NILAI-ANAK ORANG LAMAHOLOT: Menafsir Konteks Sosialnya
Bulan Mei lalu, Otto Gusti, SVD mengundang saya untuk berbagi dengan peserta lectio brevis ini tentang riset 2013 saya. Di sini, saya coba batasi syering saya pada tema seputar “nilai anak di mata orang Lamaholot.” Saya juga akan syeringkan tentang bagaimana saya menafsir konteks sosialnya. Artinya, di sini, saya tidak hanya berbagi tentang hasil riset saya tapi juga metodologi penemuannya. Dengan itu, hasil studi ini bisa ditempatkan dalam porsinya. Paparan ini diawali dengan melukiskan satu-dua hal umum dari riset ini. 1.
RISET 2013
1.1.
Arah Dasar
Pertama, riset ini terutama mendiskusikan hasrat fertilitas yang relatif tinggi di kalangan orang Lamaholot: keingingan untuk memiliki sekitar 4/lebih orang anak. Angka ini dinilai tinggi karena ia dikontraskan dengan telah lamanya kampanye “dua anak saja cukup” di wilayah riset dan “angka fertilitas yang lebih rendah di wilayah lain di Indonesia” (Statistics Indonesia et al., 2013). Di samping mengukur luasnya keinginan di atas, riset ini mencari tahu bagaimana hasrat itu berakar dalam konteks sosio-historis masyarakat di atas. Hal yang sama dibuat juga untuk nilai-anak1 yang mereka pegang. Kedua, ada tiga pertanyaan utama yang menuntun riset ini. Pertama, bagaimana luasnya hasrat fertilitas yang relatif tinggi ini di wilayah penelitian? Kedua, apa saja nilai anak yang dominan yang dipegang oleh orang-orang Lamaholot? Sehubungan dengan itu, seberapa luas tiap nilai anak itu dipegang di wilayah penelitian? Ketiga, apa sifat atau karakteristik dari relasi antara nilai-nilai anak yang dipegang dan hasrat fertilitas mereka (dan antara ukuran keluarga yang diinginkan dan penggunaan kontrasepsi)? Paper ini memaparkan hasil riset untuk pertanyaan 2 dan 3, khususnya yang berhubungan dengan nilai-anak. Ketiga, analisis regresi logistik (dengan program SPSS, versi 18) dipakai untuk mengkaji relasi antara peubah. Relasi yang bermakna (i.e. dengan nilai p < .05) kemudian didiskusikan. Diskusi ini penting sebagai pengantar untuk bisa menjelaskan konteks sosial dari proses menganggap penting (prioritisasi) satu nilai-anak. 1.2.
Asumsi Teoretis
Pertama, hasrat fertilitas adalah tanggapan rasional (manusia) terhadap totalitas situasi sosial yang mengitarnya (Caldwell, 1976). Ia adalah produk dari interaksi antara aktor demografis sebagai seorang “stategist” dan pelbagai proses sosial, ekonomi, budaya dan politik yang (sudah berabad-abad) melingkupinya (Greenhalgh, 1990, 1995). Karena itu, tinggi-rendahnya hasrat fertilitas bergantung pada entahkah situasi sosio-struktural dan kondisi psikologis warga kondusif untuk itu. Ini berlaku juga untuk kadar kemungkinan bagi seseorang untuk menganggap penting suatu nilai-anak. Prioritisasinya bergantung pada bagaimana seseorang menanggapi konteks sosialnya yang telah berlangsung ratusan abad.
1
Di sini, istilah “nilai anak” dilihat sebagai manfaat, fungsi, atau peran yang (diharapkan) disumbangkan (diberikan) anak untuk memenuhi kebutuhan atau harapan orangtua / suku (bdk. Hoffmans, 1973: 20). Kedua, populasi studi (survei )adalah orang yang telah menikah dan masih dalam usia reproduksi (perempuan: 16-44; pria: berusia 18-49 tahun). Mereka direkrut dari wilayah kecamatan Tanjung Bunga dan Adonara.
1
Kedua, konteks demografis yang paling baik untuk mempelajari relasi antara konteks sosial dan hasrat fertilitas adalah situasi mikro. Konteks demikian akan memungkinkan peneliti untuk secara lebih komprehensif mengamati bagaimana berbagai proses sejarah (global dan lokal) dan interasi antara pelbagai kekuatan sosial itu saling mempengaruhi dalam menciptakan peluang dan kendala buat tinggi-rendahnya hasrat fertilitas warganya. Dengan kata lain, dalam konteks demikian, peneliti dimungkinkan untuk mengamati secara lebih komprehensif bagaimana pasangan menjadi lebih siap, mau, dan mampu untuk mengambil tindakan untuk mengontrol perilaku reproduksi mereka. Hal ini juga berlaku dalam proses menafsir konteks sosial dari nilai-anak yang dipegang oleh masyarakat tertentu (seperti Lamaholot). Prioritisasi atas nilai tertentu adalah juga produk dari interaksi antara aktor sosial dan konteksnya. Pandangan ini konsisten dengan keyakinan Lukes (1974) bahwa sebuah nilai / kepentingan riil (sekelompok) orang selalu dibentuk di bawah kondisi istimewa dari pilihan atau otonomi relatif pemilih, yang punya latar belakang sosial tertentu (mikro). Konteks mikro bisa membantu peneliti untuk menjadi lebih sensitif terhadap interaksi pelbagai faktor sosial yang melatarisnya. Ketiga, sejalan dengan poin 2, warga kecamatan Tanjung Bunga dan Adonara dipilih untuk dipelajari. Alasan pemilihan antara lain, pertama, warga umumnya punya tingkat kesuburan yang relatif tinggi (IDHS 2012, Wawancara Pemuka Agama). Menurut riset ini, misalnya, lebih dari 50 persen dari partisipan (ingin) memiliki paling kurang 4 anak. Kedua, mereka suka memiliki (banyak) anak (Arndt, 1940; Vatter, 1932/1984). Karena itu, pasti ada banyak nilai-anak yang bisa digali dari mereka. Ketiga, mayoritas warganya adalah orang Lamaholot, dan berbicara Bahasa Lamaholot. Saya sendiri cukup akrab dengan bahasa dan budaya ini. Hal ini bisa menolong saya untuk mengungkap beberapa isu sosial, budaya, atau bahasa, terutama yang bertalian dengan metafora yang sering dipakai untuk mengungkapkan nilai-anak. Akhirnya, kondisi sosial kedua kecamatan itu memungkinkan saya membuat satu studi perbandingan. Sementara Adonara mempunyai jumlah yang relatif seimbang antara orang Islam dan Katolik, misalnya, lebih dari 94 persen warga Tanjung Bunga Katolik. Keempat, masyarakat yang diteliti kuat ditandai dengan tradisi lisan. Jarang ada arsip yang lengkap. Ini tentu bisa menghambat peneliti ketika melacak “semua” proses sejarah yang pernah mereka lalui. Untuk mengatasi hal ini, saya meminjam ide Foucauldian tentang bagaimana sejarah harus dipelajari. Dalam gagasan tentang “sejarah efektif,” Foucault (1977) menunjukkan bahwa analisis historis adalah upaya untuk mengeksplorasi dan mengungkapkan keberadaan kita di dunia peristiwa terputus yang tak terhitung jumlahnya, dan kemudian untuk menyusun peristiwa dan tanggapan kami. Karena itu, fokus riset ini lebih pada melukiskan bagaimana (sekelompok) aktor demografi memahami dan menafsir berbagai proses sosial di sekitarnya, dan memanfaatkannya dalam cara yang bermanfaat bagi dirinya. Misalnya, pegang peran-anak sebagai “penjamin hari tua” bisa merupakan tanggapan partisipan terhadap tidak adanya sistem jaminan sosial yag baik di suatu wilayah. Ditambah situasi yang terisolir dan angka kematian bayi yang tinggi, “punya anak banyak” bisa menjadi tanggapan terbaik warga terhadap situasinya. Dalam riset ini, saya coba melihat dan menjelskan asosiasi seperti itu. 1.3.
Pengumpulan Data
Data yang dipakai terutama dikumpulkan dari Mei s.d. Desember 2013 melalui tiga metode (lengkapnya, lihat Koten, 2015: bab 4). Mulanya 12 diskusi terfokus berkelompok (focus group discussions, FGD). Ini diikuti oleh survey; metode utama dalam riset ini. Ada 1.040 kuesioner yang diisi. Apendiks 1 melukiskan karakteristik demografis dan sosial dari partisipan. Survei diikuti dengan wawancara mendalam dengan 19 pribadi.
2
2.
ANAK DI MATA ORANG LAMAHOLOT
2.1.
Pengantar
Orang(tua) Lamaholot memang suka memiliki (banyak) anak. Bagi mereka, hadirnya seorang anak selalu berharga baik secara sosial maupun ekonomis (bdk. Vatter, 1932/1984: 136). Bahkan, anak juga dilihat sebagai milik Lera Wulan (Arndt, 1940). Karena itu, tugas membesarkan anak juga dilihat sebagai tugas keigamaan. Pertanyaannya: sejauh mana paham seperti ini masih hidup di kalangan orang Lamaholot dewasa ini? Jawaban terhadap pertanyaaan ini terutama diperoleh dari peserta FGD. Mereka diminta untuk secara bebas berbagi pengalaman atau hasil pengamatan mereka tentang untungnya memiliki anak.2 Proses ini menghasilkan 15 nilai anak (Tabel 1). Tabel 1. Nilai anak dan kategori umumnya. Kategori baru nilai anak. Kontinuitas
Kohesi keluarga Pengayaan-diri
Emosional
Bantuan ekonomi Keagamaan
Nilai anak yang diidentifikasi oleh peserta FGD 1. Meneruskan nama keluarga / suku 2. Mewarisi kekayaan, harta, atau tradisi keluarga / suku 3. Meneruskan tanggung-jawab sosial dari orangtua 4. Membuat suku besar dan kuat 5. Mengeratkan/mendamaikan hubungan suami istri/keluarga 6. Untuk membuat perkawinan itu sempurna (dimahkotai). 7. Meneguhkan status sosial orangtua 8. Sebagai sumber kebanggaan orangtua. 9. Memastikan diri bahwa ada yang akan urus penguburan/doa 10. Membawa ppenghiburan untuk orang tua atau di rumah 11. Pemberi semangat hidup dan motivasi untuk kerja. 12. Sebagai teman untuk sharing (dan untuk ungkapkan kasih) 13. Menolong dalam urusan rumah, bahkan secara ekonomis 14. Keamaan hari tua (atau di kala ‘krisis’) 15. Sebagai mandat atau amanah dari Allah
Tabel 1 juga sudah mengelompokkan ke-15 nilai anak itu ke dalam 6 kategori besar: kontinuitas keluarga, kohesi, memperkaya diri sendiri, emosi, keamanan ekonomi, dan agama (lengkapnya, lihat Koten, 2015: Bab 6). Penyederhanaan jumlah kategori penting untuk analisis lanjut.3 Berikut penjelasan singkat tiap kelompok nilai anak ini. 2.2.
Dimensi Umum dari Nilai anak
2.2.1. Kontinuitas nama keluarga dan / atau suku Nilai ini berhubungan dengan “kebutuhan” orangtua untuk melestarikan diri dan mewariskan nama keluarga, suku, harta-warisan atau tradisi keluarga. Ia sejajar dengan nilai 2
Ini adalah satu dari 7 pertanyaan utama FGD. Ke-7 pertanyaan itu adalah tentang (i) melemahnya filosofi “banyak anak, banyak rejeki”, (ii) pelaksanaan program keluarga berencana di kecamatan dan tanggapan masyarakat terhadap hal itu, apa (iii) untungnya dan (iv) ruginya dalam memiliki anak (v) respon masyarakat terhadap proposisi , “Saya harus memiliki setidaknya satu anak laki di antara anak-anak saya!” (vi) otonomi perempuan , dan (vii) manakah kekuatan sosial dan otoritas paling terasa di desa-desa. Sekalipun soal “ruginya” memiliki anak juga ditanyakan, isu ini tidak dipaparkan di sini. 3 Pengelompokan itu dibuat dalam konsultasi dengan pandangan Fawcett (1977) tentang nilai-anak. Baginya, ada 5 kategori umum dari nilai anak. Ke-5 kategori nilai atau manfaat memiliki anak itu adalah: emosi, ekonomi dan keamanan di hari tua, memperkaya diri sendiri dan pengembangan, identifikasi diri dengan anak, dan kekompakan keluarga dan kontinuitas.
3
“perluasan diri” dari Hoffman dan Hoffman (1973, Hoffman dan Manis, 1979). Kebutuhan ini meliputi isu seperti memiliki tujuan dalam hidup, pemenuhan diri, meneruskan gariskeluarga, atau mengatasi rasa-terbatas karena kematian. Menurut Tabel 1, nilai-anak ini meliputi, pertama, perannya untuk “meneruskan nama keluarga (orangtua) atau suku.” Seorang bapak di Adonara melihat bahwa esensi dari peran ini adalah untuk mencegah agar “suku tidak punah” (suku aké geto) dan “nama (orangtua) tidak hilang” (naran aké hoga). Maka melalui anak, suku/keluarga direproduksi secara fisik. Sehubungan dengan ini, peran kedua yang ada dalam nilai-umum ini adalah “untuk meneruskan tanggung jawab sosial (setelah kematian) orangtua.” Term kunci untuk ini adalah tobo kote, “duduk di kepala”: tindakan dari anak lelaki (tertua) yang duduk di samping (peti) almahrum ayahnya, yang disemayamkan di rumah untuk dilayati. Gestur ini adalah satu deklarasi bahwa yang tobo kote itu akan meneruskan tanggung jawab sosial ayahnya. Nilai ketiga dari dimensi “kontinuitas” adalah “mewarisi peran-khas, pekerjaan, tradisi atau kebiasaan keluarga/suku.” Ungkapan seperti neté péhén (mewarisi) dan jaga nu(ng) wola (jaga rumah) melukiskan fungsi ini. Term neté péhén melukiskan tindakan untuk mewarisi harta-benda, kebiasaan atau pekerjaan keluarga. Menurut peserta dalam 2 FGD di Adonara, anak perempuan pun mewarisi kluba-klore (dunia-tenun) dan fungsi desé wajak (terima kamu) dari ibunya. Menurut mereka, kedua istilah ini dipakai juga untuk melukiskan pewarisan semua hal yang telah diperoleh ibu selama hidup. Peran menjaga nu(ng) wola lebih merujuk pada tindakan untuk melanjutkan peran orangtua dalam melindungi rumah dan anggotanya dari pelbagai hal ancaman, baik yang alami maupun yang supra-kodrati. Dengan dua pewarisan ini, anak diharapkan untuk “dengan bangga berceritera tentang dan memperkenalkan” (tutu naran) orangtuanya kepada anak-cucu mereka. Fungsi terakhir dari anak dalam kategori ini adalah “membuat suku besar dan kuat.” Nilai ini terpenuhi bila orang memiliki (banyak) anak (laki-laki). Anak-anak ini akan membuat keluarga atau suku “penuh” (peno) atau “tajam” (deket).4 Kehadiran mereka akan dirasa di dalam hidup di desa. Juga, dengan ini, suku dan keluarga tidak akan punah. Patut dicatat, dimensi “kontinuitas”, khususnya “meneruskan nama orangtua, keluarga atau suku”, adalah nilai-anak yang paling luas dipegang oleh orang Lamaholot. Ini bisa mungkin karena hidup sosial di desa Lamaholot umumnya terorganisir, dan bahkan bergantung pada, sistem suku (Koten, 2015: bab 3). Sehubungan dengan ini, Vatter (1932/1984: 80) juga mengamati bahwa mempertahankan atau melestarikan suku adalah ideal tertinggi yang dimiliki setiap pria Lamaholot. Karena itu, memiliki anak (laki-laki) bisa membuat seorang ayah merasa memiliki, dan telah memenuhi sebagian, tujuan hidupnya. 2.2.2. Kohesi Keluarga Nilai-anak ini lebih berhubungan dengan kebutuhan sebuah “unit keluarga” (Arnold et al., 1975). Dua nilai-anak masuk dalam kategori ini: i.e. untuk “membuat sebuah pernikahan lengkap (sempurna)” dan “mengencangkan ikatan dan mendamaikan suami-istri atau kaumkerabat.” Peserta FGD umumnya menghubungkan kedua nilai ini dengan manfaat “pengembangan-diri” (di bawah) dan pandangan tentang anak sebagai “buah hati”. Sebagai buah hati, anak adalah aset yang paling berharga dari sebuah perkawinan. Ia adalah hal yang paling “dihasrati” atau “dicintai” dalam sebuah keluarga. Tidak heran, 4
Patut dicatat bahwa fungsi “membuat suku tajam” disebutkan oleh peserta dalam 1 FGD di Adonara. Kebetulan, selama masa riset, ada konflik yang cukup besar antara dua desa di dekat wilayah riset saya. Dalam konteks seperti ini, fungsi anak untuk “mengasah suku” bisa berarti untuk “menjaga / menjamin keamanan desa (suku) dari ancaman eksternal." Ini sejalan dengan pengamatan Caldwell (1981: 6-7) bahwa hidup dalam struktur masyarakat suku, julmlah (warga) hampir merupakan satu-satunya perlindungan dari serangan apapun. Karena itu, punya banyak anak (khususnya laki-laki) bisa memenuhi tuntutan ini.
4
menurut peserta di 2 FGD, bila 2 teman lama bertemu setelah bertahun-tahun berpisah, hal pertama yang kemungkian besar ditanyakan adalah, "Berapa anak yang kau punya?" Pertanyaan-pertanyaan lain baru menyusul sesudah pertanyaan ini. Sebagai aset yang paling berharga, bagi peserta di 4 FGD, memiliki anak adalah bukti bahwa pernikahan itu telah “lengkap”. Ia telah “berbuah”: ia telah mencapai apa yang paling diharapkan oleh orang Lamaholot dari sebuah perkawinan (Kean et al., 2008: 52-53). Itu juga berarti bahwa belis yang mahal, yang dipakai untuk membeli kesuburan, itu pun telah lunas terbayar. Singkatnya, memiliki anak menyempurnakan sebuah perkawinan. Juga, menurut hampir semua peserta FGD dan individu yang diwawancarai, sebagai harta yang paling berharga, anak dapat mengencangkan ikatan keluarga dan membawa perdamaian dan harmoni. Misalnya, menurut mereka, suami dan istri bisa terlibat dalam satu salah-paham yang pahit. Namun, di situ, sering terjadi bahwa suami-istri itu harus mengakhiri perselisihan itu karena “mereka pikir tentang anak-anak dan masa depannya.” Maka anak adalah tali-pengikatnya. Mereka bahkan bisa meruntuhkan hambatan yang memisahkan kerabat dekat. Sebuah pernikahan, misalnya, bisa tidak disetujui oleh salah satu keluarga. Karena itu, hubungan keluarga baru dengan salah pihak keluarga (orangtua) itu bisa menjadi retak. Menurut partisipan FGD dan interview, seringkali, waktu terbaik untuk menyatukan kembali keluarga adalah ketika pasangan baru memiliki anak. Dengan bayi di tangan, mereka datang ke rumah orangtua. Melihat cucu yang datang, orangtua akan menjadi lemah. Singkatnya, anak sering dilihat sebagai aset yang paling berharga dalam keluarga. Karena itu, mereka bisa memperkuat kehidupan keluarga dengan membuatnya lengkap dan membawa keharmonisan dan kedamaian. 2.2.3. Pengayaan atau Pengembangan Diri Sebagai aset-terpenting, anak juga bisa “memperkuat status sosial keluarga” dan “menjadi sumber kebanggaan orang tua.” Sehubungan dengan fungsi pertama, peserta dalam 3 FGD mencatat bahwa memiliki anak bisa meningkatkan prestise orangtua di lingkup keluarga besar mereka. Itu demikian karena dengan memiliki anak sebuah pasangan akan sering dianggap sebagai lebih dewasa dan bertanggung jawab. Selain itu, sejajar dengan peran anak untuk “membuat pernikahan lengkap”, memiliki anak bisa “membuktikan” kepada keluarga besar bahwa pernikahan telah memperoleh tujuannya. Dengan itu status sosial orangtua di mata kerabat dekat bisa diperkuat. Sebaliknya, tanpa anak, pasangan bisa diisolasi. Beberapa peserta dalam FGD dengan perempuan di Tanjung Bunga bahkan mencatat bahwa bila setelah lama menikah dan seorang wanita tidak memberi anak, maka ia bisa dicibiri dengan ungkapan seperti paté olu(ng), percuma bayar (belis). Peserta di 5 FGD menambahkan bahwa, sebagai “sumber kebanggaan orangtua”, anak juga turut “memperkuat status sosial keluarga”. Hal ini terasa terutama ketika (semua) anak telah menjadi atadiken, manusia: i.e. sudah berhasil dalam hidup. Dalam 2 dari 5 FGD ini, peserta melihat bahwa ini karena keberhasilan anak dilihat juga sebagai milik orangtua: ia menunjukkan bahwa orangtua telah menunaikan tugasnya dengan penuh tanggungjawab. Dalam ungkapan Fawcett (1977), identifikasi diri orangtua dengan anak yang demikian membuat orangtua merasa diri diperkaya, kompeten, dan sebagai orangtua yang sukses. Peserta FGD juga menjelaskan bahwa efek dari ini pun bisa beragam. Misalnya, orangtua merasa bahwa prestasi sosialnya pun terangkat. Mereka juga bisa merasa diri lebih bertanggungjawab atau dewasa dan lebih kompoten sebagai orangtua. Dan, menurut mereka, karena diakui secara sosial, perasaan ini pun bisa bermuara pada peningkatan prestise sosial orangtua. Karena itu, manfaat memperkaya diri sendiri ini bisa disamakan dengan peran “meningkatkan prestise sosial orangtua.”
5
Akhirnya, peserta dalam 2 FGD menyebut bahwa memiliki anak bisa membuat orangtua yakin bahwa nanti ada seseorang yang akan “mengatur pemakaman” dan “terus mendoakan” mereka. Keyakinan ini tentu bisa menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Lebih jauh, peserta diskusi juga menyebutkan bahwa dengan keyakinan itu orangtua ini akan melihat bahwa dirinya berharga dalam masyarakat. 2.2.4. Emosi: “Menyuntikkan Semangat Hidup” Bagi peserta FGD, anak bisa juga menyuntikkan semangat hidup ke dalam diri orangtua. Mereka mengaitkan peran-anak ini dengan penguatan daya-tahan orangtua terhadap pelbagai kesulitan, kejenuhan, atau kebosanan hidup. Menurut mereka, anak menyuntikkan semangat-hidup ini dalam dua cara: dengan “membawa hiburan” bagi dan “meningkatkan motivasi dan semangat kerja” dari orangtua. Peserta di 4 FGD, misalnya, menunjukkan bagaimana anak-anak bisa “menghibur” orangtua mereka, terutama setelah penat karena bekerja seharian di kebun. Menurut mereka, orangtua bisa sangat letih setelah kerja keras ini. Biar begitu, bila mereka pulang ke rumah dan mendapati anak-anak mereka dengan riang berlari ke arah mereka untuk menyambut mereka, mereka akan segera merasa lega. Semua hopang, letih, capai, mereka akan hilang. Bahkan dalam 1 FGD dengan laki-laki, seorang peserta mengatakan bahwa dalam situasi demikian (dijemput anak), reaksi pertamanya adalah mengangkat dan menggendong anak itu. Ia merasa penuh gairah lagi. Juga, peserta lain di FGD ini berkata bahwa tanpa anak-anak, “rumah/sekitarnya menjadi tenang", lango/ékan kedi mere(ng); hidup tampak monoton dan membosankan. Mereka (anak-anak) adalah sahabat, yang tolong menjauhkan kesepian dan kebosanan orangtua. Mereka membawa kesejukan dan hiburan kedalam rumah. Sehubungan dengan ini, peserta dalam FGD di atas menyebutkan bahwa dengan memiliki anak, orangtua bisa memiliki tempat untuk berbagi kasih atau untuk curhat: berbagi pengalaman emosional. Karena itu, anak bisa tolong meredakan tegangan emosional yang dimiliki orangtua. Patut dicatat, hal ini lebih banyak dilapor oleh ibu-ibu. Menurut peserta dalam 6 FGD, cara lain untuk “menyuntikkan semangat hidup” adalah dengan membuat orangtua merasa bahwa segala upaya atau kerja kerasnya tidak akan sia-sia. Dengan anak, orangtua tahu bahwa mereka bekerja untuk “memberi makan anak (dan isteri)”, kerian ta’an pau anat, dan untuk “mewariskan itu kepada anak-cucu”, kerian ta’an kenena / gena anat, untuk mempersiapkan masa depan mereka. Dan, oleh pewarisan ini, orangtua menjadi yakin bahwa buah dari kerja kerasnya tidak akan hilang. Itu karena apa yang diwariskan itu diberikan kepada “darah-daging”-nya sendiri. Menurut peserta FGD di atas, kesadaran seperti ini pada gilirannya bisa meningkatkan semangat dan motivasi kerja orangtua, betapa pun pekerjaan itu sulit. Juga, ia bisa membuat orangtua merasa bahwa kerja kerasnya memang memiliki tujuan mulia. Kesadaran itu pun mengisyaratkan bahwa anak-anak memberikan ruang bagi orang tua untuk melatih kapabilitasnya sebagai orangtua (membesarkan anak), yang pemenuhannnya bisa membuat mereka merasa diri sebagai orang yang lebih dewasa atau bertanggung jawab. 2.2.5. Nilai Ekonomis Peserta di semua FGD sadar bahwa anak bisa “membantu keluarga, juga secara ekonomis.” Banyak ungkapan Lamaholot dipakai ini. Misalnya, anak-anak sering disebut léitlimat, kaki dan tangan kita. Mereka ada untuk disuruh atau diminta untuk buat sesuatu, ta’an udung-gahin. Karena itu, anak-anak bisa memberikan bantuan praktis dalam rumah. Cerita dari seorang peserta FGD perempuan mungkin bisa memberi ilustrasi:
6
Saya seorang ibu dari empat anak. Saya biasanya menjual sayuran di pasar. Ketika saya kembali dari pasar terkadang saya menemukan bahwa nasi, sayuran dan ikan telah disiapkan. Itu nyata; semua orang tahu itu. Setelah selesai [menyiapkan makanan] mereka kadang-kadang membantu ayah mereka di sawah. Kadang-kadang aku merasa kasihan pada mereka ... karena saya tidak punya anak perempuan. Ketika mencuci pakaian mereka, mereka juga melakukannya bersama-sama dengan saya dan pakaian kotor ayah mereka ... kadang-kadang saya pergi ke kebun untuk memetik sayuran. Mereka akan mengikuti saya [dan membantu] membawa sayuran itu ke pinggir jalan untuk diangkut oleh ojek. Anak-anak membantu dalam banyak cara. Mereka bahkan bisa tolong melakukan pekerjaan, yang seharusnya bukan merupakan tugasnya karena itu bukan kerja “kaumnya”. Juga, ketika sudah dapat menghasilkan uang, anak-anak membantu pendapatan rumah tangga. Bahkan ketika mereka telah menikah dan tinggal di rumah yang berbeda, mereka masih diharapkan untuk memberikan sesuatu (tulun tali) untuk kebutuhan keluarga, seperti untuk biaya sekolah adik-adik mereka. Selain itu, anak-anak perempuan juga bisa membantu ekonomi keluarga dengan membawa belis. Dan, dalam urusan adat atau acara keluarga anakmantu (laki) diharapkan stand-by untuk melayani. Singkatnya, anak-anak adalah pembantu keluarga dalam banyak cara, termasuk ekonomi. Sehubungan dengan ini, semua partisipan yang diwawancarai, baik berkelompok maupun secara pribadi, mencatat bahwa banyak orang menginginkan anak karena mereka mau agar mereka bisa aman di hari tuanya. Anak dilihat sebagai “penjamin keamanan” pada hari tua atau pada saat-saat krisis. Di sini, mereka diharapkan untuk bisa memberikan bantuan ekonomi, menemani, dan memberi rasa-nyaman bagi orangtua mereka yang sudah tua, sakit, atau tidak kuat lagi untuk bekerja. Peran anak seperti ini banyak terlihat di lapangan. Peserta di beberapa FGD mencatat bahwa nilai-ekonomis anak ini lebih sering diwujudkan oleh anak wanita. Misalnya, bila orangtua terlalu tua atau sakit untuk bekerja, anak perempuan-lah yang lebih sering datang menengok dan mengecek kondisi orangtuanya (tenget lingé) dan menolong memasak (biho bajo) atau membersihkan mereka (hebo-baha). Anak-wanita bahkan bisa “mengesampingkan sesen-dua atau barang kecil dari rumahnya tanpa sepengetahuan suaminya” (horon-delit) dan memberikan kepada orangtuanya. Singkatnya, nilai-anak ini dirasa lebih banyak dipenuhi oleh anak perempuan. 2.2.6. Mandat dari Allah Arndt (1940) mengamati bahwa, secara budaya, orang Lamaholot selalu melihat anak sebagai milik Lera Wulan. Karena itu, orangtua selalu berusaha untuk berbuat apa saja yang dianggap baik untuk anak-anaknya. Ide yang sama masih dirasakan hingga hari ini. Dalam 2 FGD dan hampir semua individu yang diwawancarai, orang mengaku mengenal status anak mereka sebagai “anugerah” dan “mandat” (amanah) dari Allah. Seorang pemimpin Islam (wawancara informal, 2012), misalnya, menjelaskan: Kami selalu mengajarkan umat kami bahwa anak-anak adalah amanah ... [dari] Allah untuk kita. Maka orangtua wajib memperhatikan mereka agar segala kebutuhan manusia mereka terpenuhi…. Kita harus siap untuk menerima mandat itu ... dan kita harus menerima mereka sesuai dengan kemampuan kita. Jika orangtua hanya mampu mengurus dua anak, mereka tidak boleh memiliki lima anak karena mereka tidak akan dapat menjalankan mandat itu.
7
Bila dihubungkan dengan ide anak sebagai “buah hati”, maka para orangtua harus memenuhi mandat ini dengan penuh sukacita dan kasih sayang. Jika tidak, seperti ang ditegaskan oleh seorang imam Katolik (wawancara informal, 2012), “Kita telah berdosa ... dan Anda melawan Allah.” Bahkan, menurut seorang ibu, bila itu terjadi Lera-Wulan bisa mengambil pulang anak itu karena kita menyia-nyiakan mandat itu.5 Singkatnya, bagi orang Lamaholot, merawat dan membesarkan anak dilihat juga sebagai tugas atau kewajiban agamawi. Pandangan ini mungkin menegaskan pengamatan Geertz (1968) bahwa untuk orang-orang Indonesia, seluruh kehidupan biasa diwarnai dengan makna metafisik atau kualitas transendental. Hal ini juga menyerupai Hoffman dan Hoffman (1973; Hoffman dan Manis, 1979) nilai-moralitas dari memiliki anak. Di situ, dengan kehadirannya, anak bisa tolong orangtua meningkatkan karakter-moralnya. Kehadirannya, misalnya, bisa membuat orangtua belajar untuk mengakhiri egosentrismenya dan untuk belajar menghidupi banyak kebajikan lain seperti yang diharapkan secara sosial. 3.
KONTEKS SOSIAL DARI PRIORITISASI NILAI-ANAK
3.1.
Catatan Awal
Pertama, sekalipun telah memaparkan nilai-anak di mata orang Lamaholot, paparan di atas belum menunjukkan entahkah kelompok responden tertentu lebih mungkin dari pada yang lainnya dalam memprioritaskan nilai-anak tertentu. Tema ini adalah fokus kajian bagian ini. Ia juga akan menafsir konteks sosial dari, atau mengapa, kelompok responden tertentu lebih mungkin dari pada yang lainnya dalam memprioritaskan nilai-anak tertentu. Kedua, data utama yang dipakai adalah dari survei. Dalam survei, ke-15 nilai-anak di atas dicatat pada 1 kartu-lembaran (terpisah dari kuesioner). Ke-1,040 responden lalu diminta untuk memilih 3 kategori-nilai yang bagi mereka merupakan nilai yang mereka rasa paling penting. Mereka juga diminta untuk mengurutkan ke-3 nilai itu dari yang terpenting. Ketiga, untuk mempermudah analisis, saya tidak lagi memakai ke-15 kategori nilaianak di atas. Saya cuma memakai ke-6 kategori / dimensi umum dari nilai anak itu. Juga, di sini, saya sudah memodifikasi tiap (ke-6) dimensi umum dalam urutan 1, 2, dan 3 menjadi satu peubah dikotomus.6 Karena itu, pertanyaan untuk responden sudah juga diubah menjadi: Apakah si A menganggap satu-nilai anak, e.g. kontinuitas, sebagai yang penting. Bila “Ya”, jawabannya dikodekan sebagai “1”, bila “Tidak”, “0”. Sehubungan dengan catatan ketika, keempat, karena ke-6 peubah nilai-anak ini bersifat dikotomis, maka asosiasi antara prioritisasi satu nilai-anak dan latar-belakang tertentu dari responden diuji dengan analisis regresi logistik. Bila perbedaannya signifikan secara statistik, asosiasi itu akan didiskusikan. Ini untuk menafsir konteks sosial dari prioritisasi tersebut. Sehubungan dengan ini, kelima, bagian ini juga bertujuan untuk mengeksplorasi sejauh mana Lamaholots dari Tanjung Bunga dan Adonara saling mirip dalam prioritisasi nilai-anak. Karena itu, kecamatan diperlakukan di sini juga sebagai peubah penjelas. 3.2.
Prioritisasi Nilai-Anak dan Latar-Belakang Responden
Analisis atas kadar kemungkinan kelompok orang tertentu untuk memprioritaskan satu nilai anak tentu bisa dibuat dengan tabulasi silang. Apendiks 2 memberikan ilustrasinya. Di 5
Ide ini tampak dalam nasihat Ibu (umur: sekitar 70 tahun) ini kepada seorang ibu muda yang kehilangan anaknya karena kecelakaan lalulintas (Wawancara informal, 2000-an). 6 Di situ, bila seorang responden menyatakan, paling kurang satu kali bahwa satu nilai-anak itu penting, entah itu pada urutan 1, 2, atau 3, maka jawabannya dikodifikasi dengan “Ya” (= 1). Bila “tidak”, maka “0” kodenya. Maka ke-6 kategori nilai-anak itu sudah menjadi 6 variabel-dikotomus yang terpisah.
8
situ, misalnya, terlihat bahwa nilai-anak yang paling luas dianggap penting adalah “kontinuitas”. Ini terutama terlihat di Tanjung Bunga, di kalangan laki-laki, orang Katolik, tamatan SD, para petani dan mereka yang kurang terekspose ke media. Nilai-anak kedua yang paling luas dipegang adalah “ekonomi”, dan lain sebagainya. Anda pun bahkan bisa menguji entahkah asosiasi antara variabel seperti itu signifikan secara statistik. Namun tes seperti ini cuma menguji relasi antara 2 peubah, tanpa mempertimbangkan efek dari faktor lain (kovariat) terhadap hubungan kedua variabel itu. Dengan kata lain, peran dari faktor lain tidak turut dianalisis. Apalagi, di antara pelbagai faktor penjelas yang tersedia (i.e. latar-belakang responden) kita belum memiliki hipotese tentang faktor mana yang paling berpengaruh dalam prioritisasi nilai-anak tertentu. Karena itu, saya memakai analisis regresi logistik untuk menguji besar-kecilnya kemungkinan bagi tiap kelompok responden dalam memilih sebagai yang penting (thus, prioritisasi) suatu nilai-anak. Tabel 2 menyajikan hasil analisis regresi logistik tersebut. Dua hal bisa dicatat di situ. Tabel 2. Estimasi regresi logistik tentang hubungan antara prioritisasi sebuah nilai anak dan ciri-ciri responden (Survei 2013). Latar belakang responden Kecamatan T. Bunga R Adonara Seks Laki-laki Peremuan R Umur Di bawah 30 R 30–39 40–49 Agama Katolik R Islam Pendidikan SD/kurang dari SD R SMP/sederajat SMA+ Pekerjaan PetaniR Nelayan Pegawai (negeri) Pengusaha PKL Eksposur ke media Rendah R Moderat Tinggi Otonomi perempua Rendah R Moderat Tinggi Catatan: R= Kategori referensi.
Nilai-anak KembangEmosi kan diri
N
Kontinuitas
Kohesi
Ekonomis
Agama
600 407
1.00 .74
1.00 .64**
1.00 .39***
1.00 1.62**
1.00 .54***
1.00 .76
345 662
1.24 1.00
1.23 1.00
1.01 1.00
.76 1.00
1.05 1.00
.99 1.00
295 481 228
1.00 .94 .88
1.00 .94 .91
1.00 1.58** 1.44
1.00 .96 .81
1.00 .88 1.05
1.00 .81 .74
769 238
1.00 .87
1.00 1.99***
1.00 1.26
1.00 .86
1.00 1.12
1.00 1.20
589 212 206
1.00 1.10 .55***
1.00 .76 1.55*
1.00 1.44* 1.41
1.00 1.36 1.06
1.00 .80 .80
1.00 1.22 2.11***
706 76 123 39 55
1.00 .45*** 1.12 .59 .69
1.00 .49*** .71 .73 1.20
1.00 1.56 .91 1.46 .60
1.00 2.19** 1.10 .84 .80
1.00 1.32 .83 1.59 .68
1.00 .56 1.27 1.15 .86
296 522 189
1.00 .74 .77
1.00 1.51* 1.34
1.00 .88 .63*
1.00 1.23 1.24
1.00 .94 .71
1.00 1.01 1.16
133 772 102
1.00 1.02 .84
1.00 1.17 1.12
1.00 1.12 1.37
1.00 1.03 .78
1.00 .81 .74
1.00 .93 1.32
Nilai p: * = p. < .05; ** = p. < .01; dan *** = p. < .001.
Pertama, responden di 2 kecamatan tidak berbeda secara berarti dalam mementingkan nilai “kontinuitas” dan “agama”. Hal ini bisa mengisyaratkan kuatnya budaya “hidup-dalamsuku” dan bahwa hidup orang kita umumnya dinaungi oleh semangat keigamaan (bdk. Geertz,
9
1968: 112; Koten, 2015: bab 3). Juga, orang di Adonara secara signifikan lebih kurang cendrung dari mereka di Tanjung Bunga dalam memprioritaskan nilai “kohesi” (36 persen; p < .001), “pengembangan diri” (61 persen; p < .001), dan ekonomi (46 persen; p < .001) VOC. Sebaliknya, mereka 60 persen (p < .01) lebih cenderung daripada orang Tanjung Bunga dalam memprioritaskan nilai “menyuntik semangat-hidup”. Patut dicatat, perbedaan yang terkecil ada dalam prioritisasi nilai “kohesi” dari memiliki anak. Kedua, hanya ada beberapa variasi efek antar peubah yang signifikan secara statistik. Misalnya, dibandingkan dengan kategori referensinya masing-masing, tamatan SMA dan universitas (45 persen, p < .01) dan nelayan (55 persen; p < .01) lebih kecil kemungkinan untuk menganggap penting nilai “kontinuitas” anak. Orang Islam hampir dua kali lipat (p < .01) lebih mungkin untuk memegang nilai “kohesi”. Juga, tamatan SMA+ lebih mungkin dari mereka yang hanya tamat SD untuk menganggap penting nilai “agama” (2.11; p < .001) dan “kohesi” (1.55, p < .01). Bacaan seperti ini bisa dibuat terhadap variasi lainnya. 3.3.
Manafsir Alasan Perbedaan
Pertanyaan lanjutnya adalah: Mengapa kelompok memilki peluang yang lebih besar dari yang lain dalam menganggap penting satu nilai-anak? Apa latar-belakang sosialnya? Bagian ini melukiskan bagaimana saya menjawabi pertanyaan ini dan apa hasilnya. Namun, karena keterbatasan tempat, saya memfokuskan penjelasan saya hanya pada variasi efek yang berhubungan dengan nilai “kontinuitas” dan “religius” dari anak. Soalnya, menurut Tabel 2, tidak ada perbedaan yang berarti antar kecamatan dalam prioritasasi ke-2 nilai ini. Artinya, mereka cukup luas dianggap oleh warga di kedua kecamatan itu. Pertanyaannya lalu menjadi: Mengapa ada kelompok yang lebih mungkin dari pada yang lainnya dalam memprioritaskan nilai ini? Pertanyaan konkretnya terlihat pada awal dari tiap sesi bahasan (3.3.1-3.3.3). 3.3.1. Nelayan dan Nilai “Kontinuitas” Mengapa para nelayan lebih kecil kemungkinan dari para petani dalam menganggap penting nilai “kontinuitas” anak? Untuk menjawabi pertanyaan, saya mulanya membuat analisis regresi pada tingkat kecamatan. Hasilnya adalah bahwa asosiasi ini hanya signifikan secara statistik di kecamatan Adonara. Para (47) nelayannya punya peluang yang 70 persen lebih kecil dari pada para petaninya (p < .001) untuk memprioritaskan nilai ini. Yang menarik, 46 dari 47 nelayan ini adalah Muslim, di Sagu. Juga, kebanyakan dari populasi kelompok ini adalah turunan “Bajo”. Orang-orang Bajo di Flores (Timur) adalah juga keturunan Bajo-Sama, sub-kelompok nomaden laut (Stacey, 1999; 2007). Sather (1997: 2) menjelaskan zona maritim yang telah dilayari oleh anggota kelompok ini: Bangsa nomad-laut ini ... berbicara Bahasa Sama, terpencar ... di atas zona maritim seluas 3,25 juta kilometer persegi, membentang dari timur Palawan, Samar, dan pesisir Mindanao di Utara, melalui Kepulauan Sulu Filipina, ke pantai sebelah Utara dan Timur Kalimantan, ke arah Selatan melalui Selat Makassar ke Sulawesi, dan dari sana [mereka] menyebar luas di wilayah Timur Indonesia, ke arah Selatan dan Timur, ke Flores, Roti, Timor, dan Maluku Selatan (1997: 2). Karena itu, nenek moyang mereka berlayar ke Flores dari Utara. Dalam pelayaran itu (awal abad 18?), mereka terutama untuk mengumpulkan teripang, sirip hiu, penyu, kulit
10
penyu, dan ikan karang (Fox, 1977; Stacey, 1999, 2007). Mulanya mereka tiba di wilayah Barat Flores. Dari situ, mereka lalu bergerak ke Timur. Pada awal abad 20, desa Meko di Adonara telah menjadi pemukiman besar orang Bajo. Ketika mengunjunginya pada tahun 1929, Vatter (1932: 180 dikutip dalam Fox, 1977: 462), mencatat, “Orang-orang Bajo telah lama berada di sini … sudah bertahun-tahun mereka hidup dengan damai bersama ‘orang dari gunung’.” Warga kelompok inilah yang juga kemudian datang ke wilayah Sagu. Banyak yang sudah menikah dengan orang Lamaholot (dari pedalaman). Mengapa kelompok ini punya tendensi seperti di atas? Penggalan wawancara saya dengan seorang perempuan Bajo berikut ini mungkin bisa memberi isyaratnya: Saya punya suami dari ‘gunung’. Jadi, saya juga merasa bahwa memiliki anak adalah penting ‘untuk meneruskan nama marga’ ... Bagi saya [pribadi], anak itu penting karena mereka dapat membawa kenyamanan bagi orangtua dan membuat keluarga saya bahagia ... Dengan anak-anak, orangtua lebih termotivasi untuk bekerja ... Seperti obat-obatan, mereka [anak-anak] dapat menyembuhkan capailelah kami ... dengan mereka, engkau lebih bersemangat untuk pergi mencari nafkah (memancing) untuk hidup ... Kami juga senang ketika mereka telah selesai sekolah... atau menjadi ‘manusia’ …, kita akan merasa puas sebagai orangtua ... kami akan menikmati kesuksesan dan bangga akan hal itu ... karena itu berarti bahwa kami juga adalah orangtua yang berhasil [bertanggung-jawab]. Mereka juga dapat memperhatikan dan berdoa bagi kami ketika kami sakit. Banyak perempuan [Bajo] yang menikah dengan orang dari gunung [Lamaholot] merasakan pentingnya kegunaan anak untuk melanjutkan nama orangtua, keluarga, atau suku. Namun, bila Anda bertanya tentang manfaat ini kepada orang-orang di sekitar sini [di Kampong Binongko] mereka tidak memahaminya. Mereka tidak tahu apa itu suku. Mungkin mereka [orang-orang Bajo] dari ujung yang lain [dari desa ini] akan tahu itu. Satu insight yang tersirat adalah bahwa, tidak seperti orang Lamaholot, orang Bajo tidak secara eksplisit mengartikulasikan peran anak dalam “melestarikan nama keluarga / suku”.7 Pengamatan Sather (1997) tentang hidup suku Bajo di kota Sampoerna, Sabah, bisa menjelaskan alasannya. Bagi Sather (1997: 161), orang Bajo tidak memiliki rasa tentang kelompok keluarga yang bertahan bergenerasi-generasi. Mereka tidak melihat kelompokkekeluargaan sebagai satu kelompok sosial yang “abadi”. Ini berbeda dengan orang Lamaholot. Mereka merasa bahwa leluhurnya berasal dari generasi yang “sudah jauh ke belakang” (bdk. Koten, 2015: bab 3). Bagi orang Bajo, awal dan akhir dari satu “keluarga” ditentukan oleh masa hidup pemimpin dan ketahanan-fisik rumahnya. Karena itu, orangtua Bajo tak terlalu mengharapkan anak-anaknya untuk melestarikan nama atau tradisi keluarga / suku. Sather menekankan, “Bahkan, walaupun rumah diwariskan, kelompok-keluarga yang menempati rumah itu akan mengambil identitasnya dari pemimpin baru dari rumah tersebut” (1997: 161). Juga, seperti di banyak tempat lain, nelayan Bajo di Adonara umumnya tidak memiliki tanah mereka sendiri. Ini lebih lanjut dapat melemahkan keterikatan mereka dengan nilai “kontinuitas” dari anak.
7
Sebetulnya ada dua ide penting yang tersirat dalam wawancara ini. Ide keduanya adalah bahwa, selain merasa puas, keberhasilan anak-anak akan membuktikan bahwa orang tua adalah orang tua yang bertanggung jawab (lengkapnya, lihat Koten, 2015: 7.3.2). Namun, relevansi wawasan ini tidak dibahas di sini.
11
Singkatnya, nelayan kurang cenderung memprioritaskan peran anak untuk meneruskan atau memperkuat (nama) keluarga atau suku karena mereka terutama adalah turunan Bajo. Sebagai orang Bajo, mereka tidak mengartikulasi secara khusus nilai ini. Situasi ini rasanya juga ditopang oleh pola penyebaran tempat tinggal mereka. Mereka umumnya tinggal dalam satu lingkungan tertentu, “terpisah” dari warga lain etnis. Kondisi ini tentu memungkinkan keluarga-keluarga dari kelompok minoritas ini untuk saling menerima dukungan sosial dari anggota suku mereka sendiri (Halli, 1989: 25-26). Akan teapi, ia juga memungkinkan orang-orang dari latar belakang yang sama untuk lebih sering bertemu. Secara sosiologis (bdk. Pope, 1997; Collins, 2004), frekuensi yang tinggi dari interaksi demikian dapat meningkatkan solidaritas kelompok mereka. Alasannya ialah karena melalui interaksi begini, pelbagai nilai dan simbol bersama mereka juga akan beredar secara lebih sering. Sirkuit nilai seperti ini turut memacu pelbagai pengalaman emosional (tentang kelompok). Pengalaman demikia pada gilirannya bisa menjadi magnet dan momen yang menggerakkan, di mana suatu nilai budaya diciptakan atau diperteguh. Dengan demikian, filosofi hidup mereka, termasuk pandangan mereka tentang nilai-anak, bisa diperteguh. Jadi, pola hunian warga (Bajo) di wilayah penelitian turut mempersulit membaurnya nilai “kontinuitas” dari anak dari budaya Lamaholot ke dalam kesadaran sosial mereka. Hal ini tersirat dalam kutipan wawancara di atas. Hanya wanita Bajo yang menikah dengan lakilaki Lamaholot (yang berasal dari “gunung”) yang bisa menyadari pentingnya nilai anak dalam melestarikan nama atau tradisi keluarga. 3.3.2. Pendidikan dan Nilai-Kontinuitas Mengapa peluang tamatan SMA+ dalam memprioritaskan nilai kontinuitas anak lebih kecil dari tamatan SD? Bagi saya, hal ini terjadi terutama karena pendidikan dapat membuat seseorang menjadi, meminjam istilah Caldwell (1982: 325), “bagian dari dunia yang jauh lebih besar.” Dalam konteks wilayah riset saya, ini rasanya terjadi melalui dua cara. Cara pertama adalah melalui intervensi pusat dalam perumusan kurikulum sekolah (Kopong, 1990) atau bahkan silabus (Zein, 2012: 82). Memang, melalui Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nassional, pemerintah pusat telah mendistribusikan kepada pemerintah daerah wewenang untuk merancang kurikulum di tingkat sekolah (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Sebelumnya segala sesuatu dirancang dari pusat. Intervensi pusat dalam pendidikan begitu kuat. Makanya kemungkinan untuk mengintrodusir pelbagai nilai atau norma yang diharapkan secara nasional menjadi tinggi. Dengan kata lain, sekolah bisa menjadi media dari introduksi terhadap ideologi dominan yang kuat pada masanya. Dan, ini bisa mempengaruhi cara mereka melihat anak. Pada tahun 1988-1989, misalnya, saya mengajar agama di kelas 3 di salah satu SLTA di Maumere. Tema perkawinan dan keluarga berencana juga ada dalam buku pegangan, dan karena itu, didiskusikan juga di kelas. Topik pembicaraan antara lain tentang pentingnya keluarga batih yang kecil (terencana). Tekanan pada keluarga inti pada gilirannya tentu bisa mempengaruhi orang dalam melihat peran anak. Dan karena tamatan SMA+ lebih berpeluang “terkena ideologi ‘keluarga inti’”, maka kemungkinan mereka untuk memprioritaskan nilai “kontinuitas” bisa menjadi lebih kecil, seperti yang terlihat dalam Tabel 2. Cara keduanya adalah bahwa untuk masuk ke perguruan tinggi, siswa dari daerah ini sering harus pergi ke kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang di Jawa, atau Ujung Pandang di Sulawesi. Perjalanan ini umumnya menghadapkan mereka dengan satu budaya dan gaya hidup yang lebih modern dari tempat asal mereka. Dua dimensi terkait dengan gaya hidup modern itu bisa dicatat di sini. Pertama, warga di kota tujuan umumnya memiliki tingkat kesuburan total (total fertility rate, TFR) yang lebih rendah dari warga di tempat asal mereka. Di tahun 2012,
12
misalnya, TFR di Yogyakarta adalah 2.1 sedangkan di Jawa Timur adalah 2.3; sedangkan di NTT adalah sekitar 3.6 (Statistics Indonesia et al, 2013: 243). Oleh karena itu, perjalanan di atas menghadapkan mereka dengan suatu lingkungan yang lebih mendukung keluarga kecil. Kedua, kota-kota di mana universitas tujuan itu berada memiliki dinamika ekonomi lebih maju daripada daerah mereka sendiri. Modernisasi ekonomi seperti ini cenderung mengikis sistem kekerabatan. Cleland dan Wilson, misalnya, mencatat bahwa: Dalam proses pembangunan ekonomi, keutamaan rasa-kesukuan dikikis, dan keluarga secara bertahap dilucuti dari semua fungsi kecuali pengasuhan anak dan kepuasan emosional. Transisi dari sistem kesukuan ke keluarga besar, dan akhirnya, ke keluarga inti mengurangkan secara progresif pelbagai keuntungan dari memiliki jumlah anak yang besar. Dengan itu, (tingkat) kesuburan pun akan jatuh (1987: 7). Karena itu, dengan pergi ke kota-kota besar untuk sekolah, para mahasiswa itu juga masuk ke dalam suatu budaya di mana keutamaan kekerabatan telah terkikis. Di samping tekanan pada keluarga kecil, di sana pun, mereka berhadapan dengan satu budaya yang lebih menekankan keluarga inti. Pentingnya klan dan proses pelestariannya pun sudah melemah. Ini mungkin turut mempengaruhi sikap hidup mereka seperti yang tercermin dalam Tabel 2. Patut saya tambahkan, erosi keutamaan hubungan keluarga-besar ini juga telah terasa di wilayah yang dipelajari. Beberapa laki-laki di sebuah desa, misalnya, menceritakan kisah ini. Ketika anak pertama dari desa pergi ke universitas untuk gelar sarjana beberapa dekade yang lalu, seluruh warga desa bergotong-royong untuk memberikan bantuan (finansial) kepada keluarganya. Akan tetapi, semangat seperti ini telah menghilang. Sekarang ini, hanya kerabat dekat yang bisa membantu. Karena itu, tekanan sudah lebih pada keluarga batih pun. Singkatnya, dibandingkan dengan tamatan SD, tamatan SMA/universitas memiliki peluang yang lebih kecil untuk memprioritaskan nilai “kontinuitas” anak. Hal ini terjadi karena mereka cukup akrab, tahu dan mengalami sendiri idelologi, dan iklim, dari budaya dan ekonomi moderen. Iklim dan budaya ini lebih memberi tekanan pada keluarga batih yang kecil. Eksposur terhadap budaya ini terjadi baik lewat kurikulum sekolah atau pun perjalanan mereka untuk masuk universitas. Lebih jauh, eksposur yang demikian pun pasti juga telah menciptakan selera dan preferensi baru dalam hubungan mereka terhadap anak-anak dan kelompok kerabat mereka. Hasil analisis regresi di atas bisa menjadi indikatornya. 3.3.3. Pendidikan (plus Agama) dan Nilai-Keagamaan Mengapa peluang dari lulusan SMA/universitas dalam prioritisasi nilai anak sebagai “amanah” dari Allah lebih besar dari pada mereka yang cuma tamatan SD? Percakapan saya dengan sekelompok perempuan di Waiklibang pada tahun 2012 rasanya bisa mengisyaratkan jawabannya. Mereka ditanya, “Dalam kursus persiapan perkawinan Katolik, pasangan sering didorong untuk memakai Keluarga Berencana Alamiah (KBA). Bisa Anda katakan dengan yakin bahwa ada banyak pasangan Katolik memakai metode ini (karena imbauan tersebut)?” Menurut mereka, hanya beberapa pasangan, terutama mereka yang terdidik, memakai metode KBA. Alasan mereka beragam. Bagi saya, alasan mereka yang paling menarik dari adalah: “Mereka ini [tamatan SLTA/Universitas] … memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pelbagai hal.” Kata “hal” yang dipakai di sini bisa juga menyangkut pelbagai normasosial atau ekspektasi sosial. Dengan itu, ada harapan sosial bahwa kelompok terdidik mesti memiliki pemahaman yang baik tentang berbagai norma-norma sosial dan bertindak sejalan dengannya. Mereka yang perilakunya bertentangan dengan hal ini, seperti tidak mampu menahan emosi, sering digambarkan sebagai, “Seperti seorang yang tidak pernah sekolah.”
13
Seperti yang disinyalir dalam pokok 2.2.6, memperlakukan anak sebagai “mandat dari Allah” atau milik Lera Wulan itu sudah merupakan satu ekspektasi dalam budaya Lamaholot. Dengan demikian, tiap orang Lamaholot yang berpendidikan tinggi diharapkan juga untuk memiliki pemahaman yang memadai tentang norma budaya ini dan bertindak sesuai dengan itu. Selain itu, pendidikan bisa membawa anak-anak desa untuk berkontak dengan ideologi dari suatu bangsa (Handwerker, 1986). Ia dapat dipakai sebagai media untuk menanamkan atau meningkatkan rasa-keigamaan orang sebagai bagian inti dari proses menjadi orang Indonesia; termasuk ide untuk membesarkan dan mendidik anak sebagai unsur agama. Bahwa orang yang berpendidikan tinggi lebih cenderung melihat anak sebagai mandat Allah lalu bisa mengisyaratkan bahwa harapan normatif ini telah dibatinkan. Patut ditambahkan, saya juga membuat analisis regresi di tingkat kecamatan. Di situ, peluang orang Islam di Tanjung Bunga 3.1 lebih besar dari pada orang katoliknya (p < .05) dalam memprioritaskan nilai religius anak. Tentu perbedaan ini bisa merupakan efek dari “perbedaan doktrin” (Knodel et al, 1999: 149) mereka. Tapi pertanyaannya: mengapa pandangan seperti itu hanya efektif di kalangan umat Islam di Tanjung Bunga? Bagi saya, perbedaan itu bisa diasalkan pada dua kondisi berikut. Pertama, dari etnisnya, warga Muslim di Tanjung Bunga itu lebih banyak yang Lamaholot daripada yang tidak (misalnya, Bajo). Karena Lamaholots memperlakukan anak-anak sebagai milik Rera Wulan, seperti disebutkan di atas, kemungkinan Muslim memprioritaskan VOC di Tanjung Bunga lebih besar dari umat Islam dari latar belakang etnis yang lain. Misalnya, pada tahun 2009, desa Waiklibang mempunyai 505 keluarga (Kepala Desa Ratulodong, 2010). 41 dari mereka berlatarbelakang Islam; sisanya adalah Katolik. Meskipun Muslim di situ berasal dari tempat yang berbeda, sebagian besar dari mereka Lamaholots. Selain anak-anak penduduk setempat yang masuk Islam, banyak dari mereka berasal dari Kampung Baru di Larantuka. Sebagian besar responden survei saya (8 dari 11) yang direkrut dari desa ini sungguh menganggap nilai anak ini penting. Meneliti bagaimana umat Islam di Adonara, khususnya di desa Lamahoda dan Sagu memprioritaskan nilai-anak ini juga mengisyaratkan hal serupa. Lamahoda adalah desa di wilayah pedalaman. Meskipun data statistiknya tidak 100 persen akurat, sebagian besar 501 Muslim di Lamahoda (Adonara dalam Angka, 2013). Kebanyakan mereka Lamaholot etnisnya. Sekitar 50 persen dari 30 jawaban mereka melihat nilai-anak ini sebagai yang penting. Hal ini agak berbeda dengan situasi di Sagu, di mana ada banyak proporsi Bajo-nya. Di situ, hanya sekitar 29 persen (40) dari 141 menganggap nilai ini penting. Singkatnya, menjadi Lamaholot turut menyumbang proses prioritasasi nilai-anak tersebut. Alasan keduanya adalah status “minoritas” yang mereka rasakan. Memang, warga Muslim cuma sekitar 5 persen dari penduduk Tanjung Bunga. Benar bahwa secara struktural mereka tidak mengalami proses marjinalisasi. Dalam hidup rutin, misalnya, mereka bebas tampil di depan publik dengan pakaian islami mereka atau mendapatkan bagian yang sama, seperti air bersih, dalam hidup bersma. Thus, jejak keterpinggiran struktural tidak tampak. Namun, bagi saya, mereka pasti pernah punya pengalaman terpinggir secara budaya. Misalnya, ketika menghadapi pilihan dalam pola perilaku atau nilai-nilai yang berbeda dari kelompok mayoritas, mereka mungkin merasa beberapa dilema atau ketidakamanan. Hal ini terutama karena untuk waktu yang lama, mereka tidak memiliki pemimpin agama yang berkualitas yang bisa memberikan perspektif agama yang cukup pada pilihan. Di Waiklibang, misalnya, hingga 1990-an, masdjid tidak pernah memiliki seorang imam yang terlatih. Sekalipun sebuah studi yang lebih mendalam tentang ini masih diperlukan (bdk. Halli, 1989), pengalaman marginalitas seperti ini rasanya bisa juga disimpulkan dari pengamatan lain. Situasi ini tampak misalnya, dalam praktik di mana orangtua Muslim menginginkan anak-anak mereka disekolahkan. Sebagai institusi yang bisa men-transmisi-kan identitas
14
kultural (Liberson, 1985 dalam Finnas dan O'Realy, 2003), pilihan sekolah bisa melukiskan bagaimana orangtua ingin membangun identitas religius dalam diri anak-anak mereka. Atas dasar pemikiran ini, beberapa pengamatan di Tanjung Bunga dapat mendukung kesimpulan bahwa umat Islam di Tanjung Bunga betul “giat” dalam menghidupkan kembali identitas Islam pada anak-anak mereka. Pada 2012, satu desa memiliki populasi Muslim hanya sekitar 5.4 persen (87) dari (1,601) penduduknya. Juga, desa itu telah memiliki satu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun, pada tahun 2013, masih ada wacana di mana umat Islam menginginkan satu PAUD lain, yang berafiliasi dengan Masjid mereka. Di desa lain, ada 2 SD: Katolik dan Inpres. Meskipun SDK itu lebih dekat dengan dusun Muslim, orangtua Muslim terlihat lebih rela mengirimkan anak-anak ke SDI. Alasan mereka adalah bahwa SDI ada guru (dan pengajaran) agama Islam yang berkualifikasi. Juga, anak-anak mereka sering ke Masjid untuk belajar membaca Al Quran (observasi 2012). Saya diberitahu bahwa proses belajar ini berlangsung setidaknya dua kali seminggu. Singkatnya, di Tanjung Bunga, ada semangat dari orangtua Muslim untuk menguatkan lagi nilai-nilai agama dalam diri anak. Hal ini bisa menjadi lahan yang subur bagi ajaran Islam tentang anak sebagai mandat dari Allah. Kerja keras imam masjid yang mendorong umatnya untuk menginternalisir ajaran ini rasanya telah turut membuat orangtua untuk melihat nilai anak ini sebagai yang penting, seperti yang tersirat di dalam analisis di atas. 4.
KESIMPULAN
Bagian ini mulanya meringkas ide-ide yang dihasilkan dalam studi ini. Sesudah itu, ia akan menarik keluar tiga pelajaran yang bisa dipetik dari studi semacam ini. 4.1.
Pengetahuan yang Diprodusir
Pertama, orang Lamaholot punya banyak harapan pada anak. Ke-12 FGD saya mengindentifikasi 15 nilai-anak tersebut. Mereka bisa digolongkan ke dalam 6 dimensi umum dari kebutuhan orangtua. Ke-6 dimensi itu adalah kebutuhan untuk melanjutkan nama, tradisi, harta, atau tanggungjawab sosial dari orangtua, keluarga atau suku. Memiliki anak juga penting untuk makin merekatkan keluarga dan pengembangan diri orangtua. Mereka pun bermanfaat untuk menyuntikkan semangat hidup (baru) ke dalam diri orangtua dan demi keamanan di hari tua atau di kala sakit. Akhirnya, anak juga dilihat sebagai “anugerah” sekaligus “mandat” dari Allah untuk harus dipelihara dengan tanggung-jawab. Membesarkan dan memelihara anak lalu bisa dilihat sebagai satu bentuk ibadah. Karena itu, anak selalu berharga di mata mereka. Mungkin karena ini pula, orang Lamaholot juga melihat memiliki anak itu sebagai satu tujuan utama dari sebuah pernikahan (Kean et al., 2008). Kedua, sekalipun ada banyak variasi-efek dari hubungan antara satu peubah penjelas dan yang dependen, lebih banyak asosiasi itu yang tidak bermakna secara statistik. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam konteks prioritisasi nilai-anak, orang Lamaholot lebih menyerupai satu sama lain ketimbang perbedaannya. Ketiga, tidak perbedaan yang berarti di dua kecamatan dalam memprioritaskan nilai “kontinuitas” dan “agama” anak. Juga, dalam prioritisasi “nilai ekonomis” anak, tidak ada perbedaan yang berarti antara pelbagi kelompok sosial, kecuali di tingkat kecamatan. Ini bisa mengisyaratkan banyak hal. Misalnya, ketiga nilai-anak ini adalah yang paling luas dipegang oleh orang Lamaholot. Atau, itu bisa meneguhkan pengamatan Geertz bahwa, di Indonesia, “seluruh hidup-harian selalu memiliki kualitas transendental” (1968: 112). Dan, bahwa citacita tertinggi dari hidup seorang pria Lamahalot untuk melestarikan suku itu (Vatter, 1932/1984: 80) masih kuat. Semua ini tentu bisa dianalisis lanjut dalam proyek lain.
15
Keempat, para nelayan punya peluang yang lebih kecil dari pada petani untuk memprioritaskan nilai “kontinuitas” anak. Hal ini terjadi karena kebanyakan mereka beretnis Bajo, sebuah yang memang tidak kuat mengartikulasikan nilai-anak ini. Pola hunian mereka pun bisa menyulitkan mereka untuk mengadopsi nilai ini dari warga Lamaholot di sekitarnya. Kelima, tamatan SMA+ punya peluang yang lebih kecil dari pada tamatan SD dalam memprioritaskan nilai “kontinuitas” anak. Ini tejadi karena mereka lebih terekspos ke suatu iklim sosial yang lebih menekankan keluarga batih yang kecil. Selain kurikulum, eksposur ini terutama terjadi melalui perjalanannya ke kota-kota, di mana nilai keluarga-besar telah terkikis. Ini menciptakan selera dan preferensi baru dalam hubungan mereka terhadap anakanak dan kelompok kerabatnya. Hasil analisis regresi logistik di atas menjadi isyarat bahwa nilai-kesukuan itu memang sudah terkikis dari diri mereka. Peran anak untuk mereproduksi diri / suku mereka secara fisik sudah mulai kurang dirasakan. Keenam, tamatan SMA+ lebih cenderung dari pada tamatan SD untuk memprioritaskan nilai anak “religius” anak. Hal ini terutama terjadi karena mereka diharapkan sebagai orang yang lebih paham tentang norma-norma budaya, seperti nilai ‘religius’ anak dan mempraktekkannya. Sehubungan dengan ini, ketujuh, warga Muslim di Tanjung Bunga lebih mungkin dari petani dalam memprioritaskan nilai “agama” dari anak. Hal ini terutama terjadi karena, pertama, kebanyakan mereka adalah warga Lamaholot, yang mengenal nilai-anak ini. Kedua, mereka tampaknya sedikit mengalami keterpinggiran secara budaya. Karena itu, sekalipun sama-sama Islam seperti orang Adonara, kondisi emosional mereka lebih tersiap untuk menginternalisir ajaran keigamaan termasuk “memandang anak sebagai mandat dari Allah.” Akhirnya, temuan di atas diperoleh dengan data yang dikumpulkan dengan metodologi kerja tertentu. Seandainya metodologi lain diikuti, hasilnya pasti akan berbeda. Sebagai misal, ke-15 nilai anak di atas diperoleh dari 12 FGD. Seandainya saya memiliki lebih banyak FGD, bisa saja ada banyak nilai-anak lain yang masih bisa digali. Atau, studi tentang hasrat fertilitas umumnya dibuat di kalangan pasangan yang isterinya masih subur (16/18 s.d. 44/49). Dan, karena laporan ini adalah bagian kecil dari riset tentang hasrat fertilitas yang relatif tinggi di kalangan orang Lamaholot, maka pertanyaan survei tentang prioritisasi anak itu hanya ditujukan kepada pasangan yang demikian. Andaikan pertanyaan ini ditujukan kepada orang yang lebih tua, misalnya, isi Tabel 2 bisa menjadi lain. Karena itu, pengetahuan dari sebuah riset mesti selalu dilihat dalam porsinya yang wajar. 4.2.
Tiga Pelajaran
Pertama, menurut studi ini, pengaruh suku dan pelbagai nilai/norma sosialnya dalam membentuk nilai-anak yang dominan dalam masyarakat masih kuat. Meskipun ada banyak perkembangan ekonomi dan pendidikan, pengaruh sistem kesukuan masih terasa. Seperti yang diisyaratkan dalam Tabel 2, manfaat anak untuk meneruskan nama keluarga/suku atau menguatkan suku masih luas dipegang oleh masyarakat. Konkretnya, sekitar 70 persen responden (Apendiks 2) masih mengangap nilai-anak ini penting dalam hidupnya. Sebaliknya, meski telah lama menetap di wilayah penelitian, orang Bajo tidak mengartikulasikan nilai-anak ini secara eksplisit. Alasannya adalah bahwa, sebagai bangsa nomaden di laut dan umumnya tidak punya tanah, orang Bajo jarang memiliki konsep tentang satu “keluarga yang bertahan”. Selain itu, mereka juga selalu mengambil identitas mereka dari “pemimpin kelompok keluarga” (Carsten, 1997; Sather, 1997). Singkatnya, rasa kesukuan seseorang dan nilai-nilai sosialnya masih kuat mempengaruhi nilai-nilai yang dipegang orangtua dalam hubungan mereka dengan anakanak. Situasi ini masih ditopang oleh pelbagai fakor lain. Dalam contoh di atas, misalnya, itu
16
dipengaruhi juga oleh pola penyebaran penduduk di desa, yang umumnya tinggal dalam “lingkungan-lingkungan” yang sama dari segi etnis atau budaya (agama). Kedua, studi ini juga mengisyaratkan bahwa adalah baik untuk membuat studi seperti ini dalam konteks sosial yang mikro. Alasan utamanya adalah bahwa prioritisasi-tidaknnya suatu nilai-anak selalu ‘dibentuk’ oleh, atau berhubungan dengan, pelbagai faktor sosial yang mengitarinya. Seperti yang terlihat di atas, misalnya, nilai “kontinuitas” dari anak itu belum diartikulasi di kalangan orang Bajo. Di samping faktor nilai budaya, pola kecenderungan demikian bisa juga dibentuk oleh pola pemukiman mereka yang menghambat pembauran nilai budaya tertentu. Atau, orang Islam memang memiliki ajaran yang ekplisit tentang anak sebagai “amanah dari Allah” (bdk. BKKBN, 2010: 8-9; Koten, 2015: 73). Akan tetapi, seperti yang dilihat di atas, dibandingkan dengan para petani, hanya orang Islam dari Tanjung Bungalah yang lebih berpeluang untuk memprioritiaskan status anak tersebut. Kecenderungan ini ada karena kebanyakan mereka adalah orang Lamaholot dari segi etnis dan, dalam arti tertentu, punya pengalaman keterpinggiran secara budaya. Karena itu, sebuah nilai yang dipegang selalu dialasi oleh pelbagai faktor sosial yang saling berhubungan. Tidak ada faktor sosial, seperti agama, yang punya pengaruh satu arah dan universal terhadap satu nilai yang dipegang orang. Asosiasi mereka selalu kontekstual dan unik. Dalam situasi demikian, sebuah studi dalam konteks mikro akan memungkinkan seorang peneliti untuk menjadi lebih sensitif, dan karena itu mampu menangkap, kekhususan atau kekhasan kelompok tersebut. Studi seperti ini akan juga menjadi lebih efektif bila peneliti juga memiliki kompetensi yang memadai tentang bahasa dan budaya lokal. Ketiga, dalam paparan di atas, saya juga telah berusaha menjadi transparan dengan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data. Hal ini penting dibuat agar pengetahuan yang dihasilkan dengan memakai data ini bisa ditempatkan dalam porsi yang wajar. Asumsi di balik sikap saya untuk menjadi transparan ini adalah bahwa kualitas dari sebuah pengetahuan yang dihasilkan oleh sebuah riset sangat sangat bergantung pada subyektivitas si penggali dan proses ia digali (bdk. Koten, 2011). Bahkan, di dalam riset kualitif (khususnya dalam wawancara mendalam), sikap ini adalah suatu keharusan (bdk. Finlay, 2002; Koten, 2011). Di situ, peneliti bahkan dituntut untuk menjadi sadar (refleksif) tentang, dan lalu, melaporkan pelbagai unsur subyektifnya dan unsur inter-subyektivitas dari semua yang terlibat dalam proses riset. Hanya dengan ini, pelbagai kesimpulan riset bisa diberi konteks dan kesadaran-etis peneliti dalam proses riset pun terus terasah. Dan, dengan ini juga, peneliti akan memberi peluang bagi publik untuk membaca dan menilai kesimpulan-risetnya dalam konteksnya. Mungkin ini bisa menjadi ciri seorang ilmuwan yang punya integritas dan trustworthiness (bdk. Finlay, 2002: 531). Rasanya, ini bukanlah cuma cara kerja yang unik dalam ilmu-ilmu sosial. Adalah baik bila proses menjadi refleksif ini juga bisa diterapkan dalam proses mempelajari satu konsep, termasuk pengetahuan teologis atau filosofis. Di situ, menjadi refleksif tentang, dan lalu melaporkan, paling kurang metodologi kerja yang menghasilkan ide tersebut akan memberi konteks yang baik bagaimana ide tersebut bisa ditimbang-timbang. Dan mungkin dengan itu juga, orang bisa belajar tentang proses berteologi atau berfilsafat. Ledalero, 19 Agustus 2016 Philipus P. Koten, SVD
17
APENDICES Appendix 1. Ciri-ciri sosial demografis, pekerjaan 1 (suami), dan derajat keterbukaan terhadap media dan tingkat otonomi wanita dalam pandangan responden menurut kecamatan (Survey 2013) Kecamatan (Persen) Total T. Bunga Adonara
Karakteristik resonden
Seks Laki 33.8 Perempuan 66.2 Total 100.0 (N) (606) Kelompok umur Di bawah 30 27.6 30–39 49.5 40–49 22.8 Total 100.0 (N) (604) Pendidikan tertinggi yang ditamati SD 61.6 SMP/Sederajat 18.0 SMA/sederajat+ 20.5 Total 100.0 (N) (606) Pekerjaan Petani 75.7 Nelayan 5.2 Pegawai (negeri/swasta/honorer) 12.3 Pengusaha 3.3 PKL (street vendors) 3.5 Total 100.0 (N) (601) Tingkat keterbukaan kepada media Rendah 39.1 Moderat 42.6 Tinggi 18.3 Total 100.0 (N) (606) Tingkat otonomi wanita Rendah 14.5 Moderat 76.1 Tinggi 9.4 Total 100.0 (N) (606) Catatan: Penjelasan lengkap, lihat Koten (2015: Bab 5).
18
33.2 66.8 100.0 (434)
33.6 66.4 100.0 (1,040)
32.5 45.2 22.3 100.0 (431)
29.7 47.7 22.6 100.0 (1,035)
53.9 25.3 20.7 100.0 (434)
58.4 21.1 20.6 100.0 (1,040)
63.7 10.9 12.1 4.9 8.4 100.0 (430)
70.7 7.6 12.2 4.0 5.5 100.0 (1,031)
15.2 65.4 19.4 100.0 (434)
29.1 52.1 18.8 100.0 (1,040)
12.0 77.4 10.6 100.0 (434)
13.5 76.6 9.9 100.0 (1,040)
Apendiks 2. Distribusi dari jawaban ya terhadap pertanyaan entang entahkah responden menganggap satu nilai-anak itu penting. Distribusi menurut kecamatan dan ciri-ciri responden (Survei, 2013) Latar belakang sosial Kecamatan T. Bunga Adonara Total Seks Laki Perempuan Total Kel. Umur Di bawah 30 30–39 40–49 Total Agama Katolik Islam Total Pendidikan SD SMP SMA+ Total Pekerjaan Petani Nelayan Pegawai Pengusaha PKL Total Eksposur ke media Rendah Moderat Tinggi Total Otonomi wanita Rendah Moderat Tinggi Total
“Ya, nilai-anak ini Penting!” (Persen) N KontiPengayaEco- AgaKohesi Emosi (100%) nuitas an diri nomi ma 600 407 1,007
73.5 63.4 69.4
39.0 36.6 38.0
43.3 25.6 36.1
26.0 36.9 30.4
52.2 37.6 46.3
38.0 33.2 36.0
345 662 1,007
72.2 68.0 69.4
40.9 36.6 38.0
36.5 36.0 36.1
26.4 32.5 30.4
46.1 46.4 46.3
35.7 36.3 36.0
295 481 228 1,004
70.8 68.6 68.9 69.3
39.0 37.8 37.3 38.0
29.8 39.9 36.8 36.3
32.5 31.2 26.3 30.5
46.8 44.7 48.2 46.1
39.3 35.3 33.8 36.2
769 238 1,007
72.4 59.7 69.4
36.8 42.0 38.0
37.1 33.2 36.1
28.2 37.4 30.4
46.9 44.1 46.3
37.1 32.8 36.0
589 212 206 1,007
74.0 67.0 58.7 69.4
37.4 31.6 46.6 38.0
34.6 39.2 37.4 36.1
28.4 36.3 30.1 30.4
50.1 41.0 40.8 46.3
31.2 35.4 50.5 36.0
706 76 123 39 55 999
74.1 48.7 65.0 64.1 50.9 69.4
38.2 34.2 37.4 38.5 43.6 38.1
36.5 44.7 35.0 43.6 21.8 36.4
28.0 48.7 32.5 28.2 27.3 30.1
47.6 51.3 38.2 53.8 32.7 46.1
34.7 25.0 48.8 43.6 34.5 36.0
296 522 189 1,007
75.0 66.1 69.8 69.4
33.4 40.0 39.7 38.0
40.9 35.4 30.7 36.1
24.7 33.3 31.2 30.4
52.4 45.6 38.6 46.3
35.1 34.5 41.8 36.0
133 772 102 1,007
72.9 69.9 60.8 69.4
35.3 38.7 36.3 38.0
34.6 36.1 38.2 36.1
28.6 31.2 26.5 30.4
51.9 45.6 44.1 46.3
37.6 35.1 41.2 36.0
19
Referensi Adonara dalam Angka.2013. BPS catalogue: 1403.5309074. Badan Pusat Statistik Kabupaten Flores Timur. Arndt, Paul, SVD. 1940. Soziale Verhältnisse auf Ost-flores, Adonare und Solor. Anthropos, V.4. No. 2. Muenster I.W.: Aschendorf. Arnold, Fred, Rudolfo A. Bulatao, Chalio Buripakdi, et al. 1975. The Value of Children: A Cross-National Study. Volume 1: Introduction and Comparative Analysis. Honolulu: East–West Center. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2010. Membangun Keluarga Sehat dan Sakinah. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dalam kerjasama dengan UNFF, ADB DEPAG RI, MUI, NU, AND DMI. Caldwell, John C. 1976, “Toward A Restatement of Demographic Transition Theory.” Population and Development Review, Vol. 2, No. 3/4: 321–366.” -------, 1981. “The Mechanisms of Demographic Change in Historical Perspective.” Population Studies, Vol. 35, No. 1: 5–27. -------, 1982. Theory of Fertility Decline. London: Academic Press. Carsten, Janet. 1997. The Heat of the Hearth: The Process of Kinship in a Malay Fishing Community. Oxford: Clarendon Press. Cleland, John and Christopher Wilson. 1987. “Demand Theories of the Fertility Transition: an Iconoclastic View.” Population Studies, Vol. 41, No. 1: 5–30. Collins, Randall. 2004. Interaction Rituals of Solidarity. Princeton: Princeton University Press. Fawcett, James. 1977. “The Value and Cost of Children: Converging Theory and Research.” In L.D. Ruzicka, editor. The Economic and Social Supports for High Fertility, proceedings of the conference held in Canberra, 16–18 November, 1976. Canberra: The Australian National University, 91–114. Finnas, Fjalar and Richard O’Leary. 2003. “Choosing for the Children: The Affiliation of the Children of Minority–Majority Group Intermarriages.” European Sociological Review, Vol. 19, No. 5: 483–499. Finlay, L.. 2002. “‘Outing’ The Researcher: The Provenance, Process, and Practices of Reflexivity.” Qualitative Health Research, Vol. 12. No. 4: 531-545. Foucault, Micell. 1977. “Nietzsche, Genealogy, History.” In D. F. Bouchard, editor. Language, Counter Memory, Practice: Selected Essays and Interviews by Michel Foucault. NY: Cornell University Press: 139–164. Fox, James J. 1977. “Notes on the Southern Voyages and Settlements of the Sama-Bajau.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en. Volkenkunde, 133, No: 4: 459–465. Geertz, Clifford. 1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. USA: Yale University. Greenhalgh, Susan. 1990. “Toward a Political Economy of Fertility: Anthropological Contributions.” Population and Development Review. Vol. 16, No. 1: 85–106. -------, 1995. “Anthropology Theorizes Reproduction: Integrating Practice, Political Economic, and Feminist Perspectives.” In Susan Greenhalgh, editor. Situating Fertility: Anthropology and Demographic Inquiry. Cambridge: Cambridge University Press, 3–28. Halli, Shivalingappa S. 1989. “Toward a Re-Conceptualization of Minority Group Status and Fertility Hypothesis: The Case of Orientals in Canada.” Journal of Comparative Family Studies, Vol. 20, No. 1: 21–45.
20
Handwerker, W. Penn. 1986. “Culture and Reproduction: Exploring Micro/Macro Linkages.” In W. Peen Handwerker, editor. Culture and Reproduction: An Anthropological Critique of Demographic Transition Theory. America: Westview Press Inc., 1–28. Hoffman, Louis Wladis and Martin L. Hoffman. 1973. “The Value of Children to Parents.” In James T. Fawcett, editor. Psychological Perspectives on Population. New York: Basic Books, 19–76. Hoffman, Louis Wladis and Jean Denby Manis. 1979. “The Value of Children in the United States: A New Approach to the Study of Fertility.” Journal of Marriage and Family, Vol. 41, No. 3: 583–596. Kean, Rofinus Nara, Dominikus Rasawati, Wilhelm Leburaja, et. al. 2008. Selayang Pandang Budaya Lamaholot. Larantuka: Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur. Kepala Desa Ratulodong. 2009. “Laporan Pertanggungjawabaan Kepala Desa Ratulodong Tahun 2009.” Laporan. Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Knodel, John, Rossarin Soottipong Gray, Porntip Sriwatcharin, and Sara Peracca. 1999. “Religion and Reproduction: Muslims in Buddhist Thailand.” Population Studies, Vol. 53. No. 2: 149–164. Kopong, Elias. 1995. “Informal Learning: A Case Study of Local Curriculum Development in Indonesia.” Prospects, Vol. XX, No. 4: 639–651. Koten, Philipus Panda. 2011. “Peneliti, Seorang Penambang?” dalam Paul Budi Kleden dan Robert Mirsel. Editor. Menerobos Batas, Merobohkan Prasangka. Jilid 2. Maumere: Penerbit Ledalero: 151 – 169. -------, 2015. “The Social Context of Lamaholots’ Fertility Desires.” PhD Thesis. Melbourne: Monash University. Sather, Clifford A. 1997. The Bajau Laut: Adaptation, History and Fate in a Maritime Fishing Society of SouthEastern Sabah. New York: Oxford University Press. Pope, Whitney. 1997. “Emile Durkheim.” In Rob Jones, editor. Key Sociological Thinkers. London: McMillan Press, 46–58. Stacey, Nattasha. 1999. “Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone.” PhD Thesis. Faculty of Law, Business and Arts, Northern Territory University. -------, 2007. Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone. Canberra: Australian National University. Statistics Indonesia, National Population and Family Planning Board, Kementerian Kesehatan, and ICF International. 2013. Indonesia Demographic and Health Survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International. Vatter, Ernst. 1932/1984. Ata Kiwan. Translated by Ny. S.D. Sjah (only parts of the German edition). Ende: Penerbit Nisa Indah. Zein, Mochamad Subhan. 2012. “Language Teacher Education for Primary School English Teachers in Indonesia: Policy Recommendations.” PhD Thesis. Canberra: Australian National University.
21