NILAI RETENSI NITROGEN PADA AYAM KAMPUNG UMUR 12 MINGGU YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TEPUNG SILASE IKAN
SKRIPSI IRFAN MAULANA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN IRFAN MAULANA. D02400109. Nilai Retensi Nitrogen pada Ayam Kampung Umur 12 Minggu yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Silase Ikan. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama: Ir. Widya Hermana, M.Si. Pembimbing Anggota: Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr. Ayam kampung merupakan salah satu ternak unggas yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kualitas daging yang baik, lebih tahan terhadap penyakit dan permintaan konsumen yang tinggi. Ayam ini banyak tersebar di seluruh wilayah dan banyak dipelihara oleh masyarakat namun pemeliharaannya masih secara ekstensif. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas ayam kampung adalah biaya pakan yang semakin mahal. Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi besar di bidang perikanan, salah satu potensi itu adalah ikan rucah. Ikan rucah merupakan hasil ikutan pada saat penangkapan ikan. Tepung silase ikan merupakan bentuk dari pemanfaatan ikan rucah yang mempunyai sifat mudah busuk, harganya murah dan terkadang menjadi limbah. Berdasarkan sifat tersebut, diharapkan melalui pembuatan silase akan dihasilkan tepung silase ikan yang bernilai ekonomis, sehingga akan mengurangi biaya pakan yang selama ini menjadi masalah terbesar dalam peternakan unggas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung silase ikan terhadap nilai retensi nitrogen ayam kampung. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 minggu dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003 di Lab. Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Pengukuran retensi nitrogen dilakukan selama 24 jam setelah ternak dipuasakan selama 24 jam. Jumlah ternak yang digunakan 36 ekor ayam kampung umur 12 minggu. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Hill dan Anderson yaitu pengukuran retensi nitrogen secara bebas asal konsumsi dan ekskreta terukur. Penambahan tepung silase ikan (TSI) pada ransum ayam kampung menunjukan bahwa nilai retensi nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol. Nilai retensi nitrogen R1, R2, R3 dan R4 berturut-turut adalah 54,79%, 42,30%, 47,44% dan 30,72%. Nilai retensi nitrogen R1 (54,79%) sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan R2 (42,30%), R3 (47,44%) dan R4 (30,72%). Penggunaan TSI lebih dari 60% dalam ransum nyata menurunkan retensi nitrogen pada ayam kampung umur 12 minggu. Kata-kata kunci: tepung silase ikan, ayam kampung, pakan, retensi nitrogen
ABSTRACT The Effect of Giving Fish Silage Meal to Retention of Nitrogen of Native Chickens 12 Weeks Old I. Maulana, W. Hermana, R. Mutia, This research purpose to know the effect of giving fish silage meal to retention of nitrogen. This research was held on twelve weeks from June 2003 up to October 2003 in the Laboratory of Poultry Nutrition, Department of Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. This experiment used Completely Randomized Design with four treatments and four replication of native chickens received the diets contained fish silage meal at level of 0, 60, 80 and 100%. Data were analyzed using Analysis of Varians (ANOVA) and any significant differences will be further tested by ortogonal contrast test (Steel and Torrie, 1993). Result of this research indicate that giving fish silage meal influence the nitrogen retention of native chicken. Control diets is gave significant effect (p<0.01) to retention of nitrogen (54.79%). Key words : fish silage meal, native chicken, diets, retention of nitrogen
NILAI RETENSI NITROGEN PADA AYAM KAMPUNG UMUR 12 MINGGU YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TEPUNG SILASE IKAN
IRFAN MAULANA D02400109
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
NILAI RETENSI NITROGEN PADA AYAM KAMPUNG UMUR 12 MINGGU YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TEPUNG SILASE IKAN
Oleh : IRFAN MAULANA D02400109
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Agustus 2007
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Widya Hermana, M.Si. NIP. 131 999 586
Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr. NIP. 131 849 398
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 19 Oktober 1981. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak M. Soeryadharma dan Ibu Etin Rahayu. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak TK Budi Asri Sukabumi pada tahun 1987. Penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD Negeri Cipanas II Sukabumi dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis masuk SMP Negeri III Sukabumi dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMU Negeri I Sukabumi Jawa Barat dan lulus pada tahun 2000. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada bulan Agustus tahun 2000 dengan Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis terdaftar sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter) dan aktif sebagai dewan penasehat Forum Mahasiswa Kantin (Formatin-D) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Nilai Retensi Nitrogen pada Ayam Kampung Umur 12 Minggu yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Silase Ikan ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung silase ikan terhadap kecernaan protein kasar ransum yang diukur berdasarkan nilai retensi nitrogen. Tepung silase ikan yang digunakan berasal dari ikan rucah yang diolah melalui proses silase dan ditambahkan dedak padi (perbandingan 1:1) sebagai pengikat. Tepung silase ikan diberikan pada taraf 0, 60, 80 dan 100% dalam ransum ayam kampung umur 4-12 minggu. Pengukuran retensi nitrogen diukur pada waktu ayam kampung berumur 12 minggu dengan metode Hill dan Anderson (1958). Nilai retensi nitrogen yang diperoleh menunjukkan besarnya protein kasar yang dapat dimanfaatkan dalam tubuh ayam kampung dari ransum yang mengandung tepung silase ikan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .......................................................................................
ii
ABSTRACT ..........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...........................................................................
vii
DAFTAR ISI .........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xii
PENDAHULUAN .................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................... Perumusan Masalah ................................................................... Tujuan ........................................................................................
1 1 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
3
Silase Ikan .................................................................................. Pembuatan Silase Ikan ................................................................ Silase Biologis ................................................................ Silase Kimiawi ............................................................... Tepung Silase Ikan ..................................................................... Ayam Kampung ......................................................................... Retensi Nitrogen ........................................................................ Penggunaan Tepung Silase Ikan pada Unggas .............................. Dedak Padi sebagai Bahan Pengikat Silase Ikan ...........................
3 4 5 5 6 6 8 9 10
METODE ..............................................................................................
12
Waktu dan Tempat ..................................................................... Materi ........................................................................................ Ternak ............................................................................ Ransum .......................................................................... Kandang dan Peralatan ................................................... Obat- obatan dan Sanitasi ................................................. Rancangan Percobaan .................................................................
12 12 12 12 14 14 16
PEUBAH YANG DIAMATI ...................................................................
17
Prosedur Pelaksanaan ..................................................................
17
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
19
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
27
Kesimpulan ................................................................................ Saran ..........................................................................................
27 27
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
29
LAMPIRAN ..........................................................................................
32
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan Zat Makanan Tepung Silase Ikan Kimia dan Biologi ..
4
2. Kandungan Zat Makanan Ransum Broiler Komersial Periode Starter
13
3. Kandungan Zat Makanan Tepung Silase Ikan ( TSI ) ....................
13
4. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Analisis Laboratorium ................................................................................
13
5. Rataan Konsumsi, Ekskresi dan Retensi Nitrogen...........................
18
6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Kampung Umur 5-12 Minggu ( g/ekor) .........................................................................................
23
7. Rataan Konversi Ransum Ayam Kampung Umur 5-12 Minggu......
24
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Proses Pembuatan Tepung Silase Ikan............................................
15
2. Grafik Persamaan Regresi antara Pertambahan Bobot Badan dan Retensi Nitrogen.............................................................................
23
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis Ragam Konsumsi N (Gram)..............................................
33
2. Analisis Ragam Ekskresi N (Gram) ................................................
33
3. Analisis Ragam Retensi N dalam Gram (Gram).............................
34
4. Analisis Ragam Retensi N dalam Persen (%).................................
34
PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam kampung merupakan ayam lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan sudah menjadi salah satu bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan di berbagai wilayah Indonesia. Ayam kampung mempunyai berbagai keunggulan diantaranya mempunyai kualitas daging yang baik dan lebih tahan terhadap penyakit bila dibandingkan dengan ayam ras, sehingga ayam kampung ini menjadi salah satu komoditi yang sangat digemari masyarakat dan permintaannya pun semakin meningkat. Pemeliharaan yang sederhana dan cenderung sambilan serta pemberian ransum yang hanya mengandalkan sisa-sisa makanan yang terbuang tidak dapat mengimbangi permintaan dari konsumen terhadap komoditi ayam kampung ini. Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi besar di bidang perikanan. Salah satu potensi itu adalah ikan rucah. Ikan rucah merupakan hasil ikutan pada saat proses penangkapan dan penanganan ikan. Ikan rucah mempunyai sifat mudah busuk, harganya murah dan terkadang menjadi limbah saja. Apabila ikan rucah ini dijadikan tepung silase ikan maka akan dihasilkan tepung silase ikan yang bernilai ekonomis sebagai ransum ternak khususnya unggas, sehingga akan mengurangi biaya pakan yang selama ini menjadi masalah terbesar dalam peternakan unggas. Silase ikan rucah ini sangat baik apabila digunakan pada saat musim panen raya untuk persediaan ransum ternak pada musim paceklik. Silase ikan merupakan alternatif pemanfaatan limbah ikan selain diolah menjadi tepung ikan yang selama ini telah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani pada ternak terutama ternak unggas. Salah satu tujuan dari pemanfaatan limbah ikan menjadi silase ikan adalah pemanfaatan limbah ikan pada saat musim panen raya untuk persediaan ransum ternak pada musim paceklik. Tepung silase ikan merupakan proses lanjutan dari pembuatan silase ikan. Tepung silase ikan dibuat dengan tujuan untuk mempermudah dalam hal penyimpanan, penggudangan dan distribusi. Perumusan Masalah Tepung silase ikan merupakan salah satu sumber pakan yang berasal dari limbah perikanan yang mempunyai kandungan protein yang tinggi. Oleh karena itu
tepung silase ikan sangat berpotensi untuk dijadikan pakan ternak unggas. Ayam kampung adalah ternak unggas yang kebutuhan proteinnya relatif rendah dibandingkan dengan ternak unggas lainnya terutama ayam broiler. Melalui pengukuran nilai retensi nitrogen diharapkan dapat diperoleh taraf terbaik pemberian tepung silase ikan dalam ransum ayam kampung. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung silase ikan terhadap nilai retensi nitrogen ayam kampung umur 12 minggu. .
2
TINJAUAN PUSTAKA Silase Ikan Silase adalah pakan ternak yang telah mengalami proses fermentasi (ensilase) yang bertujuan untuk memanfaatkan bahan makanan yang mudah rusak/busuk sehingga dapat disimpan dan digunakan sebagai pakan ternak dalam waktu yang lebih lama. Silase ikan adalah ikan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya yang diawetkan dalam kondisi asam pada tempat/wadah, baik dengan penambahan asam (silase kimiawi) atau dengan fermentasi (silase biologis) dan produknya berupa barang cair (Kompiang dan Ilyas, 1983), sedangkan menurut Dzajuli et al. (1998), silase ikan adalah bentuk hidrolisa protein beserta komponen lain dalam ikan pada suasana asam sehingga mikroorganisme pembusuk tidak dapat hidup karena pH berkisar 4. Silase ikan merupakan produk bioteknologi berupa lumatan ikan seperti bubur dalam suasana asam dengan rantai asam amino sebagai penyusun protein menjadi lebih pendek dan bahkan sebagian menjadi asam amino. Menurut Raa dan Gilberg (1982) bahwa silase ikan dapat kehilangan sekitar 30% trypthopan selama penyimpanan 40 hari pada suhu kamar 30oC. Kandungan zat makanan silase ikan yang dibuat dari ikan rucah kelembabannya berkisar antara 63-70%. Kandungan protein kasar silase ikan berkisar antara 15-18% dan kandungan lemaknya berkisar antara 2-5%, sedangkan kandungan mineralnya meliputi kandungan kalsium dan phospornya berkisar antara 1-3% dan 0,3-0,9% (Kompiang dan Ilyas, 1983). Rose et al.(1994) membuat silase ikan secara kimia dan biologi. Silase ikan yang dibuat secara kimia ditambahkan asam format sedangkan pembuatan silase ikan secara biologi dengan menggunakan kultur L. plantarum dan P. acidilactica. Kandungan zat makanan silase ikan disajikan dalam Tabel 1. Secara umum kandungan zat makanan yang dikandung silase ikan kimiawi lebih tinggi dibandingkan dengan silase ikan biologis tetapi silase ikan biologis mengandung bahan kering yang labih tinggi daripada silase ikan kimiawi.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Tepung Silase Ikan Kimiawi dan Biologis Zat Makanan
Silase Ikan Kimia
Silase Ikan Biologi
Bahan Kering (g/kg)
217
308
Energi Bruto (MJ/kg)
20,56
16,54
Protein Kasar (g/kg)
558
355
Lisin (g/kg)
39
32
Metionin (g/kg)
12
4
Threonin (g/kg)
48
44
Isoleusin (g/kg)
24
16
Valin (g/kg)
24
9
Tyrosin (g/kg)
16
9
Phenilalanin (g/kg)
19
12
Leusin (g/kg)
37
20
Sumber : Rose et al. (1994)
Pembuatan Silase Ikan Prinsip pembuatan silase adalah menurunkan nilai pH (derajat keasaman) bahan yang diawetkan, sehingga pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dihambat atau dimatikan (Dzajuli et al., 1998). Penurunan nilai pH tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kimiawi dengan penambahan asam (asam format, asam asetat atau asam propionat) dan secara biologis dengan proses fermentasi yang memerlukan sumber karbohidrat. Silase ikan yang diolah secara kimiawi mempunyai kandungan zat makanan yang lebih tinggi daripada silase ikan yang diolah secara biologis, baik itu bahan keringnya, protein kasarnya, kandungan kalsium dan pospornya maupun kandungan asam aminonya yang berupa lisin dan metionin. Rose et al.(1994) menyatakan bahwa kandungan bahan kering
silase ikan yang dibuat secara kimiawi lebih rendah
daripada kandungan bahan kering silase ikan yang dibuat dengan fermentasi tetapi kandungan energi bruto, protein kasar dan asam amino silase ikan kimiawi lebih tinggi daripada kandungan energi bruto, protein kasar dan asam amino silase ikan yang dibuat dengan cara fermentasi. 4
Silase Biologis Menurut Dzajuli et al. (1998), proses silase biologis murni berarti tidak menggunakan bahan kimia dan disebut metode fermentasi. Proses ini dilakukan dengan menambahkan mikroorganisme tertentu, biasanya Bacillus tertentu dengan jumlah yang cukup dan diinkubasi pada suhu optimum bakteri tersebut (berkisar 30 0
C) suhu kamar (tropis) dan kondisi anaerob. Waktu fermentasi biasanya berlangsung relatif lama, lebih dari 10 hari,
ditandai dengan hancurnya daging dan rapuhnya tulang sehingga bentuk akhir menjadi seperti bubur, tidak berbau busuk. Kendatipun tidak ditambahkan air tetapi silase akan berbentuk bubur karena bahan bakunya sendiri sudah mengandung air antara 70-80%, dan tidak berbau busuk karena tidak ada proses pembusukan dan yang terjadi adalah proses fermentasi. Silase Kimiawi Proses silase secara kimiawi adalah proses pembuatan silase dengan menambahkan bahan kimia yang bersifat asam kedalam bahan baku. Bahan kimia tersebut dapat berfungsi ganda yaitu menumbuhkan bakteri pembusuk dan mulai berfungsi sebagai pemecah rantai asam amino pada protein yang disebut hidrolisa. Dalam suasana asam, bakteri tahan asam misalnya Bacillus yang secara alamiah terdapat di lingkungan akan tumbuh berkembang dan menyebabkan terjadinya fermentasi. Oleh sebab itu fungsi bahan kimia tersebut dapat dikatakan sebagai starter (Dzajuli et al., 1998). Asam yang digunakan dalam pembuatan silase ikan dapat berupa asam anorganik (asam mineral) misalnya asam khlorida, asam nitrat, dan bahkan asam sulfat atau asam organik misalnya asam format (HCOOH), asam asetat (CH3COOH) dan asam propionat (CH3CH2COOH). Asam mineral jarang digunakan karena asam tersebut relatif kurang dapat diterima oleh makhluk hidup yang mengkonsumsi silase, khususnya bila berlebihan. Hal ini karena asam mineral sebagai asam anorganik tidak mudah dirubah dalam proses biokimia yang terdapat dalam tubuh hewan yang mengkonsumsinya dan dapat menyebabkan intoksinasi (timbulnya zat beracun). Asam organik relatif mudah mengalami proses biokimia karena hanya mengandung atom karbon, hidrogen dan oksigen (Dzajuli et al., 1998). Namun asam organik umumnya lebih mahal daripada asam anorganik tetapi menghasilkan silase 5
ikan yang tidak terlalu asam sehingga dapat langsung diberikan pada ternak tanpa dinetralkan terlebih dahulu. Asam yang sering digunakan dalam proses pembuatan silase secara kimiawi di Indonesia adalah asam format dan asam propionat dengan perbandingan 1 : 1 sebanyak 3% dari bobot bahan baku yang digunakan. Penggunaan asam propionat bertujuan untuk menghindari pertumbuhan jamur (Kompiang, 1990). Silase ikan bersifat higroskopis, karena sifatnya higrokopis, maka pengeringan dapat dipermudah dengan penambahan filler seperti dedak padi dan dengan adanya asam propionat campuran silase basah dan filler ini dapat bertahan hingga 3 bulan sebelum dikeringkan (Kompiang dan Ilyas, 1983). Tepung Silase Ikan Tepung silase ikan merupakan proses lanjut dari pengolahan silase ikan dengan penambahan bahan pengikat (filler). Filler berupa bahan pakan sumber energi yang bersifat higroskopis, seperti tepung gaplek, dedak padi dan pollard untuk mempermudah pengeringan karena akan mengikat zat cair yang ada disamping mengurangi kadar air (Dzajuli et al., 1998). Penambahan filler dimaksudkan untuk menghindari kehilangan zat nutrisi yang terlalu banyak ketika dilakukan penjemuran silase sekaligus sebagai bahan pengikat untuk proses penepungan sehingga memudahkan pendistribusian. Tepung silase ikan memiliki kandungan protein kasar yang tinggi namun defisien asam amino tryptopan. Penggunaan yang terlalu tinggi dalam ransum dapat menyebabkan bau amis pada daging unggas. Ayam Kampung Ayam kampung disebut juga ayam buras (bukan ras) merupakan ternak ayam asli (native) Indonesia yang dipelihara secara tradisional oleh kebanyakan para petani di pedesaan (Satie, 1989). Ayam buras merupakan tipe ayam yang kecil dengan pertumbuhan yang lambat dan daya allih (konversi) makanan menjadi produk protein esensial yang juga rendah (Cahyono, 2002). Menurut Abidin (2002) untuk ayam kampung yang dipelihara dari DOC sampai umur 4 minggu membutuhkan ransum dengan kadar protein kasar 16%-17%, demikian juga untuk periode pemeliharaan selanjutnya, ayam kampung pedaging cukup memerlukan protein kasar 15%-16%. Dalam proses reproduksi ayam kampung membutuhkan ransum dengan kandungan 6
protein yang lebih tinggi yaitu sekitar 18%-20%. Menurut Mansjoer (1985) ayam kampung dari Indonesia mempunyai jarak genetik yang paling dekat dengan ayam hutan merah Indonesia yaitu yang dikenal dengan ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus) dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus). Ayam kampung memiliki keragaman genetik yang tinggi seperti pertumbuhan yang tidak seragam, warna bulu berbeda-beda, produksi dan berat telur kurang seragam menjadi faktor penghambat pengembangan usaha ternak ayam kampung. Ayam kampung mempumyai warna yang beragam sekali, mulai dari hitam, putih, kekuningan, kecoklatam, merah tua dan kombinasi dari warna-warna tersebut dan tubuh ayam kampung lebih kuat dan lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan ayam ras (Mansjoer, 1985). Belum adanya standar kebutuhan ayam kampung seleksi yang baik menambah sulitnya mengembangkan usaha tersebut. Creswell dan Gunawan (1982) menyatakan pada umur 3 bulan bobot ayam kampung mencapai 708 g/ekor dengan pakan yang digunakan mengandung protein kasar 20%, dan untuk kondisi seperti di Indonesia akan lebih menguntungkan apabila memberikan ransum dengan tingkat energi medium yaitu sekitar 2.500-3.000 kkal/kg ransum. Menurut Iskandar et al.(1991) ransum ayam buras pada periode pertumbuhan mengandung 14% protein kasar dan 2.600 kkal/kg energi metabolis. Desmayanti et al.(1988) menggunakan ransum dengan kandungan protein yang sama (14%) dan tingkat energi yang berbeda (2.450; 2.600; 2.750; 2.900 kkal/kg) untuk ayam kampung yang dipelihara selama 12 minggu dan didapatkan hasil bahwa pemberian ransum dengan protein 14% dan energi 2.900 kkal/kg, pertambahan bobot badannya paling tinggi yaitu sebesar 546,1 g/ekor dengan konsumsi ransum sebesar 2.198,76 g/ekor dan mempunyai nilai konversi terendah sebesar 4,05. Menurut Khalil et al.(2001) ayam kampung yang dipelihara selama 12 minggu yang diberi ransum dengan kandungan protein kasar antara 14,40%-17,50% dan energi metabolis 2.400-2.600 kkal/kg menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 359,20-424,80 g/ekor dengan konsumsi pakan sebesar 1.853,10-2.188,10 g/ekor dan konversi ransumnya sebesar 5,70-6,20. Ayam kampung yang diberi ransum dengan kandungan protein kasar 18-20% dan energi metabolis 2.700-2.800 kkal/kg selama 8 minggu pemeliharaan menghasilkan pertambahan bobot badan
7
sebesar 396,50-454,58 g/ekor dengan konsumsi ransum sebesar 1.901,30-2.303,10 g/ekor dan konversi ransum sebesar 4,38-5,17 (Kurtini, 1995). Mansjoer (1985) menyatakan bahwa dasar pertumbuhan adalah pertambahan berat organ-organ tubuh dan struktur jaringan dimana pertumbuhan tercepat terjadi saat ayam kampung berumur 4-12 minggu yang ditandai oleh cepatnya pertumbuhan bulu dan organ dalam, namun dipengaruhi oleh lingkungan, ransum, dan penyakit. Pertumbuhan mempunyai tahapan yang cepat dan lambat. Tahapan yang cepat terjadi dari mulai lahir hingga mencapai pubertas, sedangkan tahapan yang lambat terjadi saat dewasa. Karena pemeliharaannya masih tradisional (ekstensif), yaitu pemeliharaan secara “umbaran” dengan dilepas begitu saja, dengan makanan seadanya dan seketemunya, justru mengakibatkan kerugian bagi para peternak (Satie, 1989). Retensi Nitrogen Scott et al. (1982) menyatakan kualitas protein dapat diukur melalui retensi nitrogen atau satu-satuan seperti nilai biologis, rasio efisiensi protein (PER) dan neraca nitrogen. Protein bahan makanan ternak termasuk dalam zat-zat yang mengandung nitrogen. Kandungan dalam makanan ternak dapat diketahui dengan menentukan kandungan nitrogen secara kimiawi. Kandungan protein dalam makanan ternak dapat diketahui dengan menentukan kandungan nitrogennya secara kimiawi (Anggorodi, 1995). Baik tidaknya kualitas protein dalam makanan ternak ditentukan oleh besar kecilnya nitrogen yang diserap oleh ternak. Tidak semua protein yang masuk ke dalam tubuh dapat diretensi, tetapi tergantung pada faktor genetik dan umur (Wahju, 1997). Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi yang kecil dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen. Semakin tinggi jumlah protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi kandungan protein yang dikeluarkan melalui urin dan feses. Retensi nitrogen adalah jumlah konsumsi nitrogen dikurangi dengan ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous. Sejumlah nitrogen dalam protein pakan yang mampu ditahan dan dipergunakan oleh ternak dinamakan retensi nitrogen (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Menurut Scott et al. (1982), perhitungan retensi nitrogen 8
adalah untuk mengetahui nilai kecernaan protein suatu bahan organik bahan makanan. Nitrogen endogenous menurut Sibbald (1989) adalah nitrogen dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yaitu peluruhan sel mukosa usus, empedu dan saluran pencernaan. Nilai retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif yang dipengaruhi oleh konsumsi nitrogen, tetapi meningkatnya konsumsi nitrogen tidak selalu disertai peningkatan bobot badan (Wahyu, 1997). Tingkat retensi nitrogen bergantung pada konsumsi nitrogen dan energi metabolis ransum, akan tetapi peningkatan protein ransum tidak selalu disertai dengan peningkatan bobot badan bila energi ransum rendah. Pada tingkat protein yang sama, pertambahan bobot badan meningkat dengan semakin tingginya energi dalam ransum. Apabila nitrogen yang dikonsumsi lebih besar daripada nitrogen yang diekskresikan, berarti hewan tersebut dalam keadaan retensi nitrogen yang positif, sedangkan retensi nitrogen negatif terjadi bila nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada yang diekskresikan. Retensi nitrogen positif berarti hewan tersebut mendapatkan pertambahan bobot badan karena tenunan ototnya bertambah. Retensi nitrogen negatif menunjukan bahwa hewan telah kehilangan nitrogen dan kejadian ini tidak selalu ditunjukan oleh turunnya bobot badan, terutama jika energi dalam ransum tinggi (Lloyd et al., 1978). Selain itu menurunnya retensi nitrogen pada tingkat penggunaan protein tertentu yang disertai penggunaan energi yang rendah disebabkan karena sebagian protein digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi sehingga pertambahan bobot badan akan menurun. Sibbald menyatakan bahwa penelitian dengan menggunakan waktu pengumpulan ekskreta selama 0-24 jam dan 24-48 jam dapat menghasilkan ekskresi nitrogen berbeda nyata untuk setiap hari pengumpulan ekskreta demikian pula dengan besarnya ekskresi nitrogen per bobot badan berbeda nyata lebih rendah setiap harinya sedangkan metode pengumpulan ekskreta tidak berbeda nyata terhadap besarnya ekskresi nitrogen. Penggunaan Tepung Silase Ikan pada Unggas Djazuli et al. (1998) telah memberikan tepung silase ikan (TSI) yang dibuat secara kimia dengan bahan pengikat (filler) dedak padi, pada ayam pedaging dengan terlebih dahulu mencampurnya dengan ransum ayam komersil (RK). Hasil yang 9
diperoleh menunjukkan bahwa ayam yang mendapat ransum yang mengandung tepung silase ikan (TSI) memiliki kandungan omega-3 pada lemak daging yang lebih tinggi dibandingkan ayam yang hanya mendapat ransum komersial. Hermana et al. (2001) menggunakan tepung silase ikan dengan filler dedak padi (TSID) dan polar (TSIP) sebanyak 25% dan 50% dalam ransum dengan energi metabolis sebesar minimal 2.800 kkal/kg dan maksimal 3.300 kkal/kg dan protein kasar minimal 19,5% dan maksimal 22,7%. Hasil yang diperoleh adalah tepung silase ikan dengan filler dedak padi (TSID) atau polar (TSIP) dapat digunakan hingga 50% dalam ransum, tanpa mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan berat badan, konversi ransum dan berat badan akhir ayam AKSAS. Penggunaan tepung silase ikan yang terlalu tinggi akan menyebabkan daging bau amis. Kompiang (1985) menggunakan silase ikan kimiawi dan biologis dalam ransum ayam pedaging dan didapatkan hasil bahwa penggunaan silase ikan kimiawi menghasilkan pertambahan bobot badan yaitu 364 g/ekor lebih rendah dibandingkan dengan pertambahan bobot badan ayam yang diberi silase ikan biologis yaitu sebesar 462 g/ekor dan penggunaan silase ikan biologis sebanyak 15% tidak berdampak negatif terhadap performans ayam. Silase ikan biologis mengandung lebih sedikit protein dan asam amino dibandingkan dengan silase ikan kimiawi. Ologhobo et al.(1988) juga mengggunakan silase ikan (sudah dinetralisir dengan sodium hidroksida dan yang masih dalam keadaan asam). Silase ikan yang digunakan sebanyak 6% dalam ransum dan didapatkan hasil bahwa konsumsi ransum lebih rendah namun efisiensi pakannya lebih tinggi dibanding ransum kontrol, mortalitas paling tinggi pada ayam yang mendapat silase ikan yang bersifat asam, diikuti oleh silase ikan netral dan terendah pada ransum kontrol. Dedak Padi sebagai Bahan Pengikat Silase Ikan Menurut National Research Council (1994) dedak padi mempunyai kandungan kadar air 11% dan mengandung energi metabolis sebesar 2.980 kkal/kg. Kandungan protein kasar dan serat kasar dedak padi sebesar 12,9% dan 11,4%, sedangkan kandungan lemak kasarnya sebesar 13%. Dedak padi digolongkan sebagai sumber energi, sumber kelompok vitamin B dan kandungan lemaknya tinggi. Dedak padi dibagi dalam 3 jenis yaitu dedak kasar, dedak halus dan bekatul (Amrullah, 2004). 10
Dedak padi mengandung minyak dan serat kasar yang tinggi. Tingginya kandungan minyak menyebabkan dedak padi mudah mengalami ketengikan bila didiamkan pada suhu kamar. Penggunaan dedak padi hingga taraf lebih dari 40% dapat menyebabkan pertumbuhan sering tertunda dan efisiensi pakan menurun akibat adanya inhibitor tripsin dan tingginya asam fitat. Inhibitor tripsin mudah dihancurkan oleh panas tetapi asam fitat lebih tahan menyebabkan ketersediaan phospornya sangat rendah sehingga dapat mengganggu keseimbangan kalsium phospor (Amrullah, 2004).
11
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2003 bertempat di Laboratorium. Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak Penelitian ini menggunakan 80 ekor anak ayam kampung berumur 1 hari (DOC) yang dipelihara sampai umur 4 minggu tanpa diberi ransum perlakuan. Setelah dipelihara selama 4 minggu, ayam kampung tersebut dibagi menjadi 16 kandang dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dan setiap kandang berisi 5 ekor ayam yang dipelihara selama 8 minggu. Jumlah ternak yang digunakan untuk pengukuran retensi nitrogen adalah 36 ekor ayam kampung umur 12 minggu yang dibagi dalam 12 kandang metabolis. Ransum Bahan baku tepung silase ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan rucah. Pengolahan ikan menjadi silase dengan asam format 90% dengan bahan pengikat dedak padi dan soda abu sebagai bahan penetral. Ransum untuk ayam kampung umur 0-4 minggu menggunakan ransum ayam kampung yang merupakan campuran dari ransum broiler komersial periode starter dan dedak padi dengan perbandingan 1:1. Kandungan zat makanan ransum broiler komersial periode starter disajikan pada Tabel 2. Kandungan zat makanan tepung silase ikan (TSI) berdasarkan hasil analisis laboratorium disajikan pada Tabel 3. Proses pembuatan tepung silase ikan disajikan pada Gambar 1 dan kandungan zat makanan ransum penelitian berdasarkan hasil analisis laboratorium disajikan pada Tabel 4.
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum Broiler Komersial Periode Starter Zat Makanan
Jumlah
Protein Kasar (%)
21-23
Lemak Kasar (%)
4-6
Serat Kasar (%)
4-6
Abu (%)
7-9
Kalsium (%)
0,9-1,0
Phospor Total (%)
0,6-1,0
Keterangan : PT. Indonesia Formula Feed ( INDOFEED ), 2003.
Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Tepung Silase Ikan ( TSI ) Zat Makanan
Jumlah
Protein Kasar ( % )
26,58
Serat Kasar ( % )
3,72
Kalsium ( % )
1,56
Phospor Total ( % )
1,80
Energi Bruto ( kkal/kg )
3.551,00
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, 2003.
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Analisis Laboratorium Zat Makanan
P1
P2
P3
P4
Protein Kasar ( % )
18,43
23,32
24,95
26,58
Serat Kasar ( % )
7,86
5,30
4,55
3,72
Kalsium ( % )
0,55
1,16
0,89
1,56
Phospor Total ( % )
1,54
1,70
1,75
1,80
Energi Bruto ( kkal/kg)
3.959,00
3.714,00
3.633,00
3.551,00
Energi (kkal/klg)*
2.870,00
2.693,00
2.634,00
2.574,00
Metabolis
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, 2003. P1. =100 % ransum ayam kampung (campuran ransum broiler starter dengan dedak padi = 1:1) P2 =Ransum yang menggunakan 60 % TSI + 40 % ransum ayam kampung P3 =Ransum yang menggunakan 80 % TSI + 20 % ransum ayam kampung P4 =Ransum yang menggunakan 100 % TSI. * Energi Metabolis (kkal/kg) = 0,725 X Energi Bruto
13
Kandang dan Peralatan Kandang sistem litter dengan ukuran 1 x 1 x 1 m sebanyak 16 buah disekat menggunakan ram kawat. Kandang dilengkapi tempat pakan dan tempat air minum, serta lampu pijar 60 watt di setiap kandang masing-masing berjumlah satu buah. Kandang yang digunakan untuk pengukuran retensi nitrogen adalah kandang metabolis sebanyak 13 buah dan peralatan yang digunakan antara lain : H2SO4 0,1 N, plastik hitam dan alat semprot. Obat-obatan dan Sanitasi Obat-obatan awal yang digunakan adalah air gula yang diberikan saat ayam datang dengan tujuan menyediakan sumber energi yang mudah diserap untuk mengatasi stress akibat pengangkutan. Untuk mencegah penyakit tetelo atau ND, maka ternak percobaan diberi vaksin ND melalui air minum pada umur 3 hari dan 3 minggu. Ayam diberi Vitastress yang dicampurkan pada air minum untuk mencegah stress yang diberikan sebelum dan sesudah penimbangan berat badan ayam. Sanitasi peralatan makan, peralatan minum dan peralatan lainnya menggunakan lisol. Sanitasi kandang juga dilakukan dengan penggantian sekam dan sanitasi sekitar kandang.
14
Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Silase Ikan Proses pembuatan tepung silase ikan dimulai dengan membersihkan ikan dari kotoran-kotoran untuk menghindari kemungkinan terganggunya proses fermentasi bahan. Setelah itu dicacah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan tujuan memperluas permukaan bahan sehingga proses pembuatan silase dapat berlangsung lebih cepat. Ikan rucah tersebut dimasukan ke dalam wadah plastik (tong) dan ditambahkan HCOOH (asam format) sebanyak 3% dari berat bahan, diaduk sampai rata lalu ditutup rapat supaya tidak ada udara yang masuk (anaerob). Bahan tersebut
15
didiamkan selama 5 hari sampai pH = 4. Bahan yang berasal dari ikan rucah ini menjadi silase dalam bentuk bubur dalam keadaan asam. Hal ini menandakan bahwa proses fermentasi telah menghasilkan silase ikan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Sebelum digunakan sebagai pakan dan diberikan ke ternak, dilakukan penambahan soda abu (Na2CO3) sebanyak 1% dari bobot silase untuk menetralkan pH silase agar tidak menimbulkan pengaruh negatif pada ternak. Untuk mempermudah proses pengeringan, ditambahkan filler (bahan pengikat). Bahan pengikat yang digunakan pada penelitian ini adalah dedak padi. Silase yang telah dicampur dedak padi kemudian dijemur sampai kering matahari lalu digiling menjadi bentuk tepung (mash). Ransum Perlakuan Penelitian tepung silase ikan (TSI) dengan bahan pengikat (filler) dedak padi terdiri dari 4 macam yaitu : R1 = Ransum yang menggunakan 100 % ransum ayam Kampung (campuran ransum broiler starter dengan dedak padi = 1:1) ; R2 = Ransum yang menggunakan 60 % TSI + 40 % ransum ayam Kampung ; R3 = Ransum yang menggunakan 80 % TSI + 20 % ransum ayam Kampung ; R4 = Ransum yang menggunakan 100 % TSI. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematika yang digunakan :
Yij = µ + αi + εij Keterangan : Yij= nilai respon dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai rata-rata α = pengaruh perlakuan ke-i εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA) dan jika hasil yang diperoleh berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal (Steel dan Torrie, 1993). 16
PEUBAH YANG DIAMATI 1. Konsumsi Nitrogen Merupakan hasil perkalian antara jumlah konsumsi pakan dangan kandungan Nitrogen (N) pakan perlakuan. Konsumsi Nitrogen (gram) = Konsumsi pakan x kandungan N pakan 2. Ekskresi Nitrogen (gram) Merupakan hasil perkalian antara kandungan Nitrogen ekskreta dengan jumlah ekskreta yang dikeluarkan. Ekskresi Nitrogen (gram) = Jumlah ekskreta x kandunngan N ekskreta 3. Nitrogen Endogenous Diperoleh dari kandungan nitrogen ekskreta ayam yang dipuasakan dikalikan dengan berat ekskreta. 4. Retensi Nitrogen (gram). Perhitungan nilai retensi nitrogen adalah untuk mengetahui nilai kecernaan protein dalam bahan makanan. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) dan Wolynetz dan Sibbald (1984), retensi nitrogen dihitung dengan rumus: Retensi Nitrogen (gram) = Konsumsi N – (Ekskresi N – N endogenous) Retensi Nitrogen (%)
=
(
)
Konsumsi N − Ekskresi N − N endogenous × 100% Konsumsi N
Prosedur Pelaksanaan Ayam kampung umur 1-4 minggu diberi ransum ayam kampung yang merupakan campuran ransum broiler starter dengan dedak padi dengan perbandingan 1:1.
Ayam kampung umur 4 sampai 12 minggu diberi ransum
perlakuan yaitu R1: 100% ransum ayam kampung (campuran ransum broiler starter dengan dedak padi = 1:1), R2: 40% ransum ayam kampung + 60% TSI, R3: 20% ransum ayam kampung + 80% TSI dan R4: 100% TSI tanpa ransum ayam kampung. Ayam diberi ransum dan air minum ad libitum. Sanitasi kandang dan peralatan penunjang dikontrol setiap hari. Setelah berumur 12 minggu ayam dipanen. Pengumpulan ekskreta dilakukan sekali pada saat ayam kampung berumur 12 minggu. Sebelumnya ayam dipuasakan selama 24 jam, kemudian dilakukan penampungan ekskreta selama 24 jam. Ekskreta ditampung di atas plastik hitam berukuran 50 x 100 cm. Setiap 2 jam sekali ekskreta
17
disemprot dengan larutan H2SO4 0,1 N. Ekskreta yang dihasilkan ditimbang lalu dianalisis kandungan nitrogennya.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Respon pemberian tepung silase ikan terhadap retensi nitrogen pada ayam kampung penelitian dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Ekskresi dan Retensi Nitrogen Perlakuan
Konsumsi (gram)
Ekskresi (gram)
R1
2,55±0,21
R2
Retensi Nitrogen (gram)
(%)
1,33±0,14
1,40±0,14c
54,79±3,70d
2,41±0,40
1,57±0,19
1,02±0,21b
42,30±2,04b
R3
2,39±0,39
1,43±0,17
1,14±0,23b
47,44±2,46c
R4
1,94±0,08
1,51±0,08
0,60±0,03a
30,72±1,96a
Keterangan :Tanda superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01).
Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai ekskresi nitrogen untuk semua perlakuan lebih rendah daripada konsumsi nitrogennya (Tabel 5). Hal ini menunjukkan adanya nitrogen yang tertinggal dalam tubuh ayam penelitian sehingga dapat dikatakan bahwa retensinya positif. Nizel (1964) menyatakan apabila nitrogen yang dikonsumsi lebih besar daripada nitrogen yang diekskresikan, berarti hewan tersebut dalam keadaan retensi nitrogen yang positif, sedangkan retensi nitrogen negatif terjadi bila nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada yang diekskresikan. Menurut Maynard dan Loosly (1962) retensi nitrogen positif berarti hewan tersebut mendapatkan pertambahan bobot badan karena tenunan ototnya bertambah. Jumlah nitrogen yang diretensi untuk R 1, R 2, R 3 dan R 4 berturut-turut adalah 1,40 g (54,79%); 1,02 g (42,30%); 1,14 g (47,44%) dan 0,60 g (30%). Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap retensi nitrogen. Nilai retensi nitrogen pada perlakuan R1 sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan R2, R3 dan R4. Tingginya retensi nitrogen pada R1 menunjukkan bahwa kualitas pakan tanpa penambahan tepung silase ikan lebih baik dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung silase ikan, baik yang 60%, 80% ataupun 100% tepung silase ikan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kualitas protein R1 lebih baik dibanding dengan R2, R3 dan R4. Protein yang berkualitas baik akan meningkatkan pertambahan bobot badan
untuk setiap unit protein yang dikonsumsi dibandingkan dengan protein yang berkualitas rendah (Scott et al., 1982). Anggorodi (1995) menyatakan bahwa kualitas kandungan protein bahan makanan tergantung dari komposisi asam aminonya dan tergantung pula bagaimana asam-asam amino tersebut digunakan oleh ternak. Meningkatnya kandungan protein ransum akibat penambahan tepung silase ikan menyebabkan penurunan nilai retensi nitrogen. Hal ini diduga bahwa kualitas protein yang terkandung dalam tepung silase ikan kurang dapat dicerna dengan baik. Tepung silase ikan defisien akan asam amino trypthopan. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa penggunaan asam amino dalam tubuh ternak berdasarkan jenis maupun jumlahnya sehingga protein yang berkualitas baik akan mengandung semua asam amino esensial yang dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan normal. Dilihat dari kandungan proteinnya, ransum R1 memiliki kandungnan protein yanga paling rendah (18,43%) jika dibandingkan dengan R2 (23,32%), R3 (24,95%) dan R4 (26,58%). Walaupun demikian, nilai retensi nitrogen R1 menunjukan nilai yang paling tinggi (54,79%) dibandingkan dengan R2 (42,30%), R3 (47,44%) dan R4 (30,72%). Tingginya nilai retensi nitrogen pda R1 diduga karena kandungan proptein pada pakan kontrol sudah mencukupi kebutuhan protein ayam kampung umur 12 minggu sehingga protein yang dicerna dan diserap tubuh ayam lebih efisien. Ransum ayam buras pada periode pertumbuhan mengandung 14% protein kasar dan 2.600 kkal/kg energi metabolis. Ransum R1 merupakan ransum yang paling sesuai dibandingkan dengan ransum R2, R3 dan R4, Bahan pakan yang digunakan
merupakan bahan lokal
dan diolah
sendiri sehingga
sangant
memungkinkan bahwa kualitas pakan yang dihasilkan rendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sudrajat (2000) yang mengatakan bahwa penggunaan tepung ikan, jagung, bekatul, dedak dan polar seringkali mutunya berubah baik itu sebagai sumber energi ataupun sebagai sumber protein dan dibawah mutu standar sehingga kuallitas protein dalam ransum rendah. Rendahnya kualitas protein menyebabkan ternak tidak dapat memanfaatkan nutrisi yang masuk dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tillman et al. (1998) bahwa kualitas protein yang rendah dapat mengakibatkan lambatnya pertumbuhan dan tingginya kadar protein dalam urin oleh karena protein yang dikonsumsi tidak dapat diserap dan digunakan oleh tubuh ternak.
20
Berdasarkan jumlah ransum yang dikonsumsi menunjukan bahwa konsumsi ransum R1 (2,55 gram) adalah yang tertinggi dibanding dengan konsumsi R2 (2,41 gram), R3 (2,39 gram) dan R4 (1,94 gram). Hal ini dapat diartikan bahwa ransum R1lebih palatabel dibanding dengan ransum R2, R3 dan R4 yang mengandung tepung silase ikan. Tepung silase ikan menyebabkan pakan kurang palatabel karena menimbulkan bau amis pada pakan. Tabel 5 menunjukan bahwa penambahan tepung silase ikan secara umum menurunkan konsumsi pakan. Konsumsi pakan terendah ditunjukan oleh R4 yang menggunakan 100% tepung silase ikan. Penggunaan 100% tepung silase ikan menyebabkan bau amis sehingga ternak tidak mau mengkonsumsi pakan tersebut. Ransum R2 dan R3 menunjukan nilai retensi nitrogen yang nyata lebih tinggi dibanding R4 dan nyata lebih rendah dari R1. Ransum R2 dan R3 memiliki kandungan protein kasar berturut-turut 23,32% dan 24,95%. Walaupun memiliki kandungan protein kasar yang lebih tinggi dibanding R1 (18,43%), namun selain kualitas protein tepung silase ikan, juga dikarenakan kurang efektifnya pemberian pakan dengan protein diatas 20%. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Umar et al. (1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan akan protein di atas 20% dalam ransum ayam kampung sudah tidak efisien. Ayam buras merupakan tipe ayam yang kecil dengan pertumbuhan yang lambat dan daya alih makanan menjadi produk protein esensial yang juga rendah (Cahyono, 2002). Selain itu, tidak semua protein yang masuk ke dalam tubuh dapat diretensi, tapi tergantung pada faktor genetik dan faktor umur (Wahju,1997). Berdasarkan jumlah nitrogen yang diretensi, ransum R1 menunjukan nilai yang paling tinggi (1,40 gram) dibandingkan R2 (1,02 gram), R3 (1,14 gram) dan R4 (0,6 gram). Ransum R1 diduga lebih palatabel dibanding ransum R2, R3 dan R4 sehingga menunjukan jumlah konsumsi yang paling tinggi. Retensi nitrogen yang paling rendah ditunjukan oleh R4 yang mengandung 100% tepung silase ikan dengan kandungan protein 26,58%. Rendahnya retensi nitrogen pada R4 diduga karena kandungan proteinnya terlalu tinggi melebihi kebutuhan dan kemampuan ayam dalam mencerna dan menyerap protein yang dikonsumsi, sehingga banyak protein yang tidak tercerna dikeluarkan melalui ekskreta.
21
Nitrogen yang tidak dicerna baik yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari dalam tubuh diekskresikan melalui feses. Hal lain yang diduga menyebabkan rendahnya retensi nitrogen pada ransum R4 adalah imbangan energi dan protein yang kurang sesuai. Imbangan energi protein ransum R1= 155,7; R2= 115,5; R3= 105,6 dan
R4= 96,8. Kandungan protein kasar R4 sangat tinggi
(26,58%) namun tidak diimbangi dengan energi yang cukup sehingga pemanfaatan protein dalam tubuh ternak tidak efisien. Retensi nitrogen yang menurun dengan meningkatnya protein ransum mungkin disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa retensi nitrogen tertinggi nyata dihasilkan R1 dan terendah dihasilkan R4. Perlakuan R2 dan R3 menunjukan bahwa antara retensi nitrogen dalam gram dan persen berbeda karena pengukuran dilakukan menggunakan metode Hill dan Anderson (1958) yaitu pengukuran retensi nitrogen secara bebas asal konsumsi dan ekskreta terukur. Metode ini tidak melakukan penyeragaman jumlah ransum yang dikonsumsi sehingga mempengaruhi perbedaan jumlah konsumsi dan ekskreta. Rataan pertambahan bobot badan ayam umur 5-12 minggu dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut, pertambahan bobot badan yang terjadi selama pemeliharaan 5-11 minggu tidak menunjukan perbedaan yang signifikan antara R1, R2, R3 dan R4, tetapi setelah ayam memasuki umur 12 minggu, pemberian ransum R4 yang mengandung 100% TSI menurunkan pertambahan bobot badan. Artinya bahwa pada umur 12 minggu ayam kampung kurang efisien dalam memanfaatkan ransum untuk meningkatkan pertambahan bobot badan. Menurunnya pertambahan bobot badan ini dapat juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kandungan protein yang tinggi (26,58%) dan rendahnya kandungan energi bruto ransum (3.551 kal/g). Pertambahan bobot badan ayam yang diberi ransum R4 (52,15+26,44 g) pada umur ayam 12 minggu juga lebih kecil dibandingkan dengan R1(76,01+16,19 g), R2 (89,78+18,91 g) dan R3 (93,11+24,38 g).
22
Tabel 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Kampung Umur 5-12 Minggu ( g/ekor) Minggu ke-
R1
R2
R3
R4
5
26,66+08,07
32,73+15,48
24,38+06,97
20,90+02,73
6
42,73+18,64
32,44+24,00
34,15+02,18
24,22+06,69
7
40,46+20,44
36,74+16,27
49,53+13,39
34,30+20,21
8
44,29+07,94
59,45+09,98
53,38+16,97
48,07+21,63
9
50,44+13,79
60,69+19,02
52,47+16,40
46,59+19,99
10
88,80+18,01
66,82+46,38
59,15+21,89
74,48+20,69
11
87,35+15,12
12
Rataan
80,87+18,05
87,98+27,58
a
93,11+24,38
456,73+23,82
466,01+98,18
438,03+35,49
386,67+60,24
57,09+02,98
58,25+12,27
54,75+04,44
48,33+07,55
76,01+16,19
Total
87,39+34,92 ab
89,78+18,91
a
52,15+26,44b
Keterangan : Tanda superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata ( P <0,01) R1: 100% ramsum ayam kampung (ransum komersial : dedak padi 1:1) R2: Ransum yang menggunakan 60% TSI + 40% ransum ayam kampung R3: Ransum yang menggunakan 80% TSI + 20% ransum ayam kampung R4: Ransum yang menggunakan 100% TSI
Rataan pertambahan bobot badan menunjukan bahwa pemberian ransum R4 pada ayam kampung tidak efisien. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pertambahan bobot badan yang dihasilkan selama penelitian. Tingginya kandungan protein ransum R4 tidak dapat dimanfaatkan secara efisien oleh ayam kampung. Rendahnya efisiensi penggunaan ransum R4 ditunjukan pula oleh tingginya angka konversi ransum yang terdapat pada Tabel 7. Grafik pada Gambar 2 mempunyai persamaan PBB= 43,39+10,78 Retensi N. Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa peningkatan retensi N ransum relatif meningkatkan pertambahan bobot badan ternak. Retensi N paling rendah ditunjukan oleh ransum R4 (0,60 g) yang menyebabkan pertambahan bobot badan yang rendah juga yaitu 48,33g. Retensi N tertinggi ditunjukan ransum R1 (1,40g) namun tidak menunjukan pertambahan bobot badan yang tertinggi (57,09g). Pertambahan bobot badan tertinggi ditunjukan R2 (58,25g) yang memiliki nilai retensi N 1,02g.
23
persamaan regresi pbb = 43.39 + 10.78 ret N 60.0
S R-Sq R-Sq(adj)
3.16776 65.9% 48.9%
57.5
pbb
55.0
52.5
50.0
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9 1.0 ret N
1.1
1.2
1.3
1.4
Gambar 2. Grafik Persamaan Regresi Antara Pertambahan Bobot Badan dan Retensi Nitrogen. Berdasarkan nilai rataan, konversi ransum R4 memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 5,18+1,29 dibanding dengan R1 (4,52+0,31), R2 (4,57+0,78) dan R3 (4,43+0,38). Menurut Anggorodi (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah suhu, laju perjalanan ransum melalui saluran pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat-zat makanan lainnya. Tabel. 7. Rataan Konversi Ransum Ayam Kampung Umur 5-12 Minggu Minggu ke-
R1
R2
R3
R4
5
7,55+2,51
6,79+2,91
7,54+2,38
7,09+2,01
6
4,98+1,38
6,81+2,19
5,41+0,81
7,48+2,65
7
6,82+4,37
7,90+6,85
4,26+0,89
6,09+2,44
8
4,90+1,24
4,05+0,42
4,90+1,45
4,23+1,39
9
5,13+1,12
4,46+1,21
4,52+1,16
6,27+3,34
10
3,52+0,89
4,76+1,82
3,31+0,45
3,89+2,11
11
3,73+0,65
4,72+2,11
5,62+2,24
3,83+1,19
12
5,32+1,38a
4,52+1,48a
3,89+1,01a
11,70+7,33b
Rataan
4,52+0,31
4,57+0,78
4,43+0,38
5,18+1,29
Keterangan : Tanda superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata ( P <0,01) R1: 100% ramsum ayam kampung (ransum komersial : dedak padi 1:1) R2: Ransum yang menggunakan 60% TSI + 40% ransum ayam kampung R3: Ransum yang menggunakan 80% TSI + 20% ransum ayam kampung R4: Ransum yang menggunakan 100% TSI
24
Berdasarkan Tabel 7, pemberian tepung silase ikan pada ayam kampung umur 5 sampai 11 minggu menunjukan nilai yang tidak jauh berbeda antara R1, R2, R3 dan R4. Pada umur 12 minggu, terlihat bahwa pemberian 100% TSI meningkatkan nilai konversi ransum R4 yaitu 11,70+7,33, jauh lebih tinggi dibanding R1 (5,32+1,38), R2 (4,52+1,48) dan R3 (3,89+1,01). Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah konsumsi ransum R4 pada umur 12 minggu tidak diimbangi dengan pertambahan bobot badan yang tinggi. Penggunaan TSI sampai dengan 100% dalam ransum pada ayam kampung umur 12 minggu tidak dapat menggantikan ransum kontrol (R1) karena efisiensi penggunaan ransumnya menurun dan lebih rendah dibandingkan ransum kontrol. Imbangan energi dan protein dalam ransum harus dijaga agar tetap seimbang. Hal tersebut penting untuk menghasilkan pertumbuhan yang optimal pada ternak. Peningkatan protein kasar dalam ransum harus diikuti dengan peningkatan energi ransum. Rendahnya retensi protein R4 diduga karena kandungan protein yang tinggi tidak diimbangi kandungan energi yang tinggi. Imbangan energi dan protein ransum adalah R1= 155,7; R2= 115,5; R3= 105,6 dan R4= 96,8. Ransum R4 menunjukan nilai yang paling rendah sehingga menyebabkan rendahnya efisiensi penggunaan ransum yang mengandung TSI 100% pada ayam kampung. Baik tidaknya kualitas protein pada ransum dapat dilihat dari Protein Efisiensi Rasio (PER) (Scott et al., 1982). Nilai PER ransum berturut-turut adalah R1= 0,13; R2= 0,17; R3= 0,18 dan R4= 0,22. Berdasarkan nilai tersebut terlihat bahwa nilai PER dari R4 merupakan yang terbesar. Hal ini menunjukan bahwa ransum R4 membutuhkan konsumsi N yang lebih banyak untuk menghasilkan bobot badan tertentu dibandingkan dengan R1, R2 dan R3. Perbandingan antara kalsium dan phospor yang kurang sesuai dapat juga menimbulkan dampak yang negatif pada ternak. Kelebihan kalsium dalam ransum dapat mengganggu ketersediaan mineral lain seperti phospor, magnesium, mangan dan zinc. Perbandingan kalsium 2: phospor 1 (berat/berat) dalam ransum unggas sudah dapat mencukupi kebutuhan, kecuali untuk unggas dalam keadaan bertelur (NRC, 1994). Perbandingan kalsium phospor ransum penelitian berturut-turut adalah R1= 1,20; R2= 1,75; R3= 2,23 dan R4= 2,89. Hal tersebut menunjukan bahwa meningkatnya kandungan TSI dalam ransum menyebabkan meningkatnya rasio
25
kalsium phospor. Peningkatan ini disebabkan oleh semakin tingginya kandungan kalsium dalam ransum yang mengandung TSI. Level kalsium yang tinggi dapat menyebabkan ransum menjadi kurang palatabel dan mengurangi komponen ransum lainnya. Hal ini ditunjukan rataan konsumsi ransum (g/ekor) yaitu R1= 258,40; R2= 259,78; R3= 244,17 dan R4= 246,95. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa perbandingan kalsium phospor lebih dari 2 (R3 dan R4) mempunyai rataan konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum yang perbandingan kalsium phospornya kurang dari 2 (R1 dan R2). Tingginya nilai rasio Ca:P pada ransum juga disebabkan oleh meningkatnya kalsium dalam ransum tidak diimbangi oleh peningkatan phospor. Phospor selain berperan dalam pembentukan tulang, juga diperlukan dalam penggunaan energi dan komponen dalam sel. Rendahnya phospor diduga dapat menyebabkan penggunaan energi ransum tidak optimal dan mengakibatkan pemanfaatan protein yang dikonsumsi menjadi kurang efisien.
26
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian tepung silase ikan lebih dari 60% dalam ransum ayam kampung menurunkan nilai retensi nitrogen.
Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui level terbaik penggunaan tepung silae ikan dalam ransum ayam kampung.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada semesta alam beserta isinya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Panca Dewi MHKS, M.Agr. selaku pembimbing akademik, Ir. Widya Hermana, M.Si. selaku dosen pembimbing utama dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr. selaku dosen pembimbing anggota atas bimbingan dan kesabaran yang diberikan hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. M. Ridla, M.Agr. selaku dosen penguji seminar serta Ir. Dwi Margi Suci, MS. dan Ir. Sri Darwati, MS. selaku dosen penguji sidang atas saran dan masukannya. Terima kasih kepada Ibu dan Bapak serta Kakak tercinta atas segala pengorbanan, dukungan dan kasih sayang yang telah Penulis terima hingga saat ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian atas kerja sama dan kekompakannya. Terima kasih Penulis ucapkan kepada keluarga besar FORMATIN-D, rekan-rekan seperjuangan dan teman-teman Angkatan 35, 36, 37, 38, 39, 40 dan 41 atas kebersamaannya selama ini.
Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2002. Peningkatan Produktifitas Ayam Kampung Pedaging. Cetakan ke-1. Agromedia Pustaka. Jakarta. Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan Ke-3. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor. Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT. Gramedia. Jakarta. Cahyono, B. 2002. Ayam Buras Pedaging. Cetakan ke-6. Penebar Swadaya. Jakarta. Creswell, D. C. dan B. Gunawan. 1982. Pertumbuhan badan dan produksi telur dari 5 strain ayam kampung pada sistem pemeliharaan intensif. Proc. Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Bogor. Desmayanti, Z., H. Resnawati, A. Gozali dan R. Zein. 1988. Kebutuhan protein dan energi dalam pakan ayam buras. Proc. Seminar Nasional Peternakan tentang Pengembangan Peternakan di Sumatera dalam Menyongsong Era Tinggal Landas. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas. Padang. Djazuli, N., Sunarya dan D. Budiyanto T. H. 1998. Teknologi Mutu dan Aplikasi Tepung Silase Ikan (TSI). Makalah Seminar Sehari Peluang Pengembangan Usaha Tepung Ikan dan Tepung Silase Ikan (TSI). Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta. Ewing, W. R. 1963. Poultry Nutrition. 5th Ed. The Ray Ewing Company. PasadenaCalifornia. Hermana, W., W. G. Piliang, L. A. Sofyan, N. Djazuli. 2001. Pengaruh penggunaan tepung silase ikan dalam ransum terhadap penampilan ayam pedaging strain AKSAS. Media Peternakan 24 (3): 26-29. Hill, F. W., and D. L. Anderson. 1958. Comparison of ME and PE determinations with growing chicks. J. Nutr. 64:587. Iskandar, S., E. Juarini, Desmayanti, Z. Heti, R. B. Wibowo dan Sumanto. 1991. Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. Balai Penelitian Ternak Bogor. Bogor. Khalil, Sumitri dan S. Jalaludin. 2001. Peningkatan efisiensi pemeliharaan anak ayam buras. Media Peternakan 24 (3) : 30-34. Kompiang, I. P. 1990. Fish silage in diets for broiler chickens. Ilmu Peternakan 1 (10) : 435-438. Kompiang, I. P dan S. Ilyas. 1983. Silase Ikan : pengolahan, penggunaan dan prospeknya di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 11(1): 13-18.
Kurtini, T. 1995. Pengaruh imbangan energi protein ransum terhadap penampilan ayam buras selama periode pertumbuhan. Proc. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Bogor. Lloyd, L. E., B. E. McDonald and E. W. Crampton. 1978. Fundamentals of Nutrition. 2nd Ed. W. H. Freeman and Company. San Francisco. Mansjoer, S. S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maynard, L. A. And J. K. Loosly. 1962. Animal Nutritiion. 5th Ed. McGraw Hilal Book Company. Inc. New York. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Ed. National Academic Press, Washington D. C. Nizel, A. E. 1964. Nutritional on Chemical Density. Shounder Company. London. Ologhobo, A. D., A. M. Balogun and B. B. Bolarinwa. 1988. The replacement value of fish silage for fish meal in practical broiler ration. Biological wastes 25 : 117-125. Raa, J. and A. Gilberg. 1982. Fish silage : a review. CRC Critical Reviews in Food Science and Nutrition. CRC Press. Florida. Rose, S. P., D. M. Anderson and M. B. White. 1994. The growth of pigs from 6 to 10 kg when fed fish silage that were preserved either by formic acid or by fermentation. Anim. Feed. Sci. Technol. 49 : 163-169. Satie, D. L. 1989. Pemeliharaan ayam buras sebaiknya secara intensif. Poultry Indonesia No. 112/TH X hal. 6-7. Scott, M. L., M. L. Nesheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 3rd Ed. M. L. Scoot and Associates Publisher. Ithaca-New York. Sibbald, I. R 1976. A bioassay for true metabolizable energy in feedstuff. Poultry Sci. 55 : 303-308. Sibbald, I. R. 1989. Metabolizable energy evaluation of poultry diets. In Cole, D. J. A. And W. Haresign (ed). Recent Development in Poultry Nutrition. University of Notingham School of Agriculture. Butter Worths. Sibbald, I. R. and M. S. Wolynetz. 1985. Estimates of retained nitrogen used to correct estimates of bioavailable energy. Poultry Sci. 64 : 1506-1513. Steel, R. G. dan J. H.Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sudrajat, S. D. 2000. Dukungan pemerintah terhadap keberadaan bahan baku pakan lokal. Seminar Dies Natalis III Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Rekso Hadiprodjo, dan S. Lebdosukodjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 30
Umar, M. B., Asnath. M. Fuah., A. Kendang dan Dionisius. 1992. Pengaruh tingkat protein dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam buras periode grower. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan keempat. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Wolynetz, M. S., and I. R. Sibbald. 1984. Relationship between apparent and true metabolizable energy and the effect of a nitrogen correction. Poultry Sci. 63 : 1386-1399.
31
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Konsumsi N (gram) Sk
DB
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
0,621892
0,207297
2,28259
4,07
7,01
Error
8
0,726533
0,090817
Total
11
1,348425
FK = 64,72808 Jk(T) = 1,348425 JK(P) = 0,621892 JK(E) = 0,726533 %E = 53,88014
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Ekskresi N (gram) Sk
DB
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
0,098092
0,032697
1,410883
4,07
7,01
Error
8
0,1854
0,023175
Total
11
0,283492
FK = 25,72541 Jk(T) = 0,283492 JK(P) = 0,098092 JK(E) = 0,1854 %E = 65,39875
33
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Retensi N (gram) Sk
DB
Perlakuan
3
Error Total
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
1,0001
0,333367
11,03559
4,07
7,01
8
0,241667
0,030208
11
1,241767
FK = 12,93763 Jk(T) = 1,241767 JK(P) = 1,0001 JK(E) = 0,241667 %E = 19,46152
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Retensi N (%) Sk
DB
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
921,7513
307,2504
44,29802
4,07
7,01
Error
8
55,48788
6,935985
Total
11
977,2392
FK= 23034,6 Jk(T)=977,2392 JK(P)=921,7513 JK(E)=55,48788 %E=5,678024
34