NASKAH PUBLIKASI
MOTIVASI KERJA GURU SEKOLAH LUAR BIASA
Oleh : HAFRIYANI DALIMUNTHE
SUS BUDIHARTO
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI ILMU SOSIAL DAN BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
NASKAH PUBLIKASI
MOTIVASI KERJA GURU SEKOLAH LUAR BIASA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog)
MOTIVASI KERJA GURU SLB
Hafriyani Dalimunthe Sus Budiharto
INTISARI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui motivasi kerja guru SLB. Aspek yang digunakan adalah aspek motivasi dari Abraham Maslow (1990) dan aspek motivasi dari Adz Dzakiey (2006). Responden dalam penelitian ini berjumlah enam orang responden yaitu, guru SLB. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan metode pengambilan data melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa motivasi kerja individu diawali dari motivasi awal dimana secara umum masing-masing responden bekerja sebagai guru SLB tidak dimulai dari keinginan pribadi yang kuat walaupun motivasi awal masing-masing responden didominasi oleh kebutuhan psikologis dan spiritual (Ingin bergerak dalam bidang sosial, tertarik berbuat sesuatu untuk anak cacat, ingin mempraktekkan ilmu yang didapat). Hal ini menyebabkan masing-masing responden memiliki motivasi kerja yang belum terpetakan dengan jelas dan masih memandang pekerjaan guru SLB dalam sudut pandang yang idealis. Penelitian ini juga menemukan bahwa secara umum motivasi kerja pada individu yang bekerja sebagai guru SLB adalah semakin besarnya motivasi kerja yang dimiliki individu dan mulai mempertimbangkan kebutuhan fisiologis, psikologis, dan spiritual secara realistis yaitu, kebutuhan ekonomi, aktualisasi diri, memandirikan anak, ibadah, menjadi guru yang baik, tidak tergantung pada suami. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja guru SLB motivasi personal, dukungan sosial, pengaruh lingkungan, dan hambatan dalam bekerja. Kiat mengatasi hambatan yang muncul dari perasaan positif, mengubah kekurangan menjadi kelebihan, melakukan ketrampilan untuk menetralisir emosi Kata kunci : Motivasi kerja
PENGANTAR Posisi yang baik di dalam pekerjaan, lingkungan kerja yang baik dan terjamin, dan tentu saja gaji yang baik adalah patokan bagi setiap orang ketika memulai terjun ke dalam dunia kerja. Salah satu profesi yang dipilih oleh para calon pekerja adalah guru. Menurut Suparlan (2005), guru adalah satu profesi yang menggeluti kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan, bagi anak-anak dan generasi muda bangsa. Sehingga, bila berbicara tentang profesi guru tentu saja para calon pekerja yang hendak memilih pekerjaan ini harus memiliki kompetensi. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi professional (Sudrajat, 2007). Perlu diketahui bahwa guru mempunyai peran dan fungsi yang tidak bisa dipisahkan yaitu, kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih (Suparlan, 2005). Sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 yang menjelaskan bahwa setiap warga
Negara
mempunyai
hak
yang
sama
untuk
memperoleh
pendidikan
(http://artikel.us/nurkolis2.html, 1 Mei 2002). Tentu saja dalam menangani murid dengan kebutuhan khusus akan berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak normal yang bisa bersekolah di sekolah konvensional. Islam sendiri memandang setiap individu memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang baik walaupun memiliki kekurangan dalam hal fisik dan mentalnya. Allah SWT dalam Al Qur’an surat. An Nisa’ ayat 9 berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 8 ayat (1) UU No.2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB) (http://artikel.us/nurkolis2.html, 1 Mei 2002). Berdasarkan penjelasan diatas, yang memiliki peran dalam menangani anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat luas. Kenyataan di lapangan menunjukkan, ternyata masih ada persepsi masyarakat terhadap anak-anak penyandang cacat merupakan sebuah beban, orang yang tidak berguna dan tergantung pada orang lain. Persepsi masyarakat tersebut mempengaruhi persepsi orang tua pada umumnya yang memiliki anak-anak penyandang cacat fisik dan mental cenderung menganggap memiliki anak-anak tersebut adalah sebuah aib. Masih banyak orang tua yang beranggapan anak-anak cacat fisik dan mental tidak perlu disekolahkan. Sedangkan, guru SLB bukanlah profesi yang mudah bagi sebagian calon guru. Mungkin lebih banyak dihindari dibandingkan menjadi guru pada umumnya. Terjun secara total, memiliki kompetensi, dan konsisten adalah kunci untuk bisa memberikan pendidikan bagi murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus. Tetapi permasalahan tidak hanya permasalahan totalitas, memiliki kompetensi, dan konsistensi seorang guru. Kondisi manajemen pendidikan di Indonesia yang masih belum bisa mengakomodasi kebutuhan dalam mengembangkan kebutuhan SLB juga menjadi kendala bagi guru SLB. Selain itu, pemerintah belum bisa memberikan perhatian optimal terhadap sarana dan prasarana kinerja guru SLB. Di dalam kebijakannya program PLB sesuai dengan Keputusan Mendiknas No. 010/O/2000 tentang Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah yang salah satunya menyatakan terbentuknya Direktorat
PLB mempunyai rumusan visi yaitu, terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak yang berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Selain itu, Misi yang dimiliki yaitu, (a) Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh PLB sesuai dengan potensi dan kemampuan dasar yang dimiliki baik melalui pendidikan secara segregasi maupun terpadu/inklusi. (b) Meningkatkan mutu dan relevansi PLB baik pengetahuan pengalaman, atau ketrampilan, sehingga para peserta didik memiliki bekal keimanan, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam memasuki kehidupan dalam masyarakat. (c) Meningkatakan manajemen dan kapasitas pengelola dan pembina, serta guru, dan tenaga kependidikan lainnya pada PLB sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal dan profesional terhadap peserta didik dan masyarakat. (d) Memperluas jejaring (networking) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan PLB (http://artikel.us/nurkolis2.html, 1 Mei 2002). Visi dan misi PLB diatas dijelaskan bahwa tidak hanya peserta didik saja yang perlu diperhatikan karena sesuai dengan visi dan misi yang hendak dicapai tentunya komponen yang perlu diperhatikan adalah guru SLB. Sampai saat ini ternyata masih banyak guru SLB yang bekerja tanpa adanya fasilitas yang memadai baik itu intrinsic dalam hal ini kompetensi (pendidikan dan pelatihan bagi guru SLB) dan juga ekstrinsik (fasilitas kerja, gaji, status kepegawaian). Hal ini diungkap melalui kutipan berikut ini: “… hampir 40 persen guru di SDLB tidak memenuhi standar kompetensi. Sedangkan, di tingkat SMPLB jumlahnya lebih baik, yaitu sebesar 30 persen dan di tingkat SMA hanya sekitar 20 persen. "Tingkat SDLB besar karena jumlah sekolahnya lebih banyak. Khusus untuk SDLB hampir 80 persennya adalah sekolah swasta.” (http://www.suarakarya-online.com, 27 September 2005).
Standard kompetensi yang harus dimiliki oleh guru SLB ternyata menjadikan pekerjaan sebagai guru SLB adalah sebuah profesi yang tidak gampang karena pada dasarnya sebagian orang yang bekerja sebagai guru tidak semuanya memiliki keinginan untuk bekerja sebagai guru SLB dan tantangan menjadi guru SLB tidak sama dengan guru yang bekerja di sekolah pada umumnya. Bagi pemerintah hal ini menjadi permasalahan karena peminat untuk bekerja di SLB sampai saat ini masih kurang. Hal ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Mudjito, “..PLB kurang peminat karena bukan perkara mudah untuk mengajar siswa SLB. Diperlukan ketekunan yang lebih besar dibandingkan profesi guru lainnya. "Bila tidak ada unsur pengabdian, mana ada lulusan perguruan yang mau jadi guru SLB karena mereka harus sangat sabar dalam melayani siswa SLB.." (http://www.suarakarya-online.com, 27 September 2005). Sebelum bisa terjun sebagai guru SLB, para calon guru SLB harus melewati pendidikan dengan program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Tetapi ternyata tidak banyak yang ingin mengambil konsentrasi program PLB ini. Hal ini dijelaskan di dalam kutipan berikut ini: “Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Bapak Mudjito mengaku kesulitan mencari guru sekolah luar biasa (SLB) yang memenuhi standar kompetensi. Hal itu disebabkan minimnya jumlah mahasiswa yang berminat mengambil program studi pendidikan luar biasa (PLB).” (http://www.suarakarya-online.com, 27 September 2005 ). Selain itu pemberian informasi pentingnya PLB bagi anak-anak berkebutuhan khusus seharusnya merupakan kerjasama antara pemerintah dan guru SLB. Tetapi, pada kenyataannya peran pemerintah masih kurang dan yang memegang peran penting dalam hal ini masih didominasi para guru SLB. Bahkan, untuk mendapatkan murid-murid guru SLB berinisiatif datang ke rumah orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan
khusus. Seperti dilakukan oleh guru SLB Agus Anis Riyanto, “Kendala keuangan tidak menyurutkan niatnya. Sendirian, dia melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga sambil mensosialisasikan rencananya mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.” (Rukmorini, 2005). Sikap guru SLB seperti Agus ini tentu saja tidak semua dimiliki oleh guru SLB lainnya. Mengingat status kepegawaian Agus yang masih honorer dan juga gaji yang minim yaitu, Rp. 50.000,00 per bulan dan rata-rata orang tua murid yang diajar adalah petani tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat pada umumnya (Rukmorini, 2005). Apa yang sebenarnya menjadi pendorong guru SLB seperti Agus untuk tetap bekerja sebagai guru SLB? Maslow menjelaskan, bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan sense of belonging (rasa ingin dihargai). Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari pemberian kompensasi. (Saydam, 1996). Menurut Simamora (1995), pengakuan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan itu sendiri atau dari lingkungan psikologis dan atau fisik dimana orang tersebut bekerja, yang masuk dalam kompensasi non finansial. Seseorang yang memperoleh pengakuan atau penghargaan akan dapat meningkatkan semangat kerjanya (http://www.damandiri.or.id). Bila melihat fenomena yang terjadi pada guru SLB tentu akan sangat tidak sesuai jika mereka bekerja untuk mendapatkan uang yang banyak. Hal tersebut membuktikan bahwa saat ini uang ternyata bukan satu-satunya tujuan seseorang untuk berkerja. Pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses terbentuknya motivasi kerja guru SLB?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi kerja guru SLB? METODE PENELITIAN A. Reponden Penelitian Guru SLB; Mendapatkan izin dari instansi dimana guru SLB tersebut mengajar dan instansi terkait lainnya; Subjek mengisi surat pernyataan kesediaan untuk diwawancara. Hal ini dilakukan agar proses pengambilan data dapat berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penelitian dan tidak merugikan pihak lain dalam hal ini subjek yang akan diteliti. B. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam merupakan suatu metode yang digunakan dengan melakukan suatu percakapan berdasarkan suatu maksud tertentu (Tubbs, 1996). Wawancara pada penelitian kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami oleh individu berkenaan dengan topic yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Poerwandari, 2005). C. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang komplek, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena, dan secara maksimal memungkinkan interpretasi tema (Boyatzis dalam Poerwandari, 2005).