NILAI-NILAI PENDIDIKAN TASAWUF DALAM BUKU MUSYAWARAH BURUNG (MANTIQ ALTAYR) KARYA FARIDUDDIN ATTAR
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun Oleh MUHAMMAD FARIDUDDIN 111 12 027
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
i
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Dunia ini dianyam oleh miliaran kehidupan, Setiap benang melintasi benang yang lain. Apa yang disebut dengan Filsafat hanya sebuah pergerakan kecil dari sehelai benang. Jika kau bisa menerjemahkan Setiap benang yang merajutnya, Masa depan akan sepenuhnya bisa terbaca semudah Matematika.”
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi yang sederhana ini penulis persembahkan kepada: Ayahku Muhammad Islami dan Ibuku Siti Amroh yang memberikan segalanya, tanpa jerih payah dan kasih sayang darinya tak akan pernah mampu kuberada dalam keadaan yang sebaik ini. Seluruh dosen IAIN Salatiga, Khususnya Dra. Djami‟atul Islamiyah, M.Ag. yang telah memberikan pengarahannya hingga titik akhir pembuatan skripsi ini. Seluruh teman-teman angkatan 2012 terima kasih telah memberikan warna-warni dalam kehidupanku dan semoga kawilujengan dan bagas kewaran bersama kalian. Teman-teman Ponpes Al-Islah, bersama kalian aku tempuh masa muda untuk belajar kedewasaan Dan kepada pembaca yang menyempatkan mengutip ataupun menjadikan tulisan ini menjadi berguna.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dalam wujud yang sederhana dan jauh dari sempurna. Sholawat dan salam Allah Swt, semoga senantiasa terlimpahkan kepada Sang Penyempurna akhlak manusia dan yang selalu kuucap namamu sebagai bentuk kerinduan yang tak ada hentinya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga 4. Ibu Dra. Djami‟atul Islamiyah, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan secara ikhlas dan sabar meluangakan waktu serta mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna sejak awal proses penyusunan dan penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan PAI IAIN Salatiga yang telah berkenan memberikan ilmu pengetahuan ketarbiyahan kepada
penulis
dan
pelayanan
ix
hingga
studi
ini
dapat
selesai.
x
ABSTRAK Fariduddin Muhammad. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Karya Fariduddin Attar. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Dra. Djami‟atul Islamiyah, M.Ag. Kata Kunci: Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr), Pendidikan Tasawuf. Penelitian yang berjudul Nilia-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar ini dimaksudkan untuk menggali nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr). dari segi judulnya buku ini memang tidak secara eksplisit memuat tentang tasawuf, namun sesungguhnya isi dari buku ini mengandung nilai pendidikan tasawuf secara alegoris. Dalam konteks sekarang nilai pendidikan tasawuf menjadi sangat penting di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang semakin canggih dan global untuk di aplikasi dalam kehidupan sekarang kususnya kaum remaja. Pokok permasalahan dalam dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana nilainilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar? 2) Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musayawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar dengan Konteks sekarang? Mengingat kajiannya merupakan penelitian literarur/studi pustaka (library research) maka metode yang digunakan adalah Metode Hermeneutika Teks dan Metode Content Analysis (Analisis Isi). Data yang terkumpul akan dianalisi, dipelajari dan dideskripsikan. Selanjutnya memberikan gambaran, penjelasan, dan diuraikan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr), Seperti nilai pendidikan Tauhid, ajaran tentang kewaspadaan terhadap tipu daya dunia, hakikat penciptaan manusia, tujuan hidup manusia, Ajaran tentang Zuhud, mahabbah, ma‟rifat, istighna, faqir dan fana. Sementara relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dalam konteks sekarang, Misalnya seperti aplikasi zuhud dalam koteks kehidupan sekarang, zuhud bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita tanpa harung menggunakan metode-metode seperti orang-orang pada zaman dahulu, Selain zuhud konsepkonsep seperti ma‟rifat dan mahabbah juga sangat relevan dalam konteks kekinian. Kosep ma‟rifat misalnya dapat lebih mendekatkan pengenalan diri kita kepada Allah dalam arti yang sesungguhnya. Demikian juga dengan konsep mahabbah juga sangat relevan baik secara vertikal maupun secara horisontal ditengah kondisi masayarakat yang serba plural.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO ..........................................................................
ii
HALAMAN DEKLARASI.......................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................
iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................
v
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
vi
MOTTO ....................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN .....................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
ix
ABSTRAK ................................................................................................
xi
DAFTAR ISI .............................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................
1
B. Rumusan Masalah .........................................................
6
C. Tujuan Penelitian ..........................................................
6
D. Manfaat Penelitian ........................................................
7
E. Metode Penelitian .........................................................
8
F. Penegasan Istilah ...........................................................
11
G. Sistematika Penulisan ...................................................
15
xii
BAB II
BAB III
BIOGRAFI FARIDUDDIN ATTAR A. Biografi Fariduddin Attar .............................................
17
B. Karya Sastra Fariduddin Attar ......................................
22
DESKRIPSI PEMIKIRAN A. Isi Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Secara Umum................................................................
26
B. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Dengan Konteks Sekarang ......................................................... BAB IV
38
PEMBAHASAN A. Analisis Terhadap Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq AlTayr) .............................................................................
55
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Dengan Konteks Sekarang ............................................ BAB V
93
PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................
96
B. Saran .............................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2
Surat Pembimbingan dan Asisten Pembimbingan Skripsi
Lampiran 3
Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran 4
Daftar SKK
Lampiran 5
Pernyataan Publikasi Skripsi
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sastra bukanlah sekedar budaya tulis dan rangkaian kata-kata yang tersusun dari beberapa bait, tetapi sastra adalah keindahan dan budaya kelembutan, sastra adalah salah satu refleksi dari naluri manusia untuk mencari kelembutan dan keindahan (estetika). karena Tuhan sendiripun menyampaikan kitab suci Al Quran dengan bahasa sastra, kalimat-kalimat Rasulullah sendiripun juga indah, bagai mana jadinya bila melakukan sholat tanpa rasa khusuk dan banyak pertanyaan yang biasa anda teruskan sendiri. Tingkat sastra dalam Al-Quran begitu tinggi dan indahnya, bahkan Allah SWT juga pernah memberi tantangan kepada manusia dan jin dalam Al Quran, Allah berfirman:
ُِلمْ نَئِهِ اجْتَمَعَتِ انْإِ ْوسُ وَانْجِهُ عَهَى أَنْ يَؤْتُىا بِمِ ْثمِ هَرَا انْمُسْآَنِ نَب يَؤْتُىنَ ِبمِثْهِه وَنَىْ كَبنَ بَعْضُهُمْ نِبَعْضٍ ظَهِيسًا Artinya: “katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Isra‟: 88).
1
Nuansa keindahan (estetik) dan kelembutan selau tercermin disetiap zaman dan kebudayaan masing-masing bangsa, Esteika dalam tradisi Islam dapat dikatakana sebagai jalan kerohanian, bentuk-bentuk yang berhubungan denga spiritualitas dan religiusitas. Sebagaimana puisipuisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW, sebab yang di ungkap ialah hakikat perjalanan rohani manusia menuju kebenaran yang tertinggi yaitu Tauhid (Hadi, 2004:44). Sastra sufi adalah sastra yang berasal dari ungkapan pengalaman religiusitas sang pelaku suluk (pelaku tasawuf), seperti ungkapan kerinduan seorang hamba kepada kekasih-Nya. Jalaluddin Rumi menulis dalam sajak mistiknya: Dengar alunan pilu seruling bambu Sayu sendu nadanya menusuk kalbu Begitulah ia sejak bercerai dari batang pohon rimba Dadanya sesak di penuhi cinta dan kepiluan Api cintalah yng membakar diriku Anggur cintalah yang memberiku cinta mengawan Inginkah kautahu bagaimana pencinta luka? Dengar, dengar alunan seruling bambu Jalaluddin Rumi (Bagir, 2016: 4) Dalam tradisi sufi estetika lebih jauh di kaitkana dengan metafisika dan jalan kerohanian yang mereka tempuh di jalan ilmu tasawuf. Para sufi berpendapat bahwa semua karya yang baik, mestilah dapat dirujuk pada
2
ayat-ayat Al-Quran, dan tidak jarang puisi-puisi mereka sebenarnya merupakan tafsir spiritual terhadap ayat-ayat Al-Quran yang di transformasikan ke dalam bahasa figurasi puisi (Hadi, 2004:38). Segala
bentuk
keindahan
dapat
dijadikan
sarana
menuju
pengalaman religius, sesuai dengan cara seseorang menanggapi keindaha. Dalam tradisi islam estetika juga menjelma menjadi ekpresi solidaritas sosial dan sejarah, sebagai mana di manifestasikan dalam karya-karya yang tergolong sastra adab, sejarah, epik, hikayat orang suci, kisah rakyat jelata, kisah didaktik dan cerita binatang seperti musyawarah burung (Mantiq Al-Tayar), atau karya-karya yang tergolong pelipur lara. Renungan estetikus muslim tentang keindahan estetis (zahir) juga dapat disikap melalui tamsil-tamsil yang mereka gunakan dalam menggambarkan tahap-tahap perjalanan rohani (suluk) yang mereka tempuh menuju Yang Satu. Karena perjalanan itu merupakan perjalanan naik dari alam kewujudan yang lebih tinggi, maka digunakan tamsil perjalanan mendaki puncak gunung. sering pula digunakan tamsil penerbangan burung menuju puncak gunung yang tinggi seperti dalam Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr). Burung merupaka tamsil bagi roh yang senantiasa diusik kerinduan kepada asal usul kerohaniannya di alam ketuhanan (Hadi, 2004:45). Namun demikian, dalam penulisan ini, penulis akan membatasi diri pada bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan spiritualitas dan
3
religiusitas serta nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku sastra Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar. Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar Sebuah puisi prosa dalam bait-bait bersajak, karya ini terdiri dari 4000 syair lebih yang dianggap sebagai tulisan paling berwawasan luas dan menjadi masterpiece terpenting puisi sufi, juga sebagai sastra sufistik yang diakui secara global. Masterpiece Fariduddin Attar ini mempunyai kekuatan untuk berbicara kepada pelaku tasawuf itu sendiri maupun orang awam. Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) menceritakan penerbangan burung-burung mencari raja diraja mereka yang bernama Simurgh (Raja Burung) yang berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada, perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah disebabkan kerinduannya kepada hakikat ketuhanan. Simurgh (Raja Burung) sendiri merupakan lambang diri hakikat mereka dan sekaligus lambang hakikat ketuhanan. Perjalanan itu melalui tujuh lembah, yang merupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi menuju cinta Ilahi. Dalam tiap tahap (maqam) seseorang penempuh jalan akan mengalami keadaan-keadaan jiwa/ rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian keadaan rohani yang disajikan Attar menarik karena menggunakan kisah-kisah perumpamaan. Pada akhir cerita Attar
4
menyatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung yang mencapai tujuan dan Simurgh (Raja Burung) tidak lain ialah hakikat diri mereka sendiri (Hadi, 2004:137). Dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karangan Fariduddin Attar di gambarkan secara simbolik bahwa jalan kerohanian dalam ilmu tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu :lembah pencarian (talab), cinta („isyq), makrifat (ma‟rifah), kepuasan hati (istighna), keesaan (tauhid), ketakjuban (hayrat), kefakiran (faqr) dan hapus (fana‟). Namun Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tuju itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta. Misalnya ketika seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah sebenarnya yang mendorong seseorang melakukan pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan akan keesaan Tuhan, serta ketakjupan dan persatuan mistik merupakan tahapan keadaan berikutnya yang di capai di jalan cinta. Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai pendidikan tasawuf pemikiran Fariduddin Attar melalui sebagian karyanya yaitu buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) yang di dalamnya terdapat beberapa uraian tentang pendidikan tasawuf. Untuk itu, penulis mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq AlTayr) Karya Fariduddin Attar, dengan harapan semoga dapat
5
memberikan kontribusi dan manfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. B. Rumusan Masalah Langkah selanjutnya setelah penegasan istilah adalah perumusan pokok permasalahan yang akan dikaji. ”permasalahan yang paling baik apabila permasalahan itu datang dari diri sendiri, karena hal itu didorong oleh
adanya
kebutuhan
untuk
memperoleh
jawabannya”.
Pokok
permasalahan pengkajian dalam hal ini sebagai berikut. 1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar? 2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musayawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar dengan Konteks sekarang? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak diperoleh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar. 2. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musayawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar dengan Konteks sekarang.
6
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain: 1. Secara Teoritis a. Dapat mendiskripsikan konsep nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar b. Dapat mendiskripsikan relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai tambahan wacana dalam metode pendidikan tasawuf bagi dunia pendidikan Islam 2. Secara Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan bahwa terdapat banyak pelajaran, hikmah, dan metode pendidikan tasawuf yang dapat dipetik dari buku musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr) yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. b. Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis serta tambahan pengetahuan
sekaligus
untuk
mengembangkan
pengetahuan
penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam research ilmiah.
7
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
yang
menggunakan pendekatan kepustakaan (library research), karena semua sumber yang digali adalah bersumber dari pustaka (Hadi, 1990:3). Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seseorang yang dapat diamati. Dalam hal ini objeknya adalah pemikiran tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarag Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar. 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka. Dalam tahapan ini, peneliti berusaha menyeleksi datadata (buku) yang ada relevansinya dengan pendidikan tasawuf dan buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar. Sumber Data Primer, yaitu data yang sangat mendukung dan pokok dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti menggunakan buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr). Sumber data sekunder, yaitu data yang berorientasi pada data yang mendukung secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan subjek penelitian. Data sekunder yang dimaksud dalam hal ini adalah: a. Fariduddin Attar : Tadzkiratul Auliya‟
8
b. Abdul Hadi : Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas Esai-Esai Sastra Sufistik c. Hamka : Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya d. Sa‟id Hawa : Jalan Ruhani e. Harun Nasution : Filsafat dan Mistisme dalam Islam f. Annemarie Schimmel: Dimensi Mistik Dalam Islam dan bukubuku lainya yang ada Relevansinya dengan objek pembahasan penulis. 3. Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul diolah dengan Metode a. Metode Hermeneutika Teks Hermeneutika Teks pada dasarnya merupakan wahana penelitian dengan cara interpretasi (penafsiran) terhadap teks. Hermeneutika menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang di uraikan dan di peruntutkan bagi penelaah teks karya sastra, apapun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (Edraswara, 2013:74). Hermeneutika teks dapat diartikan sebagai metode penelitian
untuk
memahami
teks
yang
diuraikan
dengan
interpretasi (penafsiran). Karya tokoh diselami untuk menangkap nuansa dan arti yang dimaksudkan tokoh secara khas. Dalam memahami teks, Schleiermacher mengatakan bahwa seorang penafsir
harus
memperhatikan
9
apa
yang
disebut
dengan
“Grammatical Hermeneutics” (Hermeneutika Grammatikal). (AlMirzanah, Syamsuddin, 2011: ix). Dari ungkapan Schleiermacher di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “Grammatical Hermeneutics” (Hermeneutika Grammatikal) adalah interpretasi yang melihat bahasa hingga pada tingkat tertentu dimana bahasa menentukan pikiran seluruh individu. (Al- Mirzanah, Syamsuddin, 2011: 12-13). Semua langkah-langkah ini dimaksud untuk melakukan interpretasi guna menangkap arti, nilai dan maksud pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr). b. Metode Content Analysis (Analisis Isi) Metode Content Analysis (analisis isi) menurut Weber sebagaimana di kutip oleh Soejono dalam bukunya yang berjudul: metode penelitian suatu pemikiran dan penerapan, adalah: “metode penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen”. (Soejono, 2005: 13). Dengan teknik analisis ini penulis akan menganalisis terhadap makna atau pun isi yang terkandung dalam ulasan-ulasan buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dan kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan tasawuf.
10
F. Penegasan Istilah Untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah yang akan peneliti kemukakan dan agar tidak terjadi perbedaan persepsi perlu dijelaskan dan ditegaskan maksud serta batasan-batasan istilah yang digunakan. Adapun istilah-istilah yang perlu ditegaskan pengertiannya di sini adalah sebagai berikut: 1. Nilai-nilai Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga prefensinya tercermin dalam prilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatanya (Maslikhah, 2009:106). Jadi nilai dapat diartikan sebagai entitas atau inti mutiara dari sebuah hikmah yang berguna bagi manusia. 2. Pendidikan Tasawuf a. Pendidikan Pendidikan berasal dari kata didik, kemudian mendapatkan awalan pe- dan akhiran -an yang berarti pengukuhan sikap dan tata perilaku
seseorang
atau
kelompok
orang
dalam
usaha
mendewesakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, cara dan perbuatan mendidik (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 27). Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
11
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak. Pendidikan adalah proses bantuan dan pertolongan yang diberikan oleh pendidikan kepada peserta didik atas pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohaninya secara optimal (Munib, 2006: 32). Jadi
Pendidikan
adalah
upaya
untuk
membantu
mengoptimalkan pertumbuhan peserta didik baik secara Jasmani maupun Rohani. b. Tasawuf Tasawuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah SAW wafat. Secara Etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tashawwafa,
Yatashawwafu,
Tashawwufan.
Ulama
berbeda
pendapat dari mana asal ushulnya. Ada yang mengatakan dari kata “Shuf” (bulu domba), “Shaf” (jernih) dan dari kata “Shuffah” (Suatu tempat di Masjid Nabawi yang di tempati oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad SAW). Pemikiran masing masing pihak di latar belakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri para sufi (Syukur, 2004: 4). Secata Terminologis banyak pula dijumpai definisi yang berbeda-beda, diantara rumusan definisi tasawuf yang paling
12
menonjol adalah yang di gagas oleh Ibrahim Basuniy. Dari ribuan definisi itu, dia menggolongkan menjadi tiga bagian, yaitu AlBidayah, Al Mujahadah, Al-Madzaqat. Sudut pandang pertama (Al-Bidayah), mempunyai arti bahwa tujuan awal dari kemunculan tasawuf adalah sebagi manifestasi (perwujutan) dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai mahluk Tuhan. Sudut pandang kedua (Al-Mujahadah) adalah seperangkat amaliah dan latihan dengan cara bersungguh-sungguh untuk memperoleh apa yang selama ini menjadi tujuan utamanya, yaitu berjumpa dengan Allah, atau usaha diri yang sungguh-sungguh agar bias berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Sudut pandang ketiga (Al-Madzaqat) bisa diartikan sebagai apa dan bagaimana yang dialami dan dirasakan manusia dihadirat Tuhannya. Apa ia melihat Tuhan, merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya, atau ia merasa bersatu dengan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini tasawuf dipahami sebagai al-ma‟rifatul haq, yakni ilmu tentang hakikat realitas realitas intuitif yang terbuka bagi sufi (Forum Karya Ilmiah Purna Siswa, 2011: 14-15). Jadi tasawuf adalah perjalan atau lelaku untuk menyatu kembali kepada Allah, dari Allah yang satu (Ahad) sampai pada penyatuan kembali dengan mahluqnya yaitu (Wahid) Allah yang sudah menyatu, dan dalam istilah Islam dikenal dengan kata
13
“Tauhid” secara sederhana dapat dikatakana Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berdasarkan keterangan di atas dapat kita tari gari bahwa pendidikan
tasawuf
adalah
uapaya
untuk
menigkatkan
pertumbuhan Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual, untuk mengenali siapa dirinya agar lebih mengenali Tuhanya, mengerti tujuan hidupnya dan mengerti peranya di dalam kehidupan ini. 3. Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Musyawarah Burung menceritakan penerbangan burungburung mencari raja diraja mereka Simurgh (Raja Burung) yang berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada, perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman AS. yang melambangkan guru sufi yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah di sebabkan kerinduannya kepada hakikat ketuhanan. Simurgh (Raja Burung) sendiri merupakan lambang diri hakikat mereka dan sekaligus lambang hakikat Ketuhanan. Perjalanan itu melalui tujuh lembah, yang merupakan lambing tahap-tahap perjalanan sufi menuju cinta Ilahi. Dalam tiap tahap
14
(maqam) seseorang penempuh jalan akan mengalami keadaankeadaan jiwa/ rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian keadaan rohani yang di sajikan Attar menarik karena menggunakan kisahkisah perumpamaan. Pada akhir cerita „Attar menyatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung yang mencapai tujuan, dan Simurgh (Raja Burung) tidak lain ialah hakikat diri mereka sendiri (Hadi, 2004:137). G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab yang perinciannya sebagai berikut: Bab I :
Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II :
Biografi dan Karya Fariduddin Attar, yang terdiri dari:
Biografi Fariduddin Attar, dan Beberapa karya sastra Fariduddin Attar. Bab III:
Deskripsi
Pemikiran,
yang
terdiri
dari:
isi
buku
musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr) secara umum, dan nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr) dalam konteks sekarang. Bab IV:
Analisis Pendidikan Tasawuf, yang terdiri dari: Nilai
Pendidikan Tasawuf yang terkandung dalam Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar.
15
Bab V :
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang
kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan dan saran-saran.
16
BAB II BIOGRAFI FARIDUDDIN ATTAR
A. Biogarafi Fariduddin Attar Ketiga ahli tasawuf besar Persia seperti Abu Sa‟id, Al-Ansari, dan Sanai yang telah memberi jalan buat kedatangan seorang sufi yang sangat mendalam, penyair kecintaan kepada Tuhan dan pengarang yang kaya akan fisualisasinya yang bisa membawa niali-nilai tasawuf dalam bentuk sastra dan puisi. Itulah fariduddin Al-Attar orang Naisabur, yang meninggal di permulaan abad ke-Tujuh Hijriyah. Dia digelari orang “Sauthus Salikin”, artinya cemeti orang-orang yang mengerjakan suluk (thoriqot tasawuf). Tidak kurang dari 40 buah rangkaian syair karangan beliau, terdiri dari beribu bait, ada yang pendek dan ada yang panjang. Diantaranya ialah “Kitab Nasehat” (Bandinamah), dan sebuah kitab yang mendalam, bernama Mantiq Al- Tayr (Musyawarah Burung). Buku Musyawarah Burung itulah yang berisi perjalana untuk mencapai perjumpaan dengan khaliknya, dalam tulisan yang sangat indah dan mendalam (Hamka 1984: 178). Abdul Hamid bin abu bakr Ibrahim farid ad-din Attar lahir tahun 1145/1146 M. Ada perselisihan mengenai tanggal kelahiran dan kematiannya, tapi beberapa sumber memastikan bahwa ia hidup hampir seratus tahun. Ada cerita yang berbeda tentang kematian Attar. Salah satu cerita yang umum 17
adalah dia meninggal setelah ditangkap oleh orang Mongol. Suatu hari seorang dating dan menawarkan seribu keping perak untuk membeli Attar. Attar mengatakan kepada orang Mongol agar tidak menjual dirinya karena harga itu tidak benar. Orang Mongol menerima kata-kata Attar dan tidak menjualnya. Kemudian, orang lain datang dan menawarkan sekarung jerami untuknya. Attar menasehati orang Mongol untuk menjual dirinya karena harga itu sangat layak. Tentara Mongol itu menjadi sangat marah dan memenggal kepala Attar. Jadi Attar mati untuk mengajarkan sebuah hikmah. Attar terkenal sebagai seorang penyair sufi Persia. Fariduddin Attar adalah seorang penyair persi dan sekaligus seorang sufi (mistik). Hidup selama ketidak pastian politik, ia sering menyendiri, menjelajahi alam Allah dan melangkah kejalan-Nya melalui puisi mistiknya. Hanya sedikit mengenai diri Attar yang diketahui dengan pasti. Naman Attar dalam arti harfiahnya (Wangi Mawar) menunjukan bahwa, ia seperti ayahnya, ia peramu obat dan mengikuti panggilan hati seorang dokter. Sumber sejarah Persia menunjukan perbedaan pada tahun kematiannya hingga rentan waktu 43 tahun. Salah satu alasan ketidakpastian ini adalah bahwa, tidak seperti penyair islam lainnya, dia tidak menulis catatan yang menyanjung kehidupan dan kebesarannya sendiri. Hal ini menjadi kelebihan pribadi Attar, tetapi tidak menguntungkan bagi sejarawan. Kebanyakan hanya meyakini fakta bahwa ia lahir di Nishapur, timur laut Persia; ia melewatkan 13 tahun masa mudanya di mashad, dan
18
menghabiskan sebagian besar hidupnya mengumpulkan puisi mistik sufi lainnya. Attar adalah anak dari seorang ahli kimia yang makmur, dan mendapat pendidikan yang sangat baik dalam bahasa Arab. Teosofi dan obat-obatan. Dia membantu ayahnya di toko dan kematian ayahnya, membuatnya mengambil alih kepemilikan toko itu. Orang-orang yang membantu di tokonya sering mencurahkan masalah mereka kepada Attar dan ini mempengaruhi dirinya secara mendalam. Akhirnya, ia meninggalkan tokonya dan pergi ke kufah, Mekkah, Damaskus, Turkistan, dan India, bertemu dengan Syeh-syeh sufi dan kembali memperkenalkan ide-ide tasawuf untuk kota kelahirannya Nishapur (Attar, 2015: 362). Awalmula perjalanan Attar menjadi seorang sufi menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi. Darwis itu berkata, "Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunyai hanyalah khirka yang lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?" Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang 19
darwis. "Kita tunggu saja," kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati. Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam dihati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilan tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar dipermukiman-permukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisantulisan para Sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan ceritacerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran Sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia mengarang sekitar dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang Sufi mengatakan, "Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Rumi mengatakan, "Attar ialah jiwa itu sendiri." Garcin de Tassy menuturkan bahwa dalam tahun 1862 Nicholas Khanikoff menemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggal Attar). Di situ terukir inskripsi dalam bahasa Parsi. Terjemahan Tassy atas inskripsi itu ke dalam bahasa Perancis dapat diterjemahkan pula sebagai berikut: 20
Allah Kekal Dengan nama Allah Yang Pengasih Yang Pengampun Di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kollirium di mata langit; makam syaikh Farid Attar yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari Kaf ke Kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyhur ini.Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh dua tabun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Hulaku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besarbesaran yang terjadi ketika itu … Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tingkatkanlah, o Rabbi, kebajikannya. Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hussein
21
Selebihnya, inskripsi itu menyatakan pujian terhadap Sultan. Agaknya tak ada catatan tertulis dewasa ini tentang bagaimana, bila, dan di mana dia meninggal dan dikuburkan. (Attar, 2015: 175-176). B. Karya Sastra Fariduddin Attar Setelah itu Attar kembali ke Nisapur, di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia menulis sekitar 200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Musyawarah Burung. Semasa hidupnya, selain menulis Musyawarah Burung, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya; Kenang-Kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari. Musyawarah Burung yang ditulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi. Kendati Attar merupakan salah seorang guru sufi besar dalam literatur klasik, dan pengilham Rumi, dongeng dan ajaran-ajaran guru-guru Sufi dalam karyanya Kenang-Kenangan Para Sufi, harus menunggu hampir tujuh setengah abad untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Attar hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ketika ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang menjawab, “Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata. Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Padahal Rumi sendiri berkata, “Attar ialah jiwa itu sendiri.”
22
Ajaran-ajaran Attar banyak disertai gambaran-gambaran biografi, fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya mengandung ajaran moral tetapi kiasan-kiasan
yang
menggambarkan
tentang
tahap-tahap
khusus
perkembangan manusia. Misalnya dalam Musyawarah Burung, ia membuat sketsa tahap-tahap individual dalam kesadaran manusia, meski hal ini direpresentasikan sebagai kejadian terhadap individu yang berbeda atau terhadap suatu komunitas seluruhnya. Attar menggunakan tema suatu 'perjalanan' atau 'pencarian' sebagai analogi dari tahap-tahap keberhasilan jiwa manusia dalam mencari kesempurnaan. Tradisi-tradisi sufisme menegaskan bahwa karya Attar sangat penting, karena dengan membaca secara keseluruhan akan membantu menegakkan struktur sosial dan standar etika Islam. Sementara seleksi-seleksi khususnya mengandung materi inisiator yang tersembunyi oleh bagian-bagian teologikal yang berat. Karya sastra Attar baik dalam lirik-lirik ataupun dalam banyak karya epiknya, Attar menunjukan bakat yang mengagumkan sebagai ahli cerita, ciri ini juga terlihat dalam koleksi biografinya tentang para wali, tadzkiratul auliya. Baginya biografi merupakan alat untuk mengisahkan cerita-cerita tentang guru-gurunya yang terhormat, bakat keahlian bercerita dan bahkan bakat dramanya diperlihatkan dengan indahnya dalam tadzkiratul auliya‟. Banyak kisah dari tadzkiratul auliya‟ di selipkan ke dalam karya puisi‟Attar
23
pula. Memang, semua bukunya merupakan gudang kisah dan cerita yang hidup. Hellmut Ritter yang memusatkan perhatiannya kepada buku besarnya Das Meer der Seele, Untuk menuliskan mistisisme dan seni persajakan „Attar, membedakan tiga tahap dalam kehidupan penyairan itu. (Das Meer der Seele, adalah karya lengkap tentang „Attar dan juga tentang masalah-masalah pemikiran dan puisi sufi, buku ini sanggat di perlukan oleh setiap orang yang mempelajari secara serius edisi karya-karya „Attar). Periode pertama, ia adalah pujangga dalam bercerita, Mantiq Al-Tayar „Musyawarah Burung-Burung‟, Ilahiname „kisah raja dan enam putranya‟ dan Musibatname „buku tentang penderitaan‟. Dalam periode kedua bentukbentuk lahiriah mulai menghilang dan anafora-anafora makin lama menjadi makin panjang. „Attar seringkali begitu bergairah dalam menulis sehingga ia berusaha memberikan rahasia illahi dengan rangkaian pengucapan yang berulang-ulang atau kata-kata yang identik; ia terbawa hanyut, karena kemabukannya, dari penalaran yang logis. Khas untuk periode ini bahwa pahlawan dalam Ushturname- sebuah sajak yang berpusat disekitar toko pemain boneka – bunuh diri dalam kegairahan mistik. Gagasan yang dulu pernah tersebar luas bahwa „Attar menjadi orang syiah yang alim dalam periode ketiga dalam hidupnya tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi; karya-karya yang menunjukkan kecenderungan syiah yang kuat yang dulu
24
pernah di perkirakan karya dia sekarang dapat di katakana ditulis oleh penyair lain dengan nama yang sama (Schimmel, 1985: 385-386).
25
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Isi Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Secara Umum Terbangnya
burung-burung
dengan
sayap-sayap
mereka
merupakan simbol dari jiwa (Ruh) manusia yang sedang melakukan perjalanan spiritual. Bahkan Al-Quran sendiri juga berbicara tentang peran burung-burung sebagai pasukan intelejen dan sebagai bahasa pengantar untuk menyampaikan rahasia wahyu Allah kepada Nabi Sulaiman AS. Buku Mantiq Al-Tayr biasa diterjemahkan menjadi Musyawarah Burung adalah kisah alegori tentang perjuangan dan cobaan jiwa yang harus dihadapi seorang muslim untuk mencapai pencerahan spiritual. Buku ini berisi kumpulan fable, kisah jenaka, dan berbagai kisah dalam sebuah kisah, yang semuanya membentuk kisah tunggal tentang pencarian spiritual yang dipimpin oleh Burung Hudhud yang melambangkan guru atau pembimbing spiritual. Secara simbolik, Mantiq Al-Tayr menggambarkan bahwa jalan kerohanian dalam ilmu Tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu: lembah pencarian (talab), cinta (`isyq), makrifat (ma`rifah), kepuasan hati dan kebebasan (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban dan kebingungan (hayrat), kefakiran (faqr) dan hancur (fana`). Namun Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan
26
tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta (Hadi, 2004: 137). Dalam hal ini ketika seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah sebenarnya yang mendorong seseorang melakukan pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan akan keesaan Tuhan, serta ketakjuban dan persatuan mistik (wahdatul wujud) merupakan tahapan keadaan berikutnya yang dicapai dalam jalan cinta. Satu persatu lembah-lembah itu memiliki kriteria-kriteria khas tersendiri. Mantiq Al-Tayr karangan Fariduddin Attar ini secara umum terdiri dari tiga bab, adapun penejelasan secara keseluruhan sebagai berikut: 1. Isi Bab I Do‟a Pujian (Madad Do‟a) Dalam bab ini berisi tentang Pujian-pujian kepada Allah yang maha suci, yang telah menciptakan segala mahluk dibumi, Dia tinggikan langit diatasa bumi bagai tenda tanpa tiang penyangga. Dalam enam masa Dia ciptakan Sembilan kubah lagit dan dengan berbagai sifat Dia anugerahi jaringan tubuh, dan telah ditaruh-Nya debu pada ekor burung jiwa; burung jiwa: penyatuan yang menghubungkan jiwa dengan raga (tubuh). Dalam Bab ini juga berisi tetang kosmologi proses penciptaan manusia. Tuhan mengambil tanah liat dan meremasnya dengan air, setelah empat puluh pagi Dia menaruh di dalamnya ruh
27
yang menghidupkan tubuh. Tuhan memberinya kecerdasan agar dapat membedakan benda-benda. Ketika dilihat-Nya kecerdasan itu dapat membeda-bedakan, Dia berikan padanya pengetahuan agar dapat menimbang dan berfikir. Tetap
ketika
manusia
berhasil
memiliki
berbagai
kecakapan, dia mengakui berbagai kelemahannya dan diliputi keheranan, sementara badan jasmaniahnya perbuatan-perbuatan
lahiriah.
Kawan
atau
menyerah pada lawan,
semua
menundukan kepala di bawah palang kayu yang dipasang Tuhan pada kearifannya; dan heran, Tuhan pun mengawasi kita semua (Attar, 2015: 4). Berikutnya fariduddin Attar menceritakan tetang keagungan Tuhan dengan semua jagatraya dan isinya, serta mengajarkan Tetang kosep Imanesi dan penyatuan hamba denga sang khaliq (Wahdatul Wujud), puncak dari perjalanan manusia mengenali dirinya dan memahami Alam Semesta bahwa diri yang sejati adalah ketiadaan dan ketiadaan diri adalah kemengadaan bagi Allah, maka segala yang ada tiada yang lain kecuali cermin atau tajali dari sang pencipta itu sendiri. Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gununggunung selaku paku pasak bumi dan membasuh wajah bumi dengan air lautan. Kagumilah buah karya Tuhan, meskipun Dia sendiri memandang segalanya itu sebgai tiada. Dan menginggat
28
bahwa hanya Hakikat-Nya sendirilah yang ada, maka pastilah tiada suatu pun selain Dia. Arasy-Nya di atas lautan dan Dunia ini diudara. Tetapi tinggalkanlah air dan udara itu, karena segalanya Tuhan: arasy dan Dunia itu hanya azimat. Tuhan adalah segalanya, dan benda-benda hanya punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang terlihat dan tak terlihat hanya Dia sendiri jua. Tiada siapapun kecuali dia. Tetapi juga, tak seorang pun dapat melihat Dia. Mata ini buta, walaupun dunia diterangi dengan matahari cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia sekejap saja pun, kau akan kehilangan akal, dan bila kau dapat melihatnya sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri (Attar, 2015: 5). 2. Isi Bab II Burung-burung berkumpul Bab ini berisi tentang berkumpulnya burung-burung di seluruh dunia yang membicarakan perjalanan menuju Simurgh (raja burung). Dalam perkumpulan ini dipimpim oleh Hud-hud sebagi ketua dari kawanan Burung-burung. Di dalam bab ini juga dijelaskan pengenalan tokok-tokoh yang akan ikut serta dalam perjalan mencari Simurgh (raja burung). 3. Isi Bab III Musyawarah Burung a. Musyawarah dibuka Dalam bab ini menceritakan tentang musyawarah burung-burung diseluruh dunia, mereka berkata, “Tiada negeri di dunia ini yang tak punya raja. Maka bagaimana mungkin
29
kerajaan burung-burung tanpa penguasa! Keadaan demikian tak bisa dibiarkan terus. Kita harus berusaha bersama-sama untuk mencarinya; karena tiada negeri yang mungkin memiliki tata usaha dan tata susunan yang baik tanpa raja (Attar, 2015: 15). Burung Hud-hud tampil kemuka dan memperkenalkan diri, dia memberitaukan kepada para burung-burung bahwa dialah yang paling aktif dalam perjuanngan suci (perjalanan mencari raja sejati) dan dia adalah utusan dari dunia yang tak terlihat mata (dimensi setelah alam materi). “Aku memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan-Nya, kukenal baik Rajaku, tetapi tak bisa aku pergi mencari sendirian. Tinggalkan keengganan kalian, kesombongan kalian dan keingkaran kalian, karena siapa yang tak mementingkan hidupnya sendiri terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia terbebas dari ikatan baik dan buruk demi yang dicintainnya (Attar, 2015:16). Dalam bab ini juga dibahas lebih jelas tentang karakter, latar belakang, dan pola berfikirnya masing-masing tokoh yang diperkenalkan dengan singkat dalam bab II. Karakter dan pola berfikir para tokoh yang akan ikut dalam perjalanan menuju Simurgh (raja burung) oleh Attar digambarkan dengan macammacam burung seperti:
30
Burung Bul-bul (sebagai lambang dari orang yang logis rasionalis), Burung Nuri (orang yang sudah menemukan ketenangan batin dan merasa puas dengan itu), Burung Merak (lambang dari orang yang sudah dianut dan ditokohkan oleh masyarakatnya), Itik (lambang dari orang yang alim dan suci yang sudah merasa cukup dengan ibadahnya), Ayam Hutan (orang yang terlena dengan kemewahan harta benda dunia), Humay “berbadan singa, berkepala dan bersayap burung rajawali. Mahluk imajiner bangsa Persia” (lambang dari seorang Raja), dan Burung Hantu (lambang dari orang yang memuja harta benda). b. Perdebatan Burung-burung dengan Hud-hud Dalam bab ini digambarkan terjadi perdebatan antara Hud-hud dengan para burung-burung, kemudian semua burung, satu demi satu, menyatakan alasan-alasan yang tak bijak untuk menghidar dan berdalih dari perjalanan mencari raja sejati (Simurgh) itu. Dalam perdebatan itu Hud-hud mengatakan kepada para burung-burung. Hud-hud: “Ia yang memilih Simurgh bagi hidupnya sendiri harus melawan dirinya sendiri dengan berani. Jika urat tembolokmu tak dapat mencerna sebutir gandum pun, bagaimana kau akan ikut serta dalam pesta sang Simurgh ? Bila kau ragu-ragu dengan seteguk anggur, bagaimana kau akan
31
minum sepiala besar, o bayangkara raja? Jika kau tak memiliki tenaga sebutir zarrah, bagaimana kau akan menemukan khazanah surya? Jika kau dapat terbenam dalam setetes air, bagaimana kau akan dapat meninggalkan dasar laut ke puncak langit? Ini bukan wangian biasa; dan bukan pula tugas bagi dia yang tak bermuka bersih.” (Attar 2015: 35). Setelah mendengar pernyataan itu burung-burung merenungkannya. Kemudian burung-burung berkata kepada Hud-hud: “Telah kau pikul sendiri tugas menunjukkan jalan pada kami, kau yang terbaik dan terkuat diantara burungburung. Tetapi kami lemah, tanpa bulu halus maupun lar (sayap), sehingga bagaimana kami pada akhirnya akan bisa sampai ke hadapan Simurgh Yang Mulia? Kalau kami sampai juga ke sana, tentulah suatu keajaiban. Ceritakan pada kami tentang Wujud yang menakjubkan itu dengan suatu tamsil, atau, karena sebuta ini keadaan kami, kami tak akan mengerti samasekali rahasia ini. Jika ada suatu pertalian antara Wujud ini dengan diri kami, tentulah akan jauh lebih mudah terperikan bagi kami. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, ia mungkin dapat dibandingkan dengan Sulaiman, dan kami dengan semut-semut yang meminta-minta. Bagaimana dapat serangga didasar sumur memanjat naik ke tempat Simurgh yang besar? Akankah kebangsawanan teruntuk bagi pengemis? (Attar 2015: 36).
32
Setelah mendengar pernyataan para burung-burung yang mencoba berdalih dari perjalanan mencari raja sejati (Simurgh) seperti tertulis di atas, maka Hud-hud menjawab dalih mereka dengan pernyataan: Hud-hud: “O burung-burung yang tak bercita-cita! Bagaimana cinta akan bersemi indah dihati yang tak punya kepekaan rasa? Mengajukan pertanyaan seperti ini, yang seakan memaafkan kalian, tak akan ada gunanya. Siapa yang bercinta berangkat dengan mata terbuka ke arah tujuannya seraya membuat hidupnya sebagai barang permainan. Ketika Simurgh mengejawantahkan dirinya di luar tabir, gemilang bagai matahari, ia menimbulkan ribuan bayangbayang di bumi. Ketika ia melemparkan pandang pada bayangbayang
ini,
tampaklah
di
sana
burung-burung
begitu
banyaknya. Begitulah beragam jenis burung yang terlihat di dunia ini hanyalah bayang-bayang Simurgh. Maka ketahuilah, o burung-burung yang bodoh, bahwa setelah kalian mengerti akan ini, kalian pun akan mengerti pula dengan sungguhsungguh pertalian kalian dengan Simurgh. Renungkan rahasia ini, tetapi jangan singkapkan. Ia yang memperoleh pengetahuan ini tenggelam dalam kemaharayaan Simurgh, sungguhpun ia harus tak menganggap bahwa dirinya Tuhan dalam hal itu.
33
Bila kalian menjadi seperti yang kukatakan itu, tidaklah akan berarti bahwa kalian Tuhan, tetapi kalian akan terendam dalam Tuhan. Adakah makhluk yang terendam demikian menjadi berubah wujudnya ? Bila kalian mengetahui bayangbayang siapa kalian ini, maka hidup atau mati tak akan menjadi soal bagi kalian. (Attar, 2015: 36-37). Demikianlah pernyataan Hud-hud kepada burungburung yang menjadi penutup cerita pada bab ini. c. Burung-burung berangkat Dalam bab ini secara umum menceritakan tentan awal mula keberangkatan para burung-burung dalam perjalanannya mencari raja sejati mereka yaitu (Simurgh). Perasaan takut dan cemas yang menimbulkan jerit kepiluan burung-burung itu ketika mereka memandang jalam yang akan mereka lalui tiada berujung, dimana badai pembebasan dari segala yang berbau duniawi membelah ruang langit. Sebelum keberangkatan dimulai para burung-burung meminta kepada Hud-hud untuk menceritakan tentang jalan yang harus dilalui dan tentang istana Raja serta upacaraupacara yang dilakukan disana. Setelah mendengar pertannya itu kemudian Hud-hud mengenaka mahkota dikepalanya, maju kemimbar dan berpidato dihadapa burung-burung. Ketika pasukan burung-burung berjajar di depannya dalam barisan,
34
Bul-bul dan perkutut mendekat, dan seperti dua pembaca dengan suara yang sama, mereka memancarkan lagu yang begitu merdu sehingga segala yang mendengar merasa terhanyut. Setelah itu kemudian satu demi satu, sejumlah burung mendekat padanya untuk bicara tentang berbagai kesulitan dan menyatakan alasan-alasan mereka (Attar 2015: 58). Singkat cerita Hud-hud memberikan penggambaran (lembah-lembah) jalan yang akan dilalui untuk bertemu dengan raja mereka yaitu Simurgh. Attar menceritakan dalam bukunya sebgai berikut: Hudhud: “Kita harus melintasi tujuh lembah dan hanya setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan menemukan Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini tiada akan pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin dikatakan berapa mil jarak yang ada di muka kita. Bersabarlah, o penakut, sebab semua mereka yang melintasi jalan ini sama halnya dengan keadaanmu. Lembah pertama ialah Lembah Pencarian, yang kedua Lembah Cinta, yang ketiga Lembah Keinsafan, yang keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan, yang kelima Lembah Keesaan Murni, yang keenam Lembah Keheranan, dan yang
35
ketujuh Lembah Kemiskinan dan Ketiadaan, lebih dari itu tiada yang dapat pergi lebih jauh lagi (Attar, 2015: 121). Itulah tuju lembah (Station) yang harus dilewati untuk bertemu dengan raja sejati mereka (Simurgh) yang dalam dunia tasawuf kita kenal dengan “maqam” (Station). d. Sikap Burung-burung Setelah burung-burung mendengar perkataan Hud-hud, dan kesedihan mencucuk-cucuk hati mereka. Kini mereka mengerti betapa sulit bagi sekepul debu seperti mereka untuk meregang busur sehebat itu. Begitu besar gairah mereka sehingga banyak yang mati di tempat dan saat itu. Tetapi yang lain-lain, menempuh
betapa jalan
sengsaranya panjang
itu.
pun,
memutuskan
Bertahun-tahun
untuk mereka
mengembara melintasi gunung demi gunung dan lembah demi lembah, dan sebagian besar hidup mereka mengalir lalu di perjalanan itu. Tetapi bagaimana mungkin menuturkan segala yang telah terjadi pada mereka? Perlu berjalan bersama mereka dan mengetahui kesulitan-kesulitan mereka, serta mengikuti pengembaraan-pengembaraan di jalan panjang itu; barulah kita dapat menyadari penderitaan burung-burung itu. Pada akhirnya, hanya sejumlah kecil dari kawanan yang besar itu dapat sampai ke tempat mulia yang ditunjukkan Hudhud. Dari ribuan burung itu hampir semuanya telah lenyap.
36
Banyak yang hilang di lautan, yang lain binasa di puncak gunung-gunung tinggi, disiksa dahaga; yang lain lagi terbakar sayapnya, sedang hatinya mengering karena api matahari; sebagian dimangsa macan dan macan tutul, sebagian lagi mati kecapaian di gurun-gurun dan di hutan-hutan belantara, dengan bibir kering dan tubuh kepanasan: ada yang menjadi gila dan saling berbunuhan karena sebutir jawawut; ada pula yang karena lemah oleh penderitaan dan keletihan, jatuh di jalan dan tak kuat melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi; yang lain, bingung karena apa-apa yang mereka lihat, berhenti di tempat itu, tercengang-cengang; dan banyak, yang telah berangkat lantaran ingin tahu atau senang, tewas tanpa mendapat gambaran tentang apa yang mereka cari dalam perjalanan yang telah mulai mereka tempuh itu. Karena itu, dari semua burung yang beribu-ribu itu, hanya tiga puluh saja yang dapat sampai ke tujuan perjalanan itu. (Attar, 2015: 159-160). Segera sesudah itu, burung-burung itu akhirnya meniadakan diri mereka sendiri dalam diri sang Simurgh bayang-bayang telah lenyap dalam cahaya surya, dan begitulah adanya. Segala yang telah kau dengar, kau lihat atau kau ketahui bukan pula awal dari apa yang harus kau ketahui, dan karena permukiman yang bobrok di dunia ini bukan tempatmu, maka kau harus meninggalkannya. Carilah pokok pohon itu,
37
dan jangan risaukan apakah cabang-cabangnya ada atau tidak ada. (Attar, 2015: 164-165). Dan pada akhir kalimatnya Attar mengatakan “Dan kini ceritakupun selesai, tak ada lagi yang mesti kukatakan. B. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Dengan Konteks Sekarang Nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku musyawarah burung tentunya bisa dikatakan semuanya memuat nilai dan ajaran tasawuf, Karen buku musyawarah burung adalah buku sastra sufistik yang berisi tentang ajaran tasawuf dan menceritakan tentang bagaimana perjalanan batin seorang salik dalam menempuh suluk untuk menempuh tauhid yang sejati, yaitu tauhid dengan perjalanan pembuktian secara empiris dengan diri sendiri (melihat denga mata kepala) serta sampai pada keadaan bahwa tidak ada kemungkinan lain selain Allah SWT. Dalam buku musyawarah burung juga di jelaskan bagaimana keadaan dan kondisi jiwa seorang sufi ketika dalam perjalanan Tauhid tersebut. Serta fase-fase atau tahapan-tahapan yang akan dilalui seorang sufi dalam perjalanannya menuju perjumpaan angung dengan raja yang sejati. Buku musyawarah burung adalah buku sastra sufistik, dan tentunya dalam penyampaian ajaran dan gagasannya penuh dengan amsal-amsal, penggambaran-penggambaran, loncatan logika, bahasa
38
yang sangat halus tetapi padat akan muatannya, dimana setiap baris dan bait mengandung inti kesadaran dari kehidupan. Buku musyawarah burung terdiri dari tiga Bab. Bab yang pertama berjudul Doa Pujian, Bab yang kedua berjudul BurungBurung Berkumpul, dan Bab yang ketiga berjudul Musyawarah Burung. Berikut adalan gambaran secara rincinya. 1. Bab I Doa Pujian Dalam bab 1 ini tertulis lembaran syair dan pujian kepada Allah SWT, dan keagungan terhadap ciptaannya. Dalam bab ini terdapat bebrapa nilai-nilai pendidikan tasawuf yang bisa kita ambil antaralain yaitu sebagai berikut. a. Ajaran Tauhid ( bukti kehadiran Alam Semesta sebaga ciptaanNya) Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gununggunung selaku paku pengukuh bumi dan membasuh wajah bumi dengan air lautan. Kemudian Ia tempatkan bumi di atas punggung lembu jantan, dan lembu jantan itu di atas ikan, dan ikan itu di atas udara. Tetapi di atas mana terletak udara? Di atas yang tiada. Tetapi yang tiada itu tiada dan segalanya itu pun tiada. Kalau
demikian,
kagumilah
buah
karya
Tuhan,
meskipun Ia sendiri memandang segalanya itu sebagai tiada. Dan mengingat bahwa hanya Hakikat-Nya sendirilah yang ada,
39
maka pastilah tiada suatu pun selain Dia. Arasy-Nya di atas perairan dan dunia ini di udara. Tetapi tinggalkanlah perairan dan udara itu, karena segalanya Tuhan: arasy dan dunia itu hanya azimat. Tuhan adalah segalanya, dan benda benda hanya punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang terlihat dan tak terlihat hanya Dia Sendiri jua. Tiada siapa pun kecuali Dia. Tetapi juga, tak seorang pun dapat melihat Dia. Mata ini buta, meskipun dunia diterangi dengan matahari cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia sekejap saja pun, kau akan kehilangan akal, dan bila kau dapat melihat Dia sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri (Attar, 2015: 4-5). b. Penyatuan Roh (jiwa) dengan Raga Ketika jiwa disatukan dengan raga, maka ia pun merupakan bagian dari keseluruhan itu: belum pernah ada pesona yang mengagumkan seperti itu. Jiwa punya peranan dalam apa yang tinggi, dan raga punya peranan dalam apa yang rendah; terbentuklah paduan antara tanah liat yang pekat dan ruh yang murni. Karena paduan ini, maka insan pun menjadi yang paling mengagumkan dari segala rahasia. Kita tak tahu dan tak mengerti sedikit pun tentang ruh kita. Jika kau ingin mengatakan sesuatu tentang ini, lebih baik kau diam. Banyak yang tahu akan permukaan lautan ini, tetapi mereka tak
40
mengerti sedikit pun akan dasarnya yang terdalam dan dunia lahiriah ini ialah pesona yang melindunginya. Tetapi pesona yang berupa rintangan-rintangan jasmani ini akhirnya akan rusak. Dan akan kau temukan harta itu bila pesona itu lenyap; jiwa pun akan menyingkapkan dirinya sendiri bila raga tersingkir. Tetapi jiwamu ialah suatu pesona yang lain; dalam hal yang berhubungan dengan rahasia ini, jiwa itu suatu kenyataan yang lain. Maka tempuhlah jalan yang akan kutunjukkan, tetapi janganlah minta penjelasan (Attar, 2015: 78). c. Perjuangan perjalanan rohani para Nabi dalam bertauhid Pikirkan mereka yang menempuh jalan ruhani. Lihat apa yang terjadi pada Adam; ingat berapa tahun yang ia lewatkan dalam berduka. Renungkan air bah di masa Nuh dan sekalian kepala suku itu, yang menderita dalam cengkeraman orang-orang yang jahat. Pikirkan Ibrahim yang penuh cinta pada Tuhan: ia menderita penganiayaan dan dilemparkan ke dalam api. Ingat Ismail malang, yang dikorbankan demi cinta ilahiat. Tengok Ya,kub yang menjadi buta lantaran meratapi putranya. Lihat Yusuf, yang mengagumkan baik ketika berkuasa maupun ketika menghamba, ketika dalam sumur dan dalam penjara. Kenangkan Ayub yang papa, yang menggeliat di tanah menjadi mangsa cacing dan serigala. Ingat Yunus,
41
setelah tersesat dari Jalan itu, meninggalkan bulan ke perut ikan. Lihat Sulaiman, yang kerajaannya dikuasai jin. Ingat Zakaria, begitu menyala-nyala cintanya pada Tuhan sehingga ia tetap diam ketika orang-orang membunuhnya; dan Yahya, yang dihinakan di muka orang banyak, dan kepalanya diletakkan di atas lempengan kayu. Tegak berdirilah di kaki tiang Salib mengagumi Isa ketika ia menyelamatkan dirinya dari tangantangan orang Yahudi. Dan akhirnya, renungkanlah segala yang di derita oleh Pemimpin sekalian nabi itu, berupa penghinaan dan penganiayaan dari orang-orang yang jahat (Attar, 2015: 89). 2. Bab II Burung Burung Berkumpul Seluruh burung-burng di dunia berkumpul menjadi satu, mereka membentuk sebuah kelompok yang di pimpin oleh Burung
Hudhud,
masing-masing
burung
disapa
dan
diperkenalkan latarbelakangnya oleh Hudhud. Begitulah Attar mengambarkan isi dari bab 2 ini. Adapun nilai pendidikan tasawuf dalam bab ini adalah Ajaran tetang suatu kelompok oraganisasi Tariqat Selamat datang, O Hudhud! Kau yang menjadi penunjuk jalan Raja Sulaiman dan menjadi utusan sejati dari lembah, yang beruntung dapat pergi hingga ke batas-batas Kerajaan Saba. Tutur siulmu dengan Sulaiman menyenangkan;
42
sebagai
kawan
baginya,
kau
pun
mendapat
mahkota
kehormatan. Kau harus membelenggu setan, si penggoda itu, dan sesudah demikian, kau akan dapat masuk ke istana Sulaiman (Attar, 2015: 11). 3. Bab III Musyawarah Burung Segala burung-burung di dunia, yang dikenal dan tak dikenal, dating berkumpul. Mereka berkata, “Tiada negeri di dunia ini yang tak punya Raja. Maka bagaimana mungkin kerajaan burung-burung tanpa penguasa.” Begitulah Attar membuka kalimatnya dalam Bab 3 ini. Dalam Bab ini berisi tetang dialok dan perdebatan Hudhud sebagai pemimpin dengan para burung-burng. Adapun nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam Bab ini akan penulis gambarkan sebagai berikut. a. Musyawarah dibuka Digambarkan bahwa segala burung di seluruh dunia berkumpul. Mereka memikirkan tentang bagaimana hendak mencari pemimpin. Tenjadi banyak percakapan mengenai pencarian raja sejati. Adapun pendidika tasawuf yang tekandung dalam bab ini adalah sebagai berikut. 1) Ajaran tentang Zuhud Hudhud: Kukenal baik Rajaku, tetapi tak bisa aku pergi mencarinya sendiri. Tinggalkan keengganan
43
kalian, kesombongan kalian dan keingkaran kalian, karena siapa yang tak mementingkan hidupnya sendiri terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia terbebas dari ikatan baik dan buruk demi yang dicintainya (Attar, 2015: 16). Hudhud: Janganlah kita menutup jiwa kita terhadap yang kita kasihi, tetapi hendaklah kita ada dalam keadaan yang serasi untuk menuntun jiwa kita ke istana Raja kita itu. Cucilah tangan kalian dari kehidupan ini bila kalian ingin disebut pengamal. Demi yang kalian kasihi, tinggalkan kehidupan kalian yang berharga ini, sebagai makhluk mulia. Bila kalian menyerahkan diri dengan manis, sang kekasih pun akan memberikan seluruh hidupnya pada kalian." (Attar, 2015: 18). 2) Kewaspadaan terhadap cinta yang berlebihan Bulbul: “Bila aku berpisah dari mawarku tercinta, aku pun merasa sunyi, aku tak lagi menyanyi, dan tak kututurkan pada siapapun rahasiaku. Hanya mawar yang mengetahuinya dengan pasti. Begitu dalam aku terlibat dalam cinta dengan mawar hingga akupun tak memikirkan hidupku sendiri dan hanya memikirkan mawar. Perjalanan mendapatkan simurgh ada diluar
44
kekuasaanku, cinta dari Mawar itu cukup bagi Bulbul ini” (Attar, 2015: 19). 3) Ajaran Tentang Surga Duniawi dan Surga Akhirat Merak: “Namun aku selalu berharap agar ada penunjuk jalan yang bermurah hati mau menuntun aku keluar dari tempat yang gelap ini dan membawaku ke rumah-rumah besar yang tinggal berdiri selamanya. Aku tak mengharapkan akan sampai ke hadapan Raja yang kausebutkan itu, cukuplah bagiku untuk sampai ke gerbangnya. Bagaimana dapat kau harapkan diriku akan berusaha untuk sampai ke hadapan Simurgh karena aku telah tinggal di sorga dunia? Tak ada keinginanku yang lain kecuali tinggal di sana lagi. Tiada yang lain lagi yang berarti bagiku." (Attar, 2015: 23). 4) Orang yang menuhankan ibadahnya Tiadalah kiranya yang pernah menyaksikan makhluk
yang
lebih
menarik
dan
lebih
suci
daripadaku," katanya. "Setiap saat aku melakukan sesuci
yang
menjadi
kelaziman
itu,
lalu
membentangkan tikar sembahyang di air. Burung mana dapat hidup dan bergerak di air seperti aku ? Dalam hal ini aku punya kemampuan yang mengagumkan.
45
Di antara burung-burung aku petobat yang berpenglihatan jernih, berpakaian bersih; dan aku hidup dalam unsur yang suci. Tak ada yang lebih bermanfaat bagiku kecuali air, karena di sana kudapat makananku dan kumiliki permukimanku. Bila kesusahan-kesusahan merisaukan diriku, maka kubasuh dan kuhilangkan semuanya di air. Air jernih memberikan zat-zatnya pada sungai di mana aku hidup; aku tak suka akan tanah kering. Begitulah, karena aku hanya berurusan dengan air, mengapa pula aku harus meninggalkannya? Segala yang hidup ini hidup dari air. Bagaimana aku akan dapat
melintasi
lembah-lembah
dan
terbang
mendapatkan Simurgh? Mana mungkin macam aku ini yang puas dengan permukaan air, merasa rindu untuk bertemu dengan Simurgh ? (Attar, 2015: 24). 5) Pengemis kepadan Raja-aja (pemerintah) Rajawali: “Aku yang senang menyertai para raja dan tak mengacuhkan makhluk-makhluk lain. Kututup mataku dengan peci agar aku dapat bertengger di tangan raja. Aku amat terlatih dalam sopan-santun dan menjalankan pertarakan seperti petobat agar bila dibawa ke hadapan raja, aku dapat melakukan tugas-tugasku
46
dengan tepat seperti yang diharapkan. Mengapa pula aku harus bertemu dengan Simurgh, meskipun dalam mimpi? Mengapa begitu saja aku harus bergegas kepadanya? Aku tak merasa terpanggil untuk ikut serta dalam perjalanan ini, aku puas dengan sesuap dari tangan raja; istananya cukup bagus bagiku. Ia yang bermain-main demi kesenangan raja, mendapatkan segala keinginannya; dan agar berkenan di hati raja, aku hanya harus terbang lewat lembah-lembah yang tak bertepi. Tak ada keinginanku yang lain kecuali melewatkan hidupku penuh kegembiraan dengan cara begini baik dengan melayani raja maupun dengan berburu menurut kesukaannya." (Attar, 2015: 29). 6) Kemunafikan “menyembunyikan kesombongan dan keriya‟an di dalam kerendah hatian.” Aku termenung bingung dan patah semangat. Aku tak tahu bagaimana mesti hidup, dan aku rapuh bagai rambut. Tak ada yang akan menolong diriku dan aku tak bertenaga sekuat semut pun. Aku tak mempunyai bulu halus maupun lar(1) -sedikit pun tidak. Bagaimana mungkin makhluk lemah seperti aku ini
47
berusaha mendapatkan Simurgh? Burung Gereja tak akan sanggup berbuat demikian. Tak kurang mereka di dunia ini yang mencari persatuan itu, tetapi bagi makhluk macam aku ini, itu tak selayaknya. Aku tak ingin memulai perjalanan sesusah itu untuk mencari sesuatu yang tak mungkin kucapai. Jika aku mesti berangkat menuju ke istana Simurgh, aku akan binasa di jalan. Maka karena aku sama sekali tak layak untuk berusaha ke arah itu.” (Attar, 2015: 34). b. Tuju Maqom Dan Keadaan Para Sufi Dalam bagian ini Attar mengambarkan bahwa orang yang melakukan Suluk atau perjalanan Tasawuf harus melewati tujuh lembah. Dalam dialog burung-burung Hudhud mengatakan: “Kita harus melintasi tujuh lembah dan hanya setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan menemukan Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini tiada akan pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin dikatakan berapa mil jarak yang ada di muka kita. Bersabarlah, o penakut, sebab semua mereka yang melintasi jalan ini sama halnya dengan keadaanmu. (Attar, 2015: 121).
48
Adapun nilai pendidikan tasawuf dalam bagian ini akan penulis kemukakan sebgai berikut: 1) Lembah pencarian Bila kau memasuki lembah pertama, Lembah Pencarian, seratus kesukaran akan menyergapmu; kau akan mengalami seratus cobaan. Di sana, merak langit tak lebih dari seekor lalat. Kau harus melewatkan beberapa tahun di sana, kau harus melakukan upayaupaya besar, dan harus mengubah keadaanmu. Kau harus meninggalkan segala yang tampak berharga bagimu dan memandang segala milikmu sebagai tak berarti apa-apa. Bila kau yakin bahwa kau tak memiliki suatu apa, kau masih harus melepaskan dirimu dari segala
yang
ada.
Kemudian
hatimu
pun
akan
diselamatkan dari kehancuran dan kau akan melihat cahaya suci Keagungan Ilahi dan hasrat-hasratmu yang sejati akan diperlipat gandakan menjadi tak terbatas. (Attar, 2015: 121). 2) Lembah cinta (mahabbah) “Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani.
49
Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat mengorbankan satu." (Attar, 2015: 126). 3) Lembah keinsyafan dan ke‟arifa (Ma‟rifat) Hudhud: “Setelah lembah yang kubicarakan itu, menyusul lembah yang lain - Lembah Keinsafan, yang tak bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk melintasinya tak dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi setiap penempuh perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya menampakkan dirinya dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan itu telah mengatasi kesalahan-kesalahan tidur
dan
dan
kemalasannya
kelemahankelemahannya, dan
setiap
penempuh
perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing sesuai dengan usahanya. Meskipun
50
seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai cara melintasi Lembah ini, dan semua burung tidaklah sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di Mihrab, yang lain pada arca pujaan. Bila matahari keinsafan menerangi jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai dengan amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan baginya dalam menginsafi kebenaran. (Attar, 2015:132-133). 4) Lembah kebebasan dan lembah kelepasan (istinghna) Hudhud melanjutkan, “Kemudian menyusul lembah di mana tak ada nafsu untuk memiliki atau keinginan untuk menemukan. Dalam suasana jiwa yang demikian, angin dingin pun bertiup, begitu hebat sehingga dalam sejenak saja angin itu menimbulkan kerusakan yang luas tak terhingga: ketujuh lautan tak lebih dari sebuah lobang air, ketujuh kaukab hanya setitik bunga api, ketujuh langit hanya sebuah bangkai, ketujuh neraka hanya es yang hancur. Kemudian, sesuatu yang mengherankan, tak masuk akal! Seekor semut sama kuatnya dengan seratus gajah, dan seratus
51
kafilah tewas sementara seekor gagak sedang mengisi temboloknya.” Di Lembah ini tiada apa pun yang baru atau yang lama akan berharga; kau boleh berbuat atau tidak berbuat. Bila kaulihat seluruh dunia terbakar dan segala hati tak lebih dari syisy kabab, itu baru impian saja dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika puluhan ribu jiwa harus tenggelam ke lautan yang tak terbatas, itu akan seperti setitik embun belaka. (Attar, 2015: 136-137). 5) Lembah Keesaan Murni (Tauhid) Hudhud melanjutkan: “Kau seterusnya harus melintasi Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala yang menegakkan kepala di sini menegakkan kepala dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau seakan melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya hanyalah satu. Semua merupakan esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan keabadian sebagai yang dulu dan yang
52
kemudian, dan karena kedua keabadian ini telah lenyap, jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?" (Attar, 2015: 142). 6) Lembah keheranan dan Kebingungan (Al-Ittihad) Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan. Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan perjalanan?
Tetapi bagi
yang telah
mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku
53
penuh dan sekaligus juga hampa cinta." (Attar, 2015: 147). 7) Lembah Keterampasan (Faqir) dan Ketiadaan (Fana) Hudhud melanjutkan: “Terakhir dari semua itu menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus
bayang-bayang
yang
melingkungimu
menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Dilaut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita. (Attar, 2015: 153).
54
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Terhadap Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Dalam perjalanan menuju tauhid yang sejati atau paling tidak menemukan kehadira Allah dalam kehidupa kita ini. Seorang salik membutuhkan seorang guru untuk membimbing perjalanannya, karena tanpa guru perjalanan ini membutuhkan waktu yang lama. Inti sebenarnya dari buku musyawarah burung ini terangkum dalam bab tiga yang berjudul “Musyawarah di Buka”. Itu adalah titik awal sampai dimulainya perjalanan burung-burung mencari raja sejati mereka yaitu Simurgh. Adapun analisis secara keseluruhan, pada bagian ini akan penulis gambarkan dalam dua hal yaitu: Analisis tek doa pujian dan Analisis tek tentang rapat di buka dan Tuju Maqam (Stasion). 1. Analisis Teks Doa Pujian Dalam teks doa pujian ini pertama-tama penulis Fariduddin Attar memuji Allah SWT dengan segala keagungan ciptaannya. Adapun Analisi nilai-nilai pendidikan tasawuf pada bagian ini antara lain sebagai berikut. a. Ajaran Tauhid ( bukti kehadiran Alam Semesta sebaga ciptaan-Nya) Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gunung-gunung selaku paku pengukuh bumi dan membasuh wajah bumi dengan air lautan. 55
Kemudian Ia tempatkan bumi di atas punggung lembu jantan, dan lembu jantan itu di atas ikan, dan ikan itu di atas udara. Tetapi di atas mana terletak diudara? Di atas yang tiada. Tetapi yang tiada itu tiada dan segalanya itu pun tiada. Kalau demikian, kagumilah buah karya Tuhan, meskipun Ia sendiri memandang segalanya itu sebagai tiada. Dan mengingat bahwa hanya Hakikat-Nya sendirilah yang ada, maka pastilah tiada suatu pun selain Dia. Arasy-Nya di atas perairan dan dunia ini di udara. Tetapi tinggalkanlah perairan dan udara itu, karena segalanya Tuhan: arasy dan dunia itu hanya azimat. Tuhan adalah segalanya, dan benda benda hanya punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang terlihat dan tak terlihat hanya Dia Sendiri jua. Tiada siapa pun kecuali Dia. Tetapi juga, tak seorang pun dapat melihat Dia. Mata ini buta, meskipun dunia diterangi dengan matahari cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia sekejap saja pun, kau akan kehilangan akal, dan bila kau dapat melihat Dia sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri (Attar, 2015: 4-5). Adanya lukisan adalah bukti bahwa ada Sang pelukis, begitulah kiranya kalimat yang mampu mengambarkan tetang pencipta dan yang di ciptakan. Segala yang selain Allah adalah mahluk, dan dengan mengenali mahluknya maka kita dapat mengenali penciptanya. Pada dasarnya manusia memang sudah diberi potensi dasar untuk mengenali Ayat-ayat 56
Allah, adapun Ayat-ayat Allah yaitu segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dan segala sesuatau yang tersebar di alam semesta. Sedangkan ayat Allah yang berupa tulisan disebut Al-Quran dan ditulis dalam kertas disebut mushaf. Alam Semesta sebagai bukti adanya Allah, Alam Semesta diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya, Allah menciptakan Alam Semesta dengan kekuasaan dan kesempurnaan, Allah menciptakan Langit dan Bumi keduanya bertautan (bersatu), Allah menciptakan dan menjaga Langit sebagai atap yang tidak roboh/lenyap, kejadian Langit dan Bumi dan pergantian siang dan malam mejadi tanda kekuasaan-Nya. Menurut sudut pandang Islam, dunia ini dicipitakan oleh Allah dan dipelihara oleh-Nya serta akan kembali kepadan-Nya. Dunia diciptakan oleh Allah sebagai bukti bahwa Allahlah yang menciptakannya. Seluruh ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini semuanya mempunyai awal dan akhirnya. Dalam Al-Quran Allah memberi gambaran tentang penciptaan Langit dan Bumi dalam Al-Bqarah, 117 yang berbunyi:
ُضىٰ أَمْسًا فَإِوَمَب يَمُىلُ نَهُ كُهْ فَيَكُىن َ َبَدِيعُ انّسَمَبوَاتِ وَانْؤَزْضِ ۖ وَإِذَا ل Artinya: Allah pencipta langit dan Bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukup) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah” lalu jadilah ia. (Al-Baqarah, 117).
57
Dalam banyak ayat Al-Quran. Allah bersumpah atas nama ciptaanNya, seperti matahari, bulan, berbagai jenis buah-buahan, dan banyak ayat Al-Quran yang menyuruh manusia agar memperhatikan kebijaksanaan yang luar biasa yang terdapat dalam ciptaan-Nya. Dengan cara yang serupa, islam memperuntukkan dirinya bagi alam primordial manusia yang ada dalam pencaran pesan kosmis yang tertulis di atas dedaunan, gunung-gunung dan bintang-bintang. Itulah sebabnya baik ayat-ayat AlQuran menyebut kedua ayat ini yang dalam jiwa manusia maupun dalam ciptaan-Nya yang lain sebagai tanda-tanda atau isyarat Allah SWT sebagaimana disebutkan:
ِسَىُسِيهِمْ آيَبتِىَب فِي انْآفَبقِ وَفِي أَوْفُّسِهِمْ حََتىٰ يَتَبَيَهَ نَهُمْ أَوَهُ انْحَكُ ۗ أَوَنَمْ يَكْف ٌشيْءٍ شَهِيد َ ِبِسَبِكَ أَوَهُ عَهَىٰ ُكم Artinya: kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya TuhanMu menjadi saksi atas segala sesuatu? (AlFushilat 53). (Maslihah 2009: 81-82). b. Penyatuan Ruh (jiwa) dengan Raga (jasad) Dalam Kosep penyatuan jasad dan Ruh Attar mengatakan. “Ketika jiwa disatukan dengan raga, maka ia pun merupakan bagian dari keseluruhan itu: belum pernah ada pesona yang mengagumkan seperti itu. 58
Jiwa punya peranan dalam apa yang tinggi, dan raga punya peranan dalam apa yang rendah; terbentuklah paduan antara tanah liat yang pekat dan ruh yang murni. Karena paduan ini, maka insan pun menjadi yang paling mengagumkan dari segala rahasia. Kita tak tahu dan tak mengerti sedikit pun tentang ruh kita. Jika kau ingin mengatakan sesuatu tentang ini, lebih baik kau diam. Banyak yang tahu akan permukaan lautan ini, tetapi mereka tak mengerti sedikit pun akan dasarnya yang terdalam dan dunia lahiriah ini ialah pesona yang melindunginya.” Tetapi pesona yang berupa rintangan-rintangan jasmani ini akhirnya akan rusak. Dan akan kau temukan harta itu bila pesona itu lenyap; jiwa pun akan menyingkapkan dirinya sendiri bila raga tersingkir. Tetapi jiwamu ialah suatu pesona yang lain; dalam hal yang berhubungan dengan rahasia ini, jiwa itu suatu kenyataan yang lain. Maka tempuhlah jalan yang akan kutunjukkan, tetapi janganlah minta penjelasan (Attar, 2015: 7-8). Kau sufi sefaham seluruhnya, termasuk Rumi, bahwa sanya Ruh Insani ini datang dari alam lain ke dunia ini dan terkurung dalam badan jasmani di dunia. dia laksana penjara di sini. Senantiasa nyawa yang terpenjara itu ingin hendak kembali ketempat asalnya. (Hamka 1986: 190). Dari keterangan di atas dapat kita tairk garis pemahaman bahwa Ruhani dan Jasad memang sesuatu yang berbeda, jasad terbuat dari materi sedangkan Ruh berasal dari Alam ketuhana ketika seorang hamba ingin 59
menemui Tuannya maka dia harus mensucikan dirinya atau ruhaninya. Konsep penyatuan antara Jiwa dan Ruh juga di kemukakan oleh Syekh Abd Qadir Jilani dalam bukunya yang berbunyi sebagai berikut. “Manusia dapat dilihat dari dua sudut pandang: dalam perwujudan jasad dan bentuk ruh. Dalam perwujudan jasad segala sesuatu lebih kurang sama. Karena itu dalam pemahaman ini,orang bisa menerapkan hukum-hukum umum ke manusia. Dalam bentuk ruh, dibalik perwujutannya yang tersembunyi, setiap orang berbeda-beda. Karena itu, hukum-hukum khusus dapat berlaku padanya.” (Al- Jilani, 2006: 13). c. Perjuangan perjalanan rohani para Nabi dalam bertauhid Lihat apa yang terjadi pada Adam; ingat berapa tahun yang ia lewatkan dalam berduka. Renungkan air bah di masa Nuh dan sekalian kepala suku itu, yang menderita dalam cengkeraman orang-orang yang jahat. Pikirkan Ibrahim yang penuh cinta pada Tuhan: ia menderita penganiayaan dan dilemparkan ke dalam api. Ingat Ismail malang, yang dikorbankan demi cinta ilahiat. Tengok Yakub yang menjadi buta lantaran meratapi putranya. Lihat Yusuf, yang mengagumkan baik ketika berkuasa maupun ketika menghamba, ketika dalam sumur dan dalam penjara. Kenangkan Ayub yang papa, yang menggeliat di tanah menjadi mangsa cacing dan serigala. Ingat Yunus, setelah tersesat dari Jalan itu, meninggalkan bulan ke perut ikan. Lihat Sulaiman, yang kerajaannya dikuasai jin. Ingat Zakaria, begitu menyala-nyala cintanya pada Tuhan 60
sehingga ia tetap diam ketika orang-orang membunuhnya; dan Yahya, yang dihinakan di muka orang banyak, dan kepalanya diletakkan di atas lempengan kayu. Tegak berdirilah di kaki tiang Salib mengagumi Isa ketika ia menyelamatkan dirinya dari tangan-tangan orang Yahudi. Dan akhirnya, renungkanlah segala yang di derita oleh Pemimpin sekalian nabi itu, berupa penghinaan dan penganiayaan dari orang-orang yang jahat. (Attar, 2015: 8-9). Kehidupan di dunia adalah perjuangan (Jihad). Sedangkan perjuangan setiap manusia berbeda-beda tergantung letak maqam dan kepekaannya terhadap firman Allah. Ada yang baru pada tahap mencari kebenaran, ada yang baru tahap menyukai sesuatu yang bersifat materi, kebesaran, popularitas, harta benda, ada juga yang sudah sampai pada kesadaran tentang asal usul dirinya, tujuan akan kemanakah dirinya dan tugasnya selama masih hidup di dunia. Dari berbagai titik keordinat kesadaran
manusia
tersebut
sebenarnya
jika
ingin
memperoleh
kebahagiaan yang sejati mau tidak mau manusia harus melakukan pencarian-pencarian dan perjuangan yang sifatnya lebih hakikat atau substansi dari kehidupan ini. Karena kebahagiaan yang hakiki menag sudah di set up oleh Allah pada perjumpaan akhir di akhirat nanti. Hikmah tentang perjuangan Ruhani bisa kita mengambil dari cerita-cerita dalam Al-Quran tentang perjuangan para Nabi-Nabi terdahulu. Seperti Nabi Nuh dengan kesabaran dan ketabahan dalm 61
menghadapi umatnya, Nabi Ibrahim dengan pencariaan Tauhidnya dan lain-lain. Tidak ada Nabi yang hidup dengan bahagia jika kita melihat dari sudut pandang Materi, tetapi jika kita melihat dari sudut pandang batiniah mereka mendapat ketenangan batin yang luarbiasa karena hidup mereka di jamin oleh Allah, mereka juga mendapatkan kedudukan di sisi Allah sebangai kekasihnya. 2. Analisi Bab II Burung Burung Berkumpul Dalam analisis Bab dua ini di gambarkan suatu kelompok Burungburung yang berkumpul untuk tujuan yang sama. Dalam bab ini sebenarnya Attar ingin mengambarkan suatu organisasi Tariqat, dan di dalam bab ini juga di jelaskan tentang pengambaran sosok Hudhud sebagai pemimpin atau mursid tariqat itu. Attar menuliskan dalam syairnya yang berbunyi. Selamat datang, O Hudhud! Kau yang menjadi penunjuk jalan Raja Sulaiman dan menjadi utusan sejati dari lembah, yang beruntung dapat pergi hingga ke batas-batas Kerajaan Saba. Tutur siulmu dengan Sulaiman menyenangkan; sebagai kawan baginya, kau pun mendapat mahkota kehormatan. Kau harus membelenggu setan, si penggoda itu, dan sesudah demikian, kau akan dapat masuk ke istana Sulaiman. (Attar, 2015: 11). Adapun penjelasan mengenai Thariqat Hamka dalam bukunya Tasawuf perkembangan dan pemurniannya menyatakan bahwa pertumbuhan Thariqat-Thariqat atau suluk tidak berkurang. Thariqat ialah laksana pesantren
62
kita sekarang ini. Di suatu tempat tertentu duduklah murid menghadap gurunya. Guru itu di beri gelar Syaikh. Selain mempelajari syariat agama, yang di pentingkan sangat di dalamnya ialah dengan perantara guru mempelajari wirid tertentu di dalam menuju jalan Tuhan (Suluk). Thariqat-thariqat itu berdiri sendiri, di bawah pimpinan seorang syaikh. Yang sangat terkenal ialah thariqat “Qadiriyah” yang didirikan oleh Sayid Abdul Kadir Jailani di negeri bagdad. (Hamka 1984: 166). Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa thaariqat-thariqat adalah sebuah lembaga bagi orang-orang yang mengerjakan suluk. Sedang tugas sang guru (Mursid) dalam hal ini adalah mengawasi setiap saat dalam pertumbuhan rohani muridnya, ia mengawasinya khusus dalam masa meditasi. Di bawah pimpinan guru terpercaya, murid dapat mengharapkan kemajuan tingkatan dalam tariqat. Guru memberi petunjuk tentang kelakuan yang tepat dalam setiap keadaan jiwa dan memerintahkan masa-masa khalwat, bila di pandangnya perlu. (Schimmel, 1986: 107). 3. Analisi Bab III Musyawarah Burung Segala burung-burung di dunia, yang dikenal dan tak dikenal, dating berkumpul. Mereka berkata, “Tiada negeri di dunia ini yang tak punya Raja. Maka bagaimana mungkin kerajaan burung-burung tanpa penguasa.” Begitulah Attar membuka kalimatnya dalam Bab 3 ini.
63
Dalam Bab ini berisi tetang dialok dan perdebatan Hudhud sebagai pemimpin dengan para burung-burng. Adapun Analisi nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam Bab ini akan penulis gambarkan sebagai berikut. a. Musyawarah di Buka Dalam bagian ini di ceritakan bahwa segal burung-burung di dunia, yang di kenal dan tak dikenal, datang berkumpul. Mereka mulai memikirkan bagaimana hendak mencari pemimpin. Burung Hudhud, dengan bersemangat tampil kemuka, menempatkan diri di tengah majelis burung-burung itu. Di dadanya terdapat perhiasan yang melambangkan bahwa ia telah mengikuti tarekat pengetahuan ruhani. Dan dalam keadaan itu pula terjadi diskusi dan perdebatan antara Hudhud dengan burungburung yang lain tentang Perjalanan menuju Raja sejati dan Hambatanhambatannya. Adapun analisis nilai pendidikan tasawuf dalam bagian ini adalah sebagai berikut. 1) Ajaran tentang Zuhud Zuhud adalah salah satu pintu awal untuk memasuki dunia tasawuf atau pengembaraan rohani karena jiwa yang masih terikat oleh dunia materi dan kesenangan duniawi tidak akan mampu menembus misteri ruhani. Dalam buku ini Hudhud mengatakan sebagai berikut. Hudhud: Kukenal baik Rajaku, tetapi tak bisa aku pergi mencarinya sendiri. Tinggalkan keengganan kalian, kesombongan 64
kalian dan keingkaran kalian, karena siapa yang tak mementingkan hidupnya sendiri terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia terbebas dari ikatan baik dan buruk demi yang dicintainya (Attar, 2015: 16). Hudhud: Janganlah kita menutup jiwa kita terhadap yang kita kasihi, tetapi hendaklah kita ada dalam keadaan yang serasi untuk menuntun jiwa kita ke istana Raja kita itu. Cucilah tangan kalian dari kehidupan ini bila kalian ingin disebut pengamal. Demi yang kalian kasihi, tinggalkan kehidupan kalian yang berharga ini, sebagai makhluk mulia. Bila kalian menyerahkan diri dengan manis, sang kekasih pun akan memberikan seluruh hidupnya pada kalian." (Attar, 2015: 18). Ajaran zuhud juga di kemukakan oleh Harun Nasution dalam bukunya bahwa Zuhud adalah station yang terpenting bagi seorang calon sufi. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid, yang dalam istilah Inggris disebut ascetic. Sesudah menjadi zahid barulah ia bisa meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi adalah Zahid, tetapi sebaliknya bukanlah tiap zahid merupakan sufi (Nasutio 1973: 64). Akan tetapi dalam wacana yang lain para sufi tidak menekankan pada zuhud tetapi lebih pada Hirs, atau “Keserakahan”, dalam buku dimensi mistis dalam islam dikemukakan bahwa “Dalam 65
tulisan-tulisan sufi di zaman kemudian yang ditekankan bukanlah zuhud, melainkan kebalikannya Hirs, atau keserakahan, suatu sifat yang bertentangan dengan tindakan meninggalkan dunia serta kemiskinan sejati. Sejarah menunjukan bahwa sifat ini tidak hanya terdapat pada para pemimpin dunia, tetapi juga pada mereka yang mengaku telah mencapai tingkat rohaniah yang tertinggi dan menggunakan zuhud lahiriah untuk menutupi keserakahan batin mereka. Banyak syair persi yang memperolok-olok zahid-zahir, yaitu petapa yang masih memuja benda-benda lahir, artinya belum mencapai sepi ing pamrih yang tulus serta kepasrahan penuh cinta kasih. (Schimmei di terjemahkan oleh Darmono 1986: 115). Dari kedua sudut pandang diatas dapat kita tarik kesimpulah bahwa zuhud adalah bukan soal meninggalkan dunia atau menjauhi Kemaksiatan, hidup dengan kekayaan atau kemiskinan tetapi tentang penahlukan diri dan jiwa dari keserakahan dan ketertarikan kepada dunia. Meskipun pada experiment awalnya para salik melakukan Riyaadoh semacam latihan olah jiwa dan mental meniadakan yang mapan. Seperti seorang yang memakai pakaian seperti glandangan, asalkan jangan di jadikan tren atau mode bahwa seorang sufi harus berpakaian dari karung atau bulu domba. Inti kesadaran dari zuhud adalah kewaspadaan terhadap tipu daya Dunia.
66
2) Kewaspadaan Terhadap Cinta Yang Berlebihan Cinta adalah anugrah dari yang maha kuasa, keindahan yang tak mungkin dapat di tolak kedatangannya dan tak mungkin dapat dicegah kepergiannya. Cinta adalah sesuatu yang hakiki. Tetapi seberapakah kita meneguk anggur cinta di dunia ini hendaknya kita tau ukuran-ukurannya, cinta yang tidak didasari oleh sang pencipta akan cepat hilang dan pudar, karena cinta yang tidak berdasar pada sesuatu yang kekal akan hilang seiring berjalannya waktu. Sebab akibat yang jelas dari pola sunatullah atau hukum alam, sesuatu yang disandarkan pada sesuatu yang tidak kekal akan hilang seiring keruntuhan sandarannya. Begitulah nasehad hud-hud kepada Burung Bulbul yang tengah terngelam oleh cinta dari mawar jelita mempesona. Bulbul: “Bila aku berpisah dari mawarku tercinta, aku pun merasa sunyi, aku tak lagi menyanyi, dan tak kututurkan pada siapapun rahasiaku. Hanya mawar yang mengetahuinya dengan pasti. Begitu dalam aku terlibat dalam cinta dengan mawar hingga akupun tak memikirkan hidupku sendiri dan hanya memikirkan mawar. Perjalanan mendapatkan simurgh ada diluar kekuasaanku, cinta dari Mawar itu cukup bagi Bulbul ini” (Attar, 2015: 19). Wanita sebagai penampakan Ilahi yang hampir layak sebagai kontemplasi suci. Rumi menyatakan bahwa bentuk fisik sangatlah penting, tidak ada yang bisa dilakukan tanpa kerja sama bentuk dan 67
esensi. Namun banyak diantara kamu menanam benih yang di kupas kulitnya, sehingga tidak akan bisa tumbuh. Tanamlah benih itu dengan kulitnya maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang besar. Dari sudut pandang ini bentuk zahir adalah fundamental dan penting bagi realisasi tujuan Ilahi. Dalam keagungannya pada wanita Rumi menyatakan dalam syairnya: Ia (wanita) yang dengan kecantikann wajahnya lelaki diperbudak, bagaimana jadinya jika ia (wanita) mulai memainkan peran sebagai budak yang tunduk? Ia (wanita) yang kepadanya kesombongan hatimu tergetar, bagaimana kamu akan bersikap ketika ia (wanita) luruh berurai air mata di hadapanmu? Oleh karena Ia (Tuhan)
menciptakannya
(Wanita)
supaya
Adam
menemukan
kedamaian padanya, bagaimana Adam bisa dipisahkan dari Hawa? (Lewishon, 2003:425). Cinta memang sesuatu yang hakiki tetapi dalam meneguk Anggur Cinta hendaknya kita tau apa dan seberapakah ukuran dari cawing itu. Ukuran-ukuran dalam kehidupan itulah yang disebut dengan ilmu dan pengetahuan, karena cinta tanpa ilmu dia menjadi naif dan ilmu tanpa cinta dia menjadi kering. Begitulah sekiranya dalma perjalana rohani kedua sayap cinta dan ilmu pengetahuan kita pakai untuk mengarumi hidup ini. Cinta kepada sesuatu yang tidak hakiki maka akan hilang seiring dengan hilangnya sesuatu yang dicintai. Itulah sebabnya para 68
sufi mengajarkan untuk tidak “Hubbu Dunya” cinta kepada dunia, karena cinta dan terika kepada sesuatu yang tidak abadi dan hakiki hanya akan menyesal pada akhirnya. Attar memberikan nasehat dalam dialok para burung-burng yang berbunyi: “kau yang tak mau ikut, silau karena bentuk lahiriah dari segala ini, berhentilah menikmati keterikatan yang begitu menyesatkan. Cinta Mawar itu banyak durinya; ia mengusik dan menguasai dirimu. Meskipun Mawar itu jelita, namun keindahannya akan segera lenyap. Siapa yang mencari kesempurnaan diri janganlah menjadi budak cinta yang begitu cepat berlalu. Jika senyum Mawar itu menimbulkan berahimu, maka itu hanya akan mengisi hari demi harimu dan malam demi malammu dengan ratapan-ratapan kesedihan. Tinggalkan Mawar itu dan hendaknya kau malu pada dirimu sendiri; sebab, bersama tiap Musim Semi yang baru, ia menertawakanmu dan kemudian ia pun tak tersenyum lagi." (Attar, 2015: 20). 3) Ajaran Tentang Surga Duniawi dan Surga Akhirat Merak: “Aku selalu berharap agar ada penunjuk jalan yang bermurah hati mau menuntun aku keluar dari tempat yang gelap ini dan membawaku ke rumah-rumah besar yang tinggal berdiri selamanya. Aku tak mengharapkan akan sampai ke hadapan Raja yang kausebutkan itu, cukuplah bagiku untuk sampai ke gerbangnya. Bagaimana dapat kau harapkan diriku akan berusaha untuk sampai ke 69
hadapan Simurgh karena aku telah tinggal di sorga dunia? Tak ada keinginanku yang lain kecuali tinggal di sana lagi. Tiada yang lain lagi yang berarti bagiku.” Hudhud: “Kau tersesat dari Jalan yang benar. Istana Raja itu jauh lebih bagus dari sorgamu. Tak ada yang lebih baik bagimu selain berusaha untuk sampai ke sana. Istana itu tempat tinggal bagi jiwa, ia keabadian, ia tujuan keinginan kita yang sebenarnya, permukiman hati, tempat duduk kebenaran. Yang Maha Luhur itu lautan maha raya; sorga rahmat duniawi hanyalah setitik kecil; segala yang bukan lautan itu hanya sesuatu yang membingungkan. Bila kau dapat memiliki lautan itu, mengapa kau ingin mencari setitik embun petang? Akankah ia yang tahu akan rahasia surya iseng bermain dengan sejemput debu? Adakah ia yang mempunyai segalanya berurusan dengan apa yang hanya merupakan sebagian saja? Adakah jiwa berurusan dengan anggota-anggota
badan?
Bila
kau
ingin
sempurna,
carilah
kesemestaan, pilihlah kesemestaan, jadilah kesemestaan.” (Attar, 2015: 23). Cerita hudhud tentang Adam “Ketika Adam, yang termulia dari segala makhluk, masuk sorga, didengarnya suara yang bergema dari dunia yang tak tampak, 'O kau yang terikat pada sorga duniawi dengan seratus ikatan, ketahuilah bahwa siapa pun di kedua dunia itu dikenal karena apa yang terjadi antara dia dengan Aku, Kupisahkan 70
dari segala yang ada, agar ia hanya terikat padaKu saja, kawannya sejati. “Bagi seorang pencinta, seratus ribu kehidupan pun tiada artinya tanpa yang dikasihinya. Ia yang hidup untuk sesuatu yang lain dari Dia, biar Adam sendirilah itu, telah terusir. Para penghuni sorga tahu bahwa yang pertama mesti mereka serahkan ialah hati mereka.” (Attar, 2015: 24). Dunia memang bukanlah sesuatu yang harus dijauhi atau di benci, tetapi ketika seluruh pikira dan jiwa terfokus dan terikat oleh dunia tentu itu akan melenakan dan membuat kita lupa akan tujuan hidup kita. Sedak zaman dahulu telah banyak filsafat-filsafat tentang kehidupan yang menyatak bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara. Begitulah siklus waktu berjalan begitu cepat, Bayi lahir, Anakanak, Remaja, Dewasa, Tuwa dan Mati. Tetapi selama ini dalam hidup, kita tetap merasa tidak pernah ada perubahan dalam suasana jiwa kita. Itu adalah sesuatu bukti bahwa hakikat manusia atau diri kita yang sejati ada didalam lubuk hati terdalam kita. Jangan takut menjadi tuwa tetapi takutlah untuk tidak menjadi dewasa. Saya kira itu adalah kalimat yang tepat untuk menyatakan jati diri manusia yang sebenarnya. Badan kita tidak abadi karena dia akan menua dan ketika kita mati badan akan kembali menyatu dengan tanah, begitu juga dengan 71
waktu kehidupan kita di dunia, serta segala kebesaran dan keagunggan yang akan segera kita tinggalkan. Saya kira itulah sebabnya para sufi mengingatkan tentang taman hidup keabadian yaitu Akhirat. 4) Orang yang menuhankan ibadahnya Bahaya kesombongan tidak hanya di lakukan oleh orang-orang biasa tetapi kesombongan juga bisa di lakukan oleh orang-orang yang sudah merasa dirinya Alim dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Begitulah kiranya nasihat yang akan di berika oleh Attar dalam kalimatnya sebagai berikut. Tiadalah kiranya yang pernah menyaksikan makhluk yang lebih menarik dan lebih suci daripadaku," katanya. "Setiap saat aku melakukan sesuci yang menjadi kelaziman itu, lalu membentangkan tikar sembahyang di air. Burung mana dapat hidup dan bergerak di air seperti
aku?
mengagumkan.
Dalam Di
hal antara
ini
aku
punya
burung-burung
kemampuan aku
petobat
yang yang
berpenglihatan jernih, berpakaian bersih; dan aku hidup dalam unsur yang suci. Tak ada yang lebih bermanfaat bagiku kecuali air, karena di sana
kudapat
makananku
dan
kumiliki
permukimanku.
Bila
kesusahan-kesusahan merisaukan diriku, kubasuhhilangkan semuanya di air. Air jernih memberikan zat-zatnya pada sungai di mana aku hidup; aku tak suka akan tanah kering. Begitulah, karena aku hanya 72
berurusan dengan air, mengapa pula aku harus meninggalkannya? Segala yang hidup ini hidup dari air. Bagaimana aku akan dapat melintasi lembah-lembah dan terbang mendapatkan Simurgh? Mana mungkin macam aku ini yang puas dengan permukaan air, merasa rindu untuk bertemu dengan Simurgh?" (Attar, 2015: 24). Dari penjelasan diatas bisa kita tarik pemahaman tentang kesombongan dan lupa akan hakikat sebenarnya dari ibadah. Dalam melakukan segala hal kita memang harus mengenali dulu asal usul dan letak kordinat penempatan segala sesuatunya. Ketika segala sesuatu yang di syariatkan oleh Allah kepada umat islam di anggap sebagai tujuan maka ketika itulah banyak orang sibuk beribadah tetapi lupa bertuhan, ibadah sudah tidak dijadikan sara atau wasilah untuk mendekat kepada Tuhan tetapi ibadah di jadikan sebagai tujuan untuk mencari keuntungan duniawi. Akhirnya setiap orang akan melakukan segala sesuatu untuk keuntungan pribadi. Shalat Dhuha agar mendapat uang yang banyak, bersedekah agar mendapat kembalian tigaratus kalilipat, dan lain-lain. Maka dari pada itu hendaknya kita harus kembali menegaskan kedalam diri kita baik secara prisip maupn secara ilmu bahwa segala yang kita lakukan di dalam kehidupan ini hanyalah untuk bertauhid kepada Allah SWT.
73
5) Mengemis kepadan Raja-aja (Pemerintah) Seorang Ulama atau para intelektual yang mengemis jabatan kekuasaan dan harta kepada raja memang sudah terjadi seja dulu. Dan untuk para ulama yang mengabdi kepada pemerintah para ulama zaman dahulu sudah memberi istilah dengan ulama suk (ulama yang buruk). Dalam hal ini Attar menuliskan: Rajawali: “Aku yang senang menyertai para raja tak mengacuhkan makhluk-makhluk lain. Kututup mataku dengan peci agar aku dapat bertengger di tangan raja. Aku amat terlatih dalam sopan-santun dan menjalankan pertarakan seperti petobat agar bila dibawa ke hadapan raja, aku dapat melakukan tugas-tugasku dengan tepat seperti yang diharapkan. Mengapa pula aku harus bertemu dengan Simurgh, meskipun dalam mimpi? Mengapa begitu saja aku harus bergegas kepadanya? Aku tak merasa terpanggil untuk ikut serta dalam perjalanan ini, aku puas dengan sesuap dari tangan raja; istananya cukup bagus bagiku. Ia yang bermain-main demi kesenangan raja, mendapatkan segala keinginannya; dan agar berkenan di hati raja, aku hanya harus terbang lewat lembah-lembah yang tak bertepi. Tak ada keinginanku yang lain kecuali melewatkan hidupku penuh kegembiraan dengan cara begini baik dengan melayani raja maupun dengan berburu menurut kesukaannya." (Attar, 2015: 29). 74
Fakta tentang kerjasama para peguasa dan tokoh masayarakat yang bekerjasama untuk tetap melanggengkan kekuasaannya sudah terjadi seja zaman pemerintahan ke khalifahan Islam, dimana banyak fatwa-fatwa ulama di pergunakan untuk kepentingan raja agar rakyat tidak melakukan pemberontakan, juga dengan berbagai argument bahwa pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang harus di taati. Dari sekian perputaran sejarah manusia Attar sudah memberi gambaran tetang godaan yang melenakan sehingga membuat manusia lupa akan tujuannya di dunia adalah kekuasaan atau jabatan dan harta beda. 6) Kemunafikan “Menyembunyikan Kesombongan Dan Keriya‟an Didalam Kerendah Hatian” Aku termenung bingung dan patah semangat. Aku tak tahu bagaimana mesti hidup, dan aku rapuh bagai rambut. Tak ada yang akan menolong diriku dan aku tak bertenaga sekuat semut pun. Aku tak mempunyai bulu halus maupun lar sedikit pun tidak. Bagaimana mungkin makhluk lemah seperti aku ini berusaha mendapatkan Simurgh? Burung Gereja tak akan sanggup berbuat demikian. Tak kurang mereka di dunia ini yang mencari persatuan itu, tetapi bagi makhluk macam aku ini, itu tak selayaknya. Aku tak ingin memulai perjalanan sesusah itu untuk mencari sesuatu yang tak mungkin kucapai. Jika aku mesti berangkat menuju ke istana Simurgh,
75
aku akan binasa di jalan. Maka karena aku sama sekali tak layak untuk berusaha ke arah itu. Hudhud, “O kau, yang dalam kehilangan harapan kadang bersedih dan kadang gembira, aku tak akan terkecoh oleh alasan yang dibuat-buat ini. Kau sedikit munafik. Juga dalam kerendahan hatimu kau memperlihatkan seratus tanda keriyaan dan kesombongan. Tak usah bicara lagi, jahit bibirmu dan langkahkan kaki. Jika kau terbakar, kau akan terbakar bersama yang lain-lain. Dan jangan bandingkan dirimu dengan Yusuf!” (Attar, 2015: 34). Munafik
adalah
sifat
ganda
yang
sangat
sukar
kita
mengindikasinya. Karena Rasulullah sendiri juga hampir tertipu oleh orang munafik. Sifat munafik adalah sifat perang ganda yang bisa bersembunyi di balik bayang-bayang kerendahatian. Dalam dialog burung-burung diatas Attar mengambarkan bagaimana burng gereja mengatakan dengan penuh kerendahtian kepada Hudhud dan menunjukan kelemahan dan kekurangannya di banding dengan burung-burung yang lain, tetapi pada akhinnya hanya di jadikan alasan untuk tidak ikut dalam pengembaraannya menuju Simurgah (Raja para burung). Dari beberap uraian diatas bisa kita simpulkan bahwa dalam hidup ini ada Ribuan alasan untuk tetap melakukan keburukan tetapi tidak perlu ada alasan untuk melakukan sebuah kebain, Karen kebaikan akan tetap berdiri sebagai kebaikan tanpa sebuah alasan. 76
b. Tuju Maqam dan Keadaan Para Sufi Dalam bagian ini Attar mengambarkan bahwa orang yang melakukan Suluk atau perjalanan Tasawuf harus melewati tujuh lembah. Dalam dialog burung-burung Hudhud mengatakan: “Kita harus melintasi tujuh lembah dan hanya setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan menemukan Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini tiada akan pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin dikatakan berapa mil jarak yang ada di muka kita. Bersabarlah, o penakut, sebab semua mereka yang melintasi jalan ini sama halnya dengan keadaanmu. Lembah pertama ialah Lembah Pencarian, yang kedua Lembah Cinta, yang ketiga Lembah Keinsafan, yang keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan, yang kelima Lembah Keesaan Murni, yang keenam Lembah Keheranan, dan yang ketujuh Lembah Kemiskinan dan Ketiadaan, lebih dari itu tiada yang dapat pergi lebih jauh lagi. (Attar, 2015: 121). Tuju maqam di atas sejalan dengan yang di kemukakan oleh Harun Nasution dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam islam yang mengatakan bahwa: “Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi Stasion-stasion, yang disebut maqamat atau stages dan stasion dalam istilah inggris. Buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasionstasion ini. Tetapi secara keseluruhan yang biasa disebut ialah: “Tobat – 77
Zuhud – Sabar – Tawakal – Kerelaan.” Di atas stasion-stasion ini masih ada lagi yaitu: “Cinta – Ma‟rifat – Fana‟ dan Baka – persatuan.” Dan dalam persatuan dapat mengambil bentuk Al-Hulul atau Wahdat AlWujud. (Nasution 1973: 62). Di dalam dunia tasawuf selain ada istilah Maqam (Stasion) tahaptahap yang harus ditempuh oleh para sufi kita juaga akan mengenal istilah Hal. Hal adalah suatu keadaan mental atau kondisi jiwa seorang sufi yang tidak bisa diperoleh atas usaha melainkan suatu anugrah dan rahmat dari Allah SWT. Dalam bukunya Harun Nasution mengemukakan tentang Hal sebagai berikut. “Di samping istilah Mqam itu terdapat pula dalam literature tasawuf istilah Hal. Hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Hal yang bisa disebut adalah: “Takut – Rendah Hati – Patuh – Iklas – Rasa Berteman – Gembira Hati – Syukur” Hal, berlainan dengan Maqam, bukan di peroleh atas usaha manusia, tetapi di dapat sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan. (Nasution 1973: 63). Adapun analisi nilai pendidikan tasawuf dalam bagian ini akan penulis kemukakan sebgai berikut: 78
1) Lembah Pencarian (Zuhud) Dalam lembah pencarian ini, Attar menuliskan dalam bukunya sebagai berikut. Bila kau memasuki lembah pertama, Lembah Pencarian, seratus kesukaran akan menyergapmu; kau akan mengalami seratus cobaan. Di sana, merak langit tak lebih dari seekor lalat. Kau harus melewatkan beberapa tahun di sana, kau harus melakukan upayaupaya
besar,
dan
harus
mengubah
keadaanmu.
Kau
harus
meninggalkan segala yang tampak berharga bagimu dan memandang segala milikmu sebagai tak berarti apa-apa. Bila kau yakin bahwa kau tak memiliki suatu apa, kau masih harus melepaskan dirimu dari segala yang ada. Kemudian hatimu pun akan diselamatkan dari kehancuran dan kau akan melihat cahaya suci Keagungan Ilahiat dan hasrat-hasratmu yang sejati akan diperlipatgandakan menjadi tak terbatas. (Attar, 2015: 121). Lembah pencarian atau lembah Talab. Di lembah ini banyak kesukaran, rintangan dan godaan di jumpai oleh seorang salik (penempuh jalan). Untuk mengatasinya seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan harus mengubah diri sepenuhnya dengan membalikkan nilai-nilai yang dia peganginya selama ini. Kecintaannya kepada Dunia harus dia lepaskan dan tingalkan. Baru setelah itu ia
79
dapat di selamatkan dari kehancuran diri dan setelah itu dia akan dapat menyaksikan cahaya kudus keagungan Ilahi. Abdul Hadi dalam bukunya “Hermeneutika, Estetika dan Religiusita” memberi tafsir tentang lembah pencarian sebagi berikut. “Seorang yang berhasil mengatasi diri jasmani dan dunia akan dipenuhi kerinduan kepada
yang di
cintai
dan benar-benar
mengabdikan diri kepada kekasinya.” Kata Attar, “Apabila kau gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau bukanlah penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memadang dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang, dan merasa di hinakn karena hanya memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan kau tolak batu, karena keduannya berasal dari Tuhan. Batu yang dilempar oleh kekasih yng setia lebih baik daripada intan yang di jatuhkan oleh seorang perempuan perusak rumah tangga. Di lembah pencarian seseorang harus memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar. Kata Attar, “Bersabarlah dan berusahalah terus dengan harapan memperoleh petunjuk jalan (Hidayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu. (Hadi 2004: 149).
80
2) Lembah Cinta Didalam lembah ke dua ini Attar mengambarkan cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga tembus pandang, artinya dapat menemus bentuk-bentuk formal kemudian menyikap rahasia-rahasian terdalam dari ciptaan. Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani. Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat mengorbankan satu." (Attar, 2015: 126). Perhentian-perhentian berikutnya di jalam mistik ialah Mahabbah atau Cinta. Salah satu ciri cinta sejati ialah penglihatan batin yang terang dan dengan itu ia mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu sehingga mencapai hakikatnya yang terdalam. Karena dapat melihat dari arah hakikat orang yang cinta tidak memandang segala sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang terpuji dan bebas dari dunia serta kungkungan 81
benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang. Caranya ialah dengan penyucian diri. Iama Ghazali menulis dalam kitabnya mengenai mahabbah atau cinta sebagai berikut. Allah SWT berfirman:
ُُلمْ إِنْ كُىْتُمْ تُحِبُىنَ انهَهَ فَبتَبِعُىوِي يُحْبِبْكُمُ انهَهُ وَيَغْفِسْ نَكُمْ ُذوُىبَكُمْ ۗ وَانهَه ٌغَفُىزٌ زَحِيم Artinya: katakanlah, “jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.” (Al-Imron 31). Ayat ini turun ketika Nabi saw. Menajak ka‟ab ibn al-Asyraf dan sahabat-sahabatnya masuk islam. Mereka berkata, “Kami berada dalam kedudukan sebagai anak-anak Allah dan kami sangat mencintai Allah.” Lalu Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya: Katakan, “jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (dalam agamaku) sebab aku adalah utusan Allah yang menyampaikan risalah dalam Hujjah-Nya kepadamu, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah adalah mereka mematuhi perintah-Nya, mengutamakan ketaatan kepada-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Sedangkan kecintaan Allah kepada orang82
orang mukmin adalah dia memuji mereka serta memberi pahala, ampunan, kenikmatan, rahmat, pemeliharaan, dan taufik kepada mereka. (Al-Ghazali, 2006: 45). 3) Lembah keinsyafan dan kearifan (Ma‟rifat) Lembah adalah suatu keadaan diman tidak ada perbedaan antara kondisi tejaga dan kondisi tidur, karena dalam keadaan tidur, karena dalam kondisi tidur, ruh mampu menemukan kesempatan untuk keluar kerumah yang sebenarnya, alam semua ruh, dan kembali dengan membawa banyak berita. Inilah yang kita sebut dengan mimpi sejati. Adapun mengenai pengertian tentang lembah keinsyafa Attar memberi gambaran sebagai berikut: Hudhud: “Setelah lembah yang kubicarakan itu, menyusul lembah yang lain - Lembah Keinsafan, yang tak bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk melintasinya tak dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi setiap penempuh perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya menampakkan dirinya dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan itu
telah
mengatasi
kesalahan-kesalahan
dan
kelemahan-
kelemahannya, tidur dalam kemalasannya dan setiap penempuh 83
perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing sesuai dengan usahanya. Meskipun seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai cara melintasi Lembah ini, dan semua burung tidaklah sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di Mihrab, yang lain pada arca pujaan. Bila matahari keinsafan menerangi jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai dengan amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan baginya dalam menginsafi kebenaran. Bila rahasia hakikat segala makhluk menyingkapkan dirinya dengan jelas padanya, maka perapian dunia pun menjadi taman mawar. Ia yang berusaha akan dapat melihat buah badam yang terlindung dalam kulitnya yang keras itu. Ia tak akan lagi sibuk memikirkan dirinya sendiri, tetapi akan menengadah memandang wajah sahabatnya. Pada setiap zarrah ia akan dapat melihat keseluruhan; ia akan merenungkan ribuan rahasia yang cemerlang (Attar, 2015:132-133). Kearifa atau ma‟rifat. Kearifan berbeda dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa bersifat sementara, sedangkan kearifan ialah pengetahuan yang abadi, sebab isinya ialah tetang yang abadi. Kearifan ialah maqam yang di peroleh seseorang setelah mata batinnya 84
terbuka, dimana ia mengenal dengan pasti hakikat tunggal segala sesuatu. Kearifan menyebabkan seseorang selalu terjaga kesadarannya akan yang Satu, dan waspada terhadap kelemahan, kekurangan dan keabaian dirinya. Syekh abd Qadir Jilani mengemukakan cara atau metode dan tahap untuk sampai pada maqam Marifat. Adapun pernyataannya sebagai berikut: Manusia sesuai dengan hukum-hukum umum, dengan mengikuti sejumlah langkah dapat kembali ke asal-usulnya. Untuk mengambil langkah seperti ini, manusia mengikuti ketentuanketentuan nyata dari agama kita sebagai suatu pedoman, mengikuti turan-aturan agama, manusia melangkah maju naik dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya. Manusia dapat dapat mencapai maqam jalan spiritual melangkah menuju alam hakikat (kearifan). Untuk mencapai tingkat ini, orang orang pertama-tama harus meninggalkan penampakan-penampakan palsu dan kemunafikan dalam perbuatan sedemikian rupa sehingga yang lainnya dapat melihat atau mendengar. Kemudian orang-orang harus menjalani tiga tahap ilmu pengetahuan secara berturut-turut: usaha dalam mengikuti ajaranajaran agama (Syari‟ah), usaha dalam mengendalikan nafsu-nafsu yang bersarang dalam dirinya. Melawan penyebab munculnya nafsu85
nafsu rendahan yang ada dalam ego, agar tercapai kesatuan maqam dan datang mendekat ke penciptanya (Tariqah) dan akhirnya, dalam usahanya mencapai maqam marifat dengan mana manusia akan datang mengenal Tuhannya. (Al-Jilani, 2006: 14). 4) Lembah Kebebasan dan Lembah Kelepasan (Al-Hulul) Di lembah ini tidak adalagi nafsu memenuhi jiwa seseorang atau keingginan mencari sesuatu yang mudah di dapat dengan ikhtiar biasa. Karena pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran yang abadi, maka seseorang tidak pernah melihat ada yang baru atau ada yang lama didunia ini. Adapun mengenai lembah ini Attar mengambarkan sebagai berikut: Hudhud melanjutkan, “Kemudian menyusul lembah di mana tak ada nafsu untuk memiliki atau keinginan untuk menemukan. Dalam suasana jiwa yang demikian, angin dingin pun bertiup, begitu hebat sehingga dalam sejenak saja angin itu menimbulkan kerusakan yang luas tak terhingga: ketujuh lautan tak lebih dari sebuah lobang air, ketujuh kaukab hanya setitik bunga api, ketujuh langit hanya sebuah bangkai, ketujuh neraka hanya es yang hancur. Kemudian, sesuatu yang mengherankan, tak masuk akal! Seekor semut sama kuatnya dengan seratus gajah, dan seratus kafilah tewas sementara seekor gagak sedang mengisi temboloknya.”
86
Di Lembah ini tiada apa pun yang baru atau yang lama akan berharga; kau boleh berbuat atau tidak berbuat. Bila kaulihat seluruh dunia terbakar dan segala hati tak lebih dari syisy kabab, itu baru impian saja dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika puluhan ribu jiwa harus tenggelam ke lautan yang tak terbatas, itu akan seperti setitik embun belaka. (Attar, 2015: 136-137). Di dalam lembah ini mengambarkan suatu kondisi para sufi setelah melewati maqam marifat. Ketika ruh sang sufi dapat pergi berkelana ke tempat asalnya bertemu dengan Raja sejati wujud dari segala wijud. Sehingga apa yang dia lihat di dunia menjadi tidak lebih dari setitik embun di bandingkan dengan Wujud-Nya. Suatu kondisi dimana Lautan tampak sebagai setitik air ditengah wujid-Nya yang tak terhingga luasnya, dan dadanya selalu lapang sebab dia mengetahui bahwa rahmad Tuhan tidak akan pernah menyusut atau berkembang. Tujuan hidup menjadi tak berguna dan seseorang sudah merasa cukup dengan rahmad yang dilimpahkan oleh Tuhan. Hulul menurut Abu Nasr al-Tursi mengatakan bahwa hulul ialah faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu di lenyapkan (Nasution 1973: 88).
87
Jadi kelepasa atau Al-Hulul adalah suatu kondisi dimana terlepasnya sifat-sifat kemanusiaan dan berganti atau di isi dengan sifat-sifat ketuhanan. 5) Lembah Keesaan Murni (Tauhid) Di dalam lembah ini semuanya pecah berkeping-keping, dan kemudian menyatu kembali. Semuanya yang tampak berlainan dan berbeda kelihatannya berasal dari hakikat yang sama. Begitulah kiranya Attar akan mengambarkan keadaan pada lembah keesaan murni ini. Adapun uraiannya sebagai berikut. Hudhud melanjutkan: “Kau seterusnya harus melintasi Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala yang menegakkan kepala di sini menegakkan kepala dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau seakan melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya hanyalah satu. Semua merupakan esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan keabadian sebagai yang dulu dan yang kemudian, dan karena kedua keabadian ini telah lenyap, jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?" (Attar, 2015: 142). 88
Di dalam lembah keesaan ini semua yang terlihat berbeda dan berlainan ternyata berasal dari hakikat yang sama. Dilembah ini seseorang menyadari bahwa hakikat wujud yang banyak itu sebenarnya satu, maksudnya manifestasi cinta Yang Satu, yaitu Rahman dan Rahim-Nya. 6) Lembah keheranan dan Kebingungan (Ekstase) Seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan melambankan bahwa dia sudah berada dalam maqam Al-Ittihad. Dalam maqam ittihad ini Attar menggambarkan keadaan seorang sufi sebagai berikut. Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan. Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan perjalanan? Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti 89
apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh dan sekaligus juga hampa cinta." (Attar, 2015: 147). Di dalam keadaan ini seorang sufi menjadi terngelam dalam kebingungan dan timbul rasa duka yang tak terkirakan. Siang berubah jadi malam, malam berubah menjadi siang. Kemalangan tampak sebagai
keberuntungan
dan
keberuntungan
tampak
sebagai
kemalangan. Orang yang mencapai lembah Tauhid akan lupa segalanya, kemudian tersadar bahwa dia bersama yang Satu. Ketika orang yang ada di lembah ini ditannya, dia akan menjawab: “Aku tak tahu apakah ini fana‟ (lenyap) atau baqa‟ (hidup kekal) dalam dia. Aku tak tahu apa ini nyata atau tidak. Aku sedang bercinta, tetapi tidak tahu dengan siapa.” (Hadi 2004: 157). Dalam keadaan inilah sangsufi merasaak perasaan antara adan dan tiada, sedang bercinta tetapi tidak tau dengan siapa. Persatuan dalam maqam ini dalam tasawuf di sebut dengan maqam ittihad. Al-Ittihad ialah suatu tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhannya. Dalam ittihad, kata al-Badawi yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang dicintai dengan yang mencintai atau secara 90
tegasnya antara sufi dan Tuhan. Sufi yang bersankutan Karena kefanaannya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan. (Nasution 1973: 83). 7) Lembah Keterampasan (faqir) dan Ketiadaan (fana) Hudhud melanjutkan: “Terakhir dari semua itu menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan;
seratus
bayang-bayang
yang
melingkungimu
menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita. (Attar, 2015: 153). Kefakiran adalah bahwa ia tidak memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terhapus dari dirinya, kecuali cintanya kepada yang
91
satu. Karena jiwanya hanya terisi oleh-Nya, maka dia sanggup mengorbankan dirinya asal di perintahkan oleh kekasihnya. Sedangkan fana‟ ialah persatuan mistik, Manunggaling kawulo dan Gusti atau Union-Mystical. Keadaan ini di susul dengan baqa‟ yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan. Apabila seseorang telah mencapai tahap ini, dia akan menemukan dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan sungguh-sungguh mengenal asal muasal kerohaniannya. Hadis yang mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya” dapat dijelaskan melalui uraian tersebut. Dalam penyatuan diri yang di sebut Wahdat Al-Wujud Harun Nasution menjelaskan dalam bukunya sebagai berikut. Wahdat al Wujud berarti kesatuan wujud, dalam faham wahdat al Wujud, tiap-tiap yang adan mempunyai dua aspek. Aspek luar, merupakan „ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam yang merupakan jawhar and haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dari sifat kemakhlukan atau khaliq. Harun Nasuton dalam bukunya menyatakan: Falsafat ini timbul dari faham bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu di jadikan-Nya alam ini. Maka Alam ini merupakan cermin bagi Allah. Dikala ia ingin melihat diri-Nya, ia 92
melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada dalam alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, Tuhan melihat diriNya. Dari sini timbullah faham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. (Nasution 1973: 93). B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Dengan Konteks Sekarang Buku Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar ini memang tidak membahas pendidikan tasawuf secara eksplisit. Namun dari deretan bab per bab hampir semuanya mengilhami penulis tentang pernak pernik kehidupan tasawuf secara implisit. Buku yang berisi bait-bait sastra dan beberapa kumpulan hikayat, terangkum dalam satu susunan dialog panjang perjalanan Burung-burung untuk bertemu dengan Raja yang sejati. Buku ini secara umum membahas tentang asal muasah kehidupan manusia, hakikat perjalanan hidup manusia, tujuan kehidupan manusia dan jalan menuju kesempurnaan hidup. Dalam buku ini Attar mampu menyajikan dialok sastra sufisti yang tidak hanya mampu berbicara kepada kaum sufi tetapi juga pada orang biasa. Lalu apa sesungguhnya relevansi pemikiran Attar dengan kondisi sekarang? Mencermati kondisi sekarang yang serba global, dimana kebebasan tanpa batas menjadi ideologi yang di agung-agungkan oleh banyak orang. Bebas bicara semaunya dengan dalil kebebasan berbicara, bebas melakukan apa saja dengan dalil demokrasi dan hak asasi manusia. Semuanya menjadi 93
serba absud karena manusia hidup di dalam kebebasan tanpa mengenal batasbatasnya. Kebebasan bukanlah tujuan hidup melainkan kendaraan untuk memahami batas-batas dalam hidup ini. Kebebasan yang tak mengenal batas akan menghancurkan manusia itu sendiri. Kita hidup pada zaman, dimana segala sesuatu diukur berdasarkan materi, selama ini manusia tidak pernah dilihat, yang dilihat hanya Presiden, Gubernu, Artis, Bintang Film, Pemulung, Pengemis, tukang Becak tetapi pemulung tidak pernah dipahami bahwa dia juga manusia. Sekiranya itulah yang membuat manusia lupa tentang hakiat siapa dirinya. Sehingga menyebabkan manusia kering akan spiritualitas dan jauh dari Tuhan. Karena Tuhan sendiri bukanlah sesuatu yang bisa dilihat secara kasatmata. Bedasarkan itu semua, maka nilai pendidikan tasawuf sangatlah tepat dan relevan untuk di aplikasikan dalam kondisi sekarang. Nilai-nilai pendidikan tasawuf mampu membawa manusia memasuki dimensi-dimensi spiritual dalam hidup ini. Misalnya seperti aplikasi zuhud dalam koteks kehidupan sekarang. zuhud bukanlah soal meninggalkan dunia dalam arti menyepi di hutan, menjauh dari kehidupan sosial karena menghindari kemaksiatan, Tetapi zuhud pada hakikatnya adalah tidak terikatnya hati pada dunia. Harun Nasution dalam bukunya mengatak bahwa zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Tentang zuhud, Hasan al-Basri mengatakan: “Jauhilah
94
dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan tetapi racunnya membunuh (Nasution 1973: 64). Jadi berdasarkan pengertian di atas, zuhud bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita tanpa harung menggunakan metode-metode seperti orang-orang pada zaman dahulu, karena inti dari kesadaran zuhud bukanlah soal menyepi dan meninggalkan dunia, tetapi zuhud adalah selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan penempata diri (posisi) kita di dihadapan Tuhan dalam segala kejadian dalam hidup kita. Selain zuhud konsep-konsep seperti ma‟rifat dan mahabbah juga sangat relevan dalam konteks kekinian. Kosep ma‟rifat misalnya dapat lebih mendekatkan pengenalan diri kita kepada Allah dalam arti
yang
sesungguhnya. Demikian juga dengan konsep mahabbah adalah juga sangat relevan baik secara vertikal maupun secara horizontal ditengah kondisi masayarakat yang serba plural.
95
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) berisi tentang nilai pendidikan Tauhid, ajaran tentang kewaspadaan terhadap tipu daya dunia, hakikat penciptaan manusia, tujuan hidup manusia, Ajaran tentang Zuhud, mahabbah, ma‟rifat (mengenal Allah), istighna, faqir dan fana. 2. Adapun Relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dalam konteks sekarang, Misalnya seperti aplikasi zuhud dalam koteks kehidupan sekarang, zuhud bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita tanpa harung menggunakan metode-metode seperti orang-orang pada zaman dahulu, karena inti dari kesadaran zuhud bukanlah soal menyepi dan meninggalkan dunia, tetapi zuhud adalah selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan penempata diri (posisi) kita di hadapan Tuhan dalam segala kejadian dalam hidup kita. Selain zuhud konsep-konsep seperti ma‟rifat dan mahabbah juga sangat relevan dalam konteks kekinian. Kosep ma‟rifat misalnya dapat lebih 96
mendekatkan pengenalan diri kita kepada Allah dalam arti yang sesungguhnya. Demikian juga dengan konsep mahabbah adalah juga sangat relevan baik secara vertikal maupun secara horisontal ditengah kondisi masayarakat yang serba prular. B. SARAN 1. Segi hikmah yang terdapat dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq AlTayr) ini, penulis menyarankan agar penggalian dan penanaman ajaran tasawuf tersebut terus dilakukan/disosialisasikan kepada masyarakat sebagai salah satu langkah perbaikan aqidah dalam jiwa manusia untuk menjalani kehidupan di dunia ini yang semata-mata untuk beribadah dan menggapai ridho Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. 2. Penelitian selanjutnya, kajian dalam penelitian tentang nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) ini belum dikatakan sempurna, untuk itu harapan peneliti akan ada banyak peneliti baru yang berkenan meneliti lebih luas dan komprehensif terhadap buku tersebut.
97
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Matahari Munib, Achmad. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK UNNES Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Syamsuddin, Sahiron, Dkk. 2011. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Schimmel, Annemarie. 1975. Dimensi Mistik Dalam Islam. Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh: Djoko Darmono, Sapardi dan Ikram, Achadiati. 1986. Jakarta: Pustaka Firdaus Attar, Fariduddin. 1986. Musyawarah Burung. Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh: Azizi, Rizal Qomaruddin. 2015. Yogyakarta: Tinta Surga Nasution, Harun. 1989. Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam. Edisi Ke 6. Jakarta: Bulan Bintang Lewisohn, Leonard. 1999. WARISAN SUFI Warisan Sufi Persia Abad Pertengahan. Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh: Alimah, Ade dan Robani, Shobir. 2003. Jogjakarta: Ustaka Sufi Jilani, Abd Al-Qadir. 2006. Menyikap Tabir Rahasia Ilahi. Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh: Abdullah Mudhofir. Yogyakarta: Suluh Press Al-Ghazali. 2006. Menyikap Hati Menghampiri Ilahi. Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh: Kurniawan, Irwan. Bandung: Pustaka Hidayah Solihin, dan Anwar. 2005. AKHLAK TASAWUF Manusia, etika, dan makna hidup. Edisi ke 1. Bandung: Penerbit Nuansa Syukur Amin. 2004. Tasawuf Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 Raden (Refleksi Anak Muda Pesantren). 2011. Jejak Sufi Membangun Moral Berbasis Spiritual. Kediri: Lirboyo Press Kediri Soejono dan Abdurrahman. 2005. METODE PENELITIAN Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: PT. Bina Adiakasara 55
Maslikhah dan Peni Susanti. 2009. Modul Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Mitra Cendekia Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: PT Imperial Bhakti Utama. Lutfia Zeni dan Mujahidin Farhan. 2011. Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Yuma pustaka Bagir Haidar. 2016. Belajar Hidup Dari Rumi. Jakarta: Mizan Publika Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Bantet: Kalim, 2011
56
57
58
59
60
61
62
63
64