JAK/2007/PI/H/1
NIAS: KEBANGKITAN BUDAYA NEGERI BENCANA
SISIPAN NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA JUNI 2007
Memiliki populasi terbanyak dibandingkan desa-desa tradisional di Nias Selatan, Desa Bawömataluo menyajikan deretan Omo Hada yang menjadi hunian para warga sejak masa leluhur.
M
em bu jur di lepas pantai bara t Su m a tra, Pulau Nias men jadi salah s a tuja ja ran pulau-pulau yang m en ghadap Sa mu d raHindia yang menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Pa ra pen ghu n i pulau ini menyebut diri nya seb a gai Ono Niha ( O rang Nias) yang diyakini oleh seb a gian ahli a n tropo l ogi dan arkeo l ogi seb a gai salah satu puakpuak berbahasa Au s tronesia––lelulur Nusantara yang datang paling awal dari suatu tempat di d a ratan Asia. Sejumlah bu k ti peradaban tertua O rang Nias dihubungkan den gan perkembangan tradisi mega l i tik(batu besar) yang hingga saat ini masih dapat terlihat keberad a a nya. Seiring perkem b a n gan agama di wi l ayah ini, trad i s i pem buatan benda-benda megalit telah hilang. Tinggalan-ti n ggalan para lelu hur itu––seperti rumah adat, lompat batu, dan tari pera n g – – telah m en jadi ikon pariwisata yang luluh lantak terti mpa dua bencana: gel ombang tsunami dan gempa bumi. Sejumlah pihak men gi n ginkan pembangunan kembali men jadi peluang revitalisasi nilai-nilai bu d aya Nias yang kini terancam lenyap.
NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA TANTYO BANGUN, Editor in Chief DIDI KASPI KASIM, Art Director Nias: Kebangkitan Budaya Negeri Bencana Sisipan National Geographic Indonesia, Juni 2007 BAYU DWI MARDANA KUSUMA, Text Editor FIRMAN FIRDAUS, Text Editor REYNOLD SUMAYKU, Photo Editor LAMBOK E. HUTABARAT, Designer EVELYN JOICE SIMORANGKIR, Advertising Excecutive Foto oleh FERI LATIEF
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) HIMALCHULI GURUNG DWI ANGGOROWATI INDRA S A R I WIESKE SAPARDAN
FOTO SAMPUL: ATRAKSI LOMPAT BATU, FAHOMBE, SEBAGAI AJANG UJI KEBERANIAN DAN KEDEWASAAN BAGI LELAKI MUDA NIAS.
Antara
Budaya Batu dan
Omo Niha
Oleh Johannes M. Hämmerle
Syair tradisional Nias yang dituturkan melalui para tetua saat ini semakin memudar keasliannya. Museum Pusaka Nias mencoba melindu n gi budaya Nias, mulai dari membuat catatan, mengoleksi ti n ggalan leluhur, h i n gga membangun kembali rumah adat.
4 sisipan nat i ona l ge og r a p hic • juni 20 07
UKIRAN YANG TERDAPAT DI OMO BALE (BALAI PERTEMUAN), SALAH SATU KOLEKSI MUSEUM PUSAKA NIAS
nia s 5
M
esozochö Bu’ulölö telah memukau saya. Den gan daya inga tnya yang kuat dan tanpa mem b aca sebuah catatan, ia melantunkan syair Hoho tanpa terputu s . Saya dan re k a n - rekan segera mencatat dan merekam tradisi lisan yang dapat men g u n gkapkan masa lalu Nias yang disampaikan Mesozochö dalam gaya bertutur Nias Selatan. Di sebuah desa trad i s i onal, Hilinawalö-Fau, saya kali pertama bertemu Mesozoch ö , yang seri n gkali disapa Ama Sama, sekitar tahun 1987. Mengingat pertemuan itu , saya kerapkali tertawa saat memandang wajah Me s ozochö yang masih berusia sekitar 47 tahu n . Berkumis tebal, wajahnya menu n tun ingatan saya kep ada ra ut Al bert Ei n s tein, sang profe s orfisika kenamaan. Saya beberapa kali menemu i nya hingga tahun 1987 di Desa Hilinawalö-Fau dan desa tetangga , Onohondrö. Pada pertemu a n pertemuan itu saya dan rekan-rekan terus melakukan pencatatan syairsyair trad i s i onal yang keluar dari bi bir Mesozoch ö . Seb a gai salah satu ahli Hoho, ia dapat menu n tun saya menyingkap asal-usul, silsilah, dan keh idupan lelu hur Nias. Saat ini para ahli Hoho semakin sulit ditemukan dan keaslian Hoho pun kian pudar. Di Kecamatan Gomo, Ka bu p a ten Nias Selatan, saya menjumpai seorang tokoh masya rakat Ama Wa’ö Telaumbanua, yang menceritakan seja rah kedatangan para lelu hu r. Kata Go m o, m enu rutnya, m emiliki makna Owo–Gomo–Om o, yang bera rti Pera hu – G omo–Rumah. Penghuni pertama pulau ini menumpang pera hu lalu terdampar di Nias. Kata Owo kemudian men galami gejala perubahan bahasa men jadi Gomo dan lamakelamaan berubah hingga terben tuklah kata Om o, yang bera rti rumah. Ama Wa’ö ju ga mengatakan, kata orahu yang bera rti men gadakan rapat berasal dari kata pera hu . “Rasanya seperti kita du duk dalam su a tu pera hu dan berbi c a ra satu sama lain dalam perjalanan kita,” u ja rnya. 6 sisipan nat i ona l geo g r a phic • jun i 2 00 7
Meskipun ketera n gan itu tak dapat dibu k tikan kebenarannya, namun m emiliki tu juan jelas: m elukiskan seja rah ked a t a n gan ibu pertama dari s eberang laut a n . Leluhur itu bernama Nandrua yang terdampar di Nias, l a lu ia menelusuri Su n gai Susua ke arah hulu hingga pertemuan mu a ra Sungai Gomo. Sang ibu lalu ju ga menelusuri Su n gai Gomo ke arah ut a ra dan menetap di Desa Sifalagö Gomo. Tempat ini disebut pula Börönadu, yang pertama kali ditemukan atau dibuat patung para leluhur. Tradisi lisan lainnya ju ga men gisahkan nenek moyang manusia Nias: h oho si ofa boro danomo, yang bera rti tutu ran tentang empat leluhur, ya i tu Hia, G ozo, D aeli, dan Hulu. Leluhur Daeli pertama kali bermukim di T ö l a m aera , Lembah Idanoi, 11 kilom eter ke sebelah selatan Gu nung Sitoli, l a lu meny u su ri su n gai itu ke bagian hulu sekitar lima kilom eter. Penutu ran ini telah men dorong saya mengunju n gi Desa Onow aem bo Idan oi , yang berada di Lembah Id a n oi yang termasuk wilayah Kecamatan L ö l ö fitu Moi. Ketu runan leluhur Daeli kemudian men i n ggalkan Tölam aera dan mem buka permukiman baru sekitar satu kilometer ke ara h mu a ra , Desa Onow aem bo. Ku n ju n gan itu membawa hasil yang su n gguh tak terdu ga . Selain d i perkaya waw a n c a ra Sa romböwö Gea, seri n gkali dipanggil Ama Asa’el i , saya ju ga mendapatkan su sunan silsilah atau tambo yang tersimpan ra p i s ejak zaman kolonial Belanda. Cucu Saromböwö Gea, Yasosökhi Gea, ternyata telah berupaya keras meny u sun tradisi lisan sang kakek dan men getiknya sebanyak sepuluh halaman pada kertas beru k u ran folio. Berbekal hasil-hasil pen elu su ra n , saya mulai dapat meny u sun silsilah dan mem bukukan yang bersumber pada tradisi lisan di beberapa wilayah. Namun sebuah pertanyaan mu n c u l : Ba gaimanakah habitat Orang Nias p ada zaman purbakala? Saya mendapatkan jawabannya yang saya
Menjadi bagian pelestari budaya, keluarga Ama Asilia Telaumbanua berkumpul di ruang dalam Omo Hada (halaman sebelah) di Desa Sifaoro’asi, Gomo, Nias Selatan. Rumah ini memiliki konstruksi yang khas pada bagian luarnya (atas).
ni as 7
Berseragam prajurit Nias, seorang remaja pria memeragakan salah satu koleksi Museum Pusaka Nias di Gunung Sitoli, Kabupaten Nias. Seragam itu terdiri dari topi pelindung vaze-vaze, rompi kulit kayu baro oholu, tameng dan pedang khas Nias, tologu.
tuangkan dalam Hikaya Nadu, buku yang terbit tahun 1995. Salah s eorang penutur yang menjadi nara sumber, Ama Ra fisa Giawa dari Dusun Orahili, Desa Balöhili di hulu Su n gai Gomo menceritakan, Ibu Sirici m enu runkan keenam anaknya ke Bumi den gan memakai liana laga ra , tu m buhan yang biasanya merambat pada pepo h on a n . Namun laga ra itu telah rapuh dan keenam anaknya jatuh. Ternyata ada anak leluhur itu yang hidup di tajuk po h on , yang disebut Sowanua atau Ono Mbela. Keh i dupan orang po h on ten tu sangat berbeda den gan para pen ghu n i gua. Saya terus memikirkan makna tradisi lisan yang ditutu rkan oleh Ama Ra fisa. ”Jatuh ke bawah tanah, apa artinya?” saya men ggumamkan poton gan lisan itu . Saya mencoba men a rik sebuah kesimpulan, yang hidup di bawah tanah ialah orang di dalam gua. Du gaan ini telah menuntun saya dan beberapa rekan dari Mu s eum Pusaka Nias serta seorang peneliti a rkeo l ogi dari Universitas Ai rl a n gga, Surabaya, Yusuf E rn awan untu k m en gadakan ekskavasi yang pertama di Gua Tögi Ndraw a, yang berja ra k hanya sekitar dua kilom eter dari pantai ti mur Gunung Sitoli pada 1999. Mel a lui penel i tian lanjut a n , p a ra arkeo l og telah membu k tikan bahwa gua ini dihuni manusia sejak 12.000 tahun lalu. Di dalamnya, terdapat lapisan debu , abu, dan tanah setebal empat meter lebih yang men ga n du n g banyak informasi tentang keh i dupan para lelu hu r. Berdasarkan penemuan alat-alat batu , para penel i ti menyimpulkan, pen ghuni gua itu tergolong pada akhir peri ode paleolitik atau awal peri ode mesoliti k . Menu rut Hubert Fore s ti er, a rkeolog dari Prancis, gua ini hingga saat ini adalah yang tertua di In donesia bagian bara t .
8 sisipan nat i ona l g eo g r a phic • jun i 2 00 7
Pa ra peneliti memang telah mem berikan su a tu kesimpulan, namun b a gi saya Tögi Ndrawa masih tetap menyimpan misteri . Pada tahun 1.150 M, gua ini masih dihuni dan sekitar sera tus lima puluh tahun kemu d i a n d i ti n ggalkan para pemu k i m nya. Hal ini telah mengusik pikiran saya: Men gapa mereka per gi? Salah satu jawaban yang dapat diajukan adalah kemajuan yang berasal dari pen ga ruh luar yang men gi n trusi kehidupan Nias. Pertanyaan beri k utnya, dari mana datangnya pen ga ruh itu? Saya m en coba mem buat dugaan: ia datang dari kaum pendatang asal Ch i n a yang tiba di Pulau Nias melalui Pel a buhan Si n gk u a n g, Tapanuli Selatan. Apabila melihat peta, kita akan menemukan Kota Singkuang di s ebelah ut a ra di pantai barat Su m a tra. Menyeberang laut ke arah barat, kita akan tiba di Nias pada wi l ayah Kecamatan Lahusa dan Gomo. Jaraknya hanya sekitar 110 kilom eter, lebih dekat dibandingkan perjalanan Si bo l ga menu ju Gunung Sitoli. Sekitar 500 tahun lalu, pusat perkembangan Nias terl etak di tepi Sungai Susua dan Su n gai Gomo dan kini term a sukpada wi l ayah kedua kecamatan itu. Pen ga ruh China membawa sejumlah pen get a huan dan keterampilan b a gi lelu hur Nias: mem buat patung kayu, menhir, dan megalit lainnya s erta teknik bertani dan beternak. D a ri sini pula muncul ars i tektur ru m a h adat Nias dan kemudian terus berkembang. Saya menemukan contoh pen ga ruh China itu: Kepala naga yang terdapat pada pega n gan atau ga gang ped a n g, b a gian muka rumah bangs awan, peti mayat dan sejumlah megalit di daerah Lahu s a – G omo. Pen ga ruh itu yang menyebabkan para penghuni gua keluar dari rumah asli mereka, gua dan tajuk po h on. Dengan mem perh i tu n gkan ketu runan para imigran itu (sejak Ibu Nandru a, Sad awa Mölö, dan seterusnya) maka kita dapat mem perkirakan masa perpindahan lelu hur Nias, dari dalam gua menu ju ruang terbu k a . Bila kita asumsikan satu generasi adalah 25 tahu n , maka dalam silsilah p a ra imigran yang mengh i tung sekitar 25 generasi kita akan kembali ke akhir abad ke-14. Pa ra pendatang ten tu men galami ke sulitan berad a pt a s i di rimba Nias dan tak langsung mampu mendirikan megalit dan rumahrumah adat. M.G. Th om s en yang bersama istri nya men jadi do k ter di Nias selama 35 tahun melakukan penelitian men genai umur megalit. Mel a lui pen gh itu n gan genera s i , ia menunjukkan umur ti n ggalan lelu hur itu tak melebi h i angka 500 tahu n . Mem a n g, m etode penen tuan umur megalit didasark a n p ada pen gh i tu n gan urutan generasi, sebab Orang Nias masih men getahui l eluhur mereka yang telah men d i rikan mega l i t - m egalit terten tu . D a ri hasil penelu su ran itu, saya kembali men a rik sebuah hipotesis: Ma nusia dari Si n gkuang men gi n trusi kem a juan ke Tanah Nias. Pa ra pendatang ini di antaranya membawa kapak manusia (Fato Niha) yang sangat dibutuhkan dalam mendirikan rumah adat serta memahat megalit. Hi potesis-hipotesis itu men ggerakkan saya untuk meneliti perkemb a n gan ars i te k tur Nias. Saya berkeyakinan bu d aya ini berkembang pert ama kali di wilayah di mana Su n gai Gomo bermu a ra ke Sungai Susua, yang biasanya disebut Talu Zusua dan Gomo. Rumah asli Gomo dibangun den gan kedua sisi dinding vertikal yang memikul atap. Kendatipun saat ini kedua dinding itu terdiri dari papan vertikal dan beberapa ti n gkatan balok hori zontal di tengahnya, kita harus mem erh a tikan bahwa
Patung ini merupakan peralatan dapur untuk alat peras batang tebu. Tebu dimasukkan ke dalam lubang dan dibengkokkan. Air yang keluar dari hasil patahan akan mengalir ke bawah.
Adu Zatua, patung leluhur dari batu.
papan pada masa itu hampir tidak ad a . Mereka tak memiliki gergaji sebagai pemotong dan pem bentuk kayu bulat. Seri n gkali rumah ad a t G omo mem beri kesan agak rustikal. Saat ini, s eb a gian besar rumah trad i s i onal Nias dapat kita temukan di bagian selatan pulau yang berjumlah sekitar 3.000 rumah. Na mun jika mengunjungi saudara m ereka di bagian ut a ra , ru m a h - rumah ters ebut kini diperk i rakan hanya sebanyak 250 rumah. Keunikan Nias tak hanya berh en ti pada ru m a h - rumah adat. Apabila m eny u su ri permukiman trad i s i onal, kita akan dapat men a rik sebuah benang merah yang kuat: Tak ada rumah adat yang tak memiliki situs megalitik. Kedu a nya memiliki hu bu n gan yang begi tu erat karena pada masa itu peresmian rumah adat yang baru akan diikuti dengan pen d i rian su a tu mega l i t . Sang pemilik men ja mu seluruh warga desa dan men ggelar pe s t a s ec a ra be s a r. Seb a gai tindakan balas jasa, p a ra warga men d i rikan mega l i t di depan rumah adat ters ebut . Melihat nilai ke k ayaan bu d aya itu , Museum Pusaka Nias menaruh perh a tian besar terh adap konservasi rumah adat dan benda-benda megalitik lainnya. Sejak 1995, pihak mu s eum mulai men gerahkan beberapa tukang kayu untuk men gerjakan miniatur dari beberapa rumah adat di Nias yang memiliki konsep ars i tektur berbeda. Mereka melakukannya den gan teliti dan hati-hati. Kini mu s eum telah memiliki 14 rumah mini den gan skala 1:10, yang dikerjakan den gan sangat tel i ti, den gan kayu yang bermutu dan tanpa memakai paku pada antarsambungannya. Hasil kerja keras itu mendapatkan pujian dari Prof. Dr. E ri ch Lehner serta para do s en lainnya dari Universitas Teknik Vienna dan TU Gra z , Au s tria. Mereka berk u n jung ke Provinsi Su m a tra Ut a ra t a hun 2003 untuk melakukan studi perbandingan arsite k tur di empat wilayah: Karo, Simalungun, Toba, dan Nias. Mereka men gatakan kepada saya, koleksi miniatu r rumah-rumah adat itu merupakan yang terbaik dari koleksi-koleksi yang pernah mereka saksikan dan kunjungi. Saat ini telah banyak kampung mega l i tik yang diti n ggalkan para penghuninya yang berpindah ke tempat lain. Batu monumen tanda jasa itu dibi a rkan begi tu saja tanpa ada pen gawasan. Pencurian tinggalan-ti n ggalan ini seri n gkali terjad i , terutama selama beberapa de k ade lalu. Saya pun hanya dapat men gelus dada ketika mendengar beri t a bahwa seorang pemilik megalit kedapatan menyelundu pkan benda lelu hur itu ke luar negeri. Pada 2001, sebu a h m enhir antropom orf bernama Lawölö Gaho dari tepi Sungai Susua dijual oleh pemiliknya dan rencananya akan d i l elang di New York den gan harga 150.000 dolar AS. Pihak berwajib memang telah sering menangkap para pedagang ilega l , yang beru jung pada proses pen gadilan dan penyitaan bara n g. Namun, ben d a - benda bu d aya Nias itu tak pernah lagi kembali ke tempat asalnya dan kelamaan l enyap bagaikan ditelan Bu m i . Perusakan benda megalit bukan hanya karena pencurian tetapi ju ga perusakan karena perkelahian dan pemu s-
10 sisipan nat i ona l ge og r a p hic • juni 20 07
Sandal dari kayu.
Adu Zamu, patung kayu pra j u r i t.
nahan untuk menghilangkan bu k ti kepemilikan tanah dan lainnya. Pada April lalu, saya dan beberapa rekan dari Museum Pusaka Nias m en g u n ju n gi desa purba di Kecamatan Lahömi, di dekat De s a O n o l i m bu yang terdapat kubu ran Gömi, l eluhur marga Daeli di Nias Ba ra t . Dan, kami terpera n jat begi tu mendapatkan fakta bahwa ternyata banyak batu pen i n ggalan masa lalu telah hancur atau dihancurkan. Saya begi tu sedih sebab batu megalit adalah ti n ggalan yang tak lekang dimakan waktu dan tak tergerus panas serta hu jan. Berbeda den gan ru m a h - rumah ad a t . Bu k ti bu d aya permu k i m a n itu terancam oleh ti ga hal: kondisi alam, h a r ga kayu, dan bi aya perawatan atap ru m bia yang tinggi , dan adat Nias sendiri. Den ga n l a jukerusakan hutan yang cepat, kayu-kayu keras berkualitas ti n ggi s emakin sulit didapati dan menyebabkan harga pen jualan menjad i tak terjangkau. Adat Nias yang mengh a ruskan setiap pembangunan yang dilakukan harus didahu lui den gan pemoton gan babi telah m enyulitkan para generasi pen eru s . Dan akhirnya Orang Gomo bisa menunjuk rumah adat yang b a ru dibangun dan mengatakan, “Hi z a , amatela mbawi !” (lihatlah bangkai babi itu!). Hal ini men ga n dung makna, banyak sekali babi yang telah disem belih pada pembangunan rumah adat itu sehingga pemilik rumah menjadi ja tuh miskin. Saya sempat mengunjungi Za n d roto, mantan Camat Gomo, yang bercerita bahwa ketika ia masih men jabat kepala kecamatan berkeliling selu ruh desa dan m enyerukan, ”Janganlah membangun rumah adat lagi! Janganlah m en ghambu rkan uangmu! Pakailah uang itu untuk menyekolahkan anak-anakmu!” Meskipun kompleks mu s eum ju ga banyak men a n ggung kerusakan akibat guncangan gempa bu m i , namun para pengelolanya terl ebih dahulu mem erh a tikan upaya perbaikan bagi rumah-rumah adat yang menjadi hunian keluarga. ” Setiap upaya perbaikan yang kami lakukan atas bantuan donatur kami anggap seb a gai bagi a n d a ri koleksi mu s eum kita,” u jar Nata Alui Du h a , wakil direktur mu s eum. Ten tu saja, ru m a h - rumah adat itu bukan hanya dipandang seb a gai benda koleksi semata saja , m elainkan mereka ju ga m emainkan fungs i nya seb a gai benda yang didiami manusia (Omo Niha). Mereka akan menjadi saksi bersama bu d aya batu Nias. !
Ornamen ukiran kayu pada Omo Hada.
Balo Hogo, mahko ta emas.
Lentera terbuat dari kuninga n .
Alat parut kelapa khas tradisional Nias.
n i a s 11
Tanah
Ono Niha Usai
Bencana
Oleh Nurlisa Ginting dan Johannes M. Hämmerle
Menjadi bagian dari upacara adat untuk meresmikan Omo Hada, para ibu membawakan tarian elang di Desa Sifaoro’asi, Kecamatan Gomo, Nias Selatan.
S
eorang ars i tek, bekas mahasiswa Universitas Sumatra Ut a ra yang b a ru saja kembali dari perjalanannya di Pulau Nias memaparkan sebuah ide penataan ruang wi l ayah itu pada sembilan tahun lalu. Ia m en ga jukan beberapa proposal, salah satunya pembangunan re s or yang ramah lingk u n ga n . Den gan antusiasme yang ti n ggi , ia mengungkapkan bahwa ia akan men ggubah salah satu ruang pesisir Teluk Dalam, di Nias Selatan, m en jadi tempat di mana wi s a t awan menemukan su r ga dunia. Mel a lui debur ombak dan pasir putih serta men t a ri jingga menyatu den gan hori s on samu d ra , ia men gi n ginkan kon s epnya itu akan men ga ntarkan para pelesir menikmati keindahan taman nirwana. “Dalam proyek ini, ruang aktivitas sekadar bagian alam yang dipay u n gi yang tak akan merusak tanah, fauna dan flora . Tapi kita tetap harus m enata se q u en ce-nya,” sang ars i tek menjelaskan. Saat para wi s a t awan m em a suki kompleks ini, l a ut akan dibingkai den gan gerbang batu, yang m erupakan lambang dari bu d aya mega l i tik Tanah Nias. Bi n gkai itu akan m en jadi sem acam jen dela yang akan men ga n t a rkan pandangan kita ke a rah laut lepas di had a p a n nya. Ia juga merencanakan membangun semacam dermaga sebagai jeda menikmati pe s ona laut . Pada dermaga itu, anak-anak dapat leluasa menikmati sejumlah permainan: layang-layang, bers eped a , atau sekadar berd i ri di tepian mem bi a rkan wajah diterpa
12 sisipan nati o na l geo g r a phi c • ju ni 2 0 07
angin. Dalam sketsa-sketsa yang ia tawarkan, ia men ggambarkan para pelancong ten gah mencoba olahra ga selancar dan menyelami kehidupan bawah laut Nias yang dipenuhi kumpulan teru m bu kara n g. “Ini men a ra tempat bebas untuk menyapu pandangan ke segala ara h , l a ut yang luas atau ri m bun kelapa di pantai. Ju ga bukit di atas sana,” uja rnya. Berja jar di sep a n jang pantai berpasir putih itu, ia telah men ga l o k a s ikan lahan untuk pembangunan pondok-pon dok rumah panggung den gan kon s truksi kayu kelapa tanpa pasak. Kon s truksi ini men gacu kepada kon s ep rumah trad i s i onal Nias yang sangat resistan terhadap guncanga n gempa. Ru m a h - rumah itu dibangun den gan sambu n gan stru k tur tidak ri gi d, namun diberi pen den gan ruang untuk bergerak di antara sendinya. Pemilihan serat kelapa sebagai salah satu bahan baku bangunan didasarkan pada keters ediaan bahan ters ebut yang melimpah di Nias. Memakai sistem pres tekanan ti n ggi , serat kelapa dapat men jadi papan u n tukdinding, lantai dan atap. Di i n tegrasikan den gan sistem surya pasif, di mana udara dan teri k matahari disiasati sec a ra alamiah, bahan or ganik dari limbah pertanian kelapa dapat men jadi solusi untuk isolasi panas khatu l i s tiwa. Sem en t a ra kon s ep ener gi nya mandiri , m emanfaatkan angin pantai dan limpahan sinar surya. “ Bayangkan, di satu ruang kita nyaman oleh sokon ga n produk bu d aya modern , su rfing, divi n g. Di ruang lain kita belajar tentang ke a rifan bu d aya trad i s i onal. Semua ruang itu ada di Nias. Dahsyat!” lanjutnya den gan penuh semangat. Ars i tek adalah pemimpi den gan bunga ti dur yang sel a lu indah. Ei f fel yang mendapat cem ooh tak berh en ti menancapkan men a ra baja di atas Pa ris demi mewujudkan impian. Bila tak ada mimpi kita dapat
Anak-anak membantu orang tua mereka berbelanja sembako di desa tetangga.
n i a s 13
Memanggul kayu bakar untuk menyuplai energi ruang masak, seorang ibu kembali dari hutan menuju Desa Hiliamaetaniha .
membaya n gkan bagaimana Pa ris tanpa Men a ra Ei f fel? Gu run pasir yang panas bahkan bisa mengundang decak kagum dunia ketika ars i tek Mesir Kuno merancang Piramida. Kami seri n gkali harus mengurut dada ketika m enyad a ri kualitas su m ber daya manusia yang lemah menjadi biang kel adi ke adaan ini. Di ten gah eksotika pesisir Nias yang menawan, s eorang teman bahkan men ggambarkan kota Gu nung Sitoli seb a gai layar raksasa berw a rna abu - a bu yang kusam tanpa bergairah. Pembangunan infra s tru k tur yang mem adai men jadi salah satu kunci pen ting agar suatu tempat mudah dikunjungi para pendatang. Di samping itu ju ga dibutuhkan dimensi-dimensi yang bersifat non fisik. Betapa mimpi seorang ars i tek tak dapat berd i ri sendiri. Mimpi untuk men ggubah ruang, h a rus ditopang oleh infra s tru k tu r, s i s tem dan kesiapan serta keikut s ertaan warga lokal. Jika tidak, mimpi itu seperti men a ra gad i n g, angkuh tak tergapai. Padahal cita-cita mulia ars i tek dalam setiap pen c i ptaan ruang dan lingk u n gan buatan (built envi ronment) adalah menjamin m a nusia nyaman, secara fisik maupun sosial. Tetapi negeri ini begi tu kepayahan den gan hantaman krisis moneter. An gga ran untuk pembangunan men jadi barang mahal. Investasi swasta ju ga kehilangan semangat. Ap a l a giuntuk pulau yang tidak mudah diakses seperti Nias. Sampai ketika dunia terh enyak oleh gempa dan gelombang tsunami p ada 26 De s em ber 2004 yang melanda Nias dan beberapa deretan pesisir lainnya, disusul oleh gempa dahsyat men gguncang Nias pada 28 Maret 2005. Na mun Tuhan Sang Pemelihara Alam telah memiliki skenario rahasia. Bencana dahsyat gempa dan gelombang tsunami telah membuka mata dunia, m em beliakkan mata kem a nusiaan kita. Tak kurang dari 20 pem erintah berbagai nega ra dan 80 agency terlibat dalam pembangunan kembali Nias. Dunia telah datang ke Nias den gan segala niat baiknya. Berb a gai rencana dicanangkan, pembangunan fisik sampai pembangunan komu n itas. Pembangunan empat pilar untuk rehabilitasi Nias, meliputi perumahan dan permu k i m a n , i n f ras tru k tu r, pembangunan ekonomi, institusi dan pen gem b a n gan su m ber daya manusia. Hi n gga tahun 2006, BRR melaporkan telah dibangun 9.461 unit rumah permanen, 576 rumah semi permanen, 173,8 k i l om eter jalan raya, 73 jembatan, 4.653 ha perbaikan i ri gasi, 26 pasar, dan 1.510 lahan pertanian direhabilitasi. Peningkatan pendidikan dan kualitas su m ber daya rakyat Nias ju ga telah dijalankan. Terdapat 244 sekolah TK sampai SMU serta 2 universitas yang telah selesai dibangun. Memang belum menyelesaikan seluruh pers oa l a n , namun pembangunan terus dijalankan. Dalam bidang bangunan dan ars i tektur, progra m reh a bilitasi Nias menekankan pada standar bangunan tahan gempa. Beberapa lem b a ga swad aya masyarakat dan universitas bahkan ten gah mengem b a n gkan kon s ep ars i tektur berkelanjut a n , di mana bangunan bukan merupakan artefak yang terpisah dari
14 sisipan nati o na l geo g r a ph ic • ju ni 2 0 07
alam, tetapi menya tu dalam jeja ring ekosistem yang sinergis. Menerapkan prinsip yang ramah terh adap lingk u n ga n , lembaga-lembaga itu melatih u n tuk mengusai teknik bangunan yang bersahabat sekaligus antisipatif terh adap gejala alam. Ini semua persis dengan impian sang ars i tek, bekas mahasiswa itu sem bilan tahun lalu. Berbagai program yang telah dicanangkan masih diliputi kekhaw a ti ran akan ad a nya kesen ja n gan antara rencana dan implementasi, terutama yang menyangkut kapasitas pem erintah dan masyarakat. Semuanya memang butuh waktu , tenaga, pemikiran dan ten tu saja dana. Na mun optimisme yang paling mendasar adalah saat dunia telah datang dan melihat bahwa Nias yang luluh lantak ternyata memiliki berbagai po tensi. Lautnya men janjikan po tensi perikanan dan pariwisata. D a ra tnya m enu n ggu pen gelolaan berkelanjutan bidang pertanian dan perkebunan. Situs-situs purbakala di pulau eksotis ini adalah seja rah yang sarat makna dan penget a huan. Masya ra k a tnya sen d i ri menjadi po tensi utama yang sangat pen ting untuk dikem b a n gkan kapasitasnya. Saat ini, s ejumlah rumah adat di de s a - desa trad i s i onal teru s m enu n ggu ulu ran bantuan, kendati masa bencana telah berjalan sekitar dua tahun lamanya. Konstruksi trad i s i onal yang telah terbu k ti mampu m enyelamatkan jiwa Orang Nias itu tampak merana. Badan Rehabilitasi dan Rekon s truksi (BRR) Nias memang telah mengizinkan re konstruksi s era tus rumah adat di seluruh pulau den gan bi aya yang diberikan sebe s a r lima sampai 20 juta rupiah per satu unit. Jumlah yang minim bi l a d i b a n d i n gkan pembangunan kembali rumah modern sebesar 55 jut a rupiah per unit. Berhem bus kabar dari beberapa tempat bahwa seorang pemilik rumah
Acara potong babi berkaitan dengan upacara adat. Tingkat konsumsi daging babi di Nias tinggi dikarenakan banyak upacara adat yang mengharuskan pemotongan babi dalam pelaksanaan upacara.
n i a s 15
Musyarawarah warga di Omo Sebua Bawömataluo dihadiri oleh para keturunan bangsawan, tetua adat, dan perwakilan pemerintah daerah.
adat akan mendapat bantuan bila ia membangun rumah yang berkonstruksi campuran antara semen dan pasir. Ada pula yang pemilik rumah adat yang men gatakan bahwa keluarganya telah bersusah payah m em perbaiki sen d i ri seb a gian kerusakan rumah adat milik mereka n a mun para pem beri bantuan ju s tru memilih mem berikan bantuan rumah masa kini. Bila terjadi demikian maka pel e s t a rian bu d aya Nias s eperti berjalan di tempat. Kepri h a tinan akan kondisi rumah adat telah mendapat perh a tian Paul S. Ber g, Kon sul Am erika Serikat di Sumatera Utara yang bermukim di Medan. Bersama Dona Welton, Cultu re Attache Kedutaan Besar Ameri k a di Jakarta, ia menyetujui usulan Museum Pusaka Nias untu k m em perbaiki dua rumah adat yang sangat unik di Desa De k h a , Kecamatan Ma’u, dan di Du sun Tulumbaho, Kecamatan Lölöfitu Moi. Museum Pusaka Nias den gan sen ga ja memilih beberapa rumah ad a t yang punya nilai plus dan yang spe s i fik bagi satu daerah seperti du a rumah itu yang dibantu oleh Paul S. Ber g. Di Kecamatan Bawölato, satusatunya rumah adat yang masih dapat dilihat di tepi jalan telah mendapat b a n tuan dari pihak mu s eum setelah bencana terjad i . Rencana pembangunan kembali rumah adat yang masih terus berjalan dan bahkan ada rumah yang telah rebah ke tanah , s eperti di Du sun Hililaora , Desa Hilidohöna. Di Kecamatan Gomo, yang men jadi perkem b a n gan teknik dan arsite k tur rumah adat berawal, kini hampir tak lagi dapat dijumpai rumah adat yang berd i ri dengan ga gah. Menyad a ri bu d aya yang nayris punah itu , Nata’alui Duha dari Mu s eum Pusaka Nias mengunjungi de s a i tu untuk berjumpa Ama Ucok Tel a u m b a nua di dusun Orahili Sibohou
16 sisipan nati o na l ge og r a ph ic • ju ni 2 0 07
dan Ama Asalia Telaumbanua di Desa Si f a oro’asi Gomo. Ia memberi b a n tuan dan doron gan agar mereka membangun kembali rumah ad a t mere k a . Pasalnya, kedua rumah itu sangat unik dan dipenuhi ukira n . Beberapa waktu lalu, rumah adat milik Asa Asalia telah selesai diperbaiki dan pesta peresmian hasil renovasi digelar yang ditandai den ga n pemoton gan ternak: babi. Upaya mel e s t a rikan rumah-rumah adat yang tertimpa bencana tak s eluruhnya berl a n gsung mu lus. Pengelola mu s eum sempat menjumpai keluarga bangs awan yang mew a risi Omo Sebua yang membi a rkan rumah i tu tak terawat. Selama dua tahun air hu jan dibi a rkan mem a suki ruangan dalam dan mereka tak mem berikan izin kep ada orang lain atau warga desa untuk memperbaikinya. Kelu a r ga pew a ris yang men i n ggalkan Omo Sebua sebelum bencana gempa seben a rnya berkei n ginan menjual u k i ra n - u k i ran yang terdapat pada rumah itu . Di tempat lain seeri n gkali didapatkan kabar bahwa para warga desa l ebih menyukai apabila mendapatkan bantuan rumah yang berbahan dasar campuran semen dan pasir dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Bantuan yang diberikan donor pun kerap men gabaikan pem b angunan kembali rumah adat. Warga yang rumah ad a tnya memerlukan perbaikan kini dilanda kebi n g u n gan dan rasa putus asa. Mereka dihad a pkan pada suatu pilihan, m em el i h a ra tradisi dan bu d aya den gan bertahan di atas rumah adat yang rusak atau meninggalkannya demi mendapatkan rumah bantuan yang bergaya modern . Upaya pembangunan kembali s eh a ru s nya men jadi peluang revitalisasi nilai-nilai bu d aya Nias yang saat ini terancam lenyap, bukan lantas meninggalkannya.
Panorama mentari tenggelam di horison Samudra Hindia mempercantik Desa Bawömataluo. Dari sanalah nama desa ini diberikan, Bawömataluo berarti bukit matahari.
n i a s 17
Duka
Hunian Oleh Feri Latief
Sebagai reka ulang cara membela diri di masa lalu, tari perang kini menjadi salah satu atraksi budaya yang menggambarkan kepahlawanan para penduduk desa dalam mempertahankan desanya dari serbuan musuh.
Sang
Raja
aya mengusap wajah yang terkena air hu jan saat mem bonceng sepeda motor Corn elius. Selu ruh pakaian saya basah, padahal saya telah memakai jas hu jan seb a gai pel i n du n g.Saya hanya dapat berdoa agar air tak menem bus tas kamera dan komputer jinjing yang ju ga telah ditutupi pel i n du n g. Seraya ber juang menem bus hu jan dan rasa dingin, Corn elius berupaya keras men ja ga laju sepeda motor yang saya boncen gi ini saat melintasi jalan tanah yang licin. Air yang ja tuh dari langit itu tak berh en ti mengguyur tanah Nias sejak kemarin. Setelah menunggu sejak pukul 08.00 WIB, saya akhirnya memutuskan untuk tetap per gi , m em bonceng sepeda motor Corn elius, pemu d a lokal yang akan mengantarkan dalam per jalanan menyusu ri desa trad isional Pulau Nias. Saat arl oji saya bergeser dari pukul 14.00, kami mu l a i melintasi jalan aspal dari Pantai Sora ke menu ju Desa Bawömataluo, salah satu desa trad i s i onal di kawasan Kabupaten Nias Selatan. Di sana, saya telah ditu n ggu Ama Feri, w a r ga desa yang akan mengantarkan kami menjejalahi desa-desa trad i s i onal lainnya. Berada di sebelah ut a ra dari Kota Teluk Dalam, perjalanan ke Baw ö m ataluo hanya menghabiskan waktu tempuh sekitar dua puluh menit. Seperti kebanyakan desa trad i s i onal lainnya, Bawömataluo dibangun di atas tanah kawasan perbukitan ter jal yang sulit dijangkau. Pasalnya, desa yang dahulu dipimpin oleh seorang ra ja ini di masa lalu harus mem benten gi dirinya dari serangan mu suh yang datang dari desa lain. Hu jan belum lagi reda saat kami tiba di Bawömataluo, desa trad i s i onal yang memiliki akses jalan yang paling bagus dan relatif l ebih mudah dicapai dibandingkan desa trad i s i onal lainnya. Un tuk mem a suki gerbang desa, kami harus menapaki deretan anak tangga. Pada kedua sisi deretan
S
18 sisipan nat i onal ge o gr a p hic • juni 20 07
anak tangga paling bawah saya tert a rik den gan patung batu megalit den gan motif lasara (kepala naga ) . Semen t a radi ujung yang lain terdapat semacam gerbang yang ju ga beranak tangga. Jalan ini akan membawa kita ke lokasi pemandian warga yang disebut h el e, yang alat pancurnya terbu a t d a ri pahatan batu andesit yang telah berusia ra tusan tahu n . Tiba di puncak anak tangga di gerbang desa, saya memandangi sekelil i n g. Karena desa ini terl etak di atas puncak bukit, untuk mencapai gerbangnya harus menaiki 88 anak tangga den gan kemiringan 45 dera jat. Dari sini kita dapat memandang Sa mu d ra Hindia. Dan apabila hari menjelang sen ja , panorama matahari terbenam di ga ris hori s on. Itulah sebabnya desa ini dinamakan Bawömataluo, yang bera rti Bukit Matahari. Dari penataan lanskap perumahan warga nya, Bawömataluo memiliki pola yang unik, sebagaimana yang dicirikan oleh de s a - desa trad i s i onal Nias Selatan. Di pusat desa selalu ada ruang terbuka yang cukup luas dan terdapat sebuah rumah besar yang berada di poros pola jalan yang berben tuk tegak lurus, di mana ketu runan ra ja bermu k i m . Rumah yang disebut Omo Sebua itu diapit oleh rumah-rumah adat yang lebih kecil (Omo Hada), yang menjadi tempat tinggal para warga . Mem a suki permukiman warga , kami segera menemui Ama Feri pad a salah satu Omo Had a . Di temani Ama Fifin, Ama Feri menyambut kami den gan ramah dan hangat. Keduanya be ker ja secara suka rela untuk sebuah lem b a ga swadaya masya rakat di bidang kebu d ayan Nias. Tanpa sempat men gganti pakaian yang basah, saya menu ruti ajakan Ama Feri: berkeliling desa. Tu juan kunjungan kami yang pertama: Omo Sebu a . Kini, rumah ra ja itu ditinggali oleh Moarota Fa u , 52 tahun, yang merupakan generasi kelima ketu runan Ra ja Laduo Fau yang pernah berkuasa di Nias Selatan. Meskipun hanya singgah sejenak, kami sempat berbi c a ra den gan Moarota. Rencananya, selama beberapa hari ke depan saya akan tinggal di rumah ini. Berawal dari bagian mu k a , saya mulai mengambil sejumlah el em en vi sual dari rumah besar kaum bangsawan ini. Tanpa sadar, saya berdecak kagum dan memuji kon s truksi bangunan yang diselesaikan pembangunannya pada 1878. Tinggi keselu ruhan rumah ini mencapai 24 meter, panja n gnya sekitar 30 meter dan lebar antardinding pada bagian dalam sekitar sembilan meter. Tiang-tiang kayu laban yang mem a n jang dan memikul bangunan terlihat begi tu menakjubkan. Seng telah men gga ntikan daun ru m bia seb a gai bahan penutup di bagian atap, yang memiliki tinggi sekitar dua perti ga dari tinggi keseluruhan. Dahu lu , penutup dari ayaman daun rumbia yang disebut lango mbumbu i tu akan semakin kuat oleh asap, residu pembakaran kayu, yang keluar dari bagian dapur. Usai melihat beberapa bagian, terutama bagian dalam, kekaguman saya berganti den gan kesedihan. Bangunan tertinggi dan paling menonjol di Baw ö m a t a luo itu saat ini tak lagi dalam kondisi yang bu gar. Kon s truksi rumah ini dalam kondisi miring sebab tiang penyangga sebelah kanan m elesak ke dalam akibat stru k tur tanah usai gempa bumi. Wa jah Omo Sebua bagaikan mencerminkan kemu raman pariwisata Nias. Tersapu gel ombang tsunami 26 De s em ber 2004 dan diguncang gempa bumi pada 28 Maret 2005, kegiatan pariwisata di pulau yang terb a gi men jadi dua kabupaten (Nias dan Nias Selatan) ini seperti seorang n i a s 19
Bertahan dari guncangan gempa bumi, hunian sang raja, Omo Sebua, mencoba bertahan di Desa Bawömataluo.
Berjalan kaki atau menumpang kendaraan roda dua, dua pilihan menuju Desa Hilinawalö Mazinö, salah satu desa di pedalaman Nias.
petinju yang mendapatkan dua pukulan telak hingga terkapar di atas kanvas ring. G empa berkekuatan 8,7 Skala Ri ch ter itu telah merusakkan seb a gian besar infras truktur dan bangunan di dua kota utama: Gunung Sitoli dan Teluk Dalam. Sebuah kantor penerangan pariwisata di Lagundri tak lagi bera k tivitas, yang men galami kerusakan akibat gempa dan kekura n gan wi s a t awan yang ingin men c a ri informasi. Sejumlah desa trad i s i onal ju ga men jadi korban gempa. Namun, rumah-rumah adat (Omo Sebu a dan Omo Hada) ju s tru men jadi saksi kekuatan trad i s i onal dalam men gh adapi peri s tiwa alam. Meskipun telah menyelamatkan ra tusan jiwa, rumah-rumah adat berusia tua tetap m em erlukan pembangunan kembali, terutama pada bagian yang rusak akibat gempa. Menu rut Pastor Johannes M. Hämmerl e – – pen d i ri sekaligus direktur Museum Pusaka Nias, di Gunung Sitoli, rumah-rumah adat di Desa Hilimondregeraya dan di beberapa desa trad i s i onal di Kecamatan Teluk Dalam, hingga kini belum mendapat bantuan perbaikan. Pembangunan kembali ju ga dibutuhkan bagi tinggalan-tinggalan mega l i tik. Pa ra penel i ti dari Balai Arkeologi Medan mengkhawatirkan kondisi obyek-obyek purbakala yang menjadi iden titas fisik ketrad i s i on a lan wi l ayah ini akibat diterpa dua bencana. Mereka meminta para pihak untuk memerhatikan obyek-obyek itu saat program pembangunan kembali mulai dijalankan. Dalam upaya pemulihan pariwisata, Richard Engelhardt dari UNESCO dan Graham Brooks dari ICOMOS men ga jukan sejumlah rekomendasi dan mel a porkan hasil penilaian seusai melakukan kunjungan lapangan. Keduanya menuliskan usulan stra tegi untuk pengem b a n gan pariwi s a t a dalam beberapa tahapan waktu: pendek, menengah, dan panjang. Dalam l a poran itu disebutkan, Pulau Nias berpotensi untuk diajukan ke dalam Wa risan Du n i a . Usulan juga datang dari Pastor Johannes dan Nata'alui Du h a , w akil direktur Museum Pusaka Nias. Saat melakukan pertemuan den gan Wi lliam Sabandar, Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekon s truksi (BRR) Nias, keduanya memperlihatkan ra n c a n gan konsep sirk u i t bu d aya dan wisata yang men gelilingi sejumlah desa trad i s i onal di beberapa kawasan Nias Selatan,
yang berp ijak pada warisan rumah adat, mega l i tik dan bu d aya. Meskipun saya belum dapat mencicipi usulan ters ebut , selama empat belas h a ri mengunju n gi Nias, saya masih sempat melakukan per jalanan bersama sang Pastor. Den gan ramah, ia menaw a rkan saya mengunjungi Desa Sifaoro'asi (bermakna tempat yang dapat melihat laut ) , Kecamatan Gomo, sekitar 90 kilom eter dari Gunung Sitoli. Di sana, saya dapat mendokumentasikan peresmian renovasi rumah adat keluarga Ama Asilia Telaumbanua. Rumah ini hanya mengalami beberapa kerusakan kecil namun ia terl empar sejauh satu meter dari batu umpak fondasinya. Un tuk mencapai Desa Sifaoro'asi, saya h a rus mengalami beberapa kendala, waktu keberangkatan harus tertu n d a karena pengemudi ken d a raan yang saya sewa tak menepati janjinya dan kualitas infra s truktur yang buruk. Saya sempat mendengar cerita bahwa ada warga lokal yang bersyukur tertimpa bencana sebab BRR memperbaiki sejumlah akses jalan. Upac a ra adat yang dilakukan di Desa Si f a oro'asi memang unik. Ada beberapa ri tual yang dilakukan dan berpuncak pada pemoton gan seekor ternak: babi, yang dihargai dua juta rupiah per ekor. Menu rut Pastor, dalam sebuah renovasi rumah adat babi yang dipen ggal dapat mencapai 100 ekor. Namun, semua itu bergantung pada kemampuan pemilik rumah. Dalam rekon s trusi rumah Ama Asilia tersebut hanya mengurbankan sekitar sepuluh ekor babi . Usai mengikuti upac a ra, saya memilih menelusu ri jejak megalit di wi l ayah Gomo, yang memiliki artefak-artefak batu berusia ra tusan tahu n ini yang dapat dijumpai di halaman-halaman rumah pen du duk. Menu rut kepala desa, setidaknya ditemukan 14 situs batu megalit. Namun yang sudah dibuka untuk umum baru empat situs, yang telah dipugar pem erintah. Selu ruh situs itu terl etak di ladang dan hutan di daerah Idanötae, Lahusa Sa tua dan Tundrum Ba h o. Untuk menu ju ke sana hanya dapat ditempuh den gan berjalan kaki atau ken d a raan roda dua. Itu pun saya harus menyeberangi arus su n gai dan berjalan kaki di kawasan perbukitan yang kemiringan kontu rnya mencapai 45 dera jat. Rasa lelah pun terb ayar ketika mendapati de s a - desa trad isional den gan bu d aya yang khas dan menyapa keunikan alamnya yang men jadi impian bagi para petualang mancanega ra . !
Menyambut para tamu, Lasara, patung kepala Naga khas Nias di gerbang Desa Bawömataluo.
Seorang anak menatap panorama Bawömataluo, gereja berlatar Samudra Hindia.
Peta Pariwisata Budaya dan Alam Nias Perpaduan alam yang khas dengan budaya yang unik, Pulau Nias memiliki sejumlah potensi kunjungan wisata.
Langkah Menuju Nias Pulau seluas 5.625 kilometer persegi ini dapat dicapai dari dua kota utama: Medan (Sumatra Utara) dan Pa d a n g (Sumatra Barat). Penerbangan dari Bandara Polonia, Medan akan mengantarkan kita menuju Bandara Binaka, Gunung Sitoli. Dari Padang, terdapat dua pilihan rute, udara atau laut. Selain itu, para pelesir dapat memilih penyeberangan feri melalui Kota Sibolga, Sumatra Utara. Tiba di Nias, sejumlah pilihan wisata telah menanti kunjungan para pelancong.
Museum Pusaka Nias Tempat konservasi sekaligus salah satu pilihan wisata budaya bagi tetamu jauh. Museum yang menyimpan berbagai tinggalan para leluhur Nias juga menjadi tempat re k reasi warga lokal..
Alat batu peninggalan megalitik Nias
B e b e rapa pantai menjadi pilihan peselancar dunia
Pilihan Peselancar Dunia Pantai pasir putih menjadi perpaduan yang menarik bagi para pencari ombak. Beberapa lokasi selancar seringkali didatangi para pemain kelas dunia, yang menjadi peluang pengembangan ekoturisme di masa mendatang.