NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ISTRI SHALIHAH (Telaah Qur’ân Surat Al-Nisâ’ ayat 34, 35, 36 dan Al-Ahzâb ayat 59)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Pendidikan Agama Islam
Oleh HIMA NURUSSHOFIATI NIM 111 09 121 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013
ii
MOTTO
ORA ET LABORA Artinya Berusaha dan Berdo’a
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Bapak Nurhamid dan Ibu Shofiyah tercinta yang menjadi pendidik pertama bagi saya dengan segala pengorbanan serta do‟a tulus yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan putri tercintanya, semoga Allah senantiasa meridhoi. 2. Bapak K.H. Syamsudin, Ibu Nyai Siti Fatimah, Bapak K.H. Ali Mahsun M.Ag, Bapak Kyai Ahmad Hambali, dan Ibu Nyai Siti Muyasaroh yang senantiasa memberikan semangat dan mau‟idhoh hasanahnya untuk terus belajar. 3. Kakakku tersayang, Siti Maftuhatul‟arifah, M. Nashrun Jamil, Umami Amiroh yang tak pernah lelah memberikan dukungan, bimbingan dan nasehat. 4. Adikku tercinta “Muhammad Syukron Hamid” yang semoga menjadi anak yang shalih yang dapat memberi manfaat bagi keluarga dan sekitarnya. 5. Kakak iparku tercinta Mas Barok dan Mbak Anti yang telah memberikan banyak bantuan baik berupa moril maupun materiil syukron katsiir. 6. Keponakanku yang lucu dan unyu “Abim dan Naura” semoga kelak menjadi generasi Rabbani yang shalih dan shalihah. 7. Untuk sahabatku Fani Farida, Khabibah Tri Nurlaili, Rahmawati Purwandari dan Sawitriyani yang selalu memberikan motivasi dalam belajar dan setia menemani dalam suka maupun duka. vii
8. Untuk Alfaris azra yang telah mencurahkan waktu dan tenaga, selalu setia menemani hari-hariku, memberi dukungan dan semangat kala terjatuh, menasehati kala hilaf, serta memberi motivasi tuk terus berprestasi. 9. Sahabat-sahabatku keluarga besar Pondok Pesantren Putra Putri An-Nida terutama; Mbak Ria, Dek Wahyu, Dek Ayu, Dek Intan, Dek Mirza, Dek Raras, Dek Rifka, Mbak Nafis, dan Mbak Zhu jazakumullah bantuannya, semoga menjadi mar‟atusshalihah 24 karat. 10. Keluarga besar JQH STAIN Salatiga yang tiada lelah untuk membagi ilmuilmu al-Qur‟ân. 11. Teman-teman angkatan 2009 terutama PAI kelas D, merekalah teman dalam merintis perjuangan ini dan yang selalu memberi motivasi dalam penulisan ini. 12. Ustadz/ustadzah TPQ “An-Nida” dan santriwan-santriwati yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 13. Keluarga kecil KKN, yaitu Kak Cecep, Mas Aji, Uki, Azizi, Mbak rifa, Ella, Viroh, Anisa, lanjutkan perjuangan semoga berhasil.
viii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat penguasa alam Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Tak henti-hentinya shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi Agung Muhammad Saw, yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh barokah. Berkat anugerah dari Allah SWT, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna memperoleh gelar sarjana dalam Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga. Juga tak lupa penulis sampaikan ucapan jazakumullah khairan katsîran serta penghargaag setinggi-tingginya kepada: 1.
Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku ketua STAIN Salatiga.
2.
Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si. selaku Ketua Program Studi PAI.
3.
Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang dengan tulus meluangkan waktu dan sabar untuk membimbing dan mengarahkan dalam penulisan skripsi ini.
4.
Eva Palupi, S.Psi. selaku dosen pembimbing akademik penulis yang membantu penulis selama menuntut ilmu di STAIN Salatiga. ix
5.
Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan seluruh Sivitas Akademika STAIN Salatiga yang telah banyak membimbing dan membantu dalam penyelesaian skripsi.
6.
Bapak dan Ibunda tercinta yang selalu tulus dan ikhlas mencurahkan segalanya demi penulis, serta kakak dan adikku tersayang; (Mbak Arif, Mas Jamil, Mbk Ir, Syukron) yang senantiasa mengiringi penulis dengan do‟a.
7.
Pengasuh Ponpes An-Nida Salatiga KH. Syamsudin, dan segenap dewan asatidz Ponpes dan TPQ An-Nida yang selalu memberi semangat dalam menuntut ilmu.
8.
Pengurus Ponpes An-Nida putra putri yang telah memberikan perhatian yang lebih dan fasilitas yang memadai kepada penulis.
9.
Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu penulisan skripsi ini. Semoga amal serta kebaikan yang telah dicurahkan pada penulis diterima
Allah SWT sebagai amal ibadah yang mendapat amalan balasan yang berlipat ganda. Demikian kiranya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi wacana keilmuan baru bagi para pembaca. Dan sebagai manusia biasa penulis menyadari akan banyaknya kekurangan, maka kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
x
ABSTRAK Nurusshofiati, Hima. 2013. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah (Telaah Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. Kata kunci: Nilai, Pendidikan Akhlak, Istri Shalihah. Krisis akhlak yang menimpa negeri ini telah menyadarkan kita semua untuk berlomba-lomba memperbaikinya, minimal dimulai dari diri sendiri. Kembali kepada ajaran al-Qur‟ân dan al-Sunnah merupakan solusi yang tepat dalam penyelesaian krisis akhlak ini untuk itu dipilihlah pokok permasalahan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dan relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam ayat tersebut dikaitkan dengan konteks kekinian. Pemilihan ayat-ayat tersebut diyakini mengandung ajaran akhlak luhur menuju mar‟atusshalihah yang dapat disosialisasiakan umat Islam dalam berinteraksi antar sesama mereka. Penelitian berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah (Telaah Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59).” Bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dan relevansin nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam ayat tersebut dikaitkan dengan konteks kekinian. Penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan, peneliti menelaah buku-buku kepustakaan yang relevan dengan judul skripsi ini. Penelitian sastra yang berobjek bahasa difokuskan pada penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi; penelitian sastra yang berobjek isi difokuskan pada nilai-nilai manfaat atau kegunaan karya sastra dalam kehidupan manusia, sedangkan penelitian yang berobjek estetis diarahkan pada kajian keberadaan karya sastra sebagai karya seni yang mengandung nilai kehidupan. Berdasarkan penelitian ini, maka kami menyimpulkan bahwa: Pertama, nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan alAhzâb ayat 59, antara lain: Taat kepada Allah, taat kepada suami, berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, anak yatim dan fakir miskin, tetangga, teman sejawat, ibnu sabil, para budak serta perintah memakai jilbab. Kedua, pendidikan akhlak istri shalihah dalam ayat tersebut masih sangat jauh dari kata relevan dengan konteks pendidikan akhlak masa sekarang (kekinian) dan memang sangat penting untuk dikembangkan.
xi
DAFTAR ISI JUDUL .......................................................................................
i
LOGO STAIN .............................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
iii
PENGESAHAN ..........................................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................
v
MOTO .........................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .......................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................
viii
ABSTRAK ..................................................................................
xi
DAFTAR ISI ...............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Rumusan Masalah...................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
7
D. Penegasan Istilah ....................................................................
7
E. Manfaat Penelitian ..................................................................
11
F. Metode Penelitian ...................................................................
12
G. Sistematika Penulisan .............................................................
14
xii
BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ISTRI SHALIHAH DALAM AL-QUR’ÂN SURAT AL-NISÂ’ AYAT 34, 35, 36 DAN AL-AHZÂB AYAT 59 A. Tinjauan Teoritis Pendidikan Akhlak Istri Shalihah Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb ayat 59.......................
16
1. Pengertian Pendidikan Akhlak ...........................................
16
2. Tujuan Pendidikan Akhlak .................................................
19
3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ...................................
21
4. Signifikansi Pendidikan Akhlak .........................................
22
B. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam al-Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb ayat 59 .............
24
1. Nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam Q.S al-Nisâ‟ ayat 34 ................................................................................
24
2. Nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam Q.S al-Nisâ‟ ayat 35 ................................................................................
33
3. Nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam Q.S al-Nisâ‟ ayat 36 ................................................................................
34
4. Nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam Q.S al-Ahzâb ayat 59 ................................................................................
41
C. Asbabun Nuzul al-Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 ..............................................................
44
1. Asbabun Nuzul Q.S al-Nisâ‟ ayat 34 dan 35 .....................
44
xiii
2. Asbabun Nuzul Q.S al-Nisâ‟ ayat 36 .................................
45
3. Asbabun Nuzul Q.S al-Ahzâb ayat 59 ...............................
46
BAB III RELEVANSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ISTRI SHALIHAH DALAM AL-QUR’ÂN SURAT AL-NISÂ’ AYAT 34, 35, 36 DAN AL-AHZÂB AYAT 59 A. Budaya Barat sebagai Arus Globalisasi Modern ...................
48
B. Realitas Masa Kini .................................................................
51
1. Berpakaian Namun Telanjang ..........................................
51
2. Nilai Seorang Istri Shalihah..............................................
54
3. Busana Muslimah Masa Kini ...........................................
55
4. Tabarruj Jahiliyah yang Modis dan Trendi ......................
58
5. Sensualitas Wanita............................................................
62
C. Menjaga Kemuliaan dan Kesucian Istri Shalihah ..................
64
1. Istri Wajib Taat kepada Suami dalam Kebaikan ..............
64
2. Menjaga Harta Suami .......................................................
67
3. Berhias Untuk Suami ........................................................
68
D. Nusyûz dalam Kehidupan Rumah Tangga .............................
69
1. Definisi Nusyûz.................................................................
70
2. Solusi Bagi Istri yang Nusyûz ...........................................
70
E. Penyelesaian Perselisihan antara Suami dan Istri ..................
71
F. Istri Shalihah Harus Berakhlak Mulia ....................................
73
1. Beribadah kepada Allah SWT .........................................
74
xiv
2. Berbuat Baik kepada Kedua Orang Tua ..........................
75
3. Berbuat Baik kepada Kerabat ..........................................
75
4. Berbuat Baik kepada Anak Yatim ...................................
76
5. Berbuat Baik kepada Fakir Miskin ..................................
76
6. Bernuat Baik kepada Tetangga ........................................
76
7. Bernuat Baik kepada Teman Dekat .................................
77
8. Berbuat Baik kepada Ibnu Sabil ......................................
77
9. Berbuat Baik kepada Budak ............................................
77
G. Penggunaan Jilbab..................................................................
78
BAB IV TAFSIR SURAT AL-NISÂ’ AYAT 34, 35, 36 DAN AL-AHZÂB AYAT 59 A. Tafsir Surat al-Nisâ‟ dan al-Ahzâb .........................................
81
1. Tafsir Surat al-Nisâ‟ Secara Umum .................................
81
2. Tafsir Surat al-Ahzâb Secara Umum ...............................
82
B. Pandangan Mufassir Tentang Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 ..............................................................
83
1. Penafsiran Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dalam Tafsir Ibnu Katsir ......................................
83
2. Penafsiran Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dalam Tafsir al-Misbah ........................................ C. Perbedaan Metode Penafsiran antara Para Mufassir ..............
xv
97 117
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................
118
B. Saran .......................................................................................
119
C. Penutup ..................................................................................
120
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 2
Daftar Nilai SKK
Lampiran 3
Lembar Bimbingan Skripsi
Lampiran 4
Riwayat Hidup Penulis
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapanpun. Allah SWT telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh problem mahluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satupun yang dirugikan. Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai sengan fitrah manusia, sebab Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia. Dia Mahatahu atas hakikat mahluk yang diciptakan-Nya. Islam memandang bahwa kebahagiaan dan kemuliaan seseorang tidak diukur
dari materi. Di tangan wanitalah
tergenggam masa depan umat, karena ia adalah tiang Negara, yang menentukan runtuh atau tidaknya sebuah Negara atau masyarakat. Dalam Islam, peran wanita sebenarnya begitu tinggi, mulia, dan terhormat. Tentu saja sepanjang wanita tersebut senantiasa berusaha menjadi seorang wanita yang shalihah (Hidayat, 2008: 3). Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
الدً٘ا هراع ّخ٘سهراػِاالوساءج: لال.م. ػي ػثدهللا تي ػوسّاى زسْل هللا ص الصالحاخ Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (Muslim, 1992/Bab 17/ jilid II: 59).
Wanita shalihah tidak mau kekayaan termahalnya berupa iman akan rontok. Dia juga memerhatikan kualitas kata-katanya. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya justru bersumber dari kemampuannya menjaga diri. Pada prinsipnya, wanita salihah itu adalah wanita yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia kenakan. Justru ia selalu menjaga kecantikannya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan suatu saat bisa menjadi anugrah yang bernilai. Akan tetapi, jika tidak hatihati, kecantikan bisa menjadi sumber masalah yang akan menyulitkan dirinya sendiri (Hidayat, 2008: 15). Kecanggihan dunia modern dengan teknologi dan informasinya, ternyata tidak diikuti kemajuan dibidang akhlak. Dunia semakin maju tetapi disisi lain manusia kian terbelakang. Manusia berhasil mencapai cita-citanya di dunia, tapi ia gagal memikirkan nasib dirinya di akhirat kelak. Ironisnya, kemunduran akhlak ini juga melanda para generasi Islam khususnya para wanita yang merupakan tulang punggung perjuangan Islam dikemudian hari (Al-Ghifari, 2004: 5). Wanita adalah makhluk yang kerap menjadi korban komoditi dan mode. Beragam kosmetik, perfum bermerk, hingga model pakaian yang lagi tren dengan mudah menjajah tubuh mereka. Malangnya, dengan segala yang dikenakan itu, mereka tampil di jalan-jalan, mal-mal, atau ruang publik lainnya. Alhasil bukan pesona yang mereka tebar melainkan fithah.
Fenomena itu semuanya tidak hanya melanda para kaum wanita muda yang masih lajang, akan tetapi juga para wanita yang telah bersuami. Tidak hanya itu, banyak diantara mereka yang menjadikan para artis idola mereka sebagai sosok yang dijadikan panutan baik dari penampilan maupun tingkah laku, padahal dalam al-Qur‟ân sudah dijelaskan bahwa suri tauladan yang baik yaitu Nabi Muhammad Saw. Fakta dari fenomena yang ada merupakan wujud kesuksesan Yahudi dan Nasrani untuk menghancurkan akhlak generasi Islam dan menjauhkan mereka dari kaidah hukum Islam yang sebenarnya. Sangat disesalkan kenyataan yang kita dapatkan disekitar kita. Para muslimah yang masih mempunyai kesadaran berislam, walaupun mungkin setipis kulit ari masih menonjolkan keindahannya. Mereka justru bangga melakukannya, mungkin karena ketidak tahuan atau ketidak mau tahuan (Hidayat, 2008: 1). Gambaran diatas menunjukkan problematika akhlak yang melanda kaum wanita terutama seorang istri. Banyak wanita yang mengesampingkan tugas-tugas mereka dalam hal rumah tangga khususnya terhadap suaminya. Contoh kecilnya saja banyak dikalangan kaum wanita yang keluar rumah tanpa seijin suami mereka dengan alasan hanya ke warung atau ke rumah tetangga sebelah, tidak hanya itu banyak dari mereka yang ketika keluar dari rumah tidak menggunakan pakaian yang layak (menutup aurat) sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Q.S. An-Nur Ayat 31.
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau puteraputera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau puteraputera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(Q.S.An-Nur: 31). Wanita adalah tali penghubung antar keluarga, persendian anggota bangsa, serta tempat mengalirnya darah umat yang membangkitkan semangat hidup, dan gairah kerja. Wanita adalah tempat Allah menitipkan segala arti keindahan yang memukau. Dengan kecantikan, keindahan, dan kemanjaannya yang menawan, wanita menjadi tuan penguasa dan penakhluk semua hati. Dia adalah adalah teman yang jujur dan pendamping hidup pria dalam suka dan duka. Ketika seorang suami pulang menemui istrinya, setelah selesai melaksanakan tugas, pikirannya masih sarat dengan beban hidup dan pahit getirnya. Seorang isttri akan datang menyambutnya dengan belai kasih
sayang, serta menghadiahinya dengan senyuman manisnya sebagai obat penawar yang mengiringi pandangan memikat, yang masuk menembus relung-relung hati suami, sehingga dia melupakan pahit getir yang dialami. Istri shalihah adalah sebaik-baik pendamping hidup. Dia memperteguh suami dalam menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Seseorang yang selalu mendoakan kebaikan untuk suaminya, penawar kelelahan saat suami pulang kerja, penghibur suami saat suami sedang berduka, sahabat dalam ketaatan serta penyemangat dalam beramal shaleh. Siapa yang mampu menghibur suami pada saat dia dirundung duka, selain istri? (Sulastika, 2013: 21). Kembali kita menerangkan wanita shalihah yang dimaksud oleh Agama adalah sebagai mana dijelaskan dalam firman Allah Q.S.al-Nisâ‟: 34
... .... ... Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka).... Terlalu banyak peluang bagi seorang istri untuk beribadah kepada Allah dalam rumah tangganya dan terlalu mudah dalam memperoleh pahala dalam kehidupan suami istri. Namun sebaliknya terlalu mudah pula seorang istri terjerumus kepada dosa besar kalau melanggar ketentuan yang telah Allah gariskan. Yang perlu diingat oleh istri ialah agar berupaya mengikhlaskan niat hanya untuk Allah dalam melaksanakan kewajibannya sepanjang waktu. Menyenangkan Hati Suami Apabila diperintah oleh suaminya, istri diwajibkan untuk mentaati. Dan apabila suaminya tidak ada dirumah, istri harus pandai menjaga dirinya dan kehormatannya serta menjaga amanah harta
suaminya. Istri yang demikian ini akan dijaga oleh Allah sebagaimana Firman-Nya: “...maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara (mereka) sebagaimana firman Allah dalam Q.S.al-Nisâ‟: 34 di atas. Berangkat dari fenomena di atas, mendororng penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ISTRI SHALIHAH” (Telaah Qur’ân Surat Al-Nisâ’: 34, 35, 36, dan Al-Ahzâb 59). B. Rumusan Masalah Mengacu dari uraian di atas, maka selanjutnya penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Hal tersebut antara lain: 1.
Bagaimana nilai pendidikan akhlak yang di ajarkan dalam surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb 59?
2.
Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat alNisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb 59 dikaitkan dengan konteks kekinian?
C. Tujuan Penelitian Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat di tetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: 1.
Untuk memperoleh deskripsi tentang nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb 59.
2.
Untuk memperoleh deskripsi relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ayat 34, 35, 36 dan alAhzâb 59 dikaitkan dengan konteks kekinian.
D. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan terhadap judul penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini antara lain: 1.
Nilai Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya
tercermin
dalam
prilaku,
sikap,
dan
perbuatan-
perbuatannya (Maslikhah, 2009: 106). Sehingga, nilai dapat diartikan sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Poerwadarminta, 2006: 801). 2.
Pendidikan Akhlak Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 263). Pendidikan dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare”yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth). Sedangkan dalam arti luas pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala
situasi kegiatan kehidupan, yang kemudian mendorong segala potensi yang ada di dalam diri individu (Suhartono, 2006: 79). Sedangkan akhlak secara etimologis, kata akhlak adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab al-Akhlâq. Ia merupakan bentuk jamak dari kata al-Khuluq yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak. Selanjutnya arti ini sering di sepadankan (disinonimkan) dengan kata: etika, moral, kesusilaan, tata karma atau sopan santun (Abdul Halim, 200: 8). Dengan demikian, makna kata akhlak merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengistilahkan perbuatan manusia yang kemudian diukur dengan baik atau buruk. Dan dalam Islam, ukuran yang digunakan untuk menilai baik atau buruk itu tidak lain adalah ajaran Islam itu sendiri (al-Qur‟ân dan al-Hadîts) (Abdul Halim, 2000: 9). Secara terminologis, akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain (Abdul Halim, 2000: 12). Yang dimaksud pendidikan akhlak disini adalah suatu proses perbaikan, perawatan, dan pengurusan terhadap pihak yang dididik dengan
menggabungkan
unsur-unsur
pendidikan
khususnya
pendidikan akhlak sehingga ia menjadi matang dan mencapai tingkat sempurna yang sesuai dengan kemampuan. 3. Istri shalihah Istri adalah wanita atau perempuan yang telah menikah atau bersuami.(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 446). Shalihah dalam bahasa arab berasal dari kata صلحا- صلح – يصلح yang artinya baik, tidak rusak, tidak binasa, shaleh, patut, bermanfaat (Yusuf, 2007: 334). Shalihah sama artinya dengan saleh adalah sebutan untuk orang yang taat dan sungguh-sungguh menjalankan agamanya, suci hidupnya menurut agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 984). Penulis menyimpulkan istri shalihah adalah istri yang mengikuti peraturan yang ditentukan, atau ditetapkan oleh agama maupun masyarakat, dan tidak membuat kerusakan atau senang berbuat kebaikan, termasuk taat kepada suami. Yang dimaksud penulis adalah, dengan melalui pendidikan akhlak, diharapkan seorang perempuan yang bersuami dapat menjadi istri yang shalihah dengan mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut. 4.
Al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-ahzâb ayat 59. Surat al-Nisâ‟ (wanita) adalah surat ke empat setelah surat Ali„Imran dalam susunan al-Qur‟ân, yang terdiri dari 176 ayat, termasuk dalam golongan surat madaniyyah. Adapun ayat 34, 35, dan 36
menjelaskan tentang pendidikan akhlak seorang istri agar dapat menjadi istri yang shalihah. Sedangkan
surat
al-ahzâb
(orang-orang
yang
bersekutu)
merupakan surat ke tiga puluh tiga setelah surat as-Sajdah yang terdiri dari 73 ayat, termasuk dalam golongan surat madaniyyah. Adapun ayat 59 menjelaskan tentang perintah mengenakan jilbab bagi wanita. Jadi, maksud dari beberapa pengertian di atas adalah bahwasanya penulis ingin mengungkap nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, khususnya pendidikan akhlak istri shalihah. Dikaitkan dengan surat al-ahzâb ayat 59, karena dalam surat tersebut menjelaskan tentang perintah mengenakan jilbab bagi wanita. Sedangkan salah satu akhlak mulia istri shalihah adalah menutup aurat untuk menjaga kehormatannya. Sehingga, dengan demikian seorang istri bisa benar-benar menjadi pribadi yang benar-benar shalihah untuk suaminya.
E. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis a.
Memberikan sumbangan pemikiran ilmu pada umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya, terutama mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb 59.
b.
Penelitian ini ada relevansinya dengan Ilmu Agama Islam khususnya Program
Studi
Pendidikan
Agama
Islam,
sehingga
hasil
pembahasannya berguna menambah literature atau bacaan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam al-Qur‟ân surat alNisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb 59. c.
Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif
bagi
kaum hawa khususnya penulis untuk mengetahui dan mendalami serta mengamalkan nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan alAhzâb 59. 2.
Manfaat praktis Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan sebagi berikut: a.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para kaum wanita, calon istri, istri, dan kaum ibu dalam mensosialisasikan pendidikan akhlak wanita serta istri shalihah di masyarakat sesuai dengan aturan ajaran Islam.
b.
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan khususnya bagi para kaum hawa agar dapat mengaplikasikan pendidika akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Dengan skripsi ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan khusunya penulis sendiri. Amin.
F. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa tehnik untuk sampai pada tujuan penelitian.tehnik tersebut meliputi: 1.
Jenis penelitian. Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka (Hadi, 1983: 3). Dimana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis angkat. Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah: a.
Sumber data primer. Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan penelitian yaitu al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36dan al-Ahzâb ayat 59.
b.
Sumber data sekunder. Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumbersumber data primer. Sumber data sekunder di ambil dengan cara mencari, menganalisis buku-buku, internet, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
2.
Pendekatan penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan fenomenologis (Moelong, 1998: 9). Pendekatan ini digunakan untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya tentang akhlak istri shalihah.
3.
Tehnik pengumpulan data.
Untuk memeperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, ledger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1993: 234). Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir al-Qur‟ân dan Hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan. Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan kandungan makna alQur‟ân surat al-nisâ‟ dan surat al-ahzâb tentang nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah. 4.
Metode analisis. a.
Analisis maudhu‟i Analisis maudhu‟i adalah “Merumuskan tema masalah yang akan dibahas menghimpun menyusun dan menelaah ayat-ayat al-Qur‟ân , dan melengkapinya dengan Hadits yang relevan, menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sesudahnya dan menyusun kesimpulan sebagai jawaban al-Qur‟ân atas masalahmasalah yang dibahas” (Al-„Aridl, 1992: 88). Metode ini penulis gunakan untuk membahas ayat al-Qur‟ân surat alNisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan surat al-Ahzâb ayat 59, dan berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur‟ân yang lain dari berbagai surat yang
berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. b. Analisis deduksi. Metode deduksi adalah “berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian khusus”(Hadi, 1981: 36). Penerapan metode ini misalnya penulis gunakan untuk mencari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian akan ditarik kesimpulan agar bisa lebih memahami permasalahan yang ada. G. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam al-Qur‟ân surat al-nisâ ayat 34, 35, 36 dan al-ahzâb ayat 59. Pada bab ini dikemukakan tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an yang meliputi : pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan signifikansinya. Selanjutnya menjelaskan nilai-nilai pendidikan akhlak apa saja yang ada dalam al-Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59.
Bab III Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dikaitkan dengan konteks kekinian. Pada bab ini dikemukakan tentang relevansi nilainilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam al-Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 yang dikaitkan dengan konteks kekinian. Bab IV Tafsir Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59. Pada bab ini akan dibahas tentang tafsir al-Nisâ‟ dan al-Ahzâb secara umum, tafsir al-Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dalam Ringkasan tafsir Ibnu Kasir oleh dan tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan perbedaan metode penafsiran antara para mufassir. Bab V Penutup, Simpulan Dan Saran. Bab penutup yang memuat kesimpulan penulis dari pembahasan skipsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.
BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAQ ISTRI SHALIHAH DALAM AL-QUR’ÂN SURAT AL-NISÂ: 34, 35, 36 DAN ALAHZÂB: 59. A. Tinjauan Teoritis Pendidikan Akhlak Istri Shalihah surat al-Nisâ : 34, 35, 36 dan Al-Ahzâb: 59 Sebelum penulis mengkaji lebih jauh tentang nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟: 34, 35, 36, dan al-Ahzâb: 59, penulis lebih dahulu akan menjelaskan mengenai pendidikan akhlak. Jika ditinjau dari perspektif kajian maka akan memiliki makna yang cukup luas. Namun, pada kajian tentang pendidikan akhlak mencakup: pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan signifikansi pendidikan akhlak dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ : 34, 35, 36 dan al-Ahzâb : 59. 1.
Pendidikan Akhlak Pengertian pendidikan akhlak terbentuk atas dua kata yaitu “pendidikan” dan “akhlak”, sehingga untuk memudahkan dalam memahami pengertian pendidikan akhlak harus dipahami kedua kata tersebut. Pendidikan berasal dari kata didik, lalu mendapat awala pe- dan akhiran -an yang artinya proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 263).
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberikan peningkatan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan (Muhibbin, 1997: 10). Menurut Dr.M. Fadhil al-Jamaly bahwa pendidikan adalah upaya pengembangan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan (H. Jalaludin, 2001: 73). Selanjutnya menurut Prof. Dr. Omar Muhammad al-Toumy alSyaibany mendefinisikan pendidikan sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara berbagi profesi asasi dalam masyarakat. Al-Syaibani melihat pendidikan adalah proses perubahan tingkah laku yang terjaadi pada diri individu maupun masyarakat. Dengan demikian pendidikan bukanlah aktivitas dengan proses sekali jadi (instan) (H. Jalaludin, 2001: 74). Secara etimologis“akhlak” berasal dari bahas arab, yaitu - ٗخلك-خلك خلماyang artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, atau budi pekerti (Mahmud Yunus, 2007: 120). Akhlak secara bahasa khalaqa ) )خلكdari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak
arti antara lain “menciptakan” (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu) (M. Quraish, 1997: 86). Kata Khalaqa (خلك.) memberi tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Allah pantas menerima pengabdian mahluknya, maka akhlak tidak bisa dipisahkan dengan al-khâlik ( )الخالكdan al-makhluk ( )الوخلْقakhlak berarti sebuah perilaku yang menghubungkan antara hamba dengan Allah (Zubaedi, 2011: 65). Dari pengertian etimologi seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun (Ilyas, 2006: 1). Secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhlak. Penulis memaparkan tiga pendapat diantara: a.
Imam al-Ghazali. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan
gampang
dan
mudah,
tanpa
memikirkan pemikiran dan pertimbangan (Ilyas, 2006: 2). b.
Ahmad bin Mushthofa Akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu: kekuatan berfikir, kekuatan marah, dan kekuatan syahwat (Mahmud, 2004: 33).
c.
Muhammad bin Ali asy-Syariif al-Jurjani Akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syari‟at, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik. Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan sifat yang buruk (Mahmud, 2004: 32). Dari ketiga definisi yang dikutip diatas penulis menyimpulkan
bahwa akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang
terlahir dengan perbuatan-perbuatan, sehingga dia akan muncul secara spontan
bilamana
diperlukan,
tanpa
melakukan
pemikiran
atau
pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Jika perbuatan itu baik sesuai dengan akal dan syari‟at maka disebut akhlak yang baik, dan jika perbuatan tersebut buruk maka disebut dengan akhlak yang buruk. 2. Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dalam pendidikan akhlak. Akhlak seseorang akan dianggap mulia
jika perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam alQur‟ân (Mahmud, 2004: 159). Al-Qur‟ân dan al-Sunnah merupakan sumber yang menjelaskan akhlak Islam dengan tepat dan detail. Telah dijelaskan dalam al-Qur‟ân surat al-Ahzâb : 21
Artinya ; Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad Saw sang penutup para nabi tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Adapun pengutusan Nabi Muhammad Saw itu sendiri setelah umat manusia menempuh rentang waktu yang sanngat panjang dan telah diutus kepada mereka sekian banyak nabi dan rasul. Sesungguhnya akhlak mulia merupakan warisan turun-temurun dari setiap generasi umat manusia. Sehingga setiap generasi mengambil bagian dari akhlak mulia tersebut. Adapun tugas para nabi dan rasul adalah memotivasi manusia agar mengamalkan nilai-nilai akhlak mulia tersebut seoptimal mungkin. Pengutusan para nabi kepada umat manusia terus berjalan, hingga tiba saatnya kehendak Allah mengakhirinya dengan mengutus seorang rasul sebagai Khatamul Anbiyâ pemungkas para nabi dan tidak ada lagi rasul setelah beliau. Penutup para nabi ini haruslah diutus kepada seluruh umat
manusia dengan membawa ajaran yang mencakup seluruh nilai-nilai akhlak mulia. Hal ini wajar mengingat setelah beliau tidak ada nabi yang diutus untuk menyempurnakan ajaran yang beliau bawa (Mahmud, 2004: 216). Dari uaraian diatas sudah jelas bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya pribadi yang memiliki akhlak mulia yang tercermin dalam perbuatan yang baik, dan ukuran yang pasti untuk menentukan baik dan buruk didasarkan pada al-Qur‟ân dan al-Sunnah. 3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Ruang lingkup akhlak itu sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah SWT maupun horizontal dengan sesama mahluk-Nya. Menurut Abdullah Drâs dalam bukunya Dustûr al-Akhlâq fî al-Islâm membagi Ruang lingkup Akhlak kepada lima bagian yaitu: Akhlak pribadi, akhlak dalam keluarga, akhlak kepada masyarakat, akhlak dalam bernegara, akhlak akhlak dalam beragama (Ilyas, 2006: 6). Adapun ruang lingkup akhlak tersebut yaitu: a.
Akhlak kepada Allah SWT
b.
Akhlak dalam rumah tangga
c.
Akhlak kepada orang tua
d.
Akhlak terhadap kerabat
e.
Akhlak terhadap anak yatim
f.
Akhlak terhadap fakir miskin
g.
Akhlak terhadap tetangga
h.
Akhlak terhadap teman
i.
Akhlak terhadap ibnu sabil
j.
Akhlak terhadap budak Dari uraian di atas menunjukkan betapa luasnya ruang lingkup
pendidikan akhlak. Akan tetapi penulis menspesifikasikannya ke dalam sepuluh macam sebagaimana yang terpaparkan di atas. 4. Signifikansi Pendidikan Akhlak. Pendidikan agama berkaitan dengan pendidikan akhlak, tidak berlebihan kalau kalau dikatakan bahwa pendidikan akhlak adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baok oleh agama dan yang buruk adalah yang yang dianggap buruk oleh agama, sehingga nilai-nilai akhlak, keutamaanketamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama, sehingga seorang muslim idak sempurna agamanya kecuali agamanya menjadi baik. Pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak (Ahid, 2010: 142). Rasulullah Saw adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah SWT dengan misi menyempurnakan akhlak mulia. Allah SWT menggambarkan Rasulullah Saw dalam firman-Nya:
Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S. al-Qalam: 4).
Dalam Islam wanita yang memilki nilai hakiki adalah wanita shalihah. Peran wanita begitu tinggi, mulia, dan terhormat. Tentu saja sepanjang wanita tersebut senantiasa berusaha menjadi wanita yang shalihah. Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya? Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada suami. Inilah keinginan yang banyak muncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan, karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian. Kebanyakan lakilaki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya. Apabila kita melihat kita melihat seorang pelajar yang baik akhlaknya dan tutur katanya senantiasa sopan, maka dalam bayangn kita tergambar seorang ibu yang telah mendidik dan membimbing anaknya menjadi manusia yang berakhlak (Hidayat, 2008: 14). Wanita shalihah tidak mau kekayaan termahalnya berupa iman akan rontok. Dia juga sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Pada prinsipnya wanita shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia gunakan melainkan dari akhlaknya. Peran wanita sangat besar dalam berkeluarga dan bernegara. Kita pernah mendengar bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Buruknya akhlak wanita dapat menyebabkan hancurnya sebuah
Negara. Bukankah dalam Islam wanita adalah tiang dari pada agama? bayangkan jika tiang-tiang penopang itu rapuh, sudah pasti bangunanya akan roboh dan rata dengan tanah, sehingga tidak aka nada lagi yang tersisa, kecuali puing-puing yang nilainya tak seberapa (Hidayat, 2008: 16). Paparan diatas menjelaskan betapa pentingnya pendidikan akhlak itu terutama bagi wanita, karena wanita membawa pengaruh besar dalam keluarga , Negara, dan agama. Adapun kesemuanya itu akan kokoh jika memilki seorang ratu, seorang ibu yang shalihah yang telaten mendampingi suami dan anak-anak dengan akhlak mulia. B. Nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah dalam Al-Qur’an Surat Al-Nisâ: 34, 35, 36 dan Al-Ahzâb: 59. 1. Nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam Q.S al-Nisâ’ ayat 34 a. Taat kepada suami
.... Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. al-Nisâ‟: 34) Kata ....السجال... arrijâl adalah bentuk jamak dari kata ( )زجلrajul yang bisa
diterjemahkan
lelaki,
walaupun
al-Qur‟ân
tidak
selalu
menggunakannya dalam arti tersebut, …. …السجال لْهْى ػلٔ الٌساء bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran dengan pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan di atas adalah „karena mereka (para suami) telah menafkahkan sebagian harta mereka‟ yakni untuk istri-istri mereka. Muhammad
Thahir
ibn
Asyur
dalam
tafsir
al-Misbah
mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa kata ar-rijâl tidak digunakan oleh bahasa arab, bahkan bahasa al-Qur‟ân, dalam arti suami. Berbeda dengan kata
()الٌساء
al-nisâ‟ atau ) )اهسءجimra‟ah yang digunakan
untuk makna istri. Menurutnya, penggalan awal ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita, dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi kedua penggalan ayat ini, yaitu tentang sikap dan sifat istri-istri shalihah. Kata
….…لْاهْى
qawwâmûn adalah bentuk
jamak dari kata qawwâm, yang terambil dari kata qâma. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat misalnya, juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat
rukun, dan sunah-sunahnya. Seseorang yang memenuhi tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamakan ( )لائنqâim. Kalau ia melaksanakan tugas dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang, maka ia dinamai qawwâm. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwâmûn sejalan dengan makna kata ( )السجالyang berarti banyak lelaki. Seringkali ini diterjemahkan dengan pemimpin. Kepemimpinan merupakan aspek yang terkandung di dalamnya. Dalam pengertian “kepemimpinan” tercekup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan (M. Quraish, 2003: 404). Dan kepemimpinan ini tidak akan berlangsung tanpa adanya kerjasama yang baik antara suami dan istri. Seorang suami tidak akan berhasil menccapai tigkat ) (لائنapabila seorang istri tidak bisa menjalani kewahjibannya dengan baik. Jadi dalam hal ini suami istri harus saling mendukung dan bersinergi untuk mewujudkan sebuah kepemimpinan yang baik. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, mereka berkewajiban memimpin kaum perempua (istri) karena mereka memiliki kelebihan atas kaum wanita (dari segi kodrat kejadiannya) yaitu wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Laki-laki berkewajiban memberi nafkah istrinya, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala melakukan penyimpangan. Dan karena laki-laki telah menginfakkan hartanya „berupa mahar, belanja, dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya
untuk mengurus mereka. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Lakilaki memiliki beberapa kelebihan atas wanita.” Maka wanita wajib mentaati laki-laki sebagaimana telah diperintahkan Allah untuk mentaati Allah dan suaminya (Ar-Rifa‟i, 1999: 703). Wanita harus taat kepada suami karena laki-laki adalah pemimpin dan pengelola rumah tangga. Sedangkan tugas pokok istri adalah memelihara rumah, mengendalikannya, dan memelihara serta mendidik anak-anaknya, termasuk membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan (Hasbi, 2000: 844). Wanita yang shalihah adalah kebanggaan umat Islam. Ia ibarat rambu-rambu di perjalanan. Tingkah lakunya mencerminkan ketaatan kepada Rabb-nya. Perbuatannya adalah buah dari ketakwaannya. Sikapnya merupakan penerapan dari ajaran al-Qur‟ân. Sunnah RasulNya pun dijadikan penuntun amal hariannya. Wanita shalihah adalah sebaik-baik pendamping bagi laki-laki shaleh. Dia memperteguh suami dalam menjalankan ajaran-Nya. Dia selalu mendoakan kebaikan untuk suaminya. Dia ridha atas uang belanja yang diterimanya. Dia penawar kelelahan saat suami pulang kerja. Dia penghibur kala suami sedang berduka. Dia sahabat dalam ketaatan, penyemangat dalam beramal shaleh dan pengingat di kaha alpa (Sulastika, 2013: 21). Ketaatan adalah merupakan akhlak utama seorang istri yang shalihah, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat di atas, bahwa istri yang shalihah adalah istri yang taat kepada suaminya. Mereka
memelihara hak suaminya dan melaksanakan kewajibannya yaitu menjaga farjinya, merahasiakan apa yang terjadi diantara keduanya dan tidak menceritakannya dengan siapapun ketika suami tidak ada di rumah, karena Allah SWT telah memelihara mereka, yakni orang yang terpelihara adalah orang yang dipelihara oleh Allah SWT (Ar-Rifa‟i, 1999: 703). Dari keterangan di atas cukup memberikan gambaran yang jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Dalam mengarungi sebuah rumah tangga, di ibaratkan biduk yang berlayar di laut yang luas. Nahkoda di sini adalah suami, sedangkan istri adalah penumpang, sudah seharusnya penumpang (istri) menurut kepada nahkoda (suami). Karena pemegang kendali dan yang akan menentukan kemana kapal akan berlabuh adalah nahkoda (suami). b. Nusyûz dalam Kehidupan Rumah Tangga Firman Allah SWT:
... “…wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”(Q.S. al-Nisâ‟: 34).
Ibnu katsîr Rahimahullah berkata, “Nusyûz artinya menentang. Istri yang nusyû adalah istri yang menentang suaminya, tiak melaksanakan perintahnya, berpaling dari suami, dan membuatnya marah. Diantara contoh nusyûz seorang istri adalah penolakannya diajak berjima‟ tanpa ada alasan yang syar‟i, keluar rumah tanpa izin suami atau bukan untuk menemui hakim guna meminta keadilan darinya, atau juga memasukkan orang yang tidak disukai suaminya ke dalam rumah (Ubaidah, 2010: 346). Nusyûz adalah istri yang tidak mau mentaati suaminya dalam hal-hal yang ia wajib taat kepadanya atau yang tidak dalam kemaksiatan kepada Allah SWT (Murad, 2008: 109). Nusyûz
adalah
membangkang.
Yang
dimaksud
ialah
membangkang terhadap kewajiaban-kewajibannya sebagai istri dalam kehidupan perkawinan. Diantara contoh sikap membangkang seorang istri yaitu tidak mau taat kepada suaminya, menerima tamu orangorang yang tidak disukai suaminya, suka keluar rumah tanpa izin suami, dan lain sebagainya (Basyir, 1999: 89). Dari berbagai pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa nusyûz merupakan sebuah prilaku seorang isri yang menentang dan membangkang dari kewajiban-kewajiban terhadap suaminya. Seperti, tidak mentaati suaminya, keluar rumah tanpa seizin suaminya, mengadukan hal ihwal suaminya kepada orang lain, menolak
perintahnya, berpaling dari suaminya dan membuat suami marah dan lain sebagainya.
c. Solusi bagi Istri yang Nusyûz. Kata …. …ذخافْىtakhâfûna (yang kamu khawatirkan) dalam surat al-Nisâ‟ di atas, diartikan dengan ذؼلوْىta'lamûna (kamu ketahui) maksudnya kamu melihat istri itu melakukan nusyûz, sehingga menyebabkan perselisihan antara suami dan istri, dan tidak diperoleh titik temu dalam penyelesaian masalah tersebut, dan kepemimpinan suami yang harus ditaati di hadapi oleh istri yang nusyûz, maka ada tiga langkah yang dianjurkan yang dapat ditempuh oleh suami untuk mempertahankan mahligai perkawinan. Ketiga langkah tersebut adalah nasehat, menghindari hubungan seks dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain menggunakan huruf (ّ) wawu, yang bisa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua didahulukan sebelum yang pertama.
Namun
demikian,
penyusunan
langkah-langkah
itu
sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh (M. Quraish, 2003: 409). Adapun tiga langkah tersebut ialah: Pertama, memberikan nasehat tanpa dijauhi dan dipukul, atau pendapat yang bisa mendorong istri merasa takut kepada Allah dan
menginsyafi bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukannya akan memperoleh siksa dari Allah SWT (Hasbi, 2000: 844). Tidak hanya itu, suami juga bisa mengingatkannya tentang apa yang telah Allah SWT wajibkan kepada istri untuk selalu mendampingi suami dengan baik, mennggaulinya dengan baik serta mengakui hak suami yang menjadi kewajibannya (Ubaidah, 2010: 347). Kedua,
Firman-Nya
….…اُجسُّي
uhjurûhunna
yang
diterjemahkan dengan tinggalkanlah mereka adalah perintah kepada suami untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada perilakunya. Ini dipahami dari kata ُجسhajar yang artinya meninggalkan tempat, atau keadaan yang tidak baik, atau tidak disenangi menuju ketempat yang atau keadaan yang baik atau lebih baik. Sedangkan kata …. …فٔ الوضاجغfilmadhâji‟ yang artinya di tempat pembaringan. Di samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan tidak juga di kamar, tetapi di tempat tidur, ini dikarenakan ayat tersebut menggunakan ٔ فyang berarti di tempat tidur, bukan kata هيyang berarti dari tempat tidur. Jika demikian, suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat istri biasanya tidur (M. Quraish, 2003: 409). Sebagaimana yang di paparkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah bahwa jumhur mengatakan yang dimaksud dengan alhajru adalah tidak mendatangi istri, namun tetap tinggal serumah. Al-
hajru diambil dari kata al-hijran yang artinya jauh. Yaitu, suami menempati tempat tidur yang tidak ditiduri oleh istrinya. Dengan tujuan untuk mendidik sang istri (Hamid, 2005: 166). Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa solusi kedua dalam menangani istri yang nusyûz yaitu dengan menjauhi istri dari tempat tidurnya (tidak tidur satu ranjang), sebagai pengajaran bagi istri dengan tujuan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Ketiga, yaitu memukul yang tidak menyakitkan. sebagaimana kata …. …ّاضستُْيwadhribûhunna yang diterjemahkan pukullah mereka terambil dari kata ضسبyang berarti memukul, tidak selalu dipahami menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar. Contoh, orang yang berjalan kaki atau musafir dinamai oleh al-Qur‟ân
ٗضستُْي فٔ االزضyang secara harfiah berarti memukul di bumi. Perlu dipahami bahwa disini yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Kata “memukul” jangan dipahami dengan makna “menyakiti”. Dan juga jangan di artikan sebagai sesuatu yang terpuji (M. Quraish, 2003: 410). Jika upaya memberikan nasehat tidak membuahkan hasil, dan menjauhinya belum juga nampak perubahan pada sang istri, maka istri yang melakukan nusyûz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan fisik atau tubuh, ini merupakan alternatif terakhir. Kaum wanita pada dasarnya amat halus perasaannya. Nasihat-nasihat yang baik biasanya sudah cukup untuk mengadakan perubahan sikap
terhadap suaminya. Jika ingin memukul, maka tidak boleh sampai memukul muka dan anggota tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan tubuh. Tetapi memukul dengan sewajarnya sebagai tanda teguran (Basyir, 1999: 64). 2. Nilai pendidikan akhlak istri shalihah dalam Q.S al-Nisâ’ ayat 35 a. Penyelesaian perselisihan antara suami dan istri Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Nisâ‟: 35). Setelah Allah menceritakan sifat istri yang nusyûz. Dia lalu mulai menceritakan perselisihan antara suami dan istri. Hakam (penengah) maksudnya adalah orang yang terpercaya dari keluarga suami dan orang terpercaya
dari
keluarga
istri
agar
keduanya
bermusyawarah,
membicarakan masalah keduanya, dan menentukan tindakan yang dipandang oleh keduanya akan bermaslahat, apakah itu berupa perceraian atau rujuk (Ar-Rifa‟i, 1999: 706).
Ayat ini mengajarkan bahwa, apabila kamu khawatir terjadi keretakan antara suami dan istri, hendaklah kamu angkat hakam (wasit) dari keluarga suami dan istri, Allah pasti akan mempertemukan para hakam maupun suami istri yang bersangkutan. Dalam ayat ini dijumpai satu aternatif, yaitu usaha ishlah oleh para hakam (Basyir, 1999: 90). Para hakam hendaknya membulatkan tekad dengan sekuat tenaga untuk mendamaikan keduanya. Jika mereka benar-benar bermaksud mencari penyelesaian terbaik, Allah akan memberikan taufik-Nya. Jika pada akhirnya mereka berpendapat bahwa jalan terbaik bagi suami istri tersebut adalah berpisah, maka para hakam bisa menceraikan mereka (M. Quraish, 2003: 846). Syaikh as-Sya‟di Rahimahullah berkata.”Maksudnya, jika kalian takut persengketaan antara suami dan istri, sampai keduanya berpisah. “Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga perempuan” yaitu dua orang laki-laki yang diberi taklif, muslim, adil, berakal, mengetahui masalah yang terjadi antara suami dan istri, dan mengetahui cara untuk menyatukan dan memisahkan mereka (Ubaidah, 2010: 352). Tugas hakam ialah menetapkan keputusan tanpa suatu keharusan adanya kerelaan pihak yang dihukumi. Inilah menurut zahir ayat. Ibnu Abdul Bar berkata,”Para ulama sepakat bahwa apabila dua penengah berselisih pendapat, maka pendapat penengah yang satu tidak boleh dijadikan pendapat (Ar-Rifa‟i, 1999: 707).
3. Nilai pendidikan akhlak istri shalihah Q.S al-Nisâ’ ayat 36.
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisâ‟: 36).
Dalam ayat ini, terkandung banyak nilai pendidikan akhlak. Diantaranya, Akhlak kepada Allah SWT yaitu dengan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu selain-Nya. Kemudian akhlak kepada kedua orang tua yaitu ibu bapak, yaitu dengan mempersembahkan kebaikan yang sempurna kepada mereka, selanjutnya akhlak terhadap karib kerabat dan anak-anak yatim, yakni mereka yang meninggal orang tuanya sedang ia belum dewasa. Serta orang-orang miskin, tetangga yang dekat hubungan kekerabatannya atau yang dekat rumahnya denganmu, demikian juga dengan teman sejawat, baik yang sejawat dalam perjalanan maupun dalam kehidupan sehari-hari, serta ibnu
sabil, yakni anak-anak jalanan dan orang yang habis bekalnya sedang ia dalam perjalanan, dan hamba sahaya yang kamu miliki baik laki-laki maupun perempuan (M. Quraish, 2003: 415). a.
Anjuran beribadah kepada Allah SWT
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S. az-Zâriyyât: 56). Hendaklah kamu beribadah kepada Allah dengan kepatuhan dan ketaatan yang disertai rasa ikhlas. Janganlah kamu mempersekutukan Allah dalam beramal, dan ketika beramal hendaknya diniati karena Allah, bukan karena yang lain. Beribadahlah kepada Allah dengan tunduk dan khudhu‟ disertai dengan hati yang mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya, baik dalam keadaan sendiri (sir) ataupun dengan orang banyak (dalam keadaan terbuka). Selain itu juga takutlah kepada Allah. Tanda orang khudhu‟ adalah melaksanakan segala yang diperintahkan, dan menjauhi semua yang dilarang. Dengan demikian sempurnalah semua amal, baik secara lisan maupun dalam bentuk perbuatan. Ibadah itu tunduk kekuasaan ghaib yang lain dari sebab-sebab biasa yang diharapkan kebajikannya dan ditakuti kemurkaanya. Dan kekuasaan yang demikian besar hanya ada pada Allah SWT. Tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan selain dari Allah SWT. Tidak ada yang yang perlu ditakuti kecuali Dia. Orang yang berkeyakinan bahwa
ada orang (sesuatu) yang menyamai Allah dalam kekuasaan-Nya, maka dia dihukum syirik (Hasbi, 2000: 848). b.
Berbuat baik kepada orang tua. Berlakulah ihsan (baik) terhadap kedua orang tuamu. Penuhilah hak-haknya, berbaktilah kepada mereka sebagaimana mestinya. Kita diperintah untuk berbakti dan berbuat kebajikan serta berlaku ikhlas kepada kedua orang tua, dengan syarat mereka tidak membatasi kebebasan hak-hak kita mengenai urusan pribadi dan rumah tangga. Tidak pula mengenai urusan agama dan tanah air. Apabila mereka berlaku sewenang-wenang dalam ha-hal tersebut, tidak wajiblah bagi kita menaati perintah-perintahnya (Hasbi, 2000: 849). Firman Allah SWT:
.... Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…. (Q.S. Luqman: 15). c.
Berbuat baik kepada karib kerabat. Berbuat baiklah dalam pergaulan dengan kerabat yang paling dekat denganmu sesudah orang tua, seperti anak-anak (jika sudah berkeluarga dan punya anak), saudara, paman, dan anak-anaknya (Hasbi, 2000: 849).
Kerabat adalah orang yang mempunyai pertalian keluarga dengan kita, baik melalui hubungan darah maupun perkawinan. Kerabat yang melalui jalur hubungan darah dinamakan “keluarga dalam”, sedangkan kerabat yang melalui perkawinan dinamakan “keluarga luar”. Kerabatan yang melalui jalur hubungan darah adalah seperti bapak, ibu, anak, cucu, saudara, paman, dan sebagainya. Adapun kerabat yang melalui jalur perkawinan adalah seperti mertua, istri, adik ipar, kakak ipar, dan seterusnya (Salamulloh, 2008: 25). Dalam Islam, ada juga hubungan kerabat yang menyerupai hubungan darah, yaitu kerabat sesusuan. Artinya, seseorang dianggap kerabat karena semasa bayi, yakni ketika umurnya belum genap dua tahun pernah menyusu kepada ibu kita, ataupun sebaliknya. Denagn demikian, hubungan orang tersebut dengan ibu kita adalah seperti ibu kandung sendiri. Begitu juga hubungannya dengan kita adalah seperti saudara kandung sendiri yang terikat dalam mahram (sanak saudara yang tidak boleh dinikahi) (Salamulloh, 2008: 26). Maskipun ketiga jenis kerabat tersebut berasal dari jalur yang berbeda, kita harus memposisikan ketiganya secara sama. Artinya, kita harus menjaga hubungan kerabat tersebut supaya tetap terjalin kuat dan tidak terputus. Sebab, apabila tali kekerabatan kita terputus maka tatanan keluarga kita akan berantakan. Tetapi yang paling ditakutkan lagi adalah sabda Rasulullah Saw: َال َالي ْد ُخ ُخ ْدا َال ٌَّنتَال قَال ِط: يقىل.م.ص. سوعت رسىل هللا: عي جبير بي هطعن رظي هللا عٌه قال اغ ٌع
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth‟im r.a. dia berkata: saya pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Orang yang memutuskan hubungan keluarga tidak akan masuk syurga (Bukhâri, 2002 /Bab 3: 979). d.
Berbuat baik kepada anak yatim dan fakir miskin. Berlaku ihsan (baik) kepada anak yatim dan orang-orang miskin. Anak yatim tidak punya lagi orang yang bisa mengurus hidupnya, sedangkan orang miskin tidak memilki harta karena fisik lemah, cacat, atau sebab lain, yang membuat mereka tidak mampu bekerja. Apabila kita tidak memperhatikan, membantu dan memperbaiki kehidupan anak yatim dan orang miskin, mereka bisa menjadi sumber bencana (penyakit sosial). Miskin terdiri dari dua macam: 1) Miskin yang wajib diberi bantuan, yaitu orang yang menderita miskin karena fisik lemah, cacat akibat tertimpa bencana alam yang menyebabkan harta bendanya musnah, seperti terbakar, tertelan banjir, tertimpa gempa bumi dan sebagainya. Orang seperti itu wajib ditolong dengan uang dan bahan pangan yang bisa menutup kebutuhannya, serta dapat dijadikan modal usaha. 2) Miskin yang sebenarnya tidak harus miskin. Mereka ini kehilangan harta karena hidup boros, salah urus, seperti suka hidup berlebih-lebihan (berfoya-foya), kalah judi, dan sebagainya. Bantuan yang diperlukan bagi mereka adalah nasihat dan petunjuk, sehingga mampu memperbaiki diri. Pemerintah pun
sangat patut memperbaiki akhlak orang seperti ini (Hasbi, 2000: 850). e.
Berbuat baik terhadap tetangga. Demikian pula dengan tetangga karib (dekat), apalagi yang masih ada hubungan kerabat, berbuat baiklah kamu, karena tetangga (jar) mempunyai tiga macam hak atas kamu, yaitu hak tetangga, hak kerabat, dan hak Islam. Juga berlaku ihsanlah kepada tetangga jauh, baik dari segi kefamilian ataupun ketetanggaan. Agama mendorong kita berlaku ihsan dalam bermuamalat dengan tetangga, walaupun mereka itu orang kafir. Nabi pun pernah menjenguk tetangganya, seorang anak Yahudi yang sedang menderita sakit (Hasbi, 2000: 850). Ibnu Umar, ketika menyembelih kambing selalu bertanya kepada pelayannya, apakah sudah kamu hadiahi tetangga kita orang Yahudi itu? Aku mendengan Rasulullah saw bersabda:
َها شَ ا َل ِجث ِْسٗ ُل: لال. م. ص.ٖ ػي الٌث,ػي ػائشح زضٔ هللا ػٌِا َ َّٔاز َحر َُظٌَ ٌْدُ أًَََُّ ٗ َُْ ِ ّزث ِ ٗ ِ ُْصٌِ٘ٔ ِت ْال َج Dari Aisyah r.a. bahwa nabi saw bersabda:” jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang berbuat baik terhadap tetangga, sehingga aku menyangka dia akan menetapkan tetangga sebagai ahli warisku (Bukhâri, 2002/Bab 11: 982). f.
Berbuat baik kepada teman sejawat. Kata .... ّالصاحة تالجٌة... wash shâhibi bil janbi, dapat juga dipahami dalam arti istri (M. Quraish, 2003: 419).
Teman sejawat bisa diartikan teman seiring yang selalu menyertai kita, tentu saja dalam kehidupan rumah tangga teman seiring itu adalah suami istri. Namun, tidak hanya suami istri melainkan bisa juga teman seperjalanan, teman sekerja, seorganisai, seprofesi dan sebagainya (Hasbi, 2000: 851). Sebab dengan barlaku baik itulah, kita bisa saling memberikan pertolongan, jika suatu saat terdapat kebutuhan untuk memperoleh pertolongan.
g.
Berbuat baik kepada ibnu sabil. Ibnu sabil yaitu orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan jauh dari keluarganya. Termasuk dalam pengertan Ibnu sabil adalah anak pungut, atau anak yang diletakkan di tengah jalan oleh orang tuanya dengan maksud agar ada yang menyantuni. Demikian pula anak jalanan, karena tidak ada yang memungutnya, yang pada masa belakangan ini cukup banyak jumlahnya di kota-kota besar akibat kesulitan ekonomi, mereka terpaksa mencari nafkah dengan meminta-minta
atau
berjualan
di
jalanan,
tanpa
memilki
tempatberteduh yang layak. Selayaknya kita berbuat baik kepada mereka dan membantunya (Hasbi, 2000: 851). h.
Berbuat baik kepada para budak. Diantaranya yaitu dengan usaha memerdekakan mereka, atau menolong mereka dengan membelinya dari tuannya yang dibayar
sekaligus (tunai) atau berangsur-angsur, dan menggunakan tenaga mereka secara wajar. Karena itu, janganlah memberi pekerjaan mereka dengan pekerjaan yang berat, yang mampu memikulnya, dan jangan pula menyakiti mereka, baik dengan ucapan ataupun perbuatan (Hasbi, 2000: 851). 4. Nilai pendidikan akhlak istri shalihah Q.S. al-Ahzâb ayat 59. Allah memerintahkan kaum muslimah untuk menutup aurat, sebagaimana dalam firman-Nya:
Artinya: Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayanng (Q.S. al-Ahzâb: 59). Pakaian dan perhiasan merupakan cerminan dari suatu peradaban dan kebudayaan. Apabila menolak ke kehidupannya berarti kembali kealam binatang dan kembali kepada kehidupan yang primitif. Apabila pakaian dianggap sesuatu yang layak bagi manusia yang mempunyai kedudukan tinggi, maka bagi wanita tentunya lebih pantas lagi, karena pakaian tersebut adalah penjaga yang menjaga wanita dan agamanya, kemuliaannya, kelembutannya serta rasa malunya. Sifat-sifat ini lebih melekat pada diri wanita dibandingkan pada diri laki-laki.
Hal yang paling mulia yang dimiliki oleh seorang wanita adalah kemuliaan dirinya, rasa malu, dan kelembutannya. Menjaga hal-hal yang utama ini berarti pula menjaga derajat kemanusiaan seorang wanita. Wanita pada khusunya dan masyarakat pada umumnya tidak menjadi baik, jika wanitanya tidak menjaga dirinya dan tidak memiliki rasa malu. Apalagi instink tubuh itu merupakan instink yang paling kuat dorongannya. Instink ini ingin selalu melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggunya. Maka Allah memberikan batasan-batasan untuk meringankan beban berat mematikan gairah yang menyala dari instink tersebut, dan mendidiknya dengan pendidikan yang sesuai dengan eksistensi dirinya sebagai manusia dan memuliakannya (Hamid, 1995: 177). Dibalut jilbab pada setiap anggota tubuh wanita adalah pesona keindahannya. Namun, bukan berarti keindahan itu diciptakan untuk diperlihatkan dan dinikmati oleh sembarang orang, melainkan Allah SWT telah memerintahkan untuk menutupnya dengan sempurna agar hanya lakilaki yang berhak saja yang bisa menikmatinya khususnya suami (Sulastika, 2013: 52). Untuk hal ini, Islam menyelamatkan manusia secara khusus dengan cara memberikan ketentuan khusus bagi wanita dalam berpakaian. Apabila wanita bebas dalam berpakaian dan mulai memperlihatkan hal-hal menarik yang ada pada dirinya, berarti hal-hal tersebut telah merampas keistimewaan-keistimewaan yang dimilikinya seperti perasaan malu dan
kemuliaannya. Hal ini berarti menurunkan derajat kemanusiaannya dan tidak membersihkan diri wanita itu dari noda yang mengotorinya, namun hal
tersebut
hanya
membuat
mereka terjerumus dalam lembah
kesengsaraan, yaitu neraka jahannam (Hamid, 1995: 178). Pada intinya pendidikan akhlak yang terkandung dalam ayat ini yaitu hendaknya sebagai kaum wanita muslim kita mengenakan jilbab sebagaimana yang telah diperintahkan Allah SWT dalam ayat di atas. Karena dengan adanya jilbab itu akan melindungi kita dari hal-hal yang tidak diinginkan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan jilbab kita akan lebih mulia, terjaga, dan memiliki derajat yang terhormat sebagai istri shalihah C. Asbabun Nuzul Q.S. al-Nisâ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59. Banyak surat dan ayat dalam al-Qur‟an yang berkaitan dengan peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa dakwah nabi dan ayat- ayat tersebut diturunkan karena adanya kebutuhan yang mendesak akan hukum-hukum Islam, seperti surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59. Kasuskasus yang menyebabkan turunnya surat dan ayat inilah yang disebut asbabun nuzul (Thabathaba‟i, 1995: 121). 1. Asbabun Nuzul Q.S. al-Nisâ’ ayat 34 dan 35.
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (34). Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (35).
Dalam suatu riwayat, Hasan menjelaskan bahwa suatu ketika, seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah Saw atas perlakuan suaminya yang menampar mukanya. Rasulullah Saw bersabda, ”Suamimu berhak diqishash (dibalas)” (Shaleh, 1990: 130). Maka turunlah ayat tersebut (Surat al-Nisâ‟ ayat 34 dan 35). Sebagai ketentuan mendidik istri yang
menyeleweng. Kemudia Allah SWT menurunkan Q.S Thâhâ: 114 sebagai teguran kepada Nabi.
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (Q.Thâhâa:114). 2. Asbabun Nuzul Q.S. al-Nisâ’ ayat 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisâ‟: 36). Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Kurdum bin Zaid sekutu Ka‟ab bin al-Asyraf, Usamah bin Habib, Nafi bin Abi Nafi, Bahra bin „Amr, Hay
bin Akhthab dan Rifa‟ah bin Zaid bin at-Tabut, mendatangi orang anshar dan berkata: “janganlah kamu membelanjakan hartamu, kami takut kalaukalau kamu jadi fakir dengan hilangnya harta itu, dan janganlah kamu terburu-buru menginfakkan, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi”. Maka turunlah Surat al-Nisâ‟ ayat 36 sebagai larangan menjadi orang yang kikir (Shaleh, 1990: 131). 3. Asbabun Nuzul Q.S. al-Ahzâb ayat 59
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzâb: 59). Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Siti Saudah (isteri Rasulullah) keluar rumah untuk sesuatu keperluan setelahh di turunkan ayat hijab. Ia seorang wanita yang badannya tinggi besar sehingga mudah dikenali orang. Pada waktu itu Umar melihatnya dan ia berkata: “Hai Saudah. Demi Allah, bagaimanapun kami akan dapat mengenalmu. Karenanya cobalah pikir mengapa engkau keluar?”Dengan tergesa-gesa ia pulang dan di saat itu Rasulullah Saw berada di rumah aisyah sedang memegang tulang waktu makan. Ketika mesuk ia berkata: “Ya Rasulallah, aku keluar untuk suatu keperluan, dan Umar menegurku (karena ia masih
mengenalku)”. Karena peristiwa tersebut maka turunlah surat al-Ahzâb ayat 59 kepada Rasulullah Saw. Di saat tulang itu masih di tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kau keluar rumah untuk suatu keperluan (Shaleh, 1990: 408).
BAB III RELEVANSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’ÂN SURAT AL-NISÂ’ AYAT 34, 35, 36 DAN ALAHZÂB AYAT 59 DIKAITKAN DENGAN KONTEKS KEKINIAN A. Budaya Barat Sebagai Arus Globalisasi Modern Dampak dari ekspansi negara Barat ke negara kita dan menjajah tanah air kita, sehingga karena itu mereka memiliki wibawa yang besar, maka mereka juga mampu menciptakan generasi yang terasing dari lingkungan, potensi, tradisi dan adat istiadatnya terpengaruh oleh budaya Barat dan dikendalikan oleh sesuatu yang seharusnya mereka tinggalkan (Al-Taliyadi, 2008: 46). Berita-berita sekarang kelihatan semakin heboh. Kita tahu sendiri berbagai macam berita saat ini, bahwa wanita hanya dijadikan layaknya barang dagangan. Musuh-musuh Islam baik orang kafir maupun munafik merasa jengkel karena malihat kemuliaan, keluhuran nilai, dan keterpeliharaan wanita muslimah dalam naungan Islam. Karena musuhmusuh Islam itulah, mereka menghendaki agar wanita menjadi alat perusak dan perangkap untuk menjaring manusia-manusia lemah iman dan penurut hawa nafsu yang tak terkendali, setelah orang-orang itu mereka beri kepuasan syahwat yang tak kenal kenyang itu (Hidayat, 2008: 24). Oleh karena itu, mereka bersikeras agar wanita keluar dari rumahnya untuk menjadi mitra lelaki, untuk saling berdampingan dalam bisnis
mereka, atau perawat yang melayani laki-laki dirumah sakit, atau jadi pramugari di pesawat terbang, atau guru dan siswi di kelas yang bercampur antara siswa dan siswi, atau aktris dalam sinetron, film, penyanyi, yang sekarang sudah menjamur dan merusak moral masyarakat dimana mereka menonjolkan masalah perebutan harta, asmara daripada pendidikan yang bernafaskan Islam. Majalah-majalah yang berbau porno yang menampilkan gambargambar gadis memukau dan semi telanjang dijadikan sebagai alat dalam meningkatkan daya laku dan pemasaran majalah mereka. Tidak hanya itu sebagian pabrik juga menggunakan gambar-gambar tersebut sebagai alat untuk memasarkan barang-barang mereka. Mereka pasang gambar-gambar itu pada barang-barang dan produk-produk mereka. Jadi, di situ nanti terlihat gambar-gambar wanita yang membuat kita ingin melihat, sehingga otomatis kita mengetahui produk mereka dan dagangan merekapun laku terjual. Jadi, mereka tidak pusing-pusing lagi memasarkan produknya. Oleh karena tindakan-tindakan salah tersebut, akhirnya wanita lepas dari tugasnya yang sebenarnya di rumah. Hal itu menyebabkan suami mereka mempekerjakan pelayan-pelayan wanita yang bukan mahramnya untuk mendidik anak-anak mereka. Pada gilirannya akan berdampak buruk dengan munculnya berbagai kericuhan rumah tangga dan kekejian serta kejahatan. Kenyataan ini tidak membutuhkan pembuktian untuk lebih banyak disampaikan bahwa dunia Islam tidak jauh berbeda dengan dunia barat
kecuali dalam beberapa norma dan tradisi. Perempuan muslimah pada zaman modern suka bersolek, bebas dari nilai-nilai moral dan peradaban, lepas dari kecantikan dan rahasia diri, memakai pakaian yang serba mini dan merangsang nafsu birahi, termasuk kosmetik dari beragam jenisnya. Mereka keluar ke jalanan bagaikan pengantin, mengunjungi pertemuan, pesta dan acara lainnya seraya bercampur baur dengan laki-laki (AlTaliyadi, 2008: 47). Ada diantara wanita yang dalam kesehariannya terlihat sederhana, tetapi ketika menghadiri acara tertentu seperti pesta pernikahan, hari raya, dan arisan, memakai perhiasan yang mewah. Tidak hanya itu, sebagian wanita-wanita kurang berilmu
yang mengatas namakan gender atau
emansipasi memandang aturan Islam dengan gelap mata. Mereka menganggap Islam mengekang kebebasan kaum wanita. Merekapun mengekspresikan
diri
dengan
melakukan
aktivitas
yang
kurang
bermanfaat, berlebihan, bertentangan dengan kodrat kewanitaannya agar terlihat indah di mata orang lain (Sulastika, 2013: 63). Kesemuanya itu tewujud dan menjadi hal yang biasa. Anak-anak kampus, artis, atau masyarakat umum sudah terbiasa dengan itu. Semua dikarenakan budaya itu masuknya secara halus, tidak dirasakan masyarakat secara langsung. Hal itu dapat mengantar atau memudahkan kelancaran bentuk kerusakan moral yang tidak dapat terbendung lagi. Kenyataan juga menunjukkan bahwa semakin jauh kita larut dalam
keadaan ini semakin lupa kita terhadap adat-istiadat dan budaya kita sendiri yang jauh memuliakan akhlakul karimah.
B. Realitas Masa Kini 1. Berpakaian Namun Telanjang Berbusana tetapi telanjang. Itulah gambaran wanita pada masa kini, mereka berpakaian tapi masih menampakkan bagian aurat tubuhnya. Misalnya, pakaian transparan yang tipis atau pakaian yang ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Wanita yang berpakaian tapi telanjang adalah wanita provokatif dan menyimpang. Maksud provokatif adalah mengajak wanita lain agar mengikuti caranya. Ironisnya wanita seperti itu banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat (Kamil, 2005: 158). Di antara tindakan yang perlu diwaspadai dan dilarang oleh syara‟ adalah menggunakan pakaian yang transparan, tipis, dan tembus pandang, termasuk juga pakaian yang ketat dan terbatas untuk menonjolkan diri perempuan dan anggota tubuhnya. Berpakaian seperti tersebut, sama dengan telanjang, sehingga diharamkan bagi perempuan untuk memakai seluruh jenis pakaian yang tidak mencerminkan kepentingan menutup aurat. Ketika kita seorang perempuan keluar rumah dengan pakaian transparan, mencolok, dan ketat, maka hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak penyebab utama terjadinya fitnah (Al-Taliyadi, 2008: 181). Kita semua tahu, bagaimana keadaan bangsa kita sekarang dengan tradisi ketimurannya yang telah terkubur. Kerasnya kemauan masyarakat
modern agar wanita tidak usah menutup tubuhnya, hidup telanjang dengan kehidupan amoral adalah pertanda dari betapa jauhnya penyelewengan mereka dari tuntunan Allah SWT, bukan hanya di negeri-negeri muslim, namun dihampir sebagian negara di dunia. Rekan-rekan remaja kita yang menyerukan untuk memakai jilbab dan menutup aurat dirasa telah kalah dengan gebrakan untuk membuka aurat yang dilancarkan budaya barat, bahkan jilbab hanya dijadikan mode dan aksesoris belaka. Ibu-ibu pengajian sekarang seakan tak peduli ketika anak gadisnya mengenakan “jimet” (jilbab metal), kaos minim dan celana jeans ketat. Bisa kita bayangkan bentuknya. Hal yang lebih tragis lagi mereka menganggap hal itu sebagai amal shaleh yang berpahala karena telah melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah. Namun apa yang didapatkan ialah ancaman yang keras dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Adalagi yang berpsinsip “daripada”. Ya…daripada tidak berkerudung lebih baik pakai, walaupun kurang sempurna, kita kan masih belajar”. Jika memang demikian, terus sampai kapan mereka akan belajar, sedangkan kita semua tahu bahwa mereka sengaja memakai dan tidak berusaha untuk memperbaiki pakaiannya. Barangkali, mereka belum tahu bagaimana para muslimah Anshar sangat perhatian terhadap kesempurnaan busananya katika turun kewajiban jilbab, sampai mereka manjadikan kain penutup jendela dan sejenisnya sebagai kerudung dan busananya. Subhanallah, dalam al-Qur‟an juga telah dijelaskan mengenai pakaian seorang muslim yang harus selalu menutupi aurat (Hidayat, 2008: 37).
Allah SWT berfirman:
Artinya: Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.(Q.S. Al-A‟raf: 26) Nah, dari sini kita tahu bahwa menjadi cantik itu tidak pernah dilarang dalam Islam, tampil mempesonapun tidak dilarang, hanya saja cantik diri hanya untuk orang-orang pilihan, orang-orang yang mendapat tempat spesial di hati, yang tentunya halal baginya. Tidak semua orang dapat menjangkau pesona wanita karena wanita bukanlah barang dagangan yang bisa dinikmati semua orang. Oleh karena itulah, sosok diri wanita begitu berharga. Namun bagaimana dengan anak acak-acakan,
dicat
warna-warni,
dibentuk
funky?. Rambutnya
seperti
buah
durian,
pakaiannyapun compang-camping dan tidak mengenal batas-batas aurat dan masih banyak lagi. Kadang pula dalam keadaan tertentu ditemukan juga gaya pakaian kaum funky yang sulit kita bedakan antara laki-laki dan perempuan (Hidayat, 2008: 38).
Sebagai seorang muslimah sudah seharusnya sadar bahwa Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, dan hal itu bukan merupakan hasil dari kebudayaan Islam. Namun, Islam mengajarkan untuk berpakaian sopan dan menutup aurat. Menjaga aurat tidak menutup kemungkinan untuk tidak tampil cantik, cantik fisik bukanlah jaminan masuk surga, hanya cantik hatilah yang mengiring langkah kaum muslimah untuk menjadi bidadari surga. 2.
Nilai Seorang Istri Shalihah Sosok wanita yang sangat menjaga kesuciannya akan lebih sangat
dihargai. Hal ini diibaratkan intan dan berlian yang dibungkus dengan rapi dan disimpan pula di dalam peti besi yang terkunci maka akan tetap terjaga kilauannya. Dapat pula diibaratkan sebuah buku yang dikemas dalam suatu bungkusan yang rapi dan terjaga. Kualitas buku tersebut labih baik dari buku yang tidak dikemas sama sekali (Hidayat, 2008: 38). Wanita yang shalihah adalah kebanggaan umat Islam. Ia barat ramburambu di perjalanan. Tingkah lakunya mencerminkan ketaatan kepada Rabb-nya. Perbuatannya adalah buah dari ketakwaannya. Sikapnya merupakan penerapan dari ajaran al-Qur‟ân. Sunah Rasul-Nya pun dijadikan penuntun amal hariannya. Wanita shalihah adalah sebaik-baik pendamping bagi laki-laki shaleh. Dia memperteguh suami dalam menjalankan ajaran-Nya. Dia selalu mendoakan kebaikan untuk suaminya. Dia ridha atas uang belanja yang diterimanya. Dia penawar kelelahan saat suami pulang kerja. Dia penghibur kala suami sedang berduka. Dia
sahabat dalam ketaatan, penyemangat dalam beramal shaleh dan pengingat di kaha alpa (Sulastika, 2013: 21).
Allah SWT berfirman:
… .... …Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka).(Q.S. al-Nisâ‟:34)…. Analogi yang sederhana tersebut dapat menjadi renungan, bahwa hanya Islamlah yang menghargai sosok wanita, yang menjaga kesuciannya dengan aturan yang begitu mulia. Wanita yang bermartabat tidak akan memamerkan tubuhnya di khalayak umum, karena wanita bukanlah suatu hidangan yang disajikan. Ini harusnya sudah dimengerti oleh masyarakat sebagai orang Islam. Mereka masih boleh tampil di hadapan masyarakat namun disesuaikan dengan ajaran syari‟at agama. 3.
Busana Muslimah Masa Kini Banyak diantara kaum wanita yang keluar rumah tanpa kepentingan
mendesak. Mereka menggunakan pakaian yang mempertontonkan aurat mereka, entah pakaian minim atau ketat, yang menonjolkan lekuk tubuh, atau pun pakaian transparan yang tembus pandang ke tubuh bagian dalam. Mereka keliru memaknai menghias diri. Sering terjadi para istri tampil apa adanya ketika dirumah. Namun sebaliknya, ketika bepergian mereka
tampil dengan berbagai model hiasan dan aksesorisnya. Mereka mengenakan busana terbaik berikut riasan terindah mereka (Sulastika, 2013: 61). Sebagian kalangan Islam sendiri masih banyak yang belum paham mengenai parintah busana muslimah (jilbab). Berbusana muslimah sejatinya adalah bagian dari perintah yang wajib dalam agama, bukan fenomena yang berasal dari gerakan aliran Islam tertentu, misalnya kelompok jama‟ah Islam ekstrim yang menghebohkan. Jilbab merupakan ciri khas kaum muslimah yang harus dijaga, sehingga wajib bagi muslimah untuk memakai jilbab dan memerangi budaya-budaya yang masuk di Indonesia yang menggeser nilai-nilai agama Islam. Namun, pemakaian jilbab itu sendiri harus dipakai secara benar dan tidak hanya untuk pameran mode di jalan yang hal itu juga dapat mengundang kejahatan ataupun mengikuti mode dengan alasan sebagai tuntutan kerja masa kini. Wanita tidak sepatutnya mengorbankan harga diri dan martabatnya semata-mata untuk mengejar pangkat, derajat, nama, harta, dan kemewahan dunia (Hidayat, 2008: 42). Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur‟an surat an-Nûr: 31 sebagai berikut:
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah. Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(Q.S.An-Nur: 31)
Secara umum ayat ini adalah berkenaan dengan melihat wanita yang bukan muhrimnya. Kita tidak boleh melihat aurat wanita, kecuali bagi orang yang diperbolehkan melihatnya. Mereka harus menjaga kemaluan mereka dari perbuatan zina dan menutup aurat mereka sehingga tidak ada yang dapat melihatnya. Tujuannya sebenarnya baik, yaitu untuk menyucikan hati mereka dari kotoran dan raibah (keraguan), mencegah untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan kotor. Melihat wanita yang membuka aurat akan menumbuhkan dalam hati manusia untuk cenderung berbuat syahwat atau nafsu. Pengaruh melihat dengan syahwat sangat kuat dan lama (Hidayat, 2008: 43). Oleh sebab itu, apabila kita ketahui dari ayat tersebut pentingnya bagi seorang muslim dan muslimah untuk menjaga pandangan, menutup aurat, menjaga kemaluan, menyucikan diri dan menjaga masyarakat dari perbuatan keji serta dari perbuatan yang merusak moral yang dapat mengakibatkan kehancuran. Islam bertujuan menetapkan masyarakat yang bersih lahir dan batin, guna terhindar dari penyakit-penyakit kotor yang mematikan. 4.
Tabarruj Jahiliyah yang Modis dan Trendi Secara bahasa, tabarruj berarti mempertontonkan kecantikan, wajah
dan segala perhiasannya kepada laki-laki yang bukan muhrim, serta segala hal-hal yang membangkitkan syahwat para kaum lelaki, termasuk berjalan dengan sombong dan bergaya indah. Adapun tabarruj secara syar‟i ialah
memepertontonkan hal yang diharamkan Allah, yaitu mempertontonkan perhiasan dan kecantikannya (Murad, 2008: 81). Tabarruj pada masa ini yang sering kita jumpai yaitu wanita yang berpakaian tipis, transparan dan tembus pandang, juga memperlihatkan sensualitas anggota-anggota tubuhnya (Hamid, 2005: 163). Jika kita melihat lingkungan disekitar kita, banyak sekali terdapat fenomena pergeseran nilai agama, misalnya fungsi menutup aurat dan penggunaan jilbab yang lagi ngetrend baru-baru ini, dan bahkan hal tersebut hanya sebagai mode mengikuti perkembangan zaman tanpa melihat arti sesungguhnya dari fungsi pakaian itu. Semua itu dapat digolongkan dalam tabarruj. Tabarruj ialah mengenakan kerudung di kepalanya dan tidak mengikatkannya sehingga tersingkap kalungnya atau antingnya dan pundaknya maka tampaklah seluruhnya. Inilah tabarruj yang menjadi fenomena umum diantara wanita mukminin. Dari sini kita semua dapat mengetahui bahwa pakaian di dunia dengan pakaian yang sempurna disebabkan oleh adanya kemampuan, tetapi telanjang di akhirat dari ganjaran disebabkan oleh tidak adanya amal shaleh di dunia. Sebagai seorang muslimah kita pasti tidak mau hanya berpakain di dunia saja tetapi juga di akhirat kelak. Berpakaian dengan macam-macam baju tetapi pakaiannya tampak transparan, tidak menutup auratnya. Kita dapat berpakaian karena mendapat bermacam-macam nikmat dari Allah SWT, tetapi kita tidak boleh melupakan syukur atas segala pemberian dari Allah SWT. Al-Ustadz Abdurrahman menjelaskan “
bahwa dalam al-Qur‟ân dijelaskan mengenai tiga macam pakaian bani Adam”yaitu: a.
Pakaian yuwâri sauatikum, artinya pakaian sekadar penutup bagianbagian yang malu bila dilihat atau terlihat orang.
b.
Pakaian rîsyan, artinya pakaian yang merupakan hiasan yang layak bagi manusia, jadi lebih daripada hanya menyembunyikan aurat saja.
c.
Pakaian libâsuttaqwa, artinya pakaian taqwa, yang menyelamatkan diri, menyegarkan jiwa, membangkitkan budi pekerti dan akhlak yang mulia. Pakaian inilah yang menjamin keselamatan diri, dunia dan akhirat,
menjamin kebahagiaan rumah tangga dan menjamin keamanan serta ketentraman dalam masyarakat dan negara. Ketiga macam pakaian itulah yang menjadi garis pemisah utama dan ciri fitrah insaniyah yang membedakan bani Adam dan bani binatang. Hewan tidak memerhatikan urusan pakaian penutup aurat. Hewan tidak beraurat dan tidak memiliki rasa malu dan hidup selayaknya bani Adam. Mungkin zaman kita sekarang bisa dikatakan zaman edan. Banyak yang telanjang kepala atau tidak memakai jilbab, dan kalaupun memakai jilbab hanya sebagai suatu mode. Pemakaian kain penutup aurat (jilbab) sudah melanda dari tingkat bawahan hingga kepada tingkat atasan. Dari golongan pelajar-pelajar sekolah hingga kepada pekerja-pekerja dan pejabat-pejabat. Namun, walaupun berbagai gaya jilbab dipakai, pakaiannya masih tidak lengkap dan sempurna. Masih juga menampakkan
batang leher, dada, dan sebagainya seolah-olah sengaja mereka pertontonkan
sehingga
membuat
laki-laki
yang
melihatnya
jadi
“kepingin”. Ada gaya jilbab yang dipakai dengan songkok di dalamnya, dan dihias dengan kerongsang (broach) yang menarik. Pernak-pernik yang dijahit di atasnya, atau gaya jimet (jilbab metal) anak kampus yang gaul dan funky, dimana jilbab hanya berfungsi perhiasan dan kedok belaka, dan berbagai gaya lagi yang dipaparkan dalam majalah dan surat kabar fashion untuk jilbab. Mungkin bagi para perancang model hal itu merupakan keuntungan yang sangat besar, namun model itu kesemuanya bukan bertujuan untuk mengelakkan fitnah, sebaliknya menambahkan fitnah terhadap wanita. Jika wanita berjilbab tapi masih berhias-hias, maka itulah yang ada pada pakaian wanita Islam sekarang walaupun berjilbab, semakin membesarkan ria dan bangga dalam diri dan sombong makin bertambah. Terasa tudung kitalah yang paling cantik, up-to-date, sophisticated, bergaya, ada kelas dan sebagainya (Hidayat, 2008: 49). Ajaran Islam mengharuskan para Muslimah untuk menutup aurat dengan sempurna. Karen aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Pakaian tersebut pun harus memenuhi syarat tertentu, diantaranya longgar, tidak transparan, tidak mencolok, tidak menyerupai laki-laki, dan tidak tipis (Sulastika, 2013: 53). Kesimpulannya, jilbab yang dipakai oleh mayoritas kaum wanita belum membuahkan rasa kehambaan, tidak merasakan diri ini hina, banyak berdosa kepada Allah SWT maupun dengan manusia. Serta tidak
merasa bahwa menegakkan syari‟at dengan berjilbab ini hanya satu amalan yang kecil yang mampu kita laksanakan. Kenapa hati harus berbunga dan berbangga bila memakai jilbab? Apakah kita masih seperti itu saat ini?. Orang-orang bukan Islam yang semula ingin memepelajari Islam menjadi enggan untuk masuk Islam karena sikap umat Islam yang tidak menjaga kemuliaan hukum-hukum Islam. Walaupun berjilbab, perangai mereka sama saja dengan orang-orang bukan Islam. Diantara mereka tidak tampak perbedaan antara agama Islam atau agama mereka. Disini kita dapat mengetahui betapa besarnya peranan jilbab untuk dakwah orang lain. Selama ini kita tersadar diri kitalah agen bagi Islam. Kita sebenarnya pendakwah Islam. Dakwah kita bukan seperti pendakwah yang lain tapi hanya melalui pakaian. Kalau kita menutup aurat, tetapi tidak terus memperbaiki diri lahir dan batin dari masa ke masa, kitalah puncak gagalnya message atau pesan Islam untuk disampaikan (Hidayat, 2008: 50). Nah, disinilah pentingnya dakwah. Jangan melihat orang lain, karena Islam itu bermula dari diri sendiri. Ini bukan berarti bahwa kalau akhlak sesorang belum baik maka tidak boleh memakai jilbab. Aurat wajib ditutup tapi dalam waktu yang sama, perbaikilah kekurangan diri dari waktu ke waktu dengan kata lain jilbab di luar jilbab (hati). 5.
Sensualitas Wanita Memang benar wanita adalah daya tarik yang mempunyai energi tanpa
batas. Wanita juga dapat membawa kita ke surga namun banyak wanita
yang menyeret kita ke neraka. Semua itu tergantung dari diri k masingmasing, bagaimana seseorang memperkokoh iman agar tidak tergoda dengan pesona wanita. Sesuatu yang sangat didamba-dambakan wanita, bagaimanapun status sosial, kekayaan, popularitas dan prestasinya adalah menjadi istri yang baik serta ibu rumah tangga yang terhormat. Tidak ada seorangpun yang mau menikahi wanita nakal. Sekalipun ia lelaki hidung belang. Apabila akan menikah dia tidak akan memilih wanita nakal. Akan tetapi ia akan memilih wanita yang baik. Hal ini dikarenakan ia tidak rela apabila ibu rumah tangga dan putri-putrinya adalah seorang wanita yang amoral (Hidayat, 2008: 52). Secara alamiah, setiap laki-laki dan perempuan tercipta dari asal-usul yang satu dalam tabiat yang sama. merupakan hal yang normal dan wajar bila laki-laki memiliki daya ketertarikan terhadap perempuan. Seorang laki-laki merasa dari dalam dirinya bahwa eksistensi dirinya ada pada perempuan. Seorang perempuan senantiasa menampilkan dirinya dengan beragam perhiasan, seperti pakaian, kosmetik, parfum, dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk mempengaruhi laki-laki dan membuatnya tertarik. Nah dari sinilah daya sensual wanita terlihat (Al-Taliyadi, 2008: 67). Di dalam Islam secara garis besar diajarkan bahwa wanita dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, golongan wanita shalihah dan taat yang senantisa memelihara kehormatannya dan menjaga harta suaminya. Apabila seorang hamba diberi rizki wanita shalihah, maka dapat diketahui
bahwa wanita itu adalah nikmat dari Allah SWT yang secara utuh diperuntukkan untuknya. Kedua, golongan wanita rusak yang berjalan melenggak-lenggokkan tubuhnya untuk menarik perhatian. Wanita semacam ini adalah wanita yang tercela dan tidak akan masuk surga. Oleh karena itu, janganlah seorang wanita memamerkan apa yang seharusnya ia tutupi dan lindungi dari pandangan orang lain. Kini pemandangan sehari-hari begitu melukai hati. Sedih rasanya menyaksikan saudara-saudara sesama muslim yang berpakaian ala barat. Bagaimanapun tingkat pelecehan terhadap wanita dapat diturunkan jika wanita sendiri semakin tak menghargai dirinya. Tubuh ini adalah titipan-Nya, wajah, dan segala pesona yang dianugerahkan kepada wanita. Harga titipan yang diberi dengan mengikuti aturan-aturan-Nya. Sadarlah bahwa di dadalam asuhan wanitalah sebuah bangsa akan bisa melahirkan generasi unggul yang bisa membangun bangsa yang besar. Maka kita harus memperbaiki diri, dengan demikian umat pun akan menjadi baik. Semoga Allah memberikan kebaikan pada kita jalan yang lurus dana benar (Hidayat, 2008: 61). C. Menjaga Kemuliaan dan Kesucian Istri Shalihah. Firman Allah SWT:
... .... ...sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah Telah memelihara (mereka)....(Q.S. al-Nisâ‟34). 1. Seorang Istri Wajib Taat Kepada Suaminya dalam Kebaikan.
Taatlah engkau kepada Allah dalam mentaati suamimu, maka Allah akan memuliakanmu. Janganlah engkau membangkang perintah Allah dalam mentaati suamimu, karena niscaya Allah akan menghinakanmu. Ketahuilah, bahwa kaum wanita sangat banyak jumlahnya, tapi wanita yang shalihah dari mereka sangatlah sedikit. Jadikanlah dirimu sumber kenikmatan baginya dan janganlah membuatnya merasa bahwa engkau adalah sumber kesengsaraan baginya. Hal itu dimaksudkan agar dia dapat melihat bahwa engkau merupakan bagian dari amal shalihnya, dan tidak memandang bahwa engkau adalah bagian dari amal buruknya. Jika dia merasa bahwa engkau adalah sumber kenikmatan baginya, maka dia akan menjaga kenikmatan itu dan bersyukur kapada Sang pemberi kenikmatan. Sebaliknya
jika
dia
merasa
bahwa
istrinya
adalah
sumber
kesengsaraan baginya, niscaya dia akan bertaubat, kembali kejalan yang benar, dan kemballi ke jalan Allah, dan Allah akan memisahkannya darimu (Abdurrahman, 2007: 18). Suami mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh istrinya, yaitu hak yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh sang istri, yaitu hak untuk
ditaati.
Keluarga
adalah
suatu
kelompok
kecil
yang
komunitasnya akan membentuk sebuah masyarakat. Jika keluarga ini baik, maka akan baik pula masyarakatnya. Sebaliknya, jika masyarakatnya buruk, maka akan buruk pula masyarakatnya. Untuk mencapai masyarakat dengan tatanan system yang teratur maka
pembinaan harus dimulai dari kelompok terkecil yaitu keluarga (Hamid, 2005: 159). Ketaatan istri kepada suaminya dapat menambah cinta suami kepadanya, mengangkat kedudukannya di sisi suami, dan melahirkan kebahagiaan dan ketenangan bagi mereka berdua. Selain itu, juga akan berpengaruh positif bagi anak-anaknya. Mereka, meneladani ibunya, sehingga ketika mereka tumbuh dewasa, ia telah terbiasa dengan ketaatan kepada kedua orangtuanya dan mau menerima nasihat keduanya. Bahkan, suamipun akan mentaati istrinya dan berusaha mewujudkan keinginannya yang baik, ketika suami melihat istrinya yang selalu mentaatinya. Tidak diragukan lagi bahwa ketaatan istri kepada suaminya akan menjaga keutuhan rumah tangga dari keretakan dan kehancuran, juga melahirkan kecintaan hati suami kepada sang istri. Di samping itu dapat mempererat tali kasih sayang di antara anggota keluarga, serta menghilangkan percekcokan dan pertengkaran rumah tangga yang sering mendorong pada perselisihan (Ubaidah, 2010: 280). Semua itu adalah kelebihan yang Allah SWT anugerahkan kepada laki-laki atas perempuan. Sebagaimana firman-Nya:
....
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)....(Q.S. al-Nisâ‟:34).
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
َ َ د فَ ْس َج َِا َّأ َ ش ِْ َسَُا َّ َح ِف ْ ػ ْ ظ ْ صا َه د َ د ِ َّصل َ طا َ د ْال َو ْسأَج ُ خ َْو َ َّ س َِا َ إِذَا د ِ ْ ب ْال َجٌَّ ِح ِش ِ ٓ أَت َْْا ّ ِ َ شَ ّْ َج َِا لِ٘ َل لَ َِا ا ْا ُخ ِلٔ ْال َجٌَّحَ ِه ْي أ “Apabila seorang perempuan melaksanakan sholat lima waktu, shaum Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, pasti akan diperintahkan kepadanya, “Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki” (H.R. Ahmad, 1997/no. 1573). Wahai para istri shalihah, betapa mulianya kedudukan wanita yang taat kepada suaminya. Sehingga mereka diberi hak istimewa yakni masuk pintu surga dari pintu manapun yang mereka kehendaki.
2. Menjaga Harta Suami. Seorang istri dituntut untuk berupaya menjaga harta suaminya, apapun jenisnya. Karena kebanyakan yang terjadi, banyak istri yang menyia-nyiakan harta suaminya, hal tersebut mendorong timbulnya kebencian dan perpecahan. Sedangkan dengan menjaga dapat memperkuat ikatan dan bertambahnya rasa kasih sayang. Sabda Rasulullah Saw:
د شَ ّْ ِج َِا ِإالَّ ِتئ ِ ْذ ِى شَ ّْ ِج َِا َ ٌ الَ ذ ُ ٌْ ِف ُك ْاه َسأَج ِ ْ٘ َش ْ٘ ًا ِه ْي ت Seorang perempuan tidak boleh menggunakan harta suaminya kecuali dengan izinnya (H.R. Bukhari, 1997/no. 1349).
Asy-Syaikh al-Albani berkata, hadits ini maknanya menerangkan bahwa seorang perempuan tidak boleh menggunakan hartanya sendiri kecuali dengan izin suaminya. Itulah kesempurnaan kepemimpinan yang Allah berikan kepada suami atas istri. Namun tidak berarti suami boleh memanfaatkan posisinya tersebut, sehingga ia memaksa istrinya dan melarangnya untuk membelanjakan hartanya pada hal-hal yang tidak merugikan bagi mereka berdua. Hak suami tersebut sangat mirip dengan hak wali anak perempuan, yang mana anak perempuan tersebut tidak boleh menikahkan dirinya tanpa izin dari walinya. Oleh karena itu, apabila wali menghalanginya untuk menikah, perempuan tersebut
bisa
mengajukan
gugatan
kepada
hakim
untuk
meluruskannya. Demikian juga dengan hak penguasaan harta istri, apabila
suaminya
mendzaliminya
dengan
melarangnya
untuk
menggunakan hartanya sendiri sacara syar‟i, maka hakim boleh meluruskan perkara tersebut. Maka yang menjadi masalah adalah bukan pada penggunaan hartanya, namun pada penggunaan yang tidak baik (Ubaidah, 2010: 297). Istri berkewajiban memelihara keselamatan harta suami, seperti halnya apabila istri menjaga hartanya sendiri. Janganlah memberikan sesuatu dari harta suaminya kepada seseorang tanpa izin suaminya, baik berupa uang, pakaian, makanan, maupun lainnya. Kecuali, yang menurut kebiasaan istri dapat memberikannya tanpa izin, seperti memberikan sesuatu kepada peminta-minta yang datang, memberi
bantuan
sekadarnya
kepada
tetangga
yang
memerlukan
dan
sebagainya (Basyir, 1999: 65). 3. Berhias Untuk Suami. Wanita itu pada umumnya memilki kecantikan yang merata. Akan tetapi, sebagian dari mereka tidak dapat menampakkan kecantikannya dengan baik dalam bentuk yang pantas dan penampilan yang dapat diterima oleh semua orang. Karena itu, jadilah wanita yang kreatif dan cerdas dalam berhias untuk suamimu (Abdurrahman, 2007: 44). Allah SWT berfirman:
.... “ Hai anak Adam, Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik….” (al-A‟râf: 26). Seorang istri wajib berdandan, berhias, dan mempercantik diri hanya untuk suaminya saja. Sehingga keberadaan istri dapat meraih hati suaminya, memperbarui kehidupannya, dan membuatnya bahagia ketika ia melihat istrinya, sehingga ia pun merasa seperti di malam pertama pernikahannya. Setiap warna menggambarkan kebahagiaan yang
baru,
dan
setiap
macamnya
adalah
kehidupan
yang
menggembirakan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
َ ًَ س ُّسٍُ إِذَا ِٖظ َس َّذ ُ ِط٘ؼَُُ إِذَا أ َ َه َس َّ َال ذُخَا ِلفَُُ ف ِ س ُ َ اء َخ٘ ٌْس لَا َل الَّرِٖ ذ َ ٌِّ ٕ ال ُّ َ أ ًٍَُ ْف ِس َِا َّ َها ِل َِا تِ َوا َٗ ْ َس
“Yaitu yang menggembirakan suami ketika ia melihatnya, mentaatinya ketika diperintah, dan tidak menentangnya di dalam hatinya dan tidak juga pada hartanya dengan sesuatu yang dibenci suami.” (H.R. Ahmad, 1997/no. 9271). Maka, bagi perempuan wajib berhias untuk suaminya. Karena itu merupakan salah satu kewajiban istri kepada suami. Walaupun umurnya sudah setengah baya sekalipun. Sebab, itu merupakan salah satu sebab lahirnya cinta dan kasih sayang. (Ubaidah, 2010: 301). D. Nusyûz dalam Kehidupan Rumah Tangga
... “...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”(Q.S. al-Nisâ‟: 34).
1.
Definisi Nusyûz. Ibnu Katsîr Rahimahullah berkata, “Nusyûz artinya menentang. Istri
yang nusyû adalah istri yang menentang suaminya, tiak melaksanakan perintahnya, berpaling dari suami, dan membuatnya marah. Diantara contoh nusyûz seorang istri adalah penolakannya diajak berjima‟ tanpa ada alasan yang syar‟i, keluar rumah tanpa izin suami atau bukan untuk
menemui hakim guna meminta keadilan darinya, atau juga memasukkan orang yang tidak disukai suaminya ke dalam rumah (Ubaida, 2010: 346). Nusyûz adalah istri yang tidak mau mentaati suaminya dalam halhal yang ia wajib taat kepadanya atau yang tidak dalam kemaksiatan kepada Allah SWT (Murad, 2008: 109). Nusyûz adalah membangkang. Yang dimaksud ialah membangkang terhadap kewajiaban-kewajiban dalam hidup perkawinan (Basyir, 1999: 88). 2.
Solusi bagi Istri yang Nusyûz.
ٓٓٓ “… wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Q.S. al-Nisâ‟: 34). Jika tampak ciri-ciri nusyûz pada seorang istri, hendaklah seorang suami mulai untuk memberinya pelajaran sebagai berikut: a.
Nasehat, tanpa dijauhi dan dipukul. Berilah nasehat atau pendapat yang bisa mendorong si istri merasa takut kepada Allah dan menginsyafi bahwa kesalahan-kesalahan
yang dilakukannya akan memperoleh siksa dari Allah SWT (M. Quraish, 2003: 844). b.
Menjauhi istri di tempat tidurnya (al-hajru) Al-Hafizh Ibnu Hajara Rahimahullah berkata, jumhur mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru adalah tidak mendatangi istri, namun tetap tinggal serumah. Al-hajru diambil dari kata al-hijran yang artinya jauh. Yaitu, suami menempati tempat tidur yang tidak ditiduri oleh istrinya. Dengan tujuan untuk mendidik sang istri (Hamid, 2005: 166).
c.
Memukul dan tidak menyakitkan. Pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas.
E. Penyelesaian Perselisihan antara Suami dan Istri. Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Nisâ‟: 35).
Setelah Allah menceritakan sifat istri yang nusyûz. Dia lalu mulai menceritakan perselisihan antara suami dan istri. Hakam (penengah) maksudnya adalah orang yang terpercaya dari keluarga suami dan orang terpercaya
dari
keluarga
istri
agar
keduanya
bermusyawarah,
membicarakan masalah keduanya, dan menentukan tindakan yang dipandang oleh keduanya akan bermaslahat, apakah itu berupa perceraian atau rujuk (Ar-Rifa‟i, 1999: 706). Ayat ini mengajarkan bahwa, apabila kamu khawatir terjadi keretakan antara suami dan istri, hendaklah kamu angkat hakam (wasit) dari keluarga suami dan istri, Allah pasti akan mempertemukan para hakam maupun suami istri yang bersangkutan. Dalam ayat ini dijumpai satu aternatif, yaitu usaha ishlah oleh para hakam (Basyir, 1999: 90). Para hakam hendaknya membulatkan tekad dengan sekuat tenaga untuk mendamaikan keduanya. Jika mereka benar-benar bermaksud mencari penyelesaian terbaik, Allah akan memberikan taufik-Nya. Jika pada akhirnya mereka berpendapat bahwa jalan terbaik bagi suami istri tersebut adalah berpisah, maka para hakam bisa menceraikan mereka (M. Quraish, 2003: 846). Syaikh as-Sya‟di Rahimahullah berkata. Maksudnya, jika kalian takut persengketaan antara suami dan istri, sampai keduanya berpisah. Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga perempuan yaitu dua orang laki-laki yang diberi taklif, muslim, adil, berakal, mengetahui masalah yang terjadi antara suami dan istri, dan
mengetahui cara untuk menyatukan dan memisahkan mereka (Ubaidah, 2010: 352). Tugas hakam ialah menetapkan keputusan tanpa suatu keharusan adanya kerelaan pihak yang dihukumi. Inilah menurut zahir ayat. Ibnu Abdul Bar berkata, para ulama sepakat bahwa apabila dua penengah berselisih pendapat, maka pendapat penengah yang satu tidak boleh dijadikan pendapat (Ar-Rifa‟i, 1999: 707). F. Istri Shalihah Harus Berakhlak Mulia. Istri yang berakhlak mulia merupakan dambaan bagi setiap suami. Sebab
dalam
sebuah
perkawinan
akhlak
seorang
istri
akan
mempengaruhi pendidikan anak. Seorang istri shalihah dituntut untuk menyenangkan suami dengan penampilan serta perilaku yang tulus, yakni tulus lahir dan batin. Jika penampilannya dibuat-buat itu berarti munafik. Tentu saja istri tidak mau menyandang predikat sebagi istri munafik (Huda, 2001: 39). Akhlak seorang itu dapat dilihat dari perilaku sehari-hari. Salah satu contoh akhlak yang mulia adalah berbuat baik. Firman Allah SWT:
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisâ‟: 36). Ayat di atas menjelaskan tentang perintah beribadah kepada Allah serta tidak menyekutukannya dengan suatu apapun. Berbuat baik (ihsan), khususnya berbuat baik terhadap orang tua, tetangga, teman, kerabat. Tidak hanya orang yang dekat dengan kita, tetapi kita juga diperintahkan untuk berbuat baik dengan menyayangi anak yatim, menyantuni fakir miskin, dan hamba sahaya. 1.
Beribadah kepada Allah SWT Sebagai mahluk ciptaan Allah, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk
beribadah
kepadanya
yakni
dengan
mentaati
dan
melaksanakan semua perintahnya serta menjauhi larangannya, serta tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Allah SWT berfirman:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (Q.S. al-Zâriyyât: 56).
Perintah untuk beribadah ini bukan berarti Allah membutuhkan ibadah mahluknya, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan kepada Allah SWT (Salamulloh, 2008: 5). 2.
Berbuat baik kepada kedua orang tua Dalam al-Qur‟ân Allah mengajarkan supaya berbuat baik kepada ibu dan bapak, Karena Allah telah menjadikan keduanya sebagai sarana guna mengeluarkan kamu dari yang tiada menjadi yang ada. Dan Tuhanmu telah menetapkan bahwa kamu tidak boleh beribadah kecuali kepada-Nya dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Mereka berdua telah banyak berjasa kepada kita. Mulai sebelum lahir hingga kita dewasa, tak pernah sedetikpun kasih sayang mereka terlewatkan dari kita.
3.
Berbuat baik kepada kerabat Kemudian Allah melanjutkan pesan berbuat baik kepada orang tua dengan pesan berbuat baik kepada karib kerabat, baik laki-laki mapun perempuan. dalam Islam, berbuat baik dan membantu kaum kerabat sama halnya dengan berjuang di jalan Allah. Memperhatikan kaum kerabat hendaknya dikedepankan dibandingkan dengan orang lain. Dengan kata lain, apabila kaum kerabat dalam kondisi lemah dan kekurangan, maka jadikanlah mereka sebagai golongan pertama yang harus kita bantu. Dalam ayat di atas pun memposisikan kaum kerabat si posisi kedua setelah kedua orang tua yang harus kita perhatikan sebelum yang lainnya.
4. Berbuat baik kepada anak yatim. Kemudian Allah berfirman “Dan anak yatim”. Hal itu karena mereka kehilangan
orang
yang
mengurus
kepentingannya
dan
membelanjainya, lalu Allah menyuruh supaya berbuat baik kepada mereka dan menyantuninya. 5. Berbuat baik kepada fakir miskin. Kemudian Allah berfirman, “dan kepada orang-orang miskin.” Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan; orang yang tidak mendapatkan orang yang mengkifayahnya. Maka Allah menyuruh mereka dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya dan menghilangkan kemudharatannya. 6. Berbuat baik kepada tetangga Baik tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. Tetangga dekat ialah orang yang masih memiliki hubungan famili. Tetangga jauh ialah orang yang tidak memiliki hubungan famili (Ar-Rifa‟i, 1999: 708). Agama mendorong kita berbuat baik kepada tetangga meskipun itu orang kafir. Karena tetangga (jar) memiliki tiga macam hak atas kamu diantaranya: yaitu hak tetangga, hak kerabat, hak Islam (Hasbi, 2000: 850). Tetangga adalah orang yang rumahnya dekat dengan kita, pertama kali kita mintai pertolongan dan menolong kita ketika kita membutuhkan pertolongan. Untuk itu, hendaknya kita sebagai tetangga juga harus berbuat baik terhadap
mereka, menjaga hubungan baik, dan memberikan
rasa aman
kepada mereka (Salamulloh, 2008: 73). 7.
Berbuat baik kepada teman dekat „Teman dekat”, diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas‟ud bahwa keduanya berkata,”Teman dekat ialah istri.” Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan teman seiring tidak hanya suami istri, tetapi juga teman seperjalanan, teman kerja, seorganisasi, seprofesi dan sebagainya. Dengan berbuat baik kepada mereka aka terbentuk suatu hubungan baik. Kita bisa saling memberika pertolongan, jika suatu saat salah satu diantara kita membutuhkan perolongan (Hasbi, 2000: 851). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sebuah jalinan pertemanan ialah berbuat baik terhadap mereka, saling mengisis, menasihati dan saling membantu satu dengan yang lainnya, terlebih lagi jika yang dimaksudkan adalah suami istri, mereka harus menanamkan sikap saling menghormati, mengahargai, memahami, mengisi, dan mengingatkan.
8.
Berbuat baik kepada Ibnu Sabil “Dan ibnu sabil” ialah orang yang melintasi rumahmu dalam suatu perjalanan. Yakni anak-anak jalanan, dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan.
9.
“dan budak yang kamu miliki” merupakan wasiat ihwal hamba sahaya, sebab hamba sahaya itu lemah upayanya dan tertawan dalam kekuasaan orang lain (Ar-Rifa‟i, 1999: 709). Dalam konteks jaman
sekarang, budak jarang di temukan akan tetapi sekarang lebih umum dan yang sering kita jumpai adalah pembantu. Terhadap para pembantu hendaknya kita bersikap menghargai, dan memperlakukan mereka sebagaimana dengan baik dan wajar, dan tidak membebani mereka pekerjaan di luar batas kemampuannya, apabila kita berlaku demikian itu sama halnya dengan berlaku dzalim terhadap mereka (Salamulloh, 2008: 219). G. Penggunaan Jilbab Firman Allah SWT:
ٓٓٓٓ Artinya: Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".... (Q.S. al-Ahzâb: 59). Jilbab merupakan ciri has dari kaum muslimah yang harus dijaga, pemakaian jilbab itu sendiri harus dipakai secara benar dan tidak hanya dipakai untuk pameran mode di jalan yang hal itu bisa mengundang kejahatan, atau pun mengikuti mode dengan tuntutan kerja masa kini (Hidayat, 2008: 42) Allah
telah
memerintahkan
kepada
kaum
wanita
untuk
menghulurkan jilbabnya keseluruh tubuh hingga kebagian dada untuk melindungi bagian dadanya. Karena bagian dari kebiasaan wanita jahiliyyah adalah membuka dada, leher, dan ubun-ubun rambutnya,
sehingga Allah menurunkan ayat ini sebagai perintah kepada mereka untuk menutupinya (Al-Taliyadi, 2008: 125). Ketika kita berada di tempat umum, secara sadar ataupun tidak banyak mata yang akan memperhatikan kita, khususnya lawan jenis. Jika kita menggunakan busana dan penampilan kita tidak senonoh, sudah pasti mereka akan menikmati apa yang seharusnya tidak boleh mereka lihat. Jilbab merupakan langkah preventif dan solutif untuk mengantisipasi gangguan dan hal-hal yang tidak diinginkan, baik yang disengaja maupun tidak (Fahd Ats-Tsuwaini, 2008: 88). Kecantikan muslimah lebih sempurna dengan balutan jilbab dan terjaga pandangan. Ibarat mutiara yang berada dalam kotak kaca. Terasa sedap dipandang mata walau tak mudah disentuh tangan. Di balut jilbab pada setiap anggota tubuh wanita adalah pesona keindahan. Namun, bukan berarti keindahan itu diciptakan untuk dipertontonkan atau dinikmati oleh sembarang
orang,
melainkan
Allah
SWT
memerintahkan
untuk
menutupnnya dengan sempurna agar hanya lelaki yang berhak saja yang menikmatinya. Ajaran Islam mengharuskan agar para muslimah menutup auratnya dengan sempurna. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain menggunakan jilbab, pakaian yang dikenankan pun harus memenuhi criteria khusus diantaranya longgar dan tidak transparan. Jilbab, kini bukan sekedar penutup aurat, melainkan menjadi tren mode. Namun, banyak yang tidak memenuhi syarat syar‟i, malah ada
istilah “kerudung gaul”, yaitu kerudung yang hanya dipakai sebatas untuk menutup kepala saja. Hanya menutup rambut, sedangkan kain sisanya dililitkan di leher. Seharusnya kain kerudung yang dikenakan menjuntai menutup sampai ke dada. Perintah mengenakan jilbab ditujukan agar para wanita menjadi terhormat, terjaga, dan terlindungi. Namun rintangan untuk menjalankan hukum Allah SWT ini memang tidak ringan, selalu ada rintangan baik rintangan dari dalam diri maupun dari luar. Rintangan dari dalam diri biasanya berupa perasaan minder kalau mengenakan jilbab pasalnya mereka merasa diri belum baik. Bisa pula karena sudah terpengaruh oleh kehidupan modern ala barat yang mengidentikkan jilbab dengan keterbelakangan, kemunduran, kesulitan dalam meniti karir, dan lain sebagainya (Sulastika, 2013: 56). Sebagaimana yang telah dipaparkan, salah satu ciri istri yang shalihah itu menutup aurat dengan benar jangan sampai orang lain yang menikmati kecantikannya, karena kecantikan seorang istri shalihah hanya untuk suaminya, dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. InsyaAllah kebaikan dunia dan akhirat akan didapatkan.
BAB IV TAFSIR SURAT AL-NISÂ’ AYAT 34, 35, 36 DAN AL-AHZÂB AYAT 59
A. Surat al-Nisâ’ dan al-Ahzâb 1.
Tafsir surat al-Nisâ‟ secara umum. Surat al-Nisâ‟ (wanita) adalah surat keempat setelah surat Ali-„Imrân dalam susunan al-Qur‟ân, yang terdiri dari 176 ayat, diturunkan setelah surat al-Mumtahanah, termasuk dalam golongan surat madaniyyah. Adapun ayat 34, 35, dan 36. Salah satu isi kandungannya yaitu mengenai hukum-hukum keluarga (Hasbi, 2000: 773). Dinamai al-Nisâ‟ yang dari segi bahasa artinya “perempuan”, dinamai al-Nisâ‟, karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan
dengan
wanita
serta
surat
yang
paling
banyak
membicarakan hal itu dibanding surat lain, sehingga sering disebut alNisâ‟ al-Kubra. Penamaan ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan surat lain yang juga memaparkan persoalan wanita dalam banyak ayatnya, yaitu surat al-Thalaq, dan ia dinamakan al-Nisâ‟ al-Sughra. Surat al-Nisâ‟ dimulai tentang uraian hubungan silaturrahim, dan sekian banyak ketetapan hukum tentang wanita, antara lain perkawinan, anakanak wanita, dan ditutup lagi dengan ketentuan hukum tentang mereka (M. Quraish, 2003: 311).
Pada ayat 34 dan 35 dijelaskan tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga serta gambaran istri shalihah, selanjutnya dijelaskan juga tentang hukuman bagi istri yang berlaku nusyûz. Kemudian di dalam ayat ini diterangkan tentang penyelesaian kemelut dalam pergaulan suami istri yang biasa terjadi, lalu ditunjukkan cara penyelesaiannya. Bagaimana sikap suami kalau istrinya nusyûz, yaitu mulai melakukan sikap-sikap yang menunjukkan tidak senang lagi kepada suaminya. Demikian kalau si istri memandang bahwa suaminya telah mulai nusyûz kepada dirinya. Pada keduanya ditunjukkan sikap dan cara mengatasinya. Dan diterangkan juga tentang syiqâq, yaitu rumah tangga suami istri yang terancam pecah, diperintahkan pihak ketiga menyelesaikannya. Lalu pada ayat 36 dijelaskan tentang pegangan hidup setelah berumah tangga. Pertama sekali hendaklah tetap tunduk dan patuh kepada Allah, jangan mempersekutukan Dia dengan yang lain, hendaklah ia berbuat baik kepada ibu-bapak, menjalin kasih sayang dengan keluarga, baik keluarga yang telah berjauhan maupun yang dekat. Disuruh mencintai anak yatim dan orang miskin, tetangga yang ada hubungan darah, atau berdekatan tempat tinggal walaupun tidak ada hubungan keluarga dan sahabat dekat. Di samping itu juga harus berbuat baik kepada ibnu sabil, budak-budak yang dimiliki dan orang-orang yang digaji. 2.
Tafsir surat al-Ahzâb secara umum. Sedangkan surat al-Ahzâb (golongan yang bersekutu) merupakan surat ke tiga puluh tiga setelah surat as-Sajdah yang terdiri dari 73 ayat,
ditutunkan setelah surat Ali Imran, termasuk dalam golongan surat madaniyyah. Adapun ayat 59 menjelaskan tentang perintah mengenakan jilbab bagi wanita (Hasbi, 2000: 3247). Dinamakan surat al-Ahzâb yang artinya “golongan yang bersekutu” karena dari uraian surat ini menyebutkan koalisi sekian banyak kelompok suku kaum musyrikin dibawah pimpinan suku Quraisy di Mekah untuk menyerang Nabi Saw dan kaum muslimin di Madinah (M. Quraish, 2003: 213) B. Pandangan mufassir Tentang Surat al-Nisâ’ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 Untuk memahami serta mengetahui isi kandungan al-Qur‟ân, kita bisa mempelajarinya melalui kitab-kitab karya para ulama ahli tafsir yang beraneka ragam.
Diantaranya adalah ringkasan tafsir Ibnu Katsir oleh
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i dan tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Penulis dalam hal ini akan mengambil banyak dari dua mufassir tersebut. Dan ayat yang penulis pilih yaitu ayat 34, 35, 36 dari surat al-Nisâ‟ dan ayat 59 dari surat al-Ahzâb. Keempat ayat tersebut ada kaitannya dengan pendidikan akhlak. Untuk lebih jelas lagi, maka penulis akan menguraikannya sebagai berikut: 1.
Penafsiran Surat al-Nisâ’ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dalam Tafsir Ibnu Katsir. a.
Tafsir Surat al-Nisâ’ ayat 34. Allah SWT berfirman:
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada suaminya lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. al-Nisâ‟: 34).
Penjelasan ayat 34:
.... Para lelaki itu menjadi pengurus (pemimpin) bagi perempuan, karena Allah telah mengutamakan (melebihkan) sebagian lelaki atas sebagian perempuan, dab para lelaki ditugaskan menafkahkan hartahartanya….
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, yakni lakilaki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. ”Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.” Yakni, karena laki-laki lebih unggul daripada wanita. “Dan karena mereka telah menginfakkan hartanya” berupa mahar, belanja, dan tugas yang dibebankan oleh Allah untuk mengurus mereka. Dan oleh sebab itu, maka wanita wajib mentaati laki-laki sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah serta memelihara hartanya.
... .... …Perempun-perempuan yang shalih adalah mereka yang mentaati suaminya, yang memelihara (merahasiakan) segala apa yang terjadi antara suami dan istri berdasar perintar Allah…. “Wanita yang shalih adalah yang taat” kepada suaminya “dan melakukan pemeliharaan ketika suami tidak ada”, yakni memelihara dirinya sendiri dan harta suaminya ketika suami tidak ada (Ar-Rifa‟i, 1999: 703). Ayat ini mengandung pelajaran yang besar bagi kaum perempuan yakni agar supaya mereka menjaga dirinya, kehormatannya, harga dirinya, serta harta suaminya ketika suami mereka tidak ada.
... ....
...Dan (perempuan) yang kamu khawatirkan akan berbuat (durhaka) kepadamu, maka berilah nasihat, jangan tidur seranjang dengannya, dan pukullah mereka.... Jika kamu melihat ada indikasi (tanda-tanda) bahwa istrimu melakukan nusyûz, yakni istri yang mengadukan hal ihwal suaminya kepada orang lain, menolak perintahnya, berpaling dari suaminya, dan membuat suaminya marah. maka berikut ini adalah beberapa tindakan edukatif (bersifat mendidik) yang bisa dilakukan, yaitu: 1) Berilah nasihat dan ingatkanlah akan siksa Allah lantaran dia mendurhakai suaminya, karena Allah telah mewajibkan istri untuk mentaati suaminya, dan ketaatan itu merupakan hak sang suami. 2) Hindarilah dia di tempat tidur, yang dimaksud al-hajru ialah tidak menggaulinya, tidak tidur di
atas tempat
tidurnya
atau
membelakanginya. 3) Pukullah mereka, yakni jika istri tidak meninggalkan perbuatan buruknya setelah dinasihati dan diboikot, maka kamu boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Para ahli fiqih mengatakan: “pukulan yang tidak melukai ialah yang tidak sampai memecahkan tulang dan tidak meninggalkan bekas.” ( Ar-Rifa‟i, 1999: 705). Ayat di atas menjelaskan tentang hukuman bagi istri yang melakukan nusyûz (durhaka) kepada suami dalam kehidupan rumah tangga.
...
...Jika mereka kembali mentaatimu, janganlah kamu berlaku curang terhadap mereka. Jika istri kembali mentaati suaminya dalam segala hal yang diinginkan suami agar dilakukan istri, dalam arti segala hal yang dibolehkan Allah, maka setelah itu tidak ada jalan bagi suami untuk menyudutkannya, memukulnya, dan menjauhinya di tempat tidur.
...
...Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Allah memperingatkan kepada kaum suami dengan kekuasaan dan kebesaran-Nya, supaya suami tidak mengdhalimi istri dan berlaku curang. Dia adalah pelindung bagi mereka
(istri). Dia akan
memberikan siksanya kepada suami yang berlaku kurang baik kepada istrinya (dhalim) karena telah menganiaya istri (Ar-Rifa‟i, 1999: 705). Pokok dari kandungan Q.S. al-Nisâ‟ ayat 34 yaitu: a) Dalam ayat ini dijelaskan sebab-sebab, mengapa laki-laki dilebihkan dalam beberapa hal dibanding perempuan. b) Menjelaskan tentang gambaran istri shalihah, yaitu mereka yang taat kepada suaminya, menjaga harta suaminya ketika tidak ada, karena Allah telah menjaganya. c) Menjelaskan tentang tindakan yang harus dilakukan seorang suami jika terjadi perilaku nusyûz (durhaka) oleh istri, yaitu dengan nasehat, menjauhinya (pisah ranjang), memukul dengan tidak menyakiti.
d) Jika istri sudah insyaf dan kembali mentaati suaminya dari kedurhakaannya, maka suami tidak boleh berlaku curang untuk mengdhalimi istrinya. Akan tetapi jika suami setelah melakukan tiga langkah peringatan terhadap istri, belum juga menampakkan hasil, maka hendaknya seorang hakam (mediator) dari keluarga suami dan keluarga si istri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. b. Tafsir surat al-Nisâ’ ayat 35
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Nisâ‟: 35). Penjelasan ayat 35
....
Jika yang kamu sangka (ketahui) telah terjadipertengkaran antara keduanya (suami-istri), maka tunjuklah seorang hakam (mediator) dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Jika kedua hakam mengehndaki perbaikan, niscaya Allah akan memberikan taufik-Nya kepada kamu berdua (suami-istri)…. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga bisa diakhiri, dan semakin mengkhawatirkan, maka utuslah seorang penengah yang terpercaya dari keluarga istri dan seorang penengah yang terpercaya dari keluarga suami agar keduanya bermusyawarah dan membicarakan masalah keduanya, serta menentukan tindakan yang dipandang oleh keduanya akan bermaslahat, apakah itu perceraian ataukah rujuk (ArRifa‟i, 1999: 706). Jika keduanya menghendaki kemaslahatan, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada keduanya. Maka kedua penengah mengkaji, jika pihak suami yang bersalah, maka keduanya menghalangi suami agar tidak menemui istrinya dan menyuruhnya mencari nafkah secara terus-menerus. Jika istri yang salah, maka mereka menyuruhnya untuk tetap melayani suami tanpa diberi nafkah. Para ulama‟ berpendapat bahwa kedua penengah memiliki hak untuk menyatukan dan memisahkan. Yang menjadi sandaran bahwa tugas penengah hanya memutuskan masalah penyatuan bukan perceraian antara suami istri yaitu, ”Jika keduanya ingin mengadakan perbaikan niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami istri tersebut,” dalam hal ini penengah disebut juga hakam. Tugas hakam ialah menetapkan keputusan tanpa suatu keharusan adanya kerelaan
pihak yang dihukumi, inilah menurut zahir ayat. Ibnu Abdul Bar dalam tafsir ibnu katsir berkata, „Para ulama sepakat bahwa apabila kedua penengah berselisih pendapat, maka pendapat penengah tidak boleh dijadikan keputusan.‟
... ...Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui, lagi Maha Menyiasati. Allah pasti mengetahui segala keadaan dan budi pekerti umatNya. Dia juga mengetahui segala kemungkinan yang terjadi antara suami istri dan sebab-sebabnya. Karena itu Allah mensyari‟atkan hukum-hukum bagi mereka dan bagi kita semua (Ar-Rifa‟i, 1999: 707). Pokok kandungan Q.S. al-Nisâ‟ ayat 35 yaitu: 1) Jika perselisihan antara suami dan istri tak kunjung usai dan belum menemukan titik temu, maka tunjuklah seorang hakam (mediator) dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga istri, kemudian bermusyawarah untuk mencari jalan keluar (solusi). 2) Syarat seorang hakam diantaranya yaitu, adil, memiliki hubungan kerabat, memilki pengalaman dalam urusan rumah tangga (keluarga). 3) Semua hukum-hukum syari‟at telah ditentukan oleh Allah SWT, karena Allah SWT mengetahui segala keadaan dan budi pekerti umat-Nya.
c.
Tafsir surat al-Nisâ’ ayat 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S al-Nisâ‟ ayat 36). Penjelasan ayat 36:
.... Dan sembahlah Allah, janganlah kamu mempersekutuka Dia dengan suatu apapun…. Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi menyuruh supaya beribadah kepada-Nya yang Esa tiada sekutu bagi-Nya, karena Dialah yang menciptakan, memberi nikmat, dan memberi karunia kepada
mahluk-Nya sepanjang masa dan keadaan. Dialah yang paling berhak dibanding mahluk-Nya untuk diesakan dan tidak disekutukan dengan apapun diantara mahluk-mahluk-Nya (Ar-Rifa‟i, 1999: 707).
... .... …Dan berbuat baiklah kepada ayah dan ibumu…. Allah mengajarkan supaya berbuat baik kepada ibu bapak, karena Allah telah menjadikan keduanya sebagai sarana guna mengeluarkan kamu dari yang tiada kepada ada (Ar-Rifa‟i, 1999: 708). Kita diperintah untuk berbakti dan berbuat kebajikan serta berlaku ikhlas kepada kedua orang tua, dengan syarat mereka tidak membatasi hak-hak kita mengenai urusan pribadi dan rumah tangga. Apabila mereka berlaku sewenang-wenang dalam hal tersebut, maka tidak wajib bagi kita untuk mentaati perintahnya.
.... ... …Dan kepada para kerabat…. Berlaku ihsanlah dalam pergaulan dengan kerabat baik laki-laki maupun perempuan yang paling dekat denganmu sesudah orang tua. Sedekah kepada famili memiliki dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala silaturrahmi.
... .... …Kepada anak yatim dan orang-orang terlantar…. Berlaku ihsanlah (baik) kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. “Dan anak-anak yatim”, hal itu karena mereka kehilangan orang yang mengurus kepentingan dan membelanjainya, lalu Allah
menyuruh supaya berbuat baik kepada mereka dan menyantuninya. “Dan kepada orang-orang miskin.” Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan, orang yang tidak mendapatkan pihak yang memenuhi kifayahnya. Maka Allah menyuruh manusia agar membantu mereka dengan
sesuatu
yang
dapat
memenuhi
kebutuhannya
dan
menghilangkan kemudharatannya.
... .... …Tetangga yang memiliki hubungan kerabat, tetangga yang jauh…. Tetangga dekat adalah orang yang masih memiliki hubungan famili. Tetangga yang jauh adalah orang yang tidak memiliki hubungan famili (Ar-Rifa‟i, 1999: 708).
َها شَ ا َل ِجث ِْسٗ ُل: لال. م. ص.ٖ ػي الٌث,ػي ػائشح زضٔ هللا ػٌِا َ َّٔاز َحر َُظٌَ ٌْدُ أًَََُّ ٗ َُْ ِ ّزث ِ ٗ ِ ُْصٌِ٘ٔ تِ ْال َج Dari Aisyah r.a. bahwa nabi saw bersabda:” jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang berbuat baik terhadap tetangga, sehingga aku menyangka dia akan menetapkan tetangga sebagai ahli warisku (Bukhâri, 2002/Bab 11: 982). Hadits di atas menjelaskan betapa dekatnya tetangga itu, hingga Nabi pun menyangka bahwa mereka akan menjadi ahli waris.
... .... ...Kepada teman seiring (suami istri).... Teman seiring tidak hanya suami istri, tetapi juga teman seperjalanan, teman sekerja, seorganisasi, seprofesi dan sebagainya.
Berbuatbaiklah kepada mereka, sebab dengan berlaku baik itulah, kita bisa saling memberika pertolongan, jika suatu saat terdapat kebutuhan untuk memperoleh pertolongan (Ar-Rifa‟i, 1999: 709). .... ... ...Ibnu sabil…(anak jalanan atau orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan) Berlaku baiklah kepada para perantau, orang yang jauh dari keluarganya. Termasuk dalam pengertian ibnu sabil adalah anak pungut, atau anak yang diletakkan di jalan oleh orang tuanya dengan maksud agar ada yang menyantuni. Demikian pula anak jalanan, karena tidak ada yang memungutnya, yang pada masa sekarang ini sanngat banyak jumlahnya di kota-kota besar akibat kesulitan ekonomi, mereka terpaksa mencari nafkah dengan meminta-minta atau berjualan di jalanan, tanpa memiliki tempat teduh yang layak.
... .... …Serta budak-budak yang kamu miliki…. Cukuplah berdosa orang-orang yang tidak memberi makan kepada budaknya. Kita harus berbuat baik kepada para budak dengan menghargai mereka dan tidak bertindak sewenag-wenang terhadap mereka. Katika Nabi Saw menderita sakit, sebelum wafat, beliau berpesan supaya kita berlaku baik kepada budak. Begitulah hidup sama rata yang adil antara majikan (pemberi kerja) dengan buruh (pekerja) yang dikehendaki Islam.
.... …Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang tinggi hati, serta suka membanggakan diri dengan keutamaannya. Yakni, membanggakan diri, ujub, takabur, dan sombong kepada orang lain. Dia memandang bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Dia merasa bahwa dirinya itu besar, padahal di hadapan Allah dia itu hina dina (Ar-Rifa‟i, 1999: 709). Pokok dari kandungan Q.S. al-Nisâ‟ ayat 36 yaitu: Dalam ayat-ayat ini Allah SWT mendorong manusia untuk memperbaiki muamalat (hubungannya) dengan Allah SWT yang menciptakan kita. Yaitu, berlaku ikhlas dalam mentaati ajaran-ajaranNya dan memperbaiki muamalat dengan golongan-golongan tertentu dari manusia, serta tidak berlaku kikir terhadap mereka yang memerlukan pertolongan dan bantuan. Kita lakukan itu semua dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk bermegahmegahan.
d. Tafsir surat al-Ahzâb ayat 59.
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Penjelasan surat al-Ahzâb ayat 59. Ayat ini berisi perintah Allah kepada nabi agar beliau menyuruh wanita-wanita mukmin, terutama istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena keterpandangan mereka, agar menghulurkan jilbâb keseluruh tubuh mereka, sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dengan wanita jahiliah dan budak-budak perempuan, dan dengan demikian mereka akan lebih mudah dikenali dan tidak diganggu . Menurut pendapat Ibnu Mas‟ud, Ubaidah, dan Qatadah jilbâb ialah selendang yang lebih lebar daripada kerudung. Sedangkan alJauhari mengatakan bahwa jilbâb adalah kain yang dapat dilipatkan (Ar-Rifa‟i, 1999: 901). Dari penjelasan mengenai jilbâb di atas, penulis menyimpulkan bahwa jilbâb sekarang ini bisa dibilang kerudung panjang yang bisa dilipat sehingga menutup kepala, leher, dan dada. 2.
Penafsiran Surat al-Nisâ’ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59 dalam Tafsir al-Misbah. a. Tafsir Surat al-Nisâ’ ayat 34.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Penjelasan ayat 34:
.... Para lelaki itu menjadi pengurus (pemimpin) bagi perempuan, karena Allah telah mengutamakan (melebihkan) sebagian lelaki atas sebagian perempuan, dab para lelaki ditugaskan menafkahkan harta-hartanya…. . …. ... bermakna para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah pemimpin …. …قى هىىpenanggung jawab bagi perempuan. ( ) اٌساءal-Nisâ‟ atau ( ) هر ةimra‟ah digunakan untuk makna istri. Laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Allah SWT menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu: Pertama, …. …بوا فع هللا بععهن على بعط, yakni laki-laki atau suami secara umum telah menafkahkan sebagian dari hartanya untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Masing-masing memilki keistimewaan. Tetapi keistimewaan laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki perempuan. keistimewaan perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak (M. Quraish, 2003: 404). Kedua, …. …بوا ًفقى هي هى اهنkarena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja lampau yang digunakan dalam ayat ini adalah “telah menafkahkan”, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita adalah suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga sekarang (M. Quraish, 2003: 407). Perlu digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan oleh Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenangwenangan. Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan “derajat/tingkat yang lebih tinggi” dari perempuan. Bahkan ada ayat yang menegaskan derajat tersebut dalam firman-Nya:
...
...dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Baqarah: 228). Derajat itu adalah Kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, Guru Besar para pakar tafsir, yaitu Imam ath-Thabari menuliskan dalam tafsir al-Misbah bahwa „Walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah kepada para suami untuk memperlakukan istrinya secara terpuji, agar suami memperoleh derajat tersebut.‟ Imam Ghazali menuliskan dalam tafsir al-Misbah „Ketahuilah bahwa yang dimaksud perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya,
tetapi
bersabar
dalam
gangguan/kesalahan
serta
memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahan‟ (M. Quraish, 2003: 409).
... .... ...Sebab itu maka wanta yang shalih, adalah yang taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka.... Disini digambarkan bahwa wanita yang shalih ialah mereka yang taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan atau bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Disamping itu juga
memelihara diri, hak-hak suami dan rumah tangga ketika suami tidak ditempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suami ketika suami tidak ditempat, dengan cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya. „Keberhasilan perkawinan tidak tercapai jika kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah/penggembala, dan dalam kedudukannya seperti itu, ia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istri). Istripun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain, perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi‟. Demikian kurang lebih yang ditulis oleh al-Imam Fakhruddin arRazi dalam kitab tafsir al-Misbah. Karena tidak semua istri taat kepada Allah dan suaminya, dan titik temu tidak diperoleh dalam musyawarah, dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri yang nusyûz, keangkuhan, dan pembangkangan. Maka ada tiga langkah yang dianjurkan untuk ditempuh suami demi mempertahankan mahligai perkawinan (M. Quraish, 2003: 409) sebagai mana ayat berikut:
...
...Wanita –wanita yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan, dan pukullah mereka. Lalu jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Kiat langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan intim, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf (ّ) wawu , yang biasa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua dilakukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyususnan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh. ....اُجسُّي...
uhjurûhunna
yang
diterjemahkan
dengan
tinggalkanlah mereka adalah meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada prilakunya. Ini dipahami dari kata ( )ُجسhajar yang artinya meninggalkan tempat, atau keadaan yang tidak baik, atau tidak disenangi menuju ketempat dan atau keadaan yang lebih baik. Melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal pula, pertama, menunjukkan ketidak senangan atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan istrinya, dalam hal ini adalah nusyûz. Dan kedua, suami harus berusaha untuk meraih dibalik pelaksanaan perintah itu suatu yang baik atau lebih baik dari keadaan semula (M. Quraish, 2003: 409).
.... فٔ الوضاجغ... fil madhâji‟yang diterjemahkan dengan di tempat pembaringan, di samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan juga tidak di kamar, tetapi di tempat tidur. Ini karena ayat tersebut menggunakan kata (ٔ )فyang berarti di tempat tidur, bukan kata ( )هيyang berarti dari tempat tidur, yang bararti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian hendaknya suami jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar dimana suami dan istri biasa tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda permasalahan dapat memperlebar jurang perselisihan. Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan karena keberadaan dalam kamar adalah untuk menunjukkan ketidak senangan atas kelakuan istrinya, maka ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidak senangan suami itu. Kalau seorang suami berada di kamar dan tidur bersama, namun tidak ada cumbu, tidak ada kata manis, tidak ada hubungan intim, maka katika itulah menunjukkan bahwa istri tidak berkenan di hati suami. Nah, ketika itulah diharapkan istri dapat menyadari kesalahnnya. Ketika itulah diharapkan keadaan yang lebih baik yang merupakan tujuan hajar dapat dicapai. ....ّاضستُْي... wadhribûhunna yang diterjemahkan dan pukullah mereka terambil dari kata ( )ظربdharaba yang mempunyai banyak arti. Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar. Orang yang berjalan kaki atau musafir oleh bahasa al-Qur‟ân disebut ( )يعربىى فى رضyang secara harfiah berarti memukul di bumi. Karena itu
perintah di atas dipahami oleh ulama bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Perlu dicatat ini adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah tangganya (M. Quraish, 2003: 410). Jika ketiga langkah ini belum juga berhasil, maka langkah berikutnya adalah apa yang diperinthakan oleh ayat berikut. b.
Tafsir Surat al-Nisâ’ ayat 35
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Kalau ketiga langkah yang di ajarkan di atas belum juga berhasil, habis sudah upaya yang dapat dilakukan suami. Ketika itu, sudah sangan sulit membatasi perselisihan mereka terbatas kamar atau rumah. Pastilah ketika itu asap api pertengkaran telah mengepul ke udara. Kepada yang melihat atau mencium atau mengetahui adanya asap itu, baik keluarga, penguasa, atau orang-orang yang dipercaya mengurus kesejahteraan rumah tangga, hendaknya mengindahkan tuntunan ayat berikut:
....
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarga perempuan....
Jika kamu wahai orang-orang bijak dan bertakwa, khususnya penguasa, khawatir akan terjadi persengketaan antar keduanya, yakni menjadikan suami dan istri masing-masing mengambil arah yang berbeda dengn arah pasangannya sehingga terjadi perceraian, maka utuslah kepada keduanya seorang hakam yakni juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan kemelut dengan baik. Juru damai (hakam) itu sebaiknya dari keuarga laki-laki yakni keluarga suami, dan hakam dari keluarga perempuan, yakni keluarga istri. Masing-masing mendengar keluhan dan harapan anggota keluarganya (M. Quraish, 2003: 413). Jadi kesimpulan dari ayat tersebut yakni, jika terjadi perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan akan berujung perceraian, maka utuslah seorang juru damai (hakam) yakni juru damai dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri, dengan tujuan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dengan baik.
... ...Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik pada suami istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. Jika keduanya yakni suami dan istri atau kedua hakam itu ingin mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi bimbingan kepada keduanya yakni suami istri itu. Ini karena ketulusan niat untuk
mempertahankan kehidupan rumah tangga merupakan modal utama menyelesaikan semua problem keluarga. Sesungguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan akan datang Maha Mengetahui segala sesuatu, lagi Maha Mengenal sekecil apapun termasuk detak-detik kalbu suami istri dan para hakam tersebut. Disini, fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal, apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami istri yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka hakam, dan dengan demikian mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak. Pendapat ini dianut oleh sejumlah sahabat nabi Saw, juga kedua Imam madzhab Maliki dan Ahmad Ibnu Hanbal. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan juga Imam Syafi‟i, tidak member wewenang kepada hakam itu. Untuk menceraikan hanya berada di tangan suami, dan tugas utama mereka hanya mendamaikan, tidak lebih dan tidak kurang (M. Quraish, 2003: 413). c.
Tafsir Surat al-Nisâ’ ayat 36.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
.... Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.... Ibadah, bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tatapi adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya karena adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepada ia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang arti hakikatnya tidak terjangkau. Begitu kurang lebih yang ditulis oleh Muhammad Abduh. Perintah ibadah dalam ayat ini bukan saja ibadah ritual atau yang juga dikenal dengan ibadah mahdhah, yakni ibadah yang cara, kadar, dan waktunya ditetapkan oleh Allah dan Rasul, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, tetapi mencakup segala macam aktivitas, yang hendaknya dilakukan hanya karena Allah SWT (M. Quraish, 2003: 415). Ibadah yang dimaksud adalah perwujudan dari perintah-Nya. Firman Allah:
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (Q.S. al-An‟âm: 162)
Sementara ulama memahami perintah ibadah dalam ayat ini dalam tauhid praktis, di mana amal-amal kebajikan merupakan buah dari keyakinan kalbu atas ke Esaan Allah SWT. Setelah memerintahkan beribadah kepada Allah SWT. Dan tidak mempersekutukan-Nya, perintah berikutnya adalah berbakti kepada kedua orang tua adalah …. …الْالدٗيal-wâlidain. Bentuk dual dari kata ( )و ا wâlid yang biasa diterjemahkan “bapak/ayah”. Ada juga kata lain ( ) بab (ayah) dan ( ) مum (ibu). Akan tetapi sepanjang penelusuran kata ّالد digunakan secara khusus kepada ayah/bapak kandung, demikian pula kata
ّالدخuntuk makna ibu kandung. Al-Qur‟ân menggunakan kata ( ) حساىihsân sebanyak enam kali, lima diantaranya dalam konteks berbakti kepada kedua orang tua. Kata ()حسي hasan mencakup “segala sesuatu yang menggembirakan dan disenagi”. “Hasanah digunakan untuk menggambarkan apa yang menggembirakan manusia karena perolehan nikamat menyangkut diri, jasmani, dan keadaannya.” Demikian dirmusukan oleh pakar kosakata al-Qur‟ân, arRagib al-Asfahani. Ihsân digunakan untuk dua hal: pertama, member nikmat kepada pihak lain. Kedua, berbuat baik. kata ihsân lebih luas dari sekedar “memberi nikmat atau nafkah”. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna “adil”, karena adil adalah “ memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya kepada anda”, sedangkan ihsân adalah “memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap anda.” (M. Quraish, 2003: 416) .
As-Sya‟rawi dalam tafsirnya menulis perbedaan antara perintah mempersembahkan ihsâh atau kebajikan kepada kedua orangtua dengan perintah memperlakukan mereka dengan ma‟ruf sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Luqman: 15.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepadaKulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan (Q. S. Luqman: 15). Perintah memperlakukan kedua orang tua dengan ma‟ruf adalah jika keduanya bukan penganut Islam dan perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Ketika itu hati anak tidak boleh merestui dan tidak boleh juga tidak boleh senang dengan sikap orang tua, tetapi ketidak senangan hati itu tidak boleh mengantarnya mengabaikan kemaslahatan mereka menyangkut kehidupan duniawi (M. Quraish, 2003: 418). ….ٔ …ّترٓ المستyaitu kerabat dekat, kerabat dekat adalah orang yang memiliki pertalian keluarga dengan kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun pernikahan. Kerabat yang melalui hubungan darah adalah seperti ibu, bapak, anak, cucu, saudara, paman. Adapun yang melalui jalur perkawinan adalah mertua, istri, adik ipar, kakak ipar, dan seterusnya. Di
dalam Islam, berbuat baik dan membantu kaum kerabat hendaknya lebih kedepankan daripada orang lain. Dengan kata lain, apabila kaum kerabat dalam kondisi lemah dan kekurangan, maka jadikanlah mereka sebagai golongan pertama yang harus kita bantu. Sebab, mereka masih memiliki hubungan dekat dengan kita (Salamulloh, 2008: 35). Firman Allah SWT:
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya (Q.S. al-Baqarah: 215). Ayat di atas jelas sekali urutan orang yang harus kita perhatikan terlebih dahulu adalah kerabat. Mereka di tempatkan setelah kedua orang tua, baru kemudian kelompok-kelompok lain. Ini menunjukkan bahwa para kerabat adalah orang yang berhak diprioritaskan mendapat perhatian kita dari pada orang lain (Salamulloh, 2008: 36) .... ّال٘راهٔ ّالوساك٘ي... janganlah abai dengan anak yatim, ايتينyakni mereka yang meninggal ayahnya sedang ia belum dewasa. Anak yatim adalah anak yang paling membutuhkan pertolongan dan kasih sayang, karena ia telah kehilangan seorang ayah pada saat ia membutuhkan kehadirannya. Ia telah kehilangan sosok yang mencari nafkah. Bahkan ia
telah kehilangan sososk yang membimbingnya sebelum ia mengerti apaapa. Sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki harta dan dan penghasilan akan tetapi belum bisa untuk memenuhi kebutuhannya seharihari (M. Quraish, 2003: 415). Di atas juga dikemukakan makna …. …ّالجازذٓ المستٔ ّالجازالجٌة “tetangga dekat dan tetangga jauh”. Ulama menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal disekeliling rumah kita, sejak rumah pertama hingga rumah ke empat puluh. Ada juga yang memberi batasan tertentu dan mengembalikannya pada situasi dan kondisi setiap masyarakat. Betapapun kita dapat berkata bahwa dewasa ini sering kali ada tetangga yang tidak kita kenal namanya, atau bisa jadi mereka tidak seagama dengan kita. Meskipun demikian, semua adalah tetangga yang wajib mendapat perlakuan baik. Ikut gembira dengan kegembiraannya, dan menyatakan bela sungkawa atas kesedihannya, serta membantunya ketika mengalami kesulitan. Karena tetangga itu memiliki tiga tingkatan. Pertama, yang memiliki satu hak. Kedua, mempunyai dua hak. Ketiga, yang mempunyai tiga hak. Tetangga yang mempunyai satu hak adalah orang musyrik dan tidak mempunyai kekerabatan dengan kita, tetapi karena mereka adalah tetangga kita, maka mereka mempunyai satu hak, yakni hak kebertetanggaan itu. Sedang yang mempunyai dua hak adalah, tetangga yang muslim. Dan yang mempunyai tiga hak adalah tetangga yang muslim dan yang memiliki kekerabatan dengan kita (M. Quraish, 2003: 419).
…. …ّالصاحة تالجٌةwash shâhibi bin janbi, disini adalah teman dalam perjalanan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Di samping makna yang dikemukakan sebelum ini, dapat juga dipahami dalam arti istri, bahkan siapapun yang menyertai seseorang dirumahnya, termasuk para pembantu rumah tangga. Maka ini perlu ditekankan terutama karena sementara orang, baik sebelum turunnya al-Qur‟ân maupun sesudahnya, hingga kini memperlakukan istri dan pembantu rumah tangga secara tidak wajar (M. Quraish, 2003: 419). Dari keterangan di atas sudah mencakup berbuat baik kepada budak yang pada saat ini mungkin sudah langka, dan umumnya adalah pembantu rumah tangga. …. …ّاتي السث٘لwabnissabîl, yaitu anak-anak jalanan dan orang-orang yang habis bekalnya sedang ia dalam perjalanan (M. Quraish, 2003: 415).
... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. …. …هخراال فخْزmukhtâlan fakhûra, kata ( )هخراالdi atas di terjemahkan dengan sombong, terambil dari akar kata yang sama dengan “khayal”, karenanya kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya, orang semacam ini berjalan angkuh dan merasa diri memiliki
kelebihan
dibandingkan
orang
lain.
Dengan
demikian,
keangkuhan tampak nyata dalam kesehariannya. Kuda dinamakan khail karena jalannya menegaskan keangkuhan. Seorang yang ) )هخرالmukhtâl
mengantarnya untuk membanggakan apa yang dimilikinya, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakikatnya tidak ia miliki, dan inilah yang di tunjuk oleh kata ( )فخْزfakhûra, yakni sering kali membanggakan diri. Kedua kata هخرلdan فخْزmengandung makna kesombongan, tetapi yang pertama terlihat dari tingkah laku dan yang kedua adalah kesombongan yang terdengan dari ucapan (M. Quraish, 2003: 419). Sebagaimana ayat di atas bahwa sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong yakni orang yang merasa diri tinggi, sehingga enggan membantu dan bergaul dengan orang-orang yang lemah, apalagi mereka menggabungkan kesombongan itu dengan membangga-banggakan diri. d. Tafsir Surat al-Ahzâb ayat 59
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyake seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzâb: 59). Sebelum turunnya yat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak, yang baik-baik atau kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. karena itu, lelaki usil sering kalimengganggu wanita khusunya yang mereka
ketahui sebagai hamba sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut maka turunlah ayat tersebut. Kalimat ( )ًساءالوؤهٌ٘يnisâ‟ul mukminîn di terjemahkan oleh tim Departemen Agama dengan istri-istri orang mukmin. Sedangkan penulis yakni M. Quraish shihab menterjemahkannya dengan wanita-wanita orang mukmin. Sehingga ayat ini dapat juga mencakup gadis-gadis semua orang mukmin bahkan keluarga mereka semua. Kata ….„ …ػلِ٘يalaihinna (di atas mereka) menegaskan bahwa seluruh badan mereka tertutupi oleh pakaian (M. Quraish, 2003: 320). Nabi Saw mengecualikan wajah dan kedua telapak tangan atau dan beberapa bagian lain dari tubuh wanita, Allah berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau puteraputera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (Q.S. an-Nûr: 31). Ayat ini merupakan penjelasan Nabi Saw yang merupakan penafsiran dari ayat di atas. Kata ( )جلثابjilbâb diperselisihkan oleh para ulama‟. Al-Biqâ‟i menyebut beberapa pendapat. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqâ‟i dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud adalah baju, maka ia adalah yang menutupi tangan dan kakinya. Kalau kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang
menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Thabâthabâ‟i memahami kata jilbâb dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita. Ibnu „Âsyûr memahami kata jilbâb dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan wanita di atas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga ke seluruh bahu dan belakangnya. Ibnu „Âsyûr menambahkan bahwa model jilbâb bisa bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang diarahkan oleh adat istiadat. Tetapi tujuan yang dikehendaki oleh ayat ini yaitu “…menjadikan mereka mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.” (M. Quraish, 2003: 320). Kata (ًٖ )ذدtudnî terambil dari kata ( )اًاdanâ yang berarti dekat dan menurut Ibnu „Âsyûr yang dimaksud di sini adalah memakai atau meletakkan. Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbâb, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbâb mereka dan yang diperintahkan adalah “hendaklah mereka mengulurkan jilbâbnya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi mereka belum mengulurkannya. Nah, ini ditegaskan untuk mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi bagi yang belum memakainya.
Firman-Nya: …. …ّكاى هللا غفْزا زح٘واdipahami oleh Ibnu „Âsyûr sebagai isyarat tentang pengampunan Allah SWT atas kesalahan mereka yang mengganggu sebelum turunnya petunjuk ini. Sedang al-Biqâ‟i memahaminya sebagai isyarat pengampunan Allah SWT kepada wanitawanita mukminah yang pada masa itu belum memakai jilbâb sebelum turunnya ayat ini. Dapat juga dikatakan bahwa kalimat itu sebagai isyarat bahwa mengampuni wanita-wanita masa kini yang pernah terbuka auratnya, apabila mereka segera menutupnya atau memakai jilbâb, atau Allah mengampuni mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan Allah SWT dan Nabi Saw, selama mereka sadar akan kesalahnnya dan berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan petunjukpetunjuk-Nya (M. Quraish, 2003: 321).
C. Perbedaan Metode Penafsiran antara Para Mufassir. Tafsir al-Qur‟ân adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemapuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh seorang penafsir dari al-Qur‟ân bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Jika Fulan memiliki kecenderungan hukum, maka tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau kecenderungan Zaid adalah filsafat, maka tafsir yang dihidangkannya
bernuansa filosofis. Kalau studi yang diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang aspek-aspek kebahasaan. Demikian seterusnya. Sebagaimana penafsiran kedua mufassir diatas, kedua mufassir diatas menggunakan metode tahlîlî, yakni menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam setiap surat. Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsir oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, sistem penafsirannya lebih global dan tidak terlalu ditekankan pada mufrodatnya (kosa kata), sehingga lebih terlihat seperti tarjamah al-Qur‟ân pada umumnya. Berbeda dengan tafsir al-Misbah, dalam tafsir ini M. Quraish Shihab lebih menekankan pada kosa kata dan ungkapan-ungkapan al-Qur‟ân dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, paparan makna kosa kata dan kaidah-kaidah tafsir yang menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat lainnya yang tidak ditafsirkan. Jadi penafsiran lebih mendalam, dan lebih mendetail.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Nilai Pendidikan Akhlak Istri Shalihah (Telaah al-Qur‟ân Surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb ayat 59). Adalah sebagai berikut: 1. Nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam alQur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb ayat 59. a. Perintah mentaati suami. Istri yang shalihah adalah ia yang taat kepada suaminya, dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada di tempat. b. Hukuman bagi istri yang nusyûz, yakni istri yang durhaka terhadap suaminya. c. Solusi bagi suami istri yang berselisih. d. Perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga jauh dan tetangga dekat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. e. Anjuran untuk berjilbab.
2. Relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak istri shalihah yang terkandung dalam al-Qur‟ân surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36, dan al-Ahzâb ayat 59 dikaitkan dengan konteks kekinian. Kemajuan dan perkembangan zaman telah mengubah dan menggeser nilai-nilai dan tradisi Islam yang dulunya kental dengan adat ketimuran. Hal ini menyebabkan krisis akhlak khususnya bagi kaum wanita, banyak dari mereka yang tidak mengindahkan perintah Allah. Misalnya: bagi seorang istri, taat terhadap suami itu wajib tapi buktinya banyak diantara mereka yang berani dan menentang (durhaka) dengan perintah suaminya. Tidak hanya itu, dalam segi berbusana pun dahulu dan sekarang sangat berbeda jauh, sekarang lebih fulgar dan terbuka. Hal ini merupakan pertanda betapa jauhnya penyelewengan mereka dari tuntunan Allah SWT. Budaya-budaya yang dulu dipertahankan kini tergeser oleh budaya-budaya barat yang jauh dari akhlak Islam. B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saransaran sebagai berikut: 1.
Untuk dunia pendidikan Islam Pengajaran dan penanaman akhlak yang bersumber dari al-Qur‟ân dan al-Sunnah harus teruis dilakukan, khususnya pendidikan akhlak untuk wanita, dimana krisis moral sedang melanda negeri ini. Oleh karena itu seorang pendidik sebagai sosok yang diharapkan masyarakat dapat mengentaskan krisis moral, hendaknya selalu memberikan hal terbaik
dalam membimbing dan mengarahkan generasi penerus bangsa serta mampu mennjadi suri tauladan yang baik bagi mereka. 2.
Untuk para wanita muslimah. Pada dasarnya pendidikan akhlak menuju istri shalihah telah nyata dijelaskan dalam al-Qur‟ân dan al-Sunnah , diantaranya adalah yang terkandung dalam surat al-Nisâ‟ ayat 34, 35, 36 dan al-Ahzâb ayat 59. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar penggalian ajaran tersebut terus dilakukan, diaplikasikan, serta disosialisasikan sebagai salah satu langkah perbaikan akhlak manusia yakni kaum wanita khususnya istri menuju pribadi yang mar‟atusshâlihah dalam menjalani kehidupan dunia, agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Penutup Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah, Tuhan semesta Alam. Maha pengasih dan Maha penyayang dan hanya Allah yang berhak di sembah dan diibadahi dengan benar. Shalawat beriring salam kepada Rasulullah Muhammad Saw yang menjadi tauladan sekaligus mampu mengubah dan membentuk umat menuju akhlak mulia. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak
yang
telah
membimbing,
mengarahkan
dan
membantu
terselesaikannya penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini, mengingat kemampuan yang ada, tentulah skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kebenaran Mutlak adalah milik Allah
yang Esa, maka penulis menyadari bila skripsi ini masih perlu dilengkapi dan diberikan saran yang membangun. Maka penulis mengahrapkan kepada para pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran sebagai kajian lebih lanjut. Sehingga skripsi ini mendekati kebenaran dan kesempurnaan sebuah karya ilmiah. Akhirnya ridha Allah SWT semata yang senantiasa penulis harapkan sehingga skripsi ini akan menjadi salah satu sumbangan khasanah keilmuan Islam, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, M. Nipan. 2000. Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Abdurrahman, yasir. 2007. Berapa Nilaimu Membahagiakan Suami. Bandung : Irsyad Baitus Salam. Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahmad.1997. Sunan Ahmad. Malaysia: Sakhr. Arifin, Bey. Yunus Ali Al-Muhdhor. 1993. Tarjamah Sunan An-Nasa‟iy. Semarang: CV. ASYSYIFA‟. Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Al-Bukhari. 1997. Shahih al-bukhari. Malaysia: Sakhr. Departemen Agama RI. 2010. Alhidayah Al-Qur‟ân Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka. Banten: Kalim. Al-Ghifari, Abu. 2004. Kerudung Gaul (Berjilbab Tapi Telanjang). Bandung: Mujahid. Fahd ats-Tsuwaini, Muhammad. 2008. Mempercantik Diri Dengan Jilbab. Surakarta: Daar An-Nabaa‟. Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Researc. Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. . 1983. Metodologi Research. Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Jilid I. Yogyakarta: Yayasan
Hamid, Abdul. 1995. Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Yang Sakinah. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Hasan Al-„Aridl, „Ali. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: RAJAWALI PERS.
Hasbi, Assiddieqy, Muhammad, Teungku. 2000. Tafsir Al-Qur‟anul Majid ANNUR. Semarang : Pustaka Rizki Putra. Hidayat, wahyu. 2008. Menjaga Kesucian Wanita Muslim. Sidoarjo: Penerbit Mashun. Huda, Nurul. 2001. Kupinang Dirimu Karena Shalihah. Jakarta: Lintas Media. Ilyas, H.Yunahar. 2006. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: pustaka pelajar. Jalaludin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kamil, Muhammad Hasan al-Mahami. 2005. Enslikopedi Al-Qur‟ân. Jakarta: PT. Kharisma Ilmu. Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta: Daarut Taw‟ziwanNasyr al-Islamiyyah. Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Moloeng, Lexi. M.A. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roesdakarya. Murad, Musthafa. 2008. Wanita di Ambang Neraka. Solo: PT Aqwam Media Profetika. Muslim bin al-Hajaj, Imam Abi Husain. 1992. Shohih Muslim. Bairut, Libanon: Dâr al-Kitâb al-„Ulumiyah. Nasib Ar-Rifa‟i, Muhammad. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani. Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Salamulloh, M. Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. . 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Shaleh, Qamaruddin. Dkk. 1990. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur‟an. Bandung: CV. DIPONEGORO Shihab, M. Quraish, 1997. Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah.
. 2003. Tafsir al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati. Suhartono, Suparlan. 2006. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Sukri Farhat, Yusuf. 2007. Mu‟jam at-Tullâb. Lebanon: Dar al-kotob al-Ilmiyah. Sulastika, Nunik. 2013. Rahasia Muslimah Cantik. Yogyakarta: Pro-U Media. Syah, Muhibbin.1997. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya. Al-Taliyadi, Abdullah. 2008. Astaghfirullah, Aurat. Jogjakarta: DIVA Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Thabathaba‟i, Alamah. 1990. Mengungkap Rahasia Al-Qur‟an. Bandung: Mizan Ubaidah, Abu. 2010. Shahih Fiqih Wanita. Solo: Insan Kamil. Yunus, Mahmud. 2007. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media group.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Bahwa yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Tempat/Tanggal lahir Bangsa Agama Nama Ayah Nama Ibu Tempat tinggal sekarang
: Hima Nurusshofiati : Grobogan, 26 Nopember 1990 : INDONESIA : ISLAM : Nurhamid : Shofiyah : PONDOK PESANTREN ANNIDA Jln. Jendral Sudirman No. 239. Salatiga
Menerangkan dengan sesungguhnya: RIWAYAT PENDIDIKAN 1. TK Al-Masyithoh Tungu
Lulus Tahun 1997
2. MI Al-Mubarokah Tungu
Lulus Tahun 2003
3. MTsN Jeketro
Lulus Tahun 2006
4. MA Futuhiyyah 2 Mranggen
Lulus Tahun 2009
5. S1 STAIN 2009
Lulus Tahun 2013
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Salatiga, 1 Agustus 2013 Penulis
Hima Nurusshofiati NIM. 111 09 121