NILAI-NILAI AJARAN GURUPADESA DALAM LONTAR PAWARAH MPU TUTUR ( Suatu Tinjauan Filologi ) Ida Bagus Heri Juniawan Tenaga Pengajar pada Jurusan Dharma Duta STAHN Gde Pudja Mataram Abstrak Penelitian berjudul “ Nilai-Nilai Ajaran Gurupadesa dalam Lontar Pawarah Mpu Tutur: Suatu Tinjauan Filologi, didasari oleh suatu pemikiran bahwa Lontar ini merupakan salah satu warisan leluhur berupa peninggalan budaya tertulis yang berupa naskah yang di dalamnya berisi ajaran atau pitutur yang sarat dengan nilai-nilai didaktis atau nilai-nilai guru bhakti tentang filsafat, etika moral, agama, keutamaan ilmu pengetahuan sebagai pedoman manusia dalam menjalankan swadharmanya. Karena adanya panutan nilai etika, moral, dan agama dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Lontar Pawarah Mpu Tutur, mengalihaksarakan ke dalam hurup latin, dan menterjemahkan secara harfiah dan bebas ke dalam bahasa Indonesia supaya para pembaca lebih mudah untuk memahaminya terutama para pembaca yang tidak mengerti huruf Bali dan bahasa Jawa kuno, karena studi terhadap karyakarya sastra masa lampau dapat mengungkap segala informasi mengenai berbagai segi kehidupan sehingga inti ajaran yang ada didalam karya sastra itu dapat dipahami oleh para pembaca. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan nilai-nilai ajaran gurupadesa yang terdapat di dalam Lontar Pawarah Mpu Tutur. Guna mencapai tujuan tersebut, metode filologis, metode terjemahan, dan metode analisis isi dipakai dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan objek kajian Lontar Pawarah Mpu Tutur, yang ditemukan peneliti dari penyimpanan dan koleksi pribadi masyarakat di Lombok. Ada tiga alasan mengapa naskah Lontar Pawarah Mpu Tutur, menarik dan layak dipertimbangkan untuk disunting dan dikaji isinya. Alasan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Teks dalam Lontar Pawarah Mpu Tutur ini mengandung nilai-nilai ajaran Guru Bhakti atau Guru Susrusa yang kemungkinan masih relevan dengan kehidupan masa kini. (2.) Sepanjang pengetahuan peneliti, teks Lontar Pawarah Mpu Tutur, belum pernah dikaji secara filologis yaitu deskripsi, transliterasi dan translasi teks.(3) Translasi atau penerjemahan naskah Lontar Lontar Pawarah Mpu Tutur, ini belum pernah diterjemahkan oleh peneliti lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah deskripsi teks, transliterasi teks, terjemahan teks dalam bahasa Indonesia dan nilai-nilai ajaran Gurupadesa yang terdapat di dalamnya. Kata kunci : Nilai-nilai Gurupadesa Lontar Pawarah Mpu Tutur.
PENDAHULUAN
Sastra merupakan hasil proses kreatif. Dalam proses penciptaannnya melibatkan banyak daya, seperti daya imajinasi dan daya kreatifitas dari para pengarangnya. Selain itu, karya sastra dalam proses penciptaannya juga membutuhkan pengetahuan yang luas dan pengalaman yang kompleks dari para pengarangnya untuk menghasilkan suatu produk seni yang lebih intens dan bertendensi. Tanpa adanya hal tersebut niscaya akan menelurkan karya sastra yang bernilai seni tinggi. Luasnya kehidupan manusia yang terekam di dalam sebuah karya sastra, telah pula melibatkan berbagai displin ilmu untuk memberikan beragam kontribusi terhadap proses penciptaan karya sastra, sampai pada proses pemberian makna atau interpretasi terhadap karya sastra itu sendiri. Naskah-naskah dalam bentuk lontar itu sampai saat ini jumlahnya masih ribuan tersebar di penyimpanan formal seperti museum, perpustakaan, dan nonformal seperti rumah-rumah penduduk yang merupakan koleksi pribadi dari anggota masyarakat. Peranan naskah-naskah itu sangat penting dalam kehidupan masyarakat, tetapi hanya sedikit yang mau mempelajari naskahnaskah tersebut. Seperti halnya kalangan generasi muda kini telah mulai enggan untuk mempelajari naskah tersebut, karena bagi mereka naskah-naskah itu sulit dibaca serta sulit dimengerti. Generasi muda kesulitan memahami naskah-naskah tersebut karena sebagian besar naskah-naskah tersebut ditulis pada lontar dengan menggunakan aksara Bali dan berbahasa Sanskerta, Jawa Kuna, Tengahan, atau berbahasa Bali yang tampak semakin asing bagi generasi muda. Untuk menjembatani kesenjangan komunikasi tersebut perlu dilakukan transliterasi dan translasi yang selanjutnya disajikan dan ditafsirkan agar teks terbaca atau dimengerti. Menurut Baroroh Baried (1994:1) studi terhadap karya tulis masa lampau perlu dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tertulis terkandung nilai-nilai yang masih relevan juga untuk masa sekarang dan masa mendatang. Ini artinya bahwa konsep-konsep pengetahuan yang tertuang dalam suatu karya sastra perlu dikaji lebih mendalam, agar kandungan makna yang tersurat dalam teks itu dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Jauss dalam Yapi Taum (1997:74) mengatakan bahwa karya sastra lama memiliki relevansi dengan masa sekarang dalam arti ada nilai-nilai tertentu untuk orang yang membacanya dan sebuah karya sastra akan lebih dipahami secara utuh jika pemahaman itu dilandasi pada penyatuan pengalaman masa lampau (diakronis) dan masa kini (sinkronis). Melalui pemahaman sinkronis dan diakronis itu makna sebuah karya sastra dapat diwujudkan secara koheren. Oleh karena itu penggalian isi naskah ini perlu dilakukan karena berbagai nilai yang hidup pada masa sekarang
pada hakikatnya merupakan bentuk kesinambungan dari nilai-nilai yang telah ada pada masa lampau. Artinya bahwa manusia pada masa kini membutuhkan informasi tentang masa lalu sebagai inspirasi dan pengetahuan untuk kehidupan di masa depan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka salah satu karya sastra yang dijadikan sebagai objek material penelitian ini adalah lontar yang berjudul Pawarah Mpu Tutur yang selanjutnya disingkat PMT, yang diperoleh peneliti dari penyimpanan atau koleksi pribadi anggota masyarakat di pulau Lombok. Ada dua alasan mengapa naskah Lontar PMT menarik dan layak dipertimbangkan untuk disunting dan dikaji isinya. (1)Naskah ini mengandung nilai-nilai ajaran Gurupadesa yang kemungkinan masih relevan dengan kehidupan masa kini. (2.) Sepanjang pengetahuan peneliti, Lontar PMT
belum pernah dikaji secara filologis yaitu deskripsi,
transliterasi dan translasi teks. Dengan bekal kesadaran akan dasar-dasar etika diharapkan setiap insan mampu mengamalkan ajaran yang terkandung dalam lontar PMT ini, sebagai landasan utama dalam kehidupan. Karena adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Berkaitan dengan hal ini, maka lontar PMT akan dikaji lebih mendalam agar ajaran yang terkandung di dalam naskah ini dapat dipahami oleh masyarakat luas, karena studi terhadap karya-karya sastra masa lampau dapat mengungkap segala informasi mengenai berbagai segi kehidupan sehingga inti ajaran yang ada didalam karya sastra itu dapat dipahami oleh para pembaca. PMT yang ditemukan peneliti dari penyimpanan dan koleksi pribadi anggota masyarakat di pulau Lombok. Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini meliputi: inventarisasi naskah, mendeskripsikan naskah, transliterasi teks ke dalam huruf latin, translasi teks secara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas sesuai dengan konteks ceritanya ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menganalisis isi teks dalam mengungkap nilai-nilai ajaran yang terkandung
pada lontar PMT tersebut peneliti mengunakan metode analisis isi dengan
mengunakan pendekatan pragmatik yaitu suatu pendekatan yang menekankan fungsi ajaranajaran dalam teks.
RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang di atas, maka dapat diformulasikan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Tinjauan Filologi (deskripsikan, tranliterasi dan translasi Lontar Pewarah Mpu Tutur? 2. Nilai-Nilai Ajaran Gurupadesa apa saja yang terkandung dalam lontar Pawarah Mpu Tutur ?
TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum dalam penelitian ini adalah sebagai satu upaya tindak preservasi terhadap salah satu warisan budaya berupa naskah lama dan mengetengahkan ke khalayak umum sebuah teks naratif hasil budaya masa lampau sebagai sumber perujukan nilai-nilai ajaran Guru Upadesa. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah mengalih-aksara-kan dan mengalihbahasa-kan lontar PMT, sehingga dapat
memudahkan peneliti dalam menganalisis serta
mendeskripsikan nilai-nilai ajaran Gurupadesa yang terkandung dalam lontar tersebut .
MANFAAT PENELITIAN Manfaaf teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah dan memperkaya hasil-hasil penelitian di bidang filologi dan sebagai sumbangan pemikiran serta dapat dijadikan nilai tambah untuk mengembangan wawasan tentang nilai-nilai ajaran Gurupadesa dari sebuah karya sastra dan dapat dijadikan sebagai bahan refrensi bagi para peneliti berikutnya yang memiliki topik yang sama dalam setting dan kajian yang berbeda. Sedangkan secara praktis penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai sebuah sumbangan pemikiran kepada instansi pemerintah khususnya kepada lembaga-lembaga terkait guna pengembangan pendidikan yang dasar acuannya berdasarkan nilai-nilai ajaran Gurupadesa dari sebuah karya sastra dan dapat membantu, menambah wawasan, dan memperluas cakrawala pandang serta mempertajam kognitif masyarakat Hindu tentang pentingnya nilai-nilai ajaran Gurupadesa dari sebuah karya sastra diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari. METODE PENELITIAN Metode Penelitian merupakan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan dan pemecahan masalah yang dihadapi, pada dasarnya merupakan suatu metode ilmiah atau scientific method
(Sutrisno Hadi, 1981:2). Metode penelitian juga merupakan suatu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7). Jadi, metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan dan rumusan untuk memahami fenomena yang digunakan untuk meneliti persoalan penelitian yang bisa mencapai hasil sesuai harapan peneliti. Sumber data sangat dibutuhkan dalam penelitian, sehingga pengumpulan data itu menjadi langkah utama dalam penelitian. Pengumpulan data adalah aktivitas pengumpulan informasi sesuai dengan sumber, metode dan instrument penelitian data, sebelumnya telah dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki peneliti. Adapun sumber data yang dipersiapkan dalam penelitian terdiri dari dua kategori, yaitu berupa naskah Lontar Pawarah Mpu Tutur sebagai data primer, sedangkan sumber data sekunder penelitian ini berupa kepustakaan penunjang yang lainnya.
PEMBAHASAN 1. Deskripsi Lontar Mpu Tutur Deskripsi naskah adalah uraian tentang keadaan naskah, kertas naskah, catatan lain mengenai isi naskah, dan pokok-pokok isi naskah. (Djamaris, 1977:25). Deskripsi naskah berkaitan dengan informasi mengenai seluk beluk naskah. Informasi ini dapat diperoleh dari naskah itu sendiri atau dari catatan, yang biasanya berupa tulisan tangan dari pemilik naskah, atau penghibah yang diselipkan dalam naskah. Para peneliti naskah, baik yang memiliki tujuan mempublikasikan maupun di dalam rangka penyusunan karya ilmiah, hendaknya secara lengkap dan cemat mendeskripsikan naskah yang akan diteliti atau digarapnya (Hermansoemantri dalam Dasuki, 1992:1) Naskah yang dijadikan sebagai bahan penelitian dan sumber data primer adalah naskah /teks beraksara dan berbahasa jawa kuno yang terdiri atas naskah bertulisan tangan atau manuskrip. Naskah/teks tersebut merupakan koleksi pribadi I Wayan Resinaya berasal dari Karang Wates Kelurahan Cakra Utara, Mataram, yang telah dialihaksarakan ke dalam huruf Latin oleh Ida Bagus Heri Juniawan berasal dari Grya Intaran, Kelurahan Pagutan Mataram Deskripsi Lontar Pawarah Mpu Tutur sebagai berikut : 1. Judul Naskah : Pawarah Mpu Tutur 2. Nomor Katalog Naskah :-
3. 4. 5. 6.
Tempat Penyimpanan Naskah Asal Naskah Penerbit Naskah Keadaan Naskah
7. Ukuran Naskah 8. Ukuran Aksara 9. Tebal Teks 10. Jenis Huruf 11. Bentuk Huruf 12. Bahan Naskah 13. Bahasa Naskah 14. Bentuk teks 15. Kolofon
: Griya Banjar Intaran, Pagutan : Karang Wates Mataram :: Lengkap dan asli serta urutan halaman dari hal 1a – 33b. : 3,7cm x 25 cm : 0,5 mm x 0,8 mm : 33 Lembar : Huruf Bali : Ngetumbar : Daun lontar : Jawa Kuno : Prosa : -
2. Pedoman Transliterasi dan Terjemahan Transliterasi merupakan salah satu tahap atau langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan bahasa daerah, Transliterasi ialah pengantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain ( Djamaris, 2002:19) Sistem transliterasi yang digunakan pada transliterasi lontar Pawarah Mpu
Tutur mengikuti sistem yang di Sansekertakan (
Zoetmulder, 1995) dengan sedikit perubahan-perbahan. Transliterasi teks diusahakan untuk mempertahankan ciri-ciri naskah asli guna memudahkan dalam memahami teks dengan berpedoman pada pemisahan kata, ejaan, dan pengunaan tanda baca. (tanda diakritik) Untuk standarisasi ejaan digunakan pedoman ejaan sesuai dengan kamus Jawa kuna –Indonesia karangan Zoetmulder. Metode terjemahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penerjemahan literal (literal translation) atau disebut juga penerjemahan lurus (linier translation) berada diantara penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas (free translationi). Dalam proses penerjemahannya, penerjemah mencari konstruksi gramatikan bahasa sumber (BSu) yang sepadan atau dekat dengan bahasa sasaran (Bsa). Penerjemahan literal ini terlepas dari konteks. Penerjemahan ini mula – mula dilakukan seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata-katanya sesuai dengan gramatikal BSa. Penerjemahan literal merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam proses terjemah. Teknik ini mencoba menterjemahkan sebuah kata atau ungkapan kata perkata. “ Literal translations is to translate a word or an expression word for word” (Hurtado Albir: 2001). Yang dimaksud dengan kata demi kata pada definisi ini, bukan berarti menerjemahkan satu kata untuk
kata yang lainnya, tetapi lebih cenderung kepada menerjemahkan kata demi kata berdasarkan fungsi dan maknanya dalam tataran kalimat. Disisi lain, mengingat konteks kalimat, kelancaran bahasa Indonesia, dan kejelasan pengertian, sehingga tidak selalu mungkin untuk menerjemahkan sebuah kata dalam bahasa kawi secara konsisten dengan padanan kata yang memiliki arti sama dalam bahasa indonesia, dan karena bahasa sumber demikian rumit sehingga satu kalimat bahasa sumber itu menyimpan pesan yang panjang dan memerlukan beberapa kalimat penjelas (parafrase), baik sebagai kalimat yang memang dianggap sebagai padanan pemaknaannya maupun sebagai kalimat penjelas yang memberikan keterangan tambahan bagi konsep yang diterjemahkan, maka diterapkan terjemahan bebas (unbounded translation)
3. Ajaran Gurupadesa Lontar Pawarah Mpu Tutur Istilah guru berasal dari kosa kata Sanskerta yang artinya: berat, besar, kuat, luas, panjang, penting, sulit, jalan yang sulit, mulia, terhormat, tersayang, agung, sangat kuasa,orang tua (bapak-ibu)
dan
yang
memberikan
pendidikan(Apte,1978:409):
http://umatsedharma.blogspot.com/2009/11/catur- ru.html. Istilah lainnya dari guru adalah Àcàrya, Adhyàpaka, Upàdhyàya dan Siva. Dalam pengertian yang lebih luas, guru adalah yang mendidik pribadi, yang mencurahkan ilmu pengetahuan sucinya dan yang membebaskan siswanya dari lembah penderitaan serta yang membimbing untuk mencapai Moksa. Sedangkan Upadesa artinya intruksi, petunjuk, nasehat, ajaran, doktrin. Yayasan Dharma Sarathi dalam Upadesa (1989) menyebutkan arti Upadesa sebagai pegangan guru dalam memberikan pelajaran pendidikan agama Hindu di Sekolah, baik Sekolah Dasar maupun sekolah lanjutan dalam bentuk percakapan antara Rsi Dharmakerti dengan Sang Suyasa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka pengertian Gurupadesa dalam hal ini adalah ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat Guru mulia yang telah menguasai pengetahuan spiritual maupun pengetahuan duniawi dimana ajarannya itu disampaikan kepada murid-muridnya yang bakti (guru susrusa). Guru Susrusa merupakan bagian dari Panca Niyamabrata, yaitu lima macam pengendalian diri untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian batin berupa Dharma dan Moksa. Arti dari Guru Susrusa adalah mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaranajaran dan nasehat-nasehat Guru. Guru Susrusa itu memiliki hubungan erat dengan Gurubhakti (sujud bakti terhadap Guru) dan Asewakaguru (mengabdi kepada Guru), dan semuanya termasuk
kedalam masa menuntut ilmu atau yang lebih sering disebut dengan Brahmacari atau aguronguron. Di dalam Bhagawata Purana terdapat istilah Guru Susrusa yang berarti mendengarkan atau memperhatikan ucapan-ucapan Guru, sebagai suatu bagian dari Dharma, himpunan dari semua kebajikan dan kewajiban suci sebagai sifat mengampuni (Ksama), jujur (Satya), kuat mengekang pikiran (Dama), murni lahir batin (Sausa), bersedekah (Dana), kuat mengendalikan Panca Indra (Indriya Samsaya), tidak menyakiti atau membunuh (Ahimsa), dan mendengar atau memperhatikan ucapan-ucapan Guru (Guru Susrusa), murah hati (Daya) dan lurus hati (Arjawa). Di dalam penjelasan mengenai Guru Susrusa itu, Panca Siksa menyebutkan sebagai berikut : Gurucucrusa, bhakti ting guru, guru Ngaranya, wang awreddha, tapowreddha, Jnanawreddha. Wang awreddha . ng. sang matuha ring wayah, kadyanganing bapa, ibu, pangjyan, nguniweh sang sumangaskara rikita, tapowreddha .ng. sang matuha ring brata. Jnanawreddha .ng. sang matuha ring aji. Artinya : Guru Susrusa berarti sujud bakti terhadap Guru. Guru namanya orang yang sudah Awerddha , Tapowreddha dan Jnanawreddha. Orang Awreddha namanya orang yang lanjut usinya sebagai Bapa, Ibu, orang yang mengajar (Pangjyan) terlebih orang yang mentasbihkan (Sumangas Kara) kamu. Tapowreddha sebutanya orang yang lanjut (tua dan matang) didalam brata. Jnanawreddha namanya orang yang lanjut (tua dan matang) didalam ilmu pengetahuan. Demikianlah penjelasan Panca Siksa, yang menyebutkan bahwa Guru Susrusa itu sama maknanya dengan Gurubhakti. Adapun yang disebut Guru Susrusa didalam Silakrama yang merupakan bagian dari Niyamabrata, adalah selalu berada dekat Guru, karena keras keinginan atau kemauanya utuk mendapatkan pelajaran mengenai peraturan hidup seorang Wiku, hendaknya tidak tersandung rintangan, karena bila seorang Wiku kurang mendapat ajaran dan nasehat
(Warawarah)
dari
Gurunya,
tidak
akan
semua
pengetahuan
akan
dilaksanakannya.Terlebih didalam Panca Sila dan Dasa Dharma sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan (Abhyudaya) dan kebebasan hidup dari ikatan duniawi dan kebahagiaan yang langgeng (Nissreyasa)
Lontar Pawarah Mpu Tutur adalah salah satu naskah yang memuat tentang nilai-nilai ajaran Gurupadesa, dimana seorang pandita agung bernama Mpu Tutur (‘mpu sadar’) sedang menyampaikan pesan-pesan amanat kepada Sang Kreta Bhumi tentang dasar-dasar etika, yaitu Adhi Sasana, yang umum dipraktekkan di dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana yang telah diajarkan di dalam kitab-kitab Purwa Adhi Sasana. Dalam lontar ini juga terkandung nasihat-nasihat, perbuatan yang patut ditiru dan dilaksanakan, ajaran-ajaran yang baik, laranganlarangan yang tidak boleh dilakukan dan justru harus dihindari, petunjuk-petunjuk berperilaku yang baik terhadap sesamanya, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup baik lahir maupun bathin, sehingga akan menjadi manusia utama. Dengan kata lain, nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang terdapat dalam lontar Pawarah Mpu Tutur, digunakan oleh setiap orang dalam menjalankan swadharmaning dadi manusa di buana mandala ini. Adapun nilai-nilai ajaran Gurupadesa lontar Pawarah Mpu Tutur adalah sebagai berikut: a. Tri Guru Pengertian guru, ditinjau dari jenis-jenis guru atau yang berfungsi sebagai guru, maka sebagai guru tertinggi dari alam semesta ini tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Guru Param Brahma atau Paramesti guru sebagai dinyatakan dalam Guru pùjà sebagai berikut: “Om Gurur Brahma Gurur Viûóu Gurur deva Maheúvara, Gurur sàkûat Param Brahma tasmai Úrì gurave namha.” Artinya: (Om Hyang Widhi, Engkau adalah Brahma, Visnu dan Mahesvara, sebagai guru agung, pencipta, pemelihara pelebur alam semesta. Engkau adalah Guru Tertinggi, Param Brahma, kepada-Mu aku memuja) Pengertian tentang Guru, terutama penghormatan yang patut diberikan kepada ibu-bapa dan guru yang mendidik secara terinci dijelaskan dalam lontar Pañcaúikûa sebagai berikut : "Guru ngaranya, wwang awreddha, tapowreddha, jñànawreddha.Wwang awreddha nga.sang matuha matuha ring wayah, kadyangganing bapa, ibu. Pengajian, nguniweh sang sumangàskàra rikita. Tapowreddha nga. sang matuha ring brata, Jñànawreddha ng. sang matuha rting aji"
Artinya: (Yang disebut guru adalah orang yang sudah Awreddha, Tapo-wreddha, Jñànawreddha. Orang Awreddha adalah orang yang sudah lanjut usianya seperti bapa, ibu, orang yang mendidik (mengajar/Pengajian), lebih-lebih orang yang mensucikan dirimu Tapowreddha disebut bagi orang matang di dalam pelaksanaan brata. Jñànawreddha adalah orang yang ahli di dalam ilmu pengetahuan (spiritual). Lontar Putra Śasana VII.3 dan VII.5 juga menegaskan seorang anak harus ber-bhakti terhadap orang tua sebagai berikut : “Lwirning putra tĕbĕng ginarbbhakĕn i sang ibu sipi-sipi denikāng lare, Mangkin tibra dahat pasungnya lara ring sang ibu duwĕgi kodharācyuta, Wŗddhhā mwang tanayan datan maharĕping gunaning ibu lumud salah gaway, Yekī tan tanayā kŗtaghna pangaranya padhanika purīşa tar waneh” Artinya : Betapa penderitaan si ibu sewaktu anak masih dalam kandungan Bertambah pula penderitaannya di saat anak itu lahir Setelah besar si anak tidak hirau Ingkar akan kebaikan ibu malah salah ulah Anak yang demikian itu adalah sangat berdosa “krtaghna” sama dengan kotoran tiada lain Mātanghyan tika salwiring wara warah sang atanaya jugeka gĕgwana Yan sāmpun kagĕgö pwa lampahaknānya sarasan ikanang warah riya Byaktāng tuşţa katĕmwa denya ri sĕdĕngnya gumamayi sapājaring yayah Āpan tang guru śāśane nulahakĕn maka phala ri katĕmwaning guņa Artinya : Oleh karena itu semua petuah orang tua patut dipegang teguh Apabila telah dimengerti laksanakanlah segala perintahnya Orang yang taat dan patuh kepada orang tua jelas akan mendapat kebahagiaan Karena dengan melaksanakan guru sasana, pahalanya akan mendapat kepandaian Kutipan Lontar Putra Śasana VII.3 dan VII.5 tersebut, secata tersirat dapat dipahami bahwa untuk membentuk anak yang suputra maka orang tua harus mendidik putra-putranya dengan materi
tentang pentingnya sujud dan hormat pada orang tua. Orang tua harus
meyakinkan anak bahwa ibu adalah orang yang melahirkannya ke dunia, setelah itu, membesarkan dengan penuh kasih sayang. Apabila anak tidak mengamalkan ajaran tersebut, menurut ajaran agama Hindu, maka tergolong sangat berdosa, digambarkan dengan kotoran yang tidak berguna.
Dalam upaya membentuk anak yang suputra tidak bisa mengabaikan materi guru susrusa, yaitu mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat guru. Guru susrusa sangat terkait dengan guru bhakti. Guru susrusa merupakan implementasi guru bhakti. Anak dapat disebut ber-bhakti kepada gurunya apabila telah melaksanakan guru susrusa di dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran-ajaran yang disampaikan guru tidak akan bermakna apabila hanya didengarkan dan tidak diamalkan oleh anak. Jadi guru susrusa dalam penelitian ini berarti mendengarkan dan mengamalkan nasehat yang disampaikan oleh guru. Orang tua harus mendidik putra-putrinya bahwa seorang anak wajib mendengarkan nasehat-nasehat yang baik dan benar, baik yang disampaikan oleh guru rupaka , guru pengajian, maupun guru wisesa. Apabila nasehat ketiga guru tersebut didengarkan maka otomatis anak telah mendengarkan juga nasehat dari guru swadyaya. Dalam teks lontar Pawarah Mpu Tutur (1b) diuraikan tentang tentang konsep ajaran Triguru yang patut diteladani dan disembah oleh sisyanya. Dengan mengutamakan rasa bhakti terhadap ketiga guru tersebut, maka akan terbebas dari belenggu hukum waktu (sa-kala) maupun di alam yang bebas dari hukum waktu (nis-kala). Karena orang-orang yang benar-benar bakti pada semua ajaran guru yang mengadakan penjelmaan, maka pahalanya akan dikasihi oleh Sang Hyang Widdhi Wasa yang menciptakan bumi ini. Ia akan mendapatkan anugerah-anugerah. Akan terpenuhi segala keinginan-keinginannya, yaitu segala yang menjadi tujuannya selama ia masih berada di buana ini. Itu adalah seorang Guru Lingga namanya (Shiwa berkedudukan di dalam diri). Karena beliau itu telah berbadankan dasar-dasar Mula Aksara. Setiap ujaran beliau semuanya itu tidak ada yang salah. Karena yang merupakan pemucuknya adalah semua ajaran dari Sang Hyang Aji dan Wedha Adigama. Demikian itulah perbuatan-perbuatan beliau, sehingga disebut sebagai seorang Gurupadesa. Siapa yang mampu mengikuti Gurupadesa, ia benar-benar akan didekati oleh Hyang Brahma Saraswati, yang memberikan keberhasilan di seluruh bumi ini, antara lain ucapan atau kata-kata yang memiliki kekuatan magis seperti bunyi sebuah genta” (wak bhajra). Demikianlah pahala-pahala orang-orang apabila bersikap bakti dalam berguru. Penjelasan tentang keutamaan dari Guru Wisesa juga ajarkan dalam lontar PMT (hal.3b4b) ini, Guru Wisesa aitu pemerintah atau para raja , Guru Wisesa yang baik adalah pemimpin yang selalu berpedoman pada ajaran asta brata. Guru Wisesa ibarat tidak ubahnya sebagai istana Dewa Indra di alam sorga yang benar-benar sebagai peneduh bagi seluruh isi jagat-buana
ini. Tidak ubahnya seperti sebuah pohon beringin yang tumbuh di pinggir jalan, yang memberikan perasaan-perasaan keteduhan kepada orang-orang yang sedang kepanasan. Sebagai air suci penyejuk bagi orang-orang yang sedang mengalami kesengsaraan. Guru Wisesa adalah orang yang hatinya penuh dengan rasa cinta kasih. Ia bisa mengabulkan keinginan-keinginan dari jagat-buana ini. Ia terbebas hari hukum waktu (sakala).
b.
Dampak Kedurhakaan Terhadap Ajaran Gurupadesa Lontar PMT hal (4b-16b) menjelaskan tentang dampak kedurhakaan terhadap ajaran
gurupadesa. Dalam naskah tersebut diceritakan hubungan antara orang tua ayah dengan anaknya yang diibaratkan hubungan minyak dengan kayu yang akan memunculkan api. Karena seorang ayah itu adalah Hyang Suksma Widdhi (Widhi yang kecil dan halus’), dipandang sebagai nyala api yang menerangi seluruh isi jagat ini. Anak-anak itu diibaratkan sebagai kayu-kayunya. Si ayah sebagai bentuk perwujudan dari minyak itu. Apabila telah dengan benar keduanya bertemu atau dipertemukan, maka dengan nyatalah akan langgeng nyala terang dari api itu. Bersinar suci api itu menerangi sebagai sebuah suluh bagi seluruh isi bumi. Apabila telah habis kayu-kayu dan minyak itu, pastilah akan hilang nyala dari api itu. Demikian pulalah seorang ayah yang tidak mencintai anak-anaknya. Sedangkan anak-anak itu akan berani bersikap durhaka melawan perkataan ayahnya. Dengan sikap sombong anak-anak itu akan mengeluarkan kata-kata yang bersifat ketus. Pada saat demikian itu, hilanglah beliau Sang Suksma Widdhi (Widhi yang kecil dan halus), mengikuti hilangnya sifat-sifat kesusilaan, dan hilangnya sifat-sifat Dharma pada diri manusia. Karena obor dari badan jasmani itu telah hilang, sehingga akibatnya tanpa sinarlah sekujur badan jasmani itu. Akan buramlah kelihatan muka itu, tidak ada pantangan-pantangan terhadap apa pun karena memiliki budi yang bersifat hina atau rendah. Sifat-sifat Rajah dan sifat-sifat Tamah, yang melekat di dalam hati lebih dominant dari sifat satwan maka akan datanglah kekotoran-kekotoran yang besar menyelimuti. Kekotoran-kekotoran besar, sesungguhnya adalah kumpulan dari segala macam kawah. Setelah kawah-kawah itu berkumpul menjadi satu, berkembanglah segala kekotoran-kekotoran yang disebabkan oleh segenap indra (indriya). Pada saat indria itu mengembang ke luar, maka akan hilanglah tatakrama yang utama di bumi ini, atau di seluruh bumi mandala ini. Pada saat hilangnya tatakrama yang utama itu, akan munculah segala jenis keterikatan-keterikatan pada objek-objek indra (wisaya), di dalam badan jasmani ini.
Demikianlah keterikatan pada objek indra itu (wisaya) setelah menjadi besar maka akan menyelimuti badan jasmani ini.
Muncullah sifat-sifat senang (raga) dan sifat-sifat benci
(dwesa). Setelah semua sifat itu mengembang di dalam hati, maka akan muncullah perasaan diri sedih dan perasaan diri sengsara. Dibuat diri ini menjadi seakan-akan buta oleh kesulitankesulitan, oleh penderitaan-penderitaan, dan oleh penyakit-penyakit. Kumpulan segala penyakit itu senantiasa akan ada di dalam hati. Semua itulah yang disebut termakan oleh rayuan-rayuan (kabancana), yaitu asal mulanya dari kesulitan-kesulitan. Besarlah akibatnya apabila telah termakan oleh rayuan-rayuan dari objek-objek segenap indra. Setelah keadaannya seperti itu, maka akan muncullah sifat-sifat lupa atau tidak ingat yang semakin besar, muncullah hati yang bersifat seperti mabuk, dan berbagai bentuk kebodohan-kebodohan. Itulah yang menyebabkan kemungkinan akan menghilangnya kesadaran-kesadaran pada kemanusiaan, akan menyebabkan adanya perasaan-perasaan bingung, menyebabkan kebuntuan-kebuntuan, seakan-akan menjadi seperti tuli luar biasa.
Semuanya seakan-akan berlomba-lomba bersaing menjalankan
kesenangan-kesenangan dan kebencian-kebencian sesuka-suka hatinya. Dalam keadaan seperti itu, maka akan menjadi sakitlah jagat buana ini. Semua orang justru akan betah melakukan pertengkaran-pertengkaran sebagai pekerjaan mereka. Semua orang seakan-akan setiap saat sedang mengeluarkan racun-racunnya masing-masing. Demikianlah keadaan orang-orang yang selalu perilakunya menyimpang dari dasar-dasar kesusilaan dari dharmanya atau kewajibannya menjadi seorang manusia. Itulah yang menjadi sebab-musabab, bagi orang-orang yang telah mengetahuinya, hendaknya dengan bersungguh-sungguh jugalah mereka itu berbuat kebaikankebaikan pada saat mereka masih hidup sekarang ini di jagat yang terkena hukum waktu ini (sakala) ini. Karena yang namanya hukum dari perbuatan-perbuatan itu, apabila ketika masih muda usia ia memulai berbuat keburukan maupun berbuat kebaikan-kebaikan di jagat buana ini, maka ketika masih muda usialah ia akan mendapatkan hasil dari perbuatan-perbuatannya, baik perbuatan dalam hal kebaikan-kebaikan maupun perbuatan dalam hal keburukan-keburukan.. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka Lontar PMT mengajarkan bahwa ajaran tri guna yaitu “ …..apan hina buddhi, kéwalyana rajah tamah rumakêting hati, tanàna ng satwéng hati. Ri ilang nikang satwanéng citta…..” Jika sifat-sifat Rajah dan sifat-sifat Tamah, yang melekat di dalam hati akan menghapus sifat-sifat Satwa di dalam pikiran maka akan datanglah kekotoran-kekotoran yang besar menyelimuti. Ketiga Guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mengsuport yang lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan
“lampu minyak” yang terdiri dari unsur nyala, unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan, pemeliharaan dan peniadaan. Sattva
adalah
penciptaan,
Rājas
adalah
pemeliharaan
dan
Tamas
adalah
peniadaan. Prakrti dicirikan oleh adanya tiga Guna diatas. Kata Guna artinya adalah kualitas atau sifat dari Prakrti , tetapi tidak sekedar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakekat intrinsik dari Prakrti , . Guna itu selalu berubahdari dalam dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, hanya saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka Guna dalam situasi Gunaksobha, dimana masingmasing guna beraksi satu sama lainnya yang disebabkan karena salah satu guna secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guna lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guna dibangdingkan dengan dua guna lainnya. Dalam sesuatu ang bergerak maka Rajas Guna dominan dari pada dua guna lainnya. Demikianlah guna itu bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. GunaGuna itu dapat di mengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari dunia materiil ini, baik secara eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semanya itu memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu. Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya, tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat ”kecantikan” dari wanita itu, menunjukkan adanya hubungan dengan orang-orang lainnya disekitarnya, yang muncul dari guna yang ada pada dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usul dari semua fenomena Prakrti yang memiliki ciri-ciri yang dapat kita temukan. Pada obyekobyek dunia ini. Prakrti dan produk-produk yang dihasilkannya membutuhkan guna tersebut karena, Prakrti dan produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Purusa. Mereka adalah Objek sedangkan Purusa adalah Subyek. Filsafat Sākhya menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta ini berkembang dari Guna, dimana dalam keadaan ketiga Guna itu seimbang alami disebut Prakrti dan dalam keadaan tidak seimbang disebut sebagai wikrti , yaitu keadaan yang heterogen. Tiga Guna ini oleh filsuf Sākhya yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktifitas dan Tamas adalah berat dan gelap,
lesu atau menutupi. Guna itu tidak berbentuk dan selalu ada ( omnipresent ) yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, Rājas dikatakan sebagai pusat dari Sattva dan Tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan demikian Rajas menghasilkan pasanganpasangan yang berlawanan. sebaliknya Rājas juga tergantung dari Sattvadan Tamas, karena aktifitas tidakakanterjadi tanpa adanya obyek di mana ia beraktifitas. Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guna mendominasi dua guna lainnya, tetapi tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu denganyang lainnya. Dengan pengaruh Rājas maka kekuatan Sattvika maka kecepatan yang tinggi danunit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalam tahapan tertentu barang kali percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satu sama lainnya. Kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatanaktif (Rajas) juga terjadi pada Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian guna itu secara terus menerus merubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk yang halus, darimana ia memanifestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatutahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflik yang berkesinambungan antara Guna itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi yang berkesinambungan itulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus berlangsung. Guna itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian manusia seperti halnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan. Dari paparan dan temuan penelitian diatas maka dapat disimpulannya bahwa jika keseimbangan kerja dari ketiga guna tersebut berhasil dilaksanakan oleh manusia dan dilandasi dengan penuh keyakinan menjalankan serta menjadikan Gurupadesa itu sebagai sikap dari perilaku-perilakunya, maka akan senantiasa berhasil dengan tepat segala yang menjadi
tujuannya, sehingga segala kehendak guru akan terwujud di dalam dirinya. Itulah yang disebut sebagai sempurna di alam manusia ini. Murid-murid yang mengikuti ajaran-ajaran guru, maka Sang Hyang Saraswati akan memberikan kecendekiaan budi (buddhi prajña). Jika kedurhakaan terhadap ajaran suci dari gurupadesa dilanggar maka kematian yang salah sebagai puncak dari orang-orang yang sedemikian itu. Karena beliau Hyang Mretyu, atau dewa kematian, telah menantikannya di gerbang alam manusia pada saatnya mati. Beliau menantikan orang yang berulah salah sebagai santapan beliau saat mengawasi bumi ini.
c. Guru Susrusa dan Guru Bhakti Guru susrusa sangat terkait dengan guru bhakti. Guru susrusa merupakan implementasi guru bhakti. Anak dapat disebut ber-bhakti kepada gurunya apabila telah melaksanakan guru susrusa di dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran-ajaran yang disampaikan guru tidak akan bermakna apabila hanya didengarkan dan tidak diamalkan oleh anak. Jadi guru susrusa dalam penelitian ini berarti mendengarkan dan mengamalkan nasehat yang disampaikan oleh guru. Guru bhakti artinya sujud dan hormat yang harus dilakukan oleh para sisya terhadap gurunya. Konsep guru dalam Silakrama disebut tri guru, terdiri atas : gururupaka, gurupangajyan, dan guruwiçesa. Gururupaka Pertama, orang harus berbhakti kepada “guru rupaka”, yaitu orang tua, ibu dan ayah. Orang hendaknya sadar betapa besar pengorbanan dan kasih sayang orang tua yang telah dicurahkan pada anaknya untuk memelihara dan mendidiknya. Orang yang durhaka terhadap orang tuanya tidak akan selamat hidupnya di dunia maupun akhirat kelak. Kedua, orang harus bhakti terhadap “guru pengajian”, yaitu orang yang mengajarkan bebagai ilmu pengetahuan dan mendidiknya, sehingga menjadi manusia yang berguna. Seseorang yang tidak berbhakti terhadap guru pengajiannya tidak akan berhasil menuntut ilmu pengetahuan dengan sempurna. Ketiga, orang harus bhakti kepada “guru wisesa”, yaitu pemerintah, karena pemerintah selalu memberikan pengayoman dan mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara sehingga tertib dan damai. Demikianlah orang harus berbhakti terhadap ketiga jenis guru tersebut ( disebut Tri Guru). Selain orang harus berbhakti terhadap tri guru tersebut, hendaknya pula berbhakti terhadap “guru sejati (guru swadhyaya)”, yaitu Sanghyang Paramesti Guru. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dari Beliaulah sumber segalanya ini. Jadi guru susrusa disini menuntun orang kepada kesucian hati dan kearifan melalui rasa bhakti kepada para guru.
Pentingnya mendengarkan dan melaksanakan nasehat orang tua dijelaskan dalam Lontar Putra Śasana IV.3, VII.4 dan VII.7, sebagai berikut : Lāwan teki muwah rĕngön pitĕkĕting bapa kĕkĕsana ring dalĕm hati Hywekā mawiwāda len para lĕwĕs halanika niyatā tĕmah lara Towin haywa masiwwa-siwwa mapacĕh-pacĕhana kalawan paras para Nghing nityang gawayĕnya karmma sakinahyunanira sira sang mahā jana Artinya : Dan lagi dengarkanlah petuah orang tua, camkan baik-baik dalam hati. Jangan sekali-kali mencela (memfitnah) orang lain akibatnya sangat jelek membuat kedukaan. Dan jangan melewati batas bersenda gurau kepada siapa pun juga. Selalu tekun bekerja sebagaimana diharapkan oleh sang sujana. Lāwan teki hanāng sutā ngṛnge warah ni yayah ika tatan linaksanam Denyan tan sthiti ring hatinya sawĕkas wĕkasi yayah ikā ndatan padon Ālasyeng guṇa tanpa kārya humĕnĕng tana harĕpi katĕmwaning śruti Tan pendah kayu ring śmaśāna pamadhar yyawak ika ri gatinya nirguna Artinya : Ada anak hanya mendengarkan nasehat orang tuanya tapi tak melaksanakannya. Segala petuah orang tuanya tidak meresap dalam hatinya, tak ada gunanya. Orang yang malas menuntut ilmu, berdiam diri tanpa kerja tidak ingin mempelajri Weda. Orang yang demikian itu tak ubahnya sebagai pepohonan yang tumbuh di kuburan tak ada gunanya. Yan putra pwa nukūla budhi nika yan winarahani yayah nira ngaji Ekājjna ri siddhyaning guṇa wawang taya manĕmu wiśesaning guna Sakwehning jana mogha bhakti riyawaknya lagi ya pinako nggwaning haji Byaktā was katĕmū yaśā parimite riya nguni-nguni śūdha kānyakā Artinya : Bila mana anak patuh mengikuti pengarahan orang tua ketika menerima pelajaran sastra. Memusatkan pikiran, anak yang demikian segera akan menjadi pandai dalam segala ilmu. Semua orang akan hormat kepadanya karena ia gudangnya ilmu. Jelas akan mendapat jasa yang berbobot dan pasangan hidup gadis suci dan rupawan Selain mendengarkan dan mengamalkan nasehat orang tua (guru rupaka), aspek lain guru çuçrusā yang bisa dipetik dari lontar
Lontar Putra Śasana adalah mendengarkan dan
mengamalkan nasehat guru pangajian. Lontar Putra Śasana IV.1 dan V.3 menyebutkan sebagai berikut : Denyan mangkana sang pinandita lanā ngucap akěna warah ring ātmaja
Mangkā putra rumĕngwa śabda saśinabda ni yayah ira kāna tūt akĕn Yan sāmpun karĕngö tĕkapnya gĕgĕnĕn gawaya kĕna ta denya tan lupa Byaktekā suka len guṇā dika kapangguha tĕkap ika yan samangkana Artinya : Oleh karena itu sang pendeta sering mendidik (memberi ilmu pengetahuan) anaknya. Agar si anak dapat mematuhi segala petuah yang diajarkan. Bila telah dicamkan (dihayati) olehnya dan diamalkannya. Jelas akan berbahagia dan kepandaian didapatnya bila demikian. Yadin hana pakona sang guru tuhun sapangutusan nireki tanggapĕn Wawang tika lumampahe sapawĕkas nira larisakna ndatan wihang Apan gatin ikang wwang anggĕgĕ lumampah akĕni sani deśa sang guru Prasiddha tumĕmu subhāgya paramā dhika saha dhana dhanya tar kurang Artinya Bila ada perintah guru semua itu harus diterima. Segala perintahnya segera dilaksanakan jangan menolak. Karena orang yang patuh memangku perintah sang guru. Akan mendapat kebahagiaan yang tiada taranya dan akan mendapat rezeki yang berlimpah Demikian bait-bait dalam lontar Putra sasana yang mengungkapkan pentingnya mendengarkan dan melaksanakan nasehat guru rupaka dan guru pangajian sebagai salah satu aspek materi guru susrusa dan guru bhakti. Ajaran tentang bhakti terhadap Triguru tercermin dalam lontar PMT (hal 8a-18b) yaitu menjelaskan swadharma manusia yang selalu eling dan bhakti terhadap Tri Guru. Bagi orang-orang yang bersifat suci dan bijaksana (mahaprajña), mereka tidak akan pernah merasa enggan dalam mengusahakan kebaikan-kebaikan di jagat Sakala ini. Dengan segenap pikiran yang bersifat sejati suci, sebagai persiapan dari jiwa raganya tapa itu sebagai temannya, brata itu sebagai sahabatnya, japa itu sebagai pemucuknya, yoga itu sebagai badan pengikatnya dan samadhi itu sebagai kahyangannya. Demikianlah perilaku orang-orang yang telah matang dalam hal sari rasa dari pelaksanaan pengendalian diri (brata) dan pemanasan dari dalam (tapa) di jagat buana sekarang ini ketika masih hidup. Itulah yang menjadi sebab-musabab, sehingga ada orang-orang yang menyebut bahwa ia itu memiliki sifat-sifat shakti di dunia ini. Karena ia telah mencapai keadaan yang menang melawan segala indra (jayendriya). Ia itu adalah orang yang memiliki kualitas-kualitas seorang pendeta dalam hal pasang surutnya segala indra, serta dalam pelaksanaan yoganya masing-masing. Ia itulah yang patut menjadi sebagai penuntun dalam mencari kebaikankebaikan.
Setelah mendapatkan kebaikan-kebaikan, maka segala yang dicarinya akan didapatkannya. Keadaannya akan menjadi makmur di jagat buana ini dan di dalam badan jasmani ini. Akan berhasil pula di dalam pelaksanaan-pelaksanaan jñana (‘pengetahuan spiritual yang bersifat membebaskan’). Akan menjadi nampak indah tempat kediamannya, atau rumahnya. Itulah yang bernama kebahagiaan Byudaya (‘kebahagiaan yang dirasakan sekarang dan seterusnya’), tidak merasa ragu-ragu lagi ia di dalam pikirannya pada saat sekarang ini. Orang-orang yang bersungsuh-sungguh menjadikan Gurupadesa itu sebagai sikap dari perilaku-perilakunya, maka akan senantiasa berhasil dengan tepat segala yang menjadi tujuannya, sehingga segala kehendak guru akan terwujud di dalam dirinya. Itulah yang disebut sebagai sempurna di alam manusia ini. Murid-murid yang mengikuti ajaran-ajaran guru, sebagai pahalanya jika yakin pada Sang Hyang Saraswati yang memberikan kecendekiaan budi (buddhi prajña), disebut mengetahui tuntunan perilaku (opadeya). Maka ia akan menjadi orang yang posisinya terdepan di jagat-buana ini. Rasa dari Yoga (‘persatuan secara spiritual’) dan rasa dari Japa (‘penyebutan silabel suci berulang-ulang demi tercapainya efek magis’) yang dilakukannya, semua itu dengan jelas akan dilihatnya. Itulah pahalanya dari sikap berbakti berguru sesuai dengan tuntunan perilaku (upadeya), ia itu disebut patuh kepada guru. Kalau ada orang yang berani bersikap durhaka kepada guru yang mengajarkannya ilmu pengetahuan (guru pangajyan), maka sudah jelas ia akan menjadi tidak berbahagia di dalam badan jasmaninya. Sebaliknya Jika seorang guru yang menyimpang dari swadharmanya maka para muridnyapun
akan cepat
mengikuti tingkah lakunya. Demikianlah perilaku seorang guru dan perilaku seorang murid. Akan menjadi berat sekali akibat-akibatnya. Baik besar maupun baik-buruknya dari perilaku-perilaku itu, seperti ini adalah penjelasannya. Semuanya itu disebut-sebut sebagai sebuah bencana, karena “sadigawegawening” itu namanya. Itu adalah sama saja dengan berbuat akan tetapi tanpa ada hasil, tanpa ada kegunaan. Itulah sebabnya orang-orang yang disebut guru dan disebut murid, janganlah hendaknya mereka itu berbuat jahat (apakrama). Perbuatan-perbuatan yang tidak benar seperti itulah yang akan menyebabkan hilangnya kekuatan-kekuatan Pradhana (kashaktian) dan akan hilangnya
kekuatan-kekuatan
pikiran
(kasiddhyan).
Janganlah
hendaknya
melakukan
penyimpangan-penyimpangan dari dasar-dasar kesusilaan. Usahakanlah mencari tali sebagai pengikat dari sifat-sifat Rajah dan sifat-sifat Tamah, dengan sifat-sifat Budi Satwa. Usahakanlah mencari tali pengikat dari kekotoran-kekotoran indra (malendriya) dengan : kesadaran yang
cemerlang (tutur prakasa), batin yang bersifat sejati (ambek jati), pikiran yang suci dan teguh (sudhirang manah), dan juga mencari pahala ketidaktertarikan pada objek indra (kawiratin) sehingga akan didapatkan sekarang sampai kelak pada saatnya nanti. Begitulah pahala dari seorang guru yang benar-benar memiliki sifat kasih sayang kepada seluruh isi bumi ini. Dan juga murid-murid itu hendaknya sesuai dengan tuntutan patuh kepada guru, maka akan dikasihi oleh Hyang Kumara Gana, yang memberikan anugerah-anugerah berupa Mata Dewa (dibya caksu), yang menyebabkan akan bisa melihat asal mula dari aksara, baik aksara yang ada di dalam maupun aksara yang ada di luar dari badan jasmani ini. Jadi dapat peneliti simpulkan bahwa konsep ajaran dalam lontar Pawarah Mpu Tutur ini, menegaskan tentang konsep ajaran bhukti, bhakti, shakti dan mukti dalam kaitannya dengan nilai-nilai ajaran Gurupadesa, akan dapat membawa manusia pada kesempurnaan hidup karena kadyatmikaan dan sifat-sifat kedewataan akan muncul dalam diri sehingga tujuan hidup dan tujuan agama dapat manunggal dan terwujud.
SIMPULAN Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : 1.
Deskripsi naskah dan teks, yaitu suatu langkah kerja dalam penelitian filologi yang menggambarkan dan mendeskripsikan naskah dan teks yang diteliti. Deskripsi naskah dan teks dilakukan dengan tujuan untuk menginformasikan keadaan fisik (keadaan sampul, bahan naskah, dan sebagainya) dan non fisik (bahasa, tulisan, keutuhan cerita, dan sebagainya) dari naskah/teks yang diteliti.
2.
Sistem transliterasi yang digunakan pada transliterasi lontar Pawarah Mpu
Tutur
mengikuti sistem yang di Sansekertakan. dengan sedikit perubahan-perbahan. Transliterasi teks diusahakan untuk mempertahankan ciri-ciri naskah asli guna memudahkan dalam memahami teks dengan berpedoman pada pemisahan kata, ejaan, dan pengunaan tanda baca. (tanda diakritik) Untuk standarisasi ejaan digunakan pedoman ejaan sesuai dengan kamus Jawa kuna –Indonesia karangan Zoetmulder. 3.
Penerjemahan teks lontar pawarah Mpu Tutur dilakukan dengan menerapkan terjemahan harfiah (literal translation) dan terjemahan bebas (unbounded translation)
4.
Nilai-nilai ajaran Gurupadesa lontar Pawarah Mpu Tutur adalah konsep Tri Guru sebagai salah satu aspek materi guru susrusa yaitu bersinerginya tri guru merupakan faktor penting penentu peningkatan kualitas pendidikan yang akan membawa pada tujuan tertinggi agama Hindu yaitu Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma karena ; orang yang disebut guru itu adalah seseorang yang mengadakan adanya dasar-dasar dari ajaran; guru itulah asal-muasal dari pengetahuan tentang yang benar dan pengetahuan tentang yang salah, tentang yang patut dan yang tidak patut baik yang ada di dalam maupun yang ada di luar ; dan Isi pikiran guru tidak bersifat mendua.
5.
Keseimbangan kerja dari ketiga guna tersebut berhasil dilaksanakan oleh manusia dan dilandasi dengan penuh keyakinan menjalankan serta
menjadikan Gurupadesa itu
sebagai sikap dari perilaku-perilakunya, maka akan senantiasa berhasil dengan tepat segala yang menjadi tujuannya, sehingga segala kehendak guru akan terwujud di dalam dirinya. Itulah yang disebut sebagai sempurna di alam manusia ini. Sebaliknya jika kedurhakaan terhadap ajaran suci dari gurupadesa dilanggar maka kematian yang salah sebagai puncak dari orang-orang yang sedemikian itu. Karena beliau Hyang Mretyu, atau dewa kematian, telah menantikannya di gerbang alam manusia pada saatnya mati. 6.
Konsep ajaran dalam lontar Pawarah Mpu Tutur ini, menegaskan tentang konsep ajaran bhukti, bhakti, shakti dan mukti dalam kaitannya dengan nilai-nilai ajaran Gurupadesa, yang akan dapat membawa manusia pada kesempurnaan hidup karena kadyatmikaan dan sifat-sifat kedewataan akan muncul dalam diri sehingga tujuan hidup dan tujuan agama dapat manunggal dan terwujud.
SARAN Penelitian yang dilakukan terhadap Lontar Pawarah Mpu Tutur ini masih belum sempurna dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga masih memungkinkan ada ajaranajaran yang belum tersentuh. Sehubungan dengan hal tersebut, disarankan: 1. Bagi pemerintah agar lebih memperhatikan kajian teks tradisi semacam ini, karena di samping merupakan warisan dari leluhur juga di dalamnya terkandung ajaran-ajaran budi pakerti luhur yang berguna bagi masyarakat sehingga dalam mengambil keputusan, kebijakan dan pembinaan lebih fokus dan tepat sasaran.
2. Bagi masyarakat, agar tidak pernah melupakan ajaran-ajaran yang terkandung dalam susastra Hindu sebagai bentuk ajaran agama yang dapat diterapkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Bagi lembaga pendidikan yang bernafaskan Hindu, agar lebih memperhatikan kajian teks semacam ini karena ajaran-ajaan yang terdapat di dalamnya dapat diterapkan sehingga umat Hindu pada khususnya dapat mengetahui dan memahami ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Agama Hindu. 4. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengambil obyek kajian yang lebih komprehensif dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai jembatan informasi dalam mengkaji lontar lain yang mempunyai pembahasan serupa.