AYD
PRASANGKA
Penerbit NULISBUKU
PRASANGKA Oleh: (AYD) Copyright © 2010 by (AYD)
Penerbit (Nulis Buku) (www.nulisbuku.com)
Desain Sampul: (AYD)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
Terimaksih kepada Allah SWT dengan cerita perjalanan hidup yang istimewa ini. Terimakasih untuk Ibu, Bapak dan Adik yang selalu tetap bersamaku dalam keadaan apapun selalu mendukung dan mendoakanku dalam setiap langkah yang aku ambil. Untuk Mas Wildan dan sahabat sahabat terbaikku Lian, Akabar dan Diah, nggak lupa juga buat saudara rasa teman Desyca dan Astari. Maaf untuk beberapa nama yang saya cantumkan tanpa izin, dan untuk yang merasa terlibat dalam beberapa kejadian nyata dalam buku ini. Buat beberapa orang yang pernah bilang aku tukang bohong DLL, Terimakasih. Tanpa kalian menghina dan memusuhi aku dulu mungkin aku tidak akan bisa menjadi aku yang lebih baik, aku tidak akan menjadi aku yang sekarang yang perlahan lahan membuktikan satu persatu perkataan kalian yang tidak bener itu. Terimakasih untuk semua yang terlibat di buku ini, buku ini hanya fiktif dengan sedikit kisah nyata di dalamnya. Semoga kalian yang membacanya bisa mendapatkan satu pelajaran baru. JANGAN BERPERASANGKA BURUK TERHADAP ORANG LAIN, JIKA KALIAN INGIN TAHU TENTANG KEHIDUPAN SESEORANG TANYAKANLAH LANGSUNG JANGAN HANYA 3
SEKEDAR BERPERSANGKA YANG HANYA AKAN MEMBUAT SALAH SATU PIHAK DIRUGIKAN DAN JATUHNYA MENZALIMI (FITNAH). JAGAN MUDAH PERCAYA DAN BERCERITA DENGAN SESEORANG BISA JADI DIA AKAN MENJADI DURI DALAM HIDUPMU SENDIRI, ADA ALLAH ATAU TUHAN YANG BAIK HATI YNAG KAPANPUN MAU MENDENGARKAN SEMUA CERITA CERITAMU. Terimaksih juga untuk NULISBUKU yang sudah menjadi wadah bagi aku seorang penulis amatir.
NB : * Maaf jika menemukan kata kata yang Penulisannya kurang benar dalam buku ini.
Agustus 2016
4
A. Pagi ini matahari bersinar cukup cerah, hijab berwarna biru juga sudah rapi menutupi kepala hingga ke telapak tanggan. Radio di meja masih berbunyi memutarkan lagu lagu penyemangat pagi, suara renyah penyiarnyapun cukup membuat pagi menjadi lebih bersemangat. “Pagi……tuh Wildan udah nungguin” sapa Ibu dari balik pintu kamar. Satu demi satu anak tangga saya laluwi dan di sambut senyum manis Mas Wildan yang sedang duduk dan mengobrol dengan Bapak di ruang tamu. “Pagi Mas, maaf ya menunggu.” “Tidak apa apa baru setengah jam kok” candanya lalu di ikuti tawa Bapak. “Bererti lama dong? Ya maaf aku harus beresin ini itu dulu” ucapku sembari membenahi jilbab. “Kalau aku bosan menunggu kamu 30 menit saja, udah dari dulu-dulu aku bosan nungguin kamu bilang YA saat aku mengkhitbahmu.” 5
Perkenalkan Mas Wildan, calon suami saya yang super sabar, murah senyum, kritis dan humoris. Saya mengenal dia kira kira satu setengah tahun yang lalu di toko roti milik saya, saat itu dia mengantar Ibunya membeli kue. Saya memang sudah beberapa kali melihat dia datang ke toko, tetapi baru kali itu dia mengajak serta Ibunya. Dari situlah Mas Wildan sering menyapa lalu berani menta’aruf saya dan tiga bulan yang lalu khitbahnya saya terima dan kita akan menikah lima bulan lagi, InsyaAllah. Mas Wildah bekerja sebagai Managing Editor di sebuah TV local dan membuka bisnis warung kopi kecil kecilan di daerah kota lama di Semarang. Dia pria yang baik yang pernah saya kenal, tidak banyak bicara, penyabar, tidak pernah neko neko apa lagi kurang ajar dengan saya. Kami akhir akhir ini memang sering pergi berdua untuk mengurus persiapan pernikahan tapi selama dia mengenl saya tak pernah sedikitpun dia berkeinginan hanya untuk
6
mengandeng apalagi memeluk, itulah salah satu kenapa saya juga menaruh hati kepadanya. “Jadi berangkat sekarang?” lalu berdiri dari tempat duduknya. Risih memang rasanya satu mobil berdua dengan dia, tapi tidak ada orang lagi yang bisa di ajak kesana kemari untuk mengurus banyak hal. Ibuku sibuk dengan bisnisnya, Bapakpun begitu, Adikku satu satunya saat ini sedang sibuk penelitian ke Singapore untuk Skripsinya. “Mas kita ke toko undangan yang kemarin itu dulu ya” masih sibuk dengan beberapa tas kecil yang berisi contoh undagan dan souvenir. “Sudah ketemu mana yang kamu mau?.” “Sudah dong, yang ini untuk teman dan realasi kerja kita dan yang ini untuk orang tua kita” ucapku sembari menunjukan dua undagan yang berbeda konsep. Saya memilih warna coklat muda untuk teman dan relasi kerja, undagannya lucu dan masih ada kesan 7
anak mudanya, jika di buka akan muncul foto calon pengantinnya dan di bungkus rapi dengan box warna coklat tua dengan pita melingkar di tengahnya. Dan untuk keluarga dan teman dari orang tua kami, saya memilih warna yang sama tetapi lebih simple, Dengan sedikit ukiran ukiran batik di luarnya. “Abis itu kita mampir ke toko roti aku sebentar ya, mau ngecek aja, terus kita cari foto dan video juga sekalian” masih sibuk membereskan contoh contoh undagan. “Siap Bu bos” sambil serius menyetir. Ow iya perkenalkan Nama saya Lila Ayu Pramesti saya anak pertama dari dua bersaudara. Saya lulusan Ilmu Gizi di sebuah perguruan tinggi di Semarang, bisnis adalah dunia kerja saya sekarang. Saya memiliki toko roti kecil kecilan di pinggir Kota Semarang dan saya juga bekerja sebagai salah satu Kitchen test officer di sebuah Tabloid memasak. Kata beberapa orang saya ini termasuk orang yang humoris, penyabar dan sedikit pelupa.
8
Toko roti milik saya memang tidak terlalu besar dan letaknya memang bukan berada di pinggir jalan raya atau bahkan di tengah K`ota besar. Sengaja memang saya buat seperti itu karena yang saya tau dimanapun letaknya jika pelanggan suka dengan cita rasanya pasti akan di hampirinya juga. Saya membangun toko ini memang tidak sendirian tetapi
ada
Bapak
dan
Ibu
yang
ikut
andil
membuatkan bangunan ini. Saya belajar bisnis dari kecil, saat masih duduk di bangku SMA saya sering menjual jasa saya kepada teman teman saya, seperti membuatkan tugas email atau tugas tugas yang berhubungan dengan internet, mereka memberiku uang tiga sampai lima ribu rupiah untuk satu kali tugas, saya tidak pernah memasang tarif untuk itu tetapi mereka sendiri yang memberiku uang sebagai imbalan telah menegrjakan tugas-tugas mereka. Saya juga pernah berjualan scraf keliling Semarang, bermodalkan uang lebaran lalu membeli beberapa potong kain lalu menjahitkannya di tukang jahit dan
9
menjual melaluwi social media. Saat duduk di bangku kuliahpun demikian, saya punya cara baru mendapatkan apa yang saya inginkan tanpa saya harus membelinya tetapi saya masih dapat keuntugan. Saya share foto barang yang saya inginkan lalu saya mengambil untung dari hasil penjulan dan hasil penjulan tersebut saya belikan barang yang saya inginkan tersebut. Saya juga sempat berjualan lidi lidian saat pertama kali treen dan harganya masih terlalu mahal, saya punya ide membikin stiker membeli lidi di toko snack lalu membeli bumbu bumbunya, plastic sampai menjemur cabai dan daun jeruknya sendiri, waktu itu produk saya sudah sampai Surabaya dan hampir mampu menyaingi lidi lidian asal Bandung yang terkenal itu. “Nanda gimana toko hari ini?” ucapku kepada salah satu pegawai di toko. “Alhamdulillah lancer, banyak orderan untuk tanggal 24 besok Bu.” 10
“Alhamdulillah, udah makan siang? Jangan lupa makan dan Sholat juga ya” lalu berjlan menuju dapur produksi. Saya tidak mempunyai banyak karyawan memang hanya 2 orang resepsionis, 2 orang bagian kantor, 2 penjaga gudang bahan, 6 orang di bagian dapur produksi, 2 pelayan, 2 kasir dan 2 orang keamanan. “Mas kalau kamu capek istirahat aja di ruangan aku.” “Iya, tapi….” “lima puff coklat dan lima puff keju” kataku sambil tersenyum. Mas
Wildan
hanya
tersenyum
mendengar
perkataanku, sejak pertama kali ke toko sampai sekarang kesukaannya tidak pernah berganti ganti. Setelah selesai mengecek satu persatu bagian, saya menghampiri Mas Wildan dengan membawa satu kotak puff untuknya. Terlihat dari depan pintu Mas Wildan sedang memejamkan matanya di kursi, wajahnya terlihat sangat kelelahan. 11
Hampir duapuluh menit saya menunggu Mas Wildan di ruang kantor yang letaknya bersebelahan dengan ruangan saya. Saya tidak mau membangunkan Mas Wildan yang sudah mau mengantarkan saya kesana kemari. “Lila…..” suara Mas Wildan dari belakang pintu. “Udah bangun Mas.” “Aku lama ya tidurnya? Kenapa nggak kamu bangunin aja” matanya di usap usap sampil sesekali manguap. “Emang sengaja, saya lihat kamu capek, ini puff kesukaan kamu” menyodorkan sekotak puff yang dari tadi aku bawa. “Makasih ya” ucapnya sembari tersenyum. Hari ini sungguh melelahkan sekali, beberapa urusan sudah kami seleaikan satu persatu. Raut wajah Mas Wildan tampak capek sekali, di dalam mobil dalam perjalanan pulang sesekali saya melihat dia menguap dan masih memasang senyum manisnya.
12
“Turun dulu yuk Mas, makan malam dulu” sambil membuka pintu mobil. “Nggak usah deh udah malem.” “Ibu udah masak asam asam daging kesukann kamu lo” ucapku sambil tersenyum. “Nggak bisa nolak deh kalau itu” senyum juga mengembang di bibirnya. Mas wildan suka sekali dengan asam asam daging buatan Ibuku, pertama kali dia main ke rumah bersama adiknya dan mencoba asam asam buatan Ibu dia langsung suka, selain asam asam daging Mas wildan juga suka sekali dengan sate jamur dan capcay buatanku. “Jadi apa hasil muter muter kalian hari ini?” Tanya Bapak sembari mengambil lauk di atas meja makan. “Undagan sudah kami pesan Pak, foto dan video juga sudah” Jawab Mas Wildan. “Kalau cindramata?”. “Bapak, bahasanya tua banget si cindramata, souvenir gitu lo Pak” protesku. 13
“Apa bedanya cindramata sama souvenir” lalu menyuap nasi ke dalam mulut. Lalu kami yang berada di meja makanpun tertawa terbahak bahak mendegar bahasa bahasa kuno yang di katakana oleh Bapak. “Makasih ya Mas udah mau anter aku kesana kesini hari ini” sambari berjalan mengantar Mas Wildan menuju mobil. “Itu juga buat kepentingan aku, kamu kayak apa aja. besok jadi mau cari cindramata?” Goda Mas Wildan “Mas Wildan…….. “ Lalu kamipun tertawa kembali. “Kalau jadi maaf ya aku nggak bias antar, besok ada rapat pimpinan redaksi. Kamu nggak papakan sendirian?” Ucapnya sembari membuka pintu mobil dan bersiap siap pulang. “Jadi nggak masalah nie aku mau pilih apa aja?” “Terserah kamu, aku terima beres saja. ya udah aku pulang dulu ya. Asalamuallaikum” ucapnya dari belik kaca jendela mobil. “waalaikumsalam.” 14
*** “Aduh calom pengentin, ini udah jam berapa” Teriak Icha dari luar kamar. “Sabar dong aku lagi cari cari info nie” Tanganku sibuk dengan telfon genggam, mencari tempat souvenir rekomen dari teman teman. “Astaufirullah, mau cari yang kayak gimana sih ribet amat, Pasar Johar no lebar” Ucap Icha lagi sembil duduk dan memperhatikan telfon genggam miliku. Ow ia perkenalkan Icha saudara sepupuku, jarak usia kita tiga tahun tapi secara sistematis kekeluargaan dia lebih tua dari aku, dia seorang Guru baru di sebuah SMK di Semarang. “Ya udah deh kita ke Pasar Johar” Ucapku lalu berdiri dan mengambil tas yang berada di meja rias. Saya ingin souvenir yang bermanfaat untuk tamu tamu yang datang, kadang saya dapat souvenir yang maaf kurang begitu bermanfaaat dan akhirnya hanya
15
tergeletak di rumah begitu saja, sayang sekalikan uangnya. Misal sendok dan garpu mini yang direkatkan jadi satu, jika di putus lemnya jadi tidak bisa dipakai atau vcd/dvd
lagu
lagu
kesukan
pengantin
yang
didalamnya juga berisikan foto foto mereka. Sudah mahal kita beli tapi nggak ada manfaatnya, makanya saya pengen souvenir yang bermanfaat tidak perlu mahal mahal tapi bisa digunakan, misalkan pemotong kuku, gantungan kunci atau tasbih. “Jadi calon Nyonya Wildan kamu mau cari apa?” Ucap Icha yang duduk di belakang kemudi. “Belum tau Ca”. Matahari siang itu benar benar panas tetapi tidak menyururkan orang orang untuk berbelanja, memilah milah, menawar dan terus berkeliling mencari sesuatu seperti yang diinginkan. “Orang orang tu pada ngapain ya ke Johar semua siang ini, panas panas, sempit sempitan pula” Icha mengerutu. 16
“Kamu sendiri ngapain disini? Panas panasan?” ucapku yang berjalan di antara lorong-lorong pasar. “Ya nganterin kamu itu, huh….. aku tinggal balik juga ni” Candanya. Hampir beberapa jam kami berputar putar dan memilih milih akhirnya kami menemukan souvenir seperti yang saya mau dan memesanya. Lalu kami pergi berputar putar lagi untuk melihat lihat yang lainnya, kantong belanjaan kami tak terasa semakin berat dan semakin berat. “Niatnya mesen souvenir doang pulang bawanya kaian, badcover sampai gelas juga di beli, emangnya apa fungsi gelas itu buat acara nikahan kamu?” Tanya Icha yang menenteng bebrapa tas. “Kamu capek banget ya? Maaf deh. Nggak ada sih cuman lucu aja gelasnya” Sembari senyum manja. “Cuman lucu?” Icha membuka mulutnya lebar lebar degan expresi kaget.
17
“Sini sini aku aja yang nyetir kamu kan sudah capek, abis ini makan mie ayam deh” Rayuku sambil menuju arah mobiL. Sesampainya di rumah ternyata Mas Wildan sudah menungguku, siang tadi dia telfon akan datang ke rumah malam ini untuk memberikan sample sample poto booth yang akan aku pilih. “Asalamualaikum……” “Waalaikuamsalam, kemana aja? Wildan sudah nunggu kamu tiga jam lo” Ucap Bapak sambil berdiri dari tempat duduknya lalu menuju ke arah dalam rumah. “Astafirullah……..maaf ya Mas. Aku tadi makan dulu terus nganter Icha pulang” Sembari meletakan beberapa barang di meja lalu duduk di kursi yang berseberagan degan Mas Wildan. “Nggak kok, Bapak bercanda. Aku barussan sampai juga” Sembari mengambil sesuatu dalam tasnya. Beberapa foto di perlihatkan Mas Wildan kepadaku, semauanya saya suka dan lagi-lagi saya dibuat 18
binggung
karena
Mas
Wildan
menyerahkan
semuanya kepadaku.
B. Minggu pagi ini saya menemani Ibu berbelanja ke pasar, Mas Wildan bilang ingin ke rumah dan saya ingin
membuatkan
capcay
dan
sate
jamur 19
kesukannya. Pasar di hari minggu, ramai dan penuh sesak. Sesampainya di rumah Bapak memanggilku dengan membawa sebuah undangan. “Ada teman kamu tadi kesini, ini undangan rapat” Bapak menyodorkan secarik undagan kepadaku. “Reuni SMP? Aku nggak tau apa apa kok dapet undagan jadi calon panitia” Sambil membuka dam membacanya. “Alhamdulillah to, kamu malah nggak perlu susah susah menyebar undangan pernikahanmu” Ucap Bapak yang sedang asik menyirami tanaman di depan rumah. Sore ini Mas Wildan datang dengan kedua orang tuanya, Kakak perempuan, Kakak Ipar serta si kecil ilham dan Adik perempuannya. Mereka ingin membicarakan lebih lanjut apa saja yang kurang dan yang akan di persiapkan menjelang pernikahan. Sengaja saya, Mas wildan dan keluarga tidak memakai jasa Wedding Orgenaizer supaya proses acara ini bisa jadi lebih berkesan bagi kami. Setelah 20
usai Sholat Mahrib berjamaah di Masjid dekat rumah kami menuju meja makan, aneka masaksn telah saya dan Ibu masak untuk menyambut tamu special. “Wah ini makan malam kayak lagi kondagan, komplit” Ucap Papa dari Mas Wildan. “Ia ya Pa, maklum punya calon Besan pengusaha Cattring ya begini Pa” Saut Mama dari Mas Wildan yang sedang melihat satu persatu menu yang terhidang dimeja. “Lo……kan menyambut tamu istimewa dari Solo ya harus istimewa to Pak” Canda Bapak lalu di ikuti dengan tawa di meja makan. “Liat Dek semua yang di meja ini mkanan kesukaan keluarga kita semua, ada capcay dan sate jamur kesukaan Mas, ada sayur lodeh dan peyek tumpi kesukaan Papa, ada oseng oseng kuncung kesukaan Ibu dan Mbak Tanjung dan cumi telur asin kesukaan kamu, hebat bukan calon Mbakmu ini” Puji Mas Wildan sambil menatapku.
21
Saya mulai mengambilkan nasi untuk Bapak, Ibu, Papa, Mama dan Mas Wildan. Senang sekali bisa memasak untuk orang orang tersayang, walau capek karena
harus
mempersiapkan
bebrapa
menu
sekaligus, tapi bahagia saat mereka suka dengan apa yang saya dan Ibu masak malam ini. “Mbak Lila hebat banget bisa masak apa aja, enak enak lagi” Kata Nindi Adik Mas Wildan yang baru duduk di kelas 3 SMA. “Nggak Mbak aja kok yang masak tapi sama Ibu” tersenyum ke arah Ibu yang sedang menyantap makan malam. “Alhamdulillah punya calon mantu yang pinter masak gini, Mama senang sekali nduk” Ucap Mama Mas Wildan. “Tapi nanti kalau main ke rumah Solo Lila jangan di suruh masak terus ya Ma” Celetuk Mas Wildan lalu di iringi tawa dari semua penghuni meja makan.
*** 22
Tiga hari kemudian saya bersiap siap untuk datang ke acara rapat panitia rencana reuni di tempat makan di dekat SMP dulu. Beberapa hari lalu saya menelfon salah satu temanku yang namanya juga tercantum di daftar panitia. Meminta konfirmasi saja kenapa saya yang tidak tahu apa apa lalu tercantum di daftar panitia. Ternyata tidak jauh-jauh dari jaman dulu, saya akan menjadi ketua Sie konsumsi, karena mereka tahu Ibuku punya usaha di bidang Cattring. “Asalamualaikum…..”
Sapaku
kepada
beberapa
anggota yang sudah datang duluan, beberapa aku masih inggat dan beberapa aku tak begitu inggat meraka. “Ini dia yang di tunggu tunggu” Ucap Ulfa teman dekatku saat di SMP. “Kenapa Kenapa?” lalu duduk di samping Ulfa dan bebrapa teman lain yang akau kenal. “Bos roti kesini nggak bawa apa apa ni?” Sahut temanku yang lain dan memperhatikan sekelilingku. 23
“Maaf maaf , hari ini aku nggak ke toko. Besok deh kalau ketemu lagi” Lalu melempar senyum ke semuanya. *** Dua minggu setelah hari itu saya dan beberapa teman mengunjungi SMP untuk meminta izin mengadakan acara reuni di Sekolahan, Dan sore itu saya datang bersama Mas Wildan, karena dari pagi kami mengurus keperluan yang masih belum terselesaikan. “Maaf ya telat” Sapaku kepada bebrapa teman yang sedang duduk di depan kantor Guru. “Ia deh yang sibuk” Canda Ulfa. “Suami kamu? Nikah kok nggak undang undang sih, jahat banget” Celetuk salah satu temanku yang lain. “Belum sah kok, InsyaAllah empat bulan lagi, pasti deh di undang” Sembari merangkul lengan temanku itu. Setelah urusan dengan sekolah selesai, kamipun berkeliling area Sekolah yang beberapa bagian sudah berbeda. 24
SMP ini sekarang sudah bener benar bagus, bangunan bangunan baru sudah berdiri disana sini, kantin Sekolahpun sudah bukan dari kayu lagi dan kini sudah tertata begitu rapi, bebrapa lapagan olahraga juga sudah ada, dari yang indoor ataupun outdoor, semua terlihat bagus. Hanya saja bebrapa ruangan kelas letaknya masih sama seperti saat saya masih menimba ilmu disini. Tiba tiba langkahku terhenti di belakang jendela kelas 2E, senyum tipis hadir di bibir sembari mengingat sesuatu yang masih sanggat saya ingat betul. “Masih keinget aja” Ulfa tiba tiba datang di belakangku dan Mas Wildan sembari berjalan. “Inget apa?” Tanya Mas Wildan heran. Sejenak Saya terdiam lalu menatap Mas Wildan. Sembari berjalan saya menceritakan apa yang pernah saya alami dulu. “Gara gara tempat itu aku pernah dibilang tukang bohong sama beberapa teman yang dulu aku anggap 25
teman baik, tapi ternyata” Senyum tipis kembali singgah di bibirku. “Kenapa?” Tanya Mas Wildan semakin heran. “Kira kira lima atau enam bulan saat dulu aku menjadi anak kelas satu di SMP ini, ada seorang Laki-laki bertubuh gempal menghampiriku yang sedang
manyapu
di
depan
kelas”
Sembari
nenunjukan kelasku dulu yang tepat bersebelahan dengan kelas 2E. “Lalu?” “Katanya ada anak Laki-laki di belakang jendela itu yang katanya ingin berkenalan denganku, awalnya aku tidak mau karena aku masih anak baru dan takut dengan kakak kelas tapi entah aku lupa kenpa akhirnya aku mau menghampirinya.” “Dia didalam jendela?” Tanya Mas Wildan lagi. “Ia, lalu seorang Laki laki berwajah seram bertanya kepadaku apakah aku mau berkenalan dengan temannya. Dia bilang temannya menyukaiku, Jujur aku saat itu juga tidak percaya, lalu seorang Laki laki 26
berkulit putih dan dengan gaya rambut belahan tengah mengajaku berkenalan, Namanya Faiz. Kita mengobrol lalu dia bilang kalau dia suka sama aku dari kemarin kemarin, lalu dia bilang lagi apakah aku mau menjadi pacarnya” Lalu menghela nafas panjang. “Lalu kamu jawab ia?” “Aku sudah sedikit lupa tapi bisa aku pastikan aku tidak menjawab apapun saat itu. Karena aku pikir mereka mengerjaiku. Tapi bebrapa hari setelah itu mereka selalu memanggiliku dari balik jendela. Anak SMP mana yang nggak GR saat ada Laki-laki yang menurutnya ganteng lalu bilang suka ke dia” Sambil berjalan lagi menuju arah Kantor Guru. “Lila, kami puang dulu ya. Kalau masih mau nostalgia silahkan deh” Ucap Ulfa dan beberapa teman lainnya. Satu persatu teman saya meninggalkan kami di Sekolah, dan kamipun juga memutuskan untuk melanjutkan cerita di perjalanan pulang. Mas Wildan 27
masih begitu penasaran apa yang menyebabkan saya di bilang pembohong. “Oke aku msaih mau denger cerita kamu tadi, kenapa kamu bisa dibilang pembohong? Karena kamu nggak jawab YA?” Tanya Mas Wildan dibalik kemudi. “Bukan, em…..karena aku mungkin terlalu gembira saat itu dan menceritakan kejadian itu ke beberapa temanku di rumah, aku fikir hal yang wajar sajakan teman dengan teman berbagi cerita. Tapi ternyata aku salah Mas, mereka mengangap aku mngada-ada. Karena mungkin Faiz terlalu istimewa buat anak SMP yang gemuk seperti aku” Menghela nafas lagi sambil melihat luar jendela. “Aku nggak ngerti deh, masalahnya apa kalau cowok itu suka sama kamu?” “Ya itu tadi mungkin aku gemuk, jelak dan mereka menagap kalau hal yang benar benar terjadi padaku itu hanya sebuah bualan semata. Ya…… aku sadar mungkin ini salah aku juga, salah bercerita dengan mereka, salah aku juga terlalu GR atau terlalu 28
ya…..aku nggak tau juga sih Mas. Seumpama dulu memang benar Faiz dan teman temannya hanya mengerjai aku saja atau buat akau GR aja aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti kisah itu benar benar terjadi dan tidak pernah sedikitpun akau menambahi atau mengurangi cerita itu”. “Kadang Orang itu aneh, semuanya harus dilihat dari fisik, aku nggak habis pikir aja, itu kan hak seseorang untuk suka atau di sukai tapi kenpa hal kayak gitu……Entahlah Mas juga nggak begitu paham dengan jalan fikiran temanmu itu” Ucap Mas Wildan sedikit kesal.
*** Tiga bulan menjelang pernikahan, waktuku semakin terbagi bagi mengurus toko roti, acra reuni, dan seabrek printilan pernikahan dan lain-lain. Persiapan reuni tinggal satu minggu lagi, Satu setengah bulan lebih saya dan teman teman merancang semua acara ini agar bias berkumpul reuni tiga angkatan. Persipan 29
pernikahan sudah hampir 75%. Undagan sudah sebagian
jadi,
souvenir
pundemikian.
Baju
pernikahan sudah tinngal fithing terakhir. “Hallo Ibu Hajah……” Suara Laki laki dengan rambut mowhawk dan sepatu hitam mengkilap datang dari arah luar toko. “Eh….eh…… Pak pengawas masih inget aja nie main main kesini.” Kenalkan naman Akbar, sahabat saya semenjak kuliah, sekarang dia bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara
sebagai
pengawas
administrasi,
penampilannya masih sama seperti dulu, harus terlihat kece
saat punya atau tidak punya uang
sekalipun. “Denger denger mau nikah tapi nggak ngabarin aku kau,
bagus
Kali”
Protesnya
sembari
melihat
sekeliling toko. “Alhamdulillah, ke runagn aku aja yuk. Nggak enak ngobrol depannya. 30
disini”
Ucapku
sembari
berjalan
di
Kamipun hampir satu jam mengobrol di kantor, sudah sekitar tujuh bulan kami tidak bertemu karena kesibukan masing masisng apalagi sekarng Akbar menetap di Jakarta. Dia orang Medan yang kulaih di Semarang dan sekarang bekerja di Jakarta. Dia bukan teman satu Universitas tetapi kami senagkatan dan kenal dengan Akbar dari teman aku yang satu kampus dengan dia, karena Akbar orangnya asik di ajak ngobrol jadilah kita berteman baik sampai saat ini. Dia yang selalu mendengarkan semua keluh kesahku saat semua teman temanku sibuk dengan urusan mereka, dia yang mau mengajakku keliling Semarang hanya untuk menangis dan melupakan maslah percintaanku. Jika banyak yang bilang persahabatan cowok dan cewek tidak mungkin tidak ada rasa cinta saya bias menyangahnya, saya dan Akbar bersahabat lebih dari lima tahun dan sampai saat ini saya dan dia masih bersahabat tanpa ada perasaan cinta.
31
“Lalu kapan kamu menikah?” Tanyaku sambil mengambilkan sebotol air mineral untuknya. “Aduh masih belum ketemu pasangan yang pas Bu Hjah.” “Belum pas apa belum sempurna menurut kamu?” candaku lalu duduk di sampingnya. “Aduh Bu Hajah kau dari dulu gitu terus, jadi macam mana nie calon Suami kau yang seorang editor itu?” Tanya Akbar dengan muka meledek. “Ya kerja lah emang kamu PNS jam segini kelayapan sampe Semarang, ngapain?” Memengang telfon gengam mencoba menghubungi Mas Wildan. “Ehhh ini orang ya, ini aku ngambil cuti tiga hari ke Semarang buat ketemu kau, mau konfirmasi kenapa aku harus denger dari orang dulu soal pernikahan kau” Ucapnya lantang dengan nada khas orang Medan. “Maca ci……..” Godaku lalu tertawa. “Nyebelinnya nggak ilang ilang ya ini anak” Lalu meneguk air mineral dingin di hadapannya. 32
“Ya udah yuk ikut aku, kita makan lalu aku kenalin kamu sama Mas Wildan. Dia sudah nunggu kamu di Warungnya” Ucapku sembari membereskan bebrapa barang di meja kerja. Setelah itu kami lanjut makan malam sekaligus memperkenalkan Mas Wildan kepada sabahat saya itu. Mengobrol banyak tentang pekerjaan tentang rencana hidup kedepan dan sedikit tentang masalalu yang menyenagkan bershabata dengan dia. “Jadi benerkan kamu kesini cuti? Bukan kabur?” Tanyaku lagi dengan raut muka curiga. “Aduh
kakak
ini
calon
Istrinya
masih
saja
menyebalkan ya. Aku sedang ada tugas beberapa hari di Semarang, ya baguslah karena aku juga sekalian bisa bernostalgia disini” lalu menuguk secangkir coffe late. “Cuman tiga hari aja sih kurang lama……Eh tapi pas nikahan aku kalau kamu sampai nggak bisa kesini awas aja” Ucapku mengancam.
33
Kami terus melanjutkan obrolan demi obrolan yang random itu, satu gelas frappe sudah hampir habis aku minum dan satu potong cake coklat yang terkenal di Warung Mas Wildan pun juga sudah habis aku makan. Lantunan live akustik lagu lagu jaman 90an dari Right here waiting, Give me everything tonight sampai Sleeping child semaikn membuat malam kami menjadi lebih panjang.
*** “Ibu Lila pergi dulu ya, mau ambil undagan terus nganter
Akbar
ke
bandara”
ucapku
sembari
membereskan sarapan pagi. “Loh sebentar sekali dia sudah mau pulang dia nggak mampir sini dulu? Kok langsungan pulang aja” Sembari menyiapkan sesuatu. “Akbar kemarin bilang ke Lila buat salamin ke Ibu dan Bapak, dia minta maaf nggak bias mampir karena ke Semarang untuk tugas dari kantornya.” 34
“Ya udah salam balik, ini buat oleh oleh dia” Ibu memberiku tas warna putih yang berisi beberapa box makanan. Semarang pagi ini tidak begitu macet, matahari juga bersinar terang, sesampainya di depan Lobby Hotel terlihat seorang pria berkaos putih dan membawa koper sudah menunggu. “Lama amat si kau” Ucap Akbar sambil memasuki mobil. Hari ini saya akan ke toko sebentar untuk mengecek keadaan disana, sekalian mengambilakan oleh oleh untuk sahabatku satu itu, lalu mengambil sebagian undagan yang sudah jadi, mengajak Akbar kuliner lalu mengantarnya ke Bandara. Akbar kemarin bilang ingin makan tahu gimbal, lumpia dan nasi ayam sebelum dia pulang. “Ow iya itu di belakang ada titipan dari Ibuku, kamu di tanyain tu nggak mampir” Sembari menunjukan sesuatu.
35
“Aduh Ibu kau memang baik sekali, aku udah bilang kemarin ke kau kenapa aku ini tidak bisa kesana” Sambil mengambil tas berwarna putih. Dalam tas putih itu ada beberapa box makanan yang ternyata berisi nasi ayam, oseng bakso dan kuncung lalu lumpia buatan Ibu dan semua adalah makanan kesukaan Akbar. Dulu Akbar pernah beberapa kali main ke rumah dan makan masakan Ibu lalu dia bilang kalu bebrapa kali ke rumah masakan yang paling dia suka dari yang dia suka adalah oseng bakso kuncung dan lumpia buatan Ibuku. “Cocok……. Ibu kau masih tau aja kesukaanku Lila, aduh Ibu maafkan Akabar ya Ibu nggak bisa cium tangan Ibu” Sambil celingukan mencari telfon gengam miliknya. Sesampainya di toko roti Akbar masih saja menelfon Ibuku, dia meminta maaf dan berterima kasih teleh dibuatan makanan kesukaannya. “Eh eh… Lila, aku ini mau kau ajak aku kulineran, bukan kau ajak kerja. Bah macam mana ini kenapa 36
kau malah ke toko kau” Mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. “Sebentar, tunggu aja disitu” Lalu masuk ke toko. Setelah dari toko dan mengambil sebagian undagan saya dan Akbar menuju ke warung tenda yang berada di taman kota Semarang, dua piring tahu gimbal dan dua mangkuk es campur kami pesan siang itu. Akbar melahap habis tahu gimbal yang berada di depannya padahal tadi dia sudah menghabiskan satu box nasi dan oseng bakso kuncung, beberapa pisang bollen di toko juga dia makan. Setelah semua selesai saya langsung mengantarnya ke Bandara karena dia flight jam empat sore. Sesampainya di parkiran Bandara kami masih mengobrol banyak tentang rencana hidup kami kedepan. “Ow ia ini puff buat oleh-oleh dan ini undagan pernikahan aku buat kamu” Sambil menyodorkan undagan berwarna coklat muda.
37
“Makasih ya, tapi kenapa tidak ada namaku disini, belum terbungkus plastik juga” Keluhnya membolak balik undagan. “Kan baru di ambil tadi, ya nanti kamu kasih nama sendiri, Akbar dan calon Istri” Sambil tertawa melihat expresi sebalnya. “Makasih ya Lila, lebih dari lima tahun kenal sama kamu nemenin kamu cerita soal apapun keluarga, temanmu yang menyebalkan dan yang pasti cinta. Jadi inget saat saat kamu tiba tiba di depan kos dengan mata sembab cuman bicara ajak aku keliling sesukamu, lalu tiba tiba ketwa ketawa di jalan udah kayak orang kesurupan. Kamu sahabat paling baik yang akau punya, bukan hanya ada saat aku senang tapi kamu juga ada saat aku bener benar jatuh. Saat orang orang mudik dan aku di kos sendirian lalu kamu tiba tiba datang membawa ketupat dan opor ayam. Dan sebentar lagi sahabat aku ini mau menikah dengan orang yang menurut aku tepat untuk kamu, ngobrol semalaman dengan Abang Wildan dan aku
38
tahu dia orang baik yang bener benar sayang kamu. Akhirnya cerita panjang tentang percintaan kamu yang rumit akan berakhir juga. Selamat ya, aku pasti datang untuk melihat kamu sah menjadi Nyonya Wildan. Makasih udah jadi sahabtku selama ini, makasih untuk tumpagan, bollen dan semuanya, aku balik kerja dulu buat cari duit buat beli kado nikahanmu” Ucapnya serius lalu tersenyum. “Akbar…….sedih dengernya. Tapi kamu ngomong begitu nggak lagi kesambetkan” Ucapku sambil menghapus air mata. “Ah……….kau ini aku sudah serius malah kau buat bercanda, ya sudah lah kau hati hati di jalan” Ucapnya sampil keluar dari mobil. Baru kali ini Akbar berbicara serius kepadaku sampai saya dibuatnya menangis, orang Medan yang terlihat galak saat bicara, menertawakan saya saat kisah cinta super konyol di masa lalu saya ceritakan tetapi tetap setia mendengarkan, memberi solusi apapun sampai detik ini. Dari jauh saya lihat dia berjalan sampai
39
punggungnya hilang tertutup mobil mobil yang berlalu lalang di Bandara. *** “Asalamualaikum” Sapa lembut pria di balik telfon. “Waaalaikumsalam.” “Jadi nanti malam jam berapa? Dreescode?” Tanya Mas Wildan. “Jam tujuh Mas, casual warna biru tua” Sembari berberes. “Ibu sie konsumsi udah beres semua urusan cattring dan lain linnya?” Tannyanya lagi. “Alhamdulillah Mas, aku udah pasrahin semua ke orang orang Ibu untuk mengaturnya jadi pas acara ngak perlu repot lagi aku dan yang lain.” “Ya udah nanti aku jemput sebelum jam tujuh ya, sampai jumpa nanti. Aslamualaikum.” Seusai Sholat Mahrib saya mulai merias diri, mengenakan celana panjang hitam kain dan kemeja lengan panjang warna biru tua dengan
40
panjang
sampai bawah lutut dengan di padu padankan kerudung pashmina rawis bergradasi warna biru yang di lilitkan dan menutupi hingga bagian dada. flat gladiator shoes warna hitam juga sudah ku kenakan dan tak lupa tas kecil dengan tali panjang juga sudah rapi berada di tangan tinggal menunggu Mas Wildan datang menjemput. “Ibu….cattring
udah
berangkatkan?”
Tannyaku
sambil menuruni tangga. “Sudah dari jam lima tadi, Ibu suruh mereka menyiapkan tempat juga disana” Jawab itu yang sedang asik menonton TV. “Alhamdulillah, Lila berangkat dulu ya Bu, Pak” Sembari mencium Ibu dan Bapak yang berada di ruang TV. Di depan Mas Wildan sudah datang. Dengan senyuman khasnya, kemeja lengan panjang yang lengannya di gulung hingga sedikit di bawah siku dengan warna biru dan sedikit aksen di bagian tengah
41
dan celana kain dan sepatu warna hitan dan tak lupa jam di tangan kanannya. “Mas Wildan!!!” Sapaku dan melihatnya dengan raut muka heran. “Ada yang salah ya?” “Nggak kok, tumben aja Subahanallah banget malam ini” Ucapku sambil tersenyum dan menuju ke mobilnya. Sesampainya di sekolah terlihat sudah ramai sekali, saya memang salah satu panitia tetepi saya dan teman teman sudah merencanakan panitia ataupun tidak kami harus menikmati acara ini benar benar, bisa bertegur sapa dengan semua yang hadir, bukan hanya sibuk degan tanggung jawab sienya, kami akan tetap mengecek tanggung jawab kami tetapi saat acara mulai kami sudah meminta bantuan kepada pihak pihak
yang
lebih
professional
yang
mampu
menangani semuanya. Langkah demi langkah Saya dan Mas Wildan laluwi, mulai dari pintu gerbang yang di hiasi denagn 42
lampion lampion indah berwarna biru, lalu regristrasi ulang undagan reuni, poto booth dan mulai memasuki tempat acara berlangsung semua serba berwarna biru tua. Panggung berukuran 8 x 6 meter sudah megah berdiri di pojok lapagan basket dengan dua layar lebar di sampingnya. Langit langit sekolah pun di hiasi bintang bintang malam dan lampu warna warni juga ikut serta meramaikan malam ini. Sebelum saya akan menikmati malam indah ini saya menuju tempat dimana makanan di sajikan, sekedar memastikan apalah semua berjalan lancar lalu saya temuwi satu persatu teman teman lamaku, agak sulit memang manghafal wajah wajah yang sudah sekitar sepuluh tahun tidak bertemu. “Hai…… Lila” Teriak wanita beramput panjang yang di ikat kucir kuda. Mencoba untuk mengingat ingat siapa wanita cantik itu yang berjalan menghampiriku dan Mas Wildan yang berada di samping panggung acara.
43
“Kamu nggak inget aku? Seriusan?” Tannya sambil memagang tanganku. “Intan? Intan BFF?” Intan memeluku erat sekali, smabil tertawa lepas lalu melihatku dari bawah ke atas. “Apa kabar kamu? Ini suamimu?” Tanya Intan sambil melihat ke arah Mas Wildan. “Alahamdulillah baik, ini calon suami. Terus kamu?” Tanyaku sambil melihat sekeliling intan. Seorang pria yang aku kenal tiba tiba muncul membawa bayi berumur kira kira enam bulan dan menghampiri Intan. “Rizal? Kamu sama Rizal?” Tanyaku heran sembari menunjuk Rizal. “Ia dia suami aku, ini anak kita namanya Rindra ” Ucapnya sembari memegang tangan buah hatinya. “Kok bias sih…… gimana ceritanya?” Kamipun bercerita bagaimana mereka bertemu dan menikah lalu datanglah satu persatu anggota BFF
44
(best friends forever) ada Intan yang sekarang sudah menjadi Ibu rumah tangga dengan satu anak, lalu Dian yang ternyata sudah menikah empat tahun yang lalu dengan ustad dan sekarang sudah punya dua anak, Dian mengeluti binis pakaian syar’i. Isti sekarang bekerja di kelurahan di lingkungan tempat tinggalnya dan akan menikah bulan depan dengan seorang anak lurah. Koir datang sendiri, dia sekarang bekerja di Jogja sebagai seorang Guru. Kita bercerita banyak, mulai awal terbentuknya BFF karena waktu itu terispirasi dari filem ada apa dengan cinta. Kami juga punya buku catatan sendiri seperti di AADC, yang isinya hal hal nggak masuk akal dan nggak penting waktu itu. “Paling aku inget waktu itu adalah kalau mau kemana mana kita harus bersama sama, berjalan bersama sama sama” Ucap intan lalu di sambut tawa kami berlima.
45
“Ia itu nggak masuk akal banget nggak sih, apa lagi tentang itu cowok yang suka sama Dian siapa namanya” Kata khoir sambil meningat ingat “Almin….. ia siapa sih dulu yang nulis, nggak bolleh suka sama cowok yang nggak jelas. Satu cowok musuh kita musuh kita semua” Kataku sembari menunjuk ke semua anggota BFF. “Ih ia ia kasihan ya dulu si Almin nggak tau apa apa kita musuhin” Ucap Isti lalu di sambut tawa lagi. “Hush jangan gitu kalau orangnya dengar gimana, ya namanya juga jaman jaman SMP. Alhamdulillah kita msih ketemu lagi ya, seneng banget rasanya” Ucap dian sembari memeluk kami. Setelah puas mengobrol dengan mereka saya berlanjut menemuwi temanku yang lain satu persatu, banyak yang menanyakan Mas Wildan, apakah kami sudah menikah atau belum. “Lila………sini” teriak pria perut buncit berwajah sedikit oriental dari kejauhan.
46
“Afit……. hai apa kabar?” Berjalan menuju ke arah Afit berada. Lama juga tidak ketemu dengan mantan anak Ibu lurah ini, entahlah kenapa dia agak agak seperti cina padahal Bapak dan Ibunya asli keturunan Jawa. “Ow ia sebentar ya Lila sebentar“ Afit menarik seorang pria di belakangnya. “Tofa atau….?” Tanya ku heran memandangi pria yang berdiri di hadapanku. “Ahh belagak lupa lagi” Kata Afid sambil tertawa. “Hai apa kabar?” Tanyaku sembari menjabat tanggannya. Dia masih sama seperti terakhir kita bertemu dia acara reuni SD dulu, diam dan dingin. Ketika semua bercanda bertegur sapa dia adalah satu satunya orang yang diam seribu bahasa kepadaku. “Baik” Ucapnya singkat. Terliat dari raut mukanya dia gugup dan tak nyaman berbicara kepadaku. Entahlah apa yang terjadi kepadanya setelah kisah itu. 47
“Kamu datang sendirian?” Tanyaku untuk mencoba mencairkan suasana. “Ya sama kembarannya lah masak sendirian” Celetuk Afid yang sedang memegang segelas minuman. Setelah mengobrol berbasa basi kesana kemari dengan di temani Afid dan Mas Wildan, saya memutuskan bertanya sesuatu yang sampai saat ini saya tak pernah tahu kenapa dia acuh sekali denganku. “Emmmmm……..boleh
tanya
sesuatu?”
Sambil
melangkah mengambil posisi mendekatinya. “Aku mau ke kamar kecil dulu ya” Ucap Mas Wildan seolah mengerti jika aku ingin mengobrol serius dengan pria di sampingku. “Setelah hari itu di depan perpustakaan lalu kita pulang bersama kamu kenapa diam saat bertemu aku lagi, sampai di reuni SD kamu tidak mengucapkan apapun hanya kepadaku” Tanyaku sembari sesekali melihat ke sekeliling.
48
Lama dia terdiam saja dan Afitpun mencoba bertanya juga. Karena Afit dan satu temanya lah yang dulu membantu kami bersurat suratan antar kelas lalu pada akhirnya bertemu di depan perpustakaan. Awalnya saya juga tidak tau kenapa saya dan Tofa bisa di akhirnya bersurat suratan dan dekat, saat saya melewati kelasnya atau sebaliknya lama lama mereka mengira kita saling suka dan kamipun akhirnya menjelaskan melaluwi surat antar kelas dan kita akhirnya bertemu lalu saling menanyakan perasan satu sama lain. “Ya udah kalau nggak mau jawab juga nggak papa, atau missal aku ada salah aku minta maaf ya” Ucapku sambil melangkah pergi. “Lila………..maaf
aku
nggak
dewasa
dalam
meghadapi semua ini, aku juga minta maaf kalau aku salah” Ucap Tofa. Saya
membaikan
badan
kearahnya
sembari
tersenyum dan menjabat tangannya lagi. Itu memang
49
kisah anak kecil tapi setidaknya silaturahmi kami tidak tergangu lagi dengan adanya masalah itu. “Alhamdulillah, gitu dong kan enak dilihatnya. Dulu saling cinta sekarang harus tetap baik walau udah nggak cinta” Celetuk Afit lagi. “Afid……..” Teriaku dengan muka kesal. Di sela sela obrolanku tiba tiba aku melihat Nova, mantan pacar Mas Candra, sambil aku melihatnya degan teliti lagi dan mencari Mas Candra. “Mbak Nova?” Sapaku kepada wanita cantik berkulit putih dan berambut pirang. “Hai
Lila……apa
kabar?”
Tannyanya
sambil
memeluku. “Alahmdulillah Mbak baik, emmm datang sama siapa?” Tanyaku sambil memastikan apakah dia masih berhubungan degan Mas Candra. “Owh sama suamiku, dia lagi ambil minum, ini siapa? suami?” Menanyakan Mas Wildan yang tiba tiba berada di belakangku.
50
“Calon mbak” Tersenyum sambil menunggu siapa suami dari mbak Nova. Jujur nggak enak kalau langsung bertanaya apakah Mas Candra suaminya. Seorag Laki laki bertubuh jangkung dengan rambut berwarna coklat dengan membawa minuman di tunjuk Mbak Nova. “Itu uamiku, namanya Jose warga negara Jerman.” Saya hanya tersenyum lalu berpamitan untuk menyapa yang lain. Mataku mengarah menuju ke grombolan anak anak kelas tiga jaman dulu siapa tau ada Mas Candra disana. Satu persatu saya lihat tapi tidak ada sosok Mas Candra atau muka yang mirip dengan Mas Candra. Malah saya melihat sosok Faiz dan beberapa temanya di depan panggung acara. “Kamu cari siapa sih?” Tanya Mas Wildan yang mungkin dari tadi binggung melihatku celingukan. “Eh… cari teman akau Mas” Masih sibuk mencari “Siap sih? Mantan kamu?” Tanya Mas Wildan sambil menatapku.
51
Mataku langsung berhenti mencari, aku tatap Mas Wildan dengan hati tidak enak. “Kok Mas Wildan bilang gitu.” “Ya setelah kamu tanya sama teman kamu tadi dan aku kira kamu akan memastikan seseorang lalu ternyata bukan orang itu yang kamu cari dan kamu terus mencarinya” Ucap Mas Wildan yang berada di samping kananku. “Em……bukan mantan kok Mas” Jawabku terbata bata. Saya dan Mas Wildan berjalan menjauh dari panggung lalu duduk di depan Kantor Guru yang lumayan sepi, mulai menghela nafas pajang dan sesekali melihat Mas Wildan yang duduk di sampingku. “Aku sebenernya nggak begitu kefikiran tentang dia, saat lihat Mbak Nova tadi tiba tiba aku ingat kakak nemu gedeku” Tersenyum tipis. “Kakak nemu gede? Maksutnya?” Tanya Mas Wildan. 52
“Ya jadi dulu aku pengen banget punya kakak, karena aku anak pertama aku pengen ngerasasin kayak apa sih punya kakak. Terus kelas dua smp aku ketemu sama pacarnya mbak nova tadi. Namanya Mas Candra, kenal dia awalnya dari tetangga aku karena Mas Candra sering ke rumahnya, lama kelamaan aku kenal dan akbrap sama dia. Sampai suatu hari aku bilang ke dia, dia mau nggak jadi kakak aku dan dia bilang IA” Lalu menghela nafas panjang kembali. “Terus?” “Semua berakhir karena salah paham, Mas Wildan mungkin tau aku orangnya suka bercanda, kapan saat bercanda dan tidak Mas juga bisa mersakan bukan. Jadi malam itu aku dan temanku sedang bercanda tentang banyak hal, karena aku fikir kita sedang bercanda pertanyaaan dari seorang perempuan itu saya jawab juga dengan candaan. Perempuan itu bertanya apakah Mas Candra mengatakan cinta kepadaku, aku jawab iya tetapi aku juga sambil
53
tertawa karena aku merasa dari tadi kita sedang bercanda. Dan tidak pernah aku tahu kapan persisnya perempuan itu bilang ke Mas Candra tentang hal itu lalu Mas Candra tiba tiba tidak membalas pesan, menghindar saat aku temuwi dan aku baru tahu jika kata kata itu yang menyebabkan dia marah sama aku.” “Jujur, kamu dulu suka sama Mas Candramu itu?” Tanya Mas Wildan. “Demi Allah aku hanya anggap Mas Candra hanya sebagai kakakku, tidak ada perasaan lain. Kalau aku suka sam Mas Candra apa mungkin aku bisa dan kuat selalu mendengar curhatan dari mbak Nova tentang hubungan mereka, mendamaikan meraka saat meraka bertengkar. Selain aku dekat degan Mas Candra aku juga dekat degan Mbak Nova. Tidak semua perempuan dan lali laki dekat itu saling menyukai nyatanya aku dan Akbar mampu bersahabat lebih dari lima tahun dan Mas Wildan tahu sendiri kan kalu Akbar dan aku tidak pernah ada hubungan apapun
54
dan perassan apapun” Tiba tiba air mata tak teras menetes perlahan di pipi. “Terus kamu nggak coba menjelaskan sma Candra tentang semua itu?” Tanya Mas Wildan sembari memberikan saputangan kepadaku. “Sudah pernah aku lakukan tetapi temannya bilang Mas
Candra tidak
mau mendegarkan apapun
penjelasan aku, sampai terakhir aku melihatnyapun aku nggak berani hanya sekedar menyapanya, aku takut keadaan lebih memburuk.” “Lalu kalu Candra ada disini kamu mau apa?” “Aku cuma mau jelasin, aku minta maaf. Tapi jujur aku tidak pernah mengatakan hal itu dengan sungguh sungguh, karena saat itu kami hanya sedang bercanda. Kalupun dia tidak percaya aku nggak masalah yang penting aku udah mencoba berkata yang sejujurnya, aku sayang dia sebatas kakak tidak lebih.”
55
“Apa perempuan itu sama seperti masalah kamu dan siapa yang kemarin kamu ceritakan?” Mas Wildan mengarahkan posisi duduknya menghadapku. “Faiz. Ia mereka orang yang sama” Menghapus air mata lagi. “Mereka? Jadi nggak cuman satu orang? Mau mereka apa sebenarnya? Mencari cari kesalahan kesalahan kamu? Mereka benci sama kamu? Mereka kenapa sih?. Lila, Mas bener bener nggak ngerti sama mereka yang kamu anggap teman itu” Mata Mas Wildan memerah, raut wajahnya sedikit marah. “Aku juga nggak tahu Mas kenapa mereka sejahat itu.” “Semoga suatu saat Candra tau jika kamu tidak bersalah atas hal ini. yuk kita senang senang lagi, usap dulu air matamu, nanti dikiranya aku habis gigit kamu lagi” Mas Wildan tersenyum lalu berdiri. Saya
dan
Mas
Wildan
bergabung
dengan
segerombolan anak anak 3C jaman dulu, lalu guest starpun 56
naik
ke
atas
panggung.
Ya
kami
menggundang Rastaline, Band ragge dari Semarang, mereka menyayikan lagu tetap berjalan untuk lagu pertama mereka kamipun berpelukan, bergandegan dan bergoyang ke kanan dan kekiri mengikuti irama music dan Mas Wildan malam itu secara khusus khusus mendokumentasikan kebersamaan kami yang sedang benar benar menikmati malam ini. “Sepulangnya dari sini jangan lupa saling ngabarin ya guys. Silaturahmi kita tetep harus terjaga” Ucap Intan lalu di amini oleh semua. “Habis acara ini kita ngmpul lagi di nikahannya Lila” Sambung teman yang lain. Kami memang tak lagi muda saat ini rata rata umur kami di atas duapuluh lima tahun tapi malam ini kami seperti anak anak SMA yang sedng nonton konser, yang punya anak yang punya suami seperti seolah olah mereka lupa. Kurang lebih satu jam rastaline bernyanyi untuk acara kami dan tak terasa acara sudah selesai dan kita harus berpisah saat, walau nanti mereka berjanji akan 57
datang di acara pernikahanku, tapis sungguh berat dan belum puas menikmati waktu kebersamaan yang sebentar ini. Setelah semua sepi kami panita sebentar berkumpul untuk
memastikan
keadaan.
Waktu
sudah
menunjukan pukul satu malam. Dan kami masih berada di lapagan merencanakan acra besok pagi, karena kami meminjam sekolahan ini secara bersih dan kami juga akan mengembalikannya dalam keadaan bersih juga. “Terimakasih ya teman teman atas bantuannya, besok senin perwakilan aja yang ke Sekolah untuk memberikan sedikit ucapan teimaksaih. Begitu saja dari saya, di tunggu acara pembubaran panitianya juga ya” Ucap ketua panitia yang Nampak sangat lelah. Setelah
semua
urusan
selesai
Mas
Wildan
mengantraku pulang dengan muka yang sangat kelelahan dan mangentuk. Malam ini dia banyak
58
membantuku
dalam
segala
hal
termasuk
mendegarkan ceritaku Lagi. “Makasih ya Mas udah mau nemenin aku, sampe kecapekan dan ngantuk gitu” Ucapku sebelum turun dari mobil warna putihnya “Sama sama, aku juga seneng bisa nemenin kamu bahagia malam ini “ Walau mukanya sudah terlilah lelah tapi senyum masih singgah di pipinya “Ya udah hati hati ya Mas, kaalau ngantuk berhenti dulu beli kopi atau cuci muka, Asalamualaikum” Ucapku sambil membalas senyumnya.
*** Sore ini sepulang dari toko saya akan menjemput sahabat saya dari bumiayu yang sekarang ikut suaminya tinggal di Jakarta. Semenjak pernikahannya lima bulan yang lalu kami tidak pernah bertemu lagi. Dengan membawa tentengan bollen kesukaannya saya mulai menyalakan mesin mobil, memasang safety belt dan memacu si biru ke Stasiun Tawanag. 59
Liana adalah satu satunya sahabat cewek yang baiknya nggak ketulungan, dimasa masa saya susah cuman dia yang ada di sampingku, membantuku kesana kemari memecahkan masalah. “Asalamualikum ukhti Lila” Sapanya yang di sambut juga dengan pelukan hanggat. “Waalaikumsalam, kangen banget sama kamu” Membalas pelukan perempuan yang mengenakan hijab warna merah itu. Untuk bebrapa hari Liana akan menginap di rumah, selain ingin membantuku mempersiapkan acara pernikahan dia juga ingin bernostalgia di Semarang. Liana adalah teman seangkatanku di kampus, dia satu satunya orang ngampak yang ngobrolnya pake gue elu. Sesampainya dirumah setelah beberes dan makan malam saya mulai merencanakan acara untuk kesokan hari, akan kemana kita dan sedikit bercerita pagaimana lima bulan menjadi seorng istri.
60
“Ya kata orang sih masih awal awal yang ada hanya bahagia dan bahagia, ya walau kadang berbeda pendapat si pasti ya. Tapi suami aku yang ngalah” Lalu tertawa. “Terus udah ada kabar baik lainnya?” tanyaku sambil merebahkan tubuh di kasur. “Belum, Doain ya. Ya memang rencana awal nggak mau cepet cepet karena kita masih merintis karir. Hidup di Jakarta emang nggak semudah yang di bayangkan.”
*** “Pagi Tante……masak apa ini” Sapa Liana kepada Ibuku yang sedang sibuk di dapur. “Pagi….,Ini mau buat sarapan, hari ini mau pergi?” Tanya Ibu yang sedang sibuk memotong bawang putih dan bawang merah. “Ia Tante mau antar Lila ambil sisa undagan katanya sama mau ambil apa gitu tadi” Sembari membantu memasak. 61
Seusai sarapan saya dan Liana melaju ke arah Semarang utara untuk menambil sisa undagan yang harus mulai di sebar sekitar tiga minggu lagi. Kami pergi terlalu pagi memnag, jalanan Semarang masih macet macetnya karena bersamaan dengan anak anak sekolah dan orang kantoran berangkat bekerja. “Kenapa sih yang satu ini nggak pernah kamu ceritain ke aku sebelumnya? Cerita cerita udah di Khitbah aja” Ucap Lian sambil melihat undagan yang sudah aku ambil tempo hari. “Sengaja memang, bukan cuman kamu kok Bapak dan Ibu aku aja tau ya saat Mas Wildan datang ke rumah untuk mengkhitbah aku” Masih serius di belakang kemudi. “Apa……….alasannya?” Masih membolak balik undagan. “Kamu tahu kan beberapa orang yang mendekatiku dan akhirnya tidak ada kejelasan hubungan, sebelum aku memutuskan untuk tidak pacaran dan menerima tunangan degan tentara itu, dia sendiri yang akhirnya 62
menyakiti aku, seteah aku memutuskan untuk tidak pacaran yang mendekat hanya sekedar dekat Mas Aditya, Mas Wahid dan yang terakhir Bule Turki itu. Aku kira dia benar benar serius karena sampai datang menemuwiku di Jogja waktu itu dan mengirimiku bingkisan, kita sudah berbicara tentang tempat tinggal sampai dia memutuskan untuk ikut tinggal di Indonesia, tapi yang ada semua tidak ada yang jadi dan hanya membuat orangtuaku berharap saja.” Ucapku sambil serius memperhatikan jalan. “Tapi kamu juga nggak publikasi publikasi amat dulu nyatanya waktu kamu sama si Bule itu kamu cerita saat kamu dan dia memutuskan untuk jalan sendiri sendiri.” “Liana sayang, gimana ya aku dan mereka tidak pernah ada ucapan aku cinta kamu, aku sayang kamu apalagi pacaran. Ya kita seperti bereteman biasa tetapi lebih dekat, aku juga nggak bisa minta kejelasan apapun karena memang dari awal kita nggak pernah ada kata apa apa. Dan saat Ibu dan
63
Bapakku tahu tentang Mas Aditya, mas wahid karena mereka pernah bebrapa kali ke rumah dan kalu sama bule itu karena saat aku telfon, skype atau pas aku ke Jogja Ibu dan Bapakku tahu aku menemuwinya. Ya…..semenjak aku fikir bule itu sudah berbeda karena kita sudah merancang semua maka aku memutuskan
untuk
kita
tidak
melanjutkan
pembicaraan pembicaraan itu lagi.” “Lalu kamu memilih menyembunyikan Mas Wildan dari semuanya setelah memang dirasa pasti kamu baru berani go public gitu? Agar tidak ada yang kecewa untuk kesekiankalinya?” Ucap Lian sambil menatapku. “Ya begitu deh, lebih penting kepada ke dua orang tuaku, aku nggak mau mereka terus terusan berharpa yang nggak pasti. Aku memang ingin menikah tapi saat itu aku belum siap, masih banyak hal yang belum aku lakukan untuk menbahagiakan mereka.” Mungkin bebrapa orang pernah mengaami fase fase dimana usia dan lingkungan menuntut mereka untuk
64
segera menikah tetapi hati mereka belum siap untuk itu. Pertanyaan pertanyaan kapan menikah dari berbagai orang semakin membuat mereka berfikir keras untuk mencari, padahal sejujurnya yang tahu siap atau belum siap untuk menikah adalah diri kita bukan orang lain. Percuma saja cepat cepat menikah dan mencari jodoh dengan alasan di kejar target menikah atau karena sudah tidak ingin mendegar pertanyaan kapan menikah padahal sesungguhnya hati belum bener benar siap padahal kita belum terlalu mengenal orang tersebut degan baik. Menikah
itu
untuk
selamanya
bukan
sesaat,
mempersiapkan hati itu lebih penting dari pada perkataan orang lain. Semenjak saat itu saya memutuskan untuk tidak terlalu serius mencari, saya menjalani semuanya seperti biasa, mengejar impian saya setaip hari berjumpa degan orang orang baru dan pada akhirnya dengan campur tangan Allah dengan tak sengaja mempertemukan aku degan Mas
65
Wildan. Seorang pria yang awalnya tak pernah aku perdulikan saat datang ke toko untuk membeli kue kue. Jangan sibuk mancari jodoh setaip hari sampai sampai kamu lupa dengan semuanya, tetapi menjalani hidup seperti biasanya, mengejar cita cita, beribadah dan berdoa lalu perbanyak bersoaisalisasi atau bersilaturahmi ke tempat tempat yang baik. Siapa tahu jodohmu disitu. “Ngomong ngomong soal bule aku jadi inget cerita kamu tentang temen mu dari India itu, yang terus kamu dikira mengada ndaga” Ucap lian dengan melihat sekeliling. Tiba tiba kami tertawa lepas, dulu awal awal kuliah aku punya seorang teman orang India. Dia hanya teman facebook saya tetapi dia baik sekali pernah mengirim kain sari dan kami berteman lama, tetapi ada tetangga saya yang bilang kalau saya hanya mengada ada hanya berbohong. Padahal punya temen
66
dari luar negri itu mudah, cari saja di facebook atau twitter atau media sosisl lain. Tujuan utama saya berteman dengan orang luar hanya satu memperlancar bahasa inggris saja. Jika kamu beruntung kamu bisa menemukan teman yang benar benar baik seperti Ajun teman saya dari India ataupun Amanj dari Turki yang sengaja datang ke Indonesia bertemu denganku. Selain mereka banyak lagi teman teman saya dari Malaysia dan Texas. “Ya sudah lah toh sudah kejadian juga, kalau sekarang di inget inget lagi aku jadi pengen ketawa sendiri” Sambil mengemudikan si biru kea rah semarang atas. Sesuwai rencana setalah mengambil undangan dan mampir sebentar ke kantor redaksi saya dan Liana pergi ke mantan kampus tercinta. Kita mau bernostalgia keliling keliling kampus dan sudah kangen makan mie ayam Haris favorit kita dulu. “Aduh udah lama banget nggak kesini, di seblah mana sih” Tanyaku sambil mengemudi si biru pelan. 67
“Itu tu yang banyak motornya” Tunjuk Liana. Setelah puas berputar putar kampus kami langsung memesan dua mangkuk mie ayam goreng bakso dengan extra ceker dan nggak lupa es sejuta umat es teh. Kami terus menerus mengobrol tentang masa masa kuliah, cupunya kita saat semester semester awal bolos kuliah berjamaah dan lain lain dan obrolan kita terhenti saat seorang wanita menepuk pundakku. “Lila…….” Ucap seorang wanita berhijab dengan mengendong bayi munggil. “Diah? Hai apa kabar” Berdiri lalu menyalaminya. “Kok kamu disini, ngapain?” Tanyanya. “Lagi nostalgia aja sama mie ayam ini, kamu sendiri?” “Aku lagi nemenin suamiku yang ada urusan di rektorat terus kepikiran pengen mie ayam ini deh.” Diah adalah teman lama di radio kampus, dia satu satunya teman yang paling dekat dan mengerti saya. Dan dia juga satu satunya perempuan di radio itu 68
yang masih dekat denganku sampai saat ini. Suaminya bekerja sebagai guru di Malaysia sudah beberapa tahun ini dan membuat diah harus berhenti dari pekerjaanya dan mengikuti suaminya tinggal di Malaysia. “Ow ia kamu nggak kangen ke radio? aku nuggu suamiku disana dari tadi sambil nostalgia juga” Masih berdiri dihadapanku sembari menunggu mie ayamnya datang. “Ow ia lupa kenalin ini temen aku Liana, emmmm pengen sih tapi kan nggak enak sama Liana natar” Sambil melihat kea rah Liana yang sedang asik makan. “Nggak apa apa kok kesana aja, sebenernya aku mau mapir ke temenku yang dosen juga disini tapi dari tadi aku mau ngomong sma kamu nggak enak” Ucapnya sambil tertawa kecil. Setelah selesai makan dan mengantarkan Liana ke tempat temannya saya dan si biru menuju radio
69
kampusku dulu, agak asing memang karena saya memang sudah lama tidak pernah ke tempat ini lagi. Di luar seperti jaman dulu beberapa anak anak sedang asik bercengkrama lalu terlihat dari depan pintu ruangan berkaca dengan dua orang di dalamnya sedang asik memperbincangkan sesuatu. “Maaf aku mau cari Diah ada disini?” Tanyaku kepada bebrapa orang yang sedang mengerjakan sesuatu di ruang tamu. Diah langsung keluar dari sebuah ruangan ketika mendengar suaraku lalu diah memperkenalkanku dengan semua orang yang berada disana, walau sudah bebeda tetapi suasana disana masih mampir sama ketika dulu saya seprti mereka. “Ow ia ini namanya Lila dulu dia Progam Director paling handal di tahunku, dia juga Announcer dengan suara mendayu dayu lo” Ucap Diah kepada beberapa orang yang berada di ruang tamu radio. “Ah…nggak, bohong dia” Ucapku sambil tersenyum
70
Kami
mengobrol
banyak
siang
itu,
becerita
bagaimana masalalu yang lucu itu pernah terjadi. Ruang keluarga ini masih tertata seperti dulu walau dengan kemasan berbeda, rak buku tahunan berada tepat di samping meja kecil yang terdapat TV di atasnya. Di samping lemari terdapat tumpukan bantal, guling dang beberapa selimut untuk yang ingin menginap. “Kamu ingget nggak kita malem malem bertiga sama si toha galau bareng di café atas sana terus malem malem pulang tidur berjejer di depan kabin”ucap diah lalu tertawa lepas. “Bertiga? Yakin bertiga? Bukannya sama Mas mantan juga ya?” Ledekku dan disertai tawa. “Lila……………….”
Teriak
Diah
sambil
memanyunkan bibirnya. Sebuah album foto tertata rapi di rak, saya dan Diah mulai megambilnya lalu membuka halaman demi halaman, melihat secara seksama satu persatu. Saya menemukan fotoku dengan mengenakan jas hitam 71
dan memegang microfon, ya saya ingat betul kejadian itu. “Ini pertama kali akau belajar jadi MC, ya allah gitu amat
dulu
mukaku
ya”
Ucapku
sembari
memperlihatkannya kepada Diah. “Yang juga di syuting sama TV lokal itukan? apa sih dulu, TV candi kalau nggak salah ya.” “Heem betul, dulu temen aku yang syuting, kebetulan dia magang di sana” masih melihat foto secara seksama. Tiba tiba terlintas ingatan saat beberapa orang yang tidak percaya jika saat itu saya sedang membawakan suatu acara dan masuk TV sekaligus. Memang itu untuk
pertama kalinya saya
masuk TV
dan
membawakan suatu acara seminar radio tapi saat acara itu tayang di TV dan saya memang sedang sibuk mempersiapkan acara camping dan cuman gara gara kelewatan nggak nonton
aku di TV mereka
bilang aku cuman membual saja. “Eh.. malah ngalamun” Diah mengagetkanku. 72
“Jadi keinget jaman jaman dulu aja ” Masih duduk di lantai dan melihat lihat foto yang lain. “Dulu kita yang cupu cupu ini banyak banget belajar apapun disini ya, mulai music, progam acara, news, Eo, teknisi sampe belajar jadi MC” Ucap dian yang juga sedang bermain dengan anak ke duanya. “Ia dari jaman di bayar ucapan terima kasih, nasi kotak sampai di bayar professional. Dari yang super cupu sampai jadi bahan omongan dan cacian orang” ucapku sembari tersenyum kecil. Ingatanku kembali lagi dimasa lalu, saat aku hanya di bayar ucapan terikasih di salah satu acara kampus di hari minggu pagi, bertemu Artis Artis Ibukota saat membawakan acara lalu membawakan acara punk yang aku tidak pernah mengerti sedikitpun lagu lgunya, membawakan acra sebuah prodak baru dari suatu brand dari satu daerah ke daerah lain dengan naik motor bersama Icha waktu itu sampai harus bertanya tanya kesana kemari. Sampai acara yang
73
lebih besar lagi di 17th ulang tahun anak sma di suatu hotel, dan masih banyak lagi. Bebarapa Artis juga pernah saya interview dan temuwi satu panggung, dari Bendera band, Taxi band, Tukul arwana, Ramzi, Iis dahlia dan banyak lagi. Tapi sayang hanya karena saya tidak punya banyak foto untuk membuktikan pada mereka mereka jadi lagi lagi saya di anggap pembohong. Ya saya memang bukan tipe cewek seperti cewek cewek lainnya yang doyan foto di depan banyak orang atau bahkan meminta orang lain untuk memotokan saya. Lagi pula pada jaman itu telepon genggam yang saya miliki juga tidak sebagus telepon genggam jaman sekarang. Ya sudahlah semua juga telah terjadi, mau meraka percaya ataupun tidak itu urusan mereka, setidaknya saya punya beberapa orang yang saat itu melihatku melakukan banyak hal penting di hidupku, toh saya bahagia saya nyaman melakukannya, yang penting
74
baik dulu ke orang kalau maslah dia baik atau tidak ke kita itu urusannya kepada Allah. “Lagi mikirin apa si, kok kayaknya ada yang dipikirin gitu.” “Ngak kok cuman inget aja sama masa masa lalu gitu, jadi flash back tiba tiba gitu.” “Tapi kamu itu keren tau nggak sih, saat banyak orang memandang kamu seblah mata, ngomongin kamu sana sini tapi kamu tetep tegar gitu. Aku jadi kamu sih udah nangis nangis“ Ucap Diah sembari memegang tangan kiriku. “Ya gimana ya Di, sekarang aku membela diripun percuma karena dari awal mereka udah nggak suka, jadi hal sebaik appaun yang aku lakukan juga yang ada itu keburukan.” “Ia juga sih, tapi kan akhirnya mereka dengan sendirinya tau siapa kamu” Masih mengenggam tanganku llau tersenyum. “Ya itu juga perlu proses yang lama banget, harus sabar di bilang mirip Anjing, babi, dibilang tukang 75
tipu, nggarang cerita dan lain lain. Tapi saat itu Ibuku bilang kalau kamu benar kamu nggak perlu jelasin appaun ke siapapun, karena pada akhirnya nanti kebenaran akan terungkap sendiri.” “Dan hebatnya kamu lagi setelah diomonin orang bukannya kamu terus lemah dan enggan untuk berkarya lagi, tapi kamu malah semkin menjadi jadi” Ucap Diah sambil tersenyum hnagt kepadaku. “Aku sih ngalir aja nggak pernah kefikiran apapun dan tawaran demi tawaran malah semakin datang sili berganti, bisa syuting dan tampil di TV Nasional, dapet job buat gabung EO di salah satu radio swasta, bisa menang kontes kontes video dan masih banyak hal lagi yang aku alami. kamu tahu firman Allah SWT dalam Al Qur'an Surah Ash-Shuraa[42]:39 yang isinya dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang
76
berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Tetapi orang-orang yang membela diri setelah dizalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka. Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih. Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia” “Subhanallah Lila, seneg lihat kamu yang sekarang. Udah pantes jadi Ibu Hj. Tapi kamu memaafkan segala yang telah terjadikan?” Ucap Dian sembari memastikan. “Amin………dan Alhamdulillah aku masih banyak belajar di. Ya awalnya memang di hati saya yang ada hanya benci dan kecewa tetapai setelah Ibu aku bilang begitu saya sadar dan saat itu saya memaafkan mereka yang pernah menyakiti hati aku, mereka yang
77
pernah mengatakan hal yang seharusnya tidak mereka katakana kepada siappaun. aku memaafkan tapi aku juga tidak lupa ingatan dan untuk bisa lagi seperti dulu maaf aku tidak bisa karena aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama yang telah aku perbuat, memilih teman yang salah.” “Bener banget ya sekarang kalau mau cerita lebih enak ke Allah ke orang tua atau ke suamimu nanti, lebih aman” Senyum diah kembali mengembang dan memelukku erat. Secarik undangan saya keluarkan dari dalam tas, Diah yang lalu menerima dan membolak balik undagan itu. “Alhamdulillah, akhirnya” Ucap Diah dan lagi lagi memeluku. “Maaf ya aku juga nggak bakal nyangka ketemu kamu disini, jadi ya masih kosongan deh” Sembari tertawa. “Nggak penting itu, yang penting akhirnya setelah sekian lama, kamu akhirnya memutuskan untuk 78
menikah juga. jadi siapa pria yang berhasil menahlukkan hati batumu itu” Tanya Diah sembari tersenyum lebar. Tak terasa saya dan Diah terus dan terus bercerita dan tidak sadar sudah hari sudah hamper gelap dan ternyata suaminya sudah menunggu di depan radio. Ternyata Suaminya tau kalau kami sedang asik bernostalgia jadi dia tidak ingin menggangu. “Hallo……….kamu diaman? Aku jemput sekarang ya” Ucapku sambil memegang telepon genggam berwarna putih. “Lila maaf banget aku lupa ngabarin kamu karena aku fikir aku nggak mau gangu kamu sama temen kamu jadi aku sekarang ada di moll dekat dengan simpanglima” Ucap Liana sembari tertawa. “Ya udah aku jemput kesana, tunggu ya.”
***
79
Empat hari sudah Liana menginap di rumah dan rencana pagi ini saya, Mas Wildan ingin mengatkan sebagian undangan yang telah siap dan mengantarkan Liana ke stasiun, hari ini dia akan ke Bumiayu sebelum pulang ke Jakarta. Aku lihat liana sedang sibuk di kamarku, semalam kami asik mengobrol sampai tak kenal waktu, jadi lupa untuk beberes. “Kok cepet banget sih pulangnya” Ucapku sembari duduk di depan meja rias. “Nikahan kamu aku kesini lagi, kasihan suamiku sendirian” Jawabnya sembari sibuk beberes. “Iya deh yang udah punya suami” Candaku. “Udah siapni, Udah siap juga buat ketemu sama Mas Wildanmu secara langsung untuk pertama kalinya.” Ucap Liana sambil menenteng tas besarnya. Kami berduapun turun ke bawah untuk sarapan pagi dan tak lama Mas Wildan datang dengan kemeja polos warna putih, kami tidak berencana tapi hari ini pakaian kami berwarna sama dan senada, saya
80
mengunakan drees warna putih dengan blazer berwarna hitam dan kerudung senada. “Ow ia Mas ini Liana yang sering aku ceritain.” sembari memegang pundak sahabatku itu. “Salam kenal Mas Wildan” Ucap Lian yang masih duduk di meja makan. Sebelum berangkat kami sarapan pagi degan masakan Ibuku yang super enak itu, pagi ini Ibu memeasak bacem tempe dan tahu, sayur asem dan sambal tomat. Kamipun sedikit bercerita kesana kemari, ruang makan menjadi ramai karen sesekali Bapak mengeluarkan kata kata kunonya yang lucu. “Ojo lali mengko bengi adikmu balik, jemput ning Pandara yo” Ucap Bapak. “Lo nanti malam? Katanya besok.” “Lo sekarang apa besok to Bu?” “Malam ini, tolong di susul ya. Ibu sama Bapak nanti malam mau ke tempat saudara-saudara, nggak enak kalau nanti undagan buat yang lain sudah di sebar tetapi untuk saudara belum Uucap Ibu. 81
Setelah selesai makan kami menuju ke stasiun tawang untuk mengantarkan Liana yang sudah kangen degan keluarganya di Bumiayu. Sabtu pagi di jalanan Semarang lumayan sepi karena kebanyakan orang kantoran dan anak sekolah libur, hanya butuh watu limabelas menit untuk sampai ke stasiun. “Hati hati ya salam buat Bapak, Ibu dan semuanya” Ucapku sembari tersenyum. “Ia nanti aku salamin, makasih udah mau direpotin.” “Belum ngerepotin kok, eh jangan lupa datang pas akat” Ucapku sambil tersenyum dan memeluk sahabatku itu. Dan kami lansung melanjutkan perjalanan ke teman teman Mas Wildan yang ada di Semarang dan Kendal sekalian juga di beberapa teman temanku yang searah dengan tujuan hari ini. “Ow ia besok pagi ke Solo ya, nganterin undagannya Mama sama ke rumah saudara saudara aku, kan kamu belum pernah aku ajak ketemu mereka” Sembari serius memperhatikan jalan. 82
“Kok mendadak Mas.” “Kamu ada acara? Ya kalau ada acara si biar aku sendiri aja.” Mas wildan hari itu tampat tidak seperti biasanya, senyumnya belum saya lihat pagi ini, dia lebih pendiam dari biasanya. “Bisa Mas, bisa banget malah. Aku pengen banget ketemu sama mereka, tapi maksut aku tadi kan biasanya kalu mau pergi jauh Mas Wildan selalu bilang beberapa hari sebelumnya” Ucapku sambil menetapnya yang sedang serius di belakang kemudi. “Ya setelah Ibu kamu tadi bilang mau ke rumah saudara-saudranya ya aku kepikiran juga pasti Mama dan Papa juga pengen segera ngasih undaganundagan itu, dari pada di paketin kan” Ucap Mas Wildan tanpa senyum atau melihatku. Selesai mengantarkan undagan, malamnya kami langsung menuju ke Bandara untuk menjemput Adikku. Kurang lebih tiga bulan dia ke Singapore untuk sebuah penelitian skripsinya, mungkin lebih 83
tepatnya penelitian sekaligus liburan terselubung. Kami datang dua jam lebih cepat dari jadwal kedatangan Deo, karena jika kami pulang dulu pasti akan membutuhkan waktu lagi untuk bersih bersih lalu perjalanan ke Bandara. Tapi selama dua jam saya dan Mas Wildan di dalam mobil hanya beberapa kata saja keluar dari mulutnya, dia menyandarkan kepalanya di tangannya yang sedang tertopang oleh setir mobil, sesekali menyender di kusri sambil melihat lihat telepon genggamnya. “Emm…..Mas Wildan lagi buru buru ya? kalau ia biar aku dama Deo nanti naik Taxi aja” Ucapku terbata bata. “Nggak kok” Jawabnya singkat. Saya tidak berani lagi bertanya setelah jawaban singkat keluar dari mulutnya, tak lama Deo menelfon dan dia sudah ada di depan pintu keluar. Di jalanpun Mas Wildan masih diam hanya saya dan Deo yang
84
dari tadi mengobrol, saya sudah berusaha mencairkan suasana tapi Mas Wildan tetap diam. “Jadi kamu nggak beliin aku oleh oleh? Kamu juga nggak belin buat Mas Wildan? Ih jahat” Sembari melihat ke arah Deo yang duduk di belakang. “Kasih uang jajan aja nggak masa minta oleh oleh, ia nggak Mas Wildan?” Canda Deo. “Ia” Ucap Mas Wildan singkat.
*** Pagi ini Mas Wildan menjemputku tepat jam enam pagi, sengaja kami pergi pagi pagi agar tidak terlalu larut malam saat pulang. Beberapa kardus kecil berisi undagan dan pakaian sarimbit untuk saudara saudra Mas Wildan sudah tertata rapi di ruang tamu. Satu tas besar berisi puff juga sudah aku siapkan untuk buah tangan. “Asalamualaikum Ibu” Ucap Mas Wildan sembari mencium tangan Ibuku.
85
“Waalaikumsalam, sudah siap untuk perjalanan jauh? Ow ia salam buat Mama, Papa dan semua keluarga kamu” Ucap Ibu yang duduk di ruang tamu. “Alhamdulillah sangat siap, pasti saya sampaikan Bu. Bapak kemana Bu?” Sambil menegok sekeliling. “Bapak lagi sepeda sepedaan sama Deo, pesen Bapak nanti jangan pulang terlalu malam ya dan hati hati.” Hari ini Mas Wildan masih sama seperti semalam, tidak banyak bicara dan semakin terlihat aneh. Saya sampai tidak berani memintanya untuk berhenti di rumah temanku untuk sekalian mengantarkan undagan. Mobil putihnya terus melaju sampai ke Solo tanpa berhenti sekalipun. Kurang lebih dua jam perjalanan dan kami sampai di rumah Orang tua Mas Wildan di Jl.Banjarsari-Solo. Mamanya keluar dengan mengenakan pakaian rumahan berlengan panjang berwarna hijau dengan rambut terkucir ke atas. “Asalamualikum Mama” Sapaku sambil memeluk.
86
“Waalaikumsalam, akhirnya yang di tunggu tunggu datang juga. Ayo ayo masuk, Mama udah masak buat kalian.” Di dalam rumah ada Papa yang sedang menonton TV, lalu Kakak perempuan Mas Wildan, Mbak Tanjung dan suaminya yang sedang bermain dengan anak mereka. “Nindi mana Ma?” Tanyaku sambil menyalami Papa dan kedua Kakak Mas Wildan. “Ada di atas, lagi siap siap. Padahal Mama masih pake daster gini” Ucap Mama sembari sibuk di dapur. “Mama masak apa aja sih?” Tanyaku menghampiri ke dapur yang berseberangan dengan taman terbuka di rumah Mas Wildan. “Ini ada selat Solo dan sayur sup jamur, ayo-ayo sarapan” Teriak Mama memangil seluruh panghuni rumah. Di meja makan Mas Wildan terlihat berbeda tidak seperti kemarin malam atau tadi pagi, dia tersenyum dan banyak bicara, bahkan dia yang lebih dominan 87
berbicara diantara kami. Saya semakin dibuat penasaran ada apa dengan Mas Wildan. Setelah selesai makan kami bersiap siap mengantarkan undagan ke bebrapa saudara Mas Wildan yang rumahnya masih di sekitaran Solo. Mas wildan dan Papa duduk di depan, saya, Mama dan Nindi berada di bagaina tengah dan Mbak Tanjung, Mas Damar dan si kecil rasyel berada dibagian belakang. Kami mejuju ke daerah Selamet Riyadi ke rumah Nenek Mas Wildan yang rumahnya juga bersebelahan degan Kakak pertama dari Mama. “Nanti ke rumah Bude Ranti, di kakak pertamaku.dia juga yang jagain Eyang” Mama bercerita satu persatu saudara-saudaranya yang akan kami kunjungi siang itu. Bahagia sekali karena ini pertama kalinya saya mengunjungi rumah Mas Wildan dan bebrapa saudara saudaranya. Berkenalan dengan orang-orang baru, mengobrol banyak hal dan tertawa bahagia. Saya lihat Mas Wildan juga menikmati suasa itu, 88
mungkin semalam Mas Wildan sedang memendam rindu dengan keluarganya jadi sikapnya sedikit aneh. “Pamit dulu ya Bude, mohon doa restunya” Ucapku kepada kakak perempuan Mama. “Hati hati ya nduk dan Wildan, jangan ngebut ngebut pulangnya nati” Ucap Bude sembari tersenyum. Setelah semua selesai Papa ingin mengajak kami kulineran diSolo, katanya tidak lengkap ke Solo tanpa mencicipi salah satu kuliner paling enak disana. “Kita makan tengkleng dulu ya sebelum kalian pulang ke Semarang” Ucap Papa yang sedang membenarkan selty beld. “Papa nggak boleh makan kambing banyak banyak.” Ucap Mbak Tanjung memprotes. “Seperti biasa to, sepiring berdua sama Mama kamu.” Ucap Papa lalu di timpali tawa. Setelah sampai ke warung Bu Jito kami yang kelaparanpun menyantap Tengkleng kas Solo yang enak itu, Tulang kambing degan campura daging dan
89
jeroan di tambah nasi panas dan teh hangat cocok sekali untuk suasana sore itu. “Pie enak to?” Tanya Papa sambil menatapku “Ia enak sekali, walau Ibu saya sering buat untuk pesanan cattring tapi makan Tengkleng di kota aslnya beda rasanya” Lalu menyuap lagi. “Ow ia Lila, Papa boleh reqwes? Di resepsimu tolong Tengkleng ini di masukan list ya”ucap Papa yang melirik kearah Mama. Setelah selesai makan kami istirahat sebentar di rumah Mama, menunggu mahrib tiba baru kami akan pulang ke Semarang. Mbak Tanjung banyak memberikan pengalaman pengalaman pernikahan kepadaku, memberi tahuku sifat sifat Mas Wildan yang memang belum banyak saya ketahuwi. “Mama, Lila pulang dulu ya. Makasih udah masakin dan ngajak Lila kulineran”ucapku sambil memeluk Mama. Setelah berpamitan dengan seisi rumah tepat jam tujuh kami pulang menuju ke Semarang. Anehnya 90
sikap Mas Wildan berubah lagi menjadi diam dan tak banyak bicara, perasaaan bersalahpun hinggap, apakah saya ada salah sehingga Mas Wildan marah dengan saya. Mas Wildan memacu mobilnya cepat sekali, matanya terus menatap ke depan dan tak mengucapkan apapun. “Mas berhenti dulu bisa?” Ucapku. “Mau ngapain?” “Aku mau ke kamar kecil”alasanku agar dia berhenti. Setelah beberapa menit kamipun berhenti di tempat pengisian bahan bakar setelah dari kamar kecil aku lihat dari luar Mas Wildan masih di dalam mobil dan tidak keluar sama ekali. Saya beranikan tekat untuk menanyakan apa ayang terjadi sesungguhnya. “Jangan jalan dulu” Ucapku setelah memasuki mobil. Mas Wildan menatapku dan menyenderkan kepalanya di jog mobil. Matanya melihat sekeliling dan beberapa kali saya lihat dia menghela nafas panjang.
91
“Maaf tapi aku rasa aku perlu ngomong ini ke kamu, sikapmu aneh kemarin semalam. Kamu terus melihat telpon genggammu dan bilang kalau kamu tidak apa apa, tadi pagi hal yang sama kamu lakukan juga. Tiba tiba kamu mendadak biasa saja saat bertemu degan keluargamu terus sekarang kamu kembali diam dan nggak mau jelasin kenapa dan apa, kalau aku salah menurut kamu bilang aja Mas jangan diemin aku kayak gini” Ucapku panjang dengan perasaan yang tak menentu. Mas Wildan hanya menatap keluar dan lagi-lagi menghela nafas panjang. Tangannya beradau di atas stir mobil. “Oke kalau kamu masih diem aja, aku turun disini aja, aku bisa naik taxi atau apapun” ucapku sambil membuka pintu mobil. Dengan reflek tangan Mas Wildan menyentuh pergelagan tanganku. Matanya menatap tajam dengan posisi badannya sudah menyerong ke arahku.
92
“Maaf, jangan lakukan itu Lila“ Ucapnya sembari melepas tanagnku. “Kamu kenapa sih Mas?” Ucapku degan nada sedikit keras. “Oke aku akan jelasin semua, tapi aku harap kamu jagan marah.” Mas Wildan menatapku dan bercerita jika beberapa hari yang lalau dia mendapat email dari Sungkyunkwan University yang berada di Korea. Mas Wildan berhasil melewati beberapa tes dan wawancara yang dilakukan secara online untuk mendapatkan beasiswa pascasarjana di bidang Master of Arts Mayor di Film, Televisi dan Multimedia. Dan yang menjadi beban pikirannya kurang lebih dua bulan lagi kami akan menikah dan minggu depan dia harus regristrasi dan mengikuti sejumlah kegiatan awal di korea sebelum aktif dalam perkuliahan. Sontak saya kaget dan tidak tahu harus bagaimana. Detik itu juga saat Mas Wildan mengutarakan semua, ini lebih mengejutkan dari pada saat Mas Wildan
93
mengkhitabhku dulu. Punggung dan kakiku lemas seketika, kusandarkan kepala ke kursi dan mata menetap lurus kedepan. “Ini impian aku selama ini, dan ini tahun ke dua aku ikut seleksi dan baru lolos kali ini. Besar sekali harapan aku untuk bisa menimba ilmu disana tapi Lila jika kamu tidak menginginkan aku pergi aku tidak akan pergi” Ucapnya dengan nada gemetar. Mas Wildan melajukan lagi mobilnya dan selama perjalanan kita sama-sama tidak berbicara sepatah katapun, dan sesampainya di depan rumah Mas Wildan memulai pembicaraan lagi dan memastikan apakah saya mengizinkannya pergi atau tidak. “Aku nggak akan lama kok.” “Aku nggak tau apa yang kamu pikirin sekarang Mas, semua udah di depan mata dan kamu mau batalin ini semua? Kenapa kamu baru bilang semua sekarang?” ucapku dengan nada tinggi. “Aku hanya pergi sebentar, dua minggu sebelum pernikahan kita aku akan berada di sini lagi. Dan 94
emapat hari setelah kita menikah aku akan ajak kamu tinggal juga di Korea” Kembali meyakinkanku. “Sepertinya kamu sudah merencanakan semuanya bukan? Memang sudah pasti kamu bisa pulang?” “Aku akan usahanakan” Mas Wildan menatapku tak henti henti. “Usahakan? Kalau nggak bisa? Terserah kamu lah Mas. Mumpung undagan baru kita sebarkan ke saudara saudara aja, jadi kalau aku malu juga nggak begitu berlebihan” Ucapku sambil turun dari mobil. Mas Wildan juga segera turun dan menarik tanganku yang akan membuka pintu gerbang. Dia manarik erat tanganku lalu kembali menatapku tajam. “Aku nggak memaksa, jika kamu rasa aku tidak perlu pergi aku tidak akan pergi” Ucap Mas Wildan lirih. Saya melepaskan gengaman tanagnnya tanpa berkata appaun lalu memasuki rumah, di ruang tamu ada Ibu dan Bapak yang sedang asik menonton TV dan saya terus berlalu menuju ke kamar.
95
Air mata sudah tidak tahan untuk menetes, kakiku sudah tidak kuat lagi berdiri, serasa tiba tiba badan tidak ada daya dan benar benar lemas. saya taruh tas lalu mematikan lampu dan merebahkan diri di kasur. “Itu tadi Lila lihat kita disini apa nggak to Bu?” Ucap Bapak yang masih duduk di depan TV. “Nggak tau juga, kok tumben ya Wildan juga ng masuk pamitan.” “Lila abis di semprot calon mertuanya mungkin.” “Hus…. Bapak ini.”
*** Hari kedua setelah kejadian itu, saya masih tak bisa berfikir jernih untuk pergi ke toko apalagi untuk mengantarkan undagan atau mengurus segala keperluan pernikahan. Dua hari ini saya hanya di rumah, tidur, menonton TV, makan, bermaian game dan melamun. Telfon dari Mas Wildan juga tidak saya angkat sekaliipun, sms atau whasapp darinya tidak ada satupu yang saya baca. Saya sedang tidak 96
ingin mengobrol dengan Mas Wildan, saya sedang ingin sendiri. “Ibu liahat dari kemarin di rumah terus, diem terus dikamar. Kamu diapain sama Mamanya Wildan?” Tanya ibu yang sedang menyirami tanaman. “Kok Ibu bisa Tanya gitu?” Ucapku yang sedang duduk di kursi teras rumah. “Habisnya sepulangnya kamu dari Solo kemarain kamu dikamar terus, nggak kemana mana. Wildan juga tumben nggak kesisni.” “Nggak apa apa kok, lagi pengen dirumah aja” mencium pipi Ibu lalu pergi ke dalam rumah. Saya hanya tidak mau Ibu tahu dulu tentang masalah ini, takutnya Ibu juga ikut kepikiran. Malam harinya Saya dan Deo keluar untuk mencari camilan di taman kota, sesampainya di sana Saya dan Deo memesan camilan pedas lalu tiba tiba seorang wanita menepuk bahuku dari belakang. “Mbak Tanjung” Ucapku kaget.
97
“Hai…… wah kebetulan ya kita ketemu disini” Ucapnya lalu duduk di sebelah bangkuku. Saya menengok kanan kiri memastikan dengan siapa Mbak Tanjung datang, tetapi sepertinya Mbak Tanjung datang sendirian, lalu kenapa bisa Mbak Tanjung tau saya berada disini. Saya tatap Deo dengan mata penuh marah, dan deo hanya menaikan kedua bahunya. Setelah menerima makanan yang Deo pesan lalu Deo berpamitan pulang dan meningalkanku dan Mbak Tanjung berdua. “Udah nanti Mbak yang antar kamu ke rumah” Ucap Mbak Tanjung menahanku pulang. Saya yakin sekali Mbak Tanjung akan membicarakan soal kepergian Mas Wildan, kamipun berjalan menuju penjual Es campur yang berada di depan SMA, Mbak Tanjung mulai pembicaraan dengan berbasa basi kepadaku. “Ow ia ini kali pertama Mbak kesini lo” Ucapnya dengan mengaduk aduk semangkuk Es campur.
98
Saya tidak tahu lagi harus berbicara apa kepada Mbak Tanjung, sebenarnya saya tidak mau melibatkan orang lain dulu dalam persoalan ini. “Di aduk terus Es nya? Kenpa?” Tanya Mbak Tanjung sambil melihatku secara seksama. “Owhh nggak apa apa kok Mbak.” “Maaf kalau menurut kamu kedatangan Mbak menganggu dan akan ikut campur. Tapi kamu ingatkan apa yang mbak obrolin ke kamu di Solo itu.” “Nggak kok Mbak nggak ganggu, cuman kaget aja” masih mengaduk aduk Es campur yang sudah mulai lumer. “Wildan dari dulu punya cita-cita membuat Filem sendiri atau bekerja sebagai Editor Filem yang handal tapi bukan hanya di TV Lokal kayak sekarang saja, Dia pengan ke Bangkok untuk bergabung dengan sebuah perusahann disana dan untuk itu Wildan harus mempunyai ilmu yang cukup” lalu menyendok Es dalam mangkuk. 99
“Aku tahu Mbak tapi semua ini begitu mendadak, persiapan sudah kurang dari Dua bulan lagi, sebagian undangan sudah disebar lalu aku harus membatalkannya begitu saja?” ucapku dengan muka serius. Mbak Tanjung berpindah posisi duduk berada di sampingku lalu memegang pundakku dan mencoba meyakinkanku dengan kepergian Mas Wildan. “Nggak ada yang harus di batalkan Lila, Wildan akan kembali dua minggu sebelum acara pernikahan kalian.” “Mbak, dia sendiri tidak bisa memastikan apakan dia bisa mendapat izin untuk itu. Setahu aku mahasiswa beasiswa tidak semudah itu untuk meminta izin.” “Dia sudah merancangnya semua Lila, percaya” Mbak Tanjung masih berusaha meluluhkan hatiku. “Saya tahu dia sudah merancang semuanya dari sebelum bertemu deganku, saat aku tanya kamu pilih yang mana untuk konsep, undagan dan banyak hal dia cuman bilang semua terserah kamu, kamu mau 100
yang mana, dan sampai detik inipun aku rasa memang semua sudah di rencanakan. Jika ini batal dia nggak terlalu capek sudah mengurus semua, maaf Mbak saya mau pulang dulu, maksih untuk Es campurnya” Pamitku lalu pergi dan berjalan mencari Taxi. Entahlah saya benar benar tidak mengerti harus mengambil keputusan apa, kalau dia bisa pulang kalau tidak, saya tidak tahu lagi bagaimana malunya keluargaku nanti. “Tunggu Lila.” Saya berhenti sejenak dan memastikan siapa yang memanggilku, lalu saya meneruskan untuk berjalan. Saya berharap sesegera mungkin mendapatkan Taxi. “Aku akan membatalkan semua demi kita, aku nggak mau kita jadi kayak gini” Teriaknya lagi. Saya buru buru menyetop Taxi yang melintas dan buru buru untuk pergi dari suasana itu. “Lila………..”
101
“Sabar Wil, Mbak rasa Lila sedang benar benar bimbang karena pernikahan kalian tinggal dua bulan lagi dan kamu harus pergi. Mbak rasa jika mbak jadi Lila, Mbak juga perlu awaktu untuk sendiri dan berfikir” Ucap Mbak Tanjung sembari memegang tangan adiknya itu. Sesampainya di rumah saya bur -buru mencari Deo, saya yakin Deo sengaja mengajaku keluar untuk bertemu dengan Mbak Tanjung dan Mas Wildan. “Maksut kamu apa sih Dek?” Teriakku kepada Deo yang sedang asik menonton TV di kmar. “Maksut apa?” “Kamu pasti udah janjiankan sama Mas Wildan dan kakaknya” Masih berdiri di depan pintu kamrnynya. “Salah aku apa? Mas Wildan telfon ngajakin aku sama Mbak keluar buat nyari makan dan Mas Wildan bilang jangan bilang Mbak Lila karena ini surpraise, ya udah aku jalan aja.” Saya rebahkan tubuh di kasur, lampu kamar sengaja tidak saya nyalakan. Saya memandang keluar jendela 102
ternyata gerimis mulai turun, saya dengar seseorang berjalan mendekati pintu kamar. “Sudah tidur?” Suara Ibu dari balik pintu kamar. “Belum, masuk aja Bu.” Ibu menyalakan lampu kamar lalu duduk di kursi dekat dengan jendela. Ibu sepertinya sudah tahu dengan apa yang terjadi padaku dan Mas Wildan, terlihat Ibu ingin bertanya sesuatu tapi binggung mengutarakannya. “Ibu mau nanya apa ke Lila?” Aku berdiri dan duduk di samping tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Akhir-akhir ini selalu menyendiri, jarang keluar rumah dan Wildan juga tidak pernah kesini. Kalian bertengkar?” Saya menceritakan apa yang telah terjadi kepada Ibu, Ibu hanya mendengarkanku sampai saya berhenti menjelaskan kejadian demi kejadian. Ibu bangun lalu menyuruhku duduk di tempat tidur, tepat di sampingnya. Ibu menyerongkan badannya lalu
103
memegang kedua tanganku dan meatapku penuh kasih. “Ibu memeng tidak tahu persis apa masalahmu kemarin tapi perasaan seorang Ibu tidak bisa di bohongi, Ibu dan Bapak tahu ada yang aneh dengan kamu semenjak pulang dari Solo.” “Lalu Lila harus bagaimana Bu.” “Pasangan yang akan menikah kadang melaluwi berbagai ujian yang bermacam macam, ini baru menjelang pernikahan belum saat rumah tangga nanti akan kamu bangun bersama Wildan, akan banyak sekali tahap tahap ujian yang akan kalian laluwi. Kalian harus bisa saling menjaga, sabar, tawakal dan dengan pikiran jernih memecahkan persoalan demi persoalan itu bersama, jangan ada keegoissan. Sekarang kamu berfikir baik dan buruknya untuk kalian, jika Wildan pergi dan Wildan membatalkan semanya untukmu. Ibu yakin kamu bisa berfikir dewasa soal ini, keberangkatan Wildan ke Korea bukan semata mata untuk cita citanya tapi untuk
104
jenjang hidup kalian berdua. Kalau masalah yang dulu pernah kamu alami dengan teman temanmu itu bisa kamu selesaikan dengan dewasa kenapa tidak dengan yang ini. Ya udah kamu bersih bersih dulu, Sholat dan berdoa jika sudah benar benar kamu memutuskan sesuatu segera beritahu Wildan, mumpung semuanya belum terlambat” Ucap Ibu lalu menciumku dan berjalan keluar kamar. Kembali saya rebahkan tubuh ke kasur, aku tatap dinding kamar lalu mencoba berfikir dari dua sisi berbeda tentang beasiswa ke Korea itu, Mas Wildan adalah pria berbeda dari pria pria yang aku temuwi sebelunnya, dia tidak pernah berkata kasar atau marah sekalipun kepadaku, jika dia sengat kesal kepadaku dia memilih diam dan tak berkata apapun, dia selalu mengutamakan kebahagiaanku dari pada dirinya sendiri, dan dia berkata rela mengubur citacitanya untuk beasiswa ke Korea hanya untukku.
105
*** Siang ini saya masih sibuk di toko untuk mengecek semua yang terbengkalai beberapa hari ini. Rencananya setelah semua pekerjaan selesai saya akan kekantor Mas Wildan untuk memutuskan semuanya ynag dari beberapa hari lalu menjadi kegelisahan kami, saya tidak mau semua akan menjadi penyesalan. Sesampainya di Kantor Mas Wildan kenapa hatiku semakin takut dan berdebar untuk bertemu dengannya, sengaja saya tidak memberitahunya dulu jika saya ingin ke kantornya. Saya langkahkan kakiku menuju ke meja rseepsionis untuk bertanaya apakah hari ini Mas Wildan ada di Kantor atau tidak. Seorang pereempuan cantik menyapaku ramah sore ini. “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu” Ucap wanita berambut panjang. “Mas Wildan ada di Kantor?”
106
“Pak Wildan masih ada di ruangannya, maaf ini calon Istrinya Pak Wildan bukan?” “Iya……, kok bisa tahu?” Tanyaku heran. “Aku tahu dari undagan yang di bagikan Pak Wildan beberapa hari yang lalu, silahkan ke ruagannya Pak Wildan langsung saja, di lantai lima.” Sontak saya kaget, Mas Wildan sudah menyebarkan undagan pernikahan kami yang akupun belum sama sekali menberikannya kepada siapapun kecuali Liana, Akbar, Diah dan Saudara-saudara. Saya menaiki lift ke lantai lima, hatiku semakin berdebar kencang, sesampainya saya di lantai dimana Mas Wildan bekerja dan mencoba bertanya kepada bebrapa orang yang sedang bersiap siap untuk pulang, dimana letak runagan mas wildan, kantornya sudah mulai sepi karena sudah pukul 6.45 wib satu persatu orang mulai bersiap siap untuk pulang. Saya berjalan menuju ruagan Mas Wildan yang berada di paling ujung lantai lima, saya lihat dari balik pintu Mas Wildan sedang sibuk melakukan 107
sesuatu, tapi entah apa, posisi duduknya membelakangi pintu ruagannya dan saya tidak bisa melihat apa yang sedang ia kerjakan. Di ruangan Mas Wildan juga ada dua orang laki laki teman satu produksinya yang sedang bersiap untuk pulang. Saya memutuskan untuk duduk saja di depan runagannya. “Loh Lila……..kok diluar, mauk aja” Ucap salah seorang teman Mas Wildan yang keluar dari ruagan editor. “Disini aja Mas, kayaknya Mas Wildan lagi sibuk” Ucapku sambil berdiri dari kursi. “Sibuk apa dia lagi nulis-nulis nama di undagan kalian, masuk aja. Kami mau pulang dulu” Ucap seseorang lainnya lagi lalu berjalan menuju arah lift. Saat saya akan membuka pintu ruagannya ternyata Mas Wildan sudah berdiri di depan pintu lalu menyuruhku masuk, saya duduk di meja kerjanya dan melihat beberapa undagan yang tertata rapi dengan bebrapa nama yang belum sempat dia tempelkan. 108
Mas Wildan sedang bersiap sip memberskan beberapa barangnya untuk pulang. “Aku sudah hampir selesai loh membagikan undangan kita” Ucapnya membuka obrolan. Saya binggung harus mulai dari mana, Saya membantunya membereskan undagan dan beberapa kertas nama di mejanya. “Kamu kesini kok nggak ngabarin dulu” Ucapnya lagi sambil memberikan secarik kertas kepadaku. Surat pembatalan beasiswa, Mas Wildan memberikan surat pembatalan beasiswanya ke Korea. Saya semakin binggung dan nggak tahu harus bagaimana, dia mengorbankan cita citanya yang dia impikan jauh sebelum mengenalku. “Kamu udah ngebatalin beasiswa ini?” Ucapku sembari menatap dia yang berada di ujung ruagan. “Itu nanti tinggal di scan lalu di kirim, karena butuh tanda tangan asli. Kamu bisa tolong aku bawin undagan inikan?” Ucapnya memberikan tas kecil berwarna biru. 109
Kamipun pergi keluar ruangan lalu menuju ke area parkir, saya melihat hanya masih ada bebrapa orang berada di kantor redaksi. Senyum Mas Wildan yang ramah itu baru saya lihat lagi hari ini, seikhlas itu senyumnya untukku yang telah mematahkan cita citanya. “Mas……….aku mau ajak kamu makan, tapi pakai satu mobil aja ya” Ucapku terbata. “Oke, aku tinggal mobilku di kantor aja.” Setelah Sholat Mahrib kami akhirnya memutuskan untuk makan di kawasan Semarang atas, saya lihat Mas Wildan sesekali memandagiku lalu tersenyum dan saya semakin tidak enak dengan tingakhku bebrapa hari lalu kepadanya dan dia juga tidak bertanya kepada saya lagi apakah saya menyetujuwi tentang beasiswa itu atau membahas lebih lanjut tentang beasiswa itu, seolah olah diantara kita tidak pernah terjadi apa apa. Sesampainya di parkiran Mas Wildan juga menyuruhku menunggu lalu mebukakan pintu 110
untukku lalu tersenyum manis, membukakan tempat duduk untukku dan membuatku semakin tidak enak. “Kamu mau makan apa?” Ucapnya sembari melihat lihat buku menu. “Mas…..aku pengen ngejelasin sesuatu” Lalu dan menutup buku menu. “Apa? soal beasiswa? udah ya aku nggak mau bahas lagi. Semua udah selesai” Sembari sibuk melihat lihat buku menu. Saya tahu sekarang mungkin Mas Wildan tidak mau membahas lebih jauh masalah ini karena dia tidak mau mengingat lebih dalam lagi dan membuat dia kecewa berulang ulang. “Tapi Mas aku harus jelasin.” Mas Wildan masih membolak balik buku menu dan seolah olah tidak mendengar. “Mas…..” Ddengan nada sedikit keras. “Oke…..kamu mau bicara apa?” Sembari menutup buku dan mulai memandag aku serius.
111
“Maaf kemarin aku bersikap seperti itu ke kamu, maaf juga udah nggak angkat telfon dan balas pesan pesanmu. Aku benar benar kaget aja kamu nggak pernah ngomong apapun tentang beasiswa lalu saat pernikahan kita sudah dekat kamu baru kasih tahu ke aku semuanya” Lalu berhenti sejenak untuk mengatur kata kata. “Lalu.” “Lalu semalam Ibu mendatangiku dengan memberikannbeberapa penjelasan tentang pernikahan dan lain hal. makanya tadi aku ke kantor kamu untuk berbicara soal ini.” “Jadi Ibu yang buat kamu menemuiku?” “Bukan, ini inisyatifku sendiri, Ibu hanya membeikan pengertian dan menyerahkan semua keputusan kepadaku. Aku mau kamu……….” Lalu mencoba berfikir ulang sejenak. “Kamu mau aku apa?” “Emm…….aku mau kamu ambil beasiswa ke Korea itu Mas. Aku nggak mau jadi orang yang 112
mengagalkan cita cita seseorang” Lalu menundukan kepala. “Kamu serius? tapi aku udah mengurungkan niatku untuk pergi. Pernikahan kita lebih penting dari pada beasiswa itu, siapa tahu tahun depan aku bisa dapat lagi kesempatan itu” Ucap Mas Wildan sembari memegang tangan kananku. “Kesempatan tidak datang dua kali Mas, aku yakin sekarang kamu bisa mengusahakan kepulaganmu ke Indonesia sebelum hari H itu tiba.” “Kesempatan untuk menikah deganmu juga tidak datang ke dua kalinya Lila, aku nggak mau kehilangan kamu, kamu yang menerimaku apa adanya, kamu yang pinter masak, kamu yang selalu meghadirkan tawa” Tangannya semakin kuat mengengam tanganku. Ini kali pertama Mas Wildan dengan sengaja memegang tanganku dan entah aku tidak ingin dia cepat cepat melepaskan gengamannya, aku merasa
113
lebih kuat saat ini aku merasa dia benar benar tulus mencintaiku. “Aku yakin kamu akan menepati janjimu Mas, pergilah demi masa depanmu dan kehidupan kita kelak” Kulempar senyum sambil menatap orang yang rela mengorbankan semuanya untukku. *** Dua hari setelah makan malam itu kami sudah menjalani hari seperti biasa, sisa undangan yang belum Mas Wildan beikan untuk teman temannya kami kebut dua hari sebelum keberangkatannya ke Korea. Ibuku tidak menanyakan lagi keputusanku karena yang dia tahu akau sudah kembali bahagia. “Bu sore nanti aku mau antar Mas Wildan ke Bandara, Ibu mau ikut?” ucapku yang sedang membantu menyiapkan sarapan pagi. “Nggak usah, salam aja buat Wildan dan keluarga” Ucap Ibu sembari mengoreng kerupuk udang kesukaan Bapak.
114
Usai saparan pagi saya bergegas ke rumah milik Mas Wildan, semalam Mas Wildan berpesan agar saya membantunya membereskan beberapa barang-barang yang akan dia bawa ke Korea. Sesampainya saya di sana ternyata keluarga Mas Wildan belum datang. Rumah degan tipe 60 itu masih sepi, rumah berwarna coklat muda itu pintunya juga masih tertutup rapat. “Asalamualaikum……” Walau Mas Wildan seorang lelaki bujang tetapi taman kecil di depan rumahnya tertata rapi, rumput rumput hijau degan satu pohon palem berukuran besar dan bebrapa bunga bunga dan aneka pohon kecil yang tertata rapi di beberapa pot membuat rumah yang dia beli dari hasil usahanya itu menjadi sangat indah. “Waaliakumsalam, masuk” Ucap Mas Wildan yang memakai sarung dan kaos oblong berwarna putih. “Mama datang jam berapa Mas?” Tanyaku sambil duduk di ruang tamu bernuasnsa hijau muda. “Sebentar lagi katanya tadi masih di jalan tol” 115
Tak lama setelah aku datang satu mobil berwarna hitam berhenti didepan rumah Mas Wildan. Mama, Papa, Mbak tanjung, Mas Damar, Adik Mas Wildan dan si kecil turun dari mobil. Rumah yang tadinya sepi itu kini menjadi ramai, mengobrol banyak hal, bercanda dan tertawa, Mbak Tanjung pun sudah tidak membahas kejadian beberapa hari yang lalu. “Lila kalau satu hari saja Wildan tidak pulang dari tanggal yang di janjijikan Papa bertanggung jawab mencari penganti mempelai Pria buat kamu” Ucap papa yang sedang duduk di rung TV. “Papa……jahat benget” Ucap Mas Wildan yang sedang memindahkan koper dari kamar ke ruang tamunya. Setelah semua siap sore itu kami berangkat ke Bandara, saya dan Mas Wildan naik mobil yang terpisah dari keluarga Mas Wildan. Sesekali saya memandang wajah Mas Wildan yang tak akan pernah saya liat lagi untuk beberapa minggu kedepan. 116
“Kenapa liat liat? takut kangen ya?”Canda Mas Wildan seolah olah tahu apa yang aku fikirkan. “Idih GR kamu, terus nanti Papa dan semuanya langsung pulang Solo?” Tanyaku dengan melihat sekeliling jalan. “Nggak mereka nginep semalam, Mas Damar akan bawa mobilku pulang ke Solo, dari pada nggak ada yang ngurus di rumah” Ucap Mas Wildan yang serius menyetir. Tiba tiba saya nggak pengen cepet sampai di Bandara, saya pengen jalanan tiba tiba macet parah. Malam ini berat sekali melepaskan calon suamiku ini pergi jauh. “Kamu hati hati ya Mas di sana, jagan macem macem” Ucapku sambil tersenyum. “Macem macem gimana? Kamu juga hati hati ya, jagan carai calon mempelai lain” Tiba tiba tawa muncul di bibir Mas Wildan. “Ya jagan macem macem aja, jagan pulang terlambat.” 117
“Aku janji dua minggu sebelum pernikahan kita insyaallah aku akan pulang, sesampainya disana aku akan mencari tahu dan meminta izin langsung” ucapnya meyakinkanku. Setelah sesampainya di Bandara tiba tiba air mata ingin menetes dari pipi, Mas Wildan yang mengenakan celana berwarna hitam dan kaus lengan panjang berwarna abu abu nampak terlihat sedikit sedih, terlihat dari matanya yang berkaca kaca saat berpamitan degan keluarganya. “Lila…….jaga diri ya, kalau kemana mana minta anterin siapapun yang bisa dimintain tolong, jangan sendirian. Aku akan pulang sesuwai janjiku demi kita” Ucap Mas Wildan di hadapanku, tidak seperti perpisahan sepasang pasagan yang lain, tidak ada pegangan tangan, pelukan apa lagi cium. Mas Wildan hanya melempar senyum sambil megangukan kepalanya.
118
*** Satu Minggu setelah keberangkatan Mas Wildan, memang perbedaan waktu kami hanya dua jam dan itu tidak terlalu membuat saya stress untuk berkomunikasi. Hari ini saya akan mengantarkan beberapa undagan untuk teman teman dan beberapa rekan bisnis, celana Jogger pants warna hitam degan kemeja putih yang menutupi lutut dengan di padukan jilbab paris berwarna biru sudah rapi saya kenakan. “Mau kemana?” Tanya Ibu yang sedang asik membaca koran pagi di teras bersama Bapak. “Mau antar undagan, hari minggu gini Aisyah di rumah nggak ya” ucapku sembari memakai flat soes berwarna hitam kesukaanku. “Ya di coba dulu kesana, mumpung hari libur” Ucap Ibu. Saya berpamitan ke Bapak dan Ibu lalu memasuki mobil dan siap menuju ke daerah rumah orangtuaku yang dulu. Hari ini Deo khusus mengantarku kesana
119
kemari, walaupun dia belum terlalu mahir menyetir setidaknya sim sudah dia kantogi. “Rumahnya masih yang inikan?” Deo menatap satu rumah berwarna orange. “Ia deh kayaknya, aku turun sebentar ya” Melihat sekeliling rumah, dan beberapa kaali mengucapkan salam tetapi tidak ada yeng keluar. Rumahnya memang nampak sepi tetapi terdegar sayup sayup suara TV didalamnya. “Waalaikumsalam” Ucap seorang wanita berjilbab abu abu. “Hai Aisyah, maaf ganggu ya” Ucapku sambil tersenyum. “Ehh Lila, masuk masuk. Maaf ya lama lagi asik nonton TV aja nie” Aisyah mempersilahkan ku masuk. “Ini mau ngerepotin, datang ya. Ini juga ada titipan dari Ibuku untuk Ibumu” Sembari memberikan dua undagan pernikahan. “Alhamdulillah, ia nanti aku sampaikan” 120
“Ow ia mumpung ketemu dan aku ingat, boleh aku jelasin sesuatu?” Ucapku terbata. “Apa?” Tanya Aisyah heran lalu berpindah posisi duduk mendekat. “Aku sebenernya udah lama penagn ngomong ini ke kamu tapi nggak pernah bisa karena kamu kayaknya menghindar terus dari aku. Maaf ya sebelumnya waktu itu kamu pernah nanya ke aku tentang apa aku pernah sms pacar kamu dan lain lain itu, inget?” ucapku memastikan. “Owh ia, kenapa?” “Demi Allah Aisyah saya tidak pernah mengenal pacar kamu itu sebelumnya, sama sekali belum pernah ketemu sebelumnya. Aku tahu dia pacar kamu dan aku lihat dia juga pas sama-sama kamu waktu itu dan satu lagi kalau aku saja tidak kenal mana mungkin aku sms dia. Demi Allah Aisyah aku tidak pernah melakukan semua itu, tapi terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi aku berbicara ini sejujur
121
jujurnya. Karena aku hanya tidak ingin ada salah paham lagi” uacpku degan melempar senyum. Sejenak Aisyah terdiam, seperti ada yang dia pikirkan. Matanya melihat ke sekeliling lalu menatapku. “Ia aku juga dulu heran aja kamu kenal dia dari mana dan aku percaya aja kata kata dia, kamu nggak salah kok. Tapi ya sudah lah ya itu sudah berlalu sekian lama” Senyum muncul dari bibirnya. “Alhamdulillah deh kalau begitu, saya hanya ingin menyambung silaturahmi saja.” “Ow ia ini yang di undang aku aja atau sama anak anak yang lain juga?” “Semua aku undang kok, maaf bisa nitip di kamu nggak ya soalnya tadi aku lihat rumahnya kayak nggak ada orang”cuacpku sembari mencari beberapa undangan. “Em……kamu masih marah ya sama mereka?” “Marah kerena masalah masalah yang dulu itu? Dulu waktu pertama kali aku memang marah banget, sakit 122
hati sekali Aisyah. Kata kata mereka sudah keterlaluan, mereka bilang aku kayak anjing, babi dan memanggiku degan nama yang tak sepatutnya di ucapkan. Bahkan ada dari orang tua mereka yang bukannya mendamaikan tetapi malah ikut memanaskan suasana” Ucapku sambil menyerahkan beberapa undagan ke Aisyah. “Aku memang nggak tahu pasti apa masalahnya tapi sedikit sedikit aku dengar.” “Ya lama kelamaan di cengin mulu kalau keluar rumah, jujur sakit banget rasanya. Bapak dan Ibuku juga tau soal itu, mereka cuman bilang jika kamu benar dan tidak melakukan seperti apa yang mereka tuduh kamu nggak perlu menjelaskan appaun, biar keadaan yang menjelaskan.” “Ia bener banget itu, terus?” “Ya udah suatu hari entah ada apa dan kenapa mereka meminta maaf lalu mengajakku untuk berkumpul lagi, aku pribadi sudah melupakan dan memafkan hal itu tapi untuk kembali berkumpul aku 123
rasa tidak bisa. Bagaimana ya….” Ucapku sambil mencoba mengekpresikan perasaanku. “Ia aku tahu kok” Sahut Aisyah lalu tersenyum. “Yah begitulah, mau aku jelaskan kayak gimanapun dulu aku rasa juga percuma, satu lawan bayak” Senyum kembali singgah di bibir. “Sabar aja, bukannya aku lihat sekarang kamu udah buktiin semua secara perlahan.” “Ia Alhamdulillah, malah jadi curhat nie kita. Tapi jujur aku senang kita bisa seakrab ini lagi kayak jaman kita SD dulu, main rumah-rumahan main boneka bonekaan.” Lalu tawapun singgah diantara obrolan singkat kami setelah kesalah pahaman beberapa waktu lalu itu. Semoga kita bisa seperti ini ya teman, selalu menjaga silaturahmi.
124
C. Tidak terasa pernikahanku kurang dari satu bulan lagi, persiapan demi persiapan sudah mulai rampung walau Mas Wildan hanya ikut memantau dari Negara orang. Pagi ini saya ingin mengkoordinir toko dan warung milik Mas Wildan agar saat kami tinggal beberapa hari nanti akan berjalan sebagaimana mestinya. Toko hari ini sudah ramai pembeli, semua karyawan sibuk degan jobnya masing masing, saya masih berada di ruanganku unuk mengecek pembukuan belanja harian dan beberap ahal lainnya. “Permisi Bu…” Ucap Ana sekertaris sekaligus salah satu akouning di toko. “Masuk Na, gimana gimana” ucapku mempersilahkan Ana duduk. “Ini Bu bebrapa hasil dari resep Ibu dan anak anak buat tadi pagi” Ana memberikan satu piring besar berisi aneka kue kue basah. 125
Bebrapa hari yang laluu saya membuat dan mencoba bebrapa resep untuk acara resepsi pernikahanku, lalu saya meminta tolong karyawan untuk mencoba dan membuatnya ulang. “Kamu udah coba?” Tanyaku sambil melihat detail satu demi satu kue kue lucu itu. “Belum Bu, tapi kayaknya enak enak semua” Ana tersenyum. “Oke kita coba sama sama ya, aku jadi binggung mau yang mana duluan, Sus vla with fruit, Fruit jelly kacang hijau, Bollen wingko, Cheesy mushroom puff pastry bietes atau mini Surabi Solo” sambil melihat lihat lagi aneka kue kue cantik itu. Saya dan Anapun mencoba satu persatu kue kue cantik itu dan kami dibuat binggung mana yang harus saya pilih. “Aku suka semua dan binggung mau pilih yang mana.” “Ia Bu enak semua, semuanya aja Bu dipilih” Ucap Ana yang masih memegang surabi solo ditagannya. 126
“Aku mau pilih tiga aja karena takut anak anak kualahan buatnya Na, kan toko nggak tutup jadi mereka juga harus buat orderan” Kataku yang mengambil bollen wingko untuk yang kedua kalinya. “Bollen wingkonya enak Bu sama itu pastry yang ada jamurnya juga enak.” “Oke Bollen wingko, Cheesy mushroom puff pastry bietes dan Surabi solo” Ucapku dengan mengakat piring seperi gaya gaya iklan makanan. Setelah semua urusan di toko selesai sorenya saya pergi ke warung milik Mas Wildan yang berada di kawasan kota lama Semarang. Sudah beberapa hari warung tidak ada yang memantau langsung karena Mbak Tanjung dan Mas Damar baru rencana akan mengurus warung kecil kecilan itu setelah pernikahan ku dan Mas Wildan. “Asalamualikum Icha……kamu dimana?” Tanyaku yang berjalan menuju arah parkir. “Waalaikumasalm, di sekolahni tapi sebentar lagi mau pulang gimana?” Ucap Icha dari seberang telfon. 127
“Ke warungnya Mas Wildan yuk temenin aku.” “Boleh boleh tapi jemput ya.” Saya kemudikan si biru menuju tempat Icha mengajar, jam 3.30 sore jalanan Semarang sudah mualai macet degan orang orang puang kerja dan anak anak sekolah. Sekitar duapulih menit saya sudah sampai di SMK tempat Icha mengajar. “Maaf maaf lama ya nunggunya” Ucap Icha yang memasuki mobil degan baju batik warna hijau berlengan panjang dan rok hitam panjangnya. “Nggak kok cuman lima menitan, ow ia Hani jam segini udah pulang belum ya? Ajak Hani juga yuk. Telfon gih” Ucapku sambil menyalakan mesin si biru. Sesampainya di warung tak lama Hani datang dengan di antar adiknya. Icha dan Hani sibuk mengobrol di pojokan warung milik Mas Wildan itu dan saya masih harus mengecek beberapa pembukuan yang bebrapa hari terbengkalai.
128
“Warung ramai terus beebrapa hari ini?” Tanya ku kepada salah satu karyawan yang sedang membuat pesanan. “Ahamdulillah Bu lumayan, ow ia Bu ada beberapa jenis kopi yang sudah habis tapi hanya Pak Wildan yang tahu dimana membelinya.” “Oke tulis aja apa saja yang harus dibeli yang tidak kalian tahu. Secepatnya akan aku bilang ke Pak Wildan” Lalu menuju tempat Hani dan Icha berada. Berjam jam kami mengobrol tentang tepat tempat liburan yang asik yang akan kita kunjungi saat sama sama punya waktu luang, membicarakan banyak menu menu makanan enak yang harus kita coba dan membahas pernikahan impian kita. Kami hampir tidak pernah membicarakan tentang orang lain apa lagi sampai memfitnah, karena kami tahu membicarakan orang lain apalagi yang belum tentu kami ketahuwi bagaimana cerita kehidupan seseorang tersebut yang sebenarnya sama saja degan menzalimi, doa besar.
129
“Jadi rencana habis nikah langsung terbang ke Korea?” Tanya Icha sembari memakan cake coklat terfavorit di warung Mas Wildan. “InsyaAllah rencananya sih gitu, apa kalian nggak mau liburan di Korea?” Godaku. “Aduh berat…….duit siapa mau dibawa ke Korea” Hani mengerutu. Lalu kamipun tertawa, Hani dan Icha adalah saudara saudaraku, walau usia kita terpaut tiga tahun tetapi mereka mengerti sekali bagaimana saya. Kami selalu tidak pernah berpura pura dalam segala keadaan dima kita sedang tidak punya uang dan hanya mengobrol di tempat nasi kucing dan saaat kami berencana lalu tiba tiba pergi berlibur ke Karimunjawa, pantai pantai di Jogjasampai ke Lombok .Entahlah mereka itu paket komplit saudara, sahabat dan teman dari segala teman. “Aku nikah dulu baru nyusul kamu dan Mas Wildan ke Korea” Ucap Hani lagi.
130
“Ow jadi sudah ada rencana mau nikah dalam waktu dekat?” Godaku lagi. “Ow kamu diem diem mau ngelangkahin aku” Ucap Icha degan mengigit garpu. “Nggak gitu maksutku nanti nanti gitu aku nyusulnya entah dua atau tiga tahun lagi” Hani tersenyum sok manis dan menaik turunkan kedua alisnya. “Aku paling lama dua tahun disana kalau Mas Wildan bisa cepet satu setengah tahun kita udah balik lagi ke Indonesia. Jadi kamu harus nikah dalam jangka waktu satu tahun ni” Ucapku lalu menyeruput Ice Coffe hitam tanpa ampas. “Sama siapa dong” Hani memelas lagi lalau disertai tawa kami bertiga.
*** Siang ini saya sudah rapi mengenakan drees panjang berwarna hitam degan blazer jens dan pashmina warna senada, saya akan menjemput Mas Wildan di Bandara di temani Deo. 131
Keluarga Mas Wildan akan datang besok pagi karena Mas Damar harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya dulu. “Asalamualaikum Lila, Mas baru saja sampai di Jakarta” Ucap Mas Wildan di balik tlfon. “Waalaikumasalm, Alhamdulillah. Lalu flight ke Semarang jam berapa? Ia ini aku dan Deo sudah siap” Ucapku sembari menata isi tas di kamar. “Kira kira setegah jam lagi, ya udah hati hati ya” Ucapnya lalu menutup telfon. Saya menuruni tangga sambil mencari Deo yang sudah tidak berada di kamarnya. Ibu dan Bapak kulihat sedang sibuk memisah misahkan bingkisan untuk acara siraman dan pengajian. “Bu, Deo keman sih?” Tanyaku lalu duduk di sebelah Bapak yang sedang sibuk degan bungkusan bungkusan berwarna coklat. “Diluar kayaknya, kamu mau jemput Wildan sekarang?” Tanya ibu yang masih memegang
132
bungkusan berwarna coklat degan aksen pipa yang mengikat bagian atsanya. “Ia, Ibu mau ikut? Keluarga Mas Wildan nggak bisa jemput hari ini soalnya” Sembari melihat lihat bingkisan bingkisan di atas meja. Bapak dan Ibu saling memandang yang mengartikan apakah mereka akan ikut menjemput Mas Wildan atau tidak. “Ya wis Bapak sama Ibu ikut, kita ganti baju dulu ya.” Semaipainya di bandara ternyata Mas Wildan sudah sampai jadi kami tidak perlu turun untuk menunggunya. “Udah nunggu lama ya Mas?” Ucap Ibu yang duduk kursi tengah bersama Bapak. “Nggak kok Bu baru saja sampi, Alhamdulillah pas banget di jemput juga” Ucap Mas Wildan yang sedang mengenakan silt beld dan mengantikan Deo menyetir. “Kamu apa nggak capek? Biar aku aja sini.” 133
“Nggak capek kok kan bahagia udah di jemput kamu sekeluarga.” Kami tidak langsung pulang, kami mampir untuk makan siang walau jam sudah mennjukan pukul setagah tiga kamipun pergi ke warung soto yang berada di jalan Alteri Semarang, ini adalah soto kesukaan keluarga kami. “Makan soto dulu Mas Wildan” Ucap Bapak dan menepuk punggung pria yang akan menjdi menantunya itu. “Untung kamu datang tepat waktu Mas” Ucapku sembari mengeser mangkuk soto yang kami pesan. “Iya lah, aku takut kamu di cariin jodoh lain sma Papa kalau aku nggak tepat waktu” Tawa Mas wildan. “Kok kamu bisa sih dapet izin segampang itu?” “Bisalah Profesorku itu Perempuan cantik, jadi gampang buat minta izinya” Senyum mengembang lalu menyeruput es jeruk.
134
“Ow……….cukup tahu aku Mas” Ucapku dengan muka pura pura marah. “Cukup kamu tahu kalau aku sayang kamu” Godanya. *** Bebrapa saudara sudah berkumpul di rumah untuk acara pengajian pagi ini, gamis berwarna putih degan bebrapa bordiran dan hijab senada sudah rapi saya kenakan, kamarku pagi itu juga sudah mulai dihias oleh tim rias pengantin. Di ruang tamu juga sudah berkumpul bebrapa keluarga dan teman teman Ibu, saya lihat ke depan bebrapa adik dan kakak keponakan sedang asik bercanda canda. “Ehhh ngapain ini penganten keluar keluar” Ucap kakak sepupuku yang sedang mengendong anak laki lakinya. “Habis kalian seru banget ngobrolnya kan jadi pengan gabung.” Tak lama terlihat Icha datang degan menaiki mobil dengan plat nomor bercat putih, mobil sedan 135
berwarna pink yang ternya di kendarainya bersama Hani. “Cie mobil baru” Teriak kami yang beda di luar. “Punya Hani apa punya kamu Ca?” Tanaya saudaraku yang lain. “Punya Icha,nanti habis ini makan makan kayaknya” Canda Hani yang pagi itu cantik degan hijab warna putihnya. “Cie dapet warisan nie kayaknya” Ucap adik sepupu laki laki yang sedang mengambil dokumen video pribadi untukku. “Hus jangan ngomong ngomong tentang warisan nanti ada yang salah kaprah lagi” Ucapku lalu meningalkan mereka kedalam. Saya kembali kekamar untuk sedikit bebenah, tak lama kakak sepupuku masuk dengan mengendong anak laki lakinya. “Lila….boleh masuk?” Ucanya dari luar pintu. “Masuk aja Mbak kayak di rumah siapa aja” Ucapku di depan cermin. 136
“Kamu cantik banget pagi ini, lebih cantik dari hari biasanya” Ucapnya memagang tangan kiriku. “Makasih mbak Ria.” “Ia, maaf Mbak boleh tanya sesuatu?” “Apa Mbak? Tanya aja” Ucapku lalu mempersilahkan Mbak Ria duduk. “Em……..tadi waktu kamu bilang jagan ngomong tentang warisan nanti ada yang salah kaprah. Emmmm Mbak jadi inget sesuatu tentang” Lalu terdiam. “Tentang apa yang di bilang seseorang dengan Mbak? Gini Mbak sebelumnya Lila mau minta maaf banget sama Mbak soal ini bukan maksut Lila membuka kenangan yang udah udah dan mumpung Mbak nanya juga jadi aku akan jelaskan semuanya. Jujur dari semanjak kejadian itu aku nunggu nunggu Mbak atau siapapun bertanya kepadaku apa yang sesungguhnya terjadi tapi karena tidak ada dan aku merasa tidak pernah mengatakan hal itu ya aku anggap ya sudahah silahkan saja mau bilang apa” 137
Ucapku sembari memegang tagan Mbak Ria yang berada di depanku. “Ia Mbak juga dulu mau tanya jadi Mbak tidak hanya menerima info dari satu orang saja tapi Mbak nggak enak sama kamu.” “Oke jadi gini cerita yang sebearnya versi aku, tapi aku nggak memaksa Mbak percaya sama aku jika mbak lebih percaya sama dia silhkan. Tapi aku cerita dengan sejujur jujurnya.”. Saya berjalan ke arah pintu lalu menutupnya, saya tidak ingin orang lain mendegar karena di hari bagahiaku saya tidak mau ada api yang menyala lagi. “Mbak inget pas aku main kerumahnya lalu mbak sepulang kerja melewati rumahnya itu? aku sudah lama tidak pernah main kesana, lebih mungkin dari satu bulan. Saat itu aku melihat dia begitu aneh Mbak snack yang aku belikan untuk anaknya dan di buat maianan dia bung ke tempat sampah di depan mataku, memang itu hanya snack tapi sikapnya tidak menghargai pemeberian orang lain. Jujur aku kecewa 138
sekali saat itu, lalu Mbak lewat dan demi Allah aku hanya bilang mobil Mbak Ria baru ya, tapi semanjak dia beli mobil dia kok jadi aneh, kalau lihat aku diam saja tidak menyapa seperti dulu, kenpa ya. Hanya itu Mbak yang aku katakan lalu setelah anaknya menagis aku pulang dan aku tidak berbicara apa apa lagi.” “Lalu?” Tanaya Mbak Ria menatapku degan muka serius. “Ya tiba tiba aja aku degar gossip itu kalu mobil warisan dan lain lain dan seolah olah aku yang salah atas hal ini tanpa ada satu orangpaun yang bertanya atau mendegar cerita versiku. Hanya keluarga ku dan keluarga Icha yang mendegar ceritaku” Masih mengengam tangan Mbak Ria. “Astaufirullah…………maafin Mbak ya.“ “Ini bukan salah Mbak kok, Mbak nggk perlu meminta maaf. Mbak jika aku jahat jika aku benar membicarakan hal itu aku pasti akan bongkar semua apa yang aku tahu tentang keluarganya yang sudah terang teragan selalu membicarakan keluarga laian di 139
hadapanku. Aku dan keluaragku termasuk orang yang cuek dengan kabar kabar yang menurut kami tidak penting dan aku tau semua hal yang entah benar atau tidak dari keluarganya” Ucapku lalu memeluk Mbak Ria. “Makasih ya Lila penjelasnnya, sekang Mbak tahu mana yang benar dan yang salah. Mbak juga nggak habis piker sama dia yang memang sudah berubah bebrapa tahun ini. Makasih ya” Mbak Ria membalas pelukaknu. “Walaupun itu orang terdekatmu jangan terlalu percaya, lebih baik cari tahu dari ke dua sisi agar tidak merugikan sisi yang lain pula” Ucapku lalu tersenyum.
*** Setelah acra pengajian yang di hadiri Ibu Ibu tentangga, keluarga dan bebrapa teman dari Ibu selesai, siangnya kami melakukan acara siraman di halaman belakang rumah. 140
Ronce bunga melati sudah menutupi sebagian tubuhku yang telah di balut degan kain berwarna merah tua dengan hijab warna hitam, Bapak dan Ibu menuntunku ke tempat acra siraman yang telah rami oleh saudara, teman dan bebrapa Ibu Ibu pengajian yang masih berada disitu. Beberapa air dari sumberpu telah dimasukan oleh Bapak ke dalam wadah air besar yang telah berisi bunga mawar dan melati beraneka warna. Malamnya acra seserahan sekaligus midodareni pun dimulai, bebrapa teman dan saudara yang seumuran deganku memenaiku di dalam kamar untuk melihat acara berlangsung dari layar TV yang khusu diletakan di dalam kamar. “Deg-degan?” Tanya Liana. “Belum terlalu sih, nggak tahu besok pagi” Ucapku sambil tersenyum. “Besok pagi nggak bakal cuman deg-degan tapi jantung rasanya mau copot” Canda Liana yang duduk di sampingku. 141
“Mas Wildan gantang banget malam ini” Ucap Icha yang berdiri di depan layar TV. Beaskap warna biru dikenakan Mas Wildan degan memakai blangkon dan jarit. Aura Mas Wildan memang berbeda malam ini walau terlihat raut mukanya yang gugup melakukan serangkaian acara malam ini. “Ada nggak ya stok satu cowok lagi kayak Mas Wildan” Ucap Icha melirikku lalu di sambut tawa seluruh penghuni kamar. “Yang kayak Mas Wildan itu nggak ada foto copyannya dia cuman satu dan hanya buat aku” tawa bahagia aku lemaparkan malam ini.
*** “Bangun Lila……” Ibu berdiri di samping tempat tidur. Badan masih cukup lelah karena semalam baru bisa memejamkan mata sekitar pukul satu malam dan jam
142
empat sudah di bangunkan untuk sholat subuh lalu bersiap untuk berias. “Makaih ya Bu udah bangunin Lila” Mencoba mengumpulan nyawa dan duduk di pingir tempat tidur. “Sholat, mandi lalu sarapan biar pas di rias nggak belepotan lagi nanti” Ucap Ibu lalu memeluku. Ibu memeluku erat sekali pagi itu, saya tahu Ibu pasti berat melapasku apalagi bebrapa hari setelah saya dan Mas Wildan menikah saya harus pindah ke Negara orang mengikuti Mas Wildan ynag sedang menepuh pendidikan. “Maafin Lila ya Bu kalau perah berbuat salah, Lila sudah banyak mengecewakan Ibu dan Bapak. Kalau sewaktu waktu Ibu kangen Lila Ibu tinggal telfon sebisa mungkin nanti Lila dan Mas Wildan usahakan untuk pulang ke Indonesia” Ucapku sambil menetaskan air mata.
143
“Ia nak, Ibu dan Bapak pasti bakal kangen sama kamu. Di temenin kamu masak, kepasar atau buat buat kue bareng lagi.” Terdegar suara Ibu yang sepertinya sedang menagis, tak lama Bapak datang lalu juga memeluku erat. “Jadi isti yang soleh ya nduk, Bapak dan Ibu hanya bisa mendoakanmu dan Wildan, semoga kalian selalu sakinah mawadah dan warahmah.” “Makasih Bapak, Ibu. Lila berterimaksih sekali sudah di bimbing dan dibesarkan sampai hari ini. Maaf jika Lila merepotkan, Lila janji akan telfon Ibu dan Bapak setiap hari walaupun nati Lila berada di korea” Tangispun pecah pagi itu, penyesealan karena belum bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan mengingat ingat masa masa indah yang kami lakukan bersama. Kabaya putih sudah melakat di tubuh degan beberpa taburan payet payet yang di susun rapi, jarit putih dengan beberapa aksen emas juga sudah terlilit rapi. Hijab senada dengan hiasan bunga melati yang 144
meronce panjang di sisi kanan juga membuat hati detik demi detik berdebar semakin kencang. “Cantiknya anak Ibu” Puji Ibu yang juga sudah rapi degan kebaya warna coklat tua. “Ibunya aja cantik masak anaknya enggak” Candaku. Satu persatu tamu dan undagan berdatagan, ku lihat di ruang tegah beberapa saudara masih sibuk merias diri, akad tinggal hitugan kurang dari satu jam lagi hatiku semakin nggak karuan rasnya sesekali duduk di pinggir tempat tidur lalu berpindah ke meja rias lalu berindah lagi. “Lagi bisulan Mbak?” Ucap Deo yang tiba tiba datang masih memakai kaos oblong. “Kamu kok masih pakai kaos sih, buruan ganti” Protesku. “Ia ia Mbak manten cantik” Goda Deo lalu pergi Di balik jendela saya lihat rombogan Mas Wildan sudah datang, terlihat Mas Wildan yang memakai baju senada deganku dengan muka masih tegang dari
145
semalam. Sesekali saya lihat Mas Wildan menghela nafas panjang lalu melihat sekeliling. “Silahkan Mas Wildan menempati tempat yang sudah di sediakan” Ucap pengisi acara.
Berberapa tahun mengenal beberapa pria yang singgah sili berganti dari berbagai karakter dan suku adat. Berulang kali gagal saat masih khilaf berpacran lalu gagal saat ingin serius degan seseorang berkewarganegaraan Turki dan kini akhirnya berakhir dan berlabuh di hati seseorang yang tidak pernah saya sangka sangka akan menjadi pendamping hidupku untuk selamanya. Pria yang setiap harinya membeli pisang bollen di toko lalu tanpa sengaja berkenalan dan berakhir di akad nikah pagi ini. Saya yakin setiap manusia sudah dipasnag pasangkan oleh Allah sebelum kita dilahirkan dan semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Kita hanya perlu berusaha menemukannya dengan cara cara yang di ridai Allah, bersosialisai, mencari teman sebanyak 146
banyaknya, berkumpul di tempat tempat yang baik, beriktisr, sholat tepat waktu dan terus berdoa.
Di balik tirai kamar saya masih berdebar hebat, bebrapa orang yang menemaiku di kamarpun sampai tidak aku perdulikan karena semakin jantung ini seakan akan mau putus. “Saya terima nikah dan kawinnya Lila Ayu Pramesti Binti Muhamad degan mas kawinnya tersebut tunai”
SELESAI
147