ii
iii
NOTA KESEPAHAMAN & PERATURAN BERSAMA
Nota Kesepahaman tentang Peningkatan Kerjasama Penegakan Hukum untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan dalam Rangka Pelaksanaan REDD+
& Peraturan Bersama tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor
iv
v
Daftar Isi Kata Sambutan
1
Nota Kesepahaman
19
Pedoman Bersama
25
Lampiran I - Pedoman Penanganan Perkara
35
Lampiran II - Pedoman Pengembangan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
118
vi
vii
KATA SAMBUTAN
viii
1
Kata Sambutan Kepala Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+
Pemerintah Indonesia sejak tahun 20 0 9 memiliki komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen secara mandiri, 41 persen dengan dukungan internasional dari skenario b usiness- as- usual pada tahun 20 20 . Kontributor terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor hutan dan lahan gambut, dimana 87 persen target penurunan emisi dalam Rencana A ksi N asional penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RA N -GRK) adalah dari sektor tersebut. Perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut demi kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemisikinan, dan pertumbuhan yang berkelanjutan adalah kunci dari penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Kunci tersebut tertuang dalam lima pilar Strategi N asional REDD+ Indonesia: (1) Kelembagaan dan Proses, (2) Kerangka H ukum dan Peraturan, (3 ) Program-program Strategis, (4) Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja serta (5 ) Pelibatan Para Pihak. Penegakan hukum merupakan bagian dari pilar kedua Strategi N asional REDD+ dan bagian penting dalam perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut. Penegakan hukum memiliki peran strategis dalam menciptakan efek jera (deterrent e ect) dan efek pencegahan. Optimalisasi penegakan hukum terhadap kejahatan T indak Pidana Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup (SDA -L H ) terwujud apabila penanganan perkara dilakukan dengan pendekatan multi rezim hukum (multidoor). Kejahatan di sektor hutan dan lahan gambut merupakan kejahatan lintas sektor dimana hampir selalu dibarengi tindak pidana pencucian uang, penyuapan, gratifikasi dan penghindaran pajak. Melalui pendekatan multidoor, penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut perlu mengandalkan berbagai rezim hukum antara lain lingkungan hidup, kehutanan, tata ruang, perkebunan, pertambangan, perpajakan, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Pendekatan multidoor perlu didukung dengan koordinasi serta kerjasama yang baik antar aparat penegak hukum. Selama ini pelaksanaan penanganan perkara pidana dilakukan secara sektoral, dimana masing-masing institusi memiliki
2 ketentuan undang-undang, petunjuk pelaksanaan ataupun petunjuk teknis sendiri. Peran Pedoman Multidoor sangat signifikan dalam mengintegrasikan strategi penanganan Perkara T indak Pidana SDA -L H di atas hutan dan lahan gambut. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas kerjasama Kementerian Kehutanan, Kementerian L ingkungan H idup, Kementerian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan A gung, dan Pusat Pelaporan dan A nalisis T ransaksi Keuangan yang telah bersama-sama menyusun dan mendukung penggunaan Peraturan Bersama tentang Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor. Perkembangan Pedoman Multidoor dimulai dengan penandatanganan N ota Kesepahaman tentang Peningkatan Kerjasama Penegakan H ukum untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan Dalam Rangka Pelaksanaan REDD+ No: NK 8/Menhut-II/2012; 01 Tahun 2012; MOU-11/ MK/011/2012; 176/A/JA/12/2012; B/50/XII/2012; dan NK-59/1.02/PPATK/12/12. Selama kurang lebih 5 bulan, pedoman multidoor yang berisikan petunjuk teknis koordinasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan dan eksekusi serta pedoman pengembangan kapasitas aparat penegak hukum diselesaikan dengan penandatanganan Peraturan Bersama tentang Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas hutan dan lahan gambut dengan pendekatan Multidoor No: KEP-01.A/E/EJP/05/2013; Per/01/ I/2013/Bareskrim; SKB.1/I -SET/2013; 05/Dep. /LH/HK/05/2013; KEP-305/ PJ/2013; PER-18.1/BC/2013; PER-2/KN/2013; NK.63/1.02/PPATK/05/13. Satuan T ugas Persiapan Kelembagaan REDD+ juga telah mendorong implementasi multidoor melalui pengawalan penanganan kasus-kasus prioritas serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan terpadu bagi Hakim, Jaksa, Polisi dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil serta seminar bagi Hakim untuk wilayah Provinsi Riau, Kalimantan T engah dan A ceh. Saya percaya pedoman ini tidak hanya menjadi produk kebijakan teknis semata, tetapi sebuah penciptaan budaya kolaboratif antar aparat penegak hukum dalam rangka mewudujkan penegakan hukum yang mendukung komitmen pembangunan yang pro-poor, pro-gro th dan pro-environment.
Ketua Satuan Tugas Kelembagaan Persiapaan REDD+ Kuntoro Mangkusubroto
3
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Kata Sambutan Menteri Kehutanan Republik Indo nesia Indonesia memiliki kawasan hutan yang cukup luas, baik yang masih berhutan primer maupun bekas tebangan (logged over area) dan terdegradasi dengan keanekaragaman hayati dan stok karbon yang tinggi. Dalam rangka menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan akibat perambahan dan penebangan liar sebagai tindak pidana kehutanan maka penegakan hukum mutlak diperlukan. Pada kasus kerusakan hutan, masyarakat paling mudah menyatakan bahwa kejadian perusakan hutan, pengendalian dan penegakan hukum ada di Kementerian Kehutanan, seperti halnya kejadian perusakan lahan gambut di Rawa T ripa N angroe A ceh Darussalam. Padalah kalau kita dalami kasus per kasus, perusakan hutan dan lahan tidak semua berada di dalam kawasan hutan, dibawah peraturan perundang-undangan kehutanan yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Seperti misalnya kejadian yang berada di A real Penggunaan L ain (A PL ) yang secara yuridis berada dibawah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu penerapan multidoor, melalui pendekatan lintas sektoral sangat diperlukan. Dengan demikian pelaku kejahatan dapat dikenakan pasal berlapis, tidak hanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi juga Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang tentang Penataan Ruang, Undang-undang tentang Perpajakan, Undang-undang Pencucian Uang dan Undang-undang Pemberantasan T indak Pidana Korupsi. Selain dengan pendekatan multidoor yang juga saya tanda-tangani bersama dengan instansi terkait yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian L ingkungan H idup, Kepolisian, Kejaksaan A gung, dan Kepala Pusat Pelaporan dan A nalisis T ransaksi Keuangan, Kementerian Kehutanan dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
4 Hutan (UU P3H) yang sangat penting bagi Pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan akibat pembalakan liar serta perkebunan dan pertambangan non prosedural/tanpa izin. Insya A llah dengan pendektan multidoor dan implementasi UU P3H, maka perlindungan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas hutan dan lahan gambut akan menjadi lebih efektif.
Menteri Kehutanan Republik Indo nesia
DR. (HC). ulki i Hasan, SE, MM
5
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA
Kata Sambutan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indo nesia Pesatnya pembangunan dan perubahan gaya hidup masyarakat yang mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya alam untuk bahan baku produksi guna memenuhi kebutuhan masyarakat, memberikan dampak yang sangat besar terhadap lingkungan hidup. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan mendorong para pelaku usaha dan/ atau kegiatan, baik individu, kelompok, ataupun korporasi melakukan berbagai upaya, termasuk upaya-upaya yang melanggar hukum. Dampak yang sangat nyata dirasakan oleh masyarakat adalah semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup dari tahun ke tahun, baik oleh pencemaran maupun oleh perusakan lingkungan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Berbagai upaya untuk mengendalikan laju perusakan lingkungan telah dilakukan oleh Kementerian L ingkungan H idup selaku instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Penerbitan peraturan yang lebih ketat, peningkatan pengawasan terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang menghasilkan limbah maupun usaha yang memanfaatkan sumber daya alam dalam produksinya, dan penerapan sanksi administratif, perdata, maupun pidana tidak menghalangi para pelaku usaha untuk melanggar hukum demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkembangnya modus kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan lingkungan hidup untuk menghindari jeratan hukum dan menyembunyikan hasil kejahatannya, memberikan tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan. Penerapan sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan L ingkungan H idup secara mandiri terhadap pelaku kejahatan lingkungan belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. H al ini terutama terjadi apabila tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh pelaku berkaitan dengan tindak pidana yang diatur oleh sektor lainnya, seperti kehutanan, pertambangan, perindustrian dan perkebunan.
6 Mengingat kondisi yang demikian, saya menyambut baik diterbitkannya Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana yang T erkait dengan Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup dengan Pendekatan Multidoor bagi aparat penegak hukum dengan harapan agar Pendekatan Multidoor ini dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku kejahatan lingkungan hidup, memberikan efek pencegahan bagi setiap orang untuk melakukan tindak kejahatan, yang pada akhirnya dapat mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indo nesia
Balthasar Kambuaya
7
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Kata Sambutan Menteri Keuangan Republik Indo nesia A ssalamualaik um W r . W b . Pertama-tama saya mengucapkan selamat atas peluncuran “Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor”, dan apresiasi saya atas kerja keras seluruh pihak yang telah terlibat dalam penyusunan pedoman ini. Sudah menjadi komitmen kita bersama, salah satu agenda penting dalam pembangunan Indonesia adalah pemberantasan kemiskinan dalam proses pembangunan yang inklusif dengan memperhatikan kesinambungan daya dukung sumber daya alam dan lingkungan hidup (inclusive sustainable development). A kan tetapi dalam implementasinya, seringkali kita menyaksikan benturan antara kepentingan ekonomi dengan keharusan kita untuk menjaga keseimbangan dan daya dukung alam serta lingkungan yang mengakibatkan terjadinya deplesi dan degradasi sumberdaya dan lingkungan alam secara masif dan sistematis. Begitu pula halnya dengan aktivitas ekonomi kita yang justru menimbulkan dampak negatif terhadap alam dan lingkungan seperti limbah, emisi gas dan penataan ruang yang buruk dalam membangun kawasan. Tingkat kerugian yang terjadi tidaklah dapat terbayangkan nilainya, terutama ketika kita dihadapkan pada kenyataan tentang kondisi alam dan lingkungan seperti apa yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang. Tingkat konsumsi yang tidak terkendali terhadap sumber daya alam, terutama sumber energi yang tidak dapat diperbaharui (unrene able resources) akan berpotensi menyebabkan krisis energi di masa mendatang, sehingga sudah seharusnya kita sangat serius mengelola alam dan lingkungan yang dari hari ke hari semakin terancam optimalitas daya dukungnya terhadap kualitas kehidupan umat manusia.
8 Untuk itulah, perlu pengaturan hukum yang tegas demi keberlangsungan daya dukung alam dan lingkungan terhadap hidup dan kehidupan kita serta generasi setelah kita. Pada tingkat global, penyuaraan tentang penegakan hukum lingkungan, yang momentumnya diawali pada tahun 19 72 di Stockholm, Swedia, telah membuka cakrawala baru dalam penegakan hukum pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, untuk kemudian pondasi yang lebih realistis dilanjutkan melalui World Summit di Rio de Jenairo, Brazil pada tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development di Johannesberg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Pada prinsipnya, dunia membutuhkan gerakan global untuk memastikan terselenggaranya praktik-praktik eksploitasi sumber daya alam bermotif ekonomi yang tetap menjunjung tinggi keberlangsungan daya dukung alam dan lingkungan terhadap kehidupan manusia saat ini, dan terutama generasi mendatang secara adil. T ekanan pertumbuhan populasi telah membawa dampak yang begitu besar terhadap lingkungan. Atas nama pertumbuhan aktivitas perekonomian, proses eksploitasi terhadap sumber daya alam terus dilakukan secara intensif dalam skala komersial yang masif, dan dalam beberapa kasus, proses membabi buta ini justru mendatangkan bencana lingkungan yang menimbulkan kerugian besar terhadap harta benda dan bahkan nyawa manusia. Mitigasi bencana yang pada awalnya bersumber dari keteledoran kita sendiri dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan akan melemahkan proses efektivitas anggaran publik untuk mendukung tujuan-tujuan berbangsa dan bernegara yang lebih dinamis, lebih produktif dan semaksimal mungkin akan lebih meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat Indonesia, oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup masuk menjadi agenda prioritas pembangunan Indonesia. Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana A ksi N asional – Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RA N -GRK), yang merupakan rencana aksi pemerintah untuk menurunkan tingkat pencemaran udara dari emisi gas rumah kaca secara substansial, merupakan wujud nyata pemerintah untuk menjadikan proses pembangunan berkesinambungan yang berwawasan lingkungan bukanlah sekedar wacana dalam proses pembangunan ekonomi. Rencana aksi ini tentunya butuh komitmen dari semua pihak secara optimal, karena instrumen fiskal melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak akan mungkin mencukupi berbagai agenda terkait, mengingat keterbatasan sumber daya pendanaan anggaran yang ada, disamping keterbatasan struktural
9 pemerintah itu sendiri, untuk mencapai target-target yang telah menjadi komitmen Indonesia terhadap dunia Internasional di bidang pengelolaan alam dan lingkungan hidup. Salah satu aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan agenda prioritas di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah aspek penegakan hukum, sehingga seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan (stakeholders) dapat secara jelas dan tegas diatur untuk dapat terus beraktivitas secara optimal dengan tetap menjaga daya dukung dan keberlangsungan daya dukung sumber daya alam dan lingkungan hidup secara efektif. O leh karena itu, saya sangat berharap upaya penegakan hukum lingkungan dapat menjadi instrumen kebijakan yang efektif untuk menjamin terselenggaranya praktik-praktik aktivitas bermotif ekonomi yang tetap menjunjung tinggi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan secara maksimal demi kehidupan kita sendiri dan terutama generasi mendatang yang akan menjadi pewaris kedaulatan dan kejayaan Republik Indonesia. T erima kasih dan penghargaan saya atas segala upaya dan kerja keras semua pihak yang telah dan akan terus berkomitmen untuk menegakkan tata kelola yang selalu mengedepankan upaya pembangunan dengan terus memperjuangkan kesinambungan daya dukung sumber daya alam dan lingkungan hidup kita. Pada akhirnya, saya berharap dengan penegakan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara tegas, adil dan berwibawa, proses pembangunan inklusif di Indonesia dapat diwujudkan dalam konteks kesinambungan sumber daya alam dan lingkungan demi kemakmuran seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Menteri Keuangan Republik Indo nesia
Muhamad Chatib Basri
10
11
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Kata Sambutan Jaksa Agung Republik Indo nesia Assalamu alaikum arahmatullahi abarakatuh Salam sejahtera bagi kita sekalian, Dengan penuh suka cita, saya menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi atas terealisasinya kegiatan peluncuran Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas H utan dan L ahan Gambut Dengan Pendekatan Multidoor. Karena kita menyadari bahwa koordinasi antara aparat penegak hukum merupakan salah satu kendala dalam penegakan hukum, untuk itu setiap langkah yang mengarah pada penguatan sinergi kelembagaan perlu terus kita kembangkan. Penyusunan pedoman penanganan perkara dengan pendekatan multidoor sebagai pedoman kerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian L ingkungan H idup, Kementerian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan A gung serta Pusat Pelaporan Dan A nalisis T ransaksi Keuangan untuk T indak Pidana T erkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup (SDA -L H ) di atas hutan dan lahan gambut, merupakan terobosan dalam rangka penegakan hukum maupun upaya preventif mencegah kerusakan serta kerugian baik ekonomi maupun sosial budaya dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait untuk menjerat pelaku utama dan menimbulkan efek jera. Melalui pedoman yang telah disusun bersama ini, diharapkan akan menjadi acuan teknis di lapangan untuk melakukan langkah-langkah hukum menyangkut penyelesaian perkara yang berkaitan dengan SDA -L H , sehingga penegakan hukum dapat menjadi efektif dan mencapai tujuannya dalam menjaga pelestarian lingkungan.
12 Demikian sambutan saya, semoga Tuhan ang Maha Esa senantiasa memberikan kekuatan serta perlindungan kepada kita dalam melaksanakan tugas dan pengabdian kepada bangsa dan negara tercinta. Sekian dan terima kasih. assalamu alaikum arahmatullahi abarakatuh.
Jaksa Agung Republik Indo nesia,
Basrief A rief
13
Kata Sambutan Kepala Kepo lisian Negara Republik Indo nesia
A ssalamu’ alaik um W r . W b Salam Sejahtera Bagi Kita Semua Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat A llah SWT , Tuhan ang Maha Esa, saya menyambut baik dan memberikan apresiasi atas penandatanganan dan peluncuran Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor. Perlu kita sadari bersama, bahwa dewasa ini kejahatan sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA -L H ), khususnya di kawasan hutan dan lahan gambut senantiasa memiliki keterkaitan dengan kejahatan dan atau pelanggaran dibidang lain, baik dalam suatu “pembarengan” (concursus) maupun sebagai “keberlanjutan”. O leh karena itu, dalam pengananan perkaranya, harus dilakukan secara koordinatif, sinergis bersama para aparat penegak hukum lainnya, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, dengan melakukan analisa, argumentasi, serta penalaran hukum yang valid dan komprehensif, sehingga proses penegakan hukum dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Pedoman ini telah mengakomodir berbagai paradigma hukum, dengan memberdayakan peraturan perundang-undangan yang relevan dan terintegrasi, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan strategi penanganan perkara pidana terkait SDA -L H di kawasan hutan dan lahan gambut. Semoga kehadirannya dapat menjadi referensi, serta memperluas khasanah pengetahuan, wawasan dan pemahaman pembaca, khususnya para penegak hukum guna mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dalam rangka pelaksanaan REDD+ (Reducing missions rom e orestation and egradation).
14 Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT, Tuhan ang Maha Kuasa senantiasa memberikan petunjuk, bimbingan, dan perlindungan kepada kita sekalian. Sekian dan terima kasih, W assalamu’ alaik um W r . W b .
Kepala Kepo lisian Negara Republik Indo nesia
Drs. T imur Pradopo
15
Kata Sambutan Kepala PPATK Republik Indo nesia
Kami menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi H utan), instansi terkait dan para kontributor di dalam penyusunan Pedoman dan Bahan A jar Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas H utan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor dan Panduan Pengembangan Kapasitas A parat Penegak H ukum dalam Penanganan Perkara Sumber Daya A lam dan L ingkungan Hidup dengan Pendekatan Multidoor. Keberadaan pedoman ini penting bagi aparat penegak hukum sebagai acuan dan sarana di dalam memudahkan para aparat penegak hukum menggunakan instrumen hukum yang ada untuk menjerat para pelaku kejahatan di bidang Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup (SDA L H ). Gagasan Satgas REDD+ dalam melakukan pendekatan hukum terpadu dengan pendekatan multidoor ini sangat efektif di dalam mencegah dan memberantas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, khususnya kejahatan yang terkait dengan tindak pidana SDA-LH di atas hutan dan lahan gambut. Perpaduan dengan menggunakan berbagai rezim hukum termasuk Undang-undang Nomor 8 T ahun 20 10 tentang Pencegahan dan Pemberantasan T indak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU) sangat efektif di dalam menekan angka kejahatan serta kerugian yang ditimbulkannya. Kita ketahui bersama bahwa UU PP TPPU merupakan supra le baik terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki ketentuan pidana maupun terhadap KUHP. UU PP TPPU sebagai supra le karena undang-undang ini menetapkan larangan dan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menikmati hasil kekayaan dari hasil atau berasal dari tindak pidana, termasuk kejahatan dibidang kehutanan dan sumber daya alam. Dengan penerapan undang-undang ini relatif tidak ada celah hukum bagi pelaku kejahatan dan penikmat / beneficiary o ner untuk dapat menghindari jangkauan hukum. Pendetakan dengan UU PP TPPU memiliki pula daya tangkal yang handal dalam menghancurkan kelangsungan hidup suatu organisasi kejahatan karena secara langsung ditujukan kepada sumber dana
16 sebagai jantung pertahanan suatu organisasi kejahatan. Bila selama ini kejahatan illegal logging misalnya hanya menerapkan undang-undang kehutanan, maka ia hanya efektif memberantas symptom dari suatu kejahatan saja. Paling-paling yang dapat ditangkap hanyalah sopir truk, pelaku penebang di lapangan dan pihak lain yang bersifat pelaksana. A kan tetapi siapa otak dari pelaku, pemilik dana dan pihak-pihak terkait sulit untuk dapat dikejar. Pasal 2 UU PP TPPU mengatur bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh antara lain dari tindak pidana dibidang kehutanan, dibidang lingkungan hidup sebagai kejahatan asal (predicate o crime) tindak pidana pencucian uang. Pendekatan anti pencucian uang dalam memberantas kejahatan dibidang kehutanan seperti illegal logging terutama dikaitkan dengan kegiatan mentrasir tindakan penyembunyian asal usul dana hasil kejahatan illegal logging serta penerapan UU PP TPPU dalam proses hukum pelaku pencucian uang dari kejahatan illegal logging. Pusat Pelaporan dan A nalisis T ransaksi Keuangan (PPA T K) sebagai focal point di dalam membangun rezim anti pencucian uang di Indonesia memiliki fungsi utama memberikan informasi intelijen kepada aparat penegak hukum tentang dugaan tindak pidana pencucian uang atau dugaan tindak pidana asal, termasuk yang terkait dengan kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup. Informasi intelijen dimaksud merupakan hasil analisis berbagai informasi yang diperoleh PPA T K dari berbagai sumber, termasuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dan Laporan Pembawaan Uang Tunai yang diberikan penyedia jasa keuangan, penyedia barang dan jasa, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun dari inancial Intelijen Unit ( IU) negara lain. Selain itu terdapat juga informasi yang dihasilkan dari hasil kerjasama berdasarkan N ota Kesepahaman dengan berbagai lembaga di dalam negeri serta informasi dari publik/ media massa. Saat ini PPATK telah menjalin kerjasama dengan 42 IU melalui penandatanganan Nota Kesepahaman. PPATK juga secara proaktif telah memanfaatkan database Egmont Group (Paguyuban IU Sedunia). Selain itu, berkat dukungan Kapolri dan jajaran NCB Interpol Indonesia, PPATK telah dapat mengakses database yang dimiliki oleh jejaring NCB-Interpol Sedunia yang dikenal dengan I 24/7. Akses terhadap pusat-pusat data ini sangat penting untuk memperkaya dan mempertajam analisis PPA T K terhadap transaksi keuangan mencurigakan. Didalam negeri, PPA T K telah pula menandatangani nota kesepahaman dengan 66 lembaga termasuk Kepolisian, Kejaksaan A gung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan dan L embaga Swadaya Masyarakat bidang kehutanan. Berbagai informasi tersebut kemudian
17 direkonstruksikan oleh PPA T K sehingga dapat dilihat keterkaitan antara berbagai transaksi sejumlah dana, orang terkait, sumber dana/ perbuatan menghasilkan dana tersebut. Hanya saja, sebagai informasi intelijen, informasi tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti, melainkan harus ditindaklajuti oleh penyidik tindak pidana asal (Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, Badan Nasional Narkotika, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak) untuk dilakukan penyelidikan/ penyidikan dan selanjutnya diteruskan oleh penyidik kepada penuntut umum dan peradilan. Demikian sambutan ini, kami berharap para aparat penegak hukum dapat mengambil nilai tambah dari pedoman yang ada dalam buku ini secara optimal untuk menjadikan hutan dan lingkungan hidup dapat terjaga dan menjadikan Indonesia lebih baik.
Kepala PPATK Republik Indo nesia
Dr. Muhammad usuf, SH, MM.
2
3
NOTA KESEPAHAMAN Tentang Peningkatan Kerjasama Penegakan Hukum untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan dalam Rangka Pelaksanaan REDD+ 20 Desember 2013
4
19
NOTA KESEPAHAMAN ANTARA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN TENTANG PENINGKATAN KERJASAMA PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM YANG BERKELANJUTAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN REDD+ No mo r
: NK 8 / Menhut- II/ 2 0 1 2
No mo r
: 0 1 Tahun 2 0 1 2
No mo r
: MOU- 1 1 / MK.0 1 1 / 2 0 1 2
No mo r
: 1 7 6 / A/ JA/ 1 2 / 2 0 1 2
No mo r
: B/ 5 0 / X II/ 2 0 1 2
No mo r
: NK- 5 9 / 1 .0 2 / PPATK/ 1 2 / 1 2
20 Pada hari ini Kamis, tanggal dua puluh Desember tahun dua ribu dua belas, yang bertanda-tangan di bawah ini: I.
Dr. ( H.C) Z ULKIFLI HASAN, SE., MM., selaku Menteri Kehutanan Republik Indo nesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kementerian Kehutanan Republik Indo nesia berkedudukan dan beralamat di J alan Gatot Subroto, J akarta Pusat.
II.
PROF. DR. BALTHASAR KAMBUAYA, MBA., selaku Menteri Lingkungan Hidup Republik Indo nesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indo nesia, berkedudukan dan beralamat di J alan D.I. Panjaitan Kav. 24 J akarta T imur.
III.
AGUS D.W . MARTOW ARDOJO, selaku Menteri Keuangan Republik Indo nesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kementerian Keuangan Republik Indo nesia, berkedudukan dan beralamat di Gedung Djuanda I, J alan Dr. Wahidin Raya N omor 1 J akarta 10 710 .
IV .
BASRIEF ARIEF, SH., MH., selaku Jaksa Agung Republik Indo nesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kejaksaan Republik Indo nesia, berkedudukan dan beralamat di J alan Sultan H asanudin N o. 1, J akarta Selatan.
V .
JENDERAL POLISI Drs. TIMUR PRADOPO, selaku Kepala Kepo lisian Negara Republik Indo nesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kepo lisian Negara Republik Indo nesia, berkedudukan dan beralamat di J alan T runojoyo N omor 3 , J akarta Selatan.
V I.
DR. MUHAMMAD YUSUF, SH., MM., selaku Kepala Pusat Pelapo ran dan Analisis Transaksi Keuangan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pusat Pelapo ran dan Analisis Transaksi Keuangan, berkedudukan dan beralamat di J alan Ir. H . J uanda J akarta Pusat.
Dengan pertimbangan sebagai berikut: a.
komitmen N egara Republik Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 20 20 yang salah satunya melalui skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang disebabkan oleh Deforestasi dan Degradasi H utan dan L ahan Gambut (REDD+);
b.
dalam rangka pelaksanaan REDD+ dan pemenuhan komitmen tersebut, diperlukan penguatan penegakan hukum guna memberikan efek jera yang maksimal bagi pelaku dan efek pencegahan (deterrent e ect) yang optimal dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan (pendekatan multidoor);
c.
pelaksanaan penanganan suatu perkara pidana telah diatur dalam berbagai peraturan baik dalam undang-undang atau petunjuk pelaksanaan
21 maupun petunjuk teknis yang berlaku di masing-masing institusi terkait dengan penegakan hukum, namun belum ada suatu pedoman yang secara terintegrasi memuat strategi penanganan perkara pidana terkait sumber daya alam-lingkungan hidup di kawasan hutan dan lahan gambut dengan pendekatan multidoor. Dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1.
Undang-Undang N omor 8 T ahun 19 81 tentang H ukum A cara Pidana (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 81 N omor 81, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 25 8);
2.
Undang-Undang N omor 6 T ahun 19 83 tentang Ketentuan Umum dan T ata Cara Perpajakan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 83 N omor 49 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang N omor 16 T ahun 20 0 9 (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 9 N omor 62, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 49 9 9 );
3 .
Undang-Undang N omor 5 T ahun 19 9 0 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia T ahun 19 9 0 N omor 49 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 419 );
4.
Undang-Undang N omor 10 T ahun 19 9 5 tentang Kepabeanan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 9 5 N omor 75 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang N omor 17 T ahun 20 0 6 (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 6 N omor 9 3 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 4661);
5 .
Undang-Undang N omor 41 T ahun 19 9 9 tentang Kehutanan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 9 9 N omor 167, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 888);
6.
Undang-Undang N omor 2 T ahun 20 0 2 tentang Kepolisian N egara Republik Indonesia (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 2 N omor 2, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 4168);
7.
Undang-Undang N omor 16 T ahun 20 0 4 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 4 N omor 67, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 440 1);
8.
Undang Undang N omor 18 T ahun 20 0 4 tentang Perkebunan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 4 N omor 5 3 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 43 89 );
9 .
Undang-Undang N omor 3 2 T ahun 20 0 9 tentang Perlindungan dan Pengelolaan L ingkungan H idup (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 9 N omor 140 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 5 0 5 9 );
22 10 .
Undang-Undang N omor 8 T ahun 20 10 tentang Pencegahan dan Pemberantasan T indak Pidana Pencucian Uang (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 10 N omor 122, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 5 164).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami yang bertandatangan di bawah ini sepakat untuk meningkatkan kerjasama di bidang penegakan hukum untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dalam rangka pelaksanaan REDD+, antara lain melalui hal-hal sebagai berikut: 1.
M endayagunakan Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana T erkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di dalam Kawasan H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor, untuk mengoptimalkan efek jera (deterrent e ect) kepada pelaku individu maupun korporasi, pemulihan lingkungan hidup, pengembalian kerugian negara, perampasan aset-aset hasil kejahatan dan penerapan prinsip mengikuti aliran uang ( ollo the money).
2.
M elakukan koordinasi dan pertukaran informasi secara berkala dalam rangka optimalisasi penanganan perkara tindak pidana terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di dalam kawasan hutan dan lahan gambut dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang relevan.
3 .
M eningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam penanganan perkara tindak pidana terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di dalam kawasan hutan dan lahan gambut melalui kegiatan pengembangan kapasitas aparat penegak hukum di lingkungan kerjasama masing-masing maupun secara bersama-sama.
Untuk tindak lanjut Nota Kesepahaman ini diatur dalam Pedoman yang disusun oleh Pejabat setingkat Eselon I terkait dalam Nota Kesepahaman ini.
23 Demikian N ota Kesepahaman ini dibuat dan ditandatangani pada hari, tanggal, bulan dan tahun sebagaimana disebutkan pada awal N ota Kesepahaman ini, dalam rangkap 7 (tujuh) asli dan mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditandatangani dengan semangat kerjasama yang baik, untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Menteri Kehutanan Republik Indo nesia,
r H
ulki i Hasan S
MM
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indo nesia,
Pro f . Dr. Balthasar Kambuaya, MBA.
Menteri Keuangan Republik Indo nesia,
Jaksa Agung Republik Indo nesia,
Agus D.W . Marto w ardo jo
Basrief Arief , SH., MH.
Kepala Kepo lisian Negara Republik Indo nesia,
Kepala Pusat Pelapo ran dan Analisis Transaksi Keuangan,
Drs. Timur Prado po Jenderal Po lisi
DR. Muhammad Yusuf , SH., MM
2
3
PERATURAN BERSAMA Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor 20 Mei 2013
4
25
PERATURAN BERSAMA J A KSA A GUN G M UDA T IN DA K PIDA N A UM UM KEJ A KSA A N A GUN G REPUBL IK IN DO N ESIA KEPA L A BA DA N RESERSE KRIM IN A L KEPO L ISIA N N EGA RA REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L PERL IN DUN GA N H UT A N DA N KO N SERV A SI A L A M KEM EN T ERIA N KEH UT A N A N REPUBL IK IN DO N ESIA DEPUT I BIDA N G PEN A T A A N H UKUM L IN GKUN GA N KEM EN T ERIA N L IN GKUN GA N H IDUP REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L PA J A K KEM EN T ERIA N KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L BEA CUKA I KEM EN T ERIA N KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L KEKA YA A N N EGA RA KEM EN T ERIA N KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA WA KIL KEPA L A PUSA T PEL A PO RA N DA N A N A L ISIS T RA N SA KSI KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA
26 N O M N O M N O M N O M N O M N O M N O M N O M
O R O R O R O R O R O R O R O R
: : : : : : : :
KEP-0 1.A / E/ EJ P/ 0 5 / 20 13 Per/ 0 1/ V I/ 20 13 / Bareskrim SKB.1/ IV -SET / 20 13 0 5 / Dep.V / L H / H K/ 0 5 / 20 13 KEP-3 0 5 / PJ / 20 13 PER-18.1/ BC/ 20 13 PER-2/ KN / 20 13 N K.63 / 1.0 2/ PPA T K/ 0 5 / 13
T EN T A PEN A N GA N A N PERKA T ERKA IT SUM BER DA YA A L A M DI A T A S H UT A N DA N L A H A N GA M BUT DEN GA N RA J A KSA A GUN KEJ A KSA A N KEPA L A KEPO L ISIA N
N G RA T IN DA K PIDA N A DA N L IN GKUN GA N H IDUP DEN GA N PEN DEKA T A N M U LT I D O O R
H M A T T UH A N YA N G M G M UDA T IN DA K PIDA A GUN G REPUBL IK IN BA DA N RESERSE KRIM N EGA RA REPUBL IK IN
A H A ESA N A UM UM DO N ESIA IN A L DO N ESIA
DIREKT UR J EN DERA L PERL IN DUN GA N H UT A N DA N KO N SERV A SI A L A M KEM EN T ERIA N KEH UT A N A N REPUBL IK IN DO N ESIA DEPUT I BIDA N G PEN A T A A N H UKUM L IN GKUN GA N KEM EN T ERIA N L IN GKUN GA N H IDUP REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L PA J A K KEM EN T ERIA N KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L BEA CUKA I KEM EN T ERIA N KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA DIREKT UR J EN DERA L KEKA YA A N N EGA RA KEM EN T ERIA N KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA WA KIL KEPA L A PUSA T PEL A PO RA N DA N A N A L ISIS T RA N SA KSI KEUA N GA N REPUBL IK IN DO N ESIA
27 M enimbang : a.
bahwa komitmen N egara Republik Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 20 20 yang salah satunya melalui skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang disebabkan oleh Deforestasi dan Degradasi H utan dan L ahan Gambut (REDD+);
b.
bahwa dalam rangka pelaksanaan REDD+ dan pemenuhan komitmen tersebut, diperlukan penguatan penegakan hukum guna memberikan efek jera yang maksimal bagi pelaku dan efek pencegahan (deterrent e ect) yang optimal dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan (pendekatan multidoor);
c.
bahwa pelaksanaan penanganan suatu perkara pidana telah diatur dalam berbagai peraturan baik dalam undang-undang atau petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis yang berlaku di masing-masing institusi terkait dengan penegakan hukum, namun belum ada suatu pedoman yang secara terintegrasi memuat strategi penanganan perkara pidana terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di kawasan hutan dan lahan gambut dengan pendekatan multidoor;
d.
bahwa pada tanggal 20 Desember 20 12 telah ditandatangani N ota Kesepahaman tentang Peningkatan Kerjasama Penegakan H ukum untuk M endukung Pengelolaan Sumber Daya A lam yang Berkelanjutan dalam Rangka Pelaksanaan REDD+ oleh M enteri Kehutanan Republik Indonesia, M enteri N egara L ingkungan H idup Republik Indonesia, M enteri Keuangan Republik Indonesia, J aksa A gung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian N egara Republik Indonesia dan Kepala Pusat Pelaporan dan A nalisis T ransaksi Keuangan, yang antara lain berisi bahwa untuk tindak lanjut Nota Kesepahaman tersebut diatur dalam Pedoman yang disusun oleh Pejabat setingkat Eselon I terkait dalam N ota Kesepahaman sebagaimana dimaksud;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan untuk melaksanakan N ota Kesepahaman sebagaimana dimaksud pada huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di A tas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor;
28 M engingat
: 1.
Undang-Undang N omor 8 T ahun 19 81 tentang H ukum A cara Pidana (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 81 N omor 81, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 25 8);
2.
Undang-Undang N omor 6 T ahun 19 83 tentang Ketentuan Umum dan T ata Cara Perpajakan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 83 N omor 49 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang N omor 16 T ahun 20 0 9 (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 9 N omor 62, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 49 9 9 );
3 .
Undang-Undang N omor 5 T ahun 19 9 0 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19 9 0 N omor 49 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 419 );
4.
Undang-Undang N omor 10 T ahun 19 9 5 tentang Kepabeanan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 9 5 N omor 75 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang N omor 17 T ahun 20 0 6 (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 6 N omor 9 3 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 4661);
5 .
Undang-Undang N omor 41 T ahun 19 9 9 tentang Kehutanan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 19 9 9 N omor 167, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 3 888);
6.
Undang-Undang N omor 2 T ahun 20 0 2 tentang Kepolisian N egara Republik Indonesia (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 2 N omor 2, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 4168);
7.
Undang-Undang N omor 16 T ahun 20 0 4 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 4 N omor 67, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 440 1);
8.
Undang-Undang N omor 18 T ahun 20 0 4 tentang Perkebunan (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 4 N omor 5 3 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 43 89 );
9 .
Undang-Undang N omor 4 T ahun 20 0 9 tentang Pertambangan M ineral dan Batubara (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 9 N omor 4, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 49 5 9 );
10 . Undang-Undang N omor 26 T ahun 20 0 7 tentang Penataan Ruang (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 7 N omor 68, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 4725 ); 11. Undang-Undang N omor 3 2 T ahun 20 0 9 tentang Perlindungan dan Pengelolaan L ingkungan H idup (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 9 N omor 140 , T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 5 0 5 9 ); 12. Undang-Undang N omor 8 T ahun 20 10 tentang Pencegahan dan Pemberantasan T indak Pidana Pencucian Uang (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 10 N omor 122, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 5 164); 13 . Undang-Undang Republik Indonesia N omor 20 T ahun 20 0 1 tentang Perubahan atas Undang-Undang N omor 3 1 T ahun 19 9 9 tentang Pemberantasan T indak Pidana Korupsi (L embaran N egara Republik Indonesia T ahun 20 0 1 N omor 13 4, T ambahan L embaran N egara Republik Indonesia N omor 415 0 ).
29 M EM UT USKA N M enetapkan
:
J A KSA A GUN G M UDA T IN DA K PIDA N A UM UM KEJ A KSA A N A GUN G, KEPA L A BA DA N RESERSE KRIM IN A L KEPO L ISIA N N EGA RA , DIREKT UR J EN DERA L PERL IN DUN GA N H UT A N DA N KO N SERV A SI A L A M KEM EN T ERIA N KEH UT A N A N , DEPUT I BIDA N G PEN A A T A N H UKUM L IN GKUN GA N KEM EN T ERIA N L IN GKUN GA N H IDUP, DIREKT UR J EN DERA L PA J A K KEM EN T ERIA N KEUA N GA N , DIREKT UR J EN DERA L BEA CUKA I KEM EN T ERIA N KEUA N GA N , DIREKT UR J EN DERA L KEKA YA A N N EGA RA KEM EN T ERIA N KEUA N GA N , DA N WA KIL KEPA L A PUSA T PEL A PO RA N DA N A N A L ISIS T RA N SA KSI KEUA N GA N T EN T A N G PEDO M A N PEN A N GA N A N PERKA RA T IN DA K PIDA N A T ERKA IT SUM BER DA YA A L A M DA N L IN GKUN GA N H IDUP DI A T A S H UT A N DA N L A H A N GA M BUT DEN GA N PEN DEKA T A N M U LT I D O O R
3 0
3 1
BAB I KET EN T UA N UM UM Pasal 1 Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan: 1. Penanganan Perkara T indak Pidana T erkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di A tas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor adalah pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana yang dilakukan untuk menangani tindak pidana terkait Sumber Daya Alam dan L ingkungan H idup di atas hutan dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai rezim hukum antara lain lingkungan hidup, kehutanan, tata ruang, perkebunan, pertambangan, perpajakan, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 2. Tindak Pidana terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah tindak pidana yang meliputi tindak pidana kehutanan, tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tindak pidana perkebunan, tindak pidana pertambangan, tindak pidana penataan ruang, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan, dan tindak pidana kepabeanan yang dilakukan di atas hutan dan lahan gambut. 3 . Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di A tas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor adalah pedoman penanganan perkara tindak pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di atas hutan dan lahan gambut dengan pendekatan multidoor. 4. Pedoman Pengembangan Kapasitas A parat Penegak H ukum, yang selanjutnya disebut Pedoman Pengembangan Kapasitas adalah pedoman pengembangan kapasitas aparat penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup dengan pendekatan multidoor.
3 2
BAB II M A KSUD DA N T UJ UA N Pasal 2 (1) Peraturan Bersama ini dimaksudkan untuk: a. menyamakan pandangan hukum dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap dan menangani perkara-perkara tindak pidana terkait Sumber Daya Alam dan L ingkungan H idup; b. memberikan pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan koordinasi dan kerjasama dalam menangani tindak pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup. (2) Peraturan Bersama ini bertujuan untuk: a. mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana terkait Sumber Daya Alam dan L ingkungan H idup dengan menggunakan pendekatan multidoor ; b. membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap dan menangani perkara-perkara tindak pidana terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dan membantu pengembalian aset hasil tindak pidana secara efektif.
BAB III PEDO M A N PEN A N GA N A N PERKA RA T IN DA K PIDA N A T ERKA IT SDA -L H DI A T A S H UT A N DA N L A H A N GA M BUT DEN GA N PEN DEKA T A N M U LT I D O O R DA N PEDO M A N PEN GEM BA N GA N KA PA SIT A S Pasal 3 (1) Pedoman Penanganan Perkara T indak Pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup di A tas H utan dan L ahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 terdapat di dalam L ampiran I yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan Peraturan Bersama ini. (2) Pedoman Pengembangan Kapasitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 terdapat di dalam L ampiran II, yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan Peraturan Bersama ini. (3 ) Aparat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana terkait Sumber Daya A lam dan L ingkungan H idup wajib menerapkan, mendayagunakan, dan mematuhi Pedoman Penanganan Perkara SDA -L H sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3 3
BAB IV SO SIA L ISA SI Pasal 4 Sosialisasi pelaksanaan dan pendayagunaan Peraturan Bersama ini menjadi tanggung jawab masing-masing institusi yang terkait.
BAB V PEM BIA YA A N Pasal 5 Segala pembiayaan yang timbul dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pendayagunaan Pedoman maupun Pedoman Pengembangan Kapasitas yang terlampir dalam Peraturan Bersama ini menjadi tanggung jawab masing-masing institusi.
BAB V I KET EN T UA N PEN UT UP Pasal 6 (1) H al-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Bersama ini akan diatur lebih lanjut oleh pimpinan institusi terkait sesuai lingkup kewenangannya selama tidak bertentangan dengan Peraturan Bersama ini. (2) Peraturan Bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
3 4 Ditetapkan di : J akarta Pada T anggal : 20 M ei 20 13 Kepala Badan Reserse Kriminal Kepo lisian Negara Republik Indo nesia,
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indo nesia,
Ko mjen Po l Drs. Sutarman
Mahf ud Mannan, SH., MH
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indo nesia,
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Ko nserv asi Alam Kementerian Kehutanan Republik Indo nesia,
Dr. Ahmad Fuad Rahmany
Ir. So nny Parto no , MM
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indo nesia,
eputi idang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indo nesia,
Dr. Hadiyanto , SH., LL.M
Drs. Sudariyo no
W akil Kepala Pusat Pelapo ran Dan Analisis Transaksi Keuangan Republik Indo nesia,
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Republik Indo nesia,
Agus Santo so , SH., LL.M
Ir. Agung Kusw ando no , MA
3 5
LAMPIRAN
ii
iii
LAMPIRAN 1 Peraturan Bersama tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor
iv
v
Daftar Isi BAB I
BAB II
Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Tujuan dan Kegunaan Pedoman
1
Karakteristik Pendekatan Multidoor
2
Cara Menggunakan Pedoman
5
Koordinasi Penegakan Hukum Dalam Penegakan Multidoor
7
Umum
7
Pola Koordinasi
7
Pola Koordinasi Vertikal Pola Koordinasi Horizontal
7 9
Forum Komunikasi
14
Pemetaan Kebutuhan Informasi
15
Informasi Terkait Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
15
Informasi Terkait TPPU
15
Informasi Terkait Tindak Pidana Kebapeanan
16
Anggaran Pelaksanaan Kegiatan BAB III Tahap Penyelidikan Dan Penyidikan Tahap Penyelidikan
16 17 17
Pengelolaan Pengaduan/Temuan Tindak Pidana Terkait Tindak Pidana SDA-LH
17
Pelaksanaan Penyelidikan/Pemeriksaan
17
Tahap Penyidikan
28
Umum
28
Khusus
28
Persiapan Penyidikan
29
Pengiriman SPDP
29
Pelaksanaan Penyidikan
29
Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Khusus Penyidik PPNS Pajak)
39
Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan
40
Teknik Membangun Bukti (Strategi dan Taktiknya)
40
Hasil Penyidikan dan Pemberkasan
41
vi BAB IV Tahap Penuntutan Pra Penuntutan
43 43
Penerimaan SPDP
43
Koordinasi Penanganan Perkara
43
Koordinasi Dengan Penyidik
43
Koordinasi Dengan Ahli
45
Penelitian Berkas Perkara
45
Gelar Perkara atau Ekspose
45
Penuntutan
46
Penunjukan Penuntut Umum
46
Penerimaan Tersangka dan Barang Bukti
46
Penggabungan dan Pemisahan Perkara
46
Permohonan Penitipan/Pinjam Pakai Benda Sitaan/Barang Bukti oleh Tersangka/Terdakwa atau Pihak Ketiga Berkepentingan
48
Penyitaan
48
Penyusunan Surat Dakwaan
49
Pelimpahan Perkara ke Pengadilan
53
Upaya Hukum
58
Pelaksanaan Putusan
58
Lelang Barang Sitaan Dan Barang Rampasan
59
Lelang Eksekusi Pemanfaatan Barang Rampasan Daftar Istilah
59 60 63
Lampiran A – Ilustrasi Penerapan Multidoor Pada Kegiatan Perkebunan di Hutan dan Lahan Gambut
67
Lampiran B – Ilustrasi Penerapan Multidoor Pada Kegiatan Pertambangan di Hutan dan Lahan Gambut
71
Lampiran C – Format Tata Cara Pertukaran Infomasi
75
Lampiran D – Format Berita Acara Koordinasi
79
1
BAB I PENDAHULUAN A . Latar Belakang Pada dasarnya pelaksanaan penanganan perkara pidana telah diatur dalam berbagai peraturan, baik ditingkatan Undang-Undang (seperti KUHAP) dan petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis yang ada dan berlaku dalam lingkungan institusi penegak hukum. Namun demikian, belum terdapat panduan khusus pola koordinasi dan teknis penanganan perkara bagi penanganan perkara dengan pendekatan multidoor. Pengertian pendekatan multidoor adalah Pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain L ingkungan Hidup, Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan, Pertambangan, Perpajakan, Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan efek jera terhadap pelaku intelektual tindak pidana terkait SDA-LH, mencegah potensi dilakukannya tindak pidana terkait SDALH, mengembalikan aset negara dan keuntungan yang didapat dari kejahatan yang dilakukan. O leh karenanya, perlu disusun suatu pedoman bagi aparat penegak hukum yang relevan dalam penanganan perkara dengan pendekatan multidoor untuk melakukan koordinasi dan teknis penanganan perkaranya.
B. Tujuan dan Kegunaan Pedo man Pedoman ini disusun untuk mengoptimalkan penggunaan pendekatan multidoor dalam penanganan tindak pidana terkait SDA-LH yang bertujuan untuk: 1.
menciptakan kesatuan kebijakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam penanganan perkara tindak pidana terkait pengelolaan SDA-LH dengan pendekatan multidoor;
2.
menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkaraperkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya dengan memperhatikan faktor kasuistik pada setiap perkara pidana;
3 .
menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan di bidang SDA-LH karena terbatasnya jangkauan suatu peraturan perundangan;
4.
menimbulkan efek jera terhadap pelaku intelektual dalam kejahatan yang terorganisir yang pada akhirnya akan memberikan efek pada penguatan pola pencegahan dan daya tangkal dalam dalam kejahatan SDA-LH;
2 5 .
menumbuh kembangkan sistem penegakan hukum terpadu yang menjunjung tinggi rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat;
6.
mendorong penggunaan ketentuan-ketentuan pidana terkait pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara dan pemulihan lingkungan sehingga menimbulkan efek jera;
7.
memudahkan proses kerja sama internasional khususnya dalam pengejaran aset, tersangka dan kerja sama pidana lainnya dengan pemanfaatan ketentuan pidana tertentu;
8.
memaksimalkan proses pengembalian kerugian negara termasuk dari sektor pajak.
C. Karakteristik Pendekatan Multidoor Pendekatan multidoor adalah pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/ gabungan tindak pidana terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain Lingkungan Hidup, Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan, Pertambangan, Perpajakan, Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang. Dalam pendekatan multidoor, berbagai penegak hukum secara sinergis menerapkan berbagai undang-undang terkait. Pendekatan multidoor diperlukan mengingat kegiatan-kegiatan ilegal di atas hutan, misalnya melalui tindakan pembalakan liar atau pembakaran hutan, terjadi karena beragam motif. Apakah itu untuk mendapatkan manfaat dari kayu yang diperoleh atau mendapatkan lahan untuk kegiatan lain seperti perkebunan atau pertambangan. Tujuan akhirnya tentu adalah mendapatkan keuntungan finansial melalui cara-cara ilegal. Kerugian yang timbul dari praktek-praktek tersebut sangat besar, baik kerugian terhadap lingkungan hidup, sosial (karena timbulnya kon ik lahan), maupun kerugian terhadap keuangan negara (antara lain karena hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak). Praktek yang sama terjadi di lahan gambut. Selain itu kejahatan-kejahatan tersebut umumnya terjadi karena adanya praktek kolutif antara pelaku dengan oknum-oknum pemerintahan, khususnya yang memiliki kewenangan di bidang perizinan atau pengawasan/ penegakan hukum. Pendeknya, kejahatan di sektor kehutanan dan sumber daya alam merupakan kejahatan lintas sektor. O leh karena itu, diperlukan pendekatan multi rezim hukum (multidoor) untuk menghilangkan insentif bagi terjadinya kejahatan, memastikan pelaku dapat terjerat dan memperoleh hukuman yang setimpal serta memulihkan kerugian ekologis dan ekonomis yang timbul dari kejahatan tersebut. Beberapa kriteria perkara yang perlu dipertimbangkan dan diprioritaskan dalam penerapan multidoor adalah sebagai berikut:
3 1. terdapat indikasi penyimpangan dalam proses pemberian izin. M isal: pemberian izin usaha perkebunan tanpa AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) dan/atau Izin L ingkungan; 2. terdapat indikasi usaha dan/ atau kegiatan dilakukan di luar izin atau tanpa izin. M isal: Perusahaan tambang melakukan kegiatan pertambangan di luar konsesi izin usaha pertambangannya; 3 . terdapat indikasi tindak pidana dilakukan di daerah dengan fungsi konservasi dan/atau fungsi lindung dan/atau berada pada lahan gambut dalam atau terdapat pembakaran lahan/ kawasan. M isal: perusahaan perkebunan melakukan pembakaran lahan di atas wilayah gambut dalam; dan 4. terdapat indikasi hilangnya potensi penerimaan negara dan/ atau kerugian pada pendapatan negara. M isal: Perusahaan melakukan land clearing tanpa membayar Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi (PSDH-DR) padahal terdapat tegakan atau tidak membayar pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa manfaat yang diperoleh dalam penggunaan pendekatan multidoor antara lain: 1. menghindari pelaku kejahatan di bidang SDA-LH lolos karena terbatasnya jangkauan suatu peraturan perundangan; 2. membuat jera para pelaku tindak pidana khususnya pelaku yang menjadi otak dari suatu kejahatan yang terorganisir, sehingga mampu menimbulkan dampak pencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya; 3 . mendorong pertanggungjawaban yang lebih komprehensif termasuk pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara dan pemulihan lingkungan sehingga menimbulkan efek jera; 4. memudahkan proses kejasama internasional khususnya dalam pengejaran aset, tersangka dan kerja sama pidana lainnya; dan 5 . memaksimalkan proses pengembalian kerugian negara termasuk dari sektor pajak. Karakter penanganan perkara dengan pendekatan multidoor adalah: 1. mendayagunakan secara optimal berbagai peraturan perundangundangan yang mendalilkan sanksi pidana atas rangkaian kejahatan yang dilakukan diatas kawasan hutan dan lahan gambut; 2. optimalisasi tugas pokok dan fungsi aparat penegak hukum yang terkait dalam penanganan perkara tindak pidana dalam pengelolaan SDA-LH, yaitu Polisi, PPNS dan penuntut umum serta lembaga penegak hukum
4 lain yang relevan seperti PPATK dengan pola dan mekanisme koordinasi yang dapat berfungsi secara operasional; 3 . memastikan terjadinya restorasi hutan dan kembalinya seluruh aset negara serta keuntungan yang didapat dari kejahatan yang dilakukan; 4. kemampuan untuk menimbulkan efek jera; 5 . mampu mengoptimalkan peran penegak hukum yang terkait dengan penanganan kejahatan di kawasan hutan dalam suatu kesatuan kerja yang terkoordinasi. Peraturan perundang-undangan yang relevan dan perlu diperhatikan penggunaannya sesuai dengan modus kejahatan di kawasan hutan dan lahan gambut maupun kejahatan yang terkait dengannya, antara lain: 1. UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 16 tahun 2009; 2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 3 . UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006; 4. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001; 5 . UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 6. UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 7. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 8. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 9. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan 10 .UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan pendekatan multidoor maka berbagai perangkat penegakan hukum seperti PPNS Lingkungan Hidup, PPNS Kehutanan, PPNS Pajak, PPNS Bea Cukai, PPNS Penataan Ruang, PPNS Perkebunan, termasuk lembaga lain misalnya PPATK juga secara otomatis akan terlibat. Oleh karena itu, dalam Pedoman ini akan diuraikan juga pola dan mekanisme koordinasi antara berbagai instansi dimaksud.
5
D. Cara Menggunakan Pedo man Secara umum, aturan prosedural penanganan perkara dilakukan berdasarkan KUHAP beserta peraturan perundang-undangan lainya serta berbagai petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis yang berlaku pada lingkungan institusi penegakan hukum di tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pedoman ini bersifat melengkapi berbagai peraturan dimaksud sehingga harus dibaca dalam hubungannya dengan berbagai auran yang telah ada. Pedoman ini dimaksudkan untuk mengatasi kendala dan persoalan di tataran teknis maupun substansi dalam penanganan perkara dengan pendekatan multidoor.
6
7
BAB II KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM DALAM PENDEKATAN MULTIDOOR A. Umum Pada tahap penyelidikan/penyidikan KUHAP secara umum mengatur bahwa Korwas PPNS Bareskrim Polri memiliki mandat untuk mengoordinasikan PPNS. Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki ketentuan khusus tentang koordinasi penyidikan, seperti UU PPLH dan UU Kepabeanan, memberikan pengaturan khusus dimana PPNS dalam proses penyidikan dapat berkoordinasi secara langsung kepada penuntut umum dengan tidak menghapuskan kedudukan Korwas PPNS Bareskrim Polri sebagai simpul koordinasi. Dalam konteks pendekatan multidoor setiap institusi penegak hukum dapat menginisiasi proses koordinasi antar penyidik apabila suatu perkara dinilai memiliki dimensi multidoor. Koordinasi dapat dilakukan sedini mungkin dengan tetap menghormati fungsi kewenangan dan integritas masingmasing penegak hukum serta tidak bertentangan dengan hukum acara pidana sebelum dimulainya penyidikan atau selama proses penyidikan berlangsung. Selanjutnya Kejaksaan telah menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung1 yang pada intinya mengharuskan penuntut umum untuk melakukan koordinasi dengan penyidik sejak awal penerbitan SPDP melalui orum Koordinasi dan dituangkan dalam Berita Acara Pelaksanaan Koordinasi. Berdasarkan hasil koordinasi, Jaksa dapat menginisiasi pengembangan perkara dengan melibatkan penyidik lain yang terkait.
B.
Po la ko o rdinasi Pola koordinasi dalam penanganan perkara dengan pendekatan multidoor dilakukan melalui 2 (dua) pola koordinasi yaitu pola koordinasi vertikal dan pola koordinasi horizontal. 1 . Pola Koordinasi ertikal Dalam praktek selama ini, pola koordinasi vertikal yang telah dilakukan adalah melalui mekanisme Rapat Koordinasi Aparat Penegak Hukum (Rakor Apgakum) yang dihadiri oleh Penyidik Polri, PPNS dan penuntut umum dari level penegak hukum yang menangani perkara serta pimpinan yang dapat mengambil kebijakan dalam pelaksananaan penanganan
1
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/A/JA/02/2009.
8 perkara tersebut. Dalam Rakor Apgakum dikoordinasikan tindak pidana terkait SDA-LH yang berasal dari temuan di lapangan, pengaduan masyarakat dan/ atau laporan aparat penegak hukum. Rakor Apgakum dapat dilakukan melalui dua kegiatan: a.
oord yang dilakukan bersama dengan aparat penegak hukum. Rakor Pengawasan dilakukan untuk membahas perkembangan penanganan seluruh perkara yang ada. Dalam praktek, Rakor Pengawasan dilakukan sebagai berikut: 1) Temuan masuk sebagai bahan pembahasan kasus. Temuan tersebut berasal dari pengaduan masyarakat yang masuk, kasus prioritas SDA-LH di atas hutan dan gambut temuan dari tim gabungan (misalnya: dari Pokja Kementerian Kehutanan) dan temuan internal aparat penegak hukum. 2) Temuan tersebut dibahas bersama dalam forum yang menghadirkan seluruh apgakum setingkat direktur untuk menentukan kasus yang ditangani berdasarkan skala prioritas sebagaimana disebutkan pada Bab I). Pada orum ini juga disepakati pembagian tanggung jawab untuk masing-masing kasus yang menjadi prioritas serta jangka waktu penanganannya. 3) Penyidik Polisi dan PPNS yang telah dilimpahkan tanggung jawab melakukan investigasi lapangan serta mengumpulkan bahan dan keterangan. 4) Hasil investigasi kemudian diolah dan dilaporkan dalam Rakor Apgakum tingkat direktur untuk mendapatkan arahan tindak lanjut. Pada Rakor ini juga ditetapkan peningkatan menjadi penyelidikan atau penyidikan pada kasus-kasus yang mempunyai cukup bukti. Dalam Rakor Apgakum, penuntut umum memberikan arahan-arahan yang diperlukan untuk mempercepat proses penanganan kasus. 5) Proses penyelidikan dan penyidikan kembali dilakukan di lapangan. Dalam melaksanakan lidik dan sidik penyidik rapat-rapat informal antar penyidik dan penuntut umum dapat dilakukan untuk mempercepat proses penanganan perkara sebagaimana dimaksud dalam SEJA Nomor SE-004/A/JA/02/2009. 6) Rapat pembahasan bersama tingkat pimpinan (eselon 1/2) diadakan secara rutin untuk memantau perkembangan penanganan kasus, memberikan dukungan teknis bila diperlukan dan memfasilitasi komunikasi dengan penuntut umum serta ahli.
9 b.
or yang membahas perkara-perkara tertentu saja. Rakor Teknis dilakukan untuk membahas perkara-perkara yang membutuhkan penanganan prioritas atau segera. Rakor Teknis pembahasan tingkat direktur atau deputi per kasus dilakukan bila terdapat kendala yang perlu diselesaikan dan/ atau karena dilampauinya jangka waktu sesuai tahapan yang sudah dijadwalkan di rapat pertama. Rakor Teknis ini dilakukan dengan melibatkan instansi terkait dalam penanganan perkara sebagai tindak lanjut dari Rakor Apgakum sebelumnya. Bagan 1 .
Koordinasi ertikal Penanganan Perkara engan Pendekatan Multidoor
2 . Po la Ko o rdinasi Ho riz o ntal Pola koordinasi horizontal dilakukan antar PPNS, PPNS dengan Penyidik Polri, Polri/PPNS dengan penuntut umum, Polri dengan K/L, yang dilakukan dalam hal: a. Antara PPNS dengan PPNS yang lain: 1) Pada saat temuan lapangan atau hasil penyelidikan atau hasil analisis atas laporan masyarakat/ aparat penegak hukum yang dilakukan oleh salah satu PPNS ditemukan adanya tindak pidana SDA-LH yang menyangkut kewenangan PPNS lainnya. Sedapat mungkin PPNS tersebut segera melakukan koordinasi dengan Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS agar dilakukan pertemuan dengan PPNS terkait dan Penyidik Polri.
10 2) Korwas PPNS setelah menerima informasi dari PPNS tersebut segera mengundang PPNS terkait dan Penyidik Polri untuk melakukan pertemuan pembahasan bersama mengenai penanganan perkara tersebut sekaligus pembagian tugas dan pola kerjasamanya. 3) Selanjutnya masing-masing PPNS melakukan penyidikan sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya dan selalu menyampaikan laporan kemajuan (progress report) melalui Rakor Apgakum. 4) Rapat koordinasi tersebut dapat melibatkan PPATK apabila terdapat indikasi TPPU dalam perkara yang ditangani. Bagi PPNS yang diberikan wewenang khusus dalam penyidikan oleh UU, seperti PPNS LH dan PPNS Bea Cukai, maka: 1) Pada saat temuan lapangan atau hasil penyelidikan atau hasil analisis atas laporan masyarakat/ aparat penegak hukum yang dilakukan oleh salah satu PPNS ditemukan adanya tindak pidana SDA-LH yang menyangkut kewenangan PPNS lainnya, sedapat mungkin PPNS tersebut segera melakukan koordinasi dengan PPNS terkait serta melakukan pertemuan dengan Korwas PPNS, Penyidik Polri, dan penuntut umum untuk melakukan pembahasan bersama mengenai perkara sekaligus pembagian tugas dan pola kerjasamanya. 2) Selanjutnya masing-masing PPNS melakukan penyidikan sesuai bidang tugas dan wewenangnya serta selama pelaksanaan penyidikan dapat menginisiasi (melakukan) Rakor Apgakum agar terjalin sinergi penyidikan dengan pendekatan multidoor. 3) A pabila dalam proses penyidikan tersebut terdapat indikasi TPPU dalam perkara yang ditanganinya maka penyidik dapat melibatkan PPATK untuk mendapatkan bantuan teknis maupun informasi mengenai unsur pencucian uang-nya. Khusus untuk PPNS Bea Cukai dapat meminta informasi secara langsung kepada PPATK dengan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 2 UU TPPU Khusus dalam konteks tindak pidana di bidang perpajakan, koordinasi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Untuk mendapatkan bukti tentang dugaan tindak pidana lain, PPNS pajak dapat berbagi data dengan penyidik lain terkait pembukuan atau transaksi Tersangka/Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
11 2) Dalam kaitannya dengan pendekatan multidoor maka koordinasi dilakukan dengan aparat penegak hukum terkait lainnya dan PPATK terkait penanganan tindak pidana terkait SDA-LH. b. Ko o rdinasi Internal Kepo lisian: Mengingat penanganan perkara SDA-LH dengan pendekatan multidoor berpotensi menyangkut/ melibatkan kewenangan lebih dari satu unsur/bagian penyidik Polri (misalnya: Direktorat Tipiter dengan Penyidik dari Direktorat Ekonomi Khusus, dan lain sebagainya di Kepolisian) maka apabila diperlukan POLRI dapat membentuk Tim Gabungan yang terdiri atas unsur-unsur terkait. c. Penyidik Po lri dengan K/ L: A pabila hasil penyelidikan menunjukan terdapat lebih dari satu perbuatan pidana, maka segera dilakukan koordinasi dan pembagian tugas antar penyidik sebagai berikut: 1) Jika dalam penyelidikan/penyidikan tindak pidana terkait SDALH ditemukan adanya tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik Polri dalam tindak pidana terkait SDA-LH melakukan koordinasi dan selanjutnya menyerahkan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan kepada PPNS Pajak, sedangkan yang berkaitan dengan tindak pidana kepabeanan dikoordinasikan dan diserahkan kepada PPNS Bea Cukai. 2) Jika dalam penyelidikan/penyidikan tindak pidana terkait SDALH ditemukan adanya unsur TPPU, maka Penyidik Polri dalam tindak pidana terkait SDA-LH tersebut segera mengirimkan surat permohonan untuk memperoleh laporan hasil analisis transaksi keuangan tersangka kepada PPATK. Sedangkan apabila PPATK yang menemukan terlebih dahulu adanya unsur TPPU pada tindak pidana terkait SDA-LH maka PPATK segera menyerahkan hasil pemeriksaan kepada penyidik tindak pidana asal untuk dilakukan penyidikan.2 3) Koordinasi antara Penyidik Polri, PPNS dan K/L terkait termasuk dalam hal pemberian bantuan dan dukungan teknis, antara lain:3 a) POLRI wajib memberikan bantuan kepada PPNS berdasarkan permintaan antara lain berupa pemeriksaan laboratorium 2
Pasal 90 UU TPPU.
3
Sesuai dengan pengaturan pada PERKAP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan PPNS dan PERKAP Nomor 20 Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan Bagi PPNS.
12 forensik, identifikasi dan psikologi pemeriksaan, personil penyidik, peralatan, upaya paksa, penitipan tahanan, dan/ atau pengamanan. b) K/L wajib memberikan bantuan kepada Penyidik Polri/ PPNS berdasarkan permintaan antara lain berupa: personil penyidik, ahli, dan/atau fasilitas yang dibutuhkan dalam rangka penyidikan, seperti: laboratorium teknik; data teknis dan/atau fasilitas yang dibutuhkan dalam rangka penyidikan, Contoh: Kementerian ESDM. BPN, Direktorat Perkebunan (Kementerian Pertanian), Kementerian PU, DJKN (Kementerian Keuangan) dan Pemda; bantuan pengukuran dan identifikasi jenis kayu hasil penindakan yang dilakukan oleh Unit Pengawasan DJBC karena diduga terjadi pelanggaran di bidang kepabeanan; bantuan/akses penelusuran asal-usul kayu baik dari sisi verifikasi legalitas dan indikator geografisnya, termasuk data dan informasi terhadap eksportasi kayu yang melanggar ketentuan pidana di bidang kepabeanan; bantuan keterangan dari instasi teknis terkait pengelolaan hasil hutan dan hasil kekayaan lain sebagai ahli dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan; dan bantuan lain yang relevan yang dapat difasilitasi oleh PPNS terkait. d. Antara Penyidik dengan Penuntut Umum: Dalam penyidikan dengan pendekatan multidoor SPDP disampaikan oleh Penyidik Polri dan PPNS yang terkait kepada penuntut umum dengan tembusan/melalui penyidik Polri. Segera setelah menerima SPDP, Jaksa P-16 (Jaksa Peneliti) dapat secara aktif melakukan koordinasi guna memastikan pola penanganan perkaranya sesuai dengan prosedur dengan pendekatan multidoor. Penuntut umum yang telah ditunjuk didorong untuk melakukan koordinasi secara aktif dengan membangun komunikasi intensif dan secara langsung mengikuti setiap tahap penyidikan dengan seksama dengan memberikan konsultasi dan petunjuk teknis tentang syarat formil maupun syarat materiil berkas perkara untuk memudahkan penyusunan dakwaan dan pembuktian di pengadilan.
13 Dalam konteks pendekatan multidoor, apabila dalam penerimaan SPDP ditemukan fakta bahwa perkara yang disidik ternyata memiliki keterkaitan dengan tindak pidana lain yang sedang berjalan proses penyidikannya oleh penyidik lain, maka Jaksa P-16 harus mengarahkan/memberi petunjuk kepada masing-masing penyidik baik Penyidik Polri maupun PPNS untuk bekerjasama dalam penyidikan. Koordinasi aktif yang dilakukan oleh penuntut umum dengan penyidik/PPNS bertujuan untuk menyelaraskan waktu penyidikan dan substansi penyidikan yang dilakukan oleh penyidik/PPNS. Secara teknis, koordinasi dengan antara penuntut umum dengan penyidik/PPNS dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Koordinasi dengan penyidik dilakukan sedini mungkin sebelum dilakukan pemberkasan. 2) Koordinasi dilakukan dengan memberikan konsultasi dan/atau petunjuk teknis tentang syarat formil berkas perkara maupun syarat materiil menyangkut penerapan hukum, unsur-unsur delik, pertanggungjawaban pidana serta hal-hal lain yang diperlukan. 3) Koordinasi akan menjadi bahan rujukan dalam penelitian berkas perkara atau kebijakan hukum lain terkait dengan penanganan perkara. 4) Koordinasi dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, perkembangan hukum, rasa keadilan masyarakat dan hati nurani. 5) Pelaksanan koordinasi dituangkan dalam Berita Acara. 6) Penuntut umum bertanggungjawab terhadap pelaksanaan koordinasi penanganan perkara. Koordinasi dengan penuntut umum dapat dilakukan sedini mungkin untuk mempercepat proses penanganan perkara. Koordinasi dapat dilakukan sejak mulai proses penyelidikan dalam bentuk antara lain asistensi dan konsultasi dalam penerapan konstruksi hukum. e. Ko o rdinasi Internal Kejaksaan: Mengingat penanganan perkara terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor berpotensi menyangkut/ melibatkan penuntut umum dari berbagai bidang, setidaknya JAMPIDUM dan JAMPIDSUS, maka sebaiknya dibuat Tim Gabungan dari unsur-unsur tersebut dan/ atau dibuat aturan khusus berupa Juklak/Juknis untuk memudahkan koordinasi penanganan perkaranya.
14 Bagan 2 . Ko o rdinasi Ho riz o ntal Penanganan Perkara Dengan Pendekatan Multidoor
C.
Fo rum Ko munikasi Dalam rangka mengimplementasikan Nota Kesepahaman tentang Peningkatan Kerjasama Penegakan Hukum Untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan Dalam Rangka Pelaksanaan REDD+, dibentuk orum Komunikasi yang akan mendorong efektifitas koordinasi penanganan tindak pidana terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor. orum ini menjadi tempat bagi para penyidik dan PPNS untuk saling bertukar informasi, dan membahas hal-hal terkait dengan penyidikan tindak pidana terkait SDA-LH baik menyangkut hal teknis maupun terkait pengumpulan bukti. Dalam orum Komunikasi dianalisis keterkaitan masing-masing tindak pidana terkait SDA-LH serta langkah-langkah penyidikan bersama, termasuk melakukan pertukaran informasi antara aparat penegak hukum terkait dan PPATK. Setiap institusi didorong untuk menginisiasikan orum Komunikasi untuk mengoptimalkan koordinasi dan konsultasi dalam rangka penanganan tindak pidana terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor.
15 orum Komunikasi di tingkat pusat dapat diadakan berdasarkan kebutuhan penanganan perkara dan/atau secara periodik setidak-tidaknya setiap 3 bulan sedangkan untuk tingkat daerah (Polda/Polres) dapat disesuaikan dengan kebutuhan penanganan perkara. orum Komunikasi ini dalam prakteknya diwujudkan melalui Rapat Koordinasi Aparat Penegak Hukum (Rakor Apgakum) sebagaimana dimaksud dalam Sub Bab Pola Koordinasi di atas.
D.
Pemetaan Kebutuhan Inf o rmasi 1 . Inf o rmasi terkait Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan, setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.4 Data dan informasi tersebut disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan, Data dan informasi tersebut berupa: a. data dan informasi yang berkaitan dengan kekayaan atau harta yang dimiliki orang pribadi atau badan; b. data dan informasi yang berkaitan dengan utang yang dimiliki orang pribadi atau badan; c. data dan informasi yang berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh atau diterima orang pribadi atau badan; d. data dan informasi yang berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan dan/ atau yang menjadi beban orang pribadi atau badan; e. data dan informasi yang berkaitan dengan transaksi keuangan; dan f.
data dan informasi yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi orang pribadi atau badan.
2 . Inf o rmasi Terkait TPPU Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan TPPU, PPATK dapat melakukan kerjasama pertukaran informasi berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak, baik dalam lingkup nasional maupun internasional yang meliputi:5
4
Pasal 35A ayat (1) UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
5
Pasal 90 UU TPPU
16 a. instansi penegak hukum; b. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan; c. lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; d. lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU atau tindak pidana lain terkait dengan TPPU; dan e. financial intelligence unit negara lain. Permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dalam pertukaran informasi tersebut di atas, dapat dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan pihak yang dapat meminta informasi kepada PPATK. Mengenai format permintaan informasi dari lembaga atau dari aparat penegak hukum ke PPATK dapat mengacu kepada lampiran I. Bentuk pertukaran informasi dapat berupa: a. pemberian Informasi (outgoing e change) atas dasar inisiatif PPATK (spontaneous) ataupun atas dasar permintaan pihak lain (re uest); dan b. penerimaan Informasi (incoming e change) atas dasar permintaan PPATK (re uest) ataupun atas dasar inisiatif pihak lain (spontaneous). 3 . Inf o rmasi terkait Tindak Pidana Kepabeanan Untuk memaksimalkan tugas penegakan hukum guna meminimalkan terjadinya penyelundupan hasil kekayaan alam Indonesia, DJBC memerlukan bantuan, data dan/atau informasi dari instansi lain berupa: a. data dan informasi dari instansi penegak hukum lainnya yang dapat membantu analisis informasi/intelijen oleh Unit Pengawasan DJBC untuk melakukan penindakan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan; dan b. regulasi mengenai pengelolaan hasil hutan dan hasil kekayaan alam lain untuk memperkaya pengatahuan Unit Pengawasan DJBC dalam mengantisipasi modus pelanggaran di bidang kepabeanan.
E.
Anggaran Pelaksanaan Kegiatan Anggaran kegiatan sebagaimana tertuang di setiap tahapan kegiatan dalam pedoman ini, termasuk namun tidak terbatas pada pelaksanaan koordinasi penanganan perkara, dibebankan kepada DIPA masing-masing instansi.
17
BAB III TAHAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN A. Tahap Penyelidikan Penyelidikan dengan pendekatan multidoor, menekankan kepada pentingnya mencari dan menemukan peristiwa pidana yang terkait dengan pelanggaran dan kejahatan di bidang SDA-LH serta keterkaitan dengan tindak pidana lainnya yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), perpajakan, maupun korupsi. 1 .
Pengelo laan Pengaduan/ Temuan Tindak Pidana terkait SDA- LH Pada dasarnya penyelidikan suatu tindak pidana berawal dari pengaduan/ laporan masyarakat dan/ atau temuan dari aparat penegak hukum. M engingat laporan/ pengaduan masyarakat dan/ atau temuan itu tidak selalu merupakan perbuatan pidana, maka perlu dilakukan telaahan atas laporan pengaduan/ temuan yaitu antara lain:
2 .
a.
klarifikasi dan verifikasi atas pengaduan dan/atau temuan;
b.
pengumpulan bahan keterangan;
c.
klasifikasi pengaduan/temuan berdasarkan tindak pidana terkait SDA-LH;
d.
penyusunan hasil telaahan dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan; dan
e.
laporan pengaduan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil yang disertai bukti-bukti yang relevan diprioritaskan untuk ditidaklanjuti dalam proses penyidikan.
Pelaksanaan Penyelidikan/ Pemeriksaan 1 .1 . Pada tahap persiapan penyelidikan kegiatan yang dilakukan antara lain; a. membuat produk tertulis berupa Laporan Informasi tentang adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana terkait SDA-LH; b. membuat kelengkapan administrasi untuk mendukung kegiatan yang akan dilakukan (Sprin Lidik/Sidik); c. melakukan rapat koordinasi dengan aparat penegak hukum terkait termasuk PPNS yang terkait, penuntut umum dan PPATK, untuk mengefekti an kegiatan penyelidikan, tindak pidana terkait SDA-LH;
18 d. mempersiapkan surat permohonan ahli yang diperlukan serta koordinasi dengan ahli dimaksud; e. menyusun/ menyiapkan jumlah kekuatan Personil, membuat RAB, Sarana Prasarana, Alut/Alsus (antara lain alat perekam, GPS, kamera, dan lain sebagainya); f.
melakukan diskusi antar anggota tim untuk menentukan langkah-langkah penyelidikan yang akan dilakukan;
g. membuat Rencana Penyelidikan; dan h. mempelajari dokumen-dokumen, dasar hukum dan prosedur yang berlaku, antara lain: 1) dasar hukum Tindak Pidana Kehutanan, LH, Perkebunan, Pertambangan, Tata Ruang, Konservasi dan Mekanisme Penggunaanya; 2) dasar hukum TPPU, Perpajakan dan mekanisme penggunaanya terkait pelaku kejahatan dibidang SDA-LH; 3) dasar hukum untuk penegakan hukum administrasi, penegakan hukum perdata dan mekanisme penggunaannya; dan 4) peraturan terkait persyaratan dan prosedur perizinan (Izin Usaha Perkebunan/Pertambangan, Izin Lingkungan dan lain sebagainya). 1 .2 . Penentuan sasaran pen elidikan pemeriksaan meliputi 1.2.1. Do kumen/ data Dokumen yang dimaksudkan di sini terkait dengan dokumen yang relevan dengan tindak pidana terkait SDALH yang disesuaikan dengan pasal yang dipersangkakan. Sumber dokumen dapat berasal dari instansi pemerintah yang relevan maupun dari perusahaan. Selain dokumen yang sudah menjadi standar dalam penyelidikan/ pemeriksaan juga perlu dicari dan dikumpulkan beberapa dokumen lainnya yang relevan dengan konteks perkara yang sedang ditangani dalam mendukung pemeriksaan / pembuktian penanganan perkara SDA-LH dengan pendekatan multidoor antara lain:
6
1)
Izin Usaha Perkebunan (IUP);
2)
Izin Lingkungan (UKL-UPL atau AMDAL)6 dan/ atau
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
19 A udit L ingkungan yang diwajibkan; 3)
Rekomendasi gubernur/bupati/walikota;
4)
Pertimbangan teknis;
5)
Izin lokasi;
6)
Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan apabila terkait dengan kehutanan;
7)
Permohonan IUP beserta rekening perusahaan yang wajib dilampirkan (3 tahun);
8)
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi;
9)
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi;
10) Izin Usaha Pertambangan Khusus; 11) Izin Pertambangan Rakyat; 12) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Kementerian Kehutanan apabila berada dalam kawasan hutan; 13) Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP); 14) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK); 15) Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); 16) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; 17) Rekomendasi gubernur/bupati/walikota; 18) Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan); 19) Permohonan pelepasan kawasan hutan; 20) Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan; 21) SK Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan; 22) Berita Acara Tata Batas (BATB) dan Peta Tata Batas (PTB); 23) Pertimbangan teknis dan hasil survey mikro dari BPKH; 24) Persetujuan prinsip usaha perkebunan/ rekomendasi gubernur/bupati/walikota; 25) Permohonan HGU; 26) Sertifikat HGU;
20 27) Laporan pemeriksaan panitia; 28) Hasil pengukuran kadastral dan peta bidang tanah; 29) RTRWN, RTR Pulau, RTRWP, RTRWK, Rencana rinci, beserta petanya; 30) TGHK beserta petanya; 31) SK Penunjukan dan/atau Penetapan Kawasan Hutan; dan 32) Sejarah kawasan; Selain itu, seyogyanya juga dicari dan dikumpulkan beberapa data penting lainnya antara lain: a.
Data Perusahaan meliputi antara lain: 1) akta pendirian perusahaan; 2) anggaran dasar perusahaan; 3) struktur perusahaan; 4) laporan keuangan; 5) izin yang diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM; dan 6) dokumen lain yang relevan.
b.
Data Perpajakan meliputi antara lain: 1) laporan Keuangan; 2) pembukuan perusahaan; 3) dokumen ekspor-impor (misal pemberitahuan impor barang atau pemberitahuan ekspor barang, invoice, L C, surat pengeluaran barang dari gudang, surat pengapalan, kontrak jual beli, SKSHH, uality control (dari tambang); 4) faktur pajak, rekening koran, NPWP dan SPT; dan 5) dokumen lain yang relevan.
c.
Data TPPU meliputi antara lain: 1) slip voucher transaksi; 2) slip mutasi, kwitansi-kwitansi;
21 3) identitas pihak yang terindikasi terkait (pada tahap penyidikan: minta LHA dari PPATK dengan menyebutkan nama, tanggal lahir, apabila ada periode transaksi, bisa minta cek rekening di luar negeri); 4) bukti setoran PSDH/DR; dan 5) dokumen lain yang relevan. d.
Data Bea Cukai meliputi antara lain: 1) laporan keuangan dan pembukuan yang terdapat kaitannya dengan aktivitas ekspor impor; 2) dokumen ekspor-impor yang dimiliki perusahaan seperti delivery order shipping instruction dan surat jalan; 3) dokumen ekspor-impor yang dimiliki agen pelayaran/ or arder seperti delivery order shipping instruction dan surat jalan; 4) laporan pajak perusahaan (SPT); 5) kontrak pembelian/ penjualan; dan 6) dokumen yang dapat digunakan untuk menguji keabsahan dokumen pengangkutan hasil hutan seperti Surat Keterangan sah Kayu Bulat (SKSKB), aktur Angkutan Kayu Bulat ( A-KB), aktur Angkutan Kayu Olahan ( AKO).
1.2.2. Orang Dalam konteks penyelidikan tindak pidana terkait SDA-LH, orang (perorangan ataupun korporasi) yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang (baik secara fungsional maupun secara langsung) melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan tindak pidana terkait SDA-LH atau mereka yang terkait dengan tindak pidana tersebut, termasuk pejabat yang menerbitkan izin.
22 1.2.3 . Ko rpo rasi Sifat delik dalam tindak pidana korporasi adalah delik f ungsio nal.7 ang perlu diperhatikan dan dianalisis dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi antara lain adalah: a. A pakah badan hukum sebagai subyek dari norma hukum. b. Apakah badan hukum yang bersangkutan (misal manajemen) memiliki po er” terhadap perilaku orang-orang yang terdapat di dalam badan hukum tersebut (termasuk po er terhadap perilaku pelaku fisik). c. Apakah badan hukum yang bersangkutan (misal manajemen) dapat dikatakan menerima atau cenderung menerima perilaku menyimpang yang didakwakan. d. Apabila manajemen telah mengetahui tindak pidana yang telah dilakukan, apakah manajemen memiliki kewenangan (po er) untuk menghentikan tindakan pelaku fisik tersebut. e. A pabila manajemen memiliki po er namun tidak melakukan maka badan hukum tersebut dapat dikategorikan melakukan tindak pidana korporasi. f. Apakah tindak dilakukan kemaslahatan badan hukum.
untuk
kepentingan/
g. Apakah biaya yang dikeluarkan untuk tindakan tersebut berasal dari badan hukum. 1.2.4. Lo kasi/ tempat Lokasi kegiatan penting untuk menentukan locus delictie tindak pidana terkait SDA-LH, seperti: a. areal perkebunan baik yang masuk kawasan hutan maupun tidak; b. areal pengolahan; c. sarana transportasi untuk pengangkutan hasil perkebunan; 7
Delik fungsional adalah delik yang berasal dari ruang lingkup aktivis ekonomi dan sosial dengan syarat aktivitas tersebut ditujukan pada kelompok/fungsionaris tertentu
23 d. tempat penjualan dan tempat penampungan; e. areal pertambangan baik yang masuk kawasan hutan maupun tidak, yaitu bukaan tambang, stockpile, jalan tambang, orkshop, base camp; f. areal pengolahan dan pemurnian serta infrastruktur lainnya; g. pelabuhan khusus pertambangan; dan
untuk
pengangkutan
hasil
h. tempat penjualan, tempat penampungan hasil tambang yang dikaitkan dengan hasil tambang bukan dari pemegang IUP/IUPK. 1.2.5 . Benda/ barang a. peralatan pembukaan lahan (land clearing); b. sarana dan peralatan penambangan; c. instalasi pengolahan dan pemurnian; d. tanaman perkebunan, termasuk bibit; e. patok batas luar areal dan patok blok kebun; f. hasil Perkebunan; g. sarana dan peralatan penambangan, seperti e cavator do er grader loader dump truck; h. instalasi pengolahan dan pemurnian, seperti ashing plant stone crusher; i. hasil Penambangan, seperti batubara, nikel dan lain sebagainya yang ada dibukaan tambang, stockpile maupun pelabuhan; dan j. benda/tagihan yang diperoleh atas hasil dari tindak pidana. 1.2.6. Uang ( meto de ollo
o
)
Dalam penyelidikan dan penyidikan financial crime maupun money-oriented crime, kita mengenal pendekatan ollo the money dan ollo the suspect. Pendekatan ini lebih mengedepankan pencarian dan pengejaran terhadap uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana daripada pencarian terhadap pelaku kejahatannya. ollo the money menjadi
24 penting ketika penyidikan ditujukan tidak sekedar mengungkap peristiwa atau perbuatan yang diduga sebagai kejahatan/tindak pidana dan pihak yang harus mempertanggungjawabkannya sebagai pelaku, tetapi juga mengejar aset/harta kekayaan hasil tindak pidana untuk dapat dirampas bagi kepentingan korban kejahatan atau negara. Namun demikian, patut dipahami bahwa dalam kejahatan keuangan atau yang berorientasi uang, hasil yang diperoleh dari kejahatan atau tindak pidana dapat berubah dari wujud, jumlah, atau nilainya semula. Seringkali yang ditemukan seputar perbuatan atau peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana keuangan yang canggih adalah transaksi-transaksi yang rumit (kompleks) dan melibatkan aset/barang atau uang yang asal usul sesungguhnya sulit dipastikan sehingga sukar dipisahkan mana yang sah dan mana yang ilegal. Inilah yang disebut pencucian uang. Penegak hukum harus memahami bahwa aset atau uang yang diperoleh dari kejahatan tidak melulu dipindahpindahkan di antara berbagai pihak dengan tujuan agar tidak lagi disangkut-pautkan dengan kejahatan/tindak pidana yang menghasilkannya. Pelaku pencucian uang akan mengondisikan uang atau aset hasil kejahatan melalui berbagai perjanjian, kontrak, atau keterangan sebagai latar belakangnya agar ketika uang atau aset dimaksud dipindahtangankan maka transaksinya menjadi ‘ sah’ , dan akhirnya uang atau aset tersebut dapat dimiliki secara sah . Hasil analisis atau hasil pemeriksaan PPATK belum dapat memastikan terjadinya tindak pidana dan juga bukan merupakan alat bukti yang dapat digunakan dalam pemeriksaan di pengadilan. Kedua hal terakhir ini merupakan tugas penyidik yang menerima hasil analisis atau hasil pemeriksaan PPATK untuk mendapatkannya dengan penyelidikan dan/ atau penyidikan. Penyidikan (termasuk penyelidikan) keuangan (financial investigation) akan menelusuri, mencari dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti untuk memastikan uang dan harta kekayaan yang ditemukan adalah dari tindak pidana. Untuk itu, penyidik perlu dibekali dengan pengetahuan dan keahlian agar mampu mengidentifikasi dan mengungkap kepemilikan,
25 penguasaan, atau pemanfaatan suatu aset yang sering kali disamarkan dengan perubahan bentuk, status, atau pengalihan hak. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penegakan hukum, yaitu memberi efek jera kepada pelaku dan merampas hasil tindak pidana, dibutuhkan kerjasama dan kesepahaman di antara para penegak hukum, termasuk penuntut umum, untuk mengombinasikan kedua pendekatan tersebut ( ollo the money dan ollo the suspect). Dalam proses penyidikan ini, UU TPPU memberikan kewenangan kepada penyidik tindak pidana pencucian uang berupa: a. Penundaan transaksi oleh Pihak Pelapor (Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan/atau Jasa lainnya) atas perintah penegak hukum (Pasal 70 UU TPPU) Penyidik, penuntut umum, atau Hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor dimaksud dalam UU TPPU untuk melakukan penundaan transaksi selama 5 (lima) hari kerja terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. b. Pemblokiran (Pasal 71 UU TPPU) Penyidik, penuntut umum, atau Hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor dimaksud dalam UU TPPU untuk melakukan pemblokiran selama 30 (tiga puluh) hari kerja terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari tersangka, terdakwa, atau setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik. c. Permintaan keterangan (Pasal 72 UU TPPU) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara pencucian uang, Penyidik, penuntut umum, atau Hakim berwenang meminta Pihak Pelapor dimaksud dalam UU TPPU untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari tersangka, terdakwa, atau setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik.
26 d. Penyitaan (Pasal 67 ayat (2) UU TPPU) Dalam hal Penyidik dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tidak dapat menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, terhadap harta kekayaan yang disita karena diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dapat diajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk diputuskan sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. 1 .3 . Kegiatan Penyelidikan 1.3 .1. Pengkajian do kumen Dokumen yang perlu dikaji dalam penyelidikan antara lain: a.
peraturan perundang-undangan terkait pertambangan dan/atau perkebunan secara cepat dan akurat seperti Perda tentang RTRW Kabupaten/ Provinsi berkaitan status atau fungsi kawasan hutan;
b.
legalitas formil terkait pendirian perusahaan yang dimiliki oleh badan usaha dalam menjalankan kegiatan usaha, antara lain Anggaran Dasar, Akta Pendirian beserta perubahannya, TDP, NPWP dan lain sebagainya;
c.
legalitas formil terkait perizinan yang dimiliki oleh perusahaan/ orang dalam menjalankan kegiatan usaha (tambang atau perkebunan), antara lain Izin Usaha Perkebunan, Izin Usaha Pertambangan (ekplorasi, operasi produksi, khusus atau rakyat), izin lokasi, Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, hak atas tanah dan lain sebagainya;
d.
peta kawasan hutan yang dijadikan pedoman atau yang digunakan; dan
e.
dokumen lain yang relevan.
27 1.3 .2. Penentuan target o perasi Target operasi dalam kegiatan penyelidikan antara lain adalah: a.
Pelaku kegiatan usaha baik perorangan atau korporasi atau koperasi.
b.
Pejabat berwenang yang menerbitkan izin.
c.
L okasi mana kegiatan usaha pertambangan atau perkebunan tersebut dijalankan.
d.
Khusus untuk pertambangan, perlu ditentukan apakah berada di dalam atau di luar kawasan hutan, di areal perkebunan/ tanah adat/ hak ulayat atau di atas tanah yang sudah ada hak milik pihak lain. Hal ini akan menentukan aturan hukum mana yang akan diterapkan terhadap pelaku baik yang berstatus sebagai badan hukum atau perseorangan atau koperasi, dan bagaimana dampak terhadap lingkungan sejak kegiatan usaha pertambangan dijalankan di lokasi tersebut.
e.
Khusus untuk perkebunan, harus dapat teridentifikasi apakah lokasi kegiatan usaha terletak di dalam atau di luar kawasan hutan atau di atas tanah yang sudah ada hak milik pihak lain.
1.3 .3 . Identi kasi hli dan saksi a.
Dalam tindak pidana terkait SDA-LH, ahli yang dibutuhkan dapat berasal dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya ahli korporasi, perizinan, biologi, toksikologi, kimia, industri, perikanan laut/ air tawar, kehutanan, kebakaran hutan dan lahan, kerusakan ekologi, ilmu kesuburan tanah, nyorologi, fisika, meteorologi, ekologi, medical orensic, teknik penambangan dan lain sebagainya.
b.
Membuat da ar ahli yang kompeten dan memenuhi kriteria yang tercantum pada Pedoman ini.
c.
A hli dapat pula berasal dari instansi pemerintah berdasarkan permintaan ahli melalui instansinya (terutama terkait dengan persyaratan dan prosedur penerbitan izin).
28 d.
Dalam penyelidikan, saksi yang akan mengungkap (melihat, mengalami, mendengar sendiri) tindak pidana terkait SDA-LH sedapat mungkin terdeteksi sejak awal.
e.
Saksi dapat berasal dari LSM, masyarakat sekitar areal pertambangan, perkebunan dan/ atau kehutanan, dari karyawan perusahaan dan/ atau pegawai instansi pemerintah (terutama terkait dengan persyaratan dan prosedur penerbitan izin).
1.3 .4. Gelar perkara atau ekspo se Untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana terkait SDA-LH, perlu dilakukan gelar perkara/ekspose. Dalam gelar perkara masing-masing dugaan tindak pidana terkait SDA-LH, termasuk unsur-unsur pasal dan barang bukti masing-masing tindak pidana terkait SDA-LH, harus teridentifikasi.
2.
Tahap Penyidikan 2 .1 . Umum Dalam penyidikan dengan pendekatan multidoor, penyidik akan mencari dan mengumpulkan bukti adanya keterkaitan antara tindak pidana terkait SDA-LH dengan tindak pidana terkait keuangan serta keterkaitannya dengan tersangka atas masing-masing tindak pidana tersebut untuk menginformasikan dan mengoordinasikan dengan penyidik lain yang terkait. 2 .2 . Ketentuan Khusus a. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan 1) Terkait sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang sebagian besar dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar potensi paling besar adalah PPh dan PPN. Penegakan Hukum khususnya tindak pidana di bidang perpajakan selama ini sebagian besar menyangkut penggelapan atau penyimpangan pada jenis pajak PPh dan PPN yang dilakukan oleh korporasi atau Wajib Pajak Badan. 2) Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
29 menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dengan demikian setiap Rupiah penghasilan yang diperoleh perusahaan dari kegiatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup tentunya merupakan objek pajak. 3) Sepanjang mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang berwenang menyidik hanya PPNS di bidang perpajakan. b. Penyidikan TPPU UU TPPU yang saat ini berlaku menetapkan penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya. 2 .3 . Persiapan Penyidikan Secara umum, persiapan penyidikan dalam pendekatan multidoor ini mengikuti ketentuan dalam KUHAP beserta Juklak-Juknis yang berlaku. Secara khusus, dalam kerangka penyidikan yang terkait dengan kejahatan keuangan, penting untuk diperhatikan informasi yang diperoleh dari laporan hasil analisis transaksi keuangan mencurigakan dari PPATK. Informasi serupa terkait tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan juga perlu diperhatikan. Kekhasan lain dari penyidikan dengan pendekatan multidoor adalah keharusan penyidik untuk mempersiapkan rencana koordinasi penyidikan dengan aparat penegak hukum terkait serta ahli. 2 .4 . Pengiriman SPDP Dalam pendekatan multidoor hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengiriman SPDP antara lain: a. SPDP harus dibuat dengan memuat informasi tentang rencana penyidikan serta informasi keterkaitan perbuatan dengan pelanggaran peraturan/ketentuan dalam tindak pidana terkait SDA-LH sekaligus keterkaitan dengan aturan lain yang relevan.
3 0 b. Dalam konteks ini, sejak awal penyidikan, penyidik berusaha mencari lebih dari satu bukti dari masing-masing tindak pidana terkait SDA-LH sebagaimana disebutkan di atas. 2 .5 . Pelaksanaan Penyidikan Secara umum pelaksanaan penyidikan dilakukan sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun peraturan lain dan petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis penyidikan yang berlaku. Secara khusus, dalam penanganan tindak pidana terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pelajari fakta-fakta (modus) atas masing-masing tindak pidana terkait SDA-LH, yang menjadi dasar penyidikan, yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 1)
Untuk menguasai fakta/modus tersebut, penyidik dapat merincinya dalam 7 komponen fakta yang disingkat dengan ABIDI BASIAKMO (Apa, Bilamana, Dimana, Bagaimana, Siapa, Akibat, Motif) dan apabila terkait dengan tindak pidana dibidang keuangan perlu juga dikembangkan dengan komponen TRASI BASIBE (dimana dilakukan transaksi, siapa pelaku transaksi, nama bank, berapa nomor rekeningnya): a) Tindak pidana apa yang terjadi Misal: pembakaran hutan/lahan dan lain-lain, pelanggaran IUP, dan lain sebagainya. b) Bilamana terjadinya perkara/tindak pidana (tempus delicti) c) Dimana terjadinya perkara/tindak pidana (locus delicti) d) Bagaimana proses terjadinya perkara/tindak pidana (modus operandi) e) Siapa calon tersangka f)
Akibat atau dampak apa saja timbul (jangka pendek maupun jangka panjang).
g) Apa motif dari kejahatan tersangka (walaupun motif tidak termasuk unsur dari tindak pidana, tetapi berguna sebagai bahan pertimbangan tuntutan sanksi pidana yang diajukan kepada Majelis Hakim). h) Dimana transaksi dilakukan i)
Siapa yang melakukan transaksi
j)
Bank apa yang digunakan untuk melakukan transaksi
3 1 k) Berapa nomor rekening dalam transaksi tersebut l)
Kapan tanggal kelahiran calon tersangka
m) Dalam hal melibatkan korporasi sebagai tersangka dapat mengacu kepada ketentuan mengenai korporasi dalam sub bab Penyelidikan diatas. 2)
Modus yang terjadi dalam tindak pidana terkait SDA-LH, antara lain: a) kegiatan kebun yang dilakukan oleh korporasi/ individu yang dilakukan tanpa adanya Keputusan Pelepasan Kawasan tetapi hanya berdasarkan Izin Lokasi; b) kegiatan perkebunan/ pertambangan yang dilakukan tanpa dilengkapi izin sama sekali; c) kegiatan kebun/ tambang skala besar yang dilakukan tanpa dilengkapi AMDAL atau UKL-UPL; d) penebangan yang dilakukan oleh korporasi/ individu tanpa memiliki dokumen IPK; e) pemberian izin kebun/ tambang yang dilakukan dengan melanggar RTRWP; dan f)
wajib Pajak kegiatan kebun/tambang yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan yang isinya tidak benar/tidak lengkap.
b. Dasar hukum dan prosedur yang berlaku, antara lain: 1)
dasar hukum Tindak Pidana Kehutanan (UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta peraturan pelaksananya);
2)
dasar hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup (UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan pelaksanaanya);
3)
dasar hukum Tindak Pidana Perkebunan (UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan beserta peraturan pelaksanaannya);
4)
dasar hukum Tindak Pidana Pertambangan (UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta peraturan pelaksanaanya);
5)
dasar hukum TPPU (UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan peraturan pelaksanaanya);
3 2 6)
dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan (UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 tahun 2009 dan peraturan pelaksanaannya); dan
7)
prosedur dan mekanisme perizinan (usaha kawasan/lokasi/ HPH, dan lain sebagainya).
c. Inventarisasi dan mendatangi sumber/tempat untuk mendapatkan dokumen terkait tindak pidana terkait SDA-LH, misalnya: 1)
Kantor Pusat korporasi yang diduga sebagai pelaku;
2)
Kantor Dinas Pemerintahan terkait, misalnya Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan atau Kementerian Kehutanan dan Kementerian/Lembaga Pemerintah terkait lainnya;
3)
tempat Kejadian Perkara dimana lokasi korporasi beroperasi; dan
4)
sumber lain yang sesuai dengan KUHAP.
d. Mengumpulkan, mempelajari, dan mengklasifikasi dokumendokumen terkait untuk dijadikan bukti tertulis, misalnya: 1)
dokumen terkait pendirian perusahaan (Anggaran Dasar, Akta Pendirian beserta perubahannya, TDP, NPWP, laporan keuangan dan dokumen relevan lainnya);
2)
dokumen perizinan (Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Perkebunan, Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan, Izin Lokasi, Izin Lingkungan, dan dokumen relevan lainnya sebagaimana diuraikan dalam sebelumnya);
3)
analisis dokumen, antara lain (semua dokumen yang sudah terkumpul ditahap penyelidikan), misalnya: a) peraturan kawasan;
perundang-undangan
terkait
pengelolaan
b) prosedur penerbitan Keputusan Pelepasan kawasan Hutan; c) persyaratan penerbitan Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan; dan d) kesesuaian dokumen dengan kelengkapan persyaratan. dokumen/data diklasifikasi dan dicatat dalam da ar alat bukti atas masing-masing tindak pidana terkait SDA-LH.
3 3 e. Pemeriksaan Saksi dan Perlindungan Saksi/Pelapor Dalam perkara SDA-LH dengan pendekatan multidoor peranan saksi/pelapor sangatlah penting sehingga perlu diperhatikan dan digali dalam pemeriksaan saksi mengenai informasi terkait perkara. Selain itu, mengingat peranan saksi/pelapor tersebut seringkali menimbulkan resiko berupa ancaman ataupun intimidasi terhadap saksi/ pelapor sehingga perlu dilakukan perlindungan terhadap saksi/ pelapor. Terkait dengan informasi yang harus digali dan diperoleh dari saksi adalah antara lain sebagai berikut: 1)
Dalam pemeriksaan saksi, sedapat mungkin ditanyakan mengenai pengetahuannya (lihat, alami, dengar sendiri) berbagai tindak pidana terkait SDA-LH (kebun, tambang, lingkungan hidup dan lain sebagainya).
2)
Ditanyakan pula kepada saksi mengenai adanya saksi lain yang mengetahui tindak pidana terkait SDA-LH.
3)
Setelah diperiksa sebaiknya saksi disumpah apabila dikhawatirkan tidak bisa hadir pada sidang pengadilan, dan sumpah sebelum memberikan keterangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan dalam pembuktian di persidangan (Pasal 116 ayat (1) jo. Pasal 162 ayat (1) dan (2) KUHAP).
Terkait dengan perlindungan saksi/pelapor maka sebaiknya perlu diperhatikan mengenai definisi perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang ajib dilaksanakan oleh Lembaga erlindungan Saksi dan orban atau lembaga lainnya.” Perlindungan disini dapat diartikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu: 1 )
Perlindungan karena jaminan Undang- undang: Perlindungan bagi saksi/ pelapor disini dimaksudkan dilakukan karena sudah secara tegas dijamin dalam Undang-Undang, misalnya dalam Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU TPPU.
3 4 2 )
Perlindungan Khusus: Perlindungan khusus menurut Peraturan KAPOLRI Nomor 17 tahun 20 0 5 ini adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberikan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan yang membahayakan diri jiwa dan/ atau hartanya termasuk keluarganya. Pemohon perlindungan khusus adalah pelapor, saksi, PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim.
Apabila saksi/pelapor mendapat tekanan/intimidasi dari pihak lain, segera penyidik/ penuntut umum dapat memberikan perlindungan dan/atau memfasilitasi saksi/pelapor untuk memperoleh perindungan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Khusus untuk perlindungan Pelapor dan Saksi TPPU, dapat mengikuti ketentuan yang berlaku pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. f.
Pemeriksaan A hli Mengingat begitu pentingnya peran ahli dalam pembuktian perkara SDA-LH dengan pendekatan multidoor sehingga kriteria seseorang dapat dijadikan ahli dengan mempertimbangkan aspekaspek sebagai berikut antara lain: 1)
M empunyai gelar kesarjanaan dalam disiplin ilmu yang diperlukan (minimal S1, S2/S3 akan lebih baik namun tidak mutlak).
2)
Mempunyai pengalaman kerja/penelitian di bidang keahlian yang dimilikinya.
3)
M empunyai pengalaman sebagai ahli di sidang pengadilan atau sebagai penasehat teknis pada tahap penyidikan/ penyelidikan (syarat ini tidak mutlak karena jarang seorang sarjana yang pernah mempunyai pengalaman demikian itu).
4)
Sudah mempunyai reputasi ilmiah (karya tulis kegiatan penelitian dan diakui oleh kelompok profesinya (pengakuan non-formal).
5)
Dalam beberapa yurisprudensi/putusan MARI, ahli yang memiliki pengalaman lapangan (terlibat dalam penelitian ketika tahap penyelidikan/penyidikan) lebih diterima dibandingkan dengan ahli yang memberikan keterangan sebatas teori pustaka belaka.
3 5 6)
M engenai keterangan ahli yang bersumber dari hasil pemeriksaan laboratorium, yusrisprudensi MARI menetapkan bahwa alat bukti laboratorium yang diakui adalah yang memenuhi unsur: (a) valid, dilakukan sesuai dengan metodologi yang paling sahih dari keilmuan yang berkaitan; (b) sah, dilakukan sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku (lihat Putusan MA RI Nomor 1479 K/Pid/1989).
7)
M enyangkut kredibilitas dan akuntabilitas seorang ahli harus dipastikan ahli yang bersangkutan tidak memiliki benturan kepentingan dengan perkara tersebut;
8)
Ahli yang berasal dari institusi harus berdasarkan permintaan dari aparat penegak hukum dan bukan dari tersangka, disertai Surat Penunjukan dari institusi, tidak memiliki benturan kepentingan dan keterangan/pendapatnya benarbenar memperkuat/ mendukung jalannya penyidikan/ penuntutan.
9)
Keterangan ahli haruslah memberikan opini berdasarkan keahliannya tentang fakta/peristiwa pidana yang menjadi pokok perkara (dapat berupa pendapat/kesimpulan).
10)
Sebelum memberikan keterangan, ahli disumpah di hadapan penyidik. Laporan ahli yang diminta secara resmi harus diberikan di bawah sumpah atau dikuatkan dengan sumpah.
Terkait dengan keberadaan ahli yang memegang kunci dalam penanganan perkara, terutama perkara terkait tindak pidana terkait SDA-LH maka, sebelum melakukan pemeriksaan, beberapa hal penting yang perlu dipersiapkan: 1)
M elakukan konsultasi/ diskusi dengan berbagai ahli baik yang berasal dari instansi/lembaga pemerintah (terutama terkait persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan izin), maupun dari kalangan perguruan tinggi, baik di daerah setempat maupun di tingkat pusat.
2)
Beberapa aspek penting yang harus dikonsultasikan dengan ahli antara lain adalah: a) penjelasan tentang aspek-aspek teknis yang terkait dengan perkara yang dihadapi; b) mengenai riwayat ketaatan perusahaan tersebut di masa yang lalu yang dapat dibuktikan dengan dokumendokumen hasil pengawasan/ pemantauan yang dilakukan oleh instansi yang berwenang/ pemda di waktu yang lalu;
3 6 c) apakah semua persyaratan teknis administratif (kewajiban dan larangan) yang tercantum dalam Surat Izin Usaha/ Kegiatan sudah ditaati dan selanjutnya diupayakan untuk mendapatkan fotokopi dari Surat Izin Usahanya dan jika ada, juga fotokopi Surat Izin Pembuangan Limbah ke L ingkungan; d) motif kejahatan/tindak pidana yang dilakukan; e) potensi dampak sosial yang sudah atau yang mungkin akan timbul (perlu diolah dan dikembangkan olah/dengan bantuan bidang/seksi intelijen); f)
hubungan kerjasama antara perusahaan dengan warga masyarakat yang bermukim di sekitar perusahaan/ kepedulian perusahaan terhadap kebutuhan/ penderitaan masyarakat disekitarnya;
g) sengketa yang pernah timbul dengan masyarakat setempat dan penyelesaiannya; dan h) ahli dengan disiplin ilmu yang bagaimana yang diperlukan, nama disertai dengan gelar kesarjanaannya, agama, alamat tempat tinggal, alamat pekerjaannya dan informasi lain yang relevan. 3)
Konsultasi dengan ahli dapat dilakukan dalam Rapat Koordinasi atau dalam orum Komunikasi dalam rangka penanganan tindak pidana terkait SDA-LH.
g. Alat bukti lain seperti informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya (berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) h. Barang bukti dan pengamanan barang bukti, dimana hal yang harus diperhatikan adalah: 1)
teliti apakah barang bukti diperoleh atau merupakan hasil dari tindak pidana.
2)
apakah barang bukti merupakan alat/sarana melakukan tindak pidana.
3)
apakah barang bukti ada hubungannya langsung atau tindak langsung dengan tindak pidana.
4)
apakah barang bukti tersebut mudah rusak, atau jumlahnya sangat banyak atau merupakan aset korporasi sehingga diperlukan perlakuan khusus, misalnya: dilelang, dilakukan penjagaan khusus dan lain sebagainya.
3 7 5)
apakah barang bukti telah disita secara sah menurut undangundang (ketentuan ini berlaku bagi penyidikan surat).
Dalam penanganan tindak pidana terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor salah satu barang bukti yang dapat disita adalah aset perusahaan/ korporasi berupa lahan perkebunan sehingga diperlukan tindakan pengamanan khusus, dalam hal ini maka PPNS dapat meminta bantuan pengamanan dari Kepolisian. Selain itu apabila yang menjadi barang bukti adalah barang yang dikhawatirkan mudah rusak atau merupakan barang/benda yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan pelelangan maka seyogyanya penyidik atas dasar pertimbangan pembuktian segera melakukan pelelangan menurut cara dan ketentuan yang berlaku. i.
Penetapan tersangka tindak pidana terkait SDA-LH Tersangka dalam tindak pidana terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor adalah: 1)
perorangan dan korporasi, namun dalam pendekatan multidoor seyogyanya difokuskan kepada korporasi;
2)
pejabat pemberi izin, jika terkait dengan Izin Lingkungan yang diatur dalam UU LH dan pelanggaran tata ruang yang diatur dalam UU Penataan Ruang;
3)
pihak yang menerima/menikmati hasil kejahatan, jika terkait dengan TPPU;
4)
pejabat/ pelaku usaha yang melakukan pemerasan/ penyuapan dalam mendapatkan izin usaha; dan
5)
pejabat usaha yang melakukan pemalsuan data/ keadaan dalam proses administrasi penerbitan izin usaha.
Tersangka ditetapkan berdasarkan bukti-bukti yang bersesuaian antara satu dengan yang lain dan dari persesuaiannya diketahui siapa tersangkanya. j.
Pemeriksaan Tersangka 1)
Dengan surat panggilan, tersangka diperiksa atas dugaan tindak pidana terkait SDA-LH yang dilakukan sendiri dan/atau menyuruh orang lain melakukan atau turut serta melakukan.
2)
Ditanyakan pula kepada tersangka mengenai adanya kemungkinan tersangka lain yang melakukan, menyuruh
3 8 orang lain atau turut serta melakukan tindak pidana terkait SDA-LH. 3)
Disampaikan juga kepada tersangka tentang kemungkinan untuk dijadikan sebagai pelaku yang bekerja sama, asalkan bersedia mengungkap tindak pidana terkait SDA-LH yang dilakukan pihak lain.
4)
Apabila melibatkan korporasi, apabila ditemukan Pelaku fisik/ lapangan yang melakukan perbuatan pidana atas perintah dari korporasi seyogyanya dipertimbangkan untuk tidak dijadikan tersangka, namun dapat dioptimalkan sebagai justice collaborator untuk mengungkapkan tindak pidana yang terjadi.
k. Melakukan penyitaan bukti terkait tindak pidana terkait SDA-LH, antara lain:
l.
1)
Dokumen berupa Izin Usaha Perkebunan, Izin Usaha Pertambangan, RTRWP, Surat Pertimbangan/Rekomendasi Teknis Permohonan Izin, AD/ART perusahaan, RUPS, Izin L okasi, dan dokumen relevan lainnya.
2)
Harta milik tersangka, berupa benda bergerak dan/atau tidak bergerak.
3)
L ahan perkebunan/ pertambangan, yang ada di kawasan hutan. Karena telah di sita, maka perlu ada larangan bagi setiap orang termasuk pelaku usaha (perseorangan atau badan hukum/perusahaan) untuk tidak memasuki, mengolah atau melakukan kegiatan perkebunan/ pertambangan di tempat terjadinya tindak pidana terkait SDA-LH.
4)
Penyidik dapat menyita lahan dan aset di atasnya (misalnya: kebun sawit, lahan tambang, pabrik, perumahan, infrastruktur, dan lain sebagainya).
5)
Barang bukti lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan terkait SDA-LH dan keuangan lainnya.
6)
Terhadap adanya pendapat untuk menyerahkan pengelolaan barang sitaan penyidik kepada DJKN, kiranya perlu dicermati masalah hukum dan kesiapan SDM, infrastruktur DJKN untuk mengelola barang sitaan penyidik terutama terhadap barangbarang tidak bergerak (pabrik, perkebunan, dan sebagainya).
Keseluruhan tindakan penyidik harus dimuat dalam berita acara dengan memperhatikan syarat sah berita acara, yaitu:
39 1)
Harus dibuat pejabat/penyidik yang berwenang.
2)
Dibuat berdasarkan sumpah.
3)
Ditandatangani semua pihak yang terkait.
4)
Bukti yang diperoleh dari berita acara yang tidak sah menjadi tidak sah.
2 .6 . Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan ( Khusus PPNS Pajak) Khusus untuk tindak pidana di Bidang Perpajakan, pelaksanaannya adalah sebagai berikut: a. Diawali dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang bersumber dari Hasil Analisa Informasi, Data, Laporan dan Pengaduan (IDLP). b. IDLP dapat berupa:
c.
1)
informasi data terbuka dari media masa atau publisitas;
2)
data olahan sistem informasi perpajakan termasuk hasil pemeriksaan pajak dan data yang diperoleh dari instansi lain; dan
3)
laporan, termasuk laporan dari instansi lain maupun pengaduan dari masyarakat.
IDLP akan dianalisa oleh sub direktorat rekayasa keuangan atau Kanwil DJP. Jika ternyata masih memerlukan pendalaman maka dapat dilakukan pendalaman oleh Intelijen Pajak.
d. Pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan adalah: 1)
Pemeriksaan bukti permulaan dimaksudkan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
2)
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan, pengaduan, laporan kegiatan intelejen, pengembangan pemeriksaan bukti permulaan atau pengembangan penyidikan.
3)
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun untuk satu jenis pajak.
4)
Dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksan bukti permulaan dapat melakukan penyegelan, pembukaan rekening bank, meminta pembukuan serta mendapatkan informasi lain yang diperlukan dari Wajib Pajak untuk keperluan membuat terang adanya indikasi telah terjadinya perbuatan pidana pajak.
40 e. Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat berupa: 1)
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal ditemukan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
2)
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU KUP;
3)
penerbitan SKPKB berdasarkan Pasal 13A UU KUP;
4)
penghentian pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
5)
penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Wajib Pajak meninggal dunia.
2 .7 . Pemanggilan, Penyitaan
Penangkapan,
Penahanan,
Penggeledahan
dan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini antara lain: a. Pemanggilan, penangkapan, penggeledahan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku (KUHAP dan UU terkait). b. Mengingat tersangka dalam perkara tindak pidana terkait SDA-LH seringkali menyangkut orang-orang yang memiliki posisi yang kuat baik secara ekonomi maupun politik, maka untuk menghindari penghilangan barang bukti dan tersangka melarikan diri, maka perlu dilakukan penahanan kepada tersangka. c.
Apabila PPNS yang berwenang melakukan penangkapan/ penahanan dapat melakukan koordinasi dengan Penyidik Polri agar mendapatkan bantuan dalam melaksanakan wewenangnya tersebut.
d. Apabila PPNS tidak memiliki wewenang tersebut dapat meminta bantuan upaya paksa kepada penyidik Polri. 2 .8 . Teknik Mem angun ukti Strategi dan Taktikn a Dalam rangka membangun bukti berikut adalah yang perlu diperhatikan dalam menyusun strategi dan taktik: a. Pahami asas-asas pembuktian dalam tindak pidana, terutama dalam tindak pidana terkait SDA-LH. b. Pahami dan kuasai cara mendapatkan bukti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
41 c.
Gunakan alat perekam untuk mendapatkan keterangan saksi dan bukti lainnya. Jika dibenarkan oleh UU, lakukan penyadapan.
d. Satu saksi bukanlah saksi. O leh karena itu hubungkan keterangan saksi dengan keterangan saksi lain dan bukti tertulis (dokumen) lainnya. 2 .9 . Hasil Penyidikan dan Pemberkasan Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Pemberkasan hasil penyidikan berisi antara lain: a. da ar tersangka tindak pidana terkait SDA-LH (tersangka tindak pidana perkebunan, lingkungan hidup, KSDAHE, kehutanan, pertambangan, pemalsuan, penataan ruang, TPPU dan/atau tindak pidana di bidang perpajakan); b. BAP Saksi, BAP Ahli, BAP Tersangka, BAP Penyitaan Surat/Barang Bukti; c.
berkas perkara digabung atau dipisah (split ing);
d. da ar bukti; e. da ar barang bukti; f.
resume perkara masing-masing tindak pidana terkait SDA-LH; dan
g. semuanya dihimpun dalam Berkas Perkara berdasarkan da ar isi. Khusus untuk TPPU dalam perkara dengan pendekatan multidoor, maka hasil penyidikan diserahkan kepada Kejaksaan untuk melakukan penuntutan atas perkara TPPU dan tindak pidana asal yang berasal dari pelimpahan berkas perkara oleh penyidik sesuai dengan kewenangan Kejaksaan sebagaimana diatur di dalam peraturan perundangundangan. Dalam pemeriksaan perkara TPPU selain dapat dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka TPPU dalam perkara dengan pendekatan multidoor berdasarkan Pasal 78 UU TPPU juga dapat dilakukan oleh Pengadilan Umum untuk melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan atas perkara TPPU dan tindak pidana asal sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
42 penyidik/PPNS maka penuntut umum sebagai ujung tombak dalam penuntutan perkara tersebut seyogyanya melakukan koordinasi aktif dengan para penyidik/PPNS dengan tujuan untuk memastikan dan mengarahkan bahwa penanganan perkara tindak pidana terkait SDALH tersebut sesuai dengan pendekatan multidoor. Selain itu koordinasi aktif yang dilakukan oleh penuntut umum dengan penyidik/PPNS bertujuan untuk menyelaraskan waktu penyidikan dari para penyidik /PPNS. Beberapa materi penting yang harus dikoordinasikan dengan penyidik antara lain adalah: a.
Penjelasan tentang aspek-aspek teknis yang terkait dengan perkara yang dihadapi.
b.
M engenai riwayat ketaatan perusahaan tersebut di masa yang lalu yang dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen hasil pengawasan/ pemantauan yang dilakukan oleh instansi yang berwenang/ pemda di waktu yang lalu.
c.
Apakah semua persyaratan teknis administratif (kewajiban dan larangan) yang tercantum dalam Surat Izin Usaha/Kegiatan sudah ditaati dan selanjutnya diupayakan untuk mendapatkan fotokopi dari Surat Izin Usahanya dan jika ada, juga fotokopi Surat Izin Pembuangan Limbah ke Lingkungan.
d.
Motif kejahatan/tindak pidana terkait SDA-LH yang dilakukan.
e.
Dampak sosial yang sudah atau yang mungkin akan timbul (perlu diolah dan dikembangkan olah/ dengan bantuan bidang/ seksi intelijen).
f.
Kerugian negara terkait yang sudah atau mungkin akan timbul terkait dengan TPPU dan tindak pidana di bidang perpajakan.
g.
Hubungan kerjasama antara perusahaan dengan warga masyarakat yang bermukim di sekitar perusahaan/ kepedulian perusahaan terhadap kebutuhan/ penderitaan masyarakat disekitarnya.
h.
Sengketa yang pernah timbul dengan masyarakat setempat dan penyelesaiannya.
Untuk efektifitas koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dimungkinkan membentuk orum Koordinasi dan Konsultasi antara Jaksa P-16 (Jaksa Peneliti) dan penyidik yang hasilnya harus dituangkan dalam Berita Acara Pelaksanaan Koordinasi dan Konsultasi.
43
BAB IV TAHAP PENUNTUTAN A . Pra Penuntutan 1 .
Penerimaan SPDP Secara umum setelah SPDP diterima, pimpinan (sesuai asas kesetaraan) menunjuk Jaksa P-16 (Jaksa Peneliti) untuk melakukan koordinasi dengan penyidik untuk mengikuti perkembangan penyidikan dan memberikan arahan dan petunjuk sebagaimana diwajibkan dalam P-18 dan P-19 sehingga perkara dapat langsung dinyatakan P-21. Secara khusus dalam konteks pendekatan multidoor, apabila dalam penerimaan SPDP ditemukan fakta bahwa perkara yang disidik ternyata memiliki keterkaitan dengan tindak pidana lain yang juga sedang dilakukan penyidikan oleh penyidik lain, maka Jaksa P-16 (Jaksa Peneliti) harus mengarahkan/memberi petunjuk kepada masing-masing penyidik baik Penyidik Polri maupun PPNS terkait untuk bekerjasama dalam penyidikan. M isal: PPNS LH mengirimkan SPDP yang ternyata kemudian ditemukan bahwa perkara tersebut memiliki locus dan/ atau tempus yang saling terkait dengan penyidikan yang sedang dilakukan oleh PPNS Kehutanan.
2 .
Ko o rdinasi Penanganan Perkara Dalam upaya pembuktian tindak pidana terkait SDA-LH yang harus dibuktikan tidak hanya terbatas pada aspek yuridis dari suatu tindak pidana terkait SDA-LH, tetapi juga aspek teknisnya. Dengan demikian, penuntut umum harus mencermati berbagai peraturan perundangundangan terkait dengan pendekatan multidoor. Dalam hal ini, koordinasi sejak awal dengan penyidik dan semua pihak terkait mutlak untuk dilakukan sehingga tercapai kesamaan persepsi tentang pasalpasal dari masing-masing undang-undang yang dipersangkakan. Sebelum pelimpahan perkara tahap kedua dari penyidik kepada penuntut umum, diharapkan sudah terbina komunikasi intensif antara pihak penyidik dengan pihak penuntut umum yang bersangkutan.
3 .
Ko o rdinasi dengan Penyidik Dalam hal penanganan perkara tindak pidana terkait SDA-LH yang memiliki indikasi kuat terdiri dari beberapa tindak pidana yang saling terkait serta menyangkut tugas dan wewenang dari satu atau lebih
44 4 .
Ko o rdinasi Dengan Ahli Pendapat ahli merupakan unsur sangat penting dalam pembuktian perkara-perkara dengan pendekatan multidoor. Namun dalam praktek, tidak selalu mudah bagi penuntut umum maupun penyidik untuk menentukan ahli yang diperlukan. M eskipun penyidik sejak awal sudah mengidentifikasi dan memeriksa ahli, namun penuntut umum harus mengambil inisiatif-inisiatif atau secara aktif memberikan petunjuk/arahan-arahan kepada penyidik untuk memastikan agar BAP telah mencantumkan keterangan ahli yang relevan dengan perkara SDA-LH. Beberapa upaya untuk memantapkan koordinasi dengan ahli antara lain adalah:
5 .
a.
melakukan diskusi-diskusi sejak awal penanganan perkara atau dalam gelar perkara/ ekspose;
b.
melakukan diskusi pendalaman sehingga ahli dapat mengetahui dan memprediksi keterangan keahlian yang diperlukan oleh penuntut umum dalam rangka pembuktian dakwaannya; dan
c.
bersama-sama dengan ahli menyusun pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu ahli untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya tentang perkara yang ditangani.
Penelitian erkas Perkara Dalam penelitian berkas perkara tindak pidana dengan pendekatan multidoor maka Jaksa P-16 (Jaksa Peneliti) harus melihat secara cermat kemungkinan dan keterkaitan antara kasus posisi dengan aturan-aturan yang relevan dengan tindak pidana yang dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
6 .
a.
pasal-pasal pidana dalam peraturan terkait pendekatan multidoor dan delik pidananya; dan
b.
tipologi kasus dalam perkara dengan pendekatan multidoor.
Gelar Perkara atau Ekspo se 1 .1 .
Arah Gelar Perkara Atau Ekspo se Gelar perkara/ekspose sangat penting guna penyempurnaan hasil penyidikan dan memperlancar penyelesaian perkara dan mencegah bolak-baliknya berkas perkara antara penuntut umum dengan penyidik. Untuk tujuan tersebut, penyidik harus menyiapkan materi dalam gelar perkara/ ekspose, diantaranya:
45 a.
kasus posisi (bisa dalam bentuk o chart);
b.
matriks perbuatan yang berhubungan dengan unsurunsur pasal disangkakan dalam kaitannya dengan pendekatan multidoor (lebih dari satu undang-undang);
c.
bukti terkait tindak pidana dengan pendekatan multidoor yang mendukung unsur-unsur pasal diatas dan bukti lain menjadi pisau analisis dalam gelar perkara/ ekspose harus diurai;
d.
kendala, permasalahan, hambatan; dan
e.
saran atau rekomendasi.
Dari pihak penuntut umum diharapkan pendapat dan saran yang akan memudahkan untuk menyusun surat dakwaan dan pembuktian atas dakwaannya di depan sidang pengadilan kelak. Calon penuntut umum harus yakin bahwa dengan fakta-fakta dan bukti-bukti yang termuat dalam berkas perkara sudah jelas, lengkap dan kuat sehingga penuntut umum siap dalam menghadapi persidangan. Penuntut umum juga harus dapat mengantisipasi serangan balik (counter a ack) yang akan dilancarkan oleh pihak penasehat hukum terdakwa dan ahli nya. Oleh karena itu, calon penuntut umum perlu menyiapkan petunjuk atau arahan mengenai fakta-fakta dan alat-alat bukti yang diperlukan (sudah ada sewaktu menerima dan mempelajari berkas perkara) untuk dimantapkan/ disampaikan dalam gelar perkara/ekspose. Selain itu, dalam gelar perkara/ ekpsose, ahli diharapkan dapat memberikan masukan/pendapat mengenai fakta-fakta dan alat-alat bukti yang diperlukan. 1 .2 .
Peran Kepala Kejaksaan Negeri Sebagaimana keperluan ahli pada tahap penyidikan dan/atau untuk kepentingan gelar perkara/ekspose yang dilakukan oleh penyidik, Kepala Kejaksaaan Negeri juga dapat meminta bantuan ahli (tambahan) kepada PSL Lembaga Perguruan Tinggi setempat atau kepada Bapedal di Jakarta untuk kepentingan pembuktian perkara atau untuk kepentingan pemantapan persiapan penuntutan melalui gelar perkara/ ekspose.
46
B. Penuntutan 1 .
Penunjukan Penuntut Umum Dalam hal berkas perkara dilimpahkan dari Kejaksaan Agung atau Kejaksaan Tinggi sesuai dengan prinsip kesetaraan, penunjukan penuntut umum tetap melibatkan penuntut umum di Kejaksaan Negeri setempat. Apabila dipandang perlu dan memungkinkan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi penanganan perkara serta kondisi daerah, Kepala Kejaksaan Negeri dapat mengikutsertakan penuntut umum yang meneliti berkas perkara dalam penunjukan penuntut umum untuk menyelesaikan penanganan perkara.
2 .
Penerimaan Tersangka dan arang ukti Penuntut umum yang ditunjuk untuk menyelesaikan perkara bertugas untuk: a.
melaksanakan kewajiban dan kewenangannya selaku penuntut umum berdasarkan Hukum Acara Pidana dengan memperhatikan perkembangan hukum, rasa keadilan masyarakat dan hati nurani;
b.
mengoordinasikan pelaksanaan penerimaan tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada Kejaksaan Negeri yang berwenang; dan
c.
membuat Berita Acara Pendapat atas penelitian mengenai layak tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Selanjutnya arahan terkait prosedur teknis penerimaan tersangka dan barang bukti termasuk diantaranya mengenai penahanan tersangka, pengalihan/ penangguhan penahanan tersangka hingga pembantaran tersangka mengacu kepada KUHAP, Perja Nomor 036/2011, maupun Juklak/Juknis yang berlaku. 3 .
Penggabungan dan Pemisahan Perkara Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan dalam bentuk dakwaan kumulatif, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan diterima beberapa berkas perkara dalam hal: a.
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b.
beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; dan
47 c.
beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. (vide Pasal 141 KUHAP).
Prosedur dan tata cara penggabungan atau pemisahan perkara dilaksanakan berdasarkan KUHAP, peraturan perundang-undangan lain yang terkait dan petunjuk teknis penanganan perkara. Penggabungan atau pemisahan perkara tersebut sangat terkait dengan rencana penyusunan surat dakwaan. Secara khusus dalam pendekatan multidoor, arah dakwaan dibuat secara kumulatif dan/ atau kombinasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan dengan pendekatan multidoor: a.
Untuk dakwaan seperti tindak pidana kehutanan, tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana penataan ruang, dan dakwaan TPPU sebaiknya digabung apabila terdapat bukti-bukti yang kuat dan mendukung. Penggabungan TPPU dapat dilakukan juga dan penting untuk memastikan pengembalian kerugian yang hilang dan perampasan terhadap hasil dari kejahatan (proceeds o crime);
b.
Terkait TPPU, khususnya terkait pelaku pidana asal/predicat crime, maka dalam penyusunan surat dakwaan perlu diperhatikan sebagai berikut: 1)
Pelaku utama didakwa dengan dakwaan redicate Crime dan TPPU apabila juga menyembunyikan hasil kejahatan, maka dakwaan bersifat concursus realis karena ada 2 eit.
2)
Tidak perlu dibuktikan redicate Crime. Berdasarkan Pasal 69 UU TPPU dan urisprudensi, pembuktian dilakukan dengan Pembuktian Terbalik (terbatas).
3)
Tidak melakukan redicate Crime tetapi melakukan pencucian uang berdasarkan Pasal 3 UU TPPU, misal menjual, menukarkan uang hasil penggelapan, dapat didakwa dengan TPPU. Dakwaan dapat berupa dakwaan alternatif maupun subsider, maupun tunggal atau kombinasi.
4)
Terkena Pasal 4 UU TPPU dengan tidak menikmati hasil kejahatan (misal menyediakan rekening), maka bentuk dakwaan alternatif, subsider maupun tunggal atau kombinasi.
48 5)
Bedanya Pasal 5 UU TPPU adalah pasif hanya menikmati. Bentuk dakwaan bisa alternatif, subsider maupun tunggal atau kombinasi.
Dalam penanganan perkara apabila mengalami kesulitan dalam hal prosedural maka dapat dikejar dengan ketentuan Pasal 3, 4 dan 5 UU TPPU. Sedangkan untuk pelaku utama dengan Pasal 3 UU TPPU dan TP asal. Secara teknis untuk meminta informasi kepada PPATK, maka yang perlu dipersiapkan adalah nama, tanggal lahir kalau ada nama bank dan periode transaksi. Mengganti tanggal lahir, nama, sudah termasuk pencucian uang karena termasuk dalam menyembunyikan identitas. Selanjutnya, mengenai penanganan perkara TPPU di tingkat penyusunan surat dakwaan sampai dengan dilimpahkan ke pengadilan tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 137 s.d. 144 KUHAP. Penuntut umum yang menangani perkara TPPU dapat memilih beberapa alternatif bentuk surat dakwaan yang akan disusun, yaitu:
4 .
)
redicate crime dan pencucian uang dibuat dalam bentuk kumulatif.
)
redicate crime dan pencucian uang dakwaan dilakukan secara terpisah atau dibuat dakwaan tunggal.
Permohonan Penitipan Pin am Pakai enda Sitaan arang oleh Tersangka Terdak a atau Pihak Ketiga erkepentingan
ukti
Dalam penanganan perkara dengan pendekatan multidoor, mengenai permohonan penitipan/pinjam pakai benda sitaan/barang bukti oleh tersangka/terdakwa atau pihak ketiga berkepentingan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
5 .
a.
barang bergerak/tidak bergerak;
b.
secara geografis berada jauh dari jangkauan pengamanan;
c.
luasan wilayah sitaan; dan
d.
usaha/ kegiatan yang masih beroperasi dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Penyitaan Dalam hal upaya paksa penyitaan terhadap benda-benda yang sangat signifikan bagi pembuktian perkara tersebut tetapi penyitaan tersebut tidak dilakukan oleh penyidik, maka penuntut umum dalam kaitan penanganan perkara dengan pendekatan multidoor masih
49 dimungkinkan untuk melakukan penyitaan dalam tahap penuntutan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
6 .
a.
barang bergerak/tidak bergerak;
b.
secara geografis berada jauh dari jangkauan pengamanan;
c.
luasan wilayah sitaan;
d.
usaha/ kegiatan yang masih beroperasi dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
e.
terhadap barang bergerak yang cepat rusak atau memiliki biaya pemeliharaan yang mahal dapat dilelang dengan memperhatikan Pasal 45 KUHAP; dan
f.
terhadap barang bukti yang tidak ada hubungannya dengan pembuktian dikembalikan kepada darimana barang tersebut disita (sebaiknya dilakukan pada tingkat penyidikan).
Penyusunan Surat Dakw aan 1 .1 .
Identi kasi
al
a. Matriks Surat Dakw aan 1) Dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya atau perkara-perkara penting, sebelum merumuskan konsep surat dakwaan hendaknya disusun matriks surat dakwaan yang menggambarkan suatu bagan ( o chart) mulai dari kualifikasi tindak pidana beserta pasal yang dilanggar, unsur-unsur tindak pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa, bukti-bukti pendukung dan barang bukti yang dapat mendukung upaya pembuktian. Masing-masing komponen tadi ditempatkan dalam satu kotak yang berhubungan secara paralel dengan kotak yang berada disebelah kanannya. 2) Dari o chart tersebut tergambar kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, unsur-unsur tindak pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana, bukti-bukti yang mendukung pembuktian setiap unsur pasal yang didakwakan dan barang bukti yang dapat melengkapi upaya pembuktian. Sebelum disusun konsep akhir surat dakwaan, sebagai persiapan pelimpahan perkara dilakukan gelar perkara/ ekspose guna membahas surat dakwaan beserta upaya pembuktiannya.
5 0 3) Bila ditemui keragu-raguan dalam pembuatan surat dakwaan, agar hal ini dipecahkan melalui dinamika kelompok dalam bentuk forum diskusi yang melibatkan jaksa-jaksa senior. b. Ko nsep Surat Dakw aan M atriks surat dakwaan yang telah tersusun merupakan esensi dakwaan yang berfungsi sebagai kendali dalam merumuskan konsep surat dakwaan. Konsep surat dakwaan yang telah disusun dikonsultasikan dengan Kepala Seksi Pidana Umum dan setelah disetujui konsep tersebut disiapkan dalam bentuk konsep akhir surat dakwaan untuk selanjutnya dimintakan persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri. Setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri atau Kasi Pidana Umum barulah perkara dapat dilimpahkan ke pengadilan. Untuk memahami mekanisme pembuatan surat dakwaan demikian agar dikaji SEJA Nomor SE-OOI/J.A/2/ 1989 tentang Pengendalian dan Pencegahan Timbulnya Ekses dalam Pelaksanaan Kegiatan ustisial. 1 .2 .
Bentuk Surat Dakw aan Sesuai dengan bentuk surat dakwaan yang lazim dilaksanakan dalam praktek, dikenal bentuk-bentuk dakwaan: a.
Tunggal Dalam surat dakwaan ini hanya satu tindak pidana saja yang didakwakan, tidak terdapat dakwaan lain baik sebagai alternatif maupun sebagai pengganti.
b.
lternatif Pilihan Dalam bentuk ini dakwaan disusun atas beberapa pilihan yang satu mengecualikan dakwaan pada pilihan yang lain. Dakwaan alternatif dipergunakan karena belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang akan dapat dibuktikan. Pilihan dakwaan tersebut dimaksudkan guna mencegah lolosnya terdakwa dari dakwaan. M eskipun dakwaan terdiri atas banyak pilihan, hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, bila salah satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan lainnya tidak perlu diperhatikan lagi. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai urutan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti.
5 1 c.
u
d r/ Berlapis
Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila satu tindak pidana menyentuh beberapa ketentuan pidana, tetapi belum dapat diyakini kepastian tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang lebih tepat dapat dibuktikan. Lapisan dakwaan disusun secara berurutan dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai pada tindak pidana yang diancam dengan pidana teringan dalam kelompok jenis tindak pidana yang sama. Persamaannya dengan dakwaan alternatif ialah hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, sedangkan perbedaannya pada sistem penyusunan lapisan dakwaan dan pembuktiannya yang harus dilakukan secara berurutan dimulai dari lapisan pertama sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Setiap lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai dengan tuntutan untuk dibebaskan dari dakwaan yang bersangkutan. d.
Kumulatif Bentuk ini digunakan bila kepada terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dan tindak pidana tersebut masing-masing berdiri sendiri. Dalam dakwaan ini terdapat satu perbuatan yang menimbulkan beberapa tindak pidana (concursus realis). Semua tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai tuntutan untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan yang bersangkutan persamaannya dengan dakwaan subsidair, karena sama-sama terdiri dari beberapa lapisan dakwaan dan pembuktiannya dilakukan secara berurutan.
e.
Ko mbinasi/ Gabungan Bentuk ini merupakan perkembangan baru dalam praktek sesuai perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan. Kombinasi/ gabungan dakwaan tersebut terdiri dari dakwaan kumulatif dan dalam dakwaan kumulatif tersebut terdapat bentuk dakwaan lain.
5 2 1 .3 .
e erapa Hal ang Perlu Surat Dakw aan a.
b.
Pengertian per uatan
iperhatikan
alam Pem uatan
) menurut do ktrin
1)
Perbuatan dilihat dari sudut materiele eiten” yaitu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (menslijke handelingen). Perbuatan materiii ini adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta harus dirumuskan secara jelas dan tegas dalam dakwaan.
2)
Perbuatan dilihat dari sudut unsur-unsurnya (unsur objektif dan unsur subjektif). Kedua unsur tersebut harus dirumuskan secara jelas dan tegas dalam surat dakwaan. Unsur objektif adalah unsur yang berkenaan dengan bentuk, jenis, sifat tindak pidana tersebut. Sedangkan unsur subyektif berkenaan dengan diri pelaku dan hal ini menyangkut pertanggungjawaban pidana.
Penggabungan Dakw aan Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum Penggabungan demikian dapat dibenarkan sepanjang disidik oleh penyidik yang berwenang dan hendaknya berpegang pada dasar peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Bila Tindak Pidana Khusus tersebut disidik sendiri oleh Kejaksaan, kemudian di persidangan dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Tindak Pidana Umum, maka berkas perkara tersebut di register sebagai perkara Tindak Pidana Umum.
c .
Penentuan Terdakw a terhadap ko rpo rasi Terkait dengan Pasal 197 KUHAP, untuk dakwaan terkait dengan Tindak Pidana Korporasi, maka dalam pengisian identitas terdakwa harus dipastikan bahwa nama/identitas terdakwa adalah bertindak untuk dan atas nama korporasi. Sehingga identitas yang dimaksud pada Pasal 197 KUHAP adalah identitas yang mewakili korporasi dan bukan merupakan identitas koporasi/ orang itu sendiri. Misal: A dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. X.
d.
Dalam ko nteks pendekatan
ultidoor
Perbarengan beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang berdiri sendiri-sendiri dan diancam
5 3 masing-masing oleh ketentuan pidana tersendiri, yang hukuman pokoknya sejenis atau hukuman pokoknya tidak sejenis (concursus realis). Sebisa mungkin dakwaan mengandung unsur concursus realis sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian, bentuk dakwaan sebisa mungkin harus dengan bentuk dakwaan kumulasi yang dikombinasikan dengan dakwaan alternatif atau subsidair. 7 .
Pelimpahan Perkara ke Pengadilan 7 .1 .
Penanganan Perkara TPPU di Pengadilan Dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini terdapat beberapa ketentuan baru atau ketentuan lain dari KUHAP, yaitu: a. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Selanjutnya diatur juga bahwa dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup (asas pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian). b. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa (in absentia). Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. c. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan TPPU, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan harta kekayaan yang telah disita.
5 4 d. Penetapan perampasan harta kekayaan yang disita tidak dapat dimohonkan upaya hukum; e. Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sita dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman. f.
Dalam hal hakim memutus harta kekayaan disita, terdakwa dapat mengajukan banding dengan cara harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan;
g. Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut. h. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. 7 .2 .
Perubahan Surat Dakw aan Perubahan surat dakwaan dilaksanakan dengan maksud untuk menyempurnakannya sehingga memenuhi segenap syarat formil dan materiil dikaitkan dengan kepentingan pembuktian (ketentuan tentang perubahan surat dakwaan diatur dalam Pasal 144 KUHAP). Undang-undang tidak membatasi ruang lingkup substansi perubahan surat dakwaan. Yang dibatasi hanyalah waktu untuk melaksanakan perubahan. Dengan demikian perubahan tersebut dapat mengenai syarat formil, syarat materiil, penggantian tindak pidana yang didakwakan (sepanjang tercermin dalam hasil penyidikan), penyempurnaan bentuk dan penyempurnaan redaksional. Setelah perkara dilimpahkan dan sebelum penetapan hari sidang dikeluarkan atau tujuh hari sebelum pemeriksaan sidang dimulai masih dapat dilakukan perubahan surat dakwaan. Dalam hal demikian agar dilakukan pemberitahuan tertulis kepada Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis/ Hakim yang bersangkutan dan berkas perkara yang telah dilimpahkan tidak perlu ditarik kembali. Setelah perubahan dakwaan dilaksanakan,surat dakwaan yang telah mengalami penyempurnaan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan/Ketua Majelis/Hakim yang bersangkutan guna menggantikan dakwaan yang sebelumnya terlampir pada pelimpahan
5 5 perkara. Surat (surat dakwaan yang disempurnakan) disampaikan juga kepada terdakwa/ penasehat hukumnya. Perubahan surat dakwaan dapat pula terjadi setelah dakwaan tersebut dinyatakan batal atau batal demi hukum atau dinyatakan. Perubahan atau penyusunan surat dakwaan yang baru dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan syarat-syarat yang telah menyebabkan dakwaan itu dinyatakan batal atau batal demi hukum. Setelah surat dakwaan disempurnakan dan syarat-syarat penuntutan dilengkapi perkara dilimpahkan kembali ke pengadilan. Pelimpahan kembali perkara tersebut belum terkena ketentuan nebis in idem, karena pembatalan dakwaan atau pernyataan dakwaan batal demi hukum merupakan putusan sela yang bersifat prosesual. Putusan demikian belum menyentuh pokok perkara dan tidak bersifat memeriksa dan mengadili. 7 .3 .
Pem uktian Salah satu tugas pokok penuntut umum dalam persidangan adalah membuktikan dakwaannya. Karenanya, penuntut umum sejak awal sudah harus menyiapkan bukti-bukti baik bukti tertulis seperti dokumen/data, maupun saksi-saksi, para ahli, bukti lain terkait pendekatan multidoor; Bukti tertulis, saksi dan ahli sudah tercantum dalam berkas perkara (hasil penyidikan), namun dalam menghadapi pemeriksaan saksi dan ahli di persidangan, hal-hal penting yang perlu dilakukan penuntut umum sebelum (paling tidak H-2) persidangan adalah: a. Melakukan pertemuan awal (pre-trial meetings) dengan penyidik dan calon saksi dan ahli; b. Saksi dan ahli harus di-brie mengenai aturan main/ beracara, dan peran/tugasnya di persidangan; c. Saksi dan ahli juga perlu diinformasikan mengenai isi surat dakwaan dan unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta apa saja yang harus ia sampaikan dalam persidangan; d. Saksi dan ahli juga perlu diingatkan mengenai keterangannya di hadapan penyidik (BAP), karena rentang waktu penyidikan dengan pemeriksaan persidangan cukup lama (bisa dua bulan atau lebih). Ini perlu dilakukan untuk menghindari perbedaan antara keterangan dalam BA P dan keterangan dalam persidangan;
5 6 e. Saksi dan ahli juga perlu difasilitasi untuk dapat mempersiapkan diri dalam memberikan kesaksiannya dan keahliannya di sidang pengadilan termasuk dalam menghadapi cross e amination yang akan dilakukan oleh pihak lawan (counter a ack) baik oleh Penasehat Hukum Terdakwa maupun oleh Terdakwa. Penuntut umum berkewajiban membantu ahli dalam memberi pendapat dan menjaga kredibilitasnya. ahli tidak boleh terkesan tidak objektif dan memihak baik kepada penuntut umum maupun kepada saksi ataupun kepada Terdakwa. Tugas dan tanggung jawab ahli tidak lebih dari mengemukakan pendapat keahliannya menurut kemampuan ilmiahnya yang terbaik sehubungan dengan fakta-fakta dan bukti-bukti yang diketahui atau yang diajukan kepadanya oleh penuntut umum. Oleh karena itu, ahli harus diberikan informasi dan data yang relevan yang sebanyak/ selengkap mungkin sehingga ahli benar-benar menguasai perkara dalam segala aspeknya (teknis, sosial ekonomi, maupun yuridis). Dengan demikian perbedaan persepsi dan salah paham antara penuntut umum dengan ahli dapat dihindarkan. 7 .4 .
Pengajuan Tuntutan Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum segera membuat Surat Tuntutan Pidana dan mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara. Dalam hal dipandang perlu, untuk perkara tertentu yang menarik perhatian publik, dengan memperhatikan perkembangan hukum, rasa keadilan, dan hati nurani sebelum mengajukan tuntutan penuntut umum melakukan gelar perkara/ ekspose sesuai dengan hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara. Pengajuan rencana tuntutan dan pemberian petunjuk tuntutan, harus mendasarkan pada peraturan perundang-undangan dan fakta hukum di persidangan, dengan memperhatikan: a.
Keadilan, kepastian dan kemanfaatan;
b.
Tujuan pidana dan pemidanaan;
c.
Hal-hal yang meringankan dan memberatkan;
d.
Perkembangan hukum dan masyarakat serta kearifan lokal;
5 7 e.
Kepentingan perlindungan korban, masyarakat dan terdakwa secara seimbang.
A rahan mengenai prosedur teknis pengajuan tuntutan mengacu kepada hukum acara pidana, peraturan perundangundangan dan petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis yang berlaku. Dalam hal perkara terkait pendekatan multidoor untuk pengajuan tuntuan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.
Perbuatan terdakw a 1) dilakukan secara tunggal tanpa adanya keterkaitan dengan tindak pidana lainnya; 2) dilakukan secara berlanjut/perbarengan dengan beberapa tindak lainnya; 3) memiliki kesatuan tempus, locus, modus dan akibat.
b.
Keadaan diri pelaku tindak pidana 1) sebab-sebab yang mendorong dilakukanya tindak pidana; 2) karakter moral dan pendidikan, riwayat hidup, keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana; 3) peranan pelaku dalam tindak pidana; 4) keadaan jasmani dan rohani pelaku tindak pidana dan pekerjaan; 5) umur pelaku tindak pidana.
c .
Dampak perbuatan terdakw a 1) menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat; 2) menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
d.
Peran terdakw a sebagai u ti
oll
or or
Dalam melakukan tuntutan pidana, penuntut umum perlu memperhatikan peran terdakwa sebagai justice collaborator (jika ada), sehingga tuntutan dapat lebih rendah/diperingan dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
5 8 8 .
Upaya Hukum Upaya Hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan, banding, kasasi, hak Jaksa Agung untuk melakukan kasasi demi kepentingan hukum atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penuntut umum sebisa mungkin melakukan upaya hukum apabila putusan hakim tidak mencerminkan keadilan masyarakat. Pengajuan Upaya Hukum dilaksanakan dengan alasan hukum dan jangka waktu sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana, yurisprudensi, dan perkembangan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat dan bila dipandang perlu, alasan pengajuan Upaya Hukum harus dikonsultasikan kepada pimpinan dan/atau dilakukan gelar perkara/ ekspose terlebih dahulu dengan dihadiri oleh peserta yang memiliki kompetensi di bidangnya berdasarkan hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara.
C. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Dalam penanganan perkara multidoor dimungkinkan adanya barang-barang bukti yang telah disita dan dinyatakan dalam putusan pengadilan tersebut yang terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak, berupa lahan yang berada di dalam KH beserta benda-benda yang melekat di atasnya, khususnya yang memiliki nilai ekonomis (kebun sawit, lahan tambang, pabrik, perumahan, infrastruktur, dan lain sebagainya) yang telah disita dan telah mendapat penetapan pengadilan serta telah diperiksa dalam persidangan yang pada akhirnya dalam putusan akhir oleh pengadilan benda tersebut dirampas untuk negara (kutip Pasal 78 angka 15 UU Kehutanan). Dalam hal amar putusan menyatakan hal demikian eksekutor melaksanakan isi putusan tersebut, lahan yang berada di dalam kawasan hutan beserta benda-benda yang melekat di atasnya, khususnya yang memiliki nilai ekonomis (kebun, lahan tambang, pabrik, perumahan, infrastruktur, dan lain sebagainya). Penegakan hukum pidana, khususnya terkait dengan kehutanan dan lingkungan hidup, tidak hanya sekedar memasukan pelaku ke dalam penjara tetapi juga pada upaya untuk menjaga hutan dan memelihara ekosistem. O leh karena itu, jaksa selaku eksekutor wajib berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kementerian Kehutaan untuk melakukan pembersihan lahan (misalnya kebun, tambang) dari kawasan hutan. Demikian pula terkait dengan lahan perkebunan yang berada dalam wilayah A PL namun terlarang untuk tanaman tertentu, penuntut umum perlu berkoordinasi dengan kementerian terkait dan/ atau pemerintah daerah untuk mengosongkan kawasan A PL dari kebun dan tambang.
59
D. Lelang Barang Sitaan Dan Barang Rampasan 1 .
Lelang Eksekusi Dalam hal pengurusan barang sitaan yang masih dalam proses penyidikan atau tersangka telah terbukti bersalah dan telah diputus oleh pengadilan, maka dapat dilakukan pelelangan terhadap barang bukti tersebut. Jenis lelang yang berlaku dalam hal ini adalah Lelang Eksekusi (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang). Lelang eksekusi hanya dapat dilaksanakan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) oleh Pejabat Lelang Kelas I. Untuk dapat melakukan lelang eksekusi, penyidik atau penuntut umum dalam Hal ini bertindak selaku Penjual Barang harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Kepala KPKNL untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelang, disertai dokumen persyaratan lelang sesuai dengan jenis lelangnya. Pelaksanaan lelang eksekusi wajib didahului dengan Pengumuman Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lelang. Secara khusus lelang eksekusi terbagi menjadi beberapa jenis. Dalam rangka penanganan tindak pidana terkait SDA-LH dengan pendekatan multidoor, lelang eksekusi yang dilaksanakan adalah lelang eksekusi barang sitaan berdasarkan Pasal 45 KUHAP atau lelang eksekusi barang rampasan. Penjelasan singkat beserta dokumen yang perlu disiapkan dalam masing-masing jenis lelang eksekusi yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut: a. Lelang eksekusi barang sitaan (Pasal 45 KUHAP), adalah lelang eksekusi terhadap barang bukti mililk pihak ketiga yang disita oleh penyidik atau penuntut umum dan merupakan barang milik pihak ketiga yang disita oleh penyidik atau penuntut umum dan merupakan barang yang mudah rusak/ busuk, berbahaya dan memiliki harga penyimpanan tinggi. Terhadap barang sitaan tersebut dapat dilakukan lelang terlebih dahulu sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dokumen persyaratan lelang eksekusi barang sitaan adalah: 1)
salinan/fotokopi surat izin penyitaan dari pengadilan;
2)
salinan/fotokopi surat perintah penyitaan;
3)
salinan/fotokopi berita acara sita;
4)
Persetujuan dari tersangka/ kuasanya pemberitahuan lelang kepada tersangka;
atau
surat
60 5)
izin lelang dari Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara, apabila perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan; dan
6)
asli dan/atau fotokopi bukti kepemilikan/hak apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan diperlukan adanya bukti kepemilikan/hak, atau apabila bukti kepemilikan/hak tidak dikuasai, harus ada surat pernyataan/ surat keterangan dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai bukti kepemilikan/hak dengan menyebutkan alasannya.
b. L elang eksekusi barang rampasan adalah lelang eksekusi dalam rangka penjualan barang bukti milik pihak ketiga yang telah dinyatakan dirampas untuk negara dalam perkara pidana. Dokumen persyaratan lelang eksekusi barang rampasan adalah: 1)
salinan/fotokopi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2)
salinan/fotokopi surat perintah penyitaan;
3)
salinan/fotokopi berita acara sita;
4)
salinan/fotokopi surat perintah dari kejaksaan/oditurat militer/Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); dan
5)
asli dan/atau fotokopi bukti kepemilikan/hak apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan diperlukan adanya bukti kepemilikan/hak, atau apabila bukti kepemilikan/hak tidak dikuasai, harus ada surat pernyataan/ surat keterangan dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai bukti kepemilikan/hak dengan menyebutkan alasannya.
Dalam melaksanakan lelang eksekusi, berlaku peraturan-peraturan teknis yang mengatur mengenai pelaksanaan lelang, antara lain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-03/KN/2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan L elang. 2 .
Pemanf aatan Barang Rampasan Sesuai dengan PMK Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, terhadap barang rampasan negara dapat:
61 a. Dijual secara lelang melalui KPKNL, namun dalam hal tidak laku dijual lelang maka Kejaksaan dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan usul penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan dan penghapusan kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan. b. Ditetapkan status penggunaannya oleh Menteri Keuangan atas usul Kejaksaan dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi. c. Dihibahkan kepada pemerintah daerah oleh Menteri atas usul Kejaksaan dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
62
63
Daftar Istilah AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Alut/ Alsus
Alat Utama/Alat Khusus
ANDAL
Analisis Dampak Lingkungan
APL
A real Penggunaan L ain
ATK
Alat Tulis Kantor
AD/ ART
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
BATB
Berita Acara Tata Batas
BAP
Berita Acara Pemeriksaan
BNN
Badan Narkotika Nasional
GPS
lobal ositioning System
HGU
Hak Guna Usaha
HPH
Hak Pengusahaan Hutan
HAM
Hak Asasi Manusia
Hutan
Pengertian hutan adalah kawasan hutan menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun areal berhutan yang berada di non-kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL)
IDLP
Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan
IUP
Izin Usaha Perkebunan
IUP- B
Izin Usaha Perkebunan Budidaya
IUP/ IUPK
Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus
IPK
Izin Pemanfaatan Kayu
KPKH
Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan
Jamdatun
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
Jampidum
Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum
Juklak
Petunjuk Pelaksanaan
Juknis
Petunjuk Teknis
KUHAP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHP
Kita Undang-Undang Hukum Pidana
64 Kemenhut
Kementerian Kehutanan
KEPJA
Keputusan Jaksa Agung
KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
Lidik
Penyelidikan
LHA/ LHP
Laporan Hasil Analisis/Laporan Hasil Pemeriksaan
LC
Le er o Credit
NPW P
Nomor Pokok Wajib pajak
PPNS
Penyidik Pegawai Negeri Sipil
PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
POLRI
Kepolisian Republik Indonesia
PC
redicate Crime
PJK
Penyedia Jasa Keuangan
PSDH/ DR
Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi
PPh
Pajak Penghasilan
PPN
Pajak Pertambahan Nilai
PTB
Peta Tata Batas
PERJA
Peraturan Jaksa Agung
RAB
Rencana Anggaran Belanja
RTRW N
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRP
Rencana Tata Ruang Pulau
RTRW P
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
RTRW K
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
RUPS
Rapat Umum Pemegang Saham
SDA- LH
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Sprint
Surat Perintah
Sidik
Penyidikan
SPT
Surat Pemberitahuan
SKSHH
Surat Keterangan Sah nya Hasil Hutan
SPDP
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
SEJA
Surat Edaran Jaksa Agung
65 TGHK
Tata Guna Hutan Kesepakatan
TDP
Tanda Da ar Perusahaan
TPPU
Tindak Pidana Pencucian Uang
TIPIKOR
Tindak Pidana Korupsi
TKP
Tempat Kejadian Perkara
UU
Undang-Undang
UKL- UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan
UU KSDAHE
Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
UU MINERBA
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
UU TIPIKOR
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
UU PPLH
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU Kehutanan
Undang-Undang Kehutanan
UU KUP
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
W IUP
Wilayah Izin Usaha Pertambangan
W IUPK
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
W PR
Wilayah Pertambangan Rakyat
Pendekatan Multidoor
Pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana yang dilakukan untuk menangani terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di atas hutan dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai rezim hukum antara lain lingkungan hidup, kehutanan, tata ruang, perkebunan, pertambangan, perpajakan, tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Dalam pendekatan multidoor, berbagai penegak hukum secara sinergis menerapkan berbagai undang-undang dimaksud.
Tindak Pidana Terkait SDALH
Tindak pidana yang meliputi tindak pidana kehutanan, tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tindak pidana perkebunan, tindak pidana pertambangan, tindak pidana penataan ruang, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, dan tindak pidana di bidang bea cukai.
66
67
LAMPIRAN A Ilustrasi Penerapan Multidoor pada Kegiatan Perkebunan di Hutan dan Lahan Gambut SANKSI No .
BENTUK PELANGGARAN
UU PERKEBUNAN
PERATURAN LAINNYA YANG TERKAIT
I. PERKEBUNAN DI LAHAN APL MENURUT TGHK DAN RTRW P 1 .
Pelanggaran prosedur perizinan, misal IUP terbit meski: a. izin atau persyaratan lain belum/tidak diperoleh (belum ada rekomendasi, dll);
Bila adanya suap maka pendakatan dapat dilakukan melalui Pasal 5 atau 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang T ipikor.
b. izin lokasi sudah habis; c. dokumen pendukung yang diajukan palsu atau b ac k d ated ; d. beberapa syarat lain tidak terpenuhi (misal lokasi ada dikawasan gambut dalam). Khusus untuk penerbitan IUP tanpa izin lingkungan.
Dapat dikenakan sanksi administratif, dengan catatan: 1)Terhitung setelah 3 Oktober 2011 (2 tahun setelah diberlakukannya UU N omor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup), dan 2)Sampai 3 Oktober 2011 tidak melakukan Audit LH. Apabila tidak mengurus Izin L ingkungan maka dapat dipidanakan. Apabila IUP diterbitkan setelah diberlakukannya UU PPLH Nomor 32/2009, dapat dipidanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 111 Apabila IUP dikeluarkan sebelum diberlakukannya UU N omor 32/2009 tetapi terdapat indikasi korupsi: dipidanakan berdasarkan UU T ipikor.
68 Bila adanya pemalsuan dana tau manipulasi dapat dikenakan Pasal 263 KUH P 2 .
Melakukan aktifitas tanpa adanya IUP dan/ atau melakukan aktivitas di luar wilayah konsesi IUP nya.
Pasal 46
3 .
Melakukan pembakaran lahan/ hutan atau dibakar pada saat melakukan land c lear ing dan aktivitas kebun lainnya baik sengaja maupun lalai.
Pasal 48 (sengaja) & 49 (tidak sengaja)
Pasal 10 8 UU N omor 3 2 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup; 1)
Pasal 78 ayat 3 dan 4 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
2)
UU 18/ 20 0 4 Pasal 48 dan 49.
II.PERKEBUNAN DI ATAS KAW ASAN HUTAN 4 .
M elakukan kegiatan perkebunan di atas kawasan hutan tanpa disertai izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Pasal 78 (terutama ayat 2 j o. Pasal 50 ayat 3 huruf a) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 69-71 (pelaku usaha) serta Pasal 73 (pejabat) UU N omor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Bagi wilayah yang masuk dalam kawasan hutan hanya menurut T GH K, Pasca PP Nomor 60 Tahun 2012, penegakan hukum mempunyai kekuatan hukum lebih kuat pasca J anuari 20 13 .
5 .
M elakukan perbuatan (pembakaran maupun kegiatan lain seperti tidak melakukan reklamasi dan reboisasi) yang menyebabkan kerusakan dan dilampauinya baku mutu lingkungan dan/ atau kriteria baku kerusakan lingkungan.
Pasal 98 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup.
6 .
D ump ing limbah dan/atau bahan tanpa izin.
Pasal 10 4 UU N omor 3 2 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup.
69 7 .
M elakukan pembukaan kawasan hutan tanpan adanya Izin Pemanfaatan Kayu dan membayar Provisi Sumber Daya H utan-Dana Reboisasi.
Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
8 .
Melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
Pasal 39 dan/atau Pasal 39 A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum T ata Cara Perpajakan sebagaimana telah terakhir dengan UU 16 Tahun 2009.
9 .
Perusahaan perkebunan, pertambangan dan/atau kehutanan yang mendapatkan hasil dari tindak pidana berkaitan dengan SDA-LH di atas hutan dan lahan gambut dengan melakukan :
3, 4, 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan T indak Pidana Pencucian Uang.
a.
Penempatan hasil kejahatan tersebut ke lembaga keuangan di dalam negeri maupun di luar negeri untuk menyamarkan hasil kejahatan.
b.
T ransaksi yang direkayasa dengan korporasi atau orang untuk menyamarkan perpindahan kekayaan baik dengan pihak luar negeri maupun dalam negeri.
70
71
LAMPIRAN B Ilustrasi Penerapan Multidoor pada Kegiatan Pertambangan di Hutan dan Lahan Gambut8 9 JENIS SANKSI No .
BENTUK PELANGGARAN
1 .
M elakukan kegiatan penambangan tanpa memiliki Izin Pertambangan (IUP, IPR atau IUPK) dan/ atau melakukan kegiatan tersebut di luar kawasan konsesi.8
Pasal 15 8
M elakukan kegiatan penambangan dengan hanya didasarkan pada IUP Eskplorasi tanpa memiliki izin pertambangan (IUP, IPR atau IUPK)
Pasal 160 Ayat 2
2 .
M elakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK dan/ atau melakukan kegiatan tersebut di luar kawasan konsesi.9
Pasal 160 Ayat 1
3 .
Izin pertambangan (KP Ekplorasi dan KP Eksploitasi) terbit tanpa didahului dengan izin lingkungan (UKL -UPL atau AMDAL) dan/atau syarat lainnya.
Pasal 165
4 .
Melakukan usaha penambangan (KP Eksplorasi dan Eksploitasi) di kawasan hutan tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan H utan (melanggar Pasal 38 UU Nomor 41/1999)
UU PERTAMBANGAN
PERATURAN LAIN YANG TERKAIT
Setelah tanggal 3 Oktober 2011: dapat dipidana (berdasarkan Pasal 39 UU 4 Nomor 2009 j o. Pasal 111 UU PPLH Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup) Pasal 78 j o. 5 0 ayat 3 UU N omor 41 Nomor 1999 tentang Kehutanan
8
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 7, Pasal 40 ayat (3 ), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
9
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan M ineral dan Batubara;
72 5 .
Melakukan usaha pertambangan (KP Eksloitasi) di kawasan hutan berdasarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang terbit tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 PP Nomor 24 Tahun 20 10 sebagaimana diperbarui dengan PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan H utan.
Bila terdapat korupsi dalam penerbitan izin tersebut maka dapat dikenakan Pasal 2, 3 , 5 dan/ atau 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pindak Pidana Korupsi
6 .
Pelanggaran prosedur perizinan, misal IUP, IPR atau IUPK terbit meski: a. izin atau persyaratan lain belum/ tidak diperoleh (belum ada rekomendasi, dll); b. izin lokasi sudah habis; dan c. dokumen pendukung yang diajukan palsu atau b ac k d ated
Bila terdapat korupsi dalam penerbitan izin tersebut maka dapat dikenakan Pasal 2, 3 , 5 dan/ atau 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pindak Pidana Korupsi
7 .
M elakukan pemalsuan dokumen (seperti dalam proses penyusunan UKL-UPL atau AMDAL) untuk dapat memiliki izin yang sah (seperti: tanggalnya mundur, memanipulasi atau menyesatkan informasi dalam dokumen)
Pasal 263 KUH P
8 .
M elakukan kegiatan pertambangan tanpa adanya izin lingkungan (baik memiliki IUP maupun tidak).
Pasal 109 (pelaku usaha) dan Pasal 111 (pejabat) UU Nomor 32 tahun 2009 T entang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup.
9 .
M empunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi.10
Pasal 160
11
123 4
10
Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi;
11
Pasal 160 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
12
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf (e), Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan M ineral dan Batubara;
13
Pasal 159 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
73 1 0 .
Dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu.12
Pasal 15913
1 1 .
Menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin.15
Pasal 16115
1 2 .
M elakukan kegiatan pertambangan di atas kawasan hutan tanpa disertai Izin Pinjam Pakai Kawasan H utan dari Menteri Kehutanan.
Pasal 78 (terutama ayat 2 j o. Pasal 5 0 ayat 3 ) UU N omor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 69-71 (pelaku usaha) serta Pasal 73 (pejabat) UU N omor 26Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.)
1 3 .
Pertambangan secara terbuka ( op en p it) di atas kawasan hutan lindung.
Pasal 78 ayat 6 j o. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
1 5 .
M elakukan perbuatan (pembakaran maupun kegiatan lain seperti tidak melakukan reklamasi dan reboisasi) yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan dilampauinya baku mutu.
Pasal 98 UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup.
1 6 .
D ump ing limbah dan/atau bahan tanpa izin.
Pasal 10 4 UU 3 2 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan L ingkungan H idup.
1 7 .
M elakukan pembukaan kawasan hutan tanpan adanya Izin Pemanfaatan Kayu dan membayar Provisi Sumber Daya H utan-Dana Reboisasi.
Pasal 2 UU N omor 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pindak Pidana Korupsi.
12
1 8 .
Dapat dipidana Pasal 5 UU N omor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan T indak Pidana Pencucian Uang (T PPU)
Melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
14
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 7, Pasal 40 ayat (3 ), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 10 3 ayat (2), Pasal 10 4 ayat (3 ), atau Pasal 10 5 ayat (1);
15
Pasal 161 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
74 1 9 .
Perusahaan perkebunan, pertambangan dan/atau kehutanan yang mendapatkan hasil dari tindak pidana berkaitan dengan SDA-LH di atas hutan dan lahan gambut dengan melakukan: a. Penempatan hasil kejahatan tersebut ke lembaga keuangan di dalam negeri maupun di luar negeri untuk menyamarkan hasil kejahatan. b. T ransaksi yang direkayasa dengan korporasi atau orang untuk menyamarkan perpindahan kekayaan baik dengan pihak luar negeri maupun dalam negeri.
Pasal 3 , 4 dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tenang Pencegahan dan Pemberantasan T indak Pidana Pencucian Uang.
75
LAMPIRAN C Fo rmat Tata Cara Pertukaran Inf o rmasi Nomor
:
..
Sifat
: Sangat rahasia
Lampiran
:
Perihal
: Permintaan Informasi
Jakarta,
..
lembar
Kepada TH. Kepala Pusat Pelapo ran dan Analisis Transaksi Keuangan Jl. Ir. H. Juanda No. 35 Jakarta 10120 Dasar Hukum : 1.
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
2.
UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3 .
Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tanggal 16 Juni 2004;
4.
Laporan polisi Nomor Pol:
5 .
Surat Perintah Penyidikan Nomor Pol:
.* ) .* )
Sehubungan dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi (disesuaikan dengan kasus yang sedang ditangani) dengan tersangka ..yang saat ini dalam tahap penyidikan Kepolisian ..(disesuaikan dengan satuan ilayah kerja), bersama ini diminta bantuan Bapak untuk memberikan informasi keuangan yang mencurigakan sehubungan dengan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas. A dapun penjelasan mengenai duduk perkara yang sedang disidik sebagaimana yang dijelaskan dalam lampiran surat ini. Mengingat informasi dari PPATK bersifat sangat rahasia dan tidak dapat diberikan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis PPATK, maka kami bersedia untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut dan akan menggunakan hanya untuk kepentingan permintaan informasi ini.
76 Sehubungan dengan permintaan informasi ini, kami telah menugaskan pejabat penghubung yang telah ditetapkan dengan keputusan Kapolri/Kapolda Nomor : ..(salinan terlampir) yaitu e-mail; .telepon : ..HP : Demikian untuk menjadi maklum, atas bantuan dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih. Kapo lda/ Dir Reskrim Po lda r ) menyesuaikan dengan tahapan proses penanganan perkara
77
LAMPIRAN 1.
Penjelasan Singkat Duduk Perkara Pengadaan barang yang dilakukan oleh Dinas X Propinsi (menyesuaikan) tahun 2002 dan 2003 dengan rekanan PT. ABC dan PT. X diduga terjadi mark up pada harga-harga yang terkait . Dari hasil mark up tersebut diindikasikan telah terjadi kick back kepada para pejabat dilingkungan Dinas X Pemerintah Provinsi tersebut.
2.
Pasal Perundang- undangan yang Dilanggar a. Mark up yang terjadi adalah tindak pidana asal yang diduga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b.
3 .
ick back yang telah terjadi adalah pengalihan hasil tindak pidana asal (proceed o crime) yang menurut kami merupakan salahsatu bentuk pencucian uang yang diduga melanggar Pasal 3 dan/atau 4 dan/atau 5 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dugaan Transaksi yang Menc urigakan Diduga terdapat transaksi-transaksi yang terkait dengan pelanggaranpelanggaran pada butir 2 di atas yang berhubungan dengan rekeningrekening sebagai berikut :
No . 1
2
4.
Nama PT. ABC
PT. X
Bank
No mo r Rekening
Perio de w aktu
Bank TOP
397-300-409-0
November 2002 s/d Desember 20 0 3
Bank Samiun
20 3 .0 4.0 73 68
September 2003 s/d Juni 20 0 4
Bank A sing
743.30.07074.9
November 2002 s/d Desember 20 0 3
Inf o rmasi yang Diperlukan Transaksi-transaksi mencurigakan yang patut diduga merupakan kick back sebagaimana dimaksud dalam butir 1.
78
79
LAMPIRAN D or
r
r
oord
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA BERITA KONSULTASI DAN KOORDINASI PENANGANAN PERKARA
Pada hari ini 1.
2.
3 .
4.
tanggal
Nama
:
Pangkat
:
NIP/NRP
:
Nama
:
Pangkat
:
NIP/NRP
:
Nama
:
Pangkat
:
NIP/NRP
:
Nama
:
Pangkat
:
NIP/NRP
:
tahun
bertempat di
kami :
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung yang ditunjuk dengan Surat Perintah JAM PIDUM (P-16) Nomor :PRINT.. tanggal telah melaksanakan konsultasi dan koordinasi dengan Penyidik POLRI/PPNS .: Nama
:
Pangkat
:
NIP/NRP
:
Dalam perkara tindak pidana melanggar .. yang disangka melanggar Pasal
. atas nama tersangka
80 1. Pembahasan konsultasi dan kordinasi meliputi : 1). Pembahasan kelengkapan formil 2). Pembahasan kelengkapan materiil 2. Hasil konsultasi dan koordinasi 1)
Kelengkapan ormil .. A gar kelengkapan tersebut dilengkapi.
2)
Kelengkapan Materiil a. Bahwa tersangka disangka melakukan tindak pidana melanggar pasal dengan unsur . b. Alat Bukti ang ditemukan
..
c. Berdasarkan hasil konsultasi dan koordinasi berkas perkara belum memenuhi syarat formil dan materiil untuk dilimpahkan ke pengadilan dan perlu dilakukan penyidikan tambahan dengan cara memeriksa saksi/ahli/tersangka/alat bukti lainnya untuk membuktikan unsur: • Unsur • Unsur
.
3 . Kesimpulan 1) Disepakati penyidik akan melengkapi berkas perkara dengan cara .. 2) Konsultasi dan koordinasi terhadap penyidikan tambahan ini akan dilanjutkan kembali sebelum dilakukan penyerahan berkas perkara tahap pertama pada tanggal Demikian Berita Acara Koordinasi ini kami buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
81 Penyidik, 1.
Penuntut Umum, 1.
2.
3
4.
ii
iii
LAMPIRAN 2 Pedoman Pengembangan Kapasitas Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor
iv
v
Daftar Isi A
Latar Belakang
1
B
Tujuan
2
Tujuan Umum C
2
Tujuan Khusus
2
Kurikulum Pelatihan
3
D Metodologi Pelatihan
3
E
Bahan Ajar
5
F
Kepesertaan
5
Kriteria Umum Peserta
6
Kriteria Khusus Peserta
6
Lampiran A Kurikulum Pelatihan Penegakan Hukum Terpadu dengan Pendekatan Multidoor dalam Penanganan Perkara Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup di Atas Hutan dan Lahan Gambut
vi
1
PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS APARAT PENEGAK HUKUM
A.
Latar Belakang Presiden memiliki komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan kerjasama Internasional dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Untuk itu, maka penegakan hukum di sektor kehutanan dan lahan gambut perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal ini dikarenakan pemanfaatan hutan yang diduga melanggar hukum jumlahnya cukup banyak dan secara langsung berkontribusi cukup besar kepada emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh Indonesia. Di sisi lain, penegakan hukum yang konsisten juga sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya iklim investasi yang positif yang memerlukan koridor hukum pemanfaatan hutan dan lahan gambut yang lebih jelas. Penegakan hukum pada sektor kehutanan sudah sejak lama mendapat perhatian Presiden melalui Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Saat ini, dari laporan yang ada saat ini menunjukan bahwa modus deforestasi dan degradasi hutan selain illegal logging juga sudah bergeser kepada pola eksploitasi sumberdaya alam seperti kegiatan perkebunan dan pertambangan di dalam Kawasan Hutan tanpa izin yang sesuai. Di sisi lain, terdapat berbagai perkembangan hukum dan peraturan perundang-undangan seperti adanya Putusan MK No. 45/ PUU-IX/2011 mengenai pengujiian konstitusionalitas Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta berbagai peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang perlu menjadi perhatian. Untuk itu, diperlukan penguatan pemahaman aparat penegak hukum dalam memahami konstruksi hukum dalam konteks perlindungan hutan dan meningkatkan keahlian dalam mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait (pendekatan multidoor) untuk menjerat pelaku utama dan menimbulkan efek jera. Berdasarkan hal tersebut diatas pada tanggal 20 Desember 2012 telah ditandatangani Nota Kesepahaman Untuk Peningkatan Kerjasama Penegakan Hukum Untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkelanjutan Dalam Rangka Pelaksanaan REDD+ yang salah satu kesepakatan di dalam Nota Kesepahaman tersebut adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam penanganan perkara tindak pidana terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas hutan dan lahan gambut melalui kegiatan pengembangan kapasitas aparat penegak hukum di lingkungan kerja masing-masing maupun secara bersama-sama. Untuk itu perlu disusun sebuah Pedoman yang dapat menjadi acuan atau rujukan
2 dalam rangka pelaksanaan peningkatan kualitas diantara aparat penegak hukum sehingga memiliki kesamaan pemahaman dan kualitas dalam hal tujuan, hasil yang diharapkan serta metode dan materi peningkatan kapasitas tersebut. Pedoman pengembangan kapasitas ini didasarkan atas pelaksanaan pelatihan terpadu aparat penegak hukum (PPNS, Polisi, Jaksa dan Hakim) yang diselenggarakan oleh Satgas REDD+/UKP4 bekerjasama dengan Kejaksaan RI. Metode pelatihan beserta kurikulum dan materi pelatihan ini telah diujicobakan didalam pelatihan terpadu tersebut diatas sebanyak 3 (kali) di 3 (tiga) wilayah yaitu Pekanbaru (Riau), Palangkaraya (Kalimantan Tengah) dan Banda Aceh (Nangroe Aceh Darusalam) pada bulan Oktober, November dan Desember 2012.
B.
Tujuan Tujuan pengembangan kapasitas melalui pelatihan bagi aparat penegak hukum ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yang nantinya akan menjadi rujukan dalam menentukan kurikulum dan materi pokok bahasan pelatihan. 1.
Tujuan Umum a.
Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang memadai (Hard Skill) dalam menangani perkara-perkara pengelolaan SDA di dalam hutan dan lahan gambut bagi aparat penegak hukum;
b.
Meningkatkan kemauan dan komitmen (soft skill) untuk menangani perkara-perkara pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) pada hutan dan lahan gambut secara profesional dan berintegritas berbasiskan nilai-nilai perlindungan lingkungan, dan kemanusiaan bagi aparat penegak hukum.
2. Tujuan Khusus a.
Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen SDA dalam kawasan hutan, hukum substantif dan hukum formil yang berkaitan dengan penanganan perkara SDA terkait hutan dan lahan gambut dengan menggunakan pendekatan multidoor;
b.
Memiliki ketrampilan hukum dalam menangani perkara SDA terkait hutan dan lahan gambut dengan menggunakan pendekatan multidoor;
c.
Memiliki pemahaman tentang prinsip, nilai dan paradigma tentang posisi dan peran strategisnya sebagai penegak hukum serta pentingnya koordinasi antara instansi dalam penyelamatan hutan berbasiskan nilai-nilai Perlindungan lingkungan dan kemanusiaan;
3 d.
Memiliki pemahaman dan kemauan untuk melaksanakan penegakan hukum secara profesional, berintegritas dan terkoordinasi berbasiskan nilai-nilai Perlindungan lingkungan dan kemanusiaan dalam penanganan perkara kejahatan dibidang kehutanan.
Keberhasilan sebuah pelatihan sangat ditentukan/tergantung kepada beberapa hal sebagai berikut:
C.
a.
Kurikulum yang tepat (Buku Petunjuk Bagi Pengajar/trainers handbook/manual, silabus, bahan ajar, rencana pelatihan tiap sesi, dan metode pengajaran/pelatihan);
b.
Tim instruktur/pengajar yang kompeten dan ahli;
c.
Sarana dan prasarana yang mendukung (anggaran, tempat pelatihan, kepustakaan, alat bantu pelatihan/multimedia);
d.
Evaluasi berkala atas hasil pelatihan;
e.
Perbaikan terus-menerus terhadap muatan pelatihan sesuai kebutuhan peserta dan pengguna.
Kurikulum Pelatihan Untuk mencapai tujuan sebagaimana diatas selanjutnya perlu dibuat kurikulum pelatihan yang berisi tentang materi pelatihan, metode pengajaran, satuan ajar pelatihan berikut metode pengajaran dan narasumber-nya. Mengingat bahwa pelatihan terpadu penanganan perkara dengan pendekatan multidoor merupakan pelatihan yang menggabungkan pendekatan soft skill dan hard skill sehingga dalam penyusunan kurikulum juga harus disesuaikan dengan tujuan tersebut. Terlampir adalah contoh Kurikulum Pelatihan yang sudah pernah diujicobakan dalam 3 (tiga) pelatihan terpadu penanganan perkara dengan pendekatan multidoor.
D.
Metodologi Pelatihan Pada dasarnya, orang dewasa lebih efektif dalam mempelajari sesuatu apabila ia terlibat dalam proses pembelajaran itu sendiri. Pelibatan orang dewasa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada mereka (peserta diklat) untuk menyampaikan pengetahuan dan pengalaman mereka. Metode diklat bagi orang dewasa adalah metode pendidikan dan pelatihan yang menghargai pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa, sehingga peserta diklat dewasa merasa terlibat dalam proses pembelajaran itu sendiri.
4 Paling tidak terdapat enam prinsip metode pembelajaran ini (diambil dari Knowles, Holton dan Swanson, The adult learner: The definitive classic in adult education and human resource development (6th ed.), Burlington, MA: Elsevier, 2005): 1.
Peserta harus tahu tujuan pembelajaran (apa, mengapa, bagaimana);
2.
Peserta mendapat kesempatan mengembangkan, sekaligus bertanggungjawab, atas konsepnya sendiri (pembelajaran otonom);
3.
Pembelajaran dilakukan berdasar pengalaman dari peserta (termasuk kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses pembelajaran tersebut);
4.
Adanya kesiapan peserta untuk belajar (ada kebutuhan nyata terkait kehidupan atau pekerjaannya);
5.
Pembelajaran lebih ditujukan untuk memecahkan suatu permasalahan, ketimbang hanya berupa penjelasan suatu materi;
6.
Motivasi untuk belajar harus tumbuh dari diri peserta sendiri (motivasi internal), bukan berupa paksaan dari pihak lain (motivasi eksternal).
Untuk itu sebaiknya metode pelatihan dibuat secara : 1.
Sistimatis Berarti pemberian materi yang runut dan sistimatis sesuai dengan tahapan-tahapannya. Materi ajar dalam kurikulum ini disusun secara runut dan sistimatis sehingga ketrampilan dan logika hakim terbangun sesuai dengan tugas hakim. Contoh: hakim harus memahami asas-asas hukum sebelum masuk pada hukum acara, sehingga materi asas hukum diberikan diawal bukan ditengah atau diakhir diklat. Konsekuensinya adalah pengajar bagi diklat haruslah yang memiliki komitmen waktu untuk mengajar dan siap diganti apabila berhalangan, sehingga jadwal diklat yang disusun tidak terkompromikan karena ketidakhadiran pengajar tertentu.
2.
Praktis Materi disajikan langsung dengan kemampuan praktis yang ingin dicapai dalam satu materi ajar tertentu. Contoh: materi asas-asas hukum pidana harus disajikan dengan diskusi atau studi kasus terkait dengan asas pidana, sehingga teori dan penerapan langsung terlihat, tidak dibuat terpisah-pisah. Cara belajar seperti ini akan langsung efektif membekas dalam diri peserta diklat, dibandingkan dengan metode pemberian yang diberikan secara terpisah-pisah. Contoh: studi kasus pembuktian dibuat terpisah jauh dengan pokok bahasan Pembuktian, setelah peserta diklat menerima pokok bahasan lain.
5 Hal ini berpotensi membuat cara berfikir peserta tidak terstruktur dan terpecah-pecah. 3.
Interaktif Peserta diklat dewasa selalu ingin didengar pengalaman dan pendapatnya. Pengajar harus mempersiapkan diri dan menyediakan waktu bagi peserta untuk ikut terlibat secara dua arah dalam proses belajar mengajar. Dengan keterlibatan aktif mereka, maka proses belajar akan berjalan efektif dan proses transfer pengetahuan akan terjadi. Standar interaktif proses belajar dilakukan dengan urutan pengajaran berikut ini:
E.
a.
Pembukaan
b.
Ceramah/Narasi
c.
Diskusi Kelompok dengan pertanyaan terstruktur
d.
Presentasi Kelompok
e.
Tanggapan Pengajar/Trainer
f.
Tanya Jawab
g.
Kesimpulan
Bahan Ajar Bahan ajar merupakan uraian materi dari setiap pengajar dalam pelatihan sebagai narasi dari pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagaimana dimaksud dalam tujuan pelatihan (baik tujuan umum maupun tujuan khusus) Sebagai contoh, berikut adalah bahan ajar yang menjadi materi dalam pelatihan terpadu yang sudah diujicobakan di 3 (tiga) pelatihan (Terlampir). Bahan ajar tersebut sebagaimana terlampir dapat digunakan dalam pelatihan maupun dikembangkan dengan disesuaikan tujuan dan pokok bahasan yang menunjang tujuan pelatihan.
F.
KEPESERTAAN Mengingat tujuan pelatihan baik tujuan umum maupun tujuan khusus maka kepesertaan dalam pelatihan/peningkatan kapasitas aparat penegak hukum ini terdiri dari PPNS, Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim. Untuk menunjang keberhasilan dan pencapaian tujuan pelatihan maka penentuan peserta dilakukan dengan menetapkan kriteria aparat penegak hukum yang dapat menjadi peserta.
6 1.
2.
Kriteria Umum Peserta a.
Golongan kepangkatan minimal III D;
b.
Sudah pernah mengikuti pelatihan terkait tindak pidana SDA-LH;
c.
Pernah terlibat dalam penangganan kasus pidana SDA-LH dan kejahatan terkait keuangan;
d.
Tidak ada pembedaan jenis kelamin, pria dan wanita memiliki kesempatan yang setara untuk menjadi peserta.
Kriteria Khusus Peserta a.
Hakim pada lingkungan peradilan umum yang pernah menanggani perkara; lingkungan dan perkara yang berkaitan dengan kejahatan terkait keuangan yang berada di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di provinsi dimaksud;
b.
Jaksa Penuntut Umum, Kasipidum, Aspidum dan anggota Satgas SDA-LH pada Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Agung diutamakan yang pernah menanggani perkara SDA-LH dan perkara yang berkaitan dengan kejahatan terkait keuangan;
c.
Polisi yang pernah menanggani perkara SDA-LH dan perkara yang berkaitan dengan kejahatan terkait keuangan yang berada di Polda/Polres di provinsi dimaksud;
d.
PPNS dari Kementerian terkait yang pernah menangani perkara SDA-LH.
7 Lampiran A: Kurikulum Pelatihan Penegakan Hukum Terpadu dengan Pendekatan Multidoor dalam Penanganan Perkara Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Atas Hutan dan Lahan Gambut
NAMA PELATIHAN Pelatihan Penegakan Hukum Terpadu Dengan Pendekatan Multidoor Dalam Penanganan Perkara Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Atas Hutan Dan Lahan Gambut
PENYELENGGARAAN Peserta
:
30 orang penegak hukum/batch, masing-masing 9 orang dari Polisi, 9 Jaksa, 9 Hakim, 3 orang dari PPNS (Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup)
Waktu
:
7 (tujuh) hari kerja efektif
Penyelenggara
:
Satgas REDD+ bekerja sama dengan Kejaksaan Agung RI (co-host MA, Kemenhut, dan POLRI)
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM 1.1.
1.2.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
1.1.1. Aparat penegak hukum mempunyai kemauan dan komitmen (soft competency) untuk menangani perkara-perkara 1.1.2. pengelolaan SDA pada hutan dan lahan gambut secara professional dan berintegritas berbasiskan nilai-nilai Ketuhanan, perlindungan lingkungan, dan kemanusiaan;
30 orang peserta memiliki pemahaman tentang prinsip, nilai, dan paradigma tentang posisi dan peran strategisnya sebagai penegak hukum serta pentingnya koordinasi antara instansi dalam penyelamatan hutan berbasiskan nilai-nilai Ketuhanan, Perlindungan lingkungan, dan kemanusiaan;
1.2.1.
30 orang peserta pelatihan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen SDA dalam kawasan hutan, hukum subtantif dan hukum formil yang berkaitan dengan penanganan perkara SDA terkait hutan dan lahan gambut dengan menggunakan pendekatan “multidoor”;
1.2.2.
30 orang peserta pelatihan memiliki ketrampilan hukum dalam menangani perkara SDA terkait hutan dan lahan gambut dengan menggunakan pendekatan “multidoor”;
Aparat penegak hukum mempunyai pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang memadai (Hard Competency) dalam menangani perkara-perkara pengelolaan SDA di dalam hutan dan lahan gambut;
30 orang peserta memiliki pemahaman dan kemauan untuk melaksanakan penegakan hukum secara profesional, berintegritas dan terkoordinasi berbasiskan nilai-nilai Ketuhanan, perlindungan lingkungan, dan kemanusiaan dalam penanganan perkara kejahatan di bidang kehutanan.
8 NO.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
NUM
1.1.1.
30 orang peserta memiliki pemahaman tentang prinsip, nilai, dan paradigma tentang posisi dan peran strategisnya sebagai penegak hukum serta pentingnya koordinasi antara instansi dalam penyelamatan hutan berbasiskan nilainilai Ketuhanan, Perlindungan lingkungan, dan kemanusiaan;
1.1.1.1
Prinsip
1.1.1.2.
Watak/
1.1.1.3.
Paradigma
30 orang peserta memiliki pemahaman dan kemauan untuk melaksanakan penegakan hukum secara profesional, berintegritas dan terkoordinasi berbasiskan nilai-nilai Ketuhanan, perlindungan lingkungan, dan kemanusiaan dalam penanganan perkara kejahatan di bidang kehutanan.
1.1.2.1.
Integritas
1.1.2.2.
Profesionalitas
1.1.2.3.
Akuntabilitas
1.1.2.4
Koordinasi
30 orang peserta pelatihan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen SDA dalam kawasan hutan, hukum subtantif, dan hukum formil yang berkaitan dengan penanganan perkara SDA terkait hutan dan lahan gambut dengan menggunakan pendekatan “multidoor”;
1.2.1.1.
Dasar – dasar ilmu pengelolaan SDA terkait hutan dan lahan gambut:
1.1.2.
1.2.1.
POKOK BAHASAN
Karakter
Dibagi 3: -
perencanaan;
-
perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum.
1.2.1.2.
Korelasi antara penegakan hukum administrasi, dan pidana
1.2.1.3.
Pengantar penegakan hukum pidana dengan pendekatan multidoor
9 NUM
SUB POKOK BAHASAN
SAP 2 2
2 2 2 2 2 1.2.1.1.1.
1.2.1.1.2.
1.2.1.1.3.
Manajemen Perencanaan: i.
Prosedur penetapan RTRWP/Kab/Kota;
ii.
Penentuan kawasan hutan;
iii.
Pemanfaatan lahan gambut;
iv.
Penentuan Wilayah Izin Usaha Pertambangan;
v.
Posisi dan peran masyarakat adat dalam perencanaan dan pengelolaan hutan.
Manajemen Perizinan (fokus pada aspek kebun dan tambang): i.
Prosedur izin kebun secara umum dan secara khusus pada kawasan hutan dan lahan gambut;
ii.
Prosedur izin tambang secara umum dan secara khusus pada kawasan hutan dan lahan gambut;
3
4
Pengawasan dan penegakan hukum perizinan: i.
Aspek hukum perizinan – legalitas izin berantai;
ii.
Kewenangan mengawasi;
iii.
Hubungan antara pengawasan administrasi dengan pidana.
1.2.1.2.1.
Pengaturan azas ultimum remedium di dalam berbagai peraturan dan penerapannya dengan tepat.
3
1.2.1.3.1.
Pemahaman dasar tentang pendekatan multidoor, tujuan dan manfaatnya bagi penegakan hukum kejahatan terkait hutan dan lahan gambut:
2
i.
Dasar filosofi;
ii.
Tujuan dan manfaat pendekatan multidoor (lebih efektif dalam memastikan timbulnya efek jera).
10 NO.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
NUM
POKOK BAHASAN
1.2.2.
30 orang peserta pelatihan memiliki ketrampilan hukum dalam menangani perkara SDA dalam kawasan hutan dengan pendekatan multidoor.
1.2.2.1.
Penafsiran dan Penemuan Hukum dalam kaitannya dengan pendekatan multidoor
1.2.2.2
Formulasi feit dan pengaruhnya dalam strategi penyusunan dakwaan
1.2.2.3
Strategi penyidikan, penuntutan, dan pengambilan putusan
11 NUM 1.2.1.3.2.
SUB POKOK BAHASAN Hubungan antara tindak pidana kehutanan, perkebunan/ pertambangan dan tindak pidana lainnya; i.
Hutan;
ii.
Kebun/Tambang;
iii.
Tata Ruang;
iv.
Lingkungan Hidup;
v.
Konservasi SDA;
vi.
Pajak;
SAP 3
vii. TPPU; dan/atau vii. Korupsi. 1.2.1.3.3.
Pemahaman unsur-unsur delik dari masing-masing tindak pidana;
3
1.2.1.3.4.
Pertanggungjawaban pidana korporasi.
2
1.2.2.1.1.
Teknik dan metode penelusuran hukum
6
1.2.2.1.2.
Legal Reasoning
1.2.2.1.3.
Legal Argumentation
1.2.2.1.4.
Rechvinding
1.2.2.2.1
Memahami feit yg berbeda atas perbuatan terkait kejahatan kehutanan dan lahan gambut berdasarkan berbagai aturan yang ada.
1.2.2.3.1
Strategi dalam penyidikan (kelas paralel). Studi kasus
2
Strategi dalam penyusunan dakwaan (kelas paralel). Studi kasus Strategi dalam penyusunan putusan (kelas paralel). Studi kasus
8
12 NO.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
NUM
POKOK BAHASAN
1.2.2.4.
Hukum acara
1.2.2.5.
Penelusuran transaksi keuangan dan hasil tindak pidana
13 NUM
SUB POKOK BAHASAN
SAP
1.2.2.4.1.
Isu-isu dalam pembuktian (bagaimana scientific evidence menjadi legal evidence)
4
1.2.2.4.2.
Isu-isu dalam Penyitaan:
4
i. Penyitaan atas barang bergerak; ii.Penyitaan atas barang tidak bergerak; iii. Penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan barang sitaan; iv. Mekanisme kordinasi antara penyidik dan penuntut umum serta pengelolaan barang bukti kehutanan 1.2.2.4.3.
Eksekusi: i.
Instrumentasi pidana tata tertib;
ii.
Instrumentasi Pasal 80 UU Kehutanan.
Total SAP (1 SAP = 45 mnt X 61 = 2745 mnt) (2745 mnt : 60 : 8 = 6 hari efektif ) 1.2.2.5.1.
Bentuk-bentuk transaksi yang diduga terkait tindak pidana di bidang kehutanan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, serta pencucian uang hasil tindak pidananya
1.2.2.5.2.
Siapa, apa, di mana dan bagaimana tindak pidana pencucian uang dilakukan (tipologi)
1.2.2.5.3.
Sumber-sumber informasi dan data (dari mana dan bagaimana memperolehnya)
3
61