PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI ONSHORE/OFFSHORE COAL TRANSHIPMENT DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ANALISIS SPASIAL
Akhmad Ramadhani, I Ketut Gunarta Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected] Abstrak Secara historis, jumlah permintaan batubara dunia mengalami peningkatan pesat dan mendorong peningkatkan volume transportasi batubara. Salah satu konsekuensi peningkatan volume transportasi adalah dengan meningkatkan volume angkut kargo. Namun, kapal kargo dengan kapasitas besar memerlukan kedalaman laut tertentu untuk kegiatan sandar dan hanya sekira 5% dari pelabuhan eksisting dunia yang mampu melayani kapal besar tersebut. Dalam rangka meningkatkan kapasitas pelabuhan dan kapabilitas pengiriman batubara, PT X mengembangkan konsep pelayanan Offshore/Onshore Coal Transhipment di wilayah Selat Bangka. Permasalahan yang terjadi pada pemilihan alternatif alokasi transhipment adalah pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria spasial yaitu kondisi geospasial dengan membandingkan alokasi distribusi paling optimal di masing-masing alternatif lokasi. Penelitian ini bermaksud untuk melakukan proses pemilihan alternatif lokasi transhipment yang paling optimal menggunakan Model Analisis Spasial. Alternatif lokasi sea-transhipment terpilih sebagai alternatif terbaik dengan profil kedalaman laut sandar 20 meter, jarak dari destinasi origin 26 kilometer, jarak dari alur pelayaran 3 kilometer, dan memiliki pola distribusi yang menghasilkan profit sebesar 10.589.489.223.000 rupiah. Kata kunci: Rantai Pasok Batubara, Analisis Spasial, GIS, weighted overlay, Model Alokasi. Abstract Historically, global coal demands has increased steadily and it drove increasing in the size of cargo. However, ships with high capacity require deep water berths and only 5% of existing ports can serve them. To increase cargo port capacity and capabilities, PT X develops onshore/offshore coal transhipment services concept in Selat Bangka. Problems occur in selecting alternative location when decision making process have to deal with spasial multicriteria condition and comparing location to its optimal allocation distribution. This research aim to build selection model of best transhipment alternatif location using Spatial Analysis Model. The results showed that offshore transhipment is selected as the best alternative which is located in sea with 20 m water deep berths, 26 kilometers from origin destinations, 3 kilometers from shipping line area, and it have total profit of coal 10.589.489.223.000 rupiah... Key Words: Coal Supply Chain, spatial analysis, GIS, weighted overlay, Allocation Model..
1
Bangka Barat. Dalam kawasan perairan ini terdapat alur pelayaran yang menghubungkan pelabuhan Palembang di Provinsi Sumatera Selatan dengan Pelabuhan Muntok di Kabupaten Bangka Barat. Lokasi Kajian berada di antara garis 105°18'47.75" - 104°39'31.40" bujur timur dan 2°25'34.60" - 1°51'5.78" lintang selatan. Lokasi kajian terdiri dari sebagian daratan di Kabupaten Banyuasin dari Provinsi Sumatera Selatan dan Sebagian daratan di Kabupaten Bangka Barat.
1.
Pendahuluan Secara historis, jumlah permintaan batubara dunia mengalami peningkatan pesat dan mendorong peningkatkan volume transportasi batubara. Berdasarkan angka dari Ditjen Mineral dan Batu Bara bagian dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, produksi batubara Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, produksi Indonesia baru sebesar 77 juta ton. Dan pada tahun 2005, sudah meningkat dua kali menjadi sebesar 152 juta ton. Bahkan pada tahun 2011, jumlah produksi batubara Indonesia meningkat empat kalinya dibanding tahun 2000, yaitu sekitar 290 juta ton. Tren produksi batubara Indonesia mulai tahun 2000-2011 dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 2. Lokasi kajian
2
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui 5 tahapan utama. Tahapan pertama yakni studi literatur dan studi lapangan. Kemudian tahapan selanjutnya dilakukan pengumpulan data-data yang diperlukan untuk pengerjaan penelitian. Tahapan ketiga yakni proses pengolahan data yang memiliki 4 metode pengolahan data. Tahapan keempat yakni tahapan analisis dan interpretasi data dari pengolahan data yang telah dilakukan sebelumnya. Dan tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan dan saran.
Gambar 1.1 Tren Produksi Batubara Indonesia
Salah satu konsekuensi peningkatan volume transportasi adalah dengan meningkatkan volume angkut kargo. Namun, kapal kargo dengan kapasitas besar memerlukan kedalaman laut tertentu untuk kegiatan sandar dan hanya sekira 5% dari pelabuhan eksisting dunia yang mampu melayani kapal besar tersebut [1]. Dalam rangka meningkatkan kapasitas pelabuhan dan kapabilitas pengiriman batubara, PT X mengembangkan konsep pelayanan Offshore/Onshore Coal Transhipment di wilayah Selat Bangka. Permasalahan yang terjadi pada pemilihan alternatif alokasi transhipment adalah pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria spasial yaitu kondisi geospasial dan membandingkan alokasi distribusi di masing-masing alternatif lokasi. Penelitian ini bermaksud untuk melakukan proses pemilihan alternatif lokasi transhipment yang paling optimal menggunakan Model Analisis Spasial.
2.1
Tahap Studi Literatur dan Studi Lapangan Berupa studi literatur terhadap bukubuku atau jurnal-jurnal yang relevan mengenai konsep pengambilan keputusan multikriteria berbasis spasial, konsep transhipment, dan model alokasi kapasitas pengiriman dengan metode minimum cost, yang bertujuan untuk menunjang pelaksanaan penelitian. Sedangkan studi lapangan dilakukan untuk mengetahui keadaan riil lokasi terminal yang mensuplai batubara ke fasilitas transhipment yang akan dibangun, dan melakukan observasi ke perusahaan. 2.2
Tahap pengumpulan data Pada tahap ini dilakukan pendalaman terhadap aspek teknis untuk menentukan lokasi transhipment terbaik dan pemahaman sistem distribusi saat ini untuk mendapatkan kriteriakriteria kritis dalam penentuan alternatif lokasi dan perancangan model alokasi transhipment. Kriteriakriteria kritis tersebut antara lain jarak dari titik suplai batubara di terminal batubara, kapasitas angkut kapal vessel, kedalaman laut (data batimetri), alur pelayaran, jarak dari sumber air tawar, kontur
1.1
Lokasi kajian Lokasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah terletak di muara Sungai Musi dimana batubara didistribusikan dari terminal suplai menuju ke lokasi transhipment di area perairan Selat Bangka. Selat Bangka terletak diantara dua kawasan yaitu kawasan Provinsi Sumatera Selatan dan kawasan Kabupaten
2
Layer-layer kriteria dikembangkan menjadi 2 bagian, yaitu layer pembatas (constraint) dan layer faktor (factor). Layer pembatas berisi nilai biner (0 dan 1) yang dapat berfungsi sebagai fungsi wilayah pembatas. Dalam model ini layer pembatas adalah kawasan perairan Selat Bangka. Layer-layer kriteria untuk menentukan alternatif lokasi offshore transhipment adalah meliputi: a. Jarak dari titik Ambang Luar, b. Kedalaman Laut, c. Regulasi Daerah (terkait dengan alur pelayaran, terumbu karang, dll). Layer-layer kriteria untuk menentukan alternatif lokasi onshore transhipment adalah meliputi: a. Regulasi daerah terkait dengan hutan lindung, hutan suaka alam, dan terumbu karang sebagai restricted area, layer faktor. b. Jarak dari sumber air tawar seperti sungai dan danau, sebagai layer faktor. c. Garis Pantai, sebagai layer faktor. d. Kemiringan Lahan, sebagai layer faktor.
daratan, regulasi daerah, jumlah suplai batubara dari terminal batubara, koordinat demand batubara, dan komponen biaya operasional dan non operasional. Setelah itu, dilakukan pengamatan dan pengumpulan data baik secara langsung (data primer) maupun tidak langsung seperti melalui review literatur dan expert knowledge (data sekunder). 2.3
Tahap pengolahan data Terdapat beberapa proses yang dilakukan pada proses pengolahan data. Proses tersebut antara lain menentukan alternatif lokasi terbaik offshore/onshore transhipment, dan pemilihan alternatif lokasi dari pola distribusi model alokasi pengiriman batubara. Dalam proses penentuan alternatif lokasi offshore/onshore transhipment, dilakukan pendekatan pengambilan keputusan multikriteria berbasis spasial.
2.3.1.1
Jarak dari titik Ambang Luar Layer kedalaman laut diolah kedalam 2 (dua) tahap, yaitu di-buffer dan dikonversi kedalam bentuk data raster. Titik ambang luar di-buffer per 5 km hingga mencapai radius 50 km untuk mencakup keseluruhan lokasi studi yang berada di perairan Selat Bangka. Buffering titik ambang luar tersebut menciptakan sebuah tampilan gambar radius jarak yang melingkupi areal lokasi studi. 2.3.1.2 Kedalaman Laut Nilai atribut kedalaman laut dibagi kedalam 5 kelas. Kelas yang pertama mewakili nilai -30 meter atau lebih dalam, kelas 2 mewakili nilai kedalaman antara -30 hingga -19 meter, dan seterusnya. 2.3.1.3 Restricted Area (alur pelayaram, terumbu karang, dll) Lokasi di jarak 2-4 km dari alur pelayaran merupakan lokasi yang paling sesuai untuk kegiatan offshore transhipment karena pada jarak ini memenuhi syarat keamanan dan keselamatan berlayar dan juga mempunyai jarak terdekat dari alur pelayaran. Pada jarak lebih dari 5 km kurang dipertimbangkan karena kapal tongkang akan lebih jauh untuk menjangkau lokasi transhipment sehingga menimbulkan biaya transportasi yang lebih tinggi. 2.3.1.4 Regulasi daerah terkait dengan hutan lindung, hutan suaka alam, dan terumbu karang sebagai restricted area, layer faktor. Regulasi daerah berhubungan dengan aturan pemerintah tentang rencana tata ruang dan wilayah suatu daerah. Identifikasi pemanfaatan ruang di kawasan ini ditunjukkan pada Gambar 4.17
Gambar 3 Ilustrasi overlay pada ArcGIS [2]
Proses Selanjutnya adalah pemilihan alternatif lokasi transhipment dengan optimasi model alokasi. Keputusan tersebut meliputi cakupan fasilitas transhipment dalam pemenuhan demand dan lokasi yang disuplai dipiliha secara optimum. Pada tahap ini secara khusus dilakukan perhitungan terhadap kinerja model sistem distribusi yang dirancang dalam sudut pandang ekonomis. Penilaian tersebut mengindikasikan nilai biaya yang memproyeksikan total maksimum profit dengan meminimumkan biaya dari model sistem pengambilan keputusan yang diterapkan. 2.3.1 Pengembangan kriteria keputusan Kriteria-kriteria keputusan merepresentasikan kemungkinan kondisi yang akan dikuantifikasi dan berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan (Eastman et al 1993, dikutip dalam Effat dan Hegazy (2012). Kriteria-kriteria dipilih dengan mempertimbangkan aspek teknis dan lingkungan. Kriteria-kriteria tersebut diolah secara spasial dengan cara dikonversi kedalam bentuk vektor (point, polyline, dan polygon) sehingga terbentuk sebuah model informasi geografis. Segala informasi tersebut diproyeksikan kedalam WGS_1984 Universal Transverse Mercator UTM zone 48 S. Analisis dilakukan dalam bentuk raster dengan menggunakan ukuran grid 83 m.
3
yang merupakan Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2019.
3
Hasil Penelitian Pada tahapan penentuan alternatif lokasi onshore/offshore transhipment dilakukan dengan analisis spasial menggunakan metode weighted overlay dengan bantuan software ArcGIS 10.1. Penentuan lokasi offshore trasnhipment dilakukan dengan mengolah layer-layer kriteria yang telah diidentifikasi sebelumnya dan menghitung bobot berdasarkan keterkaitan antarkriteria. Bobot kriteria dalam model keputusan dihitung menggunakan metode AHP. Bobot tersebut menjadi Decision Rules
Gambar 2.1 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2019
Faktor (unit pengukuran)
2.3.1.5
Jarak dari sumber air tawar seperti sungai dan danau, sebagai layer faktor. Layer sungai di-buffer membentuk radius 5 km yang dibagi dalam 5 lapis radius, yaitu buffer per 1 km sebanyak 5 kali. Pengolahan data melalui bantuan software ditampilkan dalam lampiran. Pada jarak 1 km pertama, merupakan radius lokasi yang tidak diinginkan karena terdapat dampak pencemaran dari aktivitas produksi transhipment terhadap kualitas air tawar. Pada jarak km kedua dan seterusnya, lokasi memiliki nilai yang paling besar dan semakin jauh semakin memiliki nilai kecil karena tidak diinginkan lokasi alternatif trashipment tidak terlalu jauh dari sumber air tawar dengan alasan kebutuhan air tawar dalam aktivitas operasional. 2.3.1.6 Garis Pantai, sebagai layer faktor. Lokasi onshore transhipment di daratan terletak di di bibir pantai hingga masuk tidak lebih jauh dari 2 km dari bibir pantai. Lokasi onshore transhipment yang sesuai adalah berada di lokasi yang tidak pada kawasan hutan lindung, kawasan hutan suaka alam, dan restricted area lainnya yang telah diidentifikasi dalam Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah di lokasi kajian. 2.3.1.7 Kemiringan Lahan, sebagai layer faktor. Layer Garis Kontur merepresentasikan kondisi daratan lokasi kajian, berupa ketinggian tanah dari permukaan air laut dan kemiringan tanah (lereng). Syarat lahan yang sesuai untuk didirikan fasilitas onshore transhipment adalah lahan tanah yang memiliki lereng kemiringan kurang 10%.
Rentang nilai atribut
Kedalaman laut (meters)
<=
Bobot (37%)
-19 -10
Skala verbal
Penilaian kesesuaian
-19
Paling sesuai
9
-
-10
Tidak sesuai
0
-
-5
Tidak sesuai
0
-5
<
Tidak sesuai
0
Ambang Luar (km)
<=
5
Paling sesuai
9
Bobot (30%)
5
10
Sangat sesuai
8
15
Sesuai
7
20
Sesuai
6
25
Sesuai
5
30
Kurang sesuai
4
35
Kurang sesuai
3
10
-
15 20
-
25 30
Alur Pelayaran (km) Bobot (33%)
-
Sangat kurang sesuai Sangat kurang sesuai Sangat kurang sesuai
35
40
40
45
45
<
<=
1
Tidak sesuai
0
2 1 1
1
-
2
Tidak sesuai
1
2
-
3
Paling sesuai
8
3
-
4
Sesuai
7
4
-
5
Kurang sesuai
4
<
Sangat Kurang sesuai
2
5
Tabel 2.1 Aturan Keputusan danam Penentuan Lokasi Offshore Transhipment
masukan dalam perhitungan pengambilan keputusan alternatif lokasi offshore tranhsipment dilakukan Nilai masukan dalam penilaian kriteria berupa skala 1-9 dengan urutan kecil ke yang terbesar, rest ricted, dan no data. Bobot dari decision maker untuk masing-masing kriteria diberikan pada kolom % influence. Berdasarkan hasil perhitungan bobot AHP, kriteria ambang luar sungai memiliki bobot 30 %, kriteria alur pelayaran memiliki bobot 33%, dan kriteria kedalaman laut memiliki bobot 37%. Alternatif lokasi offshore transhipment yang optimum diperoleh 3 lokasi. Karakteristik kondisi geografis lokasi tersebut memenuhi syarat kelayakan kriteria pengambilan keputusan offshore transhipment, seperti memiliki kedalaman laut lebih besar dari 19 meter, terletak pada lokasi 3 km dari alur pelayaran, dan memiliki destinasi yang paling pendek dibandingkan dengan lokasi lain.
Gambar 2.2 Topografi Kemiringan Lahan Di Kab Bangka Barat
4
Gambar 3.2 Alternatif Lokasi Onshore Transhipment Gambar 3.1 Alternatif Lokasi Offshore Transhipment
Tabel 3.3 Spesifikasi Lokasi Terpilih Spesifikasi lokasi optimum Onshore transhipment Secara Teknis
Tabel 3.1 Spesifikasi Lokasi Terpilih Spesifikasi lokasi optimum offshore transhipment terpilih secara spasial
Titik Lokasi Terpilih Titik Lokasi Terpilih
Koordinat
kedalaman laut (meter) Jarak tempuh destinasi (km) Jarak dari alur pelayaran (km)
1
2
3
S: 2°09’33,99”
S : 2°08’26,66”
E:104°59’16,81”
E: 105°02’37,47”
E : 105°05’46,88”
20
20
20
26,5
26,8
36
3
10,6
3
S:2°05’49,76”
Koordinat
:
S : 1°57’51,70” E : 105°08’27,42”
Berdasarkan hasil perhitungan suitability index, alternatif lokasi offshore/sea transhipment yang terpilih adalah di Lokasi Sea-T1. Adapun dalam penentuan lokasi onshore trasnhipment dilakukan dengan mengolah layer-layer kriteria yang telah diidentifikasi sebelumnya dan menghitung bobot berdasarkan keterkaitan antarkriteria. Berdasarkan hasil perhitungan bobot AHP, kriteria regulasi daerah memiliki bobot 43 %, kriteria alur pelayaran memiliki bobot 33%, kriteria kemiringan lahan memiliki bobot 17%, dan kriteria jarak sumber dari air tawar memiliki bobot 12%.
Kemiringan lahan
:
< 5%
Jarak dari sungai (km)
:
4
Jarak dengan kedalaman 20 m (km)
:
1,8
Analisis spasial menghasilkan alternatif lokasi onshore transhipment yang optimum diperoleh di area tanjung yang bernama Tanjung Ular. Lokasi tersebut dapat terpilih karena terdapat peruntukan khusus untuk pendirian industri dari Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang diatur oleh pemerintah daerah Kabupaten Bangka Barat, dan juga tidak berada pada lokasi yang tidak dalam wilayah terlarang seperti hutan lingdung dan hutan suaka alam. Tahapan terakhir adalah proses pemiilihan alternatif lokasi transhipment yang terbaik ditinjau dari kemampuan suplai batubara ke demand batubara domestik dan ekspor dengan tujuan memaksimumkan profit. Beberapa perhitungan biaya yang digunakan dalam model ditampilkan sebagai berikut:
Tabel 3.2 Aturan Kriteria Keputusan Penentuan Alternatif Lokasi Onshore Transhipment
Tabel 3.4 Alat Angkut Yang Digunakan No. 1. 2. 3.
Jenis
Payload
Tongkang 330’ Kapal Handymax Kapal Capesize
10.800 33.600 180.000
Kecepatan (knot) Kosong Isi 4 6 11 10 16 14
Tabel 3.5 Perhitungan Biaya Tetap Perhitungan Biaya Tetap (Ribu IDR/tahun) SeaLandPrajen Transhipment Transhipment 2.000.000 10.000.000 10.000.000 10.000.000 Kertapati
Capacity Investment Operational cost Biaya Tetap
5
=
Tarahan 14.000.000
91.994.000
459.972.000
570.000.000
880.000.000
11.959.272
-
74.100.000
228.800.000
-
15
11
19
27
12
Tabel 3.6 Perhitungan Biaya Predecessor transhipment
Tabel 3.9 Pola Alokasi Land-Transhipment
Perhitungan Ongkos Angkut Darat sampai di Tarahan ribu Rupiah/ton/km Tambang-Tarahan 400 km 273 ribu Rupiah/ton
Ongkos angkut transportasi darat
= 0,68*
Destinasi Jarak tempuh destinasi Ongkos FOB Tarahan
= = =
Perhitungan Ongkos Angkut Tambang -Transhipment Destinasi (alat angkut = KA-barge) = Tambang-Kertapati dan Kertapati-S.bangka Jarak tempuh KA = 170 km Ongkoa angkut KA 116 ribu Rupiah/ton/ Jarak tempuh Barge = 125 km Ongkoa angkut Barge 48 ribu Rupiah/ton/ Ongkos FOB transhipment = 164,6 Ribu Rupiah/ton
Tabel 3.7 Perhitungan Biaya Angkut Kapal Perhitungan Biaya Angkut Batubara dengan Barge Jarak
Harga
Harga/ton/km
Bengkulu-Lampung
290
90
0,31
Bengkulu-padang
200
85
0,43
Panjang-Tarahan
15
30
2,00*
Kalsel-Lampung
614
210
0,34
Kalsel-Cilandan
548
130
0,24
Kalsel-Semarang
320
115
0,36
0,33 (th 2012)
>
0,39 (th 2015)
Biaya Angkut (ribu Rupiah/ton/km)
Berdasarkan hasil perhitungan model tersebut, diperoleh pola distribusi penjualan batubara dari kedua alternatif transhipment yang paling optimal dan menghasilkan profit paling besar adalah Alternatif Offshore transhipment. Besar potensi pasar batubara untuk calon transhipment di Tahun 2015 adalah sebesar 10 juta ton. Pola distribusi ini menghasilkan profit paling maksimum sebesar 10.589.489.223.000 Rupiah.
Perhitungan Biaya Bunker Vessel Handymax Proporsi Bunker Cost in Freight Cost = 35%* Proporsi Non-Bunker Cost in Freight Cost = 65%* Bunker Cost
= Konsumsi BBM
Freight Cost
=
Bunker Cost/ (1-65%)
Ribu IDR /ton/km Ribu IDR /ton/km
Estimasi Perhitungan Komponen Freight Rates pada Kapal Capesize Richardbay Dari South Africa Rotterdam
Ke
Netherlands
150.000
Kapal
26*
Freight Rate
13.055
destinasi
DWT
4
Simpulan Berikut adalah kesimpulan yang didapat dari penelitian mengenai strategi pengembangan infrastruktur ekowisata Kabupaten Banyuwangi berbasis spasial ini. 1. Alternatif lokasi transhipment yang diperoleh untuk offshore transhipment dan onshore transhipment adalah: a) Offshore transhipement berlokasi di 2°05’49,76” S dan 104°59’16,81” E, berada pada laut dengan kedalaman 20 m, berjarak 26,5 km dari origin (ambang luar sungai Musi), dan berjarak 3 km dari alur pelayaran. b) Onshore transhipment berlokasi di 1°57’51,70” S dan 105°08’27,42” E, memiliki kemiringan lahan <5%, berjarak 4 km dari sungai, dan berjarak 1,5 km dari kedalaman 20 m perairan laut. 2. Pola distribusi yang diperoleh dari model alokasi di masing-masing alternatif adalah sebagai berikut: a) Offshore/Sea Transhipment mensuplai batubara kepada: 8 PLTU domestik PLTU Sungai Liat, PLTU Bangka Baru, PLTU Belitung, PLTU Mantung, PLTU Suralaya, PLTU Indramayu, PLTU Bengkalis, dan PLTU Tanjung Balai Karimun; dan
USD/ton km
kecepatan
26
km/jam
loading/unloading
2
days
sailing day contingency margin (waiting,idle,dll)
42
Hari
5%*
Total hari perjalanan
46
hari
fuel cost
7,5
ribu Rupiah/liter
fuel consumption otw
40000
lt/day
fuel consumption idle
12000
lt/day
fuel consumption B/M
12000
lt/day
Konsumsi BBM
1.719.813
Estimasi Biaya BBM
12.940.843
Total Biaya BBM in USD
1.117.879
Estimasi Biaya BBM Estimasi Persentase Biaya non BBM
7
liter Rupiah USD USD/ton
71%
Adapun hasil optimasi model alokasi dengan tujuan memaksimumkan profit ditunjukkan pada Tabel 3.8 dan Tabel 3.9. Tabel 3.8 Pola Alokasi Distribusi Sea-Transhipment O1 O2 O3 Sea-T O1 O2 O3 Sea-T O1 O2 O3 Sea-T
D3 70.588 D11 634.118 E4 1.588.235 -
D4 211.765 D12 790.588 E5 3.600.000
D5 112.941 D13 49.412 E6 411.765 3.294.118
D6 70.588 E1 1.588.235 Sea-T 10.000.000 -
D7 60.000 12.000.000 E2 1.517.647
6
3.
5 PLTU asing PLTU Haimen, PLTU Zhanjiang, PLTU Ennore, PLTU Neyveli, dan PLTU Tuticorin. b) Onshore Transhipment mensuplai batubara kepada 12 PLTU domestik PLTU Media Group, PLTU Nagan Raya, PLTU Sungai Liat, PLTU Bangka Baru, PLTU Belitung, PLTU Mantung, PLTU Suralaya, PLTU Indramayu, PLTU Bengkalis, PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ombilin, dan PLTU Teluk Sirih; dan 4 PLTU asing PLTU Zhuhai, PLTU Ennore, PLTU Neyveli, dan PLTU Tuticorin.. Alternatif transhipment yang terpilih adalah alternatif transhipment di laut dengan menghasilkan profit sebesar 10.589.489.223.000 Rupiah.
[6]
[7]
[8]
[9]
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan memberi dukungan terhadap kelancaran penyelesaian penelitian ini. Serta khususnya kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu dalam proses didalamnya. DAFTAR PUSTAKA [1] Kim, Jonghoe, Morrison, James R. 2012. Offshore port service concepts: classification and economic feasibitility. [2] KORDI, M. & BRANDT, S. A. (2012). Computers, Environment and Urban Systems Effects of increasing fuzziness on analytic hierarchy process for spatial multicriteria decision analysis. Computers, Environment and Urban Systems, 36, 43-53. [3] BOTTERO, M., COMINO, E., DURIAVIG, M., FERRETTI, V. & POMARICO, S. 2013. Land Use Policy The application of a Multicriteria Spatial Decision Support System ( MCSDSS ) for the assessment of biodiversity conservation in the Province of Varese ( Italy ). Land Use Policy, 30, 730-738. [4] EFFAT, H. A. 2012. Mapping potential landfill sites for North Sinai cities using spatial multicriteria evaluation. THE EGYPTIAN JOURNAL OF REMOTE SENSING AND SPACE. [5] [6] OMITAOMU, O. A., BLEVINS, B. R., JOCHEM, W. C., MAYS, G. T., BELLES, R., HADLEY, S. W., HARRISON, T. J., BHADURI, B. L., NEISH, B. S. & ROSE, A. N. 2012. Adapting a GIS-based multicriteria decision analysis approach for evaluating new
7
power generating sites. Applied Energy, 96, 292-301. PASSUELLO, A., CADIACH, O., PEREZ, Y. & SCHUHMACHER, M. 2012. A spatial multicriteria decision making tool to define the best agricultural areas for sewage sludge amendment. Environment International, 38, 19. Han SH, Kim IJ. (2009). Container ship to container ship trans-shipment system. South Korean patent application, filing number: 1020090082786, filing date: 3 Sept 2009 UNCTAD secreatriat. (2012). Review of maritime trasport 2012. [http://unctad.org/]. Diakses pada 10 Oktober 2013. Hudson Shipping Lines a Seatrade Company. (2013). Vessel info. [http://hudsonshipping. com/?q=node/95]. Diakses 10 Oktober 201.
8