MUNGKINKAH ADA DAMAI UNTUK SUNNI-SYI’AH DI SAMPANG? Laporan Field Trip ”Peningkatan Pemahaman Perdamaian di Pesantren Berperspektif HAM dan Islam”
Kunjungan dan Dialog dengan Kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM-SURABAYA) dan CIMARS-SURABAYA Jum’at, 11 September 2015
Tim Penulis: Abdul Warits (PP. Annuqayah) Dhiya’atul Haq (PP. Darul Ulum) Farihatul Faihaq (PP. Al-Fithrah Banat) Feriyanto (PP. Darut Ta’lim) Masluhah (PP. Raudatus Sholihin) Editor: Ubed Abdilah Syarif
PESANTREN FOR PEACE (PFP) A PROJECT SUPPORTING THE ROLE OF INDONESIAN ISLAMIC SCHOOLS TO PROMOTE HUMAN RIGHTS AND PEACEFUL CONFLICT RESOLUTION
1
MUNGKINKAH ADA DAMAI UNTUK SUNNI-SYI’AH DI SAMPANG? Tahun demi tahun berlalu, namun belum ada titik cerah bagi terciptanya perdamaian pasca konflik antara kelompok penganut Syi’ah dan Sunni di Sampang, Madura-Jawa Timur. Konflik itu telah memaksa kelompok Syi’ah terasing dari kampung halamannya, mengungsi selama tiga tahun terakhir ini di sebuah rumah susun di Sidoarjo-Jawa Timur.
Selama itu pula,
mereka tidak mendapatkan fasilitas hidup
yang layak, kehilangan rumah, harta benda, sawah, ternak serta dijauhkan dari
sanak saudara di kampung halaman. Hak-hak dasar
sebagai manusia pun, tak mampu mereka tuntut, hidup terlunta-lunta tanpa
kepastian
yang
jelas
atas
nasib
mereka
kelak.
Adakah
kesempatan mereka kembali pulang ke kampung halaman? Kapankah mereka dapat hidup tenang, bersua kembali bersama sanak kerabat? Mungkinkah hak-hak mereka yang hilang bisa diperoleh kembali, dihormati, dan dihargai? Konflik
antara
sebenarnya
sudah
beberapa
kali
terjadi
di
Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi di Jawa Timur, antara lain konflik di Jember, penyerangan kepada para pengikut IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) di Bondowoso tahun 2006, penyerangan atas pesantren YAPI yang berfaham Syi’ah antara 20102011 di Bangil Pasuruan, serta sejumlah ketegangan berskala kecil di Malang. Selain di Jawa Timur, konflik yang terkait juga pernah terjadi di Pandeglang- Jawa Barat tahun 2011 dan di Temanggung, Jawa Tengah tahun 2011. Namun, belum ada konflik yang separah dan sebesar yang terjadi di Sampang-Madura, yang berujung pada tindak kekerasan Sampang.
bahkan
pengusiran
kelompok
penganut
Syiah
dari
2
Konflik yang terjadi antara kelompok Sunni yang merupakan mayoritas di Sampang dengan kelompok minoritas Syi’ah tepatnya terjadi di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Madura. Konflik ini tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi telah terjadi sejak tahun 2004 hingga 2012. Diawali dengan munculnya berbagai macam ancaman, intimidasi hingga kekerasan fisik yang dialami oleh kelompok minoritas Syi’ah. Puncak kekerasan terhadap minoritas Syi’ah terjadi pada 26 Desember 2012 yang mengakibatkan satu orang tewas, satu orang kritis, puluhan orang menderita luka-luka serta sekitar 49 rumah dirusak dan dibakar. Pasca kejadian tersebut, sekitar 300 orang dari kelompok Syi’ah terpaksa dievakuasi dan sempat diungsikan ke Gedung Olah Raga (GOR) Kabupaten Sampang. Namun, pada tanggal 20 Juni 2013 pemerintah Jawa Timur memindahkan mereka ke Rumah Susun
Puspa
Agro,
Jemundo
Sidoarjo.
Warga
Syi’ah
sempat
memprotes adanya rencana pemindahan warga Syi’ah tersebut dengan mendatangi gedung DPR, meminta untuk dikembalikan ke kampung halamannya. Namun tuntutan tersebut selalu ditolak Pemda Jawa Timur dan otoritas keamanan setempat karena alasan keamanan. A.
Menelaah Akar Konflik Madura sebagai tempat terjadinya konflik ini merupakan salah
satu daerah di Indonesia yang mempunyai kultur lokal yang kuat. Salah satunya ialah kultur “ketaatan pada Kyai”. Kyai dianggap sebagai tokoh sentral di masyarakat yang mempunyai kedudukan tinggi dan disegani atas ilmu agamanya sehingga mempunyai pengaruh yang kuat. Umumnya Kyai menjadi tempat rujukan dalam pengambilan keputusan hukum Islam dan adat dalam mengatasi segala masalah dalam masyarakat.
Dengan demikian,
seorang
Kyai
mempunyai
otoritas yang cukup kuat di masyarakatnya. Seorang Kyai besar akan
3
melahirkan Kyai-Kyai lokal yang kemudian membentuk suatu jejaring dan mereka menjadi satelit yang terhubung dengan
pusatnya yakni
Kyai besar yang paling disegani dan dikenal. Kyai-Kyai satelit dapat berfungsi membantu segala aktivitas keagamaan dan budaya di masyarakat agar berjalan dengan selaras dan seimbang. Hubungan jejaring tersebut dapat terbentuk dari hubungan kekerabatan maupun guru-murid sehingga terbangun relasi yang begitu kuat1. Kuatnya adat serta loyalitas masyarakat terhadap Kyai, plus posisi sentral Kyai di masyarakat membuat siapa saja yang melakukan halhal diluar adat akan dianggap menyimpang atau melawan Kyai, dan memicu penolakan dari masyarakat lainnya. Di satu sisi, hal ini menunjukkan lemahnya sikap dan rasa toleransi masyarakat Madura terhadap sesuatu yang berbeda atau hal-hal baru yang datang dari luar2. Awal mula kasus ini dilatarbelakangi konflik keluarga (pribadi) Kyai yang cukup mengakar di Sampang dan memiliki murid/santri yang cukup banyak. Dalam perkembangannya, konflik ini diwarnai oleh persoalan politik serta kesalahpahaman menyangkut keyakinan dan praktek keagamaan. Akar permasalahannya berawal dari perselisihan keluarga antar dua putra Kyai Makmun; yaitu Kyai Tajul Muluk dengan adik kandungnya sendiri, yaitu Kyai Rois Al-Hukama. Keduanya berbeda pandangan terkait status salah seorang santriwati Kyai Tajul yang hendak dinikahi oleh Kyai Rois Al Hukama, namun tidak diperkenankan oleh Kyai Tajul Muluk. Sebetulnya, kedua saudara kandung itu sama-sama beraliran Syi’ah dan alumni pesantren YAPI di Bangil-Pasuruan yang terkait aliran Syi’ah. Namun perselisihan tersebut ternyata menyulut konflik keluarga yang begitu serius, sehingga menimbulkan perpecahan
4
pertalian saudara antara keduanya. Kemudian, Kyai Rois menyatakan diri keluar dari Syi’ah dan menyeberang ke Sunni. Sejak itu, Kyai Rois mulai membeberkan kepada para ulama Madura dan masyarakat setempat, tentang penyimpangan keyakinan dan pelaksanaan ibadah yang dilakukan kelompok Syi’ah pimpinan Kyai Tajul Muluk3. Konflik antara Kyai Tajul Muluk dengan Kyai Rois akhirnya mengundang keterlibatan santri-santri pengikutnya, masyarakat dan beberapa ulama di Madura sehingga berubah menjadi konflik komunal berbasis keyakinan agama (Sunny-Syi’ah). Apa yang diajarkan oleh Kyai Tajul Muluk yang beraliran Syi'ah seperti dalam tata cara pelaksanaan ibadah kemudian dibesar-besarkan sehingga memicu terjadinya kesimpangsiuran, fitnah dan segala macam. Hal tersebut membuat penganut aliran Syi’ah menjadi sulit diterima oleh mayoritas masyarakat Sunni. Secara kronologis, tahun 2003 Kyai Tajul Muluk secara diam-diam mulai menyebarkan ajaran Syi’ah kepada masyarakat desa Karang Gayam dan Blu’uran. Sekitar tahun 2004 sampai 2005 ajaran Syi’ah yang dipimpin oleh kiyai Tajul Muluk akhirnya mulai mencuat dan diketahui oleh masyarakat luas di kecamatan Omben. Berita yang beredar di masyarakat waktu itu adalah bahwa Kyai Tajul Muluk mempunyai dan mengajarkan tata cara ber-Islam yang ‘nyeleneh’, dalam artian tidak sama dengan tata cara orang mayoritas Sunny. Salah satu bentuk tata cara ibadah dan adat yang dianggap nyeleneh adalah tatkala Kyai Tajul memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. secara sentral di Masjid. Hal ini rupanya merupakan inovasi Kyai Tajul Muluk yang melihat kebiasaan acara maulidan di Sampang yang dilaksanakan dari rumah kerumah dianggap bagi sebagian masyarakat menengah kebawah cukup memberatkan secara ekonomi. Bahkan, beberapa warga kerap berhutang hanya untuk melaksanakan acara
5
maulidan di rumah. Sementara jika maulidan diadakan secara terpusat di
masjid,
itu
akan
menghemat
biaya
ekonomi
karena
acara
ditanggung bersama dengan warga masyarakat lainnya. Selain itu, sebagai Kyai muda yang baru usai belajar dari Timur Tengah, Kyai Tajul
cukup
kharismatik
dan
mampu
menarik
perhatian
warga
masyarakat dengan gagasan-gagasannya sehingga jumlah pengikut dan jamaahnya bertambah cukup pesat. Rupanya, hal ini juga ikut mempengaruhi hubungannya dengan para Kyai lainnya yang merasa tersaingi kharisma dan pengaruhnya di masyarakat. Berbagai berita
dan isu tentang pergerakan Kyai Tajul Muluk
dengan Syi’ahnya ini kemudian memicu reaksi dari masyarakat terhadap Kyai Tajul Muluk dan pengikutnya. Waktu itu, masyarakat dan Kyai-Kyai di Sampang dan sekitarnya masih belum menunjukkan penolakan secara terbuka kepada gerakan Syi’ah Kyai Tajul Muluk, karena masih menghormati ayahanda Kyai Tajul Muluk, yaitu Kyai Makmun yang sangat disegani dan dihormati. Namun, setelah Kyai Makmun
meninggal,
masyarakat
yang
mayoritas
Sunni
mulai
menunjukkan secara langsung ketidaksukaan dan penolakan terhadap warga pengikut Kyai Tajul. Pada tahun 2006 sampai 2008 mulai muncul ancaman, teror dan intimidasi
terhadap
Kyai
Tajul
Muluk
dan pengikutnya
di
desa
Nangkernang dan desa Karang Gayam. Pada tahap ini sebenarnya masih belum terjadi kekerasan fisik terhadap pengikut ajaran Syi’ah tersebut. Namun, reaksi berupa kecaman-kecaman dari para Kyai dan tokoh-tokoh Sunni mulai intens dan sudah menuju pada pengarahan massa. Melihat situasi ini, pada tahun 2008, salah seorang tokoh Kyai NU, KH. Ali Karrar Sinhaji dan beberapa tokoh NU lainnya serta Majlis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Sampang
mengundang Kyai Tajul
Muluk untuk mengadakan dialog tertutup. Hasil dari pertemuan
6
tersebut, para ulama NU dan MUI Sampang mendesak agar Kyai Tajul Muluk
tidak
lagi
menyebarluaskan
dakwah
Syiahnya
kepada
masyarakat karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Namun Kyai Tajul Muluk tidak menyepakati desakan para Kyai Sunni tersebut dan tetap melakukan dakwah kepada para pengikutnya. Atas sikap tersebut, pada Desember 2010 sejumlah warga Sunni melaporkan Kyai Tajul Muluk beserta jama’ah Syi’ahnya ke MUI dan menuding bahwa kelompok Syi’ah telah meresahkan masyarakat. Peristiwa ini kemudian menjadi ‘bara’ yang memanaskan hubungan pengikut Sunni dengan pengikut Syi’ah. Kemarahan massa ditujukan secara khusus pada Kyai Tajul Muluk yang dianggap telah melanggar kesepakatan bersama Kyai NU dan MUI yang dilaksanakan pada tahun 2008. Ketua MUI Sampang, Kyai Bukhari Maksum juga menuduh bahwa Kyai Tajul Muluk telah melanggar kesepakatan karena masih melaksanakan dakwah aliran Syi’ahnya kepada masyarakat sekitar. Namun, tuduhan tersebut dibantah oleh Kyai Tajul Muluk dengan alasan ia sendiri merasa tidak pernah menyepakati desakan ulama’ NU dan MUI untuk berhenti melakukan aktivitas dakwahnya. Ia mengklaim dakwah
yang
dilakukannya
hanya
ditujukan
kepada
jama’ah
pengikutnya sendiri. Dia juga merasa tidak pernah mempengaruhi orang lain untuk ikut masuk dalam ajaran Syi’ahnya. Dia menegaskan bahwa apa yang dilakukan selama ini semata-mata hanya sebagai penguatan internal jama’ahnya sendiri. Berikutnya, pihak kepolisian daerah Jawa Timur mengadakan pertemuan tertutup di Pendopo kabupaten dan mengundang beberapa Kyai terkemuka dari NU dengan tujuan untuk memediasi konflik dan pertentangan yang makin memanas. Namun, alih-alih melakukan mediasi, hasil pertemuan tersebut memojokkan Kyai Tajul Muluk pada
7
tiga opsi. Pertama; ia diminta untuk mengehentikan semua aktivitas Syi’ah di Sampang dan kembali ke paham Sunni. Kedua; ia diminta ke luar dari wilayah Sampang dengan tanpa ganti rugi lahan dan aset yang ada. Dan ketiga; jika salah satu dari dua opsi di atas tersebut tidak dapat terpenuhi, maka berarti
Syi’ah di
Sampang harus
dihilangkan. Pihak pemerintah daerah kabupaten Sampang juga ikut mendesak agar Kyai Tajul Muluk dapat menerima tiga opsi yang ditawarkan oleh para Kyai tersebut. Ketiga opsi yang harus dipilih oleh Kyai Tajul Muluk dan pengikutnya menggambarkan betapa sengitnya konflik ini. Bahkan, pemerintah daerah kabupaten Sampang seperti dihadapkan pada posisi yang sangat sulit. Jika tidak berpihak pada desakan mayoritas Sunni akan berakibat pada menurunnya kepopuleran pemerintah. Sebaliknya, jika desakan tersebut diamini oleh pemerintah, maka pemerintah bisa dianggap ikut melakukan pelanggaran hak-hak asasi kelompok minoritas Syiah secara terang-terangan. Beberapa waktu kemudian, para tokoh Kyai Sunni mengadakan musyawarah lanjutan dengan mengundang aparat kepolisian guna membahas masalah munculnya gerakan anti Syi’ah yang makin massif, diantaranya aksi seribu tanda tangan masyarakat Sunni yang menolak warga Syi’ah. Lalu, MUI memberikan pernyataan kepada pihak kepolisian yang berisi permintaan agar Kyai Tajul Muluk dan pengikut Syiahnya segera di relokasi dari Sampang. Akhirnya, Kyai Tajul Muluk dipindah ke Malang pada tanggal 16 April 2011 setelah sebelumnya sempat di amankan di kantor Markas Polisi Resor Sampang. Namun, hal tersebut tampaknya tidak menurunkan bara konflik yang justru makin memanas di tingkat masyarakat, khususnya bagi kelompok Sunni di Sampang. Pada 29 Desember 2011 sekitar pukul 10
8
pagi,
ratusan warga Sunni menyerbu kompleks perumahan warga
Syi’ah
termasuk
juga
rumah
Kyai
Tajul
Muluk
dan
bangunan
pesantrennya. Massa yang datang kemudian membakar rumah-rumah milik warga Syiah, mushalla dan asset lainnya. Kepergian Kyai Tajul Muluk
ternyata
tidak
meredakan
konflik,
bahkan tudingan
dan
tindakan kekerasan semakin menjadi-jadi pada warga Syi’ah waktu itu. Desa Karanggayam menjadi wilayah yang sangat sulit di masuki orangorang luar karena seluruh jalan telah diblokade oleh massa anti Syi’ah. Pada penyerangan tersebut, ternyata terdapat salah satu warga Syi’ah yang meninggal dan ada 9 rumah di bakar massa. Akhirnya warga Syi’ah kemudian diungsikan oleh pemerintah kabupaten Sampang ke Sidoarjo sebagai bentuk pengamanan dan mencegah jatuhnya korban lebih banyak. Konflik ini pada perkembangannya juga dibumbui oleh faktor politik lokal di Madura. Jelang Pemilihan Kepala Daerah kabupaten Sampang, tensi konflik sempat naik turun, karena kepentingankepentingan politis ikut berperan4. Ada beberapa aktor politik lokal yang memanfaatkan situasi konflik untuk kepentingan pemilihan kepala daerah. Pada masa pemilihan Bupati Sampang, ada pihak-pihak yang menggalang massa serta suara dari masyarakat Sunni, namun pada akhirnya dia (Bupati Sampang) tidak berhasil memenangkan Pilkada, sehingga menyulut kekecewaan pengikutnya dan ikut memicu skala konflik melebar. Muncul pula pernyataan Bupati Sampang pada masa itu (2012) yang menyatakan menolak keberadaan masyarakat penganut Syiah di wilayah Kabupaten Sampang5. Meski faktanya para pengungsi Syi’ah berada di sebuah rumah susun di Sidoarjo,
mereka juga ikut didekati oleh para kontestan
Pilkada saat kampanye, serta diberikan bantuan dan janji-janji manis. Saat hari pemungutan suara pun, para pengungsi diberikan hak suara
9
dengan disediakan tempat pemungutan suara khusus. Hal ini berbeda ketika masa awal konflik, hampir tak ada bantuan serta perlindungan dari para aktor politik terhadap kelompok minortias Syi’ah di Sampang ini. Namun, setelah Pilkada usai, tak ada lagi perhatian yang cukup dari para aktor politik itu atas nasib para pengungsi Syi’ah di Sidoarjo. Sikap dan keputusan Pengadilan Negeri Sampang dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur atas kasus Kyai Tajul Muluk yang kontroversial juga menyulut kekecewaan para pengikut Tajul Muluk. Kyai Tajul Muluk disebut pengadilan sebagai
tokoh Sunni yang telah melakukan
penistaan agama, sehingga ia dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Namun
dalam
proses
banding,
Pengadilan
Tinggi
memperberat
hukumannya menjadi 4 tahun penjara. Aksi penolakan dan teror terhadap kelompok minoritas Syiah Sampang ini
sempat menjadi
isu dan berita nasional, bahkan
internasional. Hal ini dipengaruhi juga dengan gelombang isu dan kampanye “anti-Syi’ah” yang marak di mana-mana sehingga kasus konflik di Sampang menjadi sorotan. B.
Upaya Mediasi dan Rekonsiliasi Rekonsiliasi merupakan suatu usaha dalam rangka memulihkan
hubungan
persudaraan
Rekonsiliasi
dapat
perbedaan.
Karena
yang
diartikan
bertikai pula
seringkali
untuk
sebagai
perbedaan
kembali
upaya
harmonis.
menyelesaikan
menyulut
timbulnya
permusuhan. Rekonsiliasi hadir untuk meminimalisir permusuhan yang dilahirkan perbedaan. Satu hal yang paling mendasar yang harus di lakukan dalam rekonsiliasi adalah membuang jauh-jauh sikap kebencian sebagai modal awal. Dalam kasus konflik Sampang, pertanyaan penting yang
10
mesti dijawab adalah apakah kelompok mayoritas akan menerima dan merangkul para pengungsi Syi’ah? Sungguh sangat menyentuh sekali ketika para politisi dan pemeluk Islam di Indonesia mengutuk konflik yang menghilangkan ribuan jiwa seperti yang terjadi di Palestina. Sebelumnya, berbagai kelompok umat Muslim juga mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi mereka yang teraniaya dan terusir dari tanah airnya sendiri. Jika dapat berbuat banyak hal terhadap saudara kita di belahan dunia lain, tentu ada ruang di hati umat Islam di negeri ini bagi saudaranya pemeluk Syi’ah di Sampang. Sebenarnya, tidak sedikit upaya-upaya mediasi dan rekonsiliasi yang telah coba diberlakukan bagi kedua pihak yang bertikai, kelompok Sunni-Syiah di Sampang ini. Terutama upaya rekonsiliasi pasca terjadinya puncak konflik dan kekerasan yang menyebabkan beberapa orang dari kelompok Syi’ah meninggal dan mereka terusir dari kampung halamannya. Upaya itu telah dilakukan mulai dari pemerintah lokal dan organisasi di tingkat lokal maupun nasional, bahkan kasus ini telah pula memaksa presiden RI, kala itu, Susilo Bambang
Yudhoyono
turun
tangan
langsung
dengan
meminta
kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) bergerak. Namun kasus Syi’ah-Sunni Sampang hingga saat ini, belum bisa dianggap selesai, karena faktanya nasib para pengungsi Syi’ah masih terkatung-katung di luar kampung halamannya. Pemerintah harus mampu menuntaskan pertikaian yang terjadi, tidak hanya diakhiri dengan hanya membangun kembali rumah-rumah warga yang dibakar. Tapi harus diupayakan sampai ke akarnya, jika tidak ingin peristiwa yang sama kembali terulang.
11
Hal
yang
pemerintahan
perlu
disesalkan
cenderung
ialah
memihak
kenyataan
pada
bahwa
kelompok
aparat
mayoritas.
Ketidaknetralan ini sungguh tidak sesuai dengan Undang Undang yang melihat warga negara seharusnya mendapat kedudukan yang sama di depan hukum. Apalagi kenyataan dimana korban dari konflik ini, malah menjadi pihak yang disalahkan dan terhakimi. Lalu dimanakah keadilan di negeri ini berada? Sampai sekarang ini para pengungsi Syiah masih tetap bertahan di rusun Jemundo Sidoarjo. Mereka memendam keinginan untuk kembali ke kampung halamannya di Sampang. Adanya persyaratan yang diminta oleh beberapa pihak, seperti MUI Sampang dan Forum Ulama Madura yang menuntut mereka “bertaubat” dan meninggalkan ajaran Syi’ah dianggap tak mungkin dipenuhi. Penganut Syi’ah di Sampang ini beranggapan bahwa mereka juga sama-sama menganut Islam, tidak selayaknya di pertentangkan dan tidak seharusnya “bertaubat”. Mereka bersikeras mempunyai Tuhan, rasul dan kitab suci yang sama dengan penganut mazhab Islam lainnya. Apalagi Indonesia ialah negara hukum dimana setiap warganya berhak memilih dan memeluk agamanya serta beribadat sesuai kepercayaannya masingmasing. Sehingga tak ada yang berhak melarang mereka untuk berkeyakinan
golongan
tertentu.
Tak
perlu
adanya
persoalan
keyakinan (Syiah dan Sunni) dijadikan materi atau syarat dalam proses rekonsiliasi. Selain rindu pulang ke kampung halamannya, para pengungsi juga
merasa
jenuh
dan
tertekan.
Penjagaan
dan
pengawasan
diberlakukan secara ketat di area pengungsian. Setiap orang yang hendak keluar atau masuk rumah susun dimintai keterangan guna keperluan dan tujuannya oleh petugas keamanan. Para pengungsi merasa
telah
kehilangan
hak
kemerdekaan
beragama
dan
12
menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya, serta mengalami pemiskinan karena aktivitas ekonomi sehari-hari tidak berjalan, aset kebun dan sawah tidak bisa digarap dan tidak ada ganti rugi atas harta mereka yang terbakar atau rusak. Anak-anak Syi’ah yang saat ini berada di pengungsian kehilangan rasa aman dan keceriaan bermain selayaknya anak-anak lain. Bahkan layanan pendidikan dan kesehatan yang layakpun tidak mereka dapatkan dikarenakan mereka tidak bisa keluar dari lokasi Rusunawa Puspo Agro, tempat pengungsian mereka. Beberapa pihak dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Bantuan Hukum memberikan pendampingan dan perhatian bagi para pengungsi. Pusat Studi Hak-hak Asasi Manusia (PUSHAM) Surabaya dan CIMARS (Center for Marginalized Communities Studies) Surabaya merupakan dua organisasi masyarakat yang konsen atas nasib para pengungsi Syi’ah di “Rusun” Jemundo ini. CIMARS sejak awal kasus konflik
ini
mencuat
sudah
memberikan
bantuan
hukum
dan
pendampingan hak-hak kelompok Syi’ah. CIMARS hingga saat ini memfasilitasi pendidikan dasar bagi anak-anak pengungsi di Rusun yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Sementara PUSHAM Surabaya turut mendesakkan kepada pihak pemerintah dan penegak hukum agar tidak ada kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa kelomok minoritas Syi’ah ini. Pihak pengungsi sendiri tidak tinggal diam. Mereka pernah berupaya bertemu dengan presiden RI pada waktu itu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk menyampaikan aspirasi mereka. Beberapa orang perwakilan pengungsi Syi’ah pergi ke Jakarta dengan mengayuh sepeda dari Surabaya untuk menuntut keadilan dan kehidupan normal seperti biasanya. Upaya relokasi warga Syi’ah yang ditawarkan pemerintah dinilai tidak akan menyelesaikan masalah, malah justru membuat mereka semakin terdiskriminasi. Mereka tak bisa hidup layak
13
seperti yang lain dan hak-hak yang mestinya mereka dapatkan sebagai manusia pun, tak mampu mereka tuntut. Mereka mempertanyakan kemana para petinggi negara, disaat ada warganya terkatung-katung hidupnya, tanpa kepastian yang jelas? Bukankah negara menjamin pelindungan atas hak-hak warga negaranya? Pemerintahan telah berganti, namun masalah konflik di Sampang belum juga menemukan solusi yang permanen. Bagi kelompok Sunni, konflik bisa selesai jika pihak pemerintah atau Tim Rekonsiliasi dapat mencarikan cara memulangkan pihak Syi’ah ke kampung halamannya. Sedangkan pihak Syi’ah meminta agar pihak pemerintah atau Tim Rekonsiliasi dapat memberi ruang mediasi diantara kedua belah pihak, terutama para ulama dan Kyai di Madura. Warga pengungsi Syi’ah berkeyakinan kunci upaya rekonsiliasi dan penyelesaian kasus ini ada pada para Kyai. C.
Rekomendasi Mediasi hendaknya terus dilakukan diantara kedua belah pihak
yang bertikai demi mencari tahu apa aspirasi atau kepentingan dari keduanya. Selain itu tim harus terus mendorong komunikasi antara keduanya guna menuntaskan proses rekonsiliasi. Hal ini juga harus melibatkan semua pihak, khususnya Pemerintah Kabupaten Sampang serta Pemerintah Daerah Jawa Timur. Proses mediasi juga hendaknya dilakukan secara transparan dan fair (adil) karena sudah muncul kesan bahwa pihak Pemerintah Kabupaten Sampang tidak bersikap netral, cenderung memihak pada kelompok mayoritas (Sunni). Dibutuhkan pula peranan pemerintah pusat untuk mengawasi agar mediasi berjalan seperti yang diinginkan, mencegah adanya pihak-pihak yang berkepentingan menggagalkan rekonsiliasi dan merawat konflik ini agar terus ada.
14
Sejumlah organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hingga hari ini masih memberikan pendampingan bagi para pengungsi Syi’ah di rumah susun Puspa Agro-Jemundo, Sidoarjo, mengaku pesimistis proses rekonsiliasi bisa berjalan cepat. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain kepentingan kelompok tertentu yang sengaja menghambat penyelesaian secara damai. Sejumlah kerabat dari kedua belah pihak sebenarnya secara kontinyu dan diamdiam tetap melakukan silaturahmi. Untuk itu, akan sangat baik juga barangkali
konflik
ini
dikembalikan
pada
akar
persoalannya,
rekonsiliasi antar keluarga yang berselisih, di samping penyelesaian kasus hukumnya tetap dijalankan sesuai asas keadilan. Selain
rekonsiliasi
melalui
jalur
hukum
dan
kekeluargaan,
PUSHAM Surabaya telah merekomendasikan penyelesaian konflik ini disertai dengan pendekatan kebudayaan. Harus dicari bentuk-bentuk kearifan lokal di Sampang yang bisa digunakan untuk proses mediasi dan rekonsiliasi kedua belah pihak yang berkonflik.
Belajar dari
beberapa kasus penyelesaian konflik yang mencuat di tanah air yang ternyata bisa diselesaikan, salah satunya adalah dengan pendekatan kebudayaan lokal seperti di Poso, Ambon dan di Aceh. PUSHAM
Surabaya
beserta
CIMARS
juga
mendorong
agar
dilakukan upaya-upaya pendidikan perdamaian bagi generasi muda dari
kedua
belah
pihak
di
Sampang.
CIMARS
beberapa
kali
mengundang remaja-remaja yang ada di daerah Sampang untuk bertemu dan berkolaborasi membuat kampanye-kampanye damai di kalangan anak muda. Bahkan, CIMARS, telah membangun sebuah Sekolah
yang
berbasis
HAM
(Sehati)
yang
berlokasi
di
area
pengungsian kelompok Syi’ah di Rusunawa Jemundo Sidoarjo. Dengan begitu, anak-anak dan para remaja diharapkan menjadi generasi
15
penerus juang perdamaian bagi warga Sampang dan sekitarnya yang memiliki perspektif perdamaian dalam mengelola perbedaan.
1 2
3 4 5
Ahmadie, Majalah Wahda edisi Ramadhan 1422/2012, terbitan PUI Hamdi, Ahmad Zainul, 2012, Klaim “Religious Authority” dalam Kasus Sunni-Syiah Sampang-Madura, dalam Jurnal ISLAMICA edisi 2, vol 6, Maret 2012 KontraS Surabaya, 2012, Laporan Investigasi dan Pemantauan Kasus Syi’ah Sampang Zuhairi Misrawi http://city.seruu.com/read/2012/09/01/116549/zuhairimirawi-konflik-sampang-terkit-pilkada Munawaroh, Mundiroh Lailatul, 2014, Penyelesaian Konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura, Tesis Magister UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta