Memiliki relasi adalah hal yang penting bagi setiap manusia. Adanya relasi, menurut „need to belong theory‟ (Baumeister & Leary, 1995), merupakan sebuah kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan hal negatif, seperti depresi, kecemasan dan rasa kesendirian (loneliness). Namun sebaliknya,
ketika kebutuhan untuk berelasi ini terpenuhi, maka orang akan
menjadi bahagia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Newcomb & Bagwell (1996) bahwa anak yang tidak memiliki teman akan memiliki kompetensi sosial dan penyesuaian diri yang rendah serta terlihat lebih agresif dibandingkan anak-anak yang memiliki teman. French, Jansen, Riansari, & Setiono (2003) juga menemukan bahwa anak-anak yang tidak memiliki teman untuk selalu bersama (mutual friends) berperilaku yang lebih agresif, lebih senang untuk menyendiri, dan memiliki prestasi akademik yang rendah. Hal ini terlihat pada salah satu kasus di lapangan saat penulis menjalani Praktik Kerja Profesi. Klien hampir tidak pernah diajak berbicara oleh teman sekelasnya., bahkan dihindari oleh teman sekelasnya. Hal ini membuat remaja ini merasa kesepian, cemas, selalu memandang dirinya buruk (low self-esteem) dan sering merasa sedih. Ia selalu menganggap dirinya bodoh dan teman-temannya lebih cepat menangkap pelajaran dibandingkan dirinya. Relasi merupakan hubungan interdependensi dengan orang lain sehingga kesulitan yang dialami akan menjadi lingkaran atau timbal balik. Dengan minimnya teman yang dimiliki, ia tidak memiliki lahan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan sosial dalam mengelola interdependen dengan temannya. Ia menjadi tidak tahu bagaimana mengelola perbedaan ekspetasi dan bagaimana menyesuaikan diri 2
dengan berbagai ekspektasi yang berbeda dalam sebuah pertemanan (Collins & Madsen, 2006). Dengan proses yang ia alami, ketika terdapat konflik, ia hanya menghindar sehingga tidak ada teman yang mau berteman dengan dirinya karena merasa ia tidak mau untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan teman-temannya. Keberadaan
teman
dianggap
penting,
baik
untuk
perkembangan
kemampuan sosial emosi maupun dalam meningkatkan fungsi akademik. Dalam kasus kelompok yang dilakukan oleh penulis saat melakukan konseling kelompok dalam Praktik Kerja Profesi di SMA, diketahui bahwa para siswa juga memasukkan pertimbangan teman termasuk dalam pertimbangan yang cukup berpengaruh dalam memilih jurusan pendidikan tingkat tinggi. Pertimbangan teman muncul setelah adanya pertimbangan orang tua dan saudara. Teman juga dianggap sebagai sumber informasi maupun pendukung saat seseorang memilih sebuah jurusan. Di samping itu, keberadaan teman juga terkadang menjadi pengaruh yang negatif, seperti mengajak teman yang lain agar tidak mengerjakan tugas atau bersama-sama dalam mencontek tugas sekolah saat guru tidak masuk kelas, maupun sama-sama ke kantin saat guru tidak masuk ke kelas. Relasi merupakan hubungan saling mempengaruhi terhadap orang lain, sehingga perubahan terhadap satu orang akan mempengaruhi yang lain, atau sebaliknya (Kelley, dalam Perlman & Vangelisti, 2006). Dalam definisi ini dijelaskan bahwa sebuah relasi memiliki Interdependensi ini
ketergantungan (interdependency).
dapat berupa afeksi, kognisi dan perilaku (aksi) yang
memberikan pengaruh pada teman. Namun, bentuk relasi pertemanan menjadi berbeda dengan relasi lainnya, karena karakteristik lain seperti (a) posisi yang 3
sederajat (b) adanya kenyamanan satu sama lain (c) rasa percaya (d) saling memberikan dukungan (e) saling menerima (f) saling menghormati (g) kebersamaan (h) saling memahami dan (i) saling menunjukkan keintiman atau saling berbagi (David dan Todd, 1985). Selain itu, bentuk relasi pertemanan merupakan sebuah relasi yang sukarela (voluntary) terjalin, tidak termasuk relasi yang given. Para siswa memiliki pilihan untuk memilih yang akan menjadi teman mereka, sehingga variasi interaksi yang terjadi akan beragam (VanLear, Koerner, & Allen, 2006). Karakteristik relasi pertemanan dapat dijelaskan dengan cara melihat norma komunal dan norma exchange. Dalam penjelasan Clark & Mills (2011), close relationship (relasi dekat) didominasi oleh norma komunal dan norma exchange tidak cocok diterapkan pada close relationship. Pada norma komunal, setiap manfaat yang diberikan oleh orang lain memiliki motif untuk meningkatkan kesejahteraan temannya. Orang yang memberikan manfaat (donor) tidak memiliki ekspektasi bahwa orang yang menerima manfaat (recipient) akan membalas atau mengembalikan manfaat atau berlaku yang sama terhadapnya. Terdapat harapan apabila donor membutuhkan sesuatu, recipient akan membantu donor walaupun dalam bentuk yang berbeda. Namun, dalam norma exchange, recipient memiliki kewajiban untuk mengembalikan manfaat yang diberikan oleh donor. Dalam penelitian Miller, et al.(2014) mengenai relasi pertemanan pada populasi India dan Amerika, diketahui bahwa tidak semua close relationship menggunakan communal norm. Populasi India memiliki relasi pertemanan yang lebih kental dengan communal norm dibanding relasi pertemanan pada populasi Amerika. 4
Namun, relasi pertemanan pada populasi Amerika lebih cocok dengan exchange norm. French,
Pidada,
&
Victor
(2005)
melakukan
penelitian
untuk
membandingkan beberapa aspek pertemanan di Indonesia dan Amerika. Mereka membandingkan empat dimensi pertemanan seperti friendship closeness, enhancement of worth, instrumental aid, dan extensivity dan exclusivity. Keempat aspek ini dilihat dengan menggunakan kuesioner Modified-Friendship Quality Questionnaire. Dari penelitian tersebut, remaja Indonesia memiliki kedekatan dalam pertemanan yang lebih rendah, tidak terlalu fokus pada peningkatan rasa berharga, lebih fokus pada dukungan instrumental dan lebih ekstensif dibandingkan remaja Amerika. Untuk menjelaskan gambaran relasi pertemanan menjadi lebih jelas, French, Bae, Pidada, & Lee (2006) melanjutkan penelitian tersebut dengan hipotesis bahwa negara Indonesia dan Korea Selatan merupakan negara kolektivisme. Namun dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa yang konsisten dengan hipotesis Triandis mengenai budaya kolektivisme adalah negara Korea Selatan, sedangkan negara Indonesia tidak sesuai dengan budaya kolektivisme yang dibahas Triandis. Remaja Indonesia menunjukkan intimasi yang terbatas pada teman dekatnya dan memiliki karakter ekstensif dalam kontak sosial,
dibandingkan
remaja
di
Korea
Selatan.
Adanya
perbandingan-
perbandingan aspek antar berbagai budaya, dapat menjelaskan pola interaksi sosial, namun hanya sebagian/parsial. Pemaknaan yang dibangun dari aspek-aspek tersebut bisa jadi tidak menyeluruh dan tidak menggambarkan apa yang terjadi pada interaksi sosial pertemanan remaja di Indonesia. 5
Konteks pertemanan menjadi sangat penting dalam perkembangan remaja. Menurut John Hill (dalam Steinberg, 2011) terdapat tiga komponen besar yang terjadi pada masa remaja dan komponen tersebut saling mempengaruhi perkembangan remaja. Tiga komponen tersebut adalah perubahan fundamental remaja (meliputi transisi biologis, transisi kognitif, transisi sosial), konteks remaja ( meliputi keluarga, teman sebaya, sekolah, dan pekerjaan, waktu luang serta media sosial ) dan psikososial remaja (meliputi identitas, autonomi, keintiman, seksualitas, achievement, dan permasalahan psikososial). Transisi biologis, kognitif, dan sosial akan selalu terjadi pada setiap remaja namun tidak selalu menghasilkan perkembangan psikososial yang sama, terdapat variasi pada setiap remaja. Perbedaan atau variasi perkembangan psikososial remaja ini dipengaruhi oleh konteks remaja tersebut berkembang. Apakah selama masa remaja, mereka memiliki teman dekat? Sampai titik manakah hubungan pertemanan yang diperoleh? Penelitian ini ingin melihat konteks relasi pertemanan remaja sebagai sebuah konteks tempat remaja berkembang dalam memenuhi perkembangan psikososial. Dengan adanya kerangka berfikir yang disampaikan oleh John Hill (dalam Steinberg, 2011) penelitian ini melihat relasi pertemanan sebagai sebuah konteks untuk mencapai perkembangan psikososial. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa konteks pertemanan menjadi sebuah fasilitas perkembangan psikososial di saat konteks kehidupan yang lain tidak mampu mendukung perkembangan psikososial remaja.
6
Perubahan Fundamental pada Remaja
Konteks Remaja (Lingkungan) 1. Keluarga 2. Kelompok Teman Sebaya (Peer Groups) 3. Sekolah 4. Pekerjaan, Waktu Luang, dan Media Sosial
1. Transisi Biologis 2. Transisi Kognitif 3. Transisi Sosial
Perkembangan Psikososial Remaja 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Identitas Autonomi Intimacy Sexuality Achievement Psychososial Problems
Gambar 1. Kerangka berfikir perkembangan remaja (Hill, dalam Steinberg, 2011)
Ketika melihat relasi pertemanan siswa SMA, tidak terlepas dari usia mereka yang menginjak masa remaja. Larson & Richard (1991) mengatakan bahwa para remaja memang tinggal di rumah orang tuanya, namun sedikit menghabiskan waktu bersama dengan orang tua. Sebagian peneliti mengatakan bahwa
sedikitnya
waktu
bersama
merupakan
meningkatnya
autonomi
(kemandirian) remaja, namun menurut Steinberg dan Silverberg (1986) perilaku ini dikarenakan adanya perpindahan ketergantungan dari orang tua ke teman sebaya mereka. Pada setiap jenjang tahapan perkembangan, terdapat aspek tertentu yang berkembang dalam relasi pertemanan. Pada masa remaja, aspek seperti keintiman, mutuality, dan keterbukaan menjadi lebih terlihat dibandingkan masa-masa sebelumnya (Furman & Buhrmester, 1992). Keintiman memiliki kaitan yang erat dengan kepuasan dalam pertemanan saat awal dan pertengahan masa remaja 7
(Hartup, 1996). Selain itu, aspek sosial-kognitif pada masa remaja sudah sangat terlihat dalam relasi pertemanan. Contohnya, remaja lebih mampu untuk melihat perilaku dan emosi temannya sebagai sebuah kesatuan dari aspek historis, biologis, dan sosial, bukan sekedar persoalan individu dan temannya. Sehingga, ketika seorang remaja memiliki konflik dengan temannya, maka akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk meredakan amarah. Hal ini berbeda, saat anak kecil bermain dan berantem dengan temannya, sesaat setelah proses meminta maaf, mereka akan dapat bermain dengan senang kembali. Relasi pertemanan di sekolah memiliki dua fokus besar, yaitu pemenuhan kompetensi sosial dan fungsi akademis. Wetnzel & Looney (2007) melihat bahwa relasi pertemanan dapat mempromosikan perilaku positif dan motivasi terhadap akademis. Dalam mensosialisasikan hal tersebut Wetnzel dan Looney (2007) melihat bahwa relasi sosial dapat mempengaruhi perkembangan kompetensi melalui tiga cara, yaitu (1) interaksi sosial tersebut mengajarkan siswa mengenai hal yang dibutuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang diterima dan kompeten dalam dunia sosial, (2). Hubungan yang terbangun adalah hubungan yang
mendukung
untuk
memotivasi
siswa
dalam
beradaptasi
dan
menginternalisasi tujuan (goals) sebagai standar mereka, (3). Orang dewasa memberikan intruksi secara langsung dan pelatihan pada keterampilan tertentu. Namun, dalam konteks relasi pertemanan hal ini bisa terpenuhi melalui proses pengaruh terhadap standar dan ekspektasi terhadap bidang akademis. Siswa akan cenderung berusaha untuk menyamakan ekspektasi atau standar-standar yang dimiliki teman. Saat pertemanan yang memiliki norma injuctive lebih kuat, maka 8
kelompok teman sebaya akan berusaha untuk meningkatkan perihal akademis (Hamm, Schmid, Farmer, & Locke, 2011). Dukungan afeksi dari teman akan membantu proses adaptasi pencapaian target dan standar akademis. Di sekolah, guru memegang peranan penting dalam fungsi pedagogis, namun saat siswa beranjak remaja dukungan instrumental yang diberikan teman sebaya, lebih besar dari dukungan yang diberikan oleh guru (Lempers & Clark-Lempers, 1992). Selain itu, dengan adanya teman, siswa akan merasa aman dan nyaman ketika bersekolah, dan hal ini memiliki dampak yang signifikan pada konsep diri akademik dan fungsi emosional siswa (Buhs, 2005). Kaitan antara interaksi sosial dan fungsi akademis, dibahas oleh Wentzel (2009) dengan melihat dua bentuk interaksi sosial dalam proses belajar. Penjelasan mengenai interaksti positif dengan teman sebaya dan fungsi intelektual dijelaskan dari teori Piaget. Piaget melihat bahwa diskusi dengan teman sebaya, belajar dari sudut pandang orang lain, dan resolusi konflik dengan teman sebaya dapat memotivasi siswa untuk mengakomodasi pendekatan baru dalam penyelesaian masalah. Dalam konsep Piaget terdapat proses akomodasi dan asimilasi. Kedua proses ini berguna untuk mencapai equilibrium. Disequlibrium akan terjadi apabila pengetahuan yang sebelumnya tidak mampu dicerna oleh individu karena tidak sesuai dengan pengetahuan sebelumnya. Untuk menjadikan seorang individu mampu memasukkan pengetahuan yang baru, maka pengetahuan yang disediakan oleh lingkungan harus berupa pengetahuan yang diketahui individu dan pengetahuan yang tidak diketahui individu. Proses seperti ini akan membuat seorang individu belajar dan kondisi disequilbrium yang ada dalam 9
individu akan berubah menjadi equilibrium. Dalam kondisi yang nyata, equlibrium
diperoleh
dengan
adanya
interaksi
antara
individu
dengan
lingkungannya (fisik maupun sosial). Selain Piaget, Vygostky juga melihat adanya peran teman sebaya dalam penguasaan akademis. Dalam konsep ini, interaksi sosial sebagai penyangga (scaffolder) menyediakan makna bagi individu untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD). Relasi pertemanan menjadi sebuah support system bagi remaja, disebut juga sebagai Relationship Provision (Sullivan dalam Bukowski, Motzoi, & Meyer, 2009). Relationship Provision mengacu pada pengalaman, kesempatan dan kemampuan dalam relasi. Sebagai contoh, companionship (persahabatan), keintiman dan konflik selalu muncul dalam pertemanan dan memberikan manfaat yang langsung, dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi sosial. Namun, pada relasi masa kanak-kanak, relasi pertemanan yang dicari merupakan relasi yang memberikan dukungan tertentu, seperti kelekatan (afeksi, keamaan, dan kedekatan yang intim), kepercayaan, yang mampu meningkatkan rasa berharga, persahabatan, bimbingan dan dukungan dengan pola pengasuhan. Di samping itu, ada yang mengatakan bahwa Relation Provision dibedakan berdasarkan situasi yang terjadi, yaitu situasi yang membuat stres dan situasi yang tidak membuat stres (Vaux dalam Wills & Shinar,2000) . Saat situasi stres, relasi yan diharapkan adalah untuk memberikan bantuan secara langsung (direct assistence), bimbingan / arahan (guidance), membantu seseorang untuk meregulasi emosi. Sedangkan saat situasi biasa, relasi diharapkan berperan untuk memenuhi keintiman, persahabatan, pemenuhan kebutuhan sense of belonging, 10
percakapan yang mampu membangun harga diri, kesempatan untuk role-play, serta mendukung kemauan/cita-cita/ambisi individu. Demikian pentingnya memiliki dan mempertahankan relasi, sehingga Havighurst memasukkannya dalam salah satu tugas perkembangan remaja. Havighurst (dalam Nurmi, 2004) menjelaskan bahwa setiap umur memiliki tugas perkembangannya sendiri. Ketika tugas perkembangan ini mampu dipenuhi, maka akan memunculkan kebahagiaan dan mendorong kesuksesan pada tugas perkembangan selanjutnya, namun ketika gagal maka akan mengakibatkan rasa tidak bahagia, terkucil dari masyarakat dan mengalami kesulitan untuk memenuhi tugas perkembangan selanjutnya. Tugas perkembangan remaja meliputi mencapai kematangan relasi pertemanan dan memiliki identitas diri, menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga, memiliki kemandirian dari orang tua, dan menyiapkan karir termasuk merencanakan pendidikan. Relasi pertemanan pada usia remaja merupakan pembahasan yang sangat kompleks, namun dapat dijadikan beberapa pembahasan besar, yaitu (1) Karakteristik individu, (2) Karakteristik teman, (3) Karakteristik relasi, (4) Dinamika relasi. Karakteristik individu yang mempengaruhi interaksi dalam relasi pertemanan meliputi karakteristik demografi seperti gender, etnis, latar belakang ekonomi dan sosial, termasuk keterampilan sosial yang terlihat dalam perilaku seperti agresi dan sifat malu. Penemuan yang menarik mengenai karakteristik adalah bahwa tingginya agresi pada seseorang menjadikan seseorang sangat populer atau sangat tidak populer di antara teman-temannya, dibandingkan dengan 11
masa sekolah dasar, teman yang memiliki sifat agresif berkaitan dengan penolakan dari teman-temannya. Penelitian Liu & Chen (2003) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki sifat agresif pada awalnya akan ditolak oleh temantemannya, namun kemudian mereka akan mencari teman yang memiliki kesamaan sifat agresif seperti mereka. Di negara China, prestasi akademik merupakan hal yang sudah mengakar di budaya mereka sehingga sangat sulit untuk mencari teman apabila mereka memiliki pretasi akademik yang rendah atau mengalami kegagalan dalam hal akademik. Mereka akan sulit untuk masuk ke dalam kelompok teman sebaya dengan prestasi akademik yang baik . Karakteristik individu yang juga sering mendapat perhatian adalah perbedaan jenis kelamin dan umur pada setiap penelitian relasi pertemanan. Salah satunya adalah Jones & Costin (1995) melihat perbedaan dari jenis kelamin dan berbagai aspek relasi lebih konsisten dibandingkan perbedaan umur. Perempuan memiliki sifat yang lebih ekpresif dalam menjalankan relasi pertemanan dan lebih dekat pada orientasi komunal. Selain itu, remaja perempuan lebih rendah pada aitem instrumentality (dimana ada pertukaran sesuatu yang nyata) dan orientasi pertukaran. Karakteristik individu yang meliputi grade atau peringkat seseorang dalam kelas menjadi salah satu contoh konkrit karakteristik individu yang termasuk dalam konteks pendidikan. Siswa yang termasuk dalam kategori high-achiever akan memiliki teman sebaya yang terkategori pada high-achiever juga. Siswa dengan high-achiever tidak merasa kehilangan waktu bersama dengan temantemannya karena teman sebayanya tidak akan bermain atau pun jalan-jalan di 12
waktu hari aktif belajar. Dengan aktivitas mereka yang cenderung sama, konflik mengenai waktu senanggang akan minimal untuk terjadi (Witkow, 2009). Karakteristik teman dalam relasi juga seringkali menjadi pembahasan berbagai peneliti. Karakteristik yang dimaksud adalah usia teman, hingga sikap dan perilaku teman. Brendgen, Vitaro, dan Bukowski (2000a) mendapatkan informasi bahwa tingkat perilaku menyimpang seorang teman berkaitan dengan perilaku externalizing dan internalizing pada masa remaja awal. Berndt & Keefe (1995) melakukan penelitian dengan memberikan kuesioner untuk mengetahui keterlibatan dan perilaku mengganggu anak di dalam kelas, kemudian mereka menyebutkan 3 nama teman dekat mereka dan menceritakan mengenai keterlibatan serta perilaku mengganggu temannya di dalam kelas. Selain itu, responden juga mengisi 20 aitem kuesioner mengenai pertemanan mereka, 12 aitem melihat gambaran positif dari pertemanan (intimate self-disclosure, prosocial behavior, dan self-esteem support) dan bentuk negatif (conflict dan rivalry). Guru juga dilibatkan dalam penelitian ini untuk memberikan rating kepada setiap anak untuk mengetahui keterlibatannya dan perilaku mengganggu di dalam kelas. Penelitian ini menemukan bahwa perilaku mengganggu pada remaja di dalam kelas dipengaruhi oleh teman dekat mereka. Ketika dilihat dari gender pun, anak perempuan (yang dapat dipengaruhi oleh teman laki-laki untuk ikut mengganggu kelas) melakukan perbuatan mengganggu di dalam kelas karena dipengaruhi oleh teman dekatnya. Cillessen, Jiang, West, & Laszkowski (2005) melihat bahwa pengaruh perilaku mengganggu akan lebih mudah „menular‟ ke temannya saat kualitas pertemanan mereka baik. 13
Penelitian banyak juga yang membahas mengenai karakteristik relasi. Beberapa peneliti telah memiliki poin-poin karakteristik yang bisa didefinisikan, atau digambarkan dan menggambarkan kualitasnya (Berndt, 1996 ; Hartup, 1993). Sehingga karakteristik menjadi patokan atau standar seberapa sehat dan baik relasi pertemanan yang dimiliki seseorang. Salah satunya penelitian Dishion, Andrews, & Crosby (1995) yang melihat bentuk pertemanan dengan perilaku menyimpang para remaja. Ternyata, remaja dengan perilaku yang menyimpang memiliki bentuk pertemanan yang positif, namun memang terdapat beberapa hal yang negatif
dibandingkan
pertemanan
pada
remaja
yang
tidak
berperilaku
menyimpang (Dishion, Andrews, & Crosby, 1995). Adanya reciprocity (sifat timbal-balik) pada pertemanan dapat memperburuk keadaan, ketika timbal balik dalam pertemanan menjadi tinggi, norma negatif semakin mudah masuk, seperti perilaku membohong dan tidak taat kepada peraturan
(Ciairano, Rabaglietti,
Roggero, Bonino, & Beyers, 2007). Karakteristik relasi pertemanan sangat bervariasi dan berdampak pada kualitas pertemanan. Berikut ini, merupakan beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat aspek yang terlihat dalam relasi pertemanan. Penelitian Cillessen, Jiang, West, & Laszkowski (2005) menggunakan lima dimensi untuk menentukan kualitas pertemanan yaitu melihat frekuensi konflik, kedekatan, persahabatan, saling membantu, dan rasa aman yang dilihat dari self-report dan laporan dari teman sebaya mengenai agresi, perilaku prososial. Dari penelitian ini ditemukan bahwa karakter teman yang agresif memiliki bentuk pertemanan yang banyak konflik dan rendah pada aspek positif pertemanan (kedekatan, persahabatan, 14
saling membantu, dan memunculkan rasa aman). Sedangkan teman yang memiliki perilaku prososial memiliki sedikit konflik dalam pertemanan dan memiliki aspek positif pertemanan yang tinggi. Pada penelitian Meurling, Ray, & Lobello (1999) menggunakan 7 dimensi dalam menjelaskan kualitas pertemanan. Dimensi tersebut adalah caring (menyayangi – „membuat saya merasa baik mengenai ide yang saya berikan, mengatakan bahwa aku hebat, membuat aku merasa penting dan spesial‟), conflict resolution („mudah reda ketika memiliki konflik dengan teman, dapat menyelesaikan argumen dengan cepat, dan saling membicarakan mengenai apa yang membuat marah satu sama lain), conflict/betrayal ( memiliki argumentasi yang sulit diselesaikan, seringkali mudah marah, seringkali berantem), help/guidance (membantu sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, saling membantu satu sama lain mengenai tugas sekolah, memberikan saran untuk menyelesaikan suatu hal), companionship (sering duduk bersama saat makan siang, selalu menjemput satu sama lain, selalu bermain bersama saat jam istirahat), intimacy (selalu mengatakan permasalahan pribadi masing-masing, akan berbicara mengenai hal-hal yang membuat diri sendiri sedih, membicarakan kejadian yang membuat marah), exclusivity (aku menyukainya lebih dari yang lain di dalam kelas, lebih sering bermain dengan dia, lebih menyukai dia daripada temanku yang lain). Semua aspek yang telah dijelaskan di atas berasal dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan teman secara bersama-sama dan dikelompokkan menjadi aspek tertentu. Kegiatan yang dilakukan dalam pertemanan biasanya meliputi kegiatan 15
yang mengandung kesenangan, a sense of belonging, adanya kesempatan untuk memberikan instruksi dan belajar bersama, serta aktivitas eksploratif (Hartup, 1992). Aktivitas tersebut akan mendorong individu untuk mengetahui kesukaan temannya; keterbukaan terhadap pemikiran yang bersifat privasi; terbuka mengenai kompetensi akademik, sosial dan olahraga serta membangun relasi sosial (Larson, 2001). Marthur & Berndt (2006) menemukan bahwa terdapat 40 aktivitas yang dapat dilakukan seorang remaja bersama dengan teman-temannya. Penelitian ini melihat aktivitas yang dilakukan remaja umur 9 dan 14 tahun. Remaja usia 14 tahun berpartisipasi lebih banyak pada aktivitas yang berkaitan dengan sekolah, kegiatan mendekatkan kebersamaan dengan satu sama lain / maintenance (makan bersama, jalan ke mall, membeli permen ke toko, berkeliling di seputaran rumah), media dan sosialisasi. Siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan sosialisasi, sekolah dan aktivitas maintenance memiliki bentuk pertemanan yang lebih positif (keintiman, interaksi prososial, dan peningkatan harga diri). Ketika aktivitas pertemanan pada kedua umur tersebut dibandingkan, aktivitas yang berkaitan dengan sekolah meningkat dari umur 9 ke umur 14. Marthur dan Berndt (2006) menjelaskan bahwa perubahan tersebut merupakan bagian dari tugas sekolah. Di masa Sekolah Menengah Atas, lebih banyak tugastugas yang dikerjakan berkelompok sehingga dapat diselesaikan dengan teman dan menjadi aktivitas bersama. Di samping itu, aktivitas bermain merupakan aktivitas yang sangat penting bagi pertemanan di usia 9 tahun, dan kemudian menurun saat usia 14 tahun.
16
Banyak aktivitas dan aspek yang berpengaruh dalam relasi pertemanan, namun dalam penelitian Faturochman (2014) mengenai relasi pertemanan terlihat bahwa komponen relasi yang menonjol adalah kecocokan, kebersamaan, dan dukungan. Kecocokan merupakan adanya kesamaan karakteristik individu dan karakteristik teman dan bisa menjadi sebuah syarat relasi pertemanan atau merupakan hasil relasi pertemanan (pengaruh). Kebersamaan/persahabatan/companionship. Kebersamaan yang begitu sering menjadi prediktor adanya companionship (persahabatan) dalam relasi pertemanan. Parker & Asher (1993) menjelaskan bahwa persahabatan dalam pertemanan menggambarkan kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan bersama dengan teman dekatnya.
Kebersamaan yang dilakukan dalam relasi
pertemanan akan membuka zona nyaman sehingga muncul kedekatan emosional. Dengan terbukanya zona nyaman, seseorang dapat mengeksplor dan memvalidasi mengenai identitas dirinya (Call & Mortimer, 2001). Terbukanya zona nyaman pada individu akan memudahkan seseorang dalam membuka dirinya (self-disclosure). Self-disclosure akan membuat orang lain memahami situasi, pemikiran, dan perasaan seseorang sehingga membentuk alur tertentu dan relasi pertemanan menjadi intim (Fehr, 2004). Reis & Shaver (1988) mengusulkan konsep, bahwa keintiman merupakan proses interpersonal yang terjadi ketika seseorang dekat secara emosional dan mendengarkan pengalaman orang lain, dengan menjadi pendengar yang responsif. Respons yang diberikan oleh pendengar dan dukungan yang menimbulkan kepercayaan dan mereka akan memvalidasi mengenai kedekatan. Dalam teman dekat, keterbukaan 17
partisipan juga menjadi tanda bagi pendengar untuk menemui/menemukan tingkatan yang sama mengenai bagaimana cara merespon dan menerima, memberikan dukungan dan percaya pada keterbukaan lawan bicara. Saat pertemanan sudah mencapai adanya self-disclosure dapat dikatakan bahwa pertemanan tersebut sudah mulai intim (Hartup & Steven, 1997). Dukungan (support). Dukungan merupakan salah satu hal yang paling penting dalam menjalin relasi. Dukungan yang terjadi secara resiprokal (timbal balik) menjadi salah satu ciri relasi pertemanan, yang membedakan relasi pertemanan dengan relasi saudara (Buuk & Prins, 1998). Konten dukungan dari relasi saudara dan teman pun berbeda, dalam relasi pertemanan, dukungan yang diberikan adalah dukungan emosional, sedangkan pada saudara dukungan lebih bersifat praktis (Voorpostel & Van Der Lippe, 2007). Walaupun berbeda bentuk dukungan yang diberikan dari saudara dan teman, namun mekanisme dukungan yang diberikan tidak terdapat perbedaan. Wellman & Wortley (1990) menjelaskan bahwa dalam memberikan dukungan terdapat beberapa mekanisme seperti adanya kecenderungan untuk mendukung, adanya kesamaan dan ketidaksamaan, akses dan kekuatan. Kesamaan dan ketidaksamaan dapat meliputi identitas (jenis kelamin) ataupun karakteristik lain yang menonjol. Akses berkaitan dengan jangkauan geografis, apakah berada dalam satu kota atau tidak. Kekuatan berkaitan dengan kedekatan teman secara emosional sehingga memudahkan masuknya dukungan ke penerima dukungan. Bokhorst, Sumter, dan Westernber (2010) melihat bahwa dukungan sosial dari orang tua dan teman termasuk dukungan sosial yang sangat menonjol. 18
Namun, pada usia 16-18 tahun, dukungan sosial teman melebihi dukungan yang diberikan oleh orang tua. Dukungan dari guru berupa dukungan informasi dan dukungan tersebut dirasakan menurun saat usia yang lebih dewasa, hal ini berkaitan dengan masa transisi antara sekolah dasar dan secondary school. Untuk melihat perbedaan jenis dukungan yang diberikan, Hombrados-Mendieta, GomezJacinto, Dominguez-Fuentes, Garcia-Leiva, & Castro-Trave (2012) mengadakan penelitian dan melihat bahwa dukungan yang paling dirasakan oleh siswa adalah ibu, ayah, teman dan guru. Urutan ini berlaku antara usia 12 hingga usia 14 tahun, namun saat siswa mencapai 15 tahun dukungan dari teman dirasakan lebih besar daripada dukungan yang diberikan oleh orang tua. Jenis dukungan yang diberikan oleh sumber dukungan bermacam-macam, seperti dukungan emosional, instrumental atau informasi. Dari penelitian yang dilakukan oleh HombradosMendieta,dkk (2012) dengan subjek berusia 12 hingga 18 tahun, dukungan yang dirasakan dari teman adalah dukungan informasi dan emosional. Sedangkan dalam penelitian French, Pidada, & Victor (2005) dengan subjek usia 17-22 tahun , dukungan yang muncul dalam relasi pertemanan berupa dukungan instrumental. Keempat, adalah dinamika relasi, yaitu mengenai apa yang terjadi selama adanya interaksi. Pertemanan merupakan relasi yang dipenuhi ketergantungan (interdependensi). Interdependence terjadi ketika perilaku atau apa yang dilakukan oleh seseorang bergantung pada orang lain, dan sebaliknya. Terdapat dua bentuk interdependensi, yaitu negative interdependence dan positive interdependence. Ketika yang terjadi dalam sebuah relasi adalah positive interdependence, kemudian akan muncul rasa saling membantu, rasa saling percaya, adanya 19
pertukaran (exchange) mengenai beberapa hal yang dibutuhkan, komunikasi yang efektif dan manajemen konflik yang membangun (Deutsch dalam Rusbult & Van Lange, 2003).
Gambar 2. Bentuk interdependensi Saat kualitas interaksi sudah mulai menjadi lebih erat, individu akan lebih mudah terpengaruh. Misalnya, adanya interaksi dengan orang yang bermasalah akan mempengaruhi perilaku seseorang dan mengarahkannya menjadi perilaku antisosial (Wissink & Meijer, 2009) seperti saat berteman dengan orang yang tidak taat kepada peraturan, maka teman lain akan terpengaruh (Haynie, 2001), saat berteman dekat dengan orang yang merokok dan meminum alkohol maka akan meningkatkan kecenderungan temannya untuk ikut merokok dan meminum alkohol (Urberg, Degirmencioglu, & Colleen, 1997), memiliki teman dekat dengan tingkat kesehatan mental yang rendah akan meningkatkan kecenderungan seseorang untuk mengalami depresi dan marah serta memiliki resiliensi yang rendah (Sameroff & Peck dalam Cook, Deng, & Morgano, 2007). Di sisi lain, karakteristik positif juga berpengaruh pada pertemanan, seperti berteman dengan seseorang yang memiliki orientasi terhadap akademik yang tingi akan
20
meningkatkan kecenderungan untuk meningkatnya prestasi akademik di sekolah (Crosnoe, Cavanagh, & Elder, 2003). Bentuk interaksi antar komponen dapat bervariasi sesuai dengan bentuk relasi. VanLear, Koemer, & Allen (2006) membedakan bentuk relasi sosial dan personal berdasarkan pada keintiman, kedekatan dan interdependensi. Pada relasi personal, pertemanan terasa lebih dekat, lebih intim dan saling mempengaruhi, sedangkan pertemanan dalam relasi sosial memiliki keintiman, dan kedekatan yang lebih terasa dangkal, atau tidak begitu mendalam. Dalam relasi pertemanan, teman dekat (best/close friends) masuk ke dalam relasi personal, sedangkan teman kelas (classroom friend/casual friends) dapat masuk ke dalam kategori relasi sosial. Perbedaan dinamika relasi ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik individu, misalnya perbandingan kegiatan yang dilakukan antara remaja yang high-low achiever pada penelitian Witkow (2009). Siswa yang highachieve cenderung memiliki teman sebaya yang high achiever juga, dan mereka memiliki keterikatan dengan kelompok teman sebaya yang memiliki ekspektasi dan norma kelompok yang mengarah pada pembelajaran. Hal ini disebabkan karena dengan pembentukan tersebut, tidak terdapat pengurangan waktu bersama teman di dalam hari aktif (weekday) untuk melakukan aktivitas bersama teman. Sehingga, konflik di antara individu high achiever dan teman-teman mereka tidak terlalu tinggi untuk menentukan apakah mereka pergi bermain, atau belajar. Berbeda dengan remaja low-achiever, remaja yang high achiever menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman mereka di saat akhir pekan dibandingkan ketika 21
hari aktif. Remaja high-achiever akan mendapatkan indeks prestasi yang lebih tinggi, dan akan menggunakan sedikit waktu untuk bersama dengan teman-teman mereka. Namun, di saat tuntutan akademis tidak terlalu tinggi, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman mereka. Adanya perubahan tuntutan ini, tidak memiliki pengaruh pada pola aktivitas anak dengan lowachiever. Dari bentuk relasi pertemanan, dapat juga dilihat interaksi antar komponen dari sudut pandang Teori model relasi Fiske (Fiske dalam Fiske & Haslam, 1997). Fiske mengusulkan adanya empat model relasi yaitu Communal Sharing (CS), Authority Ranking (AR), Equality Matching (EM), dan Market Pricing (MP). Dalam relasi CS, orang merasa sepadan dan memiliki orientasi kesamaan, tidak pada perbedaan. Partisipan dalam relasi CS meliputi perasaan „in-group’ dan memiliki kebersamaan dan terlihat kompak dalam melakukan aktivitas sosial. Relasi AR memiliki nilai yang terorganisirsebagai satu status hirarki yang linear seperti rantai perintah, dimana hak istimewa dan tanggung jawab diurutkan berdasarkan ranking. Dalam relasi EM, terdapat pertukaran bolak balik yang untuk mendapatkan keseimbangan. Partisipan EM menerima dirinya sebagai individu yang berelasi dengan orang lain secara sederajat. Relasi MP menekankan pada makna rasio. Partisipan dalam relasi MP menganggap dirinya sebagai individu yang memiliki potensi penilaian yang berbeda. Penemuan bahwa pertemanan berkaitan dengan prestasi akademik menjadi bukti bahwa teman dapat memfasilitasi penyesuaian akademis (Berndt, 1999). Dalam penelitian French (French, Jansen, Riansari, & Setiono, 2003) ditemukan 22
bahwa bentuk pertemanan yang sangat menonjol pada anak-anak Indonesia dan Amerika adalah menyelesaikan tugas sekolah secara bersama-sama, sehingga anak-anak yangtidak memiliki teman maka tidak akan mendapatkan bantuan tersebut. Bukti ini menjadi jembatan dalam menjawab pertanyaan mengapa anakanak yang tidak disukai oleh teman mengalami penurunan akademis. Melihat keterkaitan konteks pertemanan dengan bidang pendidikan, Allison M. Ryan (2011) mencoba melihat relasi pertemanan dan penyesuaian akademik pada anak awal remaja. Artikel dari Ryan (2011) ingin melihat pembagian tipe relasi pertemanan dengan proses penyesuaian akademis di sekolah, dan mempertimbangkan aspek penyesuaian akademis siswa di sekolah. Ia meriviu beberapa penelitian yang
menjelaskan relasi teman sebaya dan
kaitannya dengan penyesuaian diri di sekolah melalui motivasi akademis, keterikatan dengan hal akademis dan prestasi akademis. Dari berbagai penelitian yang menjadi pertimbangan, ia merasa adanya keterbatasan dalam jumlah penelitian yang melihat kaitan antara relasi pertemanan yang berfokus pada fungsi pembelajaran di dalam kelas. Penelitian Molloy, Gest, & Rulison (2011) melihat tipe relasi pertemanan dibedakan dari interaksi yang terjadi, seperti reciprocated friendships, frequent interactions, dan shared group memberships. Penelitian Molloy, Gest, & Rulison (2011) ingin melihat perbedaan tipe relasi pertemanan dengan konsep diri akademik dan keterampilan akademis siswa. Namun ternyata, hasil dari penelitian ini terlihat bahwa pembagian tipe relasi pertemanan ini overlap antar tipe relasi. Hal ini sesuai dengan keinginan peneliti yang ingin melihat pengaruh pembagian 23
tipe relasi ini secara natural, yaitu di lapangan tidak ada tipe relasi pertemanan yang benar-benar membagi dengan jelas. Dari penelitian ini terlihat bahwa perbedaan tipe relasi pertemanan penting untuk melihat perubahan pada penyesuaian akademik, namun khusus pada tingkat 7. Hamm, Schmid, Farmer, & Locke (2011) berusaha untuk menjelaskan pengaruh teman sebaya dan penyesuaian akademis dengan membedakan tipe norma kelompok teman sebaya dan relasinya dengan penyesuaian akademis. Tipe norma kelompok tersebut dibagi menjadi dua, yaitu descriptive norm dimana perilaku atau nilai yang menggambarkan kelompok, dan injuctive norm yaitu persepsi individu mengenai perilaku dan nilai yang diperkirakan berada dalam kelompok. Konsep descriptive dan injuctive juga dapat dijelaskan dengan konsep ideal (injuctive) dan real (descriptive). Saat keadaan ideal yang dibayangkan teman sebaya tidak sesuai dengan kondisi atau kenyataannya akan mempengaruhi teman yang lain dalam keadaan yang seimbang. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kelompok teman sebaya memiliki injuctive norm. Aspek usaha yang dilakukan remaja awal, dan kecenderungan sekolah berkaitan secara positif dengan injuctive norm kelompok teman sebaya. Penyesuaian akademis akan meningkat ketika siswa dalam kelompok teman sebaya yang memiliki norma injuctive yang lebih kuat dalam hal usaha akademis dan prestasi akademis dibandingkan keseimbangan dalam norma deskriptif. Wilson, Karimpour, & Rodkin (2011) melakukan penelitian dengan melihat struktur kelompok teman sebaya, relasinya dengan social centrality, dan prestasi akademis. Mereka melihat dari dua dimensi struktur kelompok teman 24
sebaya, yaitu : hierarcy dan cohesion. Hierarki melihat pada keseimbangan atau ketidakseimbangan dalam kelompok, dan dapat digambarkan dengan sejauh mana kelompok tersebut hirarki atau egaliter. Kohesif menggambarkan ikatan atau hubungan antar anggota kelompok yang erat. Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa kelompok teman sebaya dalam penelitian ini lebih mengarah pada hierarki daripada berbentuk egalitarian. Pada penelitian ini, kelompok yang bersifat hierarki memiliki pengaruh pada rendahnya prestasi akademik matematika dan membaca; namun saat kelompok menjadi hierarki maka terdapat pemusatan (centrality) dalam kelas. Anak dalam kelompok teman sebaya yang hierarkis tidak akan terlalu saling merasa memiliki satu sama lain, dan terkadang mereka tidak terlalu nyaman untuk berpartisipasi dalam kelas. Dengan begitu, saat hal tersebut terjadi, beberapa peneliti mencoba untuk meningkatkan partisipasi siswa yang lain sehingga mampu untuk meningkatkan motivasi belajar dan berprestasi. Veronneau & Dishion (2011) dalam penelitiannya melihat bagaimana karakteristik teman dapat mempengaruhi prestasi akademis seseorang. Selain itu, penelitian ini juga melihat perilaku sosial yang bermasalah lainnya dan perilaku yang menunjukkan keterikatan anak dengan sekolah (school engagement) sebagai prediktor. Penelitian ini menemukan ketika seorang siswa berteman dengan karakteristik teman yang memiliki perilaku bermasalah, maka akan berpengaruh pada menurunnya prestasi akademik siswa di sekolah. Ditambah lagi, apabila interaksi dalam relasi pertemanan tersebut lebih sering. Menurunnya prestasi akademik siswa di sekolah ini bisa dimediasi dengan adanya aktivitas yang tidak 25
terikat dengan sekolah seperti mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Di peneletian yang lain, saat seseorang berteman dengan teman yang memiliki perilaku bermasalah, akan lebih banyak bercakap-cakap mengenai hal-hal yang tidak baik, dan akan meningkatkan perilaku bermasalah (Dishion & Nelson, 2007). Pada penelitian Altermatt & Broady (2009), mereka membedakan dua kelompok siswa berdasarkan konten percakapan yang terjadi dalam diskusi setelah kegagalan yang dirasakan dalam menyelesaikan tugas. Penelitan ini melihat apakah pengaruh anak yang melakukan off-task talk dan tidak melakukan terdapat pengaruhnya pada respons selanjutnya. Dari penelitian Altermatt & Broady diperoleh hasil bahwa anak yang membicarakan mengenai hal yang lain (off-task talk) memiliki respons maladaptif terhadap kegagalan dibandingkan anak yang melakukan off-task talk yang rendah. Hal ini sesuai dengan penggunaan problem-focused coping (mencari tahu, mencari bantuan) berkaitan dengan penyesuaian diri yang baik dibandingkan dengan emotion-focused coping strategy (penolakan kognitif). Pentingnya studi ini untuk membahas mengenai relasi pertemanan lebih bervariasi saat memasukkan variabel konteks budaya. Ketika Doran C. French (French, Pidada, & Victor, 2005; French, Bae, Pidada, & Lee, 2006) dengan beberapa peneliti mulai untuk mencoba membandingkan gambaran relasi pertemanan di Indonesia dengan Korea Selatan dan Amerika. Aspek-aspek yang dilihat dalam penelitian tersebut adalah kedekatan, dukungan instrumental, keintiman, dan peningkatan rasa berharga. Empat hal ini dilihat dengan 26
menggunakan skala Modified-Friendship Quality Questionnaire, Social Network Inventory, dan Rochester . Namun, dasar teori dari asesmen yang digunakan masih menggunakan aspek berdasarkan relasi pertemanan yang terjadi dengan budaya yang berbeda. Sehingga gambaran mengenai konteks di lapangan tidak terbaca secara keseluruhan, melainkan hanya sebatas aspek yang dibandingkan (parsial). Maka sangat penting untuk menemukan dahulu aspek-aspek yang terkait dengan relasi pertemanan di Indonesia. Dalam penelitian tersebut telah dijelaskan bahwa Indonesia menganut budaya yang menjunjung tinggi keharmonisan, sehingga intimacy untuk setiap dyad (pasangan pertemanan) lebih rendah dari intimacy pertemanan di Amerika dan Korea Selatan karena lebih mementingkan keharmonisan dalam tataran komunitas. Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan penelitian indigenous untuk mengungkap relasi pertemanan di Indonesia dengan pertanyaan penelitian berupa 1. Bagaimana bentuk pertemanan di sekolah? 2. Apa saja aspek-aspek dari pertemanan 3. Bagaimana dinamika relasi pertemanan yang terkait dalam dinamika antar aspek pada relasi pertemanan, 4. Bagaimana hasil/ manfaat pertemanan di sekolah, khususnya dalam pendidikan siswa? Penelitian ini diharapkan dapat membantu sekolah untuk melihat bagaimana bentuk relasi pertemanan di sekolah, dan beberapa dampaknya pada perkembangan remaja terutama dalam penyesuaian dalam bidang akademis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memberikan pemetaan yang jelas mengenai bentuk-bentuk relasi pertemanan remaja serta dinamika yang terbentuk. Dinamika tersebut dapat menjadi gambaran bagi mahasiswa yang 27