Mulai tahun 2004, Puskesmas di wilayah Kabupaten Sleman menyediakan fasilitas pelayanan psikologi, dan diikuti oleh Puskesmas di wilayah Kota Yogyakarta pada 2010. Pelayanan psikologi diadakan untuk mengurangi adanya treatment gap atau kesenjangan antara tempat pelayanan kesehatan mental lingkup primer (Puskesmas) dengan sekunder (Rumah Sakit). Pelayanan psikologi di Puskesmas diberikan untuk individu, kelompok, maupun komunitas. Secara umum kunjungan pasien dewasa lebih banyak dibanding pasien anak, remaja, maupun lansia. Pasien anak yang mendatangi poli psikologi meskipun jumlahnya tidak dominan, tetap perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM), yaitu sebuah sistem informasi hasil kerjasama antara CPMH (Center for Public Mental Health) Fakultas Psikologi UGM dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, semenjak Januari 2011 hingga Maret 2013 diketahui jumlah pasien anak (usia 1-19 tahun) yang berkunjung ke Puskesmas wilayah Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta mencapai 1902 orang. Pasien yang mengalami gangguan tingkah laku dan emosi (golongan F90 – F98 berdasarkan PPDGJ III) cukup mendominasi yaitu mencapai 46,37 % atau sebesar 882 pasien, selanjutnya sebanyak 28,81 % mengalami gangguan perkembangan psikologis (F80 – F89), 16,50 % mengalami gangguan neurotik, somatoform, dan gangguan terkait stres (F40 – F48 ), 3,78 % mengalami retardasi mental (F70 – F79), 3,68 % mengalami Sindrom Perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik (F50 – F59), 0,52 % mengalami episode depresif sedang (F32.1), dan 0,31 % mengalami perubahan kepribadian yang berlangsung lama lainnya (F62.8). Golongan gangguan perilaku dan emosi menempati urutan tertinggi, dan diagnosis gangguan tingkah laku (F91) berada pada jumlah terbanyak kedua setelah gangguan hiperkinetik (F90). Pasien anak yang terdiagnosis gangguan tingkah laku sebagian besar berusia 5 – 9 tahun. Prevalensi gangguan tingkah laku di Amerika mengalami peningkatan pada beberapa dekade terakhir dan lebih banyak muncul di perkotaan daripada pedesaan. Pada laki-laki di bawah 18 tahun terdapat sekitar 6% - 16%, sedangkan pada perempuan terdapat 2% - 9% (American Psychiatric Association, 1994).
2
Gangguan tingkah laku lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan (Kazdin dalam Conner & Lochman, 2010). Gangguan tingkah laku merupakan salah satu diagnosis yang paling banyak dijumpai pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di fasilitas kesehatan mental untuk anak (American Psychiatric Association, 2004). Prevalensi gangguan tingkah laku di Indonesia khususnya di Provinsi D. I. Yogyakarta hingga kini belum diketahui. Sejauh pengetahuan peneliti, tidak terdapat laporan atau hasil penelitian yang menyebutkan berapa jumlah anak dengan gangguan tingkah laku yang terdapat di Indonesia. Namun, keterangan mengenai keberadaan anak dengan permasalahan psikologi atau yang dikenal juga sebagai anak berkebutuhan khusus di Indonesia disebutkan oleh WHO (World Health Organization), yaitu sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun 2007 (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Gangguan tingkah laku adalah gangguan yang ditandai dengan pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap. Perilaku ini, dalam bentuk ekstremnya, berupa pelanggaran berat dari norma sosial yang terdapat pada anak seusia itu, dan karena itu pelanggarannya bersifat menetap dan lebih parah daripada kenakalan anak atau sikap memberontak remaja lazimnya (Departemen Kesehatan R.I., 1993). Menurut Pardini dan Frick (2013), Gangguan tingkah laku adalah pola perilaku yang berulang dan menetap yang melanggar hak orang lain atau aturan kelompok. Gangguan tingkah laku dikenal juga dengan sebutan conduct disorder dalam DSM-IV. Gangguan tingkah laku menurut PPDGJ III berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap.
Penilaian
tentang
adanya
gangguan
tingkah
laku
perlu
mempertimbangkan tingkat perkembangan anak. Tempertantrums, merupakan gejala normal pada anak berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini bukan merupakan dasar bagi diagnosis ini. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti pada tindak pidana dengan kekerasan) tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan kriteria diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut. Contoh perilaku yang menjadi dasar diagnosisnya
3
mencakup hal berikut: perkelahian atau pelecehan yang berlebihan, kekejaman terhadap hewan atau manusia, perusakan yang hebat atas barang milik orang lain, membakar, mencuri, melakukan kebohongan berulang, membolos dari sekolah dan lari dari rumah, mengadat yang hebat dan sering, perilaku provokatif yang menantang, dan sikap yang menentang yang hebat serta menetap. Masing-masing dari kategori tersebut apabila ditemukan, cukup untuk menjadi alasan bagi diagnosis gangguan tingkah laku. Namun, perbuatan dissosial yang tunggal bukan merupakan alasan yang kuat. Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila perilaku dissosial berlanjut selama 6 bulan atau lebih (Departemen Kesehatan R.I., 1993). Penelitian di Kanada menggunakan analisis Latent Class Analysis (LCA) berhasil mengelompokkan 4.125 sampel anak berusia 12-13 tahun berdasarkan jenis gejala gangguan tingkah laku, yaitu: Non Agressive Conduct Disorder (NACD), Physically Agressive Conduct Disorder (PACD), dan Severe Mixed Conduct Disorder (SMCD). Ketiga pengelompokkan tersebut baik NACD, PACD, maupun SMCD memiliki kemampuan prediktif gangguan tingkah laku untuk usia 14-15 tahun yang sama, walaupun SMCD memiliki perilaku kriminal dan menentang yang lebih tinggi dibandingkan NACD dan PACD (Lacourse, Baillargeon, Dupere, Vitaro, Romano, Tremblay, 2010). DSM-IV mengelompokkan gangguan tingkah laku berdasarkan onset usia dan tingkat keparahan. Berdasarkan onset usia terbagi menjadi: childhood onset type yaitu gangguan tingkah laku dengan onset sebelum 10 tahun, dan adolescent onset type yaitu ketidakhadiran kriteria gangguan tingkah laku pada usia sebelum 10 tahun. Pengelompokkan berdasarkan tingkat keparahan dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) mild apabila kehadiran masalah perilaku sedikit untuk dapat dilakukan diagnosis dan memberikan efek yang ringan pada orang lain, 2) moderate apabila jumlah masalah perilaku dan efeknya pada orang lain sedang, dan 3) severe apabila muncul banyak masalah perilaku untuk dapat ditegakkan diagnosis dan efek perilaku sangat merugikan orang lain (American Psychiatric Association, 2004). Dibandingkan DSM-IV, PPDGJ III memiliki pengelompokan gangguan tingkah laku yang berbeda. Penggolongan kelompok gangguan tingkah laku
4
dalam PPDGJ III terbagi menjadi enam, yaitu: 1) gangguan tingkah laku yang terbatas lingkungan keluarga, yang ditandai dengan tidak adanya gangguan tingkah laku yang signifikan di luar lingkungan keluarga dan juga hubungan sosial anak di luar lingkungan keluarga masih berada dalam batas-batas nomal. 2) Gangguan tingkah laku tak berkelompok, yang ditandai dengan adanya sifat kelainan yang pervasif dan bermakna dalam hubungan anak yang bersangkutan dengan anak-anak lainnya. Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya
merupakan
perbedaan
penting
dengan
gangguan
tingkah
laku
berkelompok. 3) Gangguan tingkah laku berkelompok, yang merupakan kunci perbedaan pentingnya adalah terdapatnya ikatan persahabatan yang langgeng dengan anak seusianya. Namun, kelompok sebaya tersebut seringkali terdiri atas anak-anak yang juga terlibat dalam kegiatan kejahatan atau dissosial. 4) Gangguan sikap menentang/ membangkang, pada gangguan ini tidak ada tindakan dissosial dan agresif yang lebih berat yang melanggar hukum ataupun melanggar hak asasi orang lain. 5) Gangguan tingkah laku lainnya, dan 6) gangguan tingkah laku YTT (Departemen Kesehatan R.I., 1993). Pola asuh yang negatif dan kurang responsif mampu memprediksi gangguan tingkah laku pada balita. Gangguan tingkah laku pada anak dengan usia di bawah 5 tahun akan lebih parah pada anak yang memiliki ibu kurang responsif dengan pola asuh negatif dan kurang memiliki kontrol (Lorber & Egeland, 2011). Pola asuh orang tua pada anak dengan gangguan tingkah laku menunjukkan penolakan dan sikap overprotective yang tinggi dan hubungan emosi yang rendah. Anak dengan gangguan tingkah laku juga cenderung kurang harmonis dengan saudara kandungnya. Anak dengan gangguan tingkah laku memiliki sejarah keluarga dengan gangguan halusinasi atau kekerasan fisik, masalah belajar, dan konsumsi alkohol (Ezpeleta, Granero, & Domenech, 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa gangguan tingkah laku lebih banyak muncul pada subjek yang memiliki riwayat malnutrisi pada masa kanak (Galler, et.al., 2012). Temperamen juga menjadi aspek yang memprediksi gangguan tingkah laku (Rothbart dalam Lorber & Egeland, 2011).
5
Gangguan tingkah laku sering dikaitkan dengan intelegensi di bawah ratarata (American Psychiatric Association, 2004). Prestasi akademik khususnya membaca dan kemampuan verbal berada di bawah kemampuan anak seusianya. Gangguan tingkah laku juga diketahui berhubungan dengan gangguan kecemasan, gangguan mood, ADHD, ODD (Oppositional Defiant Disorder), gangguan penyesuaian, dan gangguan terkait substansi (American Psychiatric Association, 2004). Diagnosis gangguan tingkah laku sering komorbid dengan Attention Deficiency and Hiperactivity Disorder (ADHD). Penelitian pada 2.067 sampel komunitas anak di Belanda menyebutkan 5% memiliki alur perkembangan ADHD (van Lier, van der Ende, Koot, Verhulst, 2007). Berkaitan dengan pelayanan psikologi di tempat pelayanan kesehatan primer atau Puskesmas, kesulitan yang dihadapi di lapangan saat ini adalah ketika hendak melakukan asesmen untuk pasien anak. Psikolog biasanya melakukan serangkaian proses asesmen dengan berbagai metode, seperti observasi, wawancara pada anak atau significant others, dan tes psikologi. Wawancara pada orang tua terkadang mengalami hambatan karena beberapa orang tua kurang kooperatif dan terlalu sibuk sehingga tidak dapat memberikan data yang cukup yang dibutuhkan psikolog, sedangkan wawancara anak merupakan hal yang sulit karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan pendekatan pada anak. Observasi pada anak pun kerap mengalami kesulitan karena kurangnya alat permainan, ruangan yang tidak memadai, dan waktu pelayanan yang terbatas. Alat tes psikologi yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pun beragam, tetapi pengadministrasian alat tes tersebut dirasa cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama (Rahardian, A., Komunikasi Personal, 18 Maret 2013). Berdasarkan alasan tersebut, dibutuhkan alat skrining yang sensitif, spesifik, dan sederhana untuk mempermudah proses asesmen. Kebutuhan ini juga ditujukan untuk mencegah para psikolog yang bekerja di Puskesmas mencari instrumen skrining dari sumber yang kurang jelas dan kurang teruji secara klinik. Anthony & Barlow (2002) mengatakan bahwa pelayanan kesehatan primer membutuhkan alat skrining singkat yang memudahkan pelaksanaan asesmen masalah psikiatri. Alat skrining dianggap mampu membantu proses diagnosis
6
yang lebih akurat. Disamping itu alat skrining dapat digunakan oleh profesional lain yang tidak berlatar belakang profesi kesehatan mental. Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) adalah sebuah instrumen skrining perilaku singkat, didesain untuk memberikan profil perilaku, emosi, dan hubungan sosial anak dan remaja (3-17 tahun). SDQ memberikan banyak informasi dan berguna untuk memberikan gambaran singkat dari perilaku anak dan remaja yang berfokus pada kekuatan dan juga kesulitan mereka (Black, Pulford, Christie, & Wheeler, 2010). Kuesioner singkat sangat berguna ketika digunakan dalam survey berskala besar dimana aitem sebaiknya terbatas untuk memastikan adanya respon yang dicari (Ullebo, Posserud, Heiervang, Gillberg, & Obel, 2011). Hal ini yang menjadi satu nilai tambah bagi SDQ karena jumlah aitemnya yang sedikit dan relatif sederhana. Dahlan (2009) menyatakan instrumen skrining sebaiknya memiliki keunggulan relatif yang lebih dibanding metode asesmen lainnya, yaitu: 1) Lebih tidak invasif, 2) Tingkat risiko yang lebih rendah, 3) Tidak memerlukan keahlian khusus, 4) Lebih murah, 5) Waktu untuk memperoleh hasil bisa lebih cepat, 6) Lebih mudah diakses, 7) Lebih sederhana, tidak terlalu rumit, dan 8) Dapat mendeteksi gangguan lebih dini, tidak hanya mendeteksi gangguan pada tahap lanjut. Instrumen skrining SDQ sendiri memiliki beberapa point keunggulan relatif tersebut, yaitu: 1) dapat dilakukan tanpa memiliki keahlian khusus atau profesi tertentu, 2) waktu yang digunakan untuk mengadminstrasikan dan melakukan skoring cukup singkat, sehingga mampu memperoleh hasil dengan cepat, 3) instrumen SDQ mudah diakses, tidak harus dilakukan di pelayanan kesehatan, 4) lebih sederhana, baik dalam melakukan administrasi ataupun skoring, 5) digunakan untuk melakukan deteksi dini, sehingga permasalahan pada anak dapat diketahui sedini mungkin dan memperoleh intervensi secepat mungkin. SDQ terdiri dari 25 aitem yang menggambarkan atribut positif dan negatif dari anak dan remaja yang dialokasikan pada 5 subskala. Keempat subskala termasuk ke dalam kelompok subskala kesulitan, yaitu (1) subskala emotional symptom, (2) subskala conduct problem, (3) subskala hyperactivity-inattention,
7
dan (4) subskala peer problem. Sedangkan subskala yang kelima termasuk dalam kelompok subskala kekuatan, yaitu subskala prosocial. Masing-masing subskala SDQ terdiri dari 5 aitem. Masing-masing aitem diskor dalam kriteria 3 poin yaitu 0 = tidak benar, 1 = agak benar, 2 = sangat benar. Skor dari masing-masing subskala dapat dihitung dengan menjumlahkan skor dari masing-masing aitem yang relevan pada subskala tersebut. Skor tertinggi dari masing-masing subskala adalah 10 dan skor terendah adalah 0 (Goodman dalam Muris, Meesters, & van den Berg, 2003). Studi di Belanda menyatakan kuesioner sebaiknya diberikan sesuai dengan bahasa ibu atau jika memungkinkan bahasa lain yang familiar untuk digunakan subjek (Richter, Sagatun, Heyerdahl, Oppedal, & Roysamb, 2011). Pada Youth In Mind, situs resmi SDQ, diketahui bahwa SDQ telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa dan bebas digunakan untuk kepentingan non-komersial (http://www.sdqinfo.org/). Hasil dari pengaplikasian SDQ di Australia, Jerman, Belanda, dan Finlandia, menyatakan bahwa SDQ dapat dipergunakan secara efektif pada bahasa dan setting budaya yang lain (Ullebo, Posserud, Heiervang, Gillberg, & Obel, 2011). SDQ telah dilakukan uji instrumen penelitian pada berbagai versi. Goodman mengawali penelitian pada 1997 dan menunjukkan hasil SDQ-Teacher Reports (TR) dan Parent Reports (PR) berguna sama baiknya dengan skala Rutter. Penelitian Goodman tahun 1998 menunjukkan SDQ-Self Reports (SR) berkorelasi dengan baik dengan kedua skala SDQ lainnya yaitu SDQ-PR dan SDQ-TR. Tahun berikutnya (1999), penelitian Goodman menunjukkan bahwa SDQ secara signifikan lebih baik dalam mendeteksi masalah inatensihiperaktivitas dibandingkan CBCL (Child Behavior Check List). Tingkat agreement antara predikasi SDQ dan diagnosis kinis yang independen secara signifikan tinggi (Kendall tau b antara 0,49 dan 0,73, p<0.001) (Goodman, Renfrew, & Mullick, 2000). Kemampuan prediksi struktur lima faktor SDQ (masalah emosi, masalah tingkah laku, inatensi-hiperaktivitas, masalah teman sebaya, dan kemampuan prososial) dapat dikonfirmasi (Goodman, 2001). Uji reliabilitas telah dilakukan dan terbukti memuaskan, baik dengan konsistensi
8
internal (Alpha Cronbach = 0,73), korelasi Cross Informant (0,34), maupun stabilitas Test Retest setelah 4-6 bulan (0,62). Skor SDQ dengan persentil 90 memprediksi secara substansial resiko terhadap diagnosis gangguan psikiatri (means odds ratio = 15,7 untuk orangtua, 15,2 untuk guru, 6,2 untuk Self Reports). Pada tahun 2003, Goodman, Ford, Simmons, Gatward, dan Meltzer melakukan penelitian mengenai efisiensi SDQ sebagai instrumen skrining gangguan pada anak dan remaja. SDQ memiliki sensitivitas 63,3%, spesifisitas 94,6%, nilai prediksi positif 52,7%, dan nilai prediksi negatif 96,4%. Sensitivitas SDQ akan signifikan lebih tinggi bila menggunakan multiinforman ketiga form SDQ dibandingkan informan tunggal. Sensitivitas berbeda pada tiap diagnosis. Sensitivitas lebih dari 70% untuk mengidentifikasi individu dengan gangguan perilaku, hiperaktif, depresi dan beberapa gangguan kecemasan. Sensitivitas di bawah 50 % untuk mengidentifikasi individu dengan fobia spesifik, kecemasan akan perpisahan, gangguan makan dan gangguan panik. Uji efisiensi SDQ kembali dilakukan oleh Goodman, Ford, Corbin, dan Meltzer pada 2004 dan menunjukkan hasil sensitivitas 84,8%, spesifisitas 80,1%, nilai duga positif 74,2% dan nilai duga negatif 88,7%. Penelitian mengenai SDQ telah banyak dilakukan di berbagai negara, baik untuk pengujian properti psikometri maupun validasi terhadap gangguan tertentu. Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa SDQ mampu menunjukkan perbedaan respons gejala yang muncul pada jenis kelamin yang berbeda, yaitu perempuan lebih banyak menunjukkan permasalahan emosi, dan laki-laki lebih banyak menunjukkan permasalahan perilaku dan masalah dengan teman sebaya (Van Roy, Groholt, Heyerdahl, & Clench-Aas, 2006). SDQ versi Belanda dapat berkontribusi dalam deteksi dini masalah kesehatan mental pada anak dengan Intellectual Disorder (ID). Skor tingkat kesulitan pada semua subskala kecuali subskala perilaku prososial, anak dengan ID memiliki skor lebih tinggi dibandingkan tanpa ID (Kaptein, Jansen, Vogels, & Reijneveld, 2008). Penelitian di London pada sampel dengan HIV, SDQ mampu mendeteksi anak dengan HIV dengan menghasilkan skor kesulitan yang lebih tinggi daripada populasi umum (anak tanpa HIV). SDQ juga mampu mengungkap tingkat
9
kesulitan berdasarkan usia. Anak dengan HIV yang memiliki usia lebih tinggi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi juga (Melvin, et. al., 2007). Penelitian lain di Norwegia menunjukkan bahwa dengan metode Confirmatory Factor Analysis (CFA), model 5 faktor SDQ terkonfirmasi saat digunakan pada sampel Norwegia baik etnis asli maupun pada etnis minor (Richter, et. al., 2011). Penelitian di Swedia mendapatkan titik potong ≥ 18 untuk total kesulitan SDQ baik pada laki-laki maupun perempuan. Koefisien Alpha untuk masingmasing subskala adalah 0,70 untuk masalah emosi, 0,50 untuk masalah perilaku, 0,66 untuk hiperaktivitas-inatensi, 0,53 untuk masalah teman sebaya, dan 0,70 untuk perilaku prososial. Hasil uji Principal Component Analysis (PCA) dan diagram screen plot menunjukkan adanya tujuh faktor yang menjelaskan varian sebesar 52,9% (Svedin & Priebe, 2008). Suatu penelitian di Australia memberikan penjelasan mengenai properti psikometri SDQ-versi Australia untuk pertama kalinya, sehingga dapat dilanjutkan untuk berbagai penelitian lanjutan mengenai SDQ. Reliabilitas pada semua subskala: sedang (0,57) – tinggi (0,88) pada Parent dan Teacher Reports. (Hawes & Dadds, 2004). Penelitian di Australia juga mengungkapkan sensitivitas dengan diagnosis klinis sebagai gold standard. Sensitivitas dari probable diagnosis menunjukkan skor hiperaktif= 44%, gangguan tingkah laku= 93%, dan gangguan emosi= 36%. Sensitivitas untuk diagnosis yang tergolong mengalami gangguan atau borderline menunjukkan skor hiperaktif= 93%, gangguan tingkah laku= 100%, dan gangguan emosi= 81% (Mathai, Anderson, Bourne, 2004). Skoring SDQ yang digunakan dapat berdasarkan skor pada masing-masing subskala ataupun skor total kesulitan yang merupakan total dari empat skor subskala kesulitan, yaitu subskala masalah emosi, masalah perilaku, masalah dengan teman sebaya, dan hiperaktivitas-inatensi (Goodman, 1994). Penelitian ini selanjutnya menggunakan skor subskala masalah perilaku untuk melihat bagaimana efisiensinya dalam menskrining gangguan tingkah laku. SDQ versi Inggris pernah diadaptasi menjadi versi Indonesia. Namun, proses adaptasi tersebut tidak disertai uji properti psikometri dan uji kualitas skrining. Oleh karenanya penelitian ini melakukan adaptasi ulang SDQ-TR versi
10
Inggris, uji properti psikometri, dan uji kualitas skrining SDQ-TR versi Indonesia terhadap gangguan tingkah laku. Diharapkan dengan melakukan uji validitas terhadap SDQ-TR tersebut, dapat menghasilkan instrumen skrining yang layak digunakan untuk mendeteksi gangguan tingkah laku. Salah satu syarat melakukan penelitian instrumen skrining maupun diagnostik yaitu harus terdapat baku emas (gold standard). Baku emas adalah pemeriksaan yang dijadikan sebagai rujukan akhir untuk menentukan apakah subjek memiliki gangguan atau tidak (Dahlan, 2002). Penelitian ini menggunakan hasil diagnosis psikolog berdasar wawancara klinis PPDGJ III sebagai standar baku emas. Berdasar uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan adaptasi, uji properti psikometri, dan uji kualitas skrining SDQTeacher Reports versi Indonesia terhadap gangguan tingkah laku anak pada sampel komunitas. Adapun pertanyaan yang hendak dijawab dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana reliabilitas dan validitas konstruk instrumen SDQ-TR versi Indonesia? 2. Bagaimana sensitivitas, spesifisitas, dan Area Under Curve SDQ-TR versi Indonesia terhadap gangguan tingkah laku pada sampel komunitas? 3. Bagaimana rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif SDQTR versi Indonesia terhadap gangguan tingkah laku pada sampel komunitas? Hasil penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya dalam pengembangan instrumen asesmen klinis untuk anak dan remaja. Sementara secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan sensitivitas para guru dalam melakukan deteksi dini gangguan tingkah laku pada siswanya, sehingga para siswa dengan gangguan tingkah laku dapat lebih cepat memperoleh penanganan yang tepat.
Metode Partisipan Subjek untuk sampel komunitas dalam penelitian ini berjumlah 161 anak dengan kriteria berusia 7-13 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan,
11