP) KESIMPULAN Terapi O2 merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan termasuk keperawatan terhadap adanya gangguan pemenuhan oksigen pada klien. Pengetahuan perawat yang memadai terhadap proses respirasi dan indikasi serta metode pemberian O2 merupakan bekal bagi perawat agar asuhan yang diberikan tepat guna dengan resiko minimal. PEMIKIRAN KRITIS Perlu adanya suatu kajian ilmiah menyangkut kemampuan perawat baik secara konseptual ataupun keterampilan praktis dalam memberikan terapi oksigen pada pasien yang nantinya akan teridentifikasi apakah pengetahuan perawat Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
memadai, cukup memadai ataupun kurang memadai dalam memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien. Hal penulis rasa penting karena oksigenasi adalah area keperawatan yang menyangkut kebutuhan dasar manusia. DAFTAR PUSTAKA 1. Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Medikal Bedah, edisi bahasa Indonesia. Jakarta : EGC 2. Carpenito, L. J. (1999). Rencana asuhan dan dokumentasi keperawatan. Jakarta: EGC 3. Doengoes, M. E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi ketiga). Jakarta : EGC 4. Potter, P. A. Perry, & Anne G. (1997) Fundamental of Nursing ; Concepts, Process and Practice. St. Louis: Mosby Year Book, 5. Lillis, Taylor, Calor. Et al. (1997). Fundamentals of nursing; The art and science of nursing care. Philadelphia: Lipincott,
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005
35