Nursida Dewi
MISSION POSSIBLE -but difficult task-
Penerbit NulisBuku
MISSION POSSIBLE-but difficult taskOleh: Nursida Dewi Copyright © 2011-2013 by Nursida Dewi
Penerbit NulisBuku http://www.nulisbuku.com
Desain Sampul: By Author
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Pria itu berjalan dengan langkahnya yang tanpa cela; tegap, berani, dan tidak berjeda. Dia berjalan menuju sebuah gedung bertingkat tiga yang cukup besar dengan warna hitam-merah yang dominan, dinding berwarna merah menyala dan kaca-kaca hitam yang berderet di setiap tingkatan lantainya. Pria itu sesekali memperbaiki dirinya; membenarkan kerah bajunya, memastikan tidak ada kerutan di jas berwarna indigonya, dan terkadang merapikan rambutnya yang coklat kehitaman. Kacamata berbingkai hitam yang sederhana namun elegan pun menambah pesona kedua iris cokelatnya yang teduh namun sorotnya tajam. Postur tubuhnya yang tegap dan tinggi dibalut sempurna dengan setelan resmi yang dikenakannya kini. Siapapun tidak butuh dua kali memandang pada sosoknya yang nyaris tanpa cela ini. Dia tampan dan sempurna. Pria itu masuk ke lobi utama dan diam beberapa saat sambil menerawangi sekeliling dengan perlahan dan seksama. Lobi itu tidak terlalu besar. Warna di dalam sangat kontras dengan penampilan luarnya yang menggairahkan. Dindingnya didominasi dengan warna eggshell dan dipadukan dengan warna hijau dari tanaman-tanaman yang ditata dalam pot-pot berukuran besar di tiap-tiap sisi lobi. Meja marmer resepsionis ada di sebelah kanannya dan di sebelah kiri ada ruang tunggu tamu yang difasilitasi dengan sofa-sofa empuk dan majalah serta bahan bacaan lainnya yang tersusun di atas meja kaca. Di ujung depan matanya ada dua buah elevator dan di sisi kanan-kirinya ada tangga darurat. Setelah beberapa saat, akhirny pria itu menemukan orang yang dicarinya. Pria itu tersenyum tipis sambil melambaikan tangannya sekali. Mereka berdua saling mendekat dan berjabatan tangan. “Halo, senang kau mau menyempatkan datang hari ini,” orang itu menyalami si pria tersebut. Dia seorang wanita, mungkin di pertengahan dua puluhan. Dia tidak terlalu tinggi dan perlu sedikit mendongak untuk menatap pria di depannya itu. Rambutnya hitam kecoklatan dan disanggul rapi agak ke
3
bagian atas kepalanya dan disemat dengan pin berwarna perak. Dia mengenakan kemeja berkerah tinggi berwarna putih dengan lengan buntung dan celana hitam panjang, serta sepasang hak tinggi bertumit tertutup yang senada dengan celananya. Setelah beberapa puluh detik yang diisi dengan basa-basi bisnis, wanita tersebut mempersilahkan pria yang bersamanya itu untuk menuju elevator. “Saya merasa sangat terhormat bisa menulis kisah perjalanan hidup anda. Saya yakin anda punya banyak kisah menarik sepanjang perjalanan karir anda.” Pria itu tertawa kecil dan lalu membalas, “Ya, aku memang punya banyak kisah. Tapi kali ini kau harus tahan mendengarkan cerita yang akan kau tulis, karena ini sangat panjang dan bukan hanya melibatkan aku saja.” “Bernarkah?” balas wanita itu seraya mereka berdua masuk ke dalam elevator. “Ya,” pria itu tersenyum sambil memandang lurus ke depan. “Ini cerita tentang sekumpulan idiot.” Dan pintu elevator tertutup. Membawa mereka ke atas. Ke tempat dimana semua perkara akan dibawa kembali dari kotak memori yang bukan hanya dia seorang yang memiliki, namun semua yang saling berbagi kisah disini.
4
1. Life As We Know It Dua orang remaja; laki-laki dan perempuan duduk di kursi pengemudi dan kursi penumpang depan sebuah van putih yang baru beberapa menit yang lalu berhenti di pinggiran jalan, tepat di depan sebuah sekolah megah yang berdiri di samping kanan mereka. Dua orang remaja; laki-laki dan perempuan, duduk berdampingan tanpa mengeluarkan satu pun suara. Keduanya sibuk dengan dunia mereka masing-masing, si laki-laki tampak resah seolah-olah sedang menunggu sesuatu atau mungkin seseorang. Sesekali ia mengintip dari balik kaca jendela van tersebut, atau menatap layar ponselnya. Si perempuan menyumpal kedua telinganya dengan earphone biru yang tersambung ke ponsel miliknya; sebuah ponsel berlayar sentuh dengan ukuran cukup besar berwarna hitam, ditempeli stiker glow in the dark dengan bentuk simbol „infinty‟di bagian belakangnya. Kepalanya mengangguk-angguk pelan mengikuti ritme musik yang didengarnya dengan seksama, bibirnya pun ikut menyanyikan lirik lagu-lagu tersebut meski tanpa suara. Dua orang remaja; seorang anak laki-laki biasa; tidak kekar dan tidak juga kurus, berambut pirang kecoklatan lurus menutupi telinga, matanya berwarna cokelat gelap dihiasi dengan kacamata baca berbingkai tebal dengan warna biru indigo. Dia mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang dilapisi dengan kaos hijau-putih bergaris-garis lengan pendek, celana jins biru tua, dan sepatu Adidas hijau. Lalu perempuan di sebelahnya berambut cokelat bergelombang yang dibiarkan tergerai dengan poni penuh yang dicatok lurus, kedua bola mata cokelat gelap dan tulang pipi yang menonjol. Perempuan itu mengenakan tanktop hitam polos, kemeja kotak-kotak merahcoklat berlengan panjang yang hanya dikancing dua kancing paling bawah, leather pants ketat berwarna hitam dan All Star flat shoes berwarna merah tua. Tasnya yang berbahan jins biru muda masih diselempangkan ke sebelah kanan tubuhnya. Dua orang remaja; laki-laki dan perempuan, mereka berdua cukup lama diam dalam hening yang membosankan. Si perempuan pun akhirnya memecah kesunyian dan berkata, 5
"Sebenarnya apa yang kita tunggu disini, Owen?" perempuan itu mendesah sebal sambil menatap laki-laki di sebelahnya. "Sabarlah! Mereka sebentar lagi akan datang," laki-laki yang dipanggil Owen itu hanya bisa menjawab sekenanya. "Kau menyebalkan!" keluh perempuan itu seraya menghempaskan badannya ke sandaran kursi penumpang sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Diamlah, Ve! Kita tidak akan masuk sebelum mereka masuk, ini masalah harga diri." "Shut up, Owen. You're not a celebrity, no one gives any damn about parking a car." "Aku peduli. Duh." Owen mengangkat kedua bahunya dan memasang wajah tidak peduli akan komentar perempuan di sampingnya. “Lagipula aku ingin menjadi yang pertama melihat mobil baru Sam, tapi kalau aku masuk, memarkir van ini dan menunggunya di depan sekolah, itu akan terlihat seperti aku ingin menjadi yang pertama melihat mobil barunya, dan aku tidak mau dia berfikir seperti itu.” Lanjutnya cepat. Sejenak keduanya hening tidak bersaudara, si perempuan menatap laki-laki disebelahnya dengan wajah heran sekaligus merendahkan sambil mengangkat alis kanannya. “You do realize how stupid you sounded, Owen?” “No, I’m beyond genius.” "Kau idiot." perempuan itu menutup pembicaraan. Dua minggu terakhir sebelum liburan musim panas. Sekolah terlihat ramai dengan orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan dan orang-orang yang hanya ingin meninggalkan rumah dan segala hal membosankan didalamnya. Ironis memang, mengingat betapa rendah dan minimnya semangat generasi muda untuk lebih peduli terhadap kemajuan bangsa. Semangat orang-orang di masa-masa ini itu nihil; semua berkilah dengan kata-kata dan janji yang tidak bisa dipegang. Terkadang orang-orang lupa pada satu hal mutlak yang sangat rasional; dunia tidak bisa berubah hanya dengan kata-kata. Dua minggu terakhir sebelum liburan musim panas. Di sebelah kanan van putih yang memuat dua orang remaja, berdiri 6
sebuah sekolah megah bergaya modern dengan warna abu-abu yang mendominasi. Bangunan sekolah tersebut terbagi menjadi tiga bagian; bagian pertama adalah sebuah gedung dengan warna dan kesan yang lebih pekat dan padat yang kira-kira setinggi tiga lantai; sebuah auditorium. Bagian kedua ada di tengah-tengah; bagian utama sekolah. Gedung beratap zig-zag yang terlihat nyaris transparan dengan kaca jendela yang berjejer sepanjang gedung baik di lantai dasar maupun lantai diatasnya. Dari balik kaca-kaca jendela tersebut, terlihat deretan bangku-bangku dan tampak dari kelas yang berjumlah sekitar lima kelas di bagian atas, dan dibawahnya terlihat seperti sebuah kantor; ruang administrasi dan ruang guru. Gedung ini berhubungan dengan auditorium di sebelahnya lewat entrace terbuka yang dinaungi oleh atap. Di sisi kanan gedung ini ada pintu masuk utama dari kaca yang dapat dicapai setelah menaiki tangga dari sisi jalan sampai ke lobi luar yang tingginya sekitar satu setengah meter. Dan gedung terakhir yang ada di sisi lain gedung tengah adalah yang tertinggi sekaligus agak terpisah dari dua gedung yang lain. Atapnya hijau di sekelilingnya karena ditanami oleh tanaman hias; atap tersebut berfungsi sebagai taman. Kaca-kaca jendela agak jarang dan menyebar secara acak di sisi depan dan samping kiri gedung. Secara singkat, ini adalah sebuah tempat yang cukup megah untuk sebuah sekolah menengah atas. Hari yang sempurna, tenang, dan damai; mungkin di sekolah lain hal ini tidak lazim terjadi, terutama menjelang liburan musim panas, namun di sekolah ini, ketenangan adalah hal yang normal terjadi setiap menjelang liburan. Orang-orang disini tidak terlalu banyak membicarakan apa yang akan mereka lakukan selama liburan, mereka menumpuk perasaan-perasaan mereka jauh di dalam diri masing-masing, sampai bel terakhir sekolah benar-benar berbunyi, itu menjadi musik terindah sebelum sekolah ini berubah menjadi gedung bangsa Viking yang barbar, tidak sabaran dan hiperaktif. Memang aneh, namun inilah komunitas yang melingkari setiap anggotanya selama ini. Fakta bahwa tidak ada bentuk penggencetan-paling tidak secara langsung--, juga disebabkan 7
karena adanya kenyataan bahwa orang-orang di sekolah ini adalah pengekor sejati dengan tingkat produksi hormon adrenalin rendah. Mereka hanya melakukan apa yang terlihat; jika mereka tidak melihat ada penggencetan maka mereka tidak akan mau repot-repot memulai salah satunya. Dua remaja itu masih diam di dalam van putih mereka yang aman, seklah masih tetap damai dan orang-orang masih berlalulalang didepannya dengan suasanan hati yang normal. Namun sayangnya ketenangan ini tidak akan bertahan lama saat sebuah mobil merah melaju menerobos jalan dan menabrak dinding auditorium. Sebuah Burgundy 1967 Pontiac GTO Convertible berwarna merah menyala menabrak tong sampah besar di depan dengan naasnya. Suasana tenang berubah menjadi gaduh karena kejadian mendadak yang sangat konyol ini. Melihat kejadian itu, dua remaja tadi bergegas keluar dari van putih mereka dan menghampiri mobil merah bergaya klasik yang kini sudah tidak menarik mata lagi dengan penyok di bagian depan. Beberapa orang berkerumun di dekat tempat kejadian, laki-laki bernama Owen tadi langsung menerobos ke barisan terdepan disusul oleh perempuan yang bersamanya tadi. “Astaga, cium aku kalau aku salah, Owen. Tapi aku melihat sebuah Burgundy Convertible yang masih mulus setelah diperbaharui, menabrak tong sampah sekolah kita, kan?” perempuan itu memasang wajah sedikit kaget sambil mengarahkan telunjuknya ke mobil di hadapan mereka. “Ya, kau benar.” Owen mengangguk sekali. "Mereka idiot!" celetuk Owen sambil memegangi kepalanya, panik. "Ya, sama sepertimu." Perempun di sebelahnya hanya mengomentari dengan dingin. "Vega?!" "Apa? Mereka masih hidup juga, bukan?" perempuan itu menunjuk ke arah mobil ber-kap terbuka itu. Memang benar, tiga orang yang ada di dalam mobil tersebut kelihatannya tidak terluka, namun mereka hanya duduk diam ditempat sambil memandang kosong asap yang mengepul dari bagian depan mobilnya. Sepertinya mereka syok. Butuh waktu sekitar dua menit sebelum mereka benar-benar bisa mengontrol kembali 8
kesadaran mereka. Setelah dua menit terlihat sangat konyol dan mematung, penumpang yang duduk di belakang menggelengkan kepalanya cepat dan kembali ke alam sadarnya. Reaksinya sangat jauh dari perkiraan, dia justru terlihat girang. "Kau hebat, Sam! Tiga belas menit dan kita bahkan tidak terlambat masuk kelas pertama! Rekor baru!" dia--laki-lakiyang berambut coklat dengan gaya mohawk,menyeringai puas. Seringainya begitu lebar, membuatnya terlihat sangat kekanakkanakan namun juga manis. Dia keluar dari mobil dan langsung melompat-lompat kecil penuh semangat, kemudian meraih ransel biru yang terjatuh di bawah jok—karena hantaman mobil ke dinding tadi-. Laki-laki bermata sipit-bisa dipastikan keturunan Asia- ini mengenakan kaus berwarna abu-abu dengan variasi garis zig-zag hitam, kemeja kotak-kotak biru yang tidak dikancing, celana jeans biru indigo dan sepatu Vans putih. "I know," laki-laki kedua--Sam- keluar dari pintu pengemudi dengan senyum kemenangan sambil memutar-mutarkan kunci mobil dengan jarinya. Dia terlihat sangat bangga berhasil menabrakkan sebuah mobil dengan naasnya ke dinding sekolah, sungguh sebenarnya itu bukanlah suatu prestasi yang bisa dicantumkan dalam lamaran pekerjaanmu nanti. Dibalik fakta dia baru saja menghancurkan sebuah mobil, Sam tetap terlihat charming dengan wajah putih mulus oval, rambut ikal pendek mencapai batas telinga berwarna hitam kelam, dan kedua bola mata biru yang dibingkai dengan kacamata berukuran standar. Dia mengenakan kalung rantai dengan dog tag dan sebuah liontin berbentuk peluru berwarna perak, kemeja biru tua dengan lengan yang disingsingkan sampai siku dengan dua kancing atas dibiarkan terbuka, celana jins dan sepatu Nike hitam. "It's so awesome to be us! But it is more awesome to be me, Kyle, duh." laki-laki lain yang duduk di samping pengemudi menyusul mereka berdua dan keluar dari mobil dengan penuh rasa puas; karena mereka berhasil memecahkan rekor, menjadi pusat perhatian pagi itu dan tetap bertahan hidup. Laki-laki ini bergaya agak classy dengan kemeja V-neck merah polos dipadukan dengan jas hitam yang dibiarkan tidak terkancing, 9
celana jins hitam, dan sepatu Vans yang sama dengan Dan. Rambutnya cokelat kehitaman pendek dan ditata lancip ke atas dengan jambul mini di bagian depan. Kedua bola mata berwarna cokelat terang, hidung yang mancung, serta tulang pipi yang agak menonjol; laki-laki yang enak dipandang. Mereka bertiga saling berpandangan dan melakukan tos yang cukup keras. “Sam, ini mobil yang kau banggakan?” Vega menunjuk Burgundy Convertible milik Sam dengan tatapan merendahkan. Sam menatap mobilnya yang masih berasap itu sejenak, lalu berkata dengan santai, “It used to be.” “Kau merusakkan mobilmu? Delapan jam setelah membelinya?!” Owen terlihat kaget. “Hei, kami punya rekor yang harus dipertahankan!” sambar Dan cepat. “Demi rekor kalian rela mengorbankan mobil? Kalian lebih bodoh dari yang kubayangkan.” Vega melipat kedua tangannya di depan dada dan tertawa mengejek sambil berlalu masuk ke dalam sekolah, disusul oleh laki-laki yang lainnya. “Mereka memang selalu punya cara untuk melampaui ekspektasi kita tentang betapa bodohnya mereka.” Owen melirik ketiga teman laki-lakinya. “Kau tahu „kalian‟ itu berarti kita berempat, kan?” Kyle mengingatkan. “Wow, Shana. That can’t be... more true.” Kata Vega dengan nada suara tinggi dan memanggil Kyle dengan nama perempuan. “Darn it!” umpat Owen tersadar. . Dibalik pintu utama yang berdinding kaca tersebut, sebuah lobi yang cukup luas menjadi pembukaan bagi mereka. Dindingdindingnya berwarna eggshell dan sangat bersih. Di hadapan mereka ada ruang administrasi yang cukup terbuka; siapa saja bisa melihat apa saja yang ada di dalamnya karena hanya dibatasi oleh dinding dan pintu kaca. Di sebelah kanan ada tangga utama bernuansa metalik dengan gagang silinder, dan di sebelah kiri ada perpustakaan besar yang senyap dengan koleksi 10