NASKAH AKADEMIK SISTEM AKREDITASI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KESEHATAN
HEALTH PROFESSIONAL EDUCATION QUALITY PROJECT DIRECTORAT OF HIGHER EDUCATION
NASKAH AKADEMIK SISTEM AKREDITASI INSTITUSI PENDIDIKAN KESEHATAN
1. PENDAHULUAN Pendidikan kesehatan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar akibat: 1) Meningkatnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang bermutu terlepas dari status sosial ekonomi masyarakat. 2) Arus globalisasi yang sangat deras sangat besar pengaruhnya terhadap pelayanan kesehatan. 3) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang sangat luas dan beragam kondisi geografis, sosial, budaya dan ekonominya membuat sistem pelayanan kesehatannya menjadi sangat rumit. Permasalahan kesehatan yang dapat berbeda di berbagai daerah tertentu memerlukan pendekatan dan kebutuhan tenaga kesehatan yang berbeda dengan daerah lainnya. Tidak kalah pentingnya, distribusi tenaga kesehatan yang tidak tersebar secara merata antar satu daerah dengan daerah lainnya. Pelayanan kesehatan tertarik kearah dua kutub yang berlawanan. Sebagian masyarakat masih memerlukan pelayanan kesehatan dasar, sedangkan sebagian masyarakat lainnya sudah membutuhkan pelayanan kesehatan yang canggih. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering tidak memberikan solusi oleh karena tidak digunakan secara bijaksana oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter. Arus globalisasi yang besar pengaruhnya, terutama kesepakatankesepakatan regional maupun internasional yang memungkinkan mobilitas tenaga kesehatan antar Negara. Hal ini dapat merupakan ancaman, tetapi di sisi lain justru merupakan peluang bagi tenaga kesehatan kita. Kondisi ini merupakan tantangan yang tidak ringan bagi institusi pendidikan profesi tenaga kesehatan dan pemangku kepentingan lainnya untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang berkualitas (quality), dalam jumlah yang cukup dan tersebar merata (quantity and distribution), serta relevan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat (relevance). Menghadapi kondisi ini, diperlukan penataan sistem pendidikan tenaga kesehatan yang mendasar agar dapat mengatasi kompleksitas pelayanan kesehatan yang saat ini dialami dan dapat mengantisipasi kebutuhan di masa depan. Dibutuhkan kemampuan kompetensi individu tenaga kesehatan dan kemampuan institusi pendidikan kesehatan menjalankan programnya sesuai dengan standar pendidikan melalui akreditasi. Pemerintah telah mengantisipasi dengan menerbitkan Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 Tentang Guru
2
dan Dosen untuk sertifikasi Dosen sebagai cerminan sertifikasi individual (individual credential) dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Mengenai Standar Nasional Pendidikan terkait dengan akreditasi institusi. Pada gambar 1 dibawah ini dapat dilihat upaya peningkatan jaminan mutu tenaga kesehatan melalui individual credential dan akreditasi institusi. Sejak tahun 2004, telah diberlakukan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang membawa perubahan yang cukup mendasar untuk pendidikan dokter dan dokter gigi.
Gambar 1. Kerangka upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat melalui sertifikasi individual (individual credential) dan akreditasi institusi. Seseorang yang melaksanakan proses pendidikan di institusi pendidikan harus mempunyai sertifikat sebagai seorang dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005). Sebaiknya seorang dosen juga yang melaksanakan tugas profesi sebagai tenaga kesehatan dengan memiliki sertifikat kompetensi (UU RI No. 29 Tahun 2005 untuk Kedokteran dan Kedokteran Gigi). Agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sebagai seorang yang menjalankan evaluasi pendidikan dalam proses akreditasi, seorang asesor dari Lembaga Akreditasi harus mempunyai sertifikat sebagai evaluator pendidikan (Permendiknas No. 28 Tahun 2005). Untuk akreditasi institusi dilakukan terhadap institusi pendidikan tenaga kesehatan oleh Lembaga Akreditasi yang diakui oleh pemerintah.
Konsekwensi dari Undang-Undang ini adalah tersusunnya Standar Pendidikan Dokter dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia pada tahun 2006 yang ditindaklanjuti dengan diberlakukannya uji kompetensi dokter Indonesia mulai tahun 2007. Sesungguhnya pada tahun 2003 juga telah diberlakukan Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional yang mewajibkan semua program studi harus melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dengan berlakunya UU Praktik Kedokteran 2004, pendidikan profesi dokter dan dokter gigi melaksanakannya setelah standar kompetensi selesai disahkan oleh KKI pada tahun 2006. Namun, untuk program studi kesehatan lainnya, penataan sistem ini baru dimulai dengan adanya program Health Professional Education Quality (HPEQ), dimana salah satuan komponennya adalah mengembangkan standar pendidikan dan standar kompetensi. Penyusunan standar-standar ini merupakan landasan penting bagi terbentuknya sistem 3
akreditasi profesi kesehatan, termasuk didalamnya pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Perlunya melakukan reformasi dan peningkatan kualitas pendidikan kesehatan, semakin terasa dengan meningkatnya jumlah institusi pendidikan kesehatan dalam satu dekade terakhir ini.
Selain itu, juga untuk menjaga dan mengembangkan mutu sistem
pelayanan kesehatan, dan meningkatnya globalisasi dan mobilitas tenaga kesehatan meningkatkan kesadaran akan perlunya sistem akreditasi sebagai sarana untuk menjaga dan meningkatkan kualitas. Sistim akreditasi merupakan sistem dimana program studi dinilai apakah pengelolaannya telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Jadi, sistem akreditasi menilai apakah masukan, proses dan luaran telah sesuai dengan standar. Namun lebih dari pada itu, sistem akreditasi merupakan bagian dari akuntabilitas sosial institusi pendidikan. Dengan menata sistem akreditasi maka penataan terhadap sistem pendidikan dapat dilakukan secara mendasar. Tentu saja untuk menjalankan lembaga yang mandiri, manajemennya harus menggunakan prinsip tata kelola yang baik. Tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah untuk menelaah hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan sistem dan lembaga akreditasi yaitu: 1) prinsip dasar sistem akreditasi yang akan dipergunakan, 2) kondisi sistem dan lembaga akreditasi yang ada saat ini, 3) landasan hukum yang mendasari sistem yang akan dibangun, 4) Fungsi dan ruang lingkup, 5) struktur dan pembiayaan, dan 6) proses kerja lembaga akreditasi. Naskah akademik ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan dan menjadi dasar dalam merumuskan sistem dan lembaga akreditasi yang akan dibentuk. Pendekatan yang dipergunakan dalam menyusun naskah akademik ini adalah deskriptif-analisis dengan jalan: 1) mengumpulkan informasi dan menganalisis peraturan perundangan-undangan yang ada, 2) menghimpun pendapat dari pemangku kepentingan melalui kegiatan workshop yang dilakukan oleh komponen 1 HPEQ sepanjang tahun 2010, 3) memperoleh masukan dari konsultan internasional, konsultan legal, dan 4) memperoleh masukan dari hasil benchmarking di negara-negara yang telah mempunyai sistem akreditasi yang mapan. Dari semua kegiatan tersebut, diperoleh suatu gagasan untuk membangun sistem akreditasi yang didasarkan pada beberapa prinsip dasar yaitu: 1. Sistem akreditasi yang akan dibangun harus berprinsip pada continuous quality improvement (CQI), bukan sekedar quality control. 2. Sistem akreditasi yang akan dibangun berprinsip pada quality cascade.
4
3. Sistem akreditasi yang dibangun menggunakan prinsip conceptualization, production and usability (CPU). 4. Sistem akreditasi yang dibangun harus dipercaya oleh semua pemangku kepentingan; institusi pendidikan, organisasi profesi, pemerintah, mahasiswa, masyarakat pengguna dan masyarakat internasional. Dengan menggunakan keempat prinsip tersebut yang akan diuraikan secara lebih mendalam, maka tersirat bahwa filosofi dasar dari sistem akreditasi yang akan dikembangkan adalah merupakan cerminan social accountability dari institusi pendidikan kesehatan untuk melindungi masyarakat dan menjamin masyarakat mendapat pelayanan kesehatan dengan kualitas tertinggi. Agar sistem akreditasi ini dapat di implementasikan, diperlukan suatu kerangka pedoman yang menjadi pegangan bagi semua pemangku kepentingan. Pemicu dari sistem akreditasi yang akan dikembangkan ini adalah 1) meningkatnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang bermutu, 2) arus globalisasi yang sangat besar pengaruhnya terhadap pelayanan kesehatan, dan 3) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Dampak yang diharapkan adalah meningkatnya outcome kesehatan masayarakat. Outcome yang dijadikan indikator adalah meningkatnya kualitas pelayanan, jumlah tenaga kesehatan dan distribusinya, dan akses terhadap pelayanan (lihat lampiran 1). Untuk membuat sistem akreditasi ini dapat berfungsi dengan baik perlu reformasi kebijakan pada berbagai tingkatan (nasional dan institusional) dan intervensi yang tepat. Reformasi kebijakan dan intervensi harus mampu diimplementasikan dan didukung oleh pembuat kebijakan (pemerintah dan regulator lainnya), institusi pendidikan, organisasi profesi dan masyarakat. 2. PRINSIP DASAR SISTEM AKREDITASI Seperti telah diuraikan diatas, terdapat empat prinsip dasar yang akan dipergunakan dalam mengembangkan sistem akreditasi untuk institusi pendidikan profesi kesehatan di Indonesia. 2.1.
Prinsip continuous quality improvement (CQI). Prinsip CQI atau peningkatan mutu berkelanjutan berbeda dengan konsep penjaminan mutu yang selama ini digunakan. Pada konsep penjaminan mutu, lembaga akreditasi melakukan penilaian terhadap institusi pendidikan dan selanjutnya menetapkan hasilnya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kriteria yang dipergunakan akan menempatkan institusi pendidikan pada 5
posisi A, B, C atau tidak terakreditasi. Setelah itu, lembaga akreditasi tidak lagi secara langsung terlibat dalam upaya untuk meningkatkan posisi atau rangking yang telah ditetapkan. Pada konsep CQI, lembaga akreditasi melakukan penilaian dan melihat komponen mana saja dalam standar pendidikan yang dinilai masih lemah atau kurang, kemudian mengarahkan institusi pendidikan untuk memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada selama kurun waktu tertentu. Setelah kurun waktu yang ditetapkan, tim penilai akan datang untuk melihat apakah kelemahan atau kekurangan tersebut telah diperbaiki sesuai dengan standar.
Jadi, untuk melaksanakan CQI, point-in-time
assessment untuk menilai pemenuhan standar, tidaklah memadai. Lebih dari sekedar melakukan pengukuran atas pencapaian standar, diperlukan upaya umpan balik yang tepat waktu, spesifik, konstruktif dan adil yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja institusi dalam jangka panjang. 2.2.
Prinsip quality cascade. Konsep ini melihat sistem akreditasi sebagai suatu mata rantai penjagaan kualitas sampai kepada kesehatan masyarakat yang berkualitas (gambar 2).
Gambar 2. Quality cascade. Pada gambar ini terlihat kaitan antara pengembangan sistem akreditas pendidikan profesi kesehatan yang berkualitas pada akhirnya akan menghasilkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Namun, untuk mencapai hal tersebut berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas dari institusi pendidikan, kualitas lulusan serta kualitas praktik kesehatan harus terus dilakukan. Kualitas institusi ditingkatkan dengan sistem akreditasi yang pada gilirannya akan memperbaiki kualitas pendidikan kedokteran. Kualitas lulusan ditingkatkan melalui sistem sertifikasi yang termasuk dalam komponen 2 program HPEQ. Sedangkan, kualitas praktik ditingkatkan melalui pengembangan professional berkelanjutan.
Kegagalan dalam menjaga kualitas pada satu tahap, akan menyebabkan kegagalan dalam upaya mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kaskade ini mengindikasikan bahwa walaupun telah dihasilkan lulusan yang berkualitas dari institusi 6
yang berkualitas, untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang baik lulusan ini harus dapat menerapkannya dalam praktik sebagai tenaga kesehatan, yang akan dipengaruhi oleh lingkungan profesi, atau sistem kesehatan tempat lulusan dapat menerapkan kompetensinya secara optimal. Oleh karena itu, pada setiap tahapan dari sistem akreditasi yang akan dikembangkan harus mempunyai mekanisme untuk menjamin kualitas tersebut. Kualitas institusi dibangun oleh sistem akreditasi yang berkualitas. Kualitas lulusan dibangun dengan sistem ujian kompetensi yang berkualitas – yang dipersiapkan di komponen 2. Hasil ujian akan memberikan umpan balik bagi institusi untuk memperbaiki proses pendidikannya. Kualitas praktik dijaga dengan pengembangan profesi berkelanjutan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan atau organisasi profesi. Prinsip quality cascade ini memberikan wawasan yang komprehensif tentang fungsi suatu lembaga akreditasi yang akan dibentuk. Secara teknis, prinsip ini juga memberikan kita peluang untuk menyesuaikan borang akreditasi agar sesuai dengan prinsip tersebut. Misalnya, apakah borang akreditasi telah menampung indikator yang akan dipergunakan untuk menilai kegiatan penjagaan kualitas pada setiap tahapan. 2.3.
Prinsip conceptualization, production and usability. Prinsip ini terkait erat dengan konsep quality cascade yang dijelaskan diatas. Konseptualisasi memberikan gambaran tentang tenaga kesehatan profesional yang seperti apa yang dibutuhkan untuk menjawab masalah kesehatan yang dihadapi. Selain itu, sistem ini juga harus dibangun dengan memperhatikan
sumber
calon
mahasiswa,
sistem
pelayanan
kesehatan
yang
membutuhkan kerja sama antar profesi kesehatan, baik kualitas, kuantitas maupun kompetensinya, serta potensi kemitraan yang dapat dibangun bersama pemangku kepentingan. Sistem akreditasi harus menjamin lulusan yang dihasilkan (production) harus mampu belajar seumur hidup, berdedikasi dan memahami dan mampu menangani berbagai masalah kesehatan masyarakat. Hal ini tercermin dari input, proses pendidikan dan luaran yang dihasilkan oleh institusi pendidikan. Sistem akreditasi yang dibangun juga dapat menjamin penggunaan (usability) lulusan dalam melayani masyarakat dengan melihat peluang lapangan kerja, terutama yang strategis bagi masalah kesehatan. Distribusi dan retensi lulusan untuk bekerja pada tempat yang membutuhkan (daerah tertinggal, perbatasan dan daerah terpencil), dan peran lulusan dalam meningkatkan kemampuan profesionalnya melalui pengembangan 7
professional berkelanjutan. Prinsip ini harus menjamin keterkaitan antara sistem pendidikan dan kebutuhan pengguna. Kondisi saat ini di Indonesia – walaupun belum dianalisa mendalam – sudah terjadi miss-match antara pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja untuk beberapa profesi. Konsep usability ini menjadi dasar life-long continuum of learning mulai dari tahap akademik (sarjana dan pascasarjana), spesialis dan pengembangan
professional
berkelanjutan
dalam
sistem
akreditasi
yang akan
dikembangkan. 2.4 Sistem akreditasi harus dibangun dengan kepercayaan (trustworthy). Sistem akreditasi
harus dipercaya oleh semua pemangku kepentingan; institusi pendidikan,
organisasi profesi, pemerintah, masyarakat pengguna (4 pilar utama), mahasiswa dan masyarakat internasional. Kepercayaan tersebut didasarkan atas kompetensi, efisiensi, keadilan dan keterbukaan dari sistem tersebut. Prinsip ini harus dipahami oleh semua pengguna dan pemangku kepentingan, dan konsekwensinya adalah bahwa sistem ini harus sangat transparan dan dapat di akses dengan mudah oleh pihak yang berkepentingan. Kepercayaan secara operasional harus dibangun dengan engagement atau keterlibatan dari semua pihak. Keterlibatan tersebut merupakan hubungan diantara pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan peluang mendengar pihak lain dengan rasa hormat dan menyepakati tindakan yang harus dilakukan bersama. Dari paparan di atas, terlihat dengan jelas bahwa prinsip dasar dari sistem akreditasi yang akan dibangun adalah peningkatan kualitas berkelanjutan dan akuntabilitas sosial institusi pendidikan. Prinsip akuntabilitas sosial yang dibebankan walaupun bersifat universal: harus diadopsi dan diaplikasi dengan kondisi Indonesia sehingga dapat memicu institusi pendidikan agar memanfaatkan potensinya untuk menghasilkan tenaga kesehatan untuk memenuhi tantangan masalah kesehatan dan kebutuhan masyarakat dengan semangat kualitas, berkeadilan, relavan dan efektif biaya. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa akuntabilitas sosial merupakan tanggung jawab institusi pendidikan untuk mengarahkan aktifitas pendidikan, riset dan pengabdiannya menjawab prioritas kesehatan masyarakat, daerah, dan atau bangsanya (WHO, 1995).
3. KONDISI SAAT INI Saat ini akreditasi program studi pada pendidikan tinggi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang dibentuk berdasarkan Kepmendikbud 8
No. 0326/U/1994. Setelah berlakunya UU No. 20 Tahun 2003, dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Mengenai Standar Nasional Pendidikan, BAN-PT diberikan mandat baru untuk meningkatkan dan mengimplementasikan sistem akreditasi untuk institusi pendidikan tinggi. Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pasal 61, dijelaskan bahwa ijazah hanya dapat diterbitkan oleh program studi yang telah terakreditasi. Dengan demikian, akreditasi menjadi kewajiban bagi setiap program studi. BAN-PT merupakan badan non-struktural mandiri Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan Nasional (PP No. 19 tahun 2005 dan Permendiknas No. 28 tahun 2005). BAN-PT dipimpin oleh Ketua BAN-PT yang dipilih dari anggota majelis, dibantu oleh sekretaris, yang mengelola kantor sekretariat, asesor dan reviewer (gambar 3).
Gambar 3. Struktur organisasi BAN-PT
Sekretariat berfungsi untuk melaksanakan kegiatan adiminstrasi rutin seperti registrasi, verifikasi administrative, mempersiapkan asesor, mengelola desk evaluation, kunjungan lokasi, re-evaluasi, dan mempersiapkan bahan rapat regular majelis untuk penilaian akreditasi. Tim ad-hoc berfungsi untuk pengembangan sistem akreditasi, instrument dan prosedur. Tim ini dibentuk oleh majelis dan setiap prosedur atau instrumen baru yang dihasilkan harus disetujui oleh Majelis BAN-PT. Sekretariat memfasilitasi semua proses yang dilaksanakan oleh tim ad-hoc. Saat ini terdapat tim ad-hoc untuk mempersiapkan instrumen akreditasi, pengembangan instrumen, pengembangan organisasi dan kode etik asesor. Seluruh biaya yang terkait dengan pengelolaan BAN-PT dan proses akreditasi dibebankan kepada pemerintah sehingga BAN-PT tidak memungut biaya untuk akreditasi dari institusi pendidikan. 9
Proses akreditasi dimulai dengan pengisian formulir yang dapat diperoleh melalui web site BAN-PT. Pedoman untuk evaluasi diri juga dapat diperoleh dari web. Berdasar dari isi formulir dan portofolio, dilakukan desk evaluation oleh 2 atau 3 asesor yang kemudian diikuti dengan kunjungan lokasi selama 3 hari. Pada saat kunjungan dilakukan penilaian terhadap 7 standar yaitu 1) visi dan misi, 2) tata pamong, 3) mahasiswa dan lulusan, 4) sumber daya manusia, 5) kurikulum, 6) pembiayaan, sarana dan prasarana, dan 7) penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Selama kunjungan, asesor melakukan verifikasi konsistensi antara data yang tertulis pada formulir dan pada portofolio dengan kondisi yang ada, dan hasil wawancara langsung dengan dosen, tenaga administrasi dan mahasiswa serta manajemen program studi. Laporan hasil kunjungan lokasi dan desk evaluation dilaporkan ke sekretariat BAN-PT. selanjutnya dilakukan re-evaluasi oleh majelis dan sekretariat. Akhirnya, semua hasil di verifikasi oleh majelis untuk memutuskan hasil akreditasi. Penilaian akhir status akreditas dilakukan dengan kriteria A, B, C atau tidak terakreditasi. Hasil akreditasi dipublikasikan melalui web site BAN-PT dan Direktorat Pendidikan Tinggi. Saat ini hasil akreditasi yang dikeluarkan oleh BAN-PT telah mendapat pengakuan baik dari pemerintah, masyarakat maupun pihak luar negeri. Beberapa hal yang menjadi permasalahan akreditasi oleh BAN-PT selama ini antara lain: 1.
Jumlah program studi yang harus diakreditasi sangat banyak. Saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 3000 perguruan tinggi dengan sekitar 17.000 program studi yang harus diakreditasi oleh BAN-PT.
2.
Dana dari pemerintah yang masih terbatas untuk mendukung pelaksanaan akreditasi maupun manajemen BAN-PT.
3.
Instrumen yang digunakan masih bersifat generik atau “one size fits all” untuk seluruh program studi. Instrumen ini tidak sesuai dengan keunikan dari program profesi.
4.
Proses akreditasi saat ini hanya menilai program akademik dan belum mencakup program profesi dan dokter spesialis.
5.
Penggunaan teknologi informasi belum secara optimal dilakukan.
Kondisi status akreditasi program studi profesi kesehatan saat ini Saat ini, akreditasi program studi profesi kesehatan untuk kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan dan kebidanan juga dilakukan oleh BAN-PT. Khusus untuk keperawatan dan kebidanan beberapa diantaranya juga masih diakreditasi oleh Kementerian Kesehatan 10
melalui Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan (Pusdiknakes). Pada table 1 dibawah ini dapat dilihat status akreditasi oleh BAN-PT dari masing-masing program studi.
Tabel 1. Status akreditasi institusi pendidikan profesi kesehatan PROGRAM STUDI
STATUS AKREDITASI A
Kedokteran
B
C
Jumlah
Belum
16
19
11
26
72
Kedokteran Gigi
2
4
0
19
25
Keperawatan
1
17
53
6
77
19
40
64
51
174
Kebidanan Total
Sumber: Data BAN-PT 2010
Data yang tercantum pada table 1 tersebut untuk keperawatan dan kebidanan masih jauh dari jumlah yang sebenarnya. Dari data EPSBED dan Pusdiknakes 2010, jumlah program studi keperawatan dan kebidanan jauh lebih besar (table 2).
Tabel 2. Jumlah program studi pendidikan keperawatan dan kebidanan PROGRAM STUDI
D3
D4
Keperawatan
288
Kebidanan
679
Total
967
S1
Profesi
Jumlah
308
596
69
2
750
69
310
1346
Sumber: EPSBED dan Pusdiknakes 2010
4. LANDASAN HUKUM Sistem akreditasi yang akan dibangun haruslah berada dalam kerangka hukum yang jelas. Kerangka hukum tersebut harus menjamin otonomi dari sistem akreditasi dan dijamin kemandiriannya oleh Pemerintah, Institusi Pendidikan dan Profesi. Pelaksana dari sistem ini adalah LAM yang akan dibentuk sebagai bagian dari sistem. Undang-Undang atau Peraturan haruslah memberi kewenangan kepada LAM untuk menilai pelaksanaan standar, melaksanakan evaluasi secara berkala, memberi, menolak dan mencabut status akreditasi. LAM juga harus menyusun prosedur akreditasi, mengelola pembiayaan, memutuskan konflik kepentingan dan gugatan yang ditujukan kepadanya. 11
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 60 ayat (1) ditetapkan bahwa program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Pernyataan ini jelas menunjukkan terbukanya peluang untuk terbentuknya LAM untuk institusi pendidikan profesi kesehatan yang dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas mempunyai keunikan tersendiri. Selanjutnya, pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan dengan akreditasi pada Pasal 86 ditetapkan bahwa Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan (ayat 1). Pada ayat (2) Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi. Pada Pasal 87, Akreditasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dilaksanakan oleh BAN-PT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan pada ayat (3) Badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pada ayat (5) Ketentuan mengenai badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pada Pasal 88 ditetapkan Lembaga mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dapat melakukan fungsinya setelah mendapat pengakuan dari Menteri. (2) Untuk memperoleh pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga mandiri wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya: a) berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba, b) memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidikan, dan c) mendapat izin Menteri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pada Permendiknas No. 28 Tahun 2005, Pasal 13 ditetapkan bahwa (1) Masyarakat dapat melakukan akreditasi perguruan tinggi dengan membentuk lembaga akreditasi perguruan tinggi yang bersifat mandiri. (2) Lembaga akreditasi perguruan tinggi yang bersifat mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. berbadan hukum Indonesia; b. bersifat nirlaba; c. memiliki tenaga ahli di bidang evaluasi pendidikan; d. memperoleh izin Menteri. Pada Pasal 14 ditetapkan bahwa untuk meningkatkan kinerja lembaga akreditasi pendidikan tinggi mandiri yang dibentuk oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 13, lembaga ini dapat merintis dan memberdayakan potensinya dalam menggali dana dan sumber daya dari masyarakat secara sah dan tidak mengikat, dengan bentuk pertanggungjawaban yang transparan sesuai dengan prinsip akuntabilitas. 12
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa LAM untuk institusi pendidikan profesi kesehatan dapat dibentuk dan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku yaitu berbentuk badan hukum nirlaba, memiliki tenaga ahli evaluasi pendidikan, dan mendapat izin Menteri Pendidikan. Ketetapan Menteri Pendidikan mengenai LAM sebaiknya berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional seperti halnya peraturan tentang BAN-PT dalam Permendiknas No. 28 Tahun 2005.
5. FUNGSI DAN RUANG LINGKUP LEMBAGA AKREDITASI MANDIRI Akreditasi adalah suatu proses untuk menjamin bahwa apakah suatu program studi telah memenuhi standar pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam konteks profesi kesehatan, tujuan akreditasi adalah untuk menjamin bahwa kualitas lulusan program studi profesi kesehatan telah memenuhi kebutuhan pasien atau masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Frenk J dkk, 2010). Dengan demikian akreditasi melindungi masyarakat dari pelayanan kesehatan yang tidak berkualitas. Dari pernyataan tersebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa akreditasi tidak hanya menilai pencapaian standar pendidikan, tetapi yang lebih penting adalah pelaksanaan akuntabilitas sosial dari institusi pendidikan. Oleh karena itu, konsep dasar sistem akreditasi yang akan dikembangkan haruslah berpegang pada prinsip continuous quality improvement (CQI), quality cascade, conceptualization, production and usability (CPU) dan harus dipercaya oleh semua pemangku kepentingan. Untuk mencapai tujuan tersebut, fungsi yang harus dijalankan oleh suatu Lembaga Akreditasi adalah: 1. Melakukan verifikasi apakah suatu program studi telah menjalankan fungsinya sesuai dengan standar; 2. Membuat dan mengembangkan kebijakan, standar, instrumen dan prosedur akreditasi yang mendorong pelaksanaan keempat prinsip dasar; 3. Melakukan pembinaan terhadap program studi dengan memberikan umpan balik yang tepat waktu, spesifik, konstruktif dan adil; 4. Melakukan rekruitmen, pelatihan dan pengembangan asesor atau evaluator pendidikan.
Untuk menjalankan fungsi tersebut, dibutuhkan suatu Lembaga Akreditasi yang mempunyai otonomi, otoritas dan akuntabel. Otonom berarti bahwa setiap penilaian atau keputusan mengenai akreditasi haruslah bebas dari konflik kepentingan atau pengaruh dari pemangku kepentingan dan pihak lainnya. Otoritas berarti bahwa Lembaga Akreditasi harus
13
dipercaya oleh institusi pendidikan, organisasi profesi, pemerintah, masyarakat pengguna (4 pilar utama), mahasiswa dan masyarakat internasional. Hal ini akan memberikan dampak bagi program studi untuk memperoleh dana hibah dari pemerintah, pengakuan bagi lulusannya untuk proses rekruitmen, dan membangun kerjasama internasional. Akuntabel berarti bahwa pengelolaan manajemen haruslah mengikuti prinsip tata pamong yang baik dan diukur dari hasil pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Ruang lingkup dari lembaga akreditasi ini adalah tujuh profesi kesehatan (kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, farmasi, kesehatan masyarakat, dan gizi). Program pendidikan yang dicakup adalah D3, akademik (S1,S2 dan S3), profesi (dokter, dokter gigi, ners, apoteker dan spesialis). Program studi yang diakreditasi tidak hanya yang telah berjalan, tetapi juga untuk pembukaan program studi baru.
6. STRUKTUR ORGANISASI LEMBAGA AKREDITASI MANDIRI Dalam menjalankan fungsinya, LAM harus mempunyai struktur yang dapat menjalankan prinsip yang menjadi dasar sistem akreditasi. Kementerian Pendidikan sebagai pemegang otoritas untuk membentuk LAM harus membentuk struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan fungsinya. Organisasi dikelola oleh staf permanen dalam jumlah yang memadai dan kualifikasi yang dapat diandalkan. Pengelola haruslah mereka yang mempunyai komitmen yang tinggi dan dihormati oleh semua pemangku kepentingan, yang akan lebih baik bila mereka dikenal secara internasional. Anggota terdiri dari wakil institusi pendidikan, organisasi profesi, pemerintah dan masyarakat umum. Keseimbangan perwakilan dari semua pemangku kepentingan perlu mendapat perhatian. Dibawah ini dijelaskan secara rinci organisasi dan strukturnya (gambar 4). 1. Board of accreditation yang anggotanya terdiri dari perwakilan: 1) institusi pendidikan, 2) organisasi profesi, 3) Kemendiknas, 4) Kemenkes, 5) KKI, 6) masyarakat, 7) mahasiswa. Jumlah masing-masing perwakilan ditentukan secara proporsional. Ketua dan Wakil Ketua dipilih oleh anggota secara demokratis. Masa keanggotaan adalah 3 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Masa keanggotaan mahasiswa 1 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Tugas dari Board of accreditation adalah: 1) menyusun kebijakan Lembaga, 2) melakukan pengambilan keputusan hasil akreditasi, 3) membentuk komisi-komisi, 4) membentuk tim ad-hoc, 5) mengesahkan hasil kerja tim ad-hoc, dan 6) menyusun laporan tahunan.
14
2. Sekretaris eksekutif yang mengelola kegiatan kantor sehari-hari direkrut secara professional dan berfungsi untuk menunjang kegiatan Lembaga seperti: 1) registrasi, 2) verifikasi administratif, 3) mempersiapkan daftar asesor, 4) mempersiapkan desk evaluation, 5) mempersiapkan kunjungan lokasi, 6) mempersiapkan bahan pertemuan Board, dan 6) mempersiapkan penyusunan laporan tahunan. 3. Komisi-Komisi yang merupakan badan kelengkapan Lembaga yang terdiri dari: 1) komisi kedokteran, 2) komisi kedokteran gigi, 3) komisi keperawatan, 4) komisi kebidanan, dan 5) komisi pengembangan standar. Anggota komisi berasal dari perwakilan pemangku kepentingan seperti pada Board of accreditation (kecuali wakil dari KKI hanya untuk kedokteran dan kedokteran gigi) dengan masa jabatan yang sama. Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi dipilih dari anggota dan disahkan oleh Ketua Lembaga. Tugas komisi adalah: 1) melaksanakan kebijakan Lembaga, 2) melaksanakan akreditasi, 3) memberikan masukan ke Board mengenai keputusan hasil akreditasi, 4) mengembangkan standar, khusus untuk komisi pengembangan standar, 5) menyusun laporan tahunan.
Gambar 4. Struktur organisasi LAM
4. Tim ad-hoc merupakan tim yang dibentuk oleh Board untuk keperluan tertentu seperti: 1) pengembangan instrumen, 2) rekrutmen dan pelatihan asesor, 3) tim visitasi. Masa kerja dan jumlah anggota tim ad-hoc tergantung dari keperluan dan mereka bukanlah anggota dari Lembaga Akreditasi. 7. PEMBIAYAAN Dalam mengembangkan konsep pembiayaan bagi Lembaga ini, terdapat dua hal penting yang harus mendapat pertimbangan. Pertama, pembiayaan dari manapun sumbernya harus 15
tetap
menjamin
kemandirian
Lembaga.
Kedua,
pembiayaan
mampu
menjamin
keberlangsungan fungsi Lembaga. Dari hasil benchmarking, diperoleh informasi mengenai sumber pembiayaan Lembaga Akreditasi di Amerika dan Kanada. Pada prinsipnya sumber pembiayaan berasal dari Asosiasi institusi pendidikan, organisasi profesi, institusi pendidikan, pemerintah dan masyarakat sebagai bagian dari peran dalam menjaga kualitas pendidikan dan lulusan yang akan melayani mereka. Biaya diperlukan untuk membiayai berbagai kegiatan Lembaga Akreditasi dan proses akreditasi sebagai berikut: − Rekruitmen, gaji dan honorarium staf dan pengelolaan Lembaga; − Kegiatan untuk mendukung pertemuan-pertemuan Lembaga; − Kegiatan survei dan visitasi; − Kegiatan komisi-komisi dan panitia ad-hoc
Di Amerika Serikat, Liaison Committee on Medical Education (LCME) dibiayai oleh Association of American Medical Colleges (AAMC) dan American Medical Association (AMA). Untuk akreditasi di Kanada pembiayaan dilakukan bersama oleh LCME dan Committee on the Accreditation of Canadian Medical Schools (CACMS) secara proporsional. Untuk Kedokteran Gigi, kegiatan akreditasi di subsidi oleh American Dental Association (ADA). Institusi pendidikan juga memberi kontribusi terhadap Lembaga Akreditasi di berbagai Negara yang dikunjungi pada saat benchmarking. LCME tidak memungut biaya akreditasi bagi program studi yang telah terakreditasi. Tetapi, bagi program studi baru yang akan diakreditasi, atau program studi yang belum terakreditasi dipungut biaya administrasi sejumlah $25,000. Sedangkan yang akreditasinya ditolak, dan meminta di akreditasi ulang, dipungut biaya reaplikasi sejumlah $10,000. Biaya tersebut termasuk biaya konsultasi sekretariat dan visitasi sampai dengan program studi mendapat status akreditasi penuh. Untuk kedokteran gigi, biaya ditanggulangi oleh ADA dan institusi pendidikan yang dikunjungi. Biaya tersebut termasuk biaya visitasi dan penilaian serta umpan balik kepada isntitusi pendidikan. Untuk profesi keperawatan, pengelolaan Lembaga Akreditasi diperoleh dari uang iuran dari masing-masing institusi pendidikan dan biaya untuk akreditasi. Dana untuk badan regulasi pada propinsi diperoleh dari Pemerintah. 16
Belajar dari hasil benchmarking yang telah dilakukan keempat profesi, perlu dikembangkan model pembiayaan yang sesuai dengan kondisi sosial politik di Indonesia. Sampai dengan tahun 2015, biaya Lembaga Akreditasi yang akan dibentuk akan dibiayai oleh proyek HPEQ. Setelah tahun 2015, Lembaga ini harus mampu untuk membiayai kegiatannya sendiri atau dengan bantuan dari pemerintah. Pada naskah akademik ini kami mengajukan model pembiayaan yang mengacu pada prinsip kemandirian Lembaga dan keberlangsungan fungsi Lembaga. Mengacu kepada konsep kemandirian Lembaga, sedapatnya pembiayaan diperoleh dari kontribusi institusi pendidikan kesehatan dan sumbangan masyarakat yang tidak mengikat. Kontribusi institusi pendidikan dapat secara langsung ke Lembaga Akreditasi, atau melalui Asosiasi Institusi Pendidikan yang terkait dengan kontribusi berupa uang iuran. Kontribusi dari institusi pendidikan kesehatan tidak saja mempunyai makna finansial, tetapi yang tidak kalah pentingnya merupakan penjabaran dari prinsip dasar sistem akreditasi yang dipakai yaitu CQI atau peningkatan kualitas berkelanjutan. Dana yang dikontribusikan oleh institusi pendidikan berguna tidak saja untuk mengelola Lembaga, tetapi juga dipergunakan untuk memberikan umpan balik secara tepat waktu, spesifik, konstruktif dan adil. Dana kontribusi tersebut juga dapat dipergunakan untuk rekruitmen dan pelatihan asesor/evaluator pendidikan dari institusi pendidikan. Umpan balik dan asesor/evaluator pendidikan yang berkualitas dapat dijadikan dasar bagi perbaikan kualitas pendidikan di institusi pendidikan. Kontribusi masyarakat penting bagi Lembaga bukan saja secara finansial, tetapi secara filosofis merupakan kontribusi masyarakat (tanggung jawab sosial) terhadap peningkatan kualitas tenaga kesehatan melalui pembiayaan Lembaga Akreditasi yang berkualitas dan mandiri. Dari sudut pandang keberlangsungan fungsi Lembaga, jaminan ketersediaan dana yang mendukung pengelolaan Lembaga Akreditasi dengan menggalang dana dari berbagai sumber termasuk pemerintah. Ada pendapat yang mengemuka bahwa adanya dana pemerintah akan menyebabkan kemandirian Lembaga akan terganggu. Tentu saja tidaklah bijaksana untuk mempertentangkan
kemandirian
Lembaga
dan
keberlangsungan
fungsi
Lembaga.
Pengalaman selama ini dengan BAN-PT yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, kemandirian tetaplah dapat dijamin. Bila kontribusi pemerintah tetap ada, sebaiknya lebih terkait dengan pengelolaan Lembaga (gaji dan honorarium pengelola, rekruitmen dan pelatihan asesor/evaluator pendidikan).
17
8. PROSES AKREDITASI Dalam proses akreditasi terdapat beberapa tahapan yang meliputi 1) evaluasi diri, 2) visitasi, 3) laporan hasil visitasi ke kantor sekretariat untuk didistribusi ke anggota board, dan 4) pengambilan keputusan oleh anggota board. Apa yang diuraikan dibawah ini hanya merupakan konsep dasar dari proses akreditasi. Pada setiap tahapan proses akreditasi harus ada pedoman yang lebih rinci yang akan dipergunakan oleh Board, Tim asesor dan program studi, termasuk diantaranya adalah kode etik untuk masing-masing pihak. Untuk program studi baru diperlukan pedoman akreditasi tersendiri sebagai bagian dari proses akreditasi yang ada. 1. Tahap evaluasi diri. Evaluasi diri adalah deskripsi dan analisis dari institusi untuk menilai apakah program pendidikan yang dilaksanakan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Selain menjadi dasar bagi proses akreditasi, evaluasi diri juga penting sebagai suatu instrumen penting untuk menilai kekuatan, kelemahan dan potensi untuk pengembangan kedepan. Evaluasi diri harus komprehensif dan mencakup semua indikator yang terdapat pada standar pendidikan profesi. 18-24 bulan sebelum masa akreditasi berakhir, sekretariat akan memberikan informasi kepada program studi. Dokumen evaluasi diri dapat diperoleh dari sekretariat atau website 3 bulan sebelum rencana visitasi. Program studi dapat melakukan konsultasi dengan sekretariat untuk membantu proses akreditasi. 2. Tahap visitasi. Visitasi oleh asesor bertujuan untuk melakukan validasi terhadap hasil evaluasi diri program studi sesuai dengan standar, dan juga mendapatkan infoirmasi lainnya yang dibutuhkan untuk melakukan penilaian. Program studi dan tim asesor akan diinformasikan oleh sekretariat 3 bulan sebelum tanggal visitasi beserta seluruh bahan yang diperlukan. Visitasi berlangsung selama 3-4 hari, dan melakukan pertemuan dengan manajemen program studi, dosen, mahasiswa dan karyawan serta melakukan observasi langsung terhadap pelaksanaan standar pendidikan. 3. Laporan hasil visitasi. Setelah melaksanakan proses visitasi, tim akan membuat laporan mengenai hasil temuan yang diperoleh dalam waktu 3 hari. Tim melakukan penilaian apakah standar telah terpenuhi seluruhnya atau masih ada yang belum terpenuhi dengan memberikan argument atau bukti terhadap kesimpulannya. Jadi, diperlukan kemampuan untuk melakukan penilaian secara kualitatif dari anggota tim. 18
Tim tidak membuat rekomendasi atau keputusan mengenai status akreditasi. Laporan dikirim ke sekretariat untuk di distribusikan ke anggota Board, dan ke pimpinan program stdui yang di akreditasi. Bila pimpinan program studi tidak sepakat tentang hasil visitasi, dapat dilakukan komentar tertulis atau tambahan informasi yang diperlukan ke sekretariat sebagai bahan untuk review oleh Board. 4. Pengambilan keputusan oleh Board. Dalam mengambil keputusan prinsip dasar yang menjadi acuan dalam sistem akreditasi yang akan dikembangkan adalah peningkatan kualitas berkelanjutan (CQI), bukan sekedar melakukan penilaian apakah program studi telah memenuhi standar atau belum. Dengan konsep ini, kategori akreditasi yang akan diputuskan adalah: a. Akreditasi penuh untuk periode 5 tahun bila seluruh standar telah terpenuhi dengan baik, namun lembaga akreditasi dapat melakukan visitasi ke program studi setiap saat bila ada indikasi atau bukti bahwa kinerja tidak baik, atau ada standar yang tidak terpenuhi dalam periode akreditasi yang berlaku. b. Akreditasi dengan persyaratan bila ada beberapa dari standar yang belum terpenuhi. Periode untuk akreditasi bersyarat tergantung dari berapa banyak standar yang belum terpenuhi. Pihak program studi harus membenahi apa yang masih belum terpenuhi dari standar, dan selanjutnya mempersiapkan diri untuk penilaian untuk memperoleh akreditasi penuh. Sebagai konsekwensi dari CQI, lembaga akreditasi harus memberikan umpan balik yang tepat waktu, spesifik, konstruktif dan adil agar program studi dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan. c. Tidak terakreditasi bila banyak dari indikator dalam standa pendidikan yang tidak terpenuhi, atau bila terdapat kekurangan yang tidak dapat diperbaiki dalam periode satu atau dua tahun. Keputusan mengenai status akreditasi yang diusulkan diatas berbeda dengan apa yang selama ini dipergunakan oleh BAN-PT yang berdasarkan pada kriteria A, B, C dan tidak terakreditasi. Tentu saja hal ini dapat menjadi bahan untuk didiskusikan tidak hanya dalam hal aspek konsep dan teknis, tetapi tidak kalah pentingnya adalah dampak dari pilihan yang akan dipergunakan bagi program studi yang ada saat ini.
19
9. KOMPONEN DAN TAHAPAN PEMBENTUKAN SISTEM 9.1.
Komponen yang terlibat Membentuk suatu sistem akreditasi yang dapat menjamin fungsi dan kemandirian
berjalan dengan optimal, diperlukan upaya untuk membangun hubungan yang harmonis dan dinamis dengan semua komponen yang terlibat baik pada tingkat nasional, regional maupun institusional. Keterlibatan (engagement) pemangku kepentingan ini pada berbagai tingkatan menjadi kunci keberhasilan. Komponen yang terlibat dalam pembentukan sistem akreditasi untuk profesi kesehatan adalah: 1. Lembaga yang mempunyai otoritas regulasi yaitu, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan dan Konsil Kedokteran Indonesia. Kementerian Pendidikan Nasional dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyusun standar pendidikan, kurikulum dan sistem akreditasi serta berbagai regulasi yang terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Kementerian Kesehatan dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. KKI yang berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bertugas untuk mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang akan dipergunakan sebagai standar dalam proses akreditasi. 2. Institusi pendidikan profesi kesehatan (Kedokteran, Kedokteran Gigi, Keperawatan, Kebidanan, Kesehatan Masyarakat, Gizi dan Farmasi). Dalam kaitan dengan upaya untuk meningkatkan kapasitas institusi pendidikan, peran dari masing-masing institusi pendidikan dapat melalui asosiasi institusi pendidikan masing-masing. Institusi pendidikan selain merupakan tempat dimana proses pendidikan berlangsung, juga berfungsi menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi. 3. Organisasi profesi sebagai komunitas dimana lulusan institusi pendidikan akan menjalani kehidupan profesional mereka, membangun kesejawatan, dan menjalani pengembangan professional berkelanjutan. Organisasi profesi melalui kolegiumnya ikut menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi. 4. BAN-PT sebagai lembaga yang melaksanakan akreditasi selama ini sebagai mitra utama untuk mengembangkan sistem yang akan dibangun. Peran BAN-PT dalam 20
sistem ini merupakan topik yang perlu didiskusikan. Terdapat tiga model kemitraan yang dapat dikembangkan dengan BAN-PT. Pertama, BAN-PT sebagai lembaga yang melakukan akreditasi terhadap LAM yang akan dibentuk. Kedua, sebagai mitra yang setara, dimana BAN-PT sebagai institusi yang telah berpengalaman dapat bekerja sama dalam melatih asesor, mengembangkan standar dan berbagai pedoman yang dibutuhkan. Ketiga, BAN-PT dan LAM berjalan sendiri dengan keunikan mereka masing-masing. 5. Masyarakat yang merupakan alasan utama keberadaan lembaga ini. Hubungan antara individu dan masyarakat dengan tenaga profesi kesehatan yang dibangun dengan profesionalisme yang tinggi berdasarkan kepercayaan (social-trusted professionalism) telah berlangsung ribuan tahun sejak profesi kesehatan mulai dikenal. Berdasarkan prinsip tersebut, tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan yang berkualitas kepada siapapun dan dimanapun. Untuk menjaga kualitas pelayanan kesehatan inilah berbagai regulasi yang dibuat oleh lembaga yang berwewenang (pemerintah dan KKI) agar dilaksanakan oleh institusi pendidikan dan organisasi profesi. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakatlah yang menjadi ruh dari sistem yang akan dibangun yang kemudian dikenal sebagai tanggung jawab sosial institusi pendidikan yang menghasilkan tenaga profesi kesehatan. Dengan demikian, secara prinsip tidak ada alasan untuk tidak melibatkan masyarakat dalam sistem ini.
Gambar 5. Sistem akreditasi dibangun dengan kemitraan antara semua pemangku kepentingan dengan landasan hukum dan kebijakan yang kokoh dan dikelola dengan kepemimpinan yang kuat. Tentu saja, diperlukan dukungan finansial yang dapat menjamin keberlangsungan fungsi dan kemandirian dari sistem ini. Namun, konsep yang baik bukanlah jaminan bagi sistem ini untuk berjalan. Kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat dicapai kalau implementasi dapat berjalan dengan baik.
21
Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa pada era dimana kompleksitas permasalahan kesehatan yang sangat tinggi, diperlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan melalui suatu proses kerja sama yang aktif. Sistem ini tidak akan berjalan secara optimal tanpa melibatkan semua pemangku kepentingan dari berbagai sektor. Diperlukan kebijakan yang tidak hanya mampu memberikan landasan hukum, tetapi juga menjamin berbagai kepentingan dari pemangku kepentingan dapat terakomodasi. Dalam kegiatan HPEQ tahun 2010, salah indikator kinerja yang penting dalam kaitan dengan hal ini adalah membangun aliansi strategis dengan semua pemangku kepentingan. Sistem ini dapat berjalan tidak hanya membutuhkan dukungan finansial, tetapi kepemimpinan yang kuat merupakan persyaratan mutlak bagi implementasi. Dalam implementasi sistem ini, harus diperhatikan dampak yang akan ditimbulkan terhadap sistem yang ada selama ini dan semua komponen atau pemangku kepentingan. Setiap perubahan menuju suatu perbaikan pasti akan menimbulkan masalah yang tidak kecil dan perlu di antisipasi dengan cermat. Implikasi penting yang perlu mendapat perhatian antara lain: 1) hubungan antara BAN-PT dengan lembaga akreditasi yang akan dibentuk, 2) pengelolaan lembaga terkait dengan manajemen, sumber daya manusia, keuangan dan sarana/prasarana, 3) status akreditasi bagi institusi pendidikan yang telah habis masa berlakunya, 4) ruang lingkup profesi dan program studi yang akan dikelola sangat luas membutuhkan persiapan yang baik terhadap seluruh perangkat yang menjadi persyaratan agar lembaga ini dapat menjalankan fungsinya secara baik, hal ini penting mengingat belum semua profesi dan program studi telah mempersiapkan standar, borang, dan evaluator akreditasi, dan 5) implikasi sosial dan psikologis terhadap masyarakat dan institusi pendidikan. Keberhasilan implementasi juga ditentukan oleh saling pengertian atas tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan. Setiap pemangku kepentingan memahami betul tugas, fungsi dan tanggung jawabnya agar dapat dengan jernih dan tepat memposisikan lembaganya dalam konteks kepentingan yang lebih besar. 9.2.
Tahapan Kegiatan Pada tahun 2010 untuk membuat sistem ini, diperlukan upaya membangun kesepakatan
dan kapasitas dari semua pemangku kepentingan. Tahapan yang telah dilalui adalah tahap fasilitasi dan sensitisasi melalui proses workshop, benchmarking dan konsultansi. Hasil dari semua kegiatan tersebut adalah terbentuknya aliansi strategis dari semua pemangku 22
kepentingan. Selain itu, hasil kegiatan tahapan fasilitasi dan sensitisasi dipergunakan untuk bahan bagi pembuat regulasi baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat institusi dan organisasi profesi untuk membuat standar pendidikan dan kompetensi bagi masing-masing institusi pendidikan.
Gambar 6. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, tahapan dan kegiatan sampai dengan pembentukan lembaga akreditasi yang diharapkan.
Tahun 2011 merupakan bagian dari tahap membangun kapasitas dan implementasi. Dalam tahap membangun membangun kapasitas kegiatan yang masih perlu dilakukan adalah penyelesaian standar pendidikan dan kompetensi dari beberapa profesi, pelatihan evaluator pendidikan, dan business plan untuk lembaga. Tahap implementasi diharapkan dapat dilaksanakan pada semester kedua tahun 2011 setelah seluruh regulasi, naskah akademik telah selesai dan dikeluarkannya keputusan Menteri Pendidikan Nasional mengenai lembaga akreditasi ini (lihat lampiran 2). 10. KESIMPULAN Dari kajian yang telah diuraikan yang mengacu kepada berbagai peraturan perundangundangan, masukan dari berbagai workshop, benchmarking, dan konsultan legal dan internasional, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan melihat kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas, perkembangan iptek, dan globalisasi serta kondisi sistem akreditasi saat ini, maka diperlukan suatu lembaga akreditasi profesi pendidikan kesehatan yang mandiri dan dikelola dengan tata pamong yang baik. 2. Prinsip dasar atau landasan filosofis sistem akreditasi yang dipergunakan adalah Sistem akreditasi yang akan dibangun harus berprinsip pada continuous quality 23
improvement (CQI), quality cascade, conceptualization, production and usability (CPU) dan dipercaya oleh semua pemangku kepentingan. Sedangkan landasan sosiologisnya bahwa sistem akreditasi merupakan akuntabilitas sosial institusi pendidikan profesi kesehatan. 3. Landasan hukum bagi pembentukan lembaga akreditasi yang mandiri cukup kuat. 4. Fungsi lembaga akreditasi yang akan dibentuk adalah 1) melakukan verifikasi apakah suatu program studi telah menjalankan fungsinya sesuai dengan standar; 2) membuat dan mengembangkan kebijakan, standar, instrumen dan prosedur akreditasi yang mendorong pelaksanaan keempat prinsip dasar; 3) melakukan pembinaan terhadap program studi dengan memberikan umpan balik yang tepat waktu, spesifik, konstruktif dan adil; 4) melakukan rekruitmen, pelatihan dan pengembangan asesor atau evaluator pendidikan. Ruang lingkupnya adalah tujuh profesi kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, kesehatan masyarakat, farmasi dan gizi), dan program studi D3, akademik (S1, S2 dan S3), dan profesi dan spesialis. 5. Struktur dan manajemen lembaga disesuaikan dengan fungsi dan ruang lingkup. 6. Pembiayaan harus menjamin kemandirian dan keberlangsungan fungsi lembaga. 7. Keterlibatan yang aktif dari para pemangku kepentingan sejak perencanaan, implementasi monitoring dan evaluasi kinerja lembaga harus menjadi kekuatan utama. 8. Perlu untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh implementasi sistem ini, termasuk dampak sosial dan psikologis. Perlu dipersiapkan strategi untuk menghadapi masa transisi dengan memperhatikan jenis dan jumlah program studi yang perlu diakreditasi dalam periode sampai dengan 2012.
24
Lampiran 1 OUTCOMES FRAMEWORK SISTEM AKREDITASI
Driving Force
Tingkat Intervensi
Institusi Pendidikan
Organisasi Profesi
Harmonisasi dan sinkronisasi regulasi • Pelaksanaan KBK • Penyusunan standar pendidikan profesi. • Penyusunan standar kompetensi. • Peningkatan kapasitas institusi. • Inovasi kurikulum • Penyusunan standar pendidikan profesi. • Penyusunan standar kompetensi. • Peningkatan kapasitas organisasi profesi. • Pengembangan profesional berkelanjutan.
Outcomes (lulusan)
Outcomes (Praktik)
Outcomes (Pelayanan Kesehatan)
Kompetensi
Kinerja
Pelayanan
Kualitas
Kualitas
Kualitas
• Kompetensi teknis • Kerjasama dalam tim • Dapat beradaptasi pada lingkungan profesi cepat berubah. • Dapat memicu perubahan.
• Kompeten dan profesional • Praktik yang berkualitas • Produktif/efisien
• Efektif • Efisien • Aman
Relevan
Relevan
• Responsif terhadap masalah kesehatan utama masyarakat. • Dapat melakukan intervensi berbasis populasi yang sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan.
• Terjangkau • Layak dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada. • Sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat.
Kuantitas dan Distribusi
Kuantitas dan Dsitribusi
Kuantitas dan Distribusi
• Jumlah lulusan dalam kaitan dengan kebutuhan (jenis dan kualifikasi). • Keinginan untuk bekerja pada daerah yang membutuhkan.
• Proporsi per 10,000 penduduk (densitas) • Distribusi geografis dalam hubungan dengan kebutuhan masyarakat. • Proporsi tenaga kesehatan dengan sarana dan prasarana.
• Accessible • Equitable • Proporsi penduduk yang mempunyai akses ke pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tertiar sesuai kebutuhan.
Relevan • Kompetensi dan keterampilan yang relevan terhadap kebutuhan masyarakat. • Distribusi yang proporsional ke daerah yang membutuhkan.
Lembaga Akreditasi • Regulatory framework. • Penyusunan instrument. • Manajemen dan pengelolaan. • Pelatihan evaluator pendidikan • Bussines plan.
Rumah Sakit / Sarana/Prasarana
• • • •
Status. SDM. Infrastruktur Manajemen dan pengelolaan.
26
Impact
KESEHATAN MASYARAKAT YANG LEBIH BERKUALITAS
KEBUTUHAN KESEHATAN MASYARAKAT YANG BERKUALITAS
Pembuat kebijakan
Area Intervensi
Lampiran 2 TAHAPAN KEGIATAN
2010
Persiapan
2011
2012
Penyelesaian naskah akademik
Workshop penyamaan persepsi dan konsultan internasional Workshop penyusunan standar dan kegiatan lain terkait KPI Benchmarking, konsultan internasional dan legal, symposium internasional
Kerangka strategis kebijakan, dan prosedur akreditasi
Pelatihan evaluator pendidikan,Bussines plan, analisis dampak Persiapan sarana prasarana Pembentukan lembaga akreditasi Sosialisasi kepada semua pemangku kepentingan dan masyarakat
Harmonisasi dan sinkronisasi regulasi
Lembaga akreditasi mulai berfungsi
Penyusunan standar
? Terbentuknya dan operasionalnya Lembaga Akreditasi Profesi Kesehatan
27
DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2005 tentang BAN-PT. 6. Standar Pendidikan Profesi Dokter, Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta 2006. 7. Standar Kompetensi Dokter. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta, 2006. 8. Basic Medical Education. World Federation for Medical Education, Denmark 2003. 9. Cottrell RR, Lysoby L, King LR, Airhihenbuwa CO, Roe KM, Allegrante JP. Current developments in accreditation and certification for health promotion and health education: A perspective on sistems of quality assurance in the United States. Health Edu Behav 36:451-463, 2009. 10. Frenk J, et al. Health professionals for new a century: transforming education education to strengthen health sistems in interdependent world. Lancet Published online November 29, 2010 DOI:10.1016/S0140-6736(10)61854-5. 11. Karle H. Global standars and accreditation in medical education: A view from WFME. Acad Med 81: S43-48, 2006. 12. Liaison Committee on Medical Education. Rules of Procedures, Washington D.C, 2010. 13. Liaison Committee on Medical Education. The role of students in accreditation of medical education programs in the U.S and Canada. Washington D.C, 2010. 14. Liaison Committee on Medical Education, Survey report guide. Washington D.C., 2010. 15. WHO, Division of Development of Human Resources for Health. Defining and measuring the social accountability of medical schools. Geneva: World Health Organization, 1995. 16. Woollard RF. From idea to action: The Creation of a National Accreditation Agency for Indonesia. Second Stakeholders Report. November, 2010.
28