GERAI EDISI 35 n FEBRUARI 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA
4 Rupiah di Tengah Ketidakpastian Global
6 Dalam perekonomian global yang menjadikan setiap negara saling terkait, ketangguhan sebuah mata uang akan diuji dalam wujud nilai tukar terhadap mata uang lain.
Nilai
Mata Uang M
emasuki 2013, fluktuasi nilai tukar rupiah menjadi isu kuat di sektor ekonomi. Di tengah situasi ekonomi global yang belum pulih dari situasi lesu, Indonesia masih menikmati kue rezeki atas nama emerging country yang menjadi tujuan investasi. Namun, defisit neraca pembayaran sepanjang 2012 cukup untuk menjadi alasan yang seharusnya membuat kita kembali menata langkah. Barangkali harus ada lompatan yang lebih bijak menyikapi situasi ekonomi global. Pengelolaan segala potensi dan sumber daya yang dimiliki juga menjadi tantangan tiada henti untuk mendapatkan hasil paling optimal untuk ibu pertiwi. Tentu saja, tanpa ada perubahan sudut pandang dan pemahaman atas segala variabel yang bisa menentukan masa depan
ekonomi bangsa, semua langkah akan menjadi berlipat terasa berat. Termasuk soal ekspektasi yang bersifat pri badi. Perang mata uang yang mulai memanas maupun yang tak pernah reda, harus menjadi salah satu fokus perhatian sembari tak berhenti menata kondisi di dalam negeri. Banyak tantangan di luar sana, tapi juga tak sedikit pekerjaan rumah di dalam negeri. Tanpa kontribusi dari setiap anak bangsa di negeri ini, apapun kebijakan dibuat oleh otoritas yang mana pun tak akan pernah mendatangkan manfaat terbaik yang sebenarnya tak mustahil diraih. Karena sejatinya, anak ne geri ini sendiri yang menentukan akan seperti apa wajah ekonomi dan bangsa ini sesungguhnya. u
Menjaga Persepsi dan Ekspektasi
8 Night at The Museum
13 Mengelola ‘Risk OnRisk Off’
14 Kampung Tenun Samarinda
MEJA REDAKSI
editorial
kolom D Aulia
Mengelola Harapan
S
udah bukan hal besar untuk menyatakan tugas Bank Indonesia mencakup menjaga nilai tukar rupiah. Selain inflasi, isu nilai tukar adalah salah satu topik yang cukup membuat kening berkerut bahkan kepala berdenyut. Tanpa ada hal-hal ‘tak normal’ menjaga fluktuasi nilai tukar rupiah tak terlalu ekstrem sudah butuh konsentrasi dan kewaspadaan tinggi. Berhitung cermat atas segala situasi perekonomian global dan kapasitas dalam negeri. Nilai tukar mengambang yang kini menjadi rezim, memastikan fluktuasi sebagai peristiwa yang pasti terjadi. Situasi ekonomi global pun tak bisa tidak menjadi variabel berbobot besar dalam penentuan kebijakan terkait nilai tukar. Kebijakan yang diberlakukan negara partner dagang maupun pemilik hard currency, tak bisa dibiarkan lewat begitu saja dari pantauan. Menjadi repot, ketika di tengah segala kompleksitas variabel yang harus dihitung cermat itu, ternyata justru ekspektasi publik yang pada akhirnya memutuskan nilai akhir yang didapat. Kepanikan, informasi yang tak lengkap, keinginan mendapatkan keuntungan cepat lewat jalan pintas, kekhawatiran berlebihan, dan cara gampang mendapatkan barang, mungkin menjadi hal-hal yang perlu menjadi bahan koreksi bersama. Alih-alih ‘tanpa sadar berperan’ menggoyang gelombang fluktuasi rupiah, membangun pasar domestik yang kokoh sembari mempertebal ketahanan ekonomi dengan meningkatkan kapasitas produksi sudah saatnya dilakukan. Segala kekuatan elemen bangsa di beragam sektor, level, dan profesi, harus bergerak bersama menjaga salah satu instrumen simbol martabat bangsa, yang biasa kita sebut sebagai rupiah. Bermula dari pemahaman, barangkali adalah kata kuncinya. Dimulai dari apa itu nilai tukar, dan mengapa peran setiap anak bangsa akan sangat berharga untuk turut menjaganya. Semoga. u
DIFI A JOHANSYAH
Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat
Cadangan Devisa, Untuk Apa Sih ?
I
stilah cadangan devisa, dalam bahasa Inggris disebut ‘Foreign Exchange Reserve’. Istilah ini kerap digunakan sebagai ukuran kekayaan suatu negara. Fungsinya adalah sebagai penyangga kestabilan nilai tukar suatu negara. Tapi apa sih sebenarnya makna dari cadangan devisa? Mari kita pahami kata ‘cadangan’ dan ‘devisa’ yang membentuk istilah ini. Kita mulai dari apa itu devisa? Kekayaankah? Alat Tukar kah? Uang kah? Kalau kita pahami dari bahasa Inggrisnya yakni ‘Foreign Exchange’ maka devisa adalah kekayaan yang diperoleh dari kegiatan di luar negeri, yang bentuknya bisa dipertukarkan setiap saat (exchange). Lalu, cadangan. Maknanya adalah sesuatu yang baru diguna kan kalau sumber utamanya sudah habis. Makna ini sesuai dengan bahasa Inggrisnya yang berarti Reserve. Mirip dengan tangki reservoir di mesin mobil, yang airnya baru keluar kalau suhu mobil sudah sangat panas. Dari pengertian di atas, maka cadangan devisa bukanlah sumber utama devisa! Apalagi dalam rezim nilai tukar mengambang bebas. Cadangan devisa adalah sumber
de visa yang digunakan baru dalam kondisi sumber utama devisanya sudah hampir habis. Biasanya ditandai de ngan nilai tukar terpuruk, ibarat kondisi sudah sangat buruk seperti kepanasan di mesin mobil. Kalau begitu, di mana sumber utama devisa berada? Ya itu, di pasar keuangan valas dalam negeri. Di sana lah sumber utama, yang ‘seharusnya’ menjadi pemasok devisa. Bank sentral baru menggunakan cadangan devisa ketika sumber devisa dalam negerinya, yakni devisa yang ada di bank dalam negeri, sudah menipis dan sebagai akibatnya mengancam nilai tukar. Ini adalah pengertian yang harus dipahami dengan matang agar cadang an devisa tidak di salahartikan sebagai sumber devisa. Menjaga kestabilan nilai tukar tidak hanya tugas bank sentral melalui cadangan devisa. Tapi juga menjadi tugas perbankan melalui devisa yang mereka miliki. Untuk itu, adanya pasar valas dalam negeri sangat diperlukan. Kestabilan nilai tukar tidak hanya melulu soal intervensi bank sentral, namun juga berperan atau tidak supply dan demand di pasar valas. u
redaksi Penanggung Jawab DODY BUDI WALUYO Pemimpin Redaksi DIFI A JOHANSYAH
2
Redaksi Pelaksana RIZANA NOOR TUTUT DEWANTO DEDY IRIANTO WAHYU INDRA SUKMA DIYAH WOELANDARI RISANTHY ULI N
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Alamat Redaksi Humas Bank Indonesia Jl MH Thamrin 2 - Jakarta Telp : 021 - 3817317, 3817187 email :
[email protected] website : www.bi.go.id
Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.
Dok BI
Menakar Nilai
B
elum lekang dari ingatan, saat tahun lalu kita dihadapkan pada mahalnya harga tempe. Ya, tempe. Bahan makanan yang dianggap sebagai makanan wong cilik itu, terasa begitu mahal bahkan bagi mereka yang bukan kalangan bawah. Selamat tinggal mendoan tipis seharga Rp 500 per potong. Tidak ada. Tak sedikit pun terbayang di benak Yu Minah, pedagang tempe di tengah pasar becek, bahwa tempe yang dikenalnya sejak lahir dan kemudian menjadi sumber penghidupannya bisa menjadi demikian mahal. Sulit dia ba yangkan, bagaimana bisa sampai perajin tahu tempe memboikot produksi karena mahalnya harga kedelai. Bagi bakul tempe, pedagang mendoan, dan tukang becak yang menganggap lauk tempe adalah menu lezat, kedelai dan tempe adalah produk lokal banget. Susah untuk menjelaskan pada mereka, bahwa sekarang kedelai harus diimpor. Lebih sulit lagi dipikirkan apa urusan kedelai, tempe, impor, dan harga mahal yang harus mereka tanggung. Apa ya sekarang bule ikut-ikutan bikin tempe, ramai-ramai menginjak-injak kedelai sebelum direbus dan dibuat tahu? Apa karena pabrik tahu sekarang ada di Amerika, dengan pekerjaan sama tapi bayaran bule? Barangkali cuma sejauh itu ima jinasi terliar yang muncul. Tak ada gambaran bahwa proses impor kedelai bahan tempe tak beda dengan mendatangkan mobil Mercedes Benz terbaru. Selain urusan administrasi dan tarif bea ma suk, kekuatan uang yang dibutuhkan untuk mendatangkan kedelai dan mobil mewah itu sama. Butuh valuta asing. Kalau uang kita tak cukup berharga di pergaulan internasional, ya apapun yang didatangkan dari luar garis batas negara kita akan menjadi mahal. Di sinilah, konsep nilai tukar mata uang berikut ‘seni’ menjaganya tetap berharga, menjadi tantangan.
Nilai Tukar Alat Bayar
Pada dasarnya, uang adalah alat tukar untuk barang dan jasa, alat bayar. Ketika sudah bicara beda negara, nilai tukar mata uang di antara kedua negara akan punya peran penting dalam ‘pertukaran’ barang dan jasa. ‘Harga’ dari mata uang masing-masing negara akan membandingkan nilai barang dan jasa
yang diproduksi di setiap negara. Itulah kenapa, katakanlah tidak ada perbedaan cara tanam kedelai di Indonesia dan Vietnam, tapi harga kedelai yang didatangkan dari negara itu bisa jadi terasa lebih mahal atau sebaliknya lebih murah ketika dirupiahkan. Bahkan bila ongkos kirim tak perlu dihitung terlebih dahulu. Gambaran lain, bisa jadi satu truk kedelai di Indonesia akan mendapatkan satu ekor kambing. Demikian juga seekor kambing di Vietnam bisa dibeli dengan satu truk kedelai. Tapi, apakah nilai nominal satu truk kedelai di Indonesia, ketika dibawa ke Vietnam bisa mendapatkan satu ekor kambing? Nilai tukar dan keperkasaan nilai satu mata uang akan diukur dari contoh transaksi sederhana semacam ini. Adalah menjadi tugas Bank Indonesia untuk mendapatkan gambaran terukur tentang nilai tukar rupiah. Tujuan akhir di dalam negeri adalah menekan inflasi alias penurunan daya beli rupiah seminimal mungkin. Pun ketika disandingkan dan berkompetisi dengan mata uang lain, nilai tukar rupiah harus dijaga untuk tetap perkasa. Banyak faktor turut terlibat untuk mene mukan satu deretan angka yang dianggap pas sebagai nilai tukar sebuah mata uang. Pilihan kebijakan juga tak cuma satu. Masingmasing tentu saja punya keuntungan, sekaligus konsekuensi. Tak selamanya pula masalah nilai tukar mata uang sekadar menjadi ‘kese pakatan’ untuk bisa saling bertukar barang dan jasa lintas garis batas negara. Dalam perekonomian global, kompleksitas faktor-faktor yang menentukan angka nilai tukar semakin tinggi. Pilihan kebijakan ekonomi di satu negara, mau tak mau akan berdampak pada negara-negara lain yang bertransaksi dengannya. Bahkan, negara-negara emerging economy seperti Indonesia yang kebanjiran aliran modal ‘pelarian’ dari Eropa dan Amerika yang kini sedang lesu ekonominya, tak bisa dijamin happy. Salah menghitung indikator dan variabel penentu nilai tukar, ekonomi suatu negara bisa guncang alih-alih menikmati berkah. Ketika nilai tukar mata uangnya terlalu kuat, daya saing ekspor bisa menjadi korbannya. Sebaliknya, ketika nilai tukar mata uang terlalu melemah, inflasi dari barang impor bisa melanda.
FOKUS
Kalau uang kita tak cukup berharga di pergaulan internasional, ya apapun yang didatangkan dari luar garis batas negara kita akan menjadi mahal.
Berhitung Risiko
Dalam hal ini, Bank Indonesia menghadapi apa yang dikenal dengan trilema, tiga hal saling bertentangan yang harus dijaga selalu seimbang agar tak saling merusak. Yaitu, menjaga volatilitas arus modal keluar masuk, menjaga nilai tukar agar tak terlalu menguat atau melemah, dan menjaga ekspansi likuiditas domestik. Berhitung risiko, menjadi kata kunci pengaman penentuan nilai tukar. Memastikan semua elemen fundamental ekonomi memang sepadan dengan risikonya. Hal-hal seperti ketercukupan uang untuk membayar utang, daya beli yang tak terjun bebas, dan pasokan valuta yang likuid. Menjadi repot, ketika semua rasionalitas dalam wujud rumus dan data angka berantakan cuma gara-gara persepsi dan harapan publik. Satu rumor, satu salah tafsir, satu kekhawatiran berlebihan, dapat menjadi laksana bom nuklir bagi sebuah perekonomian negara. Mengelola ekspektasi publik, ternyata tak kalah penting dibandingkan menghitung simpanan emas negara, cadangan devisa berupa duit-duit negara lain, dan berapa ba nyak bendera asing berkibar di sini karena aktivitas para ekspatriat. Tak bijak bila hanya menyandarkan sebuah istana pada satu tiang penyangga. Sama tak bijaknya bila urusan nilai tukar rupiah, mata uang Indonesia, hanya mengandalkan Bank Indonesia. Pemerintah bersama Bank Indonesia harus berjabat erat untuk menjalankan kebijakan yang bisa menghasilkan keuntungan maksimal dari arus modal sambil tetap mampu mengelola risiko yang timbul. Bersama-sama menjaga salah satu martabat sebuah bangsa dan negara, dalam dua huruf simbol sederhana: Rp. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
3
FOKUS
Rupiah
di Tengah Ketidakpastian Global Soal pertama yang mendesak membutuhkan jawaban adalah memperdalam pasar valuta asing di dalam negeri.
nce.co.uk
S
tephen S Roach sebagai ekonom Mor gan Stanley pada akhir 2008 meng gambarkan krisis ekonomi global dalam bentuk wok shape, seperti wajan. Artinya, kurva pertumbuhan ekonomi global bakal turun perlahan-lahan sampai akhirnya mencapai dasar, sebelum kemudian pulih dengan laju perlahan pula. Masalah yang selalu menjadi perdebatan, apakah ekonomi dunia sudah mencapai dasar wajan itu? Tampaknya sih belum. Itulah kenapa kalimat ketidakpastian ekonomi global kerap kali muncul dari mulut para ekonom. Karena, tak ada yang bisa menjawab dengan pasti pertanyaan utama kapan resesi dunia ber akhir yang bisa memengaruhi ekonomi berbagai negara pasar berkembang, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, akhir 2011 dipenuhi de ngan optimisme terhadap perekonomian. Neraca perdagangan surplus 26,3 miliar do lar AS dan neraca pembayaran surplus 11,85 miliar dolar AS. Ekonomi Indonesia disebut masih berkembang pesat di tengah kelesuan ekonomi global. Saat itu, nilai tukar rupiah
4
bergerak di bawah Rp9.000 per dolar AS. Namun, 2012 ditutup dengan gambaran yang berbeda. Neraca perdagangan Indonesia defisit 1,63 miliar dolar AS. Sementara, neraca pembayaran surplus tipis 200 juta dolar AS, atau terpangkas 90 persen dari 2011. Me nurunnya harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia, akibat masih lesunya pasar komoditas, dituding sebagai penyebab. Ekonomi dunia memang masih penuh ketidakpastian. Mata uang sebagai tolok ukur kondisi ekonomi makro pun ikut terke na dampaknya, digoyang fluktuasi. Sepanjang 2012 nilai dolar AS sudah diperdagangkan di atas Rp9.000. Situasi ini mengingatkan kita pada awal krisis ekonomi global 2008 lalu ketika terjadi arus modal keluar dari negara-negara emer ging market termasuk Indonesia. Mengingat ukuran pasar finansial Indonesia relatif kecil, pembalikan arus modal keluar telah mendorong merosotnya nilai tukar rupiah yang kemudian pergerakannya pun sangat liar, volatilitas nilai tukar tinggi. Pada November 2008 rupiah sempat anjlok ke Rp12.000 per dolar AS dibanding po-
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
sisi Rp9.400 pada akhir 2007. Pada saat yang sama, indeks saham Bursa Efek Indonesia mencapai titik terendah 1.140 poin dari posisi 2.795 poin di Desember 2007. Imbal hasil obligasi Pemerintah RI pun melonjak 20 per sen pada Oktober 2008 dari posisi Desember 2007, menandakan penurunan harganya.
Devisa Bebas
Seiring berlakunya kebijakan nilai tukar mengambang pada 1997 (lihat grafis), nilai tukar rupiah akan mengikuti kondisi ekonomi global. Apalagi Indonesia juga menjalin kerja sama dagang dengan negara lain, yang juga terpengaruh perekonomian global. Kebijakan devisa bebas membuat aliran devisa mudah keluar masuk. Pada 2009 arah angin berpihak kembali ke Indonesia dengan masuknya modal asing dalam jumlah besar yang masuk ke investasi portofolio atau sering disebut hot money yang biasanya bersifat jangka pendek. Saat itu, investasi portofolio mencapai 10,3 miliar dolar AS atau nyaris dua kali lipat investasi 2007 yang tercatat 5,5 miliar dolar AS. Kondisi kontras terjadi pada penanaman modal a sing langsung (foreign direct investment) yang justru lesu. ‘Uang panas’ itu tak hanya masuk ke ins trumen saham, namun juga fixed income se perti surat utang negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Porsi kepemilikan asing pada SUN naik dari 8,3 miliar dolar AS (16,6 persen dari total nilai SUN) pada akhir 2007 menjadi 21,6 miliar dolar AS (29,3 persen total SUN) pada Desember 2010. Pada periode yang sama, SBI yang berada di tangan investor asing juga terus bertambah dari 2,9 miliar dolar AS (11,41 persen nilai total SBI) menjadi 6,1 miliar dolar AS (27,4 persen dari total SBI). Pada masa normal, pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah lebih banyak dikendalikan oleh pasar atau mekanisme permintaan dan penawaran. Bila pasokan dolar AS di dalam negeri tercukupi, dipastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bakal stabil. Permintaan akan dolar AS di dalam negeri bia sanya untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang luar negeri ataupun kebutuhan pembayaran oleh importir. Di sini, persepsi pasar ikut menentukan. Ketika ekspor tumbuh, aura positif memengaruhi pasar sehing ga nilai tukar rupiah ikut menguat. Ketika
NILAI TUKAR DARI MASA KE MASA Indonesia pernah menjalankan berbagai rezim nilai tukar rupiah. Perubahan sistem juga terdampak perkembangan situasi ekonomi regional atau global, selain situasi di dalam negeri. 1950-an Indonesia menerapkan kebijakan nilai tukar tetap. Kebijakan ini tak berjalan efektif karena Indonesia tak bisa punya cadangan devisa ber limpah. Pembatasan pembeli an devisa hanya oleh importir me nyebabkan munculnya pasar valuta asing ilegal. Nilai tukar tetap rupiah diubah dari semula 1 dolar AS seharga Rp11,4 menjadi Rp45.
1960-an Melemahnya ekspor komodi tas menyebabkan cadangan devisa semakin anjlok, nilai tu kar tetap semakin tidak efektif. Berlakulah nilai tukar berlapis (multiple exchange rate system) untuk para importir yang besarnya sampai 4.000 persen dari nilai tukar tetap Rp45 per dolar AS.
1983 Diperkenalkan nilai tukar mengambang terkendali (ma naged float) pada tahun 1980-an dengan pergerakan nilai tukar dalam rentang sempit sebagai batas dilakukannya intervensi Bank Indonesia bila rupiah terlalu melemah atau menguat.
1996-1997 Menjelang krisis ekonomi global, Bank Indonesia memperlebar rentang intervensi nilai tukar rupiah sebanyak tiga kali, ketika pasar mempersepsi buruk perekonomian Indonesia.
1997 Setelah terdampak krisis ekonomi Asia dan ber ubahnya rezim nilai tukar di Thailand, rupiah anjlok. Indonesia mene rapkan sistem nilai tukar mengambang penuh.
ekspor melemah, pasar akan menganggap devisa Indonesia akan berkurang sehingga nilai tukar rupiah pun ikut melemah. Suplai dolar AS bisa dipasok dari pinjam an luar negeri pemerintah, investasi asing, dan ekspor. Bila ekspor menguat, seharusnya banyak valuta asing masuk ke dalam negeri dalam denominasi dolar AS berbentuk hard currency yang masuk dibawa para eksportir. Bank sentral juga bisa melakukan operasi pasar memasok dolar AS yang diambil dari cadangan devisa. Namun, devisa yang masuk selama ini ter batas hanya berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah, ekspor yang dilakukan perusahaan BUMN, serta hot money. Sedang kan, devisa hasil ekspor lebih banyak parkir di perbankan luar negeri. Pada 2011, ada potensi devisa dari ekspor sebesar 29 miliar dolar AS yang seharusnya bisa memasok kebutuhan valuta asing dalam negeri. Kondisi ini membuat pasar valuta asing di Indonesia menjadi tidak simetris karena pa sokan lebih condong berasal dari hot money, sedangkan permintaan lebih bersifat fundamental untuk impor atau membayar utang luar negeri. Tak heran, stabilitas nilai tukar rupiah rentan goncangan, terutama bila ada
Era 1970-an Diawali dengan per ubahan dari nilai tukar berlapis ke nilai tukar tunggal, kali ini diganti dengan sis tem keranjang mata uang (currency board / basket) negara mitra dagang, bertujuan menggenjot ekspor.
FOKUS
Pada saat banjir arus modal masuk ini, BI juga melakukan operasi pasar uang untuk menjaga fluktuasi rupiah bergerak tak berlebihan, atau terlalu menguat. Hasil intervensi di pasar uang ini menghasilkan penambahan cadangan devisa yang mencapai rekor 124,6 miliar dolar AS pada Agustus 2011. Namun, ketika rupiah kembali tertekan sepanjang 2012, operasi pasar harus dibayar dengan turunnya cadangan devisa BI menjadi 110 miliar dolar AS. Intervensi juga dilakukan di pasar obligasi dengan cara membeli SUN agar harganya tidak turun, demi menjaga kredibilitas Indonesia di mata investor asing.
Devisa Ekspor
1970-1980-an Dilakukan tiga ka li devaluasi rupiah terhadap dolar AS.
Lolos dari krisis ekonomi Asia, secara perlahan namun pasti Indonesia terus mengumpulkan cadang an devisa. Pertambahan cadangan devisa ini ber asal dari surplus current account dan dam pak intervensi BI ketika nilai tukar rupiah terlalu kuat. Ni lai tukar rupiah terkendali dalam ba tas-batas wajar, de ngan rezim nilai tukar mengambang bebas. u
isu pembalikan arus hot money yang keluar. Menghadapi berbagai situasi yang bisa memengaruhi nilai tukar rupiah ini, Bank Indonesia sebagai lapis pertama pertahanan ekonomi makro dan sektor finansial harus menerapkan kebijakan yang kondusif bagi arus modal dalam koridor pengendalian inflasi sekaligus bisa mendukung pertumbuh an ekonomi. Dengan turunnya ekspektasi inflasi, BI semakin leluasa untuk mengendalikan arus modal masuk ini lewat penurunan BI rate secara gradual dari 9,5 persen pada November 2009 menjadi 5,75 persen saat ini. Langkah ini bisa mengurangi ‘nafsu’ investor asing menanamkan duitnya pada instrumen SBI dan pasar uang. BI juga memperpanjang masa jatuh tempo SBI sampai sembilan bulan sehingga bisa mengurangi frekuensi pelelangan SBI dari mingguan menjadi bulanan. Bersamaan de ngan itu, diperkenalkan Rupiah Term Deposit sebagai instrumen yang tak bisa diperdagangkan. Kebijakan ini akan mencegah asing mengoleksi terlalu banyak instrumen yang bisa diperdagangkan seperti SBI, dibaca sebagai jurus mengurangi aksi spekulasi.
Untuk devisa ekspor, sejak tahun lalu Bank Indonesia (BI) melalui PBI nomor 13/20/ PBI/2011 menerapkan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) wajib ditaruh di perbankan da lam negeri, meski masih tanpa kewajiban untuk mengonversinya ke rupiah. Pengaturan lalu lintas devisa hasil ekspor lazim diterapkan oleh sebagian besar negara, khususnya emerging countries. Beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, sudah menerapkan kebijakan hasil ekspor wa jib masuk bank domestik. Bahkan, India menambahkan kewajiban konversi valuta asing ekspor ke mata uang rupee. Bisa dibilang, kebijakan DHE ini adalah sa lah satu langkah untuk menenangkan pasar, bahwa kebutuhan valuta asing tetap terjamin sehingga kestabilan nilai tukar rupiah bisa terjaga. Bertambahnya pasokan valuta asing dari devisa ekspor tentu juga akan membuat BI tak perlu memboroskan cadangan devisa untuk operasi pasar dengan melepas dolar AS guna memenuhi permintaan pasar. Ada banyak tantangan lain yang juga menunggu jawaban dari para pelaku pasar domestik. Bersama dengan Pemerintah dan Bank Indonesia, soal pertama yang mendesak membutuhkan jawaban adalah memperdalam pasar valuta asing di dalam negeri, untuk meredam kekhawatiran dari ekspektasi pasar terkait likuiditas, sekaligus menekan upaya spekulasi. Persoalan nilai tukar tak semata tugas yang menuntut tanggung jawab BI sebagai otoritas moneter, namun membutuhkan upaya bersama, untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap perkasa, sembari punya nilai dalam pasar global. Ujungnya, ketika nilai tukar terjaga, valu ta asing yang ada di negeri ini pun akan le bih punya daya mendukung fundamental ekonomi Indonesia. Apapun perkiraan yang disusun Stephen S Roach dengan teori wajannya, ketahanan yang dibangun dari dalam negeri dan digarap bersama-sama akan menjadi penentunya. Gosong atau tidaknya wajan ekonomi kita, barangkali bahkan bisa dimulai dari ekspektasi atas prospek ekonomi sendiri. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
5
FOKUS
Menjaga Persepsi dan Ekspektasi
6
D Aulia
K
etika di suatu negara penghasil minyak datang ancaman perang, maka muncul persepsi bakal terjadi gangguan pasokan minyak. Akibatnya, ekspektasi masyarakat harga minyak akan semakin mahal. Alur serupa juga ada pada kasus melonjaknya harga beras setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Mulailah aksi pedagang menimbun stok, menunda penjualan, atau mulai mena warkan barang dengan harga lebih mahal. Pembeli pun cenderung membeli lebih ba nyak untuk menambah stok, khawatir harga di kemudian hari akan lebih mahal lagi. Nilai tukar (kurs) pada dasarnya adalah ‘harga’ suatu mata uang dari mata uang lainnya. Sama halnya dengan barang, har ga mata uang juga ditentukan oleh ba nyak faktor, tak semata mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Persepsi yang berujung pada ekspektasi, kerap justru lebih menjadi faktor penentu harga. Pada nilai tukar mata uang, alur yang bisa berdampak pada ‘harga’, juga berlaku tidak lebih dan tidak kurang seperti di atas. Hanya, persoalannya terkait ketersediaan mata uang negara lain alias devisa. Motif berjaga-jaga karena ketidakpastian (precautionary), termasuk yang bersifat spekulatif, seringkali lebih menentukan harga. Bila ini yang terjadi, maka menjaga keyakinan kecukupan pasokan menjadi penting. Tentu sekaligus berusaha agar motif spekulasi tidak semakin subur. Tapi, sejatinya uang adalah media per tukaran, sebagai alat pembayaran atas ba rang dan jasa. Karenanya, tidak patut menjadikan alat bayar ini sebagai barang dagangan laiknya komoditas, meski dalam praktiknya tidak terhindari juga. Memiliki valuta asing sebagai alat pembayaran di pasar internasional, bisa muncul dari beragam keperluan. Seperti untuk membayar impor barang dan jasa, juga untuk membayar utang. Adapun sum ber devisa antara lain adalah ekspor, utang, dan devisa yang datang atas nama investasi asing ke dalam negeri. Aliran masuk dan keluar devisa, dikenal sebagai neraca pembayaran atau balance of payment (BOP) suatu negara. Sementara bila hanya memperhitungkan ekspor dan impor, disebut neraca perdagangan (trade balance). Negara dengan nilai ekspor melebihi impor, apalagi bila menjadi tujuan investasi, misalnya China dan Korea Selatan, otomatis akan selalu mendapatkan tambahan devisa.
PRIYANTO B NUGROHO
Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Menakar Kewajaran
Pertanyaannya, berapa nilai tukar yang wajar? Berbeda dengan barang yang harga wajarnya ditetapkan berdasarkan bia ya produksi, distribusi, dan pemasaran, ditambah dengan marjin keuntungan, penentuan kewajaran nilai tukar lebih sulit diukur. Umumnya, nilai tukar dikatakan wajar bila sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi suatu negara. Tapi, kondisi fundamental pun tidak pernah terdefinisikan de ngan jelas. Karenanya, nilai tukar mata uang terlalu mahal (over-valued) atau terlalu murah (under-valued) tak mudah diukur. Masalah kewajaran nilai mata uang kem bali mencuat, ketika beberapa negara di duga sengaja melemahkan kurs demi mendongkrak daya saing ekspor. Currency war. Kalangan akademisi sudah sejak lama mencoba mengembangkan berbagai pendekatan atau model ekonometrik untuk menjelaskan nilai tukar wajar suatu negara. Model ini juga untuk memperkirakan arah pergerakan kurs. Tapi sampai sekarang belum ada mo del yang dianggap paling tepat. Profesor ekonomi dari Universitas Harvard, Kenneth Rogoff, menyatakannya dengan, “The fai lure of empirical exchange rate models: no longer new, but still true”. Justru George Soros yang dianggap pernah akurat menilai ‘harga’ suatu mata uang yang wajar, sekaligus membuat prediksi. Pada 1992, dia menyebut kurs poundsterling Inggris terlalu kuat sehingga akan melemah. Transaksi senilai satu miliar dolar AS terhadap poundsterling pun dibuatnya, yang lalu terbukti benar dan konon menjadi awal dari maraknya spekulasi mata uang. Bahkan IMF pun kini semakin menaruh perhatian terhadap perkembangan nilai tukar mata uang. Melalui Consultative Group on Exchange Rate (CGER), IMF terus mengembangkan metoda penilaian kewajaran nilai tukar tersebut sejak 1997. Dalam metoda ini, kewajaran kurs diukur dengan
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
indikator output gap, neraca berjalan, serta perbandingan posisi aset dan kewajiban dalam bentuk valas dari suatu negara. Ada cara sederhana untuk menilai kewajaran nilai tukar, yaitu dengan membandingkan harga produk yang sama yang beredar di banyak negara. Cara ini dikenal sebagai purchasing power parity (PPP). Barang yang biasa dipakai, antara lain adalah hamburger produk McD atau secangkir kopi Starbucks. Kalau harga Big Mac di Jakarta Rp 9.500 dan di New York satu dolar AS, sementara kurs satu dolar AS adalah Rp 9.000, maka rupiah dianggap terlalu mahal. Namun, pendekatan praktis terlihat lebih banyak dipakai, dengan melihat fundamental ekonomi dari sisi current account suatu negara. Umumnya, bila neraca berjalan suatu negara mengalami defisit maka kurs akan mengalami tekanan melemah. Tekanan melemah akan menguat, bila devisa dianggap sulit didapatkan, dan saat inilah fluktuasi tinggi kurs biasanya terjadi.
Tantangan
Dari semua hal di atas, tantangan terberat soal nilai tukar ini adalah menjaga agar tidak terjadi persepsi yang berlebih an terhadap kelangkaan valas. Tentu, aksi spekulasi juga harus ditangkal. Kedua hal ini menjadi landasan pendekatan kebijakan nilai tukar Bank Indonesia (BI). Kalaupun sampai rupiah melemah, BI akan menjaga pelemahan tidak berlebih an dan tidak dengan fluktuasi tinggi yang memicu ketidakpastian. Termasuk bila diperlukan melalui langkah intervensi. Tak hanya untuk memastikan masyara kat tidak membangun persepsi kelangkaan valas, kebijakan BI juga bertujuan memonitor situasi tersebut tak dimanfaatkan untuk aksi spekulasi. Targetnya, transaksi valas harus benar-benar dilandasi faktor kebutuh an dan kegiatan ekonomi. Menjaga fluktuasi nilai tukar tidak berlebihan adalah keharusan agar kepercayaan terhadap rupiah tidak tergerus. Kepercayaan terhadap suatu mata uang, dengan menjaga daya belinya baik terhadap barang dan mata uang lain, hakikatnya adalah menjaga eksistensi suatu negara. Untuk itu me ngelola ekspektasi adalah kuncinya. Jelas itu bukan hal mudah karena memerlukan kredibilitas, yang diperoleh de ngan menunjukkan konsistensi dan bukti. Hal ini jelas disadari BI dan menjadi pendekatan dalam strategi mencegah pergerak an kurs rupiah yang terlalu ekstrem. u
D Aulia
Senjata Bernama Nilai Tukar Bagi Cina, nilai tukar rendah bisa mengurangi nafsu impor akan barang-barang mewah yang tak diproduksi di dalam negeri.
Nilai Tukar sebagai Posisi Tawar
Melemahnya nilai tukar mata uang suatu negara diharapkan selain mampu menggenjot ekspor, juga berguna untuk mengerem nafsu impor, sehingga neraca perdagangan bisa surplus. Mungkin, itu pula salah satu alasan utama kenapa Pemerintah Inggris pada akhir nya tetap memegang erat mata uang poundsterling mereka, meski warganya punya pandangan positif mengenai masa depan zona euro. Salah satu kenikmatan mempunyai mata uang sendiri saat menghadapi krisis adalah fleksibilitas kebijakan moneter. Selain devaluasi mata uang, sebuah negara juga bisa menerapkan sistem nilai tukar ganda, biasanya terdiri nilai tukar tetap yang resmi dan nilai tukar mengambang yang tak resmi. Seperti dilakukan Argentina kala dihantam krisis 1999-2002. Untuk melayani transaksi impor barang-barang kebutuhan pokok, para importir bisa memakai nilai tukar resmi peso Argentina yang dijaga tetap terhadap dolar AS. Sementara untuk kebutuhan impor barang-barang sekunder dan tersier, importir harus mengandalkan nilai tukar mengambang sesuai harga pasar. Kebijakan yang diterapkan Argentina adalah untuk menghindari terkurasnya cadangan devisa, demi menjaga nilai tukar bila harus melayani semua kebutuhan impor. Dengan cara ini, Argentina tetap menjaga pasokan kebutuhan pokok rakyatnya sekaligus mengerem impor barang-barang mewah. Bisa dibilang, lewat cara ini Argentina telah menerapkan ‘tarif’ untuk barang mewah impor dan ‘subsidi’ untuk bahan pokok impor. Soal nilai tukar mata uang juga menjadi faktor penentu dalam
FOKUS
S
eorang profesor tua asal Jerman menggambarkan mata uang tunggal Eropa sebagai sistem yang hanya menyenangkan negara-negara yang dianggapnya masuk golongan ‘pemalas’. Yaitu, kata dia, negara yang biasanya terletak di kehangatan Mediterania seperti Italia dan Yunani. Di negara-negara itu, penduduknya terbiasa hidup dengan situasi ekonomi fluktuatif dan suku bunga perbankan tinggi. Setelah bergabung dalam mata uang euro, tingkat bunga perbankan negeri-negeri tersebut menyesuaikan dengan suku bunga rendah dan ekonomi stabil ala Jerman yang dinikmati zona euro. ‘’Akhirnya, banyak orang Yunani bisa kredit untuk membeli mobilmobil mewah buatan Jerman,’’ gerutu sang profesor ketika memberi kuliah di Jakarta, tiga tahun lalu. Orang Yunani boleh saja berpesta setelah bergabung ke zona euro. Namun, saat krisis ekonomi global yang berkepanjangan seperti saat ini, Yunani mungkin menyesali keputusan mereka menukarkan mata uang drachma ke euro. Dalam situasi ketika defisit anggaran dan utang membengkak, satu-satunya harapan bagi Yunani untuk menggenjot pendapatan adalah dari ekspor. Sayangnya, Yunani sudah kehilangan senjata ampuh untuk me rangsang ekspor, yaitu mata uang sendiri yang bisa dilemahkan nilai tukarnya agar harga komoditas ekspor nasional menjadi lebih kompetitif di pasar dunia. Dalam situasi resesi ekonomi, pelemahan nilai tukar mata uang tak hanya merupakan konsekuensi atau dampak krisis, namun juga merupakan mekanisme pertahanan diri negara itu.
persaingan antara Airbus dan Boeing, dua raksasa industri pesawat dunia. Boeing berproduksi dan juga menjual pesawatnya dalam dolar AS, sementara Airbus punya komponen biaya dan penjualan dengan patokan euro. Riset Prancis Centre d’Etudes Prospectives et d’Informations Internationales (CEPII) menyebutkan, setiap apresiasi euro terhadap dolar AS sebesar 10 persen saja berpotensi menurun kan volume penjualan Airbus sebanyak 20 persen dan secara nilai bisa anjlok 10 persen.
Belajar dari Cina dan Amerika
Negara yang dikenal paling banyak memanfaatkan nilai tukar untuk menguasai perdagangan dunia adalah Cina. Nilai tukar renminbi yang rendah terhadap dolar AS membuat komoditas ekspor Cina berupa produk manufaktur dari peniti, baju, sampai mesin mampu menembus pasar ekspor di berbagai kawasan, menjadikan Cina negara pengekspor terbesar dunia sejak 2009, mengalahkan Jerman. Mungkin saja Jerman masih bisa mengklaim sebagai negara yang paling rajin bekerja, namun jelas mereka tak punya mata uang sendiri sebagai instrumen penggenjot ekspor. Untuk mendevaluasi euro agar ekspornya naik, maka pertama kali Jerman harus cekcok dulu dengan Prancis sebelum menghadapi belasan negara seperti Italia dan negara euro lainnya. Sejak 1997 sampai 2005, Cina melakukan peg terhadap renminbi dengan kurs sekitar 8,3 yuan per dolar AS. Kebijakan ini mengundang kritik keras dari Amerika Serikat selaku mitra dagang utamanya, karena menganggap nilai tukar itu terlalu rendah. Bagi Cina, nilai tukar rendah bisa mengurangi nafsu impor akan barang-barang mewah yang tak diproduksi di dalam negeri. Misalnya impor mobil. Rendahnya nilai tukar renminbi pada akhirnya memaksa produsen mobil dunia mendirikan pabrik di Cina agar jualan mereka tetap laku. Dalam hal ini, nilai tukar tak hanya menjadi senjata mo neter saja. Pada pertengahan 2005, Bank Rakyat Cina selaku bank sentral mengumumkan bahwa kebijakan peg secara resmi diakhiri yang membuat renminbi menguat sampai 6,8 yuan per dolar AS pada April 2009. Namun, Amerika tetap menganggap nilai tukar itu terlalu rendah. Perang kurs mata uang antara dua negara besar itu sempat membuat ketegangan yang akhirnya dicoba didamaikan lewat pertemuan G-20 di Toronto pada Juni 2010. Dalam forum negara-negara ekonomi utama dunia itu, Cina ‘me ngalah’ dengan mengizinkan agar renminbi menguat terhadap dolar AS. Sejak itu, renminbi menguat tipis, menjadi 6,2 yuan per dolar AS. Sampai hari ini, Amerika tetap saja merasa dongkol karena seakan mengalami defisit perdagangan abadi terhadap Cina. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
7
Jelajah Museum Bank Indonesia LIPUTAN
Malam Hari, Tak Melulu Misteri Masyarakat bisa mendapatkan ambience yang berbeda dengan kunjungan pada siang hari.
YUNI WININGSIH
Dok BI
Departemen Sumber Daya Manusia
M
endengar ajakan menghadiri ‘Night at The Museum’, apa yang seketika terbayang di benak? Apakah misteri? Seram? Menantang? Maka, menjelajah Museum Bank Indonesia pada malam hari, layak dicoba untuk menjawabnya. “Kami ingin memberikan pengalaman me ngunjungi museum yang berbeda dan menye nangkan, dengan mengunjungi museum pada malam hari,” kata Kepala Departemen Museum Bank Indonesia, Chandra Murniadi. Untuk pertama kali, gelaran dibuka pada 16 Februari 2013. Meski di akhir pekan dan kegiatan perdana, seti
8
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
daknya 130 orang hadir dalam Night at The Museum ini. Sorotan lampu di sekeliling bangunan Museum yang beraliran neo-klasikal, membuat setiap sudut tampak lebih memukau. “Seperti ada aura lain dari museum ketika mengunjunginya di malam hari”, ungkap salah seorang pegawai yang hadir menikmati acara itu, Astrilia Liscagita. Beberapa turis asing juga terlihat menikmati sajian malam museum ini. Tua-muda, lokal-asing, semua bergabung dalam kemeriahan acara berbalut pakaian pink dan merah. Selama berkeliling, peserta dibagi dalam lima kelompok. Selama satu jam, dalam rute yang ber-
l ll
variasi, kelima kelompok berkeliling didam pingi pemandu. Rute yang dilewati para pe ngunjung Night at The Museum, sebenarnya tak beda dengan rute kunjungan pada siang hari. “(Tapi) masyarakat bisa mendapatkan ambience yang berbeda dengan kunjungan siang hari,” kata Asep Kambali, pendiri Ke lompok Historia Indonesia (KHI), mitra Bank Indonesia dalam hajatan ini. Pengunjung akan diajak melewati ruang teater, kemudian ruang prasejarah dan sejarah, ruang kerja De Javasche Bank, ruang emas, dan ruang numismatik. Setiap area mu seum dikemas dengan memanfaatkan teknologi modern dan multimedia. Di sanasini terpasang display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama, yang memudahkan pengunjung. Peserta Night at The Museum mendapatkan dua ‘bonus’ area yang bisa dimasuki, yang tak didapat pada kunjungan siang hari. Kedua area itu adalah ruang Perencanaan dan Pengedaran Uang (PPU) serta ruang pembakaran uang tidak layak edar. Melengkapi perbedaan, peserta Night at The Museum pun mendapat suguhan jamuan malam. Para peserta menikmati makan malam dengan iringan lagu-lagu le gendaris seperti Bee Gees, Beatles dan Koes Plus dari BI One Band.
Berlokasi di Jl Pintu Besar Utara No 3 Jakarta Barat, Museum Bank Indonesia tidak su lit untuk dijangkau. Bila menggunakan kereta api, mengunjungi museum ini tinggal berjalan kaki dari Stasiun Kota. Demikian pula bila menumpang Bus Transjakarta, cukup menyeberang dari halte Bus Transjakarta Stasiun Kota. Gedung Museum Bank Indonesia, dulu adalah kantor De Javasche Bank. Dalam perjalanan waktu, sempat juga bangunan ini menjadi rumah sakit. Beberapa kali direnovasi dan diperluas, Bank Indonesia menempati gedung ini mulai 1 Juli 1953. Tepatnya sebagai gedung Kantor Pusat Bank Indonesia Kota, merupakan Kantor Bank Indonesia yang pertama. Bangunan terdiri dari dua lantai. Pada lantai pertama terdapat pintu masuk utama, pintu masuk belakang, ruang emas, PPU, perpustakaan, dan kafe. Di lantai dua, dapat ditemukan lobby hall, ruang penitipan barang, ruang pelayanan pengunjung, ruang teater, ruang prasejarah dan sejarah Bank Indonesia, serta ruang pameran tetap. Ornamen gedung banyak diwarnai bahan dari kayu jati, keramik, dan kaca lukis ventilasi. Ornamen kayu jati dapat dilihat pada panel pintu, penutup dinding, dan interior. Ukiran pada ornamen kayu jati dirancang dan dibuat oleh Raden Mas Noto Suroto, digarap pekerja ukiran dari Vereigne Ost Vench Leiden. Museum Bank Indonesia juga memiliki 300 tiang beton, teknologi yang masih langka pada eranya. Di bangunan ini juga ada menara-menara mini terbuat dari beton dengan kerangka baja bertutupkan tembaga. Berdasarkan UU no 5 Tahun 1992, bangunan ini masuk kategori cagar budaya. Apalagi setelah tidak lagi digunakan Bank Indonesia, bangunan pun ‘dialihfungsikan’ menjadi museum yang terbuka untuk umum, mulai 15 Desember 2006. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan museum ini pada 21 Juli 2009. Sejak itu, tampilan dan penyajian sejarah gedung dan arti kehadirannya bagi perekonomian Indonesia, dikemas semakin menarik. Teknologi multimedia di Museum Bank Indonesia, adalah sisi lain keunggulan yang masih sulit dibayangkan hadir di museum lain di Indonesia. Dan, itu hanya bisa dicoba, tak cukup hanya mendengar dari cerita, untuk tahu seberapa mempesonanya. u
MONETARIA
Mengenal Sistem Nilai Tukar
l
Fixed exchange rate atau juga lazim disebut peg, merupakan sebuah sistem nilai tukar mata uang, di mana nilai dari sebuah mata uang ditetapkan pada ‘harga’ tertentu terhadap mata uang lain. Per ubahan nilai tukar hanya, menguat ataupun melemah terhadap mata uang negara lain, tergantung pada kebijak an Pemerintah atau otoritas moneter. Misal, nilai tukar Saudi Riyal ditetapkan 3,75 Riyal per Dolar AS.
l
Floating exchange rate adalah sebuah sistem di mana nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh kekuatan transaksi permintaan dan penawaran. Nilai masing-masing mata uang terhadap mata uang lain tergantung pada kebutuhan dan pasokan ma sing-masing mata uang, serta pada tingkat ‘keterpakaiannya’ dalam pasar global.
l
Gold exchange standard adalah sistem yang dulu biasa digunakan oleh banyak negara untuk menentukan nilai mata uang mereka hingga akhir 1960-an. Misal, setiap satuan emas dinyatakan setara de ngan nilai tertentu dari sebuah mata uang. Untuk dolar AS, dulu dipatok 35 dolar setara dengan satu troy ounce emas, sekitar 31 gram emas.
l
Joint float yaitu sistem di mana sejumlah negara bersama-sama menentukan nilai tukar tetap di antara mereka sendiri , dan memberlakukan nilai tukar yang berbeda untuk negara di luar mereka. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
LIPUTAN
Rencananya, gelaran Night at The Museum akan digelar secara rutin. Seperti halnya kunjungan pada siang hari, tak ada pungut an untuk menikmati sajian edukasi berbalut teknologi multimedia di museum ini.
9
di Perbatasan Terobosan langkah dengan pemikiran taktis dan strategis, menjadi jurus yang tak bisa ditawar.
panda.org
RUANG BACA
Memperluas Layanan Keuangan man Tisnawan, mengatakan pelayanan perbankan hingga ke pelosok memang harus dilakukan. “Perbankan jangan sampai absen karena berpikir tidak mendapat untung. Harus masuk juga ke daerah yang memang membutuhkan layanan perbankan,” ujar dia. Pada 15 Desember 2012, sejarah baru ditorehkan di Paloh. Untuk pertama kalinya, berdiri sebuah bank, yaitu Kantor Cabang Pembantu Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat. “Kami memang me minta Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat untuk membuka kantor di remote area seperti Paloh,” ujar Hilman. Selama ini, layanan perbankan Paloh mengandalkan Kota Sambas. Itu pun, untuk nominal Rp 100 juta sudah harus indent alias me nunggu beberapa hari. Dapat dibayangkan bagaimana warga cukup kerepotan bertransaksi rupiah dengan kondisi demikian. Seiring pembukaan kantor bank tersebut, Bank Indonesia pun menurunkan tim kas keliling. Masyarakat langsung mendapat kesempatan menukar uang kartal. Bersamaan, uang lusuh ditarik juga. Kesempatan yang jarang ini kemudian digunakan untuk sosiali sasi. Masyarakat dikenalkan cara mengenali keaslian uang rupiah. Bagaimana cara memperlakukan uang, juga dikabarkan. Dikemas dengan hiburan musik, masyarakat pun diajak turut serta dalam program Cinta Rupiah di daerah perbatasan.
Kondisi perbatasan
M
empunyai wilayah kerja yang luasnya satu setengah kali Pulau Jawa, tentu merupakan tantangan tersendiri. Belum lagi, di wilayah ini terbentang perbatasan sepanjang 966 kilometer dengan negara tetangga. Inilah situasi yang sehari-hari menjadi tantangan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Barat. Wilayah yang dilayani kantor ini mencakup 15 kecamatan dan 747 desa, dengan 14 kecamatan dan 98 desa tepat berseberangan dengan distrik Malaysia. Terobosan langkah dengan pemikiran taktis dan strategis, menjadi jurus yang tak bisa ditawar. Apalagi selama ini pembangunan infrastruktur masih terfokus di beberapa titik yang mempunyai pintu pemeriksaan lintas perbatasan. Salah satu terobosan yang dibuat Kantor Perwakilan Bank Indo nesia Kalimantan Barat adalah dengan membuka akses layanan ke uangan dan perbankan, di lokasi yang sebelumnya belum terjamah. Fokus program kegiatan tak lagi hanya tertuju ke daerah seperti di Entikong, Aruk, atau Badau, di kawasan lintas perbatasan. Kali ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Barat memilih mendorong pembangunan layanan perbankan di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, yang belum pernah ada sejak Indonesia merdeka. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Barat, Hil-
10
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Daerah perbatasan di Kalimantan Barat, terbentang dari Kabupaten Sambas sampai dengan Kapuas Hulu. Di sepanjang daerah perbatasan, berdasarkan data tim pengawas inflasi daerah Kalimantasan Barat pada 2011, terdapat 50 jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di provinsi ini dengan 32 kampung di Sarawak, Malaysia. Kedekatan warga kedua sisi perbatasan, tak cuma ditandai kehadiran jalan setapak itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2010, disebutkan 38,83 persen penduduk Kalimantan Barat, kira-kira berjumlah 1,71 juta orang, tinggal di kawasan perbatasan. Sayang nya, dua sisi wilayah yang dipisahkan tonggak-tonggak perbatasan tersebut tidak memperlihatkan kesetaraan kesejahteraan. Misalnya, sebagian besar jalan utama desa di wilayah perbatasan di sisi negara kita, masih berupa jalan tanah. Dari 98 desa perbatasan, saluran televisi dapat diakses di 31 desa, dengan mayoritas siaran berasal dari negara tetangga. Hanya 16 desa yang bisa menangkap siaran dari televisi nasional, dan delapan dari 14 kecamatan di perbatasan sama sekali tak bisa menangkap sinyal televisi. Setali tiga uang, sinyal telepon juga masih timbul tenggelam. Dari 98 desa di perbatasan, 42 desa di antaranya bisa mendapatkan sinyal dari operator telepon nasional tapi lemah. Sedangkan 39 desa yang lain, sama sekali tak mendapat sinyal. Cuma 17 desa yang ‘baik-baik saja’ di urusan sinyal telekomunikasi ini. Bila tak ada upaya strategis dari beragam kalangan, kondisi ini tak akan pernah membaik. Investasi yang diharapkan datang untuk mewujudkan daerah perbatasan sebagai etalase negara, bakal serasa memanah rembulan. Karenanya, pembukaan kantor cabang pembantu Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat ini, merupakan satu langkah awal sekaligus besar, yang bukan sekadar rencana dan wacana. u
Delapan Karakter
Tanah Abang
Sudah Hidup di Era Digital?
uang abang ini datang,” kata Tigor menepuk-nepuk dompetnya. Ucok makin kagum pada abangnya yang demikian dekat dengan kehebatankehebatan itu. “Rumah Presiden itu belum seberapa besar, Cok,” lanjut Tigor, “Tahu kau, mulai dari BI itu terus ke ke belakangnya sana, itu semua Tanah Abang,” jelas Tigor meya kinkan. “Puji Tuhan, benar Bang?” tanya Ucok makin kagum. “Kalau tak percaya kau, kita tanya sama anak muda ini,” kata Tigor. “Dek, betul kan daerah di belakang BI itu Tanah Abang?” “Betul Bang,” jawab pemuda itu. “Apa kubilang...!! Ayoklah kita turun,” kata Tigor menarik adiknya yang makin kagum pada abangnya. u
B
Djalu’13
T
igor membawa Ucok, adiknya yg baru datang dari Tarutung, jalan-ja lan ke Monas. Sampai di puncak, Tigor unjuk gigi pada adiknya sambil menunjuk Istana. “Cok, tahu kau? Itu rumahnya Pre siden SBY,” katanya. “Bah, besar rumahnya ya Bang...,” jawab Ucok kagum. “Kalau itu Gedung Indosat, kantor henpon abang ini,” katanya mengajak Ucok ke sisi barat sambil mengacungkan HPnya. “Besar dan tinggi kantornya ya Bang?” kata Ucok kagum. “Karena itu keras suara henpon abang ni,” kata Tigor tegas. “Yang besar-besar di sebelahnya, gedung apa bang?” tanya Ucok. “Itu gedung BI, dari situlah semua
GERAI CANDA
Djalu’13
Badu buka komputer, lalu mema sukkan password: ‘Pemarahpemalupendendamsombongcongkakjujurberanitegas’ Amir: “Kok password panjang begitu?” Badu: “Gaptek lo ah, kan passwordnya harus 8 karakter termasuk satu huruf besar. u
anyak orang menyebut saat ini adalah era digital. Apakah kita sudah selaras dengan era tersebut, berikut beberapa cara untuk memastikannya: 1. Anda secara tidak sengaja memasukkan PIN Anda pada microwave. 2. Anda tak pernah bermain poker dengan kartu betulan dalam 1 tahun terakhir. 3. Anda memiliki daftar 15 nomor telepon untuk dapat menghubungi tiga anggota keluarga Anda. 4. Anda mengirimkan e-mail kepada orang yang bekerja di meja sebelah Anda. 5. Alasan Anda untuk tidak tetap ber- hubungan dengan teman dan keluarga adalah bahwa mereka tidak memiliki alamat e-mail. 6. Anda berhenti di depan rumah Anda dan menggunakan ponsel Anda untuk memeriksa apakah ada orang di dalam rumah yang bisa membantu Anda mem- bawa belanjaan. 7. Setiap iklan di televisi memiliki situs web di bagian bawah layar. 8. Meninggalkan rumah tanpa ponsel Anda, merupakan penyebab panik dan Anda pasti akan berbalik arah untuk mengambilnya kembali. 10. Anda bangun di pagi hari dan online sebelum mendapatkan kopi Anda. 11. Anda mulai memiringkan kepala Anda ke samping untuk tersenyum. 12. Anda membaca ini dan mengangguk dan tertawa. 13. Anda terlalu sibuk untuk memperhati- kan bahwa tidak ada nomor #9 pada daftar ini. 14. Anda benar-benar mengecek kembali untuk memeriksa bahwa tidak ada #9 pada daftar ini. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
11
Perang Mata Uang PERSPEKTIF
D Aulia
Sebuah Puncak Gunung Es ERWIN HARYONO
Departemen Internasional
P
erang bisa dilihat sebagai zero sum game: ada yang kalah, ada yang menang. Tapi kita juga tahu kalau perang seringkali berakhir duka buat semua orang. Kematian, kehancuran, dan penderitaan dihadapi oleh pecundang maupun pemenang. Hasil akhir yang secara netto menjadi negatif. Lalu apa hasil dari perang mata uang (currency wars)? Majalah The Economist tidak memprediksi keduanya, tapi justru kemaslahatan buat dunia: positive sum. Benarkah? Istilah perang mata uang dimulai Men teri Keuangan Brazil pada 2010, ketika mengkritisi kebijakan The Fed. Kala itu Bank Sentral Amerika Serikat (AS) itu mengguyur pasar keuangan Amerika dengan likuiditas, dise but Quantitative Easing (QE). Pencetakan uang itu, tuduh sang menteri Brazil, adalah untuk melemahkan nilai mata uang Amerika untuk perbaikan neraca perdagangan. Perseteruan memanas, tapi hanya seumur jagung. Kini, perang mata uang merebak lagi. Hanya saja bukan antara negara maju lawan negara emerging, melainkan sesama negara maju. Jepang yang frustasi karena dua abad kemandekan ekonominya (lost decades) ingin menempuh jalan pintas. Perdana menteri yang baru, Shinzo Abe, akan melakukan stimulus fiskal besar-besaran. Abe-san juga menekan Bank of Japan untuk melakukan langkah nyata melalui QE. Dalam jangka pendek, kebijakan yang kini disebut sebagai Abenomics itu diharapkan menurunkan suku bunga riil dan melemahkan mata uang. Cuma butuh waktu dua bulan, yen melemah 10 dan 20 persen terhadap dolar AS dan euro. Tapi masih menjadi pertanyaan besar, apakah pelemahan itu akan secara nyata berdampak kepada aktivitas ekonomi di sektor riil. Stimulus fiskal dan ultra accommoda tive monetary policy Amerika, misalnya, tidak
12
serta-merta mendorong aktivitas ekonomi, karena sektor rumah tangga dan perusahaan masih terus berkonsentrasi pada perbaikan neraca mereka yang defisit. Pendukung stimulus melihat kebijak an yang longgar sebagai satu-satunya jalan untuk mengaktivasi ekonomi yang sedang resesi. Jika masih tidak banyak mengaktivasi ekonomi, tambah lagi saja dosisnya. The Economist pun berpendapat pelonggar an semacam yang kini dilakukan di Jepang bukan semata berimplikasi kepada perang mata uang untuk perbaikan neraca perdagangan. Jika suku bunga riil bisa diturunkan dan mengaktivasi konsumsi, impor juga akan bertambah, yang berarti ekspor bagi negara lain. Secara keseluruhan dunia diuntungkan ketimbang terus mengalami resesi. Itulah alasan mengapa Abenomics dianggap berdampak positive-sum bagi dunia. Sayangnya mengharapkan tambahan konsumsi pada argumen itu tidak semudah dibayangkan. Melemahkan nilai tukar hanya berarti bahwa mata uang lain akan menguat. Mereka yang merasa dirugikan akan bereaksi juga. Secara global, dinamika yang terjadi bisa membahayakan karena akan semakin meningkatkan volatilitas pasar. Kini saatnya melihat kembali akar persoalan, untuk tidak sekadar terjebak kebijakan yang berbasis pragmatisme jangka pendek.
Perangkap Labirin Pasca-krisis
Akar persoalan krisis yang kini dihadapi negara maju begitu mendasar. Sulit bagi me reka untuk segera keluar dari “labirin” resesi ekonomi. Jebakan utang dan proses deleveraging yang menyertainya; sektor keuangan yang belum sepenuhnya berfungsi; persoalan demografi seperti aging population yang sangat pelik; amunisi kebijakan ––baik fiskal maupun moneter–– telah terkuras; serta de retan persoalan struktural yang secara kese luruhan menyebabkan inefisiensi ekonomi, adalah kendala mendasar yang tidak memungkinkan mereka melakukan pemulihan ekonomi secara cepat. Kebijakan ekonomi negara maju seperti terus berputar dalam lingkaran tak berujung (vicious circle). Ini membuat berbagai langkah kebijakan, termasuk QE, tidak efektif. Laporan tahunan Bank for International Settlements (BIS), misalnya, gamblang memotret persoalan semua pelaku ekonomi. Rumah tangga dan perusahaan terjerat utang
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
dan neracanya defisit; jerat utang dan defisit fiskal juga dihadapi pemerintah, menjadikannya tidak kredibel; sektor keuangan terjebak penempatan berisiko tinggi, dan dengan demikian membutuhkan tambahan modal. Konsolidasi fiskal sangat mendesak, tetapi jika itu dilakukan akan semakin memperlemah pendapatan sektor rumah tangga dan perusahaan. Apabila mereka sampai bangkrut, ikut runtuh jugalah sektor keuangan. Persoalannya, banyak institusi keuangan da_ lam posisi sistemik, sehingga kebangkrutan nya akan memaksa intervensi pemerintah yang pada dasarnya tidak punya dana. Sebaliknya, pemerintah yang tidak mau melakukan konsolidasi fiskal akan semakin tidak kredibel dan menurunkan harga surat utangnya di pasar, memperburuk nera ca sektor keuangan yang terlanjur memiliki surat utang itu. Lalu, sektor ini memperketat kredit pada sektor rumah tangga dan perusahaan, memperlemah pertumbuhan ekonomi karena aktivitas ekonomi menurun. Akhirnya, konsolidasi fiskal justru semakin sulit dilakukan. Lingkaran setan semacam itu sebenar nya telah sejak lama diidentifikasi. Tetapi negara maju terus saja melakukan respons kebijakan berorientasi jangka pendek. Setelah triliunan dolar AS dana stimulus fiskal tidak berhasil mengangkat aktivitas ekonomi, kebijakan moneter yang sangat akomodatif kini menjadi andalan. Bukan saja tidak efektif, langkah kebijak an moneter negara maju sebagai penyedia likuiditas global juga akan berdampak kepada negara lain, khususnya melalui ketidakstabil an aliran modal. Jika melihat persoalan eko nomi yang diahadapi, QE dan currency wars yang mengikutinya hanyalah sebuah puncak gunung es. Di bawahnya tersembunyi segunung persoalan yang pelik dengan ruang kebijakan yang sempit. Jalan pintas semacam QE tidak bisa dianggap sebagai pengganti (substitute) perbaikan struktural yang harus dilakukan. Langkah jangka panjang yang kredibel se per ti me ngu rangi utang di semua sektor adalah hal yang mutlak diperlukan. Memang sulit dan menyakitkan, tapi perbaikan struktural adalah satu-satunya cara untuk keluar dari lingkaran setan. Kita di sini sudah mengalami periode pahitnya perbaikan struktural itu setelah “krismon” di akhir 1990-an. Mungkin kini saatnya Indonesia memberikan pelajaran. u
Kecukupan cadangan devisa, akan memberikan kemampuan yang memadai kepada BI untuk mengatasi fluktuasi nilai tukar rupiah yang berlebihan.
D Aulia
D
ari media massa, kita sering membaca atau mendengar Bank Indonesia (BI) melakukan operasi (baca: intervensi) pasar valuta asing (valas). Berita itu selalu terkait dengan upaya BI sebagai bank sentral menstabilkan gejolak atau fluktuasi nilai tukar rupiah. Dalam operasi pasar, digunakan istilah jual atau beli valas, biasanya melibatkan va las berupa dolar Amerika Serikat (AS). Aksi jual dilakukan ketika pelemahan rupiah dinilai sangat signifikan. Sebaliknya, BI akan membeli valas ketika rupiah menguat terlalu signifikan terhadap dolar AS, di luar volatilitas yang dianggap normal. Langkah intervensi tersebut merupakan hal jamak di semua bank sentral dunia. Namun krisis ekonomi global yang dimulai dari Amerika pada 2007-2008, membuka lembaran baru sejarah pasar keuangan. Apalagi pada 2010 menyusul pula krisis utang dan fiskal di kawasan Eropa. Krisis kali ini telah membuat kepercayaan pelaku pasar menurun. Pada saat bersamaan likuiditas pasar di beberapa ka wasan menipis. Dampaknya, volatilitas alias fluktuasi harga-harga produk pasar keuangan, termasuk nilai tukar mata uang, meningkat tajam. Muncul paradigma baru di pasar ke uangan, sebagai respons pelaku pasar atas krisis di negara-negara maju itu, berupa kondisi ‘risk on’ dan ‘risk off’. Istilah ‘risk on’ merupakan kondisi ketika harga aset beri siko cenderung menguat, sebaliknya ‘risk off’ adalah situasi ketika harga aset berisiko itu cenderung melemah. Menjadi persoalan, ketika kondisi atau sentimen ‘risk on’ dan ‘risk off’ tersebut terjadi bergantian dalam jangka waktu singkat. Dengan kata lain, terjadi kecenderungan peningkatan volatilitas pasar. Dalam perekonomian yang semakin terintegrasi di era globalisasi, kondisi volatilitas pasar ini juga merambat sampai ke Indonesia. Nah, repotnya, Indonesia masih sering dianggap sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko tinggi oleh banyak
FITRA JUSDIMAN
Departemen Pengelolaan Devisa
pelaku pasar. Di sinilah BI membutuhkan ‘amunisi’ yang cukup untuk dapat menjaga volatilitas nilai tukar rupiah dengan baik. Wujud peluru itu adalah cadangan devisa. Kecukupan cadangan devisa, akan memberikan kemampuan yang memadaikepada BI untuk mengatasi fluktuasi nilai tukar rupiah yang berlebihan. Pada saat yang sama, kecukupan devisa juga dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar dan investor, terutama saat volatilitas nilai tukar meningkat. Karenanya, menjaga kecukupan cadangan devisa menjadi isu sangat penting bagi BI. Saking pentingnya tugas menjaga kecukupan devisa ini, tak heran bila penge lolaan cadangan devisa menjadi pasal ter sendiri dalam Undang-undang (UU) tentang BI. Gamblang disebutkan bahwa BI mendapat tugas mengupayakan cadangan devisa dipelihara mencapai jumlah yang dianggap cukup untuk melaksanakan kebijakan moneter.
Ini Soal Pengelolaan
Nah, ini bagian serunya. Amanat UU tersebut membuat BI harus bisa mengelola cadangan devisa untuk beragam kebutuh an, yang semua berujung pada ‘kesehatan’ moneter Indonesia.
Cara BI mengelola cadangan devisa, bisa dibilang tak beda dengan apa yang dilakukan para manager investasi di pasar keuangan global. Bahkan setali tiga uang dengan keseharian pengelolaan keuangan ru mah tangga. Hanya, urutan prioritas prin sip pengelolaan yang menjadi pembedanya, karena tujuan BI bukan mendulang keuntungan semaksimal mungkin. Bagi bank sentralumumnya, termasuk BI, prinsip pengelolaan cadangan devisa menggunakan tiga prinsip dengan urutan prio ritas. Ketiga prinsip tersebut adalah keamanan (security), kesiagaan memenuhi kewajiban segera (liquidity), tanpa mengabaikan peluang untuk memperoleh pendapatan optimal (profitability). Jika pasar uang diibaratkan lalu lintas kendaraan, maka prinsip pengelolaan ter sebut merupakan rambunya. Mencapai tu juan dengan mengabaikan ketiga prinsip ini, tak beda dengan mengemudi di jalanan tanpa panduan rambu. BI secara bertahap juga melakukan trans formasi paradigma proses pengelolaan cadangan devisa yang mengarah pada international best practices. Tata kelola (go vernance) dan proses pengambilan keputusan (decision making process) semakin dipertajam untuk meminimalisasi terjadi nya berbagai risiko dalam pengelolaan. Diversifikasi aset dan instrumen penge lolaan pun diperluas, dengan tetap memperhatikan tingkat risiko dan pendapatan yang seimbang. Investasi tersebut mencakup penanaman pada berbagai negara dan mata uang yang dianggap aman, serta pada produk-produk pasar keuangan se perti emas, surat berharga, dan deposito. Sejauh ini, pendekatan dan proses pe ngelolaan cadangan devisa serta pengelolaan risikonya dinilai telah sesuai (comply) dengan international best practices. Tentunya target capaian tidak hanya berhenti sampai di situ. Bila semua berjalan optimal, gonjangganjing ‘risk on-risk off’ pun bisa dihadapi dengan lebih tenang dan meyakinkan. Semoga. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
PERSPEKTIF
Mengelola ‘Risk On-Risk Off’
13
PERISTIWA & HUMANIORA
S
ebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Ti mur, Samarinda merupakan kota jasa, namun minim objek wisata. Berbagai cara telah diupayakan Pemerintah Kota untuk mengembangkan daerah wisata. Salah satunya adalah dengan menetapkan sentra produksi sarung tenun, di Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Timur ikut mendorong pengoptimalan potensi daerah wisata ini. “Pengembangan kampung tenun Samarinda menjadi daerah tujuan wisata ha rus bersifat komprehensif, ‘one stop shopping’, serta menggunakan pendekatan market,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Timur, Ameriza M Moesa. Pendekatan ‘one stop shopping’, ujar dia, akan memadukan sentra kerajinan, pusat penjualan, serta objek wisata.
Kampung tenun ini akan dilengkapi de ngan fasilitas ruang pamer, kulinter, wisata religi dan budaya, dan pemandu. Pengembangan SDM perajin, melalui penguatan modal sosial dan masyarakat sadar wisata, menjadi prioritas utama kesuksesan kampung ini. Tenun sarung Samarinda, semula di bawa oleh para pendatang Suku Bugis dan Sulawesi, yang menetap di kawasan Tanah Rendah, mulai 1668. Sekarang, wilayah ini dikenal de ngan sebutan Samarinda Seberang. Kawasan ini adalah cikal-bakal dari Kota Samarinda. Motif sarung tenun Samarinda yang terkenal adalah ‘Belang Hatta’. Nama motif ini merujuk pada Wakil Presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta. Motif tersebut merupakan pilihan Hatta ketika dulu berkunjung ke sana.
Mengenalkan Perbankan di Sekolah
P
erbankan memegang peran pen ting dalam kehidupan modern, termasuk memajukan perekonomian suatu negara. Hampir seluruh sektor yang terkait dengan aktivitas keuangan, baik perorangan maupun lembaga, sosial atau perusahaan, membutuhkan jasa bank. Seiring perkembangan waktu, jumlah bank beserta cabangnya mengalami peningkatan dan diiringi berbagai inovasi berupa keragaman produk perbankan. Karenanya, ketersediaan sumber daya manusia dengan keahlian dan ke
14
terampilan khusus di bidang perbankan, menjadi kebutuhan mutlak yang tak terhindarkan. Untuk mendukung peningkatan keterampilan pelajar di bidang perbankan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV Jawa Timur memberikan bantuan pinjam pakai peralatan pendukung kegiatan ekstrakurikuler perbankan kepada SMKN 10 Surabaya. Peralatan tersebut berupa satu set perlengkapan bank mini, yang dapat dipakai untuk simulasi kegiatan perbankan.
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
grosirsarungsamarinda.com
aakminanti.blogspot.com
Kampung Tenun Samarinda
Saat ini terdata sekitar 167 perajin ada di kampung tenun. Jumlah ini masih bisa bertambah, karena belum semua perajin terdata. Kesepakatan kerja sama Bank Indonesia dengan Pemerintah Kota Samarinda untuk bersama-sama mengembangkan kampung ini, ditandatangani pada 28 Januari 2013. Wakil Wali Kota Samarinda, Nusyirwan Ismail mengatakan kerja sama ini adalah untuk mengembangkan sentra produk kerajinan dan menjadikannya sebagai tujuan wisata. Nusyirwan berharap, kampung tenun Samarinda dapat menjadi tujuan wisata nasional berbasis kerajinan. Wisatawan, kata dia, tak hanya dapat berbelanja, tapi juga bisa melihat proses produksinya. “Bank Indonesia mendukung tidak hanya penguatan permodalan, tapi juga pembinaan pada UKM,” kata dia. u
Setelah diserahterimakan oleh Bank Indonesia Wilayah IV, kepada SMKN 10 Surabaya, peralatan tersebut dipakai untuk kegiatan ekstrakurikuler. Di sekolah ini, Program Keahlian Perbankan dan Akun tansi menja di salah satu kegiatan ekstrakurikuler sejak 1996. Selama ini, respons siswa, tenaga pengajar, serta masyarakat sekitar cukup positif atas kegiatan bank mini di seko lah tersebut. Bank mini di SMKN 10 me layani kegiatan perbankan berupa peng himpunan dana dan penyaluran kredit. u
Dok BI
Terobosan Program Sosial dan Teknologi
A
da yang berbeda, di satu pagi, 18 Januari 2013. Tepatnya di Sei Gohong, Palangka Raya, Kali mantan Tengah. Keramaian, de ngan tenda terpasang kokoh, menyambut kehadiran Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang dan rombong an Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kalimantan Tengah. Pagi itu, Gubernur turun ke lahan ba wang merah. Menyingsingkan lengan batik khas Palangkaraya, Gubernur mengawali panen raya demonstration plot (demplot) bawang merah. Proyek demplot bawang merah ini merupakan terobosan Kantor Perwa kilan Bank Indonesia Kalimantan Tengah dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Kalimantan Tengah. Selama ini bawang merah dikenal sebagai tanaman dengan karakteristik tumbuh pada iklim kering, peka terhadap curah hujan dengan intensitas tinggi serta cuaca berkabut. Biasanya bawang merah membutuhkan tanah berstruktur remah, tekstur sedang sampai liat, drainase baik, mengandung bahan organik yang cukup, dan reaksi tanah tidak masam. Demplot bawang merah merupakan te robosan dengan menanam bawang merah di dua lokasi ekstrem, yang mewakili sebagian besar jenis lahan di Kalimantan Tengah. Yaitu, lahan dengan tanah berpasir seperti di Kelurahan Sei Gohong, dan lahan tanah gambut seperti di Kelurahan Kalampangan, yang keduanya berada di Kota Palangka Raya. Penanaman demplot dimulai pertengahan No-
vember 2012, saat curah hujan sudah cukup tinggi. Kondisi ini ideal untuk menanam bawang merah. Terobosan menggarap demplot bawang merah merupakan rekomendasi TPDI Kalimantan Tengah. Targetnya, metoda ini akan mengatasi permasalahan yang selalu muncul sebagai penyumbang inflasi utama Provinsi Kalimantan Tengah. Ya, bawang merah memiliki bobot konsumsi rata-rata mencapai 0,5 persen di Palangka Raya dan 0,6 persen di Sampit. Bila pasokan dari Pulau Jawa mengalami kendala, atau menjelang hari raya, inflasi pun bisa melejit karena persoalan bawang merah. Sementara kebutuhan bawang merah di provinsi ini, tercatat sekitar 200 ton per tahun. Berdasarkan alasan tersebut, Bank Indonesia melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) membantu masing-masing tiga petani di Kelurahan Sei Gohong dan Kalampangan, untuk memulai demplot bawang merah. Pro yek ini dikawal ketat oleh BPTP Kalimantan Tengah sebagai peneliti lapangan, selama 60 hari masa tanam demplot. Sebelum ada proyek ini, bawang merah belum pernah ditanam di sentra sayuran Palangka Raya maupun Kalimantan Tengah pada umumnya, karena dua hal. Pertama, karakter tanah yang berkarakteristik gambut dan pasir kuarsa. Kedua, sulitnya mendapatkan benih karena harganya mahal dan harus didatangkan dari Pulau Jawa. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Tengah, Muhammad Nur, mengata-
PERISTIWA & HUMANIORA
Demplot Bawang Merah
kan demplot membuktikan bahwa dengan teknologi yang tepat guna bawang merah dapat dibudidayakan di Kalimantan Tengah. “(Sehingga) secara ekonomis sangat layak dilakukan,” ujar dia, dalam kesempatan berdialog dengan para petani. Pengembangan demplot bawang merah yang lebih luas, papar Nur, punya tiga tujuan utama. Pertama, menjamin ketersediaan ba wang merah secara lokal, sehingga dapat me nekan inflasi. Kedua, memberdayakan sektor riil dan UMKM dari kalangan petani. Ke tiga, Meningkatkan akses UMKM pada perbankan. Berdasarkan uji coba di Sei Gohong dan Kalampangan, produksi demplot bawang merah adalah 9 ton per hektare. Rasio reve nue cost demplot bawang merah adalah 4,06, dengan kebutuhan biaya per hektare adalah Rp 50 juta. “Dengan capaian ini, saya optimistis per bankan akan berminat turut berperan dalam pembiayaan budidaya bawang merah ke depan, karena hasilnya cukup besar dan feasible,” kata Nur. Ke depan, imbuh Nur, keberhasilan demplot bawang merah di lahan marginal pasir kuarsa dan tanah gambut ini dapat menginspirasi para petani dan pihak terkait untuk mengembangkan bawang merah di Kalimantan Tengah. Gubernur Kalimantan Tengah pun meng imbau dinas terkait segera terlibat dalam pengembangan bawang merah dengan terobosan ini. Diharapkan dinas terkait dapat menggandeng petani sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka. u
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
15
Enny Nuraheni
EKSPOSE
Kami masuk pasar dengan jumlah dan timing yang tepat.
Menahan Ayunan Pendulum Ekonomi Global
P
endulum sentimen global tak pernah berayun sefluktuatif tahunta hun terakhir. Sejak kolapsnya Lehman Brothers di Amerika pada 2008, pasar keuangan dan ekonomi riil yang menopang kegiatan utama ekonomi, ibarat roller coaster. Geliat ekonomi global, utamanya di ne gara maju, menurun sejak saat itu. Seiring dengan marjin laba investasi di Amerika Se rikat, zona Euro, dan Jepang yang hampir mendekati nol, dana dalam jumlah besar di pasar keuangan global juga bergerak menca ri keuntungan ke emerging economy, seperti Indonesia, dan akhirnya banyak mempenga ruhi gerakan pasar keuangan emerging coun tries. Situasi yang tak pasti tidak pernah disukai siapapun, dari kalangan apa pun, termasuk Indonesia. Perlambatan ekonomi dunia berpengaruh cukup kuat kepada nilai ekspor kita yang pada 2012 terus dalam tren melambat. Di tengah impor yang masih cukup kuat guna menopang kuatnya ekonomi domestik, ekspor yang menurun pada gilirannya mendorong defisit pada neraca transaksi berjalan. Salah satu impor terbesar adalah minyak bumi yang melonjak sejalan dengan kenaik an konsumsi BBM dan harga global. Memang aliran modal dari negara maju juga masih besar sehingga dapat menutupi kesenjangan dari transaksi berjalan tersebut. Sayangnya, situasi ini punya kerentanan tersendiri. Aliran modal masuk dengan pola alami bersifat jangka pendek, khususnya investasi portofolio, cukup rentan berbalik arah mengikuti sentimen global. Kinerja neraca pembayaran yang kurang kondusif tersebut tidak dapat dihindari ber pe ngaruh pada pergerakan nilai tukar ru-
16
piah. Sejak awal 2012, rupiah dalam tren melemah. Sampai akhir Februari 2013 rupiah diperdagangkan pada kisaran Rp9.600 hingga Rp9.700 per dolar AS. Penurunan nilai tukar rupiah perlu mendapat perhatian karena bisa memberi tekanan inflasi dari barang impor.
Bukan Pekerjaan Mudah
Menjaga nilai tukar rupiah di tengah situasi yang kurang menguntungkan tersebut memang bukan pekerjaan mudah. Banyak variabel yang harus diperhitungkan. Belum lagi pengaruh arus modal jangka pendek alias hot money, yang bisa dengan mudah menggoyang rupiah, mengingat kapasitas pasar finansial Indonesia yang relatif kecil. Karena itu, kebijakan BI diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya, sambil berupaya memitigasi volatilitas yang dapat terjadi. Dalam kaitan ini, BI berupaya menutupi kesenjangan kebutuhan valas sehingga dapat meminimalkan volatilitas kurs yang dapat terjadi secara berlebihan. ‘’Masalahnya sekarang adalah terjadi shortage supply di pasar valas dari hari ke hari.,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A Sarwono. Dalam situasi itu, BI harus berani masuk ke pasar untuk mengurangi gap antara supply dan demand. “Kami masuk pasar dan melakukan intervensi de ngan jumlah dan timing yang tepat,” imbuh Hartadi. Namun tetap harus ada strategi untuk menarik aliran modal masuk khususnya yang berjangka panjang, guna membiayai kegiat an investasi di dalam negeri. BI juga menempuh kebijakan capital flows management, dengan menerbitkan peraturan yang mengharuskan kepemilikan
EDISI 35 u FEBRUARI 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
SBI bertahan minimal satu bulan sebelum bisa ‘beredar’ lagi, alias kebijakan one month holding period. Kebijakan ‘menahan sejenak aliran modal’ ini pun kemudian diperpanjang lagi menjadi six months holding period. ‘’Dari pengalaman kita, ini merupakan langkah yang baik dalam rangka pengelolaan kebijakan moneter,” kata Hartadi. Bank Indonesia pun meminta pelaku bisnis –terutama perusahaan di industri minyak dan gas– menempatkan devisa hasil ekspor dan utang luar negeri ke perbankan domestik. Permintaan ini memang belum akan signifikan meningkatkan likuiditas valuta asing dalam negeri, mengingat belum ada aturan yang mengharuskan berapa lama dana ini harus tinggal di pasar keuangan lokal ataupun kewajiban mengonversinya ke rupiah. Tapi, tetap saja permintaan itu merupakan pesan bahwa Bank Indonesia punya itikad dan terus berupaya menenangkan pasar yang gelisah di tengah rezim devisa bebas. Di samping itu, kebijakan ini juga diha rapkan dapat menggairahkan pasar keuang an domestik kita. Melalui pengembang an bisnis-bisnis baru untuk mengelola de vi sa yang diparkir di bank domestik, hal ini akan mendorong pendalaman pasar (financial deepening) dan peningkatan daya saing perbankan domestik. Pada 2013 ini, BI memperkirakan prospek ekspor kita akan kembali membaik didorong harapan membaiknya ekonomi glo bal dan pada gilirannya berkontribusi positif pada stabilitas nilai tukar rupiah. ‘’Ke depan, dengan ekonomi yang mulai pulih, kita bisa berharap ekspor akan membaik. Di samping itu, impor, terutama migas, juga harus dijaga agar tidak terlalu besar,’’ kata Hartadi di awal 2013. u