KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR
RIFQI NAUFALDI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014
Rifqi Naufaldi NIM G24100075
ABSTRAK RIFQI NAUFALDI. Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur. Dibimbing oleh MUH TAUFIK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kekeringan hidrologi pada komponen groundwater recharge dan menganalisis hubungan karakteristik kekeringan tersebut dengan fenomena ENSO. Metode neraca air dengan input curah hujan dan evapotranspirasi bulanan digunakan untuk menduga nilai recharge bulanan selama periode 1901-2009. Kekeringan recharge dihitung apabila nilai recharge bulanan berada di bawah ambang batas kekeringan. Nilai ambang batas kekeringan ditentukan dengan menggunakan metode ambang batas bervariasi (varying threshold). Nilai ambang batas bervariasi berdasarkan lokasi dan kondisi tanah pada tiap-tiap daerah kajian. Hasil analisis menunjukkan semakin lama durasi kekeringan, nilai defisit recharge akan meningkat signifikan. Semakin panjang durasi kekeringan, frekuensi kekeringan yang terjadi akan semakin rendah. Wilayah Samarinda dengan kondisi tanah gambut bervegetasi hutan termasuk yang paling rentan terhadap kekeringan. Hal ini diindikasikan dengan frekuensi kekeringan yang cukup besar (56) dan terdapat durasi kekeringan panjang (10 bulan berturut-turut). Sedangkan wilayah Banjarmasin dengan kondisi tanah mineral bertutupan vegetasi hutan memiliki tingkat kerentanan terendah yang diindikasikan dengan frekuensi kekeringan terendah (19). Pada kondisi EL-Niňo kuat, kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan bagian timur cenderung mengalami peningkatan frekuensi, durasi, dan nilai defisit volume recharge. Kata kunci: recharge, volume defisit, ambang batas, durasi, ENSO
ABSTRACT RIFQI NAUFALDI. Hydrological Drought Characteristics in the Eastern part of Kalimantan. Supervised by MUH TAUFIK.
This study aimed to identify the hydrological drought using groundwater recharge component and analyze the relation between hydrological drought and ENSO phenomena. Water balance model with monthly rainfall and ETp input was used to assess the monthly recharge value from 1901 to 2009. In this study we used a monthly varying threshold method. The threshold varied depending on the climate regime and soil condition. Drought in groundwater was considered when the monthly recharge is below the drought threshold. We found that the longer drought duration, the volume deficit would significantly increase. Additionally, the longer drought duration, the number of drought events would significantly reduce. This study indicates that Samarinda region under peat soil and forest cover is more prone to drought as indicated by the highest drought frequency (56). In other hand, Banjarmasin region under mineral and forest cover is less vulnerable to drought. Furthermore, this study shows that peat soils are more pronounced to severe drought than mineral soils. Our findings also confirmed that strong El-Niňo would trigger severe hydrological droughts. Key words: recharge, volume deficit, threshold, duration, ENSO
KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR
RIFQI NAUFALDI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur Nama
: Rifqi Naufaldi
NIM
: G24100075
Disetujui oleh
Muh Taufik, SSi MSi. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Tania June, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini telah berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah karakteristik kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan bagian timur, yang sudah dilaksanakan sejak Bulan Februari 2014. Banyak terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Muhammad Taufik selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, masukan, dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan saya kedepan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kakak angkatan Taufiq Yuliawan yang telah banyak membantu memecahkan masalah dalam penelitian yang saya lakukan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa, semangat, motivasi dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Rifqi Naufaldi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Data
2
Metode Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Profil Iklim
8
Ambang Batas Kekeringan
9
Durasi dan Frekuensi Kekeringan Hidrologi
10
Defisit Volume Kekeringan Hidrologi
11
Hubungan antara Fenomena SOI dengan Karakteristik Kekeringan
14
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL 1 Faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu 2 Nilai ambang batas kekeringan (Q80) di ketiga wilayah kajian (Tarakan, Samarinda dan Banjarmasin) dengan tipe tanah dan tutupan vegetasi yang berbeda 3 Lama durasi dan jumlah kejadian kekeringan pada setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode 1901-2009 4 Karakteristik kekeringan meteorologi pada ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode 1901-2009
4
9
10 11
DAFTAR GAMBAR 1 Peta wilayah kajian (sumber: BAPPENAS) 2 Sebaran nilai curah hujan (kiri) dan evapotranspirasi potensial (kanan) bulanan pada wilayah Kalimantan bagian timur periode 1901-2009 3 Rerata nilai defisit (mm) pada tanah gambut untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 1901-2009 4 Rerata nilai defisit (mm) pada tanah mineral untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 1901-2009 5 Karakteristik kekeringan hidrologi pada tanah gambut bervegetasi hutan di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin saat kejadian ENSO kuat (SOI < -5.5)
3 8 12 13
15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan 2 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan 3 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda 4 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda 5 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin 6 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin
18 20 22 24 26 27
0
PENDAHULUAN Latar Belakang Kekeringan merupakan fenomena hidro-meteorologi yang memberi dampak negatif serta kerugian sosial ekonomi masyarakat yang hidup di suatu daerah (Wilhite 1993). Secara umum kekeringan dapat dipengaruhi oleh faktor variabilitas dan perubahan iklim. Kedua faktor ini mampu mengakibatkan perubahan pada pola curah hujan dan sebaran suhu permukaan. Seiring dengan tekanan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan iklim, terdapat kecenderungan peningkatan dampak, area, dan frekuensi kekeringan yang terbentuk di suatu wilayah (Jing et al. 2012). Pada kondisi tropis, Indonesia memiliki dua musim berupa musim hujan dan musim kering yang terjadi pada setiap tahun. Secara garis besar, musim kering dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang berada di bawah normal. Hal ini mengakibatkan kelembaban tanah yang tersedia di suatu lahan menjadi tidak seimbang antara suplai dengan kebutuhan air pada periode waktu tertentu. Kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi. Kekeringan meteorologi adalah defisit curah hujan dalam jangka waktu lama. Kekeringan meteorologi menyebabkan perubahan pada kapasitas simpanan air di dalam tanah, yang apabila nilai simpanan air tersebut semakin turun dapat menyebabkan kekeringan pertanian. Lalu apabila kekeringan pertanian dikaitkan dengan kondisi pengurangan air bumi maka kekeringan tersebut dinyatakan sebagai kekeringan hidrologi (Wilhite 2000; Tallaksen dan Van Lanen 2004). Kekeringan ini mengakibatkan sumber air, waduk, serta jumlah aliran air yang masuk sebagai air tanah (groundwater) semakin berkurang. Kekeringan hidrologi berkembang secara perlahan pada area luas dengan periode waktu yang panjang (mulai dari bulanan hingga tahunan) yang dapat disebabkan oleh curah hujan pada kondisi di bawah normal (Van Lanen et al. 2012). Kekeringan hidrologi yang intensif dan berdurasi lama menjadi penyebab kelangkaan dan pengurangan suplai air untuk irigasi, yang berdampak negatif pada produksi pertanian di suatu wilayah. Kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan dapat dianalisa dengan menggunakan komponen groundwater recharge. Nilai recharge bulanan yang ada di suatu daerah dapat dihitung dengan menggunakan model neraca air lahan. Nilai recharge ini berfungsi untuk menentukan sifat-sifat dan pola kekeringan, yang disebut sebagai karakteristik kekeringan. Karakteristik kekeringan dibentuk dari beberapa komponen dan parameter utama berupa durasi, defisit, dan waktu kejadian (Hisdal et al. 2004). Karakteristik kekeringan hidrologi dapat diaplikasikan pada skala regional, serta mampu menyediakan informasi yang handal dalam memprediksi kejadian kekeringan.
1
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi karakteristik kekeringan hidrologi menggunakan komponen groundwater recharge, (ii) menganalisis hubungan antara kekeringan hidrologi dengan fenomena ENSO yang terjadi di Indonesia.
Manfaat Penelitian Analisis kekeringan pada groundwater recharge digunakan untuk mengetahui pola dan tingkat kekeringan hidrologi yang terjadi di wilayah Kalimantan bagian timur. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal pengelolaan irigasi pertanian, manajemen sumber daya air, serta untuk antisipasi, adaptasi, dan mitigasi bencana kekeringan.
METODE
Data Pemodelan neraca air lahan untuk mengestimasi groundwater recharge dilakukan dengan menggunakan satu set parameter data dan masukan sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Data time-series bulanan berupa suhu udara dan curah hujan dalam kurun waktu 109 tahun (1901-2009). Data suhu udara dan curah hujan bulanan pada penelitian ini merupakan data dari Climate Research Unit (CRU) (http://badc.nerc.ac.uk/data/cru). Data ini merupakan data grid hasil pemetaan satu set data iklim dari observasi bulanan di seluruh daratan stasiun meteorologi yang ada di dunia (Harris et al. 2004). Komponen soil water retention berupa: SMfc (soil moisture at field capacity, SMwp (soil moisture at wilting point), dan SMcp (soil moisture at critical point) yang berasal dari kurva soil water retention pada lapisan atas tanah dan lapisan bawah tanah. Kurva tersebut diperoleh berdasarkan acuan dari Sayok et al. (2008) dan Shaliha et al. (2012). Data SOI bulanan dalam kurun waktu 109 tahun yang tersedia dari situs Bureau of Meteorology http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml. Nilai koefisien tanaman berupa tutupan vegetasi hutan dan non-hutan.
Data curah hujan dan suhu permukaan diperoleh berdasarkan letak wilayah kajian masing-masing. Area wilayah kajian untuk Provinsi Kalimantan Utara menggunakan data grid Tarakan (3°14′23″-3°26′37″ LU dan 117°30′50″117°40′12″ BT). Sedangkan area kajian untuk Provinsi Kalimantan Timur menggunakan data grid Samarinda koordinat (00o19’02”- 00o42’34” LS dan 117o03’00” - 117o18’14”). Lalu untuk area kajian Provinsi Kalimantan Selatan
2
menggunakan data grid Banjarmasin (3o16’40”- 3o22’54” LS dan 114o31’40” 114o39’55”). Lokasi untuk ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta wilayah kajian (sumber: BAPPENAS)
Metode Penelitian Analisis neraca air lahan dimulai dengan perhitungan evapotranspirasi pertanaman dengan memasukkan data suhu udara dan koefisien tanaman (kc). Setelah itu diperlukan data curah hujan dan kapasitas simpanan air tanah untuk menentukan nilai kadar air tanah (soil moisture), recharge, dan evapotranspirasi aktual, dengan menggunakan model neraca air lahan. Data recharge tersebut digunakan untuk memperoleh nilai ambang batas kekeringan pada berbagai macam tipe tanah dan tutupan vegetasi. Dalam penelitian ini, kejadian kekeringan hidrologi didefinisikan sebagai nilai recharge bulanan yang berada di bawah nilai ambang batas. Nilai recharge bulanan yang termasuk kedalam kategori kekeringan, digunakan untuk menganalisa karakteristik kekeringan hidrologi berupa durasi dan defisit volume kekeringan. Karakteristik kekeringan tersebut dikaitkan dengan kejadian ENSO untuk melihat pengaruh variabilitas iklim terhadap kejadian kekeringan.
3
Evapotranspirasi potensial (ETp) Menurut Chen et al. (2005) evapotranspirasi potensial merupakan kombinasi proses evaporasi dan transpirasi yang dipengaruhi oleh jumlah energi dan kondisi atmosfer, dengan anggapan ketersediaan air tidak menjadi faktor pembatas pada proses tersebut. Penentuan ETp dilakukan dengan menggunakan model evapotranspirasi potensial Thornthwaite. Model ini hanya menggunakan parameter input berupa data suhu udara bulanan pada wilayah yang dikaji. Formulasi perhitungan evapotranspirasi Thornthwaite dilakukan dengan menghitung indeks panas pada Persamaan (1) terlebih dahulu. i = (t/5)1.514 (1) 1.
Melalui Persamaan (1), dapat ditentukan jumlah nilai indeks bulanan (I), dengan formulasi berikut: I =∑ ( ) (2) Persamaan (3) dicari dengan memformulasikan I pada persamaan (2). a = (0.675 * 10-6 * I3) – (0.77 * 10-4 * I2) + 0.01792*I + 0.49
(3)
Dengan menggunakan persamaan (2) dan (3), evapotranspirasi potensial dapat dirumuskan seperti pada Persamaan (4) di bawah ini: PEx = 16 * (10t/I)a (4) Persamaan (4) masih perlu dikoreksi kembali terhadap letak lintang dan waktu dengan menggunakan nilai-nilai faktor koreksi yang ada pada Tabel 1. Sehingga didapat rumus seperti pada persamaan (5): ETp = PEx*(f) (5) Keterangan: PEx ETp t f I
: Evapotranspirasi potensial belum terkoreksi (mm) : Evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm) : suhu rata-rata bulanan (oC) : faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu : jumlah nilai i (indeks panas) dalam setahun Tabel 1 Faktor Koreksi Berdasarkan Letak Lintang dan Waktu
Lintang 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4
Bulan 1 1.03 1.04 1.04 1.04 1.04 1.05 1.05 1.06
2 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.95 0.95
3 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04
4 1.02 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1
5 1.05 1.05 1.04 1.04 1.04 1.04 1.03 1.03
6 1.02 1.02 1.01 1.01 1.01 1.01 1 1
7 1.05 1.05 1.04 1.04 1.04 1.04 1.03 1.03
8 1.05 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.03
9 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1
10 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.05 1.05
11 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.02 1.02 1.03
12 1.03 1.04 1.04 1.04 1.04 1.05 1.05 1.06
4
2.
Evapotranspirasi pertanaman (ETc) Menurut Allen et al. (1997) ETc merupakan evapotranspirasi dalam kondisi potensial dimana tanaman berada pada kriteria sehat, berkecukupan hara, dan bebas hama penyakit. Formulasi perhitungan ETc dimodelkan melalui Persamaan (6). ETc = ETp * kc Keterangan: ETp : Evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm) kc : Koefisien tanaman
(6)
Berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1994) dalam Widodo dan Dasanto (2010), nilai koefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0.82 (untuk LAI < 2) sampai 0.93 (untuk LAI > 5). Kelapa sawit dengan kelompok umur > 7 tahun memiliki nilai LAI berkisar antara 4.9 – 5.1. Oleh karena itu, nilai koefisien tanaman yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0.93 dengan asumsi rata-rata tanaman kelapa sawit yang ada di wilayah Kalimantan Utara telah berumur lebih dari 25 tahun. Koefisien tanaman hutan dalam penelitian ini bernilai 1.1. Sue et al. (2011) menyatakan bahwa selama musim pertumbuhan, koefisien tanaman untuk hutan konifer basah dapat melampaui nilai 1.0. 3.
Pemodelan neraca air lahan Recharge merupakan besarnya aliran air yang masuk ke dalam tanah menuju ke groundwater. Aliran air tersebut merupakan air gravitasi yang berhasil melewati gaya kohesi dan adhesi disekitar pori-pori tanah. Pada kondisi tertentu seperti pada muka air dangkal (shallow water table), groundwater mensuplai air ke permukaan dengan gaya capillary rise sehingga kelembaban tanah meningkat hingga kapasitas lapang. Nilai recharge ditentukan oleh kadar air tanah dan soil water retention. Formulasi perhitungan recharge dilakukan menggunakan persamaan Van Lanen et al. (2013). SMCi
= SMCi-1 + P – ETc
(7)
Dengan menggunakan persamaan (7), dapat ditentukan nilai recharge pada jenis lahan berupa mineral dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: Apabila (SMCi ≥ SMfc) maka: ETa = ETc Recharge = SMCi - SMfc Apabila (SMCi ≥ SMcp) dan (SMCi ≤ SMfc), maka: ETa = ETc Recharge = 0.2 * ((SMCi - SMcp) / (SMfc - SMcp))3.4 Lalu apabila (SMCi < SMcp) dan (SMCi > SMwp), maka: ETa = ((SMCi - SMwp) / (SMcp - SMwp)) * ETc Recharge =0
5
Lalu yang terakhir apabila SMCi < SMwp, maka: ETa =0 Recharge =0 Pada kondisi lahan gambut, diasumsikan nilai evapotranspirasi selalu dalam kondisi potensial. Kondisi water table di lahan ini tergolong dangkal dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Nilai kadar air tanah yang terukur akan selalu mendekati kapasitas lapang. Bahkan bisa saja mencapai tingkat kejenuhan (pF 1). Hal ini akan berdampak pada perhitungan nilai recharge seperti pada formulasi berikut: ETa Recharge SMCi
= ETc = P-ETc = SMfc
Keterangan: ETc ETa pF 1 SMfc (pF 2.54) SMwp (pF 4.2) SMcp (pF 3)
= Evapotranspirasi Tanaman (mm) = Evapotranspirasi aktual (mm) = Kondisi tanah pada saat keadaan jenuh air = Simpanan air pada saat kapasitas lapang (mm) = Simpanan air pada saat mencapai titik layu permanen (mm) = Simpanan air pada saat mencapai critical point (mm)
Nilai soil water retention terbagi menjadi empat kategori yakni pF 1 (tingkat saturasi), pF 2.54 (tingkat kapasitas lapang), pF 3 (tingkat titik kritis: berada diantara tingkat kapasitas lapang dan titik layu permanen), serta pF 4.2 (tingkat titik layu permanen). Keempat kategori ini memiliki nilai simpanan yang berbedabeda. Pada lahan berupa mineral, nilai pF 2.54, pF 3, dan pF 4.2 secara berturutturut adalah 381.3, 347.9, dan 171 (Shaliha et al. 2012). Sedangkan pada lahan berupa gambut, nilai pF 2.54, pF 3, dan pF 4.2 secara berturut-turut sebesar 472, 403, dan 300 (Sayok et al. 2008). 4.
Penentuan nilai ambang batas kekeringan (Q0) Penetapan ambang batas/threshold kekeringan (Q0) pada penelitian ini menggunakan metode ambang batas bervariasi bulanan (varying threshold). Perhitungan ambang batas recharge bulanan ini merujuk pada nilai ambang batas (threshold) tersebut, yaitu sebesar 80% data terlampaui. Ambang batas bervariasi digunakan untuk mengidentifikasi kekeringan pada recharge. Fleig et al. (2006) menyebutkan nilai threshold sebesar 70-90% sering digunakan dalam analisis kekeringan hidrologi. 5.
Analisis durasi dan volume defisit kekeringan Durasi merupakan jangka waktu kekeringan yang dihitung dari awal hingga akhir kejadian kekeringan. Sedangkan volume defisit merupakan akumulasi defisit disepanjang durasi kekeringan dalam satuan mm. Pada saat menentukan durasi dan volume defisit dibutuhkan komponen parameter seperti awal kejadian
6
(onset) dan akhir kejadian (end) kekeringan.. Berikut ini merupakan tahapan perhitungan analisis durasi dan volume defisit dalam menentukan karakteristik kekeringan yang terjadi di suatu wilayah: 1. Memilih seluruh tanggal dan kejadian yang memiliki nilai recharge berada di bawah ambang batas Q80. 2. Menghitung nilai defisit kekeringan dengan rumusan berikut: Defisit = Q80 – Recharge. 3. Menentukan lama periode dari awal hingga akhir kejadian kekeringan (durasi) dalam satuan bulan. 4. Menghitung volume defisit dengan rumusan sebagai berikut. Vdefisit ∑ Setelah komponen karakteristik kekeringan hidrologi (durasi dan volume defisit) diperoleh, kejadian kekeringan akan dikaitkan dengan nilai SOI untuk mengetahui pengaruh variabilitas iklim terhadap karakteristik kekeringan hidrologi di suatu wilayah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Iklim Berdasarkan data iklim yang diperoleh dari ketiga daerah kajian, Tarakan dan Samarinda memiliki pola hujan ekuatorial yang dicirikan dengan bentuk bimodal (dua puncak hujan) yang terjadi disekitar Bulan Maret dan Oktober (Gambar 2). Pada daerah Banjarmasin (Gambar 2), pola hujan yang terbentuk cenderung bertipe muson yakni dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan disekitar Bulan Desember). Sebaran nilai curah hujan bulanan di daerah Tarakan cenderung lebih beragam dibandingkan kedua daerah yang lain (Gambar 2). Sebarah curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Mei dan November, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 287 mm dan 306 mm. Sedangkan daerah Samarinda memiliki sebaran nilai curah hujan bulanan yang cenderung tidak lebih bervariasi dibandingkan daerah kajian Tarakan dan Banjarmasin. Sebaran curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Mei dan Desember, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 250 mm dan 247 mm. Banjarmasin memiliki sebaran nilai curah hujan bulanan yang cenderung lebih fluktuatif dibandingkan kedua daerah kajian yang lain. Sebaran curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Desember dan Januari, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 345 mm dan 321 mm. Secara berturut-turut dari Bulan Juni hingga Oktober, sebaran curah hujan dan median pada daerah Banjarmasin mengalami penurunan nilai yang cukup besar. Hal ini dapat mengakibatkan defisit suplai air dalam jangka waktu yang cukup lama.
7
Tarakan Rainfall (mm/month)
ETp (mm/month)
Samarinda Rainfall (mm/month)
ETp (mm/month)
Banjarmasin Rainfall (mm/month)
ETp (mm/month)
Gambar 2 Sebaran nilai curah hujan (kiri) dan evapotranspirasi potensial (kanan) bulanan pada wilayah Kalimantan bagian timur periode 1901-2009 Berdasarkan hasil perhitungan, sebaran ETp selama 12 bulan cenderung memiliki pola yang sama untuk ketiga wilayah kajian (Gambar 2). Sebaran ETp bulanan tertinggi dan terendah di ketiga wilayah kajian secara berturut-turut jatuh pada Bulan Mei dan Februari. Daerah Tarakan secara umum memiliki sebaran nilai ETp yang paling bervariasi, dengan nilai median ETp bulanan tertinggi dibandingkan kedua daerah yang lain. Sedangkan pada daerah Banjarmasin dan Samarinda memiliki sebaran nilai ETp yang tidak begitu besar.
8
Apabila dilihat pada Gambar 2, terindikasi bulan-bulan dengan sebaran nilai curah hujan yang tinggi memiliki sebaran nilai evapotranspirasi potensial di atas rata-rata. Namun ketika sebaran nilai curah hujan bulanan tersebut bernilai rendah, evapotranspirasi potensial yang tercatat menjadi tidak begitu besar. Sehingga semakin tinggi curah hujan yang ada di suatu wilayah, dapat meningkatkan proses evapotranspirasi potensial secara signifikan.
Ambang Batas Kekeringan Nilai ambang batas recharge yang dimiliki setiap wilayah kajian berbedabeda (Tabel 2). Hal ini dikarenakan pengaruh evapotranspirasi tanaman, curah hujan dan karakteristik tanah (soil water retention) yang dimiliki oleh tiap wilayah berbeda. Tabel 2 Nilai ambang batas kekeringan (Q80) di ketiga wilayah kajian (Tarakan, Samarinda dan Banjarmasin) dengan tipe lahan dan tutupan vegetasi yang berbeda Ambang Batas Bulan
Tarakan
Samarinda
Banjarmasin
GH
GNH MH
MNH
GH
GNH MH
Jan
13.11
35.62 11.39
34.23
37.1
58.67 36.07
58.67 113.64 138.97 125.99
151
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
-8.18 7.15 5.18 18.68 -34.16 -55.65 -18.81 -27.14 28.82 74.09 48.02
11.79 33.82 31.68 46.32 -6.61 -26.93 7.76 -0.67 52.98 97.94 71.04
11.79 27.14 31.16 42.4 0.04 0 0.08 0.08 43.4 89.51 66.67
24.22 53.55 59.89 43.89 4.59 -23.31 -34.41 -36.37 -14.93 38.19 61.59
43.23 74.83 82.24 68.19 27.65 0.35 -10.12 -14.22 9.77 61.14 83.62
43.23 74.83 82.24 66.2 27.65 0.13 0 0 0.06 55.93 82.98
99 101 27 0.13 0.01 0 0 0 0 0 150
0.06 0.15 2.56 12.44 0 0 0 0 9.84 61.55 43.8
24.22 50.26 58.25 42.27 3.19 0 0 0 0 20.47 61.34
MNH
GH 64.21 62.08 -11.72 -43.41 -54.02 -94.95 -122.79 -120.95 -116.15 -35.4 120.07
GNH
MH
MNH
87.86 78.43 87.99 77.23 14.33 3.514 -16.6 0 -29.09 0 -70.71 0 -97.62 0 -95.41 0 -88.98 0 -8.75 0 145.63 121
Keterangan: GH = Gambut Hutan | GNH = Gambut Non Hutan | MH = Mineral Hutan | MNH = Mineral Non Hutan
Berdasarkan hasil analisa, setiap jenis lahan dan tutupan vegetasi pada daerah Banjarmasin memiliki rerata varying threshold terendah dibandingkan kedua daerah yang lain (Tabel 2). Hal ini dikarenakan jumlah curah hujan di daerah Banjarmasin tidak sebesar dengan yang ada di daerah Tarakan dan Samarinda (Gambar 2). Kondisi sebaliknya terjadi pada daerah Samarinda, dimana rerata ambang batas recharge bulanan yang tercatat di daerah ini secara umum tergolong lebih besar dibandingkan kedua daerah lain untuk tipe tanah gambut dan mineral. Ambang batas yang dimiliki oleh tutupan lahan bervegetasi non hutan (kelapa sawit) secara umum bernilai lebih besar dibandingkan dengan tutupan lahan bervegetasi hutan (Tabel 2). Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah evapotranspirasi potensial yang ada pada vegetasi non hutan tidak sebesar dengan yang ada pada vegetasi hutan.
9
Durasi dan Frekuensi Kekeringan Hidrologi Ketiga daerah kajian memiliki frekuensi kekeringan yang berbeda-beda (Tabel 3). Frekuensi kekeringan terbesar untuk setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi yaitu pada durasi selama 2 bulan (durasi terendah). Daerah Samarinda secara keseluruhan memiliki frekuensi kekeringan terbesar untuk kedua tipe tanah dan tutupan vegetasi yakni sebanyak 56 kejadian untuk GH, 54 kejadian untuk GNH, 35 kejadian untuk MH, 47 kejadian untuk MNH (Tabel 3). Durasi kekeringan terpanjang (10 bulan berturut-turut) terdapat di daerah ini pada jenis tanah gambut dengan frekuensi yang terjadi hanya sekali dalam periode 109 tahun. Pada daerah Banjarmasin, frekuensi kekeringan yang terjadi tidak begitu tinggi, yakni sebanyak 28 kejadian untuk GH, 29 kejadian untuk GNH, 19 kejadian untuk MH, dan 31 kejadian untuk MNH (Tabel 3). Tanah gambut dan mineral di daerah ini banyak mengindikasikan tidak terjadi kekeringan hidrologi untuk setiap tingkat durasi yang cukup lama. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini disebabkan oleh pola curah hujan yang ada di daerah tersebut, sebaran curah hujan yang tidak begitu beragam, serta besar nilai ambang batas recharge yang dimiliki daerah Banjarmasin. Berdasarkan Tabel 3, durasi kekeringan yang berlangsung semakin lama mendapati jumlah kejadian defisit recharge yang semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena kekeringan dengan durasi yang semakin lama menunjukkan akumulasi dari kekeringan hidrologi yang semakin besar dan kuat. Oleh karena itu durasi kekeringan yang panjang sangat jarang terjadi lagi dalam suatu periode waktu tertentu di suatu wilayah. Sedangkan untuk durasi kekeringan yang semakin singkat memiliki kemungkinan yang tinggi untuk bisa terjadi kembali dalam suatu periode waktu tertentu. Tabel 3 Lama durasi dan jumlah kejadian kekeringan pada setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi di ketiga daerah yang berbeda (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode 1901-2009 Frekuensi Durasi Kekeringan Tarakan Samarinda Banjarmasin (Bulan) GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH 2 22 21 14 25 34 31 19 29 16 15 15 23 3 15 15 12 10 10 11 9 11 6 8 4 7 4 5 6 2 7 5 6 6 5 0 3 2 1 5 1 1 3 1 3 2 0 1 0 0 2 2 6 1 1 1 3 2 2 1 1 0 0 0 1 7 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 8 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 2 1 1 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 Jumlah 47 47 34 48 56 54 35 47 28 29 19 31 Keterangan: G H = Gambut Hutan | G NH = Gambut Non Hutan | M H = Mineral Hutan | M NH = Mineral Non Hutan
10
Defisit Volume Kekeringan Hidrologi Jumlah defisit volume recharge di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) secara umum akan semakin meningkat seiring dengan lama durasi kekeringan yang terjadi (Gambar 3 dan Gambar 4). Nilai defisit volume recharge tertinggi di wilayah Tarakan ada pada jenis lahan berupa gambut bertutupan vegetasi hutan, yakni sebesar 657 mm pada 8 bulan durasi kekeringan. Sedangkan jika dilihat dari sisi kekeringan meteorologi, justru dalam periode 7 bulan durasi kekeringan jumlah defisit curah hujan tercatat yang paling tinggi, yakni sebesar 412 mm (Tabel 4). Sehingga kejadian antara defisit recharge dan defisit curah hujan yang terbentuk di wilayah tersebut memiliki keterkaitan yang cukup erat. Rerata defisit volume recharge terendah pada setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi terdapat di daerah Banjarmasin (Gambar 3 dan Gambar 4). Lahan mineral di wilayah ini kurang mengindikasikan defisit recharge yang berarti pada kedua tutupan vegetasi (Gambar 4). Nilai defisit recharge tertinggi pada daerah ini terdapat pada jenis tanah gambut bervegetasi non hutan, yakni sebesar 148 mm untuk 7 bulan durasi kekeringan. Berdasarkan aspek kekeringan meteorologi, pada durasi 7 bulan kekeringan ini didapati pula nilai defisit curah hujan tertinggi, yakni sebesar 317 mm. Sehingga antara defisit kekeringan hidrologi dan defisit kekeringan meteorologi yang terjadi di daerah ini memiliki kaitan yang erat. Pada daerah Samarinda, rerata defisit recharge yang terjadi pada lahan gambut untuk setiap jenis tutupan lahan (223 mm dan 224 mm) bernilai lebih besar dibandingkan dengan lahan mineral (42 mm dan 77 mm). Lahan gambut bervegetasi hutan memiliki nilai defisit recharge tertinggi (677 mm) pada 9 bulan durasi kekeringan. Dilihat dari aspek kekeringan meteorologi, defisit curah hujan yang terbentuk bernilai besar (606 mm) pada saat periode 8 bulan durasi kekeringan (Gambar 5). Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekeringan meteorologi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap besar defisit recharge yang terjadi di daerah Samarinda. Tabel 4 Karakteristik kekeringan meteorologi pada ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode 1901-2009 Durasi Kekeringan (Bulan)
Tarakan
Samarinda
Banjarmasin
2 3 4 5 6 7 8 9 10
24 16 6 1 2 1 0 0 0
31 12 6 4 1 0 1 0 1
31 8 6 3 2 1 0 0 0
Defisit rerata curah hujan(mm)
Frekuensi
Tarakan Samarinda 88 133 231 519 187 412 0 0 0
61 119 171 215 354 0 606 0 414
Banjarmasin 49 94 136 150 253 317 0 0 0
11
Deficit
Deficit
Deficit
Deficit
Deficit
Tarakan
Deficit
Samarinda Banjarmasin
Gambar 3 Rerata nilai defisit (mm) pada lahan gambut untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 19012009
12
Deficit
Deficit
Deficit
Tarakan
Deficit
Samarinda
Deficit
Deficit
Banjarmasin
Gambar 4 Rerata nilai defisit (mm) pada lahan mineral untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 19012009 13
Secara umum, defisit recharge yang terjadi pada lahan mineral di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) tidak begitu besar dibandingkan dengan defisit recharge yang terjadi pada lahan gambut (Gambar 3 dan Gambar 4).
Hubungan antara Fenomena SOI dengan Karakteristik Kekeringan Menurut Pearcy dan Spoener (1987), fenomena ini merupakan corak dan ciri khas yang dimiliki oleh Samudera Pasifik. El-Niňo dan La Nina merupakan proses fluktuasi temperatur di permukaan laut Samudera Pasifik bagian timur. Fenomena El-Niňo biasa terjadi pada saat waktu natal disekitar pantai barat Amerika Selatan. Pada tahun 1997 fenomena El-Niňo sangat kuat hingga mengakibatkan kekeringan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, nilai SOI yang tercatat pada setiap waktu kekeringan mengidentifikasi bahwa sebagian besar defisit air lahan terjadi ketika SOI bernilai negatif (Gambar 5). Pada saat SOI bernilai lebih kecil dari -5 dalam kurun waktu lebih dari 5 bulan, maka dapat dikatakan telah terjadi fenomena ElNiňo di wilayah Indonesia. Fenomena ENSO bukanlah faktor utama penyebab kekeringan hidrologi. Namun pengaruhnya terhadap karakteristik kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan cukup kuat dan signifikan. Ini semua dibuktikan pada saat keadaan jumlah defisit volume recharge bernilai tinggi atau maksimal, kejadian SOI yang tercatat selalu bernilai negatif. Sama halnya dengan defisit volume, lama durasi kekeringan yang terjadi pada saat fenomena El-Niňo memiliki tren yang akan semakin meningkat seiring dengan nilai SOI yang semakin negatif. Pada tahun 1997, kekeringan yang terjadi di ketiga daerah kajian dapat dikatakan sebagai yang paling parah (Gambar 5). Defisit volume recharge pada tahun tersebut tercatat sebagai yang paling besar dibandingkan tahun-tahun yang lain. Pada tahun tersebut, rerata SOI bernilai kurang dari -10, yang mana mengindikasikan telah terjadi peristiwa El-Niňo yang sangat kuat. Berdasarkan Gambar 5, durasi kekeringan yang terbentuk pada saat nilai SOI yang semakin negatif, maka cenderung akan semakin lama. Terlihat pada tahun 1997, durasi kekeringan hidrologi di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) tergolong diatas rata-rata, yakni secara berturut selama 8, 9, dan 7 bulan. Defisit volume recharge terendah di daerah Tarakan (Kalimantan Utara), jatuh pada tahun 1906 dari Bulan Maret hingga April (Gambar 5). Nilai SOI yang tercatat di bulan ini tidak begitu besar, sehingga fenomena El-Niňo yang terbentuk tidak begitu kuat. Lalu untuk defisit volume recharge terendah (23 mm) di daerah Samarinda, terdapat pada tahun 2006 dari Bulan Juli hingga Agustus ketika SOI bernilai -12.4. Sedangkan untuk defisit volume recharge terendah (6.91 mm) di daerah Banjarmasin terdapat pada tahun 1977 mulai dari Bulan September hingga Oktober ketika SOI bernilai -11. Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena ENSO memiliki pengaruh yang cukup kuat dengan peningkatan karakteristik kekeringan hidrologi di ketiga daerah kajian.
14
Sep-Jan 63 64
Deficit 5 2
Okt-Nov 69 Feb-Mar 81 Jul-Des 82
2
Durasi 4
Durasi
2 5
2
3 7 Jul-Ags 006 Okt-Nov 006
3
Jan-Mar 98
2
Mar-Nov 97
Sep-Okt 94
Ags-Sep 93
Mei-Jul 92
Jun-Mar 91 92
Feb-Mei 83
Sep-Nov 65
-40
-60
Samarinda
2
Banjarmasin
3
40 20 0 -20 -40 -60 -80 -100
-20
-40
IOS
8 3 33 4
IOS
Ags-Okt 002
Ags-Mar 97 98
Mar-Jun 97
Sep-Nov 94
Nov-Jan 93
Jan-Jul 92
Sep-Okt 91
Feb-Mar 87
Feb-Apr 83
Sep-Des 82
Nov-Jan 72 73
Des-Feb 69
Jan-Feb 66
Okt-Nov 65
Apr-Ags 65
Des-Jan 58 59
Des-Feb 14 15
Sep-Okt 14
Jan-Feb 12
Mar-Apr 09
Mar-Apr 06
Tarakan
IOS
Deficit 2 9
Apr-Jun 05
Apr-Mei 57
2 4 10 3
Mei-Nov 97
Jan-Feb 12
Mar-Apr 05
DEFICIT (mm)
2 2 2 2 2 3 2 5 2 2 3 3 4 3 2 2 7
Sep-Nov 94
2
Durasi
Jun-Okt 91
2 2
Feb-Mar 90
3 3 6
Sep-Des 82
Mar-Apr 09
Deficit
Jan-Feb 78
3
Sep-Okt 77
2 2
Ags-Des 72
2
Mei-Jun 72
2
Jun-Jul 65
2 5
Jan-Feb 69
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Jul-Sep 65
DEFICIT (mm) 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Sep-Nov 57
Mei-Jun 29
DEFICIT (mm)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 40
20
0
-20
-80
-100
soi
soi 40
20
0
-60
-80
-100
soi
Gambar 5 Karakteristik kekeringan pada tanah gambut bervegetasi hutan di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) saat kejadian ENSO kuat (SOI < -5.5)
15
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi yang ada di wilayah Kalimantan bagian timur memiliki karakteristik kekeringan hidrologi yang berbeda-beda. Secara umum, lama durasi kekeringan menentukan besar defisit volume recharge yang terjadi. Diantara ketiga daerah kajian, Samarinda dengan kondisi tanah berupa gambut merupakan wilayah yang paling rentan terhadap kekeringan. Ambang batas recharge bulanan, durasi, dan frekuensi kekeringan yang terbentuk di wilayah ini merupakan yang tertinggi diantara kedua daerah yang lain. Sedangkan untuk daerah Tarakan memiliki sebaran defisit volume terbesar dibandingkan daerah Samarinda dan Banjarmasin. Namun sebaliknya, daerah Banjarmasin mendapati sebaran defisit volume dan ambang batas recharge terendah untuk setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi. Oleh sebab itu tingkat kekeringan yang ada di daerah Banjarmasin tidak begitu besar dibandingkan dengan kedua daerah yang lain. Secara keseluruhan, daerah bertipe lahan gambut memiliki rerata defisit volume recharge yang lebih besar dibandingkan lahan mineral. Pola kekeringan hidrologi yang terbentuk di ketiga daerah ini memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai SOI. Mayoritas kejadian dan tingkat kekeringan hidrologi terjadi ketika SOI bernilai negatif, yaitu pada saat Indonesia sedang mengalami fenomena El-Niňo kuat.
Saran Sampai saat ini, analisa dan pendugaan karakteristik kekeringan belum dapat dimodelkan dengan metode yang cocok dan benar-benar 100% akurat. Perhitungan defisit recharge saja belum cukup untuk merepresentasikan besar tingkat kekeringan hidrologi yang ada di suatu wilayah. Oleh karena itu, dibutuhkan satu kesatuan metode yang bersifat universal dan berkualitas tinggi dengan rumusan yang disesuaikan dengan kondisi iklim, geografis, dan lingkungan di tiap-tiap negara, untuk bisa menduga tingkat dan frekuensi kekeringan dengan persentase keakuratan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan metode-metode yang pernah ada.
DAFTAR PUSTAKA Allen RG, Smith M, Pereira LS, dan Pruitt WO. 1997. Proposed revision to the FAO procedure for estimating crop water requirements. In: Chartzoulakes, K. S. (ed.). Proc. 2nd. Int. Sym. on Irrigation of Horticultural Crops, ISHS, Acta Hort. Vol. I: 17-33.
16
Chen D, Gao G, Xu CY, Guo J, dan Ren G. 2005. Comparison of the Thornthwaite method and pan data with the standard Penman-Monteith estimates of reference evapotranspiration in China. J. Clim. Res. 28: 123– 132. Fleig AK, Tallaksen LM, Hisdal H, dan Demuth S. 2006. A global evaluation of streamflow drought characteristics. Hydrol.Earth Syst. Sci. 10: 535-552. Harris, Jones PD, Osborn TJ, dan Lister DH. 2014. Updated high-resolution grids of monthly climatic observations – the CRU TS3.10 Dataset. Int. J.Climatol. 34: 623–642. Hisdal H, Tallaksen LM, Clausen B, Peters E, Gustard A. 2004. Hydrological drought characteristics. Di dalam: Tallaksen LM, Van Lanen HAJ, editor. Hydrological Drought: Processes and Estimation Methods for Streamflow and Groundwater. Volume 48. Development Water in Science. Amsterdam (NL): Elsevier. hlm 139-198. Jing F, Baisha W, Peng Z, Qing W. 2012. The recognition of drought and its driving mePanism based on “Natural-artificial” dual water cycle. Procedia Engineering. 28:580-585. Pearcy WG, Spoener A. 1987. Panges in the marine biota coincident with the 1982–83 El Niño in the northeastern subarctic Pacific Ocean. J. Geophys. Res. P. 92 (C13): 14417–14428. Sayok AK, Nik AR, Melling L, Samad RA, Efransjah E. 2008. Some characteristics of peat in Loagan Bunut National Park, Sarawak, Malaysia. In: International Symposium, Workshop and Seminar on Tropical Peatland, Yogyakarta, Indonesia, 27-31 August 2007. [tersedia di: CARBOPEAT website (www.geog.le.ac.uk/carbopeat/yogyaproc.html]. Shaliha JA, Arifin A, Hazandy AH, Latib A, Majid NM, Shamshuddin J. 2012. Emphasizing the properties of soils occuring in different land use types of tropical rainforest in Sarawak, Malaysia. African J. Agric. Res. 7(48) : 64796487. doi : 10.5897/AJAR11.1785. Sue G, Alstad K, Chen J, Chen S, Ford C R, Lin G, Liu C, Lu N, McNulty S G, Miao H, Noormets A, Vose J M, Wilske B, Zeppel M, Zhang Y, Zhang Z. 2011. A general predictive model for estimating monthly ecosystem evapotranspiration. Ecohydrol. 4, 245–255. doi: 10.1002/eco.194. Tallaksen LM. dan van Lanen HAJ. (Eds.). 2004: Hydrological Drought – Processes and Estimation Methods for Streamflow and Groundwater, Developments inWater Sciences 48, Elsevier B.V. Amsterdam. Van Lanen HAJ, Wanders N, Tallaksen LM, Van Loon AF. 2013. Hydrological drought across the world: impact of climate and physical catchment structure. J. Hydrol. Earth Syst. Sci.doi:10.5194/hess-17-1715-2013. Widodo IT dan Dasanto BD. 2010. Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus:Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau). Agromet. Vol. 24, No.1. ISSN 0126 3633. Pp. 23-32. http://journal. ipb.ac.id/index.php/agromet. Wilhite DA. 1993. Drought Assessment, Management and Planning: Theory and Case Studies. Natural Resources Management and Policy Series. A. Dinar and D. Zilberman, Series Editors, Kluwer Publishers. April , 293 pp.
17
LAMPIRAN Lampiran 1 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan Gambut + Hutan No
Awal
1 2
Gambut + Non Hutan
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
Mar-03
Jun-03
4
Mar-05
Apr-05
2
84
10.6
63
-36.4
3
Mar-06
Apr-06
2
1
4
Jan-08
Jun-08
6
229
5 6
Mar-09
Apr-09
2
Jan-12
Feb-12
2
7
Jun-12
Des-12
8
Mar-14
SOI
Mar-03
Jun-03
4
86
10.6
Mar-05
Apr-05
2
65
-36.4
-7.0
Mar-06
Apr-06
2
3
-7.0
1.8
Jan-08
Jun-08
6
233
1.8
114
-7.4
Mar-09
Apr-09
2
116
-7.4
71
-13.5
Jan-12
Feb-12
2
70
-13.5
7
388
-4.5
Jun-12
Des-12
7
392
-4.5
Mei-14
3
174
-1.8
Mar-14
Mei-14
3
174
-1.8
9
Sep-14
Okt-14
2
88
-10.5
Sep-14
Okt-14
2
87
-10.5
10
Des-14
Feb-15
3
113
-8.4
Des-14
Feb-15
3
111
-8.4
11
Nop-28
Des-28
2
33
7.2
Nop-28
Des-28
2
32
7.2
12
Agu-38
Sep-38
2
55
10.3
Agu-38
Sep-38
2
54
10.3
13
Feb-39
Mar-39
2
53
9.7
Feb-39
Mar-39
2
55
9.7
14
Mei-43
Jun-43
2
65
-2.6
Mei-43
Jun-43
2
64
-2.6
15
Des-58
Jan-59
2
112
-7.6
Des-58
Jan-59
2
114
-7.6
16
Apr-61
Jun-61
3
162
2.5
Apr-61
Jun-61
3
166
2.5
17
Agu-61
Sep-61
2
140
0.5
Agu-61
Nop-61
4
263
0.8
18
Mei-64
Agu-64
4
205
7.8
Mei-64
Agu-64
4
215
7.8
19
Apr-65
Agu-65
5
431
-12.0
Apr-65
Agu-65
5
445
-12.0
20
Okt-65
Nop-65
2
207
-14.5
Okt-65
Nop-65
2
206
-14.5
21
Jan-66
Feb-66
2
121
-8.1
Jan-66
Feb-66
2
122
-8.1
22
Jul-66
Sep-66
3
44
0.3
Jul-66
Sep-66
3
48
0.3
23
Apr-67
Mei-67
2
190
-3.3
Apr-67
Mei-67
2
193
-3.3
24
Agu-67
Okt-67
3
86
3.6
Agu-67
Okt-67
3
89
3.6
25
Des-68
Feb-69
3
57
-6.1
Des-68
Feb-69
3
59
-6.1
26
Agu-71
Sep-71
2
94
15.4
Agu-71
Sep-71
2
95
15.4
27
Nop-72
Jan-73
3
177
-6.2
Nop-72
Jan-73
3
173
-6.2
28
Okt-79
Nop-79
2
49
-3.6
Okt-79
Nop-79
2
49
-3.6
29
Sep-82
Des-82
4
259
-23.5
Sep-82
Des-82
4
252
-23.5
30
Feb-83
Apr-83
3
292
-26.1
Feb-83
Apr-83
3
282
-26.1
31
Okt-84
Nop-84
2
93
-0.6
Okt-84
Nop-84
2
91
-0.6
32
Feb-87
Mar-87
2
76
-14.6
Feb-87
Mar-87
2
73
-14.6
33
Nop-89
Des-89
2
24
-3.5
Nop-89
Des-89
2
20
-3.5
34
Jul-90
Agu-90
2
99
0.3
Jul-90
Agu-90
2
96
0.3
35
Jan-91
Mar-91
3
90
-1.6
Jan-91
Mar-91
3
85
-1.6
36
Sep-91
Okt-91
2
138
-14.8
Sep-91
Okt-91
2
134
-14.8
18
37
Jan-92
Jul-92
7
386
-13.8
Jan-92
Jul-92
7
375
-13.8
38
Nop-92
Jan-93
3
150
-7.0
Nop-92
Jan-93
3
149
-7.0
39
Sep-94
Nop-94
3
226
-12.9
Sep-94
Nop-94
3
218
-12.9
40
Jun-95
Jul-95
2
71
1.4
Jun-95
Jul-95
2
69
1.4
41
Mei-96
Agu-96
4
107
6.7
Mei-96
Agu-96
4
100
6.7
42
Mar-97
Jun-97
4
252
-17.8
Mar-97
Jun-97
4
247
-17.8
43
Agu-97
Mar-98
8
657
-18.5
Agu-97
Mar-98
8
632
-18.5
44
Jun-98
Agu-98
3
72
11.4
Jun-98
Agu-98
3
63
11.4
45
Jan-02
Mar-02
3
162
1.7
Jan-02
Mar-02
3
156
1.7
46
Agu-02
Okt-02
3
162
-9.9
Agu-02
Okt-02
3
155
-9.9
47
Agu-04
Okt-04
3
165
-4.7
Agu-04
Okt-04
3
158
-4.7
19
Lampiran 2 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan Mineral + Hutan
Mineral + Non Hutan
No
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
1
Mar-03
Mei-03
4
2
Mar-05
Apr-05
2
15
10.7
3
-36.4
3
Jan-08
Mei-08
5
24
4
Mar-09
Apr-09
2
5 6
Jan-12
Feb-12
Okt-12
Jan-13
7
Mar-14
8
SOI
Mar-03
Jun-03
4
63
10.6
Mar-05
Apr-05
2
58
-36.4
2.6
Jan-08
Jun-08
6
117
1.8
3
-7.4
Mar-09
Apr-09
2
50
-7.4
2
11
-13.5
Jan-12
Feb-12
2
46
-13.5
5
127
-3.4
Agu-12
Jan-13
6
226
-4.8
Mei-14
3
15
-1.8
Sep-13
Okt-13
2
15
-9.3
Okt-14
Apr-15
8
59
-10.5
Mar-14
Jun-14
4
95
-5.6
9
Feb-36
Mar-36
2
0
1.2
Agu-14
Apr-15
9
151
-12.6
10
Okt-40
Des-40
3
55
-18.2
Nop-28
Des-28
2
19
7.2
11
Apr-53
Mei-53
2
6
-16.2
Feb-36
Mar-36
2
20
1.2
12
Des-58
Jan-59
2
33
-7.6
Agu-38
Sep-38
2
0
10.3
13
Apr-61
Mei-61
2
15
5.4
Feb-39
Mar-39
2
29
9.7
14
Okt-61
Nop-61
3
71
0.7
Mei-43
Jun-43
2
38
-2.6
15
Apr-65
Mei-65
2
15
-6.6
Des-58
Jan-59
2
56
-7.6
16
Okt-65
Nop-65
3
71
-9.7
Apr-61
Jun-61
3
74
2.5
17
Jan-66
Feb-66
2
11
-8.1
Agu-61
Nop-61
4
127
0.8
18
Nop-66
Des-66
2
68
-2.1
Sep-63
Nop-63
3
92
-9.1
19
Apr-67
Mei-67
2
15
-3.3
Mei-64
Jun-64
2
42
5.1
20
Des-68
Mei-69
6
28
-5.3
Apr-65
Jun-65
3
74
-8.7
21
Nop-72
Jan-73
3
117
-6.2
Agu-65
Nop-65
4
111
-13.7
22
Okt-79
Nop-79
2
18
-3.6
Jan-66
Feb-66
2
46
-8.1
23
Okt-82
Des-82
4
115
-18.2
Agu-66
Sep-66
2
0
0.9
24
Feb-83
Apr-83
3
3
-26.1
Nop-66
Des-66
2
96
-2.1
25
Feb-87
Mar-87
2
0
-14.6
Apr-67
Mei-67
2
74
-3.3
26
Nop-89
Des-89
2
7
-3.5
Agu-67
Okt-67
3
35
3.6
27
Jan-91
Mar-91
3
12
-1.6
Mei-68
Jun-68
2
42
13.5
28
Jan-92
Mei-92
5
27
-15.4
Des-68
Feb-69
3
41
-6.1
29
Nop-92
Jan-93
3
63
-7.0
Mei-69
Jun-69
2
42
-3.6
30
Okt-94
Nop-94
3
71
-7.1
Agu-71
Sep-71
2
0
15.4
31
Mar-97
Mei-97
3
15
-15.7
Nop-72
Des-72
2
148
-7.8
32
Okt-97
Apr-98
8
98
-17.2
Okt-79
Nop-79
2
31
-3.6
33
Jan-02
Mar-02
3
12
1.7
Agu-82
Des-82
5
200
-23.5
34
Okt-02
Nop-02
3
25
-4.5
Feb-83
Mei-83
4
75
-18.1
35
-
-
-
-
-
Okt-84
Nop-84
2
73
-0.6
Feb-87
Mar-87
2
39
-14.6
Nop-89
Des-89
2
8
-3.5
Jan-91
Mar-91
3
60
-1.6
Sep-91
Okt-91
2
43
-14.8
36 37 38 39
20
40 41 42 43 44 45 46 47 48
-
-
-
-
-
Jan-92
Jun-92
6
143
-15.0
Nop-92
Jan-93
3
113
-7.0
Sep-94
Nop-94
3
125
-12.9
Mei-96
Jun-96
2
42
7.6
Mar-97
Jun-97
4
91
-17.8
Agu-97
Apr-98
9
238
-19.1
Jan-02
Mar-02
3
70
1.7
Agu-02
Nop-02
4
60
-8.9
Agu-04
Okt-04
3
44
-4.7
21
Lampiran 3 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda Gambut + Hutan
Gambut + Non Hutan
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
1
Feb-08
Mei-08
4
2
Mar-09
Apr-09
2
89
5.9
Feb-08
Mei-08
4
88
5.9
56
-7.4
3
Jan-12
Feb-12
Mar-09
Apr-09
2
56
-7.4
2
28
-13.5
4
Nop-12
Jan-12
Feb-12
2
28
-13.5
Des-12
2
71
-2.7
5
Okt-12
Des-12
3
71
-4.47
Feb-14
Mei-14
4
69
-0.85
Feb-14
Mei-14
4
68
-0.85
6
Feb-39
Mar-39
2
31
9.65
Feb-39
Mar-39
2
30
9.65
7
Feb-50
Mar-50
2
8
17.6
Feb-50
Mar-50
2
7
17.6
8
Nop-51
Jan-52
3
170
-5.2
Nop-51
Jan-52
3
171
-5.2
9
Apr-57
Mei-57
2
46
-5.5
Apr-57
Mei-57
2
47
-5.5
10
Okt-57
Nop-57
2
31
-6.6
Okt-57
Nop-57
2
32
-6.6
11
Jun-59
Agu-59
3
81
-5.43
Jun-59
Agu-59
3
86
-5.43
12
Mei-61
Jun-61
2
73
-0.9
Mei-61
Jun-61
2
76
-0.9
13
Okt-61
Nop-61
2
164
1.1
Okt-61
Nop-61
2
168
1.1
14
Sep-63
Jan-64
5
277
-8.6
Sep-63
Jan-64
5
279
-8.6
15
Mei-64
Sep-64
5
203
9.08
Mei-64
Sep-64
5
212
9.08
16
Nop-64
Des-64
2
48
-0.2
Nop-64
Des-64
2
52
-0.2
17
Jun-65
Jul-65
2
76
-17.7
Jun-65
Jul-65
2
80
-17.7
18
Sep-65
Nop-65
3
209
-14.4
Sep-65
Nop-65
3
212
-14.4
19
Apr-66
Jun-66
3
76
-5.03
Apr-66
Jun-66
3
76
-5.03
20
Sep-66
Nop-66
3
61
-1.6
Sep-66
Nop-66
3
62
-1.6
21
Okt-67
Nop-67
2
117
-2.05
Agu-67
Nop-67
4
209
1.72
22
Jan-69
Mar-69
3
126
-6.2
Jan-69
Mar-69
3
126
-6.2
23
Mei-69
Agu-69
4
218
-4.62
Mei-69
Agu-69
4
220
-4.62
24
Okt-69
Nop-69
2
39
-5.9
Okt-69
Nop-69
2
41
-5.9
25
Mei-71
Jun-71
2
51
5.9
Mei-71
Jun-71
2
51
5.9
26
Nop-72
Feb-73
4
257
-8
Nop-72
Feb-73
4
251
-8
27
Des-76
Jan-77
2
84
-3.5
Des-76
Jan-77
2
85
-3.5
28
Mar-79
Apr-79
2
19
-4.25
Feb-81
Mar-81
2
69
-9.9
29
Feb-81
Mar-81
2
72
-9.9
Jul-81
Agu-81
2
111
7.65
30
Jul-81
Agu-81
2
116
7.65
Jul-82
Des-82
6
292
-22.82
31
Jul-82
Des-82
6
294
-22.82
Feb-83
Mei-83
4
237
-18.08
32
Feb-83
Mei-83
4
247
-18.08
Agu-83
Sep-83
2
85
5
33
Agu-83
Sep-83
2
87
5
Okt-84
Nop-84
2
60
-0.55
34
Okt-84
Nop-84
2
58
-0.55
Mei-85
Jun-85
2
79
-3.4
35
Mei-85
Jun-85
2
80
-3.4
Mei-86
Jun-86
2
79
2.05
36
Mei-86
Jun-86
2
85
2.05
Sep-87
Okt-87
2
112
-8.4
37
Sep-87
Okt-87
2
115
-8.4
Jul-90
Sep-90
3
71
-2.37
38
Jul-90
Nop-90
5
115
-2.12
Jun-91
Mar-92
10
478
-12.72
39
Jun-91
Mar-92
10
493
-12.72
Mei-92
Jul-92
3
181
-6.4
No
22
40
Mei-92
Jul-92
3
184
-6.4
Agu-93
Sep-93
2
46
-10.8
41
Agu-93
Sep-93
2
47
-10.8
Sep-94
Okt-94
2
174
-15.65
42
Sep-94
Okt-94
2
176
-15.65
Mei-95
Okt-95
6
225
-0.6
43
Mei-95
Okt-95
6
231
-0.6
Jul-96
Agu-96
2
43
5.7
44
Jul-96
Agu-96
2
45
5.7
Mar-97
Nop-97
9
663
-16.48
45
Mar-97
Nop-97
9
677
-16.48
Jan-98
Mar-98
3
229
-23.73
46
Jan-98
Mar-98
3
240
-23.73
Jul-98
Agu-98
2
31
12.2
47
Jul-98
Agu-98
2
37
12.2
Jul-99
Agu-99
2
26
3.45
48
Jul-99
Agu-99
2
27
3.45
Nop-99
Des-99
2
63
12.95
49
Nop-99
Des-99
2
64
12.95
Apr-00
Mei-00
2
104
10.2
50
Apr-00
Mei-00
2
109
10.2
Jan-02
Feb-02
2
60
5.2
51
Jan-02
Feb-02
2
63
5.2
Jul-06
Agu-06
2
23
-12.4
52
Agu-04
Okt-04
3
130
-4.7
Okt-06
Nop-06
2
72
-8.35
53
Jul-06
Agu-06
2
23
-12.4
Okt-07
Nop-07
2
35
7.6
54
Okt-06
Nop-06
2
73
-8.35
Agu-09
Okt-09
3
79
-5.27
55
Okt-07
Nop-07
2
35
7.6
56
Agu-09
Okt-09
3
83
-5.27
-
-
-
-
-
23
Lampiran 4 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda Mineral + Hutan No
Mineral + Non Hutan
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
1
Feb-08
Mei-08
4
82
2
Mar-09
Apr-09
2
51
3
Jan-12
Feb-12
2
27
4
Nop-12
Des-12
3
82
5
Feb-14
Mei-14
4
6
Feb-15
Apr-15
3
7
Feb-39
Mar-39
8
Feb-50
SOI
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
5.9
Feb-08
Mei-08
4
86
5.9
-7.4
Mar-09
Apr-09
2
56
-7.4
-13.5
Jan-12
Feb-12
2
28
-13.5
-1.8
Nop-12
Des-12
2
65
-2.7
63
-0.85
Feb-14
Mei-14
4
66
-0.85
46
-13.47
Feb-39
Mar-39
2
30
9.65
2
28
9.65
Feb-50
Mar-50
2
7
17.6
Mar-50
2
4
17.6
Nop-51
Jan-52
3
164
-5.2
9
Nop-51
Jan-52
3
118
-5.2
Apr-57
Mei-57
2
45
-5.5
10
Apr-57
Mei-57
2
43
-5.5
Okt-57
Nop-57
2
17
-6.6
11
Mei-61
Jun-61
2
13
-0.9
Jun-59
Jul-59
2
28
-5.65
12
Nop-61
Des-61
3
65
7
Mei-61
Jul-61
3
39
0.13
13
Nop-63
Jan-64
4
118
-6.22
Okt-61
Des-61
3
104
5.33
14
Mei-64
Jun-64
2
25
5.1
Okt-63
Jan-64
4
171
-9.45
15
Apr-66
Jun-66
3
53
-5.03
Mei-64
Jul-64
3
51
5.67
16
Jan-69
Mar-69
3
107
-6.2
Jun-65
Jul-65
2
28
-17.7
17
Mei-69
Jun-69
2
45
-3.6
Okt-65
Nop-65
2
56
-14.5
18
Mei-71
Jun-71
2
14
5.9
Apr-66
Jun-66
3
74
-5.03
19
Nop-72
Feb-73
4
126
-8
Okt-66
Nop-66
2
53
-1.3
20
Des-76
Jan-77
2
57
-3.5
Okt-67
Nop-67
2
56
-2.05
21
Feb-81
Mar-81
2
64
-9.9
Jan-69
Mar-69
3
126
-6.2
22
Nop-82
Des-82
3
82
-17.47
Mei-69
Jul-69
3
94
-4.7
23
Feb-83
Mei-83
4
167
-18.08
Okt-69
Nop-69
2
26
-5.9
24
Mei-85
Jun-85
2
11
-3.4
Mei-71
Jun-71
2
38
5.9
25
Mei-86
Jun-86
2
45
2.05
Nop-72
Feb-73
4
181
-8
26
Mar-87
Apr-87
2
73
-20.5
Des-76
Jan-77
2
79
-3.5
27
Mei-90
Jun-90
2
45
7.05
Okt-79
Nop-79
2
25
-3.6
28
Nop-91
Mar-92
6
141
-13.82
Feb-81
Mar-81
2
69
-9.9
29
Mei-92
Jun-92
2
45
-6.15
Okt-82
Des-82
3
118
-24.2
30
Mei-95
Jun-95
2
45
-5.25
Feb-83
Mei-83
4
209
-18.08
31
Mar-97
Jun-97
4
154
-17.8
Okt-84
Nop-84
2
45
-0.55
32
Jan-98
Mar-98
3
111
-23.73
Mei-85
Jun-85
2
33
-3.4
33
Nop-99
Des-99
3
67
8.63
Mei-86
Jun-86
2
77
2.05
34
Apr-00
Mei-00
2
61
10.2
Okt-90
Nop-90
2
56
-1.75
35
Jan-02
Feb-02
2
60
5.2
Jun-91
Jul-91
2
28
-3.6
36
-
-
-
-
-
Okt-91
Mar-92
6
191
-15.97
Mei-92
Jul-92
3
68
-6.4
Okt-94
Nop-94
2
47
-10.7
Mei-95
Jul-95
3
94
-2.1
37 38 39
24
40 41 42 43 44 45 46 47
-
-
-
-
-
Mar-97
Jul-97
5
213
-16.14
Okt-97
Nop-97
2
56
-16.5
Jan-98
Mar-98
3
177
-23.73
Nop-99
Des-99
2
66
12.95
Apr-00
Mei-00
2
85
10.2
Jan-02
Feb-02
2
60
5.2
Okt-02
Nop-02
2
2
-6.7
Okt-06
Nop-06
2
55
-8.35
25
Lampiran 5 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin Gambut + Non Hutan
Gambut + Hutan No
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
1
Feb-18
Mar-18
2
30
2
Mei-25
Jun-25
2
17
3
Mei-29
Jun-29
2
18
4
Des-56
Jan-57
2
5
Sep-57
Nop-57
6
Apr-63
Jul-63
7
Feb-64
8
Des-64
SOI
Awal
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
7.3
Feb-18
Apr-18
3
37
10.5
-2.9
Mei-25
Jun-25
2
22
-2.9
-5.6
Mei-29
Jun-29
2
23
-5.6
13
8.0
Des-56
Jan-57
2
19
8.0
3
58
-7.9
Sep-57
Nop-57
3
65
-7.9
4
176
-0.4
Okt-61
Des-61
3
97
5.3
Mar-64
2
21
4.1
Apr-63
Jul-63
4
190
-0.4
Jan-65
2
28
-3.5
Feb-64
Mar-64
2
25
4.1
9
Jul-65
Sep-65
3
44
-16.1
Des-64
Jan-65
2
37
-3.5
10
Okt-67
Nop-67
2
100
-2.1
Jul-65
Sep-65
3
56
-16.1
11
Jan-69
Feb-69
2
177
-10.2
Okt-67
Nop-67
2
108
-2.1
12
Jun-69
Jul-69
2
33
-3.8
Jan-69
Feb-69
2
182
-10.2
13
Jan-71
Mar-71
3
95
12.5
Jun-69
Jul-69
2
38
-3.8
14
Mei-72
Jun-72
2
90
-14.1
Jan-71
Mar-71
3
103
12.5
15
Agu-72
Des-72
5
118
-10.1
Mei-72
Jun-72
2
94
-14.1
16
Mar-76
Mei-76
3
23
5.5
Agu-72
Des-72
5
118
-10.1
17
Sep-77
Okt-77
2
7
-11.2
Mar-76
Mei-76
3
37
5.5
18
Jan-78
Feb-78
2
158
-13.7
Sep-77
Okt-77
2
12
-11.2
19
Sep-82
Des-82
4
241
-23.5
Jan-78
Feb-78
2
164
-13.7
20
Agu-83
Sep-83
2
16
5.0
Jul-82
Des-82
6
274
-22.8
21
Feb-90
Mar-90
2
48
-12.9
Agu-83
Sep-83
2
20
5.0
22
Agu-90
Nop-90
4
40
-4.0
Feb-90
Mar-90
2
51
-12.9
23
Jun-91
Okt-91
5
128
-8.9
Agu-90
Nop-90
4
47
-4.0
24
Sep-94
Nop-94
3
69
-12.9
Jun-91
Okt-91
5
134
-8.9
25
Mei-97
Nop-97
7
235
-17.7
Sep-94
Nop-94
3
76
-12.9
26
Apr-05
Jun-05
3
57
-7.7
Mei-97
Nop-97
7
248
-17.7
27
Des-07
Jan-08
2
44
14.3
Apr-05
Jun-05
3
61
-7.7
28
Agu-09
Sep-09
2
24
-0.6
Des-07
Jan-08
2
47
14.3
29
-
-
-
-
-
Agu-09
Sep-09
2
27
-0.6
26
Lampiran 6 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin Mineral + Hutan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Awal Feb18 Des30 Mar38 Mar51 Feb56 Des56 Feb64 Des64
Akhir
Durasi
Mineral + Non Hutan Defisit
SOI
Apr-18
3
63
10.5
Jan-31
3
31
1.9
Apr-38
2
8
0.0
Apr-51
2
81
-1.4
Mar-56
2
47
10.9
Jan-57
2
28
8.0
Mar-64
2
50
4.1
Jan-65
2
41
-3.5
Awal Apr16 Feb18 Mei20 Apr25 Mei29 Des30 Mar38 Mei47 Mar51 Feb56 Des56 Apr63 Feb64 Des64 Apr65
Akhir
Durasi
Defisit
SOI
Mei-16
2
27
3.2
Apr-18
3
74
10.5
Jun-20
2
0
2.0
Jun-25
3
6
2.9
Jun-29
2
0
-5.6
Jan-31
2
41
2.8
Apr-38
2
10
0.0
Jun-47
2
0
-5.6
Apr-51
2
115
-1.4
Mar-56
2
48
10.9
Jan-57
2
36
8.0
Jun-63
3
27
-0.2
Mar-64
2
49
4.1
Jan-65
2
53
-3.5
Mei-65
2
27
-6.6
9
Jan-69
Feb-69
2
203
-10.2
10
Jan-71
Mar-71
3
137
12.5
11
Mar76
Apr-76
2
23
7.2
12
Jan-78
Feb-78
2
184
-13.7
Jan-87
2
143
-10.0
Apr-90
3
79
-8.8
Feb-92
2
56
-17.4
Apr-97
2
81
-12.4
Jan-69
Feb-69
2
205
-10.2
Apr-98
2
56
-26.5
Jan-71
Mar-71
3
139
12.5
Jan-08
2
57
14.3
Jun-72
2
0
-14.1
Mar-09
2
32
7.5
Mei-76
3
48
5.5
Feb-78
2
187
-13.7
Jan-87
2
175
-10.0
Mar-90
2
75
-12.9
Jun-90
2
0
7.1
Feb-92
2
57
-17.4
Jun-92
2
0
-6.2
Jun-97
4
106
-17.8
Mei-98
3
51
-17.5
Mei-00
2
23
10.2
Jun-05
3
26
-7.7
Jan-08
2
64
14.3
Mar-09
2
31
7.5
Des86 Feb90
13 14 15 16 17 18 19
Jan-92 Mar97 Mar98 Des07 Feb09
20
-
-
-
-
-
21
-
-
-
-
-
22
-
-
-
-
-
23
-
-
-
-
-
25
-
-
-
-
-
26
-
-
-
-
-
27
-
-
-
-
-
28
-
-
-
-
-
29
-
-
-
-
-
30
-
-
-
-
-
31
-
-
-
-
-
24
Mei72 Mar76 Jan-78 Des86 Feb90 Mei90 Jan-92 Mei92 Mar97 Mar98 Apr00 Apr05 Des07 Feb09
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 1 Februari 1993 dan merupakan anak kedua dari Ayah Andi Rinaldi dan Ibu Octivia Trisilawati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SDN Pengadilan 5 Bogor. Tahun 2007 penulis lulus dari jenjang pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 3 Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 9 Bogor pada tahun 2010. Penulis melanjutkan pendidikan di IPB pada tahun 2010 melalui jalur Ujian Talenta Masuk IPB (UTMI) dan diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis mendalami penelitian tentang kekeringan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Selama menjalani perkuliahan, penulis menjadi pengurus organisasi HIMAGRETO, dan menjabat sebagai staf CI (Communication and Information), periode 2013/2014.
28