PENEGAKAN ASAS ITIKAD BAIK DAN KESEIMBANGAN PELAKU USAHA DENGAN KONSUMEN TERHADAP TANGGUNG JAWAB PRODUK YANG MEMILIKI CACAT TERSEMBUNYI DITINJAU DARI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN : STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 265 K/Pdt. Sus-BPSK/2013 Naufaldi Tri Pambudi dan Heri Tjandrasari
Program Kekhususan Tentang Kegiatan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Hukum Perlindungan Konsumen dalam kaitannya untuk menyeimbangkan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen atas itikad baik dan sikap jujur pelaku usaha dalam menjalankan tanggung jawab usahanya, mengetahui bagaimana bentuk upaya tanggung jawab pelaku usaha yang dapat dilaksanakan kepada konsumen yang mengalami kerugian terhadap produk yang memiliki cacat tersembunyi dan mencari solusi terhadap bentuk tanggung jawab pelaku usaha yang seharusnya dalam penegakan asas keseimbangan pelaku usaha dan konsumen dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung yang telah keluar dan berkekuatan hukum tetap. Metode penelitian yang digunakan adalah penilitan yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data primer berupa wawancara dengan narasumber dan penggunaan datadata sekunder, antara lain peraturan perundang-undangan dan buku-buku. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Agung yang menguatkan putusan BPSK tersebut terdapat berbagai ketidak cermatan dalam pengambilan putusannya dimana banyak hak-hak pelaku usaha yang disimpangi. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Penerapan Asas Itikad Baik, Keseimbangan Pelaku Usaha, Tanggung Jawab Produk, Cacat Tersembunyi.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Abstract This Mini Thesis aims for understanding the implementation of Consumer Protection Law in relation with Balancing the position of Entrepreneur and Consumer on principle of good faith and the honesty to do its liability, to know how the form of entrepreneur liability on the consumer loss which caused by product that has a hidden defect and to find the best solution on entrepreneur liability to enforce the principle of balanced position in associated with Supreme Court which has come out and legally binding. Research method has been used for this mini-thesis is normative juridicial by using primary data which is informant interview and secondary data, such as legislations and books. The conclusion based on the research that the Supreme Court verdict which reinforce the BPSK verdict has lack of thorough in the decision making which result of many entrepreneur right ignored. On this matter should the entrepreneur and consumer aware against the right and duty which has been asigned by the agreement beetween them and the law. Keyword
: Consumer Protection Law, Principle of Good Faith, Balancing the Entrepreneur Position,
Product Liability, Hidden Defect.
Pendahuluan Konsumen pada era sekarang ini cenderung membeli produk sesuai dengan gaya hidup yang biasanya berada di atas kemampuan daya beli konsumen. Perilaku tersebut mendasarkan pada pertimbangan yang tidak baik, seperti : 1. Membeli barang hanya tertarik dengan iklannya; 2. Tertarik membeli barang hanya karena mereknya yang terkenal; 3. Membeli barang hanya karena obral atau untuk memperoleh bonus; 4. Hanya untuk pamer atau gengsi, bukan karena kebutuhan. Kebutuhan tersebut tidak lagi hanya sebatas pada pada kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi semakin berkembang menjadi salah satunya kebutuhan akan sarana transportasi. Hanya saja dalam kehidupan di kota metropolitan seperti di ibukota Jakarta, penggunaan kendaraan umum menjadi tidak efektif karena layanan tersebut dirasa belum cukup memadai sehingga, Konsumen cenderung memiliki kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi utama, adapun, kepemilikan kendaraan pribadi tersebut digunakan oleh Konsumen untuk meningkatkan rasa gengsi dengan membeli kendaraan pribadi merek ternama, hal inilah yang mendasari pola perilaku konsumen yang irasional dalam pemilihan akan barang atau produk tersebut, sehingga kemampuan finansial konsumen tidak memenuhi kemampuan untuk membelinya.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Dengan pembiayaan secara kredit melalui Bank, dengan memberikan kemudahan seperti cicilan atau kredit ringan, tanpa uang muka, biaya administrasi ringan sampai bunga sampai ke 0 persen, kemudahan kepemilikan mobil ini biasanya memakai instrument yang dinamakan perjanjian pembiayaan (leasing) dengan jaminan Fidusia pada kendaraan yang di perjualbelikan. Dengan kemudahan ini Konsumen semakin terburu-buru untuk mendapatkan produk yang diinginkan tanpa mempertimbangkan latar belakang untuk memiliki produk yang dijual tersebut. Apabila terdapat suatu sengketa antara Konsumen dengan Pelaku Usaha maka penyelesaiannya dapat melalui BPSK sebagai jalan pertama baik melalui mediasi, konsiliasi ataupun arbitrase. Dengan adanya BPSK ini membuat Konsumen semakin lebih mudah dalam menyelesaikan sengketanya hal ini juga sesuai dengan tujuan pembuatan UUPK yang ingin menyeimbangkan kedudukan Konsumen dengan Pelaku Usaha. Salah satu problem yang dihadapi adalah adanya kemungkinan konsumen-konsumen yang tidak beritikad baik untuk menggunakaan hak nya untuk menuntut pelaku usaha yang beritikad baik dan jujur, juga dalam kenyataannya beberapa konsumen menggunakan haknya dalam menuntut pelaku usaha yang beritikad baik maupun jujur dengan sistem acara yang sudah ada saat ini. Adapun BPSK pada prakteknya hampir kemungkinan besar memenangkan Konsumen terlepas dari kesalahan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. Dalam
Hukum
Perlindungan
Konsumen
disebutkan
bahwa
keseimbangan
perlindungan konsumen dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen, karena posisi produsen yang selama ini lebih kuat daripada konsumen. Asas tersebut bukan berarti bahwa Hukum Perlindungan Konsumen hanya melindungi kepentingan konsumen semata, melainkan tujuannya yang hendak dicapai yaitu menyeimbangkan kedudukan konsumen dengan produsen. Produsen atau yang lebih dikenal sebagai pelaku usaha selama ini sering dianggap sebagai pihak yang licik dengan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya terhadap produk yang dijualnya, padahal, tidak jarang juga ditemukan pelaku usaha yang menganut asas beritikad baik maupun jujur terhadap klaim atau tuntutan yang diajukan oleh Konsumen. Setiap produk yang ditawarkan atau dijual kepada konsumen pada dasarnya tidak semuanya sempurna, hal ini menuntut pelaku usaha untuk lebih hati-hati dalam memilih produk yang dijual dan ditawarkannya (asas kehati-hatian). Pada praktek jual beli kendaraan bermotor sering kali ditemukan cacat pada kendaraan bermotor tersebut, terkadang cacat tersebut tidak terlihat atau tidak diketahui oleh pembeli atau bahkan oleh pelaku usaha itu sendiri. Hal yang merugikan konsumen tersebut dikenal sebagai cacat tersembunyi. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk yang
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
memiliki cacat tersembunyi telah diatur dalam KUHPerdata dan diatur secara khusus dalam UUPK, dimana mewajibkan pelaku usaha untuk mengganti kerugian konsumen akibat menggunakan barang atau produk tersebut. Pelaku usaha yang mengetahui akan adanya cacat tersembunyi tersebut namun tidak memberitahu kepada konsumen dalam KUHPerdata masuk dalam unsur Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum, juga terhadap pelaku usaha yang lalai. Kondisi yang demikian, terkadang menciptakan peluang bagi konsumen untuk menggunakan hak menuntutnya kepada pelaku usaha sehingga pelaku usaha dapat mengalami kerugian. Oleh karena itu, undang-undang perlindungan konsumen dimaksud menjadi landasan hukum yang kuat bagi pelaku usaha maupun konsumen untuk memperkuat kedudukannya di dalam transaksi bisnis atau jual beli di era modern saat ini. Adapun, dalam putusan Mahkamah Agung No. 265 K/Pdt.Sus/BPSK/2013 yang menguatkan Putusan majelis Arbiter di BPSK, telah bersifat tidak adil dan kurang berimbang dengan tidak memberikan suatu kesempatan bagi Pelaku Usaha untuk melakukan pembelaan dan juga membatalkan akta fidusia antara Konsumen dengan Bank, dimana merupakan suatu ketidakwajaran karena Bank merupakan pihak ketiga di luar upaya hukum Arbitrase tersebut. Bank berdasarkan asas itikad baik bukanlah merupakan suatu pihak dalam sengketa antara konsumen dengan Pelaku Usaha. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka terdapat tiga hal yang menjadi permasalahan. Pertama adalah Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap kendaraan bermotor yang diketahui memiliki cacat tersembunyi apabila dikaitkan dengan KUHPerdata dan UUPK, Kedua adalah Bagaimana Hukum Perlindungan Konsumen dalam penerapan product liability dan strict liability sebagai tanggung jawab pelaku usaha dalam produk yang memiliki cacat tersembunyi dengan memperhatikan itikad baik pelaku usaha terhadap konsumen, dan ketiga adalah Bagaimana seharusnya Hukum Perlindungan Konsumen mengatur mengenai Putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 265 K/Pdt.SusBPSK/2013 dengan mempertimbangkan itikad baik pelaku usaha dalam menyeimbangkan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen. Tinjauan Teoritis Terhadap tinjauan yuridis Putusan Mahkamah Agung No. 265 K/Pdt.Sus/BPSK/2013, menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan konsumen serta hukum perdata yaitu:
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
1. KUHPerdata Berdasarkan Pasal 1365 diatur mengenai Perbuatan Melawan Hukum dan Pasal 1507 KUHPerdata tentang Penilaian terhadap Cacat Tersembunyi. 2. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 6 huruf c yang mengatur mengenai penerapan asas keseimbangan Pelaku Usaha dengan Konsumen serta Pasal 25 ayat (2) mengatur mengenai penerapan asas itikad baik bagi Pelaku usaha yang telah melakukan kewajiban purna jualnya, juga Pasal 19 ayat (2) mengenai bentuk ganti rugi Pelaku Usaha kepada Konsumen dan Pasal 21 mengenai tanggung jawab Importir. 3. Undang-undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Berdasarkan Pasal 46 dan Pasal 45 yang mengatur mengenai tanggung jawab Importir yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang yang diimpor. 4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) bahwa segala pengakuan ataupun buktibukti dalam upaya hukum mediasi tidak boleh digunakan di upaya hukum selanjutnya. 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Pasal 4, menyebutkan bahwa upaya hukum Mediasi, Konsiliasi maupun Arbitrase merupakan upaya hukum Terpisah bukan suatu tingkatan atau berjenjang, juga pada Pasal 1 angka 10 dan 11 disebutkan pengertian Mediasi dan Arbitrase bahwa proses penyelesaian sengketa konsumen tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang tunduk, dan untuk Arbitrase kepada BPSK. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang meneliti hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai adanya hubungan hukum positif serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.1 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara 1
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Cet. 7. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 13.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
terhadap narasumber yang berhubungan dengan putusan yang diteliti yakni perumus undangundang Perlindungan Konsumen Bapak Az Nasution,Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Kuasa Hukum PT. Maxindo Internasional Nusantara Indah sebagai Pelaku Usaha. Yang mendasari diperlukannya wawancara dengan pihak-pihak tersebut dikarenakan perlunya suatu dasar pertimbangan secara yuridis dan filosofis terhadap analisa putusan BPSK yang dijatuhkan sehingga dapat mengurangi keseimbangan antara Pelaku Usaha dengan Konsumen juga merugikan Bank sebagai pihak ketiga diluar perjanjian jual beli Konsumen dengan Pelaku Usaha. Selanjutnya untuk data sekunder, Penulis mengumpulkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat.2 Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, yang memberikan penjelasan yang mendalam mengenai bahan hukum primer.3 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.4 Hasil Penelitian Hasil penelitian dari skripsi ini adalah berupa perlindungan konsumen terhadap penerapan asas itikad baik dan keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen ditinjau dari undang-undang di Indonesia yang berkaitan dengan konsumen. Terdapat juga peraturan yang berkaitan dengan Perbankan sebagai lembaga pemberi kredit di luar perjanjian jual beli konsumen dengan pelaku usaha, serta proses hukum acara. Pembahasan Putusan Mahkamah Agung yang dibacakan pada hari Rabu, tanggal 28 Agustus 2013 yang pada intinya menguatkan pendapat pada persidangan Arbitrase dan tingkat kasasi sebelumnya serta menolak permohonan kasasi oleh PT. MINI, dimana menurut
2
Ibid.., hal. 12.
3
Ibid.
4
Ibid.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
pendapat saya hal ini dianggap kurang tepat mengingat putusan pada proses Arbitrase ini kurang cermat. Terhadap putusan Arbitrase yang dijatuhkan pada tanggal 18 September 2012 yang pada intinya berisi : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menyatakan Tergugat sebagai Penjual yang tidak beritikad baik; 4. Menghukum Tergugat dengan mengganti seluruh kerugian Penggugat : 5. Pengembalian uang muka/DP sebesar
Rp. 164.234.000,-
6. Pengembalian pemesanan kaca film
Rp.
2.000.000,-
7. Pengembalian kekurangan pengurusan STNK
Rp.
6.320.000,-
8. Penggantian kerugian berupa cicilan 3 (tiga) bulan Rp.
45.297.120,-
Berjalan ke OCBC NISP sebesar (3x Rp. 15.099.040) Total Keseluruhan
Rp. 217.851.120,-
Dengan pengembalian uang sejumlah tersebut penggugat wajib mengembalikan unit kepada yang berhak; 9. Menyatakan unit MINI COOPER yang menjadi obyek jual beli dalam perkara ini mengandung cacat tersembunyi; 10. Menyatakan Surat Perjanjian No. 02540 PKA 001543 dan Akte Jaminan Fidusia No. 380/AJF/AH/2012 keduanya tertanggal 21 Mei 2012 tidak mengikat bagi Penggugat. Pada proses upaya hukum di luar pengadilan yang telah diamanatkan oleh UU Perlindungan Konsumen yaitu BPSK, para pihak telah menempuh proses mediasi sebelumnya dimana pada proses mediasi segala fakta telah disampaikan baik dari Konsumen maupun PT. MINI. Proses mediasi tersebut pun ternyata gagal sehingga BPSK menyarankan agar para pihak menempuh proses Arbitrase, namun sebagai catatan bahwa dalam Pasal 52 UUPK huruf a yang berbunyi : “Tugas dan wewenang BPSK meliputi : a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;” Lebih lanjut dalam Kepmerindag 350 Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut : “(1) Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
pasal 3 huruf a, dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. (2) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen secara berjenjang.” Berdasarkan kedua pasal diatas dapat diketahui bahwa kedua proses mediasi maupun arbitrase haruslah dikatakan sebagai kedua upaya hukum yang terpisah, dimana para pihak haruslah sepakat untuk menempuh upaya hukum tersebut, sehingga apabila terjadi kegagalan dalam proses mediasi bukan berarti BPSK menyarakan para pihak akan berlanjut kepada proses konsiliasi ataupun arbitrase. Selanjutnya, dalam Perma Mediasi No. 1 Tahun 2008, disebutkan bahwa mediasi merupakan proses perundingan yang tidak bersifat adjudikatif, mediator merupakan pihak yang netral dan membantu para pihak dalam proses perundingan untuk mencari cara penyelesaian sengketa tanpa adanya suatu cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian, sehingga pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai bukti proses perkara yang bersangkutan, juga catatan mediator haruslah dihapuskan apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam mediasi. Dalam kenyataannya, pada proses arbitrase PT. MINI hanya dipanggil ke BPSK setelah proses Mediasi hanya dua kali saja, yaitu pada tanggal 19 Juli 2012 untuk menyarankan Arbitrase dan melaksanakan sidang pemeriksaan pada saat itu juga, serta pada tanggal 17 September 2012 dengan langsung dibacakannya putusan. Berdasarkan fakta inilah dapat diketahui bahwa majelis hakim BPSK tidak memberikan kesempatan bagi PT. MINI untuk mengajukan pembelaan, dimana majelis BPSK memanfaatkan catatan persidangan mediasi yang seharusnya tidak boleh digunakan dalam upaya hukum lainnya. Atas fakta tersebut, majelis BPSK telah melanggar salah satu asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yakni asas keadilan dan keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 huruf c: “Hak Pelaku usaha adalah : a. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian sengketa konsumen.” Selain itu, juga disebutkan dalam Pasal 2 UUPK penjelasan yang berbunyi :
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
“Dimana
baik
berkesempatan
konsumen untuk
dan
memperoleh
pelaku haknya
usaha dan
melaksankan kewajibannya secara adil” Berdasarkan kedua pasal tersebut maka UUPK telah mengamanatkan agar kedudukan pelaku usaha dengan konsumen seimbang, tidak meninggikan salah satu pihak dalam berpekara, walaupun nama dari undang-undang ini terkesan hanya melindungi konsumen saja tetapi undang-undang ini mengamanatkan keseimbangan bagi kedua belah pihak dalam berpekara. Dengan disimpanginya pemeriksaan dalam proses arbitrase oleh majelis BPSK, maka tidak memberikan kesempatan bagi PT. MINI untuk melakukan pembelaan, jika majelis BPSK pada saat itu memberikan kesempatan bagi PT. MINI untuk hadir proses pemeriksaan dalam persidangan arbitrase, maka akan diketahui berbagai fakta-fakta yang ada. Cacat tersembunyi yang terdapat dalam unit mobil tersebut hanya dinilai dari sudut pandang konsumen saja, tidak melihat dari sisi otomotif atau kegunaannya, padahal dalam Pasal 1507 KUHPerdata disebutkan bahwa cacat tersembunyi harus dinilai oleh orang memiliki kualifikasi tersebut dan menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memutuskan, adapun majelis BPSK tidak memberikan kesempatan pemeriksaan dan pembelaan bagi pelaku usaha sehingga penilaian adanya cacat tersembunyi tidak lah berdasarkan pasal 1507 KUHPerdata, melainkan berdasarkan keterangan dan catatan yang terdapat dalam proses Mediasi saja maupun keterangan konsumen. Terhadap tuduhan adanya itikad tidak baik dari PT. MINI masih merupakan pro dan kontra, karena PT. MINI telah beritikad baik untuk melakukan kewajibannya dalam menangani keluhan konsumen, seperti memberikan jawaban yang responsif kepada konsumen dengan email yang dikirimkan pada tanggal 24 Mei dan 25 Mei 2012, yang berisikan penjelasan mengenai problem yang dihadapi oleh konsumen serta dengan memberikan pelayanan unit purna jual secara langsung dengan standar yang berlaku pada prinsipalnya yaitu Grup BMW walaupun menurut keterangan konsumen prosedur pengembalian unit mobil yang diperbaiki tersebut tidak sesuai standar yang ada yaitu dikembalikan bukan di tempat yang semestinya, namun PT. MINI dalam proses mediasi menawarkan untuk mengganti unit yang serupa namun konsumen tetap bersikeras untuk meminta pengembalian uang ganti kerugian. Dalam penilaian unsur melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata, majelis arbiter tidak menguraikan unsurnya secara komprehensif dan detail sehingga putusan yang menyatakan PT. MINI telah melakukan perbutan melawan hukum terkesan tidak adil, maka dari itu unsur-
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
unsur dari Pasal 1365 KUHPerdata akan diuraikan lebih lanjut yang terdiri sebagai berikut dan langsung diuraikan pula berdasarkan fakta yang ada : 1. Adanya Perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat, mungkin maksud dari majelis hakim disini adalah tidak melakukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap unit mobil yang dijual, namun pada faktanya PT. MINI bersama Konsumen telah sama-sama melakukan pemeriksaan terhadap unit mobil yang dijual dan juga melakukan test drive pada unit yang dijual tersebut, dimana pada akhirnya konsumen menyapakati untuk membeli unit mobil yang telah diperiksa secara bersama tersebut. Hal ini juga merupakan suatu keanehan bagi Bank mengingat kerugian yang diderita oleh Bank berdasarkan adanya putusan majelis arbiter, dalam putusan tersebut hanya penjelasan mengenai adanya perjanjian kredit dengan Konsumen saja. 2. Perbuatan tersebut melanggar hukum, salah satu unsur dari melanggar hukum adalah bertentangan dengan hak subyektif orang lain dimana mungkin menjadi dasar pertimbangan hakim bahwa konsumen merasa dirugikan dengan perbuatan PT. MINI yang lalai dengan ditemukan adanya cacat tersembunyi tersebut. Namun, dalam kasus ini tidak ada suatu penjelasan apapun bagi Bank apakah melanggar hukum terhadap pemberian kredit kepada konsumen. 3. Perbuatan tersebut membawa kerugian bagi penggugat, hal ini dapat dilihat dari tuntutan yang diajukan oleh konsumen, namun kerugian tersebut tidaklah membawa kerugian fisik dan moral secara signifikan yang ditemukan dalam unit mobil yang dijual tersebut sehingga seharusnya majelis arbiter atau hakim mempertimbangkan unsur kerugian tersebut sampai sejauh mana dalam menjatuhkan putusan, dalam putusan tersebut juga tidak ada perbuatan yang membawa kerugian dari Bank, justru pemberian kredit tersebut membuat Konsumen dapat memperoleh produk yang diinginkannya. 4. Adanya Kesalahan, mungkin yang dimaksud majelis arbiter disini adalah kelalaian pengecekan oleh PT. MINI, tetapi tidak ada kesalahan oleh Bank yang seharusnya dijelaskan dalam putusan tersebut. 5. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian, untuk membuktikan adanya unsur kaulitas maka doktrin yang digunakan adalah teori Von Kriess yaitu teori Adequat, dimana yang dilihat adalah sebab yang menimbulkan akibat yang layak, apakah penilaian sebab yang paling layak tersebut adalah dari cacatnya produk yang dibuat oleh produsen atau penjualan yang dilakukan oleh PT.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
MINI sebagai agen, yang pasti Bank bukanlah sebab kerugian yang dialami oleh Konsumen. Tidak disebutkannya unsur Perbuatan Melawan Hukum dalam putusan arbitrase tersebut membuat secara jelas putusan arbitrase ini membingungkan bagi konsumen, terlebih bagi PT. MINI dan juga Bank yang dirasakan adanya ketidakadilan dalam jatuhnya putusan ini, seharusnya dengan dituliskannya uraian yang pasti mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum maka dapat menjadi suatu dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan ganti rugi. Terhadap putusan yang dijatuhkan dan juga mengenai ganti rugi tersebut dari Sidang Arbitrase, terdapat suatu keanehan yaitu : (1) Majelis Arbiter tidak mempertimbangkan adanya itikad baik dari PT. MINI dalam menjalankan kewajibannya dan juga itikad baik dari PT. OCBC NISP dalam memberikan kredit. (2) Majelis Arbiter hanya melihat keluhan-keluhan konsumen saja tidak memperhatikan dari sudut pandang pelaku usaha ataupun ahli otomotif terhadap penilaian cacat tersembunyi yang berpengaruh pada penilaian ganti kerugian. (3) Majelis Arbiter tidak menegakkan asas keadilan dan keseimbangan sesuai yang diamanatkan dalam UUPK, dimana dapat dilihat dalam fakta yang ada bahwa majelis arbiter tidak memberikan suatu kesempatan bagi PT. MINI untuk melakukan pembelaan dalam sidang pemeriksaan, majelis arbiter hanya menggunakan cacatan mediasi saja dalam menguraikan faktafakta yang ada. (4) Hakim melampaui kewenangan dengan membatalkan perjanjian fidusia antara konsumen dengan krediturnya, dimana seharusnya dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang Arbitrase, hanya pihak yang telah sepakat untuk tunduk pada arbitrase yang dapat dikenakan putusan arbitrase, sehingga kreditur yaitu OCBC NISP tidaklah terikat dengan putusan arbitrase ini, bahkan dengan adanya putusan yang membatalkan perjanjian fidusia ini membawa kerugian kepada pihak diluar Arbitrase. Kesimpulan Dari pembahasan bab sebelumnya mengenai tinjauan yuridis putusan Mahkamah Agung 265 K/Pdt-Sus/BPSK/2013 mengenai penyimpangan dari asas keadilan dan
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen sesuai yang diamanatkan oleh Undangundang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat ditarik berbagai kesimpulan yang akan disebutkan sesuai dengan poin-poin berikut ini : 1.
Penerapan product liability atau tanggung jawab produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen tidak terlepas dalam Pelaku Usaha yang membuat produk tersebut atau yang disebut sebagai Produsen, juga berdasarkan pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen bahwa importir barang yang merupakan agen atau perwakilan dari produsen luar negeri tidaklah bertanggung jawab terhadap barang yang diimpor. Hal ini menandakan adanya pembatasan tanggung jawab bagi Pelaku Usaha lain atau Agen dalam kasus ini, serta dalam perdagangan produk yang diedarkan atau dipasarkan tersebut tidak mengalami perubahan dari Agen tersebut. Namun, dikarenakan menuntut Pelaku Usaha diluar negeri sangat memberatkan konsumen maka klaim ganti rugi untuk menuntut melalui perwakilannya saja. Selanjutnya, kerugian yang dialami oleh agennya tersebut dapat diselesaikan dengan mekanisme sendiri antara Prinsipalnya dengan Agensinya, mengingat Prinsipalnya yaitu BMW Group merupakan Merk Terkenal. Terhadap penerapan strict liability tidak diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen kita, namun mengatur mengenai Pembuktian Terbalik dimana sesuai pasal 28 Undang-undang Perlindungan Konsumen mewajibkan beban pembuktian kepada Pelaku Usaha terhadap ada tidaknya unsur Kesalahan, yang berarti bahwa Hakim atau Majelis Arbiter, haruslah mendengarkan terlebih dahulu pembuktian unsur kesalahan dari Pelaku Usaha sebelum menjatuhkan putusan. Hakim ataupun majelis arbiter seharusnya mempertimbangkan adanya itikad baik pelaku usaha, dimana berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen pada pasal 25 ayat (2) menyebutkan apabila Pelaku Usaha telah menyediakan fasilitas perbaikan dalam kasus ini adalah Servis Reparasi sesuai dengan standar yang telah diperjanjikan ataupun telah memenuhi standar garansi dari apa yang diperjanjikan kepada konsumen maka seharusnya Pelaku Usaha terlepas dari tuntutan ganti rugi yang dimintakan oleh Konsumen kepada Pelaku Usaha.
2.
Terhadap Perjanjian Kredit antara Bank dengan Konsumen, tidaklah dapat dibatalkan begitu saja karena putusan arbitrase hanya berlaku bagi para pihak yang sama-sama menundukan diri dari awal proses Arbitrase, sehingga majelis Arbiter tidak
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
dapat secara sepihak membatalkan perjanjian kredit konsumen dengan Bank. Terhadap Unit mobil yang dikembalikan kepada PT. MINI juga merupakan suatu tindakan yang kurang tepat, karena mobil tersebut belum secara lunas dibayarkan oleh Konsumen dan mobil tersebut masih dijaminkan secara fidusia, sehingga terhadap kesalahan yang dilakukan oleh PT. MINI seharusnya tidaklah mengikat kepada Bank sebagai pihak ketiga diluar perjanjian jual beli unit mobil tersebut, Bank hanyalah sebagai sarana bagi konsumen untuk mempermudah kepemilikan mobil tersebut. 3.
Terhadap putusan hakim pada tingkat banding maupun kasasi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha dapat diketahui bahwa putusan tersebut kurang teliti, bahkan hakim dalam tingkat banding hanya melihat dari judex juris nya saja tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang telah dikemukan oleh Pelaku Usaha. Bahwa putusan yang telah dijatuhkan oleh majelis arbiter BPSK dianggap sudah tepat dan benar, padahal dalam pertimbangan majelis arbiter BPSK tersebut terdapat ketidakcermatan dalam menjatuhkan putusan tersebut. Poin ketidakcermatan tersebut akan diurai dalam poin-poin berikut : a. Majelis Arbiter tidak mempertimbangkan adanya itikad baik dari PT. MINI dalam menjalankan kewajibannya bahkan itikad baik dari PT. OCBC NISP dalam memberikan Kredit. b. Majelis Arbiter tidak menjalankan asas Pembuktian Terbalik terhadap tidak adanya sidang pemeriksaan bagi kesalahan Pelaku Usaha tersebut bagaimana majelis arbiter dapat memutus putusan ganti rugi yang seharusnya apabila faktafakta yang ada tidak dikemukan. c. Majelis Arbiter tidak menegakkan asas keadilan dan keseimbangan sesuai yang diamanatkan dalam UUPK dengan tidak melakukan sidang pemeriksaan. d.
Hakim melampaui kewenangan dengan membatalkan perjanjian fidusia antara konsumen dengan krediturnya, sehingga merugikan PT. OCBC NISP.
Saran Bagi Hakim maupun Majelis Arbiter disarankan sebagai berikut : Hakim maupun Majelis Arbiter seharusnya mempertimbangkan adanya unsur keseimbangan bagi pelaku usaha dengan konsumen terlepas dari adanya kesalahan yang telah dilakukannya, dimana dengan tidak dikenalnya strict liability dalam UUPK Pelaku Usaha seharusnya membuktikan adanya kesalahan terlebih dahulu dengan beban pembuktian
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
terbalik. Bahwa bagi hakim dalam tingkat banding maupun kasasi lebih cermat dan teliti, tidak selamanya apa yang telah diputuskan oleh majelis arbiter BPSK itu selalu benar, dimana pada kenyataannya hampir 90% kemungkinan putusan majelis arbiter selalu dimenangkan dalam tingkat banding dan kasasi5, tetapi pada kenyataannya pada kasus kali ini banyak kekeliruan yang diputuskan oleh majelis Arbiter terutama dengan merugikan pihak ketiga seperti Bank yang memberikan kredit dengan itikad baik. Bagi Konsumen disarankan sebagai berikut : Konsumen seharusnya tidaklah mengambil keuntungan dari adanya kerugian yang dialaminya terlebih lagi membesar-besarkan kerugian yang seharusnya masih dapat diperbaiki oleh Pelaku Usaha. Konsumen juga seharusnya lebih teliti dalam memilih unit yang akan dibelinya mengingat konsumen telah diberikan waktu untuk mencoba kendaraan yang dibelinya, sehingga mencegah adanya kerugian terhadap unit yang telah dibelinya dan Konsumen kedepannya seharusnya membeli produk sesuai kemampuan finansialnya, tidak sepenuhnya berharap kepada pembiayaan kredit. Bagi Pelaku Usaha disarankan sebagai berikut : Pelaku Usaha seharusnya lebih teliti dalam memeriksa produk yang akan diedarkannya, sehingga pada prakteknya tidak lagi terjadi tuntutan konsumen dikemudian hari. Terhadap gugatan ganti rugi ini, pelaku usaha dalam hal ini PT. MINI sebagai Agen atau perwakilan dapat meminta suatu retur atas kerugian unit yang dijualnya kepada prinsipalnya, hal ini juga seharusnya ada dalam perjanjian antara Prinsipal dengan Agen sehingga atas akibat hukum yang diderita oleh Agen seharusnya menjadi tanggung jawab bagi Prinsipalnya untuk menjaga nama baik Prinsipalnya yaitu BMW Group. Bagi Bank disarankan sebagai berikut
:
Menuntut PT. MINI selaku Pelaku Usaha terkait kerugian yang diderita oleh Bank karena dengan perjanjian leasing, bank membiayai sepenuhnya unit mobil yang dibeli konsumen dan membebankan konsumen dengan perjanjian pembiayaan kredit tersebut. Namun, dengan adanya putusan tersebut membuat Bank rugi terlebih Majelis Arbiter berlaku diluar kewenangannya.
5
Wawancara dengan Pak Bambang Sumantri Majelis Arbiter BPSK, tanggal 18 November 2014 Pukul 15.00 WIB.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Daftar Referensi Buku: Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Depok:Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Nasution, AZ. (2002). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet. 2. Jakarta: Diadit Media. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo (2004). Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi 1, Cet. 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Dokumen Elektronik:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30272/3/Chapter%2011.pdf
diakses
pada
tanggal 8 September 2014. www.insw.go.id/images/public/informasi_registrasi_importir.pdf, diakses pada tanggal 23 November 2014. www.out-law.com.com/topics/commercial/supply-of-goods-and-services/product-liabilityunder-the-consumer-protection-act/ diakses pada tanggal 10 Desember 2014. Artikel Jurnal Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Terhadap Konsumen atas Kelalaian Produsen, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992. Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta:Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2005, cet. 2. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999 (1999). Undang-Undang tentang Perdagangan. UU Nomor 7 Tahun 2014 (2014).
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, No. 1 Tahun 2008. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor Kep-122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974 dan Nomor 30/Kpb/I/74 tentang Perizinan Usaha Leasing.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014