Konstitusionalitas dan Urgensitas P t Penetapan K it i dan Kriteria d Indikator I dik t serta t Mekanisme Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum Hukum) ) Adat Adat R. Yando R. Yando d Zakaria k i Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) Mantan Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa RUU Desa, DPR RI , DPR RI p pada:: pada p Disampaikan Lokakarya Membangun Kesepahaman Para Pihak Dalam Menyikapi dan Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU‐ No. 35/PUU‐X/2012 Pada Tataran Nasional dan Daerah X/2012 Pada Tataran Nasional dan Daerah. . Diselenggarakan oleh Watch Indonesia (FWI) bekerja sama dengan Forclime (Program Watch Indonesia (FWI) bekerja sama dengan Forclime (Program GIZ) GIZ),, Jakarta, 11 – 12 Jakarta, 11 12 Agustus 2014. 12 Agustus
KONSTITUSI DAN PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN HAK‐HAK MASYARAKAT (HUKUM) ADAT CQ. DESA ATAU DISEBUT DENGAN NAMA LAIN
Konstitusionalisme pengakuan dan penghormatan atas hak hak‐‐hak masyarakat hukum adat atau desa atau yang yang disebut disebut dengan nama lain: Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 &
Amanat konstitusi •
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya Daerah‐ Palembang dan sebagainya. Daerah daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah‐ daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak‐hak asal‐usul daerah tersebut”.
Realisasinya… •
Aspek Sosial‐Budaya: –
•
Aspek Sosial‐Ekonomi Sosial Ekonomi & Ekologis: & Ekologis: –
–
•
Masih ada sejumlah diskriminasi dalam hal religi, kependudukan, dll. Æ proyek‐proyek pemukiman kembali UU No. 5/1960 Æ Hak Ulayat cq, Hak MHA diakui Æ Tapi tidak ada instrumen operasionalnya Æ PP 24/2007, MHA belum jadi subyek huku; Hak ulayat belum menjadi j di jenis j i hak h k Æ Permen P A Agraria i No. N 5/1999 baru soal penyelesaian konflik; kriiteria MHA bersifat akumulatif Orde Baru: Membekukan Hak MHA
Aspek p Sosial‐Politik: –
Hingga reformasi ada 7 UU sebelum ini mengaturnya secara berbeda‐beda Æ terakhir adalah UU 5/79 ttg Pemdes yang disebutkan tidak sesuai dengan amanat konstitusi Æ desa sbg unit politik unit politik (IGO/IGOB) menjadi sekedar unit adminitrasi Æ MHA sbg subyek hukum makin lemah
Konstitusionalitas Pengaturan Masyarakat Hukum Adat atau disebut desa atau disebut dengan nama lain lain Pasca Pasca‐‐reformasi reformasi:: Pasal 18B ayat 2 (hasil amandemen Pasal 18 pada tahun 2000): Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐ hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang 1.
Tatanan sosial‐‐ sosial budaya
Tatanan politik sosial‐‐p sosial dan hukum
Tatanan Sosial Sosial‐‐ ekonomi & & ulayat ulayat
2.
3.
4. 5.
No. 010/PUU‐I/2003 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu Kabupaten Rokan Hilir Kabupaten Siak Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; No. 31/PUU‐V/2007 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; No. 6/PUU‐Vl/2008 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Kepulauan No. 45 … No. 35/PUU‐X/2012 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Æ Kriteria , indikator untuk kondisionalistas yang disyaratkan , dan mekanisme penetapannya , telah dirumuskan loleh Mahkamah Konstitusi!
Tiga Kriteria Utama dan Kondisionlitas Pengakuan Keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Tiga kriteria MHA
Penjelasan tentang kondisionalitasnya (indikator penjelas)
kesatuan masyarakat hukum adat b beserta h k tradisionalnya hak d l secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
(MHA Teritorial atau gabungan) = Memliiki wilayah yang diakui sebagai b wilayah l h adat d atau ulayat l
UU Desa 6/2016): Wilayah + salah satu dari 4 unsur yang lain. Bersifat fakultatif)
masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok pranata pemerintahan adat harta kekayaan dan/atau benda adat perangkat norma hukum adat
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat
keberadaannya telah diakui berdasarkan undang‐undang yang berlaku
kesatuan masyarakat hukum adat b beserta hak tradisionalnya sesuai h k d l dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik bl k lndonesia l d
substa s hak substansi a ttradisional ad s o a te tersebut sebut d diakui a u da dan d dihormati o at o oleh e warga a ga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia
substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan
Seputar kondisionalitas K & I Masyaraat (Hukum) Adat •
• •
• •
Para aktivis organisasi masyarakat sipil banyak membahas soal pembatasan‐pembatasan p p ((kondisionalitas) yang terkandung )y g gp pada Pasal 18: 2, yang sesungguhnya juga sudah terjadi pada masa‐masa sebelumnya, seperti yang terjadi pada Undang‐Undang Pokok Agraria 1960. Misalnya sebagaimana yang dibahas Simarmata (2002), dan Arozona (2011). Saya sudah sejak lama bersikap lama bersikap ‘lebih lebih optimis optimis’ soal soal pembatasan itu (Zakaria, 2004). Menurut Manan (2002), pembatasan ini betapapun perlu untuk mencegah tuntutan seolah‐olah suatu masyarakat hukum masih ada, sedangkan kenyataan telah sama sekali berubah atau hapus, antara hapus antara lain karena lain karena terserap pada satuan pemerintahan lainnya. Satjipto Rahardjo: Kondisionalitas itu adalah keniscayaan. Yang penting jangan sampai kondisionalitas itu mengingkari niat pengakuan dan perlindungan li d it sendiri. itu di i ‘Pengakuan tanpa syarat’ sebagaimana yang terkandung dalam IPRA di Filipina tak selamanya terhindar dari ‘kriteria dan indokator’, karena pengakuan pada akhirnya bermuara pada upaya verifikasi untuk menenttukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak (Catatan Lapangan RYZ, 2014)
Lima Pelajaran Lima Pelajaran Penting Keputusan MK 35/2012 MK 35/2012 terhadap terhadap Pendefenisian Masyarakat (Hukum Hukum)) Adat Hukum) ) Adat dan Pengakuan Atas Hak Hak‐‐haknya • Kali pertama MK menggunakan kriteria ttg MHA yang telah di dirumuskannya k sendiri di i sebelumnya; b l • MHA sebagai penyandang hak dan subyek hukum Æ Legal standing MHA diterima; • Ditegaskan bahwa pengakuan dan penghormatan hak‐hak hak hak MHA ini MHA ini diatur DALAM undang‐undang Æ Keberadaan MHA cukup didukung peraturan perundang‐undangan tingkat kabupaten; bahkan bisa ‘hanya’ berupa SK Bupati (Kasus Kasepuhan Cisitu); dan bisa juga kebijakan daerah yang hanya mengakui salah satu unsur MHA itu cq. pengakuan tanah ulaya (Kasus Kenegerian Kuntu); • MHA ‘berdaulat’ atas Ulayatnya; pengakuan atas ulayat MHA tidak bertentangan dengan Psal 33: 3 Æ 33: 3 Æ Tetapi, merujuk Tetapi merujuk pada kondisionalitas pada Pasal 18B: 2, ‘tidak boleh seenaknya’ Æ Rumusan AMAN tentang ‘MA dapat menentukan nasibnya sendiri’ ditolak MK; • MHA itu dinamis dan tidak statis.
Beberapa Tantangan Implementasi MK 35/2012 ((Jurnal WACANA, No. 33 /Tahun , / XVI/2014 / • • • • • •
•
MRR: “teracam mandul”, krn kekeliruan penggunaan landasan konstitusionalnya Æ Pasal 18B; 2 (hak publik) versus Pasal 28i (hak perdata) Æ p ) RYZ: apakah p perubahan ini akan meniadakan kondisionalitas? p LAS: Tiga limitasi (perangkap teknikalisasi regulasi; elite capture; penetrasi budaya korporasi sistem berfikir ‘orang kampung’). RYZ: Kontestasi klaim antar antar kelompok berdasarkan kebijakan daerah yang beragam yang beragam. YA: ketidakjelasan jenis, sifat, dan unit sosial pemangku hak‐hak masy. Adat yang akan diakui. p dan klaim hak yyang belum g sensitif jjender; palangisasi ;p g rawan MS: proses konflik horizontal. AHP: garis imajiner vs garis kartografi yang fisikan Æ mengubah hubungan‐hubungan: antara manusia dan lingkungan; antara kelompok; kesulitan mengontrol hasil; hasil; ‘fiksasi fiksasi masyarakat masyarakat’.. Æ Æ “Alih‐alih Alih alih mencapai tujuan untuk melakukan perlawanan terhadap teritorialisas negara, pemetaan partisipatif mengalami pendisiplinan” MAS (dlm sebuah presentasi pada tgl. 11/08/2014): Secara sosial, implementasi MK 35/2014 mensyaratkan MK 35/2014 mensyaratkan penataan ulang relasi‐relasi relasi relasi sosial yang ada dalam komunitas adat Æ koeksistensi antar kelompok Æ eklusi vs inklusi.
Siap pa Massyarakatt adat?
(Arizona, 2014, dilengkapi RYZ) Masyarakat Tradisional & Masy DAerah
Masyarakat Hukum Adat
Pasal 28I ayat (3) & Pasal 32 (2) UUD 1945 (2) UUD 1945;
Pasal 18B ayat 18B ayat (2) UUD 1945 (2) UUD 1945
Pasal 18B ayat 18B ayat (2) UUD 1945 (2) UUD 1945 dan UU No. 6 Tahun 2014 Desa Adat
Masyarakat tradisional dan (Masyarakat) Daerah
Genealogis (dan teritorial)
Organisasi sosial, wilayah hukum adat
Masyarakat hukum adat
Genelogis dan teritorial
Badan hukum perdata
Desa Adat
Genealogis, teritorial dan fungsional
Quasi‐negara (badan hukum publik); masyarakat hukum
Unit‐unit sosial Masyarakat Adat (Zakaria & Arizona, dalam Arizona, 2014): Masing‐masing g g jjenis hak terkait p pada unit sosial yyang bisa g saja j berbeda‐beda
Desa adat, nagari, gampong, D d t i ohoi, negeri, beo, binua, winua, huta, dll
Individu
Keluarga
Gabungan keluarga, e ua ga, marga, kaum, keluarga besar
Desa kecil: ec dusun, mukim, kampung dst
Sub suku Dayak iban, kenyah, batak karo, caniago, koto, jambak kaili moma dll jambak, kaili moma, dll
Supra Desa: Desa: Keteme nggung an dst
Suku Jawa, sunda, melayu, dayak, kaili, bugis, mentawai, batak batak,
Ras melanesia melanesia, austronesi a
Negara, kerajaan, kesultanan
Konstelasi Norma Hukum dalam Konstitusi tentang Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Hukum Adat atau ‘Desa atau disebut dengan nama lain’ Pasal 18B: 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang. Pasal lain dlm konstitusi yang juga relevan: Pasal 28i: 3 Identitas de t tas budaya da dan hak a masyarakat asya a at tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Intinya adalah pengakuan atas hak‐hak tradisional cq. ‘Hak asal‐usul’ Hak Asal‐usul: O ga sas /susu a as Organisasi/susunan asli Nilai, norma, dan aturan cq. Hukum Adat Ulayat (sebagai basis material organisasi serta nilai, norma, dan aturan ybs.): Hak Atas tanah ulayat Hak untuk menjalankan tradisi, Dll…, dan Hak untuk Mengurus Rumahtangga Sendiri
Pasal 32: 2 Negara menghormati dan memelihara Negara menghormati bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
RUUPPHMHA: (DPR) cq. RUU PPHMA (AMAN) Pengaturan ‘hak‐hak asal DI LUAR ‘hak pegaturan untuk mengurus diri sendiri’
Pasal lain dlm konstitusi yang juga relevan: Pasal 18: 7 (?) Æ Yang disebut sebagai Daerah dalam ae a da a be berbagai baga ayat pada Pasal asa 18 ini adalah Propinsi, Kabupaten dan Kota
Pasal 18A (?) Æ hanya mencakup hubungan kewenangan dan keuangan antara Pusat dan Daerah
Harmonisasi dan Singkronisasi
RUU Desa: Pengaturan tentang penyelenggaraan ‘Pemerintahan’ di tingkat Desa atau disebut dengan nama lain.
UNDANG‐UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA & PEMBAHARUAN DESA DAN PERDESAAN
Implikasi Pengakuan terhadap ‘hak asal asal‐‐usul usul’ ( ’ (sebelum sebelum amandemen) amandemen) atau atau ‘hak‐ hak‐hak tradisional’’ ( tradisional (pasca (pasca‐ (pasca pasca‐amandemen amandemen))
3 Elemen ‘hak asal‐ 3 E asal‐usul usul’ ’ Æ Æ ‘hak bawan’’, , bukan bawan bukan ‘hak berian berian’’
Implikasi pengakuan ‘kesatuan masyarakat hukum adat adat’’ adat’ ’ • •
Tatanan sosial‐‐ sosial budaya
Tatanan sosial‐‐politik sosial dan hukum
Tatanan Sosial Sosial‐‐ ekonomi & & Ulayat Ulayat
•
•
Pengakuan terhadap eksistensi organisasi dr ‘susunan asli’ ; Pengakuan atas sistem nilai dan aturan‐aturan yang mengatur kehidupan bersama dalam ‘susunan asli’, termasuk aturan‐aturan yang mengatut ‘sumber‐sumber kehidupan’nya; Pengakuan terhadap ‘hak penguasaan’ ‘hak pertuanan’ atas pertuanan atas apa yang disebut yang disebut sebagai ulayat (baca: wilayah kehidupan) susuna asli yang bersangkutan. Æ Pengakuan atas ulayat mensyaratkan perubahan pada berbagai UU Sektoral yang selama ini tdk mengakui hak‐hak masyarakat adat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh TAP MPR IX/2001) Dikaitkan dengan Pasal 18 dan 18A, maka desa atau disebut dgn nama lain juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan ‘pemerintahan nasional’!
Keterkaitan MK 35/20012 dgn MK 35/20012 dgn UU No. UU No. 6/2014: 6/2014: UU D b i uu organik ik untuk t k pelaksanaan l k MK 35/2012? UU Desa UU Desa sebagai MK 35/2012?
MK 35/2012: Hutan adat BUKAN hutan negara; Hutan adat berada dlm wilayah adat MHA;
UU 6/2014: Desa Adat adalah MHA (psl. 96); (psl 96); (dgn) kriteria dlm putusan2 MK (Psl 97);
MHA ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
Kewenangan untuk mengatur dan mengurus ulayat/wilayah adat;
(dgn) kriteria yang sdh ditetap dan digunakan dlm berbagai putusan MK
p g Perda ((Psl Ditetapkan dgn 98); Dilampiri peta (Psl. 17: 2)
Azas Pengaturan dan Definisi Desa Azas Pengaturan (Pasal 3)
Defenisi (Pasal 1 (1) & Jenis Desa (Pasal 6)
a. b. c c. d. e. f. g. h. i. j.j k. l. m.
•
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak k t h k asall usul, dan/atau hak l d / t h k tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
•
Penyebutan desa dan desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat
rekognisi; subsidiaritas; keberagaman; kebersamaan; kegotongroyongan; kekeluargaan; musyawarah; demokrasi; kemandirian; partisipasi; partisipasi; kesetaraan; pemberdayaan; dan keberlanjutan. j
Lima Perubahan Mendasar: Kritik yyang adil g adalah kritik yyang melihat g perubahan secara p holistik. Tidak parsial! Pengakuan Keberagaman (BAB II & III)
Demokratisasi Desa Æ pemberdayaan & Pendampingan (BAB V VI & XII) V, VI, & XII)
Perencanaan yang terintegrasi: Desa membangun; membangun desa (BAB IX)
Kewenangan berdasarkan prinsip rekognis dan subsidiaritas (BAB IV, V, VII, & XIII)
Konsolidasi Keuangan dan Aset Desa (BAB VIII X & XI) (BAB VIII, X, & XI)
16
Sumber‐Sumber Pendapatan Desa ( (Pasal 72) ) •
Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain‐lain royong, dan lain lain pendapatan asli Desa;
•
Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; – 10% dari dana transfer ke daerah (ini berarti dana transfer ke daerah adalah 110% yang terbagi 100% untuk daerah dan 10% untuk desa) 100% untuk daerah dan 10% untuk desa)
•
Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; – 10% dari Pajak dan Retribusi Daerah
•
Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; – 10% dari DAU + DBH
•
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota;
•
Hibah dan sumbangan dan sumbangan yang tidak yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan ketiga; dan
•
Lain‐lain pendapatan Desa yang sah. 17
Kelembagaan Pemerintahan Desa: Desa Adat harus menyesuaikan (Pasal 108) Prinsip dasar PemerintahanDesa Prinsip dasar PemerintahanDesa •
Check and balances antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan desa.
•
Demokrasi perwakilan + permusyawaran.
•
Proses demokrasi partisipatoris melalui Musdes
Musyawarah Desa (psl. 54) • • •
Kepala l Desa (psl. 25 – 53) Perangkat Desa (Pelayanan) Panitia (ad‐hok) BUMDes Lembaga Kemasyarakatan /Adat
Dipilih langsung
• • • • •
RPJM Desa RPJM‐Desa Asset Desa Hal‐hal Strategis
RPJM‐Desa dan RKP‐ Desa APB‐Desa Peraturan Desa Kinerja Pemerintah Kerja Sama
Warga/Masyarakat
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) (psl. 55 ‐65)
Perwakilan Bagian Wilayah desa yang di ilih dipilih secara Demokratis
Lembaga K Kemasyarakatan k t dan d Lembaga Adat Bagian Wilayah Desa
18
UNDANG‐UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA & PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN ATAS HAK‐HAK MASYARAKAT (HUKUM) ADAT
Pasal 7 7 Ayat 4 7 Ayat
penggabungan penggabungan perubahan status
Penghapusan
Pembentukan
Penataan Desa
penetapan Desa.
• Penjelasan Huruf e: Yang di k d d dimaksud dengan “penetapan “ t Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang telah y g ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Daerah Kabupaten/Kota. • Penjelasan Pasal 96: Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan y Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Penataan Desa Adat: Pasal Adat: Pasal 97 (1) 97 (1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat: a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional; b kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak b. tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak k k h k d b h k tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 97 Ayat 97 Ayat 2 Kesatuan masyarakat y hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang y y g warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; dalam kelompok; b. pranata pemerintahan adat; c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d. perangkat norma hukum adat.
Pasal 97 ayat 3 Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan perkembangan masyarakat apabila:
a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang‐ undang yang berlaku undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang‐undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan bersifat sektoral; dan b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
Pasal 97 Ayat 97 Ayat 4 • Suatu kesatuan masyarakat h k hukum adat beserta hak d b h k tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat y hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik l d lndonesia sebagai sebuah i b i b h kesatuan politik dan kesatuan hukum yang :
a. tidak mengancam g kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik p lndonesia; dan b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan ketentuan peraturan perundang‐ undangan.
Penataan Desa: Perubahan Desa: Perubahan Status • Desa dapat menjadi Desa Adat (Pasal 100) • Kelurahan dapat menjadi Desa ((Pasal 12)) • Kelurahan dapat menjadi Desa Adat (Pasal 100) • Desa dapat menjadi Kelurahan (Pasal 11) • Desa Adat dapat menjadi K l h (Pasal Kelurahan (P l 100)
• Desa/Desa Adat dapat: – – – –
Berubah status Digabung (Pasal 10 & 99) Dimekarkan ((Pasal 8 ayat y 1)) Dihapus;
• Berdasarkan prakarsa masyarakat; • Ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Propinsi atau Kabupaten/Kota); disertai peta wilayah (Pasal 101)
Kewenangan Desa Kewenangan Desa – kewenangan berdasarkan hak asal usul; g ; – kewenangan lokal berskala Desa; – kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan – kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan. d d
Kewenangan Desa Adat (1) Kewenangan Desa Adat (1) •
Pasal 103 K Kewenangan D Desa Ad t berdasarkan Adat b d k hak asal h k l usull sebagaimana b i di k d dalam dimaksud d l Pasal 19 huruf a meliputi: a. b. c. d.
pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa y y g g p p dengan g Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan; pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan y f. p hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Kewenangan Desa Adat (2) Kewenangan Desa Adat (2) • Pasal 104 Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip keberagaman. • Pasal 105 Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah g g , Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
KONTESTASI PILIHAN‐PILIHAN PILIHAN PILIHAN KRITERIA & INDIKATOR SERTA MEKANISME PENETAPAN MASYARAKAT (HUKUM) ADAT
Defenisi dan/atau kriteria utama Pengakuan Keberadaan MHA Permen Agraria 5/1999
UU 41/1999 UU 41/1999 Kehutanan
UU 27/2007 UU 27/2007 Pesisir dan PP Kecil
UU 32/2009 UU 32/2009 PPLH
UU 6/2014 Desa UU 6/2014
Pasal 1 (3): Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan Æ
Pasal 67 Ayat (1): Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap; b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan hukum, khususnya adat, yang masih ditaati; e. dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup p sehari‐hari.
Pasal 1 (33): M Masyarakat k t Adat Ad t adalah d l h kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun‐ temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal‐usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Pasal 1 (31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum Æ Pedoman Inventarisasi: Bermukim di wilayah tertentu; Adanya ikatan asal‐usul leluhur; Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup; sosial, dan hukum adat; Adanya y sistem nilai yyang g menentukan pranata politik; Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi; Adanya sistem nilai yang menentukan pranata sosial dan hukum adat
Pasal 97 ayat (2): Kesatuan masyarakat hukum adat masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling k kurang memenuhi salah hi l h satu atau gabungan unsur adanya: a.masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; b.pranata pemerintahan adat; c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d.perangkat norma hukum adat.
Pasal 2 (2: a): sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan‐ketentuan persekutuan tersebut dalam p kehidupannya sehari‐hari Bersifat akumulatif; Ketentuan penetapan lebih lanjut (tentang keberadaan tanah ulayat) diatur melalui P d Perda.
Bersifat akumulatif; Keberadaan suatu MHA ditetapkan melalui Perda; Satu Perda satu MHA?
Belum ada pengaturan lebih lanjut lebih lanjut.
Bersifat akumulatif; Pedoman KLH tdk dimaksudkan sebagai pengakuan Hukum
Bersifat TIDAK akumulatif; Yg ditetapkan adalah MHA sbg desa adat; Satu Perda BISA menetapkan bbrp lebih dari 1 Desa adat. Perlu Perda Pengaturan Desa Adat di Propinsi dan Kab/kota
Tiga kriteria MHA (MK 35/2012 & UU Desa 6/2014)
Kondisionalitas (MK 35/2012 & UU Desa 6/2014)
Pedoman Inventarisasi KLH
kesatuan masyarakat hukum adat beserta y secara nyata masih hidup, y p, hak tradisionalnya baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
(MHA Teritorial atau gabungan) = Memliki wilayah y yyang diakui g sebagai g wilayah y adat atau ulayat
Bermukim di wilayah tertentu; Adanya y ikatan asal‐usul leluhur;; Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup; sosial, dan hukum adat
UU Desa 6/2016): Wilayah + salah satu dari 4 unsur yang lain. Bersifat fakultatif)
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat perkembangan masyarakat
masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok pranata p p pemerintahan adat
Adanya y sistem nilai yyang menentukan g pranata politik
harta kekayaan dan/atau benda adat
Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi
perangkat norma hukum adat
Adanya sistem nilai yang menentukan pranata sosial dan hukum adat
keberadaannya telah diakui berdasarkan undang‐undang yang berlaku substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan h k asasii manusia hak i
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Non
tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan
Non
Indikator (Pedoman KLH, Lanjutan)
Kriteria (Pedoman KLH, Lanjutan)
Bermukim di wilayah tertentu
Kesatuan sosial yang relatif homogen Adanya wilayah adat Adanya sistem simbol budaya yang khas yang dimiliki (bahasa, makanan, pakaian, arsitektur, mitos, sejarah, dsb). Kepemilikan p komunal dan sistem p pengelolaan g atas wilayah y adat
Adanya ikatan asal‐usul leluhur
Adanya sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang mentradisi Memiliki silsilah kekerabatan (tambo, tarombo, trah dan nama lain yang dikenal)
Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup
Memiliki kearifan lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Memiliki kearifan lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sistem kalender tradisional yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam
Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum adat
Memiliki perangkat hukum adat Memiliki sistem nilai yang dipedomani oleh anggota Sistem kepemimpinan adat dan sistem pengambilan keputusan Sistem nilai dan aturan yyang mengatur g g solidaritas ekonomi dan sosial (misalnya lumbung komunal, kolam komunal) Memiliki sistem mata‐pencaharian tradisional terkait dengan potensi setempat
Analisis •
•
•
•
• •
Meski Putusan MK 35/2012 telah berumur setahun, namun bagaimana pembaruan hukum terkait pada proses pengakuan hak‐hak masyarakat masih saja terjebak pada pilihan‐pilihan kriteria dan indiketor yang diperlukan dalam proses itu. Padahal, Putusan MK 35/2012 telah menentukannya! Perdebatan antar pilihan itu harus segera diakhiri. Dari berbagai alternatif yang ada model mana yang akan yang ada, model mana yang akan dipiliha oleh masyarakat adat atau pendukunganya? Dari perbandingan K & I sebagaimana yang tersaji dalam beberapa matriks terdahulu, mana yang benar‐benar akan menguntungkan pihak masyarakat adat? Termasuk, kriteria dan indikator serta mekanisme mana yang akan diperjuangkan dalam RUU PPHMHA yang tengah p berproses? Menurut saya, pemberlakukan pemenuhan syarat K & I secara akumulatif jelas akan mengeklusi masyarakat‐masyarakat adat yang telah berubah itu ke dalam proses pengakuan dan perlindungan. Yang akan terakui dan terlindungi adalah kemuntitas‐komunitas adat yang telah mengalami perubahan yang tidak berarti, sebagaimana yang dapat kita dilihat apda apa yang sekarang dikategorikan oleh Pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil saja. Atas dasar pandangan bahwa perubahan yang dialami oleh komunitas masyarakat adat tidaklah semata‐mata akibat internal melainkan implikasi dari kebijakan dari negara (kolonial dan Nasional), maka diperlukan suatu pendekatan pengakuan dan perlindungan yang mengandung d semangatt afirmatif, sebagai fi tif b i upaya ‘bayar ‘b h t hutang’ atas ’ t kesalahan‐kesalahan k l h k l h negara di masa lalu. Kebijakan bersemangat afrmatif itulah yang ditempuh oleh UU Desa, dengan jalan memperlakukan K & I itu secara fakultatif cq. ada wilayah + salah satu dari 4 kriteria yang lain. A Agar proses penetapan t k b d keberadaan d desa adat d t ini i i tidak tid k terperangkap t k pada d kepentingan k ti penguasa (baca: eksekutuf) maka disepakati pula bahwa proses penetapan itu menggunakan proses legislasi daerah.
BEBERAPA KEMUNGKINAN GANJALAN PENERAPAN DESA ADAT KE DEPAN
Pasal‐pasal terkait Undang‐Undang Desa 6/2014
Pasal 14 Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Pasal 101 (2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Pasal 109 Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi. Pasal 116 (2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
Peraturan P t P Pemerintah i t h 43/2014
Pasall 28 P Ketentuan mengenai tata cara pengubahan status desa menjadi desa adat diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
Permendagri P d i 52/2014 52/2014 tentang Pedoman dan Pengakuan dan Perlundungan Masyarakat Hukum Adat (07/07/2014)
Pasal 2 P l2 Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Pasal 3 (1) Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota. (2) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: (a) Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua; (b) Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris; (c) Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai anggota; (d) Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan (e) Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum adat sebagai anggota (3) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Bupati/walikota.
Penetapan Desa Adat • Sebagaimana dapat dilihat pada tabel terdahulu, kelanjutan pengaturan tentang desa adat membutuhkan ‘Peraturan Daerah Propinsi tentang Pengaturan Desa Adat di Propinsi’ yang bersangkutan; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. • Belum lagi penugasan oleh UU itu dilaksanakan, alih‐alih membantu Pemerintah Propinsi melaksanakan fungsi, PP 43/2014 justru mengatur bahwa diperlukan Peraturan M t i dalam Menteri d l rangka k penataan t d desa adat d t itu. Padahal, UU it P d h l UU Desa sendiri tidak menugaskan apapun, bahkan juga tidak PP tentang Desa Adat. • Lebih L bih dari d i itu, belum it b l l hi Permen laghi P yang dimaksudkan di k dk oleh l h PP 43/2014 disusun, Kemndagri justru mengeluarkan Permendagri 52/2014 yang juga berurusan dengan ‘Pengakuan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Adat’.
Komentar atas Permendagri 52/2014 • Tujuan Permendagri ini sama sekali tidak jelas Æ Hak‐hak masyarakat adat seperti apa yang akan diakui dan terlindungi jika suatu masyarakat hukum adat sdh ditetapkan melalui mekanisme yang ditawarkan? • Syarat pengakuan k yang disebutkan d b k pada d Pasll 5 (2) saja ( ) tidak d k sama dengan apa yang ytelah ditetapkan oleh berbagai Putusan MK dan UU Desa. • Dikaitkan dengan UU Desa, posisi UU Desa posisi Permendagri ini juga tidak jelas. jelas Padahal, pengaturan lebih lanjut tentang desa adat telah jelas bahwa disusun menurut aturan legislasi yang ada, sebagaimana yang diatur oleh UU 11/2012 tentang pembentukan peraturan perundang‐ undangan. undangan • Sebab itu, daripada MENGACAUKAN tatanan peraturan perundang‐ undangan yang dibutuhkan dalam merealisasikan desa adat, lebih baik Kemendagri konsentrasi membantu Propinsi dan Kabupaten dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, sebagaimana yang diperintahkan pada UU Desa, Pasal 109, serta Pasal 14, Pasal 101 (2), dan Pasal 116 (2); serta sebagaimana diatur dalam PP 43/2014, pada Pasal 28 dan Pasal 32. • Tanpa komitmen Kemendagri yang tinggi, political will terkait desa adat ini tidak akan pernah terimplementasikan di tingkat lapangan.
SEKIAN & TERIMA & TERIMA KASIH