SOSIALISASI NILAI RUKUN DAN NILAI HORMAT OLEH ORANG TUA KEPADA ANAK MELALUI PARENTING: KONTEKS BUDAYA JAWA
SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persayaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1
Diajukan Oleh: PANDU WIBISONO F. 100 050 029
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karakteristik keluarga dengan segala macam latar belakang budaya yang berbeda-beda menimbulkan corak pendidikan nilai yang berbeda pula antara keluarga satu dengan yang lain. Keluarga Jawa adalah salah satu bagian modal sosial yang memiliki kekayaan tata nilai. Menyadari bahwa budaya Jawa sarat dengan nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan untuk penanaman tata nilai, maka sudah waktunya untuk menggali lagi materi klasiktradisional atau warisan luhur yang pantas dihadirkan dalam situasi yang relevan. Warisan kultural tak hanya sebagai aset yang tersimpan dalam musium, tetapi perlu diwujudkan dalam tingkah laku yang konkret. Secara umum nilai dapat bersumber dari keluarga, masyarakat, agama, media massa, tradisi maupun dari kelompok sebaya. Sebagai salah satu sumber nilai, keluarga menduduki posisi strategis dan memiliki arti penting bagi perkembangan nilai kehidupan anak yang bersumbu pada ikatan emosional. Dalam hal mengasuh dan mengajarkan kebudayaan serta memasukkan nilai-nilai budaya yang ada pada anak, orang tua harus menyamakan persepsi terlebih dahulu sehingga nantinya dapat meminimalisir kebingungan pada anak dalam mempelajari kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, orang tua juga harus menggunakan metode pengasuhan yang bersifat universal, yaitu tidak memihak pada salah satu kebudayaan tertentu, dan mengutamakan kebaikan
1
2
yang bersifat universal. Hal lainnya yang penting juga dilakukan oleh orang tua adalah menutupi kekurangan yang ada pada satu kebudayaan dan lebih mengutamakan hal-hal positif yang ada pada kebudayaan tersebut serta mengajarkan atau setidaknya memperkenalkan pada anak seluruh kesenian yang ada pada kebudayaan orang tuanya (Ulloa dalam Alvita, tt). Jika dicermati sistem pengendalian sosial di Jawa yang utama adalah menempatkan masyarakat beserta perangkat adat istiadatnya secara dominan yang menentukan arah perilaku individu-individu warganya. Otonomi individu beserta penampilan kepribadiannya memainkan peran agak sekunder. Kepentingan individu diserasikan secara harmonis dengan kepentingan kolektif atau masyarakat keseluruhan. Masyarakat Jawa dikategorikan dalam sistem budaya yang mengutamakan nilai keserasian hidup kolektif institusi sosial yang ada atau diadakan agar berfungsi untuk memainkan peran yang mengkontribusi kepada kepaduan formasi keseluruhan masyarakat yang utuh. Kebutuhan-kebutuhan individu dengan sendirinya akan terpenuhi langsung terkait dengan berfungsinya lembaga-lembaga sosial itu (Suhardi, tt). Perwujudan dari nilai keserasian hidup dapat dilihat dalam praktek kerja sama yang populer disebut gotong royong. Kerukunan semacam ini didasari oleh empat sifat dasar manusia yakni simpati, keramahan, rasa keadilan, dan kepentingan pribadi yang selaras dengan tatanan sosial menurut adat istiadat (Martindale dalam Suhardi, tt). Dengan demikian, konsep keserasian hidup bermasyarakat di Jawa diwujudkan dalam nilai-nilai hormat dan rukun. Dalam konstelasi hidup serasi, setiap orang harus berikhtiar untuk bertindak sesuai,
3
cocok, selaras, seirama dengan teladan yang telah diterapkan (Lombard dalam Suhardi, tt). Berdasarkan cara berfikir tertentu, manusia Jawa memandang nilai hormat dan rukun memiliki makna amat penting dan berharga dalam hubungan interaksi dengan sesamanya. Geertz (dalam Suhardi, tt) menyatakan bahwa kedua-duanya bukan saja merupakan petunjuk moral yang mendasari tindak tanduk kekeluargaan Jawa, melainkan merupakan pusat pengertian bagi dirinya. Pengertian tersebut yang pertama ialah sekelompok nilai yang berkenaan dengan pandangan kejawen tentang tata krama penghormatan dan yang kedua nilai-nilai yang berkenaan dengan pengutamaan orang Jawa terhadap terpeliharanya penampilan sosial yang harmonis. Perubahan-perubahan deras terjadi akibat interaksi antara sistem-sistem kebudayaan yang berbeda-beda. Interaksi antara budaya kebudayaan Jawa dengan kebudayaan manca negara mampu membawa sebuah perubahan nilai-nilai. Hasan (dalam Jatman, 1997) menggambarkan suatu suasana dimana terjadi pemaksaan nilai-nilai karena masyarakat sedang kehilangan pegangan, padahal nilai-nilai tidak dapat dilepaskan dari makna hidup tidak dapat dilepaskan dari aktualisasi diri. Maka krisis nilai menyebabkan munculnya krisis identitas, orang menjadi tidak tahu fungsi, peran dan posisinya dalam masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh
sangat
besar
bagi
tumbuh
kembangnya
anak.
Secara
ideal
perkembangan anak akan optimal apabila mereka bersama keluarganya yang harmonis, sehingga berbagai kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi. Dalam
4
kenyataannya kehidupan sehari-hari tidak semua keluarga dapat memenuhi gambaran keluarga yang ideal tersebut. Perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dewasa ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan keluarga. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaan di kantor sampai larut malam tanpa memikirkan anak akan mempengaruhi psikis seorang anak. Kondisi yang demikian ini akan menyebabkan komunikasi dan interaksi antara sesama anggota keluarga menjadi kurang harmonis. Hubungan kekeluargaan yang semula kuat dan erat, cenderung longgar dan rapuh. Ambisi karir dan materi yang tidak terkendali, telah mengganggu hubungan interpersonal dalam keluarga (Puspitawati, tt, dalam http://groups.yahoo.com/group/pengajaran_kimia_sma/message/355). Terbentuknya kerukunan dan saling menghormati antar sesama individu merupakan keadaan yang diharapkan oleh orang tua kepada anak-ananya, akan tetapi dengan berdasar pada keadaan yang terjadi saat ini, masih banyak terjadi perkelahian atau tawuran yang terjadi di kalangan remaja, selain perkelahian terdapat juga sikap-sikap yang dilakukan oleh anak yang terkesan tidak hormat kepada orang tuanya, misalnya bertutur kata yang tidak sopan kepada orang tua mereka bahkan ada yang berani berbicara kasar kepada orang tuanya. Perkelahian diantara pelajar, yang sering disebut tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku maladjusmnet yang dapat dikatakan sebagai bentuk value confusion yang semakin lama semakin mengerikan. Tawuran ini sering terjadi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan besar kemungkinan untuk meluas ke daerah-daerah lainnya. Data Bimmas Polri Metro Jaya untuk tawuran pelajar di Jakarta menunjukkan pada tahun 1992 tercatat 157
5
kasus perrkelahian peelajar. Tahhun 1994 meningkat m m menjadi 1883 kasus deengan menewaskkan 10 oranng pelajar. Tahun 199 95 terdapat 194 kasuss dengan ko orban meninggall 13 pelajarr dan 2 oranng anggota masyarakat. m . Tahun 19998 ada 230 kasus k yang mennewaskan 15 1 orang pelajar p dan 2 orang anggota a Poolri. Pada tahun berikutnyaa jumlah koorban meninngkat dengan 37 korban meningggal. Terlihaat dari tahun ke tahun jumllah perkelaahian dan korban k cendderung menningkat (Seetiono dalam Maaharani & Andyani, A 20003). Keadaaan ini merrupakan konndisi yang ironis i atas nilai-nnilai hidup yang ada paada diri rem maja saat ini.
250 0
230 kasus
200 0
194 4 kasus
150 0
1992
183 kasu us
1994
100 0
1 157 kasus
50
19 998 5 1995
1995 1998
1994
0 perkelahiaan
1992 tewas (pelajar)
Gam mbar 1. Grafikk Perkelahian Antar Pelajarr di Jakarta, Sumber Data D Bimmas Polri Metro Jaya J
Beerdasarkan
hasil
peenelitian
yang y
dilaakukan
oleeh
(http://grooups.yahoo.ccom/group//pengajaran_ _kimia_smaa/message/3355)
Puspittawati dapat
diketauhi bahwa jum mlah respoonden stud di yang beerlokasi di empat Sekolah Menengahh Kejuruan--Teknik Inddustri (SMK K-TI) dan saatu sekolah umum swaasta di
6
kota Bogor sebanyak 667 pelajar yang terdiri dari 540 putra dan 127 putri dengan pengambilan sampel menggunakan metode acak sederhana pada kelas dua, sebanyak 67% persen pelajar laki-laki dan perempuan SMK-TI dan 50% pelajar perempuan SMU melakukan jenis kenakalan umum seperti membolos, minggat, merokok, pesta sampai malam, dan menggoda cewek atau cowok. Untuk kenakalan kriminal, sebanyak 12,25 % pelajar SMK-TI dan 11% pelajar SMU mengkonsumsi narkoba, morphin, aibon. Sebelas persen SMK-TI dan lima persen pelajar SMU minum-minuman keras dan membawa alat senjata tajam ke sekolah. Pelajar kedua sekolah juga pernah melakukan seks bebas yakni 10% pelajar SMKTI dan 5% pelajar SMU. Keberadaan bahasa lokal sebagai aset budaya, sekarang kian tergerus. Banyaknya generasi muda yang sudah tidak bisa memakai bahasa lokal, adalah ancaman serius, terutama terhadap aset budaya peninggalan nenek moyang. Subroto dalam Solopos (2007) mengemukakan keprihatinannya bahwa setelah dilakukan riset tentang kemampuan generasi muda Jawa dalam memakai bahasa Jawa krama inggil. Kesimpulan yang ditarik Subroto, ternyata generasi muda Jawa sekarang mayoritas tak mampu memakai bahasa Jawa krama dengan tepat. Kondisi demikian dapat berimbas kepada budi pekerti, sopan santun, serta etika yang kian mengalami kemerosotan. Subroto menyatakan terdapat dua faktor utama sebagai penyebab tergerusnya bahasa lokal. Pertama, desakan dari bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Menurut Subroto, keberadaan bahasa nasional sebagai bahasa resmi akan mempengaruhi bahasa lokal, karena setiap hari bahasa nasional menjadi alat komunikasi. Kedua, desakan globalisasi, faktor kedua ini
7
menurut Subroto lebih disebabkan adanya ekspansi secara ekonomi maupun politik dari negara-negara yang memiliki ketangguhan ekonomi. Berdasarkan penelitian awal yang telah dilakukan oleh peneliti di salah satu SLTP Negeri di Surakarta tentang penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan remaja, dari jumlah populasi 228 kemudian sampel yang digunakan adalah 115 siswa menunjukkan hasil bahwa 90,4% siswa dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa dan 7,82% mengguanakan bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan siswa ketika berkomunikasi dengan orang tua mereka yang masih menggunakan bahasa Jawa Krama inggil hanya 11,3%, sedangkan yang menggunakan bahasa Jawa Krama alus 38,2% dan yang paling banyak adalah dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko yaitu mencapai 47,8%. Kondisi ini hampir sama ketika siswa berkomunikasi dengan teman sebaya mereka, 91,2% siswa menggunakan bahasa Jawa Ngoko ketika berkomunikasi dengan temannya dan terdapat 28,6% yang menggunakan bahasa Jawa Krama alus. Berdasarkan angket yang diberikan, 51.3% siswa memperoleh pelajaran bahasa Jawa dari orang tua mereka dan 39,1% dari sekolah, akan tetapi intensitas pengajaran yang dilakukan oleh orang tua kepada anak menunjukkan 51,3% orang tua tidak terlalu sering dalam mengajarkan bahasa Jawa kepada putra-putri mereka dan 43,4% siswa mengatakan orang tua mereka sering mengajarkan bahasa Jawa kepada mereka.
8
7.82 2% 11.3% 4 47.8%
38.2 %
Baahasa Indoneesia Baahasa Jawa Krama K Inggill Baahasa Jawa Krama K Alus Baahasa Jawa Ngoko N
Gam mbar 2. Grafikk Prosentase Penggunaan P B Bahasa Jawa Oleh Remaja R Kepada Orang Tuaa
Beerdasarkan uraian di atas, a penuliis merasa tertarik t unttuk mengad dakan penelitian, dan penuulis juga inngin mengettahui bagaiimana caraa para orang tua d dalam meendidik anaak-anak meereka atas nilai-nilai rukun dann hormat dalam budaya Jaawa. Oleh karena k itu penulis p mem milih judul untuk peneelitiannya adalah a Sosialisassi Nilai Ru ukun Dan Nilai N Horm mat Oleh Orang O Tuaa Kepada Anak A Melalui Parenting P D Dalam Kontteks Buday ya Jawa.
B.. Tujuan Peenelitian p inni memahami secara mendalam m uupaya oran ng tua Tuujuan dari penelitian melakukann sosialisassi nilai-nilaai hidup orrang tua, khususnya k nilai rukun n dan hormat, keepada anak dalam keluuarga dan mengetahui m b bentuk peneerapan dari nilainilai tersebbut dalam kehidupan k o anak. oleh
9
C. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui cara orang tua melakukan sosialisasi nilai-nilai hidup orang tua pada anak dalam keluarga, dan dari hasil tersebut dapat diambil manfaat: 1. Untuk orang tua, dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai hidup kepada putra-putrinya dengan baik. 2. Untuk anak, dapat dijadikan pertimbangan dalam menginternalisasi nilai-nilai hidup, khususnya nilai rukun dan hormat dengan baik. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya psikologi sosial karena hasil penelitian ini memberi penjelasan tentang sosialisasi nilai-nilai hidup dalam budaya Jawa, khususnya nilai rukun dan hormat.