LEGAL
STANDING OLEH
PENGUJIAN
MAHKAMAH
UNDANG-UNDANG
KONSTITUSI RI
( Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Inggrit Ifani NIM: 1111048000061
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) J A K A R T A 1436 H / 2015 M
ABSTRAK
INGGRIT IFANI. NIM 1111048000061. LEGAL STANDING PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI (Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M. Penelitian ini dilatarbelakangi dengan penemuan sebuah permohonan Pengujian Undang-Undang tidak bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki legal standing. Undang-undang atau lebih tepatnya pasal yang menjadi objek permohonan a quo sangat krusial untuk diuji materiil. Namun berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya permohonan yang memiliki legal standing yang dapat diujikan Mahkamah. Penelitian ini penting untuk melihat sejauh mana implikasi Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Menggunakan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan putusan niet ontvankelijk verklaard pada kasus PUU untuk membuktikan seberapa penting pasal a quo menentukan kedudukan hukum Pemohon dalam PUU di Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan untuk memiliki legal standing beracara dalam PUU sangat krusial. Lebih dari 50% putusan niet ontvankelijk verklaard yang tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah disebabkan oleh Pemohon tidak memiliki legal standing seperti yang ditentukan ius constitutum. Akan menjadi suatu permasalahan ketika undang-undang a quo membutuhkan pengujian konstitusionalitas. Kata kunci: constitutional review, constitutional court, legal standing¸ doktrin konstitusional. Pembimbing
: Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag. Nur Habibi, SH.I., M.H.
Daftar Pustaka: dari tahun 1998 s.d tahun 2013
iv
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii ABSTRAK .......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... .... v DAFTAR ISI …………………………………………………………....... ..... ... vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………… ......... 1 B. Identifikasi Masalah ……………………………… ............................. 6 C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6 D. Kerangka Teori ..................................................................................... 7 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………......... .. 8 F. Metode Penelitian …………………………………………………... . 9 G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ………… .... ………………….. 13 H. Sistematika Penulisan ……………………………………….... ....... 14
BAB II HAK K O N S T I T U S I O N A L W A R G A N E G A RA DALAM KONSTITUSIONALISME
vi
A. Hak Konstitusional Warga Negara ……………………………... …. 16 B. Konstitusionalisme ……………………………………… .......... ….. 18 C. Proses Legislasi ………………………………………… ...... …....... 22 1. Proses Legislasi Formal ……………………………………........ 22 2. Proses Legislasi Politis ………………………………….......... .. 23 D. Pengujian Undang-Undang ……………………………… .......... …. 26 1. Alasan Hukum Pengujian Konstitusionalitas ………… ...... …… 26 2. Judicial Review …………………………………… ..... ……….. 27 3. Legal Standing …………………………………… . …………... 29
BAB III PUTUSAN NIET ONTVANKELIJK VERKLAARD PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI A. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ……… ... ……………… 32 B. Bentuk-Bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi ... …………………. 33 C. Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard …… ....... ……………………. 34 1. Sebab Hukum Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard ……… ... ... 34 2. Rekapitulasi putusan Niet Ontvankelijk Verklaard …… ..... …… 35 3. Eksplanasi Putusan ………………………………… ...... ……… 37 D. Contoh Putusan Tidak Memiliki Legal Standing .............. ………… 38 1. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 MK ……........... ……………. 38 2. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 MK ............. ………............ 41
vii
BAB IV LEGAL STANDING SEBAGAI IMPLIKASI BERLAKUNYA PASAL 51 UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI JUNCTO UNDANG-UNDANG
NOMOR
8
TAHUN
2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 A. Permohonan Tidak Memiliki Legal Standing Namun Krusial Untuk Diuji …………………………………………………… .......... ………….. 45 B. Tinjauan Yuridis Limitasi Permohonan Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ……………………………… ..... ………….. 60 C. Mahkamah Konstitusi Dituntut Mengembangkan Doktrin Konstitusional Menyikapi Permohonan Yang Tidak Memiliki Legal Standing … ... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …….……………………………………………………. 68 B. Saran …………….………………………………………………....... 70
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………....... 72
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” mengatakan bahwa homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).1 Pernyataan ini dibenarkan oleh bukti-bukti pergesekan, konflik, ataupun perpecahan antar sesama manusia. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam tataran lebih kompleks yaitu kehidupan bernegara dibutuhkan aturan untuk menciptakan keteraturan sosial. Di sinilah titik tolak yang membuktikan pentingnya eksistensi hukum atau aturan. Dewasa ini, tidak terbantahkan lagi melalui hukum kehidupan bernegara diatur dengan dimanifestasikannya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum pada setiap produk hukum yang ada. Dalam konteks Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (lebih lanjut disebut DPR) bersama Presiden adalah lembaga yang memegang peranan pembentukan undang-undang. Sesuai dengan teori Roscoue Pound bahwa law is a tool of social engineering.2 Bersamaan dengan pemikiran Roscoue Pound, David M O’Brein dalam bukunya Constitutional Law And Politics mengatakan “Most of the world’s 185 countries have written constitutions. Yet several do not, including Bosnia-
1
Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, Cet. Pertama), h. 4. 2
Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, Rajagrafindo, 2012), h. 41.
1
2
Hergovenia, Libya, New Zealand, Oman, Qatar, Saudi Arabia, and Britain.”3 Menunjukkan mayoritas negara dunia bertendensi menuliskan konstitusinya, membuktikan betapa penting konstitusi bagi suatu negara ataupun masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai konstitusi tertulis yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (lebih lanjut disebut UUD NRI 1945). Dalam tulisan ini jika berbicara tentang UUD NRI 1945 mempunyai substansi berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD NRI 1945 adalah undang-undang dasar hasil amandemen sedangkan UUD 1945 adalah undang-undang dasar 1945 sebelum diadakan perubahan. Melalui sebuah konstitusi atau undang-undang dasar atau basic law sebagai hukum tertinggi (valeur constitutionel), kita dapat melihat suatu negara mulai dari bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan ataupun hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia (lebih lanjut disebut HAM) menjadi hak dasar yang tidak pernah terlupakan eksistensinya, terlebih lagi setelah masa Orde Baru berakhir. Ini dibuktikan dengan diaturnya HAM dalam suatu bab khusus UUD NRI 1945. Pada perkembangan selanjutnya, tidak hanya HAM, namun hak yang diatur dalam konstitusi ataupun undang-undang dasar atau basic law harus turut direalisasikan. Hak ini dinamakan hak konstitusional. Yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang tidak boleh bertentangan
3
David M O’Brein, Constitutional Law And Politics Volume One “Struggles for Power and Govermental Accountability, (New York: W.W Norton, 2003, Cet. Ketiga), h. 69.
3
dengan Undang-Undang Dasar. Untuk itu diadakan sebuah lembaga negara untuk melakukan pengujian undang-undang yaitu Mahkamah Konstitusi.4 Mahkamah
Konstitusi sebagai guardian of constitution mempunyai
wewenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (konflik peraturan Pasal 24C ayat (1)) UUD NRI 1945 atau constitutional review / judicial review. Sejak berdiri tahun 2003 sampai akhir 2014 Mahkamah Konstitusi sudah melahirkan sebanyak 665 Putusan Pengujian Undang-Undang terdiri dari 163 Putusan Kabul, 243 Putusan Tolak, 191 Putusan Tidak Dapat Diterima, dan 68 Putusan Tarik Kembali.5 Mengingat konstitusi adalah resultan dari keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya ketika konstitusi itu dibuat. Konstitusi menggambarkan kebutuhan dan jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Melihat perkembangan masyarakat selalu berubah dan mengikuti tantangan yang senantiasa berubah pula, maka konstitusi sebagai resultan politik, ekonomi, sosial, dan budaya tertentu harus membuka kemungkinan untuk diubah.6 Atau dengan kata lain konstitusi selalu menjadi produk pada zamannya.7
4
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook), h. 197.
5
Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id dan dikonfirmasi dengan melakukan kunjungan pada Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID) Mahkamah Konstitusi RI pada 6 Mei 2015. 6
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara “Pasca Amandemen Konstitusi”, (Jakarta, Raja Grafindo, 2011, Cet. Kedua), h. 20. 7
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction (Second Edition) “Hukum Amerika” Sebuah Pengantar, (Jakarta, Tata Nusa, 2001, Cet. Pertama), h. 250.
4
Undang-undang juga merupakan resultan dari suatu keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya pada saat itu, maka pengujian terhadap konstitusionalitas atau kadar konstitusional sebuah undang-undang adalah hal yang harus dilakukan. Pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD merupakan cerminan prinsip konstitusionalisme dan negara hukum yang terkandung pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Pakar hukum Eropa Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa negara hukum dalam arti formal mengandung unsur-unsur yang berupa:8 1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. 2. Pemisahan kekuasaan negara. 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. 4. Dan peradilan administrasi. Melalui undang-undang dasar Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara hukum,
yang memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap
HAM,
memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara, menjalankan peradilan administrasi, dan juga menjalankan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun apa jadinya jika sebuah negara hukum masih mempunyai produk legislasi yang buruk dan cenderung bermuatan politis serta tidak memberi kemanfaatan pada warga negara.
8
17.
A Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), h.
5
Berdasarkan fakta perkembangan hukum di banyak negara dunia, hanya beberapa negara saja yang tidak mempunyai peradilan konstitusi ataupun mekanisme constitutional review. Fakta ini membuktikan bahwa produk legislasi membutuhkan pengawalan dalam rangka melindungi HAM ataupun hak konstitusional warga negara. Lebih lanjut constitutional review diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.9 Menimbang dalam promulgation ataupun pemberlakuan suatu undang-undang berlaku asas fiktif, dimana setiap masyarakat dianggap mengetahui setiap undangundang yang disahkan. Padahal berdasarkan penelitian hanya 65 juta penduduk Indonesia yang hidup diatas garis kemiskinan,10 tentu hal ini akan berpengaruh pada pendidikan dan kesadaran kritis masyarakat dalam mengkritisi hukum. Maka menjadi tugas mereka yang mengerti hukumlah untuk mengawasi produk legislasi, misalnya undang-undang yang cacat yuridis, politis, ekonomis, kultural dan majerial.11
9
Dalam penelitian “Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard” Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI” ini pasal yang terkait langsung PUU adalah Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan menyisipkan Pasal 51 A untuk menambah persyaratan permohonan PUU. Perubahan ini tidak merubah bunyi pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 10
Diakses 6 April 2015 pada http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/reducingextreme-poverty-in-indonesia. 11
Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009, Cet. Ketiga), h. 145.
6
B. Identifikasi Masalah Beberapa pertanyaan yang kompatibel dengan judul ini adalah: 1. Apa fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi? 2. Apa yang dimaksud dengan pengujian undang-undang? 3. Bagaimana pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi? 4. Bagaimana persyaratan dalam melakukan permohonan pengujian undangundang ke Mahkamah Konstitusi RI? 5. Apa yang dimaksud dengan kerugian konstitusional? 6. Seberapa penting legal standing diterapkan dalam pengujian undang-undang. 7. Apa implikasi hukum diterapkannya legal standing dalam proses pengujian undang-undang di Indonesia. 8. Apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan amanat undang-undang dasar dalam melakukan pengujian undang-undang. 9. Bagaimana dengan permohonan yang tidak memiliki legal standing. 10. Jika
kewenangan
Mahkamah
Konstitusi
melakukan
pengujian
konstitusionalitas, mengapa muncul kasus yang tidak dapat diuji (niet ontvankelijk verklaard) oleh Mahkamah.
C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
7
Membahas tentang pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang adalah hal yang luas. Namun dalam penelitian ini hanya membahas putusan niet ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian memaparkan putusan layak uji yang tidak memiliki legal standing sebagai akibat implementasi Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003. Untuk dianalisa sebagai hasil penelitian. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah yang diuraikan, pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: a. Apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan wewenang Pengujian Undang-Undang sesuai dengan amanat UUD NRI 1945? b. Bagaimana kasus-kasus layak uji yang tidak memiliki legal standing sebagai akibat implementasi Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
D. Kerangka Teori Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya “Constitutional Government and Democracy”, konstitusionalisme ialah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan
8
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.12
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan wewenang Pengujian Undang-Undang sesuai dengna amanat UUD NRI 1945. b. Untuk mengetahui sejauh mana legal standing menjadi sebab hukum permohonan PUU tidak dapat diterima. 2. Manfaat Penelitian a.
Secara teoritis, penelitian ini akan menambah khasanah keilmuan di bidang hukum, khususnya dalam hal legal standing PUU.
b.
Secara akademis, penelitian ini tergolong sebuah penelitian baru sebagai referensi penunjang. Karena, belum ada karya ilmiah yang meneliti putusan niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi.
c.
Secara praktis, penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai bahan evaluasi dan masukan untuk menentukan legal standing PUU. Serta untuk meningkatkan
penalaran,
membentuk
pola
pikir
dinamis
dan
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 39.
9
F. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menggunakan data primer yang diterapkan pada penelitian kuantitatif namun hanya menggunakan data sekunder. Karena dalam penelitian hukum, analisis yang lazim digunakan adalah analisis kualitatif bukan analisis kuantitatif.13 Metode penelitian ini disistematisasikan dengan format sebagai berikut: 1. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.14 Sedangkan penelitian empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektifitas hukum.15 Penelitian normatif yaitu dilakukan melalui sinkronisasi peraturan perundangundangan terkait dengan PUU dan legal standing. Mulai dari UUD NRI 1945, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi 13
Bahan ajar perkuliahan “Metode Penelitian Hukum I” dengan Atho Mudzhar dan Asrori Karni, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 14
15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 41.
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 153.
10
terkait aturan PUU dan legal standing. Sedangkan penelitian empiris yaitu dengan mentabulasi 191 putusan niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi. 2. Pendekatan Masalah Suatu penelitian hukum normatif harus menggunakan pendekatan perundangundangan,16 maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Bertolak dari hukum dasar yaitu UUD NRI 1945, kemudian menggunakan peraturan organiknya yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, ditambah dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011. Dan juga menggunakan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengatur. Penelitian hukum ini dalam rangka mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek,17 maka menggunakan pendekatan kasus (case approach). Populasinya yaitu 191 putusan niet ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi RI. Dikerucutkan dengan mengambil sampel dari putusan niet ontvankelijk verklaard PUU yang disebabkan karena tidak memiliki legal standing. Selanjutnya dengan teknik acak mengambil tiga buah putusan untuk dianalisa bahwa benar mempunyai kebutuhan hukum untuk dilakukan pengujian konstitusionalitas. Dengan mewakili tiga ranting ilmu hukum yaitu hukum tata 16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008, Cet. Keempat), h. 302. 17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 321.
11
negara diwakili oleh putusan nomor 151/PUU-VII/2009, hukum perdata yaitu putusan nomor 58/PUU-XI/2013, dan hukum keuangan negara di bidang perpajakan pada putusan nomor 3/PUU-VI/2008. Sesuai dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki, yang paling penting dari belajar hukum atau menulis karya tulis hukum itu adalah perbandingan hukum / Rechtsvergelijking / comparative legal study.18 Maka
penelitian
ini
juga
menggunakan pendekatan komparasi untuk membuktikan penyebab putusan niet ontvankelijk verklaard dinominasi oleh legal standing. 3. Data dan Sumber Data Berdasarkan jenis penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu berupa perundang-undangan.19 Diperoleh dari Putusan-Putusan Mahkamah
Konstitusi,
UUD,
UU,
Keputusan
Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan terkait lainnya. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku hukum, dokumendokumen resmi yang terkait dengan penelitian. c. Bahan hukum tersier 18
19
Peter Mahmud marzuki, Penelitian hukum, (Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Kedua), h. 1.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009, Cet. Kelima), h. 142.
12
Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder.
Seperti
kamus
dan
ensiklopedia.20 4. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang sesuai dengan penelitian, relevan dengan jenis penelitian yang bersifat empiris normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya memperoleh data dari literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel, putusan Mahkamah dan sumber lain yang kompatibel. 5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, dan lainlainnya akan penulis sajikan, uraikan dan hubungkan sedemikian rupa. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.21 6. Metode Penulisan
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1981, Cet. Pertama),
21
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 393.
h. 52.
13
Dalam penyusunan tulisan ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Skripsi (Judul)
Tema
Objek
Distingsi
Afidatussolihat, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Asean Charter (Analisa Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011)”, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, Tahun 2013. Arie Setio Nugroho, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Studi Kasus: Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah KotaWaringin Barat), Fakultas Hukum, Universitas Andalas Tahun 2011. Penelitian saya, Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI (Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Afidatussolihat: Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang ratifikasi. Arie Setio Nugroho: Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu Kada. Penelitian saya: Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi. Afidatussolihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUUIX/2011. Arie Setio Nugroho: Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat. Penelitian saya: Putusan niet ontvantkelijk verklaard Mahkamah Konstitusi RI. Afidatussolihat: Skripsi ini meneliti kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang ratifikasi. Penulis mengambil objek penelitian
14
sebagai undang-undang ratifikasi yaitu Perjanjian Asean Charter, yang telah dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Arie Setio Nugroho: Skripsi ini meneliti kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilu kada. Dan mengambil kasus penyelesaian sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bahan uji. Penelitian saya: Skripsi ini meneliti putusan niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjaga konstitusionalisme. Munculnya putusan yang tidak memiliki legal standing namun krusial untuk diuji menjadi objek vital dari penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan yang akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab akan membuat tulisan lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Hak konstitusional warga negara dalam konstitusionalisme, membahas hak konstitusional warga negara, konstitusionalisme, proses legislasi, dan pengujian undang-undang.
BAB III
Putusan niet ontvankelijk verklaard pengujian undang-undang oleh mahkamah konstitusi, yaitu memuat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, bentuk-bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan niet
15
ontvankelijk verklaard dan contoh putusan tidak memiliki legal standing. BAB IV
Legal standing sebagai implikasi berlakunya Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto UndangUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 membahas permohonan tidak memiliki legal standing namun krusial untuk diuji, tinjauan yuridis limitasi permohonan pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi RI berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dituntut mengembangkan doktrin konstitusional menyikapi permohonan yang tidak memiliki legal standing.
BAB V
Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA DALAM KONSTITUSIONALISME
A.
Hak Konstitusional Warga Negara Semenjak merdeka, Indonesia telah memasukkan Hak Asasi Manusia1 (HAM) dalam konstitusi. Namun kemudian mengalami perkembangan ketika amandemen UUD 1945 yang kedua mengatur HAM dalam suatu bab khusus. Perkembangan selanjutnya, tidak hanya HAM namun setiap macam hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar harus terjamin dan terpenuhi. Hak hak yang diatur didalam undang undang dasar inilah yang dinamakan dengan hak konstitusional.2 Adanya jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945 diikuti dengan ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, serta pemenuhan menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal itu harus dilaksanakan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan, maupun tindakan penyelenggara
1 Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia). 2 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Contitutional Complaint) “Upaya Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 111.
16
17
negara. Dalam rangka melindungi, memajukan, menegakkan, serta memenuhi hak konstitusional warga negara.3 Oleh sebab itu diadakanlah suatu hak uji yang dimiliki oleh subjek hukum yaitu individu, masyarakat hukum adat, badan hukum privat atau publik, dan lembaga negara.4 Setiap peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan UUD NRI 1945 mempunyai kesempatan yang sama untuk diuji konstitusionalitasnya. Pengujian kadar konstitusionalitas ini merupakan salah satu bentuk dari hak konstitusional warga negara. Selaras dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Dengan mengembangkan asas-asas demokrasi di mana hak politik rakyat dan hak asasi adalah tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Hak dasar tersebut dijamin secara konstitusional dan diwujudkan secara institusional yaitu oleh sebuah Makmakah Konstitusi.5 Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berperan menegakkan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional
3 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 197. 4 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). 5 Soimin, Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2013), h. 50.
18
rights) dan pelindung HAM (the protector of the human rights).6 Hal ini terbukti dalam laporan Mahkamah Konstitusi menyampaikan telah menyeimbangkan kepentingan negara yang berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara dan menjaga agar tidak dikurangi, dibatasi, atau dilanggar.7 Didukung oleh pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Ahmad Sodiki dalam sebuah simposium di Hotel Rixos, Ankara mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berperan memulihkan kembali hak konstitusional warga negara yang dilanggar oleh berlakunya undang-undang melalui kewenangan menguji undangundang terhadap UUD.8 Maka kewenangan menguji konstitusionalitas undangundang mempunyai peranan penting terpenuhinya hak konstitusional warga negara.
B. Konstitusionalisme Selama abad ke-16 dan ke-17 negara-negara bangsa (nation state) mendapat bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan sangat berkuasa. Berbagai teori politik berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem kekuasaan yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini
6 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2013, Cet. Pertama), h. 7. 7 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara, h. 8. 8 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara, h. 134.
19
mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in-parliament’ yang pada dasarnya mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.9 Berawal dari kekuasaan yang liar dan tidak terkendali, maka harus ada konstitusi baik itu dalam sebuah negara Republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk membatasi
kekuasaan,10
paham
ini
kemudian
berkembang
menjadi
konstitusionalisme.11 Dengan tujuan utama pembatasan kekuasaan yang pada masa sebelumnya tampak sangat luas dan seolah tanpa batas.12 Sehingga tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Konstitusionalisme
pertama
kali
muncul
di
Eropa
Barat,
dengan
mengembangkan dua konsep pokok yaitu:13 1. Konsep negara hukum atau di negara-negara yang terpengaruh oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut (The Rule of Law) menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). 2. Konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh
9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook), h. 19. 10 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, Cet. Pertama), h. 10. 11 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”, h. 190. 12 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 15. 13 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 17.
20
konstitusi, dan kekuasaan itu pun mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konstitusionalisme diartikan sebagai suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi,14 yang mengandung tiga esensi sebagai berikut:15 1. A state, or any system of government, must be founded upon law, while the power exercised within the state should conform to definite legal rules and procedures (the idea of constitution or fundamental law). (Sebuah negara atau sistem pemerintahan apapun harus didirikan di atas undang-undang, sedangkan kekuasaan yang dijalankan di dalam negara harus sejalan dengan peraturanperaturan dan prosedur hukum yang tegas (mengacu pada konstitusi atau undangundang dasar)). 2. The institutional structure of the government should ensure that power resides with, or is divided among, different branches which mutually control their exercise of power and which are obliged to co-operate (the ideas of mixed government, separation of powers, check and balances). (Bangunan institusional pemerintah harus memastikan bahwa kekuasaan berada ditangan, atau dibagi-bagi diantara, cabang-cabang yang berbeda yang saling mengontrol pelaksanaan kekuasaan mereka dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (gagasan mengenai pemerintahan campuran, pemisahan kekuasaan, sistem check and balances) saling periksa dan menjaga keseimbangan). 3. The relationship between the government and the individual member of society should be regulated in such manner that it leaves the latter’s basic rights and freedom unimpaired. (Hubungan antara pemerintah dengan anggota perseorangan masyarakat sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut menjamin hak-hak dan kebebasan dasar yang disebut belakangan, anggota perseorangan masyarakat, tidak dilanggar). Dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan paham konstitusionalisme dipakai di berbagai negara dunia sampai pada saat ini. Bahkan semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai paham ideal dalam sebuah negara hukum (rechtstaat). Namun 14 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 16. 15 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 16.
21
belakangan muncul persoalan dari konstitusionalisme bahwa hukum dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hal ini muncul pertanyaan tentang bagaimana pemerintah sebagai penguasa dapat beritikad baik untuk menaati hukum. Jawabnya16 “The fundamental problem with “constitutionalisme” is that laws are made and enforced by governments so how can government under law be anything more than a hope that our rulers will be benevolent? There are broadly four ways in which constitutions have grappled with this. Ultimately though, all depend on political good will.” (1) By creating basic prinsiples of justice, and individual rights policed by courts who are independent of the government. (2) By splotting up power between different government bodies to ensure that no one person has too much power (the separation of powers). This can be achieved in various different ways, for example, division of function, division between central and local powers. (3) By adopting representative institutions of government that are chosen by the people and can be removed by the people. (4) And by providing for direct participation by the people in the process of government decision making, for example, by holding referendum on important issues and public enquiries into important proposal. Bahwasanya masalah dasar dari konstitusionalisme adalah peraturanperaturan dibuat dan ditegakkan oleh pemerintah sekaligus. Maka harus ada empat cara untuk menjaga konstitusionalisme, namun kesemuanya bergantung pada kehendak politik yang baik. Empat cara itu adalah dengan menciptakan prinsipprinsip dasar keadilan dan penjaminan hak-hak individu, pemisahan kekuasaan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan, pemerintahan yang dipilih dan diberhentikan oleh rakyat, dan menyediakan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan pemerintahan misalnya melalui referendum.
16 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 18.
22
C. Proses Legislasi Dalam
rangka
mewujudkan
konstitusionalisme
dan
terpenuhi
hak
konstitusional warga negara maka prinsip-prinsip yang tertuang di dalam UUD diturunkan kedalam peraturan organik yaitu undang-undang. Dalam pembentukannya terdiri dari dua proses yaitu proses legislative yang bersifat formal dan proses legislative yang bersifat politis. Di Indonesia proses legislatifnya adalah sebagai berikut: 1. Proses Legislatif Formal Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPR adalah lembaga yang memegang kekuasaan membentuk UU. Selain DPR kewenangan membentuk undang-undang juga dimiliki Presiden. Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”.17 Selain itu, pasal 21 UUD 1945 menyatakan: “Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.18 Setelah diajukan maka diadakan pembahasan rancangan undang-undang, yang terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam Rapat Komisi, Rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna
17 Dalam pengajuan rancangan undang-undang harus meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan jangkauan dan arah pengaturan yang tertuang dalam suatu Naskah Akademik (diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). 18 Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD “Buku Panduan Seri 2”, (Jakarta: Saint Communication, 2004), h. 8.
23
DPR.19 Pembicaraan tingkat I dilakukan untuk mendengarkan penjelasan dan tanggapan pemerintah. Pembicaraan tingkat II adalah dilakukan oleh DPR yang diakhiri dengan pengambilan keputusan.20 Kemudian RUU yang telah disetujui bersama disahkan oleh Presiden. 2. Proses Legislatif Politis Undang-undang dasar tatkala dirancang dan ditetapkan cenderung untuk menggambarkan
kepentingan-kepentingan
dan
keyakinan-keyakinan
yang
dominan saat itu dan merupakan ciri atau karakter masyarakat saat itu.21 Hal seperti ini juga berlaku dalam proses pembentukan undang-undang. Dimana terjadi ritualisme adu kepentingan di antara para anggota dewan ketimbang mewakili konstituen.22 Terjadi politisasi hukum di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness
19 YLBHI, Panduuan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007, Cet. Kedua), h. 32. 20 Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD, h. 9. 21 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006), h. 97. 22 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen “Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional, (Jakarta: IND HILL CO, 2008, Cet. Kedua), h. 358.
24
process).23 Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan menteri Koordinator Perekonomian dalam sebuah acara “United in Diversity Forum” bahwa: …Intervensi politik yang demikian kuat membuat segala sesuatu bisa dilakukan sekalipun bertentangan dengan peraturan dan hukum yang ada… Hal ini juga yang membuat semua upaya perbaikan yang ada boleh dikatakan sangat rentan guncangan.24 Hakim Konstitusi Mahfud MD dalam sebuah pertemuan dengan Duta Besar Singapura menjawab pertanyaan Anil Kumar Nayar di Gedung Mahkamah Konstitusi mengenai tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia, yaitu mengenai tingkah laku politik (political behavior). Menurut Mahfud, tingkah laku politik di Indonesia memiliki masa euphoria yang terlalu panjang. Sekarang Indonesia lebih fokus pada perilaku politik ke depan, yakni bagaimana mengatur hukum-hukum politik secara luas, tapi tidak boleh ada transaksi politik.25 Atas dasar ini berprasangka terlalu baik pada hukum (teks-teks) adalah hal naif. Hukum positif (in abstracto) maupun penerapannya (in concreto) tetaplah sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, sangat sulit membayangkan dalam proses itu segalanya lantas dikatakan final sebagai netral dan bebas dari “permainan”
23 Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, (Yogyakarta, UII Press, 2005, Cet. Pertama), h. 34. 24 Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, h. 27. 25 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara, h. 144.
25
politik.26 Dikarenakan senantiasa ada kepentingan tersembunyi yang difasilitasi oleh hukum.27 Oleh karena itu mempertanyakan hubungan kausalitas hukum dan politik, ada tiga macam jawaban yang dapat menjelaskan. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan.28 Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum adalah keputusan politik namun begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Jadi, aturan hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling bersaingan.29 Seperti itulah proses legislatif secara politis terjadi. Seperti kata H.M. Koesnoe mentesiskan bahwa kadangkala substansi peraturan perundang-
26 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 11. 27 Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, h. 32. 28 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998), h. 8. 29 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 8.
26
undangan membuat kejahatan hukum30 (misdalig recht),31 disinilah letak pentingnya constitutional review. Sehingga produk legislatif yang buruk dapat diuji kadar konstitusionalitasnya apakah telah bertentangan atau tidak sesuai dengan konstitusi sebagai rechtsgulle (sumber hukum).
D.
Pengujian Undang-Undang 1. Alasan Hukum Pengujian Konstitusionalitas Konstitusi atau UUD sebagai produk politik sekaligus produk hukum oleh suatu generasi, manakala substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan reformasi generasi berikutnya, jawabannya tiada lain harus dilakukan perubahan. Tujuan perubahan UUD adalah:32 a. Mengubah, menambah, mengurangi, atau memperbaharui redaksi dan substansi konstitusi (sebagian atau seluruhnya) supaya sesuai dengan kondisi idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta kondisi pertahanan dan keamanan bangsa pada zamannya.
30 Contohnya adalah UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah substansi pasal tertentu membangun kekuatan sentralistik dan cenderung menumbuhkan figure pejabat-pejabat yang tiranis sentralistik serta korup, (dalam buku Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica Marzuki). 31 Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum “Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica Marzuki”, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005, Cet. Pertama), h. 117. 32 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, h. 97.
27
b. Menjadikan UUD sebagai norma dasar perjuangan demokratisasi bangsa yang terus bergulir untuk mengembalikan paham konstitusionalisme sehingga jaminan dan perlindungan HAM dapat ditegakkan, anatomi kekuasaan tunduk pada hukum atau tampilnya supremasi hukum, dan terciptanya peradilan yang bebas. c. Untuk menghindari terjadinya pembaruan hukum atau reformasi hukum yang tambal sulam sehingga proses dan mekanisme perubahan atau penciptaan peraturan
perundang-undangan yang baru sejalan dengan
hukum dasarnya, yaitu konstitusi. Alasan dan tujuan revision / amandemen / perubahan pada undangundang dasar ini juga berlaku pada undang-undang. Saat substansi, perkembangan zaman, dan semangat suatu undang-undang sudah tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, bertentangan dengan pelaksanaan HAM, bertentangan dengan asas hukum dan teori hukum yang ada cukup untuk menjadi alasan pengajuan judicial review suatu undang-undang.33 2. Judicial Review Pengujian undang-undang acapkali dikaitkan dengan nomenklatur: judicial review. Judicial review mempunyai cakupan makna lebih luas daripada penamaan toetsingrecht atau hak menguji. Judicial review dalam sistem hukum common law tidak hanya bermakna “the power of the court to 33 Draft RUU Mahkamah Konstitusi 2 Mei 2002 dan 11 Juni 2002, Pasal 84 ayat (2), 22; bandingkan dengan draft RUU Mahkamah Konstitusi 15 Juli 2002, Pasal 78 ayat (2), 23; dan draft Mahkamah Konstitusi 16 September 2002, Pasal 76 ayat (2), dalam (Mahkamah Konstitusi Lembaga).
28
declare laws unconstitutional” tetapi juga berpaut dengan kegiatan examination of administration decisions by the court.34 Yudicial review adalah pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga yudikatif.35 Yaitu
dilakukan
oleh
Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas.36 Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menangani penyelesaian konflik atau pelanggaran norma yang terdapat dalam UUD.37 Pada dasarnya hak menguji (judicial review) adalah hak bagi hakim (atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Hak menguji formal (atau formele toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap
cara
pembentukan
(pembuatan)
serta
prosedural
peraturan
perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (atau materieele toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi (materi) peraturan perundang-undangan.38
34 Laica Marzuki, (Berjalan-Jalan di Ranah Hukum), h. 67. 35 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 3. 36 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005, Cet. Pertama), h. 6. 37 Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas UUD NRI 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama), h. 95. 38 Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, h. 67.
29
3. Legal Standing Untuk melakukan permohonan PUU di Mahkamah Konstitusi maka pemohon harus memiliki legal standing (kedudukan hukum). Persyaratan untuk memiliki legal standing atau kedudukan hukum mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan undang-undang dan persyaratan materil berupa kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.39 Jika didefinisikan kedudukan hukum atau legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak di tentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. Dengan ditentukannya legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak mempunyai hak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon, sesuai dengan adagium “ada kepentingan hukum, boleh mengajukan gugatan (point d’interet point d’action)”. Legal standing pemohon sangat penting, karena permohonan yang diajukan oleh pemohon yang tidak mempunyai legal standing akan berakhir dengan putusan
39 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, h. 69.
30
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).40 Dengan menunjuk pada Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki legal standing. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang atau suatu pihak mempunyai legal standing:41 a. Pemohon harus salah satu dari subjek hukum:42 (1) Perorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; (3) Badan hukum publik atau privat; (4) Lembaga Negara. b. Anggapan Pemohon bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu ketentuan undang-undang:
40 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 41. 41 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, h. 42. 42 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 51 ayat (1) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
31
(1) Adanya hak / kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (2) Hak atau kewenangan konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji. (3) Kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidaknya-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut tidak akan atau tidak akan terjadi lagi. Selanjutnya dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi:43 (2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
43 Pada perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak ada perubahan redaksi pada pasal namun ditambahkan Pasal 51 A mengatur ketentuan teknis PUU.
BAB III PUTUSAN NIET ONTVANKELIJK VERKLAARD PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the constitution seperti sebutan yang biasa dinisbatkan kepada Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena disana tidak ada Mahkamah Konstitusi.1 Dalam menjalankan fungsinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dilengkapi dengan lima kewenangan. Atau lebih sering disebut empat kewenangan dan satu kewajiban, yaitu:2 1. Menguji konstitusionalitas undang-undang. 2. Memutus sengketa kewenangan konstitutional antar lembaga negara. 3. Memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum. 4. Memutus pembubaran partai politik.
1
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Kedua), h. 154. 2
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.
155.
32
33
5. Memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam menjalankan empat kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran terhadap UUD, satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945. Karena itu, disamping berfungsi sebagai pengawal UUD, Mahkamah Konstitusi juga biasa disebut sebagai The Sole Interpreter of the Constitution.3
B. Bentuk-Bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bunyi amar putusan Mahkamah:4 (1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak mematuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 505, dan) pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima; (2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan; (3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945;
3
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
4
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005, Cet. Pertama), h. 314. 5
Pasal ini telah dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusannya atas perkara Nomor 066/PUU-II/2004 yang diucapkan pada tanggal 12 April 2005. Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan mengenai hal ini karena Pasal 50 turut dimohonkan untuk diuji.
34
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan; (5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Sesuai dengan jenis penelitiannya (penelitian hukum empiris normatif), maka dalam merealisasikan jenis penelitian hukum empiris penelitian ini mengambil 191 putusan niet ontvankelijk verklaard / tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam kasus PUU. Sebanyak 191 putusan tersebut adalah putusan PUU mulai dari tahun pertama berdirinya Mahkamah yaitu 2003 sampai dengan tahun 2014. Putusan niet ontvankelijk verklaard PUU tersebut, kemudian direkapitulasi berdasarkan alasan apa perkara PUU tidak dapat diterima. Sesuai dengan judul penelitian yaitu Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh legal standing dalam PUU. Guna membuktikan bahwa legal standing sangat berpengaruh sebagai syarat dalam PUU dan terkadang dapat membuat perkara layak uji tidak dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah.
C. Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard 1. Sebab Hukum Putusan Niet Onvantkelijk Verklaard Dengan adanya kerugian konstitusional maka Pemohon memiliki legal standing atau kedudukan hukum. Dan berdasarkan review terhadap 191 putusan
35
niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi pada PUU, alasan suatu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima yaitu:6 a. Tidak memiliki legal standing. b. Permohonan kehilangan objek (objectum litis). c. Permohonan kabur (obscuur libel). d. Pengujian formil sudah melewati batas waktu yang ditentukan. e. Nebis in idem. f. Permohonan tidak memenuhi syarat. g. Tidak ada lagi norma yang diujikan / dihapus. h. Mahkamah tidak berwenang mengadili perkara a quo. 2. Rekapitulasi Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard Berdasarkan rekapitulasi Mahkamah Konstitusi terdapat 191 Putusan niet ontvankelijk verklaard dari tahun 2003-2014.7 Setelah didata ternyata hanya terdapat 164 putusan yang benar-benar dinyatakan tidak dapat diterima / niet ontvankelijk verklaard. Selebihnya terdiri dari putusan yang dinyatakan ditolak ataupun dikabulkan untuk sebagian dan dinyatakan niet ontvankelijk verklaard untuk selebihnya. Sesuai dengan judul penelitian, maka yang akan menjadi objek hanya putusan niet ontvankelijk verklaard bukan putusan niet ontvankelijk verklaard yang juga dinyatakan kabul atau tolak untuk selebihnya. Berikut adalah tabulasi putusan niet ontvankelijk verklaard disusun berdasarkan alasan yang dicantumkan pada setiap putusan Mahkamah pada bagian KONKLUSI:
6
Populasi dalam penelitian ini adalah putusan niet ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun yang sudah tidak berjalan yaitu 2003-2014. Alasan-alasan ini adalah hasil penelitian langsung peneliti terhadap 191 putusan Mahkamah tersebut. 7
Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id dan dikonfirmasi dengan melakukan kunjungan pada Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID) Mahkamah Konstitusi RI pada 6 Mei 2015.
36
a. Pemohon tidak memiliki legal standing
= 84 Putusan
b. Permohonan kabur
= 25 Putusan
c. Nebis In Idem
= 22 Putusan
d. Permohonan kehilangan objek / objectum litis
= 15 Putusan
e. Mahkamah tidak berwenang mengadili perkara
= 12 Putusan
f. Pemohon salah dalam menentukan objek
= 1 Putusan
g. Permohonan tidak memenuhi syarat
= 1 Putusan
h. Norma yang menjadi objek dihapus
= 2 Putusan
i. Pengujian formil telah melewati batas waktu
= 1 Putusan = 163 Putusan
Total
Satu putusan lagi yaitu Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 yang tidak memiliki legal standing dan Mahkamah juga tidak berwenang untuk mengadili. Sengaja tidak dimasukkan kedalam kalkulasi putusan supaya lebih mudah untuk dilakukan persentase. Dengan tidak dimasukkannya satu putusan ini, tidak mempengaruhi hasil penelitian secara signifikan. Jika dihitung dalam persentase hasil penelitian terhadap putusan niet ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi tersebut adalah sebagai berikut: a. Tidak memiliki legal standing
=
× 100% = 51,53%
b. Permohonan kabur
=
× 100% = 15,34%
c. Ne bis in idem
=
× 100% = 13,50%
37
d. Permohonan kehilangan objek / objectum litis
=
× 100% = 9,2%
e. Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili
=
× 100% = 7,36%
f. Pemohon salah dalam menentukan objek
=
× 100% = 0,61%
g. Permohonan tidak memenuhi syarat
=
× 100% = 0,61%
h. Norma yang menjadi objek dihapus
=
× 100% = 1,23%
i. Pengujian formil telah melewati batas waktu
=
× 100% = 0,61%
Total
= 100%
3. Eksplanasi Penelitian Putusan niet ontvankelijk verklaard yang disebabkan oleh pemohon tidak memiliki legal standing adalah sebanyak 84 putusan atau 51,53% dari 163 putusan. Sedangkan 48,47% lainnya disebabkan pengujian formil telah melewati batas waktu, obscuur libel, ne bis in idem, mahkamah tidak berwenang untuk mengadili, norma yang menjadi objek dihapus / tidak ada lagi, permohonan tidak memenuhi syarat, dan salah menentukan objek.8 Terbukti bahwa legal standing paling banyak berkontribusi menjadi penyebab munculnya putusan niet ontvankelijk verklaard. Adalah sebuah ketidakadilan ketika substansi perkara layak uji tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah karena tidak memenuhi persyaratan prosedural. Fakta ini menunjukkan terjadinya
8
Tabulasi mengenai penelitian ini dilampirkan pada bagian lampiran dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian ini.
38
diskriminasi dalam prosedur PUU oleh Mahkamah Konstitusi RI disebabkan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan landasan filosofi yang menjadi alasan terhadap setiap PUU adalah kepentingan pemohon. Seperti pernyataan Mahkamah Konstitusi bahwa pengajuan permohonan terhadap PUU harus didasarkan pada adanya faktor kepentingan, oleh karena itu tanpa adanya kerugian hak konstitusional, maka tidak ada dasar untuk mengajukan permohonan (zonder belang, het is geen rechtsingang).9
D. Contoh Putusan Tidak Memiliki Legal Standing Ditilik dari paham kedaulatan hukum sebagai suatu simbol “supremacy of law” maka segala produk perundang-undangan seharusnya dapat diuji melalui proses peradilan.10 Namun putusan berikut tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah karena tidak memiliki legal standing: 1. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 a. Pemohon Pemohon dalam Permohonan Uji Materil PUU ini adalah:11 1) Okta Heriawan
9
Perkara Nomor 24/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
10
Abdul Latief, dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. (Yogyakarta: Total Media, 2009), h. 16. 11
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
39
Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon I). 2) Achmad Saifudin Firdaus Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon II). 3) Kurniawan Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon III). 4) Sodikin Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon IV). b. Objek Yang Diujikan Yang menjadi objek pengujian materiil adalah Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang berbunyi sebagai berikut:12 “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. c. Petitum
12
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
40
Dalam permohonannya Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut:13 1) Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Pemohon; 2) Menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kedudukan hukum yang mengikat. 3) Memerintahkan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap UUD 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). d.
Konklusi Berdasarkan
penilaian
atas
fakta
dan
hukum,
berkesimpulan:14
13
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
14
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mahkamah
41
1) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo. 2) Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. 3) Pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan. e. Pemohon Yang Memiliki Legal Standing Para Pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Dalam hal ini Pemohon tidak bertindak sebagai debitur ataupun kreditur dan tidak mengalami kerugian secara langsung oleh kesewenang-wenangan pasal a quo. Yang seharusnya menjadi Pemohon untuk pasal a quo adalah debitor ataupun kreditor yang dirugikan secara langsung dengan berlakunya pasal a quo. Seperti misalnya PT Telkomsel yang dipailitkan PT. Prima Jaya yang juga mempunyai utang lain kepada PT Extent Media Indonesia.15 2. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 a. Pemohon Permohonan ini dimohonkan oleh Hj. Lily Chadidjah Wahid yang bekerja atau menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat / Fungsionaris Dewan Pengurus Pusar Partai Kebangkitan Bangsa (DPPPKB).16
15
Diakses pada 2 Juni 2015 pada : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012 /10/11/09 303856/Telkomsel.Pailit.Dahlan.Iskan.Sindir.Telkom . 16
Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
42
b. Objek Yang Diuji Objek permohonan adalah Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara adalah sebagai berikut:17 Pasal 23 Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Penjelasan Undang-Undang a quo berbunyi:18 “Undang-Undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab. c. Petitum Pemohon memohon kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk berkenan memeriksa serta memberikan putusan atas permohonan a quo, sebagai berikut:19
17
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4916). 18
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4916).
43
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2) Menyatakan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, serta Penjelasan Umum, paragraph 8, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 sepanjang mengenai frasa “diharapkan” dan frasa “dapat” adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 3) Menyatakan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa yang dimaksud dengan “Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD” adalah termasuk ketua umum atau sebutan lain pada partai politik. 4) Menyatakan bahwa bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, sepanjang mengenai frasa “diharapkan” dan frasa “dapat”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Penjelasan Umum, paragraf 8, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menjadi berbunyi, “Bahkan seorang menteri melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik”. 5) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau bila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono). 19
Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
44
d. Konklusi Berdasarkan fakta dan hukum yang terungkap di persidangan Mahkamah berkesimpulan:20 1) Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo. 2) Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. 3) Pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan. e. Pemohon Yang Memiliki Legal Standing Berdasar Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang memiliki legal standing untuk pengujian pasal dan Penjelasan Umum undangundang a quo adalah subjek hukum yang dirugikan secara langsung oleh ketentuan a quo bukan subjek hukum yang tidak dirugikan secara langsung dengan adanya ketentuan a quo.
20
Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
BAB IV LEGAL STANDING SEBAGAI IMPLIKASI BERLAKUNYA PASAL 51 UU NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI JUNCTO UU NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 24 TAHUN 2003 Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 191 putusan niet ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi ditemukan beberapa hal pokok berikut: A. Permohonan Tidak Memiliki Legal Standing Namun Krusial Untuk Diuji Penelitian ini memberi ruang pada bentuk pertanyaan seperti, bagaimana dengan produk legislasi yang harus diuji konstitusionalitasnya tapi tidak bisa dimohonkan oleh subjek hukum yang tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi misalnya mengenai undang-undang yang mengatur perihal ketatanegaraan yang tidak berdampak langsung pada warga negara namun menodai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan1 ataupun konstitusionalitas. Contohnya seperti: 1. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi
1
I.C. van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) menjadi dua bagian yaitu asas yang formal dan asas yang bersifat material. Asas formal meliputi: a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling) b. asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan) c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel) d. asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) e. asas konsensus (het beginsel van consensus). Sedangkan asas material meliputi: a. asas tentang terminology dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek) b. asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid) c. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel) d. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel) e. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling), dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007, Cet. Kelima), h. 253.
45
46
Seperti yang terpapar pada bab sebelumnya pasal yang diujikan yaitu Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara berbunyi sebagai berikut:2 Pasal 23 Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Sedangkan Penjelasan Umum Undang-Undang a quo berbunyi:3 “Undang-Undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab. Jika dicermati terdapat inkonsistensi bunyi pasal dengan Penjelasan Bagian Umum undang-undang a quo. Inilah yang menjadi objek permohonan Pemohon dalam perkara a quo. Pada Bagian Konklusi Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
2
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4916). 3
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4916).
47
standing) untuk mengajukan permohonan a quo”. Sehingga dalam amar putusan dinyatakan tidak dapat diterima / niet ontvankelijke verklaard.4 Didasarkan pada pasal 17 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, sebelum perubahan UUD 1945 tidak diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam praktik kenegaraan diserahkan secara mutlak kepada presiden. Pengangkatan menteri-menteri dilakukan oleh presiden sejak ia mendapat mandat dari MPR.5 Dan para menteri dapat diberhentikan oleh presiden di tengah-tengah masa jabatannya. Pengangkatan ataupun pemberhentian para menteri dapat dilakukan secara tertutup tanpa perlu meminta nasihat, mendapat usulan dan pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga negara yang lain, karena ini merupakan adalah hak prerogatif presiden.6 Begitu pula setelah amandemen UUD 1945, presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri kapan saja tanpa harus meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga negara yang ada. Namun yang membedakan ketika sudah diadakan amandeman adalah presiden tidak bebas melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
4
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
5
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h. 119. 6
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, h. 119.
48
kementrian negara, karena semua itu diatur dengan undang-undang dan harus mendapat persetujuan DPR.7 Karena pasca amandemen UUD 1945 Indonesia menganut sistem pemerintahan presidential, lebih menekankan kabinetnya sebagai zakenkabinet daripada kabinet dalam sistem parlementer lebih menonjol sifat politisnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang diangkat menjadi menteri sudah seharusnya Presiden dan Wakil Presiden lebih mengutamakan persyaratan teknis kepemimpinan daripada persyaratan dukungan politis.8 Dalam hal ini jika presiden mengangkat seorang menteri dari lingkup elit partai politik itu dilakukan untuk mendapatkan suara di parlemen. Agar tidak terjadi kebuntuan dalam penetapan program kerja pemerintah dalam bentuk pengesahan APBN, penerimaan atau penempatan duta negara lain, ataupun pembuatan undang-undang. Namun apa yang diamatkan oleh Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tetap harus dilaksanakan. Jika diperbandingkan kekuasaan presiden dalam mengangkat dan memberhentikan para menteri ini berbeda dengan negara lain misalnya
7
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju. 8
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Pertama), h. 62.
49
Amerika Serikat, RRC, dan Jerman. Amerika Serikat dalam hal pengangkatan menteri oleh presiden harus mendapat persetujuan senat.9 Sedangkan RRC (Republik Rakyat Cina) kewenangan mengangkat atau memberhentikan menteri ada di tangan presiden menurut keputusan kongres rakyat nasional atau komisi tetap. Dan Jerman negara dengan sistem pemerintahan parlementer presiden mengangkat atau memberhentikan menteri atas usul kanselir namun diambil sumpah di hadapan Bundestag.10 Untuk menganalisa tentang pengangkatan dan pemberhentian para menteri yang dilakukan oleh presiden, Pemohon dalam Perkara a quo tidak mempermasalahkan kewenangan pengangkatan yang ada pada kekuasaan eksekutif saja yaitu presiden. Namun ketika para menteri yang diangkat oleh presiden itu mempunyai jabatan ganda misalnya pimpinan partai politik, ini dianggap bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam rangka mendapatkan kepastian hukum atas Pasal 23 undangundang a quo, Pemohon membawa 3 orang saksi ahli yaitu:
9
Pasal 2 bagian 2 angka 2 konstitusi Amerika Serikat: “…and he shall nominate, and by and with the advice and consent of the senate, shall appoint ambassadors, other public ministers and consul, judges of the supreme court, and all other officers of the united states,.. (dan dia harus menetapkan melalui dan dengan saran serta persetujuan senat, mengangkat duta besar, duta dan konsul, hakim mahkamah agung dan semua pejabat amerika serikat lainnya). 10
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, 226.
50
a. Guru Besar Universitas Andalas Saldi Isra (Rangkap Jabatan Partai Politik Merusak Sistem Politik)11 Rangkap jabatan pimpinan partai politik telah menyebabkan rusaknya sistem presidensiil. Sistem presidensiil dibedakan dengan sistem parlementer terkait penerapan teori pemisahan kekuasaan. Berbeda dengan parlementer, sistem presidensil memisahkan secara jelas kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sehingga tidak ada seorang anggota parlemen yang dapat merangkap jabatan menjadi menteri. Apalagi untuk ketua partai politik, dimana ada mekanisme recall yang memberi keuntungan pada pimpinan partai politik untuk mengintervensi legislatif. Sehingga ketua partai politik yang merangkap jabatan sebagai menteri dapat mempengaruhi keputusan parlemen yang secara konstitusional diberikan kewenangan untuk mengawasi eksekutif. Menteri dalam mempengaruhi lembaga perwakilan rakyat dilakukan melalui anggotanya yang ada di parlemen. Hal ini akan membuat ancaman bagi kemandirian lembaga perwakilan rakyat. Karena anggota partai politik yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan partai politik dapat dikenai recall. Pelarangan rangkap jabatan sesuai dengan teori pembatasan dominasi elit agar tercipta tatanan yang demokratis. Menurut Philip Nonet dan Philip Selznick dalam buku, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, dominasi elit yang menguasai banyak kebijakan tersebut. Ahli memandang kalau elit partai atau pimpinan partai ada di posisi menteri lalu dia juga ada diposisi ketua partai, menurut ahli itu akan terjadi dominasi elit. Dominasi elit yang menguasai banyak kebijakan tersebut akan menghasilkan dominasi represif. Salah satu upaya mencegah dominasi tersebut adalah pembatasan oleh konstitusi dan atau oleh undang-undang. Dominasi represif semakin potensial terjadi jika sistem atau praktik ketatanegaraan membenarkan adanya rangkap jabatan antar pimpinan partai dengan menteri negara. Langkah rangkap jabatan ini tidak lain adalah hasil dari koalisi, agar presiden dominan dalam proses-proses politik. Dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, ditegaskan menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Komisaris dan direksi pada perusahaan dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan APBD.
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
51
Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepas tugas dan jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Tujuan mulia yang ada di dalam konsideran huruf b dan penjelasan umum tersebut, menjadi kehilangan makna karena larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tidak tegas dan mengambang yang menyatakan, “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan APBD”. Ketidakpastian yang terjadi akibat perbedaan norma yang terdapat pada pasal a quo dan penjelasan umum, tidak terlepas dari kalkulasi politik para penyusun Undang-Undang a quo yang lebih memelihara kepentingan elit partai politik. Ketentuan Pasal 23 huruf c UndangUndang Nomor 39 Tahun 2008 menyimpang dari prinsip perumusan norma berupa larangan yang bersifat imperative. Kalau larangan harus dirumuskan secara imperative. Sedangkan pasal a quo bersifat fakultatif. Maka rumusan pasal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. b. M. Fajrul Falaakh12 Penjelasan Pasal 23 mengandung penafsiran norma yang bertentangan dengan norma pada batang tubuh Pasal 23 a quo. Di satu sisi Pasal 23 telah secara tegas menyatakan menteri dilarang merangkap jabatan pada organisasi yang dibiayai oleh APBN dan/atau APBD. Tetapi penjelasan mengandung pernyataan bahwa “diharapkan” seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan lainnya termasuk jabatan partai politik. Dengan demikian frasa “diharapkan” dan frasa “dapat” pada bagian penjelasan dari pasal a quo justeru mengurangi kepastian norma hukum pada pasalnya sendiri, sehingga dengan demikian bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945. Pelemahan watak kepastian hukum pada suatu norma dalam undangundang oleh penjelasan norma itu jelas bertentangan dengan Pasal 22A UUD NRI 1945, bahwa pembentukan undang-undang harus sesuai dengan tata cara pembentukan yang diatur dengan undang-undang. Angka 166 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan “Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut, oleh karena itu hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan”. Angka 167 menyatakan dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
52
Berdasarkan analisis ini diharapkan menteri dapat melepaskan tugastugas dan jabatan-jabatan lainya termasuk jabatan dalam partai politik yang terdapat di dalam penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 haruslah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22A UUD NRI 1945 yang mengharuskan tata cara pembentukan undang-undang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. c. Thomas A. Legowo (Melepas Rangkap Jabatan Bagian Dari Etika Politik)13 Kepentingan untuk menjalankan tugas sebagai menteri adalah menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan presiden untuk melayani seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Kepentingan ini menuntut seorang menteri untuk bekerja di atas semua golongan dan atau kelompok masyarakat. Sedangkan, kepentingan memimpin partai politik adalah melayani demi mengembangkan kejayaan partai politik. Lingkup pelayanan pemimpin partai politik terbatas pada anggota-anggota dan lebih jauh sedikit kepada konstituen. Anggota dan konstituen satu partai jelas berbeda dengan anggota dan konstituen yang lain. Kepelayanan pimpinan satu partai politik terbatas kepada kelompok masyarakat tertentu. Seorang menteri yang sekaligus menjalankan peran kepemimpinan partai politik akan mudah terganggu dalam memberi prioritas pelayanan dan lebih jauh dapat menumbuhkan kecurigaan terkait pemanfaatan jabatan publik demi kepentingan partai politik. Potensi konflik kepentingan seperti itu, menjelaskan secara gamblang bahwa seorang menteri yang merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik harus melayani dua tuan pada saat bersamaan. Menteri adalah pembantu presiden. Maka ketika seseorang diminta presiden dan bersedia menjadi menteri, pada saat itu juga ia terikat komitmen. Bahkan jikapun tanpa kontrak politik secara etis juga mengabdi dan melayani presiden hingga habis masa jabatannya. Di Indonesia, kebiasaan politik tidak mengharuskan menteri meninggalkan jabatan dalam partai politik. Jika seperti ini akan muncul kompleksitas etika dari kesejajaran etik antara melaksanakan tugas sebagai menteri dan pimpinan partai politik secara penuh waktu. Pelepasan rangkap jabatan, sebenarnya membantu menteri terhindar dari jebakan konflik kepentingan dan beban politik yang berlebihan. Selain itu ada keuntungan pada partai politik, jika menteri menanggalkan jabatan pimpinan partainya. Yaitu terciptanya regenerasi kepemimpinan.
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
53
Ketiga pendapat hukum diatas memberikan memberi ulasan dari 3 aspek yang berbeda. Dr. Thomas A. Legowo meninjau dari aspek politis bahwa rangkap jabatan tidak memberikan dampak yang menguntungkan untuk menteri dalam menjalankan tugas pemerintahan ataupun menteri sebagai pimpinan partai politik. M. Fajrul Falaakh memberikan tinjauan dari aspek hukum, dimana Pasal 23 dan Penjelasan Umum a quo dipandang telah bertentangan dengan UUD NRI 1945 yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3). Sedangkan Saldi Isra lebih meninjau pada aspek sistem pemerintahan. Dengan segala argumentasinya ia menilai bahwa dengan rangkap jabatan menteri sebagai anggota kabinet dan/atau pimpinan partai politik mengarah pada sistem pemerintahan parlementer. Yang tidak sesuai dengan semangat amandemen UUD 1945 yaitu mempertahankan dan purifikasi sistem presidensil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut hemat penulis, permohonan ini layak untuk di uji materiilkan oleh Mahkamah Konstitusi RI. Karena selain bertentangan dengan asas pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
uji
materiil
ini
akan
memberikan kepastian hukum atas norma hukum yang diujikan. Karena jika permohonan ini memiliki kedudukan hukum dapat dipastikan amar putusan berbunyi permohonan dikabulkan. Karena berdasarkan berdasarkan Pasal 56 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 telah menyatakan ketentuannya dengan jelas, bahwa
54
setiap undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undangundang berdasarkan UUD 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Namun sayang, permohonan ini tidak diujikan oleh Pemohon yang memiliki legal standing. Selain perihal ketatanegaraan juga ada norma hukum dalam ruang lingkup hukum perdata. Yang tidak merugikan atau memberi ketidakpastian hukum ataupun ketidakadilan untuk masyarakat, namun pada segelintir individu atau badan hukum tertentu. Yaitu: 2. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 MK Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya perkara ini juga tidak memiliki legal standing¸ namun menurut hemat penulis sangat penting untuk di uji materiilkan. Objek permohonannya yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang berbunyi: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Pada pasal ini syarat untuk dinyatakan pailit adalah: a. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor. b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal a quo, maka syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah minimal satu
55
utang jatuh tempo dan minimal satu utang dapat ditagih, dan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang. Syarat yuridis lainnya adalah apabila syarat pailit sudah terpenuhi hakim harus “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga hakim tidak diberi ruang untuk melakukan judgement yang luas.14 Pasal yang menjadi batu uji pasal a quo adalah Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 G ayat (1) yang berbunyi:15 Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman dari ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak asasi. Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Guru Besar Universitas Indonesia, Yusril Ihya Mahendra, semangat lahirnya Undang-Undang a quo untuk memulihkan bank dari krisis 1998 dan melindungi bank dari debitor nakal. Akan tetapi, setelah bank pulih dan kuat keadaan justeru terbalik. Bank langsung dan dengan mudah memailitkan debitor tanpa alasan yang kuat. Dengan bantuan mafia hukum seperti oknum pengacara, bank, pengadilan
14
Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
15
Republik Indonesia: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
56
niaga, kurator, lembaga lelang, dan pemenang lelang, debitor dapat dipailitkan.16 Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Nudirman Munir Anggota Komisi III DPR RI, dalam seminar yang diselenggarakan pada 23 Mei 2013 di Universitas Esa Unggul dengan Tema “ Mengungkap Konspirasi Mafia Hukum Dalam Kepailitan (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang) bahwa:17 Sejak disahkan dan berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dimana menjadi panggung sejarah mengenai perkara kepailitan di Indonesia. Sejalannya waktu dimana perekonomian semakin kompleks dan perubahan paradigma hukum yang cepat dimasyarakat mulai tampak kelemahan-kelemahan yang mungkin dahulu tidak terpikirkan ataupun dikesampingkan namun memiliki dampak yang sangat fatal, dimana terdapat kekosongan hukum dan celah-celah yang dapat dimanfaatkan oknum-oknum, mafia hukum di peradilan niaga. Ada beberapa masalah yang harus diperhatikan antara lain: a. Syarat pailit yang terlalu sederhana serta tidak relevan lagi yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU; b. Insolvensi adanya di akhir pada saat proses pemberesan harta pailit yang menyebabkan pihak-pihak yang tersangkut sering tidak mengetahui secara pasti berapa harta debitor dan banyak perusahaan yang solven dipailitkan. Menurut hemat penulis syarat pailit yang diatur dalam UndangUndang a quo memberikan ketidakadilan bagi debitor yang mempunyai nilai aset yang jauh melampaui nilai utang (sanggup bayar). Namun hakim pengadilan niaga diharuskan menjatuhkan putusan pailit pada debitor yang mempunyai 2 kreditor atau lebih. Syarat pailit yang tidak komprehensif dan
16
17
Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
57
tidak memberikan keadilan bagi justitia bellen ini patut untuk diuji materiilkan. 3. Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Permohonan ini diajukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan dinyatakan tidak memiliki legal standing oleh Mahkamah Konstitusi. Objek permohonannya adalah Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi: (2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. Norma hukum ini menyatakan bahwa BPK tidak akan mendapatkan informasi mengenai wajib pajak bila tidak mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Dinilai kontradiktif dengan UUD NRI 1945 P asal 23E ayat (1) “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” oleh Pemohon yaitu BPK. Menurut hemat penulis Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak hanya bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) tapi juga bertentangan dengan Pasal
58
23G ayat 2 bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang”. Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK diatur Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, seperti tersebut dalam Pasal 6 dan Pasal 9 yang menyatakan: “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”. Pasal 9 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2006 “Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, seperti tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) menyatakan: “Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara”. Pasal 10 UU Nomor 15 Tahun 2004 huruf menyatakan “Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat: a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2004 juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
59
selanjutnya disingkat UU Nomor 17 Tahun 2003, BPK berwenang melakukan pemeriksaan atas seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara berupa pajak dan non pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara maupun utangnya, memeriksa penempatan kekayaan negara serta penggunaan pengeluaran negara. Menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007, tidak semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK selaku “lembaga negara” dimaksud, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Meliputi: nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak, alamat kegiatan usaha, merk usaha dan kegiatan usaha wajib pajak. Selain itu informasi yang bersifat umum tentang perpajakan yang dapat diakses BPK adalah: a. penerimaan pajak secara nasional; b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Kantor Pelayanan Pajak; c. penerimaan pajak per jenis pajak; d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; e. jumlah Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; f. register permohonan Wajib Pajak; g. Tunggakan pajak secara nasional dan Tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Kantor Pelayanan Pajak. Menurut Pemohon Pasal dan penjelasan a quo yang tersebut secara nyata dan tegas mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1)
60
UUD 1945 dan undang-undang lainnya sehingga sangat merugikan kewenangan konstitusional Pemohon.” Namun menurut penulis pertentangan antara pasal Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan undang-undang lainnya yang terkait dengan kewenangan BPK yang diberikan oleh UUD telah bertentangan dengan Pasal 23G ayat (2) UUD NRI 1945. Amanat peraturan organik Pasal 23G ayat (2) UUD NRI 1945 terdapat pada Pasal 3 dan 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 6 dan 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ketika tidak sesuai dengan pasal a quo maka secara tidak langsung telah bertentangan dengan UUD. Pendapat ahli mengenai permohonan ini yaitu Guru Besar Philipus M. Hadjon yaitu:18 Fungsi pemeriksaan keuangan negara oleh BPK adalah dengan tujuan untuk mencegah kerugian negara. Ruang lingkup pemeriksaan adalah pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (vide Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004). Dengan demikian pembatasan sebagaimana yang dilakukan melalui Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 18
Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi RI.
61
28 Tahun 2007 khusus berkaitan tugas pemeriksaan BPK adalah tidak tepat dan mengakibatkan tujuan pemeriksaan tidak tercapai. Rahasia Wajib Pajak, ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2006 menegaskan: Dokumen ... yang diminta oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dipergunakan untuk pemeriksaan. Oleh karena itu ratio legis Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 tidaklah dapat dijadikan alasan untuk menghambat tugas dan wewenang pemeriksaan keuangan negara oleh BPK. Apakah Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945? Cermin dari BPK yang bebas dan mandiri adalah tugas dan wewenang yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 dan UU Nomor 15 Tahun 2004. Dengan demikian, jelaslah bahwa Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 bertentangan dengan hakikat BPK yang bebas dan mandiri berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Pendapat ini sesuai dengan BPK di negara lain. Dimana pemeriksa atau auditor dapat melakukan review atas penerimaan pajak individual, dan bahkan mereka diberi kewenangan khusus untuk menambah beberapa hal yang menurut mereka mencurigakan, untuk dapat diperiksa/diaudit.19 Hal ini berbeda dengan Indonesia dalam pemeriksaan pajak. Berdasarkan Section 20 “The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts” pada Kongres International Organization of Supreme Audit Institutions (organisasi BPK se-dunia) ke-IX pada bulan Oktober tahun 1977 di Lima, Peru menyatakan bahwa BPK harus memeriksa penerimaan pajak se-ekstensif mungkin sampai ke berkas individual wajib pajak.20
19
Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi RI.
20
Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi RI.
62
Disini, yang diperlukan adalah putusan dari Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah pasal yang mewajibkan kerahasiaan semua informasi wajib pajak, termasuk dalam hal ini pada BPK sebagai lembaga pemeriksa pengelolaan keuangan negara itu konstitusional atau tidak. Namun permohonan ini tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki legal standing.
B. Tinjauan Yuridis Limitasi Permohonan Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Dapat dibuktikan bahwa pada setiap putusan PUU di Mahkamah Konstitusi RI selalu mepaparkan kedudukan hukum Pemohon sebagai dasar permohonan. Hal ini juga dikuatkan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ditambah Pasal 51A ayat (2) poin b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Mahkmah Konstitusi. Bahwa dasar Permohonan PUU meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum Pemohon (hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan), dan alasan pengujian. Tanpa berspekulasi terhadap politik hukum para legislator, berlakunya undang-undang a quo, sebenarnya yang terjadi adalah Mahkamah hanya menguji permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang memenuhi persyaratan administrasi dan legal standing. Namun ketika suatu undang-undang itu perlu
63
diuji dan tidak dapat diujikan maka menurut hemat penulis disini telah terjadi misdalig recht terhadap rakyat ataupun negara. Mahkamah Konstitusi seharusnya melakukan upaya tertentu, yang tidak bertentangan dengan Pasal a quo dan sejalan dengan UUD. Ini adalah suatu kenaifan dan ironi ketika fungsi utama mendirikan Mahkamah Konstitusi yang digagas oleh Hans Kelsen adalah menegakkan konstitusi dengan kewenangannya untuk membatalkan suatu undang-undang jika bertentangan dengan konstitusi.21 Namun ketika bangunan konstitusional itu sudah jelas kemudian terkendala oleh pasal lain yang masih merupakan bagian dari bangunan konstitusional itu sendiri. Maksudnya adalah berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” tidak memberikan limitasi pada PUU. Tidak ada redaksi yang menentukan pembatasan terhadap permohonan PUU mana yang dapat diuji dan tidak dapat diuji. Namun sebagaimana tertera pada Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 memberikan kewenangan pada lembaga legislatif untuk menentukan hukum acara PUU. Maka disini politik hukum dari para pembuat undang-undanglah yang akan menentukan bagaimana persyaratan
21
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint) Upaya Hukum Terhdap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, h. 191.
64
PUU. Apakah setiap undang-undang yang bermasalah atau hanya undang-undang yang diajukan oleh subjek hukum yang tepat saja. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ahmad Syahrizal dalam menganalisa Pasal 50 Undang-Undang a quo. Ketentuan Pasal 50 ini sebenarnya masuk ke dalam kategori “tidak sesuai”22 (unvereinbar) terhadap Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ketidaksesuaian muncul, disamping ketentuan Pasal 24 C ayat (1) itu, juga ada dictum Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain mengatakan; “…hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan ini maka secara interpretatif organ undang-undang dapat membatasi periode undang-undang yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Namun perlu disadari bahwa Mahkamah Konstitusi juga memperoleh mandat konstitusional untuk menguji seluruh undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tanpa harus melihat kapan undangundang itu diundangkan. Dengan demikian, mahkamah dalam menerima permohonan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak mempersoalkan apakah undang-undang itu diundangkan setelah atau sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Akibat dari terdapatnya dua ketentuan yang sama-sama konstitusional, maka Pasal 50 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi itu dapat dikatakan tidak sepenuhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.23
C. Mahkamah Konstitusi Dituntut Mengembangkan Doktrin Konstitusional Menyikapi Permohonan Yang Tidak Memiliki Legal Standing 22
Dikatakan tidak sesuai karena disamping Pasal 24C ayat (1), ayat (6) UUD 1945 menyatakan; “pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang”. Oleh karena Undang-Undang Dasar menentukan bahwa hukum acara dapat diatur melalui undang-undang, dan ternyata pengaturan oleh undang-undang itu menyebabkan kekuasaan menguji undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi terbatas hanya terhadap undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar (Pasal 50 UU MK), maka keberadaan Pasal 50, secara teoritis tidak dapat dikatakan sepenuhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 23
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi “Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, Cet. Pertama), h. 267.
65
Pengujian norma secara abstrak adalah mekanisme preventif bagi masa depan produk legislasi yang diprediksi tidak konstitusional. Objek pengujian terfokus persoalan-persolan bersifat umum dengan memusatkan pengujian pada seluruh pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam suatu undang-undang.24 Berbeda dengan Austria, Prancis ataupun Jerman yang menerapkan pengujian norma abstrak.25 Indonesia tidak menerapkan pengendalian norma abstrak dalam proses uji konstitusionalitas. Cara pengujian yang seperti ini juga merupakan pembatasan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Yang membatasi atau mengambil bentuk pengujian yang sifatnya represif saja. Memiliki perbedaan dengan sistem pengujian konstitusionalitas yang pertama kali digagas oleh Hans Kelsen. Yaitu dengan melakukan pengujian konstitusional terhadap norma yang bersifat abstrak ataupun konkret (bersifat a posteriori (a posteriori review) ataupun a priori (a priori review)).26 Dalam hal ini, tokoh hukum Indonesia Satjipto Rahardjo berpendapat, “jika tidak dapat diujikan bahwa undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat
akan ditidurkan (statutory dormancy) atau dikesampingkan
24
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Jala Aksara Permata, 2010, Cet. Pertama), h. 152. 25
26
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, h. 152.
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Cet. Pertama), h. 49.
66
(desuetudo).27 Dan jika hakim hanya menjadi corong undang-undang maka muncullah pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat.28 Meminjam istilah Satjipto Rahardjo bahwa karena tidak dapat diujikan maka undang-undang-undang tersebut akan ditidurkan. Namun tidak hanya itu, hal ini juga menyalahi prinsip supremasi konstitusi. Dimana prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, diutamakanlah prinsip supremasi konstitusi.29 Disini Mahkamah Konstitusi dituntut untuk melakukan pengembangan doktrin konstitusional tanpa harus melakukan perubahan pada UUD. Berangkat dengan dasar hukum
yang ada,
mampu menampung kebutuhan dari
perkembangan hukum masyarakat. Misalnya melalui pengiriman sebuah note kepada lembaga pembuat undang-undang agar melakukan mekanisme legislative review atau amandemen terhadap undang-undang a quo yang tidak memiliki legal standing namun bersifat krusial. Mahkamah Konstitusi sebagai Guardian of The Constitution harus mengambil sikap, oleh sebab undang-undang yang tidak dapat diujikan bertentangan dengan UUD akan merugikan rakyat. Karena “rakyat itu harus tunduk dan mematuhi
27
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007, Cet. Kedua), h. 96. 28
29
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, h. 38. Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, h. 152.
67
setiap undang-undang” yang merupakan kehendak umum dari masyarakat yang telah dilimpahkan kepada wakil-wakil rakyat.30 Fakta ini, dari sudut pandang sosiologis dapat terjadi karena tidak semua masyarakat Indonesia mengerti hukum. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab I bahwa Bank Dunia merilis data bahwa hanya 65 juta penduduk Indonesia yang berada di atas garis kemiskinan. Dapat disimpulkan, bahwa mayoritas penduduk Indonesia tidak mengerti hukum. Dikarenakan, tingkat kemiskinan tentu berpengaruh langsung pada tingkat pendidikan masyarakat. Dibutuhkan mereka yang mengerti hukum untuk mengambil alih peran dalam melindungi masyarakat dari produk legislasi yang dinilai tidak konstitusional, melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ataupun misdalig recht. Namun langkah ini, tentu tidak dapat serta merta diterapkan. Karena dibutuhkan kerugian konstitusional sebagai syarat pengajuan permohonan pengujian konstitusionalitas. Mekanisme pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh mereka yang cakap hukum dalam mewakili masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan hukum, dapat terlaksana jika dilakukan revisi pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
30
121.
Maria Faria Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan “Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan”, h.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pengujian undang-undang (PUU) merupakan bagian dari pengujian konstitusionalitas. Berbeda dengan pengujian legalitas, PUU menjadikan undang-undang dasar sebagai batu uji dan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. PUU diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan mensyaratkan adanya kedudukan hukum pada individu, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara sebagai subjek hukum. Untuk memiliki kedudukan hukum keempat subjek hukum tersebut harus mempunyai hak / kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD dan dianggap telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji, kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik), aktual atau bersifat potensial yang menurut penalaran pasti akan terjadi, adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan, dan adanya kemungkinan jika dikabulkannya permohonan maka tidak akan terjadi kerugian konstitusional. Diluar empat subjek hukum diatas dan kerugian konstitusional Pemohon permohonan PUU tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah. Dan ketika
persyaratan
prosedural
68
terpenuhi
maka
Mahkamah
dapat
69
mempertimbangkan permohonan Pemohon dengan mengeluarkan putusan berupa dikabulkan atau ditolak. Namun ketika tidak memenuhi persyaratan prosedural maka amar putusan berbunyi tidak dapat diterima. Dan jika Pemohon menarik kembali berkas permohonan sebelum putusan Mahkamah maka amar putusan ditarik kembali. Menurut hemat penulis berdasarkan penelitian ini Mahkamah Konstitusi telah melakukan amanat konstitusi untuk melakukan PUU. Dengan melahirkan 665 putusan PUU terhitung sampai akhir 2014, Mahkamah Konstitusi sudah melaksanakan perintah UUD. 163 Putusan Kabul, 243 Putusan Tolak, 191 Putusan Tidak Dapat Diterima, dan 68 Putusan Tarik Kembali1 merupakan wujud dari kedaulatan hukum yang dimiliki oleh Mahkamah untuk menentukan konstitusionalitas suatu undang-undang. Dan untuk perkara-perkara yang tidak memiliki legal standing sesuai dengan
ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi tanpa perubahan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah dapat memutuskan tidak dapat diterima jika permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 Undang-Undang a quo.
1
Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari website resmi Mahkamah Konstitusi.
70
Hal ini terjadi atas konsekuensi berlakunya Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga legislatif untuk menentukan hukum acara Mahkamah Konstitusi, tanpa memberikan arahan teknis seperti apa prosedur pengajuan PUU di Mahkamah Konstitusi. Sehingga PUU yang diamanatkan oleh Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
B. Saran 1. Tidak semua permohonan PUU dapat diuji formil atau materiilkan oleh Mahkamah. Ketentuan ini mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri. Seperti yang tertuang dalam Bab IV tentang Constitutional Review Di Mahkamah Konstitusi penulis menilai Mahkamah harus menemukan
dan
memperluas
doktrin
konstitusional,
serta
menghubungkannya dengan konstitusi. Sehingga dalam melaksanakan UUD Mahkamah Konstitusi tidak bersifat kaku untuk menerima atau memutus suatu perkara. 2. Untuk permohonan PUU yang dimohonkan oleh Pemohon yang tidak memiliki legal standing, namun undang-undang yang menjadi objek permohonan sangat krusial untuk diuji Mahkamah dapat memberikan semacam note kepada lembaga legislatif.
71
3. Mahkamah Konstitusi juga dapat memberi pendapat hukum terhadap undang-undang / permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon. Pendapat hukum ini, seyogianya dapat menjadi acuan bahwa benar undang-undang / pasal / ayat a quo bersifat inkonstitusional. 4. Cara pengujian norma abstrak yang diterapkan di Jerman, Austria, dan Prancis dapat dijadikan referensi dalam sistem constitutional review di negara kita. Langkah Jerman untuk menegakkan supremasi konstitusi dapat kita terapkan. Penerapan ini tidak mengharuskan perubahan pada UUD karena hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. 5. Sistem penerapan constitutional review bertahap di Negara Federasi Jerman dapat kita tiru untuk meminimalisir adanya putusan niet ontvankelijk verklaard yang tidak memiliki legal standing. Karena dalam pengujian abstrak dan konkret tidak mensyaratkan kerugian konstitusional Pemohon. Dan ketika Pemohon sudah mengalami kerugian konstitusional yaitu dengan dilanggarnya HAM Pemohon oleh suatu produk hukum maka dapat menempuh upaya pengaduan konstitusional. 6. Melakukan amandemen undang-undang untuk mengubah mekanisme pengujian konstitusionalitas.
72
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Arto, A Mukti., Konsepsi Ideal Mahkamah Agung cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Asshiddiqie, Jimly., Hukum Acara Pengujian Undang-Undang cet 1. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005.
. Komentar Atas UUD NRI 1945 cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
. Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook)
. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
. Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi cet. 2. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Chaidir, Ellydar., Hukum dan Teori Konstitusi cet. 1, Jogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007.
Chrisnandi, Yuddy., Beyond Parlemen “Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional cet. 2. Jakarta: IND HILL CO, 2008.
73
Fajar, Mukti. dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction (Second Edition) “Hukum Amerika” Sebuah Pengantar cet. 1. Jakarta: Tata Nusa, 2001.
Gaffar, Janedjri M., Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945” cet. 1. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Ghoffar, Abdul., Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju cet. 1. Jakarta: Kencana, 2009.
Huda, Ni’matul., Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review cet. 1. Yogyakarta: UII Press, 2005.
. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Ibrahim, Johnny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif cet. 4. Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Indrati S, Maria Faria., Ilmu Perundang-Undangan “Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan” cet. 5. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara cet. 1. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2013.
74
Latief, Abdul. dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Total Media, 2009.
Marzuki, Laica., Berjalan-Jalan di Ranah Hukum “Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica Marzuki” cet. 1. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian hukum cet. 2. Jakarta: Kencana Pranada Media Grup, 2006.
. Penelitian hukum cet. 5. Jakarta: Kencana Pranada Media Grup, 2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara “Pasca Amandemen Konstitusi” cet. 2. Jakarta: Raja Grafindo, 2011.
. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.
O’Brein, David M., Constitutional Law And Politics Volume One “Struggles for Power and Govermental Accountability cet. 3. New York: W.W Norton, 2003.
Palguna, I Dewa Gede., Pengaduan Konstitusional (Contitutional Complaint) “Upaya Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara” cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Rahardjo, Satjipto., Membedah Hukum Progresif cet. 2. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007.
75
. Sisi Lain Dari Hukum Indonesia cet. 3, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009.
Roestandi, Achmad., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum cet. 2. Jakarta: Rajagrafindo, 2012.
Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD “Buku Panduan Seri 2”. Jakarta: Saint Communication, 2004.
Sinamo, Nomensen., Perbandingan Hukum Tata Negara cet. 1. Jakarta: Jala Aksara Permata, 2010.
Soekanto, Soejono., Pengantar Penelitian Hukum cet. 1. Jakarta: UI-Press, 2010
Soimin dan Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia cet. 3. Yogyakarta: UII Press, 2013
Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo, 2006.
Syahrizal, Ahmad., Peradilan Konstitusi “Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif” cet. 1. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
76
Thalib, Abdul Rasyid., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006.
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum cet. 2, Jakarta: YLBHI, 2007.
REGELS: Republik Indonesia: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
VONNIS: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-I/2003.
77
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 58/PUU-XI/2013.
BAHAN PERKULIAHAN: Bahan ajar perkuliahan “Metode Penelitian Hukum I” dengan Prof Atho Mudzhar dan Asrori Karni, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
WEBSITE: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/reducing-extreme-poverty-inindonesia.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/11/09303856/Telkomsel.Pailit.Dahl an.Iskan.Sindir.Telkom
LAMPIRAN
Lampiran ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hasil penelitian penulis. Terangkum dalam BAB III sub-bab Putusan Tidak Dapat Diterima (niet ontvankelijk verklaard) pada bagian Rekapitulasi Putusan niet ontvankelijk verklaard. Hasil penelitian ini didasarkan pada putusan niet ontvankelijk verklaard yang di akses melalui website resmi Mahkamah Konstitusi. Penulis juga melakukan verifikasi ke Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi MK, dan membenarkan kevalidan putusan ataupun rekapitulasi yang dibuat oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertera pada website Mahkamah Konstitusi. Tabel-1 Putusan Tidak Memiliki Legal Standing No.
Nomor Perkara
1.
009/PUU-I/2003
2.
014/PUU-I/2003
3.
024/PUU-I/2003
4.
001/PUU-II/2004
5. 6.
003/PUU-II/2004 005/PUU-II/2004
7.
007/PUU-II/2004
8.
054/PUU-II/2004
Jenis Peraturan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sususan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD. UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
9. 10.
057/PUU-II/2004 061/PUU-II/2004
11.
017/PUU-III/2005
12.
018/PUU-III/2005
13.
007/PUU-IV/2006
14. 15.
009/PUU-IV/2006 010/PUU-IV/2006
16. 17. 18.
011/PUU-IV/2006 015/PUU-IV/2006 021/PUU-IV/2006
19.
024/PUU-IV/2006
20. 21.
031/PUU-IV/2006 1/PUU-V/2007
22.
8/PUU-V/2007
23.
20/PUU-V/2007
24. 25.
28/PUU-V/2007 31 /PUU-V/2007
26.
2/PUU-VI/2008
UU Nomor 23 Tahun 2003 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. UU Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
27.
3/PUU-VI/2008
28.
4/PUU-VI/2008
29.
6/PUU-VI/2008
30.
26/PUU-VI/2008
31.
47/PUU-VI/2008
32.
58/PUU-VI/2008
33.
12/PUU-VII/2009
34.
16/PUU-VII/2009
35.
18/PUU-VII/2009
36.
100/PUU-VII/2009
37.
104/PUU-VII/2009
38.
107/PUU-VII/2009
39.
119/PUU-VII/2009
40.
122/PUU-VII/2009
41.
131/PUU-VII/2009
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Tata Cara Perpajakan. UU Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Sumatera Utara. UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan. UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan. UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
42.
132/PUU-VII/2009
43. 44.
135/PUU-VII/2009 138/PUU-VII/2009
45.
142-146/PUUVII/2009
46.
145/PUU-VII/2009
47.
151/PUU-VII/2009
48.
10/PUU-IX/2010
49. 50.
14/PUU-VIII/2010 15/PUU-VIII/2010
51.
17/PUU-IX/2010
52.
18/PUU-VIII/2010
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang junto UndangUndang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung serta UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
53.
4/PUU-IX/2011
54.
14/PUU-IX/2011
55.
18/PUU-IX/2011
56. 57.
23/PUU-IX/2011 66/PUU-IX/2011
58.
67/PUU-IX/2011
59.
74/PUU-IX/2011
60.
85/PUU-IX/2011
61.
6/PUU-X/2012
62.
11/PUU-X/2012
63.
18/PUU-X/2012
64.
20/PUU-X/2012
65.
41/PUU-X-2012
66.
47/PUU-X/2012
67.
48/PUU-X/2012
68.
97/PUU-X/2012
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. KUH Perdata junto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materi. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah TK II Bengkayang dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang. UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
69.
5/PUU-XI/2013
70.
21/PUU-XI/2013
71. 72.
58/PUU-XI/2013 63/PUU-XI/2013
73.
73/PUU-XI/2013
74.
106/PUU-XI/2013
75.
26/PUU-XII/2014
76.
61/PUU-XII/2014
77. 78.
65/PUU-XII/2014 70/PUU-XII/2014
79.
71/PUU-XII/2014
80.
85/PUU-XII/2014
81.
121/PUU-XII/2014
82.
123/PUU-XII/2014
83.
132/PUU-XII/2014
84.
137/PUU-XII/2014
Retribusi Daerah. UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. UU Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. UU Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat Di Provinsi Sumatera Utara. UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Tabel-2 Permohonan Kehilangan Objek (Objectum Litis) No. 1.
Nomor Perkara 020/PUU-IV/2006
2. 3. 4.
60/PUU-XI/2013 65/PUU-XI/2013 91/PUU-XI/2013
5.
92/PUU-XI/2013
6.
93/PUU-XI/2013
7.
94/PUU-XI/2013
8.
107/PUU-XI/2013
9.
38/PUU-XII/2014
10.
97/PUU-XII/2014
11.
98/PUU-XII/2014
12.
101/PUUXII/2014 105/PUUXII/2014 111/PUUXII/2014 118-119-125-126127-129-130135/PUU-
13. 14. 15.
Jenis Peraturan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. UU Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. UU Tanpa Nomor Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Tanpa Nomor Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Daerah. UU Tanpa Nomor Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Daerah. UU Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Peraturan Pemerintah
XII/2014
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Per ubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Tabel-3 Permohonan Kabur No. 1.
Nomor Perkara 9/PUU-X/2012
2.
44/PUU-X/2012
3. 4. 5.
68/PUU-X/2012 71/PUU-X/2012 77/PUU-X/2012
6.
109/PUU-X/2012
7.
36/PUU-XI/2013
8.
40/PUU-XI/2013
9.
42/PUU-XI/2013
10.
43/PUU-XI/2013
Jenis Peraturan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Herziene Indonesia Reglement. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
11.
79/PUU-XI/2013
12.
81/PUU-XI/2013
13.
86/PUU-XI/2013
14.
101/PUUXI/2013 102/PUUXI/2013 104 /PUU- UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga XI/2013 Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3). 6/PUU-XII/2014 UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun. 23/PUU-XII/2014 UU Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi. 34/PUU-XII/2014 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. 43/PUU-XII/2014 UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 49/PUU-XII/2014 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 59/PUU-XII/2014 UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 67/PUU-XII/2014 UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 86/PUU-XII/2014 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. 120/PUUUU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara XII/2014 Pidana.
15. 16.
17. 18. 19. 20
21. 22. 23. 24. 25.
UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Jaminan Sosial Nasional. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Tabel-4 Ne Bis In Idem No. 1.
Nomor Perkara 28/PUU-IX/2010
2.
50/PUU-IX/2011
3. 4.
55/PUU-IX/2011 83/PUU-IX/2011
5.
2/PUU-X/2012
6.
12/PUU-X/2012
7. 8. 9.
23/PUU-X/2012 24/PUU-X/2012 38/PUU-X/2012
10.
42/PUU-X/2012
11.
51/PUU-X/2012
12.
55/PUU-X/2012
13.
80/PUU-X/2012
14.
87/PUU-X/2012
15.
104/PUU-X/2012
Jenis Peraturan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah serta Undang-Undang
16.
115/PUU-X/2012
17.
22/PUU-XI/2013
18.
44/PUU-XI/2013
19.
53/PUU-XI/2013
20.
59/PUU-XI/2013
21.
51/PUU-XII/2014
22.
53/PUU-XII/2014
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Tabel-5 Mahkamah Tidak Berwenang Mengadili Perkara No. 1. 2.
Nomor Perkara 42/PUU-VI/2008 129/PUU-VII/2009
3.
24/PUU-VIII/2010
4. 5.
25/PUU-IX/2011 36/PUU-IX/2011
Jenis Peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Dana Pensiun. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-
6.
39/PUU-IX/2011
7.
54/PUU-IX/2011
8.
56/PUU-IX/2011
9.
63/PUU-IX/2011
10.
69/PUU-IX/2011
11.
24/PUU-XI/2013
12.
75/PUU-XII/2014
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Putusan Mahkamah Agung Atas Tanah Bekas Hak Barat Verponding Nomor 273 terletak di Jalan Mangonsidi Nomor 5 Kediri terhadap UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar NRI 1945. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR 19602002 dan TAP MPR Sementara Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.
Tabel-6 Tidak Ada Lagi Norma Yang Menjadi Objek / Dihapus No. 1.
Nomor Perkara 004/PUU-I/2003
Jenis Peraturan UU Nomor 14 Tahun 1985.
2.
13/PUU-X/2012
UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012.
Tabel-7 Pengujian Formil Sudah Melewati Tenggat Waktu Yang Ditentukan No. 1.
Nomor Perkara 140/PUU-XII/2014
Jenis Peraturan UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Tabel-8 Salah Menentukan Objek No. 1.
Nomor Perkara 29/PUU-XI/2013
Jenis Peraturan UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahuun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Tabel-9 Permohonan Tidak Memenuhi Syarat No. 1.
Nomor Perkara 89/PUU-X/2012
Jenis Peraturan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 Jenis
peraturan
yang
diuji:
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
01/PK/PILKADA/2005. Berdasarkan keterangan pada bagian Konklusi Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Perkara ini tidak memiliki legal standing dan objek perkara bukan kewenangan Mahkamah. Karena ada dua alasan yang menyebabkan perkara ini tidak dapat diterima, maka penulis tidak memasukkan kedalam list putusan yang tidak memiliki legal standing ataupun Mahkamah tidak berwenang. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penelitian.