My Avilla by Ifa Avianty
RESENSI Judul buku : My Avilla Penulis : Ifa Avianty ISBN : 978-602-8277-49-5 Penerbit : Indiva Media Kreasi Ketebalan : 184 halaman Ukuran : 20 cm Harga buku : Rp 26.000 My Avilla : Kisah Para Pencari Cinta-Nya “Avilla”, panggilan istimewa yang mengistimewakan Margriet itu, menjadi tolak ukur tersendiri bagi Margriet untuk meneguhkan hati pada seorang Fajar, sosok yang mengajarkan bahwa keikhlasan adalah sejenis cinta yang membebaskan. Novel ini berisi dua kisah inspiratif milik Fajar dan Phil tentang pencarian Tuhan. Kisah Phil dan Fajar yang terpesona pada Margriet dengan keanggunan dan keimanan yang ia punya, menghadirkan konflik tersendiri pada masing-masing tokoh dalam memilih cinta dan iman. Semua kisah di dalamnya benar-benar menyentuh terutama kehadiran sosok Margriet yang memahamkan kepahaman tentang Tuhan pada Fajar (yang notabene half muslimhalf katolik). Bahwa betapa indahnya memiliki Tuhan. Asalkan menuju Tuhan, maka itu adalah jalan yang baik demi menyampaikan makna mencintai Tuhan bagi hidup. Juga betapa beruntungnya Phil, mengingat sebelumnya ia adalah atheis, seorang yang enggan membawa Tuhan dalam kesehariannya karena hanya takut terjebak dalam 'ritual abad pertengahan'. Novel ini cocok untuk remaja dan dewasa. Apapun agama anda, novel ini cocok untuk menambah 'benih-benih'
Novel ini cocok untuk remaja dan dewasa. Apapun agama anda, novel ini cocok untuk menambah 'benih-benih' kasih sayang anda kepada Tuhan. Bagi remaja penggemar teenlit, kisah drama cinta nan romantis antara Margriet, Fajar, Phil, dan Trudy dalam novel ini, dapat menjadi daya tarik tersendiri ditambah dengan seperangkat inspirasi yang akan 'mengayakan' wawasan anda tentang makna cinta. Desain sampul elegan dan menarik. Menggambarkan kota Jakarta dengan simbol monasnya di samping simbol negara Vatikan yang merupakan setting dari novel ini. Ketebalan dan ukuran novel, serta jenis huruf mendukung kenyamanan dalam membaca. “Tak ada gading yang tak retak”. Novel ini juga tak lepas dari ketidaksempurnaan. Sosok Margriet dan Princess Adda yang memahamkan pemikiran tentang Tuhan secara mendalam pada Fajar memiliki persamaan makna meskipun disajikan dengan redaksi yang berbeda. Hal tersebut terkesan diulang dan sedikit menjenuhkan. Meskipun terdapat kekurangan, kelebihan novel ini pastinya lebih mendominasi. Novel ini sangat dianjurkan untuk dibaca. Pada akhirnya, penulis akan memahamkan pembaca mengenai makna kebahagiaan, keikhlasan, dan ketulusan. So, tunggu apa lagi? Miliki novel ini segera!|Judul Buku : My Avilla Penulis : Ifa Avianty Penerbit :AFRA Publishing (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi) Tahun terbit : Februari 2012 Tebal : 184 halaman ISBN : 978-602-8277-49-5 Ukuran : 14 x 20 Cm Harga : Rp 26.000
“Sejak pertama bertemu di sekolah… saya… telah jatuh hati pada seorang gadis berjilbab, yang cerdas, bermata bintang, berhati bidadari… Margriet Avilla…” Satu hal, saya akan terus mecintaimu, menunggumu, dan mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan saya tentang Tuhan. (Fajar kepada Margriet) Kerja cinta, kadang suka tidak terduga. Datangnya darimana dan ditujukan untuk siapa, sungguh tidak bisa diraba. Ketika mata beradu dengan mata, maka kemudian hanya hati yang berbicara. Masalahnya adalah, bagaimana jika jatuh yang membuat cinta tersebut dialami oleh anak laki-laki yang baru beranjak dewasa? Dia bahkan baru kelas satu SMA. Mungkin saja, di umur yang sepantaran dengannya, banyak anak muda yang bahkan baru saja lepas dari bermanja-manja dengan ibunya. Masalahnya lagi, dia jatuh cinta perempuan yang jauh lebih tua. Empat tahun beda usianya dengan perempuan yang telah menggetarkan seluruh jiwa raga. Ini tentu tidak biasa dan agak sulit diterima logika. Biasanya, masa-masa selepas sekolah menengah pertama, muda dan mudi suka larak lirik sini dan sana. Masa muda yang penuh gelora. Kata orang, cinta monyet namanya. Namun cinta Fajar pada Margriet, Avilla-nya, adalah cinta yang berpijak atas cinta kepada Tuhan-nya. Bermula dari pencarian Fajar akan makna agama yang dianutnya dan Tuhan yang mesti dia cinta, maka Fajar merasa bahwa Margriet adalah gadis yang akan cocok untuknya, di masa yang akan dia lalui jauh di depan sana. Cinta Fajar pada Margriet adalah cinta dengan meleburnya konsep ego yang sempurna, sebagaimana konsep Ego yang dikemukakan oleh seorang pakar psikoanalisa- id, ego, dan super ego. Fajar memiliki ‘nafsu’ (id) cinta terhadap Avilla, dan tanpa malu-malu, tanpa pikir panjang, ‘nafsu’ tersebut diekspresikan oleh Fajar secara nyata. Mencintai seseorang yang akhirnya tak bisa kita miliki memang hanya akan membuat kita merasa menjadi pecundang yang bahkan mengangkat wajah pun tak sanggup (hal 85). Inilah sisi paling dasar yang dimiliki oleh manusia. Manusia memiliki ‘sisi buruk’ yang setiap saat akan menjerumuskannnya ke lubang yang bernama dosa. Tapi Fajar bukan hanya sekadar merasa sudah berdosa karena sudah mencinta, tubuh dan jiwanya bahkan sudah terbakar habis oleh cinta sehingga membuat hidupnya merana, membuatnya menjadi manusia yang semakin introvert, berdiam di dunia yang hanya ada dia dan Tuhannya saja. Beruntung Fajar masih memiliki ego dan super ego dalam dirinya. Bahwa meski Fajar tidak bisa menahan lajunya
Beruntung Fajar masih memiliki ego dan super ego dalam dirinya. Bahwa meski Fajar tidak bisa menahan lajunya cinta, dia sadar bahwa manusia hidup dengan banyak rambu, termasuk ‘rambu-rambu’ tentang bagaimana bergaul antara laki-laki dan perempuan. 'Rambu-rambu' ini berfungi sebagai kontrol. Muara dari kontrol tersebut adalah menikah. Inilah sesempurna-sempurnanya bentuk pelampiasan nafsu (id), selain perbincangan banyak tujuan lainnya dari pernikahan. Kegilaan asmara yang dirasakan Fajar adalah kegilaan yang sama seperti kegilaannya akan Tuhan. Fajar memiliki ketetapan dengan hatinya, hingga bertahun-tahun kemudian Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya. Fajar memang sakit karena perasaan cintanya, dia sungguh merana karena harus membawa cinta tersebut seumur hidupnya, dia pun ambruk karena pada akhirnya semua kesakitan menyerangnya dari berbagai penjuru mata angin. Tapi Fajar yang masih percaya adanya kasih Tuhan, masih diberi kesempatan membuka mata dan menemukan cahaya, seketika, di depan mata. Semua menjadi indah pada waktunya. Sungguh sebuah kisah cinta yang mengharu biru dan membuat lena. Lain Fajar, lain pula Phil, laki-laki bule asal Australia. Meski dua laki-laki ini sama-sama mengalami yang namanya falling in love at first sight, sama-sama terbakar rasa cinta pada Margriet, namun Phil lebih beruntung. Dia mendapatkan cintanya tak pakai lama, tak pakai berdarah-darah jiwa sebagaimana yang dialami Fajar. Phil kembali ke ‘rumah cinta’ yang abadi yang juga tak pakai lama, yaitu menemui Tuhan sang kekasih sejati. Sungguh hidup terasa amat singkat bagi Phil, tapi dia seperti hidup ribuan tahun lamanya. Dalam masa yang begitu singkat dia bisa merengkuh dua cinta sekaligus. Dengan kondisi sesempurna begini, siapakah yang tidak akan bahagia? Maka, di sinilah Margriet berdiri- di antara dua cinta yang sama kuatnya. Tuhan memang begitu royalnya mencurahkan segenap kasih untuk Margriet. Dua pria yang sama-sama mencintainya dengan segenap jiwa namun dengan cara dan nasib yang berbeda, adalah dua pria yang sama-sama beruntung karena sempat menautkan cincin pernikahan di jari Margriet. Maka membaca ‘My Avilla’ karya Ifa Avianty ini, adalah membaca perjalanan anak manusia dalam mencari jati diri, yang kesemuanya bermuara hanya pada satu cinta- Allah Sang Pemilik Cinta. Dengan alur maju mundur, konflik tertata dengan apik. Tokoh utamanya ada empat orang, namun dengan penggunaan point of view orang pertama untuk bagian penceritaan masing-masing tokoh, ditambah dengan adanya ‘pelabelan’ nama tokoh setiap kali berpindah ke tokoh lain, sangat memudahkan pembaca untuk tak berpikir semacam ‘ini siapa, ya?’. Tapi, sebenarnya ini pakem lama, pakem cerpen-cerpen ala majalah Annida ketika memakai point of view orang pertama untuk semua tokohnya. Tidak mengherankan, bagaimanapun Ifa Avianty memang ‘tumbuh dan berkembang’ dari situ. Namu sisi tidak eloknya, hal ini sungguh mengkebiri imajinasi saya sebagai pembaca yang menyukai tantangan dalam labirin kata. Ketika masuk ke dalam labirin kata, secara pribadi saya lebih menyukai posisi di mana saya yang menemukan sendiri banyak kunci sebagai ‘jalan keluar’, dan bukan kunci dari ‘sang sutradara’ pemilik cerita. *** Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya membaca novel-novel Ifa Avianty. Namun saya tentu tidak bisa lupa bagaimana kisah-kisah yang disajikan Ifa Avianty. Kisah manis nan romantis yang kadang suka bikin saya menangis, itu juga kalau ending-nya berakhir tragis. Salah satu novelnya yang sukses membuat saya mengalami hal lebay semacam itu adalah novel yang berjudul ‘Strawberry Shortcake’. Selipan lirik lagu-lagu lama bertebaran hampir di sepanjang halaman buku. Celetukan sebuah atau beberapa judul film (seringnya film lawas) sesekali muncul saat percakapan atau ketika seorang tokoh menilai tokoh lainnya. Si A bertemu si B dan berinteraksi, sebagai si ‘aku’, si A melihat si B mirip Orlando Bloom karena rambut ikal mereka sama. Atau, ketika melihat seseorang tersedak di meja makan dengan gaya yang elegan (saya sambil bertanya ‘ada ya tersedak dengan gaya elegan’), misalnya, si tokoh utama mulai menghubungkannya dengan salah satu adgean film yang diperankan oleh Brad Pitt di mana dia tersedak di meja makan (ini juga misalnya, karena saya tidak tahu apa adegan ini ada atau tidak, hahaa…). Ini benar-benar gaya Ifa Avianty banget dalam menulis fiksi roman. Tidak salah karena Ifa (katanya, di biodata :D) memang suka mendengarkan lagu dan menonton film. Tentulah seorang Ifa memiliki banyak referensi untuk mengisi embel-embel pemanis cerita seperti ini. Semua tokoh digambarkan begitu sempurna. Anak orang kaya, ganteng-cantik, pintar, dikagumi banyak orang, memiliki pekerjaan sebagai dosen/model/pengusaha. Padahal, sungguhlah hidup tidak melulu menyajikan fakta
Semua tokoh digambarkan begitu sempurna. Anak orang kaya, ganteng-cantik, pintar, dikagumi banyak orang, memiliki pekerjaan sebagai dosen/model/pengusaha. Padahal, sungguhlah hidup tidak melulu menyajikan fakta yang sesempurna itu. Untungya, kisah mereka diimbangi dengan adanya tokoh bernama Trudy, adik Margriet. Trudy, perempuan yang digambarkan memiliki kesempurnaan fisik yang lebih dari Margriet, namun sesungguhnya hidupnya tidak pernah benar-benar sempurna. Bahwa kehilangan orang yang dicintai dan secara tidak sengaja menghilangkan nyawa orang yang dicintai Margriet, adalah kenyataan paling menyakitkan dalam hidupnya. Bagian ‘ketidaksempurnaan’ hidup Trudy, menambah nilai lebih novel ini. Jika pada ketiga tokoh lainnya sedikit tercium ‘aroma sinetronistik’, maka kehadiran Trudy sedikit mengurangi ‘celah’ tersebut. Dia cantik tapi tidak berhasil memikat orang yang dia pikat. Dia bahagia tapi di sudut hati terdalam dia merasa tidak bahagia. Dia antagonis di dalam tapi protagonis di luar. Pada Trudy, kisah ini dimula. Pada Trudy pula, akhir semuanya. Menjadikan kota suci Vatikan sebagai salah satu setting, semakin memperkuat kesan relijiusitas novel ini. Sayangnya setting Vatikan terasa hanya sebagai tempelan saja. Seandainya detail Vatikan di-eksplor lebih dalam, misalnya melalui kegiatan-kegiatan Fajar saat berada di sana, interaksi Fajar dengan orang-orang di sana yang tak hanya orang Indonesia saja, tentu ini akan lebih menarik. Namun, ada yang agak janggal di sini. Kejanggalan ini sangat menganggu saya sejak pertengahan buku sampai menjelang ending. Ini tentang kronologis atau alur waktu. Jadi, ada flashback cerita ke tahun 1992, saat Fajar kelas 1 SMA dan Margriet di semester 4 kuliahnya. Fajar tamat sekolah tahun 1994 dan di saat yang sama Margriet lulus kuliah. Di tahun yang sama juga, Fajar melanjutkan kuliah ke Pontificial Gregorian University, Roma, sebuah universitas orde Jesuit tertua. Kemudian pada bab ‘Mencari dan Berusaha Menemukan’ (hal 83), waktu berpindah ke saat tujuh tahun kemudian (2001). Fajar masih berada di Vatikan. Di halaman 84 ada kalimat- ‘Beberapa waktu lalu, Mamaku sempat bercerita sulung keluarga Hermawan Hasan akan menikah dengan teman sekampusnya.’ Memang tidak jelas disebutkan kapan waktunya sebelum saat itu. Tapi baiklah, kita ambil jarak dekat saja, mungkin sekitar 1-2 tahun lalu? Berarti tahun 2000 atau 1999. Tapi ternyata saya salah menduga. Karena pada halaman selanjutnya, saat flashback lagi ke tahun 2005 (itu artinya baru setahun Fajar tinggal di Vatikan), Fajar sempat kembali ke Indonesia karena Papanya meninggal dunia. Fajar juga sempat bertemu dengan Margriet. Masih dalam waktu yang sama ketika Papa Fajar meninggal, di halaman 89 tertulis bahwa Margriet akan menikah tiga bulan kemudian, yaitu tiga bulan setelah Papa Fajar meninggal. Berarti, jika dihitung dari tahun 2001, itu kan artinya jauuuuuh sebelum tahun itu, dan bukannya ‘beberapa waktu lalu’ seperti yang dituliskan. ‘Beberapa waktu lalu’ berbeda artinya dengan ‘beberapa tahun lalu’. Ini adalah fakta yang bertolak belakang. Saya kasih contoh. Misalnya 8-9 bulan lalu saya bertemu seorang teman, dan saya menyebutnya ‘beberapa waktu lalu’ ketika saya menceritakan ulang pertemuan saya dengan teman tersebut di sebuah arisan keluarga. Ini kan cuma arisan, tidak penting untuk diketahui tanggal dan jam yang tepat. Inti yang saya mau bilang adalah, ‘beberapa waktu lalu’ mengacu pada waktu yang baru berlalu, bukan waktu yang berlalu bertahun-tahun lalu. Apakah saya benar? Masih soal rentang waktu Margriet menikah (saya sangat terganggu soal ini, makanya membahasnya jadi sepanjang ini, hahaa…). Di halaman berikutnya, ketika sudut pandang berpindah ke tokoh Margriet, diceritakan bahwa begitu selesai kuliah S1, Margriet bekerja di sebuah universitas internasional hingga dia lulus S2. Berarti tahun 2001, Margriet sudah lulus S2. Di situ ditulis ‘Selama itu, tak yang berani menyinggung-nyinggung status single-ku’. Artinya pada waktu itu Margriet belum menikah. Fakta ini bertentangan dengan dua fakta yang dituliskan sebelumnya- (1) ‘Margriet akan menikah tiga bulan kemudian’ (bulan entah apa di tahun 1995 atau tahun 1996) dan (2) ‘Beberapa waktu lalu, Mamaku sempat bercerita sulung keluarga Hermawan Hasan akan menikah dengan..’ Itu artinya bahwa ‘menikah tiga bulan kemudian’ yang dinyatakan di tahun 2005 dan ‘menikah beberapa waktu lalu’ yang dinyatakan di tahun 2001, adalah salah. Margriet belum menikah di tahun 2001, sampai kemudian Margriet bertemu dengan ‘Bugil’ tampan, Philip Fraser, dosen tamu dari Australia. Hal ini diperkuat lagi dengan kenyataan ketika Margriet sudah mengenal Phil, Fajar yang ‘menyamar’ sebagai Joe, pernah mengirim email yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan kepada Margriet yang ‘menyamar’ sebagai Adda, admin blog ‘TheGodSeeker’. Saat email pertama yang dikirim Fajar untuk Margriet, Margriet belum menikah denga Phil. Rumit? Saya juga merasakan hal yang sama, hahaa… Tapi begini, seandainya alur maju mundur tersebut tidak dengan mencantumkan tahun, maka pembaca akan mereka-reka sendiri. Tentu saja, reka-reka yang tetap atas dasar logika cerita. Ketika menyajikan data berupa angka ke dalam fiksi, penulis harus jeli betul, tidak boleh lengah
dengan mencantumkan tahun, maka pembaca akan mereka-reka sendiri. Tentu saja, reka-reka yang tetap atas dasar logika cerita. Ketika menyajikan data berupa angka ke dalam fiksi, penulis harus jeli betul, tidak boleh lengah terhadap perlunya keakuratan fakta untuk menunjang logika. *** Well, sebagai romance novel based on the principle of religious story, pesan moral tentang konsep ber-Tuhan dan ke-Tuhan-an, berhamburan hampir di sepanjang halaman novel. Menyelusup ke bagian terdalam bilik hati tanpa kesan menggurui. Melalui tokoh Margriet si ‘manusia suci’, yang Fajar memanggilnya ‘My Angel’, dua manusia belajar mencintai Tuhannya. Sayang, ‘pesan baik’ tersebut tidak sempat menyentuh dinding kalbu adik kandungya, Trudy. Beragama selalu tidak mudah bagi orang yang kebanyakan mikir seperti kita, Phil. Bahkan, juga masih dirasa sulit bagi orang yang otaknya pendek (hal 105). Margriet sendiri, meski begitu rapat menutup tubuhnya dengan jilbab besar serta sangat menjaga pandangan, dia bukanlah benar-benar malaikat, seperti sebutan Fajar. Dia tetap manusia biasa. Lihatlah bagaimana ‘genitnya’ Margriet ketika bergumam ‘…lumayan ganteng juga..’ saat pertama sekali bertemu Fajar di teras rumahnya, atau ketika Margriet pernah membatin ‘Cakep-cakep menyebalkan!’ setelah melihat ulah Phil yang ‘menembaknya’ di Cafetaria kampus. Katanya ‘menyebalkan’, tapi kok ada ‘cakep’nya. Ini sama dengan orang yang bilang benci tapi sesungguhnya dia cinta. Margriet itu terlalu polos soal urusan cinta atau bagaimana, ya? Saat Phil bertugas di luar kota dan mengatakan ada sesosok perempuan yang membuatnya tak bisa tidur, kenapa Margriet malah berpikir tentang penampakan, dan bukannya berpikir tentang perempuan lain, atau… itu adalah dirinya? Bagian ini merusak kesan romantis antara Phil dan Margriet, selain bagian ketika Margriet menyebut Phil dengan sebutan ‘Bugil’, Bule Gila. Saya belum pernah menemukan akronim ‘segila’ ini, hahaa… Sebutan ‘bugil’ itu, lho… Apakah penulis sedang kehilangan ide untuk sebuah guyonan atau memang selera humornya yang kurang? *** I’m in love at first sight when I saw you dressed in your classy veil. Can’t help falling in love with you (hal 97). Di dunia ini, kadang ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika, termasuk soal datangnya perasaan cinta terhadap seseorang. Namun dua pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu keduanya ‘melamar’ Margriet untuk menjadi istri mereka, ini adalah fakta yang menambah deretan ‘kesempurnaan’ yang dimiliki Margriet, sekaligus menambah deretan ‘ketidaksempurnaan’ buku ini. Di luar kisah drama, tentu ini agak jarang terjadi, jika tidak bisa saya katakan tidak pernah. Namun, yang jarang inipun, masih harus melalui apa yang disebut dengan ‘proses jatuh cinta’. Karena jatuh cinta tidak terjadi dengan tiba-tiba. Kerja cinta adalah kerja reaksi kimia cinta. Ketika pertama kali kau mengenal seseorang, lalu sekian lama menghabiskan waktu dengannya, bagian otak akan mengeluarkan zat yang disebut Dopamin. Dopamin ini akan menggerakkan seseorang berpindah dari posisi simpati ke posisi ‘crazy in love’. Biarpun namanya ‘crazy’, tapi sesungguhnya yang terjadi di sini adalah kau merasa happy. Inilah yang disebut ‘jatuh cinta’. Kerja selanjutnya digerakkan oleh zat bernama Serotonin. Pada posisi ini, seseorang mulai terobsesi dengan orang yang dia jatuhcintai. Lalu ada zat Oxytocin yang akan membuat seseorang memilih jalan untuk memiliki orang yang dijatucintai. Begitulah kerja cinta. Kerja zat-zat tubuh tersebut, bukanlah kerja sadar sebagaimana jika kamu ingin makan maka otakmu akan memerintah tangan untuk mengambil piring dan menyendokkan nasi. Inilah bincang-bincang cinta, dari seseorang (saya maksdunya :D) yang bukan pakar cinta. Secara keseluruhan, buku ini sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mengenal cinta. Cinta yang tak melulu tentang bagaimana rumitnya hubungan dua anak manusia, lebih dari itu, buku ini juga menunjukkan bagaimana besarnya cinta seorang kakak terhadap adiknya, sebaliknya juga adik terhadap kakaknya, juga cinta seorang oma terhadap cucunya. Di atas semua itu, ada cinta yang lebih tinggi dan hakiki, yaitu cinta terhadap Tuhan. Selamat membaca! |Gaya tutur mbak ifa di novel ini lebih serius dari novel2 mbak ifa yang pernah saya baca. Sedikit mengingatkan pada gaya tutur novel2 islami pada era keemasannya dulu. Sarat renungan dan pesan2 islami yang menyebar dalam narasi dan dialog, sehingga saya merasa tokoh2 di novel ini seperti fajar, trudy dan margriet, karakternya
pada gaya tutur novel2 islami pada era keemasannya dulu. Sarat renungan dan pesan2 islami yang menyebar dalam narasi dan dialog, sehingga saya merasa tokoh2 di novel ini seperti fajar, trudy dan margriet, karakternya lebih dewasa dari usianya. Saya pernah membaca tentang kausalitas antara cerita, ruang dan waktu didalam sebuah fiksi. Untuk novel ini, sepertinya unsur penceritaannya yang paling menonjol, sementara latar ruang dan waktu terasa minim, sehingga kalo nggak ada dialog, novel ini nuansanya jadi mirip diary. Untuk karakter2nya, saya mencoba melewatkan siapa yang sedang bertutur, ternyata clueless, cara mereka bercerita bergantian dengan pov1 ternyata mirip2 saja:-) Finally, sebagai pemenang 3 novel inspiratif, yang tentunya harus mengutamakan sisi inspirasinya ketimbang unsur2 intrinsik, novel ini sudah lebih dari layak, apalagi, bukan hal mudah untuk mengangkat pergulatan batin pencarian Tuhan dengan latar perbedaan keyakinan. Namun mbak ifa berhasil mengemasnya dengan penuturan yang mudah dipahami dan tetap mengedepankan toleransi dalam perbedaan beragama.|RESENSI Judul Buku : My Avilla Penulis : Ifa Avianty Penerbit : Indiva Media Kreasi Tebal Buku : 184 Halaman Ukuran Buku : 20 cm ISBN : 978-602-8277-49-5 Harga Buku : Rp26.000,Avilla, Cinta yang Menghantarkan kepada “Cinta” Avilla,,, Margriet Avilla Hasan, sosok wanita cerdas dan sholihah itu adalah wanita pertama yang mampu menggetarkan hati lelaki manapun dengan keanggunan dan kehalusan budi pekertinya, tak terkecuali Fajar, seorang pemuda jenius kesepian yang terbelit persoalan keyakinan, idola para gadis di sekolah, termasuk Trudy Carissa Hasan, adik kandung Margriet yang dikaguminya. Margriet dan Trudy, dua kakak beradik yang sama-sama cantik, namun kecantikan mereka dibalut dengan kepribadian yang berbeda antara keduanya . Sang kakak, cantik dengan segala kelebihan yang dimiliknya, tak hanya berupa kecantikan wajah dengan mata gemintang yang senantiasa bersinar, tetapi juga sholihah, lembut, anggun, memiliki segudang prestasi akademik, selalu menjadi Crown Princess dalam keluarga. Adapun Trudy, berwajah cantik pula, namun selalu merasa kalah dari sang kakak, sehingga lebih memilih menggeluti bidang karir yang tak diminati kakaknya, seperti fotografi, dunia modelling, catwalk, dan selalu sibuk dalam hingar bingar dunia remajanya dan tak terlalu peduli dengan akademik. Trudy pun merasa bahwa semua perhatian orang tua dan omanya hanya tertuju kepada Margriet, meski dia dapat merasakan kasih sayang Margriet padanya sangat besar dan tulus kepada dirinya. Trudy, berawal dari taruhan dan selalu berambisi menjadi the winner, merasa tertantang untuk menaklukan Fajar, teman sekelasnya yang tampan dan cerdas, namun terkesan pendiam dan terlalu pemalu. Fajar, yang dengan berat hati mendekati Trudy karena sebuah “tugas keluarga” dari sang papa, ternyata memiliki alasan lain untuk akhirnya melaksanakan tugas itu, yaitu kekaguman yang sangat kepada anak sulung keluarga Hasan Hermawan kolega sang papa, Margriet Avilla Hasan, atau yang lebih senang dipanggilnya dengan nama Avilla, My Avilla. Ketertarikannya yang tak hanya karena segudang kelebihan yang dimiliki Margriet, tapi karena Margriet dapat menjawab dan menuntun kebingungannya dalam pencarian dan keinginannya untuk “melayani” Tuhan di tengah kehidupan keluarga Fajar yang menganut dua keyakianan berbeda. Margriet, yang kemudian menyadari dirinya juga jatuh cinta kepada Fajar, cinta pertama, namun tak mungkin diwujudkan tak hanya karena faktor usia yang berbeda, tapi juga karena tak mampu melukai Trudy dan terlebih karena dirinya seorang aktivis muslimah yang tak pantas bermain-main dengan cinta. Cinta segitiga, mendatangkan luka dan kekecewaan hingga tahun berlalu melipat usia mereka. Hingga pada akhirnya Margriet menemukan cinta sejati yang terwujud dalam pernikahannya dengan Phil, seorang atheis yang kemudian menjadi muallaf dalam pencariannya menuju Tuhan, Allah Yang Esa. Trudy yang masih kecewa, Fajar yang juga telah mengasingkan diri jauh ke Roma masih dengan kebingungannya. Namun, kebahagiaan tak menyapa lama dalam pernikahan Margriet dan Phil karena takdir yang disebut “maut” memisahkan raga mereka. Masih dalam kesendirian, tahun berlalu hingga Fajar melamar Margriet untuk menjadi istri, justru ketika Fajar dalam keadaan cacat, lalu ditinggalkan begitu saja oleh Trudy bersama rencana pernikahan mereka yang hancur karena penyakit yang diderita Fajar.
Masih dalam kesendirian, tahun berlalu hingga Fajar melamar Margriet untuk menjadi istri, justru ketika Fajar dalam keadaan cacat, lalu ditinggalkan begitu saja oleh Trudy bersama rencana pernikahan mereka yang hancur karena penyakit yang diderita Fajar. ***** My Avilla, sebuah novel yang mengusung tema pencerahan bagi anak manusia yang mencari kebenaran sejati, dibalut dengan kisah yang begitu romantis. Menghadirkan para tokoh utama yang sebagian karakternya, menurut saya memiliki sifat introvert dan perfeksionis (Margriet dan Fajar), ekstrovert (Trudy), dan yang berada diantara keduanya yaitu Phil. Karakter yang saling mengimbangi dan mengisi dalam cerita. Cara penceritaannya pun berbeda seperti novel kebanyakan. Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama (aku), dengan penuturan dari sudut pandang masing-masing tokoh utama dan beberapa tokoh figurannya. Jadi, setiap bab dalam novel ini, berisi penuturan dari setiap tokoh mengenai perasaan atau kejadian yang mereka alami dan rasakan, yang semuanya menyatu dan terangkum menjadi suatu cerita yang utuh tanpa adanya kesan tumpang tindih dari cerita masing-masing tokoh. Kisah dan penuturan yang terangkum dalam plot yang begitu apik dan menarik, membuat ingin dan ingin terus membaca untuk mengetahui kelanjutan kisahnya. Penggambaran watak para tokoh pun menarik, kadang saya berpikir, apa iya ada wanita sesabar tokoh Margriet seperti dalam novel ini, yang selalu bersikap sangat baik dan lembut, bahkan ketika musibah yang menimpa kehidupannya juga disebabkan sang adik sendiri. Seperti tokoh Phil juga, digambarkan sebagai pria nan amat romantis. Begitu pula dengan tokoh Fajar dan Trudy, yang meski digambarkan dengan masalah dan watak masing-masing. Namun, penggambaran sebagian watak para tokoh menurut saya kadang cenderung teramat lembut dan romantis. Pada bab-bab pertama membaca novel ini, saya mengalami “sedikit” rasa bosan karena cerita yang terasa agak datar dan kadang membuat kening berkerut karena beberapa penggunanaan bahasa asing, atau kadang saya melompat dan melewati bagian syair-syair atau liril-lirik lagu berbahasa asing yang menurut saya terlalu banyak dalam novel ini. Namun, emosi saya mulai “hidup” ketika di pertengahan cerita babak kemunculan tokoh Phil yang agak jenaka mulai ditampilkan. Emosi saya semakin terkuras dan berakhir dengan air mata yang menitik ketika sang tokoh jenaka dan romantis itu pada akhirnya “pergi” dengan cara yang tragis di tengah kebahagiaan yang sedang hangat-hangatnya dalam rumah tangga. Sejenak mencermati penulisan di beberapa halaman, saya menemukan ketidakkonsistenan dalam penggunaan kata ganti aku dan saya di akhir dialog. Dari awal hingga akhir dalam novel ini menggunakan kata ganti aku. Hanya pada akhir dialog berikut yang saya tebalkan saya menemukan kekeliruannya, yaitu , “Oh, roti Tan Ek Tjoan, ya? Yang rasa mocca enak bener tuh,” sambung saya (awal halaman 21) dan “Wa’alaikumsalam,” saya menjawab ...... (akhir halaman 39). Membandingkan dengan novel-novel lain karya Mbak Ifa Avianty, novel My Avilla ini merupakan novel yang agak “berat” dengan tema berbeda, yaitu pencerahan. Novel yang bagus untuk dibaca dan direnungi, terlebih untuk kita para insan yang seringkali khilaf dan lupa pada Rabb Yang Esa. Sangat bagus juga dibaca oleh para mereka yang mungkin mengalami masalah yang sama dengan beberapa tokoh, semisal Fajar dan Phil pada novel ini, dalam mencari kebenaran tentang Tuhan. Membaca novel My Avilla ini bisa membuat kening berkerut, pipi merona karena kosah romantisnya, tersenyum, terharu bahkan menitikkan air mata. Sangat layak dibaca dan menambah koleksi buku bagi kita pecinta sastra tanah air. Sekian resensi saya, semoga bermanfaat. Selamat membaca dan semoga mampu mengambil hikmah positif dari setiap apa yang kita baca. ^_^ |KISAH CINTA PARA PENCARI TUHAN Judul Buku: My Avilla Penulis : Ifa Avianty Penerbit: Afra Publishing (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi) Terbit : Cetakan Pertama, Februari 2012 Ketebalan: 184 halaman ISBN:978-602-8277-49-5 Harga Buku: Rp. 26.000,00 Novel tipis ini secara tak sengaja saya temukan di antara deretan novel-novel di toko buku SAB (Social Agency Baru) cabang Godean Yogyakarta. Karena judulnya yang menarik dan membuat saya penasaran akan arti kata ‘Avilla’, ditambah lagi karena saya tahu bahwa novel ini termasuk yang dilombakan dalam penulisan resensi buku Indiva, maka saya putuskan untuk membeli buku karya Ifa Avianty ini. Sebenarnya sudah cukup lama saya
‘Avilla’, ditambah lagi karena saya tahu bahwa novel ini termasuk yang dilombakan dalam penulisan resensi buku Indiva, maka saya putuskan untuk membeli buku karya Ifa Avianty ini. Sebenarnya sudah cukup lama saya mengenal karya-karya Ifa ini lewat cerpen-cerpennya di berbagai majalah islami seperti Ummi dan Annida. Namun karyanya yang berupa novel baru kali ini saya baca. Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta segitiga antara kakak beradik, Margriet dan Trudy, dengan Fajar, kawan sekelas Trudy di SMA. Namun begitu, jangan dulu mengira ini kisah cinta picisan yang melanda kebanyakan remaja. Kisah cinta di My Avilla ini melibatkan pribadi-pribadi yang sedang mencari jalan menuju Tuhan. Jalinan cerita di dalamnya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di pikiran para tokohnya, seperti perlukah memeluk sebuah agama untuk mengenal Tuhan? Apakah dalam beragama kita cukup mendasarkan pemahamannya hanya pada dogma-dogma agama yang dianut? My Avilla dibuka dengan prolog dari sudut pandang dua tokoh perempuan, Trudy dan Margriet, setelah tahun demi tahun melipat usia (meminjam sub judul pada buku ini :)). Kemudian cerita mengalir dengan pengenalan karakter tiga tokoh utamanya, masa-masa remaja mereka, sampai akhirnya ke masa dewasa dan kehidupan rumah tangga tokoh-tokohnya. Margriet Avilla Hasan dan Trudy Carissa Hasan adalah kakak beradik yang masih mempunyai garis keturunan Belanda dari oma mereka. Terpaut usia 4 tahun, perangai mereka sungguh berbeda satu sama lain. Margriet, sang kakak, adalah pribadi yang lembut, baik hati, cerdas, serius, dan religius. Sedangkan Trudy adalah gadis populer yang karena kekagumannya pada sang kakak menjadikan ia merasa iri dan tersaingi dalam banyak hal. Baginya, hidup adalah kompetisi yang harus dimenangkannya. Dengan pesonanya itu, ia selalu berhasil menggaet cowokcowok yang disukainya. Ketika mendapati di kelasnya ternyata ada seorang cowok ganteng yang memiliki sifat mirip dengan kakaknya, ia pun tertantang untuk mendapatkannya. Cowok itu adalah Fajar Lintang Bagaskara. Fajar adalah sosok yang pendiam, pemalu, serius, dan punya kecintaan sangat kepada Tuhan. Latar belakang keyakinan orangtuanya yang berbeda –mamanya Katholik dan papanya muslim– menjadikan ia bimbang memilih jalan mana yang harus ia pilih untuk melayani Tuhan. Meski di KTP tertera agamanya muslim dan menjalankan sholat, tapi hatinya selalu merinding saat mendengar lagu-lagu Natal. Fajar yang saat itu masih duduk di kelas 1 SMA menolak cinta Trudy dan malahan jatuh cinta pada Margriet yang telah kuliah. Pesona Margriet yang cerdas, berjilbab lebar, dan berhati bidadari membuat Fajar berani mengungkapkan isi hatinya pada Margriet, bahkan ia memiliki panggilan istimewa untuknya: ‘My Avilla’. Margriet pun menjadi shock saat ditembak oleh Fajar, namun perlahan-lahan merindukan sosoknya justru di saat Fajar menghindarinya. Beberapa tahun kemudian –saat Fajar meneruskan kuliah di Roma dan Margriet telah menjadi dosen dan belum menikah– muncul sosok Philip Fraser, si bule gila, rekan kerja Margriet di Universitas Indonesia Internasional (UINI) Jakarta. Berawal dari jatuh cinta pada pandang pertama dan ingin menikahi Margriet, ia pun serius mempelajari Islam. Phil, yang sebelumnya seorang agnostic –percaya keberadaan Tuhan tapi tidak menganut satu agama tertentu– berganti keyakinan menjadi seorang muslim yang taat. Akankah Margriet menerima lamaran Phil, ataukah hatinya masih saja mengharap Fajar kembali? Gaya penceritaan novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian antar tokohnya. Hal ini menjadikan pembaca serasa lebur ikut merasakan apa yang dirasakan setiap tokohnya. Saat saya membaca cerita Margriet, serasa sayalah yang (hanya bisa) menyimpan rasa ketertarikan pada Anies –sang ketua rohis kampus–seakan sayalah yang shock karena ditembak oleh Fajar yang usianya di bawah saya- serasa hati sayalah yang patah saat diminta oleh Fajar untuk melupakannya. Saat membaca kisah Trudy pun, saya bisa memahami mengapa ia selalu dilanda rasa sibling rivalry yang kuat. Dan hal ini memberikan pelajaran tersendiri bagi saya sebagai ibu agar jangan sekali-kali membanding-bandingkan anak-anak satu sama lain. Siapa sih yang mau dibanding-bandingkan, meski dengan saudara kandung sekalipun? Gaya penceritaan yang bergantian seperti ini sebenarnya mengandung resiko, yaitu apabila penulis terlupa dengan menggunakan sudut pandang orang yang tidak sedang diceritakan. Tetapi dalam My Avilla, hal itu tidak saya temukan. Pergantian tokohnya juga terasa smooth.
Meski pemilihan tema buku ini tergolong berat dan serius, namun penulis berhasil mengemas novel ini dengan ringan dan renyah. Ciri khas seorang Iva Avianty –yang bergaya soft dan feminine– tetap melekat pada novel ini. Diskusi-diskusi tentang pencarian Tuhan mengalir kritis dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Seperti yang diakui oleh Iva Avianty di lembar pengantar novel ini, bahwa ia bukan seorang ahli ilmu perbandingan agama, jadi jangan berharap akan menemui banyak kajian ilmiah yang membuat kening berkerut. Penulis hanya menuliskan sebagian pengalaman batinnya sendiri yang agaknya seperti yang tercantum dalam surat Fajar kepada Margriet: Saya tahu bahwa jika ada pertanyaan yang tak terjawab bukan berarti agamanya yang nggak logis. Tapi, itu mungkin saja ilmu kita yang belum nyampai ke sana. Atau logika Tuhan dan ketuhanan selalu jauh lebih tinggi dari jangkauan kemanusiaan kita. Dalam persepsi saya, Tuhan tak bisa disamakan dengan kita dalam hal apapun, juga dalam logika. Tapi, bukan jawaban dogmatis yang saya mau (hal 47-48). Gaya penulisan yang ringan dan renyah ini tidak berarti mengabaikan hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran. Banyak kalimat/quotes yang bagi saya sangat berkesan, tercecer sejak dari halaman awal sampai akhir. Diantaranya adalah: 1. …cinta dan keikhlasan harusnya duduk berdampingan dan bukannya saling meniadakan (hal 15). 2. …keikhlasan adalah sejenis cinta yang membebaskan. Membiarkan cinta mencari bentuknya dalam bentuk kebaikan yang indah. Filosofis dan dalam (hal 15). 3. Keimanan nggak bisa ditukar semudah menukar pakaian hanya karena kita merasa nggak cocok. Keimanan adalah sebuah konsekuensi logis dunia dan akhirat yang kita tidak bisa mengambil sebagiannya dan membuang sebagian yang lain (hal 54). 4. …dengan berpikir, kita akan mudah menemukan jalan menuju-Nya (hal 131). 5. …kebahagiaan itu sesungguhnya sederhana. Dia ada di dalam hati yang bersyukur, dan ketulusan mencintai serta memaafkan (hal 182). Secara diksi, novel ini banyak menggunakan bahasa campuran (code-mixing) antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meskipun demikian, catatan kaki untuk menjelaskan terjemahannya tidak diperlukan karena kata-kata dalam bahasa Inggris tersebut merupakan diksi sehari-hari yang mudah dimengerti. Adanya catatan kaki sepertinya justru akan mengganggu tampilan bagian buku secara keseluruhan karena saking banyaknya kata/kalimat yang diterjemahkan. Novel ini juga terasa ‘nge-pop’ oleh karena di beberapa tempat dicantumkan cuplikan teks lagu, dari nasyid, lagu lama Indonesia, lagu barat, bahkan kidung Natal! (Saya hanya mengenali 2 lagu, lagunya Snada dan lagu ‘jadul’ Indonesia yang dinyanyikan oleh Nicky Astria :)). Teks lagu Natal yang menghabiskan 2 halaman lebih sedikit inilah yang membuat saya cukup terkejut dan heran karena penerbit Indiva yang selama ini konsisten dengan bukubuku Islami, ternyata tidak mengeditnya. Setahu saya, lagu-lagu gereja adalah bagian dari ibadah orang Nasrani, cara mereka mengagungkan Tuhannya. Mungkin penulis ingin lebih dalam menggambarkan kebimbangan Fajar yang begitu tergugah jiwanya mendengar lagu-lagu Natal yang sejak kecil telah akrab di telinganya. Berkaitan dengan penokohan Fajar, saya merasa sedikit janggal karena Fajar yang digambarkan memiliki karakter pemalu, pendiam, dan canggung ini, punya profesi sampingan sebagai penyiar radio semasa ia SMA. Bukankah seorang penyiar radio biasanya adalah orang-orang yang supel dan tidak pemalu? Membaca novel ini, ritme cerita terasa kurang stabil. Pada bagian awal sampai tengah novel, ritme masih terasa stabil (baca: pelan). Tetapi pada bagian akhir, yaitu setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Phil, ritme cerita terasa cepat sekali. Seakan-akan penulis tergesa-gesa untuk segera menyudahinya. Berseting di Jakarta dan Roma, kedua tempat tersebut tidak begitu banyak digambarkan di dalam buku ini. Padahal dengan cover buku yang menampilkan lukisan gedung-gedung di Roma dan Tugu Monas di Jakarta, tentunya para pembaca mengira akan ada deskripsi yang menarik dari kedua seting tersebut. Namun secara keseluruhan, saya sangat menyukai desain covernya yang bernuansa coklat kekuningan dengan siluet wajah orang dari samping. Sangat menarik! Akhirnya, novel yang berhasil memenangi juara III dalam Lomba Penulisan Novel Inspiratif yang diadakan oleh Penerbit Indiva ini very recommended bagi siapa saja. Bagi yang muda –yang biasanya tengah bergejolak dalam
Akhirnya, novel yang berhasil memenangi juara III dalam Lomba Penulisan Novel Inspiratif yang diadakan oleh Penerbit Indiva ini very recommended bagi siapa saja. Bagi yang muda –yang biasanya tengah bergejolak dalam upaya pencarian akan hubungan dirinya dengan Tuhan –, maupun bagi yang pernah muda –yang ingin mengenang masa-masa pencariannya dulu atau yang masih tetap dalam masa pencarian. Karena sejatinya pencarian kebenaran tidaklah harus berbatas waktu, selama masih ada nafas, upaya pencarian adalah sebuah keniscayaan. Dan agaknya akan lebih menarik lagi apabila novel ini dibuat sekuelnya, yang khusus menceritakan bagaimana perjalanan Trudy mencari kebahagiaan sejatinya. Mengingat bahwa epilog novel ini ditutup oleh ungkapan hati Trudy yang masih menyisakan tanya. Dan sampai tamat membaca buku ini, saya masih saja bertanya-tanya, apa arti kata Avilla? :)