REPRESENTASI STEREOTYPE TERHADAP SUKU PAPUA KOROWAI (Analisis Semiotika tentang Representasi Stereotype Terhadap Suku Korowai dalam Film Lost In Papua )
NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai gelar Sarjana S-1 Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh : Gabriella Hemas Sabatini L 100080088
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
2
ABSTRAK
GABRIELLA HEMAS SABATINI, L100080088, REPRESENTASI STEREOTYPE TERHADAP SUKU PAPUA KOROWAI (Analisis Semiotika tentang Representasi Stereotype Terhadap Suku Papua Korowai dalam Film “Lost In Papua”). Penelitian ini memiliki judul representasi stereotype terhadap Suku Papua Korowai dalam film Lost In Papua. Adanya penggambaran stereotype terhadap suku Papua Korowai yang digambarkan sebagai suku kanibal, primitif dan kejam. Suku Korowai adalah kelompok sosial yang merupakan penduduk asal dalam wilayah Kabupaten Merauke, provinsi Papua. Keistimewaan dari suku Korowai adalah memiliki rumah-rumah pohon yang tinggi. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif dengan metode analisis semiotik Roland Barthes. Analisis dilakukan per-scene yang menunjukkan representasi stereotype terhadap suku Papua Korowai. Data ini dianalisis berdasarkan aspek sinematografi dan aspek sosial melalui tahap denotatif dan konotatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya representasi stereotype suku Papua Korowai dalam film Lost In Papua sebagai suku primitif dan kanibal. Pemakaian oposisi biner dalam tahap konotasi yang membedakan antara suku Papua Korowai dan masyarakat Papua modern dalam hal berpakaian, tempat tinggal, mata pencaharian, bahasa, dan kanibalisme. Representasi mengenai stereotype terhadap suku Papua Korowai digambarkan dalam film Lost In Papua ini dalam bentuk tanda-tanda baik secara verbal maupun nonverbal. Penggambaran tanda-tanda ini melalui pengemasan di dalam bentuk-bentuk seperti primitif dan kanibalisme. Stereotype terhadap suku Papua Korowai yang masih merupakan peradaban primitif dikarenakan masyarakat dari suku Papua Korowai belum mampu menerima budaya dari luar dan masih mempertahankan budaya maupun adat nenek moyangnya. Kanibalisme yang terjadi sudah mulai dihilangkan sejak tahun 1990-an . Kata Kunci: Representasi, Stereotype, Suku Papua Korowai, Analisis Semiotika
1
adat yang lain, bisa menampilkan corak
1. PENDAHULUAN Realita kehidupan yang ada dapat
khas yang terutama terlihat oleh orang luar
dituangkan ke dalam sebuah film, baik itu
yang
film fiksi maupun film dengan berlatar
bersangkutan
belakang kehidupa nyata. Pegambilan ide
263).
cerita
dari
realitas
kehidupan
dapat
bukan
warga
masyarakat
(Koentjaraningrat,
Suku Korowai
adalah
2002:
kelompok
mempengaruhi pola pikir penikmat film.
sosial yang merupakan penduduk asal
Hal ini dikarenakan film sebagai media
dalam
yang mampu merepresentasikan realitas
Provinsi Papua. Korowai memiliki bahasa
kehidupan yang ada.
yang termasuk dalam satu keluarga Awyu-
Realitas
dapat
Kabupaten
Merauke,
karena
Dumut yang mencangkup satu wilayah
terdapat keanekaragaman kehidupan, baik
luas antara Sungai Eiladen dan Digul
dari
(Ensiklopedia, 2006: 170).
kebudayaan
Kebudayaan
terbentuk
wilayah
maupun
sosialnya.
inilah
yang
dapat
Keistimewaan dari suku Korowai
para
sineas
untuk
adalah memiliki rumah-rumah pohon yang
mengembangkan ide ke dalam sebuah film
menakjubkan yang tingginya jelas tidak
yang bertemaka budaya.
normal. Korowai merupakan salah satu
mempengaruhi
Suku
bangsa
merupakan
suatu
suku di Papua yang tidak memakai koteka.
kelompok yang memiliki ciri khas yang
Kaum lelaki memakai kantong jakar dan
dapat dilihat dari bahasa, adat istiadat,
sejenis
kebudayaan bahkan wilayah itu sendiri.
sedangkan kaum perempuan memakai rok
Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu
pendek yang terbuat dari daun sagu.
masyarakat yang dapat terwujud sebagai
dedaunan
Sebelum
tahun
sebagai
1990-an,
celana,
suku
komunitas desa, sebagai kota, sebagai
Korowai memiliki praktek sihir yang
kelompok kekerabatan, atau kelompok
mematikan dengan memakan organ vital
2
korban-korban
mereka.
Namun
pada
pertengahan 1990-an, praktek ini sudah
Digambarkan
negara
Indonesia
yang
suku
tersebut
merupakan suku kanibal dan kejam.
mulai ditinggalkan untuk menghindari kehadiran
bahwa
Adapun masalah yang diambil adalah Bagaimana
representasi
stereotype
mengganggu (Muller, 2011: 101). Lain
terhadap suku Papua Korowai dalam film
halnya dalam gambaran film Lost In
“Lost In Papua”. Tujuan dari penelitian
Papua, dimana digambarkan bahwa suku
ini
Korowai masih melakukan kanibalisme di
representasi
jaman sekarang. Hal ini menyebabkan
Papua Korowai dalam film Lost In Papua.
timbulnya stereotype di masyarakat luas
2. TINJAUAN PUSTAKA
tentang suku
Papua
khususnya
suku
Korowai.
yaitu
untuk
mendiskripsikan
stereotype
terhadap
suku
a. Representasi Menurut Marcel Danesi, kapasitas
Peneliti menggunakan film Lost In
otak untuk memproduksi dan memahami
Papua yang disutradarai oleh Irham Acho
tanda disebut semiosis, sementara aktivitas
Bachtiar. Film Lost In Papua memiliki
membentuk
keunikan dibanding dengan film yang
dimungkinkan
lainnya. Film ini mengangkat tentang salah
dilakukan oleh semua manusia disebut
satu suku di Papua dengan ciri khas
representasi (Danesi, 2010:24).
sendiri. Suku Korowai yang tinggal di
representasi
pohon
cultural
tinggi.
Peneliti
tertarik
pengetahuan
kapasitas
otak
yang untuk
Chris Barker menyebutkan bahwa
dalam hutan dan menempati rumah di atas yang
ilmu
merupakan
studies.
kajian
utama
Representasi
sendiri
bagaimana
dunia
menggunakan film ini karena adanya
dimaknai
penggambaran stereotype terhadap suku
dikonstruksikan secara sosial dan disajikan
Papua
kepada kita dan untuk kita di dalam
khususnya
suku
Korowai.
pemaknaan
sebagai
tertentu.
Cultural
studies
3
memfokuskan
diri
kepada
bagaimana
Stereotype
merupakan
proses
proses pemaknaan representasi (Barker,
penempatan orang-orang dan objek-objek
2005:8).
ke dalam kategori-kategori yang mapan,
Representasi
dapat
didefinisikan
atau penilaian mengenai orang-orang atau
lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda
objek berdasarkan kategori yang dianggap
(gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk
sesuai (Mulyana, 2005: 219). Dalam
menghubungkan,
menggambarkan,
bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas
memotret, dan mereproduksi sesuatu yang
Budaya, Larry A.Simovar dan Richard E.
dilihat,
atau
Porter mendefinisikan stereotype sebagai
dirasakan dalam bentuk fisik tertentu
persepsi atau kepercayaan yang akan kita
(Danesi, 2012: 20).
anut mengenai kelompok-kelompok atau
diindera,
Analisis
dibayangkan,
representasi
televisi
individu-individu berdasarkan pendapat
merupakan sebuah pendekatan kritis untuk
dan sikap yang dulu terbentuk. Stereotype
memahami signifikasi medium dan makna
adalah kategorisasi atas suatu kelompok
yang dibangun bagi khalayak televisi.
secara serampangan dengan mengabaikan
Menurut Graeme Burton,
perbedaan-perbedaan individual.
berhubungan penggambaran
representasi
dengan tidak
stereotype,
hanya
berkenaan
Stereotype dibangun dari waktu ke waktu,
yang
mana
setiap
kelompok
dengan tampilan fisik (appearance) dan
masyarakat
mempunyai
kerangka
deskripsi, melainkan juga terkait dengan
interpretasi
sendiri-sendiri
berdasarkan
makna (atau nilai) di balik tampilan fisik
lingkungan budaya. Stereotype merupakan
(Burton, 2007:41).
referensi pertama (penilaian umum) ketika
b. Stereotype
dalam
Antarbudaya
Komunikasi
seseorang atau kelompok melihat orang atau kelompok lain. Dengan kata lain, stereotype
bisa
menjadi
penghambat
4
potensial dalam komunikasi antarbudaya (Purwasito, 2003: 228). Komunikasi
Etnis merupakan konsep budaya yang berpusat pada pembagian norma-
terjadi
norma,
ketika anggota dari satu budaya tertentu
budaya
memberikan pesan kepada anggota dari
kelompok etnis bergantung pada penanda
budaya yang lain. Komunikasi antarbudaya
budaya
melibatkan interaksi antara orang-orang
berdasarkan
yang
masyarakat dan politik yang mendorong
persepsi
antarbudaya
budaya
dan
sistem
simboliknya cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar, 2010:13).
sejarah
dan
keyakinan,
praktek.
yang
telah
sejarah,
simbol
Pembentukan
dikembangkan konteks
sosial
pada keturunan mytological umum. d. Semiotika Komunikasi sebagai
c. Etnik dan Ras Dalam
nilai-nilai,
Bidang Kajian bangsa-bangsa,
Semiotik sebagai suatu model dari
konsepsi mengenai aneka warna ciri tubuh
ilmu pengetahuan sosial memahami dunia
manusia itu telah menyebabkan banyak
sebagai sistem hubungan yang memiliki
kesedihan dan kesengsaraan, karena suatu
unit dasar yang disebut dengan “tanda”.
salah faham besar yang hidup dalam
Semiotik mempelajari hakikat tentang
pandangan manusia berbagai bangsa. Salah
keberadaan suatu tanda (Sobur, 2009: 87).
faham itu mengacaukan ciri-ciri ras (yang
Menurut John Fiske, studi tentang
sebenarnya harus dikhususkan kepada ciri-
tanda dan cara tanda bekerja dinamakan
ciri jasmani semata-mata), dengan ciri-ciri
semiotika atau semiologi (Fiske, 2011: 60).
rohani: salah faham tadi memberi penilaian
Sebenarnya
tinggi rendah kepada ras-ras berdasarkan
semiologi mengandung pengertian yang
perbedaan tinggi rendah rohani daripada
sama,
ras-ras itu (Koentjaraningrat, 2002: 90).
ditunjukkan dari pemikiran pemakainya.
istilah
meskipun
semiotika
atau
penggunaannya
Seperti halnya Peirce menggunakan kata
5
semiotika
sedangkan
menggunakan
kata
Saussure
dan menganalisis bagaimana representasi
Dalam
stereotype terhadap suku Papua Korowai
semiologi.
definisi Saussure, semiologi merupakan
dalam film Lost In Papua.
sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
tanda-tanda di tengah masyarakat dan
Di
dalam
analisis
ini
peneliti
menjadi bagian dari disiplin psikologi
menggunakan metode penelitian kualitatif
sosial. Para ahli semiotika Prancis tetap
dengan
mempertahankan istilah semiologi dengan
Roland Barthes. Analisis Roland Barthes
bidang-bidang
Saussure.
menggunakan dua tahapan penandaan,
Dengan beriringnya waktu, para ilmuwan
yang pertama adalah denotasi sebagai
menganggap bahwa kedua istilah ini
penata dalam tatanan pertama. Sedangkan
adalah sama meskipun penggunaannya
untuk tahapan kedua adalah konotasi dan
yang berbeda. Pada komite internasional di
mitos.
Paris pada bulan Januari 1969 memutuskan
digunakan
suatu
bahwa para ilmuwan hanya memakai
mnjelaskan
atau
semiotics (dalam ekuivalensinya dalam
aspek dari realitas suatu alam. Bagi
bahasa Prancis semiotique) menjadi istilah
Barthes, mitos merupakan cara berfikir
untuk semua peristilahan lama semiology
dari suatu kebudayaan tentang sesuatu,
dan semiotics (Sobur, 2004: 12-13).
cara untuk mengkonseptualisasikan atau
3. METODE PENELITIAN
memahami sesuatu (Barthes dalam Fiske,
kajian
dari
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif dengan
pendekatan
Mitos
analisis
semiotika
merupakan cerita kebudayaan memahami
yang untuk
beberapa
2011: 121). Cara
kerja
mitos
adalah
sejarah.
untuk
metode analisis semiotik. Adapun yang
menaturalisasikan
Kenyataan
menjadi objek penelitian adalah film Lost
bahwa mitos merupakan produk kelas
In Papua. Dalam film ini ingin mencari
sosial yang mencapai dominasi melalui
6
sejarah tertentu (Barthes dalam Fiske,
keluar dari suku Korowai yang letaknya di
2011: 122).
tengah huta belantara.
Korpus penelitian yang berupa scene terdiri
dari
beberapa
yang
setelah menonton film ini, dimana mereka
terhadap
akan berpendapat bahwa orang yag pergi
suku Papua Korowai dapat dianalisis
ke Papua pasti akan tersesat. Stereotype ini
berdasarkan katergori-kategori isi cerita
muncul
berikut :
tersebut dan megetahui isi dari film ini.
merepresentasikan
shot
Penonton akan mempuyai persepsi
stereotype
1. Analisis Stereotype Judul Film Lost In Papua sebagai Simbol Sebuah judul ibarat kepala yang menjadi penonton
pemimpin film
yang
untuk
setelah
membaca
judul
film
2. Representasi Stereotype Pakaian Pemakaian
denotasi
yang
menunjukkan pakaian terdapat pada korpus
menuntun
nomor 7,10,11,13. Pada korpus 7 gambar 4
memberikan
dan 5, Zabo dan masyarakat asli Papua
gambaran tentang isi film tersebut.
Korowai sedang berburu burung Kasuari
Pada makna denotasi, Lost In Papua
dimana mereka hanya memakai kantong
mempunyai pengertian yaitu tersesat di
jakar untuk menutupi penis. Pada korpus
Papua. Judul film ini dapat diartikan
10 ditunjukkan masyarakat Papua Korowai
bahwa Lost In Papua ini menggambarkan
sedang melakukan penyambutan kepada
bahwa akan tersesat di Papua.
Nadia dan teman-temannya setelah tiba di
Sedangkan pada makna konotasi,
suku Korowai.
Lost In Papua digambarkan bahwa jika
Pada level konotasi ini memakai
orang yang pergi ke Papua akan tersesat.
oposisi biner, dimana pada tahap ini terjadi
Dalam
teman-
perbedaan antara suku Papua Korowai dan
temannyatersesat di dalam hutan saat
masyarakat Papua modern. Masyarakat
film
ini
Nadia
dan
Papua modern mempunyai peradaban yang
7
lebih maju dalam hal berpakaian. Selain
Kenai yang sedang memasak makanan
itu, percampuran dari budaya luar yang
untuk mereka. Sedangkan pada korpus 10,
mengakibatkan masyarakat Papua modern
masyarakat
mempunyai sebuah pemikiran yang lebih
melakukan penyambutan kepada Nadia,
maju. Sedangkan suku Papua Korowai
Mery, Ebi dan Zabo setelah mereka tiba di
hanya menggunakan kantong jakar untuk
suku Korowai.
menutupi
bagian
penis.
Hal
ini
Papua
Korowai
sedang
Dalam film ini ditunjukkan adanya
menunjukkan sebuah peradaban suku yang
perbedaan
antara
tempat
tinggal
primitif
masyarakat
Papua
modern
dengan
atau
tradisional.
Peradaban
primitif ini mengakibatkan suku Papua
masyarakat Papua Korowai. Terlihat jelas
Korowai yang kurang peka dan belum
perbedaan
dapat terbuka terhadap perubahan yang
masyarakat
ada.
dianggap tradisional atau primitif dalam Pada level mitos ini adanya suatu
yang
menunjukkan
Papua
Korowai
bahwa masih
hal tempat tinggal.
persepsi yang menggambarkan stereotype
Berbeda dengan keadaan tempat tinggal
terhadap
masyarakat Papua modern, dimana mereka
suku
Papua
Korowai
yang
primitif. Pakaian adat suku Papua Korowai
sudah
terbuat dari kantong jakar yang digunakan
membangun rumah. Rumah yang sudah
untuk menutupi penis, sedangkan untuk
dibangun menggunakan batu bata dan
pakaian perempuan memanfaatkan daun
berbentuk tembok, ini menandakan bahwa
sagu yang digunakan sebagai rok pendek.
masyarakat
3. Representasi Stereotype Tempat Tinggal Pada korpus 9, Nadia, Mery, dan Ebi sedang menghampiri kepala suku dan
jauh
lebih
Papua
maju
dalam
modern
hal
sudah
mendapatkan pengaruh dari budaya luar sehingga membuat mereka semakin maju. Pada level mitos ini menunjukkan adanya
suatu
persepsi
yang
8
menggambarkan stereotype terhadap suku
manusia. Ini ditunjukkan bahwa suku
Papua Korowai yang masih primitif.
Papua Korowai masih bersifat primitif.
Tempat tinggal masyarakat Papua Korowai
Sedangkan masyarakat
berupa
rumah
mencari makan di minimarket dimana jenis
tersebut berada di atas pohon yang tinggi.
makanannya yaitu dari sayuran, buah,
Menurut mitos yang ada, rumah pohon
daging ataupun makanan ringan.
tersebut
pohon
menunjukkan bahwa masyarakat Papua
dikarenakan untuk menghindari hewan-
modern sudah tidak melakukan praktek
hewan buas yang berkeliaran di dalam
kanibalisme,
hutan.
makanan dari budaya luar. Dari sisi sinilah
rumah
pohon
dibangun
dimana
diatas
yang
Papua modern
sudah
Ini
mengenal
4. Representasi Stereotype Perilaku
masyarakat Papua modern dianggap sudah
Suku Papua Korowai sebagai
maju yang mempunyai pemikiran dan
Kanibalisme
dapat menyerap kebudayaan dari luar.
Pada level denotasi ini, terdapat dua
Suku Korowai ini termasuk suku
korpus yang menunjukkan adanya tanda
yang dahulu merupakan suku kanibal.
praktek kanibalisme yang digambarkan
Kanibalisme yang terjadi di suku Papua
dalam film Lost In Papua, yaitu korpus 1
Korowai merupakan salah satu praktek
dan 4.
sihir. Penyihir pemakan manusia disebut
Pada level konotasi ini memakai
“khakhua”. Namun pada tahun 1990-an,
level oposisi biner. Dimana pada tahap ini
suku Korowai telah meninggalkan praktek
tejadi
kanibalisme.
perbedaan
antara
suku
Papua
Korowai dan masyarakat Papua modern.
5. KESIMPULAN
Hal ini menunjukkan perbedaan dalam hal
Peneliti tertarik melakukan penelitian
makanan. Suku Papua Korowai melakukan
mengenai film Lost In Papua ini karena
praktek
penelitian ini yang membahas masalah
kanibalisme,
manusia
makan
9
kebudayaan Papua yang masih jarang.
suku Papua Korowai yang dianggap masih
Film ini memiliki genre drama namun
dalam peradaban primitif dan belum
disisipi adanya stereotype mengenai suku
adanya suatu kemajuan dari suku tersebut.
Papua khususnya Korowai.
Stereotype
terhadap
suku
Papua
Film Lost In Papua memberikan gambaran
Korowai yang masih merupakan peradaban
mengenai bagaimana terjadinya stereotype
primitif dikarenakan masyarakat dari suku
terhadap suku Papua Korowai. Film ini
Papua Korowai belum mampu menerima
mengambil
lokasi
budaya
keindahan
alam
di
dengan
budaya
dari
luar
dan
masih
yang
mempertahankan budaya maupun adat
mengenai
yang ditinggalkan dari nenek moyangnya
stereotype terhadap suku Papua Korowai
terdahulu. Lain hal dengan stereotype
muncul dalam film ini.
mengenai kanibalisme yang muncul dalam
dimilikinya.
dan
Papua
Simbol-simbol
Representasi mengenai stereotype terhadap
suku
Papua
film ini. Kanibalisme yang dilakukan oleh
Korowai
suku Papua yang digambarkan dalam film
digambarkan dalam film Lost In Papua ini
tersebut kemudian memunculkan persepsi
dalam bentuk tanda-tanda baik secara
negatif yang mengarah pada suku Papua
verbal maupun nonverbal. Penggambaran
Korowai. Sehingga suku Papua Korowai
tanda-tanda ini melalui pengemasan di
dimaknai merupakan suku kanibalisme. Di
dalam bentuk-bentuk seperti primitif dan
dalam penelitian ini mengandung mitos
kanibalisme.
muncul
yang kuat sehingga suku Papua Korowai
mengenai suku Papua Korowai banyak
diidentikkan sebagai suku yang primitif
digambarkan
dan
Stereotype
dalam
yang
film
tersebut.
kanibalisme.
Stereotype
semakin
Penyajian data dari mulai pakaian, tempat
dikuatkan dengan adanya fakta tentang
tinggal, mata pencaharian dan bahasa.
kanibalisme yang terjadi di suku Papua
Sehingga muncul suatu persepsi mengenai
Korowai.
10
PERSANTUNAN
DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro dan Erdinaya, Lukiati Komala. 2005. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. Burton, Graeme.2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Yogyakarta & Bandung : Jalasutra. Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori. Yogyakarta : Jalasutra.
Persantunan ini ditujukan kepada Fiske, 1. Fajar Junaedi, S.Sos., M.Si selaku dosen pembimbing I 2. Rinasari Kusuma, M.I.Kom selaku dosen pembimbing II
John. 2010. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Gamble, Teri Kwal, Michael Gamble. 2005. Communication Work. New York: McGraw-Hill Companies. Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi : Pokok-pokok etnografi. Jakarta: Rineka Cipta. Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Muller, Kal. 2011. Pesisir Selatan Papua. Indonesia : DW. Books. Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
11
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta : Lkis. Samovar, A. Larry dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya : Communication Between Cultures. Jakarta: Salemba Humanika. Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.