Nur A. Rini
After
Penerbit AnsitoPublishing
After a Trouble Oleh : Nur A. Rini Copyright © 2015 by Nur A. Rini
Penerbit AnsitoPublishing nuransito-rini.blogspot.com
[email protected]
Desain Sampul: Nur A. Rini
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2 | after a trouble
Thanks to: Allah SWT My Parents My Sister My Fammily My Friends My Life!
3 | after a trouble
Semacam Pengantar HOLA! Sebelumnya, aku pengen ngucapin makasih banget sama Allah Yang Maha Luar Biasa, yang sudah memberiku kemampuan menulis dan berpikir. Karena jalan hidup yang Dia berikan padaku juga, naskah ini ada. Bukan, ini bukan kisah yang terinspirasi dari hidupku. Tapi hidup orang-orang di sekitarku. Terimakasih hidup! Kamu begitu indah! Terimakasih juga Saba... kamulah inspirasi abadiku. Karena kamu juga, aku mengenal orang-orang hebat berikut segala kisah besar yang mereka miliki. Dan ini hanyalah hasil dari pengamatan, perenungan, dan pemikiranku. Hasil perkawinan antara fiksi dan apa yang terjadi di sekitarku selama ini. Just enjoy the story! Love, Ansitowaw! (a.k.a. Rini :p)
4 | after a trouble
Because of A Late SETELAH memastikan bahwa seragam beserta perlengkapan lain telah terpasang dengan benar, Windi berlari keluar rumah. Dapat ia dengar, Wenda terus saja menggerutu sejak tahu bahwa Windi belum mandi ketika Wenda telah sampai di rumahnya. Setelah berhasil memakai sepatu nike hitam-merahmuda, Windi segera bergegas. Terlihat wajah oriental sahabatnya itu telah merah padam. Bibir tipisnya mengerucut. Menatap Windi yang sedang berlari ke arahnya kesal. “Besok lebih lama lagi, ya!” Wenda menyindir, membuat Windi justru memajang deretan giginya, nyengir. Windi segera menduduki jok.“Maaf, deh,” ucapnya mengakui kesalahan. Tanpa menanggapi permintaan maaf Windi, Wenda melajukan scoopy hitamnya, memacu ban motor melintasi belokan perumahan dan membebaskan diri di jalan raya. Kedua gadis itu diam di sepanjang jalan. Wenda konsentrasi, sedikit kewalahan karena motor di sekelilingnya kian memadat. Baru kali ini mereka berangkat sesiang ini. Kendaraan roda dua mendominasi, membuat Jalan Bantul yang tak begitu lebar terlihat semakin semrawut. Terlihat electronic board yang menggantung di samping lampu lalu lintas menunjukkan angka 54, dan terus berkurang saat Wenda menghentikan motor di bawahnya. Ia mendesah. Mata bulatnya melirik arloji di tangan kirinya dan kembali memandangi kendaraan yang ada di hadapannya. 5 | after a trouble
“Tumben banget sih kamu, Win!” gerutu Wenda akhirnya bersuara setelah sekian lama mendiamkan Windi. Dengan tampang memelas, Windi menjawab, “Keluarga aku nggak ada yang dirumah, Wen. Jadi aku harus ngapangapain sendiri.” Setelah ber-oh, Wenda melaju. Mendahului motor lain dan dengan cepat keluar dari kepadatan. Lampu kanan retingnya berkedip-kedip tatkala gedung berwarna abu-abu hinggap di retinanya. Terlihat lelaki tua bersongkok hitam sudah berdiri di depan pintu gerbang, mengangguk sopan pada setiap murid-murid yang memandang ke arahnya sebelum memasuki area sekolah. Wenda-Windi mengangguk kompak, kemudian berbelok ke kiri, masuk ke dalam. “Win...,” panggil seseorang di parkiran tatkala Windi berhasil turun dari motor Wenda. Gadis berbadan ramping itu menoleh. Ia terperanjat mendapati seorang pemuda berkacamata sudah berdiri di hadapannya. Bibir merah gelap pemuda itu melengkung, tersenyum simpul hingga membuat pipinya mengencang. Membuat pesona keramahan dan kerupawanannya makin terpancar. Windi mengangguk takzim sambil tersenyum. “Nanti siang bisa nemenin aku nggak?” tanya pemuda itu langsung ke inti, seakan tak menggubris keberadaan Wenda yang tengah berdiri di antara mereka. Gigi rapi Windi tampil ceria. “Ke mana?” tanyanya penasaran, menutupi kegirangannya.
6 | after a trouble
“Hunting foto. Cuma di sekitar Malioboro, kok. Mungkin di Taman Sari,” jawab sang pemuda tanpa sedikit pun mengendurkan senyum. Windi tampak berfikir. “Iyain aja kenapa?” seru Wenda seraya menyenggol siku Windi. Mereka tertawa kecil. “Iya deh, Kak!” jawab Windi sambil tersenyum rikuh. “Oke... pulang sekolah langsung ke lobi, ya,” Windi mengangguk ketika Soni mengatakan itu. Senyum masih melekat di bibir masing-masing saat mereka berpisah. Setelah Soni benar-benar tak terlihat, Wenda memekik. Merangkul gadis yang lebih tinggi darinya kuat-kuat sambil terus memperoloknya. Windi hanya bisa tersenyum. Membiarkan Wenda terus berceloteh tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti. “Siap-siap aja, Win!” “Apaan sih, Wen.” Windi pura-pura kesal. “Sok-sokan banget!” seru Wenda sambil menarik hidung Windi yang melengkung sempurna. “Aaaahh!” Windi berteriak berusaha menyingkirkan tangan Wenda yang semakin kuat menjepit hidungnya. Setelah berhasil terlepas dari Wenda, Windi terkesiap. “Aduh, Wen... aku ke kamar mandi dulu, deh!” ujarnya yang langsung berlari ke kamar mandi melewati lorong English Zone. Wenda geleng-geleng kepala dibuatnya. Ia memilih duluan, melanjutkan langkah menyusuri koridor. *** 7 | after a trouble
Windi meraih tas punggung hitam yang tergeletak di depan pintu kamar mandi tatkala proses pembuangan sisa ekskresi-nya usai. Ia keluar dari toilet bertepatan dengan bergemanya ‘its time to begin the first lesson’ dari pengeras suara di sudut-sudut sekolah dan kelas-kelas. Saat mendengar suara gaduh, langkah Windi terhenti. Ia perhatikan pintu dekat toilet terdorong-dorong. Alis bulan sabitnya bertaut. Entah mengapa degup jantugnya kian cepat seiring terbukanya pintu seng sedikit demi sedikit. DAAKKK!! “Aaaaa!!” seru Windi otomatis ketika pintu berhasil tersibak. Mulut Windi terkunci mendapati seorang pemuda tengah menepuk jidatnya frustasi. Mungkin, teriakan Windi adalah bencana. Keterperangahan Windi berubah jadi seringai.“Hayo... telat, ya!” “Udah tau, nanya lagi! Mending lo bantu gue!” seru si pemuda dengan alis bertaut murka. Ia berusaha memasukkan motor melewati pintu sempit dengan susah payah. “Kunti... lo liat nggak, sih? Bantuin, elah!” serunya lagi. “Cepetan, Woy!” “Apaan? Kamu ngomong seenaknya sendiri, ya? Udah minta tolong, ngatain aku kunti, apalagi?” Windi berkacak pinggang. Sang pemuda meringis, menggerakkan tangannya ke depan bibir. “Jangan keras-keras,” desisnya panik. Belum sempat sang pemuda menghela napas, ia sudah dibuat membatu oleh sosok yang berdiri di belakang Windi. 8 | after a trouble
Pemuda itu tergagap. Melihatnya, Windi memandangnya heran. “Ehm...,” sela suara besar menyentakkan Windi. Tubuh Windi yang proporsional langsung berbalik. Ia mundur selangkah, kaget mendapati Pak Dimar–Wakasis yang biasa mengurusi anak-anak telat–sudah berdiri di sana. “Pak...,” Windi mengangguk seraya tersenyum rikuh. Namun lelaki berkumis tidak rata itu tetap mendatarkan ekspresinya. “Menerobos karena telat?” tanya Pak Dimar seraya melipat siku di depan dada. Telunjuk kanan Windi reflek mengacungi orang yang ada di sampingnya. “Dia, Pak! Kalau saya sih enggak,” sahut Windi membuat orang yang ditunjuk menelan ludah. “Kalau mau ngapa-ngapain, dia aja deh, Pak! Saya... permisi dulu.” Tanpa melihat ekspresi terakhir Pak Dimar, Windi sudah berlari meninggalkan mereka. Di sela-sela langkah kakinya, otaknya sempat berpikir. “Itu tadi... senior apa temen seangkatan, ya? Mampus aja kalau senior...,” desis Windi cemas, “Haduh... semoga kelas sepuluh.” *** “WOYY!” seru seseorang menggebrak meja makan, membuat tubuh Firman sedikit tersentak, “Ohh.. gini? Baru hari pertama pelajaran, udah ngelayap ke kantin. Hebat banget, ya?” Anton terkekeh. Dengan segera, ia menduduki kursi di samping Firman diikuti dua manusia kembar yang duduk di kursi yang tersisa.
9 | after a trouble
“Anjir lo... Gue gini karena ada accident, you know?” sahut Firman membela diri. “Kalau aja nggak ketemu tu cewek rese, gue udah berhasil menjalankan operasi.” “Hah? Maksudmu?” Anton tak mengerti. “Operasi menjebol pintu belakang maksudnya,” sambung Rian yang membuat semua tergelak, kecuali Firman. Ia tetap antusias melahap gado-gadonya, padahal hanya sebagai pelampiasan rasa kesal. “Oh, kamu telat?” tanya Anton memperjelas, yang sebenarnya ada maksud lain. “Iya, gue telat. Hukumannya gila, Men... suruh nyalin surat Saba’. Seumur-umur baru tadi gue nulis arab. Ck,lama banget. Daripada masuk udah mau abis jamnya, ya mending ke sini,” jelasnya yang membuat teman-temannya tergelak. Semua menimpali dan meledek Firman. Membuat Firman lagi-lagi diam, bersungut-sungut menahan kesal. Sementara itu, pengunjung kantin mulai banyak yang berdatangan. “Kamu kenapa masih di sini, Re?” tanya Rian pada kembarannya –Reon. Pemuda berwajah manis itu langsung terdiam, memandangi kembarannya dengan tatapan heran.“Emang gimana, Bang?” tanya Reon kalem. Rian melengos. “Pesen makanan, elah!” “Ohh.” respon Reon membuat geli Anton dan Firman. Pemuda berkulit sawo matang itu langsung bangkit, menjalankan perintah kakaknya. Saat Reon beranjak, Anton dan Firman menghamburkan tawa seketika. 10 | after a trouble
“Lo masih aja nge-bully adik lo?” tanya Firman kemudian. “Baru empat hari, kan?” Rian mengelak. “Emang di rumah enggak?” Anton menimpali. “Iya, sih!” jawab Rian nyengir, membuat cekungan di dekat dagu kanan kirinya merekah. Jarang-jarang ada spesies lelaki berwajah manis seperti dua bersaudara RianReon. Bahkan kedua manusia berdarah sultan itu menjadi fandom ketika MOS kemarin. Selain karena sangat patuh, mereka juga nggemesin, kalau kata kakak tingkat. Tidak seperti Firman. Yang pada hari pertama saja sudah membuat beberapa senior muntab. Maka tidak heran jika saat pensi kemarin ia mendapat tiga award sekaligus : adik ternakal, adik terdurhaka, dan adik terawut-awutan. Saat penyerahan trophy award, ekspresi Firman selalu sama : dingin. Sedangkan Anton, ia tergolong netral. Walau selalu patuh dan baju tetap rapi, tapi hati selalu menentang. Tak suka dengan panitia. Terlalu naif. Sok dingin, sok galak, bahkan sok ramah. “Ngomong-ngomong... kalian pesen apa, ya?” tanya Reon yang tiba-tiba sudah sudah berdiri di dekat meja. Firman dan Anton gondok. “Biasanya apa?” sahut Rian datar yang membuat Reon berkedip-kedip. “Soto sama es jeruk,” Reon mengingat-ingat. “Yaudah!” seru Rian yang membuat Reon langsung berlari ke salah satu konter. Di SMA Negara, kantin memang lebih bisa disebut food court. 11 | after a trouble
“Sumpah polos banget tu anak,” komentar Anton sambil terus memandangi Reon. “Oh iya, gimana kemarin, Man?” tanya Rian mengalihkan fokus. Orang yang ditanya sedang menandaskan es teh, meletakkan gelas besar yang sudah kosong ke atas meja. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum asimetris. Anton dan Rian berseru tatkala Firman menganggguk pelan. “Aaaaa... makan-makan!” seru Anton, didukung oleh Rian. “Iya. Dapet rejeki bagi-bagi, kek!” timpal Rian menyikut tangan Firman. Reon baru saja kembali ke kursinya dan belum nyambung dengan apa yang diperbincangkan temantemannya. “Mau? Nggak halal lho,” kata Firman yang membuat Rian semakin meledek. “Udah tahu nggak halal, masih aja ngikut!” Anton mencibir, setengah heran. “Niat gue kan bukan cari tu duit. Tapi mempertahankan kehormatan,” elak Firman sambil menyenderkan tengkuknya ke leher kursi. Kakinya diangkat sebelah, ditumpangkan di atas kaki yang lain. “Gaya banget!”. Ocehan mereka terus berlangsung saat pesanan mereka datang. Padahal setiap pembeli diharuskan mengambil dan mengembalikan sendiri. Bagi anak-anak nakal, hal itu pantang dilakukan. 12 | after a trouble
Firman tampak bangga, menceritakan apa pun yang ia alami kemarin sore. Minggu lalu, Firman ditantang oleh Lando –senior klub bilyar di mana Firman ikut tergabung. Alasan Lando sederhana : ingin menunjukkan bahwa Firman belum pantas dinobatkan sebagai ketua tim. Saking panasnya perseteruan itu, Lando sampai mengadakan pertandingan dengan taruhan. Walau Anton dan yang lain tahu tentang sisi gelap Firman, mereka tetap enjoy berteman dengannya. Mereka tahu jika Firman lebih menghormati orang lain atas sikap dan jati dirinya. Toh Firman asyik dan menyenangkan, membuat mereka merasa beruntung bisa berteman dengannya. Benar, orang semacam Firman cenderung solid. Dan siapa tak mau memiliki teman yang seperti itu?
***
13 | after a trouble
Pilihan Hidup DENGAN langkah gontai, Firman mendekat kepada dua lakilaki yang tampak asyik mengobrol. Kedua orang itu memakai kaos dan celana jeans luntur berwarna hitam. Pemuda satu tampak mencerocos, membuat beberapa butir ludah meluncur dari bibir tebalnya. Ia menghadap pemuda yang lain, membelakangi jalan raya yang cukup ramai dengan motor, mobil, dan bus kota yang terus berlalu lalang. Sedangkan pemuda lain tampak antusias menanggapi lawan bicaranya. Sesekali tertawa, sesekali menoyor pemuda satu. Badannya tersandar santai di jembatan. Ia mengenakan celana jeans selutut, tidak seperti pemuda satu yang mengenakan celana jeans belel yang terlipat bagian bawah. Saat kedua orang itu menoleh dan mendapati Firman, mereka nyengir dan berseru. “Wuihh... seragamnya keren, nih!” seru Ujang–pemuda bercelana selutut sambil menarik kerah baju Firman. “Anak SMA Negara!” timpal Doni menaik turunkan alis. Kedua orang itu tergelak, membuat wajah Firman yang keruh kian keruh. “Brisik lo pada!” sahut Firman sambil menyenderkan tubuh ke jembatan. Tangan berototnya berpegangan pada besi yang melintang. Tawa kedua teman Firman semakin menjadi. Respon Firman yang cuek membuat mereka semakin gencar meledek. Benar, bagi Firman, sekolah di SMA Negara adalah sebuah keterpaksaan. Setelah sebelumnya tak pernah menggubris perintah orangtua, Firman mencoba menuruti 14 | after a trouble
mereka sekali saja. Dan sialnya, permintaan itu menyangkut kehidupan SMA Firman. Setelah mendebat dan mengajukan sebuah syarat, Firman mau menjalani tes masuk. Syarat itu berupa permintaan sebuah kebebasan. Bahwa Firman harus diijinkan berteman dengan siapa pun, tinggal sendiri di mana pun sesuka hatinya, dan tak ada yang boleh mencampuri kesehariannya. Sejak kelas delapan SMP, Firman memang sudah hidup sendiri, tinggal di rumah yang jauh dari orangtua. Tetapi selama itu, Ibunya masih saja menjenguk dan mencampuri semua urusannya. Dan kali ini, Firman tak mau Ibunya seperti itu. Ia ingin bebas secara total. Entah angin apa yang membuat Sang Ibu menganggukkan kepala. Padahal air matanya begitu deras meluncur tanpa bisa lagi ia tahan. Firman bukan anak bodoh, buktinya ia lolos tes dan tidak berada di ranking bawah. Alih-alih senang–karena diterima di SMA elit terbaik adalah kebanggaan setiap orang–ia malah menuding sang ibu menyogok salah satu guru untuk meloloskannya. Diterimanya Firman di SMA Negara membuat Firman semakin benci. Benci pada orangtuanya dan benci pada SMA-nya. “Man, ada uang nggak, nih?” tanya Ujang seraya menepuk bahu Firman. “Enggak, sob! Klicit!” sahut Firman sambil menyipitkan mata, merasa silau oleh cahaya matahari yang terpantul lewat spion motor kendaraan yang berlalu-lalang. “Gila, ya... butuh banget nih padahal,” Doni menghela. Ujang tak menyahut. Mata merah akibat begadangnya terfokus pada dua orang laki-laki dan perempuan 15 | after a trouble
berseragam SMA yang berjalan santai di tepian Pasar Beringharjo. Mereka tampak ceria dengan si gadis begitu teledor dalam memegangi iphone putihnya. Bibir Ujang membentuk senyum asimetris. “Kayaknya bakal rejeki, nih!” katanya sambil terus memelototi dua calon mangsanya. Doni dan Firman ikut memperhatikan apa yang Ujang lihat. Doni langsung tergelak, “Bah, fokus banget kalo lagi bokek,” celetuknya. “Udah, lah. Kesempatan, nih!” seru Ujang yang kemudian dengan cepat mengambil langkah. Doni terkekeh melihat Ujang yang berjalan penuh nafsu. “Lo ikut nggak?” Doni mengajak Firman yang tampak loyo. Firman menggeleng cepat. “Nggak. Kalian aja, gue nggak akan ikut-ikut masalah begituan,” sahutnya yang membuat Doni terkekeh namun segera melenggang. Firman geleng-geleng kepala kemudian menghela napas. Ia mendongak, memandangi langit biru seraya meredam kepayahan yang meliputi batin dan otot-otot tubuhnya. Kapan ia bisa bebas seperti awan yang berarak itu? *** Bunyi ‘klik’ timbul tatkala LSR hitam milik Soni berhasil membidik Windi yang nyengir dengan latar belakang Plengkung Nggadhing. Windi mendekat, melihat dirinya sendiri di layar kamera yang Soni sodorkan. Mereka terkikik, saling menertawai, dan meledek satu sama lain. 16 | after a trouble
Sesekali Soni mengusap kepala Windi, terus melangkah, mengobrol, bercanda, dan tertawa. “Kita udah jalan jauh banget Win dari Taman Sari,” kata Soni seraya menahan silau matahari dengan telapaknya. “Segini aja nyerah. Apaan, cowok kok ngeluh,” cibir Windi yang membuat Soni sigap menggelitik Windi. Mereka tertawa di sepanjang jalan. Windi memang mengenal Soni sejak SMP. Pertemuan mereka hanya sekadar mengangguk dan tersenyum waktu itu, hingga mereka bertemu lagi di SMA yang sama dalam masa orientasi. Windi sebagai peserta, dan Kak Soni sebagai panitia. Ketertarikan Soni terhadap Windi terlihat kala panitia yang lain selalu menggoda, meledek, dan menyiuli Soni saat ia tidak sengaja berpapasan dengan Windi. Di kelas, Windi menjadi bulan-bulanan ketika panitia lain masuk ke kelasnya. Celetukan semacam : ini ceng-cengannya Soni?, Soni padamu lho, dek!, dan ati-ati jadi korban Soni selanjutnya, sudah biasa. Yang bisa dilakukan Windi hanyalah tersenyum penuh sipu atau menutup wajahnya dengan buku. Apalagi ketika pemuda kalem nan cerdas itu mampir ke kelasnya. Wajah Windi langsung menghangat dengan denyut jantung berdetak tak beraturan. Awalnya Windi biasa, tapi perlakuan Soni yang tidak biasa, membuatnya memiliki rasa yang tidak biasa pula. “Keren, ya!” puji Soni. Gadis berpipi ranum itu menoleh. Ia tersenyum, dan mengangguk setuju.
17 | after a trouble
Untuk beberapa saat, bola mata hitam Soni tertahan, menatap lembut wajah bersih Windi. Yang ditatap antusias menyaksikan penampilan Angklung Malioboro yang tengah mendendangkan lagu dangdut yang –entah Windi tak tahu. Gadis itu berdecak kagum. Karena heran tak ada ujaran lagi, ia menoleh. Agak tersentak saat menemukan sepasang mata dibalik lensa menatapnya dalam. Untuk beberapa saat Windi membiarkan mata beningnya bertautan dengan si mata elang. Darahnya berdesir, membuat telapak tangan dan kakinya membeku secara tiba-tiba. “Thanks ya, Win,” ucap Soni yang membuat Windi tergagap. “Nggak masalah kok, Kak!” sahut Windi sambil mengalihkan pandangan. Wajahnya memanas. Sekuat tenaga, ia menutupi rasa gugup yang terasa tidak mengenakkan. Soni hanya tersenyum. Senyum yang jika di sekolah, membuat beberapa siswi menjerit tertahan, tak terkecuali kakak tingkat. Dan sekarang, Windi melihat senyum itu ditujukan kepadanya. Hanya kepadanya. “Lihat lebih deket yuk, Kak!” ajak Windi sambil berjalan ke seberang jalan. Soni mengikuti, ikut merapat bersama penonton yang lain. Dengan cepat, Soni menggaet tangan Windi sebelum gadis itu menghambur sendiri. Mereka menikmati sajian musik jalanan dengan antusias dan tertawa bersama. Sesekali saling ejek menanggapi ujaran yang dicetuskan masing-masing. “Win!” panggil Soni agak berteriak. Dentuman angklung membuat suaranya sedikit tak ada apa-apanya. 18 | after a trouble
Mata Soni tetap fokus pada lima orang pemuda yang sedang memainkan alat musiknya dengan lihai. Sedikit ragu, Windi menoleh. “Kenapa, Kak!?” sahutnya ikut berteriak. Namun Soni tak juga menyahut, tatapannya menuju ke depan walau Windi terus memandanginya, menunggu. Hingga akhirnya, Soni menoleh. Wajah cerianya kini berubah serius. “Would you like to be my girlfriend?” Perkataan Windi membuat Windi mengernyit, “Apa Kak?!” teriaknya yang membuat Soni melengos. “Would you like to be my girlfriend?” Soni mengulang pernyataannya sedikit menaikkan oktaf suara. “Hah? Nggak denger, Kak!!” seru Windi sambil menunjuki daerah di telinganya. Mata bulatnya menyipit, memandangi para anggota Angklung Malioboro yang semakin gencar memukul alat musik masing-masing. Tiba-tiba telinga Windi terasa hangat. Windi tersentak mendapati wajah Soni begitu dekat di sampingnya. “Would you like to be my girl friend?” Kali ini perkataan Soni dapat Windi dengar dengan jelas. Untuk beberapa saat Windi terdiam. Matanya memandangi keramaian yang kian berkurang dengan tatapan kosong. Dahi Soni berkerut. Ia ikut tercenung mendapati perubahan sikap Windi yang seperti itu. Mendadak dadanya berdegup. Antara khawatir dan takut jika gadis itu menanggapi sebaliknya. “Win, kamu nggak apa-apa?”
19 | after a trouble
“Ohh, nggak apa-apa kok, Kak,” jawab Windi sambil mengontrol diri. Soni tampak menghela napas, berusaha mempertahankan kelembutan. Ia tak akan mendesak Windi untuk menjawab. Hingga akhirnya, gadis berdagu lancip itu menoleh, menatapnya dengan bibir melengkung yang membuatnya sedikit terperangah. “Kak... yes, i like,” jawab Windi tersipu. “Beneran, Win?” tanya Soni sambil mencengkeram bahu Windi tak percaya. Entah mengapa, hati pemuda berbadan tegap itu terasa melejit. Windi hanya membalas dengan dua kali anggukan. Soni tertawa puas. Windi hanya sanggup tersenyum dan menunduk. Dadanya berdebar tatkala pemuda di hadapannya mengecup lembut puncak kepalanya. “Pulang?” tawar Soni kemudian. “Ngikut aja, lah!” jawab Windi seraya membenahi tas punggungnya. Dikeluarkannya iphone yang semenjak tadi diam di dalam saku rok abu-abunya. “Yaudah, yuk! Jalan dulu lho tapi. Apa mau mbecak?” tanya Soni sambil memasukkan LSR. Soni memang memarkirkan motornya di dekat Tamansari, mengingat tempat itu adalah tujuan awal. “Jalan aja, lah!” Setelah sepakat, mereka bergegas meninggalkan kawasan Malioboro. Di sepanjang perjalanan Soni terus mencandai Windi. Membuat tawa dua insan itu terus berderai tak henti-henti. Bahkan mereka tak sadar, jika sejak tadi, ada dua manusia bertampang keras mengekori. 20 | after a trouble
Setelah jauh dari keramaian dan melintasi wilayah sepi, kedua orang berkaos hitam itu saling mengangguk. Mereka mempercepat langkah, memacu gerak kaki menyusul dua orang yang menjadi subjek perhatian mereka. Mereka berlari, menabrak, merebut iphone dari tangan Windi penuh paksa, dan membawanya berlari meninggalkan sang empu. Soni muntab. Dengan cepat ia bergerak, namun urung ketika sebuah tangan menahannya kuat. “Udah, lah Kak... biarin!” kata Windi pasrah. Bibirnya menggigil takut. Soni mengerutkan dahi. “Win–” “Udah, lah... daripada Kakak kenapa-napa,” terang Windi yang membuat Soni terperangah. Ia memasang muka ‘tak habis pikir’ melihat Windi berusaha mengikhlaskan iphone-nya. Dapat ia rasakan, tangan Windi begitu dingin bahkan gemetar. “Udah... yuk!” ajak Windi seraya menggeret tangan Soni untuk bergegas. Soni jadi bungkam. Apa semudah itu Windi merelakan benda yang mungkin begitu penting macam iphone? *** Baru beberapa menit memicingkan mata, Firman dibuat bangun oleh suara gedoran pintu yang begitu gaduh meminta dibukakan. Seragam masih melekat, wajahnya geram menahan rasa kantuk. Ia bangkit sambil terus merutuk penuh umpat.
21 | after a trouble
“Sialan lo pada!” seru Firman seraya mengucek mata begitu tahu siapa orang di balik pintu. Kedua pemuda berkulit gelap itu nyengir. “Ya sori, Man!” sahut Ujang yang membuat Firman manyun. “Nih, kita minta tolong buat jualin ni HP. Nggak mudeng kita sama HP beginian. Temen-temen lo kan tajir. Lima ratus ribu paling nyempe, lah,” jelas Ujang sambil menyodorkan hasil copentannya. Firman tergelitik melihat iphone yang Ujang serahkan. Bahkan sejuta udah banyak yang minat, Pret! “Tapi nggak buru-buru, ya!” sahut Firman masih malas. “Yang penting jangan sampe dua minggu,” kata Doni yang membuat tangan Firman tergerak meraih iphone. “Oke, lah.” “Wuiss... makasih ya, sob!” ucap Ujang sambil menepuk bahu Firman. Firman hanya mengangguk. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi. “Yaudah sana lanjutin bobok,” kata Ujang kemudian. “Cabut dulu, ya!” pamit Doni kemudian menyusul Ujang yang sudah hengkang duluan. Firman menguap. Ia segera menutup pintu dan menuju kamarnya lagi. Diletakannya iphone putih ke kasur, kemudian menghela napas dalam-dalam. Setelah memutuskan untuk berpisah dengan orangtua, Firman memilih tinggal di sini, di rumah sederhana nan sempit milik mendiang neneknya. Daripada dijual, lebih baik ia gunakan. Lin–Ibu Firman tak tahu jika di sinilah 22 | after a trouble
Firman tinggal. Tentu lah kepindahan Firman sekaligus agar orangtuanya itu benar-benar tak mencampuri hidupnya. Ayahnya? Bahkan kepadanya, Firman masih memendam benci sampai sekarang. Pulang sesuka hati dan memukul orang seenak sendiri. Bahkan garis kecil di dahi sebelah kanan Firman adalah akibat ulah sang ayah. Tidak usah dijelaskan masalahnya, Firman sendiri malas mengingat-ingat. Setelah lima belas menit belum juga terpejam, Firman mendesah putus asa. Diacaknya rambut lebat hitam miliknya lalu bangkit, duduk dengan mata merah, melirik iphone yang tergeletak di ujung kasur. Rasa ingin membuat tangannya tergerak untuk meraih dan membukanya. “Njir, pake di-lock lagi,” umpat Firman sambil terus menggeser-geser garis dan menghubungkannya ke bulatan lain. Karena Firman tipe orang yang pantang menyerah, ia terus mengotak-atik layar iphone dengan dahi berkerut. Berbagai bentuk ia coba namun kunci ponsel itu tak juga terbuka. Begitu ia menggeser jempol membentuk formasi 12-5-4-7-8-9-6-3, kunci itu akhirnya terbuka. “Haha... Firman dilawan. Hacker pro, nih!” kesongongan Firman muncul juga. Belum sempat Firman menghirup oksigen setelah berujar, napasnya tertahan oleh wallpaper di layar itu. Ia terus saja membelalakkan mata besarnya, dan wajah gadis di layar ponsel tetap lah sama. “Ah, mungkin mirip,” desis Firman meyakinkan diri. 23 | after a trouble
Namun rasa tak enak hati membuat Firman menggigit bibir. Ia memilih untuk tidur lagi, menindih kepalanya dengan bantal. Nihil. Bahkan pikirannya yang kemana-mana membuatnya tak tenang walau hanya sekadar tiduran. “Sialan... kenapa jadi gini, sih!” ***
24 | after a trouble
Lagi JALAN masih sepi. Pagi ini Windi berhasil mempersiapkan diri sebelum jam enam. Namun ia bingung. Sejak tadi sampai sekarang, Wenda tak juga bersuara. Wajah ovalnya tampak menahan kesal. Bibirnya setengah mengerucut. Bahkan Wenda tak sedikit pun menggerakkan bola matanya untuk menatap Windi. Sikap Wenda jelas menunjukkan bahwa ia sedang marah. Tapi Windi bingung, apa masalahnya? Mula-mula Windi mendiamkan. Namun ketika sampai di parkiran Wenda tak juga berujar, Windi jadi tak tahan. “Kamu kenapa sih, Wen?” tanya Windi angkat suara. “Nggak.” Wenda menjawab singkat sambil turun dari scoopy-nya. Kakinya melangkah, tak mempedulikan Windi yang menatapnya penuh tanya. “Wenda kamu nggak usah gitu, deh! Kalau aku punya salah tu ngomong, jangan kayak gini! Nggak jelas banget tahu nggak?!” di depan UKS Windi berseru. Wenda yang menyusuri lorong di antara ruang organisasi dan ruang guru terhenti. Ia berbalik, memandangi sahabatnya dengan tatapan dingin. “Yang seharusnya nanya ‘kamu kenapa, sih?’ tu aku, Win!” sahut Wenda tajam. Melihat kegeraman Wenda, Windi menelan ludah. “Aku bisa maklum sih, Win. Kamu baru aja jadian, punya cowok. Tapi kamu nggak semestinya lupain aku. Asyik sms-an sama Kak Soni, ya? Sampai berpuluh-puluh smsku nggak dibales. Belasan kali aku 25 | after a trouble
telpon nggak ada yang diangkat, bahkan di-reject. Segitu nggak sempetnya, Win?” Mendengar penjelasan Wenda, Windi melongo. Mulutnya menganga, menatap Wenda tak percaya. Lima detik berikutnya, Windi tergelak. Melihat letusan tawa Windi yang tidak jelas, Wenda semakin merengut. “Ya ampun Wenda... gara-gara itu?” tanya Windi sambil berlari. Sesekali ia tertawa membuat Wenda semakin tidak suka. “Wenda...,” Windi justru mencubit pipi Wenda yang kenyal. Gadis bermata panda itu heran, bingung, sedikit kesal, hingga menggembungkan pipinya. “HP aku dicopet kemarin. Jadi maaf, aku udah nggak punya HP.” “Haaaa!??” seru Wenda membelalakkan mata. Mulutnya menganga, memandangi Windi yang malah nyengir, “Sumpah, Win!?” Yang ditanya hanya mengangguk tanpa sedikit pun mengendurkan senyum. “Waktu main sama Kak Soni kemarin?” tanya Wenda yang kini berubah khawatir. Tangannya memegangi bahu Windi erat. Lagi-lagi Windi hanya mengangguk membuat tangan kanan Wenda yang memegangi bahu Windi beralih untuk membungkam mulutnya sendiri. Ia terlalu terperangah untuk mendengar ini. “Kok Kak Soni nggak berbuat sesuatu gitu?” tanya Wenda yang membuat Windi menghela napas. “Udah. Tapi aku tahan,” jawab Windi yang membuat alis tebal Wenda bertaut. 26 | after a trouble
“Kok gitu?” “Pencopetnya kan dua. Sedangkan Kak Soni sendiri. Aku takut kalau dia kenapa-napa. Lagian kawasan itu juga sepi. Nggak ada yang nolong, malah gimana coba?” terang Windi yang membuat Wenda menggigit jari. “Iphone bukan apa-apa lagi. Masih bisa beli.” “Ya ampun Windi... kamu tu... ihhh.” Wenda menabok bahu Windi terus menerus. Antara prihatin, kesal, sedih, ia ekspresikan dengan keluhan khasnya yang manja. Windi hanya bisa nyengir sambil mengajak Wenda untuk melanjutkan langkah. “Oiya, Win... kamu mau ikut ekskul apa?” tanya Wenda tatkala sampai di ujung koridor kelas sepuluh. “Em....” Windi mulai sedikit berpikir, “Teater!” jawabnya mantap. Sebenarnya tidak sedikit, karena Windi sudah banyak berpikir mengenai ini sepanjang dua hari kemarin. “Cieee, mentang-mentang Kak Soni ikut teater kamu juga ikut, gitu?” timpal Wenda yang membuat Windi menatapnya dengan tatapan ‘oh ya?’. “Emang kamu mau ikut apa, Wen?” Windi ganti bertanya. Sekarang mereka telah sampai di kelas X Mia 2 – kelas mereka– dan menduduki kursi paling depan barisan nomor dua dari pintu. “Teater,” jawab Wenda kemudian. Windi melengos, memandang Wenda dengan tatapan gemas. Kali ini gantian Wenda yang nyengir.
27 | after a trouble
Wenda mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Isi kelas yang kosong membuatnya gelenggeleng. “Masih jam setengah tujuh kurang. Wajar, lah!” ujar Windi setelah melihat jam tangan nikon hitam yang mengerat di tangan kirinya. “Oh iya, nanti seleksi tonti. Kamu nggak lupa bawa baju lapangan kan, Wen?” tanyanya pada Wenda yang tengah memainkan ponsel. Gadis dengan gigi taring mencolok itu mengangkat wajah. “Enggak, dong,” jawabnya, “Tapi nggak penting juga sih aku ikut seleksi atau enggak. Hasilnya sama aja. Nggak lolos.” Windi hanya bisa tertawa kecil. Memang, Wenda sedikit lebih pendek darinya, tapi bukan berarti ia tidak tinggi. 156 senti lumayan lah untuk ukuran perempuan. Tapi sayangnya ada banyak yang lebih tinggi. Anak SMA Negara rata-rata 160-an untuk yang putri. Sedangkan yang putra, jangan tanya lagi, 163 senti sudah yang paling pendek. Dan yang menyandang gelar itu adalah si kembar Rian-Reon. Satu persatu umat kelas X Mia 2 berdatangan. Detikdetik menjelang masuk, masing-masing sibuk dengan urusan pribadi. Beberapa mengobrol, PDKT, bahkan belajar. Beberapa anak Rohis sudah keluar sejak tadi. Setiap hari memang ada tadarus di Masjid sekolah dan siapa pun boleh ikut. Setelah jam menunjukkan pukul tujuh tepat, bel pun berbunyi. Membuat pintu kelas dibanjiri siswa yang tadi masih di luar. Belum ada lima menit, seorang lelaki tua 28 | after a trouble
jangkung masuk. Mengucap salam dan memulai pelajaran hari ini yang semoga saja… menyenangkan, harap Windi. *** Bel pulang sekolah sudah berdentang, namun seluruh siswa kelas sepuluh masih lengkap di dalam kelas. Di kelas X Mia 3, semua sudah mengganti kemeja dengan kaos. Beberapa malah sudah siap dengan papan nama bekas pra mos yang tertempel di dada. Hanya ada dua manusia yang terlihat cuek. Jangankan berganti pakaian, berminat untuk siap-siap pun tidak. “Jadi nanti, lu lewat english zone, gue lewat jalan kecil utara masjid,” terang Firman sambil menyampirkan tas selempang abu-abu ke bahu tegapnya. Anton mengangguk paham. “Biar nggak keliatan menggerombol,” tambahnya. Mereka akhirnya keluar kelas dan menyusuri koridor dengan was-was. Dari kemarin, Anton dan Fiman sudah sepakat untuk kabur dari seleksi tonti. Badan mereka yang memenuhi syarat sudah jelas menjadi buruan kakak tingkat. Apalagi mereka memiliki riwayat anak tonti. Walau mereka tak berminat, para senior itu tentu akan melakukan sesuatu agar mereka luluh. Dan Anton tidak suka hal semacam itu, apalagi Firman. Sedangkan Rian-Reon tidak berangkat hari ini. Ada acara keluarga, katanya. Walau pun mereka berdua memang benar-benar ada urusan, tapi Firman yakin bahwa itu hanya alasan menghindari agenda seleksi. Walau–lagi mereka calon tidak diterima, toh mereka tetap ikut berpanas-panasan. Sama-sama capek akhirnya. Firman terkesiap saat sudut mata coklatnya menangkap gerombolan senior –yang ia yakini para Dewan Tonti– budal dari halaman sekolah. 29 | after a trouble
“Woy... cepet!” seru Firman seraya mendorong Anton untuk memasuki english zone. Sedangkan ia sendiri berlari menuju jalan kecil yang diapit antara laboratorium kimia dan masjid sekolah. Ia memilih untuk berhenti dan bersembunyi di balik tembok yang menonjol–penyangga balkon lantai dua lebih tepatnya. Setelah DT sudah dipastikan berjalan ke kelas sepuluh semua, Firman menarik ujung bibir kanannya. Tanpa was-was lagi, ia berjalan cepat meneruskan pelarian. DAKKK! “Aaaaa!!” Tubuh atletis Firman menghantam tubuh lain yang hendak keluar dari tempat wudhu putri. Usaha seorang gadis yang ingin menjejakkan kaki ke permukaan lebih tinggi guna menjaga wudhu, kini sia-sia karena kakinya justru menjejak tanah. Dagunya terantuk bahu Firman, tangannya mencengkeram tangan Firman kuat di depan dada. Setelah sadar, gadis berkaos putih dengan lengan berwarna merah itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Firman dengan cepat. Setelah bersitatap, mereka terperanjat. “Elo lagi! Sial banget ya hidup gue ketemu cewek rese kaya lo dan slalu aja nimbulin masalah!” gertak Firman yang membuat Windi menautkan alis. “Siapa? Ada juga aku yang sial! Liat, kan? Aku jadi batal!” elak Windi tak kalah geram. “Terserah elo deh, yang penting di mata gue, elo yang salah,” sahut Firman tak mau kalah. “Songong banget...,” Windi berkacak pinggang. 30 | after a trouble
“Ah... minggir lo! Awas aja kalau sampe lo ngancurin pelarian gue,” terang Firman menyuruh Windi untuk menyingkir. Alih-alih memberi jalan, Windi malah diam. Matanya memandangi seorang senior dekat English Zone. Bibir tipisnya mengulum senyum asimetris. “OO... KAMU MAU KABUR?!!” teriak Windi yang membuat Firman terbengong. Tampak bahwa DT laki-laki itu menoleh ke arah mereka. Windi terkikik geli. “Woy, kunti! Elo ngapain, hah?!!” Firman bingung melihat respon Windi yang aneh. Kebingunganya itu terjawab tatkala seseorang menepuk bahunya dari belakang. “Kok masih di sini?” tanya orang yang menepuk akrab. Leher Firman mendadak kaku. “Ini baru mau ke lapangan,” jawab Firman sebelum Windi mengatakan yang sesungguhnya. Tiga detik berikutnya, Firman sadar jika itu bukan jawaban bagus. “Ohh, bagus. Bareng aku aja kalau gitu,” ujar si senior yang membuat Firman merutuk frustasi. “Kamu... kok masih di sini, Win?” tanyanya pada Windi. Setelah menjadi cengcengannya Soni, Windi memang jadi populer di kalangan anak-anak kelas sebelas, terutama anak-anak Osis dan Tonti. “Baru mau sholat, Kak,” jawab Windi nyengir. Melihat sikap Windi yang manis, Firman mendengus benci. Padahal jika dengannya, resenya minta ampun.
31 | after a trouble
“Oh, yaudah, gi!” perintah Hari–si senior yang membuat Windi mengangguk takzim, kemudian bergegas ke tempat wudhu. Tempat wudhu anak putri memang tertutup, wajar jika tidak tahu orang yang melintas. “Yaudah yuk, Man!” ajak Hari yang membuat Firman menunduk sedih. Tak ada yang bisa Firman lakukan selain mengikuti langkah Hari. Senior itu terus saja menyejajarinya, membuat Firman mati kutu. Bahkan jika Firman mau, ia bisa berlari sekarang juga. Kabur meninggalkan Hari, dan pergi dari sekolah dengan cepat. Tapi entah mengapa, pikirannya sedang tidak fokus. Terpikir untuk menempuh cara itu pun tidak. ***
32 | after a trouble