Prolog Setiap orang tentunya menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Menginginkan cerita yang sempurna dalam lembaran sejarah hidupnya. Lahir, hadir, berarti kemudian mati. Lantas keinginankeinginan itu kadang menuntun kita menuju ke kesalahan besar, ‘salah paham’. Disadari atau tidak, salah paham adalah tiket untuk menuju dunia yang salah pula. Tak jarang bila menemui ketidak sesuaian realita dengan harapan, kita lantas merajuk, menggugat Tuhan, menuduh-Nya tidak adil. Kita kadang jadi manusia sombong yang merasa paling tahu. Hingga doa bukan lagi jadi media untuk meminta dan berterima kasih. Ia beralih fungsi jadi tempat melayangkan protes-protes pada Tuhan. Tak hanya itu, salah paham juga mampu membuat seorang hamba berani mendikte Tuhan-Nya. sebelum kesalahpahaman tersebut membawa kita tersesat lebih jauh, maka penting bagi kita untuk tak terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Ada saatnya kita harus menepi, menyendiri. Membawa potongan cerita hidup, lalu mengeja pelan-pelan pesan yang ingin Tuhan sampaikan.
Bagian 1 Manusia mana di dunia ini yang tak punya kenangan masa kecil yang menarik untuk dikenang dan diceritakan ulang? Tak terkecuali aku, pernah kecil dan punya banyak cerita. Tapi manusia cenderung lebih selektif dalam memilih mana yang pantas diingat dan mana yang lebih pantas dilupakan—meskipun bukan dengan sengaja dilupakan. Namun untuk mozaik kisah yang satu ini. Aku tak punya kuasa untuk melupa. Bukan karena indahnya cerita itu, melainkan indahnya cara Tuhan mendekapku. Lewat cerita—yang bisa dibilang— kelam ini, aku ingin mengabadikan sosok Bapak. Yang darahnya mengalir di dalam diriku. Yang lewat tangannya Tuhan menafkahiku. Yang karenanya, cerita ini ada dan sampai kepada kalian. Cerita ini bermula tahun 1999 saat aku berusia 10 tahun. Cerita tentang kepergian Bapak yang membawa banyak tanya dan luka. Cerita yang juga mengakselerasi kedewasaanku. Pada masa itu, bisa dibilang keluargaku termasuk keluarga menengah ke bawah. Kami tinggal di pelosok desa. Salah satu desa di Sumatera Selatan. Jauh sekali desa kami dari pusat kota Palembang. Mungkin kalian tidak pernah dengar, 2
nama desanya Tanah Abang. Tahun 1999, hampir seluruh pelosok negeri sudah merasakan terangnya malam dengan lampu listrik. Lain hal dengan desa kami yang masih menggunakan lampu minyak. Yang membuat dinding dan pelapon rumah menghitam karena langasnya. Oh ya, sebelumnya perkenalkan namaku Bianka. Anak kedua dari 3 bersaudara. Kakakku bernama Bery dan adikku Beny. Nama kami bertiga tidak memiliki kepanjangan. Entah mengapa Bapak menamai kami hanya dengan satu suku kata. Usiaku sepuluh tahun sekarang. Aku siswi kelas lima sekolah dasar. Teman-teman dan guruku mengatakan bahwa aku anak yang cerdas. Mereka memiliki alasan mengatakan hal itu. Aku selalu langganan juara kelas. Setidaknya sejak kelas satu, namaku tak pernah absen dari peringkat tiga besar. Aku bahkan tak pernah mencicipi indahnya dunia bermain di taman kanak-kanak. Karnena di desaku, TK hanya untuk anak-anak orang kaya yang punya kelebihan uang. Aku masuk SD di usia yang masih sangat muda, empat tahun enam bulan. Aku tergolong anak pendiam di kelas. Teman dekatku hanya satu, ia seorang laki-laki namanya Hanif. Bery, kakakku yang hanya terpaut usia empat tahun denganku. Ia seorang siswa kelas tiga SMP. Ia juga merupakan anak yang cerdas. Tapi tidak pernah masuk tiga besar karena malas belajar. Ia lebih pendiam dariku, bicara seperlunya saja. Sisanya ia 3
lebih banyak diam atau menjawab singkat bila ditanya. Sifat Bapak turun seratus persen dalam diri Kak Bery. Dingin, terlihat acuh, tapi begitu penyayang. Adikku, Beny yang masih balita. Usianya tiga tahun dan ia sudah bisa berjalan. Aura kecerdasan juga sudah mulai tampak pada si bungsu. Di usianya yang masih tiga tahun, ia sudah bisa berjalan dan bicara. Kami bertiga mewarisi kecerdasan Ibu. Ya, Ibuku wanita yang cerdas meskipun ia tidak bertitel sarjana. Ibuku seorang buruh cuci. Ia mencuci pakaian keluarga bude Darni dan bude Nanik. Tetangga depan rumah kami. Ibu, perempuan yang paling aku kagumi. Sikapnya lembut dan penuh kehangatan. Senyumnya juga manis selalu menentramkan. Kadang aku berpikir, kenapa aku tak bisa semanis dan selembut Ibu. Dan Bapakku petani kebun karet. Usianya baru tiga puluh empat tahun. Tapi wajahnya terlihat lebih tua dari usianya, bapak terlalu lelah. Sebenarnya Bapak pernah bekerja di kota, di sebuah perusahaan swasta. Penghasilan Bapak perbulan memang tak cukup untuk membuat keluarga kami bisa kaya raya. Tapi setidaknya, berkecukupan. Namun sebulan yang lalu Bapak pulang kampung. Terpaksa berhenti dari pekerjaannya yang cukup memberinya penghasilan yang bisa dikatakan lumayan itu. Bapak harus meninggalakan profesinya sebagai orang kantoran yang menjanjikan dan beralih menjadi petani karet. 4
Karena setahun yang lalu, saat terjadi inflasi besarbesaran terhadap nilai tukar rupiah dengan dolar. Dimana ekonomi Indonesia mengalami keanjlokan yang luar biasa. Dimana hampir semua sektor di tanah air tumbang. Hingga menghasilkan gelombang PHK besar-besaran. Yakni sekitar dua puluh juta orang resmi menjadi pengagguran. Tak terkecuali perusahaan tempat Bapak bekerja juga tumbang. Meskipun telah mati-matian berjuang ditengah carut marut perekonomian negeri ini, perusahaan itu tak mampu bertahan lebih lama. Jadi lah Bapak menjadi bagian dari dua puluh juta pekerja yang merasakan dampak inflasi tersebut. Mengenai mengapa Bapak menjadi petani karet. Karena tak ada pekerjaan lebih layak di desa kami kecuali itu. Bapak bukan tak mencoba pekerjaan lain. Banyak jalan telah ia tempuh dalam sebulan belakangan. Beberapa kali menjajal kemampuannya di tempat berbeda, namun penghasilan yang didapat tak pernah sebanding dengan peluh yang ia peras. Hingga rasanya hanya menggarap kebun karet milik orang lainlah pekerjaan paling layak. Bapak bukan orang kaya yang punya banyak tabungan untuk membeli sapi atau kambing untuk diternak. Pun untuk sekedar membangun warung kelontong, Bapak tak mampu. Bapak pulang bahkan tanpa sepeser uang. Membuat hutang Ibu membengkak.
5
Bagian 2 Desember 1999, Matahari tergelincir tepat di atas kepala, ketika lonceng panjang berbunyi. Aku menunggu Kak Bery di gerbang sekolah. Antara SDN 17 dan SMPN 1 hanya berjarak seratus meter saja. Tak sampai lima menit aku menunggu, yang kutunggu sudah tiba. Aku melangkah malas menuju Kak Bery. Seragam sekolahku lusuh, nyaris basah semua karena keringat. Jarak sekolah kami ke rumah cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. “Ayo Bian, lambat sekali jalanmu.” Kak Bery berhenti sebentar untuk mengimbangi langkahku. Aku tersenyum dan menggelayuti tas Kak Bery. “Bian capek, Kak.” Tangan kak Bery siap berayun ke kepalaku. Kulepaskan tanganku dari tasnya sebelum ia menjitak kepalaku. “Pelanpelan saja jalannya, sebentar lagi juga sampai.” Aku menggerutu kesal. “Aku lapar.” Jawab Kak Bery singkat, kemudian melanjutkan langkahnya. Ku ikuti langkah kak Bery yang kembali cepat. Sambil menyeka keringat di dahi. Sesampainya di rumah. Adik bungsuku yang masih berumur tiga tahun duduk di ruang tamu. Air
6
mata membasahi pipinya. Melihat aku dan Kak Bery datang, teriakannya makin kencang. “Loh, anak manis kenapa nangis?” Aku membentangkan tangan, siap menyambut tubuh mungilnya. Kudekap ia dan mencoba menenangkannya—meski dengan seragam sekolah yang setengah basah karena keringat. Tangisan Bery berhenti saat kujejalkan botol dot ke mulutnya. “Oh kamu lapar ya?” Aku bertanya pada Bery, ia hanya mengedip-ngedipkan mata. “Ibu kemana ya?” Aku menoleh ke arah Kak Bery. Ia mengangkat bahu. Tanpa melepas tas yang disandangnya, Kak Bery menyusuri rumah petak kami yang berdinding papan. Tak banyak tempat yang mesti disusuri, hanya dua kamar tidur yang disekat menggunakan triplex dan dapur tempat Ibu biasa memasak. “Ibu tidak di rumah.” Kak Bery kembali ke ruang tamu usai menyusuri kamar dan dapur. Kami bertatapan seolah saling bertanya ‘di man Ibu kami?’ Perhatianku kembali tertuju ke wajah Bery. “Mungkin Ibu ke warung, sebentar lagi pasti pulang.” Sifat sok tahuku kembali muncul. Kak Bery memajukan bibirnya, tanda tak setuju dengan pendapatku. Kak Bery masih berdiri di depanku dan Beny. Menggeleng-gelengkan kepala, membuat Beny tertawa geli.
7
“Kakak, kenapa di sini? Ganti baju sana, nanti gantian gendong Beny nya.” Kak Bery mengerutkan dahi. Aku tertawa, kemudian mendorong tubuhnya untuk menjauhi aku dan Beny. Kak Bery pun menuju kamar untuk mengganti seragamnya yang kumal. Tak sampai 5 menit, ia keluar kamar. Menggunakan kaus singlet dan celana pendek kotak-kotak. “Lamanya berdandan.” Aku melirik ke arah Kak Bery. Tangannya mulai mencari sasaran untuk dijitak karena kugoda. Aku seperti biasa, dengan tangkasnya menghindar. Kesepakatan untuk bergantian menggendong Beny dibatalkan. Si bungsu itu sudah tidur. Kuletakkan ia kembali ke kasur mungilnya dengan hati-hati. Dan aku pun segera masuk ke kamar untuk mengganti baju. Aku menarik celana kotak-kotak dan kaus berwarna pink bergambar putri salju. Baru saja aku keluar dari kamar, kulihat sosok perempuan paruh baya itu berdiri di ambang pintu. Tangan kirinya berusaha menutup payung. Tangan kanannya menggenggam bungkusan kresek hitam. Dia Ibuku. “Assalamualaikum” Ibu mengucap salam sambil meletakkan payung di balik pintu. Aku dan Kak Bery menjawab salam Ibu lalu menghambur menyambut Ibu. Berlarian ke depan pintu, bergantian menyalami tangannya yang terasa kasar—mungkin karena terlalu banyak pakaian yang harus Ibu cuci setiap harinya. 8
“Ibu darimana?” Kakak bergelayut manja di lengan kanan Ibu. Aku pun tak mau kalah, aku menggandeng lengan kiri Ibu. “Ibu tau? Tadi ketika Bian dan kak Bery pulang sekolah. Adik menangis dan berteriak-teriak sampai terdengar keluar rumah” “Ooh terus?” Ibu menanggapi ceritaku. “Terus Bian gendong adiknya, Bian kasih susu sampai dia tidur, Bu” Ibu tersenyum manis dan mengusap lembut kepalaku. Dia menatap anak bungsunya yang tengah tidur pulas. “Memangnya Ibu dari mana?” Kakak mengulang pertanyaannya yang belum di jawab Ibu. “Tadi Ibu ke rumah Bude Darni dan Bude Nanik, janjinya hari ini upah cuci Ibu yang nunggak dua bulan itu akan mereka bayar.” Ibu melangkah ke arah dapur. Aku masih bergelayut manja di lengan Ibu. “Jadi Ibu sudah gajian?” Ku genggam lebih kencang lengan Ibu, karena bersemangat mendengar jawaban Ibu. Ibu hanya menggeleng tapi masih dengan senyum manisnya. “Dari rumah bude Darni Ibu dapat beras dua kilogram, dari bude Nanik dapat susu, untuk Beny.” Ibu merogoh kantung kresek hitam di tangannya. Mengeluarkan susu kaleng dan sekantung beras ke atas meja.
9
“Loh kenapa Bude Darni dan Bude Nanik ingkar janji, Bu?” Kak Bery menimpali dari arah belakang. “Mereka tidak ingkar janji. Upah Ibu tetap di bayar meskipun hanya setengah dan tidak dalam bentuk uang, harga karet sedang turun. Kasihan juga kalau Ibu harus memaksa mereka. Kita juga butuh uang untuk makan tapi tidak sepantasnya Ibu memeras mereka, ini ada sedikit rezeki kita syukuri saja.” Mata Ibu berlinang, air matanya nyaris tumpah. Menjelaskan peliknya hidup kepada anakanaknya yang masih di bawah umur—tak peduli anaknya mengerti atau tidak. “Oh iya, Ibu lupa kalian belum makan siang. Ayo, ayo cuci tangan, Ibu punya telur dadar untuk kalian.” Ibu kembali bersemangat. Membuyarkan suasana haru di dapur siang ini. Ah Ibu, meski begitu lelah, dan mungkin dipenuhi ketakutan-ketakutan yang hanya ia dan Tuhan yang tahu tapi ia tetap tegar dan mengajarkan kami untuk selalu bersyukur.
10