NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM PROSES PENETAPAN HUKUM RIBA DI DALAM AL-QUR’AN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun oleh: Syifa Alawiyah 1112011000015
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
ABSTRAK Syifa Alawiyah (1112011000015), “Nilai-nilai Pendidikan dalam Proses Penetapan Hukum Riba di dalam al-Qur’an” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penetapan hukum riba dalam al-Qur’an serta menguraikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam proses penetapan hukum riba. Berdasarkan pendekatannya, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Sedangkan berdasarkan tempatnya, jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sumber primer yang digunakan adalah kitab-kitab tafsir mu’tabar seperti al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân oleh Abu ‘Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurţubi, Tafsîr Ibnu Kaśîr oleh Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl Ibnu Kaśîr al-Qurâsyi, Tafsîr al-Marâġi oleh Aẖmad Musţafa al-Marâġi, dan Tafsir al-Mishbah oleh M. Quraish Shihab, serta didukung oleh buku-buku terkait uşûl al-fiqh, ‘ulûm al-qur’ân, fiqh mu’âmalah dan pendidikan. Adapun metode tafsir yang digunakan adalah metode tafsir mauđû’i, karena penulis perlu menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan proses pengharaman riba. Sedangkan dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yakni dengan cara mengumpulkan datadata yang diperlukan dan sesuai dengan masalah penelitian, kemudian mengkaji dan menganalisis, lalu menarik sebuah kesimpulan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa dalam menetapkan hukum riba, Allah swt. menggunakan metode tadarruj fî at-tasyrî’ (proses bertahap dalam menetapkan hukum). Dimulai dari tahap pertama, Allah swt. menyatakan bahwa pengembangan ekonomi dengan cara riba tidak akan menghasilkan apa-apa, akan tetapi dengan berbuat zakat dapat membuat harta menjadi berlipat ganda. Kemudian tahap kedua, Allah swt. memberi tahu bahwa praktik riba dapat berdampak kepada dijatuhkannya suatu hukuman kepada pelakunya seperti yang terjadi pada orang-orang Yahudi. Tahap ketiga, Allah swt. mulai mengharamkan secara mutlak praktik riba yang berlipat ganda sebagaimana yang dipraktikkan oleh orang-orang jahiliah. Tahap terakhir, Allah swt. mengharamkan riba secara total dan memerintahkan manusia untuk meninggalkan segala bentuk riba. Adapun nilai-nilai pendidikan yang dapat diidentifikasi dari proses penetapan hukum riba adalah bahwa pendidikan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Dimulai dari tahap bimbingan dengan memberikan pemahaman antara perbuatan yang baik dan yang buruk kepada peserta didik, kemudian memberi pemahaman dengan penyampaian cerita atau kisah agar bisa diresapi dan diambil hikmahnya oleh peserta didik, setelah itu pendidik memberikan ketegasan dengan memberikan perintah atau larangan, kemudian ditindaklanjuti dengan pendisiplinan. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan, Nilai-nilai Pendidikan, Hukum, Riba. i
ABSTRACT Syifa Alawiyah (1112011000015), “The Value of Education in the Process of Determining the Usury Laws in the Qur’an” This study aims to find out the process of determining the usury laws in the Qur'an as well as outlining the educational values embodied in the process of establishing usury laws. Based approach, this study used qualitative research methods. While based on the place, this kind of research is the Library Research, that a series of activities related to data collection methods literature, reading and recording and processing of materials research. The primary sources used in the books of tafsir mu’tabar such as al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân by Abu ‘Abdillâh Muẖammad ibn Aẖmad al-Anşâri al-Qurţubi, Tafsîr Ibnu Kaśîr by Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl Ibn Kaśîr al-Qurâsyi, Tafsîr al-Marâġi by Aẖmad Musţafa al-Marâġi, and Tafsir al-Mishbah by M. Quraish Shihab, and supported by related books uşûl alfiqh, ‘ulûm al-qur’ân, fiqh mu’âmalah and education book. The method of interpretation is the method of interpretation mauđû'i, because writers need to collect the verses of the Qur’an that show the prohibition of riba. While in the discussion the author uses descriptive analysis method, which is a way to collect the data required and accor ding to research problem, then examine and analyze, and draw a conclusion. The results obtained from this study is that in setting usury laws, Allah uses methods tadarruj fî at-tasyrî’ (a gradual process in determining the law). Starting from the first stage, Allah states that the development of the economy by usury will not produce anything, but in doing charity can make a property more than doubled. Then the second stage, God tells us that the practice of usury can impact the imposition of a punishment to the perpetrators as happened to the Jews. The third stage, God began to forbid absolutely the practice of usury that doubled as practiced by the people of ignorance. The last stage, Allah forbids usury in total and ordered the man to abandon all forms of usury. As for the educational values that can be identified from usury laws setting process is that education be gradual and sustained. Starting from the stage of the guidance by providing an understanding between good deeds and bad to the students, then gave insight by telling the story or tale to be impregnated and be learned by the learners, after that educators give firmness to give commands or prohibitions, then followed up with discipline. Keyword: Values, Education, Values Education, Law, Riba
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah swt., yang telah memberikan nikmat sehat, iman dan islam dan memberi kemudahan serta kemampuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Şalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit menghadapi rintangan dan hambatan. Maka adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
5.
Tanenji, M.A, Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama studi.
6.
Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam dan seluruh staff Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menempuh studi.
iii
7.
Sabngati Istinganah, staff administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8.
Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi Qur’an, Perpustakaan Iman Jama’ Lebak Bulus, yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang dibutuhkan.
9.
Aby H.M. Aliyullah, S.Ag. S.Pd.I dan Ummy Ummu Humairoh yang telah menjadi moodbooster bagi penulis dan senantiasa mendoakan yang terbaik untuk putrinya.
10. Adinda Hikmah Fauziyah, Niswah Nabilah, dan Hanny Agustia Ramadhani yang senantiasa memberi doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. 11. Bahiyatul Musfaidah, Arruum Arinda, Nuriah Miftahul Jannah, Hanny Puspitasari, Siti Husniyati, yang telah berbagi semangat, ilmu, dukungan, yang tak henti-hentinya kepada penulis. 12. Teman-teman seperjuangan PAI angkatan 2012, khususnya PAI A yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama, saling membantu dan memotivasi dalam proses belajar di kampus UIN Jakarta. 13. Keluarga ANDALAS (Angkatan 2012 Sabilussalam) yang sudah memberikan banyak pelajaran dan motivasi kepada penulis. 14. Teman-teman Darut Tafsir Alumni 2012 yang tetap menjaga silaturahmi serta berbagi ilmu dan motivasi. Penulis hanya bisa membalas dengan do’a semoga Allah swt. memberikan pahala atas kebaikan dan amal saleh mereka semua. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Jakarta, 23 Januari 2017
Syifa Alawiyah iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ v PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN .............................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9 C. Fokus Penelitian ........................................................................................ 9 D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9 E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9 F. Manfaat Penelitian .................................................................................... 10 BAB II KAJIAN TEORETIK A. Acuan Teori 1. Nilai-nilai Pendidikan ......................................................................... 11 2. Riba ..................................................................................................... 17 a. Pengertian Riba ............................................................................ 17 b. Macam-macam Riba .................................................................... 18 c. Larangan dan Sanksi Riba ............................................................ 26 d. Proses Penetapan Hukum Riba dalam al-Qur’an ......................... 28 e. Hikmah Diharamkannya Riba ...................................................... 30 B. Hasil Penelitian Relevan ......................................................................... 33
v
BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Objek dan Waktu Penelitian...................................................................... 35 B. Metode Penelitian...................................................................................... 35 C. Fokus Penelitian ....................................................................................... 36 D. Prosedur Penelitian.................................................................................... 36 BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tafsir Ayat Berkaitan dengan Proses Penetapan Hukum Riba ................. 39 B. Nilai-nilai Pendidikan dalam Proses Penetapan Hukum Riba .................. 51 1. Membimbing dengan Memberikan Pemahaman ................................ 52 2. Menyampaikan dengan Cerita atau Kisah........................................... 54 3. Ketegasan ............................................................................................ 55 4. Pendisiplinan ....................................................................................... 58 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 63 B. Saran ......................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66 LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
A. Konsonan
ا
Tidak dilambangkan
د
d
ض
đ
ك
k
ب
B
ذ
ż
ط
ţ
ل
l
ت
T
ر
r
ظ
ť
م
m
ث
Ś
ز
z
ع
ʻ
ن
n
ج
J
س
s
غ
ġ
و
w
ح
ẖ
ش
sy
ف
f
ه
h
خ
Kh
ص
ş
ق
q
ي
y
B. Vokal Vokal Tunggal
Vokal Rangkap
Tanda
Huruf Latin
Tanda dan Huruf
Huruf Latin
ﹷ
a
ْﹷي
ai
ﹻ
i
ْﹷو
au
ﹹ
u
C. Mâdd (Panjang) Harakat dan Huruf
ﹷا
Huruf dan Tanda â
ْﹻي
î
ْﹹو
û
D. Tâ’ Marbuţah 1. Tâ’ Marbuţah hidup transliterasinya adalah /t/. 2. Tâ’ Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/.
vii
E. Syaddah (tasydîd) Syaddah atau tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). Contoh:
ْ‘ = َعلَّ َمallama
ْ = يُ َكِّرُرyukarriru
ْ = ُكِّرَمkurrima
ْ = ال َمدal-maddu
F. Kata Sandang 1. Kata sandang diikuti oleh huruf Saymsiyah ditransliterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung. Contoh:
َّ = aş- Şalâtu ُالص ََلْة 2. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh:
ْ = ال َفر ُقal-Farqu G. Penulisan Hamzah 1. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif. Contoh:
ْ ِ = أُوûtiya َت
ْت ُ = أَ َكلakaltu
2. Bila di tengan dan di akhir, ditransliterasikan dengan apostrof. Contoh:
ْ = تَأ ُكلُو َنta’kulûna
ْ = َشيئsyai’un
H. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya. Contoh:
ْال ُقرآ ُن
= al-Qur’ânu
ال َمسعُوِدى
= al-Mas’ûdî
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang tidak dapat hidup sendirian dan tidak mungkin hidup hanya untuk dirinya sendiri. Ia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Dengan begitu, manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya dalam kehidupan. Oleh karena inilah manusia disebut oleh Aristoteles sebagai makhluk sosial.1 Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia saling memerlukan satu sama lain. Kerja sama antar sesama manusia merupakan tuntutan sosial yang diharuskan oleh peradaban manusia. Untuk mengatur peradaban tersebut, perlu satu konsep hukum yang dapat mengarahkan jalan hidup mereka sehingga terwujud keamanan dan terhindar dari konflik kepentingan dan keinginan baik sesama individu maupun negara atau bangsa.2 Dalam agama Islam terdapat satu konsep hukum yang berasal dari segala aturan Allah swt. yang berkaitan dengan amalan manusia dan harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Aturan itu disebut sebagai syariat Menurut asySyâţibî, Allah swt. menetapkan syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-hambanya baik di dunia maupun di akhirat.3 Kemaslahatan ini berkaitan dengan terpeliharanya tujuan-tujuan bagi makhluknya. Tujuan-tujuan ini tidak terlepas dari tiga bagian, yaitu: đarûriyyât, ẖâjiyyât, dan taẖsîniyyât. Đarûriyyât merupakan hal yang harus ada dalam mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia. Jika tidak ada, maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan seimbang, menjadi hancur,
1
Tatang Syaripudin, Landasan Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), cet. II, h. 22. 2 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟: Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 12-13. 3 Abu Isẖâq asy-Syâţibi, al-Muwâfaqaât fî Uşûli asy-Syarî‟ah, jilid II, (Beirut: Dâr alMa‟rifah), h. 6.
1
2
kacau, dan hampa. Di akhirat kelak akan hilang keselamatan dan kenikmatan, serta mendapatkan kerugian yang nyata.4 Đarûriyyât ini terdiri dari pemeliharaan agama (ẖifť ad-dîn), pemeliharaan jiwa (ẖifť an-nafs), pemeliharaan akal (ẖifť al-„aql), pemeliharaan keturunan (ẖifť an-nasl), dan pemeliharaan harta (ẖifť al-mâl).5 Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Salah satu kerja sama antara manusia dengan manusia lainnya yaitu kegiatan perekonomian. Dengan kegiatan ini, mereka dapat memperoleh rezeki yang dapat melangsungkan kehidupannya. Kegiatan ini pun tidak terlepas dari perhatian Islam, karena Islam ingin mewujudkan kemaslahatan terkait pemeliharaan harta (ẖifť al-mâl). Jika pemeliharaan harta sudah terjamin, maka aspek-aspek pemeliharaan lain pun akan terwujud. Misalnya, ketika hendak mendirikan shalat (ẖifť ad-dîn), salah satu syarat sahnya adalah menutup aurat. Untuk menutup aurat, manusia perlu pakaian, dan pakaian tersebut memerlukan harta untuk mendapatkannya. Atau ketika ingin membangun suatu keluarga (ẖifť an-nasl), manusia perlu bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Atau ketika seseorang ingin memenuhi hak pada akalnya (ẖifť al-„aql), maka ia menempuh suatu pendidikan dan itu memerlukan biaya. Jadi, satu sama lain di antara unsur đarûriyyât yang disampaikan oleh asy-Syâţibî ini saling berkesinambungan, sehingga pemeliharaan harta ini tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, bersumber pada al-Qur‟an dan as-Sunnah, Islam mengajarkan manusia cara mengelola harta, mendorong pemeluknya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalam segala bentuknya seperti pertanian, penggembalaan, berburu, industri, perdagangan, dan bekerja dalam berbagai bidang keahlian.6 Tentunya, kegiatan tersebut harus dilakukan dengan cara yang benar, bukan
4
Ibid., h. 8. Ibid., h. 10. 6 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj. dari Daur alQiyâm wa al-Akhlâq fi al-Iqtişâdi al-Islâmi oleh Didin Hafidhuddin, Setiawan Budiutomo, dan Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 151. 5
3
dengan cara yang mengandung unsur maysîr (judi), aniaya, ġarar (tipuan), riba (tambahan), iẖtikâr (penimbunan/monopoli), dan batil. Di antara unsur-unsur yang dilarang tersebut terdapat suatu praktik yang masih dilakukan oleh manusia hingga saat ini, meskipun sudah diharamkan secara tegas di dalam al-Qur‟an pada surat al-Baqarah ayat 278, yaitu praktik riba. Riba merupakan tambahan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor disebabkan oleh penangguhan waktu atau oleh berbedanya jenis barang.7 Praktik tersebut disukai karena dapat memenuhi naluri manusia yang memiliki ambisi untuk menumpuk harta yang berlimpah tanpa harus bekerja keras. Praktik ini akan mencegah manusia untuk merasakan susah dan lelahnya bekerja dan berniaga. Selain itu, akan terjadi terputusnya kemanfaatan sesama manusia yang seharusnya bisa saling tolong menolong ketika salah satunya sedang mengalami kesulitan dalam hal ekonomi. Seperti yang sudah banyak terjadi, ketika bank sebagai lembaga keuangan berperan sebagai pemberi pinjaman kepada pihak lain dengan meminta bunga. Aktivitas bank yang demikian ini dinamakan kredit bank. Jenis-jenis kredit bank ini bermacam-macam, di antaranya yaitu kredit bank biasa. Model kredit bank ini adalah calon peminjam menghadap pihak bank dan menyatakan maksudnya untuk mengajukan pinjaman uang yang akan dikembalikannya di masa mendatang dengan sejumlah bunga. Nilai bunga tersebut beraneka ragam rating-nya, tergantung pada jangka waktu pelunasan pembayaran dan besarnya jumlah uang yang dipinjam.8 Dari aktivitas ini, dapat dilihat bahwa transaksi tersebut mengandung unsur paksaan karena biasanya masyarakat meminjam uang ke bank karena kebutuhan mendesak dan mereka harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank. Dalam aktivitas itu juga, terdapat iming-iming bunga kecil, padahal di dalam bunga itu terdapat unsur ġarar (tipuan) sehingga masyarakat masih awam
7
Departemen Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir al-Qur‟an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2009), h. 113. 8 Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqih Riba: Studi Komprehensif Tentang Riba Sejak Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, terj. dari Fiqh ar-Ribâ: Dirâsât Muqâranah wa Syâmilah li atTaţbîqât al-Mu‟âşirah oleh Abdullah, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011), h. 374.
4
bahwa perbuatan itu jika dikalkulasikan justru menimbulkan hutang yang berkepanjangan sehingga yang seharusnya terbantu dengan pinjaman tersebut malah menjadi merugi. Dampak yang dirasakan dari praktik riba juga terjadi pada sektor pertanian. Sektor yang dianggap paling penting sampai saat ini, mengalami kegagalan pembangunan. Terbatasnya fasilitas kredit untuk pembiayaan usaha tani, para petani tidak memiliki agunan untuk mengambil kredit di lembaga keuangan formal atau bank. Sehingga mereka harus mengambil kredit di pelepas uang atau lintah darat dengan bunga yang sangat tinggi sehingga justru membebani si petani sendiri. Kalaupun ada cara yang harus ditempuh, mereka harus mengijonkan9 hasil panen kepada tengkulak10 dengan harga yang sangat murah.11 Contoh lainnya, dalam masa kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami masa-masa yang menurut masyarakat secara umum merupakan masa pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi ini dirasakan sangat signifikan oleh masyarakat karena sebelumnya pada tahun 1966 Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang luar biasa dimana inflasi mencapai 650%. Beberapa hal positif yang didapatkan dari pembangunan ekonomi secara umum pada masa Orde Baru ini antara lain pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sektor pertanian. Prestasi luar biasa yang diperoleh dari perkembangan sektor pertanian ini berupa kemampuan Indonesia yang dapat mengubah status dirinya dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an. Presiden Soeharto menyiapkannya secara detail dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), membentuk Departemen Pertanian, mendirikan lembaga-lembaga baik untuk penelitian, penyuluhan dan pengawasan. 9
Kredit yang diberikan kepada petani, nelayan, atau pengusaha kecil, yang pembayarannya dilakukan dengan hasil panen atau produksi berdasarkan harga jual yang rendah. 10 Pedagang perantara (yang membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama). 11 Nugroho SBM, Masalah dan Kebijakan Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Kelembagaan di Indonesia, Jurnal Bisnis Strategi, 2008, vol. 17, h. 125.
5
Hasilnya, Indonesia mencapai kemandirian pangan dan peningkatan dalam menyejahteraan petani. Namun hal ini tidak berlanjut sampai sekarang. Bahkan yang terjadi saat ini adalah Indonesia mengalami ketergantungan terhadap modal asing, terjebak dalam sistem kapitalisme global, serta dampak liberalisasi pertanian yang sekarang justru membuat petani kita semakin terpuruk dan tidak punya daya.12 Aspek permodalan menjadi salah satu masalah yang krusial. Meningkatnya biaya input produksi membuat petani mengalami kerugian dalam usaha taninya, karena besaran biaya produksi jauh lebih besar dibandingkan harga yang terima (pendapatan). Hal ini diperparah oleh sulitnya petani dalam mengakses permodalan. Masalah permodalan menjadi kendala utama petani sejak awal, sehingga pemerintah perlu melakukan terobosan strategis. Tunggakan kredit usaha tani yang belum terselesaikan terutama dengan pihak perbankan berdampak pada kepastian usaha tani. Selain dihadapkan pada sulitnya akses permodalan dan tunggakan kredit, petani mengalami kendala persyaratan agunan kredit KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) berupa sertifikat yang menghambat proses penyaluran dana.13 Islam mengikutsertakan negara agar bertanggung jawab dalam hal perekonomian. Negara sebagai pihak yang memiliki peran besar terhadap rakyat dalam mendidik perekonomian, bertanggung jawab dalam pengelolaan harta agar berjalan stabil. Pengelolaan tersebut telah diajarkan oleh Islam dengan zakat dan memberantas riba. Negara bertanggung jawab mendapatkan zakat dan mendistribusikannya. Hal ini sangat jelas dan gamblang ditegaskan dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah. Zakat adalah suatu kewajiban finansial yang diambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang fakir. Yang mengambilnya adalah penguasa atau pemerintah yang sah menurut syara‟ melalui orang yang disebut dalam al-Qur‟an sebagai “al-„âmilîna „alaihâ” (amil zakat), yaitu mereka yang mengurusi zakat mulai dari
12
Khairunnisa Rangkuti, Swasembada Beras pada Masa Orde Baru: Sebuah Perspektif dari Sisi Enforcement Negara, 2016, (www.kompasiana.com). 13 Mr Sae, Swasembada Pangan dihadang Permasalahan, 2016, (www.kompasiana.com).
6
memungut, menjaga, menyalurkan, sampai menghitungnya.14 Sebagaimana negara Islam bertanggung jawab terhadap penerapan zakat, ia juga harus bertanggung jawab terhadap penerapan pengharaman riba. Di dalam alQur‟an Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah swt. dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. al-Baqarah [2]: 278-279) Peperangan yang diumumkan terhadap para pelaku riba di sini bukan saja dari Allah swt., tetapi dari Rasul-Nya. Rasulullah saw. merupakan sosok imam umat Islam dan kepala negara. Bahkan beliau berkhutbah pada haji wadâ‟,
ِ ِ ِ ِّاس ب ِن عب ِد الْمطَل ِ ِ َ َض ْوعٌ واََّو ُل ِربًا ا ِ ُ ب فَانَّهُ َم ْو ُض ْوعٌ ُكلُه ُ َْ ْ ِ َّض ُع ربَانَا ربَا َعب َ ُ اَََل ا َّن ُك َّل ربًا َم ْو “Ketahuilah, sesungguhnya semua riba telah dibatalkan dan riba pertama yang aku batalkan adalah riba „Abbâs bin „Abdul Muţallib, karena semua riba itu telah dibatalkan.”15 Peperangan yang dinyatakan oleh Allah swt. dalam surat al-Baqarah tersebut, merupakan ancaman kemurkaan dari-Nya bagi orang-orang yang tetap terlibat dalam praktik riba. Hal ini telah dibuktikan dalam sejarah dan menjadi pelajaran bahwa riba dapat meruntuhkan suatu khilâfah Islam, yang terjadi pada Daulah Utsmani tahun 1924. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir as-Sufi dalam The Return of the Khalifate, seperti yang dikutip oleh Zaim Saidi, bahwa runtuhnya daulah Utsmani bukan karena 14 15
Qardhawi, op.cit., h. 457. Ibid., h. 458.
7
kekalahan militer, melainkan karena muslihat kapitalisme. Daulah Uśmani dihancurkan melalui jerat utang tak tertanggungkan. Ia dipaksa melakukan reformasi total setelah sekitar 50 tahun 'digarap' dan berakhir dengan tunduk sepenuhnya pada sistem "negara fiskal" (integrasi demokrasi-kapitalisme). Bahkan kekuatan kapitalisme yang hari ini juga melumpuhkan seluruh umat Islam di dunia. Simbol dan kekuatan utama kapitalisme adalah alat pembayaran uang kertas dengan mesin perbankannya. Dengan keduanya kredit dapat diciptakan secara tak terbatas dari kehampaan, dan secara ampuh menjadi alat penindasan.16 Demikian besar dampak yang disebabkan oleh riba. Tidak hanya menghancurkan perorangan tetapi menghancurkan suatu negara. Padahal alQur‟an telah menceritakan bagaimana jatuhnya kaum Yahudi yang diberi hukuman oleh Allah swt., disebabkan mereka mempraktikkan riba yang merupakan bagian dari kezaliman. Hal ini terdapat dalam surat an-Nisâ‟ ayat 160-161. “Kami haramkan bagi orang-orang Yahudi hal-hal yang baik yang semula Kami halalkan bagi mereka, karena mereka berlaku zalim dan banyak menyimpang dari ajaran nabinya. Kaum Yahudi juga memungut riba, padahal mereka telah dilarang untuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Kami siapkan azab yang sangat pedih bagi orang-orang kafir itu.” Mereka dijatuhkan hukuman di dunia oleh Allah swt. berupa pengharaman makanan-makanan yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Sedangkan di akhirat, Allah swt. telah menyiapkan azab yang pedih. Hukuman ini diharapkan agar mereka mau menghentikan kezalimannya. Menurut Quraish Shihab, dalam praktik riba yang dilakukan oleh kaum Yahudi terdapat gabungan dua keburukan sekaligus yaitu melakukan sesuatu yang sangat 16
Zaim Saidi, Jerat Utang Runtuhkan Khilafah, 2016, (www.wakalanusantara.com).
8
tidak manusiawi dan melanggar perintah Allah swt. yang telah melarang mereka untuk mempraktikkan riba.17 Bahkan selain riba, mereka juga memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, seperti melalui penipuan, sogok menyogok, dan lain-lain.18 Dari surat an-Nisâ‟ ini, al-Qur‟an menginformasikan bahwa riba yang sudah dilakukan oleh kaum Yahudi merupakan perbuatan keji, mengandung kezaliman, dan menjadi penyebab dijatuhkannya hukuman. Demikian, terdapat banyak kemudaratan yang terkandung dalam praktik riba sehingga Allah swt. mengharamkannya bahkan secara bertahap demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Ini merupakan cara yang bijaksana dan menjadi syifâ‟ (obat penawar) yang dapat menyembuhkan manusia dari kerusakan,19 yakni kerusakan dalam pengelolaan harta. Adapun proses pengharamannya, pertama-tama Allah swt. menginformasikan bahwa cara untuk mengembangkan usaha perekonomian bukan dengan riba, tetapi dengan zakat, seperti yang disebutkan dalam surat ar-Rûm ayat 39. Kemudian dalam surat an-Nisâ‟ ayat 160-161, Allah swt. telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi. Lalu dalam surat Âli „Imrân ayat 130, al-Qur‟an memberikan gambaran bentuk riba pada masa jahiliah yaitu berlipat ganda dan Allah swt. sudah mulai mengharamkannya secara tegas. Hingga tahap terakhir, Allah swt. kembali menegaskan pengharaman segala bentuk riba secara total tanpa tersisa satu pun. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 278-279. Pada dasarnya diharamkannya riba secara bertahap di dalam al-Qur‟an melalui kemukjizatan tasyrî‟-nya sudah terdapat nilai-nilai pendidikan yang hendak diajarkan. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan mengangkat judul skripsi mengenai “Nilai-nilai Pendidikan dalam Proses Penetapan Hukum Riba di dalam al-Qur‟an” 17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 807. Ibid. 19 Mannâ‟ Khalîl al-Qaţţan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. dari Mabâhiś fî „Ulûmil Qur‟ân oleh Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), cet. XVI, h. 165. 18
9
B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah tersebut penulis mengidentifikasi bahwa masih ada sebagian masyarakat yang belum mengenal dan memahami praktik riba sehingga terjebak di dalam kemudaratannya. Sebagian lainnya sudah memahami praktik dan keharaman riba tetapi tidak mengindahkan hukum Allah swt. sehingga mereka masih senang mempraktikkan riba.
C. Fokus Penelitian Pada penelitian ini, penulis memfokuskan beberapa hal: 1. Kata „ribâ‟ terdapat di beberapa ayat di dalam al-Qur‟an. Namun, pada penelitian ini penulis memfokuskan pada ayat-ayat yang menerangkan proses penetapan hukum riba, yaitu surat ar-Rûm: 39, an-Nisâ‟: 160-161, Âli „Imrân: 130, dan al-Baqarah: 278-279. 2. Nilai-nilai pendidikan pada penelitian ini difokuskan pada pendidikan dalam menerapkan aturan baik berupa perintah maupun larangan.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis merumuskan permasalahan yaitu: 1. Bagaimana proses penetapan hukum riba dalam al-Qur‟an? 2. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam proses penetapan hukum riba?
E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui proses penetapan hukum riba dalam al-Qur‟an. 2. Menguraikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam proses penetapan hukum riba.
10
F. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah keilmuan Islam dan pendidikan. 2. Praktis a. Penelitian ini menjadi salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam rangka penyelesaian studi di jenjang Strata Satu (S1). b. Dapat menambah pemahaman dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca. c. Dapat memberi manfaat sehingga bisa diperuntukkan sebagai bahan studi bagi peneliti yang membahas masalah yang sama. d. Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga pendidikan dalam menetapkan suatu aturan.
BAB II KAJIAN TEORETIK
A. Acuan Teori 1. Nilai-nilai Pendidikan Sebelum
membahas
tentang
nilai-nilai
pendidikan,
penulis
mengemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan nilai dan pendidikan. Nilai adalah harga, potensi, kadar, mutu, sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan.1 Nilai dalam bahasa Latin berasal dari kata “valѐrȇ” yaitu berguna, mampu, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.2 Bagi Rokeach sebagaimana dikutip oleh Harun Rasyid dan Mansur, nilai diartikan sebagai suatu keyakinan yang dalam tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap jelek. 3 Sutarjo Adisusilo mengutip pendapat Steeman yang mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang memberi makna pada hidup, memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika.4 Masih dikutip oleh Sutarjo, Linda dan Richard Eyre mengatakan,
1
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (tt.p.: Gitamedia Press, t.t.), h. 553. Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 56. 3 Harun Rasyid dan Mansur, Penilaian Hasil Belajar, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), h. 17. 4 Sutarjo, loc.cit. 2
11
12
“Yang dimaksud dengan nilai adalah standar-standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Tentu saja, nilai-nilai yang baik yang bisa menjadikan orang lebih baik, hidup lebih baik, dan memperlakukan orang lain secara lebih baik.”5 Kemudian, arti dari pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan perilaku dalam usaha mendewasakan manusia baik perorangan maupun kelompok melalui upaya pengajaran dan pelatihan.6 Untuk memahami pendidikan digunakan istilah “paedagogie” yang secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti pergaulan dengan anak. Kata “paid” bermakna “anak” dan “ogogos” berarti membina atau membimbing. Apa yang dipraktikkan dalam pendidikan selama ini adalah konsep pedagogi, yang secara harfiah adalah seni mengajar atau seni mendidik anak-anak.7 Istilah pendidikan dalam konteks Islam mengacu kepada istilah tarbiyah dan ta‟lîm. Kata tarbiyah di dalam kamus Mu‟jam al-Luġah al-„Arabiyyah al-Mu‟âşirah
diartikan
sebagai
education
(pendidikan),
upbringing
(asuhan), teaching (mengajar), instruction (pengajaran/perintah), pedagogy (ilmu mendidik), dan breeding (pemeliharaan).8 Menurut Abuddin Nata, Tarbiyah berasal dari kata rabba–yarubbu, yang berarti memperbaikinya dengan kasih sehingga menjadi baik setahap demi setahap. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. yaitu:9 “Tundukkanlah dirimu kepada ibu bapakmu dengan sikap rendah hati lantaran kasih sayang, dan berdoalah: “Wahai Tuhanku, kasih sayangilah ibu bapakku sebagaimana mereka telah memeliharaku dengan kasih sayang sewaktu aku masih kecil” (QS. al-Isrâ‟ [17]: 24) 5
Ibid., h. 57. Tim Prima, op. cit., h. 226. 7 M. Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), cet. IV, h. 7-8. 8 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Spoken Languages Services, 1976), cet. III, h. 324. Lihat juga Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 19. 9 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 17-19. 6
13
Istilah pendidikan dalam konteks Islam lainnya yaitu “ta‟lîm”. Secara etimologi ta‟lîm berasal dari bahasa Arab dalam bentuk maşdar pada kata „allama–yu‟allimu–ta‟lîman. Dalam kamus Mu‟jam al-Luġah al-„Arabiyyah al-Mu‟âşirah, kata ta‟lîm diartikan sebagai information (keterangan), advice (nasihat), instruction (pengajaran/perintah), direction (arah), teaching (mengajar), training (melatih), schooling (pendidikan yang diterima di sekolah), education (pendidikan), apprenticeship (pelatihan).10 Istilah ta‟lîm telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Tatang Syaripudin mengutip pendapat Rasyid Ridha yang mengartikan ta‟lîm sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur‟an, yaitu: “Kami telah mengutus Muhammad saw. ke tengah-tengah kalian sebagai seorang rasul yang berasal dari bangsa kalian sendiri. Ia membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, membersihkan diri kalian dari syirik, mengajarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah kepada kalian. Ia juga mengajarkan kepada kalian kisah umat-umat terdahulu, yang tidak kalian ketahui sebelumnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 151) Sehubungan dengan ayat tersebut, masih dikutip oleh Tatang, Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa Islam memandang proses ta‟lîm lebih universal daripada tarbiyah. Sebab, ketika mengajarkan tilawah al-Qur‟an kepada kaum muslimin, Rasulullah saw. tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca saja, melainkan “membaca dengan perenungan” yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari membaca semacam ini, Rasulullah saw. membawa mereka kepada tazkiyah (pensucian) yakni pensucian diri manusia dari segala kotoran, dan menjadikan diri itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-ẖikmah serta mempelajari 10
Hans, op.cit., h. 636.
14
segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Selain itu, istilah ta‟lîm tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid semata. Bahkan pemusatan kepada pengetahuan teoritis, mengaji ulang secara lisan dan menyuruh orang lain untuk melaksanakannya, menandakan kekurangan penguasaan ilmu yang bersangkutan. Ta‟lîm justru meliputi berbagai ilmu pengetahuan (teoritis maupun praktis), berbagai keterampilan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, serta pedoman perilaku yang baik.11 Secara terminologi, pengertian pendidikan mengalami perkembangan meskipun secara esensial tidak jauh berbeda. Dilihat dari segi sudut pandang, pendidikan dalam arti luas berarti “hidup”. Artinya, pendidikan adalah segala pengalaman (belajar) di berbagai perkembangan individu. Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan dalam praktiknya identik dengan penyekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal di bawah kondisikondisi yang terkontrol.12 Dijelaskan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”13 Dikutip oleh Hasbullah, John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.14 Kemudian Sukardjo dan Ukim Komarudin mengambil pendapat Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
11
Tatang Syaripudin, Landasan Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), cet. II, h. 45-46. 12 Ibid., h. 35-36. 13 Presiden Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 2. 14 Hasbullah, Dasar-dasar Imu Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 2.
15
anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.15 Menurut hemat penulis, nilai-nilai pendidikan dapat diartikan sebagai ide atau konsep yang menghasilkan suatu patokan normatif yang bermanfaat bagi manusia sebagai penentu dan acuan dalam rangka mendidik agar menjadi manusia yang baik setahap demi setahap. Mendidik yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah ketika seorang pendidik hendak membimbing peserta didiknya dalam mematuhi suatu aturan baik berupa perintah maupun larangan. Nilai-nilai ini dapat berperan sebagai panduan umum untuk membimbing tingkah laku dalam rangka mencapai tujuan hidup seseorang. Hal ini berdasarkan pendapat Raths, Harmin, dan Simon seperti yang dikutip oleh Sutarjo Adisusilo.16 Sutarjo juga mengutip pendapat Kalven yang menulis: “Values play a key role in guiding action, resolving conflicts, giving direction and conherence to life. Values are motivators, not only in daily action, but over the long haul .... Values are important as guides in a bewildering world, but even if we lived in more stable and that tranquil moment of history, values would still have prime importance because of their profound relation both to vitality and to the processes of human maturing.” Dalam pandangan Kalven, nilai mempunyai peranan begitu penting di dalam hidup manusia. Sebab, nilai sebagai pegangan hidup menjadi pedoman penyelesaian konflik, memotivasi dan mengarahkan hidup manusia. Nilai bila ditanggapi positif akan membantu manusia hidup lebih baik. Sedangkan bila dorongan itu tidak ditanggapi positif, maka orang akan merasa kurang bernilai dan bahkan kurang bahagia sebagai manusia.17 Nilai-nilai pendidikan ini tentunya tidak terlepas dari tujuan pendidikan. Dalam buku Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya, Sukardjo dan Ukim Komarudin mengutip pendapat Plato yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan 15
sesungguhnya
M. Sukardjo, op. cit., h. 10. Sutarjo, op.cit., h. 59. 17 Ibid. 16
adalah
penyadaran
terhadap
apa
yang
16
diketahuinya (self knowing), kemudian pengetahuan tersebut harus direalisasikan sendiri (self realization) dan dilanjutkan dengan mengadakan penelitian serta mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya. Sukardjo dan Ukim juga mengutip pendapat ahli filsafat lain seperti Aristoteles yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah penyadaran terhadap self realization, yaitu kekuatan efektif, kekuatan untuk menghasilkan dan potensi untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan dan kemampuan berpikir rasional. Ahli lainnya yang mereka kutip seperti John Dewey yang merupakan ahli filsafat dan ahli pendidikan berkebangsaan
Amerika
Serikat
mengatakan
bahwa
pendidikan
kemasyarakatan-lah yang lebih penting dari pendidikan individual. Menurutnya, tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah dan memasyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa, tanggung jawab, keterampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.18 Kemudian, Abuddin Nata mengambil pendapat Fazlur Rahman, seorang intelek Islam terkemuka yang berasal dari Pakistan, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa, sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia dapat memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemauan dan keteraturan dunia.19 Lebih spesifik, Islam memandang bahwa manusia sebagai sosok yang dicita-citakan atau yang menjadi tujuan pendidikan itu tiada lain adalah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt., berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu 18 19
memenuhi
berbagai
M. Sukardjo, op.cit., h. 14. Abuddin, op. cit., h. 320-321.
kebutuhannya
secara
wajar,
mampu
17
mengendalikan
hawa
nafsunya;
berkepribadian,
bermasyarakat
dan
berbudaya. Inilah manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan yang ingin dicapai melalui pendidikan. Implikasinya, pendidikan harus berfungsi untuk mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi yang ada pada manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas, individualitas/personalitas, sosialitas, keberbudayaan secara menyeluruh dan terintegrasi. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia.20
2. Riba a. Pengertian Riba Secara luġawi (kosa kata), riba memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut: 1) Tambahan (ادة ِّ ), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta َ َالزي tambahan dari sesuatu yang diutangkan.21 Menurut Sayyid Sâbiq dalam kitab Fiqhu as-Sunnah,
.ت ِّ :ص ْو ُد بِِو ُىنَا ِّ الربَا ِِف اللُّغَ ِة ِّ ْ ت اَْو َكثَُر ْ َّالزيَ َادةُ َعلَى َرأْ ِس الْ َم ِال قَل ُ َوالْ َم ْق.ُالزيَ َادة
“Riba secara kosa kata ialah tambahan, maksudnya tambahan atas modal atau pokok harta, baik penambahan itu sedikit maupun banyak.22 2) Berkembang, berbunga (َّام ُ )الن, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. 3) Subur, kata-kata ini berasal dari firman Allah swt.
“Hidup lah bumi itu dan subur lah.” (QS. al-Ḫajj [22]: 5)23 Menurut syara‟, riba dipahami berdasarkan tradisi orang-orang jahiliah. Indikator makna riba yaitu “tambahan uang utang sebab ada 20
Tatang, loc. cit. Sohari Sahrani, Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h. 56. 22 Sayyid Sâbiq, Fiqhu as-Sunnah, jilid. III, (Kairo: Al-Fatẖu li al-I‟lâm al-„Arâby, t.t.), h. 123. 23 Sohari, op.cit., h. 56. 21
18
tenggang waktu”. Definisi ini disebut riba utang. Dikutip oleh Abdul Azhim Jalal, Ibnu Hisyâm dalam Autobiografi, menceritakan kisah dari salah satu orang Arab jahiliah yaitu „Aid bin Imrân, ketika ada renovasi bangunan Ka‟bah, “Wahai Quraisy, janganlah kalian memasuki bangunan ini kecuali pakaian kalian suci. Janganlah kalian memasukkan mahar tipuan. Jangan pula kalian bertransaksi jual beli dengan riba, dan jangan ada seorang pun yang menzalimi orang lain!”. Selanjutnya, riba diharamkan oleh Islam dalam al-Qur‟an dengan menggunakan kata “riba”. Tidak ada makna atau indikator lain dari kata ini selain yang telah didefinisikan oeh orang Arab di zaman jahiliah. Kemudian as-Sunnah memperluas penjabaran tentang riba. Selanjutnya, muncullah pengertian riba yang beraneka ragam yang belum pernah dikenal oleh orang Arab pada masa itu.24
b. Macam-macam Riba Mayoritas ulama membagi riba menjadi dua, riba nasî‟ah dan riba fađl. Namun, para ulama kontemporer membagi riba menjadi dua, yaitu riba jual beli dan riba utang. Riba jual beli terbagi menjadi riba nasî‟ah dan riba fađl, sedangkan riba utang terbagi lagi menjadi riba qarđ dan riba jahiliah.25 1) Riba Jual Beli a) Riba Nasî’ah Riba nasî‟ah adalah penundaan pembayaran salah satu harta yang diperjualbelikan atau ditukarkan hingga jatuh tempo.26 Riba nasî‟ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.27 Menurut mazhab Hanafi, riba nasî‟ah bisa terjadi pada pertukaran dua 24
Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqih Riba: Studi Komprehensif Tentang Riba Sejak Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, terj. dari Fiqh ar-Ribâ: Dirâsât Muqâranah wa Syâmilah li atTaţbîqât al-Mu‟âşirah oleh Abdullah, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011), h. 26-27. 25 Azharudin Lathif, Fiqih Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 89. 26 Azhim, op.cit., h. 33. 27 Azharudin , loc.cit.
19
barang yang sejenis, meskipun tidak ada tambahan. Riba ini juga bisa terjadi pada semua barang yang kadarnya tidak bisa diukur dengan alat ukur yang akurat. Sementara, menurut mazhab Maliki, riba nasî‟ah bisa terjadi pada semua jenis makanan, meskipun tidak ada kelebihan. Meskipun alasan hukum riba bagi mereka adalah jenis makanan pokok dan tahan lama. Sedangkan menurut mazhab Syafi‟i, yang termasuk jenis riba nasî‟ah adalah penundaan waktu penyerahan pada salah satu barang barter dengan jatuh tempo yang tercatat ketika akad. Namun, jika tidak tercatat ketika akad, maka disebut riba yad. Oleh karena itu, bagi mazhab Syafi‟i, riba ada tiga macam yaitu: riba fađl, riba nasî‟ah dan riba yad.28 Wahbah az-Zuẖaili memberikan definisi untuk riba yad sebagai berikut:
ِ ِ و ِربا الْي ِد وىو الْب يع مع تَأْ ِخ ِْي قَب ِ ْض ِ ْي اَْو قَ ْب ض اَ َح ِد ِِهَا ِم ْن َغ ِْْي ِذ ْك ِر اَ َج ٍل اَ ْي َ ض الْع َو ْ ْ َ َ ُ َْ َ ُ َ َ َ َ 29 ِ ِ ِض ِ ِْف ََْمل ِ ُس َكالْ ُق ْم ِح بِالشَّعِ ِْْي ِم ْن َغ ِْي تَ َقاب ِ اْلِْن .س الْ َع ْقد ْ اَ ْن يَتِ َّم بَْي ُع ُمُْتَلِ َف ِي “Riba yad adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukaran atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Yakni terjadinya jual beli atau tukar menukar dua barang yang berbeda jenis, seperti gandum dengan jagung, tanpa dilakukan penyerahan di majlis akad.”
Bagi jumhur ulama, riba yad termasuk kategori riba nasî‟ah karena terdapat penangguhan penyerahan barang. Termasuk Hanafiah, mereka menyebut riba yad dengan istilah “fađlul „ain „alâ ad-dayn” artinya kelebihan barang atas utang.30 Sementara bagi ulama mazhab Syafi‟i meskipun ada kesamaan dalam hal penangguhan tetapi antara keduanya berbeda, riba yad mengakhirkan penguasaan barang. Sedangkan riba nasî‟ah mengakhirkan hak. Di samping itu, pada riba nasî‟ah sejak terjadinya akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran
28
Azhim, op.cit., h. 34. Wahbah az-Zuẖaili, al-Fiqhu al-Islâmiy wa Adillatuhu, jilid IV, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985), h. 674. 30 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 267. 29
20
akan diakhirkan, tidak demikian dengan riba yad.31 Contoh riba yad, menjual (menukar) satu kilogram kurma yang diserahkan secara langsung pada waktu akad dengan satu kilogram kurma juga, tetapi penyerahannya tempo.32 Keharaman praktik riba nasî‟ah diterangkan dalam hadis Rasulullah saw.,
ِ ظ ُ اق بْ ُن اِ َبر ِاىْي َم َوابْ ُن اَِ ِْب ُع َمَر – َواللَّ ْف ُ َحدَّثَنَا اَبُو بَ ْك ٍر بْن اَِ ِْب َشْيبَ ِة َو َع ْمٌرو النَّاقِ ُد َوا ْس َح ِ َ َلِعم ٍرو– ق اآلخ ُرْو َن َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَ ْي نَةَ َع ْن عُبَ ْي ِد اهللِ بْ ِن َ َ َوق.َخبَ َرنَا ُ ال ا ْس َح ْ اق أ َ ال َْ ِ ِ ْ اس يَ ُق ْو ُل أ ٍ َّاَِ ِْب يَِزيْ َد اَنَّوُ ََِس َع ابْ َن َعب َّ ُس َامةُ بْ ُن َزيْ ٍد أ الربَا ِِف َ ََِّب ق ِّ اََّّنَا:ال َّ َِن الن َ ِن أ ْ َخبَ َر 33 ِ ِ .النَّسْيئَة “Telah memberitakan kepada kami Abû Bakr bin Abî Syaibah, „Amr an-Nâqid, Isẖâq bin Ibrâhîm, dan Ibnu Abî „Umar –dalam satu lafať dikatakan “‟Amr”- Isẖâq berkata telah mengabarkan kepada kami. Dan yang lain mengatakan: telah memberitakan kepada kami Sufyân bin „Uyainah dari „Ubaidillâh bin Abî Yazîd bahwa ia telah mendengar Ibnu „Abbâs berkata: telah mengabarkan kepada kami Usâmah bin Zaid bahwasanya Nabi Muhammad saw. bersabda: Riba itu hanyalah nasî‟ah”
b) Riba Fađl Riba fađl adalah penambahan atau kelebihan pada salah satu harta yang sejenis yang diperjualbelikan atau ditukarkan.34 Ini haram berdasarkan as-Sunnah dan Ijma karena merupakan sarana menuju riba nasî‟ah.35 Secara global para ulama fikih tidak bertentangan mengenai terminologi riba fađl ini. Namun, ada perbedaan sedikit bagi mazhab Hanafi, mereka mendefiniskan riba fađl sebagai berikut:
31
Azharudin, loc. cit. Wardi, op. cit., h. 269. 33 Al-Imâm al-Hâfiť Abî al-Husayn Muslim bin Ḫajjâj, Şahîh Muslim, dalam Kitab alMusâqah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 782-783. 34 Azhim, op. cit., h. 33. 35 Sabiq, op. cit., 125. 32
21
ِ ِ َّ ْي م ٍال ِِف ع ْق ِد ب ي ٍع على اْلِعيا ِر ِ (وُى َو ْ ِربَا الْ َف َ ْ َ َ َْ َ ْ َ ِ ْ بأَنَّوُ ِزيَ َادةُ َع: ض ِل الَّذ ْي ُى َو بَْي ٌع َ الش ْرع ِّي 36 ِ اْلِْن .س ْ الْ َكْي ُل َوالْ ِمْي َزا ُن) ِعْن َد ِّاِّتَ ِاد “Riba fađl merupakan riba yang berlaku dalam jual beli: maksudnya tambahan pada suatu harta benda dalam transaksi jual beli dengan ukuran syara‟ (yakni ukuran takaran dan timbangan) pada barang yang sejenis.”
Mazhab Hanafi mensyaratkan dengan menggunakan alat takar tertentu. Jika tidak menggunakan alat tersebut maka tidak termasuk riba. Oleh karena itu, mereka membolehkan menukarkan satu genggam beras dengan dua genggam beras meskipun ada kelebihan. Tentunya pendapat ini berbeda dengan definisi yang telah disebutkan sebelumnya bahwa semua tambahan pada salah satu barang yang sejenis adalah termasuk riba.37 Mengenai riba yang dipraktikkan dalam jual beli ini, Rasulullah saw. bersabda:
ِ ظ ِِلبْ ِن اَِ ِْب ُ اق بْ ُن اِبْ َر ِاىْي َم – َواللَّ ْف ُ َحدَّثَنَا اَبُو بَ ْك ِر بْ ُن اَِ ِْب َشْيبَةَ َو َع ْمٌرو النَّاقِ ُد َوا ْس َح ِ َ َ –ق.-شيبة َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن َخالِ ٍد-ال ْاآل َخَر ِان َحدَّثَنَا َوكِْي ٌع َ َ َوق.اق اَ ْخبَ َرنَا ُ ال ا ْس َح َ َْ َ ِ اْل َّذ ِاء عن اَِِب قِ ََلبةَ عن اَِِب ْاْلَ ْشع : ال َ َالص ِامت رضي اهلل عنو ق َّ ث َو َع ْن عُبَ َادةَ بْ ِن َ ْ ْ َ َ ْ ْ َ َْ ِ الذ َى َّ ِالذ َىب ب َّ : ال َر ُس ْو ُل اهللِ صلى اهلل عليو وسلم ض ِة َوالْبُ ُّر بِالْبُ ِّر َّ ضةُ بِالْ ِف َّ ب َوالْ ِف َ َق ُ ٍ ِ ٍ ِ َّ ِالشعِي ر ب ِ ِ ت َى ِذ ِه ْ ااختَ لَ َف ْ َالشع ِْْي َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َوالْم ْل ُح بِالْم ْل ِح َس َواء بِ َس َواء يَدا بِيَد فَاذ ُ ْ َّ َو 38 ٍ ِ .ف ِشْئتُ ْم اِ َذا َكا َن يَدا بيَد ُ َصن َ اف فَبِْي عُ ْوا َكْي ْ َْاِل Telah memberitakan kepada kami Abû Bakr bin Abî Syaibah, „Amr an-Nâqid, Isẖâq bin Ibrâhîm –dalam satu lafaz dikatakan Ibnu Abî Syaibah-. Isẖâq berkata telah memberitakan kepada kami. Dan dua yang lain berkata, Waki‟ telah memberitakan kepada kami- Sufyân bin Khâlid al-Hażżâ‟ telah memberitakan kepada kami dari Abî Qilâbah dari Abî al-Asy‟aś dan dari Dari „Ubâdah bin Şâmit ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jagung dengan jagung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus setimbang, serupa, dan tunai. Apabila barang yang ditukar itu
36
Zuẖaili, op.cit., h. 671. Azhim, loc. cit. 38 Imam Muslim, op.cit., h. 778. 37
22
berlainan jenis, maka lakukanlah (juallah) sesuka hatimu asal tunai.”
ِ حدَّثَنَا اَبو ب ْك ِر بن اَِِب َشيب َة حدَّثَنَا وكِيع حدَّثَنَا اِ َْس ي َحدَّثَنَا اَبُو ُّ اعْي ُل بْ ُن ُم ْسلِ ٍم الْ َعْب ِد َ َ ُ ْ َ َ َْ ْ ُ ْ َ ُ َ ٍ ِ ِ ِ ال َر ُس ْو ُل اهلل صلى اهلل عليو وسلم ْ الْ ُمتَ َوِّك ِل النَّاج ُّي َع ْن اَِ ِْب َسعْيد َ َ ق:ال َ َيٌ ق ِّ اْلُ ْد ِر ِ الذ َى َّ ِالذ َىب ب َّ الشعِ ِْْي َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َوالْ ِم ْل ُح َّ ِالشعِْي ُر ب َّ ض ِة َوالْبُ ُّر بِالْبُ ِّر َو َّ ضةُ بِالْ ِف َّ ب َوالْ ِف ُ 39 ٍ ِِ ِ ِ .ٌاستَ َز َاد فَ َق ْد أ َْرََب ْاآل ِخ ُذ َوالْ ُم ْع ِطي فِْي ِو َس َواء ْ بِالْم ْل ِح مثَْل ِبثْ ٍل يَدا بِيَد فَ َم ْن َز َاد اَ ِو Abû Bakr bin Abî Syaibah memberitakan kepada kami, Wakî‟ memberitakan kepada kami, Ismâ‟îl bin Muslim al-„Abdiy memberitakan kepada kami, Abû al-Mutawakkil an-Nâjiy memberitakan kepada kami dari Abû Sa‟îd al-Khudriy ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jagung dengan jagung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, haruslah sama berat dan tunai. Barangsiapa yang melebih-lebihkan sesungguhnya ia berbuat riba. Yang mengambil dan yang memberi sama-sama berdosa”.
Setelah memperhatikan keenam jenis benda yang disebutkan dalam hadis, kesan para ulama berbeda-beda. Golongan Hanafiyah dan Hanabilah mendapat kesan bahwa emas dan perak merupakan simbol barang tambang, dan keempat jenis lainnya merupakan simbol barang yang ditakar. Golongan Malikiyah dan Syafi‟iyah memperoleh kesan bahwa emas dan perak menjadi simbol uang, sedangkan keempat benda lainnya menjadi simbol makanan. Kemudian keenam benda ini disebut sebagai barang ribawi.40
2) Riba Utang a) Riba Qarđ Riba qarđ ini tidak termasuk dalam riba jual beli karena para ulama fikih sengaja memisahkan pembahasan riba qarđ dalam bab tersendiri secara terpisah, yaitu dalam bab Utang (Qarđ). Sehingga prinsipprinsip dasar riba utang ini berbeda dengan riba jual beli. Riba qarđ 39
Ibid. Muh. Zuhri, Riba dalam al-Qur‟an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), h. 108-109. 40
23
(utang) ini merupakan jenis riba yang dikemukakan oleh Khatib Syarbini seperti yang dikutip oleh Abdul Azhim. Riba utang ini adalah tambahan bersyarat yang harus dibayar oleh pengutang kepada pemberi pinjaman sebagai imbalan atau kompensasi dari penundaan waktu pelunasan pembayaran.41 Riba qarđ bisa juga berarti suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtariđ). Contoh, seseorang berutang 25.000,dengan perjanjian akan dibayar 26.000,- atau seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30% perbulan.42 Ibnu Hajar al-Makki sebagaimana dikutip oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan, menyatakan sebagai berikut: “akan tetapi sebenarnya macam riba yang ketiga ini lebih menyerupai riba fađl karena dalam jenis riba yang ketiga ini di dalamnya mensyaratkan keharusan untuk memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman, seolah-olah ia meminjamkan sesuatu dengan mempersyaratkan pengembalian dengan jumlah yang sama ditambah dengan (sebagian) keuntungan bagi kreditur”43 Pandangan ulama yang mengategorikan riba qarđ sebagai jenis tersendiri disebabkan karena pinjaman yang terjadi merupakan akad tersendiri dan mempunyai aturan hukum tersendiri. Misalnya seseorang pada waktu meminjamkan sesuatu kepada orang lain mempersyaratkan untuk mengembalikannya dengan yang lebih baik dari yang dipinjamkan, dengan suatu keuntungan tertentu atau yang sejenisnya. Kondisi seperti ini hukumnya haram dengan dasar ijma‟ seluruh ulama. Sebab, meminjamkan sesuatu merupakan akad yang mengandung unsur belas kasih dan merupakan amaliyah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah swt.). Namun, apabila kemaslahatan atau keuntungan yang diberikan oleh peminjam kepada kreditur tidak dipersyaratkan, maka hal itu tidak mengapa. Dasar hukumnya adalah,
41
Azhim, op. cit., h. 35. Azharudin, loc. cit. 43 Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, Perbedaan Jual Beli dan Riba, terj. dari al-Farqu bayna alBay‟ wa ar-Ribâ oleh A.M. Basalamah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), h. 67. 42
24
ِ َّحدَّثَنا أَبو الط ِ ِب َعن مال ٍ َك بْ ِن أَن س َع ْن ْ اى ِر أ ْ َْحَ ُد بْ ُن َع ْم ِرو بْ ِن َس ْرٍح أ َ ْ ٍ َخبَ َرنَا ابْ ُن َوْى ُ َ َ ِ ِ ِ ِ َ َن رس ف ِم ْن َر ُج ٍل َ َاستَ ْسل ْ ول اللَّو ﷺ ْ َزيْد بْ ِن أ ُ َ َّ َسلَ َم َع ْن َعطَاء بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن أَِِب َراف ٍع أ ِ ِ الص َدقَِة فَأَمر أَبا رافِ ٍع أَ ْن ي ْق الر ُج َل بَكَْرهُ فَ َر َج َع إِلَْي ِو َّ ت َعلَْي ِو إِبِ ٌل ِم ْن إِبِ ِل َّ ض َي ْ بَكْرا فَ َقد َم َ َ َ ََ ِ ِ ال ََل أ َِج ْد فِيها إَِِّل ِخيارا رب ِ ال أ َْع ِط ِو إِيَّاهُ إِ َّن ِخيَ َار الن َح َسنُ ُه ْم َ اعيا فَ َق ْ َّاس أ ْ َ أَبُو َراف ٍع فَ َق َ ََ َ 44 ضاء َ َق “Telah menceritakan kepada kami Abu aţ-Ţâhir Aẖmad bin „Amr bin Sarẖ telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dari Mâlik bin Anas dari Zayd bin Aslam dari „Aţâ' bin Yasâr dari Abû Râfi', bahwa Rasulullah saw. pernah meminjam unta muda kepada seorang laki-laki, ketika unta sedekah tiba, maka beliau pun memerintahkan Abû Râfi' untuk membayar unta muda yang dipinjamnya kepada laki-laki tersebut. Lalu Abû Râfi' kembali kepada beliau seraya berkata, "Aku tidak mendapatkan unta muda kecuali unta yang sudah dewasa." Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” Mengenai hadis ini, Syaikh Shaleh bin Fauzan mengutip pendapat Imam
Malik
yang
memandangnya
makruh
apabila
dalam
mengembalikannya, menambahi jumlahnya. Akan tetapi apabila mengembalikannya dengan jenis yang lebih baik maka tidak masalah. Pendapat mazhab Maliki ini dikomentari oleh Imam asy-Syaukani dikutip oleh Syaikh Shaleh sebagai berikut: “Apa yang dipahami oleh mazhab Maliki dapat disanggah dengan mengetengahkan hadis dari Jâbir ra. yang berkata: “Suatu ketika aku mendatangi Rasulullah saw. dimana beliau mempunyai utang kepadaku. Ketika beliau membayar utangnya
kepadaku,
beliau
pun
kemudian
menambahi
atau
melebihkannya.” Dalam hukum Islam, kelebihan (seperti dalam riba) hanya diperbolehkan dalam pinjam meminjam atau lainnya apabila kelebihan atau pemberian tersebut dilakukan pada saat membayar utang. Akan tetapi jika diberikan sebelum masa pembayaran atau disyaratkan, maka hal ini tidak dibenarkan menurut syariat.45 44 45
Imam Muslim, op.cit., h. 787. Shaleh, op. cit., h. 70-71.
25
b) Riba Jahiliah Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr aŝ-Ŝabâri mengemukakan gambaran praktek riba pada masa jahiliah yaitu ketika seseorang memberikan pinjaman (utang) dalam batas waktu tertentu, kemudian tiba waktu penagihan, maka orang yang berutang akan berkata kepada orang yang berpiutang, “tangguhkan utang ini, maka aku akan menambahnya.”46 Praktek seperti ini kemudian disebut dengan riba “berlipat ganda”. Sehingga turunlah ayat,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah swt. supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Âli „Imrân [3]: 130) Ayat ini telah menjelaskan bahwa “dengan berlipat ganda” merupakan salah satu bentuk dari riba utang.47 Praktik riba jahiliah yaitu ketika utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.48 AŝŜabâri juga mengatakan bahwa pada masa jahiliah, orang-orang Arab juga melakukan riba terhadap umur binatang. Jika binatang yang dipinjamkan adalah bintu makhâđ (unta betina umur 1 tahun), maka pengembaliannya dengan bintu labûn (unta betina umur 2 tahun), kemudian ẖiqqah (unta betina umur 3 tahun), kemudian jiż‟ah (unta umur 4 tahun), lalu rubâ‟iy (unta umur 6 tahun), dan seterusnya.49 Riba jahiliah dilarang karena kaidah “kullu qarđin jarra manfa‟ah fa huwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliah tergolong
46
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarîr aŝ-Ŝabâri, Jâmi‟u al-Bayân „an Ta‟wîli Ãyi al-Qur‟ân, juz. IV, (tt.p.: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 109. 47 Azhim, op. cit., h. 44 48 Azharudin, loc. cit. 49 Aŝ-Ŝabâri, loc.cit.
26
riba nasî‟ah, dan dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fađl.50
c. Larangan dan Sanksi Riba 1) Larangan Riba Riba telah dilarang secara tegas dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dalam al-Qur‟an, Allah swt. berfirman, “… Padahal Allah swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (QS. al-Baqarah [2]: 275) “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman.” (QS. al-Baqarah [2]: 278) Sedangkan larangan riba dalam as-Sunnah adalah sabda Rasulullah saw., sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim dari Abû Hurairah,
ِ السبع الْموبَِق ِ ِ (الشِّرُك ب:ال ِ ِ الس ْح ُر َ َ قَالُْوا َوَما ُى َّن يَا َر ُس ْو َل اهللِ؟ ق.)ات ِّ اهلل َو ْ ُ َ ْ َّ (ا ْجتَنبُوا ْ ِ الز ْح ِ َوقَ ْتل النَّ ْف ف ْ ِس الَِّ ِْت َما َحَّرَم اهللُ اَِِّل ب َّ الربَا َواَ ْك ُل َم ِال الْيَتِْي ِم َوالت ََّوِّّل يَ ْوَم ِّ اْلَ ِّق َواَ ْك ُل ُ 51 ِ ِ ِ ِ ِ )صنَات الْغَاف ََلت الْ ُم ْؤمنَات ُ َوقَ ْذ َ ف الْ ُم ْح “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan.” Para sahabat berkata, “Apa saja itu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah swt., sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah swt. kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada hari peperangan, dan menuduh berzina para perempuan yang terjaga, lalai (dari zina yang dituduhkan kepada mereka), dan beriman.”
2) Sanksi Riba Allah swt. memberikan hukuman terhadap praktek riba, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 276, 50
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), cet. IV, h. 15. 51 Sâbiq, op.cit., h. 124.
27
“Allah swt. memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…”
Abdul Azhim mengutip pendapat Abû Bakar ar-Râzi yang mengatakan bahwa maksud dari memusnahkan secara linguistik adalah menghilangkan. Dapat diartikan pula bahwa riba itu menghilangkan keberkahan. Ayat tersebut merupakan gambaran kondisi di dunia dan di akhirat. Kondisi di dunia, pemakan riba akan menderita lantaran harta yang diperolehnya menjadi tidak berkah.52 Sedangkan, akibat dari ketidakberkahan di akhirat yaitu seperti pernyataan Ibnu „Abbâs yang dinukil oleh al-Qurŝubi, 53
ِ ص َدقَة َوَِل َح ِّجا َوَِل ِج َهادا َوَِل ِصلَة َ َُِل يَ ْقبَ ُل مْنو
“Allah swt. tidak akan menerima sedekah, ibadah haji, jihad, dan silaturahmi dari pelaku riba” Selain pelakunya, Allah swt. juga melaknat semua orang yang terlibat dalam akad riba. Allah swt. melaknat pemberi utang yang mengambil riba, orang yang berutang yang memberikan riba, juru tulis yang menulis riba, dan dua saksi yang menyaksikan riba. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, Imam Muslim, Imam Aẖmad, Imam Abû Dâwud dan Imam Tirmiżi dari Jâbir bin „Abdullâh bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ِ ِ ِ ِ ِّ لَ َع َن اهللُ آكِ َل ُالربَا َوُم ْؤكلَوُ َو َشاى َديْو َوَكاتبَو
“Allah swt. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengannya, dua orang yang menyaksikannya, dan orang yang menulisnya.” Sanksi lainnya sebagaimana diriwayatkan oleh ad-Dâruquŝni dari „Abdullâh bin Ḫanťalah yang dikutip oleh Sayyid Sâbiq bahwa Rasulullah saw. bersabda,
52
Azhim, h. 54. Abu „Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurŝubi, al-Jâmi‟ li Ahkâmi al-Qur‟ân, juz III, (t.tp.: t.p, t.t.), h. 362. 53
28
ِ ِ ٍّ َش ُّد ِعْن َد اهللِ تَع َاّل ِمن ِس اْلَ ِطْيئَ ِة ْ ْي ِزنْيَة ِِف َ لَد ْرَى ُم ِربا أ َ ْ ت َوثَََلث ْ َ
“Satu dirham riba lebih besar dosanya di sisi Allah swt. daripada tiga puluh enam perzinaan.”54 Sayyid Sâbiq juga mengutip sabda Rasulullah saw.,
ِ ِ ِّ َّ اىا َكأ الر ُج ُل بِأ ُِّم ِو َّ َن يَأْتِى َ َالربَا ت ْس َعةٌ َوت ْسعُ ْو َن بَابا اَ ْدن
“Riba itu terdiri dari sembilan puluh sembilan pintu. Yang paling rendah di antaranya seperti (dosa) seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya.”55 Demikian, al-Qur‟an dan as-Sunnah saling menegaskan bahaya riba agar umat muslim berhati-hati dan tidak terjerumus dalam praktik riba.
d. Proses Penetapan Hukum Riba dalam Al-Qur’an Allah swt. menggunakan metode tadarruj fî at-tasyrî‟ (proses bertahap dalam menetapkan hukum) untuk menjelaskan efek buruk riba hingga pengharamannya.56 Riba diungkap pertama kali oleh al-Qur‟an pada periode Makkah dalam surat ar-Rûm ayat 39, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah swt. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah swt., maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipatgandakan. Dari ayat tersebut diketahui bahwa masyarakat Makkah dan sekitarnya, sebagian telah mempraktekkan riba dan sebagian lainnya membayar zakat. Mereka menghendaki agar harta yang mereka miliki dapat menjadi banyak dan berlipatganda. Sehingga mereka lebih memilih praktek riba. Oleh karena itu, Allah swt. mengingatkan bahwa zakatlah 54
Sâbiq, loc.cit. Ibid. 56 Marhamah Saleh, Hukum (https://marhamahsaleh.wordpress.com) 55
Riba,
Bunga
Bank,
dan
Asuransi,
2016,
29
yang menghasilkan lipat ganda seperti yang mereka kehendaki, bukan riba.57 Tahap kedua, Allah swt. berfirman dalam surat an-Nisâ‟ ayat 160-161. “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah swt. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan siksa yang pedih untuk orang-orang kafir di antara mereka.” Pada ayat ini, meskipun secara tidak tegas Allah swt. melarang umat Islam menjalankan riba, tetapi Allah swt. memberi tahu bahwa riba yang dipraktekkan orang Yahudi telah menyebabkan mereka dilarang memanfaatkan barang-barang yang serba bagus, ţayyibât (baik), yang tadinya halal bagi mereka. Melihat kerasnya sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada kaum Yahudi ini, berarti riba yang mereka praktekkan bukan kesalahan kecil, tetapi kesalahan besar yang meresahkan banyak orang.58 Tahap ketiga, Allah swt. mulai mengharamkan secara mutlak praktik riba sebagaimana yang dipraktikkan oleh orang-orang jahiliah. Hal ini disampaikan oleh Allah swt. dalam surat Âli „Imrân: 130. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian „memakan‟ riba berlipat ganda. Taatlah kepada Allah swt. supaya kalian beruntung.” 57 58
Zuhri, op.cit., h. 76-77. Ibid., h. 79.
30
Tahap terakhir, Allah swt. mengharamkan segala bentuk riba. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 278-279. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah swt. dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Kedua ayat ini menegaskan kembali keharaman praktek riba secara total. Sebab, setelah dilarangnya riba, masih ada sebagian umat muslim yang mengambil sisa-sisa riba yang belum sempat mereka pungut pada masa jahiliah. Sebagian orang itu adalah Banî „Amr bin Umair dari Śaqîf dan Banî Muġîrah dari Bani Makhzum. Masalah yang terjadi di antara mereka menjadi sebab turunnya kedua ayat ini.
e. Hikmah Diharamkannya Riba Imam ar-Râzi berpendapat mengenai hikmah diharamkannya riba sebagaimana dikutip oleh Yûsuf al-Qarđâwi berdasarkan tiga sudut pandang yaitu: 1) Dilihat dari sudut pandang perekonomian. Pertama, riba dapat mengambil harta seseorang tanpa adanya imbalan yang diterima. Sebab, orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham, ia akan mendapatkan tambahan satu dirham tanpa adanya penggantian atau pertukaran.
Padahal
harta memiliki
kehormatan
yang besar,
sebagaimana disebutkan di dalam hadis,
ِ اِلنْس ِ ِ ان َك ُح ْرَم ِة َد ِم ِو َ ْ ُح ْرَمةُ َمال
“Kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya”
31
Maka, adanya pengambilan harta tanpa adanya imbalan itu harus diharamkan. Kedua, bergantung kepada riba akan mencegah manusia untuk bekerja keras. Sebab, apabila pemilik dirham mampu menjadi perantara dilakukannya akad riba dari hasil tambahan yang ia terima baik dengan pembayaran tunai maupun yang ditangguhkan, maka ditakutkan hal tersebut akan menjadi sumber mencari nafkah bagi si pemilik dirham. Ia hampir tidak merasakan susah dan lelahnya bekerja keras dan berniaga. Hal tersebut dapat berakibat terputusnya kemanfaatan sesama makhluk. 2) Dilihat dari sudut pandang akhlak, riba dapat mengakibatkan terputusnya kebaikan di antara manusia dalam hal pinjam meminjam. Jika riba dihalalkan, maka orang yang membutuhkan terpaksa dan terdesak mengembalikan satu dirham dengan dua dirham. Jika hal tersebut terjadi, maka akan mengakibatkan hilangnya tolong menolong dan kebaikan. 3) Dilihat dari sudut pandang kemasyarakatan. Biasanya, pemberi pinjaman adalah orang kaya dan peminjam adalah orang fakir. Diperbolehkannya akad riba dapat memungkinkan orang yang kaya (pemberi pinjaman) mengambil harta yang bertambah dari orang fakir (peminjam).
Hal
ini
dapat
menghalangi
masyarakat
dalam
mewujudkan kasih sayang.59 Selain itu, Ibnu Ḫajar al-Ḫayśami sebagaimana dikutip oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan, ia meringkas hikmah-hikmah yang terkandung di balik pengharaman riba sebagai berikut: 1) Riba merupakan pelanggaran terhadap kesucian harta seorang muslim yang mengambil kelebihan atau tambahan tanpa dibarengi adanya pertukaran atau penggantian. 2) Riba berdampak buruk sekali terhadap fakir miskin. Karena pada umumnya hanya orang kaya-lah yang meminjamkan uangnya 59
Yûsuf al-Qarđâwi, al-Ḫalâl wa al-Ḫarâm fî al-Islâm, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), cet. II, h. 231-232.
32
sedangkan yang meminjam adalah orang yang miskin. Apabila si kaya tetap dibiarkan mengambil atau menerima lebih banyak, maka hal yang demikian akan sangat merugikan si miskin. 3) Riba mengakibatkan terputusnya nilai-nilai luhur kebaikan yang ada dalam pinjam meminjam uang atau utang piutang. Apabila dihalalkan untuk meminjam satu dirham dengan dua dirham, pastilah tidak akan ada yang mau meminjamkan satu dirham kemudian dikembalikan satu dirham saja. 4) Riba mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki, perniagaan, keterampilan dan industri, sehingga kemaslahatan dan kelestarian alam tidak akan terwujud. Hal ini disebabkan apabila seseorang dapat memperoleh dua dirham dengan hanya menyerahkan satu dirham maka ia tidak mungkin mau mencari kepenatan dan bersusah payah mengais (mencari) rezeki atau bersabar dalam menghadapi kesulitan-kesulitan berdagang.60 Meski demikian, Yûsuf al-Qarđâwi memiliki sudut pandang yang berbeda dari apa yang disampaikan oleh para ulama, termasuk yang telah dipaparkan sebelumnya. Menurutnya, hikmah diharamkannya riba lebih sering dipaparkan sebagai upaya pencegahan penganiayaan pihak kreditor (pemilik uang) terhadap debitor (peminjam). Hal itu tidak lagi relevan, karena pada saat ini transaksi pinjam meminjam sudah dilakukan di bank. Bank-bank yang diberi pinjaman oleh nasabah untuk dinvestasikan posisinya kuat. Sementara pihak yang memberi pinjamanlah yang lemah, karena ia hanya memiiki sedikit aset yang terbatas. Ia menuturkan bahwa Islam sebenarnya tidak mengharamkan seseorang untuk memiliki harta dan melipatgandakannya, selama diperoleh dari sumber yang halal dan dibelanjakan pada haknya. Islam tidak pernah mengecam harta sebagaimana sikap Injil mengecam kekayaan, “orang kaya tidak akan dapat menembus pintu-pintu langit, sampai seekor unta dapat menembus lubang jarum.” Bahkan, justru Islam menegaskan, 60
Shaleh, op. cit., h. 43-44.
33
“Sebaik-baik harta adalah yang dimiliki oleh orang yang saleh.” Harta yang baik adalah harta yang diperoleh dari sumber yang halal, dikembangkan secara halal. Artinya, dengan usaha legal sesuai syariat dan yang bermanfaat, baik melalui usaha pribadi secara mandiri maupun kerja sama kemitraan dengan pihak lain. Berdasarkan hal ini, Islam mensyariatkan kerja sama pemilik modal dengan usaha untuk kepentingan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, dan sekaligus untuk masyarakat. Sebagai konsekuensi dari kerja sama, yaitu memikul resiko, baik untung maupun rugi. Jika untung yang diperoleh besar, maka penyedia dana dan pekerja menikmati bersama sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika untung kecil, maka haruslah dirasakan bersama, yaitu pemilik modal rugi dalam sahamnya, dan pekerja rugi dalam jerih payahnya. Hal ini merupakan keadilan yang sempurna. Jadi, hikmah eksplisit yang ingin disampaikan oleh Yûsuf alQarđâwi dari pengharaman riba ialah mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta memikul resiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab.61
B. Hasil Penelitian Relevan 1. Skripsi: Nilai Pendidikan dalam Proses Turunnya al-Qur’an Secara Berangsur-angsur (Studi Atas Penetapan Hukum Khamr Dalam alQur’an). Oleh: Evi Herawati (0011017844), Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa di dalam proses pengharaman khamr terdapat nilai-nilai pendidikan keimanan. Pertama, Allah swt. menunjukkan kasih sayang-Nya agar tercipta kemaslahatan umat. Kedua, materi ayat dapat diterima oleh akal sehat dan memiliki argumentasi-argumentasi
yang
kuat,
segi
penyampaian
al-Qur‟an
disesuaikan dengan perkembangan jiwa sehingga akan mengarahkan 61
Yûsuf al-Qarđâwi, Bunga Bank, Haram, terj. dari Fawâid al-Bunûk Hiya ar-Ribâ al-Ḫarâm oleh Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), h. 50-52.
34
manusia pada nilai keimanan yang optimal. Selain pendidikan keimanan, alQur‟an sudah menerapkan metode pembelajaran. Khususnya pada ayat-ayat pengharaman khamr, metode yang digunakan adalah bersifat analitis, yakni selalu melibatkan akal pikiran manusia untuk menganalisa materi ayat. 2. Skripsi: Nilai-nilai Pendidikan dalam Proses Turunnya al-Qur’an Secara Berangsur-Angsur (Studi Tafsir Terhadap Ayat-ayat Khamr). Oleh: Neneng Nuraini (809011000249), Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Dalam
penelitian
ini,
terdapat
kesimpulan
bahwa
dalam
proses
pengharaman khamr terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan keimanan, yakni cara tersebut menunjukkan kasih sayang Allah swt. kepada hamba-Nya dan bertujuan menciptakan kemaslahatan. Kedua, pendidikan karakter atau pembentukan sikap. Dengan cara yang bertahap ini mampu mengajak manusia untuk lebih introspeksi diri dan mengubah semua kebiasaan
buruk
menjadi
baik.
Ketiga,
metode
al-Qur‟an
dalam
menyampaikan materi ayat sehingga dapat diterima oleh umat tanpa rasa berat. Antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis sama-sama menganalisis nilai-nilai pendidikan pada penetapan suatu hukum secara berangsur-angsur di dalam al-Qur‟an. Hanya saja objek yang diteliti berbeda. Kalau kedua penelitian tersebut meneliti proses penetapan hukum khamr, sedangkan penulis meneliti proses penetapan hukum riba.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian Objek penelitian yang penulis ambil dalam penyusunan skripsi ini adalah nilai-nilai pendidikan dalam proses penetapan hukum riba di dalam alQur’an, dengan melakukan kajian tafsir surat ar-Rûm: 39, an-Nisâ’: 160-161, Âli ‘Imrân: 130, dan al-Baqarah: 278-279. Adapun waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2016 s.d. Januari 2017.
B. Metode Penelitian Berdasarkan
pendekatannya,
penelitian
ini
menggunakan
metode
penelitian kualitatif yang mengacu pada pendekatan naturalistik. Metode kualitatif berfungsi untuk menjawab permasalahan yang memerlukan pemahaman mendalam dan menyeluruh mengenai objek yang diteliti guna menghasilkan kesimpulan-kesimpulan tentang permasalahan-permasalahan.1 Sedangkan
berdasarkan
tempatnya,
penulis
menggunakan
penelitian
kepustakaan, yakni serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Penelitian kepustakaan ini memiliki empat ciri utama, yaitu: pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks (naş) atau data angka, bukan dengan pengetahuan langsung atau saksi mata (eyewitness) berupa kejadian, orang atau benda-benda lainnya. Kedua, data pustaka bersifat ‘siap pakai’ (ready made) yang berarti peneliti tidak pergi kemana-mana, kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia di perpustakaan. Ketiga, data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, akan tetapi pada tingkat tertentu bisa berupa sumber primer. Keempat, kondisi data
1
Heny Narendrany Hidayati, Bahan Ajar Metodologi Penelitian Pendidikan. Power Point, slide VII.
35
36
pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Peneliti berhadapan dengan informasi statik, tetap.2
C. Fokus Penelitian Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pada proses penetapan hukum riba dengan melakukan kajian tafsir al-Qur’an surat ar-Rûm: 39, an-Nisâ’: 160-161, Âli ‘Imrân: 130, dan al-Baqarah: 278-279.
D. Prosedur Penelitian Dalam membahas penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yakni dengan cara mengumpulkan data-data yang diperlukan dan sesuai dengan masalah penelitian, kemudian mengkaji dan menganalisis, lalu menarik sebuah kesimpulan. Adapun data-data yang diperlukan berupa data pustaka, di antaranya: 1. Kitab-kitab tafsir mu’tabar, yakni kitab al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân oleh Abû ‘Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurţubi, Tafsîr Ibnu Kaśîr oleh Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl Ibnu Kaśîr al-Qurâsyi, Tafsîr al-Marâġi oleh Ahmad Musţafâ al-Marâġi, dan Tafsir al-Mishbah oleh M. Quraish Shihab. 2. Buku-buku dan kitab-kitab terkait uşul al-fiqh, ‘ulûm al-qur’ân dan fiqh mu’âmalah yang membahas seputar riba terutama dalam proses pengharamannya. 3. Buku-buku terkait dengan pendidikan untuk membantu menganalisis nilainilai pendidikan. Sedangkan dalam mengkaji dan menganalisis data, peneliti melakukan halhal berikut: 1. Mencari tahu dan mempelajari ayat-ayat apa saja yang menunjukkan proses penetapan hukum riba.
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), cet. II, h. 3-5.
37
2. Setelah mendapatkan ayat-ayat tersebut, peneliti mengkaji tafsir dengan metode tafsir mauđû’i. Menurut pengertian istilah para ulama sebagaimana dikutip oleh Abdul Hayy al-Farmawi, tafsir mauđû’i adalah menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu disusun berdasarkan kronologi turunnya dengan memperhatikan sebabsebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir dapat menyajikan tema secara utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian terdalam sekalipun dapat diselami.3 Ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu: a. Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas. b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut. c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbâbun nuzûl-nya. d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline). f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan. g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengompromikan antara yang ‘âmm (umum) dan yang khâşş (khusus), muţlaq dan muqayyad (terikat), atau pada yang lahirnya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.4 3. Berdasarkan metode tafsir mauđû’i tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti perlu mengemukakan: 3
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, terj. dari alBidâyah fî at-Tafsîr al-Mauđû’i: Dirâsah Manhajiyyah Mauđû’iyyah oleh Rosihon Anwar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 43-44. 4 Ibid., h. 51-52.
38
a. Asbâbun nuzûl, ialah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.5 b. Munâsabah, yang berarti segi hubungan atau persesuaian. Maksudnya ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mepertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Misal, antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antara ayat dengan ayat, antara awal surat dengan akhir surat, antara surat yang satu dengan surat yang lain, dan seterusnya sehingga akan tergambar bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.6 c. Kaidah penafsiran al-Qur’an. Kaidah ini berfungsi sebagai suluh pandangan dan pemikiran, serta mempergunakannya untuk mengamati berbagai peristiwa yang telah lalu maupun yang akan datang.7 4. Setelah dikaji dan dianalisis, peneliti mengambil kesimpulan dengan menggunakan analisis induktif yakni menganalisa masalah-masalah yang bersifat khusus dan kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum.
5
Subẖi aş-Şalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. dari Mabâhiś fî ‘Ulûmil Qur’ân oleh Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 173-174. 6 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 237. 7 Abdurrahman bin Naşir as-Sa’di, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, terj. dari al-Qawâ’id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân oleh Abd. Rahman Dahlan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. II, h. 21.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Ayat Berkaitan dengan Proses Penetapan Hukum Riba Allah swt. menggunakan metode tadarruj fî at-tasyrî‟ (proses bertahap dalam menetapkan hukum) untuk menjelaskan efek buruk riba hingga pengharamannya.1 Tahap pertama, Allah swt. memberitahukan cara penggunaan harta secara benar. Di sini riba dikontraskan dengan zakat. Dengan pengontrasan itu terlihat bahwa zakat menempatkan harta sebagai suatu perbuatan yang memiliki fungsi sosial, sedangkan riba tidak. Tahap ini disebutkan dalam al-Qur‟an surat ar-Rûm ayat 39, “Dan riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, itu tidak menambah pada sisi Allah swt. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat dengan tujuan untuk mencapai keridaan Allah swt., maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan.” Riba yang dimaksud pada ayat ini adalah hadiah yang diberikan seseorang berharap orang lain mengembalikannya lebih banyak dari apa yang ia hadiahkan kepada mereka. Hal ini tidak menambah pahala di sisi Allah swt. Inilah yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, ađ-Đahhak, Qatadah, „Ikrimah, Muhammad bin Ka‟ab, dan asy-Sya‟bi yang dikutip oleh Ibnu Kaśîr.2 Riba pada ayat ini hukumnya halal. Al-Qurŝubi menukil pendapat „Ikrimah yang berkata tentang ayat ini, “Riba itu ada dua: riba halal dan riba haram. Riba halal adalah harta yang dihadiahkan demi mendapatkan apa yang
1
Marhamah Saleh, Hukum Riba, Bunga Bank, dan Asuransi, 2016, (https://marhamahsaleh.wordpress.com) 2 Abu al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibnu Kaśîr al-Qurâsyi, Tafsîr Ibnu Kaśîr, juz III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 435.
39
40
lebih baik darinya.”3 Sedangkan menurut Ibnu Kaśîr perbuatan riba ini hukumnya mubah sekalipun tidak terdapat pahala di dalamnya.4 Quraish Shihab mengutip pendapat az-Zarkasyi dalam menafsirkan riba pada ayat ini dengan dilihat dari segi penulisan. Kata ribâ dalam al-Qur‟an ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat surat, tetapi hanya dalam surat ar-Rûm ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wawu ()ربا. Sedangkan selainnya ditulis dengan huruf wawu yakni ()ربو. Hal ini menjadi salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Pada surat ar-Rûm ini yang dimaksud adalah riba yang halal yakni hadiah, sedang yang selainnya adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.5 Meski riba yang dimaksud dalam ayat ini hukumnya halal, hal ini secara khusus tidak berlaku bagi Rasulullah saw. berdasarkan firman Allah swt., “Dan janganlah engkau (Muhammad saw.) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. al-Muddaśśir [74]: 6) Dalam ayat ini, Rasulullah saw. dilarang memberikan sesuatu, lalu mengambil sesuatu yang lebih banyak sebagai gantinya.6 Oleh karena riba pada ayat ini ialah suatu kegiatan memberikan hadiah dengan mengharapkan balasan akan mendapatkan yang lebih baik dari manusia, maka di sisi Allah swt. ia tidak akan mendapatkan pahala. Hal ini diungkapkan dengan kalimat ()فَ ََل يَْربُوٱ ِعْن َد اهلل, maksudnya adalah “Dia (Allah swt.) tidak akan membersihkan dan tidak akan memberi balasan atasnya, sebab Dia tidak akan menerima kecuali apa yang diharapkan keridaan-Nya dan murni hanya untuk-Nya.”7 Sayyid Quŝb sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, ia menulis bahwa ketika itu ada sementara orang yang 3
Abu „Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurŝubi, al-Jâmi‟ li Ahkâmi al-Qur‟ân, juz XIV, (tt.p.: t.p, t.t.), h. 36. 4 Ibnu Kaśîr, juz. III, loc.cit. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 230. 6 Al-Qurŝubi, juz XIV, op.cit., h.37. 7 Ibid., h. 39.
41
berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka, ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Cara seperti ini tidak haram sebagaimana keharaman
riba
pada
umumnya,
tetapi
cara
tersebut
bukan
cara
pengembangan yang suci dan terhormat. Allah swt. menjelaskan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya 8 yakni
"dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orangorang yang melipat gandakan (pahalanya)" Al-Qurŝubi menukil riwayat Ibnu „Abbâs tentang “zakat” pada ayat ini, ia berkata, “Maksudnya, berupa sedekah.”9 Al-Qur‟an sering kali menggunakan kata (ٍ ) َزكوةyang secara harfiah berarti “suci dan berkembang”, sedangkan makna ()ص َدقَة َ secara harfiah berarti “sesuatu yang benar”. Untuk pemberian tidak wajib disebut sedekah, sedangkan untuk pemberian wajib disebut zakat seperti dalam surat at-Taubah ayat 60. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah swt. dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah swt., dan Allah swt. Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
8 9
Shihab, vol. 10, op.cit., h. 230-231. Al-Qurŝubi, juz XIV, loc.cit.
42
Hal ini untuk mengisyaratkan perlunya kebersihan dan kesucian jiwa ketika bersedekah, agar harta tersebut dapat berkembang, dan ketika berzakat diperlukan kebenaran dan ketulusan agar diterima oleh Allah swt.10 Pada surat ar-Rûm ayat 39 ini, Allah swt. menunjukkan bahwa orang yang berzakat dengan mengharap keridaan Allah swt., kelak pahalanya akan dilipatgandakan. Itulah yang Allah swt. terima dan lipatgandakan sepuluh kali lipat atau lebih. Sebagaimana Allah swt. berfirman: “Barangsiapa meminjami Allah swt. dengan pinjaman yang baik, maka Allah swt. akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.” (QS. al-Baqarah [2]: 245)11 Dalam hadits shahih dikatakan,
الر ْْحَ ِن ُى َو ابْ ُن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن ِدينَا ٍر َع ْن أَبِ ِيو َّ َّض ِر َحدَّثَنَا َعْب ُد ْ َحدَّثَنَا َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن ُمنِ ٍي ََِس َع أَبَا الن ِ ُ ال رس صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْن َ َصالِ ٍح َع ْن أَِب ُىَريْ َرَة َر ِض َي اللَّوُ َعْنوُ ق َ ول اللَّو َ َع ْن أَِب ُ َ َ َال ق ِ ٍ ِ ِ َ تَصد ٍ ٍ َّ َِّ َّ ب َوإِ َّن اللَّ َو يَتَ َقبَّ لُ َها بِيَ ِمينِ ِو ُثَّ يَُرب َيها َ َ َّق ب َع ْدل َتََْرة م ْن َك ْسب طَيب َوَل يَ ْقبَ ُل اللوُ إل الطي 12 ِ ِ ِل .اْلَب ِل ْ َح ُد ُك ْم فَلَُّوهُ َح َّّت تَ ُكو َن ِمثْ َل َ َ صاحبِو َك َما يَُرب أ Telah menceritakan kepada kami 'Abdullâh bin Munîr dia mendengar dari Abû an-Nađr. Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman dia adalah putra dari 'Abdullah bin Dînâr dari bapaknya dari Abu Şalih dari Abu Hurairah ra. berkata,: Rasulullah saw. telah bersabda: "Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah swt. tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah swt. akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung". Tahap kedua, Allah swt. melarang perbuatan riba, karena dengan mengambil riba dapat menyebabkan dijatuhkannya hukuman seperti yang sudah terjadi pada kaum Yahudi. Hal ini digambarkan oleh al-Qur‟an dalam surat an-Nisâ‟ ayat 160-161 berikut, 10
Shihab, vol. 10, loc.cit. Al-Qurŝubi, juz. XIV, loc.cit. 12 Ibnu Kaśîr, juz III, loc.cit. 11
43
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah swt. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan siksa yang pedih untuk orang-orang kafir di antara mereka.” Dikutip oleh al-Qurŝubi, az-Zujâj berkata, “Firman Allah swt. ini ِ “ )فَبِما نَ ْقMaka (Kami lakukan merupakan badal13 dari penggalan ayat (ض ِه ْم َ terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan melanggar ....” yang disebutkan pada ayat 155 surat an-Nisâ‟. Pada ayat ini, kezaliman lebih dulu disebutkan daripada pengharaman. Sebab, kezaliman tersebut merupakan objek yang hendak dikabarkan, dimana kezaliman inilah yang menyebabkan terjadinya pengharaman.14 Pengharaman itu berupa makanan-makanan yang sebelumnya dihalalkan bagi kaum Yahudi sebelum diturunkannya Taurat, kecuali makanan yang diharamkan Bani Isrâ‟îl bagi dirinya sendiri, seperti daging dan susu sapi. Kemudian Allah swt. mengharamkan banyak hal di dalam Taurat, sebagaimana Allah swt. berfirman,15
13
Secara harfiah berarti pengganti. Kata ini termasuk badal isytimal (mencakup). Artinya kezaliman orang-orang Yahudi menjadi bagian dari pelanggaran yang menjadikan Allah swt. melakukan beberapa tindakan. 14 Abu „Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurŝubi, al-Jâmi‟ li Ahkâmi al-Qur‟ân, juz VI, (tt.p.: t.p, t.t.), h. 12 15 Abu al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibnu Kaśîr al-Qurâsyi, Tafsîr Ibnu Kaśîr, juz I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 585.
44
“Dan kepada orang-orag Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dan kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.” (QS. al-An‟âm [6]: 146) Di sini Allah swt. tidak memerinci makanan-makanan yang diharamkan, karena tujuan diceritakannya hal tersebut supaya dimengerti bahwa itu adalah hukuman, tidak bermaksud menerangkan rincian makanan yang diharamkan itu sendiri. Begitupun, ketika Allah swt. tidak merincikan kezaliman apa saja yang menyebabkan mereka dihukum. Hal ini dimaksudkan supaya orang mengetahui bahwa macam kezaliman apapun bisa menjadi sebab turunnya hukuman di dunia sebelum hukuman di akhirat kelak.16 Hukuman ini diharapkan agar kaum Yahudi mau menghentikan kezalimannya. Jadi, setiap kali mereka melakukan suatu maksiat, maka diharamkanlah sejenis makanan yang baik atas mereka. Namun demikian, mereka malah mengada-ada atas nama Allah swt. Mereka mengatakan, “Kami bukan orang pertama yang dilarang memakan makanan yang baik itu, karena makanan-makanan itu juga sudah diharamkan atas Nabi Nuh as. dan Nabi Ibrahim as.” Pengajuan mereka seperti itu dinyatakan dusta oleh Allah swt. di berbagai tempat dalam kitab-Nya, seperti firman-Nya,17 “Semua makanan adalah halal bagi Bani Isrâ‟îl melainkan makanan yang diharamkan oleh Isrâ‟îl (Ya'qûb as.) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah Dia jika kamu orang-orang yang benar". (QS. Ali „Imrân [3]: 93) Sebab lainnya yang menjadikan pengharaman makanan yang sebelumnya dihalalkan adalah karena kaum Yahudi menghalangi manusia dari jalan Allah
16 17
Aẖmad Musŝafâ al-Marâġi, Tafsîr al-Marâġi, juz VI, (tt.p.: t.p., t.t.), h. 17. Ibid.
45
swt. Dijelaskan oleh al-Marâġi, kata aş-Şadd ()الص ّد َّ maksudnya adalah alMan‟u ( )الْ َمنْ ُعyang berarti mencegah atau menghalangi. Ini bisa berarti mereka mencegah diri sendiri dari jalan Allah swt., yaitu ketika mereka tidak mematuhi perintah Nabi Musa as. dan sering menentangnya. Bisa juga berarti mereka menghalangi orang lain dari jalan Allah swt. dengan memberi contoh yang jelek atau dengan menyuruh melakukan kemungkaran dan melarang berbuat baik.18 Menurut Ibnu Kaşir, kalimat ini menerangkan sebab pengharaman bagi orang-orang Yahudi yaitu karena mereka melampaui batas, durhaka, menyalahi, dan menentang rasul-rasul mereka. Mereka memusuhi para rasul, membunuh para nabi, serta mendustakan Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw.19 Sedangkan menurut al-Qurŝubi maksud dari kata şadd adalah mereka menghalangi diri sendiri dan orang lain untuk mengikuti Nabi Muhammad saw.20 Selain karena berbuat zalim dan menghalangi orang lain dari jalan Allah swt., perbuatan mengambil riba yang sudah menjadi kebiasaan kaum Yahudi menjadi sebab pengharaman atas makanan-makanan yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Padahal mereka sudah dilarang untuk hal itu. Dengan melakukan riba, mereka menggabung dua keburukan sekaligus yaitu melakukan sesuatu yang sangat tidak manusiawi dengan cara mengambil riba dan melanggar perintah Allah swt. yang telah melarang mereka untuk mempraktikkan riba.21 Di samping riba, mereka juga memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti melalui sogok menyogok, penipuan, atau cara-cara lain untuk mengambil harta tanpa imbalan yang disepakati. Hal ini serupa dengan firman Allah swt.
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (QS. al-Mâ‟idah [5]: 42)
18
Ibid. Ibnu Kaśîr, juz I, loc.cit. 20 Al-Qurŝubi, juz VI, loc.cit. 21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 807. 19
46
Kata as-Suht ()الس ْحت ُّ ialah usaha dengan cara yang haram. Orang-orang Yahudi menjual kitab-kitab yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri kemudian mengatakan bahwa kitab-kitab itu dari sisi Allah swt.22 Setelah Allah swt. menyebutkan beberapa jenis dosa dan kejahatan yang mereka lakukan, diterangkanlah balasan mereka kelak di akhirat atas dosadosa tersebut dengan siksaan yang pedih sebagaimana dalam firman-Nya, 23 ِ disini menunjukkan bahwa tidak ()واَ ْعتَ ْدنَا لِْلك ِف ِريْ َن ِمْن ُه ْم َع َذابًا اَلِيْ ًما. Kata minhum ()مْن ُه ْم َ
semua kaum Yahudi mutlak melakukan dosa dan kesalahan yang sudah disebutkan pada kedua ayat 160 dan 161. Sehingga pada ayat selanjutnya terdapat kata istidrâk (kata penghubung yakni lafaz lakin (كن ْ )لyang berarti “tetapi”) dengan keterangan tentang orang-orang baik di kalangan umat tersebut yang tidak membiarkan dirinya bertaklid buta dan digunakannya cahaya akal mereka. Tahap ketiga, Allah swt. secara tegas mulai melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk melakukan praktik riba dan memakannya dengan berlipat ganda, sebagaimana yang mereka lakukan pada masa jahiliah.24 Tahap ini disebutkan dalam surat Âli „Imrân ayat 130. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian „memakan‟ riba berlipat ganda. Taatlah kepada Allah swt. supaya kalian beruntung.” Kata (ًض َعافًا ُّمض َع َفة ْ َ“ )اberlipat ganda”, menurut Quraish Shihab, kalimat tersebut bukanlah syarat bagi larangan ini. Ia bukan dalam arti “jika penambahan akibat penundaan itu sedikit, maka menjadi boleh”. Tetapi sekedar menggambarkan kenyataan yang berlaku ketika itu.25 Kata (َضع ًفا ْ )أ dalam i‟râb bahasa Arab kedudukannya adalah naşab karena berada pada posisi hâl (menunjukkan keadaan), dan firman Allah swt. (ً)مض َع َفة ُ adalah na‟at 22
Al-Marâġi, juz VI, op.cit., h. 18. Ibid. 24 Ibnu Kaśîr, juz I, op.cit., h. 405. 25 Shihab, vol. 2, op.cit., h. 261. 23
47
(kata sifat) dari ađ‟âfan. Kata ini menunjukkan adanya pengulangan penggandaan dari tahun ke tahun, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab. Ungkapan ini menegaskan betapa buruknya perbuatan mereka. Oleh karena itu, penggandaan ini disebut secara khusus. Kemudian, ada yang membaca muđa‟afah (ًض َّع َفة َ )م. ُ Maknanya, riba dalam bentuk menggandakan utang yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab,26 seperti perkataan mereka, “Jika utang sudah jatuh tempo, maka ada dua kemungkinan: dibayar atau dibungakan. Jika dibayar, maka selesai urusannya. Jika tidak dibayar, maka dikenakan bunga baik berupa masa penangguhan maupun ukurannya.”27 Al-Qurŝubi mengatakan bahwa Mujâhid berkata, “Mereka (orang-orang Arab pada masa jahiliyah) biasa menjual barang dagangan sampai jatuh tempo tertentu. Apabila sudah jatuh tempo itu sedangkan harga barang belum dilunasi, maka mereka menambah harga barang dagangan tersebut dan mereka memberikan tempo lagi. Oleh karena hal ini, Allah swt. menurunkan ayat ( ض َعافًا ْ َياَيُّ َها الَّ ِذيْ َن ا َمنُ ْوا َلتَأْ ُكلُوا الربوٱ ا 28 ُّ ً)مض َعفة.” Menurut al-Marâġi, riba pada masa jahiliah menurut istilah kita sekarang adalah riba fâhisy (keji), karena tambahan yang didapat melebihi modalnya itu berlipatganda. Tambahan yang keji ini terjadi setelah tiba saat pembayaran, namun hal ini tidak disebutkan di awal akad. Seperti seseorang memberikan hutang seratus dirham dengan laba sepuluh dirham atau lebih banyak atau kurang dari itu. Seolah-olah ketika awal akad mereka merasa cukup mengambil laba sedikit. Tetapi bila saat pembayaran tiba dan yang bersangkutan tidak mampu membayar hutangnya, maka terpaksa ia menerima tambahan bunga sebagai ganti perpanjangan masa pembayaran. Riba jenis inilah yang dinamakan riba nasî‟ah. Ia juga mengutip perkataan Ibnu „Abbâs,
26
Abu „Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurŝubi, al-Jâmi‟ li Ahkâmi al-Qur‟ân, juz IV, (tt.p.: t.p, t.t.), h. 202. 27 Ibnu Kaśîr, juz I, loc.cit. 28 Al-Qurŝubi, juz IV, loc.cit.
48
“Naş al-Qur‟an (pada ayat ini) menunjukkan pengertian riba nasî‟ah yang ada pada masa itu yang dikenal di kalangan mereka (orang-orang jahiliyah).”29 Aŝ-Ŝabâri mengatakan bahwa pada masa jahiliah, orang-orang Arab juga melakukan riba terhadap umur binatang. Jika binatang yang dipinjamkan adalah bintu makhâđ (unta betina umur 1 tahun), maka pengembaliannya dengan bintu labûn (unta betina umur 2 tahun), kemudian hiqqah (unta betina umur 3 tahun), kemudian jiż‟ah (unta umur 4 tahun), lalu rubâ‟iy (unta umur 6 tahun), dan seterusnya.30 Setelah larangan ini, Allah swt. menyuruh hamba-hamba-Nya untuk bertakwa supaya termasuk golongan orang-orang yang beruntung baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian Allah swt. mengancam dan memberi peringatan kepada mereka dengan api neraka pada ayat selanjutnya yaitu, “dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orangorang yang kafir.”31 Al-Qurŝubi mengatakan bahwa sejumlah ahli tafsir berkata, “Ancaman ini ditujukan kepada orang yang menghalalkan riba. Siapa yang menghalalkan riba maka sesungguhnya dia menjadi kafir dan dikafirkan.”32 Quraish Shihab mengutip bahwa Imam Abu Hanifah apabila membaca ayat 130 surat Âli „Imrân, beliau berkata, “Inilah ayat yang paling menakutkan dalam al-Qur‟an karena Allah swt. mengamcam orang-orang yang paling beriman terjerumus ke dalam neraka yang disediakan Allah swt. untuk orang-orang yang beriman.”33 Tahap terakhir dari proses penetapan hukum riba dijelaskan dalam surat alBaqarah ayat 278-279, yakni:
29
Aẖmad Musŝafâ al-Marâġi, Tafsîr al-Marâġi, juz IV, (tt.p.: t.p., t.t.), h. 65. Abu Ja‟far Muẖammad bin Jarîr aŝ-Ŝabâri, Jâmi‟u al-Bayân „an Ta‟wili Ãyi al-Qur‟ân, juz. IV, (tt.p.: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 109. 31 Ibnu Kaśîr, juz I, loc.cit. 32 Al-Qurŝubi, juz IV, loc.cit. 33 Shihab, vol. 2, loc.cit. 30
49
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah swt. dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Zahir dari ayat ini menerangkan bahwa jual beli yang berbentuk riba namun belum sempurna akadnya (belum terjadi serah terima) maka jual beli itu dibatalkan saat diturunkannya ayat pengharaman riba. Akan tetapi jika telah sempurna akadnya maka jual beli itu tetap sah.34 Disebutkan oleh Zayd bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqâtil bin Hayyan, dan as-Suddi: “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Bani Amr bin Umair dari Śaqîf, dan berkaitan dengan Bani Muġirah dari Bani Makhzûm. Di antara mereka telah terjadi riba pada masa jahiliah. Setelah Islam datang dan mereka memeluknya, Bani Amr meminta hartanya dari Bani Muġirah. Kemudian mereka bermusyawarah. Bani Muġirah berkata, “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan akan menggantikannya dengan usaha berdasarkan ajaran Islam” Kemudian „Utab bin Asid, pemimpin Makkah, melaporkan hal itu kepada Nabi Muhammad saw. dalam sepucuk surat. Maka diturunkanlah ayat ini. Kemudian, Rasulullah saw. membalas „Utab dengan surat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu adalah orangorang yang beriman. Kemudian jika kamu tidak melaksanakan, maka ketahuilah bahwa Allah swt. dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Maka mereka berkata, “Kami bertaubat kepada Allah swt. dan akan meninggalkan sisa riba.” Maka mereka semua pun meninggalkannya.”35 Maksud dari (ِب ِم َن اهلل ٌ )ح ْر َ adalah “akan mendapat murka Allah swt. bagi orang-orang yang memakan riba”. Kebanyakan orang yang suka melakukan riba, setelah tadinya menjadi kaya, berubah menjadi peminta-minta.
34
Abu „Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri al-Qurŝubi, al-Jâmi‟ li Ahkâmi al-Qur‟ân, juz III, (tt.p.: t.p, t.t.), h. 362. 35 Ibnu Kaśîr, juz I, op.cit., h. 331.
50
Sedangkan yang dimaksud dengan (ب ِم ْن َّر ُس ْولِِو ٌ )ح ْر َ ialah “mendapatkan perlawanan dari pihak Nabi Muhammad saw. ketika beliau masih hidup”. Sebab, mereka dianggap sebagai orang yang telah keluar dari rel Islam. Mereka boleh diperangi dan dimusuhi meski setelah beliau wafat oleh orangorang yang meneruskan beliau dalam upaya menegakkan syariat.36 Lalu menurut riwayat dari Ibnu Abbas dikutip oleh al-Qurŝubi disebutkan bahwa akan dikatakan kepada para pemakan riba pada hari Kiamat kelak, “ambillah senjatamu dan bersiaplah untuk perang.” Pula, perkataan Ibnu „Abbâs, “Barangsiapa yang bersikeras melakukan riba dan tidak mau melepaskannya maka seorang pemimpin berhak memintanya untuk bertaubat. Jika ia tetap tidak mau maka ia berhak dipenggal kepalanya”. Al-Qurŝubi juga mengutip perkataan Qatâdah, “Allah swt. menjanjikan para pemakan riba dengan peperangan, oleh karena itu darah mereka dihalalkan dimana pun mereka berada.”37 Selanjutnya, bagi yang bertaubat ditekankan untuk tidak menerima kelebihan yang menjadi hak milik dan hanya mengambil modal pokok yang tidak ada ribanya sama sekali.38 Kemudian diterangkan juga firman Allah swt. bahwa mereka dilarang berbuat zalim dengan cara mengambil riba atau mengambil lebih dari modal dasar yang dimiliki sebelumnya. “... kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Kemungkinan juga zalim yang dimaksud di sini adalah pihak peminjam tidak mengembalikan uang pinjaman padahal ia mampu mengembalikan,39 karena pada sebuah riwayat juga disebutkan,
ِ ِ ِ ٌ َِخبَ َرنَا َمال ْ ك َع ْن أَِب الزنَاد َع ْن ْاْل ْفأ َ وس َُعَرِج َع ْن أَِب ُىَريْ َرةَ َرض َي اللَّوُ َعْنو ُ َُحدَّثَنَا َعْب ُد اللَّو بْ ُن ي ِ َ َن رس ِ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِي فَ ْليَْتبَ ْع َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ ول اللَّو َ ال َمطْ ُل الْغَ ِن ظُْل ٌم فَإذَا أُتْبِ َع أ ُ َ َّ أ 36
Aẖmad Musŝafâ al-Marâġi, Tafsîr al-Marâġi, juz III, (tt.p.: t.p., t.t.), h. 67. Al-Qurŝubi, juz III, op.cit. h. 362-363. 38 Ibid., h. 365. 39 Ibid. 37
51
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yûsuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu az-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti".40 Artinya, ia harus melunasi utang tersebut, namun dengan menyingkirkan sisa-sisa riba yang masih ada. Rasulullah saw. mengisyaratkan kepada Ka‟ab bin Malik untuk sedikit bertenggang rasa mengenai masalah piutangnya yang ada pada Ibnu Abi Hadrad. Lalu setelah itu Ka‟ab menjawab, “Baik, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada orang yang berutang kepada Ka‟ab, “Lunasilah utangmu”. Lalu para ulama mengartikan perintah Nabi Muhammad saw. ini sebagai ajaran perdamaian.41
B. Nilai-nilai Pendidikan dalam Proses Penetapan Hukum Riba Pendidikan dalam konteks Islam mengacu kepada istilah tarbiyah dan ta‟lîm.
Tarbiyah
berasal
dari
kata
rabba–yarubbu,
yang
berarti
memperbaikinya dengan kasih sayang, sehingga menjadi baik setahap demi setahap.42 Allah swt. hendak memperbaiki kebiasaan manusia yang melakukan praktek riba. Riba merupakan perbuatan keji dan termasuk salah satu dosa besar. Praktek ini disenangi karena dapat memenuhi ambisi mereka untuk menumpuk harta yang berlimpah tanpa harus bekerja keras. Cara Allah swt. memperbaiki kebiasaan mereka adalah dengan menetapkan hukum riba secara bertahap. Proses penetapan hukum riba secara bertahap ini juga dapat dikatakan proses ta‟lîm yang dapat membawa umat manusia kepada tazkiyah yakni pensucian diri dari segala kotoran, dan menjadikan diri itu berada dalam suatu
40
Abdullâh bin Muẖammad bin Ismâ‟îl bin Ibrâhîm bin Bardizbah al-Yâfi‟i al-Bukhâri, Şaẖîẖ Bukhâri, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 573. 41 Al-Qurŝubi, juz III, loc.cit. 42 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 17-19.
52
kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-ẖikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. 43 Kaidah penting dalam mendidik adalah hendaknya suatu perintah disampaikan bertahap dan tidak sekaligus. Seperti mengobati suatu penyakit yang sudah akut, pengobatannya harus bertahap dan sesuai dengan perintah dokter. Sama halnya dengan riba yang merupakan penyakit sosial yang dapat mengakibatkan terputusnya kemanfaatan sesama manusia, hilangnya wujud kasih sayang dan tolong menolong dalam kebaikan di kalangan masyarakat. Allah swt. memberikan perintah kepada manusia untuk menjauhi riba dengan cara berangsur-angsur. Agar secara total manusia dapat sembuh dari penyakit tersebut. Adapun tahap-tahap mendidik yang dapat diidentifikasi dari proses penetapan hukum riba sebagai berikut: 1. Membimbing dengan Memberikan Pemahaman Tahap pertama penetapan hukum riba yang dijelaskan dalam surat arRûm
ayat
39.
Terkandung
pengarahan
(irsyâd)
agar
manusia
memprioritaskan mana yang paling besar manfaat dan kemaslahatannya dan yang paling kecil mafsadat-nya (kerusakan, kerugian, bahaya) serta menghindarkan
yang
lebih
besar
mafsadat-nya.44
Allah
swt.
menginformasikan bahwa riba merupakan perbuatan yang sia-sia yang tidak mendapatkan keuntungan di dunia serta pahala di akhirat. Sedangkan zakat merupakan cara pengembangan harta yang sebenarnya. Selain itu, zakat akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda bagi pelakunya. Tahap ini merupakan cara yang bijaksana ketika Allah swt. ingin mengarahkan dan menjauhkan manusia dari bahaya praktek riba. Dia tidak langsung melarang, melainkan meluruskan dengan memberitahu perilaku yang lebih baik yang boleh dilakukan dan bermanfaat yaitu zakat. Nilai edukatif yang dapat diambil dari tahap pertama ini penulis kutip dari Muhammad Muhammad Badri bahwa saat meluruskan kesalahan 43
Tatang Syaripudin, Landasan Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), cet. II, h. 45-46. 44 Abdurrahman bin Naşir as-Sa‟di, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, terj. dari al-Qawâ‟id al-Hisân li Tafsîr al-Qur‟ân oleh Abd. Rahman Dahlan, (Bandung: Mizan, 1998), cet. II, h. 117.
53
peserta didik, sebaiknya seorang pendidik menyampaikan kepada mereka apa yang benar yang harus mereka lakukan. Tidak boleh bersikap keras terhadap suatu kesalahan tetapi tidak menyampaikan bagaimana membenarkan kesalahan itu.45 Sebab, merupakan kebijaksanaan dalam mendidik bahwa menyampaikan bimbingan kepada anak harus jelas dan mudah dipahami.46 Inilah cara yang sudah ditunjukkan oleh Allah swt. ketika meluruskan dengan kasih sayang, mencari solusi dan tidak sekedar menunjukkan kekurangan. Membimbing dengan memberikan pemahaman berupa pengontrasan antara dua perilaku dilakukan sebagai bentuk pengajaran agar manusia bisa memilih dan mempertimbangkan dua perilaku tersebut. Strategi penyampaian ini merupakan cara efektif, dapat mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Strategi ini dipakai oleh pendidikan modern sekarang yang ditemukan oleh Robert Marzano, Debra Pickering, dan Jane Pollock. Sebagaimana dikutip oleh Harvey dan teman-temannya, mereka menemukan
bahwa
mengajukan
kepada
peserta
didik
cara
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan merupakan cara tunggal yang paling efektif dalam meningkatkan prestasi. Strategi ini menggunakan kapasitas
alami
manusia
untuk
menghasilkan
perbandingan-
perbandingan.47 Manusia sangat suka menempatkan hal-hal secara berpasangan. Kecenderungan ini memberikan beberapa keuntungan: a. Dapat meningkatkan kapasitas memori manusia. Dua ide yang dikaitkan satu sama lain bertahan lebih lama, dibandingkan dua ide yang berdiri sendiri-sendiri. b. Memungkinkan manusia menggunakan pengetahuan lama untuk memahami pengetahuan baru.
45
Muhammad Muhammad Badri, Sentuhan Jiwa Untuk Anak Kita, (Bekasi: Daun Publishing, 2015), cet. II, h. 596. 46 Ibid., h. 598. 47 Harvey F. Silver, Richard W. Strong, dan Matthew J. Perini, Strategi-strategi Pengajaran: Memilih Strategi Berbasis Penelitian yang Tepat untuk Setiap Mata Pelajaran, terj. dari The Strategic Teacher: Selecting the Right Research-Based Strategy for Every Lesson oleh Ellys Tjo, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 73.
54
c. Membantu
manusia
menemukan
hubungan-hubungan
dan
menghasilkan ide-ide baru. d. Dapat membuat aspek-aspek konten yang tidak kasat mata (abstrak) menjadi kasat mata, yang dapat membingungkan menjadi jelas, dan yang dapat terabaikan menjadi pasti.48
2. Menyampaikan dengan Cerita atau Kisah Tahap kedua, disampaikan pada surat an-Nisâ‟ ayat 160-161. Salah satu cara yang digunakan al-Qur‟an unuk memberi pelajaran bagi manusia adalah dengan menguraikan perisiwa-peristiwa pada masa lalu dalam bentuk kisah-kisah (al-qaşaş).49 Allah swt. menggerakkan hati seorang muslim melalui kisah kaum terdahulu yakni tentang hukuman yang dijatuhkan kepada kaum Yahudi sebab mereka mengambil riba. Hukuman tersebut berupa diharamkannya makanan-makanan yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Dari kisah ini dapat diambil „ibrah bahwa riba merupakan salah satu perbuatan keji yang Allah swt. benci sampai-sampai Allah swt. menjatuhkan hukuman bagi yang melakukannya. Menurut Zuhri, melihat kerasnya sangsi hukuman yang dijatuhkan kepada kaum Yahudi ini, berarti riba yang mereka praktekkan bukan kesalahan kecil, tetapi kesalahan besar yang meresahkan orang banyak.50 Menyampaikan dengan kisah menjadi metode yang digunakan oleh pendidik agar bisa diresapi dan diambil pelajarannya oleh peserta didik. Metode seperti ini digagas oleh para ahli pendidikan Islam termasuk anNahlawi. Dikutip oleh A. Fatah Yasin, metode kisah ini adalah metode yang ditawarkan oleh an-Nahlawi sebagai cara menanamkan jiwa keagamaan dan keimanan dalam proses pendidikan.51
48
Ibid., h. 75-76. Abdurrahman, op.cit. h. 187. 50 Zuhri, loc.cit. 51 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 144 49
55
Dikutip dari Muhammad Muhammad Badri, cerita atau kisah dapat memberi pengaruh pedagogis kepada anak yaitu keterlibatan emosional. Dalam menyikapi sebuah cerita, biasanya perasaan dan emosi peserta didik hanyut ke dalam karakter tokoh cerita yang bersangkutan. Peserta didik merasa senang ketika tokoh cerita itu menang, merasa gelisah ketika tokoh cerita itu terancam, dan seterusnya. Jadi seakan-akan semua kejadian yang terjadi di dalam cerita yang sedang dituturkan benar-benar terjadi pada diri peserta didik. Di dalam cerita ditemukan rangkaian kejadian dalam bentuk tokoh-tokoh yang bergerak dengan hati serta merangsang pendengaran dan pikiran yang pada tahap selanjutnya ia juga akan mempengaruhi kesadaran dan panca indera untuk terus mengikuti cerita yang disimak. Jika ternyata akhir cerita menyenangkan, maka hati para penyimak merasa senang dan tenang. Tetapi jika akhir cerita menyedihkan, maka mereka mengambil pelajaran dan hikmah dari cerita tersebut. Dengan demikian, secara tidak langsung cerita dapat mengarahkan para penyimaknya menuju akhlak yang luhur, perilaku yang baik dan pola pikir yang tepat.52 Lebih bijaksana lagi, jika setelah menyampaikan dan meyuguhkan cerita, seorang pendidik menyampaikan hikmah di balik cerita tersebut yang berkenaan dengan perilaku baik atau buruk.53
3. Ketegasan Tahap ketiga. Melalui surat Âli „Imrân ayat 130, secara tegas Allah swt. melarang umat muslim untuk memakan riba seperti yang dipraktekkan oleh orang-orang jahiliyah. Riba ini dikatakan juga sebagai riba fâhisy (keji). Mereka memungut riba dengan cara memberi tenggang waktu pelunasan utang. Jika utang sudah jatuh tempo, maka ada dua kemungkinan: dibayar atau dibungakan. Jika dibayar, maka selesai urusannya. Jika tidak dibayar, maka dikenakan bunga baik berupa masa
52 53
Badri, op.cit., h. 366-367. Ibid., h. 373.
56
penangguhan maupun ukurannya.”54 Akibatnya, orang yang tidak mampu akan kehilangan uang habis-habisan. Tidak hanya berbentuk uang, mereka juga melakukan riba terhadap umur binatang. Jika binatang yang dipinjamkan adalah bintu makhâđ (unta betina umur 1 tahun), maka pengembaliannya dengan bintu labûn (unta betina umur 2 tahun), kemudian hiqqah (unta betina umur 3 tahun), kemudian jiż‟ah (unta umur 4 tahun), lalu rubâ‟iy (unta umur 6 tahun), dan seterusnya.55 Praktek riba ini menimbulkan banyak kemudharatan. Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Hayśami sebagaimana dikutip oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan: a. Riba merupakan pelanggaran terhadap kesucian harta seorang muslim yang mengambil kelebihan atau tambahan tanpa dibarengi adanya pertukaran atau penggantian. b. Riba berdampak buruk sekali terhadap fakir miskin. Karena pada umumnya hanya orang kaya-lah yang meminjamkan uangnya sedangkan yang meminjam adalah orang yang miskin. Apabila si kaya tetap dibiarkan mengambil atau menerima lebih banyak, maka hal yang demikian akan sangat merugikan si miskin. c. Riba mengakibatkan terputusnya nilai-nilai luhur kebaikan yang ada dalam pinjam meminjam uang atau utang piutang. Apabila dihalalkan untuk meminjam satu dirham dengan dua dirham, pastilah tidak akan ada yang mau meminjamkan satu dirham kemudian dikembalikan satu dirham saja. d. Riba mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki, perniagaan, keterampilan dan industri, sehingga kemaslahatan dan kelestarian alam tidak akan terwujud. Hal ini disebabkan apabila seseorang dapat memperoleh dua dirham dengan hanya menyerahkan satu dirham maka ia tidak mungkin mau mencari kepenatan dan
54 55
Ibnu Kaśîr, juz I, loc.cit. Aŝ-Ŝabâri, loc.cit.
57
bersusah payah mengais (mencari) rezeki atau bersabar dalam menghadapi kesulitan-kesulitan berdagang.56 Kemudaratan-kemudaratan ini menjadikan Allah swt. menetapkan keharaman hukum riba. Menurut asy-Syâŝibi, Allah swt. menetapkan syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-hambanya baik di dunia maupun di akhirat.57 Kemaslahatan ini berkaitan dengan terpeliharanya tujuan-tujuan bagi makhluknya. Tujuan-tujuan ini tidak terlepas dari tiga bagian, yaitu: đarûriyyât, hâjiyyât, dan taẖsîniyyât. Đarûriyyât merupakan hal
yang harus ada dalam mewujudkan
kemaslahatan agama dan dunia. Jika tidak ada, maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan seimbang, menjadi hancur, kacau, dan hampa. Di akhirat kelak akan hilang keselamatan dan kenikmatan, serta mendapatkan kerugian yang nyata.58 Đarûriyyât ini terdiri dari pemeliharaan agama (hifť ad-dîn), pemeliharaan jiwa (hifť an-nafs), pemeliharaan akal (hifť al-„aql), pemeliharaan keturunan (hifť an-nasl), dan pemeliharaan harta (hifť al-mâl).59 Diharamkannya riba tentu akan terwujud kemaslahatan bagi manusia dalam pemeliharaan harta. Jika pemeliharaan harta sudah terjamin, maka aspek-aspek pemeliharaan lain pun akan terwujud. Karena pemeliharaan satu sama lain ini bersifat saling berkesinambungan. Ketegasan sangat penting dilakukan ketika hendak memperbaiki suatu perilaku. Ketegasan juga perlu diiringi dengan sanksi. Sanksi mengajarkan peserta didik melakukan perintah,60 memberikan pemahaman bahwa jika suatu perintah dipatuhi akan mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan hati diri sendiri. Setelah Allah swt. memberikan ketegasan kepada orang-
56
Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, Perbedaan Jual Beli dan Riba, terj. dari al-Farqu bayna alBay‟ wa ar-Riba oleh A.M. Basalamah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), h. 43-44. 57 Abu Isẖâq asy-Syâŝibi, al-Muwâfaqaât fî Uşûli asy-Syarî‟ah, jilid II, (Beirut: Dâr alMa‟rifah), h. 6. 58 Ibid., h. 8. 59 Ibid., h. 10. 60 Badri, op.cit., h. 611.
58
orang mukmin, Dia melanjutkan dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah swt. agar mereka mendapatkan keberuntungan.
4. Pendisiplinan Tahap keempat adalah kembali secara tegas memerintahkan orangorang mukmin untuk meninggalkan riba sama sekali. Tahap ini terjadi karena meski sudah dilarang sebelumnya, masih ada yang mencoba mengambil riba yang belum dipungut pada masa jahiliah. Hal inilah yang terjadi pada Bani Amr bin Umair dari Śaqif dan Bani Muġîrah dari Bani Makhzûm. Bani Amr meminta hartanya (riba) dari Bani Muġîrah yang pernah terjadi pada masa jahiliah. Padahal, keduanya sudah memeluk agama Islam dan pelarangan riba telah sampai kepada keduanya. Bani Muġîrah
enggan
melakukan
riba
lagi
dalam
Islam
dan
akan
menggantikannya dengan usaha berdasarkan ajaran Islam. Kemudian „Utab bin Asid, pemimpin Makkah, melaporkan hal itu kepada Nabi Muhammad saw. dalam sepucuk surat. Maka diturunkanlah ayat yang menyuruh mereka dan orang-orang beriman lainnya untuk meninggalkan sisa-sisa riba. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah saw. melalui balasan surat yang dikirimkan kepada „Utab. Jika kedua Bani Amr dan Bani Muġîrah tidak mematuhinya, maka mereka akan diperangi oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Akhirnya mereka bertaubat dan benar-benar meninggalkan sisa riba.61 Penegasan larangan dan ancaman ini dilakukan karena pada saat itu jiwa mereka telah siap secara sempurna untuk menjauhi larangan. Menurut Ali Imron, pendidikan selain mengemban misi instruksional, sebenarnya juga mengemban misi normatif. Misi normatif ini lebih ditekankan pada pengikutan atas norma-norma tertentu bagi peserta didik, baik norma-norma yang menjadi tradisi di lembaga pendidikan maupun yang termuat dalam aturan-aturannya. Norma-norma dan aturan-aturan
61
Ibnu Kaśîr, juz I, loc.cit.
59
tersebut mengharuskan peserta didik untuk mengikutinya.62 Salah satu cara mengemban misi normatif adalah dengan pendisiplinan. Pada tahap penetapan hukum riba yang terakhir, pendisiplinan diberlakukan karena mengulangi perbuatan yang sudah dilarang. Sehingga apabila perintah ini tidak dipatuhi, Allah swt. mengancam mereka dengan peperangan. Maksud dari peperangan sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam kajian tafsir adalah mendapat murka dari Allah swt. dan perlawanan dari Nabi Muhammad
saw.
ketika
beliau
masih
hidup.63
Ini
merupakan
“peperangan” yang menjadi ancaman di dunia. Sedangkan, di hari Kiamat Allah swt. akan mengatakan, “ambillah senjatamu dan bersiaplah untuk perang!” kepada para pemakan riba.64
Implikasi nilai-nilai pendidikan yang didapat dari proses penetapan hukum riba dapat penulis berikan contoh ketika pembelajaran di kelas. Misalnya saat menerapkan larangan mencontek ketika ujian. Tahap pertama, guru memberikan pemahaman kepada siswa bahwa mencontek memang akan memudahkannya mendapatkan nilai yang tinggi tanpa perlu bersusah payah belajar di rumah. Tetapi kalau tidak mencontek dan mengerjakan ujian dengan jerih payah sendiri akan lebih menguntungkan. Mengasah otak dalam berpikir, memahami ilmu pengetahuan, mengetahui kemampuan diri sendiri. Guru memberikan pemahaman bahwa mendapatkan nilai itu penting. Tapi jauh lebih penting jika suatu ilmu sudah melekat di dalam otak manusia dengan cara tekun belajar baik selama hari-hari di kelas maupun sebelum ujian. Tahap kedua, guru memberikan cerita-cerita yang memotivasi siswa untuk bisa berusaha sendiri. Seperti contoh yang dikemukakan oleh Muhammad Muhammad Badri, guru dapat menceritakan kepada siswa tentang kemenangan kaum muslimin di dalam pertempuran-pertempuran al62
Ali Imron, Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h.
163. 63 64
Al-Marâġi, juz III, loc.cit. Al-Qurŝubi, juz III, loc.cit.
60
Qadîsiyyah, Yarmuk, dan „Ain Jâlût. Dengan menegaskan kepada siswa bahwa semua kemenangan gemilang di masa lalu itu dapat terjadi karena mengikuti sebuah sunnatullah yang tetap bahwasanya keberhasilan untuk mencapai sebuah tujuan selalu berkaitan dengan cara dan media untuk mencapai tujuan tersebut. Keberhasilan buka hasil sulap yang tidak memerlukan ikhtiar.65 Atau menceritakan kisah-kisah para ilmuwan-ilmuwan muslim yang sangat gigih mencari ilmu walau satu ayat atau satu riwayat hadits. Hingga buah karyanya masih dipelajari oleh umat muslim hingga saat ini. Hal ini tidak lain karena keberkahan yang didapat dari menghormati dan menghargai suatu ilmu. Tahap ketiga, guru memberikan peringatan kepada siswa untuk tidak mencontek selama ujian berlangsung, melakukan kesepakatan kepada siswa terkait hukuman-hukuman yang akan diberikan jika melanggar aturan. Kemudian guru meinta siswa untuk menata kursi-kursi mereka agar tidak terlalu dekat satu sama lain dan mengawasi mereka. Tahap terakhir, guru bersikap tegas kepada siswa yang ketahuan mencontek. Menerapkan hukuman-hukuman yang sudah disepakati antara guru dan siswa. Hal ini dilakukan agar siswa merasa jera dan tidak lagi mencontek. Contoh lain, pendidikan yang dilakukan di rumah. Ketika orang tua memerintahkan anaknya untuk melaksanakan shalat, hal ini juga perlu tahapan dalam menerapkannya. Seperti yang sudah diajarkan dalam hadits Rasulullah saw.
ِ ِ ال أَبُو َد ُاود َوُى َو َ َيل َع ْن َس َّوا ٍر أَِب ْحََْزَة ق َّ َحدَّثَنَا ُم َؤَّم ُل بْ ُن ِى َش ٍام يَ ْع ِن الْيَ ْش ُك ِر ُ ي َحدَّثَنَا إ َْسَع ٍ ِف َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي ول ُ ال َر ُس َ َب َع ْن أَبِ ِيو َع ْن َجد ِه قَا َل ق َّ َُّس َّو ُار بْ ُن َد ُاوَد أَبُو ْحََْزةَ الْ ُمَزِِن ُّ ِالصْي َر ِ َّ ِاللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم مروا أَوَل َد ُكم ب ِِ وى ْم َعلَْي َها َوُى ْم ْ ني َو َ الص ََلة َوُى ْم أَبْنَاءُ َسْب ِع سن ُ ُاض ِرب َ ْ ْ ُُ َ َ َ ْ َ ُ ِ ضاج ِع َ أَبْنَاءُ َع ْش ٍر َوفَرقُوا بَْي نَ ُه ْم ِِف الْ َم Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam al-Yasykûri telah menceritakan kepada kami Ismâ'îl dari Sawwâr Abu Ḫamzah berkata Abu Dâwud; Dia adalah Sawwâr bin Dâwud Abu Ḫamzah al-Muzâni aş65
Badri, op.cit., h. 375.
61
Şairafi dari „Amr bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya."66 Tahap pertama, sejak anak bisa berjalan dan mengerti sampai menginjak usia tujuh tahun, anak mencontoh orang tuanya shalat, sehingga ia terlatih dan terbiasa. Tahap kedua, tahap perintah. Orang tua memerintahkan anak mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun sampai usia sepuluh tahun. Tahap ketiga, tahap pemukulan diterapkan pada anak sejak anak berusia sepuluh tahun dan seterusnya. Apabila ia tidak shalat maka ia harus dipukul.67 Pemukulannya pun secara bertahap dimulai dari anggota tubuh yang paling bawah. Mula-mula memukul kakinya, jika belum patuh, maka lututnya, begitu seterusnya semakin ke atas hingga terakhir baru kepalanya. Dalam menerapkan tahap-tahap ini, hendaknya orang tua juga mendoakan anakanaknya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as. “Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrâhîm [14]: 40) Tahapan-tahapan ini tentu membawa dampak yang baik terhadap jiwa anak dan kepatuhannya. Karena pada saat-saat itu seorang anak sedang dalam masa pertumbuhan. Inilah bukti bahwa mendidik secara bertahap merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah swt. Karena dengan kasih sayang, pendidikan akan lebih efektif dalam mengarahkan dan membimbing dan membuat peserta didik patuh kepada seorang pendidik.68 Seorang pendidik harus tahu bahwa pendidikan harus dilakukan secara terus menerus tanpa lelah untuk 66
Abu Dâwud Sulaiman bin al-Asy‟aś as-Sijistâni, Sunan Abî Dâwud pada Kitab “aş-Şalâtu”, Bab “Matâ Yu‟maru al-Ġulâmu bi aş-Şalâti”, (t.tp.: Bayt al-Afkâr ad-Dawliyah, t.t.), h. 77. 67 Badri, op.cit., h. 590. 68 Ibid., h. 577.
62
membersihkan „kotoran-kotoran‟ pada diri peserta didik. Penyimpanganpenyimpangan itu tidak mugkin diubah sekejap saja karena ia bagaikan benang kusut yang harus diurai sedikit demi sedikit atau bagaikan noda yang meresap ke dalam tenunan yang harus dicuci terus menerus.69
69
Ibid., h. 600-601.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang penulis lakukan mengenai nilai-nilai pendidikan dalam proses penetapan hukum riba di dalam al-Qur’ân, dengan mengkaji al-Qur’ân surat ar-Rûm: 39, an-Nisâ’: 160-161, Âli ‘Imrân: 130, dan al-Baqarah: 278-279, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam menetapkan hukum riba, Allah swt. menggunakan metode tadarruj fî at-tasyrî’ (proses bertahap dalam menetapkan hukum). Dimulai dari tahap pertama yang dijelaskan dalam surat ar-Rûm ayat 39, Allah swt. membandingkan perbuatan riba dengan perbuatan zakat. Riba merupakan perbuatan yang sia-sia yang tidak mendapatkan keuntungan, sedangkan zakat merupakan perbuatan yang menguntungkan, karena selain memiliki fungsi sosial, kelak di akhirat akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Tahap kedua, dijelaskan dalam surat an-Nisâ’ ayat 160-161. Pada ayat ini, meskipun secara tidak tegas Allah swt. melarang umat Islam menjalankan riba, tetapi Allah swt. memberi tahu bahwa riba yang dipraktekkan orang Yahudi telah menyebabkan Allah swt. murka sehingga mereka dilarang untuk makan makanan-makanan yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Tahap ketiga dalam surat Âli ‘Imrân ayat 130, Allah swt. mulai mengharamkan secara mutlak praktik riba yang berlipat ganda sebagaimana yang dipraktikkan oleh orang-orang jâhiliyyah. Tahap terakhir, Allah swt. mengharamkan riba secara total dan memerintahkan manusia untuk meninggalkan sisa-sisa riba. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 278-279. 2. Nilai-nilai pendidikan yang dapat diidentifikasi dari proses penetapan hukum riba adalah bahwa pendidikan adalah proses pengembangan potensi
63
64
yang dimiliki oleh peserta didik dengan dilakukan secara bertahap, terus menerus tanpa lelah untuk membersihkan ‘kotoran-kotoran’ pada diri peserta didik. Melalui proses penetapan hukum riba, Allah swt. telah menunjukkan
cara
memperbaiki
kebiasaan
buruk
manusia
dan
menuntunnya untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Dimulai dari tahap membimbing dengan memberikan pemahaman kepada peserta didik, kemudian menyampaikan dengan cerita atau kisah agar bisa diresapi dan diambil pelajarannya, setelah itu pendidik memberikan ketegasan dengan memberikan perintah atau larangan, setelah itu ditindaklanjuti dengan pendisiplinan.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan dan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti dapat memberikan saran, yaitu: 1. Bagi Sekolah Sekolah memiliki aturan-aturan normatif yang harus dipatuhi oleh segenap warga sekolah. Untuk menerapkan aturan tersebut, hendaknya sekolah memiliki prosedur-prosedur yang dapat diterima dan dijalankan oleh warga sekolah. Seperti dalam memberikan hukuman, hendaknya dimulai dari sosialisasi mengenai hal-hal yang dilarang untuk dilakukan di sekolah, alasan-alasan
mengapa
hal
tersebut
dilarang, kemudian
memberikan konsekuensi hukuman mulai dari yang bersifat ringan hingga yang berat. 2. Bagi Orang Tua Orang tua sebagai pendidik pertama bagi kehidupan anak mempunyai peran dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini bisa dimulai dengan bimbingan dibarengi dengan pengawasan yang baik, memberikan pemahaman-pemahaman cara berperilaku yang baik dengan berdialog, bercerita. Di samping itu, orang tua perlu juga memberikan teladan. Ketika anak melakukan kesalahan, hendaknya orang tua memulai dari menyampaikan nasihat-nasihat yang mudah dipahami, memberitahu
65
perilaku lain yang boleh dilakukan, kemudian memberikan ketegasan terhadap hal-hal yang dilarang, barulah menerapkan kedisiplinan dengan hukuman-hukuman.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012. Badri, Muhammad Muhammad. Sentuhan Jiwa Untuk Anak Kita. Bekasi: Daun Publishing, Cet. II, 2015. Al-Bukhâri, „Abdullâh bin Muẖammad bin Ismâ‟îl bin Ibrâhîm bin Bardizbah alYâfi‟i. Şahîh Bukhâri. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Departemen Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2009. Echols, John M., dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia dari judul asli An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. XXVI, 2005. Elmubarok, Zaim. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta, Cet. II, 2009. Al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, terj. dari al-Bidâyah fî at-Tafsîr al-Mauđû’i: Dirâsah Manhajiyyah Mauđû’iyyah oleh Rosihon Anwar. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002. Al-Fauzan, Shaleh bin Fauzan. Perbedaan Jual Beli dan Riba, terj. dari al-Farqu bayna al-Bay’ wa ar-Ribâ oleh A.M. Basalamah. Jakarta: Pustaka AlKautsar, 1997. Hajjâj, Al-Imâm al-Hâfiť Abî al-Husain Muslim bin. Şahîh Muslim. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999. Hawkins, Joyce M. Kamus Dwibahasa Oxford-Erlangga. Jakarta: Erlangga, 1996. Hidayati, Heny Narendrany. Bahan Ajar Metodologi Penelitian Pendidikan. Power Point, slide VII. Imron, Ali. Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.
66
67
Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Amzah, 2009. Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. IV, 2011. Lathif, Azharudin. Fiqih Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Al-Marâġi, Aẖmad Musţafâ. Tafsîr al-Marâġi, Juz. III, IV, VI. tt.p.: t.p., t.t. Mujieb, M. Abdul. dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994. Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah, 2013. Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012. Nugroho SBM. Masalah dan Kebijakan Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Kelembagaan di Indonesia, Jurnal Bisnis Strategi. 17, 2008. Pena, Tim Prima. Kamus Besar Bahasa Indonesia. tt.p.: Gitamedia Press, t.t. Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Al-Qarđâwi, Yûsuf. al-Ḫalâl wa al-Ḫarâm fî al-Islâm. Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. II, 1997. ------, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj. dari Daur alQiyâm wa al-Akhlâq fî al-Iqtişâdi al-Islâmi oleh Didin Hafidhuddin, dkk. Jakarta: Robbani Press, 1997. -----, Bunga Bank, Haram, terj. dari Fawâid al-Bunûk Hiya ar-Ribâ al-Ḫarâm oleh Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Al-Qaţţân, Mannâ‟ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. dari Mabâhiś fî ‘Ulûmi al-Qur’ân oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. XVI, 2013. Al-Qurţubi, Abû „Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad al-Anşâri. al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Juz. III, IV, VI, XIV. t.tp.: t.p, t.t. Al-Qurâsyi, Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibnu Kaśîr. Tafsîr Ibnu Kaśîr, Juz. I, III. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.
68
Rangkuti, Khairunnisa. “Swasembada Beras pada Masa Orde Baru: Sebuah Perspektif dari Sisi Enforcement Negara”, www.kompasiana.com, 17 November 2016. Rasyid, Harun., dan Mansur. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: CV Wacana Prima, 2009. As-Sa‟di, Abdurrahman bin Naşir. Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, terj. dari al-Qawâ’id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân oleh Abd. Rahman Dahlan. Bandung: Mizan, Cet. II, 1998. Sâbiq, Sayyid. Fiqhu as-Sunnah, jilid. III. Kairo: Al-Fatẖu li al-I‟lâm al-„Araby, t.t. Sae, Mr. “Swasembada Pangan dihadang Permasalahan”, www.kompasiana.com, 17 November 2016. Sahrani, Sohari., dan Abdullah, Ru‟fah. Fikih Muamalah. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011. Saidi, Zaim. “Jerat Utang Runtuhkan Khilafah”, www.wakalanusantara.com, 10 November 2016. Saleh, Marhamah. “Hukum Riba, Bunga Bank, dan https://marhamahsaleh.wordpress.com, 13 Desember 2016.
Asuransi”,
Aş-Şâlih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. dari Mabâhiś fî ‘Ulûmi alQur’ân oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, 10. Jakarta: Lentera Hati, 2002. As-Sijistâni, Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‟aś. Sunan Abî Dâwud. t.tp.: Bayt al-Afkâr ad-Dauliyah, t.t. Silver, Harvey F. dkk. Strategi-strategi Pengajaran: Memilih Strategi Berbasis Penelitian yang Tepat untuk Setiap Mata Pelajaran, terj. dari The Strategic Teacher: Selecting the Right Research-Based Strategy for Every Lesson oleh Ellys Tjo. Jakarta: PT Indeks, 2012. Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia, Cet. IV, 2007. Sukardjo M., dan Komarudin, Ukim. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, Cet. IV, 2012.
69
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013. Syaripudin, Tatang. Landasan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Cet. II, 2012.
Jenderal
Asy-Syâţibi, Abû Isẖâq. al-Muwâfaqât fi Uşûli asy-Syarî’ah, Jilid II. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah. Aţ-Ţabâri, Abû Ja‟far Muẖammad bin Jarîr. Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli Ãyi alQur’ân, Juz. IV. tt.p.: Dâr al-Fikr, t.t. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Spoken Languages Services, Cet. III, 1976. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008. Zaid, Abdul Azhim Jalal Abu. Fiqih Riba: Studi Komprehensif Tentang Riba Sejak Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, terj. dari Fiqh ar-Ribâ: Dirâsât Muqâranah wa Syâmilah li at-Taţbîqât al-Mu’âşirah oleh Abdullah. Jakarta: Senayan Publishing, 2011. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. II, 2008. Az-Zuẖaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islâmiy wa Adillatuhu, jilid IV. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985. Zuhri, Muh. Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996.
RIWAYAT HIDUP PENULIS Syifa Alawiyah, lahir di Desa Kadu, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, pada 30 Juli 1995 dari pasangan H. M. Aliyullah S.Ag. S.Pd.I dan Ummu Humairoh. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1999 di TKQ al-Alawiyah, Kadu. Kemudian menduduki bangku Madrasah Ibtidaiyah al-Husna Kadu pada tahun 2000 s.d. 2006. Setelah itu, melanjutkan sekolah ke Bogor dimulai pada tahun 2006 s.d. 2009 di Madrasah Tsanawiyah Darut Tafsir dan 2009 s.d. 2012 di Madrasah Aliyah Darut Tafsir. Di samping itu, penulis juga menuntut ilmu di Madrasah Diniyah selama 6 tahun di sana. Dari Bogor, penulis meneruskan menuntut ilmu ke Ciputat, Tangerang Selatan untuk mengenyam pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) dan memilih Pendidikan Agama Islam sebagai jurusannya pada tahun 2012. Sambil kuliah, penulis mengaji selama 3 (tiga) tahun di Pondok Pesantren Luhur Sabilussalam, Ciputat Timur.