1
NASKAH PUBLIKASI
KUALITAS PERKAWINAN INDIVIDU YANG MENIKAH DENGAN ADAT MERARIQ DI PULAU LOMBOK
Oleh : Ardian Elwiyansyah Hepi Wahyuningsih
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
2
NASKAH PUBLIKASI
KUALITAS PERKAWINAN INDIVIDU YANG MENIKAH DENGAN ADAT MERARIQ DI PULAU LOMBOK
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Hepi Wahyuningsih S. Psi., M. Si.)
3
KUALITAS PERKAWINAN INDIVIDU YANG MENIKAH DENGAN ADAT MERARIQ DI PULAU LOMBOK
Ardian Elwiyansyah Hepi Wahyuningsih
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kualitas perkawinan individu yang menikah dengan adat merariq di Pulau Lombok. Adapun merariq adalah salah satu jenis proses adat perkawinan suku sasak dimana si gadis yang akan dinikahi harus dicuri dulu dari rumahnya tanpa sepengetahuan orangtua si gadis. Untuk mengungkap kualitas perkawinan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek seperti kepuasan perkawinan, kebahagiaan perkawinan, penyesuaian perkawinan, stabilitas perkawinan dan kesuksesan perkawinan sebagaimana yang dikatakan oleh Shehan. Penelitian ini mengambil empat orang subjek beserta pasangannya sebagai respoden penelitian yang sebelumnya telah memenuhi kriteria subjek penelitian yang telah ditentukan. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara dengan interview guide sebagai panduan wawancara. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan langkah-langkah berupa pembuatan tema-tema untuk kemudian memasukkannya ke dalam sub kategori dan kategori yang selanjutnya diperoleh model yang menggambarkan kualitas perkawinan individu yang menikah dengan adat merariq di pulau Lombok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan responden merasa bahagia dengan keseluruhan kehidupan perkawinan mereka. Kebahaigaan tersebut dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dan intens, interaksi yang kebanyakan positif, keterampilan menangani konflik, tercapainya tujuan dasar perkawinan serta dukungan sosial dari lingkungan terhadap kehidupan perkawinannya.
Kata kunci : Kualitas Perkawinan, Merariq
4
Pengantar Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dalam ikatan lahir dan batin, baik dari pihak suami ataupun istri, perkawinan juga sebagai sarana penerus keturunan melalui anak yang dihasilkan dari perkawinan itu. Di samping tujuan perkawinan itu membentuk keluarga yang bahagia, tetapi juga bersifat kekal. Ini berarti bahwa dalam perkawinan perlu diinsafi sekali kawin untuk seterusnya, berlangsung seumur hidup, untuk selama-lamanya. Pasangan suami istri akan berpisah bila salah satu pasangan tersebut meninggal dunia dan diharapkan agar pemutusan ikatan suami istri tidak terjadi kecuali karena kematian, sedangkan pemutusan lain diberikan kemungkinan yang sangat ketat, pemutusan ikatan antara suami istri dalam bentuk perceraian hanyalah merupakan jalan yang terakhir, bila usaha-usaha lain memang benar-benar sudah tidak dapat memberikan pemecahan (Walgito, 1984). Kebahagiaan merupakan persoalan yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena kebahagiaan adalah bersifat relatif dan subjektif. Subjektif oleh karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain (Walgito, 1984). Dengan demikian maka lalu timbul pertanyaan bagaimana perkawinan yang bahagia itu? walaupun kebahagiaan itu bersifat subjektif dan relatif, tetapi ada patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan perkawinan itu adalah perkawinan yang bahagia atau welfare. Perkawinan merupakan perkawinan yang bahagia bila dalam perkawinan itu tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan atau
5
pertengkaran-pertengkaran, sehingga perkawinan itu bisa berjalan dengan smooth tanpa goncangan-goncangan yang berarti (Walgito, 1984). Pasangan suami istri yang menginginkan kebahagiaan dalam kehidupan perkawinan harus memiliki kualitas perkawinan yang baik, karena dengan kualitas perkawinan yang baik akan mengarahkan kepada kehidupan perkawinan yang harmonis, bahagia dan langgeng sesuai dengan tujuan dasar perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan
No. 1 tahun 1974. Oleh karena itu kualitas
perkawinan yang baik sangatlah penting dalam kehidupan perkawinan sepasang suami istri. Shehan (2003) mengatakan perkawinan yang berkualitas dan sukses adalah perkawinan yang di dalamnya terdapat cinta dan kasih sayang, bisa memperoleh anak-anak yang sehat dan bahagia, kebersamaan yang erat, menimbulkan
ketentraman
emosi,
hubungan
seksual
yang
memuaskan,
ketertarikan dan aktifitas yang sama dengan pasangan, kebebasan untuk berkembang secara personal, ketercukupan secara ekonomi, kesamaan nilai dan keyakinan, serta penerimaan dari lingkungan. Sebaliknya, kualitas perkawinan yang buruk dapat membawa kepada ketidakbahagiaan, ketidakharmonisan perasaan tertekan dan lebih parah lagi pada perpisahan serta perceraian. Perceraian
merupakan
racun
dalam
sebuah
perkawinan
yang
mengindikasikan kualitas perkawinan yang buruk dan tidak terpenuhinya kebutuhan serta kebahagiaan yang diinginkan dalam perkawinan tersebut. Majalah FORUM (Apriyani, 2004)
memberitakan bahwa Yayasan Keluarga Sehat
Sejahtera Indonesia (YKSSI) pernah melakukan survei yang menunjukkan bahwa sebanyak 1.913 kepala keluarga di Kecamatan Sakra dan Pringgabaya, serta di
6
Kabupaten Lombok Tengah pernah mengalami kawin cerai. Bahkan survei yang dilakukan bersama Plan Internasional di Lombok Tengah menemukan seorang perempuan pernah mengalami kawin cerai hingga 40 kali. Berdasarkan data yang telah disebutkan diatas tampak bahwa tingkat perceraian di Pulau Lombok sangat tinggi. Padahal perceraian adalah manifestasi dari ketidakstabilan perkawinan (Lewis dan Spanier dalam Shehan, 2003). Stabilitas perkawinan adalah salah satu istilah yang jelas terkait dengan kualitas perkawinan yang merujuk pada apakah pasangan tinggal bersama atau tidak dan juga merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mengukur kualitas perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Shehan (2003). Penelitian lain yang terkait dengan tingginya tingkat perceraian di Pulau Lombok dilakukan oleh Tim pusat kependudukan dan kebijakan UGM, bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, menganalisis tingkat, pola dan determinan usia kawin wanita dan pria. Penelitian ini dilakukan di tiga provinsi yaitu Sulsel, NTB dan Jawa Barat. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia kawin di ketiga daerah penelitian ini tidak menyimpang jauh dari perhitungan dengan menggunakan sensus penduduk 1990, NTB merupakan provinsi dengan angka rata-rata usia perkawinan pertama paling rendah. Berdasarkan segi sosial budaya, usia kawin paling rendah di NTB kemungkinan berkaitan erat dengan budaya Kawin Lari (selarian) yang masih dilakukan oleh Suku Sasak sampai saat ini (Apriyani, 2004).
7
Selain itu Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) dan Kantor Wilayah
(Kanwil)
Departemen
Agama
(Depag)
NTB
memiliki
data
mengkhawatirkan, yaitu dari 62.757 siswa sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah negeri-swasta peserta Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2003/2004 di NTB, hanya 60.264 siswa yang benar-benar mengikuti ujian pada hari pelaksanaan. Sisanya, 2.493 siswa (umumnya siswi) gagal mengikuti ujian dengan alasan klasik: diterima bekerja sebagai tenaga kerja migran atau merariq menjelang hari "H" ujian. (Kompas. 7 Februari 2006). Merariq adalah salah satu cara pernikahan dalam adat Suku Sasak. Memaling atau merariq yang merupakan jalan terakhir jika proses lain gagal dilaksanakan itu justru dalam faktanya sering didahulukan. Apalagi, masih ada para orangtua di banyak desa yang lebih suka putrinya "dicuri" karena proses belakoq (melamar) dianggap kurang etis. Beberapa sumber mengatakan mereka menempuh cara merariq karena lebih mudah atau takut jikalau lamaran mereka ditolak orang tua si gadis (Kompas, 7 Februari 2006). Tradisi merariq dalam budaya masyarakat Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tradisi merariq lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang tidak mendapat restu dari orangtua. Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merariq dengan istilah memaling (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian
8
merariq dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah (Prakarsa-bali.org, 2 Februari 2006). Berdasarkan data yang telah disebutkan, tersirat bahwa pelaku merariq kebanyakan adalah remaja, terutama remaja puteri yang mungkin paling merasa dirugikan, padahal Walgito (1984) mengatakan bahwa dengan bertambahnya usia seseorang,
diharapkan
keadaan
psikologisnya
akan
bertambah
matang.
Perkawinan dengan umur yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan, karena dari segi psikologisnya belum matang. Tidak jarang pasangan yang mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya karena usia mereka masih muda. Selain itu, Shehan (2003) mengatakan bahwa usia yang lebih dewasa saat menikah menjadi salah satu faktor yang secara konsisten terkait dengan kualitas perkawinan yang tinggi. Walgito (1984) menambahkan bahwa salah satu ciri kedewasaan seseorang adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dengan demikian dapat berfikir secara baik, dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan yang seobyektif-obyektifnya. Kedewasaan akan membuat seseorang
menikah dengan lebih banyak pertimbangan sesuai dengan daya
fikirnya dan tidak hanya mempertimbangkan segi emosional dan perasaannya saja. Merariq atau memaling sebenarnya tidak akan dilakukan apabila pihak perempuan tidak ingin menikah. Di sini jelas terlihat bahwa keputusan menikah murni adalah keputusan dan keinginan kedua belah pihak yang akan menikah, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Ironis, dalam prakteknya terkesan
9
keputusan untuk memaling ini diambil secara terburu-buru, mereka yang baru berkenalan satu atau dua hari dapat memutuskan untuk memaling walaupun mereka belum saling mengenal lebih jauh. Beberapa kasus lain menunjukkan, meskipun mereka telah berpacaran lama dan telah saling mengenal baik, si pemuda yang sudah tidak tahan untuk cepat-cepat menikah, melarikan kekasihnya tanpa menanyakan kesediaan si gadis terlebih dahulu. Pada awalnya dia berpura-pura mengajak jalan-jalan sang kekasih, kemudian setelah sampai di suatu tempat yang jauh dari rumah si gadis dan setelah beberapa lama barulah si pemuda menyampaikan maksud dan tujuannya untuk melarikan si gadis dan akhirnya si gadis
dengan terpaksa
menerima ajakan tersebut, karena ada sebuah pandangan dalam masyarakat sasak yang mengatakan bahwa gadis yang telah di bawa lari dari rumah oleh seseorang, pantang untuk pulang ke rumah tanpa status menjadi istri seseorang. Berdasarkan gambaran beberapa kasus tersebut tersirat bahwa tatanan nilai dari adat merariq telah perlahan-lahan mulai bergeser dari nilai sesungguhnya. Ini juga yang kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian, karena usia yang masih muda, belum matang untuk menikah dan tidak adanya pengetahuan tentang bagaimana membina sebuah keluarga, hal ini juga selanjutnya akan mempengaruhi bagaimana kualitas perkawinan mereka dimasa-masa yang akan datang yang akhirnya nanti juga akan menentukan apakah perkawinan mereka akan bertahan selamanya atau berakhir dengan perceraian.
10
Berdasarkan data-data dan fakta yang telah disebutkan di atas, fenomena merariq ini sangat menarik untuk diteliti, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui kualitas perkawinan individu yang menikah dengan adat merariq.
Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini mengambil empat orang responden beserta pasangannya sebagai subjek penelitian dan menggunakan wawancara
sebagai metode
pengumpulan data. Wawancara adalah pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suau topik tertentu (Esterberg dalam Sugiyono, 2005).
Metoe Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitaitif. Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengkoordinasikan data kedalam kategori, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2005). Jorgensen (Poerwandari, 2005) menjelaskan yang dimaksud analisis adalah memecah, memisahkan, atau menguraikan materi penelitian ke dalam potongan-potongan, bagian-bagian, elemen-elemen atau unit-unit. Setelah
11
data dipecah, peneliti memilah dan menyaring data untuk memperoleh tipe, kelassekuen, pola atau gambaran yang menyeluruh.
Hasil Penelitian Setelah melakukan proses pengumpulan data dengan wawancara dengan seluruh responden ditemukan hasil penelitian seperti yang digambarkan melalui bagan berikut ini :
komunikasi
interaksi
konflik
? ? ? ? ? ?
Resolusi konflik Berembuk untuk menyelesaikan masalah Memberi nasehat untuk menyelesaikan konflik Kedewasaan suami dalam menyelesaikan konflik Tidak menggunakan kekerasan saat bertengkar Bertengkar dengan suara yang kecil Berusaha Bersikap baik saat bertengkar
Bahagia dengan perkawinan selama ini
Tercapainya tujuan perkawinan ? Merasa cukup dengan keadaan ekonomi yang ada ? Terpenuhinya kebutuhan seksual ? Bahagia dengan kehadiran anak
Dukungan sosial ? Hubungan yang baik dengan orang tua ? Penerimaan dari lingkungan sosial
12
Pembahasan Berdasarkan model tersebut dapat dijelaskan bahwa Interaksi dan komunikasi dalam perkawinan saling mempengaruhi satu sama lain. Komunikasi yang terbuka, tersedianya waktu untuk mengobrol dan berbincang mengenai banyak hal, curhat dan saling menanggapi serta menyelipkan humor disela-sela komunikasi akan mempengaruhi model interaksi dalam perkawinan. Begitu juga sebaliknya interaksi yang baik seperti halnya, kedekatan, kebersamaan, menunjukkan ekspresi kasih sayang, bercanda dengan pasangan, saling percaya, saling mendukung serta cara bicara yang baik akan mempengaruhi bagaimana komunikasi yang terjadi dalam perkawinan. Tetapi dalam kehidupan perkawinan tidak semua interaksi yang terjadi bersifat positif dan tidak semua komunikasi bisa berlangsung secara efektif. Meskipun sedikit, interaksi yang negatif dan kesalahan dalam berkomunikasi ini bisa menjadi sebab konflik dalam kehidupan perkawinan, seperti halnya perilaku-perilaku
pasangan yang tidak di sukai,
kecemburuan atau beberapa hal sepele yang jika salah dikomunikasikan akan berbuntut konflik dalam perkawinan. Komunikasi memainkan peranan dalam situasi konflik. Konflik sering cenderung diasosiasikan dengan komunikasi yang rusak atau pecah. Dalam komunikasi yang rusak tersebut tampak jelas manifestasi dari persepsi yang salah, kalkulasi yang salah dan interpretasi yang salah yang akan dapat mempengaruhi taraf seriusnya konflik marital ( Kelly dkk. dalam Sadarjoen, 2005). Taraf serius konflik marital seperti yang disebutkan diatas ditunjukkan dengan bagaimana bentuk komunikasi dan interaksi yang terjadi saat konflik
13
diantaranya yang ditemukan dalam penelitian ini adalah, saling diam, berusaha bersikap baik, bertengkar dengan suara yang kecil dan saling melempar. Dengan kata lain konflik juga mempengaruhi bagaimana interkasi dan komunikasi yang terjadi selanjutnya dalam kehidupan perkawinan. Jika komunikasi yang tidak efektif dan interaksi yang negatif dapat menyebabkan konflik dalam perkawinan, maka komunikasi yang baik dan interaksi yang positif,
dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik
perkawinan antara lain ditunjukkan dengan berembuk untuk menyelesaikan masalah, saling menasehati untuk menyelesaikan konflik, tidak menggunakan kekerasan saat bertengkar, bertengkar dengan suara yang kecil dan berusaha bersikap baik saat bertengkar. Selebihnya resolusi menuntut kedewasaan kedua belah pihak dalam mengatasi konflik. Dalam penelitian ini, karena usianya yang lebih dewasa, suami berinisiatf untuk mencoba menyelesaikan konflik dengan mengalah lebih dulu, keluar rumah untuk meredakan suasana konflik dan mengajak istri bercanda agar mengurangi ketegangan konflik. Dengan resolusi seperti ini konflik dalam perkawinan dapat diatasi dalam waktu singkat. Kualitas konflik yang kecil dan tidak serius serta teratasinya konflik dengan tempo yang singkat menunjukkan keterampilan yang baik dalam mengatasi konflik. Dari uraian sederhana di atas dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara interaksi, komunikasi serta konflik dan resolusinya dalam kehidupan perkawinan. komunikasi yang baik, interaksi yang positif dan keterampilan dalam mengatasi konflik akan mempengaruhi kebahagiaan dalam perkawinan.
14
Selain itu tercapainya tujuan dasar perkawinan seperti kehadiran keturunan dalam perkawinan, tercukupinya kebutuhan hasrat seksual serta merasa cukup dengan keadaan ekonomi tidak dipungkiri mempengaruhi kebahagiaan terhadap perkawinan. Ketika salah satu dari tujuan dasar perkawinan tidak terpenuhi maka akan memunculkan ketidakpuasan terhadap perkawinan atau lebih parah lagi penyimpanan-penyimpangan dalam prekawinan seperti penyelewengan, selingkuh bahkan perceraian, dengan begitu jika tujuan tujuan dalam perkawinan tidak dapat terpenuhi maka kehidupan perkawinan aka jauh dari bahagia. Walgito (1984) dalam bukunya Bimbingan dan Konseling Perkawinan mengatakan bahwa dalam perkawinan, pasangan pada umumnya menghendaki untuk memperoleh keturunan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Dengan demikian dalam perkawinan salah satu yang ingin dicapai adalah mendapatkan keturunan tersebut tersebut. Betapa pentingnya masalah keturunan dalam perkawinan kiranya tidak dapat dielakkan. Berkaitan dengan masalah hubungan seksual dia juga menambahkan bahwa seks adalah kebutuhan fisiologis manusia yang juga melatar belakangi perkawinan. Pemenuhan kebutuhan seksual secara otomatis juga menjadi salah satu tujuan perkawinan. Dukungan sosial juga mempengaruhi kebahagiaan perkawinan. Dukungan tersebut antara lain berupa hubungan baik dengan keluarga
besar serta
penerimaan dari lingkungan sosial. Keluarga besar memiliki pengaruh
yang
sangat kuat terhadap kehidupan perkawinan karena keluarga si Indonesia bersifat extended familiy (keluarga besar), bukan nuclear family (keluarga inti). Karena itu kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan keluarga pasangnnya
15
merupakan faktor penentu dari kebahagiaan perkawinan (Andjariah, 2005). Penerimaan dan dukungan dari teman dan anggota masyarakat lainnya juga dihubungkan dengan kualitas perkawinan yang lebih baik (Shehan 2003). Demikianlah penelitian ini telah menghasilkan sebuah model pembentukan kualitas perkawinan yang didasarkan pada data dari responden. Model ini juga sekaligus menunjukkan gambaran kualitas perkawinan individu yang menikah dengan adat merariq di pulau Lombok. Namun, penelitian ini masih memiliki banyak kelemahan berkaitan dengan jumlah responden yang tidak mencakup karakteristik masyarakat Lombok secara keseluruhan yang memiliki peraturan adat yang berbeda berkenaan dengan masalah merariq. Disamping itu kelemahan lainnya adalah dalam penggalian data dan analisis data yang kurang mendalam. Analisis yang kurang mendalam disebabkan oleh luasnya cakupan penelitian ini, tehnik wawancara yang kurang sempurna dan kurangnya literatur yang berkenaan dengan topik yang diangkat oleh peneliti.
16
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa responden dalam penelitian ini merasa bahagia dengan keseluruhan kehidupan perkawinan mereka. Kebahaigaan tersebut dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dan intens, interaksi yang kebanyakan positif, keterampilan menangani konflik, tercapainya tujuan dasar perkawinan serta dukungan sosial dari lingkungan terhadap kehidupan perkawinannya. Komunikasi yang baik mencakup keterbukaan dalam berkomunikasi, komunikasi dengan humor, mengobrol dan berbincang tentang banyak hal, curhat dan saling menanggapi. Sedangkan interaski yang baik meliputi cara bicara yang baik, kedekatan, kebersamaan, bercanda dengan suami, saling mendukung dan menghibur, menunjukkan ekspresi kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari, penilaian yang baik terhadap pasangan dan saling mempercayai. Sedangkan keterampilan menangani konflik ditunjukkan dengan jarangnya terjadi konflik, konflik yang terjadi tidak terlalu serius dan konflik selalu bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat. Keterampilan menangani konflik juga di tunjukkan dengan resolusi konflik seperti berembuk untuk menyelesaikan masalah, saling memberi nasihat untuk menyelesaikan masalah, kedewasaan suami dalam menyelesaikan konflik, tidak menggunakan kekerasan saat bertengkar, bertengkar dengan suara yang kecil dan berusaha bersikap baik saat bertengkar. Tercapainya tujuan dasar perkawinan ditunjukkan oleh kehadiran anak sebagai penerus keturunan, terpenuhinya kebutuhan hasrat seksual dan merasa cukup dengan keadaan ekonominya selama ini. sedangkan dukungan sosial
17
ditunjukkan dengan penerimaan masyarakat terhadap perkawinan responden dan hubungan yang baik dengan keluarga besar sendiri ataupun keluarga besar pasangan. Saran 1. Bagi responden penelitian Agar tetap menjaga komunikasi dan interaksi yang baik dengan pasangan yang akhirnya nanti bisa meminimalisir benih-benih konflik dalam kehidupan perkawinan. Saling mempercayai, saling mengerti dan menyayangi untuk mempererat ikatan antara suami istri. 2. Bagi para orang tua yang anaknya menikah dengan adat merariq Sebaiknya memberikan dukungan atau support bagi anaknya untuk menjalani kehidupan perkawinannya. Memberi dukungan moril dan nasihat-nasihat yang membangun akan lebih baik dari pada bertahan pada kekecewaan dan ketidak setujuan dengan adat merariq. Dengan begini akan lebih membantu untuk anak dalam menghadapi dinamika dalam kehidupan perkawinannya. 3. Bagi masyarakat Untuk lebih mengerti bahwa merariq adalah sebuah prosesi adat dalam perkawinan yang sedianya memiliki tujuan luhur dan mulia. Masyarakat harusnya bisa menjaga agar adat tersebut tidak bergeser nilainya dalam penyelengaraanya. Disamping itu dukungan masyarakat terhadap pasangan yang menikah dengan adat merariq akan menjadi suatu hal yang berharga bagi kelangsungan hidup perkawinan pasangan tersebut.
18
4. Bagi pemerintah Pemerintah harus bisa mengawasi dengan ketat tentang penyelenggaraan adat merariq terutama yang melibatkan gadis di bawah umur yang masih sekolah yang notabene belum siap mengarungi kehidupan perkawinan. Pencatatan perkawinan oleh pemerintah dan sosialisasi tentang buku nikah sebaiknya lebih di tingkatkan di kalangan masyarakat lombok, karena hal ini menjadi salah satu sebab terjadinya kawin cerai yang begitu sering. Maksudnya adalah sebagai satu ikatan hukum yang menguatkan perkawinan sehingga suami tidak seenaknya menceraikan istri dan seenaknya membawa lari anak gadis seseorang disaat dia masih menjadi suami orang lain. 5. Bagi peneliti selanjutnya Untuk peneliti selanjutnya disarankan agar memperhatikan karakteristik responden yang bisa menggambarkan secara umum dan valid tentang adat merariq di seluruh pulau Lombok karena setiap daerah di Pulau Lombok memiliki peraturan tersendiri dan berbeda-beda mengenai adat merariq tersebut. Kiranya juga perlu digali lebih dalam lagi tentang bagaimana penyesuaian individu dalam perkawinannya di masa-masa awal kehidupan perkawinannya, karena hal tersebut dalam peneilitian ini belum terungkap lebih dalam, juga terhadap kepribadian responden karena hal ini sangat menentukan dalam bagaimana berinteraksi dalam kehidupan perkawinan. Disamping itu persepsi responden terhadap adat merariq perlu digali lebih dalam lagi, karena hal tersebut juga mempengaruhi mengapa responden mau menikah dengan adat merariq.
19
DAFTAR PUSTAKA
Andjariah, S. 2005. Kebahagiaan perkawinan ditinjau dari faktor komunikasi pada pasangan suam iistri. Jurnal Psikologi, Vol. 1 No. 1 hal 13-18. Anwar, K. 2005. "Merarik", Melaksanakan Adat Atau Penyingkiran Hak Perempuan? http;// www.kompas.com. 7/2/06. Apriyani, T. 2004. Studi Tentang Kawin Cerai Dan Implikasinya Pada Masyarakat Sasak Di desa Gelanggang, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur. Tesis. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Ati, A. W. 1997. Konflik, Coping dan Kualitas Pernikahan Pasangan Antar Etnik Cina-Jawa. Skripsi (Tidak Diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Ayles, C. 2004. Biographical determinants http://www.oneplusone.org.uk 7/4/2006.
of
marital
quality.
Crane, R. D. dan Griffin, W. 1983. Personal Space ; An Objective Measure Of Marital Qualitiy. Journal Of Marital And Family Therapy. vol. 9. no.3. 325327. Depdikbud, 1978. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tengara Barat. Mataram: Balai Pustaka. http://www.ayahbunda-online.com 1/2/2007 http://www.kompas.com 7/2/2007 http;//www. Prakarsa-bali.org. 2/2/06. Idrus, M. 2005. Metode Penelitian Pendidikan Dan Ilmu-Ilmu Sosial. handout kuliah Metode Peneltian Kualitatif (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia. Khusna. 2006. Studi Kualitatif Kualitas Perkawinan Individu Yang Menikah Tanpa Pacaran Dan Non Perjodohan. SkrIpsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas psikologi UII. Mushoffa. A. 2001. Untaian Mutiara Buat Keluarga. Yogyakarta : Mitra Pustaka Poerwandari, K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Fakultas Psikologi UI.
20
Sadarjoen, S.S. 2002. Konsultasi Psikologi : resolusi konflik marital. http://www.kompas.com 1/2/2007 Sadarjoen, S.S. 2004. Konsultasi: kegembiraan dan humor antara suami istri, perlukah? http://www.kompas .com 1/2/2007 Sadarjoen, S.S. 2005. komunikasi http://www.kompas.com 1/2/2007
memuaskan
dalam
perkawinan.
Sadarjoen, S.S. 2005. Konflik Marital : pemahaman konseptual, aktual dan alternatif solusinya. Bandung : Refika Aditama Shehan. 2003. Marriage And Families. Second Edition. Florida: Pearson Education Inc. Strauss, A dan Corbin, J. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:. Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Walgito, B. 1984, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Widyarini, N. 2006. Apa tipe hubungan http://www.kompas.com 1/2/2007
anda
dalam
perkawinan?
21
Identitas Penulis
Nama
: Ardian Elwiyansyah
Alamat
: Jl. Tanggul Gang Mawar No. 6 Sukaraja Timur, Ampenan, Mataram, NTB 83112
Nomor telepon / HP : (0370) 644010 / 0818 0274 7410 e-mail
:
[email protected]