Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Health Professional Education Quality (HPEQ) Project
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Health Professional Education Quality (HPEQ) Project Divisi Social Marketing
Tim Penulis: Irwandi Muhamad Kumbo Lasmono Raden Ayu Wulantari Rahma Novita Muhamad Heychael Yogi Herdani Suryo Boediono Editor Substansi: Irwandi
Editor Bahasa: Rahma Novita Preciosa Alnashava J. Ilustrator: Hery Siswanto Ristian Akbar Penata Letak: Harman Mariendra
Diterbitkan oleh: Health Professional Education Quality (HPEQ) Project Cetakan Pertama, 2013
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
KATA PENGANTAR Buku kecil yang ada di hadapan pembaca ini merupakan pengantar untuk mengenali pembaharuan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan yang sedang berlangsung saat ini. Kenapa buku ini disebut pengantar? Subjek yang dibahas di dalam buku ini sesungguhnya merupakan tema yang kompleks dan memerlukan deskripsi yang tebal. Pembaharuan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan itu sendiri juga merupakan upaya yang terjadi di setiap masa sebagai tanggapan terhadap perubahan zaman. Buku ini membatasi diri untuk hanya memotret pembaharuan yang terjadi ketika proyek Health Professional Education Quality (HPEQ) Dikti berlangsung, yaitu selama kurun waktu 2009-2014. Secara ringan buku ini mengajak kita, terutama para pemangku kepentingan untuk peduli dengan mutu di dalam sistem pendidikan tinggi kesehatan. Kenapa kita harus peduli? Karena mutu sistem pendidikan tinggi kesehatan menentukan mutu sistem pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu, termasuk juga yang adil dan merata sangat menentukan derajat kesehatan masyarakat. Kita tahu bahwa kesehatan, setelah pendidikan, adalah pilar penentu dari daya saing dan prasyarat produktivitas suatu bangsa. Itu artinya mutu adalah soal nasib dan harkat martabat bangsa.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
iii
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Upaya penataan mutu juga berkaitan erat dengan menurunnya kepercayaan masyarakat akan pelayanan kesehatan di Indonesia. Saya beserta segenap profesional dan pendidik kesehatan yang tergabung dalam HPEQ, percaya bahwa langkah pertama untuk merebut kembali kepercayaan publik mesti dimulai dari penataan mutu sistem pendidikan profesi kesehatan. Sebuah sistem yang menjamin bahwa para profesional kesehatan harus terlahir dari institusi yang juga sehat secara organisasi, memenuhi standar nasional dan memiliki kompatibilitas dengan standar internasional. Hanya dengan begitu, kita baru bisa berharap melahirkan kembali social-trusted professionalism, tenaga kesehatan professional yang mendapatkan kepercayaan masyarakat. Di dalam buku ini kita diajak untuk melihat deru perubahan lingkungan strategis sistem pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan. Buku ini juga mencatat bahwa perubahan ke arah mutu yang lebih baik, sebagaimana ditunjukkan dengan pembangunan sistem akreditasi yang lebih komprehensif dan spesifik bagi pendidikan kesehatan, bukanlah kerja individual. Sebaliknya ini merupakan hasil kerja publik kesehatan secara luas, yang didiorong oleh paradigma dan sikap mental yang berdasar pada interprofesionalitas. Wujudnya, tujuh organisasi profesi dan tujuh asosiasi insitusi pendidikan tinggi kesehatan telah bersepakat untuk memulai langkah besar ini dengan mendirikan rumah penjaminan mutu bersama. Sebuah rumah untuk saling belajar dan saling mendorong untuk meningkatkan diri dalam mutu melalui pendirian dua lembaga penjaminan mutu iv
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
pendidikan tinggi, yaitu Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes) dan Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK). LAM-PTKes dan LPUK memiliki dua nilai tambah dibanding sistem akreditasi pendahulunya. Pertama, secara filosofis, kedua lembaga tersebut lahir dari inisiasi publik dan merupakan Lembaga Akreditasi pertama bentukan masyarakat. Sekaligus tanda perubahan dari paradigma mutu yang pada awalnya bersifat top down merupakan tanggung jawab pemerintah, menjadi mutu yang bersifat social accountability, yakni tanggung jawab institusi pendidikan dan profesi kesehatan. Kedua, secara praktis, nilai tambah yang ditawarkan sistem akreditasi baru ini adalah pada pembangunan berkelanjutan kapasitas institusi program studi kesehatan. Proses akreditasi oleh LAM-PTKes dimulai semenjak langkah pertama sampai berakhirnya masa status akreditasi satu program studi. Tidak hanya memotret pemenuhan standar pendidikan, sistem akreditasi baru memberikan umpan balik hasil akreditasi yang tepat waktu, adil dan konstruktif kepada program studi. Sementara LPUK membangun sistem uji kompetensi yang terstandar secara nasional dan memiliki kompatibilitas dengan standar internasional. Uji kompetensi memberi kepastian kapasitas profesional seseorang tenaga kesehatan yang akan melaksanakan praktik atau upaya kesehatan. Uji kompetensi bukan sekedar kendali mutu final inspection, melainkan juga memberikan umpan balik bagi perbaikan institusional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
v
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
instruksional satuan pendidikan tinggi kesehatan. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih banyak kepada tim penulis. Semoga buku kecil ini bisa menambah khazanah pengetahuan kita tentang sistem penjaminan mutu di pendidikan tinggi kesehatan Indonesia. Selamat membaca.
Jakarta, 10 Mei 2013
Dr. Illah Sailah Manager HPEQ Project Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
vi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi 1. Penataan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan : Sebuah Rasionalisasi dan Konteks Strategis 2. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan Apa Itu Mutu? Mutu dan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan 3. Mengenal Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes) Apa Itu LAM-PTKes? Orientasi Strategis LAM-PTKes Nilai Tambah LAM-PTKes LAM-PTKes Sebagai Model 4. Mengenal Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) Uji Kompetensi Penguatan Sistem Uji Kompetensi Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) 5. Refleksi Seorang Pengemban Tugas: Mutu Sebagai Jalan Hidup
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
iii vii
1 15 16 18 21 29 30 32 36 42 45 46 48 53 59
vii
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Referensi
69
Daftar Tabel Tabel 3.1 Perbandingan Sistem Akreditasi Lama dan Baru 37 Tabel 4.1 Perbandingan Sistem Uji Kompetensi Lama dan Baru 50
Daftar Gambar Gambar 2.1 Pengertian Mutu Pendidikan Gambar 2.2 Kerangka Upaya Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat Gambar 2.3 Pengembangan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan Gambar 3.1 Prinsip Quality Cascade Gambar 3.2 Pendidikan Interprofesional sebagai Pemicu Kolaborasi Interprofesional di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Gambar 4.1 Piramida George Miller
16 23 25 33
34 54
Daftar Illustrasi Ilustrasi 1 Ilustrasi 2 Ilustrasi 3
viii
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
13 28 44
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Penataan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan: Sebuah Rasionalisasi dan Konteks Strategis
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
1
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
S
ekarang saatnya bagi seluruh pengandil dan pengambil kebijakan dalam sistem pendidikan maupun pelayanan kesehatan untuk berubah dan berbenah diri menjadikan mutu sebagai kebutuhan (quality first) serta mengambil mutu sebagai cara hidup dan menempatkannya sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Hal tersebut merupakan perubahan dari cara berpikir dan bertindak yang sektoral kepada budaya kerja sama lintas profesi. Hanya itu cara untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat Indonesia akan pelayanan kesehatan yang lebih baik di tanah air. Langkah pertama adalah semua pemangku kepentingan memastikan sistem pendidikan tinggi kesehatan memenuhi dan melampaui standar mutu yang telah ditetapkan dalam standar pendidikan dan kompetensi lulusannya. Pada jenjang inilah proses persiapan dan pemantapan kompetensi satu profesi kesehatan dimulai dan dipastikan. Selain naiknya kepercayaan masyarakat, harapannya adalah pengakuan global akan mutu pendidikan tinggi kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan Indonesia yang juga terus meningkat. Jalan yang harus ditempuh adalah dengan memperkuat sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan secara holistik. Sebuah sistem penjaminan mutu yang memungkinkan adanya mekanisme umpan balik (feedback) terhadap sektor pendidikan tinggi kesehatan. Umpan balik yang dimaksud adalah yang tepat waktu, spesifik, konstruktif, adil serta mendorong program studi melakukan perbaikan instruksional dan institusional dalam satu 2
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
paket. Perbaikan instruksional menghasilkan pembelajaran yang transformatif, tidak sekedar informatif dan normatif. Sementara perbaikan institusional menghasilkan interdependensi, interprofesional dan transprofesional. Kenapa kita harus berubah dan kenapa harus dengan penguatan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan? Karena mutu adalah penentu nasib dan masa depan pendidikan profesi kesehatan. Pertama, saat ini globalisasi telah menggelinding dan nyaris tidak ada yang bisa lari dari proses ini, termasuk pendidikan tinggi kesehatan. Dalam waktu dekat, Indonesia akan memasuki ASEAN Community 2015. Dalam konteks ini, knowledgebased economy menjadi penentu daya saing satu bangsa. Di dalam lanskap ini, terjadi mobilitas profesional kesehatan lintas negara termasuk di dalam bidang kesehatan. Terbentuk integrasi regional dan internasional yang mensyaratkan adanya mekanisme profesional dalam pengakuan kompetensi dan sertifikat perguruan tinggi yang terstandar. Termasuk di dalam konteks globalisasi itu adalah sistem penjaminan mutu telah menjadi norma baru di dunia pendidikan dengan berkembangnya lembaga penjaminan mutu di setiap negara. Sebuah fenomena yang disebut David Woodhouse (2006) sebagai revolusi mutu. Jejaring badan penjaminan mutu di tingkat internasional, regional dan subregional tumbuh dengan pesat dan tidak ada tempat untuk isolasi diri bagi satu negara, semua terhubungkan. Pada tataran internasional ada International Network of Quality Assurance Agencies in Higher Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
3
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Education (INQAHEE, 1991) yang gencar mempromosikan praktik baik penjaminan mutu pendidikan di dunia. Di setiap regional ada jejaring lembaga penjaminan mutu pendidikan tinggi, misalnya di Asia Tenggara ada AQAN (2008); Eropa dengan ENQA (2004); Asia Pasifik dengan APQN (2003); Afrika dengan AAU; negara-negara Karibia dengan CANQATE-nya dan sebagainya. Kemudian, WHO juga membentuk task force internasional untuk akreditasi pendidikan kedokteran, World Federation for Medical Education (WFME) pada 1972 yang menjadi organisasi payung bagi 6 asosiasi kedokteran tingkat regional termasuk di dalamnya South East Asia Regional Association of the World Federation for Medical Education (SEARAME). WFME merupakan organisasi dunia bagi kedokteran yang bermimpi untuk mendorong kualitas kedokteran menjadi lebih baik melalui pengembangan standar pendidikan; promosi akreditasi; database; publikasi dan kerja sama antara pendidikan kedokteran di seluruh dunia. Selain itu, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa dunia, termasuk Indonesia, sedang menghadapi persoalan sistem pelayanan kesehatan yang makin fokus pada pelayanan kuratif spesialistik, pengendalian penyakit berjangka pendek, bersifat komersil dan cenderung tak terkendali. Akibatnya biaya kesehatan menjadi mahal. Di samping itu, dunia sedang menghadapi penyakit infeksi baru akibat pencemaran lingkungan dan perilaku yang tidak sehat, di mana terus mengancam kesehatan nasional dan global, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Flu Burung (Avian Influenza), Flu Babi (Swine Influenza) dan sebagainya. 4
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Penyakit-penyakit yang memerlukan perubahan paradigma penanganan kesehatan yang holistik. Hal ini diperparah juga dengan transisi demografi dan transisi epidemiologi. Menyikapi perubahan dunia seperti ini, pada 2010, 20 pemuka profesi dan akademisi kesehatan dari berbagai negara sepakat membentuk Global Independent Commission on Education of Health Professionals for 21st Century. Setelah satu tahun melakukan riset, mereka melihat pendidikan profesi kesehatan di dunia belum menjawab perubahan ini. Ini dikarenakan profesi kesehatan itu sendiri masih berkutat dengan persoalanpersoalan semisal ketidaksesuaian kompetensi lulusan dengan kebutuhan individu pasien dan masyarakat; lemahnya kerja sama antara profesi kesehatan; paradigma yang lebih berorientasi kepada pelayanan medik/pengobatan, bukan paradigma sehat yang berorientasi kepada manusia sebagai subjek, yaitu sebagai produsen kesehatan; pelayanan kesehatan yang hanya bersifat episodik dan orientasi yang lebih condong ke pelayanan rumah sakit dari pada pelayanan kesehatan dasar. Menurut komisi global ini, setiap upaya perbaikan terhadap kondisi ini selalu mengalami titik buntu karena faktor tribalism of the professional, yaitu kecenderungan dari profesi tertentu untuk bergerak sendiri bahkan berkompetisi dengan yang lainnya. Komisi yang diketuai oleh Julio Fraenk dari Harvard School of Public Health, Boston USA dan Lincoln Chen Presiden dari China Medical Board, Cambridge USA, mengusulkan satu perubahan orientasi strategis pengembangan pendidikan profesi kesehatan di seluruh dunia. Hal mendasar yang mereka gariskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
5
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
pertama adalah antara sistem pendidikan dan sistem kesehatan memiliki hubungan yang erat. Untuk memberikan dampak kepada kualitas sistem kesehatan, subsistem pendidikan profesi kesehatan harus melakukan reformasi instruksional dan institusional sekaligus, dengan dua hasil yaitu pembelajaran transformatif (transformative learning) dan saling keterkaitan dalam pendidikan (interdependent in education). Transformatif sebagai buah dari reformasi instruksional adalah pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat kepemimpinan dan menghasilkan pelaku-pelaku perubahan. Pembelajaran yang bukan sekedar penguasaan pengetahuan dan skill untuk melahirkan tenaga ahli semata seperti pada informative learning dan bukan juga sekedar mensosialisasikan nilai-nilai dengan tujuan mencetak tenaga profesional seperti formative learning. Sementara interdependent sebagai buah dari reformasi institusional ditunjukkan oleh tiga perubahan mendasar, yaitu dari sistem yang terisolasi kepada sistem pendidikan dan sistem kesehatan yang harmonis; dari institusi yang berdiri sendiri kepada institusi yang membangun jaringan, aliansi, dan konsorsium; dan terakhir dari insitusi dengan cakrawala pendek kepada institusi dengan horizon luas yaitu memanfaatkan kekayaan isi, sumber daya dan inovasi pendidikan global. Bagaimana dengan kondisi keindonesiaan? Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Memiliki penduduk terbanyak ke-4 dunia dengan ragam latar belakang sosial budaya. Pelayanan kesehatan bergerak di dua arah berbeda, sebagian masyarakat masih sangat memerlukan 6
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
pelayanan dasar, sementara yang lain sudah memerlukan pelayanan kesehatan yang canggih. Sementara itu teknologi belum menjadi pemungkin bagi meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan itu sendiri. Sebaran tenaga kesehatan juga tidak merata di seluruh Indonesia dan tentu kita tidak ingin pada 2015 saat ASEAN Community dimulai, pusat layanan kesehatan di daerah-daerah diisi oleh tenaga kesehatan dari negara Asia Tenggara lainnya. Ini semua membutuhkan sistem pelayanan kesehatan yang kompleks. Menurut kajian Equity in Asia-Pacific Health System (Equitap), sebuah jejaring grup peneliti kesehatan di regional Asia Pasifik, dalam laporan tahun 2005, Indonesia berada di peringkat terbawah dalam pemanfaatan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan formal. Kendati secara faktual dalam satu dekade terakhir di Indonesia telah terjadi peningkatan ekspansi atau pertumbuhan pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti bertambahnya jumlah rumah sakit, puskesmas, pustu, dsb. Akan tetapi peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan belum diikuti dengan kualitas pelayanan kesehatan. Terjadi penurunan kepercayaan masyarakat karena lemahnya sistem pengawasan pelayanan kesehatan, kompetensi profesional tenaga kesehatan dan perilaku pengusaha rumah sakit itu sendiri. Pengawasan yang dilakukan melalui akreditasi rumah sakit belum banyak menyentuh kualitas pelayanan medik, asuhan perawatan, dsb. Selanjutnya, kompetensi dan perilaku profesional tenaga kesehatan juga belum sesuai harapan seperti tertuang pada standar kompetensi, kode etik dan penyelenggaraan praktik atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
7
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
asuhan kesehatan yang baik pada masing-masing profesi. Kerja sama lintas profesi dan komunikasi dengan rekan sejawat masih lemah; kepentingan pasien belum menjadi prioritas utama; kemampuan berkomunikasi dan keengganan untuk dikontrol oleh pihak lain, termasuk rekan sejawat masih terlihat. Hal lain yang memengaruhi kualitas layanan adalah cara berpikir dan perilaku pengusaha rumah sakit yang masih lebih berorientasi pengembalian modal dan keuntungan. Tentu cara berpikir dan kondisi pasien juga ikut memberi andil terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Selain itu belum ada studi yang komprehensif berapa besar medical error, rasionalitas terapi, kejadian menyimpang, dan juga perilaku pasien yang dapat dijadikan tonggak untuk perbaikan mutu pada masa-masa yang akan datang. Terkait dengan konstelasi ini, sudah ada upaya reformasi hukum dalam pengaturan sistem pendidikan dan kesehatan yang berorientasi kepada mutu. Ini dapat dilihat dari lahirnya UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Termasuk Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menata sistem kesehatan secara komprehensif. Legislasi yang terakhir hadir adalah UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur secara komprehensif sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Legislasi ini memperkenalkan akreditasi dan sertifikasi individual sebagai satu bentuk penjaminan mutu. Akreditasi menjamin 8
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
akreditasi institusi, sementara jaminan akan kualitas profesionalitas dosen yang akan mengajar, dokter yang akan memberikan layanan kesehatan melalui sertifikasi individual setelah uji kompetensi. Undang-Undang Praktik Kedokteran, terlepas dari kekurangannya, merupakan terobosan untuk menata dan mengatur praktik dokter dan dokter gigi yang lebih bermutu secara komprehensif. Menurut undang-undang ini, pengendalian mutu dokter dan dokter gigi sudah harus dimulai dari pendidikannya, praktik kedokteran hanya ada setelah sertifikasi kompetensi, ada registrasi dan izin praktik, dan harus ada pembinaan profesional yang berkelanjutan. Sebagai lanjutannya adalah tersusunnya Standar Pendidikan Dokter dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia pada tahun 2006 yang diikuti dengan dimulainya uji kompetensi oleh dua profesi kedokteran, dokter dan dokter gigi, pada 2007. Dua standar tersebut juga telah disempurnakan pada 2012. Kurikulum Berbasis Kompetensi juga mulai diterapkan, walaupun dengan kualitas penerapan yang beragam di seluruh institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Di luar itu, pemerintah pada 2012 juga mengeluarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur kualitas kompetensi lulusan pendidikan tinggi formal disejajarkan dengan kompetensi yang didapat dari jalur pendidikan informal dan nonformal. KKNI menjadi basis paling pokok dalam penetapan kompetensi lulusan baik jalur akademik, vokasional maupun pendidikan profesi. Pada tahun 2012 sudah disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
9
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
KKNI empat profesi kesehatan, yakni kedokteran, kedokteran gigi, perawat dan bidan. Bagaimana posisi pendidikan tinggi kesehatan Indonesia sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga profesional kesehatan di dalam konstelasi ini? Terjadi pertumbuhan jumlah satuan pendidikan tinggi kesehatan yang cukup signifikan tapi belum diikuti dengan mutu yang terstandar. Data tahun 2010 menunjukkan dari 1737 satuan pendidikan tinggi kesehatan hanya 535 yang terakreditasi dan 1202 tidak terakreditasi. Ini artinya lebih dari separuh atau 69 persen prodi tidak layak atau minimal tidak jelas status mutunya. Hampir 80 persen institusi perawat tidak memiliki status akreditasi, sementara bidan hampir 72 persen institusi prodi juga dengan status tidak terakreditasi. Sementara itu untuk tenaga medis, kedokteran 65 persen sudah terakreditasi, tetapi masih ada kurang lebih 35 persen fakultas kedokteran yang beroperasi tanpa status akreditasi. Selanjutnya, kedokteran gigi, 56 persennya sudah terakreditasi dan lagi-lagi masih ada 44 persen tanpa kejelasan tingkat kelayakan untuk melaksanakan proses belajar dan mengajar. Sementara itu untuk pendidikan spesialis belum ada akreditasi yang dilakukan. Kalaupun sudah dilakukan, tidak dengan instrumen yang valid dan reliabel. Baru pada 2008 ada Memorandum of Understanding (MoU) antara BAN-PT dan KKI untuk membuat dan merumuskan instrumen yang spesifik untuk menjaga konsistensi dan kesesuaian dengan standar pendidikan kedokteran. Akan tetapi pelaksanaannya selalu tidak mudah dan 10
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
tidak secepat yang direncanakan. Belum lagi menyebut bagaimana tumpang tindih peran, proses dan perbedaan instrumen akreditasi antara BAN-PT dan Pusdiknakes Kemkes dalam mengakreditasi satuan pendidikan kesehatan seperti Poltekkes di bawah binaan Kemkes. Disepakati bahwa Poltekkes negeri diakreditasi oleh Kementerian Kesehatan sementara swasta oleh BAN-PT dan tidak ada persamaan pendekatan dan instrumen di antara dua institusi ini, tidak ada kesesuaian dengan standar internasional dalam mengakreditasi, tidak ada akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Ini merupakan kondisi sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi lahir dan keadaan sebelum atau ketika proyek penataan mutu pendidikan tinggi kesehatan oleh HPEQ-Dikti Project dimulai. Uji kompetensi sebagai saringan kedua penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan sebelum calon tenaga kesehatan terjun melakukan praktik dan upaya kesehatan juga baru dimulai pada 2007 oleh dua profesi, yaitu dokter dan dokter gigi. Sementara profesi lain sama sekali belum melakukan. Uji kompetensi baru dilakukan sejak 2007 oleh dua profesi medis yaitu kedokteran dan kedokteran gigi dengan hasil yang belum memuaskan. memuaskan. AIPKI menyebutkan pada tahun ketika dimulainya uji kompetensi itu, hanya 50 persen mahasiswa yang lulus, walaupun masih ada perdebatan tentang standar setting dan ambang batas kelulusan. Dengan kondisi sistem pendidikan tinggi kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan seperti itu, bagaimana derajat kesehatan masyarakat? Kualitas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
11
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
kesehatan masyarakat Indonesia dalam beberapa hal mengalami tren kenaikan, tapi beberapa indikator menurun. Angka rata-rata harapan hidup meningkat dari 60 tahun pada 1986 menjadi 69 tahun pada 2007, angka kematian bayi menurun drastis dari 110 per 1000, angka kelahiran pada awal-awal 1980-an menjadi hanya 34 orang dari 1000 angka kelahiran pada 2007. Akan tetapi angka kematian ibu melahirkan dan angka malnutrisi masih bergerak pelan dan Indonesia relatif jauh tertinggal dengan kemajuan yang dicapai negara ASEAN lainnya. HPEQ hadir dalam semangat dan kontinum pengembangan mutu ini. HPEQ mengambil lesson learned dari apa yang telah berlalu. Praktik UKDI, UKDGI dan sebagainya diteruskan untuk dikembangkan lebih baik lagi dan diteruskan ke profesi lain untuk juga mengikuti. Oleh karena itu terdapat tiga agenda dan output besar yang sedang dikerjakan oleh HPEQ, yaitu pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes), Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK), dan sedang dikembangkan juga Program Hibah Kompetensi Pendidikan Dokter, yakni sebuah program kemitraan antara fakultas kedokteran untuk saling mengampu dalam peningkatan status kualitas kelembagaan.
12
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
13
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
14
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
15
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Apa Itu Mutu?
M
utu adalah suatu konsep yang tidak mudah didefinisikan. Setiap definisi dari mutu akan menghasilkan suatu konsekuensi yang berbeda berkaitan dengan standar dan indikator yang akan dipakai. Setidaknya, sampai saat ini pengertian mutu dalam pendidikan tinggi berkisar antara empat kutub yang geraknya sirkuler tanpa henti, seperti yang dijelaskan Dirk van Damme dalam salah satu dokumen UNESCO tentang akreditasi pendidikan tinggi. Keempat kutub tersebut yaitu excellence standards, fitness for purpose, basic standard, dan consumer satisfaction, seperti terlihat dari gambar di bawah ini.
Gambar 2.1 Pengertian Mutu Pendidikan Sumber : Standards and Indicators in Institusional and Program Accreditation in Higher Education : A Conceptual Frameworks (2004)
16
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Sebagaimana ditunjukkan oleh panah yang melingkar dalam Gambar 2.1, dominasi dari suatu pandangan mutu tertentu saling berganti dengan berjalannya waktu. Pada awalnya, ketika jumlah perguruan tinggi masih sedikit dan belum tumbuh secara masif (mass higher education) seperti sekarang, mutu sama dengan standar tertinggi/prima (excellence standard). Mutu berkaitan dengan derajat kesulitan kurikulum/mata kuliah serta tingkat keseriusan tes/evaluasi peserta didiknya. Mutu dalam pengertian ini identik dengan distinctiveness, exclusivity, dan excellence. Semua ingin menjadi nomor satu. Semakin sedikit mahasiswa yang sukses/lulus dianggap semakin bermutu tinggi. Ketika pertumbuhan jumlah perguruan tinggi berkembang pesat dan tidak lagi menjadi institusi yang elit, paradigma mutu pendidikan tinggi juga berubah. Awal tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an terjadi pergeseran dari mutu sebagai standar prima menuju ke orientasi internal institusi, di mana mutu dipahami sebagai fitness for purpose. Pada pengertian ini mutu dimaknai secara relatif sesuai dengan pemahaman dan kebutuhan institusi, yaitu tercapainya visi, misi dan tujuan internal satuan pendidikan/program studi dengan pemanfaatan sumber daya pendidikan yang dimiliki secara efisien. Hegemoni pandangan kedua juga tidak bertahan lama karena kurangnya perhatian pada standar minimal dan kurang terjawabnya ekspektasi pemangku kepentingan. Mulai akhir tahun 1990-an terjadi pergeseran pemahaman mutu ke orientasi Standar Minimal atau Dasar. Mutu dipahami sebagai pemenuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
17
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
standar minimal (basic standard) pendidikan yang telah ditetapkan, biasanya dalam regulasi. Ini identik dengan akreditasi yang dianggap sebagai mekanisme untuk memproteksi standar minimal tersebut. Dengan semakin berpengaruhnya kekuatan pasar terhadap pendidikan tinggi, maka berkembanglah pandangan mutu yang berorientasi kepada konsumen. Dalam hal ini, Orientasi Eksternal Institusi (Externally Relative Orientation) berbeda dengan orientasi kepada Standar Minimal atau Dasar yang lebih absolut. Pandangan ini relatif lebih berorientasi kepada pemangku kepentingan dan komunitas di luar program studi atau institusi pendidikan. Tidak lama lagi ke depannya, orientasi ke Standar Prima akan timbul kembali sejalan dengan semakin sengitnya persaingan di tingkat global (UNESCO, 2004). Selain itu tentu masih banyak lagi cara lain mendefinisikan mutu. Mutu dan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, tidak ada defenisi mutu yang secara eksplisit disebut dan ditulis. Akan tetapi secara implisit pengertian mutu yang diadopsi dan dipakai dalam pengembangan pendidikan tinggi dapat dipahami dari berbagai dokumen kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada. Mutu dipahami sebagai pemenuhan Standar Nasional Pendidikan termasuk Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dianggap sebagai standar minimal. Selain itu, mutu juga dilihat sebagai peningkatan mutu yang terus menerus di internal 18
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
satuan pendidikan tinggi, di mana satu satuan pendidikan tinggi dianggap bermutu jika dapat menunjukkan peningkatan mutu institusinya secara terus menerus. Pada saat yang sama mutu juga dipahami sebagai penyelarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja dengan mendorong satuan pendidikan untuk menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Terakhir mutu juga dimengerti sebagai upaya untuk mendorong satuan pendidikan tinggi menuju pencapaian excellence standards seperti kebijakan perguruan tinggi bertaraf internasional, publikasi internasional dan sebagainya. Setelah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperkenalkan delapan Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dielaborasi lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyusun Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yaitu delapan standar nasional pendidikan ditambah dengan tiga standar tentang tridarma. Standar dipahami sebagai ketentuan minimal kelayakan sebuah satuan pendidikan atau program studi untuk menjalankan fungsinya. Penetapan standar ini dipandang sebagai bentuk jaminan atau perlindungan negara terhadap masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Penetapan standar ini menjadi basis pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi, menurut Undang-Undang Dikti digagas selain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
19
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
untuk memastikan terpenuhinya standar juga harus memberikan kontribusi kepada peningkatan mutu pendidikan tinggi secara terencana dan berkelanjutan. Kebijakan penjaminan mutu melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi untuk memenuhi dan melampaui standar ini sesungguhnya menegaskan dan melanjutkan amanah UU No. 20 Tahun 2003 serta PP No. 19 Tahun 2005. Ini sekaligus memberikan kepastian hukum terhadap kebijakan Dikti selama ini tentang peningkatan mutu pendidikan tinggi yang sifatnya hanya inspirasional, seperti tertuang dalam buku Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM PT) dan termasuk dokumen perencanaan strategis Dikti, mulai dari Kerangka Pengembangan Perguruan Tinggi Jangka Panjang (KPPT JP) sampai Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Berbeda dari dokumen kebijakan lama seperti tertuang dan termaktub dalam buku SPM PT, sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi hanya dibagi menjadi dua: (a) Sistem Penjaminan Mutu Internal yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan, (b) Sistem Penjaminan Mutu Eksternal yang dilakukan melalui akreditasi. Membaca undang-undang ini secara seksama, pengembangan Sistem Penjaminan Mutu Internal sekarang menjadi mandatori, bukan lagi sebagai “pelengkap” dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Membaca ruh dari undang-undang ini, hal lain yang juga paling mendasar adalah pada subsistem Penjaminan Mutu Eksternal di mana terjadi reformasi yang cukup mendasar, yaitu pembagian peran antara BAN-PT dan LAM PT dalam melakukan akreditasi. Kini BAN-PT tidak lagi melakukan akreditasi program studi. Peranannya menjadi dua, pertama, 20
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
mengembangkan sistem akreditasi pendidikan tinggi dan mengakreditasi institusi perguruan tinggi. Sementara peranan untuk mengakreditasi program studi digantikan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri. Salah satu prinsip mutu terpenting adalah berbicara/berencana berbasiskan data. Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi harus berbasiskan kepada rujukan data yang sama secara nasional yaitu Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT). Satuan pendidikan harus melaporkan secara rutin kepada pusat data ini tentang perkembangan dirinya. PDPT merupakan cermin diri perguruan/program studi untuk melihat kemajuan diri dalam memenuhi dan melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi. PDPT merupakan jendela bagi masyarakat yang memiliki kepentingan untuk melihat, menilai dan memilih satu perguruan tinggi dengan pasti. Jadi, PDPT bukan saja bentuk ketaatan yang berkarakter vertikal melainkan juga menjadi bentuk akuntabilitas sosial perguruan tinggi. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan Program studi pendidikan tinggi kesehatan termasuk program studi terbanyak yang diselenggarakan oleh PTN maupun PTS setelah program studi bidang kependidikan, hukum, dan teknik. Di satu sisi hal ini menggembirakan karena terangkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia. Namun di sisi lain rekayasa pembangunan pendidikan tinggi kesehatan melalui peningkatan ekspansi dan akses pendidikan ini belum diikuti dengan ketaatan kepada standar mutu pendidikan. Hal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
21
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
ini bisa dilihat dari status akreditasi dan hasil uji kompetensi lulusan yang sudah pernah dilakukan. Profil mutu perguruan tinggi dan lulusan tenaga kesehatan Indonesia belum sesuai standar minimal yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, penataan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan menjadi sesuatu hal yang sangat mendesak untuk dibuat dan diimplementasikan secara konsisten Berdasarkan penelaahan terhadap dokumen yuridis terkait dengan sistem pendidikan nasional; standar nasional pendidikan; praktik kedokteran; kesehatan; registrasi tenaga kesehatan, maka dua hal besar yang menjadi kerangka dasar penataan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan yang berdampak kepada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yaitu, akreditasi dan sertifikasi individual.
22
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Gambar 2.2 Kerangka Upaya Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat Sumber: Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Studi Pendidikan Kesehatan (2010)
Sudah menjadi norma dan konsensus dunia pendidikan bahwa akreditasi merupakan salah satu cara penjaminan mutu pendidikan. Modalitas penjaminan mutu eksternal ini melihat dan memastikan satu sistem pendidikan yang diakreditasi (masukan, proses dan luarannya) sesuai dengan standar. Jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi, tujuh Asosiasi Institusi Pendidikan dan tujuh Organisasi Profesi kesehatan telah membuat kesepakatan untuk mendirikan sebuah Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes). Lembaga ini akan melakukan akreditasi pada seluruh program studi kesehatan dengan terlebih dahulu dimulai dari tujuh program studi, yaitu kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, farmasi dan kesehatan masyarakat. LAM yang didirikan oleh organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan kesehatan ini diinisiasi untuk menjawab kekurangan akreditasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
23
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
yang selama ini dilakukan oleh BAN-PT, terutama dalam pemenuhan instrumen spesifik yang bisa memotret kekhasan profesi kesehatan. Di samping itu hal ini juga membantu negara dalam mengakselerasi akreditasi program studi yang mengalami backlog pada tahun 2011. Batas waktu yang diberikan oleh PP No. 19 Tahun 2005 kepada seluruh satuan dan program studi memiliki status terakreditasi. Konsensus dan ikhtiar untuk bersama-sama atau lazim juga disebut interprofesional dalam akreditasi ini adalah yang pertama di dunia. Sertifikasi individual merupakan instrumen lain dalam penjaminan mutu pendidikan, termasuk pendidikan tinggi kesehatan. Tenaga pendidik/dosen yang menjalankan fungsi tridarmanya haruslah seorang dosen profesional (lihat UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) yang dibuktikan dengan sertifikasi dosen. Sementara itu, para calon profesional yang akan melakukan upaya kesehatan harus memiliki sertifikat kompetensi setelah melewati uji kompetensi (lihat UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796 Tahun 2011). Hal terakhir ini menjadi salah satu titik perhatian proyek HPEQ, yaitu dengan penguatan sistem uji kompetensi melalui pendirian Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK). Ini dilakukan agar sistem uji kompetensi terstandar secara nasional serta memiliki kompatibilitas dengan standar. LPUK juga lahir dan tumbuh dari konsensus bersama beberapa OP dan AIP. Praktik, baik uji kompetensi kedokteran dan kedokteran gigi, adalah inspirasi penting yang ingin diikuti oleh prodi/profesi kesehatan lain. 24
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Gambar 2.3 Pengembangan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan
Gambar di atas menceritakan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan melibatkan seluruh pengandil dan pengambil kebijakan yang relevan. Sebuah keterlibatan yang melintasi kementerian, profesi dan asosiasi institusi pendidikan tinggi kesehatan. Terbangunnya keyakinan bersama, bahwa antara sistem pendidikan dan sistem pelayanan memiliki keterikatan yang tidak bisa dipisahkan, memudahkan terbangunnya konsensus, kepedulian dan keterlibatan ini. Hubungan di antara unsur dan aktor di ranah quality regulation, quality assurance dan quality culture/implementor adalah hubungan yang resiprokal, saling menguatkan. Seperti dijelaskan dalam UU Pendidikan Tinggi bahwa salah satu bagian terpenting dan harus ada dalam sistem penjaminan mutu adalah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). SPMI pendidikan tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
25
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
kesehatan harus berperan menjadi katalisator, pendorong dan penjamin terjadinya peningkatan mutu di internal satuan pendidikan/program studi. Serta menjadikan mutu sebagai budaya, bukan sekedar pemenuhan standar nasional semata. Peran organisasi profesi yang bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan tinggi kesehatan dalam tataran regulasi, penjaminan dan penyemaian budaya mutu di internal program studi sangat penting dan menentukan. Hal paling penting, seperti yang dengan sangat baik dijelaskan dalam Naskah Akademik Program Studi Kesehatan, bahwa masyarakatlah yang menjadi alasan utama keberadaan sistem penjaminan mutu kesehatan. Hubungan antara individu dan masyarakat dengan tenaga profesi kesehatan harus dibangun dengan profesionalisme yang tinggi berdasarkan kepercayaan (social-trusted professionalism). Model profesional ini telah berlangsung ribuan tahun sejak profesi kesehatan mulai dikenal. Berdasarkan prinsip tersebut, tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan yang berkualitas kepada siapa pun dan di mana pun. Upaya penguatan Sistem Penjaminan Mutu PTKes melalui proyek HPEQ tidak berhenti hanya pada penyiapan lembaga formal seperti halnya LAM-PTKes dan LPUK saja, tapi jauh di atas itu, yaitu pembangunan kapasitas dan penyiapan substansi. Pertama, memfasilitasi benchmarking nasional dan internasional untuk melihat bagaimana dinamika serta apa yang bisa diadopsi dari sistem penjaminan mutu yang terjadi di negara-negara maju. 26
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Kedua, OP dan AIP harus bersama-sama mendefinisikan serta menyusun standar pendidikan standar kompetensinya masingmasing. Dokumen ini menjadi pegangan dan basis dalam melakukan upaya penjaminan mutu. Ketiga, masing-masing profesi menyusun Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, learning outcome pendidikan tingginya. Keempat, tentu hal terpenting adalah rumusan instrumen/borang yang lebih spesifik menjawab keunikan pendidikan masing-masing profesi. Termasuk juga penyusunan berbagai kebijakan regulasi yang akan mengikat komitmen penjaminan mutu bersama. Penataan dan penajaman dokumen standar harus diletakkan secara dinamis mengikuti gerak zaman yang terus berubah. Akhirnya, seperti yang telah dijabarkan mengenai sistem penjaminan mutu yang dimengerti secara komprehensif, membudayakan mutu sebagai totalitas cara hidup dan cara pandang yang dimiliki melalui proses pembelajaran, bukanlah hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan keterlibatan aktif semua pihak akan menentukan hasil akhir ini semua. Landasan yang kokoh yang menjadi fondasi utama mutu harus menjadi komitmen yang terinternalisasi, bukan sekedar sifat kepatuhan semu yang dipaksakan dari luar. Semua ini memuat nilai-nilai dasar dalam wujud kebersamaan melewati sekat-sekat profesi dan jenjang birokratis, demi terwujudnya sebuah penyelenggaraan pendidikan kesehatan yang bermutu global yang nantinya mampu menciptakan insan-insan yang akan memberikan pelayanan kesehatan prima kepada masyarakat.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
27
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
28
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Mengenal Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
29
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Apa itu LAM-PTKes?
T
iga tahun sebelum Undang-Undang Dikti yang secara tegas memberi ruang pada peran serta masyarakat dalam upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi, LAM-PTKes telah mulai dirintis. Perintisannya didorong oleh kebutuhan akan suatu model atau instrumen akreditasi yang bisa menjawab kebutuhan akreditasi pendidikan tinggi kesehatan yang sangat spesifik. Di luar itu, amanah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberi ruang bagi peran serta publik untuk melakukan akreditasi secara mandiri selain yang dilakukan oleh BAN-PT. Realisasi atas semangat tersebut diwujudkan dengan kegiatan penataan mutu pendidikan tinggi kesehatan melalui Project HPEQ-Dikti. Tepatnya pada 22 Desember 2011, 7 Organisasi Profesi1 (OP) dan Asosiasi Institusi Pendidikan2 (AIP) kesehatan bersepakat untuk mendirikan LAM-PTKes. Adapun mereka yang bersepakat meliputi tujuh OP, yaitu IDI, PDGI , IBI, PPNI, PERSAGI, IAKMI, dan IAI. Sedangkan tujuh AIP meliputi: AIPKI, AFDOKGI, AIPKIND AIPNI, AIPGI, AIPTKMI, dan APTFI. Upaya publik kesehatan untuk ikut berperan serta dalam upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan kian mendapat dorongan dengan lahirnya UU Dikti No. 12 Tahun 2012. Dalam Undang-Undang No. 12 diatur secara lebih komprehensif tentang sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi, di mana
30
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
mandat akreditasi dipisah secara tegas antara BAN-PT dengan LAM-PT. Undang-undang ini adalah payung hukum bagi eksistensi LAM-PTKes. LAM-PTKes adalah bagian dari Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) dan merupakan LAM bentukan masyarakat yang pertama. Selain memastikan program studi untuk mencapai standar nasional pendidikan tinggi, LAM-PTKes juga berfungsi mendorong program studi kesehatan untuk terus meningkatkan kualitas (Continuous Quality Improvement). Tepat di sinilah nilai tambah dari LAM-PTKes dibandingkan dengan akreditasi sebelumnya. Bila akreditasi sebelumnya hanya sekedar “memotret” kualitas pendidikan tanpa tindak lanjut, LAM-PTKes melangkah lebih jauh dengan menjadikan hasil dari penilaian sebagai umpan balik untuk pengembang institusi yang dinilai.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia); PDGI (Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia); IBI (Ikatan Bidan Indonesia); PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia); PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia); IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia); IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). 2 AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia); AFDOKGI (Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia); AIPKIND (Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia); AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia); AIPGI (Asosiasi Institusi Pendidikan Gizi Indonesia); AIPTKMI (Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia); APTFI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia). 1
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
31
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Orientasi Strategis LAM-PTKes LAM-PTKes yang dibentuk oleh pemangku kepentingan yang berasal dari tujuh AIP dan tujuh OP memiliki nilai-nilai orientasi strategis. Nilai-nilai ini terjabar dalam bentuk visi, nilai dasar, misi, dan prinsip dasar. Visi LAM-PTKes adalah “Terjaminnya mutu pendidikan tinggi kesehatan yang berstandar global”. Sedangkan nilai dasarnya mengacu pada falsafah “Amanah dan mandiri”. Demi tercapainya visi tersebut maka misi LAM-PTKes yaitu “Terselenggaranya akreditasi nasional pendidikan tinggi kesehatan secara berkelanjutan (sustainable) yang dipercaya oleh semua pemangku kepentingan”. Dalam rangka menjalankan visi dan misinya, LAM-PTKes berpijak pada lima prinsip dasar sistem akreditasi yang dijelaskan dalam Laporan Task Force LAM-PTKes 2011-2012 (hal. 4-10) dan Naskah Akademik Sistem Akreditasi Prodi Pendidikan Kesehatan (hal. 5-8), yaitu: 1.
32
Prinsip Continuous Quality Improvement (CQI). Untuk membudayakan mutu di dalam prodi dibutuhkan prinsip CQI. Prinsip ini memastikan akreditasi yang dilakukan LAM-PTKes mendorong prodi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Prodi diharapkan tidak hanya puas mencapai standar, tapi juga mampu melampauinya. Prinsip ini mendorong prodi terus melakukan evaluasi diri dan perbaikan untuk mencapai kualitas yang berkelanjutan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
2.
Prinsip Quality Cascade. Prinsip ini menjelaskan ada keterkaitan antara kualitas pendidikan kesehatan dengan kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat. Kualitas pendidikan kesehatan akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat. Kualitas sistem pendidikan kesehatan ditentukan oleh kualitas institusi, lulusan
Gambar 3.1 Prinsip Quality Cascade Sumber: Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Studi Pendidikan Kesehatan (2010)
dan praktik. Kualitas institusi ditingkatkan melalui sistem akreditasi. Kualitas institusi akan memengaruhi kualitas lulusan. Kualitas lulusan ditingkatkan melalui sistem sertifikasi. Kualitas lulusan akan mempengaruhi kualitas praktik. Kualitas praktik ditingkatkan melalui sistem pengembangan profesional berkelanjutan yang dilakukan oleh AIP dan OP. Kegagalan dalam menjaga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
33
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
3.
4.
34
kualitas baik institusi, lulusan maupun praktik akan menyebabkan kegagalan upaya pencapaian kualitas pelayanan kesehatan di mata masyarakat. Prinsip Conceptualization, Production dan Usability (CPU). Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip Quality Cascade. Conceptualization maksudnya adalah prodi harus memiliki visi misi yang berorientasi pada dinamika kebutuhan kesehatan masyarakat. Dalam konseptualisasi, prodi memberikan gambaran tentang tenaga kesehatan profesional seperti apa yang harus dihasilkan untuk menjawab masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Prodi menghasilkan lulusan (production) yang mampu berdedikasi seumur hidupnya terhadap permasalahan kesehatan yang ada di masyarakat. Prinsip ini harus tercermin dari input, proses pendidikan dan output lulusan yang dihasilkan oleh prodi. Prodi harus menjamin penggunaan (usability) lulusan dalam melayani masyarakat. Prodi juga memikirkan lulusan akan ditempatkan di mana sesuai dengan kebutuhan (misal daerah tertinggal, perbatasan atau terpencil). Ketiga prinsip ini harus berjalan secara bersamaan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Sistem akreditasi harus dibangun dengan kepercayaan (trustworthy). Sistem akreditasi LAM-PTKes harus dapat dipercaya oleh semua pemangku kepentingan kesehatan yang terdiri dari institusi pendidikan, organisasi profesi, pemerintah, masyarakat pengguna, mahasiswa dan masyarakat internasional. Hanya dengan melibatkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
5.
semua pihak (stakeholder) dan proses akreditasi yang transparan, kepercayaan yang utuh bisa didapatkan. Pendidikan interprofesional sebagai landasan kolaborasi interprofesional. Poin penting dari kolaborasi interprofesional adalah sinergi dan kreasi. Kolaborasi ini dapat terealisasi jika dua orang atau lebih dari profesi kesehatan yang berbeda berinteraksi untuk menghasilkan pemahaman bersama yang tidak akan mungkin terjadi jika mereka bekerja sendiri-sendiri. Diagnosis yang menyeluruh atas suatu masalah kesehatan, hanya dimungkinkan oleh suatu pendekatan interdisipliner (interkolaborasi profesional kesehatan). Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan dalam skema Gambar 3.2, upaya peningkatan kesehatan masyarakat memerlukan pertama-tama budaya kolaborasi antarprofesional yang telah dimulai semenjak dalam proses pendidikan. Pendidikan interprofesional diharapkan dapat memicu kolaborasi interprofesional di pelayanan kesehatan yang nantinya dapat pula meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
35
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Gambar 3.2 Pendidikan Interprofesional sebagai Pemicu Kolaborasi Interprofesional di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Sumber: Laporan Task Force LAM-PTKes 2011-2012 (2012)
Nilai Tambah LAM-PTKes Sejalan dengan lima prinsip dasar sistem akreditasi yang telah dijelaskan sebelumnya, LAM-PTKes membawa perubahan mendasar dalam sistem akreditasi prodi seperti tergambar dalam matriks di berikut ini.
36
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Tabel 3.1 Perbandingan Sistem Akreditasi Lama dan Baru
Parameter
Sistem Lama
Sistem Baru
SDM
t Tim asesor t Mendikbud sebagai pengambil kebijakan utama t Tim majelis sebagai pengambil keputusan
t Tim asesor dan fasilitator t Rapat Anggota sebagai pengambil kebijakan utama t Badan pelaksana sebagai pengambil kebijakan akreditasi
Material (Instrumen)
t Generik dengan suplemen dan spesifik untuk beberapa program pendidikan t Database untuk data akreditasi masih belum valid
t Pengembangan instrumen akreditasi berbasis standar pendidikan dan standar kompetensi yang spesifik untuk setiap jenis prodi dan bidang ilmu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
37
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
t Pengembangan PDPT kesehatan yang menjadi warehouse data yang valid untuk mengisi instrumen
Metode
38
t Penilaian secara sumatif t Paper-based dan IT-based serta memanfaatkan PDPT yang mendukung SPMI dan SPME t Masa berlaku akreditasi 5 tahun
t Penilaian dengan metode hybrid: formatif dan sumatif (dengan proporsi formatif lebih besar) t Implementasi konsep Conceptualization, Productivity dan Usability dari LAM yang mendorong dilaksanakannya SPMI
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
t Prinsip resource sharing untuk penggunaan data dasar dan asesor akreditasi t Masa berlaku akreditasi 5-7 tahun Pembiayaan
t Berdasarkan anggaran per line item t Bersumber dari pemerintah yang berasal dari anggaran Balitbang Kemdikbud
t Berdasarkan unit cost t Bersumber dari : 1. masyarakat profesi, 2. institusi pendidikan tinggi kesehatan, 3. pemerintah, 4. sumber-sumber lain
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
39
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Pengukuran (Monitoring & Evaluasi)
t Surveillance, bila ada keluhan (complaint), laporan, dan banding selama menggunakan metode sumatif t Pengawasan lembaga dilakukan oleh Inspektorat Jenderal
t Tim fasilitator memonitor, mengevaluasi dan mengembangkan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan kualitas akreditasi dan melayani pengaduan t Pengawasan lembaga dilakukan oleh Majelis Pemangku Kepentingan melalui komite yang dibentuk
Sumber: Draft Buku LAM-PTKes (2012)
40
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Nilai tambah yang ditawarkan LAM-PTKes dari sisi modal sosial adalah tumbuhnya rasa saling percaya (trustworthy) di antara profesi kesehatan untuk menjalin kerja sama lintas profesi, karena lembaga dibangun berdasarkan konsensus dan keinginan kuat untuk saling belajar. Modal ini memudahkan untuk mengembangkan interprofessional education di setiap program studi kesehatan serta menjadi prakondisi untuk mewujudkan kolaborasi profesi di sistem pelayanan nantinya. Dari sisi SDM ada fasilitator selain asesor dan validator. Sebelum dan setelah proses akreditasi oleh asesor, fasilitator berfungsi membimbing prodi untuk melakukan proses dan menindaklanjuti hasil akreditasi untuk perbaikan kualitas diri terus menerus. Jadi, LAM-PTKes nantinya tidak hanya mengeluarkan surat keputusan tentang status akreditasi tapi juga rekomendasi pembinaan program studi, di mana sesungguhnya sejak awal proses akreditasi sudah dimulai. LAM-PTKes menawarkan nilai tambah pada sisi pengembangan kapasitas ini. Akreditasi bukan sekedar alat untuk kontrol mutu, melainkan juga lebih penting lagi sebagai media peningkatan mutu. Selain itu karena setiap prodi kesehatan memiliki kebutuhan, standar pendidikan dan standar kompetensi yang spesifik, maka LAM-PTKes mengembangkan instrumen akreditasi yang spesifik pula. Selanjutnya metode hybrid, kombinasi antara formatif dan sumatif menjadi nilai tambah lainnya dari LAM-PTKes, dimana porsi formatif lebih banyak.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
41
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
LAM-PTKes Sebagai Model Mengingat amanat UU Pendidikan Tinggi yang mendorong lahirnya LAM di berbagai prodi, LAM-PTKes sebagai LAM pertama bentukan masyarakat tentu tidak akan menjadi satusatunya LAM di masa mendatang. Pengalaman LAM-PTKes akan menjadi rujukan bagi berbagai LAM lainnya. Karena itu, penting untuk mencatat pengalaman upaya pendirian LAM. Pengalaman tersebut mengilhami perumusan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mendirikan LAM bentukan masyarakat. Secara prosedural berikut langkah-langkah tersebut: 1. Menyusun grand design 2. Menyusun balanced score card 3. Menyusun struktur organisasi 4. Menyusun tupoksi berdasarkan struktur organisasi 5. Menyusun rancangan proses bisnis 6. Menyusun model bisnis 7. Pembentukan Majelis Pemangku Kepentingan LAM-PTKes 8. Menyusun panduan dan melakukan uji coba proses bisnis LAM-PTKes 9. Melakukan exercise biaya uji coba proses bisnis 10. Merumuskan AD/ART organisasi serta mengurus status badan hukum lembaga. Selain langkah yang sifatnya prosedural, nilai dan semangat dari LAM bentukan masyarakat harus mengacu pada dinamika kebutuhan masyarakat. Seiring dengan perubahan paradigma mutu yang diusung oleh UU Dikti Tahun 2012, tanggung 42
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
jawab mutu bukan lagi bersifat vertikal (dari penyelenggara pendidikan pada pemerintah), melainkan horizontal (dari penyelenggara pendidikan pada masyarakat luas). Sifat horizontal ini menekankan pada pentingnya mutu sebagai kebutuhan internal prodi demi menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat. Karena itu sebagai bagian dari Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME), LAM harus mendorong prodi untuk mengembangkan dirinya melalui peningkatan mutu yang berkelanjutan. Berdasarkan prinsip itulah sebuah LAM idealnya dijalankan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
43
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
44
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Mengenal Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
45
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
K
etersediaan layanan kesehatan yang berkualitas adalah kebutuhan yang sangat mendesak sebagai bentuk akuntabilitas sosial dan perlindungan negara terhadap masyarakat. Salah satu faktor yang menentukan kualitas pelayanan itu adalah kompetensi tenaga kesehatan. Saat ini ketimpangan kompetensi atau kualitas tenaga kesehatan terjadi karena beragamnya jenis dan kualitas sistem pendidikan tinggi kesehatan. Selain itu penjaminan pemenuhan standar kompetensi profesi kesehatan melalui uji kompetensi yang sudah dimulai oleh profesi kedokteran dan kedokteran gigi sejak 2007 belum diikuti oleh profesi lain. Untuk melengkapi usaha dalam mengontrol kualitas tersebut, Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) hadir sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab terhadap pengembangan uji kompetensi tenaga profesional kesehatan yang diakui secara nasional, regional dan internasional serta memiliki mekanisme penjaminan mutu internal. Lembaga ini terdiri dari berbagai unsur mulai dari asosiasi institusi pendidikan, organisasi profesi, perwakilan masyarakat yang relevan, serta pemerintah, baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Kesehatan yang bekerja sama dalam penyelenggaraan uji kompetensi. Uji Kompetensi Berbicara mengenai LPUK, sangat perlu kiranya membahas apa itu uji kompetensi. Uji kompetensi dalam hal ini adalah ujian 46
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
yang dilaksanakan pada tahap akhir pendidikan yang mencakup proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi kesehatan. Landasan hukum yang digunakan sebagai pedoman melaksanakan uji kompetensi bagi seluruh peserta didik yang diluluskan dari sebuah institusi pendidikan diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 61. Undang-undang ini menegaskan bahwa sertifikat kompetensi sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi. Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur dan menyebutkan bahwa ujian dan sertifikasi kompetensi sebagai syarat untuk pengurusan surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi. Landasan hukum uji kompetensi bagi tenaga kesehatan, selain dokter dan dokter gigi, diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796 Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur tentang sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi yang memperkuat keberadaan uji kompetensi ini. Landasan hukum yang dikemukakan tersebut, ditambah dengan landasan hukum lainnya yang relevan, menunjukkan bahwa uji kompetensi bagi seluruh peserta didik termasuk peserta program pendidikan calon tenaga profesi kesehatan wajib dilakukan. Khusus untuk tenaga kesehatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
47
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
dan tenaga medik ditambah dengan kewajiban teregistrasi yang salah satu syaratnya adalah memiliki sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan sertifikat uji kompetensi peserta diharuskan lulus uji kompetensi sesuai standar kompetensi profesi masingmasing. Dilihat dari sejarahnya, uji kompetensi telah diterapkan pada dokter dan dokter gigi yang dimulai sejak tahun 2007 sebagai amanah dari UU Praktik Kedokteran. Sedangkan untuk tenaga kesehatan lain, uji kompetensi sedang dikembangkan khususnya tenaga keperawatan dan kebidanan. Sejak tahun 2007 tersebut, masing-masing profesi yakni dokter dan dokter gigi, melaksanakan uji kompetensi setiap 3 bulan dengan jadwal yang telah ditentukan sejak satu 1 tahun sebelumnya. Penguatan Sistem Uji Kompetensi Sebagai penguatan sistem uji kompetensi yang telah berjalan dan tentunya sebagai penjaminan mutu lulusan pendidikan tinggi khususnya pendidikan tinggi kedokteran secara merata, maka dikeluarkan Surat Edaran Dirjen Dikti No. 88/E/DT/2013. Dalam surat edaran tersebut uji kompetensi menjadi bagian dari proses evaluasi pembelajaran yang terintegrasi dalam sistem pendidikan, sehingga pelaksanaan uji kompetensi dilaksanakan sebelum kelulusan peserta didik dan oleh sebabnya pembiayaan uji kompetensi merupakan bagian dari pembiayaan pendidikan. Uji kompetensi sebagai exit exam tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu pentingnya academic 48
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
professional environment; peran uji kompetensi sebagai feedback mutu proses pembelajaran; dan untuk mendukung integrasi sistem pendidikan-pelayanan. Selain itu sejak pertengahan tahun 2011 telah disusun rancangan Peraturan Bersama (PB) antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait uji kompetensi bagi peserta didik pada perguruan tinggi bidang kesehatan di luar dokter dan dokter gigi. Untuk pengaturan detail teknis pelaksanaan uji kompetensi bagi tenaga kesehatan akan ditindaklanjuti dalam Perjanjian Kerja Sama antara Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMKes) dan Dirjen Dikti. Sistem uji kompetensi yang sekarang sedang dikembangkan oleh Komponen 2 Proyek HPEQ dan LPUK mencakup metode pengembangan soal, metode penelaahan soal, hingga mutu analisis soal ujian. Dengan perbaikan pada sistem uji kompetensi ini, diharapkan mutu lulusan institusi dapat lebih terjamin dan sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan. Untuk lebih jelasnya, berikut tabel perbandingan sistem uji kompetensi lama dan baru:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
49
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Tabel 4.1 Perbandingan Sistem Uji Kompetensi Lama dan Baru
Parameter SDM
Material (Soal Ujian)
50
Sistem Lama Kualitas penulis soal, pengkaji soal, pengawas uji dan juri tidak standar
t Soal uji belum terstandar t Blue print uji kompetensi untuk dokter dan dokter gigi belum sempurna, sedangkan untuk bidang kesehatan lain masih belum tersusun
Sistem Baru Penulis soal, pengkaji soal, koordinator CBT & OSCE, pengawas uji dan juri lebih kredibel melalui pelatihan sesuai standar nasional
t Penyusunan soal berbasis blue print masingmasing profesi oleh penulis soal yang sudah dilatih dan terstandar
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
t Penyusunan blue print sesuai standar kompetensi masingmasing profesi dan dibutuhkan aliansi strategis antarmasyarakat profesi untuk menyepakati blue print yang disusun oleh panel expert. Metode
t Metode uji belum sesuai dengan standar kompetensi t Pelaksanaan uji belum terstandar t Penentuan NBL belum menggunakan metode standar setting yang tepat
t Pengembangan metode uji sesuai standar pendidikan dan standar kompetensi masingmasing profesi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
51
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
t Penyusunan dan penerapan pedoman pelaksanaan uji yang berstandar nasional, termasuk pengelolaan bank soal yang kredibel t Divisi R & D pada LPUK yang updated dengan perkembangan metode assessment, serta menguatkan kapasitas juri yang terstandar
Pembiayaan
52
Pembiayaan untuk pelaksanaan ujian dari peserta uji kompetensi
t Pembiayaan untuk pelaksanaan ujian: t Terintegrasi pada biaya pendidikan (uji kompetensi sebagai exit exam)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
t Berasal dari peserta uji kompetensi (untuk retaker) *dalam pembahasan
Pengukuran (Monitoring & Evaluasi)
Pengawasan lembaga dilakukan oleh kolegium dan asosiasi institusi pendidikan
Pengawasan lembaga dilakukan oleh Dewan Pengawas melalui komite yang dibentuk
Sumber: Draft Buku LPUK (2012) Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) Demi memaksimalkan fungsi uji kompetensi sebagai alat menjaga mutu lulusan tenaga kesehatan dan upaya untuk terus mengembangkannya, maka HPEQ Project Dikti mendirikan LPUK dengan dukungan berbagai pemangku kepentingan. Dalam Rancangan Naskah Akademik LPUK dijelaskan bahwa LPUK ialah lembaga ujian nasional mandiri berbadan hukum yang bertanggung jawab terhadap pengembangan strategi, metodologi serta perangkat uji dalam mengevaluasi kompetensi peserta didik institusi pendidikan dokter, dokter gigi, perawat dan bidan serta tidak menutup kemungkinan profesi kesehatan lain untuk bergabung di dalamnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
53
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Dalam hal metode pelaksanaan ujian, LPUK mengembangkan bentuk ujian berbasis komputer atau Computer Based Test (CBT) untuk mengevaluasi ranah pengetahuan, dan ujian keterampilan klinik atau Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Metode pelaksanaan ujian ini secara teoretis dan metodologis mengacu kepada model atau taksonomi pengetahuan dan keterampilan mengenai assessment dalam pendidikan profesi kesehatan, yaitu Piramida Miller.
Gambar 4.1 Piramida George Miller Sumber : Assessment in Health Professions Education (2009: 4)
Secara sistematis metode uji kompetensi dapat disesuaikan dengan Piramida Miller tersebut dan digambarkan dengan suatu tingkatan kompetensi tertentu. Seperti tertuang dalam Naskah Akademik LPUK, penyesuaian dari Piramida Miller tersebut dapat dilihat sebagai berikut: pertama, untuk kompetensi yang bersifat knowledge dapat diuji dengan pilihan ganda (Multiple Choice 54
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Question/MCQ). Kedua, untuk menilai kompetensi tingkatan knows how dapat diuji dengan metode MCQ yang fokusnya menanyakan tentang penerapan konsep pada penanganan pasien di bidang kesehatan yang penting untuk praktik seharihari. Ketiga, untuk menilai kompetensi tingkat shows how, dapat diuji dengan Objective Structure Clinical Examination (OSCE) yang merupakan metode uji untuk menilai kemampuan keterampilan klinik dan komunikasi. Terakhir yaitu untuk menilai kompetensi tingkat does yang dapat dilakukan dengan menilai kompetensi tenaga kesehatan sehari-hari dengan menggunakan metode portofolio, Direct Observational Procedural Skill atau 360 degree evaluation. Pelaksanaan uji kompetensi dokter dan dokter gigi saat ini dilakukan dengan 2 metode, pertama yaitu MCQ dalam bentuk Computer Based Test (CBT) setelah melalui perjalanan panjang dari Paper Based Test (PBT) pada tahap awal pelaksanaan uji kompetensi, dan yang kedua ialah OSCE. Selain itu, reliabilitas dan keabsahan soal ujian juga difasilitasi LPUK melalui mekanisme sistem bank soal (Item Bank Networking System). Secara umum LPUK memiliki peran pelayanan dan akademik. Di sisi pelayanan, LPUK bekerja sama dengan institusi pendidikan tenaga kesehatan dalam menyusun dan mengembangkan ujian nasional kompetensi tenaga kesehatan bagi lulusan di tiap profesi, sesuai dengan standar kompetensi nasional profesi. Masing-masing profesi menjadi narasumber dalam penentuan dan penetapan substansi ujian yang terdiri dari pengembangan blue print dan pengelolaan soal sampai dengan standar kelulusan dari peserta ujian serta ditunjang oleh teknologi informasi. Di sisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
55
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
akademik, LPUK berperan dalam memajukan penyelenggaraan ujian pada masing-masing profesi tenaga kesehatan di Indonesia melalui penelitian di bidang assessment. Pada fase awal pengembangan, LPUK dimulai dengan pembentukan berbagai lembaga uji kompetensi untuk tenaga kesehatan seperti Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (KB UKDI) dan Kolegium Dokter Gigi Indonesia (KDGI) yang telah terbentuk sejak tahun 2007, serta Komite Nasional Uji Kompetensi Perawat (KNUKP), berbagai Majelis Tinggi Kesehatan Provinsi (MTKP) yang telah melaksanakan uji kompetensi di provinsi masing-masing atau komite lain yang dibentuk khusus untuk menyiapkan dan melaksanakan uji kompetensi. Sejak tahun 2011, Health Professional Education Quality (HPEQ) Project yang berjalan di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan mendapatkan bantuan dana dari Bank Dunia dimulai. Melalui proyek ini terjadi percepatan pencapaian kegiatan pembentukan LPUK. Profesi kesehatan yang terlibat pada tahap awal terdiri dari dokter, dokter gigi, perawat dan bidan. Dengan komunikasi dan kerja sama dengan MTKI, diharapkan LPUK bisa membantu pengembangan uji kompetensi untuk tenaga kesehatan lain. Sebagai salah satu dasar pengembangannya, telah dilaksanakan studi banding ke berbagai lembaga yang sejenis di luar negeri seperti NBME untuk profesi dokter dan NCSBN untuk perawat. Hasil dari kunjungan ini menjadi salah satu sumber informasi dalam pengelolaan lembaga yang lebih profesional. LPUK juga diharapkan 56
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
memperoleh standar mutu dari organisasi penjaminan mutu baik nasional maupun internasional sehingga akan membuka kesempatan melakukan kolaborasi dengan lembaga yang sama secara regional maupun internasional. HPEQ Project berlangsung selama 2011-2014. Selanjutnya LPUK diharapkan bisa menjadi suatu lembaga mandiri yang berkelanjutan dengan meneruskan program yang telah berlangsung serta melakukan berbagai pengembangan sistem ujian. Upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat salah satunya ialah melalui sertifikasi individual. Oleh karenanya, dengan adanya LPUK sebagai lembaga pengembang uji kompetensi yang merupakan salah satu dari sertifikasi individual tersebut, diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan, menghasilkan tenaga kesehatan yang berkualitas dan pada akhirnya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Sejak tahun 2011, HPEQ dimulai dan melalui ini terjadi percepatan pencapaian kegiatan pembentukan LPUK. Diharapkan setelah HPEQ Project selesai, LPUK menjadi suatu lembaga mandiri yang berkelanjutan dengan meneruskan program yang telah berlangsung sebelumnya dan terus melakukan peningkatan ke arah yang lebih baik.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
57
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
58
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Refleksi Seorang Pengemban Tugas: Mutu Sebagai Jalan Hidup
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
59
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
P
ada 5 April 2013 tim penyusun buku saku menemui Sekretaris Eksekutif Proyek HPEQ, Dr. dr. Arsitawati Puji Raharjo, MAHM di kantor HPEQ, Gedung Victoria, Blok M, Jakarta Selatan. Ibu Arsita, sapaan wanita yang juga seorang dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga ini, menyediakan waktunya untuk menjawab beberapa pertanyaan dalam sebuah wawancara singkat dengan kami. Beliau berbagi refleksi terkait upaya penataan sistem pendidikan tinggi kesehatan yang berujung pada penguatan mutu institusi dan lulusan dari pendidikan tinggi kesehatan yang tengah dilakukannya melalui program-program HPEQ. Lebih spesifiknya, merefleksikan filosofi dasar dari pendirian Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes) dan Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK). Secara sederhana bagaimana kita mestinya memahami mutu? Kita sebagai organisme hidup secara naluriah sebenarnya telah memiliki naluri untuk melakukan self evaluation. Setiap hari ketika akan keluar untuk bekerja ataupun kuliah, kita akan mempertanyakan penampilan kita sendiri. Apakah rambut kita sudah cukup disisir dengan rapi atau belum? Baju apa yang pantas untuk digunakan? Dan banyak lainnya. Kita sering kali bercermin pada apa yang orang katakan mengenai kualitas diri kita. Berdasarkan itulah kita mengevaluasi diri, menentukan apa yang harus diubah dan apa yang tidak. Pada dasarnya setiap hari sebagai manusia kita menjaga mutu kita. Prinsip sederhana ini yang sebenarnya kita ingin terapkan pada prodi-prodi kesehatan, 60
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
yaitu self evaluation. Tapi kan itu ilustrasi untuk indvidu, jika kita bicara sekelompok massa maka indikatornya lain. Pada prinsipnya ada sistem penjaminan mutu internal di dalam setiap prodi yang harusnya dikerjakan. Apalagi kita bicara dalam konteks perguruan tinggi. Ciri yang membedakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dengan dasar dan menengah adalah tujuannya. Jika pada pendidikan dasar dan menengah sifatnya masih mengarahkan, maka pada perguruan tinggi karakter pendidikannya mengembangkan jati diri manusia. Jadi dia punya otonomi. Konsekuensinya, prodi punya tanggung jawab atas dirinya sendiri. Supaya mudah, kerap kali saya menganalogikannnya dengan pernikahan. Jika sudah berani nikah maka harus berani dan siap menafkahi. Inilah dasar dari filosofi otonomi perguruan tinggi. Jadi setiap penyelenggara program studi secara natural harus menjadikan prinsip ini sebagai karakternya. Jika pada dasarnya mutu adalah self evaluation, lalu mengapa dibutuhkan pihak ketiga, sebagaimana yang biasa dilakukan dengan akreditasi? Sebagai manusia kita tahu, mengandalkan motivasi saja untuk terus meningkatkan kualitas dirinya tidaklah cukup. Kita perlu diingatkan oleh orang lain, biasanya orang tua, guru, dll. Begitu juga halnya dengan prodi. Faktanya hingga kini, banyak dari perguruan tinggi tidak menjalankan mekanisme self evaluation yang semestinya integral dengan karakter dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
61
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
tujuan pendidikannya. Indikasinya, banyak perguruan tinggi yang tidak mengisi data Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang diminta Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti). Bahkan Dikti harus mensosialisasikan cara mengisi data SPMI pada prodiprodi. Tepat di sinilah arti penting perlunya pihak ketiga. BANPT itu pada dasarnya pihak ketiga yang melihat apakah prodi telah melakukan indikator-indikator yang secara standar umum diakui pemerintah dan masyarakat profesi. Sebagai sebentuk triangulasi atas kinerja internal prodi dalam menjaga mutu. HPEQ dalam konteks ini, mengusulkan LAM-PTKes sebagai pihak ketiga yang independen. Kenapa harus independen? Kalau kita buat sekolah dan kita sendiri yang menilai sekolah itu bagus atau tidak, rasanya akan sulit untuk bersikap adil. Pada kasus ini misalnya, pemerintah yang buat prodi, mengeluarkan izin, dan membiayainya, lalu pemerintah juga yang menilai, tentu akan malu rasanya bila harus bilang prodi tersebut tidak bagus. Poinnya adalah untuk menghindari konflik kepentingan. Lebih jauh lagi tanggung jawab pendidik dan profesional kesehatan bukanlah pada pemerintah, melainkan pada publik dan masyarakat lebih luas. Social accountability adalah global demand dewasa ini. Jadi, logikanya bukan lagi bekerja untuk pemerintah yang memberikan dana. Gaji yang diberikan pemerintah adalah uang rakyat dan karena itu kita mesti memberikan yang terbaik pada masyarakat. Karena itu pula, transparency pada publik adalah tanggung jawab profesional. Nilai inilah yang hendak 62
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
diusung oleh LAM-PTKes. Dalam praktiknya nanti LAM-PTKes mengusung dua nilai utama, yaitu mandiri dan amanah. Usul kemandirian LAM-PTKes berarti juga memberi ruang pada profesi untuk berperan dalam pendidikan tenaga kesehatan. Pada praktiknya, bagaimana LAM berkontribusi bagi tumbuhnya professional society? Saya menemukan ternyata pakar-pakar saya itu, antara lain dokter, dokter gigi, perawat dan bidan, punya organisasi. Tapi bagaimana mereka berperan saya tidak menemukan bentuknya di Indonesia. Yang saya tahu, individu-individu yang dikenal oleh pejabat diminta membantu, tetapi sebagai personal bukan organisasi. Sebagai organisasi, seolah tidak ada rekognisinya. Saya belajar juga dari Undang-Undang Praktik Kedokteran, satu-satunya undang-undang yang berani menyebut Asosiasi Institusi Pendidikan dan Ikatan Dokter Indonesia. Menurut saya, Undang-Undang Praktik Kedokteran (UPK) terlepas dari segala kelemahannya dan keterbatasan, dia punya ketegasan bahwa organisasi dari komunitas pakar perlu diangkat dan diberi tempat. Apalagi saya belajar hasil benchmarking dari beberapa LAM yang ada di luar negeri. Di luar negeri pendirian LAM sepenuhnya diinisiasi oleh organisasi profesi. Karena apa? Karena kekuatan mutunya tumbuh dari diri organisasi. Nah, karena itu saya kemudian menganalogikan profesi-profesi kita itu sebagai manusia, sebagai living organism. Analoginya begini, kalau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
63
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
saya sudah memutuskan diri saya seperti ini, maka saya punya dua tugas dalam kehidupan saya, mutu dan regenerasi. Kalau saya sudah memilih Pak Puji Raharjo jadi suami saya, tugas saya tinggal dua, menjaga mutu dan regenerasi anakku. Begitu juga dengan profesi. Jika saya memilih jadi dokter, maka saya harus jadi dokter yang bermutu dan melakukan pewarisan nilai-nilai mutu kedokteran pada generasi berikutnya. Untuk menjalankan tugas itu, profesional perlu mendapat tempat mencurahkan atensi, pikiran dan kerjanya. Di satu sisi beberapa dari kita tidak mengerti perannya sebagai bagian dari professional society. Karena itu professional society ini mesti diangkat perannya dan diingatkan tugasnya dalam kehidupan ini, setidaknya dalam bernegara. Namun di sisi lain, banyak yang peduli tapi tidak dapat tempat, kelompok kedua ini lebih banyak dari yang pertama. Sampai ada istilah pengamat. Pengamat itu adalah professional society yang ingin mencurahkan atensinya pada kehidupan bernegara, tapi tidak punya channel. Nah, itulah mengapa ketika memulai LAM, saya memilih untuk mengumpulkan para profesional dan memberi ruang seluasluasnya bagi mereka untuk mengambil peran. Konsep dan inisiatifnya tumbuh bersama dalam diskusi bukan hasil instruksi. Ternyata di luar sana sudah banyak orang yang berpikir sama dengan saya, namun tidak ada yang menyatukan. Jadi begitu ada yang memberi kesempatan, mereka bersatu sendiri, tergugah sendiri. Kesepakatan 14 organisasi untuk mendirikan LAM itu sudah dimulai sebelum ada UU Perguruan Tinggi Tahun 2012, 64
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
banyak bagian dari UU ini termasuk soal kemandirian terinspirasi oleh kerja task force LAM. Itu esensi kenapa akhirnya LAM itu desainnya seperti ini. Jadi kenapa kita dan saya sungguh bangga pada LAM ini. Inisiasi lain HPEQ, selain LAM-PTKes adalah LPUK (Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi). Terkait LPUK, banyak pihak yang menilai standar nasional uji kompetensi itu tidak adil. Pasalnya, ini mengabaikan kenyataan bahwa perbedaan fasilitas yang mencolok antara satu daerah dan daerah lainnya. Apa pendapat Ibu? Ini terkait erat dengan pengertian menjadi profesional. Saya ingin menjawabnya begini, mereka yang telah memilih menempuh pendidikan dokter atau membuka prodi semenjak awal adalah orang yang sadar akan tanggung jawabnya. Mereka juga adalah para profesional atau calon profesional kesehatan. Bagi saya menjadi profesional berarti menjadi bermartabat (dignity). Seorang profesional tahu betul konsekuensi, implikasi, dan resiko dari setiap tindakan dan pilihannya. Berani menjadi profesional kesehatan berarti juga harus berani untuk terus menerus meningkatkan mutu. Berani mendirikan prodi berarti juga berani meningkatkan sarananya untuk bermutu. Itu konsekuensi. Begitulah harusnya menurut saya, kita melihat uji kompetensi. Terlebih itu standar nasional yang dimaksud dalam uji kompetensi adalah standar minimal yang mesti dicapai, rasanya dalam hidup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
65
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
ini kita perlu itu. Apalagi ini berkaitan dengan sebuah profesi seperti kesehatan, yang setiap hari dihadapkan pada tanggung jawab hidup dan mati pasien. Dalam pengertian inilah saya melihat uji kompetensi sebagai bagian dari social accountability profesi kesehatan pada masyarakat. Secara sistemik, sebagai bagian dari sistem pejaminan mutu, uji kompetensi berperan untuk menyaring mutu lulusan sekaligus sebagai saringan kedua setelah akreditasi. Uji kompetensi bisa jadi feedback bagi kurikulum ataupun proses pendidikan. Tidak selamanya institusi yang baik akan selalu menghasilkan individu yang bermutu, begitu juga sebaliknya. Pada dasarnya setiap orang punya motivasi dan kemampuan yang berbeda. Atas alasan tersebut, saya tidak melihat standar nasional uji kompetensi tidak adil bagi siapa pun, sebaliknya merupakan konsekuensi logis yang harus dijalani dari setiap orang yang memilih profesi ini. Meskipun demikian, saya paham bahwa LPUK ini erat kaitannya dengan dignity. Jika subjek dari LAM adalah prodi, maka subjek LPUK adalah Individu. It is slightly different. Prodi itu kan sekelompok sumber daya. Baik itu sumber daya manusia, material, atau uang. Intinya sekelompok, sekumpulan. Nah, kalau uji kompetensi itu subjeknya the student alone. Sehingga jika sebuah prodi dinyatakan tidak lulus akreditasi, bebannya dibagi oleh kelompok. Sebaliknya jika tidak lulus uji kompetensi maka bebannya sepenuhnya di pundak satu orang. Itulah mengapa saya mengawal uji kompetensi agar jadi exit exam. Menjadi 66
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
bagian dari proses pendidikan. Pada awalnya uji kompetensi dilakukan setelah seorang mahasiswa lulus. Sebagai syarat mendapat STR. Sehingga jika ada mereka yang tidak lulus uji kompetensi jadi terlantar. Sudah dokter tapi tidak bisa praktik. Itu kan tidak adil. Dengan masuk dalam rangkaian proses pendidikan, mereka yang tidak lulus dikembalikan pada prodinya. Prodinya harus bertanggung jawab untuk membekali mahasiswanya kompetensi yang dibutuhkan untuk berpraktik. Alhamdulilah gagasan uji kompetensi sebagai exit exam, sudah diputuskan lewat putusan bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pertanyaan terakhir, sudah sampai mana proses mendirikan LAM dan LPUK? Jika kita andaikan mendirikan LAM dan LPUK itu seperti halnya menanam sebuah pohon. Tadinya saya mengharapkan tahun 2009 dalam benak saya, saya sudah bisa punya pohon. Tapi pelan-pelan setelah saya memahami betul, ternyata lahan yang saya kerjakan bawahnya keropos. Ini persis dengan kejadian ketika saya membangun rumah beberapa tahun lalu. Di atas sebuah petak tanah di pekarangan rumah, saya menanam pohon. Namun pohon yang saya tanam selalu mati. Lalu saya minta seseorang menggali tanah tersebut. Ternyata di dalamnya banyak sekali rongsokan sisa pembangunan rumah. Sehingga tidak heran saya selalu gagal menanam pohon. Pada akhirnya, saya dan keluarga harus mengeluarkan ongkos yang besar untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
67
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
mengeluarkan sisa-sisa besi dan kayu bekas yang ada di bawah tanah pekarangan. Exactly the same with us now. Yang saya punya itu semacam soil yang terlihat fine, ketika kita lihat ke dalam ternyata masih perlu diperbaiki. Pengalaman hidup saya sehari-hari ternyata terjadi juga dalam kehidupan bernegara. Apa yang saya lakukan hingga saat ini adalah menyuburkan tanah tempat di mana LAM dan LPUK akan berdiri nantinya. Prosesnya seperti halnya mengangkat rongsokan dari dalam tanah. Karena itu butuh waktu, tenaga, dan dana yang besar dan pastinya tidak mudah. Meski jauh melesat dari harapan awal saya untuk segera punya pohon, saya tahu saya harus bersabar. Saya memilih menebar benih ketimbang menanam pohon yang sudah jadi. Saya percaya pohon yang kuat, hanya dimungkinkan oleh akar-akar yang tertancap kuat di dalam tanah. Saya tidak ingin visi dan misi HPEQ hanya berumur sepanjang umur proyek. Saya ingin punya produk yang sustainable. Sebab, ini bukan soal saya, ini soal regenerasi sebagai tanggung jawab sejarah profesi. Tidak masalah peranan saya sampai titik ini, yang penting saya sudah menyiapkan lahan yang tepat dan pupuk yang bagus untuk menumbuhkan LAM dan LPUK. Saya percaya Tuhan akan berikan tugas pada orang lain untuk menjalankannya. Apa yang penting bagi saya saat ini adalah memberikan nilai pada setiap keputusan kita.
68
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
REFERENSI Downing, Steven M. and Rachel Yudkowsky. 2009. Assessment in Health Professions Education. New York: Routledge Frank J, Chen L, Bhuta ZA, et al. 2010. Health Professionals for a New Century, Transforming Education to Strengthen Health Systems in an Interdependent World. The Lancet (online), Volume 376, Issue 9756, hal 1923-1958, http://www.thelancet.com/ journals/lancet/article/PIIS0140-6736(10)618545/fulltext?_ eventId=login Soejitno, Soedarmono. 2012. Laporan Kesatu, Laporan Kedua, Laporan Ketiga dan Laporan Keempat, Technical Assistance for Developing Business Plan LAM-PTKes. Jakarta: Health Professional Education Quality Project Sunarto, Kamanto. 2012. Lesson Learnt tentang Keorganisasian Akreditasi di Dalam dan di Luar Negeri. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Sistem Akreditasi Nasional Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Hotel Santosa Senggigi, Bali, 16-18 Desember Woollard, Robert F. 2010. Strengthening Policies and Procedures for Accreditation, First Stage Report. Jakarta: Health Professional Education Quality Project
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
69
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
________________. 2010. Social Accountability and Accreditation in the Future of Medical Education. A paper developed for The Commission on Education of Health Professionals for the 21st Century Van Damme, Dirk. 2004. Standards and Indicators in Institutional and Programme Accreditation in Higher Education: A Conceptual Framework and a Proposal, dalam, L. Vlasceanu and L. C. Barrows, eds. Indicators for Institutional and Programme Accreditation in Higher/Tertiary Education, hal. 125-157. Bucharest: UNESCO-CEPES Draft Buku Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia, 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project. Health Professional Education Quality Project Draft Buku Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi, 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project Laporan Capaian Task Force LAM-PTKes Periode 2011-2012: Audiensi Dirjen, 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project
70
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Studi Pendidikan Kesehatan, 2010, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project Panduan Objective Structured Clinical Examination (OSCE), 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project Panduan Penyelenggaran Computer Based Test (CBT), 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project Rancangan Naskah Akademik Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK), 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Health Professional Education Quality Project Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT), 2010, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
71
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Undang-Undang dan Peraturan Lainnya Keputusan Konsil Kedokteran No. 20/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar Pendidikan Profesi Dokter. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta Keputusan Konsil Kedokteran No. 21A/KKI/Kep/IX/2006 tentang Pengesahan Standar Kompetensi Dokter. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta Peraturan Konsil Kedokteran No. 1 Tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Berita Negara RI Tahun 2011, No. 603. Jakarta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Lembaran Negara RI Tahun 2005, No. 41. Sekretariat Negara. Jakarta Rancangan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Surat Edaran Dirjen Dikti No. 88/E/DT/2013. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta
72
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
MENGENAL SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI KESEHATAN
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 158. Sekretariat Negara. Jakarta Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2003, No. 78. Sekretariat Negara. Jakarta Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 116. Sekretariat Negara. Jakarta
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
73