MUCTaxMinimagz Edisi Mei 2016
Updating Your Knowledge
2
Revaluasi Aktiva Tetap: Akuntansi Vs Perpajakan
4 HOT NEWS
Daftar Sekarang! Jadwal Training MUC 2016
Perencanaan Pajak: Revaluasi Aktiva Tetap untuk Memenuhi DER
8
Mengelola Utang Luar Negeri
2
Artikel Revaluasi Aktiva Tetap: Akuntansi vs Perpajakan Pada medio Oktober 2015 lalu, Pemerintah secara resmi mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi V yang di antaranya terkait dengan revaluasi aktiva. Gagasannya adalah pemerintah memberikan insentif terhadap perusahaan yang ingin memperbaiki laporan keuangannya melalui pengurangan tarif pajak atas surplus revaluasi yang diajukan selama periode 2015 dan 2016 (seperti yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/ PMK.010/2015 yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2016 (“PMK 191”) .
Ketentuan SAK dan PMK 191 Sejak kemunculannya, PMK ini mengundang banyak pertanyaan dari berbagai pihak. Tidak hanya berasal dari Wajib Pajak yang ditargetkan oleh kebijakan ini, tapi juga dari kalangan akuntan. Hal ini dikarenakan penerapan PMK 191 berkaitan erat dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang mengatur revaluasi aset tetap (PSAK 16 Aset Tetap) dan akuntansi atas Pajak Penghasilan (PSAK 46 Pajak Penghasilan). Sebagai bentuk tanggapan atas pertanyaan yang muncul, terutama terkait dengan perlakuan akuntansinya, pada 23 Februari 2016, Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan Buletin Teknis 11 tentang panduan dalam menerapkan revaluasi aktiva. Secara garis besar, Buletin Teknis ini memberikan penjelasan mengenai hubungan revaluasi aktiva tetap untuk akuntansi dan pajak, persetujuan otoritas perpajakan atas pengajuan revaluasi aktiva tetap, perlakuan akuntansi Pajak Penghasilan (PPh) Final yang dikenakan atas surplus revaluasi aktiva tetap, konsekuensi pajak kini dan tangguhan atas revaluasi aktiva tetap, dan tarif pajak yang digunakan dalam mengukur dampak pajak tangguhan yang timbul akibat revaluasi aktiva tetap untuk tujuan pajak atau untuk tujuan akuntansi dan pajak. Secara singkat, Buletin Teknis 11 ini merupakan sumber referensi yang paling dapat diandalkan bagi perusahaan yang menerapkan revaluasi aset tetap berdasarkan PMK 191 untuk tujuan perpajakan saja, akuntansi saja, atau keduanya. Jika perusahaan menerapkan revaluasi hanya untuk tujuan perpajakan saja, perusahaan dapat memilah aset mana yang ingin direvaluasi. Kemudahan ini ditawarkan dalam Buletin Teknis 11. Bila ditelaah lebih lanjut, penerapan SAK dalam mencatat aset dengan model revaluasian
Kontributor: Ulil Ambri Auditor KAP RazikunTarkoSunaryo
berpotensi sedikit menyulitkan perusahaan di masa kini maupun di masa yang akan datang. Penting untuk diingat bahwa ketentuan PSAK 16 terkait dengan prinsip konsistensi di mana ketika sebuah perusahaan memilih untuk menerapkan sebuah metode revaluasi terhadap aset tetapnya setelah adanya pengukuran awal, perusahaan juga harus menerapkan model revaluasi yang sama terhadap semua aset yang ada dalam daftar aset tetap dalam kelompok yang sama. Selain itu, perusahaan juga harus menerapkan revaluasi dengan keteraturan yang cukup reguler untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dengan jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan. Khusus bagi emiten, berdasarkan peraturan BAPEPAM VIII.G.7, diwajibkan melakukan revaluasi tahunan untuk aktiva yang mengalami perubahan nilai wajar yang signifikan, dan minimal 3 (tiga) tahun sekali untuk aktiva tetap yang tidak mengalami perubahan nilai wajar yang signifikan. Sementara Pasal 3 ayat (1) dan (2) PMK 191 menyatakan revaluasi aktiva tetap dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh aktiva tetap yang berwujud dan tidak dapat dilakukan revaluasi sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak revaluasi aktiva tetap yang terakhir sesuai PMK 191. Singkatnya, penerapan SAK terkait revaluasi menuntut upaya dan biaya tambahan. Khusus revaluasi untuk tujuan perpajakan, PMK 191 menawarkan kemudahan dan efisiensi.
(PMK 169). Tambahan nilai perolehan yang berasal dari revaluasi akan meningkatkan ekuitas untuk bisa memenuhi DER. Namun harus dicermati, ketika perusahaan memutuskan untuk menerapkan PMK 191 untuk tujuan pemenuhan DER dan peningkatan leverage terkait kebutuhan pendanaan dari pihak ketiga, tentunya penerapan revaluasi aktiva tetap tidak dapat diterapkan hanya untuk tujuan perpajakan saja, namun untuk tujuan akuntansi dan perpajakan. Hal ini disebabkan oleh kalkulasi DER dilakukan berdasarkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan SAK. Secara umum, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan untuk melakukan revaluasi aktiva tetap baik untuk tujuan
Q
perpajakan saja, ataupun untuk tujuan akuntansi dan perpajakan adalah sebagai berikut: 1.
Potensi beban PPh Final atas selisih lebih di atas nilai sisa buku fiskal semula. Tarif PPh Final berbeda-beda tergantung pada tanggal pengajuan permohonan (4% jika diajukan pada tanggal 1 Januari 2016 hingga 30 Juni 2016 dan 6% jika permohonan diajukan pada tanggal 1 Juli 2016 hingga 31 Desember 2016).
2.
Potensi biaya atas penggunaan jasa Kantor Jasa Penilai Publik atau ahli penilai. Untuk penerapan revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan dan akuntansi, potensi biaya akan dikeluarkan oleh perusahaan tiap tahunnya.
3.
Dampak terhadap DER. Signifikansi selisih lebih revaluasi terhadap peningkatan DER perlu diperhitungkan secara cermat, khususnya dalam hal pemenuhan DER berdasarkan PMK 169 dan peningkatan leverage-nya untuk penambahan pendanaan melalui pinjaman.
4.
Manfaat pajak atas peningkatan nilai buku aktiva-aktiva tetap yang dapat disusutkan. Dengan meningkatnya nilai buku, beban penyusutan yang dapat dibiayakan dalam perhitungan pajak pun meningkat.
5.
Pertimbangan-pertimbangan lain terkait teknis penyusunan laporan keuangan. Idealnya, semakin besar upaya yang dilakukan dalam menyiapkan laporan keuangan berkaitan dengan model revaluasian yang diterapkan, maka semakin banyak manfaat yang diperoleh. Tentu saja, seluruh upaya tersebut memerlukan dukungan sumber daya yang mumpuni dalam hal kompetensi dan kesiapan.
Revaluasi atau Tidak? Bagi sebagian perusahaan, tidak sulit mengambil keputusan mengenai langkah apa yang sebaiknya diambil terkait dengan terbitnya PMK 191 ini. Mungkin hanya akan menjadi topik diskusi di tengah rapat rutin, ketika operasi perusahaan berjalan baik-baik saja dengan kecenderungan laba yang terus meningkat atau setidaknya tidak menderita kerugian, dan gaya pengelolaan dari manajemen yang tidak agresif dalam menyajikan laporan keuangan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, ada manfaat pajak yang dapat dinikmati jika melakukan revaluasi, setidaknya revaluasi untuk tujuan perpajakan saja. Yaitu, manfaat dalam bentuk tambahan nilai perolehan atas aktiva yang dapat disusutkan yang akan berdampak pada meningkatnya beban penyusutan secara pajak. Manfaat pajak ini khususnya berlaku bagi perusahaan yang tidak dikenai PPh Final atau tidak menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit). Sebaliknya, keputusan tersebut dianggap penting bagi perusahaan yang performa keuangannya jatuh hingga menggerus level ekuitasnya dan juga amat bergantung pada pendanaan dari pihak ketiga, khususnya bank. PMK 191 memberikan manfaat tambahan dalam hal pemenuhan Rasio Utang terhadap Modal (DER) sebesar 4:1 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015
“ PMK 191 memberikan manfaat tambahan dalam hal pemenuhan Rasio Utang terhadap Modal (DER) sebesar 4:1 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/ PMK.010/2015 (PMK 169). ”
3
4
Perencanaan Pajak:
Revaluasi Aktiva Tetap
untuk Memenuhi DER Setiap Wajib Pajak memerlukan perencanaan pajak demi melaksanakan kewajiban pajak dengan baik. Perencanaan pajak tersebut akan berbeda-beda, sesuai dengan jenis dan kondisi usaha Wajib Pajak dan perlakuan perpajakannya berdasarkan peraturan yang berlaku. Secara umum, perencanaan pajak diartikan sebagai proses pengorganisasian usaha Wajib Pajak atau sekelompok Wajib Pajak dengan
sedemikian rupa, sehingga utang pajaknya (Pajak Penghasilan maupun pajak-pajak lainnya) berada dalam posisi yang paling minimal berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan maupun komersial. Menurut Muhammad Zain dalam bukunya “Manajemen Perpajakan”, perencanaan pajak adalah sebuah usaha untuk mengurangi beban pajak secara legal, tetapi bukan mengurangi kesanggupan untuk membayar beban-beban pajaknya.
Kontributor: Ikhwan Arif Wicaksono, Muhammad Noor Amrizal Rifa’i Konsultan Pajak MUC Consulting Group
Artikel ini akan membahas perencanaan pajak dalam bentuk revaluasi aktiva tetap sehubungan dengan Debt to Equity Ratio (Rasio Utang Terhadap Modal) atau DER dengan mempertimbangkan kebijakan pemerintah dari sudut pandang perpajakan.
Peraturan Pajak atas Revaluasi Aktiva Tetap Revaluasi aktiva tetap dilakukan sebagai salah satu sarana perencanaan pajak ketika nilai wajar aktiva tetap mengalami perubahan yang signifikan. Apabila aktiva tetap tidak direvaluasi, maka akan terjadi ketidaksesuaian antara nilai buku dengan nilai intrinsik perusahaan. Dalam kasus-kasus tertentu, revaluasi aktiva tetap
dilakukan hanya demi memanfaatkan peraturan pemerintah yang sedang berlaku. Contohnya, pada Oktober 2015, Pemerintah mengeluarkan tarif yang lebih rendah untuk PPh Final atas selisih nilai lebih dari revaluasi aktiva tetap. Tarif yang lebih rendah ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191/PMK.010/2015 yang telah diubah terakhir dengan PMK No. 29/PMK.03/2016 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada 2015 dan 2016 (PMK 191). Normalnya, tarif PPh Final atas revaluasi aktiva tetap adalah sebesar 10% sesuai PMK No. 79/PMK.03/2008. Tarif lebih rendah yang diberikan sebagai insentif revaluasi aktiva tetap ini terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan waktu pengajuan permohonan revaluasi, yaitu:
5
Artikel
e. f. Tarif 3% 4% 6%
Waktu Pengajuan 20 Okt - 31 Des 2015 1 Jan - 30 Jun 2016 1 Jul - 31 Des 2016
Batas Akhir Revaluasi 31 Des 2016 30 Jun 2017 31 Des 2017
Peraturan Pajak tentang Rasio Utang Terhadap Modal Sekitar sebulan sebelum menerbitkan PMK 191, pada September 2015 Pemerintah sudah menetapkan batasan DER bagi perusahaan melalui PMK No. 169/PMK.010/2015 (PMK 169). PMK ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 18 ayat (1) Undang-undang PPh yang menetapkan DER sebesar 4:1 sebagai rasio maksimal untuk Wajib Pajak Badan yang didirikan dan berlokasi di Indonesia, dengan modal yang terbagi menjadi saham. Enam Wajib Pajak yang dikecualikan dari penerapan DER 4:1 ini adalah: a. b. c. d.
bank, lembaga pembiayaan, asuransi dan reasuransi, industri pertambangan minyak dan gas bumi (dan pertambangan lainnya) yang terikat kontrak yang mengatur
batasan perbandingan antara utang dan modal, industri infrastruktur, dan Wajib Pajak Badan mana pun yang seluruh penghasilannya dikenakan PPh yang bersifat final.
DER yang ditetapkan menentukan seluruh biaya pinjaman yang dapat dibiayakan dalam perhitungan pajak. Biaya pinjaman yang dimaksud adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana, di antaranya bunga pinjaman, diskonto dan premium. Perencanaan Pajak Revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan merupakan pilihan bagi Wajib Pajak. Akan tetapi bagi sebagian Wajib Pajak, revaluasi aktiva tetap dapat menjadi sarana untuk memenuhi DER yang diatur dalam PMK 169. Setiap kenaikan nilai dari revaluasi akan diakui sebagai penghasilan komprehensif lain dan akan terakumulasi dalam bagian selisih lebih revaluasi.
Sebagai sebuah perencanaan pajak, revaluasi aktiva tetap yang diatur dalam PMK 191 untuk memenuhi
6 DER yang diatur dalam PMK 169 akan berfokus pada pengenaan tarif umum PPh Badan sebesar 25% serta koreksi fiskal terhadap biaya pinjaman. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan revaluasi aktiva tetap dan di saat yang sama tidak dapat memenuhi DER yang disebutkan di atas, maka akan ada koreksi fiskal positif atas biaya pinjaman. Koreksi tersebut selanjutnya akan menambah jumlah PPh Badan yang terutang. Sebaliknya, jika Wajib Pajak melakukan revaluasi aktiva tetap, selisih lebih hasil revaluasi akan menambah ekuitas dan dapat mengurangi risiko koreksi fiskal atas biaya pinjaman sesuai PMK 169. Ilustrasi di bawah ini menyajikan perbandingan yang jelas antara kedua kondisi tersebut.
PT ABC merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur. Pada 20 April 2016 mengajukan permohonan revaluasi untuk tujuan perpajakan. Sebelumnya, PT ABC telah melakukan revaluasi pada akhir tahun 2015 dan menghasilkan penambahan selisih lebih hasil revaluasi pada ekuitas perusahaan sebesar Rp500.000.000,00. Berikut ini merupakan angka-angka yang tercatat dalam Laporan Keuangan dan Laporan Laba Rugi PT ABC : a. b. c. d. e.
Nilai aktiva sebesar Rp1.064.500.000,00 (Penyusutan Kelompok 1); Saldo rata-rata liabilitas sebesar Rp4.562.500.000,00; Saldo rata-rata ekuitas sebesar Rp760.000.000,00; Penghasilan bruto sebesar Rp20.000.000.000,00; Biaya pinjaman (biaya bunga dan biaya terkait lainnya) sebesar Rp228.000.000,00.
Kewajiban PPh Final atas Revaluasi Aktiva Tetap Sesuai dengan PMK 191, PT ABC harus melunasi kewajiban PPh Final sebesar 4% dari Rp500.000.000,00 atau setara dengan Rp20.000.000,00 sebelum mengajukan permohonan revaluasi. Kewajiban Perpajakan sesuai PMK 169 a. Dengan jumlah saldo rata-rata utang sebesar
b.
Rp4.562.500.000,00 dan jumlah saldo ekuitas sebesar Rp760.000.000,00 DER PT ABC adalah 6:1 yang mana melebihi DER 4:1 sesuai PMK 169. Biaya pinjaman yang diperbolehkan untuk perhitungan PPh terutang adalah 4/6 x Rp228.000.000,00 (biaya pinjaman dari semua pinjaman) atau setara dengan Rp152.000.000,00 Oleh karena itu, koreksi fiskal positif yang dilakukan untuk biaya pinjaman menjadi Rp76.000.000,00 (Rp228.000.000,00 - Rp152.000.000,00)
Berdasarkan ilustrasi, apabila PT ABC tidak melakukan revaluasi aktiva tetap akan terjadi koreksi fiskal positif. Sebaliknya, jika PT ABC melakukan revaluasi, tidak akan ada koreksi fiskal positif yang disebabkan oleh meningkatnya saldo rata-rata ekuitas perusahaan sehingga PT ABC dapat memenuhi DER 4:1 sesuai PMK 169. Selain itu, biaya penyusutan akan semakin besar, sehingga PPh Badan yang harus dibayar dapat menjadi lebih kecil. Dalam hal ini PT ABC hanya perlu membayar PPh Final akibat revaluasi sebesar Rp20.000.000,00. Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan atas kondisi dengan atau tanpa revaluasi aktiva tetap.
7 Uraian
Biaya Bunga Pinjaman
Revaluasi Tidak
Ya
Koreksi fiskal positif Rp76.000.000,00
-
Pajak atas biaya bunga pinjaman tidak diakui: Rp76.000.000,00 x 25%
-
Keterangan
Rp19.000.000,00
PPh Final yang harus dibayar
-
Tambahan Biaya Penyusutan
-
Manfaat Pajak yang diperoleh
(Rp19.000.000,00)
PPh Final Rp20.000.000,00
500.000.000,00 x 25% Rp125.000.000,00
Rp105.000.000,00
Dibayar sebelum mengajukan permohonan revaluasi
Tambahan biaya penyusutan Rp125.000.000,00
Selisih: Rp124.000.000,00
Dengan demikian, PT ABC akan mendapatkan tambahan manfaat pajak sebesar Rp124.000.000,00 dan di saat yang sama dapat memenuhi ketetapan DER apabila melakukan revaluasi aktiva tetap. Revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan memang menuntut Wajib Pajak untuk membayar PPh Final dengan jumlah yang bisa jadi cukup besar. Akan tetapi pada kondisi tertentu, revaluasi tersebut dapat memberikan beberapa keuntungan. Pertama, biaya penyusutan menjadi lebih besar sehingga beban PPh Badan menjadi lebih kecil. Kedua, Wajib Pajak dapat memenuhi ketentuan DER, sehingga koreksi fiskal positif atas biaya pinjaman dapat dihindari. Bukankah ini kesempatan emas yang layak dimanfaatkan?
8
Article
Mengelola Utang Luar Negeri Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa utang luar negeri terus menerus mengalami peningkatan dan didominasi oleh pihak swasta. Akibatnya, pihak swasta dihadapkan dengan risiko yang lebih tinggi dari pemerintah dalam penyelesaian pembayaran utang luar negeri. Padahal, nilai mata uang rupiah terhadap dollar dewasa ini terbilang sangat fluktuatif.
Kontributor: Dania Sekar Wuryandari Konsultan Akuntansi MUC Consulting Group
Guna mengendalikan utang luar negeri yang dimiliki pihak swasta, BI antara lain menerapkan Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL) yang mencakup pelaporan posisi hingga rencana utang luar negeri. Setiap perusahaan non bank yang memiliki utang luar negeri wajib melakukan pelaporan melalui SIUL. Dengan demikian dapat diperoleh informasi mengenai proyeksi utang luar
negeri perusahaan non bank di kemudian hari sebagai dasar perumusan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.17/23/PBI/2015 (PBI 17) yang diluncurkan pada Desember 2015 lalu, yang merupakan perubahan dari PBI No.16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri,
perusahaan non bank wajib melaporkan kepada Bank Devisa bahwa transaksi penerimaan (incoming transfer) yang terjadi merupakan penerimaan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) yang timbul dari penarikan Utang Luar Negeri (ULN). Kewajiban tersebut terutama berlaku bagi ULN yang berasal dari: 1. Perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving, 2. Surat utang (debt securities); dan 3. Selisih antara nilai ULN baru dengan tujuan refinancing terhadap nilai ULN lama. Pelaporan dilakukan secara on line pada SIUL dengan disertai dokumen pendukung seperti swift, rekening koran, dan lain-lain, dan dilakukan dalam batas waktu berikut ini:
1. Paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, untuk Bukti Penarikan DULN; 2. Selisih kurang pada setiap penerimaan paling lambat dilaporkan pada akhir bulan berikutnya setelah tanggal penarikan ULN; dan 3. Akumulasi selisih kurang harus dilaporkan sebelum berakhirnya jangka waktu ULN. Jika tidak menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada BI, maka perusahaan non bank selaku debitur ULN akan dikenakan denda sebesar 0,25% dari setiap penarikan ULN yang tidak melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Jenis Laporan KPPK
A
Laporan Keuangan triwulanan unaudited
Laporan Koreksi
Batas Waktu Penyampaian Akhir bulan ke-3 setelah akhir triwulanan laporan pada akhir jam kerja
Akhir bulan ke-4 akhir triwulanan laporan pada akhir jam kerja
Prinsip Kehati-hatian Utang Luar Negeri Dalam SIUL juga terdapat sistem pelaporan yang disebut Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian (KPPK). Melalui PBI No.16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehatihatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Perusahaan Nonbank, BI mengajak perusahaan untuk dapat memitigasi berbagai risiko yang dapat ditimbulkan oleh utang luar negeri, yaitu seperti risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang terlalu tinggi (over leverage). Sesuai aturan ini, perusahaan yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk valuta asing wajib menerapkan prinsip kehatihatian yang meliputi dipenuhinya rasio lindung nilai (hedging) minimum, rasio likuiditas minimum dan rasio peringkat utang (credit rating) minimum. Seluruh komponen prinsip kehatihatian ini wajib dilaporkan kepada BI dalam bentuk laporan KPPK. Sesuai Surat Edaran BI (SEBI) No.17/3/Dsta (SEBI17), jenis laporan yang wajib disampaikan kepada BI tersebut terdiri dari: 1. Laporan KPPK, yang meliputi keterangan dan data mengenai Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu sampai atau kurang dari 6 (enam) bulan; 2. Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi oleh akuntan publik independen; 3. Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating); dan 4. Laporan Keuangan triwulanan unaudited dan Laporan Keuangan Tahunan audited. Laporan-laporan tersebut di atas harus disampaikan dalam batas waktu yang disebutkan dalam tabel. Bila laporan KPPK tidak lengkap dan/atau tidak benar, sanksi denda yang dikenakan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per laporan. Sedangkan jika laporan KPPK, laporan KPPK Atestasi, dan laporan keuangan terlambat disampaikan, sanksi denda sebesar Rp500.000,00 dihitung per hari kerja, dengan nominal paling besar senilai Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Selain itu, teguran tertulis juga akan dikirimkan kepada kreditur perusahaan yang ada di luar negeri, Kementrian BUMN
B
C
Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi Laporan Keuangan tahunan audited
Akhir bulan Juni setelah akhir tahun laporan pada akhir jam kerja
Laporan Koreksi
Akhir bulan Juli setelah akhir tahun laporan pada akhir jam kerja
Informasi mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating)
Akhirbulan berikutnya setelah bulan ditandatanganinya atau diterbitkannya ULN pada akhir jam kerja
Laporan Koreksi
Tanggal 20 setelah bulan penyampaian laporan yang bersangkutan pada akhir jam kerja
bagi perusahaan BUMN, Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) bagi perusahaan publik yang tercatat di BEI. Penerbitan peraturan-peraturan BI ini semestinya cukup dapat menyokong usaha pemerintah dalam menjaga kestabilan arus utang luar negeri. Namun peran serta lembaga atau perusahaan non bank di Indonesia dalam melaporkan dan mengelola utang luar negeri juga turut diperlukan, mengingat kondisi perekonomian global yang masih dalam tahap pemulihan dan dapat mengakibatkan fluktuasi nilai mata uang.
9
10
Sosialisasi E-Billing Pajak
Nasabah KCU dan KCP BCA Menara Bidakara
Pada 13 April 2016, MUC yang diwakili oleh Meydawati (Partner) berbicara di salah satu sesi acara gathering para nasabah prioritas Bank BCA cabang Menara Bidakara (BCA Bidakara) di ASTON Hotel Simatupang. Topik yang dibahas adalah Tax Amnesty ya atau Penghapusan Pajak yang ata merupakan isu yang sedang booming m di masyarakat walaupun Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty U masih dibahas di pemerintahan. m M Menurut Meydawati, tahun 2016 adalah tahun penegakan hukum sehingga aparat pajak akan lebih agresif dibanding tahun sebelumnya.
Topik ini mengundang antusiasme peserta melihat banyaknya pertanyaan yang diajukan selama diskusi. Salah satunya berkaitan dengan pajak individu, terutama karena bulan ini adalah batas waktu pelaporan SPT Individu melalui e-filing. Acara ini digelar sekitar 3 sampai 4 kali setahun secara bergiliran di setiap cabang BCA. Menurut Vera Wira Utami, Relationship Officer BCA Bidakara, sebagai ketua panitia, acara ini bertujuan untuk menjaga hubungan baik dengan nasabah, juga untuk mensosialisasikan produk baru BCA yaitu MPN G2. Produk baru ini adalah suatu sistem pembayaran pajak yang terintegrasi dengan internet banking BCA yang akan memudahkan para nasabah dalam bertransaksi perpajakan.
Mei 11 Mei 2016 Memahami Proses Keberatan dan Banding di bidang Kepabeanan dan Cukai
12 Mei 2016 TP Series: Menghadapi Pemeriksaan dan Sengketa Transfer Pricing dengan Dokumentasi Transfer Pricing yang Handal
MUC
Training 2016
Updating Your Knowledge
24 Mei 2016 Kupas Tuntas Objek PPN dan implementasi e-Faktur sesuai Peraturan Terkini
31 Mei 2016 Strategi Efektif Menghadapi Pemeriksaan, Keberatan dan Banding Pajak
Juli 27 Juli 2016 Transfer Pricing Vs Customs Valuation
Agustus 27 Juli 2016 Kupas Tuntas PPh Badan dan Pengisian SPT Berdasarkan Peraturan Terkini.
31 Juli 2016 Kupas Tuntas Free Trade Area (FTA) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 205 Tahun 2015
Disclaimer MUCTaxMinimagz is a periodic publication of MUC Consulting Group to provide our client, contact and business relations with information of tax news and latest tax regulations. The materials within are limited to the purpose of providing information and should not be treated similarly as professional advice or basis in formulating strategic business decisions. Should you have queries regarding the issues in this edition, feel free to contact our tax consultants. For free subscription of MUCTaxMinimagz, please send your request by email to
[email protected]. For more information about MUC Tax Consulting Group, please visit www.mucglobal.com.